You are on page 1of 58

ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN

MODEL SWAT PADA DAS CIPASAURAN, BANTEN

SKRIPSI

MAULANA IBRAHIM RAU


F44080038

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

i
DISCHARGE ANALYSIS USING SWAT MODEL AT CIPASAURAN
WATERSHED, BANTEN

MI Rau, NH Pandjaitan, and A Sapei


Departement of Civil and Environmental Engineering, Faculty of Agricultural Technology
Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor 16002, Indonesia
e-mail: maulanaibrau@gmail.com.

ABSTRACT

Total water demand at non industrial and industrial region in Cilegon is increasing. With its
water production capacity of 2,000 lt/s, PT Krakatau Tirta Industri can't fulfill the amount number of
demand from all sectors at Cilegon. To cover the shortage of water supply of ±600 lt/s, PT KTI must
take more water from Cipasauran Watershed. SWAT model could be use to make a discharge analysis
concerning to water supply at Cipasauran Watershed. Input data such as soil characteristics, climate
data, landuse, and hydrology data at the area of the watershed were prepared and inputted at the data
input file. In SWAT simulation, 4 process were done, i.e. watershed delineation, hydrological response
unit (HRU) forming, data process and SWAT simulation, and visualization process. The result showed
that the daily and monthly calibration process crossed 84% and 83% with the 95PPU area, with daily
and monthly p-factor value of 0.84 and 0.83. Thus, calibrated model result was valid, though R 2 and
NS value were not satisfied. Using the validated SWAT model, the daily discharge in Cipasauran
Watershed was about 0 - 3.309 m3/s, whereas the monthly discharge was 0.648 - 3.266 m3/s. It
meaned that daily and monthly water demand of 0.6 m3/s were fulfilled about 98.22% and 100%.

Keywords: Cipasauran watershed, discharge analysis, NS value, parameter calibration, SWAT model

ii
Maulana Ibrahim Rau. F44080038. Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT
Pada DAS Cipasauran, Banten. Di bawah bimbingan Nora H. Pandjaitan dan Asep Sapei. 2012

RINGKASAN

Permintaan jumlah air untuk kawasan non industri dan sektor industri di wilayah Kota
Cilegon terus meningkat. PT Krakatau Tirta Industri dengan kapasitas produksi air baku sebesar 2,000
lt/dt belum dapat memenuhi kebutuhan air baku seluruh sektor di Cilegon. Terjadi kekurangan air
baku sebesar ±600 lt/dt sehingga PT KTI harus menambah pengambilan air di DAS Cipasauran.
Untuk itu diperlukan informasi mengenai hubungan antara ketersediaan air baku dengan debit sungai.
Analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan
menggunakan pemodelan Soil and Water Assessment Tools (SWAT). Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan analisis debit sungai untuk penyediaan air baku di DAS Cipasauran dengan menggunakan
model SWAT.
Pengamatan dilakukan di kawasan DAS Cipasauran yang secara geografis terletak pada 06°
13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM.
Penelitian yang dilaksanakan dari Maret hingga Mei 2012 dilakukan melalui 2 tahap, yaitu tahap
pengumpulan data dan tahap analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data
terkait yang akan digunakan pada proses analisis. Data yang diperlukan pada penelitian ini antara lain
adalah data debit Sungai Cipasauran tahun 2007-2010, data digital elevation model (DEM) dengan
resolusi 30 m, data klimatologi Stasiun Iklim Serang 1996-2009, peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat
tahun 1966 dengan skala 1:250,000, dan data landuse DAS Cipasauran skala 1:25,000 dari Citra
Landsat 7 ETM+ tahun 2010.
Pada penelitian ini analisis SWAT dilakukan dengan menggunakan MWSWAT 1.7. Pada
simulasi ini, dilakukan 4 proses, diantaranya adalah proses delineasi DAS, pembentukan hydrological
response unit (HRU), pengolahan data dan simulasi SWAT, dan proses visualisasi. Pada pelaksanaan
penelitian, digunakan threshold sebesar 0.5 km2, sehingga terbentuk DAS dengan total luas
38.87.km2, dan diperoleh 1616 HRU. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil kalibrasi
harian dan bulanan menunjukkan bahwa 84% dan 83% data observasi berpotongan dengan luasan
grafik 95PPU, dengan nilai p-factor harian dan bulanan sebesar 0.84 dan 0.83. Dengan demikian
model hasil kalibrasi dikatakan valid, meskipun nilai R2 dan nilai NS yang didapat kurang baik.
Dengan menggunakan model SWAT yang telah divalidasi, diperoleh nilai debit harian di DAS
Cipasauran yang berkisar dari 0 - 3.309 m3/dt, sedangkan nilai debit bulanan DAS Cipasauran berkisar
dari 0.648 - 3.266 m3/dt. Dengan demikian kebutuhan air baku harian dan bulanan dapat terpenuhi
sebesar 98.22% dan 100%.

iii
ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MENGGUNAKAN MODEL
SWAT PADA DAS CIPASAURAN, BANTEN

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNIK
pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
MAULANA IBRAHIM RAU
F44080038

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

iv
Judul Penelitian : Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT
Pada DAS Cipasauran, Banten
Nama : Maulana Ibrahim Rau
NIM : F44080038
Departemen : Teknik Sipil dan Lingkungan

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS
NIP. 19580527 198103 2 001 NIP. 19561025 198003 1 003

Mengetahui :
Ketua Departemen,

Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS


NIP. 19561025 198003 1 003

Tanggal Ujian: 20 Juli 2012 Tanggal Lulus:

v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Debit
Sungai Dengan Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten adalah hasil
karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam
bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012


Yang membuat pernyataan

Maulana Ibrahim Rau


F44080038

vi
© Hak cipta milik Maulana Ibrahim Rau, tahun 2012
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,
baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

vii
BIODATA PENULIS

Maulana Ibrahim Rau lahir di Bogor pada 8 Desember 1990 dari


ayah Afriadi dan ibu Fadliah. Penulis merupakan putra pertama dari dua
bersaudara. Penulis memulai pendidikan di Daceyville Public School
Sydney - Australia (1997-1998), lalu di SD Bina Insani Bogor (1998-2002),
dan dilanjutkan di SMP Bina Insani Bogor (2002-2005). Penulis lulus dari
SMA Bina Insani Bogor pada tahun 2008. Penulis diterima di IPB melalui
jalur USMI di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas
Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam
berbagai kegiatan organisasi seperti menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan
Lingkungan (HIMATESIL), sebagai anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya SIL (PSDS)
(2009/2010) dan sebagai anggota Departemen Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
(2010/2011). Selain itu juga menjadi anggota Oryza Baseball dan Softball IPB, serta anggota Music
Agricultural Expression (Max!!). Penulis juga aktif dalam kepanitiaan seperti menjadi Ketua Panitia
Diskusi Umum HIMATESIL 2011 dan Ketua Logistik dan Transportasi PONDASI 2010. Adapun
kompetisi ilmiah yang pernah diikuti oleh penulis antara lain Lomba Inovasi Teknologi Lingkungan
yang diadakan oleh ITS (2011), serta Lomba Desain Rumah Ramah Lingkungan Nasional (Eco-House
Design Competition II) yang diadakan oleh UGM (2011). Penulis melaksanakan Praktik Lapangan
pada tahun 2011 di PT Krakatau Tirta Industri dengan judul "Perkiraan Pertambahan Limpasan Pada
Waduk Krenceng di Cilegon, Banten". Untuk menyelesaikan program sarjana, penulis melakukan
penelitian dan menyusun skripsi berjudul "Analisis Debit Sungai Dengan Menggunakan Model
SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten" yang dibimbing oleh Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA dan
Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS.

viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul Analisis Debit Sungai Dengan
Menggunakan Model SWAT Pada DAS Cipasauran, Banten ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik pada Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas
Teknologi Pertanian IPB.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan skripsi ini, diantaranya adalah:
1. Bapak, Ibu, Adik, dan keluarga besar yang telah memberikan dukungan serta bimbingannya, baik
berupa moral maupun material.
2. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA dan Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, MS selaku dosen pembimbing
akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, solusi, dan seluruh bantuannya dalam
penyelesaian skripsi.
3. Bapak M Budi Saputra, ST, M.Eng selaku Kepala Dinas Air Baku PT. Krakatau Tirta Industri,
Bapak M. Nashir, ST serta seluruh karyawan PT. Krakatau Tirta Industri yang telah memberikan
bantuan, bimbingan dan motivasi selama pelaksanaan penelitian.
4. Fransisca Hicca Karunia, Joan Kartini Rossi, dan Sekar Dwi Rizki, sebagai teman satu bimbingan,
atas motivasi dan dukungannya.
5. Yanuar Chandra, Haska A. Pradana, Andri B. Wicaksono, Amanda D. Pulungan, Nina Tri Lestari,
sebagai teman satu lokasi penelitian atas kerjasamanya, serta teman-teman Teknik Sipil dan
Lingkungan angkatan 45 yang senantiasa memberikan semangat.

Pada penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan diperlukan perbaikan guna
pencapaian hasil yang lebih baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi
yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Juli 2012

Penulis

ix
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... ix


DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................ xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................................xiii
I. PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................................................... 1
1.2 TUJUAN PENELITIAN ....................................................................................................... 2
II.TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 3
2.1 DEBIT SUNGAI ................................................................................................................... 3
2.2 PENGGUNAAN LAHAN ................................................................................................... 4
2.3 GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM (GIS) ................................................................. 4
2.4 SOIL AND WATER ASSESSMENT TOOLS (SWAT) ........................................................... 5
III.METODOLOGI PENELITIAN ................................................................................................. 11
3.1 WAKTU DAN TEMPAT................................................................................................... 11
3.2 ALAT DAN BAHAN ........................................................................................................ 11
3.3 METODE PELAKSANAAN ............................................................................................. 12
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................................................. 16
4.1 KONDISI DAS CIPASAURAN ........................................................................................ 16
4.2 PENGGUNAAN LAHAN ................................................................................................. 17
4.3 ANALISIS SWAT ............................................................................................................. 20
4.4 KALIBRASI DAN VALIDASI ........................................................................................ 25
4.5 ANALISIS DEBIT SUNGAI ............................................................................................ 28
V.KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................... 30
5.1 KESIMPULAN .................................................................................................................. 30
5.2 SARAN ............................................................................................................................ 30
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 31
LAMPIRAN .................................................................................................................................... 33

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. File data input pada SWAT untuk analisis hidrologi ........................................................ 13
Tabel 2. Sebaran tutupan lahan pada DAS Cipasauran ................................................................... 19
Tabel 3. Nilai matriks konfusi untuk setiap penggunaan lahan ....................................................... 20
Tabel 4. Nilai akurasi untuk setiap penggunaan lahan .................................................................... 20
Tabel 5. Parameter dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi ................................ 26
Tabel 6. Nilai statistik hasil penelitian ............................................................................................ 28

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema siklus hidrologi .................................................................................................. 3


Gambar 2. Representasi fase lahan pada siklus hidrologi dalam model SWAT ............................. 6
Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan
ketidakpastian hasil prediksi .......................................................................................... 9
Gambar 4. Peta lokasi DAS Cipasauran ........................................................................................ 11
Gambar 5. Diagram alir pelaksanaan penelitian ............................................................................ 15
Gambar 6. Lokasi perencanaan Bendung Cipasauran ................................................................... 16
Gambar 7. Peta DAS Cipasauran dengan outlet Bendung Cipasauran .......................................... 17
Gambar 8. Peta sebaran tanah DAS Cipasauran............................................................................ 18
Gambar 9. Peta sebaran penggunaan lahan DAS Cipasauran ....................................................... 19
Gambar 10. Peta hasil delineasi DAS Cipasauran ........................................................................... 21
Gambar 11. Peta sebaran kemiringan DAS Cipasauran .................................................................. 22
Gambar 12. Peta HRU DAS Cipasauran ......................................................................................... 23
Gambar 13. Fluktuasi debit harian observasi dan hasil simulasi ..................................................... 24
Gambar 14. Fluktuasi debit bulanan observasi dan hasil simulasi .................................................. 25
Gambar 15. Grafik hasil kalibrasi debit harian DAS Cipasauran .................................................... 27
Gambar 16. Grafik hasil kalibrasi debit bulanan DAS Cipasauran ................................................. 27
Gambar 17. Grafik hubungan debit harian terkalibrasi dengan kebutuhan air baku ....................... 29
Gambar 18. Grafik hubungan debit bulanan terkalibrasi dengan kebutuhan air baku ..................... 29

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Parameter SWAT untuk file .gw, .bsn, .mgt, .hru, .sol, .sub, dan .rte ......................... 34
Lampiran 2. Tata letak DAS Cipasauran, Waduk Krenceng, PT KTI, dan Proyek PT
Krakatau POSCO........................................................................................................ 38
Lampiran 3. Parameter, range, dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi
harian .......................................................................................................................... 39
Lampiran 4. Parameter, range, dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi
bulanan ....................................................................................................................... 40
Lampiran 5. Lokasi pos hujan dan stasiun iklim di DAS Cipasauran ............................................. 41
Lampiran 6. Grafik curah hujan harian Pos Padarincang dan Anyer tahun 2007............................ 42
Lampiran 7. Grafik curah hujan harian Pos Padarincang dan Anyer tahun 2008............................ 43
Lampiran 8. Grafik curah hujan harian Pos Padarincang dan Anyer tahun 2009............................ 44
Lampiran 9. Grafik curah hujan harian Pos Padarincang dan Anyer tahun 2010............................ 45

xiii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini pertumbuhan penduduk merupakan hal yang patut diperhatikan.
Meningkatnya jumlah penduduk memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap
pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi tersebut terjadi dikarenakan pertumbuhan
kuantitas dalam sektor industri maupun domestik yang semakin besar, di mana kegiatan ini dapat
menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan. Penurunan nilai kualitas lingkungan ini akan
memberikan dampak yang besar terhadap sistem hidrologi DAS pada suatu wilayah. Penurunan
nilai kualitas lingkungan dapat terjadi karena adanya pencemaran wilayah perairan, lahan kritis,
erosi serta kerusakan alam lainnya. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan daerah yang
dibatasi punggung gunung di mana air hujan yang jatuh akan ditampung dan dialirkan melalui
sungai kecil menuju sungai utama. DAS memberikan pengaruh yang besar terhadap kebutuhan
air baku suatu daerah, sehingga dalam pengelolaannya dibutuhkan perencanaan yang sebaik
mungkin. Air baku merupakan air yang dibutuhkan dalam proses produksi maupun air untuk
kebutuhan sehari-hari yang pada umumnya berasal dari air hujan, air danau, air tanah, dan air
sungai.
Cilegon merupakan kota yang terletak di wilayah Barat Pulau Jawa di mana
kawasan industri mencakup 20% dari seluruh wilayah kota dan kontribusi dari sektor industri
mencapai ±64% terhadap pembangunan ekonomi. Pada tahun 1992 Kota Cilegon memiliki
penduduk sebanyak 232,248 jiwa, sedangkan pada tahun 2002 meningkat menjadi 309,097 jiwa.
Pertumbuhan jumlah penduduk yang mencapai 2.64%/tahun mengakibatkan kebutuhan air baku
juga meningkat. PT Krakatau Tirta Industri (PT KTI) merupakan salah satu perusahaan di
Kawasan Cilegon yang menyediakan air bersih dengan kapasitas terpasang sebesar 2,000 lt/dt.
Pasokan air diperoleh dari Sungai Cidanau yang mengalir pada DAS Cidanau, yang kemudian
ditampung di Waduk Krenceng. Waduk ini berfungsi dalam menampung air, untuk kemudian
diambil dan diolah oleh PT KTI. Sebagai salah satu perusahaan penyedia air baku, PT KTI
memiliki kontribusi yang besar dalam penyediaan air di seluruh wilayah Cilegon, termasuk
untuk kebutuhan domestik (rumah tangga).
Selain permintaan jumlah air yang besar pada kawasan non industri, permintaan
pasokan air baku dari sektor industri juga terus meningkat. Saat ini telah dibangun berbagai
industri baru di kawasan industri Cilegon seperti PT Cerestar, PT Indoferro dan industri lainnya
di Kawasan Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC), yang akan membutuhkan pasokan air
bersih tambahan. Selain itu, PT Krakatau Steel merencanakan pembangunan fasilitas baru berupa
Blast Furnace Complex dengan kapasitas 1.2 juta ton/tahun, dan pembangunan pabrik baru serta
integrated steel mill (ISM), bekerja sama dengan Pohang Iron Steel Corporation (POSCO).
Seluruh proyek pembangunan dan pengembangan ini akan membutuhkan pasokan air, listrik,
dan kegiatan logistik yang besar.

1
Kapasitas produksi air baku PT KTI sebesar 2,000 lt/dt belum mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan air bersih seluruh sektor di Cilegon. Pada musim kering debit Sungai
Cidanau hanya sebesar 1,375 lt/dt, sehingga air bersih yang dapat diproduksi sepanjang tahun
tidak lebih dari 1,375 lt/dt. Jika memperhitungkan air baku yang tersimpan di Waduk Krenceng,
maka Sungai Cidanau dan Waduk Krenceng saat ini hanya dapat menyediakan air baku sebanyak
1,515 lt/dt, sedangkan yang dibutuhkan ±2,100 lt/dt. Untuk menanggulangi kekurangan air baku
sebesar ±600 lt/dt, maka PT KTI melakukan berbagai alternatif penambahan air yang
memungkinkan, diantaranya adalah dengan menambah pengambilan air di DAS Cipasauran.
Tata letak DAS Cipasauran, Waduk Krenceng, PT KTI, dan Proyek PT Krakatau POSCO
disajikan pada Lampiran 2.
DAS Cipasauran merupakan salah satu DAS yang berada di Provinsi Banten yang
terletak pada 06° 13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT. DAS ini
memiliki luas sebesar 44 km² dengan panjang Sungai Cipasauran sebesar 15.5 km. Sebagai DAS
yang akan digunakan untuk penyediaan air baku, diperlukan informasi mengenai hubungan
antara ketersediaan air baku dengan analisis debit sungai. Informasi mengenai ketersediaan air
baku merupakan informasi hidrologi yang penting dilakukan dalam pengembangan sumber daya
air. Analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satunya adalah dengan
melakukan pemodelan.
Saat ini berbagai negara termasuk Indonesia mengalami kendala dalam melakukan
perancangan model. Kendala yang dihadapi antara lain berupa kurangnya dana dan tenaga yang
berpengalaman, kurangnya pelatihan, dan ketergantungan pada ahli yang berasal dari luar negeri
(Chang, 2004). Model pengelolaan DAS dapat dilakukan dengan berbagai cara dan salah satu
cara yang cukup teliti dan cermat adalah dengan menggunakan geographic information system
(GIS). Terdapat berbagai macam perangkat lunak GIS yang dapat digunakan untuk
memperhitungkan dan mengkaji kondisi hidrologi serta perubahan tata guna lahan suatu
wilayah.Salah satu software tersebut adalah Soil and Water Assessment Tools (SWAT).
SWAT merupakan perangkat lunak yang terintegrasi di dalam MapWindows GIS,
dan merupakan perangkat lunak yang bersifat terbuka (open source) sehingga telah
dikembangkan dan digunakan secara luas di berbagai negara. Dengan menggunakan data yang
relevan dan representatif, SWAT dapat digunakan untuk melakukan analisis debit sungai suatu
DAS suatu wilayah. Untuk penggunaan model SWAT di Indonesia, terlebih dahulu perlu
dilakukan kalibrasi dan validasi sesuai dengan ketersediaan data, agar hasil yang diperoleh dapat
sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan. Proses ini dibutuhkan karena setiap DAS
memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Relevansi model dengan keadaan yang sebenarnya
dievaluasi dengan memperhitungkan standar deviasi dan efisiensi model.

1.2 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah melakukan analisis debit sungai dengan menggunakan
model SWAT untuk memperkirakan ketersediaan air baku di DAS Cipasauran.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Debit Sungai
Gerakan air di permukaan bumi dapat ditelusuri melalui siklus hidrologi, yang
mencakup penguapan air dari permukaan bumi ke atmosfer kemudian kembali lagi ke
permukaan tanah dan ke laut (Gambar 1). Dalam pergerakannya tersebut, air akan tertahan di
sungai, danau/waduk, maupun dalam tanah, sehingga dapat dimanfaatkan oleh manusia serta
makhluk hidup lainnya.
Dalam siklus hidrologi, energi panas matahari menyebabkan terjadinya proses
evaporasi dan evapotranspirasi. Uap air tersebut akan terbawa oleh angin dan kemudian naik ke
atmosfer serta mengalami kondensasi. Apabila keadaan atmosfer memungkinkan, maka air akan
turun kembali ke bumi sebagai hujan. Air yang turun sebagai hujan dapat tertahan oleh tajuk
vegetasi maupun bangunan. Sebagian dari air hujan tersebut akan tertahan pada permukaan tajuk
tanaman sedangkan sebagian sisanya ada yang jatuh langsung ke permukaan tanah, danau,
sungai dan laut, yang nantinya akan menguap kembali ke atmosfer dan mengalami proses yang
sama (Asdak 1995).

Gambar 1. Skema siklus hidrologi (NWS 2009)

Dalam proses hidrologi, aliran air sungai terbentuk dari beberapa sumber air yang
berada pada bukit atau gunung. Bukit dan gunung merupakan daerah penyerap dan penyimpan
cadangan air yang berasal dari air hujan. Cadangan air yang diserap tersebut masuk ke dalam
tanah dan batuan. Karena volume air tersimpan dalam jumlah besar, air keluar ke permukaan
melalui tekuk lereng. Air yang keluar tersebut kemudian mengalir pada permukaan yang

3
kemudian menjadi sungai. Aliran ini mengalir ke permukaan yang memiliki ketinggian lebih
rendah, sesuai dengan sifat air yang mengalir dari tempat dengan tempat tinggi ke rendah. Saat
dilakukan pengukuran tinggi permukaan air oleh alat ukur, diperoleh debit sungai. Debit sungai
merupakan laju aliran air (volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per
satuan waktu, di mana satuan besaran debit dalam satuan internasional adalah meter kubik per
detik (m3/dt).

2.2 Penggunaan Lahan


Penggunaan lahan (land use) merupakan campur tangan manusia terhadap kondisi
lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material
maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian
dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan
lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu, dikenal berbagai macam penggunaan lahan seperti
sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan, dan hutan. Penggunaan lahan
bukan pertanian dapat dibedakan menjadi penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri,
rekreasi, dan sebagainya (Arsyad 2006).
Klasifikasi penggunaan lahan dilakukan berdasarkan aturan yang berlaku. Pada
setiap proses klasifikasi, suatu kesimpulan dapat memiliki pertimbangan yang valid maupun
tidak. Hal ini memungkinkan untuk menduga label yang paling mendukung untuk penentuan
kelas. Aturan ini disebut endorsement (pengesahan) (Richards 1993). Dalam penentuan akurasi
klasifikasi, nilai evaluasi dapat dihitung dengan martriks kontingensi atau matriks konfusi.
Ukuran akurasi yang dapat dihitung oleh matriks ini adalah overall accuracy, producer’s
accuracy, user’s accuracy, dan kappa accuracy.
Producer’s accuracy merupakan probabilitas suatu area yang diklasifikasikan
dengan benar, serta menunjukkan ketepatan setiap kelas telah diklasifikasi di lapangan. Jika
suatu area di lapangan tidak diklasifikasikan dengan benar, ukuran ini dapat digunakan pula
untuk menghitung rata-rata kesalahan omisi (omission error). User’s accuracy adalah
probabilitas rata-rata suatu area dari citra yang telah diklasifikasi secara aktual, serta mewakili
setiap kelas tersebut di lapangan. Ukuran ini dapat digunakan dalam menghitung nilai rata-rata
dari kesalahan komisi (commission error) jika suatu area salah terklasifikasi di lapangan. Overall
accuracy adalah akurasi yang membandingkan jumlah total area yang diklasifikasikan dengan
benar terhadap jumlah total area observasi, sedangkan kappa accuracy merupakan ketepatan
yang dihasilkan oleh klasifikasi secara acak (Arhatin 2007).

2.3 Geographic Information System (GIS)


Geographic Information System (GIS) atau Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan sistem yang memberikan banyak bantuan terhadap informasi keruangan. GIS
merupakan suatu sistem yang dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, mengubah,

4
memanipulasi, menganalisis, menampilkan, dan mengeluarkan data yang berhubungan dengan
fitur-fitur geografis. Sistem ini tidak hanya meliputi penggunaan perangkat lunak dan keras,
tetapi juga database yang diperlukan atau dikembangkan dan personal yang mengerjakan
(Bettinger dan Wing 2004). Software Sistem Informasi Geografis (SIG) banyak digunakan
karena penggunaannya lebih mudah dan akurat jika dibandingkan dengan metode konvensional.
Aplikasi GIS digunakan dalam berbagai keperluan informasi keruangan, selama data
yang digunakan memiliki referensi geografi. Pada pelaksanaannya, GIS digunakan untuk
melakukan pengolahan data peta digital yang memiliki sistem koordinat sendiri. Sistem
koordinat merupakan pendefinisian suatu titik awal dari pembuatan peta. Sistem koordinat di
Indonesia terdiri dari sistem koordinat geografis dan sistem koordinat Universal Transverse
Mecator (UTM). Kedua sistem koordinat tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama
lain. Pada koordinat geografis, bumi dibagi menurut garis khayal yang biasa disebut dengan garis
lintang (latitude/paralell) dan garis bujur (longitude/meridian). Pada sistem koodinat UTM
permukaan bumi dibagi ke dalam 60 bagian zona bujur dan setiap zona dibatasi oleh 2 meridian
selebar 6° yang memiliki meridian tengah sendiri. Zona 1 sampai 60 dimulai dari 180°-174°,
174°-168° BB dan seterusnya, sampai 174°-180° BT. Pada wilayah Indonesia terdapat sembilan
zona yaitu zona 46-54 (Gandasasmita et al 2003).
GIS memiliki 2 jenis data yang berbeda, yaitu data vektor dan data raster. Data vektor
merupakan data yang tidak memiliki bentuk dan ketentuan, di mana data ini terbagi menjadi 3
bagian yaitu point, line, dan polygon. Data vektor menggunakan koordinat x dan y dalam
menampilkan data spasial (Chang 2004). Data raster merupakan informasi data yang terdiri dari
satuan piksel yang memiliki kolom serta baris tertentu, seperti data hasil citra satelit maupun
Digital Elevation Model (DEM). Data raster merupakan hal penting dalam penerapan GIS.

2.4 Soil and Water Assessment Tools (SWAT)


SWAT adalah model yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold pada awal tahun 1990-
an untuk pengembangan Agricultural Research Service (ARS) dari USDA. Model tersebut
dikembangkan untuk melakukan prediksi dampak dari manajemen lahan pertanian terhadap air,
sedimentasi, dan jumlah bahan kimia, pada suatu area DAS yang kompleks dengan
mempertimbangkan variasi jenis tanahnya, tata guna lahan, serta kondisi manajemen suatu DAS
setelah melalui periode yang lama. SWAT merupakan hasil gabungan dari beberapa model,
diantaranya adalah Simulator for Water Resources in Rural Basin (SWWRRB), Chemical,
Runoff and Erosion from Agricultural Management System (CREAMS), Groundwater Loading
Effect an Agricultural Management System (GREAMS), dan Erosion Productivity Impact
Calculator (EPIC) (Neitsch et al 2004).
Model ini memungkinkan untuk diterapkan dalam berbagai analisis serta simulasi
suatu DAS, sehingga agar menghasilkan output yang baik, model SWAT melakukan simulasi
berdasarkan beberapa hal, diantaranya adalah:

5
Gambar 2. Representasi fase lahan pada siklus hidrologi dalam model SWAT (Neitsch et al
2004)
1. Menjalankan proses secara fisik, yaitu menghasilkan output berdasarkan informasi yang
spesifik mengenai iklim, karakteristik tanah, topografi, vegetasi, dan manajemen lahan pada
suatu DAS. Hal ini memungkinkan model SWAT dalam memodelkan DAS walaupun tanpa
data observasi, serta dapat menghitung pengaruh alternatif data input, seperti perubahan
penggunaan lahan, data iklim, dan lainnya.
2. Menggunakan input yang telah tersedia, saat SWAT akan digunakan untuk melakukan proses
analisa yang lebih spesifik maka diperlukan tambahan data yang diperoleh dari instansi
penelitian pemerintah.
3. Menggunakan perhitungan dengan proses yang lebih efisien, sehingga dalam melakukan
simulasi DAS yang luas serta dengan banyak strategi pengelolaan dapat menghemat waktu
dan materi.
4. Memungkinkan untuk dapat melakukan penelitian untuk dampak dalam jangka waktu yang
lama.
Dalam menjalankan setiap analisis hidrologi, SWAT menggunakan neraca air sebagai
dasar permodelan. Siklus hidrologi yang digunakan oleh SWAT dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida dalam pengisian
saluran utama pada masing-masing sub basin.
2. Fase air yang berupa pergerakan air, sedimen, dan lainnya melalui jaringan sungai pada DAS
menuju outlet. Skema fase lahan pada siklus hidrologi dan persamaan neraca air yang
digunakan dalam model SWAT dapat dilihat pada Gambar 2 dan persamaan (1).

6
∑ ...... (1)

Keterangan:

: Kandungan akhir air tanah (mm)


: Kandungan air tanah awal pada hari ke-i (mm)
: Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm)
: Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm)
: Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm)
: Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah hari ke-i (mm)
: Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)
Dalam mengestimasikan aliran permukaan (Qsurf), SWAT menggunakan dua buah
metode, yaitu SCS curve number (CN) dan infiltrasi Green and Ampt. Berdasarkan volume
aliran permukaan dan puncaknya, dilakukan simulasi pada setiap HRU (Hydrology Response
Units). SCS curve number merupakan fungsi dari permeabilitas tanah, tata guna lahan, dan
kondisi air tanah. Persamaan SCS curve number disajikan pada persamaan (2) (Neitsch et al
2004).

...... (2)
( )

Keterangan:

: Curah hujan per hari (mm)


: retention parameter (mm)

( )...... (3)

Besarnya laju Wseep, dan Qgw dihitung dengan persamaan (4), dan (5) (Neitsch et al
2004):
..... (4)
Keterangan:

: Total air yang berada di bawah tanah pada hari ke-i (mm)
: Jumlah air perkolasi yang keluar dari lapisan terbawah (mm)
: Jumlah air yang mengalir melewati lapisan yang lebih bawah dari muka tanah
untuk mengalirkan aliran pada hari ke-i (mm)

...... (5)
Keterangan:

: Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)


µ : Specific yield dari akuifer dangkal (m/m)
: Konstanta resesi aliran mantap
: Tinggi muka air pada watertable (m)

7
Pada penentuan nilai evapotranspirasi, model SWAT melakukan perhitungan berdasarkan
tiga metode, yaitu metode Penman-Monteith , metode Priestley and Taylor, serta metode
Hargreaves. Metode Penman-Monteith merupakan salah satu metode perhitungan besar
evapotranspirasi potensial dari permukaan air terbuka maupun permukaan vegetasi. Model ini
membutuhkan lima parameter iklim, yaitu suhu, kelembaban relatif, kecepatan angin, tekanan
uap jenuh, dan radiasi netto. Persamaan Penman-Monteith disajikan pada persamaan (6).

[ ]
..... (6)

Keterangan:

E : Laju evaporasi (m s-1)


λE : Panas laten akibat densitas sinar matahari (MJ m-2 d-1)
Δ : Kemiringan pada kurva tekanan uap air jenuh-temperatur, de/dT (kPaoC-1)
Hnet : Radiasi yang mengenai permukaan (W m-2)
G : Kerapatan fluks panas ke tanah (MJ m-2 d-1)
cp : Kapasitas panas spesifik dari audara (J kg-1 K-1)
ρair : Densitas udara (kg m-3)
: Tingkat tekanan uap air jenuh di udara pada ketinggian z (kPa)
ez : Tekanan uap air di udara pada ketinggia z (kPa)
rc : Resistensi dari kanopi tanaman (s m-1)
gs : Difusi resistensi lapisan udara atau aerodynamic resistance (s m-1)
γ : Konstanta Psychrometri (γ ≈ 66 Pa K-1)

Soil and Water Assessment Tool - Calibration and Uncertainty Program atau SWAT-
CUP merupakan program komputer yang digunakan dalam melakukan kalibrasi model hidrologi
SWAT. SWAT-CUP memiliki empat buah program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan
SUFI2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas, kalibrasi, validasi,
dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. Pada penelitian ini, digunakan metode
kalibrasi SUFI2 atau Sequential Uncertainty Fitting version 2.
SUFI2 merupakan metode kalibrasi di mana ketidakpastian parameter masukan
digambarkan memiliki distribusi yang seragam. Berdasarkan ketidakpastian nilai output
tersebut, model dikalibrasi menggunakan metode 95% Prediction Uncertainty (95PPU). 95PPU
dihitung pada level 2.5% sampai 97.5% dari distribusi kumulatif variabel output menggunakan
Latin Hypercube Sampling. 95PPU menggambarkan luasan dari range parameter yang
digunakan. Jika data observasi bersinggungan dengan luasan grafik 95PPU, maka parameter
yang dimasukkan sesuai dengan karakteristik DAS yang ditinjau. Konsep analisis ketidakpastian
dari SUFI2 dapat dijelaskan lebih lanjut dengan grafik pada Gambar 3.

8
Gambar 3. Ilustrasi hubungan antara ketidakpastian parameter masukan dengan ketidakpastian
hasil prediksi
Gambar tersebut memberikan gambaran bahwa nilai tunggal parameter masukan
(diwakili oleh titik hitam) memberi pengaruh tunggal pada model yang diwakili oleh garis abu-
abu, yaitu model a. Kemudian peningkatan ketidakpastian pada nilai dan jumlah parameter
masukan (diwakili oleh garis hitam) mempengaruhi nilai output hasil 95PPU yang diilustrasikan
oleh luasan wilayah berwarna abu-abu pada model b. Ketika ketidakpastian pada parameter
masukan meningkat (diwakili oleh garis hitam yang semakin panjang), yaitu model c, maka
terjadi peningkatan pula ketidakpastian pada output yang dihasilkan 95PPU (diwakili oleh luasan
wilayah abu-abu yang semakin lebar). Perpotongan data hasil observasi di sepanjang luasan
95PPU menunjukkan bahwa range nilai parameter masukan kalibrasi sudah tepat atau valid. Jika
situasi pada model d terjadi, di mana data hasil observasi yang diwakili oleh garis merah tidak
berpotongan dengan luasan 95PPU, maka range nilai parameter masukan harus diubah,
sedangkan jika range nilai parameter masukan sudah sesuai dengan batas nilai fisik yang
diinginkan tetapi keadaan tersebut tetap terjadi, maka permasalahan yang terjadi bukan pada
parameter masukan kalibrasi tetapi konsep dari model yang harus dievaluasi.
Berdasarkan Gambar 3, model a memberikan gambaran bahwa nilai tunggal
parameter masukan menghasilkan respon nilai tunggal, sedangkan pada model b ketidakpastian
nilai parameter masukan menyebabkan ketidakpastian pada prediksi nilai output yang
digambarkan oleh 95PPU. Model c menggambarkan bahwa jika semakin besar nilai
ketidakpastian pada parameter masukan, maka semakin besar ketidakpastian pada output hasil
95PPU, sedangkan model d menggambarkan bahwa jika parameter masukan berada pada limit
nilai maksimum dan 95PPU tidak berpotongan dengan data hasil observasi, maka model harus
dievaluasi.
SUFI2 memulai proses kalibrasi dengan mengasumsikan besarnya ketidakpastian pada
parameter masukan, kemudian nilai ketidakpastian berkurang seiring dengan proses kalibrasi
hingga dua syarat terpenuhi. Syarat tersebut adalah jika sebagian besar data hasil observasi
berpotongan dengan luasan grafik 95PPU, serta selisih rata-rata antara batas atas (pada level
97.5%) dan batas bawah (pada level 2.5%) 95PPU kecil. Model dianggap valid jika 80-100%
data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik 95PPU, serta selisih antara batas atas dan
batas bawah 95PPU lebih kecil dari standar deviasi data hasil observasi.

9
SWAT-CUP dengan metode SUFI2 memiliki 3 bagian penting dalam melakukan
proses kalibrasi, diantaranya adalah calibration inputs, executable file, dan calibration outputs.
Calibration inputs merupakan bagian awal dari proses kalibrasi, yaitu pemasukan data. Bagian
ini terdiri dari Par_inf.txt, SUFI2_swEdit.def, File.Cio, dan Absolute_SWAT_Values.txt, serta sub
bagian pemasukan data, diantaranya adalah Observation, Extraction, Objective Function, dan No
Observation. Executable file merupakan bagian proses yang digunakan untuk melakukan
perintah kalibrasi, bagian ini terdiri dari SUFI2_pre.bat, SUFI2_run.bat, SUFI2_post.bat, dan
SUFI2_Extract.bat. Pada bagian calibration outputs dapat dilihat hasil dari proses kalibrasi yang
telah dilakukan. Bagian ini teridiri dari 95ppu plot, 95ppu No Observed plot, Dotty Plots,
Best_par.txt, Best_Sim.txt, Goal.txt, New_pars.txt, Summary_Stat.txt.
Pemilihan parameter dilakukan berdasarkan hal-hal yang terkait dengan limpasan
permukaan (surface runoff), limpasan bawah permukaan (subsurface runoff), aliran air bawah
tanah (groundwater flow), struktur tanah, dan tekstur tanah (Kohnke et al 1959).
Menurut Abbaspour (2008), hasil simulasi dengan metode SUFI2 yang dilakukan
merupakan indikasi dari grafik luasan 95PPU (95 Percentage Prediction Uncertainty), sehingga
diperlukan 2 pengukuran validitas lain, yaitu nilai p-factor dan r-factor. P-factor merupakan
persentase data observasi yang bersinggungan dengan grafik 95PPU. Nilai validitas ini
memberikan gambaran mengenai kemampuan hasil perhitungan melakukan pemilihan nilai,
sehingga jika nilai p-factor mendekati 1, maka nilai validitas tersebut semakin baik, di mana
model dianggap valid jika lebih dari 80% data hasil observasi berpotongan dengan luasan grafik
95PPU (p-factor > 0.8). Selain p-factor, r-factor merupakan nilai validitas yang perlu
diperhitungkan. R-factor menggambarkan kualitas kalibrasi yang mengindikasikan ketebalan
dari 95PPU. Nilai validitas ini dihitung berdasarkan rata-rata jarak antara nilai maksimum dan
minimum 95PPU yang dibagi dengan standar deviasi data observasi, sehingga jika nilai r-factor
mendekati 0, maka nilai semakin baik.

10
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan di PT Krakatau Tirta Industri dan DAS Cipasauran selama 3
bulan yaitu dari Maret hingga Mei 2012. Kawasan DAS Cipasauran secara geografis terletak
pada 06° 13’ 51” - 06° 17’ 33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT. Secara administratif
terletak di Provinsi Banten dengan luas 44 km2 (Gambar 4).

Sumber: Dinas Sumber Daya Air dan Pemukiman Provinsi Banten 2010
Gambar 4. Peta lokasi DAS Cipasauran
3.2 Alat dan Bahan
Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah peta tanah tinjau dengan skala
1:250,000, peta DEM (Digital Elevation Model) dengan resolusi 30 meter, dan citra landsat TM.
Data penunjang lainnya adalah debit sungai, data aliran sungai, data curah hujan, serta data fisik
tanah dan bilangan kurva.
Alat yang diperlukan diantaranya adalah perangkat komputer dengan kebutuhan
minimum sebagai berikut:
1. Komputer desktop atau laptop dengan prosesor Intel Pentium I dengan clock 166 MHz.
2. RAM dengan kapasitas 64 MB.
3. Sistem operasi Microsoft Windows 95, 98, NT 4.0, XP, 7 atau Win2000 dengan kernel patch
terbaru.
4. Adapter VGA dan monitor.
5. Kapasitas harddisk minimum untuk instalasi sebesar 300 MB
6. Software yang terinstal, diantaranya adalah Microsoft Office 2010, MapWindows 4.6.6
dengan plug-in MWSWAT 1.7, ArcView 3.2, ERDAS Imagine 9.1, SWAT Plot and Graph,
dan SWAT-CUP.

11
3.3. Metode Pelaksanaan
Penelitian dilakukan melalui 2 tahapan, yaitu tahap pengumpulan data dan tahap
analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait yang akan
digunakan pada proses analisis. Data yang diperlukan pada penelitian ini di antara lain:
1. Data Debit Sungai Cipasauran tahun 2007-2010 dari PT Krakatau Tirta Industri.
2. Data Digital Elevation Model (DEM) dari ASTER Global DEM V2 untuk wilayah
Cipasauran dengan resolusi 30 x 30 m.
3. Data klimatologi Stasiun Iklim Serang 1996-2009.
4. Data landuse DAS Cipasauran skala 1:25,000 dari Citra Landsat 7 ETM+ tahun 2010.
5. Peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat tahun 1966 dengan skala 1:250,000 dari Lembaga
Penelitian Tanah.
6. Kebutuhan air penduduk dan industri dari PT Krakatau Tirta Industri.
Analisis debit aliran sungai DAS Cipasauran dilakukan dengan menggunakan model
SWAT. Data input berupa karakteristik tanah, iklim, tata guna lahan, dan hidrologi yang telah
disiapkan pada proses pengumpulan data dimasukkan ke dalam data input file. Tahapan kegiatan
analisis yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Delineasi Daerah Observasi
Proses delineasi menggunakan data DEM SRTM dengan resolusi 30 meter yang
diolah menggunakan perangkat lunak MapWindows. Daerah observasi akan didelineasi
berdasarkan batas topografi alami DAS. Metode yang digunakan dalam proses delineasi
adalah metode threshold, di mana besar kecil nilai threshold yang digunakan akan
menentukan jumlah jaringan sungai yang terbentuk.

2. Pembentukan HRU (Hydrological Response Unit)


HRU adalah unit satuan lahan dengan unsur karakteristik sub DAS yang
berpengaruh terhadap terjadinya erosi. Setiap HRU akan memiliki informasi sub DAS,
nomor HRU, jenis penutupan lahan, jenis tanah, dan luas HRU. HRU didapatkan dari overlay
peta tanah dan peta penggunaan lahan.
Pembuatan HRU terdiri dari interval slope, peta raster landuse dan peta raster tanah
format sistem koordinat proyeksi UTM, dan threshold dari presentase total luasan landuse
10%, jenis tanah sebesar 5%, dan slope sebesar 5%.

3. Penggabungan HRU dengan Data Iklim


Proses penggabungan HRU dan data iklim dilakukan setelah satuan analisis
terbentuk. Pada tahap ini ditentukan periode simulasi terlebih dahulu untuk kemudian
dilakukan pemasukan data iklim.

4. Simulasi
Proses simulasi dilakukan setelah proses penggabungan HRU dengan data iklim.
Persamaan yang digunakan di dalam simulasi SWAT untuk melakukan prediksi aliran

12
permukaan adalah metode SCS Curve Number. Analisis SCS curve number dilakukan
dengan menggunakan persamaan (2) dan (3).

Tabel 1. File data input pada SWAT untuk analisis hidrologi

Nama file Fungsi


CIO File untuk mengontrol data input dan output
COD Mengontrol file input dan output
FIG Mengidentifikasi jaringan hidrologi sungai
BSN Mengontrol keragaman parameter di tingkat DAS
SUB Mengontrol keragaman parameter di tingkat Sub DAS
HRU Mengontrol keragaman parameter di tingkat HRU
GW File air bawah tanah
RTE File pergerakan air, sedimen, hara, dan pestisida
CROP File parameter tumbuh tanaman
URBAN File data lahan terbangun atau urban area
PCP File data curah hujan harian
TMP File temperatur udara maksimum dan minimum harian
SLR File radiasi matahari harian
HMD File kelembaban udara harian
WGN File data generator iklim
SOL File data tanah
MGT File pengelolaan dan penutupan lahan
Sumber: Neitsch et al 2004

5. Kalibrasi
Dalam input model SWAT, terdapat 500 parameter yang digunakan dalam
simulasi. Tetapi parameter tersebut tidak seluruhnya dapat digunakan karena adanya
keterbatasan waktu dan data. Pemilihan parameter yang dominan dilakukan hingga
didapatkan hasil yang mendekati kondisi sebenarnya.
Metode statistik yang digunakan dalam melakukan kalibrasi dan validasi adalah
model koefisien determinasi (R2) dan model efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang
direkomendasikan oleh The American of Civil Engineers (Ahl et al 2008). Persamaan model
yang digunakan adalah persamaan (6) dan persamaan (7).

∑ ̅ ̅
[ ] ..... (6)
√∑ ̅ ∑ ̅

∑ ̅
[∑ ̅
] ..... (7)

adalah debit observasi (m3/dt), adalah debit hasil simulasi (m3/dt),


̅ adalah debit simulasi rata-rata (m3/dt), sedangkan ̅ adalah debit observasi rata-

13
rata (m3/dt). Dalam kriterianya, simulasi dianggap baik jika nilai NS > 0.75, memuaskan jika
0.36 < NS < 0.75, serta kurang baik jika NS < 0.36.

6. Parameterisasi Input Simulasi


Parameterisasi yang dilakukan dalam simulasi menggunakan SWAT-CUP.
Langkah-langkah dalam pengoperasian SWAT-CUP adalah sebagai berikut:
1. Setelah program telah dilakukan instalasi, masukan SWAT TxInOut directory dipilih
sebagai sumber data untuk proyek baru.
2. Kemudian dipilih satu program kalibrasi yang tersedia (SUFI2, GLUE, ParaSol, MCMC).
3. Setelah proyek diberi nama, lokasi penyimpanan file proyek ditentukan.
4. Pada tampilan project explorer window terdapat menu masukan kalibrasi yang berisi data
parameter yang akan dikalibrasi. Menu kalibrasi tersebut merupakan parameter yang akan
diteliti.
5. Setelah nilai parameter diubah, proses kalibrasi dijalankan dengan tombol execute pada
tool bar.

Nilai parameter dalam bentuk range dimasukkan pada proses kalibrasi. Nilai
parameter tersebut akan disimulasikan oleh SWAT-CUP dengan melakukan simulasi pada
tiap nilai parameter yang terdapat pada nilai absolut dalam SWAT-CUP. Kemudian hasil
tersebut dibandingkan dengan data observasi, serta dilihat pula besar nilai perpotongan antara
hasil simulasi dengan data di lapangan. Model dianggap valid jika data hasil observasi
berpotongan dengan luasan grafik 95PPU sebesar 80% (p-factor > 0.8) (Abbaspour 2008).

7. Simulasi dengan SWAT Terkalibrasi


Setelah model SWAT terkalibrasi sesuai dengan data aktual DAS, dilakukan analisis
kesesuaian antara ketersediaan air terhadap kebutuhan air baku. Analisis yang dilakukan
adalah dengan melakukan perbandingan antara debit hasil prediksi model SWAT terkalibrasi
dengan kebutuhan air PT Krakatau Industri dari DAS Cipasauran.

14
Mulai

Pengumpulan dan persiapan


data (data karakteristik tanah,
Analisis spasial iklim, tata guna lahan, dan
hidrologi DAS)

Kondisi
penggunaan lahan
Simulasi SWAT

tidak
ya
Kalibrasi
dan
Evaluasi klasifikasi Validasi
penggunaan lahan
(overall accuracy
dan kappa accuracy
> 85%)
tidak
NS > 0.75
(baik) atau 0.36
< NS < 0.75
(memuaskan)

ya

Simulasi SWAT
terkalibrasi

Kebutuhan
Output Debit
air baku

Gambar 5. Diagram alir pelaksanaan penelitian

15
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi DAS Cipasauran
Daerah Aliran Sungai Cipasauran secara geografis terletak pada 06° 13’ 51” - 06° 17’
33” LS dan 105° 49’ 50” - 105° 56’ 40” BT, dan termasuk dalam zona 48 UTM. DAS
Cipasauran secara keseluruhan memiliki luas sebesar 44 km² yang berjarak ±35 km dari Kota
Serang, di mana keadaan topografi didominasi dengan pegunungan pada wilayah timur dan
dataran rendah pada wilayah barat. Wilayah Utara DAS meliputi Desa Umbul Tanjung dan Desa
Pasauran, wilayah selatan meliputi Desa Jiput, Desa Pejanten, Desa Sukacai, dan Gunung
Asseupan, wilayah barat meliputi Selat Sunda, sedangkan wilayah timur meliputi Gunung
Asseupan. Peta lokasi DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 4.
Pada penelitian ini, lokasi perencanaan Bendung Cipasauran digunakan sebagai outlet,
yang berlokasi pada 6°13'41.57" LS dan 105° 50' 25.20" BT. Penempatan outlet pada lokasi
perencanaan bendung menghasilkan luasan DAS yang lebih sempit karena lokasi tersebut berada
±1.4 km dari wilayah hilir di laut, yaitu sebesar 38.87 km2. Penempatan outlet pada lokasi
perencanaan Bendung Cipasauran dilakukan karena debit sungai yang dianalisis diharuskan
berada pada lokasi pengambilan air, sehingga data debit sungai dapat dibandingkan dengan
informasi ketersediaan air baku.

Gambar 6. Lokasi perencanaan Bendung Cipasauran

16
Gambar 7. Peta DAS Cipasauran dengan outlet Bendung Cipasauran

4.2 Penggunaan lahan


Berdasarkan peta tanah tinjau Provinsi Jawa Barat dari Lembaga Penelitian Tanah
berskala 1:250,000 pada tahun 1966, jenis tanah yang terdapat pada DAS Cipasauran terdiri dari
2 jenis, yaitu asosiasi latosol coklat kemerahan dan latosol coklat yang menutupi 69.7% dari
luasan DAS, serta latosol merah kekuningan yang menutupi 30.3% DAS. Latosol merupakan
tanah dengan kadar liat lebih dari 30%, berwarna coklat hingga merah, memiliki tekstur yang
halus, bersolum tebal, serta bergembur pada seluruh profilnya (Astisiasari 2008). Berdasarkan
kelas erodibilitas atau koefisien kepekaan erosi dari Bapedal (2001), latosol coklat kemerahan
dan latosol coklat, serta latosol merah kekuningan merupakan jenis tanah dengan erodibilitas
rendah. Sebaran jenis tanah DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 8.
Pada penelitian ini digunakan citra Landsat 7 ETM+ pada 13 Juni 2010 dan 14 April
2010 sebagai informasi penggunaan lahan. Sebelum data citra dapat digunakan, dilakukan proses
pengolahan terlebih dahulu dengan menggunakan ERDAS Imagine 9.1. Pada tahap pertama, data
citra diproyeksi dengan WGS 1984 pada zona 48, kemudian dilakukan pemotongan wilayah
DAS terhadap citra. Setelah itu, dilakukan proses restorasi citra (image restoration) atau
perbaikan pada gambar, karena terdapat kesalahan respon detektor. Kesalahan detektor yang
terdapat pada citra berupa striping, yaitu kondisi di mana detektor tidak bekerja secara sempurna
sehingga terdapat garis kosong sepanjang gambar. Oleh karena itu gambar diperbaiki dengan

17
metode mozaik, yaitu proses overlay antara dua citra pada lokasi dan koordinat yang sama, tetapi
pada waktu yang berbeda. Kemudian data citra pada setiap band disatukan dengan menggunakan
layer stack. Pada penelitian ini, digunakan band dengan komposisi warna merah, hijau, dan biru
sebesar 5, 4, dan 3.

Gambar 8. Peta sebaran tanah DAS Cipasauran

Keakuratan hasil klasifikasi dapat dihitung secara kuantitatif untuk mendukung


evaluasi secara visual. Analisa citra satelit bersifat objektif karena dapat dikontrol dari data
statistik dengan tingkat ketelitian serta ketepatan klasifikasi (Harjadi 2003). Dalam penelitian ini,
digunakan pengklasifikasian dengan metode terbimbing (supervised classification), dengan
pendekatan peluang maksimum (maximum likelihood). Nilai klasifikasi diukur dengan
producer’s accuracy, user’s accuracy, overall accuracy, dan kappa accuracy. Nilai akurasi
diperoleh dari matriks konfusi berdasarkan overlay hasil klasifikasi dengan citra asli/referensi.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, producer’s accuracy terbesar adalah kelas pemukiman yaitu
96.88%, sedangkan nilai terkecil adalah jenis tutupan lahan berupa sawah irigasi yaitu 62.5%.
User’s accuracy terbesar adalah kelas semak belukar dan pemukiman yaitu 100%, sedangkan
nilai terkecil adalah kelas tegalan dengan nilai 41.18%. Nilai overall dan kappa accuracy dapat
diterima jika nilai yang diperoleh lebih besar dari 85% (Riswanto 2009). Pada penelitian ini,
secara berturut-turut nilai overall dan kappa accuracy sebesar 88.64% dan 86.07%. Tabel nilai
matriks konfusi dan akurasi yang diperoleh disajikan pada Tabel 3 dan 4.

18
Data tutupan lahan dibagi menjadi 7 jenis, diantaranya adalah badan air, hutan
sekunder, pemukiman, perkebunan, sawah irigasi, semak belukar, dan tegalan. Berdasarkan
Tabel 2, DAS Cipasauran didominasi oleh semak belukar dengan luas 10.14 km2 atau 26.08%
dari total luas DAS. Sebaran wilayah tutupan lahan pada DAS Cipasauran disajikan pada
Gambar 9.
Tabel 2. Sebaran tutupan lahan pada DAS Cipasauran

Luas
No. Jenis Penggunaan Lahan 2
km %
1 Badan Air 0.81 2.08
2 Hutan Sekunder 9.02 23.20
3 Pemukiman 1.77 4.56
4 Perkebunan 6.19 15.94
5 Sawah Irigasi 2.54 6.54
6 Semak Belukar 10.14 26.08
7 Tegalan 8.40 21.60
Total 38.87 100.00

Gambar 9. Peta sebaran penggunaan lahan DAS Cipasauran

19
Tabel 3. Nilai matriks konfusi untuk setiap penggunaan lahan

Data Referensi
Data Total
Klasifikasi Hutan Badan Semak Sawah Baris
Perkebunan Tegalan Pemukiman
Sekunder Air Belukar Irigasi

Hutan
45 0 1 0 1 0 0 47
Sekunder
Badan Air 0 10 0 0 0 0 3 13

Perkebunan 3 0 36 0 0 0 0 39

Tegalan 1 0 5 7 0 1 3 17
Semak
0 0 0 0 17 0 0 17
Belukar
Pemukiman 0 0 0 0 0 31 0 31
Sawah
0 1 0 1 0 0 10 12
Irigasi
Total Kolom 49 11 42 8 18 32 16 176

Tabel 4. Nilai akurasi untuk setiap penggunaan lahan

User's Producer's Kappa


Overall
Jenis Tutupan Lahan Accuracy Accuracy Accuracy
Accuracy (%)
(%) (%) (%)

Hutan Sekunder 95.74 91.84


Badan Air 76.92 90.91
Perkebunan 92.31 85.71
Tegalan 41.18 87.50 88.64 86.07
Semak Belukar 100.00 94.44
Pemukiman 100.00 96.88
Sawah Irigasi 83.33 62.50

4.3 Analisis SWAT


Pada penelitian ini dilakukan analisis SWAT menggunakan MWSWAT 1.7.
MWSWAT merupakan sub-aplikasi dari Map Window, yaitu perangkat lunak berbasis open
source yang berguna dalam melakukan distribusi data, mengembangkan tools yang berkaitan
dengan analisis spasial, dan melakukan proses sebagaimana perangkat lunak GIS lainnya. Pada
simulasi SWAT ini, dilakukan 4 proses, diantaranya adalah proses delineasi DAS, pembentukan
hydrological response unit (HRU), pengolahan data SWAT, dan proses simulasi.

20
4.3.1 Proses Delineasi DAS
Pada tahap pertama, dilakukan delineasi daerah aliran sungai berdasarkan data digital
elevation model (DEM) wilayah DAS yang akan diteliti. Data DEM yang digunakan pada
penelitian ini adalah data ASTER Global DEM V2 dengan resolusi 30 meter. Pada tahap ini, data
DEM dimasukkan terlebih dahulu, kemudian batas DAS ditentukan, sehingga dapat diperoleh
aliran sungai serta sub DAS. Ketepatan pembentukan aliran sungai dan sub DAS ditentukan oleh
ketelitian dalam melakukan delineasi. Semakin kecil nilai kolom cells yang dimasukkan maka
semakin banyak aliran sungai serta sub DAS yang terbentuk.
Pada penelitian ini digunakan ketelitian sebesar 0.5 km2, sehingga terbentuk DAS
dengan total luas 38.87 km2. Total luas DAS yang diperoleh lebih kecil dibandingkan total
keseluruhan DAS yaitu 44 km2, karena outlet yang digunakan pada penelitian ini berlokasi pada
lokasi perencanaan Bendung Cipasauran. Lokasi perencanaan Bendung Cipasauran terletak pada
6°13'41.57" LS dan 105° 50' 25.20" BT atau ±1.4 km dari wilayah hilir di laut. Penempatan
outlet pada lokasi tersebut dilakukan karena debit sungai yang dianalisis diharuskan berada pada
lokasi pengambilan air, sehingga data debit sungai dapat dibandingkan dengan informasi
ketersediaan air baku.

Gambar 10. Peta hasil delineasi DAS Cipasauran

21
4.3.2 Pembentukan HRU
Setelah proses delineasi, dilakukan pembentukan HRU (hydrological response
unit). Pada tahap ini dilakukan overlay antara hasil data DEM, data penggunaan lahan, serta
data tanah. Selain dapat melakukan analisis hidrologi berdasarkan karakeristik tanah dan
penggunaan lahan yang spesifik, proses ini berguna dalam melakukan pemasukan data slope
(kemiringan). Pada penelitian ini dilakukan pengelompokkan kemiringan sebesar 0-3% (datar),
3-8% (landai), 8-15% (bergelombang), 15-30% (miring), 30-45% (agak curam), 45-65%
(curam), dan >65% (sangat curam) (Arsyad 2006). Peta sebaran kemiringan dan hasil
pembentukan HRU DAS Cipasauran disajikan pada Gambar 11 dan 12.

Gambar 11. Peta sebaran kemiringan DAS Cipasauran

Hasil pembentukan HRU memberikan informasi mengenai penggunaan lahan, tanah,


kemiringan lahan, luas area, dan persentase luas HRU pada sub DAS. Pada penelitian ini
diperoleh DAS dengan 1616 HRU, di mana titik Bendung Cipasauran berada daerah hilir.

22
Gambar 12. Peta HRU DAS Cipasauran

4.3.3 Pengolahan Data dan Simulasi SWAT


Pada tahap ini dilakukan pemasukan data iklim untuk mendapatkan keluaran berupa
debit harian hasil simulasi. Simulasi SWAT membutuhkan data iklim berupa curah hujan dan
suhu pada stasiun yang mewakili daerah DAS, serta data weather generator berupa radiasi
matahari, kecepatan angin, suhu, curah hujan, dan titik embun. Data curah hujan pada DAS
Cipasauran diperoleh dari 2 pos hujan, yaitu wilayah Anyer dan Padarincang. Pos Hujan Anyer
terletak pada 6° 0' 41.52" LS dan 105° 9' 21.66" BT dengan elevasi 0 meter di atas permukaan
laut, sedangkan Pos Hujan Padarincang terletak pada 6° 12' 32.82" LS dan 105° 57' 5.88" BT
dengan elevasi 99 meter di atas permukaan laut. Data curah hujan yang digunakan pada masing-
masing pos, serta data suhu yang diperoleh dari Stasiun Iklim Serang adalah tahun 2007 hingga
2010. Data curah hujan yang digunakan pada proses simulasi SWAT disajikan pada Lampiran 6.
Data weather generator yang digunakan pada proses simulasi diperoleh dari Stasiun
Iklim Serang pada tahun 1996 hingga 2009. Data weather generator memberikan informasi
mengenai temperatur maksimum dan minimum rata-rata bulanan, nilai standar deviasi untuk
temperatur maksimum dan minimum, nilai curah hujan rata-rata, nilai standar deviasi curah
hujan, nilai kemencengan curah hujan, nilai probabilitas hari kering terhadap hari hujan dan hari
hujan terhadap hari hujan, jumlah hari hujan, nilai curah hujan maksimum, radiasi matahari, titik
beku, dan kecepatan angin. Weather generator diperoleh dari data iklim yang diolah oleh Fadli

23
Irsyad (2011) dalam tesisnya yang berjudul "Analisis Debit Sungai Cidanau Dengan Aplikasi
SWAT". Peta lokasi curah hujan dan iklim untuk SWAT DAS Cipasauran disajikan pada
Lampiran 5.

4.3.4 Proses Visualisasi


Pada tahap ini dilakukan proses visualisasi debit. Data debit yang divisualisasikan
merupakan data debit harian serta debit bulanan pada lokasi perencanaan Bendung Cipasauran.
Hasil dari simulasi ditampilkan dengan menggunakan SWAT Plot and Graph. Berdasarkan
hasil visualisasi yang diperoleh, debit simulasi harian maksimum yang terjadi adalah sebesar
64.71 m3/dt, dengan debit minimum sebesar 0.02 m3/dt, serta debit rata-rata sebesar 3.11 m3/dt.
Berdasarkan nilai debit bulanan, debit maksimum yang diperoleh sebesar 7.31 m3/dt, debit
minimum sebesar 0.83 m3/dt, serta debit rata-rata sebesar 3.11 m3/dt. SWAT Plot and Graph
dapat pula digunakan untuk membandingkan debit hasil simulasi dengan debit hasil
pengukuran di lapangan, sehingga dapat diperoleh nilai validitas model.
Fluktuasi hasil debit simulasi dan debit observasi disajikan pada Gambar 13 dan
14. Data debit observasi diperoleh dari pos pengukuran di Desa Dahu, Kecamatan Cinangka,
Kabupaten Serang pada tahun 2007 hingga 2010, di mana lokasi pengukuran debit berada pada
6° 13' 10.57" LS dan 105° 52' 22.77" BT, dan disajikan pada Gambar 6. Berdasarkan grafik
hubungan debit simulasi dan observasi, terlihat bahwa sebaran debit observasi memiliki nilai
yang lebih rendah dibandingkan debit simulasi. Hal ini disebabkan karena lokasi pengukuran
debit aktual yang lebih hulu dibandingkan lokasi tinjau penelitian.
Berdasarkan Gambar 13 dan 14, hasil simulasi yang diperoleh kurang mendekati
kondisi sebenarnya di lapangan, sehingga perlu diketahui nilai validitas model. Untuk
mengetahui nilai validitas awal dari model, digunakan SWAT plot and graph.

70
Debit Simulasi Debit Observasi
60

50
Debit (m3/dt)

40

30

20

10

0
1-Jan-07
1-Mar-07
1-May-07

1-Nov-07
1-Jan-08
1-Mar-08
1-May-08

1-Nov-08
1-Jan-09
1-Mar-09
1-May-09

1-Nov-09
1-Jan-10
1-Mar-10
1-May-10

1-Nov-10
1-Sep-07

1-Sep-08

1-Sep-09

1-Sep-10
1-Jul-07

1-Jul-08

1-Jul-09

1-Jul-10

Gambar 13. Fluktuasi debit harian observasi dan hasil simulasi

24
8
Debit Simulasi Debit Observasi
7

5
Debit (m3/dt)

0
Jul-07

Jul-08

Jul-09

Jul-10
Jan-07

May-07

Nov-07
Jan-08

May-08

Nov-08
Jan-09

May-09

Nov-09
Jan-10

May-10

Nov-10
Mar-07

Sep-07

Mar-08

Sep-08

Mar-09

Sep-09

Mar-10

Sep-10
Gambar 14. Fluktuasi debit bulanan hasil observasi dan hasil simulasi

Berdasarkan perbandingan data simulasi dan observasi, nilai koefisien determinasi


2
(R ) dan efisiensi Nash-Sutcliffe (NS) yang diperoleh untuk debit harian adalah 0.0004 dan
-0.204, sedangkan nilai R2 dan NS untuk debit bulanan adalah 0.045 dan -0.909. Nilai validitas
tersebut tidak sesuai dengan range nilai yang seharusnya. Dalam kriterianya, menurut Van et
al (2003) simulasi dianggap baik jika nilai NS > 0.75, memuaskan jika 0.36 < NS < 0.75, serta
kurang baik jika NS < 0.36, sedangkan menurut Santi et al (2001) hasil simulasi dianggap baik
jika NS ≥ 0.5 dan R2 ≥ 0.6. Oleh karena itu, diperlukan proses kalibrasi agar nilai validitas
yang diperoleh dapat diterima.

4.4 Kalibrasi dan Validasi

Kalibrasi dan validasi model SWAT yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan
SWAT-CUP dengan metode SUFI2 (Sequential Uncecrtainty Fitting). Kalibrasi dan validasi
dilakukan dengan membandingkan debit harian dan bulanan DAS Cipasauran pada lokasi
perencanaan Bendung Cipasauran dengan debit harian dan bulanan hasil pengukuran di Pos
Pengukuran Kampung Dahu pada tahun 2007-2010.
Kalibrasi dengan SWAT-CUP dilakukan berdasarkan range nilai minimum dan
maksimum. Pada awal proses, dapat dilakukan pemasukan data berdasarkan file
Absolute_SWAT_Values.txt. File tersebut berguna dalam mengetahui range nilai awal yang
dianjurkan. Setelah tahap iterasi pertama dilakukan, diperoleh range nilai baru yang disarankan
pada new_pars.txt, yang dapat dimasukkan kembali dalam masukan parameter. Hal ini kemudian
dilakukan secara berulang hingga diperoleh nilai validitas yang diinginkan. Parameter dalam
SWAT berjumlah sangat banyak (disajikan pada Lampiran 1), namun pada penelitian ini

25
dilakukan pemasukan 13 parameter yang diperkirakan dapat mempengaruhi hasil keluaran dari
simulasi secara signifikan.
Pada penelitian ini kalibrasi dan validasi dilakukan sebanyak 8 kali iterasi dengan 750
simulasi pada tiap iterasinya. Parameter dan masukan nilai akhir yang digunakan pada proses
kalibrasi disajikan pada Tabel 5, sedangkan tambahan informasi range nilai yang digunakan
untuk kalibrasi harian dan bulanan disajikan pada Lampiran 3 dan 4. Parameter bulanan dan
harian menggunakan range nilai yang sama, tetapi nilai masukan yang dihasilkan berbeda karena
metode parameterisasi yang dilakukan menggunakan metode SUFI2 (Sequential Uncertainty
Fitting). Nilai masukan tersebut memberikan hasil validitas p-factor sebesar 0.84, r-factor
sebesar 2.43, R2 sebesar 0.07, dan NS sebesar 0.03 untuk debit harian, serta nilai validitas p-
factor sebesar 0.83, r-factor sebesar 2.04, R2 sebesar 0.28, dan NS sebesar 0.25 untuk debit
bulanan, dengan grafik hasil kalibrasi yang disajikan pada Gambar 15 dan 16.
Tabel 5. Parameter dan masukan nilai yang digunakan pada proses kalibrasi

Nilai masukan
No Parameter Definisi (satuan)
Bulanan Harian

1 r__CN2.mgt SCS curve number 21.17552 28.79522


Faktor alfa untuk aliran permukaan
2 v__ALPHA_BF.gw 0.013733 0.067284
(hari)
3 v__GW_DELAY.gw Perlambatan aliran bawah tanah (hari) 349.3549 377.3485
Kedalaman ambang air pada akuifer
4 v__GWQMN.gw dangkal yang dibutuhkan agar terjadi 2108.982 1973.281
arus balik (mm)
5 v__GW_REVAP.gw Koefisien "revap" air bawah tanah 0.094034 0.096386

6 v__ESCO.hru Faktor pergantian evaporasi tanah 0.363364 0.342166


Kedalaman ambang air pada akuifer
7 v__REVAPMN.gw dangkal agar perkolasi mencapai akuifer 289.8673 440.1356
dalam (mm)
8 v__EPCO.hru Faktor pergantian terusan tanaman -0.47644 -0.50643

Faktor alfa untuk aliran permukaan pada


9 v__ALPHA_BNK.rte 0.147208 0.159303
tampungan pinggir sungai (hari)

10 r__SOL_BD().sol moist bulk density (Mg/m3 atau g/cm3) 0.480985 0.508179

11 v__HRU_SLP.hru kemiringan aliran permukaan 0.135064 0.04554

12 r__OV_N.hru Koefisien kekasaran manning 0.016252 0.287339


Panjang kemiringan aliran permukaan
13 v__SLSUBBSN.hru 62.0325 64.43552
(m)

Proses kalibrasi dan validasi pada penelitian ini dilakukan secara bersamaan. Proses
validasi tidak dilakukan terhadap simulasi dengan periode waktu yang berbeda. Hal ini dilakukan

26
karena dalam pendugaan model hidrologi, semakin lama rentang waktu simulasi yang dilakukan,
semakin baik model mewakili tahun-tahun yang berbeda, sehingga untuk tahun-tahun berikutnya
model akan lebih valid dalam memprediksi hasil. PT Krakatau Tirta Industri sebagai perusahaan
penyedia air baku, kedepannya akan menggunakan model hidrologi DAS Cipasauran dalam
menduga debit ketersediaan air baku tahun-tahun yang akan datang.

Gambar 15. Grafik hasil kalibrasi debit harian DAS Cipasauran

Gambar 16. Grafik hasil kalibrasi debit bulanan DAS Cipasauran

Berdasarkan nilai validitas kalibrasi dan validasi yang disajikan pada Tabel 6, dapat
dilihat bahwa p-factor yang diperoleh lebih dari 0.8, sehingga model hasil kalibrasi dapat dikatakan
valid. Tetapi nilai R2 dan NS tidak mencapai nilai yang seharusnya, sehingga kalibrasi masih kurang
baik. Hal ini dapat terjadi karena R2 merupakan index validitas yang mengukur kebaikan suai atau

27
goodness of fit dari persamaan regresi, sehingga persentase variasi total data dalam variabel terikat
(data debit observasi DAS Cipasauran) yang dijelaskan oleh variabel bebas (data debit simulasi DAS
Cipasauran) diharuskan memiliki karakteristik atau fluktuasi sebaran yang sama. Namun pada
penelitian ini sebaran yang terjadi antara data debit simulasi dan observasi pada periode tertentu
terlihat tidak seragam. Kurangnya nilai R2 disebabkan karena data debit observasi dan hasil simulasi
yang kurang sesuai. Ketidaksesuaian data dapat diakibatkan karena tidak tersedianya data debit pada
lokasi tinjau penelitian, yaitu lokasi perencanaan Bendung Cipasauran. Hal ini terlihat dari sebaran
debit observasi yang lebih kecil dibandingkan debit simulasi. Lebih kecilnya debit observasi
disebabkan karena lokasi pengukuran debit berada pada wilayah yang lebih hulu dari lokasi tinjau
penelitian. Lokasi pengukuran debit disajikan pada Gambar 7. Sebaran debit yang lebih rendah dari
debit simulasi ini mengakibatkan debit observasi yang diperoleh tidak memiliki karakteristik
fluktuasi yang sama. Selain nilai R2 yang rendah, hal tersebut berimplikasi pula pada nilai efisiensi
Nash-Sutcliffe (NS), sehingga nilai NS yang diperoleh pun kurang baik.

Tabel 6. Nilai statistik hasil penelitian

Simulasi Kalibrasi dan validasi


Variabel
Harian Bulanan Harian Bulanan

p-factor - - 0.84 0.83


r-factor - - 2.43 2.04
2
R 0.0004 0.045 0.07 0.28
NS -0.204 -0.909 0.03 0.25

4.5 Analisis Debit Sungai


Berdasarkan model SWAT terkalibrasi, diperoleh nilai untuk debit harian dan debit
bulanan. Berdasarkan data debit harian, DAS Cipasauran menghasilkan debit maksimum sebesar
3.309 m3/dt, debit minimum 0 m3/dt, serta debit rata-rata 1.79 m3/dt. Debit air baku yang
dibutuhkan oleh PT Krakatau Tirta Industri adalah 600 lt/dt atau 0.6 m3/dt, yang dialirkan dari
DAS Cipasauran untuk ditampung pada Waduk Krenceng, dan nantinya akan diolah oleh PT
KTI. Dalam analisis digunakan data debit harian karena debit harian memberikan informasi yang
lebih baik mengenai fluktuasi debit air. Berdasarkan debit harian, PT KTI dapat memperhatikan
periode di mana terjadi kelebihan air, sehingga air dapat dikumpulkan agar nantinya dapat
dimanfaatkan pada saat terjadi kekurangan air. Berdasarkan debit simulasi harian terkalibrasi,
maka kebutuhan air baku harian dapat terpenuhi sebesar 98.22 %. Grafik hubungan antara debit
harian terkalibrasi dengan debit kebutuhan air baku disajikan pada Gambar 17.
Selain data debit harian, dilakukan pula analisis debit bulanan. Berdasarkan data debit
bulanan terkalibrasi, diperoleh debit maksimum sebesar 3.266 m3/dt, debit minimum 0.648
m3/dt, serta debit rata-rata 1.9 m3/dt. Debit bulanan kurang menggambarkan kondisi yang
sebenarnya, tetapi data bulanan memberikan hasil nilai validitas yang lebih baik dibandingkan

28
data harian. Berdasarkan perbandingan data debit bulanan dan kebutuhan air, terlihat bahwa
kebutuhan air baku bulanan dapat terpenuhi sepenuhnya. Grafik hubungan antara debit bulanan
terkalibrasi dengan kebutuhan air baku disajikan pada Gambar 18.

3.5

2.5
Debit (m3/dt)

1.5

0.5

0
1-Jan-07
1-Mar-07
1-May-07

1-Jan-08
1-Mar-08

1-Jan-09
1-Mar-09

1-Jan-10
1-Mar-10
1-Nov-07

1-May-08

1-Nov-08

1-May-09

1-Nov-09

1-May-10

1-Nov-10
1-Sep-07

1-Sep-08

1-Sep-09

1-Sep-10
1-Jul-07

1-Jul-08

1-Jul-09

1-Jul-10
Debit Simulasi Terkalibrasi Harian Debit Kebutuhan Air Baku

Gambar 17. Grafik hubungan debit harian terkalibrasi dengan kebutuhan air baku

3.5

2.5
Debit (m3/dt)

1.5

0.5

0
Apr-07
Jun-07

Apr-08
Jun-08

Apr-09
Jun-09

Apr-10
Jun-10
Feb-07

Aug-07

Dec-07
Feb-08

Aug-08

Dec-08
Feb-09

Aug-09

Dec-09
Feb-10

Aug-10

Dec-10
Oct-07

Oct-08

Oct-09

Oct-10

Debit Simulasi Terkalibrasi Bulanan Debit Kebutuhan Air Baku


Gambar 18. Grafik hubungan debit bulanan terkalibrasi dengan kebutuhan air baku

29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Dengan menggunakan model SWAT yang telah divalidasi, diperoleh nilai debit harian di
DAS Cipasauran berkisar dari 0 - 3.309 m3/dt, sedangkan nilai debit bulanan DAS
Cipasauran berkisar dari 0.648 - 3.266 m3/dt.
2. Debit bulanan dan debit harian masing-masing dapat memenuhi kebutuhan air baku sebesar
98.22% dan 100%.
3. Hasil kalibrasi harian dan bulanan menunjukkan bahwa 84% dan 83% data observasi
berpotongan dengan luasan grafik 95PPU, dengan nilai p-factor harian dan bulanan sebesar
0.84 dan 0.83. Dengan demikian model hasil kalibrasi dikatakan valid, meskipun nilai R2 dan
nilai NS yang didapat kurang memuaskan.

5.2 Saran
1. Diperlukan pos pengukuran curah hujan dan stasiun iklim yang berada dalam area DAS,
sehingga data iklim yang diperoleh dapat lebih menggambarkan kondisi DAS.
2. Diperlukan pengukuran debit aktual sungai yang sesuai dengan lokasi tinjau penelitian, yaitu
pada lokasi perencanaan Bendung Cipasauran, pada 6°13'41.57" LS dan 105° 50' 25.20" BT.

30
DAFTAR PUSTAKA

Abbaspour KC. 2008. SWAT-CUP2: SWAT Calibration and Uncertainty Programs. Duebendorf:
Department of Systems Analysis, Integrated Assessment and Modelling (SIAM), Eawag,
Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology.

Ahl RS, Woods SW and Zuurig HR. 2008. Hydrologic Calibration and Validation of SWAT in A
Snow-Dominated Rocky Mountain Watershed, Montana, USA. Journal of The American
Water Resources Association. 44 (6). 1411.

[Anonim]. 2001. Pengelolaan Daerah Aliran Citarum Hulu Berbasis Sistem Informasi Geografis
(Pekerjaan Tahap II: Kajian Wilayah Prioritas Penanganan / Penanggulangan Resiko Erosi).
Depok: PPGT – FMIPA UI.

Arhatin R E. 2007. Pengkajian Algoritma Indeks Vegetasi dan Metode Klasifikasi Mangrove dari
Data Satelit Landsat 5 TM dan Landsat 7 ETM+: Studi Kasus di Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.

Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Asdak C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gajah mada
University Press.

Astisiasari. 2008. Perubahan Penggunaan Tanah Terkait Penyusutan Luas Perairan Laguna [Skripsi].
Depok: Universitas Indonesia, FMIPA.

Bettinger P, Wing MG. 2004. Geographic Information Systems: Applications in Forestry and Natural
Resource Management. New York: McGraw-Hill.

Chang KT. 2004. Introduction to Geographic Information Systems. 2nd Edition. Iowa: McGraw-Hill.

Cipasauran. 2010. Peta Daerah Aliran Sungai Cipasauran [Peta DAS]. Dinas Sumber Daya Air dan
Pemukiman Provinsi Banten. 1 lembar

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air: Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan.
Yogyakarta: Kanisius

Gandasasmita K, Hadi SA, Saroinsong FB. 2003. Data structure developing for land resources
information storage and management (in Indonesian). The 10th National Seminar of Persada,
3-4 July 2003. Nikko Hotel, Jakarta

Hafid A. 2011. Kalibrasi dan Validasi Model MW-SWAT Pada Analisis Debit Aliran Sungai Sub
DAS Ciliwung Hulu [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Hamdan M. 2010. Analisis Debit Sungai Sub-DAS Ciliwung Hulu Menggunakan MWSWAT
[Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Harakita DY. 2010. Pemodelan Hidrologi dengan MWSWAT 1.5SR di Sub-DAS Cisadane Hulu
Daerah Legokmuncang [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Harjadi B. 2003. Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Surakarta: BP2TPDAS.

31
Irsyad F. 2011. Analisis Debit Sungai Cidanau Dengan Aplikasi SWAT [Tesis]. Bogor: Institut
Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana.

Laksana I. 2011. Kalibrasi dan Validasi Model MWSWAT Pada Analisis Debit Aliran Sungai Sub
DAS Cisadane Hulu [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, FATETA.

Miller GT. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. California: Wadsworth Publishing
Company.

Nashir M. 2011. Potensi DAS Cipasauran. Cilegon: PT Krakatau Tirta Industri. p. 1 -12.

Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Srinivasan R, and William J. R. 2004. Soil and Water Assessment
Tools Input/Output File Documentation Version 2005. [e-book] Texas: Agricultural
Reasearch Service US http://www.brc.tamus.edu/swat/document.html [20 Januari 2012].

[NWS] Nimbus Water Systems Inc. 2009. Water Fundamentals.


http://www.nimbuswatersystems.com/a_water_fundamentals.htm [25 Januari 2012].

Richards J A. 1993. Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. Springer-verlag. Berlin.

Riswanto E. 2009. Evaluasi Akurasi Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Alos Palsar
Resolusi Rendah Studi Kasus di Pulau Kalimantan. Fakultas Kehutanan IPB: Tugas Akhir
Tidak Diterbitkan.

Wahdani D. 2011. Perkiraan Debit Sungai dan Sedimentasi dengan Model MWSWAT di Sub-DAS
Citarum Hulu, Provinsi Jawa Barat [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah
Pascasarjana.

32
LAMPIRAN

33
Lampiran 1. Parameter SWAT untuk file .gw, .bsn, .mgt, .hru, .sol, .sub, dan .rte

No Parameter Definisi (satuan)


1 RCHRG_DP.gw Fraksi perkolasi akuifer dalam
2 ALPHA_BF.gw Faktor alfa untuk aliran permukaan (hari)
3 GW_DELAY.gw Perlambatan aliran bawah tanah (hari)
Kedalaman ambang air pada akuifer dangkal yang dibutuhkan agar
4 GWQMN.gw
terjadi arus balik (mm)
5 GW_REVAP.gw Koefisien "revap" air bawah tanah
6 GW_SPYLD.gw Kapasitas lapang akuifer dangkal (m3/m3)
7 SHALLST_N.gw Jumlah nitrat pada akuifer dangkal (Kg N/ha)
8 HLIFE_NGW.gw hal life of nitrate in the shallow aquifer (hari)
9 GWSOLP.gw Konsentrasi fosfor yang larut pada aliran bawah tanah (mg P/L)
10 SFTMP.bsn temperatur salju / uap air (˚C)
11 SNOCOVMX.bsn Kedalaman ambang salju
12 SNO50COV.bsn Fraksi dari SNOCOVMX yang mencakup 50% tutupannya
13 TIMP.bsn Faktor lag suhu salju
14 SMFMN.bsn Faktor leleh salju
15 SMTMP.bsn Temperatur ambang lelehan salju (˚C)
16 SMFMX.bsn Faktor leleh pada 21 Juni (mm/hari - ˚C)
Nilai yang mengatur perhitungan curah hujan setengah jam harian
17 ISED_DET.bsn
maksimum
18 ADJ_PKR.bsn Faktor kesesuaian rasio puncak
19 IPET.bsn Metode Evapotranspirasi potensial
20 IEVENT.bsn Pemilihan faktor curah hujan, aliran permukaan, dan ruting
21 ICN.bsn Metode perhitungan curve number harian
Faktor pembobot yang digunakan dalam menghitung koefisien retensi
22 CNCOEF.bsn
untuk perhitungan curve number harian pada evapotranspirasi tanaman
23 SURLAG.bsn Koefisien lag aliran limpasan permukaan
24 ICRK.bsn Kode bypass flow
25 DEPIMP_BSN.bsn Kedalaman lapisan kedap air (mm)
Koefisien rasio untuk kandungan mineral pada nutrien humus organik
26 CMN.bsn
aktif
Koefisien rasio untuk kandungan mineral pada nutrien residu organik
27 RSDCO.bsn
segar
28 CDN.bsn Koefisien rasio pada proses denitrifikasi
Nilai ambang untuk faktor siklus air nutrien pada proses denitrifikasi
29 SDNCO.bsn
yang berlangsung
30 RCN.bsn Konsentrasi nitrogen saat hujan (mg N/L)
31 PSP.bsn Index ketersediaan fosfor
32 PPERCO.bsn Koefisien perkolasi fosfor (10 m3/Mg)
33 WOF_P.bsn Nilai fraksi pencucian untuk bakteri gigih
34 WOF_LP.bsn Nilai fraksi pencucian untuk bakteri kurang gigih
35 WDPQ.bsn Faktor kematian untuk bakteri gigih pada tanah saat 20˚C (1/hari)
36 WGPQ.bsn Faktor pertumbuhan untuk bakteri gigih pada tanah saat 20˚C (1/hari)

34
Lampiran 1. (lanjutan)

No Parameter Definisi (satuan)


Faktor kematian untuk bakteri kurang gigih pada tanah saat 20˚C
37 WDLPQ.bsn
(1/hari)
Faktor pertumbuhan untuk bakteri kurang gigih pada tanah saat 20˚C
38 WGLPQ.bsn
(1/hari)
Faktor kematian untuk bakteri gigih yang diserap partikel tanah saat
39 WDPS.bsn
20˚C (1/hari)
Faktor pertumbuhan untuk bakteri yang diserap partikel tanah saat
40 WGPS.bsn
20˚C (1/hari)
Faktor kematian untuk bakteri kurang gigih yang diserap partikel tanah
41 WDLPS.bsn
saat 20˚C (1/hari)
Faktor pertumbuhann untuk bakteri kurang gigih yang diserap partikel
42 WGLPS.bsn
tanah saat 20˚C (1/hari)
43 WDPF.bsn Faktor kematian untuk bakteri gigih pada dedaunan saat 20˚C (1/hari)
Faktor pertumbuhan untuk bakteri gigih pada dedaunan saat 20˚C
44 WGPF.bsn
(1/hari)
Faktor kematian untuk bakteri kurang gigih pada dedaunan saat 20˚C
45 WDLPF.bsn
(1/hari)
Faktor pertumbuhan untuk bakteri kurang gigih pada dedaunan saat
46 WGLPF.bsn
20˚C (1/hari)
47 THBACT.bsn Faktor kesesuaian suhu pada kematian/pertumbuhan bakteri
48 BACTMINLP.bsn Kehilangan bakteri kurang gigih minimum harian (cfu/m2)
49 BACTMINP.bsn Kehilangan bakteri gigih minimum harian (cfu/m2)
50 BACTMIX.bsn Koefisien perkolasi bakteri (10 m3/Mg)
51 NPERCO.bsn Koefisien perkolasi nitrat
52 PHOSKD.bsn Koefisien keterpisahan kandungan fosfor tanah (m3/Mg)
53 PERCOP.bsn Koefisien perkolasi pestisida
54 BACTKDQ.bsn Koefisien keterpisahan bakteri tanah (m3/Mg)
55 N_UPDIS.bsn Parameter distribusi penyerapan nitrogen
56 CN2.mgt SCS curve number pada kondisi II
57 CNOP.mgt SCS curve number pada kondisi kelembaban III
58 LAT_TIME.mgt Waktu pegaliran aliran lateral (hari)
59 GDRAIN.mgt Waktu lag pengurasan atap/genting (jam)
60 USLE_P.mgt Faktor USLE
Unit panas potensial pada tanaman yang tumbuh saat awal simulasi
61 PHU.mgt
pada HRU
Unit panas potensial pada tanaman yang tumbuh berdasarkan waktu
62 HEAT UNITS.mgt
penanaman
Nilai fraksi unit panas potensial saat operasi penanaman sedang
63 HUSC.mgt
dilakukan
64 BIO_TARG.mgt Target biomassa (metrik ton/ha)
65 HI_TARG.mgt Target index pemanenan
66 HI_OVR.mgt Target index pemanenan
67 HARVEFF.mgt Efisiensi pemanenan
68 MGT_OP.mgt Kode operasi
69 PLANT_ID.mgt Kode penutupan lahan/tanaman dari crop.dat
70 LAI_INIT.mgt Index luasan daun pada kanopi
71 BIO_INIT.mgt Total biomassa tanaman (kg/ha)

35
Lampiran 1. (lanjutan)

No Parameter Definisi (satuan)


72 IGRO.mgt Kode status penutupan lahan
73 GRZ_DAYS.mgt Jumlah hari pemanenan
74 BIO_EAT.mgt Berat kering biomassa tanaman yang dikonsumsi per hari (kg/ha)
75 MANURE_ID.mgt Kode pemupukan dari fert.dat
76 MANURE_KG.mgt Jumlah berat kering pupuk yang digunakan (kg/ha)
77 BIO_TRMP.mgt Berat kering biomassa tanaman yang diinjak per hari (kg/ha)
Biomassa tanaman minimum untuk proses pemanenan yang terjadi
78 BIO_MIN.mgt
(kg/ha)
79 CANMX.hru Tampungan maksimum kanopi (H2O)
80 EPCO.hru Faktor pergantian terusan tanaman
81 ESCO.hru Faktor pergantian evaporasi tanah
82 SLSUBBSN.hru Panjang kemiringan rata-rata (m)
83 SLSOIL.hru Panjang kemiringan aliran bawah permukaan lateral (m)
84 HRU_FR.hru Nilai fraksi pada sub basin di HRU
85 HRU_SLP.hru kemiringan rata-rata (m/m)
86 OV_N.hru Nilai manning "n" untuk aliran overland
87 IWATABLE.hru Kode muka air tinggi
88 DEP_IMP.hru Kedalaman lapisan kedap air (mm)
89 RSDIN.hru Material genangan residu pada 10 mm di atas tanah (kg/ha)
90 SLOPE.hru kemiringan rata-rata subbasin (% atau m/m)
91 LAT_SED.hru Konsentrasi sedimen pada aliran lateral dan aliran bawah tanah (mg/L)
92 ERORGN.hru Rasio penyuburan nitrogen organik
93 ERORGP.hru Rasio penyuburan fosfor
94 IPOT.hru Jumlah HRU yang menampung air
95 POT_FR.hru Nilai fraksi pada luasan HRU yang terendam pada lubang
96 SOL_AWC.sol Kapasitas air pada lapisan tanah (mm)
97 SOL_K.sol Konduktivitas hidrolik saat jenuh (mm/hari)
98 SOL_BD.sol moist bulk density (Mg/m3 atau g/cm3)
99 SOL_ALB.sol Nilai albedo tanah saat basah
100 SOL_Z.sol Kedalaman dari permukaan tanah hingga bawah lapisan (mm)
101 CLAY.sol Persentase kandungan lempung
102 SAND.sol Persentase kandungan pasir
103 SOL_CRK.hru Potensial volume retakan pada profil tanah
104 SOL_CBN.sol Jumlah kandungan organik karbon pada lapisan (%)
105 USLE_K.sol Faktor erodibilitas tanah USLE (0.013 ton m2 jam/(m3-metrik ton cm))
106 ROCK.sol Persentase batuan pada lapisan pertama tanah (%)
107 ANION_EXCL.sol Fraksi porositas berdasarkan anion yang dikeluarkan
108 SOL_ZMX.sol Kedalaman ruting maksimum pada tanah (mm)
109 CH_N11.sub Nilai manning "n" untuk saluran cabang
110 CH_L1.sub Saluran cabang terpanjang pada sub-basin (km)
111 CH_K1.sub Konduktivitas hidrolik efektif pada saluran cabang (m/m)
112 CO2.sub Konsentrasi karbon dioksida (ppmv)

36
Lampiran 1. (lanjutan)

No Parameter Definisi (satuan)


113 SUB_LAT.sub Derajat latitude dari subbasin
114 ISGAGE.sub Jumlah radiasi solar terekam yang digunakan pada subbasin
115 ITGAGE.sub Suhu terekam yang digunakan pada subbasin
116 IWGAGE.sub Kecepatan angin terekam yang digunakan pada subbasin
117 IRGAGE.sub Curah hujan terekam yang digunakan pada subbasin
118 SUB_ELEV.sub Elevasi (m)
119 IHGAGE.sub Kelembaban terekam yang digunakan pada subbasin
120 SNO_HUB.sub Kandungan air salju pada subbasin (mm)
121 SNOEB.sub Kandungan air salju pada bidang elevasi subbasin (mm)
122 ELEVB.sub Elevasi pada pertengan bidang elevasi (m)
123 ELEVB_FR.sub Nilai fraksi area subbasin pada bidang elevasi
124 PLAPS.sub Nilai kehilangan curah hujan (mm)
125 TLAPS.sub Nilai kehilangan suhu (˚C/km)
126 RFINC.sub Persentase perubahan hujan dalam hitungan bulan
127 TMPINC.sub Kenaikan atau penurunan suhu dalam hitungan bulan (˚C)
Kenaikan atau penurunan radiasi matahari yang mencapai permukaan
128 RADINC.sub bumi dalam hitungan bulan (MJ/m2)
129 HUMINC.sub Kenaikan atau penurunan kelembaban dalam hitungan bulan
130 SUB_KM.sub Luasan area subbasin (km2)
131 CH_N2.rte Nilai manning "n" untuk saluran utama
132 CH_K2.rte Konduktivitas hidrolik efektif pada saluran utama (mm/hari)
133 CH_W.rte Lebar saluran pada bagian atas pesisir sungai
134 CH_D.rte Kedalaman air di saluran saat sedang terisi (m)
135 CH_L2.rte Panjang saluran utama (km)
136 CH_S2.rte Rata-rata kemiringan sepanjang saluran (m/m)
137 ALPHA_BNK.rte Aliran resesi konstan atau resesi proporsional pada tepi sungai
138 CH_COV.rte Faktor penutupan pada saluran
139 CH_EROD.rte Faktor erodibilitas saluran (cm/jam/Pa)
140 CH_WDR.rte Rasio antara lebar saluran dengan kedalaman
Sumber: Neitsch et al 2004

37

You might also like