You are on page 1of 244

DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN

EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA


(Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah
Provinsi Banten Tahun 2011)

AIRIN NURAINI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
 
SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis


saya yang berjudul :
DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL
DI INDONESIA (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah
Provinsi Banten Tahun 2011)

Merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan bimbingan komisi
pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum
pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan
tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah menyatakan secara
jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2013

Airin Nuraini
NRP. H151100231
 
ABSTRACT

AIRIN NURAINI. 2013. Impact of Corruption to Regional Economic Growth in


Indonesia (Study Case: Regional Budget Corruption Assumption Mechanism in
Banten Province Government at 2011). (Didin S Damanhuri as Chairman and
Muhammad Findi is a Member of the Advisory of Committee)

Decentralization is marked with the announcement of Regulation Number


22 in 1999 about the Region Government, and Regulation Number 25 in 1999
about the Financial Proportion between Central and Region Government. But
apparently there are lots of problems in the implementations, one of them is a lot
of corruption cases are revealed, with lots of corruption suspects are the
authorities in that region and the resource of corruption is the local budget.
Finally, that may bring a negative impact for the region economic growth. The
aims of this study are: (1) To analyze local budget corruption in the mechanism of
rent seeking at Banten Province, (2) To analyze the impact of corruption for the
regional economic growth in Indonesia. Result showed that there is a local budget
corruption assumptions have been done by the executive and legislative persons
with the cooperation with the third person in the local budget managing, that
behavior is triggered by the high cost political system. Then the result of the data
processing showed that the impact of corruption for the regional economic growth
is negative and significant, which means the region economic growth should have
been more higher than now. In that case, an effort should be done to increase the
region economic growth by eliminating the corruption in Region/national level by
starting to create a low budget political system.

Keywords: corruption, economic growth, economic rent seeking.


 
RINGKASAN

AIRIN NURAINI. 2013. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi


Regional di Indonesia (studi kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di
Pemerintah Provinsi Banten Tahun 2011). Di bawah bimbingan Prof. Dr. Didin S
Damanhuri, M.S., DEA dan Dr. Muhamad Findi A, M.E.

Desentralisasi ditandai dengan lahirnya Undang Undang Nomer 22 tahun


1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomer 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, ternyata mengalami
banyak permasalahan dalam implementasinya, salah satunya adalah terkuaknya
berbagai kasus korupsi di daerah dengan pelaku korupsi sebagian besar adalah
para pemegang kekuasaan di daerah, dengan sumber utama yang di korupsi adalah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang pada akhirnya diduga
akan berakibat negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
Pada intinya penelitian ini bertujuan untuk (1) Menganalisis korupsi
APBD dalam mekanisme perburuan rente di Pemerintah Provinsi Banten, (2)
Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di
Indonesia.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode
campuran, untuk tujuan pertama menggunakan metode deskriptif dan kualitatif
yang meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam untuk mengungkap
perilaku koruptif yang berbentuk aktivitas pencarian rente ekonomi, dengan
pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena
politik dan fenomena ekonomi. Informan/ Narasumber yang dipilih untuk
menjawab tujuan pertama yaitu dari pihak pejabat publik (eksekutif, legislatif),
Akademisi, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) dan Indonesia Corruption Watch
(ICW). Sedangkan untuk mencapai tujuan yang kedua, menggunakan metode
kuantitatif dengan regresi data panel statis . Data korupsi yang digunakan untuk
tujuan kedua adalah indeks korupsi daerah 48 kabupaten/kota di Indonesia yang
diperoleh dari Transparency International Indonesia (TII).
Hasilnya, dalam studi kasus Provinsi Banten telah terjadi korupsi APBD
dalam aktivitas pencarian rente oknum eksekutif dan legislatif bergandengan
tangan dengan pihak ketiga dalam pengelolaan APBD, perilaku tersebut dipicu
oleh adanya sistem politik berbiaya tinggi. Berdasarkan hasil wawancara berbagai
informan, beberapa dokumen pendukung, dan pemberitaan media massa maka
dapat diketahui bahwa ada dua korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente
di Pemerintah Provinsi Banten. Mekanisme pertama, yaitu mekanisme korupsi
APBD pos Belanja (Bantuan Sosial) Bansos dan Hibah dalam APBD yang dapat
digunakan sebagai dana taktis pembiayaan kampanye, yang dimulai dari tahap
perencanaan anggaran (by design), meluas ke tahap pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban. Mekanisme kedua, yaitu mekanisme perolehan rente
melalui proyek-proyek APBD.
Untuk mekanisme pertama, pada tahap perencanaan APBD pos Bansos
Hibah tidak ada tolak ukur yang jelas dalam penganggaran dan mekanisme
verifikasi, bahkan ada penyaluran yang diberikan tanpa berbasis proposal.
Kemudian pada tahap pelaksanaan, APBD dana hibah dan bansos disalurkan
kepada lembaga/ organisasi yang dibagi menjadi dua kategori, yaitu kepada
lembaga/ organisasi yang dipimpin keluarga/ kerabat Gubernur dan lembaga/
organisasi masyarakat lainnya. Keluarga/ kerabat Gubernur yang memimpin
lembaga/ organisasi yang diberi dana hibah bansos juga memiliki badan-badan
usaha yang memberikan kontribusi dalam dana kampanye, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa sebagian kecil dari dana hibah bansos yang diterima bisa diputar
kembali untuk dana sumbangan kampanye.
Dugaan yang kedua adalah dana hibah dan bansos bisa langsung
digunakan sebagai dana taktis untuk membiayai aktivitas politik dengan dalih
diberikan kepada lembaga/ organisasi yang dikuasai lingkaran kelompoknya,
sehingga mudah direkayasa secara administratif. Sedangkan penyaluran dana
hibah bansos kepada lembaga/ organisasi masyarakat juga bisa dijadikan dana
taktis untuk membiayai aktivitas politik maupun kepentingan pribadi/ kelompok
yang lain, caranya dengan merekayasa lembaga/ organisasi yang diberi dana hibah
dan bansos (lembaga fiktif, alamat tidak jelas, alamat sama) atau juga dengan cara
disalurkan kepada masyarakat namun jumlahnya jauh lebih kecil dari nilai pagu
anggaran yang ditentukan. Dana hibah bansos yang menjadi dana taktis ini
kemudian digunakan dalam membiayai aktivitas politik salah satunya adalah
untuk melakukan money poltics. Sedangkan pada tahap pertanggungjawaban,
tidak ada peraturan tegas yang mengatur sanksi keterlambatan penyampaian
Laporan Pertanggungjawaban, bahkan tidak dilakukan mekanisme monitoring
pelaksanaan dan evaluasi pertanggungjawaban.
Untuk mekanisme yang kedua, perolehan rente diperoleh melalui proyek-
proyek APBD. Penguasaan proyek dikoordinasi oleh Gubernur informal atau
yang disebut dengan Gubernur Malam, dia memiliki oknum-oknum kepercayaan
disejumlah “dinas basah” yang menjaga proyek-proyek APBD, agar akses
informasi dengan mudah dia dapatkan. Gubernur informal sebagai pemborong
dalam proyek-proyek APBD berkoordinasi dengan Gubernur formal/ jajaran
eksekutif dalam menentukan proyek APBD dan siapa saja yang akan menangani
proyek. Gubernur formal/ jajaran eksekutif akan menerima beberapa persen dari
nilai proyek.
Bagi Gubernur Formal keputusan proyek-proyek APBD dan penentuan
pemenangnya adalah salah satu cara mengembalikan modal kampanye bagi
dirinya dan pihak-pihak yang telah mendukung pembiayaan pada masa kampanye.
Gubernur Malam kemudian mengendalikan DPRD melalui eksekutif agar
meloloskan usulan mereka, yaitu dengan cara membeli proyek. Membeli proyek
dilakukan dengan memberikan bagian dari proyek atau beberapa persen dari nilai
proyek kepada oknum DPRD.
Dengan demikian pada saat perencanaan anggaran telah ditentukan siapa
pemenang proyek-proyek APBD, sehingga proses lelang proyek hanyalah sebuah
formalitas, monopoli terselubung ini dapat dilihat dari data pemenang proyek-
proyek APBD bernilai besar, yang sebagian besar adalah perusahaan yang
termasuk dalam tiga kategori. Kategori yang pertama, Perusahaan milik Gubernur
informal. Kedua, perusahaan yang diduga merupakan bendera lain milik Gubernur
informal dan kelompoknya. Dan yang terakhir adalah badan usaha swasta lainnya.
Diketahui juga bahwa ketiga kategori ini adalah pihak-pihak yang memberikan
dukungan pembiayaan pada masa kampanye Gubernur formal. Pada kategori
pemenang terakhir, yaitu badan usaha swasta lainnya, sebelum mereka
memenangkan suatu proyek maka harus memperoleh restu dari Gubernur
informal, badan usaha swasta harus menyetorkan sebesar 20 persen sampai
dengan 40 persen dari nilai proyek-proyek APBD.
Setelah mengetahui mekanisme korupsi di salah satu daerah di Indonesia
(Banten), kemudian dilakukan analisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan
ekonomi regional (48 kabupaten/kota) dengan regresi data panel statis
menggunakan fixed effect, hasilnya dapat diketahui bahwa setiap kenaikan indeks
persepsi korupsi akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48
kabupaten/kota di Indonesia sebesar 0.0223 persen, ceteris paribus. Karena
variabel indeks persepsi korupsi TII merupakan indeks antara 0 sampai dengan
10, dimana angka 0 untuk korupsi parah, dan 10 untuk kondisi suatu daerah tidak
ada korupsi, sehingga semakin tinggi indeks semakin baik. Dengan demikian
terbukti bahwa korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah.
Potensi pertumbuhan yang dicapai daerah-daerah seharusnya lebih tinggi
daripada yang dicapainya sekarang. Dengan demikian upaya yang dilakukan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah adalah dengan melakukan
pemberantasan korupsi di level daerah/ nasional yang dimulai dengan
menciptakan suatu sistem politik yang berbiaya rendah.

Kata kunci : Korupsi, Pertumbuhan ekonomi, Pencarian rente ekonomi.


 

 
 
© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
 
DAMPAK KORUPSI TERHADAP PERTUMBUHAN
EKONOMI REGIONAL DI INDONESIA
(Studi Kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi
Banten Tahun 2011)

AIRIN NURAINI

Tesis
Sebagai salahsatu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc., Agr.
Judul Tesis : Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Regional di Indonesia (Studi Kasus: Mekanisme Dugaan
Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten Tahun
2011).

Nama Mahasiswa : Airin Nuraini

Nomor Pokok : H151100231

Mayor : Ilmu Ekonomi

Menyetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, M.S.,DEA Dr. Muhammad Findi A, M.E.


Ketua Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Ekonomi

Dr.Ir.R.Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian Tesis : April 2013 Tanggal Lulus :


 
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini. Judul yang dipilih dalam penelitian ini
adalah Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia
(Studi kasus: Mekanisme Dugaan Korupsi APBD di Pemerintah Provinsi Banten
Tahun 2011).
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Didin S.
Damanhuri, M.S.,DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.
Muhammad Findi A, M.E., sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah
memberikan bimbingan dan masukan dalam penyusunan tesis ini. Ibu Dr. Ir. Sri
Mulatsih, M.Sc., Agr. selaku penguji luar komisi, serta Dr. Ir. Wiwiek Rindayati,
M.Si selaku penguji wakil Program Studi Ilmu Ekonomi atas saran perbaikan
tesis. Bapak Dr.Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Koordinator Mayor Ilmu
Ekonomi dan seluruh staf pengajar yang telah memberikan bimbingan dan proses
pembelajaran selama penulis kuliah di Mayor Ilmu Ekonomi.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
seluruh informan yang telah bersedia berbagi informasi, terutama pihak dari
Indonesian Corruption Wacth (ICW) yang selama ini telah banyak membantu
dalam pembuatan tesis ini, juga kepada orang tua ibu Eni Hayani, Ayah
Muhammad Arief yang selama ini telah memberikan dukungan semangat, materi,
do’a dan kasih sayang kepada penulis, juga suami dan anak tercinta Novan
Widianto dan Alisa Adivia atas dukungan semangat dan do’anya. Teman-teman
IE angkatan 2010 dan Staff sekretariat IE terimakasih atas dukungan,
kebersamaan dan kerjasamanya selama kuliah.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan tesis ini. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi
yang bermanfaat.

Bogor, April 2013

Airin Nuraini
 
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 9 Oktober


1984, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad
Arief dan Ibu Eni Hayani.
Pada tahun 1991 penulis menempuh pendidikan formal di SDN Pengadilan
3 Bogor dan tamat tahun 1997. Setelah tamat dari SD penulis melanjutkan sekolah
di SMPN 4 Bogor sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2000 dan melanjutkan
pendidikan di SMUN 5 hingga tahun 2003.
Kemudian, pada tahun yang sama melanjutkan studi di Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti pada Program Studi Ekonomi jurusan Akuntansi. Penulis
menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2007.
Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai Tenaga Pengajar di Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Kesatuan. Pada akhir tahun 2010 penulis melanjutkan
pendidikan ke jenjang master pada Program Magister Sains di Program Studi Ilmu
Ekonomi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor .
 
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................... x

1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................. 7
1.3. Tujuan Penelitian......... .............................................................. 9
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................... 9

2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 11


2.1. Landasan Teori ........................................................................ 11
2.1.1. Korupsi................ ........................................................... 11
2.1.2. Korupsi Di Indonesia................ ...................................... 21
2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi................................ ................... 26
2.1.4. Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi............................... 34
2.1.5. Korupsi dan Perburuan Rente Ekonomi.. ....................... 37
2.1.6. Desentralisasi .................................................................. 48
2.1.7. Indeks Persepsi Korupsi Transparency International .... 55
2.2. Penelitian Terdahulu .................................................................. 57
2.3. Kerangka Pemikiran .................................................................. 62

3. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 65


3.1. Jenis dan Sumber Data .............................................................. 65
3.2. Metode Analisis Data ................................................................. 67
3.4.1. Metode Analisis Mekanisme Rent Seeking Economy
Activity………………………………………………………... 67

3.4.2. Model Regresi Data Panel Pertumbuhan Ekonomi .......... 71


3.2.2.1 Hipotesa ................................................................ 74

ii
 
3.2.2.2 Metode Analisis Regresi Data Panel ....................... …… 74

4. GAMBARAN UMUM ............................................................................... 79


4.1. Gambaran Umum Korupsi Daerah (termasuk yang bersumber dari
APBD) di Indonesia ......................................................................... 79

4.2. Gambaran Umum Provinsi Banten .......................................... … 88

5. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………… ......................... 103


5.1. Mekanisme Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi :
Pendekatan Studi Kasus Provinsi Banten……………………… ....... 103

5.1.1. Faktor Penyebab Korupsi APBD : Dugaan Kasus Korupsi


Pilkada Gubernur Banten Tahun 2011 ........................................ 105

5.1.2. Mekanisme Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah Bansos Provinsi


Banten 2011…………………………………………………… 115

5.1.3 Mekanisme Perburuan Rente dalam Dugaan Korupsi


pada Proyek-Proyek APBD Provinsi Banten………........ …… 144

5.2. Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di


Indonesia ............................................................................................. 160

5.2.1. Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi ..................................... 161

5.2.2. Evaluasi Model Pertumbuhan Ekonomi .................................... 164

5.2.3. Pembahasan Faktor-faktor yang Memengaruhi Pertumbuh


Ekonomi Regional di Indonesia ............................................... 165

5.2.4. Potensi Pertumbuhan Ekonomi Banten (Analisis ICOR) .......... 172

6. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN................. 175


6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 178
6.2. Implikasi Kebijakan dan Saran ............................................................ 179

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 181


LAMPIRAN ...................................................................................................... 187

iii
 
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Perubahan Setelah Desentralisasi ……………………………….……….....51

2. Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data yang diperlukan..........................66

3. Tren Korupsi APBD Tahun 2009-2011………………………….……….....83

4. PDRB Banten Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010…….................93

5. Perkembangan RLS dan AMH Sebagai Komponen IPM Provinsi Banten


tahun 2000-2010.............................................................................................94
6. Peringkat IPM Provinsi Banten di Pulau
Jawa................................................................................................................95

7. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Partai Politik Pemenang Pemilu


Legislatif Tahun 2004 dan 2009...................................................................100

8. Daftar Incumbent dalam Pilkada Gubernur Langsung


Banten...........................................................................................................102

9. Jumlah Dana Kampanye Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Banten


Tahun 2011.............................................................................................. 114

10. Gambaran Umum Hibah dan Bantuan sosial............. ............................ . ...119

11. Tren Realisasi Anggaran Hibah dan Bansos Provinsi Banten…………... 122

12. Jumlah Voucher dalam Proses Perencanaan…………………………...…127

13. Lembaga Fiktif Penerima Dana Hibah…………………………………… 130

14. Lembaga Penerima Hibah yang Memiliki Alamat Sama………………….131

15. Daftar Aliran Dana ke Lembaga yang dipimpin Keluarga Gubernur…….132

16. Kepatuhan Instansi Vertikal Kota Serang…………………………………135

17. Normatif Pertanggungjawaban Hibah Bansos…………………………….137

18. Rekapitulasi Hasil Temuan Pada Proses Pengelolaan Dana Bansos Hibah
yang bersumber dari APBD Provinsi Banten Tahun 2011………………..138

v
 
19. Badan Usaha Penyumbang Dana Kampanye PilGub Tahun 2011 yang
Memenangkan Proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten………………153

20. Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Milik Keluarga
Gubernur…………………………………………………………………...156

21. Chow test antara Pooled Least Square dan Fixed Effect………………….161

22. Hausman Test antara fixed effect dan random effect………………………162

23. Hasil Regresi Data Panel…………………………………………………..164

24. Interpretasi Hasil Estimasi………………………………………………...165

25. ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali…………………………………174

vi
 
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara Lain di Dunia............... 1


2 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara ASEAN +3.................. 2
3 Postur Belanja APBD 2007-2011 (%)………………………………… 5
4 Jumlah Kasus Korupsi Menurut Lembaga Tahun 2011…................. 6
5 Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara
Demokrasi................................................................................................ 18
6 Korupsi dan Kemungkinan Produksi...................................................... 35
7 Biaya Monopoli Akibat Prilaku Pencarian Rente……………………... 41
8 Penentuan Output Oleh Birokrat………………………………………. 45
9 Kerangka pemikiran…………………………………………………… 64
10 Tahapan Analisa Studi Kasus Korupsi APBD dalam Perburuan Rente
ekonomi………………………………………………………………... 71

11 Tren Korupsi Indonesia berdasarkan Pelakunya Tahun 2011…………. 85


12 Komposisi Realisasi Pendapatan Provinsi Banten tahun Anggaran
2010 dan 2011…………………………………………………………. 90
13 Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten tahun 2001-2011 ……………. 92

14 Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten/Kota di Provinsi Banten


Tahun 2008-2011……………………………………………………... 92
15 Jumlah Penduduk Kabupaten/Kota di Provinsi Banten 1961- 2010…... 94
16 Tingkat Pengangguran Terbuka di Provinsi Banten…………………... 96
17 Kompilasi Penggunaan Kekuasaan Berdasarkan Modus……………... 106
18 Kompilasi Politik Uang Berdasarkan Modus………………………….. 110
19 Rangkuman berbagai regulasi penyusunan APBD……………………. 116
20 Mekanisme Dugaan Korupsi APBD dalam Pengelolaan Dana Hibah
dan Bansos…………………………………………………………….. 142

21 Penguasaan Berbagai Aspek Strategis di Provinsi Banten dalam


Lingkaran Keluarga………………………………………………….... 147
22 Mekanisme Pengerukan APBD Melalui Penguasaan Proyek-Proyek
APBD di Provinsi Banten…………………………………………… 159

vii
 
23 Dampak Perubahan (Penambahan) Pengeluaran Pemerintah Terhadap
Keseimbangan Output………………………………………………… 168

viii
 
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Daftar Informan/Nara Sumber ………………………………………… 187

2. Data ICW : Rincian Kejanggalan Penyumbang Dana Kampanye


Incumbent 1 Pada Pilkada Banten Tahun 2011 Uji Petik
Terhadap 30 persen dari Jumlah Penyumbang....................................... 188

3. Output pendekatan pooled least square estimasi model


pertumbuhan ekonomi regional. ............................................................. 191

4. Output pendekatan fixed effects estimasi model pertumbuhan ekonomi


regional…………………………………............................................... 192

5. Output pooled least square/ fixed effects testing dengan menggunakan


rendundant fixed effects – likelihood ratio.......................................................... 193

6. Output pendekatan Random effects estimasi model pertumbuhan


ekonomi regional............................................................................................... 194

7. Output fixed effects/random effects testing dengan menggunakan


correlation random effects-Hausmant test............................................. 195

8. Output hasil estimasi fixed effect dengan GLS weight: cross section weight
dan cross section weight (PCSE).............................................................. 196

9. Tingkat Korupsi rata-rata tahun 2008 dan 2010 48 ibukota/kabupaten di


Indonesia ...................... .......................................................................... 197

10. Contoh lembar survey kuisioner TII............. ......................................... 198

x
 
1. PENDA
AHULUAN
N

1.1 Latar Belakang


Koorupsi bukaanlah masallah baru, taapi masalahh yang suddah lama ada
a di
berbagai negara,
n neggara maju maupun
m neg
gara berkem
mbang sepeerti di Indon
nesia.
Namun, perbedaanya
p a dengan neegara maju, masalah korupsi
k di N
Negara Indo
onesia
adalah geejala massaal dan beluum diiringi oleh berjaalannya suppremasi hu
ukum.
Korupsi yang
y berasall dari bahasa latin corrruptio dari kata
k kerja coorrumpere, yang
berarti buusuk, rusakk, menggooyahkan, memutarbali
m ik, menyoggok. Apa yang
dibusukann oleh koruupsi? Koruupsi yang dipahami
d m
masyarakat secara eko
onomi
biasanya tanda-tanda
t a moral/akhllak masyaraakat yang ruusak oleh kkeluasan praaktik-
praktik yaang membussukan keuanngan negaraa pada tingkkat yang suddah kronis.
9.4 9.3 9.22 9.2 9 8..9 8.9 8.7 8.7
8 8.7
5.5
4
4.5
3.4 2.8
2.2 1.4
Brunai…
Singapore

Indonesia
Canada
Denmark

Netherlands
Switzerland
Finland
Sweden

Australia
New Zealand

Iceland

Thailand

Timor leste
Myanmar
Malaysia
l i
g p

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 39 57
5 88 114 151
1 178

Sumber : www.transp
w parency.orgg,2010
Gambar 1. Indeks Perrsepsi Koruupsi Indonessia dan Neggara Lain di Dunia
Inddonesia sellama ini diikenal sebaagai salahsaatu negara dengan angka
a
korupsi yang
y tinggi di dunia. Dari data survey yanng dilakukaan oleh lem
mbaga
Transpareency Internaational dikeetahui Pada tahun 20099 dan 2010,, Indeks Perrsepsi
Korupsi (IIPK) Indonnesia beradda pada skorr 2.8, dengaan kata lainn pada dua tahun
ini di Indonesia tiddak ada perrbaikan sam
ma sekali, sehingga
s daapat disimpu
ulkan
korupsi diianggap maasih merajaalela, karenaa para elit politik di nnegeri ini belum
b
menunjukkan kemauann politik daalam menjalankan kekuuasaan negaara dengan bersih
b
bebas darri unsur koorupsi. IPK
K 2.8 meneempatkan Inndonesia ppada tahun 2010
berada di posisi ke 114 dari 178
1 negara yang disurrvey (Gam
mbar 1). Ren
ntang
indeks anttara 0 samppai dengan 10, 0 beraarti diperseppsikan sangaat korup, daan 10
sangat bersih. Apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN praktek
korupsi menempatkan Indonesia rata-rata dari tahun ke tahun menduduki urutan
kedua terburuk (Gambar 2).
10.00
9.00
Cina
8.00
7.00 Jepang
6.00 Korea Selatan
5.00
Singapura
4.00
3.00 Indonesia
2.00 Malaysia
1.00
Thailand
0.00
Filipina

Sumber : Transparency International, 2011(diolah).


Gambar 2. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dan Negara ASEAN +3
Budaya korupsi sudah sedemikian berakar jauh sebelum era Indonesia
yang sekarang. Menurut Myrdal, korupsi di Asia Selatan dan Tenggara berakar
dari penyakit neopatrimonalisme, yaitu warisan budaya feodal pada masa
kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam
hubungan patron-client tersebut, rakyat biasa atau bawahan memiliki kewajiban
memberi upeti kepada pihak-pihak yang berkuasa, sementara itu kekuasaan harus
diwujudkan secara materi/kekayaan serta dukungan sejumlah penduduk yang
harus dijaga kesetiaannya1. Kemudian kini berkembanglah money politics dalam
pemilihan presiden, DPR/DPRD, gubernur, walikota, bupati, pimpinan partai
politik dan seterusnya2, pada setiap masa pemerintahan di Indonesia (Orde Lama,
Orde Baru, dan Era Reformasi).
Akibat dari adanya money politics memberikan kontribusi terhadap
tingginya pengeluaran calon pejabat negara/daerah dalam pemilihan umum
(pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), untuk memenuhi pembiayaan
politik dalam proses pemilihan, seorang calon pejabat negara/daerah perlu
mencari dukungan pembiayaan dari kelompok kepentingan dan pelaku politik.
                                                            
1
Damanhuri DS, Korupsi,Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia,
Jakarta:LPFEUI,2006,hal 9.
2
Ibid.


 
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Aditjondro di daerah Poso, menengarai
bahwa para pelaku bisnis di tingkat provinsi dan nasional memiliki kepentingan
sendiri untuk mendukung seorang calon yang pada gilirannya harus “dibayar”
kelak ketika sang calon berhasil terpilih3. Pada akhirnya nanti kebijakan-
kebijakan yang lahir dari para pemerintah negara/daerah sudah tidak lagi
independen, bukan lagi bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tapi
lebih banyak menguntungkan segelintir pihak yang terkait dengan money politics
tersebut.
Dalam kondisi seperti yang diuraikan di atas, Myrdal dalam bukunya
Asian Drama pernah memberikan kritikan terhadap negara berkembang yang
dikatakan berstruktur lembek (soft state) terutama berlangsung di Asia Selatan
dan Asia Tenggara4. Dimana para elite politik di negara-negara tersebut sangat
kompromistik dengan segala bentuk korupsi.
Korupsi bisa menjadi kontributor utama terhadap tingkat pertumbuhan
yang rendah dari banyak negara berkembang5, disamping itu korupsi juga dapat
tumbuh bersama dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, walaupun demikian
pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi tidak berkualitas melalui pemborosan
dana pembangunan (high cost economy), sehingga pembangunan ekonomi
menjadi tidak merata.
Korupsi tidak menunjukan hubungan langsung terhadap kemiskinan.
Korupsi mempunyai konsekuensi terhadap faktor-faktor yang menentukan
pertumbuhan ekonomi, seperti menghambat investasi, mendistorsi alokasi
sumberdaya, menurunkan kapasitas fiskal dan membuat kualitas infrastruktur
rendah. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut memengaruhi tingkat kemiskinan.
Sebagai contoh, untuk pengembangan sumber daya manusia, korupsi membuat
kualitas dan kuantitas sekolah jadi tidak optimal, demikian juga dengan upaya
ketersediaan kebutuhan dasar (basic needs), seperti air bersih, pangan, dan
pelayanan kesehatan masyarakat. Hal ini membuat masyarakat Indonesia menjadi
                                                            
3
Aditjondro (tidak dipublikasikan) dalam Taufik R, Maria P,Dewi D, Memerangi Korupsi di
Indonesia yang Terdesentralisasi, Bank Dunia, 2007, hal 15.
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/Memerangi_Korupsi_
dprd.pdf, 28 Desember 2012.
4
Asian Drama dalam Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan, Jakarta:LPFEUI, 2010,
hal 30.
5
Mauro P, Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 110,1995.


 
kurang terdidik, kurang gizi dan gampang sakit. Sehingga pada akhirnya
masyarakat Indonesia kurang siap bersaing secara regional maupun internasional.

Dari tahun ke tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di


Indonesia jumlahnya terus meningkat. Pada masa Orde Baru APBN diperkirakan
mengalami kebocoran mencapai 30 persen (Incremental Capital Output Ratio/
ICOR) hingga lebih dari 50 persen (Input Output/ IO), dengan demikian
sesungguhnya potensi pertumbuhan ekonomi yang bisa mencapai 12 persen
menjadi hanya tumbuh 7 persen per tahun6. Pada masa reformasi, dengan adanya
desentralisasi fiskal maka ada sebagian dari APBN yang ditransfer ke daerah.
Desentralisasi atau otonomi daerah/khusus di negeri ini dimulai sejak
berlakunya Undang-Undang (UU) Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah, menggantikan Undang-Undang Nomer 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah, yang diimplementasikan sejak januari 2001. Perubahan
paling penting adalah pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah
menyangkut sektor pelayanan publik7. Bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan pemerintah Kabupaten/ Kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan,
pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,
penanaman modal, lingkungan hidup, koperasi dan tenaga kerja8.
Secara normatif, otonomi daerah merupakan sebuah alat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum. Pertanyaannya
adalah setelah lebih dari satu dasawarsa lebih otonomi daerah diterapkan, apakah
tujuannya telah tercapai? dari segi ekonomi, peran pemerintah daerah memang
semakin besar, dari berbagai sumber data diketahui beberapa daerah mampu
meningkatkan pendapatan perkapita daerahnya lebih besar daripada pendapatan
perkapita nasional. Namun, hal itu hanya sebatas data, pada kenyataannya rakyat
daerah yang penuh sumber daya alam belum tentu sejahtera. Di daerah yang kaya,

                                                            
6
Damanhuri DS, op. cit, hal 128.
7
Pasal 7 UU No.22/1999
8
Pasal 11 ayat (2) UU 22/1999


 
seperti Riau, Kalimantan Timur dan Papua sejumlah pejabatnya justru terbelit
kasus korupsi9.
80
58
60 46
41 45
39 40
40 30 27
18 25 25
18 15 19 15 182215 22
20 14 19
14
20 13

0
2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata

Belanja Pegawai Belanja Barang Jasa


Belanja Modal Belanja Lainnya

Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2012.


Gambar 3. Postur Belanja APBD, 2007-2011 (%)
Besarnya dana transfer yang berlebihan juga akan memberikan implikasi
bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara tidak efisien10. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ternyata masih bias kepentingan elite,
dana yang dialokasilkan untuk elite terlalu besar daripada untuk anggaran
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kementrian Keuangan mencatat APBD
periode 2007-2011 rata- rata persentase untuk belanja pegawai lebih tinggi
dibandingkan untuk belanja modal (Gambar 3).
Terlebih lagi sisa persentase dari anggaran yang dimaksudkan untuk
membangun ekonomi masyarakat masih juga dikorupsi oleh oknum pemerintah
daerah maupun masyarakat. Kompleksitas permasalahan yang muncul
kepermukaan adalah terkuaknya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat
daerah dan anggota legislatif daerah. Jadi bukan hanya saja kekuasaan yang di
desentralisasikan dari pusat ke daerah tapi juga korupsi itu sendiri. Desentralisasi
yang tidak diiringi dengan kesiapan pemerintah daerah yang mengelola
menorehkan tambahan panjang sejarah korupsi di Indonesia.

                                                            
9
Elok D. Briggita I (Maria Hartiningsih), Korupsi yang Memiskinkan, Jakarta:PT.Kompas Media
Nusantara, 2011, hal 73.
10
Mardiasmo dalam Suparno, Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian di
Indonesia , Tesis, FEM IPB, 2010.


 
264

56
23 18 1
14 13 12 10 8 7 4 4 2 1

Sumbber: ICW, 2012.


2
Gam
mbar 4. Jumllah Kasus Korupsi
K Mennurut Lembaga Tahun 2011
2
Menurutt Indonesiaa Corruptioon Watch (ICW), paada tahun 2011 saja
mbaga yangg terdeteksi paling raawan koruppsi. Posisi tiga besar
terdaapat 14 lem
lembbaga yang paling raw
wan tingkat korupsinyaa yaitu selluruh lembaaga dalam
jajaraan pemerinttah daerah, seperti pem
merintah kab
bupaten (pemkab) denggan jumlah
264 kasus koruupsi dengaan kerugiann negara 960 milyar rupiah. Diiikuti oleh
kelem
mbagaan daalam naunggan pemerinntah kota (p
pemkot) denngan jumlahh 56 kasus
denggan kerugiann negara 2.4494 milyar rupiah, sertta seluruh leembaga dallam jajaran
pemeerintah provvinsi (pempprov) dengaan jumlah 23
2 kasus denngan keruggian negara
88 milyar
m (Gam
mbar 4).
Media massa
m baru--baru ini jugga ramai memberitaka
m an, bahwa ddi Provinsi
Bantten juga tiddak luput daari berbagaii masalah korupsi.
k Adda banyak kkasus yang
sudahh terungkaap dan telaah diselesaaikan secaraa hukum, adapula yaang masih
menjjadi dugaann kasus koorupsi. Bannten adalah provinsi yang
y tergollong kaya,
mem
miliki bandaara internassional dan ribuan
r indu
ustri berskaala nasionall termasuk
P.T. Krakatau Steel.
S Tidaak hanya ittu, Banten juga memiiliki properrti-properti,
berbaagai tempatt wisata daan berbagaii mall besaar. Namun sangat ironnis, Banten
minim
m sarana prasarana
p daan pembangunan di Banten
B sanggat lambat. Walaupun
proviinsi Bantenn tidak jauhh dari Daeerah Khususs Ibukota (DKI)
( Jakaarta namun
penggawasan terhhadap tindaak pidana koorupsi masih
h minim. Monopoli
M keekuasaan di


 
bidang pemerintah, sangat rentan menyebabkan penyalahgunaan wewenang
dalam penggunaan anggaran.

1.2 Perumusan Masalah


Sejak Otonomi daerah, semakin banyak kasus korupsi di berbagai daerah
yang terungkap dengan objek utamanya adalah APBD. Korupsi di daerah yang
diwarnai korupsi dalam proses politik telah membelokan tujuan dari pelaksanaan
desentralisasi.
Praktek korupsi di pemerintahan daerah terjadi di berbagai negara di
dunia, begitu pula negara Indonesia. Untuk menangkap gambaran korupsi di
salahsatu daerah di Indonesia, maka dilakukan penelitian kasus korupsi di wilayah
Provinsi Banten. Wilayah Banten terutama Kota/kabupaten Tanggerang
merupakan wilayah penyangga ibukota negara. Setelah lebih dari satu dasawarsa
otonomi daerah ternyata Provinsi Banten tidak menunjukan prestasi yang
menggembirakan.
Diperkuat sejumlah data, seperti misalnya pada tahun 2008, Indeks
governance di Banten hanya rata-rata 0.3 dari skala 1 yang berarti sangat rendah,
menurut Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada
(PSKK UGM). Demikian juga Indeks Integritas Pemerintah daerah yang menurut
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kurang, yakni hanya 5.88 dari skala 10.
Juga Indeks Persepsi Korupsi menurut Transparency Internasional Indonesia
(TII) hanya sebesar 4.6 dari skala 10. Terakhir, Indonesian Corruption Watch
(ICW) menyebut Banten sebagai provinsi terkorup ke-15 dari 33 provinsi di Indo-
nesia.
Pemilihan Umum Kepala Daerah (PILKADA) di daerah provinsi Banten
yang dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2011 untuk periode 2011-2016, sebagai
potret salahsatu pelaksanaan pilkada di Indonesia. Pilkada yang terbebas dari
praktek korupsi pemilu, dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu penyalahgunaan
kekuasaan, politik uang, dan kepatuhan terhadap dana kampanye. Berdasarkan
data ICW pilkada di pemerintah Provinsi Banten telah meninggalkan banyak
kejanggalan dan dugaan praktek korupsi politik.


 
Bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber daya alam para pendukung
dana kampanye melibatkan para pemburu rente yang mengincar kekayaan alam
tersebut, namun pada kasus Provinsi Banten para pemburu rente mengincar
proyek-proyek APBD. APBD menjadi sasaran bagi para pencari rente ekonomi
yang mengharapkan keuntungan tanpa dasar, para pencari rente bukan hanya
sektor swasta, namun juga pemerintah (politisi dan birokrasi).
Korupsi APBD di daerah biasanya dilakukan bahkan sebelum kepala
daerah berkuasa, sumber pembiayaan dimanipulasi, perburuan rente ekonomi
dilakukan untuk modal kampanye dan kemenangan calon kepala daerah.
Kekuasaan yang diperoleh atas kemenangan kepala daerah dari proses pilkada
yang tidak bersih hanya akan menghasilkan perburuan rente yang lebih luas lagi.
Maka diduga akibat biaya politik yang tinggi (high cost politic) di dalam pilkada
adalah salahsatu faktor yang menyebabkan pemborosan/ kebocoran sumber-
sumber ekonomi ( high cost economic) dalam hal ini adalah APBD.
Korupsi memang tidak menunjukan hubungan langsung terhadap
kemiskinan dan upaya perbaikan kebutuhan dasar, tetapi korupsi mempunyai
konsekuensi terhadap pertumbuhan ekonomi rendah di daerah yang merupakan
indikator utama dalam pembangunan daerah, yang pada gilirannya pemerintah
daerah (pemda) menjadi tidak efektif dalam menanggulangi kemiskinan dan
memenuhi kebutuhan dasar. Namun korupsi juga pernah diyakini dapat
memperlancar perekonomian, sebagai uang pelicin (speed money) dalam
menjalankan roda bisnis dan perdagangan, yang dapat memfasilitasi pertumbuhan
ekonomi.
Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente ekonomi
di pemerintah Provinsi Banten ?
2. Bagaimanakah dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional
di Indonesia ?


 
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang dan perumusan masalah, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di
pemerintah Provinsi Banten.
2. Menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di
Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi tentang praktek korupsi di daerah.
2. Dengan tercapainya tujuan penelitian diharapkan mampu membantu
masyarakat dan pemerintah meminimalkan korupsi pada tingkat daerah,
sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
3. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengungkap akar permasalahan
dari korupsi yang ada di daerah, juga menyarankan solusi yang tepat
sasaran, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan pemberantasan korupsi di Indonesia.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini, menganalisis mekanisme perburuan rente ekonomi dalam
studi kasus dugaan korupsi APBD di pemerintah Provinsi Banten pada tahun
2011. Sangat luas pengertian korupsi maka untuk tujuan pertama penelitian,
memfokuskan pada korupsi di daerah yang terjadi pada APBD. Korupsi APBD
disini adalah korupsi yang mencakup korupsi pada pos-pos yang terdapat dalam
APBD. Dalam konteks ini, korupsi mencakup perilaku koruptif (corruptive
behavior) yang berbentuk aktivitas pencarian rente. Analisis yang dilakukan yaitu
dengan pendekatan analisa ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara
fenomena politik dan fenomena ekonomi.
Analisis untuk studi kasus mekanisme perburuan rente ekonomi di
Provinsi Banten, dilakukan pada kasus-kasus yang dipilih, yaitu :


 
1. Dugaan korupsi Pemilihan Kepala Daerah tahun 2011.
2. Dugaan korupsi APBD pada Dana bantuan sosial dan hibah tahun
2011.
3. Dugaan korupsi dalam proyek-proyek APBD.
Kemudian, untuk menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan
ekonomi regional dilakukan pada tahun 2008 dan 2010 pada 48 kota/kabupaten di
Indonesia. Untuk tujuan kedua penelitian ini, pengertian korupsi adalah definisi
dari Transparency International, yaitu mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor
publik baik politisi maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara
tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka
dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data Primer
yang diambil sesuai dari kebutuhan penelitian yaitu hasil dari wawancara
mendalam (in depth interview). Data sekunder yang digunakan diambil dari
dokumen-dokumen terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian,
dokumen-dokumen pemerintah serta data lainnya yang relevan dengan penelitian
dari berbagai sumber yang diuraikan pada bab berikutnya.

10 
 
2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini diuraikan berbagai pustaka yang menjadi dasar dalam
penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari pembahasan teori-teori, penelitian
terdahulu, dan kerangka pemikiran. Sementara itu teori-teori yang dibahas adalah
teori tentang korupsi, pertumbuhan ekonomi, perburuan rente ekonomi dan
desentralisasi. Selain itu ada juga sub-bab pembahasan tentang variabel-variabel
yang membangun Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang digunakan dalam
penelitian ini.
Kemudian penelitian terdahulu yang digunakan adalah penelitian tentang
korupsi yang berkaitan dengan perilaku pencarian rente, penelitian tentang
korupsi dan pertumbuhan ekonomi, juga penelitian tentang pertumbuhan ekonomi
regional. Setelah mengkaji berbagai teori dan penelitian terdahulu maka
disusunlah suatu kerangka pemikiran dari penelitian ini yang disajikan dalam
bentuk bagan alur.

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Korupsi
Menurut Transparency International11definisi korupsi adalah mencakup
perilaku pejabat-pejabat sektor publik baik politisi maupun pegawai negeri, yang
memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan melanggar hukum, atau orang-
orang yang dekat dengan mereka dengan menyalahgunakan kekuasaan yang
dipercayakan kepada mereka. Korupsi secara lebih spesifik dikelompokan dalam
dua kategori, yaitu korupsi sesuai peraturan yang berlaku dan korupsi melanggar
peraturan yang berlaku.
Korupsi sesuai peraturan yang berlaku terjadi dalam situasi, apabila
seorang pejabat mendapat keuntungan pribadi secara illegal karena melakukan
sesuatu yang sudah menjadi kewajibannya untuk melaksanakan sesuai dengan
undang-undang. Korupsi melanggar peraturan yang berlaku terjadi dalam situasi,
suap diberikan kepada pejabat yang menurut undang-undang dilarang untuk

                                                            
11
Pope J, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional, Jakarta:Yayasan
Obor Indonesia, 2002, hal 7.

11 
 
melakukan pelayanan tersebut. Keduanya dapat terjadi dalam semua tingkat
hierarki pemerintahan.
Namun, korupsi dapat juga dipandang sebagai prilaku tidak mematuhi
prinsip “mempertahankan jarak”, artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang
ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat
publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan. Prinsip ini
adalah landasan untuk organisasi apapun mencapai efisiensi, apabila sekali
dilanggar, maka korupsi akan timbul.
Menurut World Bank Guidelines12“Praktek Korupsi” adalah
menawarkan, memberikan, menerima atau meminta, langsung atau tidak
langsung, segala sesuatu yang bernilai untuk memengaruhi tindakan pihak lain
secara tidak patut . Sedangkan “Praktek Kecurangan “ adalah suatu tindakan atau
penghapusan, termasuk misrepresentasi yang secara sadar maupun secara
sembrono menyesatkan atau berupaya menyesatkan , suatu pihak untuk
mendapatkan keuntungan financial atau keuntungan lain atau menghindari
kewajiban. “Praktek Kolusi” adalah kesepakatan dua pihak atau lebih yang
dirancang untuk mencapai tujuan yang tidak sepatutnya, termasuk untuk
memengaruhi tindakan pihak lain secara tidak patut.
“Praktek pemaksaan (koersif)” mencakup merusak atau merugikan , atau
mengancam untuk merusak atau merugikan , secara langsung ataupun tidak
langsung, suatu pihak atau property pihak tersebut untuk memengaruhi tindakan-
tindakan suatu pihak secara tidak patut. Dan “Praktek obstruktiif” adalah (i)
dengan sengaja merusak, memalsukan, mengubah, atau menyembunyikan bahan
bukti investigasi, atau membuat pernyataan palsu kepada petugas penyelidik
untuk secara material menghalangi investigasi bank terhadap tuduhan praktek
korupsi kecurangan, pemaksaan atau kolusi, dan atau mengancam ,mengganggu,
mengintimidasi suatu pihak untuk menghalanginya dalam menyingkap
pengetahuannya tentang hal hal yang terkait dengan investigasi atau dalam
melakukan investigasi, (ii) perbuatan yang secara material menghalangi hak
pelaksanaan Bank dalam mengaudit atau mengakses informasi.

                                                            
12
Sunaryadi A (Maria Hartiningsih), op.cit, hal 291-292.

12 
 
Menurut Undang Undang, definisi korupsi telah secara lengkap dijelaskan
dalam 13 buah pasal dalam Undang Undang (UU) Nomer 31 tahun 1999 jo. UU
No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana
terdapat 30 jenis korupsi yang dikelompokan menjadi Kerugian Keuangan Negara
(2 jenis), Suap Menyuap (12 Jenis), Penggelapan dalam jabatan (5 Jenis),
Pemerasan (3 jenis), Perbuatan curang (6 Jenis), Benturan kepentingan dalam
pengadaan (1 jenis), Gratifikasi (1 jenis)13.
Jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi
terdiri atas14: Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi (Pasal 21), tidak
memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (Pasal 22 jo.Pasal
28), bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka (Pasal 22 jo.
Pasal 29), dan Sanksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi
keterangan palsu ( Pasal 22 jo.Pasal 35), orang yang memegang rahasia jabatan
tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu (Pasal 22
jo.Pasal 36) dan saksi yang membuka identitas pelapor (Pasal 24 jo.Pasal 31).
Damanhuri15 membagi korupsi menjadi 7 macam, yaitu korupsi
transaktive (kolusi), extortive (memeras), investive (suap), nepotisme, autogenic
(Dilakukan seorang diri), Supportive (bias kekuasaan), dan defensive
(Keterpaksaan). Sedangkan Lopa16 membagi korupsi menjadi dua bentuk, yaitu
material/economic corruption dan political corruption. Bentuk pertama, adalah
yang lebih banyak menyangkut penyelewengan di bidang materi (uang) dengan
manipulasi di bidang ekonomi yang merugikan perekonomian negara, dan yang
kedua, berupa perbuatan manipulasi pemungutan suara dengan cara penyuapan,
intimidasi, paksaan, dan campur tangan yang dapat memengaruhi kebebasan
memilih, komersialisasi pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada
keputusan yang bersifat admnistaratif, janji jabatan dan sebagainya.

                                                            
13 KPK, Memahami Untuk Membasmi, Jakarta:KPK, 2006,hal 15,
http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1250, 28 November 2011.
14 Ibid.

15
Damanhuri DS, Ekonomi Politik Alternatif, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan,1996, hal 124.
16
Lopa B, Kejahatan Korupsi dan Penegakan hukum, Jakarta: Kompas, 2001, hal 67-71.

13 
 
Menurut Klitgaard17 korupsi dapat dilakukan secara free lance yang
artinya pejabat secara sendiri atau dalam sekelompok kecil menggunakan
wewenang yang dimilikinya untuk meminta suap dan hypercorruption yaitu
korupsi yang tidak menghiraukan aturan main sama sekali, yang sistematis
menimbulkan kerugian ekonomi karena mengacaukan insentif, kerugian politik,
kerugian sosial, karena kekayaan dan kekuasaan jatuh ke tangan-tangan yang
tidak berhak. Namun sayangnya jenis hypercorruption adalah yang dewasa ini
sering kita jumpai di pemerintahan daerah di berbagai negara di dunia, sehingga
hak milik tidak dihormati, aturan hukum diremehkan, membuat kacau insentif
investasi, dan berakibat melumpuhkan pembangunan ekonomi dan politik daerah.
Hubungan pola korupsi dalam hierarki ada dua macam18, yaitu hubungan
pola dari bawah ke atas (bottom-up) dan hubungan dengan pola dari atas ke
bawah (top-down). Pola yang pertama dilakukan dengan cara para pegawai
tingkat rendah mengumpulkan suap dan membaginya dengan atasan mereka,
secara langsung maupun tidak langsung. Pola yang kedua beroperasi dimana
pegawai tinggi/ pimpinan menutup mulut para bawahannya dengan membagikan
keuntungannya yang didapatkan dengan korupsi, melalui gaji yang tinggi dan
fasilitas untuk bawahan atau keuntungan dibawah meja.
Bentuk dan definisi korupsi yang luas menjadikan makna korupsi masih
rancu (ambigu) sehingga sulit dibedakan. Contohnya adalah batas perbedaan
antara korupsi ekonomi (economic corruption) dan korupsi politik (political
corruption). Walaupun demikian menurut Riyanto19 usaha untuk kepentingan
pribadi termasuk upaya merancang kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan
peluang atau kesempatan agar tetap bertahan di pemerintahan dapat dipandang
sebagai korupsi ekonomi politik (political economic corruption).
Dari berbagai pandangan para ahli, ada banyak faktor yang mendorong
terjadinya korupsi, menurut Nisjar20ada empat faktor penyebab terjadinya korupsi,

                                                            
17
Klitgaard R, Penuntun Pemberantasan korupsi dalam pemerintahan daerah, Jakarta:Yayasan
Obor, 2005,hal 3.
18
Ackerman SR, Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2006, hal 115
19
Riyanto,Korupsi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah: Suatu Kajian Ekonomi Politik dan
Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, hal 35.
20
Nisjar K, Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem and Sollution of
Corruption in Indonesia), Jurnal Akuntansi/thIX/03/September/2005, hal 260.

14 
 
yaitu: (1) Sistem administrasi yang memberi peluang terjadinya kebocoran, (2)
Tingkat kesejahteraan aparatur rendah, (3) Hukum yang ada belum cukup
menangani perkembangan tindak korupsi yang merajalela, serta sanksi hukum
atas tindak pidana korupsi belum maksimal dijalankan, (4) Kecenderungan kolusi
yang sulit dibuktikan. Sedangkan Lutfi menyatakan faktor-faktor penyebab
korupsi adalah (1) Motif, motif ekonomi maupun politik,(2) Peluang,(3) lemahnya
pengawasan21.
Singh22 menemukan bahwa sebab terjadinya korupsi di India adalah
kelemahan moral (41.3 persen), tekanan ekonomi (23.8 persen), hambatan
struktur administras (17.2 persen), hambatan struktur social (7.08 persen). Ainan
23
menyebutkan beberapa sebab terjadinya korupsi, yaitu : (1) Perumusan undang-
undang yang kurang sempurna, (2) Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak
luwes dan (3) Tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat
pemerintah dengan upeti dan suap.
Selain itu, Menurut Pope faktor paling populer yang sering disebut-sebut
sebagai penyebab korupsi, yaitu kemiskinan dan mitos kebudayaan. Kemiskinan
menurut sebagian orang adalah akar korupsi, dimana ketiadaan harta dan
kemakmuran membuat orang terpaksa untuk mencari sumber dana tidak legal
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, namun persepsi tersebut segera
terbantahkan karena banyaknya koruptor-koruptor pada berbagai kasus korupsi
melibatkan banyak kelompok konglomerat dan pejabat-pejabat daerah yang tidak
termasuk dalam kelompok “miskin”, apabila kemiskinan menyebabkan korupsi
maka sulit menjelaskan mengapa negara-negara kaya dan makmur pun penuh
dengan skandal korupsi.
Korupsi merupakan pisau bermata dua, dimana korupsi dapat muncul dari
harta dan kemakmuran, atau juga dapat muncul dari ketiadaan harta dan
kemakmuran. Korupsi justru dapat menyebabkan kemiskinan, karena keputusan-
keputusan mengenai anggaran publik di dasarkan pada pertimbangan keuntungan

                                                            
21
Lutfi dalam Sopanah, Wahyudi I, Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Korupsi APBD di
Malang Raya, hal 5. http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/277/290, diakses
14/9/2012
22
Singh dalam Soesatyo B, Perang-perangan Melawan Korupsi : Pemberantasan Korupsi di
Bawah pemerintahan Presiden SBY, Jakarta:Ufuk Press, 2010, hal 26.
23
Ainan dalam ibid, hal 26.

15 
 
pribadi dan ditopang oleh uang sogok luar biasa besar dari perusahaan-perusahaan
dari negara industri tanpa mempertimbangkan sedikitpun kepentingan negara
bersangkutan atau rakyatnya24.
Di Negara-negara berkembang korupsi merupakan bagian dari
kebudayaan, yang berasal dari kebiasaan memberi hadiah, bahkan di beberapa
lembaga negara korupsi menjadi sesuatu yang biasa terjadi. Namun apabila kita
lihat kebelakang korupsi merupakan sebuah kebudayaan yang dibawa oleh
kekuatan asing, misalkan di negara-negara Afrika penjajahan ditandai oleh tidak
adanya transparansi. Pengadilan yang ada bukan untuk menegakan keadilan dan
hukum, justru untuk mempertahankan penjajahan. Sesungguhnya dalam konsep
Afrika mengenai hormat-menghormati dan sopan santun, hadiah biasanya kecil
saja, memberi hadiah bukanlah suatu keharusan, nilai yang dilihat adalah
semangatnya bukan dari berapa besar hadiahnya. Pemberian hadiah biasa
dilakukan secara terbuka, bukan sembunyi-sembunyi, dan nilainya apabila
berlebihan akan membuat orang merasa malu.
Klitgaard memodelkan secara sederhana faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi, yaitu Korupsi (Corruption) sama dengan kekuasaan monopoli
(Monopoly power) ditambah wewenang pejabat (Discretion by officials) dikurangi
akuntabilitas (Accountability) atau dapat pula dirumuskan seperti di bawah ini25:
C = M + D – A…………………………………………………………………(2.0)
Korupsi adalah kejahatan kalkulasi , orang cenderung melakukan korupsi
apabila resikonya rendah, sanksi ringan dan hasilnya besar. Apabila kekuasaan
monopoli makin besar maka hasil yang diperoleh akan lebih besar. Berdasarkan
model yang disusun Klitgaard menunjukan bahwa korupsi akan muncul jika
terjadi monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, terjadinya penyimpangan
kebijakan publik, dan tidak adanya pertanggungjawaban terhadap publik setiap
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Maka salah satu pendekatan membasmi
korupsi adalah dengan cara mengurangi monopoli, memperjelas dan membatasi
wewenang, juga meningkatkan akuntabilitas.

                                                            
24
Pope J, op.cit, hal 17.
25
Klitgaard R, op.cit, hal 37.

16 
 
Semua faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi di atas tidak dapat
dipisahkan, seluruhnya adalah satu kesatuan yang pada akhirnya menciptakan
prilaku korupsi. Namun khusus bagi kasus Indonesia pada era desentralisasi
fiskal, ada faktor politik yang mendorong terjadinya korupsi di daerah, termasuk
yang bersumber dari APBD, yaitu kekeliruan dalam penyelengaraan pemilu
kepala daerah (PILKADA). Pilkada dijadikan ajang transaksional, biaya tinggi
dalam pemilihan membuat calon kepala daerah mencari sumbangan dari sektor
swasta. Akibatnya , setelah calon terpilih kepala daerah sibuk mengembalikan
uang yang dikeluarkan dalam pemilihan, sekaligus mengembalikan investasi yang
diberikan pihak swasta yang membantunya26.
Sedangkan pada praktek pilkada di daerah Sulistio27 mengungkap ada lima
hal tindakan korupsi yang biasa dilakukan kontestan, terutama incumbent dalam
proses pelaksanaan pilkada, yaitu: (1)Penyelewengan jabatan, (2)Pemakaian
fasilitas publik, (3)Money politics, (4)Manipulasi dana kampanye, dan
(5)Pemakaian anggaran publik.
Secara lebih jelas, Jain28 melakukan pemetaan area tempat korupsi terjadi
di negara demokrasi, yang kemudian disesuaikan untuk kondisi di Indonesia oleh 
Zachrie dan Wijayanto29, Gambar 5 di bawah ini membantu memberikan
gambaran untuk tempat yang berpotensi korupsi.
Interaksi 1, melibatkan rakyat dan pemimpin negara (dalam kasus daerah
adalah rakyat dan pemimpin daerah) yang dipilih berdasarkan proses demokrasi,
dalam interaksi ini menimbulkan peluang korupsi politik dalam berbagai bentuk,
termasuk salah satunya money politics, dukungan pembiayaan mereka dapatkan
dari para investor politik. Interaksi 2 terdiri atas 3 bagian, yaitu (1) interaksi
antara birokrat dan pemimpin pilihan rakyat, (2) Interaksi antara birokrat dan

                                                            
26
Pernyataan Arif Nur Alam (Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre) dalam Soesatyo B,
Op.cit, hal 29.
27
Sulistio F, Perilaku Korupsi dalam Pemilukada, Dipublikasikan dalam Jurnal Konstitusi PPK
FH UB.http://faizinsulistio.lecture.ub.ac.id/2011/05/perilaku-korupsi-dalam-pemilukada/, diakses
6/4/2012
28
Jain AK, Corruption: A Review, Jurnal of Economic Survey, Vol 15, No.1, Corcodia University,
2001, hal 74.
29
Zachrie R, Wijayanto, Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab akibat dan Prospek
Pemberantasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010, hal 13-15.

17 
 
anggota legislatif dan (3) Interaksi antara birokrat dan rakyat. Interaksi ini
membuka peluang terjadinya korupsi birokrat. Birokrat/ pejabat publik yang
dipilih oleh pemimpin negara adalah perpanjangan tangan untuk memeras
kekayaan negara, dan menyerahkan setoran rutin kepada para elit politik untuk
melanggengkan posisi politik mereka melalui proses demokrasi yang koruptif.

Menyetujui
berbagai program
pemerintah

Pemimpin Anggota
Negara 3 Legislatif

memilih
2 2
memilih memilih
Kebijakan Birokrat Menegakan
Publik
hukum dan
perundangan

Memberikan 2
4
1  Jasa

Rakyat:

Menerima manfaat tergantung dari kemampuan untuk


memengaruhi pengambilan keputusan

Sumber : Zachrie, Wijayanto, 2010.


Gambar 5. Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara Demokrasi
Interaksi 3, Interaksi antara pemimpin negara dan anggota legislatif dalam
merumuskan dan menyetujui berbagai program pemerintah biasanya terjadi tarik
menarik kepentingan dan sangat rentan menimbulkan perselingkuhan, karena
konstituen tidak dapat mengawasi apakah para wakil yang mereka pilih benar-
benar mewakili kepentingan mereka, proses pembuatan program pemerintah
sangat miskin akuntabilitas. Mereka dapat merumuskan dan memutuskan

18 
 
kebijakan yang tidak menomorsatukan kepentingan rakyat, misalnya dalam
kebijakan alokasi anggaran, elite politik dapat mengarahkan penggunaan anggaran
pemerintah untuk sektor yang kurang bermanfaat bagi rakyat, tapi dapat
memperbesar bisnis para “investor politik” mereka (mereka adalah pemimpin
negara dan legislatif).
Interaksi 4 Korupsi Legislatif, interaksi yang melibatkan rakyat dan
anggota legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum, seringkali dalam proses
pemilihan umum legislatif, legislatif menyuap rakyat agar mereka terpilih dalam
pemilu (vote buying) sehingga mereka terpilih bukan berdasarkan kinerja tapi
berdasarkan kemampuan financial mereka. Tentu saja pada akhirnya para investor
politik dimana uang tersebut bersumber mengharapkan “pengembalian investasi”
berupa kebijakan yang menguntungkan mereka.
Menurut Kwik30 korupsi kolusi nepotisme (KKN) adalah akar dari segala
permasalahan negara (the roots af all evils). KKN tidak terbatas pada mencuri
uang namun juga sudah merasuk kedalam mental, moral, tata nilai, dan cara
berfikir. Sejak Jaman Yunani kuno sudah dikenal adanya pikiran yang teracuni
oleh korupsi (Corrupted mind). Daya rusaknya sangat dahsyat, karena sudah
menjadikan orang tersebut menjadi tidak normal lagi dalam sikap, prilaku, dan
nalar berpikirnya. Menurutnya konsep dasar pemberantasan korupsi itu sederhana,
yaitu menerapkan Carrot and Stick.
Carrot adalah pendapatan bersih (net take home pay) untuk pegawai negeri,
sipil, maupun Tentara Negara Indonesia (TNI) Kepolisian Republik Indonesia
(POLRI) yang jelas mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan
pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, kepemimpinan, pangkat dan
martabatnya. Pendapatan tersebut dibuat tinggi, sehingga tidak hanya cukup untuk
hidup layak, tetapi cukup untuk hidup dengan gaya “gagah” namun tidak
berlebihan, sehingga sama dengan kualifikasi pendidikan dan kemampuan serta
kepemimpinan yang sama di sektor swasta.
Stick atau arti harfiahnya pentung adalah hukuman yang dikenakan apabila
semua telah terpenuhi tetapi masih berani korupsi. Maka siapapun yang telah
                                                            
30
Kwik KG, Pemberantasan Korupsi: Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan
dan Keadilan, 2003, hal 2, www.bappenas.go.id/get-file-server/node/5419/ , 28 november
2011.

19 
 
melakukan korupsi harus siap menerima hukuman yang seberat-beratnya. Konsep
Carrot and Stick ini harus dijalankan beriringan, dalam era pemberantasan
korupsi di Indonesia sekarang konsep Carrot sudah mulai ditegakan namun Stick
belum.
Selain itu, penerapan Good Governance dapat menjadi solusi dalam
meminimalisir korupsi pada tubuh pemerintahan, menurut United Nation
Development Programme (UNDP) 1997 ada sembilan prinsip yang menandai
adanya Good Governance31, yaitu :
1. Partisipasi masyarakat : Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam
pengambilan keputusan, baik secara langsung, maupun melalui lembaga-
lembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh di bangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara
konstruktif.
2. Tegaknya supremasi hukum : Kerangka hukum harus adil dan
diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum
yang menyangkut hak asasi manusia. Penegakan hukum yang netral
memerlukan suatu sistem peradilan yang independen dan kesatuan polisi
netral yang tidak korup.
3. Transparansi : Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang
bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi
perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi
yang tersedia harus memadai agar dapat dipantau dan mudah dipahami.
4. Peduli pada pemangku kepentingan stakeholder (Rensponsif) : lembaga-
lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua
pihak yang berkepentingan dengan jangka waktu yang wajar.
5. Berorientasi pada konsensus : tata pemerintahan yang baik menjebatani
kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu
konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi masyarakat, dan
bila mungkin, consensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur.

                                                            
31
http://www.undp.or.id/programme/governance/intro_glg.pdf, 12 november 2012.

20 
 
6. Kesetaraan : Semua masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki dan
mempertahankan kesejahteraan mereka.
7. Efektifitas dan efisiensi : Proses pemerintahan dan lembaga-lembaga
membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan
menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
8. Akuntabilitas : Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan
organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada
masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.
Bentuk pertanggungjawaban tersebut berbeda satu sama lainnya,
tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi dan Strategis : Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif
yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa yang dibutuhkan untuk
mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus
memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial
yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

2.1.2 Korupsi di Indonesia


Menurut Damanhuri analisis korupsi di Indonesia dikemukakan oleh dua
pemikir, yaitu Myrdal dan Alatas. Myrdal menyatakan korupsi di Asia Selatan
dan Asia Tenggara berasal dari penyakit neopatrimonalisme, yakni warisan feodal
kerajaan-kerajaan lama yang terbiasa dengan hubungan patron-client. Dalam hal
ini rakyat biasa atau bawahan terbiasa memberi “upeti” kepada pemegang
kekuasaan atau atasan. Sedangkan Alatas, pakar sosiologi korupsi, menyatakan
korupsi di Asia dikaitkan dengan warisan dari kondisi historis struktural yang
telah berjalan akibat lamanya masa penjajahan . Dengan demikian secara terus
menerus bangsa ini melakukan pemutarbalikan norma, dimana yang salah jadi
benar, dan yang benar jadi salah, namun yang diutamakan adalah terjaganya
loyalitas terhadap penguasa32.
Pengulangan terus menerus terjadi terhadap norma, baik dilakukan oleh
penguasa maupun masyarakat, akhirnya penyakit menahun itu, menjadi kebiasaan
                                                            
32
Damanhuri DS, Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta:
LPFEUI, 2006, hal 9.

21 
 
dan mendarah daging dalam intelektual juga emosional. Maka norma lain
terbentuk, norma negatif yang bertentangan dengan norma lama. Menurut Alatas,
walaupun kebijakan anti-korupsi banyak dibentuk, akhirnya korupsi diterima
sebagai praktek yang tak terhindarkan karena dirasakan terlalu berakar, sehingga
sulit untuk diberantas. Secara tidak disadari penyakit-penyakit tersebut sudah
menjadi budaya dalam masyarakat Indonesia33.
Menurut sejarah, korupsi di Indonesia yang terjadi pada masa kini, tidak
terlepas dari watak para elite-nya. Sejarahwan dari Arsip Nasional Republik
Indonesia (ANRI) Lohanda34 memaparkan pada masa Majapahit sebelum Portugis
datang ke Malaka. Suku Jawa adalah pedagang dan pelaut yang memasarkan
berbagai rempah di Malaka, Mereka bermitra dengan China, India, dan Arab.
Kapiten Jawa sebagai ketua komunitas pedagang jawa merupakan bandar dunia
saat itu. Proses kolonialisasi di Indonesia terjadi pada masa kesultanan, dimana
ketika para elite penguasa saat itu sangat suka menerima upeti-upeti tanpa
melakukan kerja keras, dan menerima berbagai bentuk hutang. Pada saat mereka
tidak mampu membayar hutang, pembayaran dilakukan dengan melepas satu
persatu pelabuhan dan berbagai wilayah strategis di Indonesia kepada pihak asing.
Rickleffs adalah sejarahwan Australia yang menegaskan bahwa raja
Mataram pernah mengeluarkan ketentuan bahwa orang Jawa tidak boleh berlayar
kemanapun diluar Jawa, Madura dan Bali. Ketentuan tersebut lahir karena
banyaknya pelabuhan yang sudah dilepaskan ke tangan pihak asing. Suku bangsa
Jawa pada akhirnya berorientasi kedaratan, namun ketika terjadi perang suksesi
dan sang raja terdesak lengser dari tahta, dia menjanjikan daerah-daerah strategis
kepada VOC. Selain itu, Windu alumnus jurusan arkeologi Universitas Udayana
Bali, mengisahkan besarnya angka pajak dalam prasasti-prasasti kerajaan sudah
dilakukan pemahalan (mark up) terlebih dahulu oleh para pemungut cukai
kerajaan pada saat itu35. Berbagai hal tersebut menunjukan korupsi sudah terjadi
sejak masa kerajaan di Indonesia. Bahkan pada masa penjajahan Belanda, VOC
bangkrut pada awal abad ke-20 karena korupsi yang merajalela ditubuhnya.

                                                            
33
Ibid.
34
Santosa I (Maria Hartiningsih), opcit, hal 108-109.
35
ibid.

22 
 
Menurut Damanhuri36 pemerintahan Orde Lama juga tidak luput dari
praktek korupsi, sejarah pernah mencatat bahwa Iskak Tjokroadisuryo, mentri
ekonomi pada kabinet Alisostroamidjojo I, telah melakukan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan dilakukan pada lisensi
impor dari kebijakan politik Benteng yang bertujuan untuk memberdayakan para
pengusaha pribumi yang kompeten, namun ternyata dijual kepada para pengusaha
Cina dan konco-konconya.
Sejak itu KKN skala mega mulai berkembang, namun karena masih
diwarnai semangat kemerdekaan, berhasil dilakukan kebijakan tindakan
pemberantasan korupsi yang efektif, yang dilakukan oleh Perdana Mentri
Burhanudin Harahap yang bekerjasama dengan TNI angkatan Darat. Namun
kabinet ini berumur pendek karena terdapat konflik antarpartai sehingga
konstituate dibubarkan pada 5 Juli 1965, seiring dengan nasionalisasi perusahaan
asing. Sejak itu BUMN banyak diwarnai oleh KKN karena di lakukan pihak
partai, dan akhirnya menjadi ciri khasnya hingga masa kini.
Masa Orde Baru (OrBa) adalah masa yang penuh dengan praktek kolusi
yang terus menerus dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 30 tahun.
Praktek kolusi begitu melembaga dan biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang
memiliki kekuasaan (pemerintah) dengan kalangan pengusaha swasta. Kolusi
yang terjadi adalah untuk memperebutkan lisensi, perizinan dan bentuk
pemburuan rente lainnya. Sumber daya pemerintah yang ada kemudian hanya
akan dinikmati oleh segelintir kelompok kepentingan yang bertujuan
memperkaya diri sendiri.
Hal ini terjadi, karena di satu sisi pemerintah (penguasa dan birokrat)
membutuhkan pengusaha untuk pembangunan ekonomi, sedangkam kalangan
pengusaha swasta membutuhkan penyediaan sumber-sumber ekonomi dan
perlindungan. Pada saat itu, pengusaha swasta tidak meningkatkan kemampuan
kompetitifnya dan pemerintah tidak mau menciptakan kondisi persaingan yang
sehat. Karena, pemerintah tidak menginginkan menguatnya kalangan pengusaha
swasta yang mengancam kedudukan mereka, melainkan lebih ingin menjadi

                                                            
36
Damanhuri DS, Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori ,Kritik, dan Solusi bagi Indonesia
dan Negara Sedang Berkembang, Bogor: IPB Press, 2010, hal 127.

23 
 
penyedia sumber daya ekonomi , proteksi dan monopoli, sehingga dapat menarik
“upeti” yang lebih besar lagi dari para kalangan pengusaha swasta37. Semua hal
itu pada akhirnya menciptakan kesenjangan yang lebar antara pusat dan daerah,
yang akhirnya menciptakan ketidakstabilan kekuasaan Orde Baru.
Damanhuri38 mencatat potret korupsi yang terjadi pada masa Orde Baru,
yaitu dimulai oleh korupsi pertamina yang berskala mega pada tahun 1975,
dengan kerugian negara sebesar 12,5 miliar dollar AS. Namun tidak adanya
tindakan hukum kepada pelaku-pelaku yang terlibat, menunjukan kelumpuhan
penegakan hukum untuk kasus korupsi pada saat itu. Kemudian terdapat aliran
utang luar negeri rata-rata sebesar 5 miliar dollar AS per tahun, sehingga pada saat
Pak Soeharto lengser, stok utang pemerintah sudah mencapai 70 miliar dollar AS.
Pada masa itu terdapat banyak investasi langsung perusahaan asing, dan
eksploitasi terhadap sumber daya alam (terutama migas dan hutan). Masa OrBa
adalah masa pertumbuhan dan perkembangbiakan segala jenis dan bentuk korupsi,
sehingga adanya potensi pertumbuhan ekonomi yang harusnya dapat tumbuh 12
persen per tahun hanya tumbuh di sekitar 7 persen per tahun.
Keruntuhan Orde Baru ditandai dengan reformasi yang dilakukan sejak
1998, Namun ternyata adanya era baru yang memiliki tujuan positif untuk
kemajuan ekonomi maupun politik, justru membuka celah korupsi yang semakin
menyebar ke daerah dan berbagai lembaga pemerintah, yudikatif maupun
legislatif (pusat dan daerah). Rachbini39 memaparkan demokrasi pada masa
desentralisasi berada masa transisi yang belum matang. Wujud kelahirannya yang
tiba-tiba tidak memberikan kesempatan belajar yang cukup. Akhirnya , pelaku
demokrasi kaget dan tidak memiliki keseimbangan untuk mendorong demokrasi
yang adil, transparan dan tertuju untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bentuk demokrasi yang tidak sempurna muncul kembali, seperti bentuk
kolusi pada masa Orde Baru, bahkan lebih parah yaitu kolusi yang melibatkan
tidak hanya pemerintah dan pengusaha swasta, tetapi antar parlemen
(DPR/DPRD) dengan pemerintah maupun pemerintah daerah, dengan

                                                            
37
Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor:Menggugat Peran DPR Reformasi,
Yogyakarta:Lamalera,2012, hal 102.
38
Damanhuri DS, op.cit, hal 128.
39
Rachbini DJ, Teori Bandit,Jakarta: RMBooks,2008, Hal 35.

24 
 
memperebutkan kekuasaan maupun anggaran yang ada yaitu pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Pada masa pascareformasi parlemen semakin kuat, Parlemen memiliki
fungsi legislasi dalam membentuk undang-undang, fungsi budget dalam
membahas dan menyetujui anggaran, dan fungsi controlling untuk melakukan
pengawasan melalui berbagai instrumen yang dapat dioptimalkan bagi
pemberantasan dan pengurangan secara efektif terhadap praktek korupsi40.
Namun alih-alih melakukan check and balance, parlemen justru banyak
melakukan penyelewengan, melakukan praktek-praktek kolusif yang bertujuan
hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi dan lingkaran kecil disekitarnya. Di
sisi lain tidak ada kekuatan yang mengontrol parlemen, sehingga DPR/DPRD
menjadi tempat berkembangnya praktek politik uang dan korupsi.
Kondisi daerah-daerah di Indonesia setelah lebih dari satu dasawarsa
otonomi daerah, ternyata kurang memperlihatkan perbaikan pertumbuhan
ekonomi maupun kesejahteraan masyarakat yang signifikan. Otonomi daerah
dimaksudkan untuk membentuk keseimbangan antara pusat dan daerah, namun
sejauh ini hasil yang dapat dirasakan dalam hanyalah ditebarkannya anggaran
besar ke berbagai daerah dalam rangka otonomi anggaran. Pemerintah daerah dan
DPRD dapat menentukan pembiayaannya sendiri sesuai kewenangannya,
sehingga kekuasaan yang ada di tangan DPR/DPRD dapat disalah gunakan,
misalnya untuk jual beli pengalokasian anggaran ,dan proses pengambilan
keputusan diambil tidak transparan. Ternyata desentralisasi menghasilkan bukan
hanya praktek kolusi yang vertikal (model patron-client) tapi juga horizontal
(eksekutif-legislatif).
Harman41 menggambarkan secara singkat bagaimana dampak korupsi
terhadap kemajuan ekonomi di Indonesia, salah satunya adalah kerugian negara,
yang secara tidak langsung berdampak pada kemajuan pembangunan ekonomi.
Kekuatan negara disokong oleh APBN/APBD, namun kebocoran anggaran
maupun pendapatan itu tentu saja akan menghambat tercapainya tujuan, hambatan

                                                            
40
Harman BK, op.cit, hal 20-21.
41
ibid, hal 264-279.

25 
 
yang tercipta akibat relasi politik, bisnis dan birokratik yang korup menimbulkan
dampak ekonomi sebagai berikut:
Pertama, para investor asing enggan menanamkan modal dalam jangka
panjang di Indonesia, karena tidak adanya kepercayaan bisnis (business
confidence), motif pelaku bisnis lebih terhadap mengeruk kepentingan sebanyak
mungkin, dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga kehilangan kesempatan
jangka panjang. Kedua, Ekonomi biaya tinggi yang tercipta akibat maraknya
pungutan yang semakin tersebar luas mengakibatkan biaya produksi menjadi
mahal. Ketiga, Dengan adanya peningkatan biaya produksi hingga 5 persen
sampai 7 persen, pengusaha menyiasatinya dengan menekan upah buruh,
sehingga tingkat upah buruh menjadi sangat rendah. Keempat, korupsi yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi juga menghambat pertumbuhan industri
nasional, yang berdampak pada menurunnya daya saing produk-produk dalam
pasar global. Kelima, Dampak korupsi bukan saja pada nilai kerugian negara,
namun juga terhadap sumber daya alam (SDA), rakyat yang bergantung pada
SDA itu kehilangan mata pencaharian atau akses terhadap lahan, dan pada
akhirnya SDA yang terdistorsi itu juga akan menimbulkan kerusakan lingkungan

2.1.3 Pertumbuhan Ekonomi


Menurut Sukirno42 istilah pertumbuhan ekonomi digunakan untuk
mengukur prestasi dari perkembangan suatu ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
(economic growth) adalah perkembangan kegiatan ekonomi dari waktu ke waktu
dan menyebabkan pendapatan nasional riil berubah. Tingkat pertumbuhan
ekonomi menunjukkan persentase kenaikan pendapatan nasional riil pada suatu
tahun tertentu dibandingkan dengan pendapatan nasional riil pada tahun
sebelumnya.
Dalam kegiatan perekonomian yang sebenarnya pertumbuhan ekonomi
berarti perkembangan fiskal produksi barang dan jasa yang berlaku di suatu
negara, seperti pertambahan dan dan jumlah produksi barang industri,
perkembangan infrastruktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan
produksi sektor jasa dan pertambahan produksi barang modal.
                                                            
42
Sukirno S, Teori Makroekonomi, Edisi ketiga, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008, hal 423.

26 
 
Perhitungan pendapatan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
pendapatan menurut harga berlaku yang memberi gambaran mengenai
kemampuan rata-rata dari penduduk negara berbelanja dan membeli barang-
barang dan jasa yang diperlukannya, dan pendapatan menurut harga konstan
untuk menunjukan tingkat kemakmuran di suatu negara.
Faktor-faktor penting yang dapat memengaruhi perkembangan
pertumbuhan ekonomi yang telah lama dipandang oleh para ahli ekonomi adalah
kekayaan alam yang dimiliki suatu daerah/ negara, jumlah dan kemampuan
tenaga kerja, tersedianya usahawan yang gigih, kemampuan mengembangkan
dan menggunakan teknologi modern, serta kestabilan politik juga kebijakan
ekonomi pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi yang baik dapat tercapai apabila terjadi penataan
kelembagaan yang dilakukan secara nasional dan menyeluruh. Peranan politik
pemerintah akan memiliki arti yang besar bagi pembangunan peranan
kelembagaan-kelembagaan yang ada untuk menopang pilar pilar kehidupan sosial,
politik, budaya dan ekonomi. Negara-negara maju yang berhasil keluar dari
perekonomian yang terbelakang, biasanya memulai dengan penataan
kelembagaan-kelembagaan sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi
yang self government43yaitu pemerintahan yang mandiri yang memiliki lembaga-
lembaga yang mendukung aspek hukum, pendidikan masyarakat dan sebagainya .
Beberapa permasalahan ekonomi yang perlu diatasi dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi yang baik tercermin dalam pemikiran Arthur Lewis yaitu
44
: (1)Pertumbuhan ekonomi bergantung pada usaha mengefektifkan penggunaan
input yang ada, (2)Peningkatan pengetahuan dan penerapannya mempunyai
peranan penting dalam meningkatkan produktivitas suatu masyarakat, (3)
Produktivitas dapat ditingkatkan dengan mempertinggi ketersediaan modal
(capital) perkapita sehingga masyarakat memiliki lebih banyak peluang untuk
melakukan kegiatan-kegiatan produksi

                                                            
43
Rachbini DJ, Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Garsindo, 2001, hal
63.
44
Arthur lewis dalam Ibid.

27 
 
Dari zaman ke zaman pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu bidang
penyelidikan yang sudah lama dibahas oleh ahli-ahli ekonomi. Teori Pertumbuhan
ekonomi terus berkembang, seperti diuraikan di bawah ini :

Teori Pertumbuhan Klasik


Smith (1776) dan Ricardo (1817)45 adalah dua tokoh pemikiran
pertumbuhan ekonomi klasik. Menurut Smith dan Ricardo faktor yang
mendorong pertumbuhan ekonomi adalah tingkat perkembangan masyarakat
yang ditentukan dari jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan
tingkat teknologi.
Pendapatan masyarakat dapat di kategorikan sebagai upah pekerja,
keuntungan pengusaha, dan sewa tanah. Apabila upah pekerja naik akan
menyebabkan kenaikan pertumbuhan penduduk, dan tingkat keuntungan akan
menentukan pembentukan modal. Smith berpendapat bahwa perkembangan
penduduk akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar dan perluasan pasar
akan meningkatkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut. Spesialisasi,
kemudian akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan mendorong
perkembangan teknologi. Kenaikan dalam produktivitas yang di sebabkan oleh
kemajuan teknologi akan meningkatkan tingkat upah dan keuntungan, pada saat
yang bersamaan pertumbuhan penduduk juga akan meningkatkan akumulasi
capital dan tabungan.
Dengan adanya akumulasi kapital maka stok alat-alat modal dapat
ditambah dan dapat mendorong meningkatnya produktivitas dan teknologi yang
berkelanjutan sehingga proses pertumbuhan akan terus berlangsung sampai
seluruh sumber daya alam termanfaatkan atau tercapai kondisi stationary state.
Sedangkan Ricardo berpendapat dalam berbagai kegiatan ekonomi akan berlaku
the law diminishing return , misalkan pertumbuhan penduduk yang tinggi akan
berakibat pada turunnya tingkat upah pekerja, menurunkan keuntungan, dan
meningkatkan sewa tanah.

                                                            
45
Smith dan Ricardo dalam Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M, Ekonomi Regional, Jakarta:
Universitas terbuka, 2007, hal 93-99.

28 
 
Dalam teori pertumbuhan klasik faktor-faktor produksi utama adalah
tenaga kerja, tanah dan modal, serta peran teknologi. Sedangkan input-input
lainnya yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan output dianggap
konstan/ tidak berubah.

Teori Pertumbuhan Ekonomi Harrod-Domar


Model pertumbuhan Harrod (1948) Domar (1957)46 termasuk dalam
kelompok pemikiran Neo-Keynesian, model ini menekankan bahwa setiap
perekonomian pada dasarnya perlu mencadangkan atau menabung sebagian dari
pendapatan nasionalnya untuk menambahkan atau menggantikan barang-barang
yang sudah rusak/ susut, barang tersebut adalah barang modal seperti gedung,
peralatan dan bahan baku. Tabungan tersebut perlu karena nanti akan
berkontribusi untuk kegiatan investasi yang akan mendorong pendapatan nasional
sehingga perekonomian dapat tumbuh.
Model pertumbuhan Harrod-Domar adalah gabungan atau modifikasi dari
dua model pertumbuhan, dimana model pertumbuhan Domar memfokuskan pada
laju pertumbuhan Investasi, sedangkan model pertumbuhan Harrod lebih pada
pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) jangka panjang melalui peningkatan
rasio modal-output (capital-output ratio).
Setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu proporsi tertentu dari
pendapatan nasionalnya jika hanya untuk menganti barang-barang modal yang
rusak. Namun demikian untuk menumbuhkan perekonomian tersebut, diperlukan
investasi- investasi baru sebagai stok penambah modal. Seandainya ditetapkan
rasio modal- output sebagai K dan selanjutnya dianggap bahwa rasio
tabungan nasional (national saving rasio = s) merupakan persentase atau bagian
tetap dari output nasional yang selalu ditabung dan bahwa jumlah investasi
(penanaman modal) baru ditentukan oleh jumlah tabungan total (s), maka dapat
disusun model pertumbuhan ekonomi sederhana sebagai berikut :
1. Tabungan (S) merupakan suatu proporsi (s) dari pendapatan nasional (Y),
oleh karena itu, dapat ditulis dalam bentuk persamaan sederhana :
                                                            
46
  Harrod-Domar dalam  Todaro MP, Smith SC, Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9 (Alih Bahasa
oleh Haris Munandar dan Puji A.L) Jakarta: Erlangga, 2006, Hal 128-131.

29 
 
S=sY……………………………………………………………………….(2.1)
2. Investasi (I) didefinisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang
dapat diwakili oleh ΔK, sehingga dapat ditulis dalam bentuk persamaan :
I=ΔK………………………………………………………………………(2.2)
Akan tetapi, karena jumlah stok modal (K) mempunyai hubungan
langsung dengan jumlah pendapatan nasional atau output (Y), seperti yang
ditunjukan oleh rasio modal-output (k) maka :
K/Y = k atau ΔK/ΔY= k
Akhirnya,ΔK=k.ΔY………………………………………………………..(2.3)
3. Terakhir mengingat jumlah keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama
dengan keseluruhan investasi (I), maka persamaan berikutnya dapat ditulis
sebagai berikut:
S=I…………………………………………………………………………(2.4)
Dari persamaan (2.1) telah diketahui bahwa S = sY dan dari persamaan (2.2)
dan persamaan (2.3), maka dapat diketahui : I = ΔK = k. ΔY
Dengan demikian, “identitas” tabungan yang merupakan persamaan modal dalam
persamaan (2.4) adalah sebagai berikut:
S=sY = k . ΔY = ΔK = I…………………………………………………….…(2.5)
Atau bisa diringkas menjadi :
sY=k.ΔY……………………………………………………………………….(2.6)
Selanjutnya apabila kedua sisi persamaan (2.6) dibagi mula-mula dengan Y
dan kemudian dibagi dengan K, maka akan didapat :
ΔY/Y=s/k……………………………………………………………………...(2.7)
ΔY/Y pada persamaan (2.7) merupakan pertumbuhan PDB.
Persamaan (2.7) merupakan persamaan Harrod-Domar yang disederhanakan.
Pada persamaan (2.7) menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan PDB (ΔY/Y)
ditentukan secara bersama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modal-
output nasional (COR=k). Secara lebih spesifik, persamaan (2.7) menyatakan
bahwa tingkat pertumbuhan pendapatan nasional (ΔY/Y) akan secara
langsung atau secara positif berbanding lurus dengan rasio tabungan (s) dan
secara negatif berbanding terbalik terhadap rasio modal-output nasional( k) dari
suatu perekonomian.

30 
 
Maka agar bisa tumbuh pesat, setiap perekonomian harus dapat
menabung dan berinvestasi sebanyak mungkin dari bagian GDP-nya. Semakin
banyak yang ditabung dan diinvestasikan, maka laju pertumbuhan ekonomi akan
semakin cepat.

Teori Pertumbuhan Ekonomi Solow (eksogen)


Teori Pertumbuhan Solow (1956, 1957)47 masuk kedalam pemikiran
neoklasik didasarkan pada kritik atas kelemahan-kelemahan sebagai
penyempurnaan terhadap pandangan teori Harrod-Domar. Pada intinya model
pertumbuhan Solow adalah pengembangan dari formulasi Harrod-Domar, dengan
menambahkan dua faktor lagi dalam persamaan pertumbuhan (growth equation)
yaitu tenaga kerja dan teknologi. Sehingga pertumbuhan ekonomi tergantung pada
ketersediaan faktor produksi seperti tenaga kerja dan akumulasi modal serta
kemajuan teknologi.
Pandangan teori ini didasarkan pada asumsi yang mendasari analisis
ekonomi klasik, yaitu perekonomian berada pada tingkat pekerjaan penuh (full
employment) dan tingkat pemanfaatan penuh (full utilization) dari faktor-faktor
produksinya. Rasio modal-output (capital output ratio) dapat berubah-rubah
sesuai dengan output yang ingin dihasilkan. Jika lebih banyak modal yang
digunakan maka tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit dan sebaliknya.
Fleksibilitas ini menggambarkan suatu perekonomian yang memiliki kebebasan
dalam menentukan kombinasi antara modal (capital, K) dan tenaga kerja (labour,
L) yang akan digunakan dalam kegiatan produksi. Dalam model ini fungsi
produksi tanpa perkembangan teknologi secara umum dapat dituliskan sebagai
berikut:
Y(t) = f(K(t),L(t))……………………………………………………………...(2.8)
Dimana pertumbuhan pendapatan riil adalah fungsi dari K (stok modal)
dan L (tenaga kerja), pendapatan akan meningkat apabila setiap tenaga kerja
mendapat modal peralatan lebih banyak dan proses itu disebut capital deepending,
namun tidak terus menerus tanpa adanya pertumbuhan teknologi, karena modal

                                                            
47
Solow dalam Ibid, hal 150.

31 
 
dan tenaga kerja akan meningkat dengan pertumbuhan yang semakin menurun
(diminishing return).
Kemudian dalam model fungsi produksi dengan perkembangan teknologi
dapat disajikan ke dalam bentuk fungsi produksi Cobb-Douglass, yaitu output
merupakan fungsi dari tenaga kerja dan modal. Sementara itu, tingkat kemajuan
teknologi merupakan variabel eksogen.
Y(t) = f (A(t), K(t),L(t))………………………………………………………. (2.9)
Asumsi yang digunakan adalah skala hasil tetap (constan return to scale,
CRTS), substitusi antara modal dan tenaga kerja bersifat sempurna dan juga
adanya produktivitas marginal yang semakin menurun (diminishing marginal
productivity) dari tiap-tiap inputnya.
Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow
dapat dituliskan sebagai berikut:
α α
Y t K t A t L t …………………………………………………..(2.10)
Keterangan: Y adalah output; K adalah stok modal; L adalah jumlah tenaga kerja;
A adalah produktivitas tenaga kerja/teknologi, yang pertumbuhannya di tentukan
secara eksogen. α adalah melambangkan elastisitas output terhadap modal (atau
persentase pertambahan output yang diciptakan oleh penambahan satu persen
modal fisik dan manusia). Asumsi CRTS menyatakan jika α=a dan 1-α=b, maka
a+b=1 artinya nilai a dan b merupakan batas produksi dari masing-masing
produksi tersebut.

Teori Pertumbuhan Endogen


Teori pertumbuhan endogen yang disebut juga teori pertumbuhan baru,
adalah modifikasi terhadap model pertumbuhan Solow, model ini mencoba
memperbaiki kegagalan model Solow dalam hal memberikan penjelasan terhadap
penyebab-penyebab perkembangan teknologi, menurut teori ini perubahan
teknologi bersifat endogen (dari dalam sistem ekonomi) dan memengaruhi
pertumbuhan jangka panjang.

32 
 
Mankiw, Romer, Weil /MWR (1992)48 mengusulkan menggunakan
variabel akumulasi modal manusia (human capital) dalam memodifikasi model
Solow tersebut. Sumber pertumbuhan ekonomi dengan demikian adalah
pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan human capital. Ternyata hasil estimasi
MWR lebih baik dari pada model Solow49.
Romer menyatakan bahwa stok pengetahuan (knowledge stock)
merupakan sumber utama peningkatan produktivitas dalam suatu perekonomian.
Pertumbuhan endogen memiliki tiga elemen dasar yaitu: (1) adanya perubahan
teknologi yang bersifat endogen melalui sebuah proses akumulasi ilmu
pengetahuan; (2) adanya penciptaan ide-ide baru sebagai akibat dari mekanisme
limpahan pengetahuan (knowledge spillover); dan (3) produksi barang-barang
konsumsi yang dihasilkan oleh faktor produksi ilmu pengetahuan akan tumbuh
tanpa batas.
Modifikasi MRW terhadap persamaan pertumbuhan Solow adalah dengan
menambahkan human capital sehingga fungsi produksi menjadi50:
Y t K t αH t β
A t L t α β
……………………….………..………(2.11)
Dimana, H adalah Human Capital, dan semua variabel lainnya yang sudah di
definisikan sebelumnya.
Dalam Bhinadi (2003), Modifikasi MRW dapat juga dituliskan secara
linear, sehingga bentuknya adalah sebagai berikut51:
Y = g + αK + βH + (1-α-β)L ……………………………..…………...…(2.12)
Dimana, β adalah kontribusi human capital terhadap output agregat , Y adalah
pertumbuhan output, K adalah pertumbuhan capital, dan L adalah pertumbuhan
tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut, H adalah pertumbuhan kualitas sumber
daya manusia yang diproksi dengan educational attainment pendidikan
menengah/ lanjutan (secondary education) di wilayah tersebut, dan g
pertumbuhan produktivitas faktor total (TFPG) yang mencerminkan tingkat
teknologi di wilayah tersebut dan merupakan intersep dalam persamaan regresi.
                                                            
48
Mankiw .NG, Romer .D, Weil .DN, A Contribution To The Empirics Of Economics Growth,
Quartely Journal Of Economics, May:415-421, 1992.
49
Bhinadi A, Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dengan Luar Jawa, Jurnal Ekonomi
Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang, Vol 8, No. 1, Juni 2003, hal 40.
50
Mankiw .NG, Romer .D, Weil .DN, Loc.cit.
51
Bhinadi A, Loc.cit.

33 
 
2.1.4 Korupsi dan Pertumbuhan Ekonomi
Korupsi berkontribusi dalam mengurangi pertumbuhan ekonomi dengan
menurunkan kualitas infrastruktur dan pelayanan publik, mengurangi pajak,
membuat pemerintah justru bergandengan dengan para pencari rente daripada
melakukan aktivitas yang produktif, dan akhirnya mendistorsi komposisi
pengeluaran pemerintah52. Korupsi berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi karena korupsi berpengaruh langsung terhadap tingkat investasi,
rendahnya tingkat investasi swasta karena besarnya biaya suap dalam perizinan
usaha, dan terdistorsinya investasi pemerintah oleh kelompok kepentingan.
Dampak korupsi baik langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi
indikator-indikator makro ekonomi suatu negara. Korupsi dapat menciptakan
kesenjangan yang lebar antara pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai dengan
potensi pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya bisa dicapai, sehingga
memengaruhi proses pertumbuhan ekonomi nasional. Analisanya adalah korupsi
menimbulkan inefisiensi dan pemborosan dari sumber ekonomi periode
sebelumnya, karena hasil dari pengelolaan sumberdaya ekonomi yang ada tidak
semuanya dikembalikan sebagai modal perputaran ekonomi secara multiplier,
keuntungan yang diperoleh dari korupsi kemungkinan besar digunakan
bermewah-mewah atau dilarikan ke rekening pribadi di luar negeri bukan di
alihkan ke sektor investasi
Secara sederhana korupsi pada dasarnya adalah sebuah misalokasi
sumberdaya, yang artinya, korupsi memindahkan sumberdaya dari kegiatan
produktif atau memiliki manfaat sosial tinggi ke kegiatan tidak produktif dan
menciptakan biaya sosial. Biaya ekonomi korupsi dapat dikaitkan sebagai sumber
daya yang terbuang, yang dapat digambarkan pada kurva batas kemungkinan
produksi ( Production Posibility Frontier/ PPF).
Dalam gambar 653, diasumsikan terdapat dua jenis output yaitu X dan Y,
semua sumber daya digunakan, dan kemudian sumber daya/faktor produksi tidak
dapat ditambah namun dapat dirubah kombinasinya. Batas kemungkinan produksi
kombinasi barang X dan Y apabila sumberdaya digunakan dalam kapasitas penuh
                                                            
52
Shera A, Corruptionand The Impact of The Economic Growth, Journal of Information
Technology and Economic Development 2, 2011, hal 8.
53
Zachrie R, Wijayanto, op.cit, Hal 120-122.

34 
 
(pareto optimal) adalah pada titik A (memproduksi lebih banyak Y daripada X)
dan pada titik B (memproduksi lebih banyak X daripada Y).

X
A C

B

.
0  Y

Sumber : Zachrie, Wijayanto, 2010.


Gambar 6. Korupsi dan Kemungkinan Produksi
Pada titik C tidak dapat dicapai karena berada diluar batas kemungkinan
produksi, namun bisa saja tercapai apabila tiba-tiba dalam perekonomian terjadi
penambahan sumber daya atau pertumbuhan ekonomi. Titik D adalah kondisi saat
kegiatan ekonomi tidak berada pada kapasitas maksimal, hal ini dapat disebabkan
oleh adanya sumber daya yang menganggur atau semua sumber daya digunakan
secara maksimal namun tidak efisien. Korupsi menyebabkan perekonomian
sebuah negara / daerah berada di titik D bukan A atau B.
Namun selama ini terdapat dua sisi pandangan yang berbeda mengenai
efek korupsi, beberapa diantaranya memperlihatkan efek buruk, dan sisi lainnya
memperlihatkan efek baik korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi. Leff (1964)
dan Huttington (1968) secara terpisah pernah menyatakan bahwa korupsi
membuat aktivitas ekonomi berjalan lancar dan akhirnya pertumbuhan ekonomi
akan meningkat. Menurut argumen ini, aktivitas bisnis diibaratkan sebagai roda
perekonomian dan korupsi dapat menjadi “minyak pelumas” bagi roda itu,
terdapat beberapa alasan dari argumen ini, yaitu54:
Alasan pertama, korupsi dapat menjadi uang pelicin atau speed money
sehingga dapat menghindari terjadinya penundaan birokrasi. Hal ini di dukung

                                                            
54
Rahman A , Kisunko G dan Kapoor K, Estimating the effect of Corruption Implication for
Bangladesh,World Bank Report tahun 2000, www.worldbank.org. hal 3-4.

35 
 
oleh Lui (1985) yang menggunakan keseimbangan Nash pada noncooperative
game adanya suap dapat meminimalisasi biaya tunggu atau waiting cost sehingga
dapat mengurangi biaya-biaya, yang pada akhirnya menurunkan inefisiensi dari
pemerintah. Namun Myrdal (1968) membantah pandangan tersebut, menurutnya
teori speed money tidak terjadi. Pada kenyataannya para birokrat dapat
memperlambat kerja mereka untuk mendapatkan lebih banyak suap55.
Alasan yang kedua adalah para pegawai struktural yang mendapat
pembayaran rendah, ditambah kurangnya tanggung jawab mereka, tidak
termotivasi untuk bekerja lebih efisien. Namun dengan adanya suap akan
mendorong mereka untuk bekerja lebih efisien.
Alasan yang ketiga dari sisi kesejahteraan (welfare), banyak layanan atau
barang publik masih dimonopoli oleh pemerintah, tapi apabila ada aparat
pemerintah yang menjualnya di pasar gelap (secara illegal), maka konsumen bisa
mendapatkan barang atau pelayanan publik tersebut dibawah harga resmi. Oknum
aparat akan menerima seluruh pembayaran untuk dirinya sendiri, sehingga negara
kehilangan pendapatan, namun konsumen mendapatkan harga di bawah harga
resmi sehingga terjadi relokasi keuntungan dari negara ke konsumen (peningkatan
kesejahteraan masyarakat).
Sedangkan Mauro (1995) yang membuktikan bahwa korupsi menghambat
pertumbuhan ekonomi negara-negara. Ia menemukan apabila Bangladesh dapat
memerangi korupsi pada tingkat yang sama dengan Singapura dan jika laju
pertumbuhannya mencapai 4 persen pertahun, maka laju pertumbuhan PDB
tahunan per kapita rata-rata antara 1960-1985 tentu akan mencapai 1.8 persen
lebih tinggi56.
Selain itu, Todaro dan Smith (2006) mendukung pendapat bahwa korupsi
berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan, menurutnya ketiadaan korupsi
mendorong investasi dan upaya-upaya untuk memperbesar peluang perekonomian
dan bukan hanya untuk memperebutkannya, dan oleh karenanya mendorong
pertumbuhan ekonomi, sehingga pada umumnya perbaikan tata kelola
(governance), terutama pengurangan korupsi akan mempercepat proses

                                                            
55
Ibid, hal 4.
56
Vinod T. et.al, The Quality of Growth, World Bank, 2000. hal 177.

36 
 
pembangunan. Pemberantasan korupsi penting dilakukan, karena pemerintahan
yang jujur dapat mendorong pertumbuhan dan pendapatan tinggi secara
berkesinambungan57.
Sedangkan menurut Swaleheen dan Stansel (2007) korupsi dapat
menurunkan pertumbuhan ekonomi, ketika pelaku ekonomi memiliki pilihan yang
sedikit/ kebebasan ekonomi rendah, namun pada keadaan pelaku ekonomi
memiliki banyak pilihan/kebebasan ekonomi tinggi, korupsi membantu
58
pertumbuhan dengan menyediakan jalan di sekitar kontrol pemerintah .

2.1.5 Korupsi dan Perburuan Rente Ekonomi


Korupsi dalam ilmu ekonomi berangkat dari dua dasar bangunan teori,
yang pertama adalah teori atasan bawahan/pemilik pengelola (principal-agent),
dan yang kedua adalah teori perburuan rente (rent-seeking). Principal-agent
theory59 melihat hubungan antara dua pihak dengan tujuan serta insentif yang
berbeda dalam situasi informasi yang tidak seimbang (assymentric information).
Pihak pemilik (principal) memiliki sebuah tujuan akhir yang ingin dicapai, untuk
mencapai tujuan itu maka didelegasikanlah pekerjaan kepada pihak pengelola
(agent). Selain dalam hierarki perusahaan, teori ini juga dapat berlaku dalam
konteks pemerintahan, dimana pemerintah daerah (eksekutif-legislatif) sebagai
pengelola (agent) sementara rakyat pemilih adalah pemilik (principal).
Pada kondisi ideal, pemilik bisa mengawasi penuh kinerja pengelola, agar
tujuannya dapat tercapai. Tapi kondisi ideal ini sering tidak terjadi karena biaya
mengawasi pengelola setiap saat terlalu tinggi dan pengelola juga memiliki
kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Pada celah inilah dapat terjadi korupsi,
celah ini dapat dimasuki oleh pihak ketiga yang menawarkan imbalan pada agent
untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan pihak ketiga, walaupun tidak
sesuai tujuan dari principal. Transaksi antara agent dan pihak ketiga belum tentu
selalu berupa korupsi atau merugikan perekonomian, seperti halnya perburuan
rente.

                                                            
57
Todaro.MP, Smith.SC, op.cit, hal 51.
58
Swaleheen M, Stansel D, Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal, Vol.27,
No.3, 2007, hal 343-358.
59
Zachrie R, Wijayanto, op.cit, hal 117-119.

37 
 
Teori yang kedua adalah rent seeking theory, menurut Aidt (2003) ada tiga
kondisi dibawah ini yang mendorong terjadinya korupsi60:
1. Kekuasaan atau otoritas yang diskretif. Artinya, pejabat publik memiliki
wewenang, baik legal maupun tidak untuk menentukan bagaimana sebuah
keputusan atau kebijakan dijalankan.
2. Potensi bagi terciptanya rente ekonomi.
3. Institusi yang lemah. Tanpa adanya sanksi, pengawasan dan penegakan
aturan yang ketat dan konsisten, maka rente ekonomi bukan hanya sekedar
potensi, tapi akan terealisasi.
Istilah rente dalam ekonomi politik yang digunakan pada penelitian ini
bermakna negatif, walaupun sesungguhnya kata rente atau sewa dapat dimaknai
secara netral. Menurut Adam Smith, sewa adalah salah satu balas jasa faktor
produksi. Upah adalah balas jasa untuk tenagakerja, keuntungan bagi pengusaha,
sementara rente adalah balas jasa bagi aset, seperti bunga pinjaman, sewa tanah
atau bangunan. Oleh karena itu, konsep rent seeking dalam ekonomi klasik tidak
dimaknai secara negatif sebagai kegiatan ekonomi yang menimbulkan kerugian,
bahkan bisa berarti positif karena dapat mendorong kegiatan ekonomi secara
simultan, seperti seseorang yang ingin mendapatkan keuntungan.
Tetapi pemburu rente dalam kajian ekonomi politik adalah perburuan
pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan
dalam bisnis. Pengusaha memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan
yang sehat dalam pasar . Kekuasaan dipakai untuk memengaruhi pasar sehingga
mengalami distorsi untuk kepentingannya. Maka rent seeking tidaklah dimaknai
secara netral, tapi dilihat melalui kacamata yang negatif. Asumsi awalnya adalah
setiap kelompok kepentingan (self interest) berupaya mendapatkan keuntungan
ekonomi yang sebesar-besarnya dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya.
Persoalannya adalah, jika produk dari lobi tersebut berupa kebijakan , maka
implikasi yang muncul bisa sangat besar.
Seperti yang diungkap oleh Olson (1982) proses lobi dapat berdampak
kolosal karena melibatkan proses pengambilan keputusan (decision marking)

                                                            
60
Aidt TS, Economic Analysis of Corruption: A Survey, The Economic Journal ,Vol.113, No.491,
November 2003, hal 2.

38 
 
berjalan sangat lambat dan ekonomi akhirnya tidak bisa merespon secara cepat
terhadap perubahan-perubahan dan teknologi baru61.
Kelompok kepentingan ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari rente
(rent seeking) melalui proses politik dengan memengaruhi kebijakan. Dengan
adanya praktek perburuan rente yang hanya menguntungkan kelompok tertentu,
kebijakan yang dibuat pemerintah hanya menghasilkan inefisiensi. Hal tersebut
mencerminkan tidak bertemunya kepentingan para pelaku, yaitu masyarakat dan
pemerintah (politisi dan birokrat).
Teori ekonomi perburuan rente (rent seeking economic theory)
menjelaskan hubungan pengusaha dengan pemerintah. Pengusaha selalu mencari
preferensi atau keistimewaan dari pemerintah dalam bentuk lisensi, kemudahan,
proteksi, dan sebagainya untuk kepentingannya62. Mallarangeng (2002)
memaparkan bahwa pada pemerintahan Orde Baru, kegiatan rent seeking dapat
ditelusuri dari persekutuan bisnis besar (yang menikmati fasilitas monopoli
maupun lisensi impor) dengan birokrasi pemerintah. Perusahaan-perusahaan
swasta itu sebagian besar dikuasai oleh mereka yang mempunyai hubungan
pribadi dengan khusus dengan elite pemerintah, dan dalam banyak kasus dengan
Soeharto. Dengan fasilitas tersebut mereka sekaligus memperoleh dua
keuntungan: mendapatkan laba yang berlebih (supernormal profit) dan mencegah
pesaing masuk pasar63.
Dengan lisensi khusus tersebut, maka dengan mudah pelaku yang lain
tidak bisa masuk pasar. Karena itu , perilaku perburu rente ekonomi biasanya
merupakan perilaku antipersaingan atau menghindari persaingan.
Menurut Yustika (2008) perburuan rente (rent seeking) dapat didefinisikan
sebagai upaya individual atau kelompok untuk meningkatkan pendapatan melalui
pemanfaatan regulasi pemerintah untuk menghambat penawaran atau peningkatan
permintaan sumberdaya yang dimiliki64. Krueger (1974) mengidentifikasikan
bahwa prilaku pencarian rente (rent seeking behavior) merupakan usaha-usaha

                                                            
61
Yustika AE,Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi, Jatim:. Bayumedia
Publishing, 2008, hal 140.
62
Ibid, hal 38.
63
Ibid,hal 141.
64
Ibid, hal 140.

39 
 
yang dilakukan pemerintah dalam melakukan berbagai hambatan (retriksi) melalui
regulasi sehingga orang per orang harus bersaing untuk mendapatkan rente
tersebut. Kadang-kadang bentuk persaingan untuk mendapatkan rente tersebut
sangat legal , tetapi juga dapat dalam bentuk-bentuk lain, seperti penyuapan,
korupsi, penyeludupan dan pasar gelap65.
Sedangkan Steven (1993) mendefinisikan pencarian rente sebagai usaha
dengan menggunakan proses politik (political process) sedemikian sehingga
mengizinkan perusahaan atau kelompok perusahaan untuk memperoleh
keuntungan ekonomi yang melebihi biaya imbangan (opportunity cost)-nya66.
Dari berbagai pemaparan dan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan,
bahwa perburuan rente (rent seeking) adalah usaha individu/kelompok
kepentingan memengaruhi proses politik (political process) untuk memperoleh
rente ekonomi/keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya (laba
berlebih/supernormal profit) dengan upaya (effort) yang sekecil-kecilnya. Dimana
sumber rente adalah kekuatan monopoli/wewenang yang diperoleh dari
pemerintah.
Sebagai upaya untuk memahami kebijakan ekonomi yang menganjurkan
kebijakan monopoli dapat dilihat dalam Gambar 7, yang diadaptasi dari
Tullock(1988) dalam Yustika (2008)67. Sumbu horizontal merupakan jumlah
komoditas, dalam hal ini contohnya adalah gandum, yang bisa diproduksi dengan
dengan harga CC, sedangkan permintaan gandum ditunjukan oleh garis DD, yang
menunjukan beragam kesuburan lahan.
Pasar Kompetitif ditunjukan oleh unit Q, karena pada titik tersebut kurva
permintaan,DD, mengenai garis bawah (diasumsikan dalam situasi ini adanya
informasi yang sempurna dan tidak ada biaya transaksi). Sedangkan titik
keseimbangannya adalah pada harga P dan lahan dengan kualitas rendah (tidak
subur), yakni disisi kanan Q,tidak ditanami. Pada titik ini sewa lahan Ricardian
adalah area diatas CC dan di bawah P, dan pemilik lahan gandum akan
berproduksi untuk mengumpulkan gandum.

                                                            
65
Riyanto, Loc.cit, hal 14.
66
ibid.
67
Yustika, Op cit.

40 
 
D

P
C

P
C
D

0 Q Q

Sumber: Tullock dalam Yustika,2008.


Gambar 7. Biaya Monopoli Akibat Prilaku Pencarian Rente.
Sekarang pemilik gandum dapat berinvestasi dengan biaya yang lebih
murah, bahwa mereka dapat mengorganisasikan kartel atau monopoli, agar dapat
mengendalikan akan (drive up) harga melalui pembatasan produksi. Perilaku
inilah yang biasa disebut dengan mencari rente (rent seeking). Hasilnya adalah
produksi di batasi menjadi Q1, dengan konsekuensi meningkatnya harga menjadi
P1. Maka akan ada dua konsekuensinya yaitu: (1) keuntungan area segiempat di
transfer dari konsumen ke produsen (pemilik monopoli), (2)Masyarakat
mengalami kerugian yang direpresentasikan dalam gambar segitiga abu-abu,
wilayah tersebut adalah keuntungan yang diperoleh konsumen melalui pembelian
antara unit Q1 dan Q jika harga tidak mengalami kenaikan.
Keberpihakan keputusan pemerintah terhadap kelompok tertentu, dipicu
oleh kegiatan rent seeking. Kelompok atau individu berusaha memanfaatkan
kekuasaan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan bagi
diri dan kelompoknya. Namun prilaku rent seeking juga bukan hanya dimiliki
oleh pihak pengusaha, tapi juga pemerintah (eksekutif/birokrasi dan legislatif).
Pada awalnya adanya kegagalan pasar (market failure) merupakan salah
satu sebab pemerintah turun tangan dalam perekonomian untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat yang optimal. Peranan pemerintah tidak selalu dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan secara sistematis terjadi
kegagalan pemerintah (government failure). Kunio (1991) berpendapat bahwa

41 
 
kapitalisme di Asia Tenggara menjadi ersatz capitalsm (kapitalisme semu), hal ini
terjadi karena terlalu banyaknya campur tangan pemerintah sehingga mengganggu
prinsip persaingan bebas dan mengakibatkan kapitalisme tidak dinamis. Hal ini
menimbulkan perburuan rente di kalangan birokrat, menyebabkan wiraswasta
tidak mampu berkembang68.
Walaupun demikian solusi yang ditawarkan Kunio tidaklah berpihak pada
ekonomi liberal, yang menyatakan perkembangan ekonomi semakin baik tanpa
campur tangan pemerintah. Jadi terapi yang disarankan bukanlah menggurangi
campur tangan pemerintah melainkan memperbaiki kualitas campur tangan
pemerintah, “Campur-tangan pemerintah merupakan faktor utama bagi
pembangunan industri dan pertumbuhan ekonomi di Jepang, sejak usainya
perang dunia kedua”. Selain itu Kunio juga menyarankan peningkatan
kemampuan teknologi dimana pendidikan sains dan teknologi harus menjadi
prioritas dibandingkan ilmu sosial, hal ini untuk mencapai pembangunan yang
mandiri, karena kapitalisme Asia Tenggara kebanyakan bergerak di bidang jasa,
walaupun di bidang industri hanyalah berperan sebagai kaptalisme komprador
(bertindak sebagai agen industri manufaktur asing di negeri sendiri).
Namun prilaku perburuan rente oleh pemerintah juga dapat dipahami
melalui proses politik yang sebelumnya telah terjadi. Sistem pemilu yang diadopsi
Indonesia saat ini, adalah sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak,
sejauh ini biaya terbesar yang dikeluarkan partai politik adalah untuk keperluan
kampanye. Pendanaan partai politik di Indonesia lebih banyak bergantung pada
bantuan pemerintah dan korporasi, pedahal ada pendapat yang menekankan
bahwa partai politik tidak perlu didanai dengan uang publik melalui negara, bagi
pendukung pendapat ini, sumber-sumber pendanaan yang berasal dari subsidi
negara ataupun sumbangan korporasi adalah sesuatu yang patut dicurigai karena
membuka peluang bagi praktik-praktik yang merupakan daerah abu-abu/koruptif.
Secara implisit, asumsi dari pendapat ini adalah bahwa politisi-politisi dari partai

                                                            
68
Kunio Y, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta:LP3ES, 1991,hal xiv-xv.

42 
 
politik adalah berkarakter sebagai rent seeker yang selalu bertujuan memperkaya
diri sendiri69.
Teori pilihan publik (Public choice theory)70 dapat menjelaskan prilaku
aktor politik di dalam pasar politik . Anggaran adalah barang publik yang menjadi
objek pertukaran atau kontrak antara pemerintah dan rakyatnya. Pemerintah
adalah politisi pemenang pemilu, sedangkan masyarakat adalah konsumen publik
yang berharap agar anggaran dapat dimanfaatkan untuk pendidikan, kesehatan,
keamanan, infrastruktur dan barang publik lainnya. Pasar politik adalah titik
pertemuan kontraktual antara pemilih dan politisi, baik dalam pemilihan umum ,
pembuatan undang undang, kebijakan ekonomi, kebijakan anggaran maupun
kebijakan publik lainnya.
Seperti pasar barang dan jasa, pemilih (voters) dianalogikan sebagai
pembeli, yang berharap mendapat manfaat dari keputusannya memilih politisi
atau partai politik, sedangkan politisi berperan sebagai political seller, seperti
pengusaha yang ingin mendapatkan keuntungan, politisi menjual kebijakan publik
dan program-program kesejahteraan masyarakat yang disebut komoditas publik.
Selain voters dan politisi, dalam pasar politik juga ada distributor yang berperan
mendistribusikan komoditas publik atau tepatnya menjalankan kebijakan yang
diputuskan oleh politisi atau partai yang berkuasa, yaitu adalah para pekerja resmi
yang dibayar oleh pemerintah (birokrat).
Proses di pasar politik dipandang sebagai perilaku individu, bukan
kolektif, karena hasil yang diperoleh bukan merupakan pertemuan antara
kepentingan para pelaku. Pemilih menentukan pilihan berdasarkan keinginannya,
sedangkan politisi memikirkan kepentingannya (kepentingan pribadi/kelompok)
dan birokrat akan bertindak memaksimalkan anggaran. Dalam memaksimalkan
anggaran, birokrat dapat mengalokasikannya dengan menjual program-program
yang akan dijual kepada rakyat, sesuai keputusan partai politik yang berkuasa.
Birokrasi memperkuat sistemnya dengan menambah kotak-kotak jabatan, staf dan

                                                            
69
Vermonte PJ, Mendanai Partai Politik: Problem dan Beberapa Alternative Solusinya, Analisis
CSIS, Vol.41,No.1,Maret 2012. Hal 84-85.
70
Rachbini DJ, Teori Bandit, Jakarta: RMBOOKS, 2008,hal 14-17.

43 
 
sebagainya dalam instansi, tindakan demikian yang membuat anggaran
pemerintah semakin membengkak.
Secara rasional, hal tersebut adalah tindakan pelaku ekonomi dalam
memaksimalkan utilitasnya (homo economicus). Pasar politik harusnya bertumpu
pada tujuan memaksimalkan manfaat untuk publik berubah menjadi pasar
ekonomi untuk kepentingan pribadi. Kegagalan demokrasi di Indonesia (dan
negara berkembang lainnya) terjadi karena pasar politik yang rapuh, akibatnya
banyak pasar politik yang tidak transparan, di dalam proses politik.
Idealnya, pasar politik yang kompetitif (political competitiveness market)
memiliki ciri yang transparan, setiap calon politisi (eksekutif-legislatif) yang
masuk kepada pasar politik adalah manusia-manusia unggul dengan latar
belakang yang dapat dipertanggungjawabkan, mereka dikenal masyarakat sebagai
abdi publik yang mengabdi untuk kesejahteraan rakyat. Pasar politik jenis ini akan
menghasilkan politisi yang berkualitas.
Sedangkan pasar politik yang oligopoli menghasilkan politisi pemburu
rente ekonomi (economic rent seeking), mereka memiliki kepentingan
pribadi/kelompok/kartelnya yang akan mendistori barang publik (anggaran) dan
mengabaikan kepentingan publik. Mereka inilah yang dikenal sebagai bandit
politik71, yang mengambil kekayaan dari masyarakat dalam jumlah besar dengan
prilaku perburuan rente yang melekat pada mereka, mereka berupaya terus
memaksimalkan anggaran dengan dalih untuk pembangunan publik.
Dibandingkan legislatif, birokrasi memiliki informasi lebih banyak
(informasi asimetrik) akibat kepentingannya sendiri birokrasi cenderung
memaksimalkan anggaran. Meski demikian, menurut Bayley72 korupsi dapat
bermanfaat sebagai alat untuk meredakan ketegangan antara birokrasi dan politisi,
karena dapat membawa kedua belah pihak ini kedalam jaringan kepentingan
pribadi masing-masing.
Birokrasi dapat didefinisikan sebagai berbagai departemen yang
menangani penyediaan jasa yang dihasilkan oleh pemerintah73. Setiap biro tidak

                                                            
71
Istilah bandit politik dikutip dari Olson, Power and Prosperity, 2000, dalam Rachbini DJ, Teori
Bandit, ibid, dijelaskan pada bab 3, hal 21-39.
72
Bayley dalam Pope J, op.cit,hal 15.
73
Mangkoesoebroto G, Ekonomi Publik, Yogyakarta:BPFE, 1993,hal 52.

44 
 
memperoleh keuntungan dari penjualan output yang dihasilkan, melainkan
dibiayai dengan memberikan gaji. Sesuai dengan Analisis Ekonomi mengenai
birokrasi yang dikemukakan Niskanen, menyatakan bahwa birokrasi sebagaimana
juga dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, dalam
hal ini adalah gaji, jumlah karyawan, reputasi, dan status sosialnya. Karena fungsi
utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka seorang birokrat yang
berusaha mencapai kepuasan yang optimal dengan memaksimumkan anggaran
pemerintah.

P1 C

F A
P2
B MR
G
D
0
Q1 Q2 Q3
Sumber : Niskanen dalam Mangkoesoebroto, 1992.
Gambar 8. Penentuan Output Oleh Birokrat

Seorang birokrat bukanlah orang yang netral terhadap proses pembuatan


anggaran, maka birokrat akan cenderung menghasilkan barang atau jasa yang
lebih besar daripada yang seharusnya, sehingga terjadi inefisiensi dalam
penggunaan sumber ekonomi oleh pemerintah. Analisis Niskanen dapat
74
dijelaskan dalam Gambar 8 , kurva CFD menunjukan kurva permintaan
sedangkan kurva LRMC=LRAC menunjukan biaya marginal dan biaya rata-rata
jangka panjang yang kita asumsikan mempunyai struktur biaya konstan (constant
return to scale). MR menunjukan kurva penerimaan marginal.
Perusahaan swasta yang berada dalam posisi monopoli akan menentukan
tingkat output sebesar Q1, menetapkan harga sebesar 0P1 dan memperoleh
keuntungan monopoli sebesar P1CBP2. Sebuah perusahaan yang tidak
                                                            
74
Ibid, hal 53-54.

45 
 
memperoleh keuntungan akan menghasilkan output sebesar 0Q2 dan akan
menetapkan harga sebesar 0P2.
Kita asumsikan birokrat memperoleh anggaran sebesar 0P2AQ3 yang
ditentukan oleh proses politik. Birokrat tersebut akan cenderung menghasilkan
output sampai dengan 0Q3 yang lebih besar dihasilkan daripada pengusaha
monopolis dan pengusaha yang tidak mementingkan keuntungan. Apabila 0P2
merupakan tingkat harga yang menjamin pareto optimal maka seorang monopolis
cenderung akan menghasilkan output dibawah tingkat output optimum, sebaliknya
seorang birokrat akan menghasilkan output yang lebih besar daripada output
optimum. Keduanya menimbulkan welfare loss. Pada kasus pengusaha
monopolis, welfare loss sebesar CBF dan pada kasus birokrat sebesar FAG yang
merupakan pengurangan kesejahteraan dan merupakan kerugian bagi seluruh
masyarakat.
Perilaku memaksimalkan anggaran dengan dalih untuk pembangunan
publik oleh para pencari rente ekonomi ini dapat dideteksi dengan gagalnya usaha
pembangunan di suatu daerah. Pasar kompetitif merupakan contoh baik dimana
kepentingan pribadi di transmutasikan ke dalam kegiatan produktif yang
mengarah kepada pemanfaatan sumber daya secara efisien75.
Jika para pejabat tinggi (termasuk kepala negara/daerah), berburu rente
untuk keuntungan pribadi, mereka akan berpihak pada komposisi dan jangka
waktu investasi yang tidak efisien. Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan
presiden Soeharto, semakin terlihat sikap berburu rente anak-anak Soeharto dan
kroni-kroninya yang meningkat karena kecemasan mereka akan masa depan76.
Para pejabat yang korup mendistorsi pilihan sektor publik demi meningkatkan
rente yang besar bagi diri/kelompok mereka sendiri, dan menghasilkan kebijakan
publik yang tidak efisien dan adil, yang pada akhirnya menghasilkan banyak
proyek yang tidak tepat guna dan harus membayar terlalu mahal untuk proyek-
proyek yang pada dasarnya bermanfaat.
Proyek-proyek besar melibatkan dana pembangunan besar, dampaknya
nanti terhadap anggaran pemerintah dan pertumbuhan negara. Proyek-proyek
                                                            
75
Ackerman SR, 2006, Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi,Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, hal 3.
76
Ibid, hal 44.

46 
 
trsebut adalah lahan bagi pejabat tinggi untuk bermitra dengan Multi National
Coorporation (MNC) maupun mitra lokal. Perilaku berburu rente para pejabat
tinggi mengakibatkan mereka lebih menyukai proyek-proyek “mercusuar” yang
sedikit saja kegunaannya untuk kemajuan ekonomi, mereka lebih suka proyek
umum dengan keuntungan jangka pendek yang intensif modal dibandingkan
pembelanjaan umum lainnya.
Proyek-proyek tersebut mendatangkan jenis korupsi suap yang merupakan
keuntungan sekarang/ jangka pendek bagi para pejabat korup, proyek jangka
pendek juga dapat diatur sedemikian rupa agar besar keuntungan dapat dibagi
diantara pemerintah dan perusahaan, sedangkan dibandingkan dengan proyek
jangka panjang keuntungan yang dapat dirasakan membutuhkan waktu yang lebih
lama.
Para pejabat yang pada masa kini berkuasa, belum tentu berkuasa pada
masa yang akan datang, rasa tidak aman mendorong mereka untuk terus mencuri
lebih banyak lagi. Hal tersebut dapat berdampak pada krisis fiskal, mendorong
terlalu banyak proyek padat modal dan lisensi untuk mengelola sumber daya
alam. Keuntungan yang seharusnya masuk ke kas negara akan jatuh kepada para
pencari rente ekonomi yaitu pejabat korup dan kontraktor swasta, dalam
kenyataannya kurang jelas apakah pemerintah/ pihak swasta yang dominan karena
mereka bekerjasama untuk memperoleh keuntungan bersama.
Korupsi telah dianggap sebagai salah satu bentuk rente. Ini dipandang
sebagai sarana khusus oleh pihak swasta yang mungkin berusaha untuk mengejar
kepentingan mereka dalam kompetisi untuk perlakuan istimewa. Sama seperti
bentuk-bentuk rente, korupsi merupakan cara untuk melepaskan diri dari tangan
tak terlihat (invisible hand) dari kebijakan pasar77.
Namun tidak semua korupsi itu adalah prilaku perburuan rente, dan tidak
semua prilaku perburuan rente adalah korupsi, pada penelitian ini korupsi yang di
teliti adalah yang mencakup perburuan rente ekonomi. Dengan berbagai
pengertian pencarian rente dan berbagai uraian diatas, fenomena korupsi dapat
dipahami terjadi karena perilaku pencarian rente dari badan pemerintah dan

                                                            
77
Lambsdroff JD,Corruption and Rent Seeking, Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public
Choice113, 2002, hal 104.

47 
 
perusahaan yang berusaha membuat kebijakan/ regulasi dari sebuah proses politik
yang pada akhirnya menciptakan peluang untuk korupsi.

2.1.6 Desentralisasi
Desentralisasi pada dasarnya merupakan implementasi paradigma
hubungan pemerintah pusat dan daerah. Tiebout hypothesis berargumen bahwa
dengan diberikannya kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan
merumuskan sendiri kebijakan daerahnya, selama tidak bertentangan dengan
pemerintah pusat, akan memicu kompetisi yang sehat antar Pemda untuk dapat
menyediakan public goods yang memenuhi preferensi masyarakat78.
Desentralisasi atau otonomi daerah/khusus di Indonesia dimulai sejak
berlakunya Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
menggantikan Undang-Undang Nomer 5/1974, diimplementasikan sejak anuari
200179. Kemudian Undang-Undang Nomer 22 tahun 1999 diperbarui dengan
Undang-undang Nomer 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk
menyesuaikan dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan,dan tuntutan
penyelenggaraan otonomi daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah ke daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia80. Daerah otonom/daerah adalah kesatuan
masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia81.
Menurut Oates82 dasar pelaksanaan desentralisasi adalah:
a. Negara yang luas wilayahnya tidak mungkin melakukan sentralisasi.
b. Sentralisasi menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan.

                                                            
78
Stiglitz J, Economics of Public Sector 3rd edition, New York:W.W. Norton & Company,2002.
hal 734-736
79
Taufik .R, Maria .P,Dewi .D, Op.cit, hal 14.
80
Pasal 1 ayat 7 UU No.32/2004
81
Pasal 1 ayat 6 UU No.32/2004
82
Oates(1999) dalam Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, ppt. Ditjen BAKD Depdagri, 2008.

48 
 
c. Kebutuhan daerah lebih dikenal dan diketahui oleh orang yang tinggal di
dalamnya.
d. Desentralissi fiskal dan otonomi daerah lebih efisien dari manfaat dan
pembiayaan.
Tujuan desentralisasi adalah dalam rangka memberikan pelayanan umum
yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih
demokratis. Tujuan yang hendak dicapai pada akhirnya adalah
menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan
kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah dan meningkatkan daya
saing dalam proses pertumbuhan83.
Desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization),
administratif (administrative decentralization), dan fiskal (fiscal
decentralization)84,yaitu:
a. Desentralisasi politik adalah pelimpahan kewenangan yang lebih besar
kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk
penetapan standar dan berbagai peraturan.
b. Desentralisasi administrasi, merupakan pelimpahan kewenangan,
tanggungjawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan.
c. Desentralisasi fiskal, merupakan pemberian kewenangan kepada daerah
untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer
dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan
investasi.
Pelaksanaan desentralisasi akan berjalan dengan baik dengan berpedoman
terhadap hal-hal sebagai berikut85:
1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan
law enforcement
2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam
melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah
3. Stabilitas politik yang kondusif

                                                            
83
Widjaja HAW, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : Rajawali Pers, 2009, Hal 42.
84
Litvack(1999) dalam Suparno(2010), Loc.cit, hal 14.
85
Ibid, hal 16.

49 
 
4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana
pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta
pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan mempengaruhi keputusan-
keputusan tersebut
5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan
tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan
kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan
pemerintah
6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran
sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat.

Dimensi desentralisasi yang paling menonjol dalam Undang-Undang


22/1999 ini antara lain: desentralisasi keuangan, politik dan hubungan antara
lembaga pemerintah di tingkat lokal yang ditandai dengan kuatnya kedudukan
lembaga legislatif dibandingan lembaga eksekutif.
Pada tahun 2004, dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
bersama DPR mengubah UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang pada intinya mengurangi
kekuasaan DPRD atas kepala daerah, terutama dengan diadakannya pemilihan
kepala daerah secara langsung, namun kekuasaan DPRD masih cukup besar
terutama dalam hal controling, legislasi dan budgeting.
Dalam rangka desentralisasi keuangan berlaku UU No.25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dengan perubahannya (UU No.
33/2004) yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD, yang ditetapkan dengan peraturan daerah86.

                                                            
86
UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.

50 
 
Tabel 1 . Perubahan Setelah Desentralisasi87
No Item Perubahan UU 5/1974 UU 22/1999
1 Struktur Pemda DPRD bagian dari DPRD berdiri sendiri
eksekutif
2 Pemilihan Kepala Hak Prerogatif Hak Prerogatif DPRD
Daerah pemerintah pusat
3 Pengawasan Eksekutif mengawasi DPRD mengawasi
DPRD Eksekutif
4 Hak DPRD Hak DPRD dibedakan Hak DPRD sekaligus
dari Hak anggota adalah hak anggota DPRD
DPRD
5 Anggaran DPRD Ditentukan dan di Ditentukan dan dikelola
kelola eksekutif DPRD
6 Panggilan DPRD kepada Diwakilkan pada DPRD dapat mengenakan
pejabat atau masyarakat bawahan atau ditolak sanksi bagi yang menolak
7 Eksplorasi Sumberdaya DPRD tidak tahu DPRD Diberi kewenangan
Alam/daerah menahu mengenai untuk memberi pendapat
perjanjian menyangkut dan pertimbangan.
eksploitasi SDA
Daerah.
8 Hak penyelidikan DPRD Tidak pernah Hak Tersebut diatur sendiri
digunakan karena tidak oleh DPRD dalam tata
pernah ada UU yang tertib DPRD
mengaturnya
9 Pelaksanaan aspirasi DPRD hanya DPRD dapat tugas
masyarakat menampung dan menampung dan
menyampaikan kepada menindaklanjuti aspirasi
eksekutif. masyarakat.
10 Fraksi DPRD Hanya ada 3 fraksi Bisa terdapat lebih dari 5
Fraksi

Sumber : Otonomi Daerah Proyeksi dan evaluasi ,Yayasan Habibie Center ,2003.

Dengan adanya desentralisasi fiskal maka struktur Anggaran Pendapatan


dan Belanja Daerah (APBD) terdiri atas 88:
• Anggaran pendapatan, yang meliputi :
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi
daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.

                                                            
87
Taufik .R, Maria .P,Dewi .D, Loc.cit, hal 14.
88
http://www.djpk.depkeu.go.id/ diakses 15/06/2012

51 
 
2. Bagian dana perimbangan yang merupakan dana yang bersumber dari
penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai
kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi fiskal, yang terdiri dari:
a. Dana Bagi Hasil (DBH) atas bagian daerah dari pajak bumi dan
bangunan (PBB), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan
penerimaan atas sumber daya alam.
b. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana perimbangan yang
dialokasikan untuk tujuan pemerataan kemampuan keuangan
daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka
desentralisasi.
c. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana perimbanganyang
dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan tertentu.
3. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah seperti dana hibah atau dana
darurat.
• Anggaran belanja
1. Belanja tidak langsung (belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah,
bansos, bagi hasil dan bantuan keuangan).
2. Belanja langsung (belanja pegawai, barang jasa, dan modal).
• Pembiayaan Daerah
1. Penerimaan pembiayaan, yang meliputi:
a. Sisa lebih penggunaan anggaran (Silpa) tahun sebelumnya
b. Pencairan dana cadangan
c. Hasil kekayaan daerah yang dipisahkan,
d. Penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah, penerimaan
kembali pemberian pinjaman,
2. Pengeluaran pembiayaan, yang meliputi:
a. Pembentukan dana cadangan
b. Penyertaan modal/investasi daerah
c. Pembayaran pokok hutang.
d. Pemberian pinjaman daerah.
Penerimaan dana hibah yang dibahas dalam penelitian ini adalah
bersumber dari APBN, yang tidak mengikat dan telah dianggarkan dalam APBD

52 
 
pada akun pendapatan, dalam kelompok pendapatan daerah lain-lain yang sah.
APBD pada awalnya berfungsi sebagai pedoman pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah dalam satu periode. Sebelum anggaran di jalankan
harus mendapat persetujuan dari DPRD maka fungsi anggaran juga sebagai alat
pengawas dan pertanggung jawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat
fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation
antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri89.
Karena diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, APBD yang
disusun harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, Musgrave90 menyebutkan
bahwa sebuah anggaran pemerintah harus memenuhi fungsi alokasi (alokasi
penyediaan barang dan jasa publik yang tepat bagi masyarakat), distribusi (fungsi
ini untuk mengurangi kesenjangan antar kelompok kaya dan kelompok miskin
dalam masyarakat) dan stabilisasi (biasanya dikaitkan dengan ukuran-ukuran
ekonomi makro yang ingin dicapai oleh pemerintah daerah yang dianggap
memperbaiki/ mempertahankan stabilitas ekonomi diwilayahnya, misalnya
pengeluaran ditingkatkan untuk kegiatan sektor-sektor yang menyerap banyak
tenaga kerja dan memberikan kontribusi tinggi untuk pertumbuhan ekonomi
daerah).
Menurut Sopanah dan Wahyudi91, semenjak tingginya otoritas yang
dimiliki DPRD, terjadi perubahan kondisi yang akhirnya melahirkan banyak
masalah, yaitu : (1)Sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke
daerah, (2) karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan, (3)
esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih di pelintir oleh pemerintah
pusat karena otonomi pengelolaan sumber sumber pendapatan masih dikuasai
pusat, sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya, (4) DPRD dimanapun
masih mengalami kesulitan melakukan assessment prioritas kebutuhan rakyat
yang harus di dahulukan dalam APBD.
(5) volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80 persen
dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit

                                                            
89
Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit, hal 8.
90
Musgrave(1989) dalam Rizak HB, Kebijakan Alokasi Anggaran: Studi Kasus Sulawesi Tengah,
Analisis CSIS, vol.41/no.1/Maret 2012.
91
Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit.

53 
 
banyak DPRD dan pemerintahan daerah perlu bekerja lebih keras dalam
menyusun APBD, (6) meskipun masih harus melalui pemerintahan pusat namun
pemerintah menurut Undang Undang No 25 tahun 1999 memiliki kewenangan
untuk melakukan pinjaman daerah baik kedalam negeri maupun keluar negeri.
Beberapa masalah tersebut mendorong beberapa kecenderungan, yaitu
pertama, kecenderungan pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD dalam
rangka otonomi daerah. Bagi daerah-daerah yang sumber daya alamnya miskin,
akan memilih meningkatkan PAD dengan cara meningkatkan pajak, bahkan untuk
daerah-daerah dengan sumber daya alam yang melimpah meningkatkan pajak
adalah alternatif paling mudah, karena tidak perlu melakukan banyak investasi
untuk mengeksplorasi SDA. Peningkatan pajak atau dengan mengurangi
pelayanan masyarakat adalah pilihan meningkatkan PAD yang merugikan
masyarakat, sesungguhnya PAD dapat ditingkatkan dengan cara lain, yaitu
mengurangi inefisiensi pendapatan pemerintah. Kedua, Otoritas yang besar
terhadap DPRD dengan tidak disertainya prngawasan sistematis, sangat
memperbesar kemungkinan terjadinya suap terhadap DPRD dalam menyetujui
suatu pos anggaran tertentu, yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh rakyat.
Sehubungan dengan anggaran daerah Azis (2010) menggolongkan
pemimpin daerah dalam beberapa tipe, yaitu tipe A, B, dan C. Tipe A adalah
apabila kepala daerah bekerjasama dengan elit setempat membawa manfaat
kesejahteraan bagi masyarakat dengan meningkatkan local budget.Tipe B adalah
apabila kepala daerah bekerjasama dengan elit setempat untuk kepentingannya
sendiri, tanpa berkontribusi pada local budget. Dan tipe C yaitu apabila kepala
daerah tidak hanya bekerjasama dengan elit lokal untuk kepentingannya sendiri,
tetapi juga melakukan korupsi dari local budget, seperti pemerintah daerah yang
kleptokrat92.
Secara teoritis terjadinya korupsi APBD dipengaruhi oleh faktor
permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya (1)
regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik
tertentu dari sistem perpajakan, dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di

                                                            
92
Azis IJ, Wihardja MM, Theory of Endogenous Institution and Evidence from an In Depth Field
Study In Indonesia, Economics and Finance in Indonesia vol 58(3), 2010.hal 316.

54 
 
bawah harga pasar. Sedangkan dari sisi penawaran dimungkinkan terjadi karena
(1) tradisi birokrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji di kalangan
birokrasi, (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai, dan (4) transparansi dari
peraturan dan hukum93.

2.1.7 Indeks Persepsi Korupsi Transparency International94


Corruption Perseption Index adalah indeks gabungan dari 13 survei oleh
10 lembaga independen yang mengukur persepsi tingkat korupsi di 178 negara di
dunia. Rentang indeks antara 0 sampai dengan 10, 0 berarti dipersepsikan sangat
korup, 10 sangat bersih.
Menurut laporan lembaga Transparancy International, angka Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2010 adalah 2.8 atau berada di peringkat ke-114
dari 178 negara yang disurvei. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
sama dengan Bolivia, Gabon, Benin, Kosovo, dan Kepulauan Solomon. IPK
Indonesia lebih rendah dibandingkan Singapura (9.3) yang tertinggi di Asia
Tenggara, Brunei Darussalam (5.5), Malaysia (4.4), dan Thailand (3.5). Indonesia
(2.8) hanya lebih baik dibandingkan Vietnam (2.7), Timor Leste (2.5), Filipina
(2.4), Kamboja (2.1), dan Myanmar (1.4).
Dalam situasi pemberantasan korupsi di Indonesia yang tidak jelas arah
strateginya ini, tampaknya kehadiran instrumen pengukuran yang bisa
dipertanggungjawabkan metodenya paling tidak bisa memberikan arah dalam
menyusun skala prioritas pencegahan maupun penindakan korupsi.
Transparency International meluncurkan Corruption Perception Index
(CPI), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan hasil Survei
Integritas 2010, Transparency International-Indonesia (TI-Indonesia)
menyampaikan pada publik Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK Indonesia).
IPK Indonesia adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota
Indonesia. Berbeda dengan CPI yang mengukur tingkat korupsi negara-negara di
dunia berdasarkan gabungan beberapa indeks, IPK Indonesia dibuat berdasarkan
survei yang metodenya dikembangkan oleh TI-Indonesia. Pada tahun 2008 dan
                                                            
93
Tanzi (1998) dalam Sopanah dan Wahyudi I, Loc.cit, hal 9.
94
http://www.ipkindonesia.org/,30/11/2011.

55 
 
2010 survei dilakukan dengan cara wawancara tatap muka terhadap 9237
responden (terdiri dari para pelaku bisnis, tokoh masyarakat, dan pejabat publik)
antara bulan Mei sampai dengan Oktober. IPK Indonesia mengukur tingkat
korupsi di 50 kota di seluruh Indonesia, meliputi 33 ibukota provinsi ditambah 17
kota/kabupaten lain yang signifikan secara ekonomi.
Sejak pelaksanaan survei ini pertama kalinya pada tahun 2004, metode
riset IPK-Indonesia telah berubah beberapa kali. Perubahan ini ditujukan untuk
membuat instrumen pengukuran korupsi ini lebih bisa diandalkan dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun pada dasarnya, ada hal-hal yang
bersifat fundamental yang tidak berubah dari awal survei ini dirancang.
IPK Indonesia menggunakan metode survei persepsi dengan pendekatan
kuantitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan quota sampling. Total
sampel ditentukan secara sengaja (purposive), kemudian dibagi secara
proporsional berdasarkan tingkat populasi masing-masing kota. Pemilihan kota
yang di survei berdasarkan kota-kota yang disurvei oleh Badan Pusat Statistik
(BPS) untuk survei inflasi tahunan.
Indeks diambil berdasarkan pengukuran yang didasari persepsi responden,
terhadap beberapa variabel-variabel jenis korupsi. Variabel-variabel ini
merupakan konsep turunan dari jenis-jenis korupsi yang terdapat di Undang-
Undang(UU) No. 31/2009 junto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pengukuran menggunakan skala antara 0-10, dengan indikator
pengukuran yaitu; Lazim atau tidaknya tindak pidana korupsi tertentu terjadi di
kota yang bersangkutan dan serius atau tidaknya pemerintah daerah dan penegak
hukum setempat dalam pemberantasan korupsi.
Secara lebih terperinci IPK Indonesia disusun dari 11 variabel persepsi,
yang terdiri dari :
a. Variabel persepsi tentang suap :
1. Mempercepat proses perizinan usaha.
2. Mempercepat prosedur untuk pelayanan umum.
3. Memberikan kelonggaran dalam membayar pajak daerah.
4. Memenangkan kontrak proyek pemerintah.
5. Mendapatkan keputusan hukum yang menguntungkan.

56 
 
6. Mempengaruhi pembuatan kebijakan /regulasi.
b. Variabel persepsi korupsi :
1. Gratifikasi.
2. Pemerasan.
3. Konflik Kepentingan.
c. Usaha Pemerintah daerah dalam memberantas korupsi :
1. Keseriusan aparat pemerintah daerah memberantas korupsi.
2. Keseriusan aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi
Tahun 2010, Kota Denpasar mendapatkan skor paling tinggi (6.71),
disusul Tegal (6.26), Solo (6.00), Jogjakarta dan Manokwari (5.81). Sementara
kota Cirebon dan Pekanbaru mendapatkan skor terendah (3.61), disusul Surabaya
(3.94), Makassar (3.97) dan Jambi (4.13). Kota-kota dengan skor tertinggi
mengindikasikan bahwa para pelaku bisnis, tokoh masyarakat dan pejabat publik
di sana menilai korupsi mulai menjadi hal yang kurang lazim terjadi, dan usaha
pemerintah dan penegak hukum di sana dalam pemberantasan korupsi cukup
serius.

2.2 Penelitian Terdahulu


Penelitian-penelitian terdahulu mengenai korupsi dilakukan dengan
membangun model ekonomi dalam tingkat mikro yaitu pada level individu,
biasanya riset ini dilakukan pada agen pemerintah. Sedangkan seiring dengan
munculnya berbagai lembaga yang mengeluarkan indeks persepsi korupsi, sebagai
variabel yang dapat mengukur tingkat korupsi, maka munculah berbagai
penelitian kuantitatif yang biasanya mengkaji korupsi pada level lintas negara.
Krueger95 dan Ackerman96 mempelopori penelitian dalam tingkat mikro,
yang mencoba memahami korupsi dari perilaku pencarian rente. Menurut mereka
penyuapan (korupsi) menjadi masalah ekonomi karena terdeteksi sebagai perilaku
pencarian rente oleh agen pemerintah. Perilaku pencarian rente membuat agen
pemerintah menggunakan sebagian besar waktu potensial mereka untuk

                                                            
95
Krueger (1974) dalam Riyanto, Korupsi dalam Pembangunan Ekonomi Wilayah: Suatu Kajian
Ekonomi Politik dan Budaya, Disertasi, Pascasarjana IPB, 2008, Hal 28.
96
Ackerman SR. Korupsi dan Pemerintahan : Sebab, akibat dan reformasi, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan. 2006.

57 
 
keuntungan pribadinya, hal ini untuk mendapatkan pendapatan tambahan (extra
income) untuk kebutuhan dasar, namun akhirnya berkembang menjadi upaya
memperkaya diri.
Shleifer dan Vinshy97 menjelaskan bahwa korupsi berdampak negatif
terhadap perekonomian, karena korupsi bersifat rahasia (secretive) , walaupun
bersifat seperti pajak, namun tidak sama karena korupsi menghindari
penditeksian, uang suap sebagai sebuah kontrak tidak bisa dikuatkan di
pengadilan. Dan ini membuat orang yang disuap untuk ingkar dan bahkan
meminta suap yang lebih tinggi lagi. Beberapa pejabat yang disuap mungkin
khawatir terhadap reputasi, namun kebanyakan dari mereka tidak peduli.
Lambsdorff98 berpendapat bahwa korupsi dapat dipahami sebagai bentuk
perlakuan istimewa oleh para pembuat keputusan publik. Hal tersebut
mengundang pihak swasta untuk mencoba mendapatkan keuntungan dari rente
ekonomi yang dihasilkan dan bersaing satu sama lain dengan membayar
suap. Dibandingkan dengan lobi kompetitif, korupsi umumnya dijelaskan sebagai
bentuk monopoli rent-seeking. Rente disebut korupsi ketika kompetisi untuk
perlakuan istimewa terbatas pada beberapa orang dalam.
Nihjar99 Corruption In Less Developed Countries:a study on the problem
and solution of Corruption in Indonesia. Nihjar mendeskripsikan ide-ide dasar
pemberantasan korupsi yang melihat dari faktor penyebab terjadinya korupsi,
yaitu pertama, sistem administrasi yang memberikan peluang terjadinya
kebocoran. Kedua, tingkat kesejahteraan aparatur rendah, hukum yang belum
cukup untuk menangani perkembangan korupsi yang merajalela, dan
kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Pencegahan dan penanggulangan
yang perlu di tempuh dengan pendekatan multidimensional dan interdisipliner,
dalam tiga kategori; (1) penyempurnaan dan pembaruan sistem administrasi,(2)
kenaikan kesejahteraan aparatur (3)pembaruan sistem hukum pidana nasional
untuk mencegah kolusi.

                                                            
97
Shleifer A, Vinshy RW. Corruption. The Quarterly Journal of Economics, Vol 108,
No.3.(Aug,1993), 1993, pp 559-617.
98
Lambsdroff JD, Corruption and Rent Seeking. Nedherlands: Kluwer Academic Publisher, Public
Choice113, 2002, Hal 97-125.
99
Nisjar, K. Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem and Sollution of
Corruption in Indonesia), Jurnal Akuntansi 4(3), September, 2005, hal 260-265.

58 
 
Riyanto100 menganalisis Korupsi dalam Pembangunan Wilayah, dengan
pendekatan faktor ekonomi politik dan budaya, hasilnya adalah lemahnya
akuntabilitas politis seperti birokrasi di daerah (kabupaten/kota) dan beberapa
faktor seperti euphoria demokrasi/otonomi ekonomi telah memunculkan berbagai
masalah perumusan, pelaksanaan dan pengawasan regulasi sehingga peraturan
daerah yang muncul cenderung bias kepentingan eksekutif (birokrat) dan legislatif
serta kelompok kepentingan tertentu. Maka bibit korupsi sudah muncul sejak
perumusan regulasi (by design) dan kemudian terjadi pada saat pelaksanaan dan
pengawasan. Korupsi demikian seolah-olah legal (Legalized Corruption). Faktor
ekonomi politik dan budaya feodalilistik-paternalistik terwujud dalam budaya
birokrasi patrimonial yang berpengaruh terhadap terjadinya korupsi. Selain itu,
Riyanto juga mendeskripsikan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada era
otonomi daerah ternyata tidak berkualitas, hal tersebut karena meningkatnya
pertumbuhan ekonomi pada masa otonomi daerah tidak mampu menurunkan
angka pengangguran dan kemiskinan.
Sedangkan penelitian kuantitatif yang mencoba mengukur dampak korupsi
terhadap pertumbuhan ekonomi menggunakan variabel korupsi (indeks persepsi
korupsi) adalah Mauro101 pertamakali meneliti dampak korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi, dalam Corruption and Growth menggunakan data panel
indeks persepsi korupsi Business International (BI) dari 70 negara, pada periode
1960-1985. Metode analisis dengan two-stage least squares regression (2SLS) dan
Ordinary Least Square (OLS). Hasilnya adalah terdapat hubungan negatif dan
signifikan antara korupsi dan pertumbuhan rata-rata tahunan, pada periode 1960-
1985, juga antara korupsi dan investasi.
Rahman, Kisunko, Kapoor102 dengan judul Estimating The Effect of
Corruption Implications for Bangladesh. Data yang digunakan adalah indeks
korupsi dari International Country Risk Guide (ICRG) index pada periode 1990-
1997 pada 63 negara di dunia. Dengam model panel statis . Hasilnya Korupsi

                                                            
100
Riyanto. Korupsi dalam pembangunan ekonomi wilayah: suatu kajian ekonomi politik dan
budaya. Disertasi. Pascasarjana IPB. 2008.
101
Mauro P. Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 110(3): 681-712.1995.
102
Rahman A, Kisunko G, Kapoor K. Estimating the effect of Corruption Implication for
Bangladesh.World Bank Report . 2000. www.worldbank.org

59 
 
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi
(asing dan domestik).
Dewi103 menganalisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi
Domestik dan Foreign Direct investment. Dalam model pertumbuhan variabel-
variabel bebas yang digunakan adalah GDP/kapita, populasi, pendidikan dan
indeks korupsi. Data indeks korupsi yang digunakan adalah indeks korupsi dari
Political Economics Risk Concultancy pada 11 negara di asia tahun 1995-2000.
metode analisis dengan panel statis . Hasilnya adalah Korupsi berhubungan
negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan investasi domestik, dan
berhubungan negatif, namun tidak signifikan terhadap FDI. Maksudnya walaupun
negatif namun investor asing lebih mempertimbangkan faktor lain seperti cost of
doing business di Asia yang lebih kompetitif dibandingkan kawasan lain.
Swaleheen dan Stansel104, dengan judul Economic Freedom, Corruption,
and Growth. Data yang digunakan adalah data panel 60 negara. Dengan metode
regresi panel dynamic. Dimana dalam modelnya menggunakan variabel utama
Growth (diproksi dengan pertumbuhan GDP perkapita) dan Korupsi ( indeks
korupsi dari International Country Risk Guide/ICRG) variabel bebas lainnya
adalah investasi, economic freedom dan variabel kontrol (x) misalnya seperti
tingkat pertumbuhan populasi. Hasilnya Korupsi dapat menurunkan pertumbuhan
ekonomi, ketika pelaku ekonomi memiliki pilihan yang sedikit/ kebebasan
ekonomi rendah, Korupsi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi apabila
memiliki banyak pilihan/kebebasan ekonomi tinggi.
Prahara105menganalisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Provinsi Kalimantan Barat, walaupun tidak menyertakan variabel
korupsi, namun penelitian ini menggunakan model pertumbuhan regional yang
mengacu pada model pertumbuhan Mankiw,Romer,Weil (MRW) yang
menyertakan human capital sebagai salah satu faktor determinan, yang di proksi
dengan angka harapan hidup (AHH) untuk tingkat kesehatan, dan angka melek
                                                            
103
Dewi. Analisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign
Direct investment .Tesis. FEUI. 2002.
104
Swaleheen M, Stansel D, Economic Freedom, Corruption and Growth, Cato Journal,.27(3),
2007, hal 343-258.
105
Prahara G. Analisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi
Kalimantan Barat. Tesis. Pascasarjana FEM IPB. 2010.

60 
 
huruf (AMH) juga rata-rata lama sekolah (RLS) untuk tingkat pendidikan. Dalam
penelitiannya faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah
peningkatan anggaran pembangunan/modal (LNAPBD), peningkatan angka
harapan hidup (LNAHH), peningkatan angka melek huruf (LNAMH),
peningkatan rata-rata lama sekolah (LNRLS), pertumbuhan jumlah penduduk
(LNPNDDK), peningkatan panjang jalan (LNPJLNT), peningkatan produksi
listrik (LNPPLN). Hasilnya adalah APBD, PDDK, AHH positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan AMH, RLS, PJLNT dan PPLN tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian terdahulu, dalam penelitian ini
pembahasan korupsi difokuskan pada korupsi di daerah (termasuk korupsi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD) yang terjadi di salah satu
daerah di Indonesia (Provinsi Banten), yang diduga penyebabnya adalah faktor
dalam proses politik di daerah dari maraknya rent seeking behavior oknum
pelaku ekonomi dan pemegang kekuasaan, dan juga sekaligus menganalisis
dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi di level daerah. Selama ini
penelitian-penelitian yang ada menganalisis dampak korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi dengan cakupan lintas negara, sedangkan penelitian ini
menganalisis dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di
Indonesia pada masa otonomi daerah di tahun 2008 dan 2010, hal ini seiring
dengan dikeluarkannya indeks persepsi korupsi daerah 50 kabupaten/ kota pada
tahun 2008 dan 2010 di Indonesia. .

61 
 
2.3 Kerangka Pemikiran
Otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya UU Nomer 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomer 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, ternyata mengalami banyak
permasalahan dalam implementasinya, salahsatunya adalah terkuaknya
berbagai kasus korupsi di daerah dengan pelaku korupsi sebagian besar
adalah para pemegang kekuasaan di daerah, dengan objek yang di korupsi
adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Desentralisasi
mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif
(administrative decentralization), dan fiskal (fiscal decentralization). Dalam
penelitian ini akan membahas aspek politik dan fiskal yang kemudian nanti
akan berkaitan dengan permasalahan korupsi.
Desentralisasi politik memberikan kewenangan kepada daerah untuk
melakukan pemilihan kepala daerah. Korupsi APBD ditenggarai disebabkan
tingginya biaya dalam proses politik yang akhirnya menciptakan banyaknya
aroma ketidakberesan dalam pelaksanaanya. Misalnya, sebelum seorang
kepala daerah terpilih bahkan dalam banyak kasus sudah melakukan jenis
korupsi gratifikasi, berupa politik uang. Untuk menangkap gambaran korupsi
APBD di daerah, maka diperlukan cakupan sampel yang lebih sempit, maka
studi kasus dugaan korupsi APBD dilakukan di salahsatu daerah di Indonesia,
yaitu di provinsi Banten, menggunakan analisis teori ekonomi perburuan
rente (economic rent seeking theory).
Provinsi Banten baru-baru ini melakukan pilkada untuk pemilihan
Gubernur. Berdasarkan pemberitaan media massa dan hasil temuan ICW ada
beberapa kejanggalan pembiayaan kampanye dalam proses pilkada tersebut,
dan juga telah terjadi politik uang dengan berbagai modus operandi.
Kejanggalan dalam pesta demokrasi tersebut disusul temuan berikutnya yaitu
dugaan korupsi terhadap APBD 2011 yang melibatkan pos dana bantuan
sosial dan hibah. Perburuan rente ekonomi oleh individu/kelompok
kepentingan terhadap APBD Provinsi Banten diduga telah terjadi.
Politik uang dilakukan dengan membagikan uang, barang, atau janji-
janji kepada para calon pemilih. Besarnya biaya dalam proses kampanye

62 
 
mendorong para calon kepala daerah untuk mendapatkan dukungan
pembiayaan dari berbagai sumber yang illegal, misalkan dengan
memanipulasi anggaran dan mendapatkan pembiayaan dari kalangan swasta
yang memiliki kepentingan tertentu, dari sini politisi dan swasta sama-sama
bertindak menjadi pemburu rente Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD).
Pemilihan kepala daerah, pada akhirnya melahirkan pemerintah
daerah yang akan memiliki kewenangan dalam aspek pengambilan
keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan daerah (dalam
penelitian ini adalah peraturan daerah tentang APBD). Namun peraturan
daerah yang akan ditetapkan tidak lagi murni bertujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, tapi untuk menguntungkan segelintir pihak
berkepentingan yaitu para pencari rente. Para pencari rente ekonomi dalam
hal ini adalah mereka yang telah menginvestasikan uang mereka pada proses
politik sebagai dukungan pembiayaan bagi para calon kepala daerah, dan juga
para politisi itu sendiri.
Dengan adanya desentralisasi fiskal yang merupakan pemberian
kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak
untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan
belanja rutin dan investasi, maka daerah memiliki otoritas dalam menentukan
anggaran pendapatan dan belanja daerahnya sendiri. APBD yang terbentuk
berdasarkan berbagai keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai
peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Sejak APBD dirancang,
saat itulah korupsi juga mulai direncanakan.
Korupsi didaerah yang terjadi pada akhirnya memberikan dampak
nyata terhadap pembangunan ekonomi regional maupun nasional. Indikator
utama pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi, maka pada
penelitian ini dampak korupsi dibatasi pada pertumbuhan ekonomi regional.
Terakhir adalah melakukan evaluasi kebijakan.

63
 
Otonomi Daerah

Desentralisasi Desentralisasi Desentralisasi


Politik Adiministrasi Fiskal

Money Pilkada Otoritas daerah


politics menentukan
Pemerintah pendapatan dan
belanja daerah
Daerah

Analisa APBD
Peraturan
Deskriptif dan
Daerah
kualitatif :

Perburuan Korupsi
Rente ekonomi
Analisa Kuantitatif:
Dampak Korupsi
terhadap pertumbuhan
ekonomi regional
Indonesia

Evaluasi Kebijakan
Gambar 9. Kerangka pemikiran

Ket :

: Variabel yang diteliti : lingkup penelitian regional (Banten)

: Variabel yang tidak diteliti : lingkup penelitian nasional (Indonesia)

64 
 
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan dua jenis sumber data yaitu data primer
dan sekunder dari berbagai sumber untuk dua metode penelitian yang berbeda
yaitu kualitatif dan kuantitatif (mixed method) sehingga diharapkan dapat
menjelaskan fenomena korupsi di daerah yang terjadi di Indonesia. Lokasi
penelitian dalam studi kasus korupsi adalah Provinsi Banten yang dipilih
secara purposive, yaitu metode pengambilan sampel lokasi secara sengaja
dengan mempertimbangkan tujuan penelitian, sedangkan untuk mengukur
dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional menggunakan
lingkup nasional dengan sampel 48 kabupaten/kota provinsi di Indonesia
sesuai dengan data persepsi korupsi yang diperoleh dari Transparency
International.

3.1 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder, Data
Primer yang diambil sesuai dari kebutuhan penelitian yaitu hasil dari
wawancara mendalam (in depth interview) kepada beberapa informan terkait.
Data sekunder yang digunakan diambil dari dokumen-dokumen
terkait seperti pemberitaan media massa, hasil penelitian, Indonesian
Corruption Wacth (ICW), Transparency Internasional, Badan Pusat Statistik
(BPS), Direktorat jendral Perimbangan Keuangan (DJPK), Badan Pemeriksa
Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), Badan Pengawas Pemilu Provinsi
(Banwaslu) dan KPUD (Komite pemilihan Umum Daerah).
Data yang diperlukan pada penelitian ini disusun berdasarkan tujuan-
tujuan penelitian, jenis data, informasi yang diperlukan dan sumber data,
yang secara ringkas disajikan pada Tabel 2.

65
 
Tabel 2. Tujuan Penelitian, Jenis dan Sumber Data yang diperlukan
Tujuan Jenis Data Data dan Informasi yang Sumber data
Penelitian diperlukan
Menganalisis Primer 9 Mekanisme korupsi 9 Informan-
korupsi APBD APBD dalam informan terkait106
dalam perburuan rente
mekanisme Sekunder ekonomi.
perburuan 9 Data Audit LKPD 9 BPK RI
rente di Provinsi Banten TA
pemerintah 2011.
Provinsi 9 Data Audit 9 BPK RI
Banten . Investigasi Dana
Hibah Bansos
Pemprov Banten TA
2011
9 Data Laporan 9 KPUD
Penerimaan dan 9 BANWASLU
Pengeluran Dana
Kampanye.
9 Peraturan Terkait 9 BAPPEDA
Dana Hibah dan
Bansos.
9 Data Laporan 9 ICW
Monitoring Pilkada
Banten 2011.
9 Data Laporan 9 ICW
Dugaan Korupsi
APBD Dana Hibah
Bansos 2011
9 Data penerima 9 DPKAD
Bansos Hibah
Banten 2011
9 Data Pemenang 9 Layanan
proyek APBD tahun Pengadaan Secara
2012 Elekronik (LPSE)
Provinsi Banten
Menganalisis Sekunder 9 PDRB menurut 9 BPS
dampak harga konstan tahun
korupsi 2000
terhadap 9 Corruption 9 TII
pertumbuhan Perception Indeks
ekonomi 9 APBD Belanja 9 DJPK
regional di Modal
Indonesia. 9 Penduduk 9 BPS
9 Angka Melek Huruf 9 BPS
9 PMTB Provinsi- 9 BPS
provinsi
9 ICOR Provinsi 9 BPS Provinsi
Banten Banten

                                                            
106
Daftar informan tersedia pada lampiran 1.

66 
 
3.2 Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua
metode yaitu kualitatif dan kuantitatif, hal ini dikarenakan salah satu faktor
penyebab korupsi APBD adalah pilkada yang tidak berkualitas, maka
disinilah diperlukan analisa ekonomi politik, dimana blok politik yang
sebagian besar datanya kualitatif menyebabkannya kerugian dalam blok
ekonomi yang sebagian besar datanya kuantitatif. Maka penelitian ini
mencoba menganalisis dengan dua metode tersebut (mixed methods) agar
dapat menjelaskan fenomena korupsi yang terjadi di Indonesia.
Metode deskriptif dan kualitatif dalam penelitian ini digunakan untuk
menganalisis mekanisme perburuan rente dalam kasus korupsi APBD di
Provinsi Banten. Analisis Deskriptif disajikan dalam bentuk table dan grafik
untuk memudahkan pemahaman dan penafsiran. Metode peramalan kualitatif
di dalam prosedurnya melibatkan pengalaman, judgements, maupun opini
sekelompok orang yang pakar dibidangnya. Termasuk di dalam metode ini
antara lain teknik sales-force composite (agregasi ramalan dari setiap
individu) dan teknik delpi (mengumpulkan pendapat dari pakar secara
iterarif).
Sedangkan, metode kuantitatif dengan regresi panel statis dalam
penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dampak korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.

3.2.1 Metode Analisis Mekanisme Rent Seeking Economic Activity


Pembahasan pada penelitian ini akan diawali dengan mendeskripsikan
gambaran umum korupsi di daerah yang terjadi di Indonesia dan gambaran
umum Provinsi Banten. Untuk menjelaskan salah satu penyebab terjadinya
korupsi APBD di suatu daerah, maka perlu dilakukan analisis terhadap
aktivitas ekonomi perburuan rente (rent seeking economic activity).
Penelitian ini fokus pada fenomena korupsi yang terjadi di daerah
yang bersumber dari APBD. Korupsi APBD dalam hal ini adalah korupsi
yang terjadi pada pos-pos yang terdapat dalam APBD. Korupsi mencakup
perilaku koruptif (corruptive behavior) yang berbentuk aktivitas pencarian

67
 
rente, dengan analisis yang dilakukan yaitu dengan pendekatan analisa
ekonomi politik, yaitu studi keterkaitan antara fenomena politik dan
fenomena ekonomi.
Seperti pada masa Orde Baru, dalam era otonomi daerah pola-pola
akumulasi kekuasaan politik dan kekayaan ekonomi berbasis rent seeking
tetap tumbuh subur. Kewenangan yang tinggi yang tidak diiringi dengan
meningkatnya akuntabilitas politik, adiministrasi, dan profesionalisme
pemerintah daerah, justru memicu terjadinya korupsi yang berasal dari
perilaku pencarian rente. Duduknya pengusaha-pengusaha besar dalam partai
politik memperlihatkan kuatnya kendali korporasi terhadap partai politik dan
pemerintah, sementara birokrasi telah menjelma dari jejaring rente pengusaha
besar (yang berperan sebagai pendana politik pada masa orde baru) menjadi
aktor-aktor penentu kebijakan publik dewasa ini. Konfigurasi politik nasional
dewasa ini dapat disebut sebagai struktur pencarian rente pada masa orde
baru107.
Ekonomi Perburuan rente ini biasanya selalu melibatkan pihak
pemerintah yang mempunyai wewenang dalam membuat suatu regulasi. Para
pengusaha/individu/kelompok berkepentingan memanfaatkan informasi yang
tidak sempurna dari masyarakat untuk mendapatkan keuntungan di atas
normal (supernormal profit) dengan memberikan uang pelicin kepada oknum
pejabat yang terkait.
Korupsi pada pemerintahan daerah pada era desentralisasi fiskal
meningkat sejalan dengan fakta bahwa makin banyaknya peraturan-peraturan
baru yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, khususnya pajak, retribusi, dan
berbagai perizinan serta kebijakan (regulasi) di daerah yang diciptakan
sebagai aturan semu (artificial) agar pejabat lokal (birokrasi lokal) bersama
dengan kelompok kepentingan tertentu memperoleh peluang ,mendapatkan
rente ekonomi sebesar-besarnya108. Berbagai peraturan daerah bermasalah
adalah sinyalemen adanya perilaku pencarian rente yang memicu meluasnya
korupsi di berbagai daerah dewasa ini.

                                                            
107
Simanjuntak dalam Riyanto, Loc.cit, hal 6.
108
Henderson dan Kuncoro dalam ibid.

68 
 
Adanya aktivitas berburu rente di suatu daerah ini perlu dibuktikan.
Karena kasus korupsi yang begitu banyak, sebaran populasi yang luas,
keterbatasan waktu dan biaya, maka perlu memperkecil lingkup penelitian
dalam suatu kasus APBD di daerah, yaitu dengan studi kasus. Studi kasus
adalah strategi penelitian yang ideal bila diperlukan kajian yang sifatnya
holistik dan mendalam. Studi kasus bersifat multi metode, karena dirancang
untuk menunjukan suatu masalah secara terperinci dari sudut pandang
peneliti dengan menggunakan berbagai sumber data. Metode penelitian studi
kasus lazimnya akan memadukan metode pengamatan, wawancara, dan
analisis dokumentasi109.
Kasus yang akan dianalisis adalah dugaan korupsi APBD pada tahun
2011 di daerah Provinsi Banten, Provinsi Banten dipilih secara purposive
karena memenuhi beberapa kriteria, yaitu;
(1) Banyak pemberitaan tentang kasus korupsi dan dugaan korupsi yang
terjadi di daerah ini pasca otonomi daerah yang telah dipublikasikan
oleh media massa,
(2) Provinsi Banten baru-baru ini melakukan Pemilihan Kepala Daerah
dan diduga terjadi banyak penyimpangan dalam prosesnya. Hal ini
untuk membuktikan apakah benar terjadi politik biaya tinggi (high
cost politic) yang melibatkan aktivitas perburuan rente dari oknum-
oknum pemerintah dan swasta dan akhirnya nanti memicu terjadinya
korupsi APBD (high cost economy), dan
(3) Adanya keterbatasan waktu dan biaya penelitian maka letak wilayah
Banten yang terletak tidak jauh, dianggap ideal untuk penelitian studi
kasus.
Kasus di daerah Provinsi Banten yang dipilih adalah dugaan korupsi
Pemilihan Kepala Daerah tahun 2011 dan Korupsi pos Dana Hibah dan
Bantuan Sosial dari APBD 2011, oleh karena itu dibutuhkan narasumber
yang akurat sehingga dapat dilakukan wawancara mendalam (in depth

                                                            
109
Thomas Nugroho, Disparitas Pembangunan Wilayah Pesisir Utara dan Selatan Jawa Barat
:Studikasus diKabupaten Karawang Subang dan Kabupaten Garut Ciamis, Tesis, IPB, 2004,
hal 46.

69
 
interview) kepada informan-informan yang mengetahui masalah para
pemburu rente, dan analisis terhadap dokumen-dokumen terkait.
Pengambilan sampel informan dilakukan dengan menggunakan teknik
snowball sampling, yaitu teknik penentu sampel yang digunakan apabila
jumlah sampel yang diketahui hanya sedikit. Dari sampel yang sedikit
tersebut, maka kemudian akan digali informasi adanya sampel lain dari yang
dijadikan sampel terdahulu, sehingga semakin lama jumlah sampel yang ada
semakin banyak110. Seperti bola salju yang menggelinding semakin lama bola
salju tersebut semakin besar.
Snowball sampling ini dilakukan karena tidak semua orang bersedia
mengungkap mekanisme korupsi APBD dalam rent seeking economic
activity sehingga dibutuhkan para informan yang akurat untuk menggali
informasi yang akurat terhadap masalah tersebut. Wawancara dilakukan
dengan mengambil sampel informan-informan yang mengetahui secara
lengkap permasalahan perburuan rente dalam dugaan kasus korupsi di daerah.
Maka informan-informan tersebut akan dipilih dari berbagai kalangan yaitu
pejabat publik (eksekutif, legislatif), Akademisi, Banwaslu dan ICW. Selain
wawancara dilakukan juga review terhadap dokumen terkait seperti
pemberitaan media massa, hasil penelitian, dokumen-dokumen pemerintahan,
dan lainnya.
Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak terstruktur, yaitu
wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa
garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan111. Analisa terhadap
studi kasus tersebut dibagi dalam beberapa tahap (Gambar 10), yaitu: Tahap
pertama, tahap penyusunan kronologis peristiwa, pihak yang terlibat,
pengungkapan, dan penanggulangan terhadap kasus tersebut.

                                                            
110
Sugiyono, Metode Penelitian kombinasi (Mixed method), Bandung:Alfabeta, 2011, hal
127.
111
Ibid, hal 191.

70 
 
Analisis data‐data  dengan 
teori dan nalar
Investigasi pola perburuan 
rente/korupsi  (wawancara 
snowball sampling)
Penyusunan Kronologis 
Peristiwa

Gambar 10. Tahapan Analisa Studi Kasus Korupsi APBD dalam Perburuan
Rente Ekonomi.
Setelah tahap pertama selesai disusun, tahap kedua adalah
mengidentifikasi pertanyaan-pertanyaan menyangkut bagaimana
pola/mekanisme terjadinya perburuan rente yang mendorong korupsi APBD,
yang dilakukan melalui wawancara. Tahap ketiga, setelah data-data tersebut
terkumpul maka peneliti melakukan analisa terhadap kasus yang diteliti untuk
menjawab masalah dan tujuan penelitian.

3.2.2 Model Regresi Data Panel Pertumbuhan Ekonomi


Dalam menganalisis dampak praktek korupsi di daerah terhadap
pertumbuhan ekonomi regional, menggunakan variabel dependen indeks
persepsi korupsi yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional
Indonesia, seperti yang dipaparkan sebelumnya. Data tersebut merupakan
rata-rata indeks dari berbagai variabel, termasuk diantaranya mengukur
persepsi tentang suap, persepsi korupsi dan usaha pemerintah daerah dalam
memberantas korupsi. Data tersebut tersedia secara regional per
kabupaten/kota sejak 2004-2010 (setiap dua tahun sekali), namun baru
tersedia sebanyak 50 kabupaten/kota dengan metode survey yang sama pada
tahun 2008 dan 2010.
Model umum pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam penelitian
ini diadaptasi dari model pertumbuhan Mankiw, Romer, Weil /MRW (1992),
dimana:
Y= AF (K,L,H)………...…………………………………………………(3.0)

71
 
Dalam Bhinadi (2003) persamaan MWR (1992) dituliskan secara
linear menjadi sebagai berikut:
Y =g +αK +βH +(1-α-β)L …………………………….………...………(3.1)
Dimana,
β = kontribusi human capital terhadap output agregat
Y = pertumbuhan output,
K = pertumbuhan kapital,
L = pertumbuhan tenaga kerja yang ada di wilayah tersebut,
H =pertumbuhan kualitas sumber daya manusia yang di proksi dengan
educational attainment pendidikan menengah/lanjutan (secondary
education) di wilayah tersebut,
g =pertumbuhan produktivitas faktor total (TFPG) yang mencerminkan
tingkat teknologi di wilayah tersebut dan merupakan intersep dalam
persamaan regresi.
Dari model umum pertumbuhan ekonomi di atas dikembangkan lagi
dengan menambahkan beberapa variabel yang diduga memiliki kaitan erat
dengan pertumbuhan ekonomi di daerah. Mengacu pada penelitian Prahara
(2010) dimana salah satu tujuan penelitiannya adalah mengkaji faktor-faktor
yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di Kalimantan Barat.
Pertumbuhan output diproksi dengan pertumbuhan output perkapita
(LnPDRB), sedangkan faktor-faktor determinan pertumbuhan output daerah
yang digunakannya yaitu anggaran pembangunan/modal (APBD), angka
harapan hidup (AHH), angka melek huruf (AMH), rata-rata lama sekolah
(RLS), jumlah penduduk (PDDK), panjang jalan (PJLN), produksi listrik
(PPLN). Dengan analisis fixed effect model, hasilnya menunjukan bahwa
pertumbuhan ekonomi positif dipengaruhi secara signifikan oleh variabel
anggaran pembangunan/modal, penduduk dan angka harapan hidup.
Sementara angka melek huruf, rata-rata lama sekolah, panjang jalan dan
produksi listrik tidak signifikan.
Karena variabel dependen anggaran pembangunan/modal (APBD) dan
penduduk (POP) signifikan dalam penelitian Prahara, maka akan digunakan
dalam penelitian ini sebagai proksi dari kapital dan kuantitas human capital,

72 
 
sedangkan Angka Melek Huruf (AMH) walaupun tidak signifikan tetap
digunakan karena tidak ingin menghilangkan proksi pendidikan sebagai
kualitas human capital.
Dengan demikian, hasil modifikasi persamaan pertumbuhan ekonomi
daerah berubah menjadi persamaan berikut:
Ln PDRB = β β LnAPBD +β POP β AMH ε ……………….(3.2)
Model Rahman,et.al (2000) dalam Dewi (2002) menganalisis
Pengaruh Korupsi Terhadap pertumbuhan, Investasi Domestik dan Foreign
Direct investment. Dalam model pertumbuhan ekonomi lintas negara
variabel-variabel yang digunakan adalah Growth (variabel dependen)
kemudian GDP/kapita, populasi, pendidikan dan indeks korupsi (variabel
independen). Variabel independen GDP/kapita yang digunakan bertujuan
melihat besarnya tingkat pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut.
Dengan analisa Random Effect Model, hasil penelitian Dewi (2002)
adalah Korupsi dan populasi berhubungan negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangkan GDP/kapita dan pendidikan positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dilakukan
penambahan variabel korupsi dalam model karena sesuai dengan tujuan
penelitian, yaitu untuk melihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi
pada level daerah di Indonesia.
Dengan demikian model umum yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
PDRB = f (APBD, CORR, POP, AMH )…………………...……………(3.3)
Kemudian penambahan Ln pada model bertujuan untuk menghindari
bias intrepretasi karena variabel-variabel yang digunakan dalam model
memiliki satuan yang beragam, maka model yang digunakan dalam
persamaan ini adalah:
Ln PDRB = β β LnAPBD +β CORR +β LnPOP +β AMH ε (3.4)
Dimana:
LnPDRB = Peningkatan Produk Domestik Regional Bruto menurut harga
konstan tahun 2000 kab/kota ke-i pada tahun t (persen).
LnAPBD = Peningkatan Belanja Modal dalam APBD di kab/kota ke-i pada

73
 
tahun t (persen).
CORR = Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kab/kota ke-i pada tahun t
(angka indeks).
LnPOP = Peningkatan Penduduk kab/kota ke-i pada tahun t (persen).
AMH = Angka Melek Huruf kab/kota ke-i pada tahun t (persen)

3.2.2.1 Hipotesa
Hipotesa yang dirumuskan dari model diatas adalah sebagai berikut:
1. Diduga APBD, POP, AMH akan berdampak positif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
2. Diduga CORR akan berdampak negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi regional.

3.2.2.2 Metode Analisis Regresi Data Panel


Pendekatan crosssection hanya mengamati satu waktu sehingga
perkembangan ekonomi wilayah-wilayah tersebut antar waktu tidak terlihat,
kelemahan tersebut memotivasi penggunaan model time series Penggunaan
data time series dapat melihat perkembangan antarwaktu namun hanya dari
satu unit individu, sehingga bisa membuat hasil estimasi bias. Untuk
mengatasi kedua kelemahan pendekatan tersebut maka digunakan pendekatan
data panel, yaitu data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu
(time).
Baltagi112 mengungkapkan bahwa penggunaan data panel memberikan
banyak keuntungan, diantaranya sebagai berikut:
1. Mampu mengontrol heterogenitas individu, dengan metode ini estimasi
yang dilakukan dapat secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas
individu;
2. Dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinearitas antar
peubah, meningkatkan derajat bebas dan lebih efisien;

                                                            
112
Baltagi,.Econometric Analysis of Panel Data: third Edition,John Wiley and Sons.Ltd.
England, 2005, hal 4-7.

74 
 
3. Lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Karena berkaitan dengan
observasi cross section yang berulang, maka data panel lebih baik dalam
mempelajari perubahan dinamis;
4. Lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara
sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau data time
series saja
Keterbatasan-keterbatasan dari data panel 113 diantaranya adalah:
1. Masalah dalam desain survei panel, pengumpulan dan manajemen data.
Masalah yang umum dihadapi diantaranya: cakupan (coverage), non
response, kemampuan daya ingat responden (recall), frekuensi dan
waktu wawancara;
2. Distorsi kesalahan pengamatan (measurement errors), hal ini umumnya
terjadi karena respon yang tidak sesuai;
3. Masalah selektivitas (selectivity) yang mencakup hal-hal berikut :
a. Self selectivity adalah permasalahan yang muncul karena data-data
yang dikumpulkan untuk suatu penelitian tidak sepenuhnya dapat
menangkap fenomena yang ada;
b. Non response adalah permasalahan yang muncul dalam panel data
ketika ada ketidaklengkapan jawaban yang diberikan oleh responden;
dan;
c. Attrition adalah jumlah responden yang cenderung berkurang pada
survei lanjutan yang biasanya terjadi karena responden pindah,
meninggal dunia atau biaya menemukan responden terlalu tinggi
4. Dimensi waktu (time series) yang pendek. Jenis panel mikro biasanya
mencakup data tahunan yang relatif pendek untuk setiap individu;
5. Cross section dependence. Sebagai contoh apabila macro panel dengan
unit analisis negara atau wilayah dengan deret waktu yang panjang

                                                            
113
Ibid, hal 7-8.

75
 
mengabaikan cross country dependence akan mengakibatkan inferensi
yang salah (misleading inference).
Analisis data panel secara garis besar dibedakan menjadi dua macam
yaitu statis dan dinamis. Pada analisis data panel dinamis, regressor-nya
mengandung variabel lag dependent-nya, sedangkan pada analisis data panel
statis tidak.
Terdapat dua pendekatan yang umum di aplikasikan dalam data panel,
yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) keduanya
dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara
komponen error dengan peubah bebas (regressor). Pada one way, error term
hanya memasukan efek dari individu (λi). Pada two way, error term
dimasukan efek dari individu (λi) dan waktu (μt). Jadi perbedaan antara FEM
dan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi dari λi dan μt terhadap X
a. Fixed Effect Model (FEM)114
FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai
korelasi dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Asumsi ini
membuat komponen eror dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian
dari intercept.
Untuk one way komponen eror:
yit = αi +λi+Xitβ+u it………………………….………………………...…(3.5)
Sedangkan untuk two way komponen eror :
yit = αi +λi+μt+Xitβ+u it………………………………………………...…(3.6)
Penduga FEM dapat dihitung dengan beberapa teknik, yaitu Pooled
Least Square (PLS), Within Group (WG), Least Square Dummy varibel
(LSDV), dan two way error component fixed effect model .
b. Random Effect Model (REM)115
REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi
dengan Xit atau memiliki pola yang sifatnya acak. Keadaan ini membuat
komponen eror dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam eror.

                                                            
114
Firdaus M, Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series, Bogor: IPB Press,
Hal 187,2011.
115
Ibid, hal 192-194.

76 
 
Untuk one way komponen eror
yit = αi +Xitβ+u it+λi …………………………………………...…………(3.7)
Untuk two way komponen eror
yit = αi +Xitβ+u it+λi+μt…………………………………...………………(3.8)
Asumsi yang digunakan dalam REM adalah:
E |τi = 0
E τi = σ
E τi| = 0 untuk semua i dan t
E τ = σ untuk semua i dan t
Dimana untuk one way eror component: τi= λi
E τj = 0 untuk semua i, t dan j
E = 0 untuk i ≠ j dan t ≠ s
E τ τj = 0 untuk i ≠ j
Dari semua asumsi di atas, yang paling penting adalah E τi| = 0.
Pengujian asumsi ini menggunakan hausmant test. Uji hipotesis yang
digunakan adalah
Ho : τi| = 0 tidak ada korelasi antara komponen eror dengan peubah
bebas
H1 : τi| ≠ 0 ada korelasi antara komponen eror dengan peubah bebas
H=( )( )-1 ( ) x2 (k)
Dimana: M = matriks kovarians untuk parameter β
k = derajat bebas
Jika H > maka komponen eror mempunyai korelasi dengan peubah
bebas dan artinya model yang valid digunakan adalah REM
Penduga REM dapat dihitung dengan dua cara yaitu pendekatan between
estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS).
Tahapan selanjutnya yang harus dilakukan jika menggunakan model
data panel adalah pemilihan model yang paling baik antara fixed effect
model(FEM) atau random effect model (REM) dilakukan dengan Hausman
test. Hipotesis yang dibangun dalam uji sebagai berikut:
Ho = REM
H1 = FEM

77
 
Sebagai dasar untuk menolak Ho, statistik hausman akan
diperbandingkan dengan nilai chi square. Jika statistik hausman lebih besar
dari nilai chi square, maka hipotesis nol ditolak, sehingga model yang
digunakan FEM, begitu juga sebaliknya.

78 
 
4. GAMBARAN UMUM
Pada bab ini, peneliti akan menguraikan gambaran umum korupsi
daerah di Indonesia, dan gambaran umum Provinsi Banten yang akan
dijadikan sampel dalam studi kasus korupsi di daerah. Kedua hal ini sangat
penting diuraikan karena dapat memberikan gambaran latar belakang korupsi
daerah dan juga kondisi wilayah penelitian untuk studi kasus yang diangkat.
Gambaran Umun Provinsi Banten yang akan diuraikan mencakup kondisi
struktur sosio-budaya dan ekonomi politik daerah.

4.1 Gambaran Umum Korupsi di Daerah (Termasuk yang bersumber


dari APBD) di Indonesia.

Otonomi daerah menghasilkan penyedotan anggaran yang besar ke


daerah, berbagai kritik bermunculan terhadap otonomi daerah, selain memang
sistemnya sendiri belum sempurna, dan pelaksanaannya seperti tergesa-gesa,
tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat yang diharapkan juga terjadi
karena adanya faktor yang paling jelas menjadi fenomena yang mewarnai
pelaksanaan otonomi daerah, yaitu realitas korupsi di daerah yang semakin
merajalela dan sistematis. Penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan
peruntukannya oleh para elite-elite tertentu di daerah, membelokan gerbong
otonomi daerah dari jalur yang seharusnya dilalui.
Pemerataan distribusi korupsi di Indonesia setelah adanya pelimpahan
kekuasaan dari pusat ke daerah semakin menunjukan kebenaran tesis Lord
Acton ketika menulis surat kepada Bishop Mandell Creighton pada tahun
1887 yang mengatakan “Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely. Great men are almost always bad men”116. Surat
tersebut menyatakan bahwa kekuasaan cenderung menghasilkan korupsi, dan
kekuasaan yang mutlak sudah pasti korupsi juga mutlak, orang hebat hampir
selalu orang yang buruk.
Pada praktek kekuasaan dengan pengendalian dan pengawasan yang
buruk cenderung akan menghasilkan korupsi, misalnya pada masa OrBa
ketika kekuasaan negara sentralistik, banyak terjadi berbagai praktek
                                                            
116
Sulistio F, Loc.cit, hal 1.

79
 
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh para penguasa negara yang
bertujuan untuk memupuk kekayaan karena kontrol dan akses negara ada di
tangan mereka. Jaringan patronase negara yang di bangun pada rezim
Soeharto di kalangan elite politik, kelompok bisnis dan birokrat, telah
berhasil menimbun kekayaan bagi diri mereka sendiri melalui sistem yang
korup. Seiring dengan bergulirnya reformasi, jaringan patronase yang telah di
bangun pada masa OrBa tidak hilang begitu saja, namun terwariskan ke
kekuasaan yang terdesentralisasi.
Tahap Penyempurnaan kediktatoran Soeharto pada masa OrBa adalah
suatu keluarga oligarki kesultanan117, rezim Soeharto mengeruk kekayaan
negara dan kebal hukum. Kekuasaan saat itu berada di tangan Soeharto atas
segala sumber kekayaan dan akses negara, dan dia membagikan berbagai
proyek, lisensi agen tunggal, proteksi tarif, monopoli pasar dan impor, serta
konsesi penebangan hutan dan pertambangan, kepada keluarga dan konco-
konconya. Sifat dari oligarki terwariskan pada Orde reformasi. Sistem politik
yang demokratis saat ini justru menyediakan arena terbuka bagi persaingan
antar oligarki.
Rezim Soeharto juga membiarkan berlangsungnya korupsi dalam
tubuh birokrasi atas anggaran negara, yang dianggap dapat menjinakan
lapisan birokrasi atas ketidakpuasan politik. Dengan pertumbuhan berbagai
sektor ekonomi, maka penyimpangan meluas. Lapisan atas birokrasi
memiliki wewenang atas berbagai izin usaha, pajak, pembangunan dan
alokasi proyek, sedangkan para pegawai birokrasi menjalankan layanan
administrasi, yang tidak dapat di lepaskan dari aktivitas keduanya adalah
adanya imbalan yang harus diberikan. Imbalan bagi lapisan atas menandai
adanya “budaya suap”, sedangkan bagi para pegawai birokrasi menandai
adanya “budaya pungutan”. Para pelaku bisnis pun tidak mau kalah, bagi

                                                            
117
Oligarki (pemerintahan oleh segelintir orang) kesultanan / Sultanik Oligarchies lebih
cenderung menggabungkan kekuatan paksa dan mesin ekonomi untuk mengendalikan
Oligarki-oligarki lain dibawahnya agar tunduk pada oligarki utama, dan bagaimana satu
keluarga ini mengeruk kekayaan negara dan kebal hukum dalam Winters JA, Oligarkhi,
Jakarta:Gramedia,2011,hal 229-257.

80 
 
yang membutuhkan keamanan bagi aset mereka, mereka membayar “uang
keamanan” untuk aparat keamanan.
Korupsi diperparah dengan permainan kasus yang ditangani aparat
penegak hukum maupun kehakiman, yang biasa disebut dengan “mafia
peradilan”, sedangkan lembaga legislatif melakukan 4D
(datang,duduk,diam,duit). Rezim otoriter membuat sikap politisi maupun
birokrat terhadap penguasa tertindas. Para bawahanpun melakukan “budaya
menjilat” semata-mata untuk menyenangkan atasan. Banyaknya upeti dan
dana politik yang dikumpulkan mengalir untuk mendapatkan rangkaian
dukungan, dan pada akhirnya Pemilu yang diselenggarakan hanyalah sebuah
sandiwara demokrasi118.
Orde baru telah meletakan dasar-dasar korupsi yang sifatnya sistemik,
sehingga otonomi daerah dewasa ini mewariskan pola korupsi orde baru, hal
ini merupakan hambatan bagi tercapainya cita-cita reformasi. Pergeseran
kekuasaan dari pusat ke daerah memunculkan patron-patron politik baru dan
peningkatan peran parlemen terutama dalam penyusunanan anggaran. Kini
pemerataan distribusi korupsi mulai dari eksekutif dan jajarannya, legislatif,
lembaga peradilan (yudikatif) di pemerintah pusat hingga lembaga-lembaga
tersebut yang berada di pemerintah daerah.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengungkapkan
10 sektor area rawan korupsi119 yakni APBN/APBD, sektor pengadaan
barang dan jasa, sektor pajak, sektor kepabeaan dan bea cukai, sektor minyak
dan gas, sektor keuangan dan perbankan, sektor Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, sektor pendapatan/penerimaan negara,
sektor pelayanan umum,dan sektor instansi lembaga dengan alokasi anggaran
besar. Namun yang harus menjadi prioritas penanganan Kejaksaan Agung,
Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lima area pertama.
Presiden menghimbau bahwa pencegahan dan penanganan yang sangat serius
harus dilakukan terhadap korupsi yang merugikan APBN dan APBD.

                                                            
118
Harman BK, Negeri Mafia Republik Koruptor :Menggugat Peran DPR Reformasi, Jakarta
:Lamalera, hal 106-110.
119
Sitongga LT, Presiden SBY:Ini Dia 5 Sektor Rawan Korupsi, Rabu 25 Juli 2012,
http://www.bisnis.com/artikel, 13/9/2012.

81
 
Mengapa demikian? karena Anggaran merupakan amanah dari rakyat
yang dititipkan kepada eksekutif maupun legislatif untuk kesejahteraan
rakyat, karena sumber-sumber APBD adalah Pajak dan retribusi yang
merupakan pungutan kepada rakyat, Laba BUMN/BUMD yang
pengelolaannya menggunakan uang rakyat, Hutang yang merupakan beban
rakyat, dan Hibah yang ada akibat adanya kepentingan rakyat.
Negara/pemerintah hanyalah pengelola uang rakyat. Dengan demikian dapat
disimpulkan rakyat memiliki kewajiban membayar pajak, yang kemudian
menjadi pendapatan negara, dan rakyat memiliki hak atas pembangunan yang
pengelolaannya dilakukan pemerintah/negara.
Dari tahun ke tahun semenjak otonomi daerah berbagai kasus korupsi
di daerah banyak terangkat kepermukaan, ICW memantau perkembangan
kasus korupsi tersebut dimulai dari jumlah kasus dan jumlah kerugian negara,
modus operandi, pihak-pihak yang terlibat, dan sektor-sektor yang dikorupsi,
dengan sumber data media cetak, on-line (website aparat penegak hukum)
dan elektronik. Tren korupsi yang di analisis oleh ICW memiliki parameter
sederhana untuk menilai perkembangan praktek korupsi, yaitu apakah kasus
korupsi meningkat, berkurang, atau konstan.
Walaupun sebenarnya sangat sulit mengukur apakah korupsi
meningkat atau menurun, informasi korupsi sedikit sekali dan dapat
memberikan gambaran yang salah, menurut John T Noonan120 apabila suatu
negara telah banyak membawa perkara korupsi ke meja hijau di bandingkan
negara lain, bukan berarti korupsi di negara tersebut lebih banyak daripada
negara lain, dan bisa saja semata-mata karena negara tersebut punya kemauan
dan kemampuan tinggi memberantas korupsi.
Permasalahan lain yang timbul dalam memantau berbagai kasus
korupsi adalah kesulitan dalam mendapatkan data keseluruhan kasus korupsi
di Indonesia, karena tidak semua kasus korupsi aktual di Indonesia ditangani
aparat penegak hukum, dan tidak semua kasus korupsi yang ditangani aparat

                                                            
120
Klitgaard R, op.cit ,hal 11.

82 
 
penegak hukum diberitakan oleh media dan tidak semua kasus korupsi yang
diberitakan media terpantau ICW.
Tren Pemberantasan korupsi di Indonesia yang telah dipantau oleh
ICW selama tiga tahun terakhir ini menunjukan banyaknya kuantitas jumlah
kasus maupun potensi kerugian yang di tanggung oleh negara. Berdasarkan
data mentah yang diperoleh dari ICW pada tahun 2009 terdapat 186 kasus
korupsi dengan potensi kerugian negara sebesar 3.3 Triliyun rupiah,
kemudian pada tahun 2010 terjadi peningkatan besar pada jumlah kasus yaitu
sebanyak 475 kasus, dengan potensi kerugian negara 5.6 Triliyun rupiah,
sedangkan pada tahun 2011 jumlah kasus hanya turun sedikit yaitu sebanyak
440 kasus, walaupun dari segi kuantitas turun namun potensi kerugian negara
meningkat tajam menjadi 24.2 Triliyun rupiah.
Hasil penelusuran dari data yang dimiliki ICW ternyata banyaknya
kasus korupsi di berbagai daerah di Indonesia sebagian besar dana bersumber
dari APBD, walaupun tidak semua kasus dapat di telusuri secara lebih
mendalam. Dari hasil penelusuran kasus korupsi APBD pada tahun 2009
terdapat 88 kasus korupsi APBD, sedangkan pada tahun 2010 terdapat 265
kasus korupsi APBD dan pada tahun 2011 terdapat 382 kasus korupsi APBD,
namun berbagai kasus tersebut sebagian besar adalah kasus lawas dari APBD
tahun-tahun sebelumnya yang baru dilakukan penetapan tersangka pada tahun
pengungkapan (tabel 3).
Tabel 3. Tren Korupsi APBD Tahun 2009-2011.
Tahun jumlah kasus korupsi APBD Potensi Kerugian Negara*
2009 88 kasus Rp 592 213 289 864.00
2010 265 kasus Rp 1 440 503 968 704.00
2011 382 kasus Rp 23 730 028 308 384.00
sumber : data mentah ICW, 2012 (diolah).
*)ada jumlah yang masih dalam perhitungan.
Potensi kerugian negara pada Tabel 3, sebagian besar adalah masih
dalam perhitungan, bahkan banyak juga kasus korupsi yang masih belum
ditetapkan kerugian negaranya, untuk kasus korupsi yang sudah ditetapkan
potensi kerugian negaranya belum seluruhnya merupakan keputusan dari

83
 
aparat penegak hukum jadi ada beberapa yang masih menjadi dugaan
sementara saja.
Dari data ICW, korupsi di sejumlah daerah, termasuk yang terkait
dengan APBD, hampir seluruhnya melibatkan kepala daerah dan legislatif.
Menteri dalam negeri Gamawan Fauzi pernah mengungkapkan “terdapat 155
bupati/ walikota yang diperiksa dan masuk penjara karena kasus korupsi,
ada 17 gubernur atau mantan gubernur yang masuk penjara. Bahkan setiap
minggu ada saja kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka”121,
Pasca pemberlakuan otonomi daerah , korupsi oleh eksekutif dan
legislatif daerah adalah hal yang biasa terjadi hampir di seluruh daerah di
Indonesia, dengan sumber utamanya adalah APBD. Korupsi ini terjadi karena
konspirasi saling menguntungkan antara DPRD dan Eksekutif. Banyak fakta
yang mengungkapkan kedua pihak ini bertindak sebagai pelaku,karena
mereka memiliki kewenangan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan
pengendalian serta pengawasan APBD.
Penyimpangan yang terjadi dimulai dari proses penyusunan APBD
yang kurang melibatkan partisipasi masyarakat, presentase belanja rutin yang
semakin bengkak dibandingkan belanja pembangunan, yang artinya orientasi
eksekutif-legislatif lebih terhadap kepentingan belanja aparat dibandingkan
pembangunan untuk rakyat, hingga alokasi pos anggaran yang banyak
menyimpang dari peraturan yang telah ditetapkan. Perselingkuhan antara
eksekutif legislatif ini dapat dibuktikan oleh banyaknya jumlah pelaku
korupsi adalah dari pihak eksekutif dan legislatif (Lihat Gambar 11). Jumlah
pelaku Anggota DPRD/DPR menempati peringkat ketiga dengan jumlah 99
orang sedangkan kepala daerah berjumlah 41 orang.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) menempati posisi nomor satu sesuai
dengan penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
tentang maraknya rekening gendut PNS muda di berbagai daerah. Dari data
tersebut kita dapat mengetahui empat pihak yang biasanya terlibat dalam
korupsi di daerah, termasuk APBD, yaitu kepala daerah/pejabat yang

                                                            
121
Kompas 18/1/2011 dalam Elok D, Briggita I, (Maria Hartiningsh), op.cit, hal 74.

84 
 
menyyalahgunakaan wewenanngnya, peng
gusaha/keraabat dekat penguasa, pihak
p
birokrrasi, dan DP
PRD yang disertai
d keku
uatan politikknya.

239
9
190

99 91
67 5
51 41 31 30 28 27 24 4
24 20 17

Sumbber : ICW, 2012.


2
Gambbar 11. Trenn Korupsi Inndonesia beerdasarkan Pelakunya
P T
Tahun 2011.
Pada masa otonomii daerah, teernyata dessentralisasi kekuasaan juga
upsi dari pusat ke daerah, ap
diwarrnai dengann desentraalisasi koru pabila
dibanndingkan dengan
d massa OrBa, dalam waaktu lebih dari 30 tahun
t
kepem
mimpinan Soeharto,
S h
hampir tidaak ada kepaala daerah yang ditan
ngkap
karenna kasus korrupsi, namuun hal itu bukanlah
b jam
minan bahw
wa pemerin
ntahan
OrBa bersih daari korupsi, bahkan pemerintaha
p an OrBa teelah mewarriskan
budayya korupsi, seperti yangg telah diun
ngkapkan seebelumnya diatas.
Berdasarkkan sistem
m pengelolaaan anggaraan daerah, ada 3 tah
hapan
dalam
m pengelolaaan APBD, yaitu: Tah
hap perencanaan, Tahhap pelaksaanaan,
dan tahap
t penggendalian dan
d pengaw
wasan, nam
mun dari kketiga tahaap ini
mnya ada seejumlah titikk rawan korrupsi122. Padda Tahap P
umum Perencanaan
n, titik
rawann korupsi yang
y terjadi yaitu:
1. Musrembbangdes (M
Musyawarah
h rencana pembangunnan desa), pada
tahap inii rancangann program
m yang disuusun berassal dari insstansi

                                                            
122
Lihat lebih lengkkap di Sillaeloe P, Korupsi Dalam
D Pengellolaan APBD, Kamis 13
Septem
mber 2012, htttp://bimakab.ggo.id/article-korupsi-dalam--pengelolaan-apbd.html. Diakses
D
13/09/22012.

85
 
tertentu, artinya masyarakat dipaksa/secara terpaksa mengikuti
keinginan/kebutuhan instansi.
2. Musrembangcam (Musyawarah rencana pembangunan kecamatan),
pada tahap ini seluruh desa diundang namun pada prakteknya
kepentingan pemerintah kecamatan lebih dominan, sehingga hasil
yang sudah diusulkan sudah di rancang sedemikian rupa agar
kepentingan itulah yang lolos. Selain itu masalah musrembang dalam
level desa maupun kecamatan adalah kualitas hasilnya yang rendah,
karena rendahnya fasilitator. Proses fasilitasi hanya dalam bentuk
surat edaran agar desa melakukan musrembang, dan jarang dalam
bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan, kemudian pedoman untuk
musrenbang/perencanaan (Contoh. Permendagri No.66 tahun 2007
tentang Rencana Pembangunan Desa) cukup rumit untuk diterapkan di
pedesaan yang sebagian perangkat desanya masih terbatas dalam
pengetahuan dan akses teknologi.
3. Pembahasan Tim anggaran dan Panitia anggaran oleh pihak eksekutif-
legislatif mengikuti sejumlah kepentingan pihak DPRD, DPRD
menitipkan sejumlah proyek pada instansi tertentu, maka instansi
tersebut menyanggupinya agar usulannya dapat diterima. Kemudian
ada fakta bahwa usulan belanja cenderung di mark-up dan usulan
pendapatan/penerimaan cenderung di mark-down. Fakta lainnya
adalah intervensi hak budget DPRD terlalu kuat dimana DPRD sering
mengusulkan kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan dalam
Musrembang. Intervensi kuat dari DPRD tersebut diduga karena
adanya motif politik dan ekonomi. Motif politik yakni kepentingan
untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD berperan
membagi-bagikan proyek, motif ekonomi membuat proyek sebagai
tambahan income bagi diri sendiri dan kelompok kepentingannya
dengan mengarap bisa ikut serta dalam pengadaan barang dan
pelaksanaan kegiatan. Negosiasi antar eksekutif-legislatif tersebut
memakan waktu yang lama, untuk melunakan hak intervensi DPRD
pihak eksekutif menggunakan strategi memberikan alokasi tertentu

86 
 
yang dapat digunakan secara fleksibel misalnya panyaluran Bantuan
Sosial (Bansos).
4. Sidang Pari Purna Pembahasan RAPBD (Rancangan Anggaran
Pendapatan dan belanja daerah) dan Penetapan APBD. Biasanya ada
stakeholder yang diundang untuk mengikuti persidangan sebagai
pendengar, agar proses penyusunan APBD dinilai transparan dan
partisipatif, pedahal hanyalah suatu simbolis semata.
Pada Tahap Pelaksanaan, titik rawan terjadinya korupsi yaitu:
1. Pada saat belanja barang. Terjadinya mark-up (penggelembungan
harga), mark-down, manipulasi kwitansi, manipulasi barang,
memberikan uang komisi, sisa diskon yang tidak dilaporkan.
2. Pada saat belanja langsung. Biasanya yang terjadi adanya proyek
penunjukan langsung, dan yang ditunjuk adalah orang terdekat
pengelola proyek/penguasa.
3. Pada saat belanja tidak langsung. Terjadinya mark-up
(penggelembungan harga), mark-down, manipulasi kwitansi,
manipulasi barang, memberikan uang komisi, sisa diskon yang tidak
dilaporkan, inefisiensi dalam pembelanjaan, dan lain-lain.
4. Pada saat pembentukan panitia tender, proses tender, pada saat
pelaksanaan proyek.
Pada Tahap pengendalian dan pengawasan, titik rawan terjadinya korupsi
yaitu :
1. Evaluasi/pemeriksaan proyek oleh Badan Pengawas Daerah
(BAWASDA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Badan
Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) , adalah adanya uang
sogokan yang di berikan kepada tim pemeriksa, disertai fasilitas
mewah, dan pelayanan istimewa. Hal itu bertujuan agar hasil
pemeriksaan tidak di persoalkan.
2. Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepala daerah.
Kepala daerah wajib memberikan laporan yang menggambarkan
keberhasilan programnya. Apabila ternyata dalam pelaksanaanya
banyak terjadi cacat, DPRD akan melakukan kritik tajam kepada

87
 
kepala daerah. Namun pada banyak kasus akhirnya tidak dipersoalkan
oleh DPRD.

4.2 Gambaran Umum Provinsi Banten


Provinsi Banten sebelum adanya otonomi daerah merupakan bagian
dari Provinsi Jawa Barat, kemudian resmi menjadi provinsi yang terpisah
sejak tanggal 4 Oktober 2000. Secara demografi, provinsi Banten memiliki
luas wilayah sebesar 9 662.92Km . Wilayah ini dibagi menjadi empat
kabupaten (Lebak, Pandeglang, Serang dan Tanggerang) dan empat kota
(Cilegon, Tanggerang, Serang, Tanggerang Selatan). Provinsi Banten berada
pada batas astronomis 105.01’11”-106.07’12” BT dan 5.07’50”-7.01’1”LS
dengan batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah
timur provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat, sebelah selatan samudra hindia
dan sebelah barat selat sunda. Posisi tersebut menjadikan letak Banten sangat
strategis dalam lintas perdagangan nasional dan sangat dekat dengan pusat
pemerintahan.
Dari sisi sosial-budaya, mayoritas penduduk Banten beragama Islam
dengan toleransi yang tinggi terhadap agama lain. Hal ini tidak terlepas dari
sejarah kesultanan Banten, dimana kerajaan Banten adalah salah satu kerajaan
Islam di pulau Jawa. Menurut catatan sejarah, walaupun agama Islam menjadi
pedoman hidup rakyatnya, toleransi beragama sudah terlihat pada masa
kerajaan dimana dibangun sebuah klenteng di pelabuhan Banten tahun 1673.
Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang kosmologi orang Banten
adalah alam semesta adalah milik Gusti Pangeran yang di titipkan kepada
Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi.
Gusti pangeran punya kekuatan luar biasa besar yang sebagian kecil
dapat diberikan kepada manusia, apabila manusia tersebut memiliki
pengetahuan tentang formula-formula pendekatan diri. Sultan atau Wali
memiliki pengetahuan tersebut, sehingga mereka itu sakti. Kesaktian mereka
dapat disebarkan melalui garis keturunan dan siapapun yang mau berguru
(mengabdi), pengetahuan itu masih ada sampai sekarang sehingga
teridentifikasi sebagai pengetahuan magis. Kemudian untuk selanjutnya

88 
 
dengan hilangnya kesultanan, sebagian besar peranannya beralih pada kiyai
(kaum spiritual), dalam statifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan
teratas, kekuasaan mereka seringkali melebihi kekuasaan pemimpin
formal123.
Selain itu ada juga kelompok lain yang disegani oleh masyarakat,
mereka disebut Jawara. Jawara adalah orang yang dikenal memiliki
keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan supranatural, sosok mereka di
kenal dengan karakter yang khas, seperti mengenakan seragam hitam,
bersenjatakan golok, terkenal menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan
masalah, bertutur kata keras (sompral), berani dan agresif. Dengan demikian,
sosok Kiyai dan Jawara memiliki kharisma dan pengaruh yang kuat bagi
masyarakat Banten124.
Dalam sejarah prakolonial Banten, budaya perupetian terjadi pada
masa kesultanan. Banten dan Lampung (yang merupakan perluasan daerah
Banten) merupakan penghasil rempah-rempah utama. Lampung diwajibkan
untuk mengantar berbagai upeti sebagai tanda kesetiaan terhadap Sultan,
pemerintah pada saat itu juga mengeluarkan peraturan yang mewajibkan
rakyat menanam lada, dampak yang timbul adalah semakin melemahnya
ekonomi petani penanam dan semakin kuatnya ekonomi pemilik lahan.
Petani atau penanam lada yang seharusnya mendapatkan surplus dari
produksi, tidak mendapatkan hasil sebesar yang dinikmati pedagang dan
penguasa, hal ini karena harga jual dan tata niaga ditentukan pemerintah,
monopoli perdagangan lada dilakukan oleh sultan dan penguasa yang punya
hak-hak istimewa. Hal ini memberikan kontribusi besar untuk kekayaan yang
dimiliki para sultan, kerabatnya ,dan para pedagang kaya125
Provinsi Banten terdiri dari berbagai suku dan budaya, sunda, jawa,
betawi, tiong-hoa, dan masyarakat urban yang berdatangan dari berbagai
daerah. Sistem mata pencaharian masyarakat Banten dahulu adalah pertanian

                                                            
123
http://bantenologi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=83:potret-
budaya-banten-dulu-kini-dan-nanti&catid=, diakses 5/11/2012.
124
Anzar D, Akrobat Pembangunan: Telaah Kritis Kebijakan Publik, Ekonomi Banten dan
Nasional dalam Bingkai Konektivitas, Jakarta: Paradigma Semesta, 2011,hal xv-xvii
125
ibid.

89
 
dan nelayan. Ada
A tradisi yang
y masihh nampak hingga
h kinii, pola hubbungan
yangg terjalin sepperti hubunggan kekerabbatan atau patron
p cliennt. Pada massa kini
terjaddi perkembbangan mataa pencahariian selain pertanian
p daan nelayan,sseperti
misaalnya di Tannggerang Seelatan sebaggian besar angkatan
a keerja terserapp pada
sektoor industrii, serta sektor
s lainnnya yang
g diminati adalah sektor
perdaagangan126.
Di Proviinsi Banten terdapat suuku baduy, yaitu
y suku asli
a sunda B
Banten
yangg anti-modeernisasi, baaik cara berpakaian maupun poola hidup. Khas
budaaya masyarakat Banten salah saatunya adalaah debus, yang meruupakan
atrakksi keseniann yang berrnuansa maagis. Selain itu di proovinsi ini bbanyak
terdaapat pondook pesantrren, bahkaan salah satu kabuupatennya, yaitu
k santri1277.
Panddeglang terkkenal dengann sebutan kota

Lain- Lain-
Peenda- 2010 Penda- 2011 lain
lain
paatan patan Pendapa
Pendappa
Traansfer Transferr tan yang
tan yanng
25
5.9% 22.75%
% sah
sah
0.14%% 0.15%

PADD PAD
73.95%
% 77.10%

Sumbber : Laporaan Hasil Pemeriksaan BPK


B RI tah
hun 2010 daan 2011.
Gam Komposisi Realisasi Pendapataan Provinsi Banten tahun
mbar 12. K
A
Anggaran 20010 dan 20111.

Dari sisii ekonomi, kapasitas fiskal


f Provin
nsi Banten yang meruupakan
gambbaran kemaampuan keeuangan daaerah untuk
k melakukaan pembanngunan
terlihhat cukup mandiri
m karena sebagiaan besar peendapatan berasal
b dari PAD,
terutama dari seektor pajak yang sebaggian besar dari
d pajak kendaraan.
k A
APBD
padaa tahun 2010 dan 20111 memperliihatkan kom
mposisi reallisasi Pendaapatan
Provvinsi Bantenn didominaasi oleh PAD di ataas 70 perseen (gambar 12),

                                                            
126
htttp://www.hum
masprotokol.baantenprov.go.iid/2012/07/, diakses
d 5/11/2012.
127
Ibiid.

90 
 
misalnya pada tahun 2011 PAD sebesar 77.10 persen, sedangkan Pendapatan
Transfer hanya sebesar 22.75 persen dan lain-lain Pendapatan yang Sah
hanya 0.15 persen.
Total realisasi APBD Banten tahun 2011 adalah 3.7 triliyun rupiah,
dengan kontribusi PAD 2.8 triliyun rupiah, pendapatan transfer 854 milyar,
dan lain-lain pendapatan yang sah 5.6 milyar rupiah. Peningkatan PAD
Banten yang mendorong peningkatan APBD Banten bukan merupakan
indikator utama keberhasilan pembangunan di daerah Banten, keberhasilan
dapat terlihat dari alokasi APBD bagi pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat.
Apabila peningkatan PAD tidak diiringi oleh pembenahan internal
birokrasi, maka peningkatan anggaran publik yang dikelola pemerintah
memiliki kecenderungan meningkatkan penyimpangan dalam bentuk korupsi
dan kolusi dalam pengelolaannya128. PAD Provinsi Banten kurang lebih
70persen-nya berasal dari sektor pajak, yang sebagian besar berasal dari pajak
kendaraan bermotor (terutama di daerah Tanggerang) yaitu sebesar 67 persen.
Banten mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat selama periode
2001 dampai dengan 2011. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten
berfluktuatif, pada tahun 2001 sebesar 3.95 persen dan tahun 2011 sebesar
6.43 persen (Gambar 13). Dari empat Kabupaten dan empat kota, yang paling
besar memberikan kontribusi PDRB di Provinsi Banten adalah daerah
Tanggerang, secara agregat kontribusi daerah Tanggerang adalah 61 persen
(kota dan kabupaten sebelum dimekarkan) dari rata-rata PDRB provinsi
Banten. Sedangkan kabupaten kota lain hanya 39 persen yaitu kota Cilegon
15.2 persen, kabupaten Pandeglang 5.3 persen, kabupaten Serang 12.7 persen,
dan kabupaten Lebak 5.2 persen .
Dari Gambar 13 dapat dilihat laju pertumbuhan ekonomi pada tahun
2007, 2008, 2009 pernah mengalami penurunan, hal ini di sebabkan pada
tahun tersebut terjadi perlambatan ekonomi dunia yaitu terjadi krisis ekonomi
global yang disebabkan krisis ekonomi di Amerika dan Eropa, yang
menyebabkan perlemahan permintaan barang dari negara-negara seperti
                                                            
128
Sesuai dengan penelitian Anne Krueger dalam Anzar D, op.cit, hal 73.

91
 
Indonnesia, khussusnya Banten dimanaa industriny
ya di dominnasi oleh inndustri
berbaasis ekspor..
7
6.43
6 5.87 6
6.04 6.08
5.622 5.56 5.77
5 5.07
4.7
71
4 3.95 4.11

3 Provinsi Banten

0
2001 2002 2003 2004 20005 2006 2007 2008 2009 20010 2011

Sumbber : BPS, 2012


2 (diolahh).
Gam
mbar 13. Perttumbuhan ekonomi
e Proovinsi Banten tahun 20001-2011 .
Namun, isu pem
mbangunan kini bukaan hanya bertumpu pada
pertuumbuhan ekkonomi yanng tinggi, melainkan
m ju
uga bagaim
mana kualitaas dari
pertuumbuhan ekkonomi terrsebut. Lajuu pertumbu
uhan ekonoomi Bantenn yang
pesatt, justru mempertega
m as adanya kualitas peertumbuhann ekonomi yang
rendaah.

kotaa Serang
kota Cilegon
C
kota Tangggerang
kabupaten
n Serang 2010
kaabupaten Tangggerang 2009

kabupaten
n Lebak 2008

kaabupaten Panddeglang

0 10 20 30 40
juta rupiah

Sumbber: BPS, 2011


2 (diolahh).
Gam
mbar 14. Peerkembangaan PDRB Perkapita
P Kabupaten/K
K Kota di Prrovinsi
Baanten 2008--2010.

92 
 
Gambar 14 menunjukan terdapat ketimpangan distribusi pendapatan
antara kabupaten/kota di provinsi Banten. Rata-rata PDRB perkapita Banten
tahun 2008, 2009, 2010 memiliki rata-rata 7.23 juta rupiah, apabila dilihat
dari gambar 12, maka yang memiliki PDRB perkapita diatas rata-rata adalah
Cilegon sebesar 32.62 juta rupiah dan Tanggerang sebesar 17.03 juta rupiah.
Kontribusi PDRB Tanggerang yang besar terhadap PDRB Banten, dan
besarnya pendapatan perkapita di Tanggerang, Serang, Cilegon, dikarenakan
dari industri pengolahan yang terdapat di daerah-daerah tersebut.
Dapat dilihat pada tabel 4, PDRB menurut lapangan usaha harga
konstan tahun 2000, bahwa industri pengolahan memberikan kontribusi yang
paling tinggi dalam PDRB dari tahun ke tahun. Misalnya untuk tahun 2008
sampai dengan 2010, Industri pengolahan memberikan kontribusi hampir 50
persen terhadap PDRB provinsi.
Tabel 4. PDRB Banten Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2010*.
LAPANGAN USAHA 2008 2009 2010
PERTANIAN 5 408 861.73 5 641 900.50 5 974 381.61
PERTAMBANGAN & PENGGALIAN 79 151.12 90 195.51 97 765.08
INDUSTRI PENGOLAHAN 32 225 075.20 32 707 531.26 33 779 343.16
LISTRIK, GAS & AIR BERSIH 2 805 792.50 2 922 549.08 3 280 340.37
KONSTRUKSI 2 010 388.56 2 204 523.41 2 359 793.17
PERDAG., HOTEL & RESTORAN 14 202 996.50 15 127 918.26 16 276 822.36
PENGANGKUTAN & KOMUNIKASI 6 200 675.31 6 877 187.61 7 719 131.44
KEU. REAL ESTAT, & JASA
PERUSAHAAN 2 489 875.78 2 822 560.19 3 014 016.23
JASA-JASA 3 380 093.59 3 636 754.80 3 805 764.27
PDRB 68 802 910.30 72 031 120.61 76 307 357.69
Sumber: BPS,2011.
Ket: *dalam rupiah
Selain itu, Informasi kependudukan penting dalam melakukan
perencanaan dan evaluasi pembangunan. Pertumbuhan jumlah penduduk
Banten terus mengalami peningkatan sejak tahun 1961 sampai dengan tahun
2010 (Gambar 15).

93
 
4,500,000
4,000,000
k Pandeglanng
kab.
3,500,000
3,000,000 k
kab. Lebak
2,500,000
Jiwa

kkab.Tangerangg
2,000,000 &
&Tanggerang Selatan
1,500,000 K
Kab/kota Seranng

1,000,000 k Tangerang
kota
500,000
k Cilegon
kota
0
1961 19771 1980 19990 2000 2010
2
Tahun
n

Sumbber: Sensuss Penduduk 2010.


mbar 15. Juumlah Pendduduk Kabuupaten/Kotaa di Provinnsi Banten 1961-
Gam
20010.

Tingginyya pertumbuuhan penduuduk terjadii secara alaami dari tahhun ke


tahunn, namun daaya tarik inndustri penggolahan pun
n telah menddatangkan m
migran
baru yang masukk ke wilayaah-wilayah tersebut.
t
Tabeel 5. Perkem
mbangan RL LS Sebagai Komponen
K IPM Provinnsi Banten
tahun 2000-2010
2

Taahun Angka Melek Ratta-rata Lama ks Pembangu


Indek unan
Huruf (%) Sek
kolah(tahun)) Manusia

22000 992.1 6.8 63.8


2
2001 9
92.5 7.1 65.3
2
2002 9
93.8 7.9 66.6
2
2003 9
94.2 8.1 67.2
2
2004 94 7.9 67.9
2
2005 9
95.6 8 68.8
2
2006 9
95.6 8.1 69.1
2
2007 9
95.6 8.1 69.3
2
2008 9
95.6 8.1 69.7
2
2009 955.95 8.15 70.06
2
2010 9
96.2 8.32 70.48
Sumbber: BPS Prrovinsi Bannten,2010.
Jumlah penduduk
p y
yang besar merupakan
n potensi bagi daerah untuk
pembbangunan, namun
n kuaantitas pendduduk tidak
klah berartii apa-apa aapabila
tidakk disertai dengan
d kuallitas sumbber daya manusia yangg baik. Inddikator

94 
 
pendidikan di provinsi Banten dapat diukur dengan angka Rata-Rata Lama
Sekolah (RLS) dan Angka Melek Huruf (AMH) yang merupakan dua dari
empat komponen dalam mengukur Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Pada Tabel 5 menunjukan RLS dan AMH terus mengalami
peningkatan sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2010, namun secara
nasional IPM di provinsi Banten masih sangat jauh dari rata-rata nasional
(Tabel 6).
Tabel 6 menunjukan bahwa Banten memiliki peringkat yang rendah
apabila dibandingkan secara nasional maupun dengan provinsi lainnya di
pulau Jawa. Pada tahun 2004 dan 2009 IPM Banten termasuk dalam
peringkat yang rendah di pulau Jawa atau peringkat ke-20 pada tahun 2004
dan peringkat ke-23 pada tahun 2009 di Indonesia.
Tabel 6. Peringkat IPM Provinsi Banten di Pulau Jawa
Provinsi 2004 Peringkat 2009 Peringkat
DKI Jakarta 75.80 1 77.30 1
Jawa Barat 69.10 14 71.60 15
Jawa Tengah 68.90 17 72.10 14
Yogyakarta 72.90 3 75.20 4
Jawa Timur 66.80 23 71.00 18
Banten 67.90 20 70.00 23
Sumber : BPS dan UNDP, 2010.
Ukuran Populasi yang besar namun tidak disertai adanya kualitas
penduduk hanya akan memberikan beban bagi proses pembangunan.
Kuantitas penduduk yang tinggi, namun tidak disertai dengan kualitas
penduduk yang memadai, mengakibatkan penduduk asli daerah tersebut
hanya menjadi “kuli” di tanah sendiri, terlebih karena investasi yang masuk
demi meningkatkan PAD bertumpu pada Penanaman Modal Asing (PMA)
bukan investasi yang bertumpu pada kearifan lokal.
Selain terdapat kesenjangan distribusi pendapatan di Provinsi Banten
dan peringkat IPM yang rendah, ternyata pencapaian pertumbuhan ekonomi
yang tinggi pada faktanya tidak mampu menyerap tenaga kerja di provinsi
Banten. Pada gambar 16, misalnya angka persentase pengangguran di Banten

95
 
tahunn 2007-2011 masih tinggi, bahkann tertinggi dibandingka
d an provinsi llain di
selurruh Indonessia, walauppun mengalami penuru
unan hal teersebut menngikuti
tren penurunan
p a
angka penggangguran nasional.
n

T
Tingkat P
Pengang
gguran Terbuka
T
Banten Nasional

201
11 13.06%
6.56%

201
10 13.68%
7.14%

200
09 14.997%
8.14%

200
08 15..18%
8.339%

200
07 1
15.75%
9.11%

Sumbber: BPS Prrovinsi Bannten, 2012.


Gam
mbar 16. Tinngkat Penganngguran Teerbuka di Prrovinsi Bantten.
Menarikknya pada taahun 2009, angka Tingkat Pengaangguran Teerbuka
(TPT
T) Banten berbeda denggan data daalam Dokum
men Nota Peengantar Laaporan
Kerjaa Pertangguungjawabann (LKPJ) taahun 2009 Provinsi Banten
B hal 12-13,
yangg menyamppaikan “keeberhasilan lainnya pada agenda ini aadalah
kemaampuan meempertahannkan persenntase penga
angguran terbuka Prrovinsi
Bantten sebesar 6.50 perseen pada tahhun 2008 da
an 2009, yaang menuruun jika
dibanndingkan taahun 2007 sebesar 6.71 persen”129. Angka ini jauh beerbeda
dari data BPS yang
y menunnjukan bahw
wa persentasse pengangguran pada tahun
20099 adalah 14.97 persen atau
a 652.4662 orang.
Menurutt Anzar Pemerintah
P Provinsi Banten telah
t melaakukan
“Pem
mbohongan Publik”. Ketika
K beliauu menjadi narasumber
n ahli dalam
m acara
bersaama BPS Provinsi Bannten dalam Panita khu
usus (Pansuss) LKPJ Prrovinsi
Bantten, beliau mengetahuui asal perssentase pen
ngangguran terbuka teersebut
berassal dari metodologi
m p
perhitungan
n versi Bap
ppeda denggan rumus yang
berbeeda dari verrsi BPS, carra menghituung pengan
ngguran terbbuka secara lazim

                                                            
129
Annzar D, Op.citt, hal 62.

96 
 
adalah “jumlah pengangguran dibagi jumlah angkatan kerja dikalikan 100
persen” atau 652 462 dibagi 4 357 420 dikalikan 100 persen adalah 14.97
persen. Dalam versi Bappeda yang diklaim sebagai keberhasilan pemerintah
Provinsi Banten, rumusnya menjadi “jumlah pengangguran dibagi jumlah
populasi dikalikan 100 persen” atau 652 462 dibagi 9 782 800 dikali 100
persen dan hasilnya 6.66 persen bukan 6.5 persen (bahkan dengan rumus tak
lazim pun, pembulatan angkanya juga ditulis tidak tertib). Beliau
menyampaikan, pada akhirnya BPS dan BI Provinsi Banten membenarkan
bahwa metode perhitungan Bappeda memang tidak lazim sehingga bisa
menimbulkan kesalahan persepsi130.
Selain itu manipulasi angka juga terjadi pada angka penyakit, fakta ini
didapat dari pemberitaan di media elektronik dengan nara sumber Reisa
Kartikasari, Putri Indonesia lingkungan hidup 2010 yang berprofesi sebagai
dokter. Reisa memaparkan terdapat banyak pasien-pasien yang ditolak untuk
masuk rumah sakit di daerah Curug-Tanggerang, padahal pasien-pasien
tersebut sudah dalam keadaan gawat dan pada akhirnya tidak tertolong.
Penolakan tersebut dilatarbelakangi adanya kepentingan politik, karena akan
dilangsungkan pilkada di daerah tersebut131.
Beberapa fakta di atas membuktikan Pemerintah Provinsi Banten
belum memiliki komitmen untuk melakukan pembangunan yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat, namun berorentasi pada membentuk
prestasi pembangunan yang manipulatif agar dianggap berhasil. Kedua hal
yang terungkap diatas itulah yang disebut Kwik Kian Gie sebagai
pencerminan Corrupted mind, yang sifatnya mengelabui masyarakat.
Corrupted mind adalah dimana korupsi sudah merasuk kedalam mental,
moral, tata nilai dan nalar berfikir sehingga menjadi tidak normal dalam
berprilaku.
Dari sisi politik, perjalanan politik Provinsi Banten tidak bisa
dilepaskan dari adanya isu-isu kekuasaan informal yang didominasi oleh
suatu kelompok elit tertentu, yaitu elit kelompok Jawara yang sangat

                                                            
130
Ibid, hal 62-65, dan Hasil wawancara akademisi Banten, 8 November 2012.
131
Acara Talk Show Hitam Putih, Trans 7, 2 januari 2013.

97
 
memiliki pengaruh di wilayah Banten. Seorang pemimpin jawara tersebut
sejak tahun 1960-an sudah melakukan pengawalan bisnis beras dan jagung
antarpulau Jawa-Sumatera, bukan hanya mengawal, sang pemimpin jawara
tersebut menjadi penyedia logistik bagi Kodam IV Siliwangi, dimana Kodam
IV Siliwangi juga berkepentingan atas kestabilan politik wilayah Banten
sehingga membutuhkan orang lokal sebagai perpanjangan tangan.
Sebagai kompensasi, sang Jawara tersebut sering mendapatkan
banyak keistimewaan dari Kodam IV Siliwangi dan pemerintah Jawa Barat,
sebagian besar proyek pemerintah terutama di bidang konstruksi banyak di
berikan kepada sang Jawara tersebut. Pada tahun 1967 sang Jawara
mendirikan perusahaan bidang konstruksi jalan dan bangunan fisik lainnya
yang menjadi salah satu perusahaan terbesar di Banten, tidak hanya itu Sang
Jawara menguasai sejumlah organisasi bisnis132.
Dengan beralihnya struktur politik yang baru dari era OrBa ke
reformasi, sang Jawara mampu mertransformasikan diri dan menjadi lebih
berkuasa di banding era OrBa. Awalnya sang Jawara adalah client
businessment133 yang bergantung pada koneksi pejabat sipil dan militer, tapi
tidak merancang siapa yang berkuasa atas politik di Jawa Barat. Dengan
kekuatan finansialnya sang Jawara aktif dalam membantu gerakan pemekaran
dan diakui sebagai salah satu tokoh pembentuk provinsi Banten.
Akhirnya secara aktif dia dapat menentukan siapa yang menjadi
penguasa di Banten, kini anggota keluarga besarnya berhasil menguasai
berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial, budaya) di provinsi Banten.
Memang sang Jawara tidak menduduki jabatan publik secara formal, namun
dia adalah penguasa sesungguhnya di Banten, dan menyebut dirinya
“Gubernur jenderal”.
Sepak terjang sang Jawara bukan tanpa perlawanan, banyak
perlawanan politik dari kelompok elite lokal dan elite politik islam, namun
                                                            
132
Baca lebih lengkap di http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-1pril-2011/273, 1
November 2012.
133
Pengusaha yang pada umumnya merupakan kalangan yang mempunyai hubungan dekat
dengan sipil dan militer, karena yang menentukan bagi keberhasilan bisnis mereka adalah
patronase politik, lihat Muhaimin Y, Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-
1980, Jakarta :LP3ES, 1991. Hal 188-194.

98 
 
pada akhirnya sebagian dari mereka berbalik bersekutu dengan dinasti sang
Jawara. Seiring dengan berjalannya waktu dan banyaknya kasus (meliputi isu
korupsi, penggunaan ancaman kekerasan, politik uang, dan kecurangan dalam
pilkada) yang menimpa dinasti sang jawara, maka bermunculan lawan-lawan
baru dari sekelompok anak muda yang membentuk banyak organisasi yang
memperjuangkan isu anti-korupsi, anti-nepotisme, anti-politik dinasti, dan
mendukung politik kesejahteraan134.
Provinsi Banten telah melakukan empat periode pergantian Gubernur
selama dua belas tahun berdiri sebagai provinsi otonom. Pada tanggal 18
November 2000 dilakukan peresmian Provinsi Banten dan pelantikan pejabat
Gubernur pertama, yaitu Hakammudin Djamal untuk menjalankan
pemerintahan sampai terpilihnya Gubernur definitif.
Periode selanjutnya Gubernur yang terpilih adalah Djoko Musnandar
dan wakil Gubernur Ratu Atut Chosiyah. Djoko Musnandar dari Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) adalah satu-satunya calon yang mau
berpasangan dengan putri seorang tokoh Jawara tersebut, setelah tokoh
Jawara menawarkan pada semua partai politik bahwa siapapun dapat menjadi
Gubernur asalkan mau berpasangan dengan putrinya sebagai wakil Gubernur.
Dengan kekuatan uang, lobby dan tentu saja kekerasan elit Jawara mampu
memenangkan kandidat yang mereka usung, tidak sulit juga bagi mereka
untuk menjinakan 71 anggota DPRD135.
Kemudian Djoko Musnandar tersandung kasus korupsi, yaitu korupsi
dana perumahan anggota DPRD Banten dari APBD tahun 2003, dan terbukti
memperkaya orang lain dengan kerugian negara sebesar 14 milyar rupiah,
kemudian di nonaktifkan pada tahun 2005, sejak itu wakilnya ditunjuk
sebagai Pelaksana tugas (Plt) Gubernur Banten, dan akhirnya pada Pilkada
tahun 2006 dan 2011, Ratu Atut Chosiyah terpilih menjadi Gubernur Banten.
Ada hal yang menarik dalam kasus Djoko Musnandar, wakilnya tidak pernah
diperiksa atau dimintai keterangan, pedahal dalam Berita Acara Pidana (BAP)

                                                            
134
http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-1pril-2011/273, Loc.cit.
135
Laporan Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten 2006 :
Regenerasi sebuah Hagemoni Banten Institute. Tidak dipublikasikan. Hal 13-14.

99
 
dan keterangan para anggota dewan disebutkan bahwa wakil Gubernur ikut
serta dalam rapat-rapat kompensasi dana perumahan136.
Tabel 7. Jumlah Anggota DPRD Berdasarkan Partai Politik PemenangPemilu
Legislatif Tahun 2004 dan 2009.

Tahun 2004 Tahun 2009


No Nama Partai Jumlah Nama Partai Jumlah

1 Partai Golongan Karya 16 Demokrat 18


(Golkar)
2 Partai Keadilan Sejahtera 11 Partai Golkar 13
(PKS)
3 Partai Demokrasi indonesia 10 PKS 11
Perjuangan (PDIP)
4 Partai Persatuan Partai PDIP 10
Pembangunan (PPP) 8
5 8 Partai Hati Nurani 6
Partai Demokrat Rakyat
6 Partai Kebangkitan Bangsa 5 Partai Gerinda 5
(PKB)
7 Partai Bintang Reformasi 5 PPP 5
(PBR)
8 Partai Amanat Nasional 4 PKB 5
(PAN)
9 Partai Bulan Bintang (PBB) 3 PBB 3

10 Partai Damai Sejahtera PAN 2


(PDS) 2
11 Partai Nahdatul Umat PKPB 2
Indonesia (PNUI) 1
12 Partai Serikat Indonesia PBR 1
(PSI) 1
13 Partai Karya Peduli Bangsa PDS 1
(PKPB) 1
14 - PKNU 1
15 - PPNUI 1
16 - PPD 1
Jumlah 75 85
Sumber: BPS Provinsi Banten 2004, KPU Provinsi Banten 2009.
Pilkada langsung, adalah pelaksanaan Undang-Undang No.32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dioperasionalkan melalui Peraturan
Pemerintah No.6 tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan

                                                            
136
Ibid, hal 14

100 
 
dan Pemberhentian Kepala Daerah, dan Wakil Kepala Daerah. Merupakan
upaya agar pemimpin daerah dipilih langsung oleh masyarakat, tidak lagi
oleh DPRD. Pilkada Gubernur langsung di Provinsi Banten telah dilakukan
dua kali yaitu tahun 2006 dan 2011. Sebelum berhadapan dengan pemilih,
para calon kepala daerah harus mendapatkan “tiket” dari partai politik. Tabel
7 menunjukan jumlah anggota DPRD Berdasarkan Partai politik yang
menang pada pemilu legislatif tahun 2004 dan 2009.
Pada kedua pilkada Gubernur, Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih
adalah Ratu atut Chosiyah-Masduki (tahun 2006) dan Ratu Atut Chosiyah-
Rano Karno (tahun 2011). Mereka berhasil mengalahkan para incumbent
lainnya, Tabel 8 memperlihatkan daftar incumbent dalam Pilkada Gubernur
tahun 2006 dan 2011.
Pada pilkada 2006, awalnya ada lima pasangan kandidat, namun ada
satu pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur yang tidak diloloskan oleh
KPUD, yaitu Muchtar Mandala-Suryana yang didukung banyak koalisi partai
kecil, KPUD tidak meloloskan berdasarkan persetujuan DPP serta pengajuan
keabsahan yang harus ditanda tangani oleh pihak eksekutif sebagai penentu
kebijakan strategis. Puncak kekecewaan pendukung Muchtar Madala-Suryana
adalah keluarnya fatwa Golput oleh 42 kyai, dipimpin KH. Muhtadi Dimyati
yang menyatakan kandidat tidak ada yang layak menjadi Gubernur/wakil
Gubernur, yang layak hanya Muchtar Mandala-Suryana137.
Perlu digaris bawahi, sesungguhnya pada pelaksanaan pilkada
Gubernur langsung pada tahun 2006 ini banyak ditemukan kejanggalan dalam
prosesnya, seperti banyaknya persoalan ditubuh KPUD, proses kampanye
yang menyalahi peraturan, masalah pendataan pemilih, dan pasca pemilihan
adanya pelaporan oleh ketiga pasangan kandidat ke Mahkamah Agung (MA)
melalui Pengadilan Tinggi (PT) Banten, yang menyatakan bahwa hasil
penetapan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten menyalahi Peraturan
Pemerintah Nomer 6 tahun 2000 yaitu kepala daerah/wakil kepala daerah
yang mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah harus mengundurkan diri

                                                            
137
Ibid, hal 26.

101
 
dari jabatannya, namun kenyataannya ada calon yang tidak mengundurkan
diri138.
Tabel 8. Daftar Incumbent dalam Pilkada Gubernur Langsung Banten.
Pilkada 2006
Nama Incumbent Partai Pendukung
1 Tryana Sjam'un-Benjamin Davnie PAN, PPP

2 Ratu atut Chosiyah-Masduki GOLKAR, PDIP, PBB,


PBR,PDS, PKPB, Partai Patriot
3 Demokrat, PKB
Irsjad Djuwaeli- Mas Ahmad Daniri
4 Zulkieflimansyah-Marisa haque PKS , PSI
Pilkada 2011
Nama Incumbent partai pendukung
1 Ratu atut Chosiyah-Rano Karno GOLKAR, PDIP, Hanura,
Gerindra, PKB, PAN, PBB,
PPNUI, Partai Matahari
Bangsa, Partai demokrasi
pembaharuan, Partai Persatuan
Rakyat Nasional, Partai
Kesatuan Nahdatul Ulama,
PDS, PKPB, PPD, Partai
Merdeka, PNI Marhaen, Partai
Republika, Partai Patriot, Partai
penegak demokrasi, dll

2 Demokrat
Wahidin Halim-Irna Narulita Dimyati
PKS , PPP
3 Jazuli Juwaeni-Makmun Muzzaki
Sumber: Laporan Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Provinsi Banten 2006, Laporan Hasil Monitoring Pilkada 2011
ICW, 2012(diolah).

                                                            
138
Ibid, hal 27- 67.

102 
 
5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini, menampilkan hasil dan pembahasan dari penelitian yang
telah dilakukan yang terdiri dari: sub-bab pertama, membahas mekanisme
korupsi APBD dalam perburuan rente ekonomi di Provinsi Banten, dan sub-
bab kedua akan membahas dampak korupsi terhadap pertumbuhan regional di
Indonesia.
Pada sub-bab pertama, mekanisme korupsi APBD dalam perburuan
rente ekonomi, dilakukan dengan mengambil sampel salah satu daerah di
Indonesia yang diambil secara proposive yaitu Provinsi Banten, secara lebih
rinci akan mengungkap faktor politik penyebab terjadinya korupsi APBD,
yaitu telah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, money politics, dan
tingginya biaya dalam kampanye (high cost politic) dalam pemilihan kepala
daerah provinsi pada tahun 2011.
Kemudian akan menguraikan mekanisme dugaan korupsi APBD pada
salah satu pos anggaran belanja yaitu pos dana bansos dan hibah pada tahun
anggaran 2011, yang dikaitkan dengan penyelenggaran pilkada yang diwarnai
korupsi politik pada tahun yang sama, pengungkapan mekanisme dilakukan
melalui penelusuran data dan wawancara beberapa informan pada tahap-tahap
perencanaan anggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban. Mekanisme
terakhir yang akan di bahas adalah mekanisme perburuan rente ekonomi
dalam dugaan korupsi pada proyek-proyek APBD di Banten.
Pada sub-bab kedua, akan menampilkan hasil olah data menggunakan
e-views 6, yang menguji dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi
regional terhadap 48 ibukota provinsi/kabupaten pada tahun 2008 dan 2010,
sehingga dapat melihat seberapa besar potensi persentase pertumbuhan yang
hilang di tingkat daerah, khususnya ibukota Provinsi Banten.

5.1 Mekanisme Korupsi APBD dalam Perburuan Rente Ekonomi :


Pendekatan Studi Kasus Provinsi Banten

Pada awalnya Provinsi Banten terpisah dari Provinsi Jawa Barat


mengemban cita-cita agar masyarakat Banten lebih sejahtera, namun pada

103
 
kenyataannya tidak jauh berbeda seperti sebelum otonomi daerah, yaitu
ketimpangan masih terjadi dan kesejahteraan masyarakat Banten masih
rendah. Hal ini terjadi karena sumber daya ekonomi yang ada dialokasikan
kepada kelompok kepentingan tertentu sehingga tidak sampai kepada
masyarakat.
Mekanisme korupsi APBD di Banten, mungkin juga tidak jauh
berbeda seperti di daerah lain di Indonesia, dimulai dari proses perencanaan
anggaran (by design) dan korupsi dilakukan dengan berjamaah (corporate
crime). Latar belakang prilaku perburuan rente dalam hal ini korupsi APBD
di Provinsi Banten adalah undang-undang Pemilu, yang menyebabkan sistem
rekrutmen politik berbiaya tinggi (high cost politic), maka semua pihak yang
telah mengeluarkan modal politik tinggi ini berupaya mengembalikan
modalnya139. Hal ini menjadikan motif awal para pemimpin daerah terpilih
berbelok dari motif membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat
menjadi mencari rente untuk pribadi dan kelompok.
Korupsi dapat dipahami merupakan salah satu bentuk perburuan rente
ekonomi, banyaknya fenomena korupsi APBD yang terangkat kepermukaan
pada masa otonomi daerah ditenggarai akibat adanya prilaku pencarian rente
dari pihak-pihak yang berperan dalam proses politik (pilkada) dan juga
pengelolaan (perumusan, pelaksanaan, pertanggungjawaban) APBD itu
sendiri. Dalam sub bab ini mencoba menganalisis akar terjadinya/ faktor
yang memengaruhi peluang terjadinya korupsi dalam pendekatan studi kasus
di Provinsi Banten.
Berdasarkan hasil beberapa wawancara dan beberapa sumber data
tertulis mengungkapkan ada dua mekanisme yang biasa digunakan dalam
pengerukan APBD di provinsi Banten, yang pertama adalah melalui
mekanisme dana hibah dan bansos, dan yang kedua adalah melalui
penguasaan proyek-proyek APBD oleh kerabat penguasa. Kedua mekanisme
ini memiliki persamaan yaitu keduanya telah didesain sejak awal APBD di
susun. Dana hibah dan bansos dirancang sejak awal menjadi dana taktis bagi

                                                            
139
Hasil wawancara pihak legislatif Provinsi Banten, 28 November 2012.

104 
 
eksekutif-legislatif sedangkan proyek-proyek APBD telah dikuasai oleh
kerabat Penguasa demi memenuhi rente mereka dan kelompoknya.
Dalam penelitian ini akan dibahas tentang mekanisme dana hibah dan
bansos secara lebih mendalam, sedangkan mekanisme dugaan korupsi dalam
proyek hanya berupa ulasan singkat berdasarkan informasi yang berkembang
di masyarakat yang di dapat dari para informan, hal ini tidak dapat dilepaskan
dari era kepemimpinan kepala daerah Provinsi Banten dewasa ini.
Dengan demikian kasus yang akan di bahas, yaitu: (1) dugaan
korupsi pemilu yang terjadi untuk mengungkap tingginya biaya dalam proses
politik (high cost politic) yang terjadi di daerah penelitian sebagai salah satu
faktor terjadinya ekonomi biaya tinggi, (2) mekanisme/alur korupsi APBD
dalam Perburuan Rente Ekonomi di Provinsi Banten, khususnya pada pos
bansos hibah dalam APBD yang diduga digunakan sebagai modal politik
pada tahun 2011, dan (3) mekanisme perburuan rente dalam proyek-proyek
APBD di Banten.

5.1.1 Faktor Penyebab Korupsi APBD : Dugaan Kasus Korupsi Pilkada


Gubernur Banten Tahun 2011.

Banyak pendapat yang mengungkapkan penyebab korupsi di daerah


antara lain karena sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) yang mendorong
terjadinya biaya tinggi dalam kampanye140. Pembahasan tentang pilkada
Gubernur untuk periode 2011-2016 di Banten ini bertujuan untuk
membuktikan apakah benar telah terjadi politik biaya tinggi (high cost politic)
dalam salah satu proses politik di daerah, dimana diduga politik biaya tinggi
ini telah terjadi dan menjadi salah satu faktor terjadinya ekonomi biaya tinggi
(high cost economy) dalam hal ini adalah korupsi APBD.
Sulistio pernah mengungkapkan lima hal tindakan korupsi yang biasa
dilakukan dalam pilkada, hal itu berupa Penyelewengan jabatan (biasanya
dalam bentuk mobilisasi PNS), Pemakaian fasilitas publik, Pemakaian

                                                            
140
Pendapat Gamawan Fauzi (Mentri Dalam Negeri) dan Adnan Topan Nasution (Ketua
Koordinator ICW) dalam Maria Hartiningsih, op.cit, hal 74-75. Arif Nur Alam Direktur
Indonesian Budget Center) dalam Bambang Soesatyo, op.cit, hal 29, dan beberapa hasil
wawancara mendalam.

105
 
mpanye141. S
angggaran publikk, Money poolitics, dan manipulasii dana kam Setelah
dilakkukan hasil penelusuraan data makka peneliti menemukan
m n semua tinndakan
itu teelah terjadi pada pilkadda di daerahh Banten. Hal
H itu berdaasarkan dataa ICW
tentaang pilkada provinsi Banten
B tahunn 2011142. Menurut IC
CW pilkadaa yang
terbeebas dari korupsi pemilu
p daapat dilihaat dari tigga aspek yaitu
penyyalahgunaann kekuasaann, politik uang dan keepatuhan daalam pengggunaan
danaa kampanyee, oleh karrena itu akaan di bahaas satu persatu aspek--aspek
terseebut:
1. Penyalahgun
P naan Kekuaasaan.
P
Penyalahgun
naan kekuaasaan terjaddi dalam peemilu Gubeernur di Prrovinsi
Bantten, dengann berbagai modus yaang digunak
kan oleh para
p tim sukses/
simppatisan, angggota partai, anggota deewan, pejab
bat publik, kandidat,
k apparatur
pemeerintahan, kerabat k
kandidat, dan lainn
nya. Moduusnya berraneka
ragam
m,yaitu denngan cara mobilisasi
m PN
NS, Intimidaasi , penyerrangan, fitnaah dan
bujukk rayu, Kettidaknetralan PNS/Pejaabat publik dan Pemannfaatan kekuuasaan
(Gam
mbar 17).

Jumlah Kasuus

Pemanfaataan kekuasaan 11

Ketidakneetralan PNS/Pejabat public 9

Intimidasii, penyerangann, fitnah, dan 7


bujukrayu

Moobilisasi PNS 2

Sumbber: ICW, 2012.


2
Gam
mbar 17. Kom
mpilasi Pennggunaan Kekuasaan
K Berdasarkan
B n Modus.
Pada tinngkatan dessa terjadi mobilisasi
m perangkat
p k
kepala desaa yang
tergaabung dalam
m Asosiasi Aparat Deesa Seluruh Indonesia (APDESI) untuk
mem
milih incum
mbent no.11, mobilisasi ini dilakukan
d p
pada perteemuan
                                                            
141
Sullistio F, Perilaaku Korupsi dalam
d Pemiluukada, Dipubliikasikan dalam m Jurnal Koonstitusi
PPK FH UB B. http://faaizinsulistio.leecture.ub.ac.id
d/2011/05/periilaku-korupsi--dalam-
pemillukada/, diaksees 6/4/2012
142
Laaporan Hasil Monitoring
M Pillkada Provinsii Banten tahun n 2011 oleh IC
CW.

106 
 
silahturahmi yang dihadiri ratusan kepala desa dari Pandeglang dan Lebak di
salah satu hotel di kecamatan carita. Dalam sambutannya ketua APDESI
Banten mengajak agar kepala desa mendukung pencalonan incumbent 1
dalam pikada. Seharusnya para kepala desa ini bersikap tidak memihak,
ironisnya akibat 40 kepala desa di Pandeglang tidak mendukung pencalonan
incumbent 1 jatah fresh money 50 juta rupiah/tahun yang seharusnya
diberikan Badan Pembinaan Masyarakat Desa (BPMD) kabupaten
Pandeglang tidak diberikan, atau menurut beberapa kepala desa akan
dilakukan pembinaan dulu agar mendukung incumbent 1.
Namun BPMD berdalih ditahannya jatah fresh money karena 40 desa
tersebut belum membuat Surat Pertanggung Jawaban sebelumnya. Selain
ditingkat desa modus mobilisasi PNS terjadi pada acara penyampaian visi
misi di gedung paripurna DPRD Banten pada tanggal 5 Oktober 2011.
Modus berikutnya adalah dengan melakukan intimidasi, penyerangan,
fitnah dan bujukrayu. Seperti misalnya, di Desa Sukasaba kecamatan Munjuk,
menjelang pemungutan suara, kepala desa pendukung incumbent 1 berperan
sebagai preman dengan mengancam dan melakukan pemukulan pada saksi
dari pihak incumbent lain. Pemukulan juga terjadi oleh Kepala Desa Tamiang
kepada Chaerul Fajri (salah seorang tim advokasi dan saksi incumbent 3),
pemukulan terjadi pada tanggal 22 oktober 2011 pukul 15.00 WIB di Tempat
Pemungutan Suara (TPS) Desa Tamiang, Kabupaten Serang. Pemukulan
tersebut terjadi karena Chaerul Fajri protes terhadap kertas suara yang kosong
dicoblos pada bagian Pasangan incumbent 1 oleh Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) di TPS nomor 5, kemudian dicampur kedalam
kotak suara.
Di sepanjang Jalan Raya Anyer, tepatnya di kelurahan Kepuh pada
tanggal 13 September 2011, terjadi pencoporan baliho dan bendera
bergambar incumbent 2, pelaku mengaku dibayar Rp 100 000.00 untuk setiap
baliho dan Rp 2 000.00 untuk satu bendera oleh tim pendukung incumbent 1.
Serangan fitnah terhadap incumbent 2 pun terjadi, dengan adanya kupon
sembako yang beredar mengatasnamakan pasangan incumbent 2 di Lebak dan
Pandeglang , yang diduga dilakukan oleh lawan politik untuk menyerang

107
 
mereka. Selain itu di Kelurahan Karang Anyar Kota Serang, Salah seorang
Lurah masuk ke TPS , dan mencoba memengaruhi pemilih ke nomor 1.
Kemudian terdapat ketidaknetralan PNS/Pejabat Publik dalam Pemilu
Gubernur. Contohnya, Dugaan adanya kampanye terselubung dalam acara
halal bihalal di Masjid Al Azom Kota Tanggerang, yang di dalamnya ada
kemasan pesan politik dengan bukti, barang berupa roti yang bergambar
incumbent 2 yang dibagikan kepada para guru. Kemudian Kepala desa
Sukajaya Kabupaten Pandeglang memecat RT, guru Pendidikan anak Usia
Dini (PAUD), dan penghulu karena dilokasi pemilihan mereka incumbent 2
yang menang.
Penyalahgunaan kekuasaan dengan modus pemanfaatan kekuasaan
adalah modus yang paling banyak digunakan. Misalnya, terlihat dalam surat
edaran Sekertaris Daerah Banten yang mengimbau seluruh jajaran pemerintah
memasang spanduk dan umbul-umbul di sekitar lingkungan kantor masing-
masing dengan tema “Dengan Semangat HUT ke-11 Provinsi Banten Kita
Teruskan Pembangunan Menuju Rakyat Banten Sejahtera Berlandaskan Iman
dan Takwa”, Sekda Banten terlihat berpihak pada incumbent 1. Selain itu
Kepala Badan Ketahanan Pangan Daerah (BKPD) Provinsi Banten
mengarahkan bawahannya agar menggalang dukungan dari pegawai BKPD
dan keluarga, dan juga dari berbagai lembaga di bawah naungan BKPD agar
memilih incumbent 1.
Pada jajaran Dinas, para pelaku adalah para kepala Dinas, seperti
Kepala Dinas Kelautan dan dan Perikanan yang memerintahkan anak
buahnya memilih incumbent 1. Pada tanggal 22 Oktober 2011 di gedung
SMAN 6 Serang, Kepala Dinas Pendidikan Kota serang memerintahkan guru
dan kepala sekolah serta mengajak keluarga mereka untuk memenangkan
incumbent 1. Kemudian Kepala Dinas Sosial (Dinsos) kota Serang memberi
pernyataan bernada kampanye, Kepala Dinsos mengingatkan kepada
penerima bantuan untuk menggunakan hak pilihnya pada pilkada Banten
sambil menunjuk ke kalender bergambar incumbent 1 saat itu yang terpasang
di dinding rumah.

108 
 
Pada tanggal 14 September 2011 di Kota Serang, wakil ketua DPRD
Kota Serang menghimbau masyarakat memilih gubernur dan wakil gubernur
yang sesuai hati nurani dalam pembagian bantuan dari Pemkot dan Pemprov
Banten, berupa pemberian dana sebesar 10 juta rupiah untuk rehabilitasi
rumah tak layak huni (RLTH) di Kota Serang yang bersumber dari APBN.
Kata-kata yang diucapkannya adalah Pilihlah gubernur yang sudah
memberikan bantuan, bukan yang hanya iming-iming saja. Selain itu juga
ada dana APBD dan Program Pemda yang menjadi ajang Kampanye, ada
penggunaan dana APBD pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah
Provinsi Banten untuk pembuatan atribut kampanye berupa kaos bergambar
incumbent 1.
Progran yang menjadi ajang kampanye adalah pengobatan gratis oleh
Dinas Kesehatan di salah satu desa di Kabupaten Pandeglang oleh Relawan
Banten Bersatu (RBB), terbukti membagikan resep obat yang bergambar
incumbent 1. Kemudian adanya permohonan dukungan dengan dalih
kekuasaan pun dilakukan oleh seorang istri camat yang mengirim sms ke
ibu-ibu Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Kecamatan Cisoka
yang bertuliskan,”Assalamualaikum, ibu-ibu pengurus tolong pilih no 1 ya,
bukannya saya memaksa tapi untuk keselamatan pak camat, terimakasih atas
pengertiannya, wassalam”.
Penyalahgunaan kekuasaan pun dilakukan dengan cara menggunakan
fasilitas negara dengan modus penggunaan mobil dinas, pemasangan atribut
di kantor pemerintahan, pemanfaatkan kunjungan kerja dan kegiatan
pemerintahan lain dan memanfaatkan iklan layanan masyarakat dan iklan
yang masih menggunakan fasilitas pemerintah143.

2. Politik Uang.
Aspek yang kedua adalah money politics. Apakah pemilu Gubernur
Banten tahun 2011 terbebas dari money politics? di seluruh wilayah Indonesia
praktek politik uang sudah menjadi rahasia umum, sesuatu yang sulit
dihilangkan dari euphoria pesta demokrasi. Apalagi upaya pencegahan yang
                                                            
143
Lihat lebih lengkap di ibid , hal 9-13.

109
 
dilakukan hanya berupa himbauan dari panitia pengawas pemilu agar tidak
melakukan politik uang. Himbauan tidak akan menghentikan terjadinya
politik uang, begitu juga pada pemilu Gubernur Banten, karena berdasarkan
temuan ICW hampir semua incumbent melakukan politik uang.
Politik uang dapat terjadi karena ternyata prilaku rent seeker juga
dimiliki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia terutama dalam hal ini
adalah masyarakat Banten. Keterbatasan pendidikan masyarakat Banten
menyebabkan mereka menjadi miopyc dapat melihat keuntungan jarak dekat
(jangka pendek) namun tidak dapat melihat kerugian jarak jauh (jangka
panjang), perilaku rent seeker tidak hanya dimiliki oleh pelaku politik
maupun ekonomi di Banten tapi juga ada pada masyarakat, organisasi
masyarakat (ORMAS) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)144.

Jumlah Kasus

Pemberian uang pada Kepala


7
Desa, TPS, tempat ibadah
Pemberian kerudung, sajadah, helm dan
8
berbentuk pakaian yang lain

Pemberian janji-janji 2

Pembagian sembako, mie, pengobatan


26
gratis, ikan.

Pembagian uang secara langsung 39

Sumber: ICW 2011,2012.


Gambar 18. Kompilasi Politik Uang Berdasarkan Modus.
Dalam pemilu Gubernur Banten, uang bertaburan untuk organisasi sosial
kemasyarakatan dan juga dibagikan langsung kepada masyarakat. Ada
beberapa modus, yaitu diantaranya pemberian uang secara langsung, bagi-
bagi ikan, pemberian mie, pembagian pin bergambar, pembelian helm dan
rompi, pembagian sajadah, kerudung dan barang lainnya (Gambar 18).
Modus dengan pemberian uang secara langsung adalah praktek yang paling
banyak dibandingkan modus yang lainnya.
                                                            
144
Hasil wawancara Akademisi Banten, 8 November 2012.

110 
 
ICW mengungkapkan, berdasarkan pengakuan tim sukses ‘kampung’
di kecamatan Picung-Pandeglang, misalnya hampir semua tim sukses
membagi-bagikan uang sebagai ‘serangan fajar’, dengan besaran antara Rp
5 000.00 sampai dengan Rp 25 000.00, modus tersebut hampir merata di
setiap tempat di Provinsi Banten.
Berikut sebagian contoh kasus dalam modus-modus di atas, Untuk
pembagian uang secara langsung terjadi di Desa Langensari Pandeglang, Staf
Pemerintahan provinsi (Pemprov) Banten yang mendampingi kunjungan
kerja Gubernur membagi-bagikan uang amplop kepada peserta yang hadir,
sebesar Rp 20 000.00 hingga Rp 50 000.00 per-orang.
Pemberian uang langsung dilakukan juga di kelurahan Juhut atau
lokasi TPS, pemberian oleh tim sukses incumbent 2 sebesar Rp 10 000.00
Pada tanggal 21 Oktober di Kecamatan Banjarsari Malingping Kabupaten
Lebak, pembagian uang dilakukan kepada masyarakat oleh tim sukses sebesar
Rp 20 000.00 per-orang dengan permintaan mencoblos incumbent 1. Bagi-
bagi uang terjadi juga di RT 07/01 desa Telaga sari kecamatan Balaraja oleh
simpatisan imcumbent 3, simpatisan membagikan amplop berisi Rp 10 000.00
kepada warga. Kemudian Sabtu pagi pada hari pencoblosan di Desa Babakan
dan kampung Buaran Tanggerang Selatan, tim sukses incumbent 1
membagikan uang Rp 10 000.00 kepada warga dan meminta warga
mencoblos incumbent 1.
Beberapa contoh dari modus pembagian sembako, mie dan pengobatan
gratis, misalnya seperti Oknum dari Tim sukses incumbent 1 membagikan
mie instan di Desa Ejat Kabupaten Lebak, Desa Tamiang Kabupaten Serang
dan di beberapa desa lainnya. Mie instant tersebut di dalamnya terdapat stiker
yang memerintah untuk memilih incumbent 1. Pembagian sembako di
beberapa tempat di Ciledug Kota Tanggerang dan beberapa kampung di
Kabupaten/Kota Cilegon, oleh simpatisan incumbent 1. Sedangkan
pengobatan gratis dilakukan oleh oknum dokter yang merupakan tim
kampanye pasangan no urut 1, dilakukan pada 12 Oktober 2011 di lapangan
volly Pondok Indah Paninggilan Kecamatan Ciledug.

111
 
Modus pemberian janji-janji misalnya seperti, pada tanggal 25
September 2011 di puri bintaro indah, Jombang, Tanggerang Selatan terjadi
pengarahan kepada Kelompok Kerja (Pokja) 2 PKK oleh ibu-ibu PKK
Jombang untuk memilih incumbent 1, arahan tersebut disertai iming-iming
akan ada kunjungan Gubernur dan jika terbentuk koperasi akan mendapatkan
bantuan. Kemudian Kepala Desa Daon Rajeg memerintahkan lurah untuk
menggalang massa mendukung incumbent 1, dan melakukan praktek politik
uang kepada massa, lurah tersebut dijanjikan masa jabatan akan bertambah
dua tahun.
Modus berikutnya adalah Pemberian helm, kerudung, dan pakaian
lainnya. Contohnya pada kunjungan kerja Gubernur ke kecamatan Cimanuk,
aparat pemerintah dari dinas Perhubungan dan Komunikasi Pemprov Banten
membagikan helm dan rompi bergambar incumbent 1. Pemberian ini
dilakukan dengan maksud memengaruhi para tukang ojek agar memilih
incumbent 1. Untuk pemberian kerudung disertai brosur incumbent 1 , atau
kerudung bertuliskan nama calon gubernur no urut 1, biasanya dibagikan oleh
istri ketua RT,RW, maupun PNS. Mereka membagikannya pada pengajian
majlis talim, berikut beberapa tempat prakteknya di Kampung Nambo
Rt.07/01 Desa Telagasari kecamatan Balaraja, Desa Babakan RT 05/04
Kecamatan Setu Kota Tanggerang Selatan, Perumahan Serua Permai RT
02/05 Kelurahan Benda Baru Kecamatan Pamulang.
Contoh dari modus terakhir adalah pada tanggal 15 Oktober 2011
seorang tim sukses memberikan dana guna pembangunan masjid Kampung
Kahuripan, dengan pesan agar warganya memilih incumbent 3. Contoh Aksi
bagi-bagi uang kepada kepala desa oleh camat misalnya yang terjadi di
Pangendangan Kabupaten Tanggerang, Tanjung Tejo Kabupaten Serang.
Uang dibagikan ke kepala desa per-kepala desa berkisar 2 juta rupiah sampai
dengan 5 juta rupiah. Sedangkan pembagian uang oleh camat maupun kepala
desa ke TPS terjadi di seluruh tempat di kecamatan Legok, Pangendangan,
Cisauk, dan Curug diberikan per-TPS 1 juta rupiah sampai dengan 2 juta
rupiah. Semua itu bertujuan agar mereka memenangkan incumbent 1.

112 
 
3. Kepatuhan dalam pengunaan dana kampanye.
Dari banyaknya kasus money politics yang diuraikan diatas dapat
disimpulkan bahwa dana yang dibutuhkan dalam pemilukada tidaklah sedikit,
dana kampanye besar dibutuhkan untuk modal pemenangan para incumbent ,
dana kampanye yang dikeluarkan dalam Pemilu Gubernur Banten tahun 2011
adalah sebesar Rp 27 371 876 850.00 Berdasarkan laporan penerimaan dan
pengeluaran dana kampanye dari tiga pasangan calon, sumber dana
kampanyeadalah dari kantong pribadi para incumbent, sumbangan partai
politik, sumbangan perusahaan perseorangan dan sumbangan badan hukum
swasta. Berikut adalah daftar sumber dana kampanye masing-masing
pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Banten tahun 2011.
Dapat kita lihat dari tabel 9, bahwa dari ketiga incumbent, ternyata
incumbent 2 yang jumlah penerimaan dan pengeluaranya paling besar,
dengan penerimaan dari modal pribadi paling besar yaitu Rp 12 901 835
750.00 Dari Tabel 9 juga dapat terlihat modal pribadi incumbent yang paling
kecil adalah pasangan calon no.1, dimana totalnya hanya 1 milyar rupiah,
yang paling memberikan kontribusi bagi dana kampanye incumbent 1 adalah
sumbangan dari badan hukum swasta, hal ini karena latar belakang calon
gubernur merupakan penguasa nomor satu di Banten sehingga memiliki akses
ekonomi cukup besar dibandingkan kandidat lain.
Sedangkan Incumbent 3 cukup terbantu dengan sumbangan partai
politik (PPP dan PKS), dibandingkan dengan kandidat lain incumbent 3
adalah satu-satunya kandidat yang menerima sumbangan dari partai politik,
dan satu-satunya kandidat yang tidak menerima sumbangan dari badan
hukum swasta.
Incumbent 1 memperoleh sumbangan dana kampanye dari Badan
Hukum Swasta sebesar Rp 7 500 000 000.00 dengan total perusahaan
penyumbang adalah sebanyak 33 perusahaan yang beralamat di Banten
maupun luar Banten.

113
 
Tabel 9. Jumlah Dana Kampanye Pasangan Calon Gubernur-Wakil Gubernur
Banten Tahun 2011.*
Incumbent 1
Saldo awal 1 000 000.00
Penerimaan 8 501 627 557.00
Sumbangan dari
pasangan calon 1 000 000 000.00
Sumbangan dari partai
politik -
Sumbangan
perseorangan 50 000 000.00**
Sumbangan Badan
hukum swasta 7 500 000 000.00
Bunga bank 1 627 557.00
Total penerimaan dana kampanye 8 502 627 557.00
Total pengeluaran dana kampanye (8 500 346 500.00)
Saldo akhir 2 281 057.00
Incumbent 2
Saldo awal Sumbangan
perseorangan 100 000.00
Penerimaan 14 648 315 750.00
Sumbangan dari
pasangan calon 12 901 835 750.00
Sumbangan dari partai
politik -
Sumbangan
perseorangan 197 680 000.00
Sumbangan Badan
hukum swasta 1 548 800 000.00
Total penerimaan dana kampanye 14 648 415 750.00
Total pengeluaran dana kampanye (14 588 375 750.00)
Saldo akhir 60 040 000.00
Incumbent 3
Saldo awal 2 091 250 000.00
Sumbangan dari pasangan
calon 1 350 000 000.00
Sumbangan dari partai
politik 435 000 000.00
Sumbangan perseorangan 306 250 000.00
Penerimaan 2 225 000 000.00
Sumbangan dari pasangan
calon 900 000 000.00
Sumbangan dari partai
politik 1 300 000 000.00
Sumbangan perseorangan 25 000 000.00
Total penerimaan dana kampanye 4 316 250 000.00
Total pengeluaran dana kampanye ( 4 283 154 600.00)
Saldo akhir 33 095 400.00
Ket *dalam rupiah. ** dalam bentuk iklan kampanye radio.
Sumber: KPUD, Badan Pengawas Pemilu, 2012 (diolah).

114 
 
Namun terdapat beberapa kejanggalan yang ditemukan dari daftar
perusahaan penyumbang (lampiran 1), ICW menemukan 9 perusahaan yang
tidak menyertakan NPWP (total sumbangan sebesar 2.1 milyar rupiah),
terdapat 6 perusahaan penyumbang yang alamatnya tidak jelas karena hanya
berupa kabupaten/kota (total sumbangan sebesar 1.2 milyar rupiah), terdapat
5 perusahaan yang beralamat sama (total sumbangan sebesar 900 juta rupiah),
selain itu juga ditemukan adanya 6 alamat perusahaan lebih dikenal sebagai
kantor perusahaan lain atau menggunakan alamat yang tidak layak disebut
dengan kantor.
Selain itu, penyumbang dana kampanye juga adalah perusahaan-
perusahaan yang bergerak dibidang pengerjaan proyek APBD. Hasil
penelusuran ICW lainnya adalah ditemukannya penyumbang atas nama YS
dari perusahaan P.T. ACDA Mandiri bekerja sebagai supir pribadi salah satu
pejabat di Dinas Kesehatan Provinsi.

5.1.2 Mekanisme Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah dan Bansos


Provinsi Banten Tahun 2011

Secara normatif, landasan kebijakan pengelolaan keuangan daerah


diatur dalam berbagai peraturan yaitu perumusan peraturan daerah (Perda)
APBD dalam Undang-undang Nomer 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-undang Nomer 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri Nomer 54 tahun 2010
Tentang Tahapan, Tata cara, Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Pembangunan Daerah.
Untuk penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (RAPBD) tahun 2011 ada acuan lain yaitu Permendagri Nomer 54
tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah (Perubahan dari
Permendagri Nomer 13 tahun 2006, dengan perubahan paling akhir terdapat
dalam Permendagri Nomer 21 tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah) dan Permendagri Nomer 37 tahun 2010 tentang Pedoman

115
 
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2011. Siklus pengelolaan keuangan
daerah dapat dirangkum dari berbagai regulasi dibawah ini (Gambar 19).
Tahap 1 : Tahap 2: Tahap 3:
Perencanaan Pelaksanaan dan Penatausahaan Pertanggungjawaban
anggaran

Laporan
RPJMD Dokumen Keuangan
Pelaksanaan Pemerintah
RKPD Anggaran (DPA) Daerah (LKPD)
SKPD Sesuai Standar
Akuntansi
KUA Pemerintahan
/PPAS Pelaksanaan Penata-
APBD usahaan
-Pendapatan Pendapatan
Nota -Belanja Belanja Raperda
Kesepakatan - Pembiayaan Pembiayaan Pertanggung
jawaban

Laporan Akuntansi
RKA SKPD
Realisasi Keuangan Pemeriksaan
Semester Daerah LKPD oleh
RAPBD pertama BPK

Perda APBD Perubahan


APBD

Sumber: Rangkuman berbagai regulasi penyusunan APBD.


Gambar 19. Siklus Pengelolaan Keuangan Daerah
Penyusunan APBD didasarkan pada perencanaan yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu melalui program dan kegiatan yang akan
dilaksanakan, menurut perspektif waktu ada 3 perencanaan di tingkat daerah,
yaitu Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah perencanaan
pemerintah daerah (Pemda) untuk periode 20 tahun, Rencana Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) adalah perencanaan pemda untuk periode 5
tahun dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yaitu merupakan
perencanaan tahunan daerah, yang merupakan penjabaran dari RPJMD yang
berisi program-program pembangunan selama 1 tahun.

116 
 
RKPD ini yang kemudian didanai oleh APBD. RKPD ini kemudian
dirinci lagi dalam Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD),
perencanaan ditingkat SKPD ini terdiri dari Rencana Strategi (Renstra) SKPD
adalah rencana untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja (Renja) SKPD
adalah rencana kerja tahunan SKPD. Renstra SKPD harus mengacu pada
RPJMD yang juga menjadi acuan penyusunan SKPD, dan RPJMD harus
mengacu pada RPJPD.
Pada tahap penyusunan RKPD ini dimulai dari diadakannya
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Desa yang kemudian
hasil usulannya dibawa ke Musrembang Kecamatan, kemudian di bahas
dalam Musrembang Kabupaten/Kota dan Musrembang Provinsi.
Musrembang ini difasilitasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bapeda) dan dinas-dinas dalam jajaran pemerintah daerah, untuk mengetahui
apa yang dibutuhkan masyarakat.
Dari hasil Musrembang, pihak Tim Anggaran Pemerintah Daerah
(TAPD) yang terdiri dari Bapeda, Biro Administrasi Pemerintah Sekertaris
Daerah (Biro Adpem Setda), Dinas pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
(DPKAD) menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Penetapan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS).
Kemudian KUA-PPAS dibawa Pemda ke dalam rapat kerja dengan
pihak DPRD, sehingga lahirlah Nota Kesepakatan antara Kepala Daerah dan
Pimpinan DPRD yang berisi Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-
SKPD)yang kemudian menjadi rancangan Perda APBD, yang disyahkan
dalam rapat paripurna DPRD menjadi Perda tentang APBD, yang berisi
rincian Dokumen Anggara Satuan Kerja (DASK). Menurut Permendagri
Nomer 37 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran
2011 Proses penyusunan dan penetapan APBD dari KUA PPAS sampai
dengan rancangan perda APBD dilakukan paling lambat sampai 30
November 2010, dan ditetapkan menjadi APBD paling lambat 31 Desember
2010.
Pada tahap pelaksanaan penggunaan anggaran mengacu pada
Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) SKPD yang memuat pendapatan

117
 
dan belanja yang digunakan, sedangkan untuk pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa mengacu pada Kepress No.80 tahun 2003 dan perubahannya tentang
pengadaan barang dan jasa pemerintah, yang mengatur proses tender dan
sebagainya.
Kemudian dalam APBD terdapat Anggaran Belanja Tambahan
(ABT), ABT ini adalah penyesuaian pada tengah tahun berjalan (1 Semester)
oleh Pemda dan DPRD untuk memberikan kesempatan kepada program-
program yang belum masuk dalam APBD agar dimasukan. Hal ini diatur
dalam Perda Perubahan APBD. Pada tahap yang terakhir, kepala daerah
menyusun Laporan Pertanggungjawaban APBD yang harus disampaikan
kepada BPK, dan kemudian BPK menyerahkan kepada DPRD untuk
disyahkan menjadi perda Pertanggungjawaban APBD.
Khusus dalam hal dana hibah dan bansos pada tahun 2011 mengacu
pada Peraturan Pemerintah No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, Permendagri No.59 tahun 2007 (Perubahan Permendagri No.13
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah), Permendagri No.32 tahun
2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang bersumber dalam
APBD, yang secara garis besar terangkum pada tabel 10.
Menurut Permendagri No. 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian
Hibah dan Bansos, pada tahap perencanaan Anggaran, pemerintah,
pemerintah daerah lain, perusahaan daerah, masyarakat, dan organisasi
masyarakat dapat mengusulkan permohonan dana hibah dan bansos secara
tertulis kepada kepala daerah, kepala daerah kemudian menunjuk SKPD
terkait untuk mengevaluasi usulan tersebut, hasil evaluasi kepala SKPD dan
pertimbangan TAPD menjadi dasar penentuan alokasi anggaran hibah dalam
KUA-PPAS yang kemudian dicantumkan dalam RKA-SKPD untuk hibah
dan bansos berupa barang jasa, dan RKA PPKD (Pejabat Pengelola
Keuangan Daerah) untuk hibah bansos berupa uang. Hibah bansos berupa
uang dianggarkan dalam belanja tidak langsung, sedangkan hibah bansos
berupa barang dan jasa dianggarkan dalam belanja langsung yang
diformulasikan kedalam program dan kegiatan.

118 
 
Tabel 10. Gambaran Umum Hibah dan Bantuan sosial.
Keterangan Hibah Bantuan Sosial
Definisi Pemberian uang/barang atau jasa Pemberian bantuan berupa
dari pemerintah daerah kepada uang/barang dari pemerintah
pemerintah atau pemerintah daerah kepada individu,
daerah lainnya, perusahaan keluarga, kelompok dan/atau
daerah, masyarakat dan organisasi
masyarakat yang sifatnya
kemasyarakatan, yang secara
tidak secara terus menerus
spesifik telah ditetapkan
peruntukannya, bersifat tidak
dan selektif yang bertujuan
wajib dan tidak mengikat, serta untuk melindungi dari
tidak secara terus menerus yang kemungkinan terjadinya
bertujuan untuk menunjang resiko sosial.
penyelenggaraan urusan
pemerintah daerah.
Tujuan Menunjang pencapaian sasaran Rehabilitasi sosial,
program dan kegiatan pemerintah perlindungan sosial,
daerah dengan memperhatikan pemberdayaan sosial,
asas keadilan, kepatutan, jaminan sosial,
rasionalitas, dan manfaat untuk
penanggulangan kemiskinan,
masyarakat.
dan penanggulangan
bencana.
Mekanisme ƒ Belanja hibah diberikan secara Bantuan sosial diberikan
selektif dengan secara selektif, tidak terus
mempertimbangkan menerus/tidak mengikat serta
kemampuan keuangan daerah, memiliki kejelasan
rasionalitas dan ditetapkan
peruntukan penggunaannya
dengan keputusan kepala
dengan mempertimbangkan
daerah.
ƒ Belanja hibah bersifat bantuan
kemampuan keuangan
yang tidak mengikat/tidak daerah dan ditetapkan
secara terus menerus dan tidak dengan keputusan kepala
wajib serta harus digunakan daerah.
sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan dalam naskah
perjanjian hibah daerah.
ƒ Naskah perjanjian hibah daerah
sekurang-kurangnya memuat
identitas penerima hibah, tujuan
pemberian hibah, jumlah uang
yang dihibahkan.
Sumber: PP 58/2005, Permendagri 59/2007, Permendagri 32/2011

119
 
Pada tahap pelaksanaan dan penatausahaan, pelaksanaan berdasarkan
DPA-PPKD dan DPA-SKPD, pemberian hibah dituangkan dalam Naskah
Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) yang ditandatangani pemberi dan penerima
hibah, setelah penandatanganan NPHD penyaluran dana hibah dan bansos
dapat dilakukan berdasarkan daftar penerima hibah dan bansos yang
tercantum dalam keputusan kepala daerah yang berdasarkan perda tentang
APBD dan perda tentang penjabaran APBD.
Pada tahap Pelaporan dan pertanggungjawaban penerima harus
melaporkan penggunaan hibah bansos kepada kepala darah melalui PPKD
dengan tebusan SKPD terkait, kemudian dicatat sebagai realisasi belanja
hibah PPKD pada tahun anggaran terkait, penerima hibah harus melakukan
pertanggungjawaban atas bukti-bukti pengeluaran yang sah atas hibah bansos
uang atau bukti serah terima untuk hibah bansos barang jasa, sedangkan bagi
pemberi hibah (kepala daerah) harus melakukan pertanggungjawaban atas
bukti-bukti transfer uang langsung atau serah terima barang atau jasa,
pertanggung jawaban diserahkan paling lambat tanggal 10 Januari tahun
anggaran berikutnya, pertanggungjawaban disimpan sebagai objek
pemeriksaan , kemudian realisasi hibah dicantumkan dalam LKPD sesuai
dengan SAP.
Dari hasil penelusuran data dan wawancara terhadap beberapa pihak
terkait, prilaku perburuan rente yang dipicu oleh tingginya biaya politik telah
dimulai dari proses penyusunan APBD. Pada tahap perencanaan APBD
misalnya beberapa pihak mengutarakan bahwa RKPD hasil musrembang dan
APBD yang diputuskan sering tidak sejalan, alur normatif yang dilakukan
hanyalah formalitas untuk memenuhi setiap tahap dalam siklus pengelolaan
keuangan daerah, kebutuhan masyarakat hasil musrembang selalu terputus
ketika pembahasan sudah dilakukan pihak eksekutif bersama legislatif.
Salah satu cara yang digunakan eksekutif dan legislatif untuk
menghindari publikasi dalam pembahasan APBD yang krusial/sensitif
biasanya dilakukan di luar Banten145. Sehingga pada akhirnya keputusan yang
diambil adalah kesepakatan untuk memenuhi kepentingan pihak eksekutif dan
                                                            
145
Hasil wawancara akademisi Banten , ibid.

120 
 
legislatif dan lingkaran kecil kelompok mereka, sedangkan dalam hal proyek
APBD, proyek-proyek “mercusuar” yang akan menang.
Namun adanya perubahan dalam RKPD hasil musrembang ini ketika
masuk dalam pembahasan eksekutif dan legislatif menurut pihak Bapeda
terjadi karena penggalian aspirasi bukan hanya melalui Musrembang yang
dilakukan oleh pihak eksekutif, pihak legislatif pun telah melakukan tiga kali
proses penjaringan aspirasi masyarakat melalui reses, yang dilakukan di
daerah pilihannya, sehingga dikhawatirkan oleh legislatif hasil musrembang
belum menampung aspirasi daerah pilihan mereka146.
Walaupun memang demikian, reses itu sendiri memiliki masalah yang
belum terselesaikan, pada prakteknya pada masa reses seorang anggota
DPRD diberi anggaran dari APBD yang kemudian harus
dipertanggungjawabkan, misalkan anggaran tersebut digunakan untuk
membayar sewa tempat, konsumsi, dan transport anggota dewan.
Penyimpangan yang biasa terjadi adalah membagikan uang pada konstituen,
sumber dana berasal dari hasil manipulasi biaya. Contohnya yang dilaporkan
hadir adalah 100 orang, namun yang hadir hanya 25 orang, sisanya
dipalsukan. Contoh lainnya dilaporkan adanya biaya konsumsi per-orang
sebesar 40.000 rupiah, namun sebenarnya tidak ada konsumsi yang
dibagikan.
Hasil uang dari penyimpangan tersebut kemudian dibagikan kepada
masyarakat pendukungnya, secara normatif tidak diperbolehkan adanya aksi
bagi-bagi uang kepada masyarakat dalam masa reses147. Dengan demikian
patut dipertanyakan, apakah perubahan RKPD pada hasil akhir keputusan
APBD karena eksekutif-legislatif mendiskusikan hasil penggalian aspirasi
masyarakat lewat dua mekanisme yang berbeda itu, atau karena adanya tarik
menarik kepentingan masing-masing pihak. Sebagian besar informan
menjawab bahwa dugaan yang kedualah yang terjadi dalam perencanaan
APBD di Provinsi Banten148.

                                                            
146
Hasil wawancara pihak eksekutif, bagian Bidang Perencanaan Program dan Anggaran
Bappeda, 6 Desember 2012.
147
Hasil wawancara pihak legislatif, Loc.cit.
148
Hasil wawancara dari pihak Legislatif, Eksekutif, Akademisi, BCW, dan ICW.

121
 
Kecenderungan peningkatan alokasi dana hibah dan bansos di
beberapa daerah di Indonesia berkolerasi dengan peningkatan kasus korupsi
hibah dan bansos yang bertepatan dengan waktu penyelenggaraan pilkada di
suatu daerah. Audit BPK tahun 2011 menyebutkan aliran dana hibah bansos
tahun 2007-2010 mencapai 300 triliun rupiah. BPK juga menyatakan bahwa
dana tersebut banyak diselewengkan untuk kepentingan pilkada. Dana Bansos
dan hibah digunakan sebagai dana taktis pilkada di daerah dan pusat, para
elite menggunakan dana ini sebagai sumber pembiayaan aktivitas politik
bukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana substansi
Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos
yang bersumber dari APBD149.
Kecenderungan peningkatan alokasi dana hibah dan bansos juga
terjadi di daerah Provinsi Banten pada tiga tahun terakhir menjelang pemilu
Gubernur yang dilaksanakan bulan Oktober tahun 2011. Peningkatan terbesar
bertepatan dengan waktu penyelenggaraan pemilu Gubernur yaitu pada tahun
2011. Besarnya nilai realisasi dana hibah Provinsi Banten ini terlihat tidak
wajar, dalam tiga tahun terakhir peningkatannya amat drastis (tabel 11) .
Tabel 11. Tren Realisasi Anggaran Hibah dan Bansos Provinsi Banten
Tahun Dana Hibah* Dana Bansos*
2009 57 693.81 48 116.09

2010 23 830.00 51 428.20


2011 666 671.00 78 228.75
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK), 2012 (diolah).
Ket:*)dalam juta rupiah.
Pada TA 2011 terjadi peningkatan anggaran hibah bansos lebih dari
dua kali lipatnya realisasi pada TA 2010, nilai belanja hibah sebesar 666.671
milliar rupiah ini bahkan jauh lebih besar daripada belanja barang pada
realisasi APBD Banten yang hanya senilai 450 156 miliar rupiah. Kemudian
ternyata peningkatan anggaran ini disusul dengan dugaan kasus korupsi
Bansos dan Hibah di Provinsi Banten yang diungkap oleh ICW, yang akan
diuraikan dipembahasan selanjutnya.

                                                            
149
Korupedia.org 18/6/2012, diakses 19/6/2012.

122 
 
Hal ini sesuai dengan analisis ekonomi mengenai birokrasi yang
dikemukakan Niskanen, menyatakan bahwa birokrasi sebagaimana juga
dengan orang lain, adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya, dalam
hal ini adalah penghasilan, jumlah karyawan, reputasi, dan status sosialnya.
Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan dengan besarnya anggaran, maka
seorang birokrat yang berusaha mencapai kepuasan yang optimal dengan
memaksimumkan anggaran pemerintah. Seorang birokrat bukanlah orang
yang netral terhadap proses pembuatan anggaran, maka birokrat akan
cenderung menghasilkan barang atau jasa yang lebih besar daripada yang
seharusnya, sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan sumber ekonomi
oleh pemerintah150.
Seorang informan dari jajaran eksekutif mengutarakan Korupsi APBD
yang terjadi adalah karena adanya tekanan dari legislatif untuk selalu
memberikan “koordinasi” dalam mensyahkan sebuah perda mendorong
jajaran eksekutif untuk kreatif dalam segala bentuk kegiatan dan proyek151.
Salah satu bentuk kreativitas tersebut adalah merencanakan dana bansos
hibah menjadi objek pos anggaran yang fleksibel digunakan menjadi dana
taktis. Pernyataan ini dibenarkan oleh seorang informan dari pihak legislatif
Provinsi Banten. DPRD memiliki fungsi budgeting sehingga untuk
menyetujui sebuah perda usulan eksekutif maka pihak DPRD meminta
“jatah” barter politik kepada eksekutif, salah satunya adalah pos dana hibah
dan bansos152.
Selanjutnya cara DPRD memperoleh rente dari pos dana hibah dan
bansos ini adalah dengan memotong nilai penyalurannya kepada masyarakat,
misalnya ada hibah yang diterima oleh salah seorang anggota DPRD adalah 1
miliar rupiah, kemudian 900 juta rupiah dibagikan untuk kelompoknya yang
jumlahnya 9 orang, dan sisanya 100 juta rupiah disalurkan kepada 10 000
orang (masyarakat) dengan pembagian yang kecil-kecil, masyarakat
mengetahuinya namun terpaksa menandatangani jumlah yang tidak sesuai
dengan yang mereka terima.
                                                            
150
Mangkoesoebroto G, op.cit. hal 69.
151
Hasil wawancara pihak eksekutif, 3 juni 2012.
152
Hasil wawancara pihak legislatif Provinsi Banten, 28 November 2012

123
 
Anggota Legislatif pun pintar memilah-milah apa yang dilakukan
untuk menyalurkan dana hibah misalnya dana hibah untuk bidang pendidikan,
apabila disalurkan untuk beasiswa dan pendidikan gratis maka tidak akan
menghasilkan uang, maka mereka akan cenderung memilih dialokasikan
untuk proyek “mercusuar” agar menghasilkan uang, contohnya seperti
pengadaan buku atau membangun gedung sekolah, dan yang menangani
proyeknya adalah dari kelompok mereka juga. Informan dari pihak
legislatif153juga menyatakan bahwa dana bansos dan hibah juga digunakan
oleh eksekutif salah satunya berfungsi sebagai dana taktis dalam pilkada yang
digunakan incumbent untuk melakukan money politics.
Menurut pendapat beliau,“Satu hal yang penting diingat dan menjadi
kata kunci penyebab terjadinya korupsi oleh para pejabat pemerintah di
daerah adalah selama masyarakat menganggap yang memberikan sesuatu itu
baik, maka para pejabat akan selalu melakukan korupsi”. Artinya mengubah
pandangan masyarakat itu penting, melalui sosialisi atau proses pembelajaran
formal maupun informal, karena pejabat pemerintah, partai politik, birokrasi,
dan pemilih itu sendiri adalah bagian dari masyarakat.
Menurut beberapa kalangan mengenai APBD dana bansos hibah yang
berfungsi sebagai dana taktis pilkada, maka menarik untuk ditelusuri alur
pengelolaan APBD dana hibah dan bansos Provinsi Banten pada tahun 2011
dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawabannya.
Berdasarkan hasil penelusuran data pada tahap perencanaan anggaran
ditemukan beberapa hal berikut:
a. Proses penganggaran terkait dana hibah dan bansos belum memiliki tolak
ukur yang jelas.
1. Proses penganggaran terkait dana hibah dan bansos belum memiliki
tolak ukur yang jelas karena proses perencanaanya tidak mengacu
prinsip anggaran berbasis kinerja dan money follow function ,
sehingga tidak memiliki indikator kinerja dan tidak bisa dikaitkan
dengan RJPP, RJPM, dan RKPD. Dengan demikian maka peran
TAPD sangat berperan dalam menentukan penerima hibah bansos.
                                                            
153
Ibid.

124 
 
Seharusnya menurut Permendagri No.54 tahun 2010 tentang Tahapan,
Tata Cara, penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah, peraturan tersebut memuat tahapan
tahapan perencanaan yang partisipatif dengan memegang prinsip-
prinsip anggaran kinerja dan money follow function,
mempertimbangakan asumsi yang dapat diukur kinerjanya (memiliki
indikator yang jelas dan konsisten dengan RJPD, RJPM dan RKPD
serta memperimbangkan urusan wajib dan pilihan).
2. Bappeda dalam menyusun anggaran hibah bansos bersifat indikatif
dan akumulatif yang tidak bisa dijelaskan spesifikasinya serta tidak
memiliki tools yang jelas , antara lain untuk menjabarkan pengertian
tidak wajib, tidak mengikat, tidak terus menerus. Menurut
Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan perubahannya, menyebutkan
hibah barang jasa dan uang ini tidak wajib dan tidak mengikat, serta
tidak secara terus menerus, hal ini berarti hibah dalam penganggaran
sudah bersifat definitif.
3. Proses perencanaan TAPD dimulai dengan pembahasan dengan
Badan anggaran (Banggar) DPRD dalam menyepakatai KUA dan
PPAS dengan menggunakan nilai indikatif RKPD, tapi tidak
membahas secara detail faktor dan asumsi-asumsi terkait dana hibah
bansos serta peruntukannya. TAPD baru menerima proposal usulan
dari SKPD pengusul setelah KUA/PPAS disepakati, tapi TAPD tidak
melakukan pembahasan dengan SKPD pengusul, kecuali untuk
organisasi dan kegiatan yang bersifat urgent, untuk tahun 2011 ,
pembahasan intensif dilakukan dengan KPU, Panitia Pengawas
Pemilu (PANWASLU), dan KONI. Perubahan besaran nilai hibah dan
bansos mengikuti dinamika pembahasan banggar DPRD dan TAPD
dari kesepakatan KUA/PPAS sampai dengan pembahasan Raperda
APBD. Namun demikian dinamika tersebut berpegang pada
kemampuan daerah, yang selama ini berpegang pada estimasi PAD
dan besaran belanja langsung yang di upayakan diatas 50 persen dari
total belanja daerah (rumusan yang pasti belum ada).

125
 
b. Mekanisme verifikasi terkait penerima dana hibah dan bansos pada
pemerintah Provinsi Banten belum di dukung kriteria yang jelas.
1. Mekanisme verifikasi terkait penerima dana hibah dan bansos pada
pemerintah Provinsi Banten belum di dukung kriteria yang jelas.
Belum ada aturan/kinerja yang lengkap dan jelas mengenai prosedur
verifikasi terkait jenis kegiatan, organisasi penerima. Peraturan yang
digunakan oleh tim kajian adalah Permendagri dan Peraturan
Gubernur (Pergub) yang ketentuannya berupa aturan umum, belum
mengatur secara rinci mengenai prosedur verifikasi. Tim kajian hanya
memiliki pedoman apakah suatu lembaga atau organisasi
kemasyarakatn layak atau tidak layak menerima hibah dan bansos,
proses pengkajian hanya sebatas uji formil kelengkapan dokumen
administrasi proposal dan rencana anggaran biaya tanpa melakukan
uji materiil terkait eksistensi lembaga/organisasi penerima hibah dan
bantuan sosial.
2. Tidak ada aturan jelas mengenai besaran nilai yang dapat diberikan
kepada organisasi/lembaga kemasyarakatan, hanya mengacu pada
ketentuan mempertimbangkan kemampuan daerah. Besaran nilai
hanya dilihat dari nilai pengajuan yang tercantum di proposal tanpa
mengkaji kebenaran penggunaan dan rincian penggunaannya. Besaran
nilai yang diusulkan tim verifikasi /kajian tergantung pertimbangan
tim verifikasi tanpa pedoman yang jelas, nilai yang diusulkan tidak
bersifat final dan tergantung pertimbangan Kepala biro kesejahteraan
rakyat (Kesra) dengan memperhatikan salah satunya adalah sisa
anggaran yang belum terserap.
3. Dalam proses verifikasi dokumen hibah dan bansos , terdapat
dokumen permohonan yang sebelumnya disampaikan melalui jalur
pimpinan sehingga sifatnya prioritas. Mekanisme pencairan bansos
dilakukan melalui mekanisme voucher dan non voucher . Mekanisme
voucher adalah dokumen yang ditandatangani oleh Gubernur dan
disampaikan ketika kunjungan gubernur. Voucher bisa sebagai alat
mencairkan bansos dengan melampirkan proposal pengajuan. Melalui

126 
 
sistem voucher akan lebih diutamakan pencairannya, tim kajian juga
hanya melakukan verifikasi kelengkapam dokumen tanpa melakukan
verifikasi uji materiil eksistensi lembaga/organisasi penerima hibah
dan bantuan sosial. Jumlah voucher yang dicetak, disebar dan
dicairkan, vocher belum di sebar, dan voucher yang disebar tapi
belum dicairkan adalah sebagai berikut :
Tabel 12. Jumlah Voucher dalam Proses Perencanaan*
TA Cetak Voucher Voucher Voucher disebar
yang disebar belum tapi belum
dan disebar dicairkan
dicairkan
(a) (b) (c) (d) (e)=(b)-(c)-(d)
2010 8 992.50 4 137.00 1 322.50 3 533.00
2011 28 722.50 11 695.00 8 632.50 8 395.00
Sumber : BPK RI, 2012.
Ket: *dalam juta rupiah

4. Proses verifikasi tidak mengkoreksi kembali hasil tim kajian dinas


pengusul, diantaranya terkait pengajuan voucher tahun sebelumnya
yang dicairkan tahun berikutnya, yang menyalahi prinsip tahun
anggaran. Voucher tersebut masih diloloskan/tetap ada pencairan tim
kajian dinas pengusul maupun DPKAD.
5. Adanya ketidakjelasan jalur permohonan proposal bansos. Secara
sistem penerimaan surat, permohonan bansos seharusnya melalui Biro
umum kemudian ke Biro Kesra, dan seharusnya dicatat dengan tertib
pada biro umum dan biro kesra. Pada prakteknya permohonan tidak
hanya melalu biro umum, tapi ada yang langsung ke biro kesra
sehingga tidak dapat diketahui ada berapa jumlah proposal yang
masuk.
6. Terdapat 64 organisasi yang menerima hibah berulang dalam dua
tahun anggaran, 44 organisasi diantaranya mendapatkan hibah secara
berulang tanpa ada ketetapan apapun yang mengikatnya, hanya
berdasarkan penetapan TAPD.
Hal-hal tersebut diatas bertentangan dengan ketentuan yang
mengharuskan hibah bersifat tidak wajib dan tidak mengikat secara terus

127
 
menurus (Permendagri Nomer 59 tahun 2007 tentang perubahan atas
Permendagri Nomer 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah Pasal 42 ayat (4) Huruf a). Serta ketentuan yang
mengatur bahwa dalam menentukan organisasi/ lembaga penerima hibah
harus dilakukan secara selektif, akuntabel, transparan dan berkeadilan
dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah (Permendagri
Nomer 25 Tahun 2009 Tentang Pedoman penyusunan APBD tahun 2010,
Lampiran (7) huruf b).
c. Penetapan pemberian hibah TA 2011 belum sepenuhnya berbasis
proposal.
1. Hasil pemeriksaan BPK atas 174 organisasi yang menerima hibah TA
2010,terdapat hanya 18 proposal (16 proposal usulan dan 2 proposal
pencairan), sedangkan untuk TA 2011 terdapat 237 organisasi
penerima hibah namun hanya ada 134 proposal (74 proposal usulan
dan 60 proposal pencairan), dan peranan proposal pencairan pun tidak
wajar peranannya karena tidak menjelaskan keterkaitan dengan
proposal usulan, keberadaan proposal pencairan tidak menjadi
pegangan tim kajian SKPD untuk melakukan pengkajian, monitoring,
dan evaluasi pertanggungjawabannya, hanya sebatas kelengkapan
dokumen saja.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PerGub Nomer 32 Tahun 2009 dan
Nomer 19 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan APBD TA 2010
dan 2011, Lampiran Kelompok Belanja Tidak Langsung Hibah, yaitu
harus memenuhi persyaratan administrasi terkait dengan aspek
penganggaran, pelaksanaan dan pertanggungjawaban, harus dilakukan
pengkajian oleh masing-masing SKPD terkait, serta dilarang untuk
menggunakan uang hibah diluar peruntukannya.
Sedangkan dalam tahap pelaksanaan anggaran ditemukan beberapa
hal berikut ini:
a. Realisasi bansos dari pemerintah Provinsi Banten selama tahun anggaran
2011 tidak seluruhnya dikonfirmasi oleh penerima Bansos.

128 
 
1. Uji petik lapangan dengan wawancara langsung yang dilakukan BPK
RI terhadap 24 organisasi penerima bansos 652 juta rupiah,
mengungkapkan bahwa 10 organisasi ( 287.5 juta rupiah) atau 44.09
persen menerima sesuai pencairan yang ada di DPKAD, 8 organisasi
(193.5 juta rupiah) atau 29.67 persen tidak pernah menerima sesuai
pencairan yang ada di DPKAD, dan sebanyak 6 organisasi hanya
menerima sebagian (45 juta rupiah) dibanding yang ada di DPKAD
(171 juta rupiah) atau terdapat selisih senilai 126 juta rupiah tidak
jelas realisasinya.
2. Selain itu BPK RI juga mengirimkan surat konfirmasi sebanyak 4562
surat permintaan konfirmasi kepada penerima bansos kepada
penerima bansos TA 2010 senilai 35 670.75 juta rupiah, TA 2011
senilai 58 611.65 juta rupiah. Sampai dengan 10 maret 2012 BPK RI
mendapat jawaban konfirmasi sebanyak 1414 surat atau 31 persen
dari total jumlah konfirmasi dan 371 surat kembali karena beberapa
alasan salah satunya adalah alamat tidak diketahui keberadaannya.
Sedangkan surat yang diterima mengungkapkan 988 penerima bansos
( 19 483.88 juta rupiah) atau 69 persen menyatakan menerima sesuai
pencairan DPKAD, 340 penerima bansos (6 502 juta rupiah) atau 23
persen tidak pernah menerima sesuai pencairan DPKAD, dan 86
penerima bansos hanya menerima sebagian yaitu 1 063.02 juta
rupiah, dibandingkan jumlah pencairan di DPKAD adalah 2 074.75
juta rupiah sehingga selisihnya tidak jelas realisasinya.
Hal tersebut tidak sesuai dengan PP Nomer 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 65, dalam pelaksanaan pembayaran
kuasa Badan Usaha Daerah (BUD) meneliti kelengkapan perintah
pembayaran yang diterbitkan oleh pengguna anggaran, menguji
kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam
perintah pembayaran. Permendagri Nomer 25 tahun 1999 dan Nomer 19
Tahun 2010 beserta lampirannya tentang pedoman penyusunan APBD TA
2010 dan 2011, dimana pemberian bansos kepada organisasi

129
 
kemasyarakatan dalam bentuk uang dilakukan dengan cara transfer
melalui rekening atas nama penerima bantuan.
b. Dugaan penyaluran dana hibah bansos ke beberapa lembaga fiktif dan
berlamat sama. Berdasarkan Uji petik terhadap 30 persen dari total
lembaga penerima hibah:
1. ICW menemukan beberapa lembaga fiktif dan berlamat sama dalam
penyaluran hibah di Provinsi Banten, lembaga-lembaga tersebut
disajikan pada tabel 13 dan 14. Untuk lembaga fiktif misalnya Forum
Pengembangan Usaha Mikro, alamat lembaga tersebut memang ada,
namun ternyata berupa rumah tempat tinggal, pemilik rumah
menegaskan tidak ada lembaga yang beralamat dirumahnya, dan
pemilik rumah memang orang tua dari nama yang tercantum sebagai
penerima hibah. Anak pemilik rumah ternyata bekerja sebagai tenaga
honorer di kantor walikota Tanggerang Selatan, dan pernah menjadi
tim sukses adik ipar Gubernur dalam pilkada Tanggerang Selatan.
Hasil penelusuran ICW terdapat sepuluh lembaga fiktif dengan
alokasi anggaran sebesar 4.5 miliar rupiah.
Tabel 13. Lembaga Fiktif Penerima Dana Hibah.
NO NAMA LEMBAGA ALAMAT JUMLAH (Rupiah)

1 Bantuan non muslim Jl. Sukahati 2 Kelurahan 100 000 000.00


untuk umat Konghucu Sukasari Kota
Tangerang

2 Forum Pengembangan Jl. Blok Malang No. 91 350 000 000.00


Ekonomi Syari’ah dan Kel Poris Plawad
SDA Cipondoh Kota
Tangerang

3 Lembaga Riset Banten Jl. Raya Binong Kec. 400 000 000.00
Curug Kab. Tangerang

4 Lembaga Kajian Publik Kp. Pasir Gadung Kec. 350 000 000.00
dan Otonomi Daerah Cikupa Kab. Tangerang

130 
 
(lanjutan)
NO NAMA LEMBAGA ALAMAT JUMLAH (Rupiah)

5 Yayasan Haji Jl. Empu Sendok Raya 1 500 000 000.00


Amintadiredja No.37 Cibodas Baru
Kota Tangerang
6 Forum Pengembangan Kp. Cibareng Ds. 400 000 000.00
Sumber Daya Manusia Mekarbaru Kec.
dan Pendidikan Mekarbaru Kab.
Tangerang
7 Forum Study Advokasi Jl. Raya Kresek Kp. 350 000 000.00
Buruh Sondol Ds. Kemuning
Kec. Kresek
8 Forum Lingkungan Jl. Raya Pekayon 350 000 000.00
Hidup Ds.Jatiwaringin Kec.
Mauk Kab. Tangerang
9 Forum Pengembangan Jl. Manunggal V Prigi 350 000 000.00
Usaha Mikro Baru Pondok Aren
Tangsel
10 Lembaga Pemuda dan Kp. Utan Pondok Aren 350 000 000.00
Masyarakat Anti Narkoba Tangerang Selatan

TOTAL 4 500 000 000.00


Sumber: ICW, 2012.
2. Dalam daftar penerima hibah terdapat juga alamat yang tidak jelas,
setidaknya ditemukan delapan penerima hibah yang memiliki alamat
jalan Brigjend KH Syam’un No.5 Kota Serang, dan empat lembaga yang
memiliki alamat Jalan Syekh Nawawi Albantani Palima Serang. Keduabelas
lembaga tersebut menerima alokasi hibah sebesar 28.9 miliyar rupiah.
Tabel 14. Lembaga Penerima Hibah yang Memiliki Alamat Sama.
No Nama Lembaga Alamat Alokasi (Rupiah)
1 PKK Provinsi Banten Jl.Brigjend KH Syam’un 900 000 000.00
No.5 Kota Serang
2 Dharma Wanita Jl.Brigjend KH Syam’un 900 000 000.00
Provinsi Banten No.5 Kota Serang
3 PHBI Jl.Brigjend KH Syam’un 7 200 000 000.00
No.5 Kota Serang
4 PHBN/PHBD Jl.Brigjend KH Syam’un 2 000 000 000.00
No.5 Kota Serang
5 TPHD/Umroh Jl.Brigjend KH Syam’un 7 500 000 000.00
No.5 Kota Serang

131
 
(lanjutan)
No Nama Lembaga Alamat Alokasi (Rupiah)

6 Safari Ramadhan Jl.Brigjend KH Syam’un 3 600 000 000.00


No.5 Kota Serang
7 Seba Baduy Jl.Brigjend KH Syam’un 250 000 000.00
No.5 Kota Serang
8 TP UKS Jl.Brigjend KH Syam’un 200 000 000.00
No.5 Kota Serang
9 Panitia Harganas XVII Jl.Syekh Nawawi 300 000 000.00
& DBBGRM Albantani Palima Serang
10 Forum Kewaspadaan Jl.Syekh Nawawi 100 000 000.00
Dini Masyarakat Albantani Palima Serang

11 Komisi Penanggulangan Jl.Syekh Nawawi 600 000 000.00


Aids Banten Albantani Palima Serang

12 Lembaga Kerjasama Jl.Syekh Nawawi 5 400 000 000.00


Tripartit Albantani Palima Serang

TOTAL 28 950 000 000.00


Sumber: ICW,2012.
c. Dugaan Dana hibah dan bansos Provinsi Banten tahun 2011 banyak
mengalir kepada lembaga yang dipimpin keluarga atau orang yang
memiliki afiliasi politik dengan gubernur. Berdasarkan uji petik terhadap
30 persen dari total lembaga penerima hibah lembaga-lembaga yang
dipimpin keluarga Gubernur dapat dilihat di tabel 15.
Tabel 15. Daftar Aliran Dana ke Lembaga yang dipimpin Keluarga
Gubernur.

No Nama Organisasi Hubungan Organisasi Anggaran (Rupiah)


dengan Gubernur
1 Komite Nasional Pemuda Ketua : adik tiri-ipar 1 850 000 000.00
Indonesia (KNPI) prov. Banten Gubernur

2 Tagana Banten Ketua : anak Gubernur 1 750 000 000.00

3 Palang Merah Indonesia (PMI) Ketua : adik 900 000 000.00


Banten perempuan Gubernur

132 
 
(lanjutan)
No Nama Organisasi Hubungan Organisasi Anggaran (Rupiah)
dengan Gubernur

4 PW GP Ansor Bendahara : anak 550 000 000.00


Gubernur

5 Komite Olahraga Nasional Ketua: politisi 15 000 000 000.00


Indonesia (KONI) Banten Golkar/Partai
Incumbent

6 Himpunan Pendidik dan Tenaga Ketua : menantu 3 500 000 000.00


Kerja Kependidikan Usia Dini Gubernur
(Himpaudi) Banten

7 Pusat Pelayanan Terpadu Ketua: menantu 1 500 000 000.00


Pemberdayaan Perempuan dan Gubernur
Perlindungan Anak (P2TP2A)

8 Gerakan Kewirausahaan Ketua : adik 700 000 000.00


Keluarga Sejahtera (GWKS) perempuan Gubernur

9 Karang Taruna Ketua : anak Gubernur 1 500 000 000.00

10 Dewan kerajinan nasional Ketua : suami 750 000 000.00


daerah (DEKRANAS) Gubernur

11 Dewan Koperasi Indonesia Ketua : adik 200 000 000.00


Wilayah (Dekopinwil) perempuan Gubernur

12 Forum PBB (Paguyuban Banten Ketua : adik 500 000 000.00


Bersatu) perempuan Gubernur

13 IMI Banten Ketua : adik Gubernur 200 000 000.00

14 Koalisi Politisi Perempuan Ketua: adik perempuan 200 000 000.00


Indonesia Gubernur

15 Gerakan Pemuda Ansor Kota Ketua : menantu 400 000 000.00


Tangsel Gubernur
TOTAL 29 500 000 000.00
Sumber : ICW,2012.

133
 
d. Ada lembaga yang tidak menerima dana hibah sesuai dengan pagu yang
telah ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Banten. Sebagai contoh,
lembaga kajian sosial politik (laksospol) Kabupaten Pandeglang. Dalam
daftar DPKAD lembaga tersebut menerima hibah 500 juta rupiah, namun
dalam surat pernyataan Laksospol, mereka hanya menerima hibah dari
provinsi 35 juta rupiah, begitu juga dengan Lembaga Kajian Ekonomi
Banten alokasi dalam daftar DPKAD sebesar 500 juta rupiah, namun
jumlah dana yang diterima hanya 35 juta rupiah.
Kemudian pada tahap akhir, yaitu tahap pertanggungjawaban
anggaran ditemukan beberapa hal berikut ini:
a. Sistem monitoring terhadap dana hibah dan bansos belum memadai.
1. Pemberian hibah dan bansos Provinsi Banten TA 2010 dan 2011
belum diikuti peraturan Gubernur sesuai amanat Permendagri No.13
Tahun 2006 yang menyatakan Tata cara pemberian dan
pertanggungjawaban pemberian subsidi, hibah, bansos, dan bantuan
keuangan ditetapkan mekanisme monitoring dalam peraturan kepala
daerah, Untuk belanja Hibah tahun 2012 sudah ada peraturannya
yaitu Pergub No.27 Tahun 2011 tentang pengelolaan pemberian dana
hibah dan bansos, namun aturan terkait hibah bansos sangat longgar
terutama terkait dengan mekanisme pertanggungjawaban, peraturan
ini belum mengatur sanksi atas ketidakpatuhan dan penyimpangan
penggunaan dana hibah tersebut.
3. Ketentuan mengenai laporan pertanggungjawaban yang ada di NPHD,
dimana penerima hibah wajib melaporkan kepada pemberi hibah
setiap tiga bulan, namun tidak ada mekanisme monitoring dan
evaluasi atas pelaksanaan dan pertanggungjawaban oleh pemprov
Banten selaku pemberi hibah.
4. Pemberi hibah mempunyai hak memantau dan mengawasi
pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dengan uang hibah, namun hal ini
tidak dijalankan karena tidak diikuti pemberian kewenangan kepada
SKPD untuk melakukan pemantauan dan pengawasan atas belanja
hibah.

134 
 
5. Pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pemberian hibah merasa
tidak memiliki kewajiban melakukan monitoring terhadap
pelaksanaan hibah dan evaluasi terhadap laporan hibah.
6. Tidak pernah ada aktivitas monitoring pertanggungjawaban atas
pemberian bansos.
b. Pemberian hibah kepada instansi vertikal belum sepenuhnya diikuti
dengan pengesahan sebagai dasar pencatatan oleh penerima hibah dan
dukungan pelaporan oleh pemerintah Provinsi Banten kepeda
Kemendagri dan Kemenkeu.
1. Permendagri No.13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah dan perubahannya menyatakan bahwa belanja
hibah wajib dilaporkan pemerintah daerah kepada Menteri dalam
Negri dan Mentri Keuangan setiap akhir tahun anggaran.
2. BPK RI melakukan konfirmasi dengan uji petik kepada Kantor
Wilayah Direktorat jenderal Pembendaharaan Provinsi Banten
mengenai kepatuhan instansi vertikal penerima hibah yang berada di
wilayah kota Serang.
Tabel 16. Kepatuhan Instansi Vertikal Kota Serang.
No Instansi Nilai hibah TA No Surat Nomor Surat
Vertikal dari Penerimaa Pelaporan Pengesahan
Pemprov n Hibah Provinsi
Banten*

1 Kepolisian 13 925.00 2010/11 Ada Ada


Negara RI
Daerah
Banten
2 Badan Pusat 1 100.00 2010/11 Ada Ada
Statistik
Provinsi
Banten
3 KPU Provinsi 132 072.71 2010/11 Tidak ada Tidak ada
Banten
4 Kanwil 300.00 2011 Tidak ada Tidak ada
Hukum dan
Ham
5 Korem 1 015.00 2010/11 Tidak ada Tidak ada
064/MY
6 Danianal TNI 35.00 2011 Tidak ada Tidak ada
AL Banten
7 Komisi 1 000.00 2011 Tidak ada Tidak ada
Informasi
Ket: *)dalam juta rupiah, Sumber : BPK RI 2012, 2012 (diolah).

135
 
Hasilnya adalah dari tujuh instansi vertikal yang menerima
hibah sejak tahun 2010 sampai dengan 2011, hanya dua yang
melaporkan hibah yang diterimanya , sedangkan ada lima instansi
yang tidak melaporkan dan meminta pengesahan atas hibah yang
diterimanya sehingga instansi-instansi tersebut tidak mencatat atau
melakukan rekonsiliasi penerimaan hibahnya dengan laporan
keuangan kementrian/lembaganya.
Hal ini memperlihatkan tidak adanya akuntabilitas pemberian
hibah dari pemda ke instansi vertikal, karena tidak tercatatnya
penerimaan hibah tersebut pada laporan keuangan kementrian atau
lembaga penerima hibah.
c. Sebanyak 92 Organisasi penerima hibah uang tahun anggaran 2010 dan
2011 dari pemprov Banten belum menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada pemerintah Provinsi Banten sebesar 68
298.59 juta rupiah.
1. Pengujian BPK RI atas kepatuhan penyampaian laporan
pertanggungjawaban dan pendukungnya, masih terdapat organisasi
penerima hibah yang belum menyampaikan pertanggungjawaban
sesuai ketentuan. Pada TA 2010, pemprov Banten telah
merealisasikan sebesar 92 374.99 juta rupiah belanja hibah kepada
174 lembaga /organisasi. Dari jumlah tersebut sebanyak 121
Organisasi (69.54 persen) dengan nilai realisasi penerimaan hibah
sebesar 80 707.85 juta rupiah menyampaikan laporan
pertanggungjawabannya. Sedangkan sisanya sebanyak 53 organisasi
dengan nilai hibah 56 599.50 juta rupiah belum menyampaikan LPJ.
Untuk TA 2011, terdapat 237 lembaga/organisasi penerima hibah
dengan nilai realisasi sebesar 351 478.07 juta rupiah, dari total itu
yang menyampaikan LPJ-nya adalah 198 Organisasi (83.54 persen)
dengan nilai realisasi 294 878.97 juta rupiah, sedangkan sisanya
sebanyak 39 organisasi dengan nilai hibah 56 599.09 juta rupiah
belum menyampaikan LPJ.

136 
 
Pergub Provinsi Banten yang berkaitan dengan pertanggungjawaban
menyatakan :
Tabel 17. Normatif Pertanggungjawaban Hibah Bansos.
No Penerima Hibah Pertanggungjawaban Keterangan

1. Instansi Vertikal Laporan realisasi Pelaksanaan belanja


dan Organisasi penggunaan dana, hibah instansi vertikal
Semi Pemerintah. bukti-bukti lainnya wajib dilaporkan
yang sah sesuai kepada Menteri dalam
NPHD dan peraturan negeri u.p Direktur
perundang-undangan Jenderal Bina
lainnya. Administrasi keuangan
daerah dan Menteri
Keuangan setelah tahun
anggaran berakhir.
2. Organisasi Non Bukti tanda terima Penerima
Pemerintah uang, laporan realisasi bertanggungjawab atas
(Ormas, LSM) penggunaan, dan penggunaan dan wajib
dan Masyarakat. bukti-bukti lainnya, menyampaikan laporan
pertanggungjawaban
kepada Gubernur
melalui SKPD terkait.
Sumber: Pergub No.32 tahun 2009 dan Pergub No.19 tahun 2011, tentang
Pedoman Pelaksanaan APBD Provinsi Banten TA 2010 dan
2011, 2012(diolah).

Selain itu, NPHD masing-masing penerima hibah intinya berisi


kewajiban penerima hibah untuk menyampaikan laporan keuangan dan
laporan pelaksanaan kegiatan setiap 3 bulan kepada pemberi hibah.
Hal-hal diatas mengakibatkan APBD yang dikeluarkan pemprov
Banten untuk belanja hibah sebesar 68 298.59 juta rupiah tidak dapat
dipastikan subtansi penggunaannya, dan berisiko digunakan tidak sesuai
dengan tujuan penerima hibah.

Data-data yang diperoleh dari BPK RI dan ICW ini menurut hasil
konfirmasi pada pihak eksekutif dan legislatif, menyatakan bahwa hal
tersebut disebabkan ketidaktahuan para penerima bansos dan hibah, karena
munculnya peraturan baru yaitu Permendagri 39 tahun 2012 yang merevisi
Permendagri 32 tahun 2011, yang mewajibkan adanya laporan pertanggung

137
 
jawaban dari para penerima hibah dan bansos yang tidak diatur pada
Permendagri sebelumnya, akibat ketidaktahuan masyarakat pada peraturan
yang baru maka persoalan administrasi ini belum terselesaikan154.
Namun salah seorang informan mengungkapkan adanya temuan-
temuan tersebut bukan hanya disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat,
tapi juga karena adanya skenario besar di balik itu155. Walaupun demikian
data-data yang diuraikan di atas setidaknya menjadi sinyalemen kuat adanya
dugaan penyalahgunaan anggaran, seharusnya ada tindaklanjut baik oleh
DPRD maupun oleh aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan atau
Komisi Pemberantasan Korupsi /KPK).
Tabel 18. Rekapitulasi Hasil Temuan Pada Proses Pengelolaan Dana Bansos
Hibah yang bersumber dari APBD Provinsi Banten Tahun 2011.

Temuan Keterangan Tidak sesuai dengan

Tahap Penganggaran

Tolak ukur penganggaran Tidak mengacu prinsip anggaran Permendagri Nomer 13


tidak jelas. berbasis kinerja dan money follow Tahun 2006 dan
function perubahannya tentang
Pengelolaan Keuangan
Bapeda dalam menyusun anggaran hibah Daerah.
bansos bersifat indikatif dan akumulatif
yang tidak bisa dijelaskan
spesifikasinya.

Perubahan besaran nilai hibah dan


bansos mengikuti dinamika pembahasan
banggar DPRD dan TAPD dari
kesepakatan KUA/PPAS sampai dengan
pembahasan Raperda

APBD berpegang pada estimasi PAD


dan besaran belanja langsung yang di
upayakan diatas 50 persen dari total
belanja daerah (rumusan yang pasti
belum ada).

                                                            
154
Konfirmasi kepada Bapak Aeng Khaerudin (Ketua DPRD) dan Bapak Gandung (Itjen
Pemda) dalam acara “Setelah BPK datanglah KPK “ yang diadakan oleh Forum Diskusi
Wartawan Harian (FWDH) Banten 19/06/12.
155
Informan adalah salah satu anggota DPRD Provinsi Banten.

138 
 
(lanjutan)
Temuan (penganggaran) Keterangan Tidak sesuai dengan

Mekanisme verifikasi proses pengkajian hanya sebatas uji Permendagri Nomor 13


penerima hibah bansos formil kelengkapan dokumen Tahun 2006 dan
tidak punya kriteria jelas. administrasi proposal dan rencana perubahannya tentang
anggaran biaya tanpa melakukan uji Pengelolaan Keuangan
materiil terkait eksistensi Daerah.
lembaga/organisasi penerima hibah dan
bantuan sosial. Permendagri Nomer 25
Tahun 2009 Tentang
Tidak ada aturan jelas mengenai besaran Pedoman penyusunan
nilai yang dapat diberikan kepada APBD tahun 2010,
organisasi/lembaga kemasyarakatan, Lampiran (7) huruf b.
hanya mengacu pada ketentuan
mempertimbangkan kemampuan daerah.

Terdapat dokumen permohonan yang


sebelumnya disampaikan melalui jalur
pimpinan sehingga sifatnya prioritas.

Proses verifikasi tidak mengkoreksi


kembali hasil tim kajian dinas pengusul.

Adanya ketidakjelasan jalur permohonan


proposal bansos.
Terdapat 64 organisasi yang menerima
hibah berulang dalam dua tahun
anggaran, 44 organisasi diantaranya
mendapatkan hibah secara berulang
tanpa ada ketetapan apapun yang
mengikatnya, hanya berdasarkan
penetapan TAPD.

Tidak sepenuhnya berbasis Dari 174 organisasi yang menerima PerGub Nomer 32 Tahun
proposal. hibah TA 2010, terdapat 18 proposal 2009 dan Nomor 19
(16 proposal usulan dan 2 proposal Tahun 2010 tentang
pencairan), sedangkan untuk TA 2011 Pedoman Pelaksanaan
Dari 237 organisasi hanya terdapat 134 APBD TA 2010 dan 2011
proposal (74 proposal usulan dan 60
proposal pencairan),

Peranan proposal pencairan tidak


menjelaskan keterkaitan dengan
proposal usulan, keberadaan proposal
pencairan tidak menjadi pegangan tim
kajian SKPD.

139
 
(lanjutan)
Temuan Keterangan Tidak sesuai dengan

Tahap Pelaksanaan
Hasil konfirmasi oleh BPK Dari surat konfirmasi yang dikirim BPK PP No.58 tahun 2005
RI tidak seluruhnya RI sebanyak 1562 surat permintaan tentang Pengelolaan
dijawab oleh penerima konfirmasi, Surat balasan Keuangan Daerah.
bansos. mengungkapkan 988 menyatakan
menerima sesuai pencairan, 340 Para pelaku dapat terjerat
penerima bansos tidak pernah menerima hukum Tindak Pidana
sesuai pencairan, 86 penerima bansos Korupsi.
hanya menerima sebagian. Dan 371
surat kembali dengan salah satu alasan
tidak diketahui keberadaannya.

Terdapat penyaluran dana Hasil uji petik ICW dari 30 persen PP No.58 tahun 2005
hibah kepada beberapa Penerima Hibah Bansos Hasil sepuluh tentang Pengelolaan
lembaga fiktif dan lembaga fiktif dengan alokasi anggaran Keuangan Daerah.
berlamat sama. sebesar 4.5 miliar rupiah.
Para pelaku dapat terjerat
Ada dua belas lembaga yang beralamat hukum Tindak Pidana
sama, menerima alokasi hibah sebesar Korupsi.
28.9 miliar rupiah.
Terdapat dana hibah yang Berdasarkan berdasarkan uji petik Adanya resiko dana hibah
banyak mengalir kepada terhadap 30 persen penerima hibah oleh digunakan tidak sesuai
lembaga yang dipimpin ICW, dana hibah yang masuk ke peruntukannya.
keluarga atau orang yang lembaga yang dipimpin oleh keluarga
memiliki afiliasi politik Gubernur sebesar 29.5 miliar rupiah.
dengan Gubernur.
Terdapat lembaga yang Salah satunya lembaga kajian sosial PP No.58 tahun 2005
tidak menerima dana hibah politik (laksospol) Kabupaten tentang Pengelolaan
bansos sesuai dengan pagu Pandeglang. Dalam daftar DPKAD Keuangan Daerah
yang telah ditetapkan oleh lembaga tersebut menerima hibah 500
pemerintah provinsi juta rupiah, namun dalam surat Para pelaku dapat terjerat
Banten. pernyataan Laksospol, mereka hanya hukum Tindak Pidana
menerima hibah dari provinsi 35 juta Korupsi
rupiah.
Tahap
Pertanggungjawaban
Sistem monitoring tidak Pemberian hibah dan bansos provinsi Permendagri No.13
memadai. Banten TA 2010 dan 2011 belum diikuti Tahun 2006 yang
peraturan Gubernur, untuk tahun 2012 menyatakan Tata cara
sudah ada namun tidak ada sanksi atas pemberian dan
ketidakpatuhan prtanggungjawaban. pertanggungjawaban
pemberian subsidi, hibah,
Tidak ada mekanisme monitoring dan bansos, dan bantuan
evaluasi atas pelaksanaan dan keuangan ditetapkan
pertanggungjawaban oleh pemprov mekanisme monitoring
Banten selaku pemberi hibah dan dalam peraturan kepala
Bansos. daerah

140 
 
(lanjutan)

Temuan Keterangan Tidak sesuai dengan


(pertanggungjawaban)

Pemberian hibah kepada Hasil uji petik BPK RI di Kantor Permendagri No.13
instansi vertikal belum Wilayah Direktorat jenderal Tahun 2006 tentang
sepenuhnya diikuti dengan Pembendaharaan Provinsi Banten, dari 7 Pedoman Pengelolaan
pengesahan sebagai dasar instansi vertikal hanya ada 2 yang Keuangan Daerah dan
pencatatan oleh penerima melaporkan dan meminta pengesahan perubahannya
hibah, dan pendukung atas hibah yang diterima. menyatakan bahwa
laporan pemerintah belanja hibah wajib
provinsi Banten kepada dilaporkan pemerintah
Kemendagri dan daerah kepada Menteri
Kemenkeu. dalam Negri dan Mentri
Keuangan setiap akhir
tahun anggaran.

Terdapat banyak penerima Total Organisasi penerima hibah yang PerGub No.32 tahun 2009
hibah yang belum belum menyampaikan laporan PerGub No.19 tahun 2011
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah tentang Pedoman
pertanggungjawaban provinsi Banten pada TA 2010 dan Pelaksanaan APBD TA
kepada pemerintah 2011 adalah 92 organisasi senilai Rp 68 2010 dan 2011
provinsi Banten. 298.59 juta rupiah..

Sumber: BPK RI 2012, ICW 2011, 2012 (diolah).


Dari berbagai data yang diperoleh dan hasil wawancara mendalam
dapat disusun alur mekanisme dugaan korupsi APBD dana hibah dan bansos
Provinsi Banten pada gambar 20. Gambar ini menunjukan bahwa terjadi
kelemahan-kelemahan dalam tahap perencanaan seperti tidak adanya tolak
ukur yang jelas dalam penganggaran dan mekanisme verifikasi, bahkan ada
penyaluran yang diberikan tanpa berbasis proposal.
Kemudian pada tahap pelaksanaan, APBD dana hibah dan bansos
disalurkan kepada lembaga/organisasi yang dibagi menjadi dua kategori,
yaitu kepada lembaga/organisasi yang dipimpin keluarga/kerabat Gubernur
dan lembaga/organisasi masyarakat lainnya. Keluarga/kerabat Gubernur yang
memimpin lembaga/organisasi yang diberi dana hibah bansos juga memiliki
badan-badan usaha yang memberikan kontribusi dalam dana kampanye,
sehingga menimbulkan dugaan bahwa sebagian kecil dari dana hibah bansos
yang diterima bisa diputar kembali untuk dana sumbangan kampanye.
Dugaan yang kedua adalah dana hibah dan bansos bisa langsung
digunakan sebagai dana taktis untuk membiyai aktivitas politik dengan dalih

141
 
diberrikan kepadda lembaga//organisasi yang dikuaasai lingkarran kelompooknya,
sehinngga mudahh direkayasaa secara adm
ministratif.

PELA
AKSANAAN N PE
ERTANGGUUNG
PERENCANA
P AAN APBDD JAWABANN
APBBD DANA
DANA HIB
BAH DAN
HIB
BAH DAN H
HIBAH DANN
BANSSOS
B
BANSOS BANSOS
Tolak Ukur
U Penganggaaran dan Tiidak ada mekannisme monitorin ng
mekannisme verifikasii Tidak dan evaluasi peelaksanaan dan
Jelas, tiddak sepenuhnyaa berbasis p
pertanggungjaw waban, Tidak adda
proposal.  sanksi keteerlambatan
perrtanggungjawabban, Banyak yaang
belum menyampaikan LPJ.

Penyalluran kepada Penyaluran


P k
kepada
Lembagga/Organisassi Leembaga/Organisasi
keluarrga/kerabat masyarakat.
Guubernur
Modus : Dugaaan Banyaknya
Modus : Duggaan penyalurann kepada
pennyaluran kepadaa lembaga fiktiff ,
lembagga yang dipimppin
beraalamat tidak jelas, dan beralammat
keluargaa/kerabat Guberrnur
samaa. Dugaan Adannya lembaga yaang
menimbulkann resiko dana diigunakan
meenerima nilai hibbah bansos lebiih
tidak sesuuai peruntukannnya. kecill dari nilai paguu yang ditentuk
kan.

Paasangan calonn DANA TAKTIS


T

Baadan usaha Dana untuk k Untuk Keppentingan


sw
wasta milik aktivitas Pribadi/keelompok
keluuarga/kerabatt Politik
G
Gubernur Mooney
pollitics

Badan usahaa
B
wasta lainnya
sw

Sumbber : BPK RI,


R ICW, KP
PUD, dan hasil
h wawan
ncara, 2012 (diolah).
Gam
mbar 20. Meekanisme Dugaan
D Korrupsi APBD
D dalam Pengelolaan
P n Dana
Hibbah dan Bannsos .

Sedangkkan penyaluuran dana hiibah bansoss kepada lembaga/orgaanisasi


masyyarakat jugaa bisa dijaddikan dana taktis
t untuk
k membiayaai aktivitas ppolitik

142 
 
maupun kepentingan pribadi/kelompok yang lain, caranya dengan
merekayasa lembaga/organisasi yang diberi dana hibah dan bansos (lembaga
fiktif, alamat tidak jelas, alamat sama) atau juga dengan cara disalurkan
kepada masyarakat namun jumlahnya jauh lebih kecil dari nilai pagu
anggaran yang ditentukan. Dana hibah bansos yang menjadi dana taktis ini
kemudian digunakan dalam membiayai aktivitas politik salah satunya adalah
untuk melakukan money poltics
Sedangkan pada tahap pertanggungjawaban juga tidak ada peraturan
tegas yang mengatur sanksi keterlambatan penyampaian LPJ, bahkan tidak
dilakukan mekanisme monitoring pelaksanaan dan evaluasi
pertanggungjawaban.
Dari hasil temuan wawancara dan penelusuran data di atas dapat
ditarik kesimpulan:

1. Sejak awal Pemerintah Provinsi Banten belum memberikan informasi


mengenai syarat dan prosedur pengajuan hibah bansos melalui media
informasi yang jangkauannya luas, hanya kelompok tertentu yang
memiliki akses informasi yang mengetahuinya. Dana hibah bansos diduga
digunakan sebagai dana taktis bagi incumbent, sebagai salah satu sumber
pembiayaan untuk melakukan money politics dalam pilkada.
2. Proses perencanaan anggaran dana bansos hibah bersifat tertutup dan
tidak transparan. Peraturan dan mekanisme dalam pelaksanaan
penganggaran dibuat tidak jelas, semua sangat bersifat fleksibel, dapat
disesuaikan dengan kebutuhan para pemburu rente anggaran. Peraturan
yang sengaja dibuat tidak tegas mengakibatkan proses penganggaran yang
berantakan, proses verifikasi hanyalah formalitas dokumen administrasi
proposal dan rencana anggaran biaya, tidak ada uji materiil terkait
kegiatan-kegiatan organisasi atau lembaga calon penerima hibah, bahkan
formalitas dokumen proposal yang merupakan pegangan bagi tim kajian
SKPD pengusul dalam melakukan pengkajian, monitoring, dan evaluasi
pertanggungjawaban pun banyak yang tidak lengkap bahkan tidak ada.
Keputusan dalam penganggaran Bansos Hibah semata-mata berada dalam

143
 
kewenangan TAPD dan Gubernur dan sangat beresiko digunakan diluar
peruntukannya.
3. Pada tahap pelaksanaan inilah menjadi ajang pengerukan anggaran, yang
sejak awal dirancang pada tahap penganggaran, pada tahap ini masyarakat
yang dikorbankan, karena terjadi pembelokan tujuan awal dana hibah dan
bansos, yaitu untuk menyejahterakan masyarakat sebagaimana substansi
Permendagri 32 tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bansos, yang akhirnya dialokasikan untuk kepentingan para pemburu
rente anggaran, salah satunyauntuk membiayai aktivitas politik mereka.
4. Pada tahap akhir, yaitu pertanggungjawaban dana hibah bansos yang
harus dilaporkan penerima hibah, adalah hal yang sangat wajar apabila
banyak LPJ yang belum diterima oleh pemerintah provinsi Banten, karena
memang banyak penerima hibah bansos itu tidak menerima hibah bansos
sesuai yang tercatat pada nilai Pagu Provinsi Banten, hal itu juga terjadi
karena tidak adanya kegiatan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan
dan pertanggungjawaban oleh pemprov Banten, disertai pula tidak adanya
peraturan terkait pemberian sanksi atas ketidakpatuhan
pertanggungjawaban. Diluar itu LPJ tidak mungkin akan diterima apabila
lembaga yang menerima adalah fiktif, atau hanya rekayasa para pemburu
rente anggaran

5.1.3 Mekanisme Perburuan Rente dalam Dugaan Korupsi pada Proyek-


Proyek APBD Provinsi Banten.
Provinsi Banten tidak dapat dilepaskan dari isu dominasi kelompok
tertentu pada hampir semua proyek APBD. Isu ini yang banyak terangkat
kepermukaan seiring bermunculannya berbagai elemen kritis di Banten yang
menyoroti sepak terjang sang penguasa Banten. Menurut salah seorang
informan ada tiga orang Gubernur yang berkuasa di Banten, yaitu Gubernur
Formal, Gubernur Malam, dan Gubernur Jendral. Sang Gubernur Jendral
adalah Gubernur sesungguhnya yang berkuasa di Banten (kini sudah wafat)
adalah dalang yang bermain di belakang layar, Gubernur Malam adalah
Gubernur Informal yang menguasai hampir semua proyek APBD.

144 
 
Gubernur Formal dan Gubernur Malam berkerjasama dengan
lingkaran kelompoknya untuk mengeruk rente yang sebesar-besarnya bagi
mereka, memanfaatkan sumber ekonomi APBD, menciptakan inefisiensi
anggaran pemerintah demi kepentingan mereka. Tidak hanya itu untuk
mempermudah memperoleh rente yang sebesar-besarnya mereka memperluas
tangan-tangan kekuasaan mereka melalui kerabat dekat dan keluarga dalam
penguasaan berbagai aspek bidang kehidupan di Provinsi Banten, sehingga
mereka dikenal sebagai sebuah dinasti.
Menurut Transparency International korupsi dapat juga dipandang
sebagai prilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan jarak”, artinya,
dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh
perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau
keluarga tidak memainkan peranan. Prinsip ini adalah landasan untuk
organisasi apapun mencapai efisiensi, apabila sekali dilanggar, maka korupsi
akan timbul.
Untuk kasus Banten, Pejabat publik sudah berprilaku tidak mematuhi
prinsip “mempertahankan jarak”, dalam mengambil keputusan di bidang
ekonomi, hubungan pribadi atau keluarga sangat memainkan peranan.
Seorang informan mengutarakan bahwa didalam sebuah pertemuan Gubernur
pernah menyampaikan “Saya akan merasa lebih nyaman bekerja dengan adik
saya, kakak saya, ipar saya”.
Dinasti keluarga kelompok pasar ini telah menguasai berbagai aspek
bidang kehidupan di Banten, hal ini tidak terlepas dari hasil kontribusi sang
gubernur jenderal. Selain berhasil memajukan salah seorang anaknya menjadi
gubernur, ia juga berhasil merancang anggota keluarganya untuk aktif terlibat
dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya (Gambar 21).
Menurut hasil wawancara kepada seorang anggota legislatif mengenai
kebenaran informasi yang didapat dari wawancara-wawancara sebelumnya
dan perkembangan opini publik mengenai adanya dinasti ini, informan ini
membenarkan mengenai keberadaan dinasti kelompok pasar yang berkuasa.
Pada awalnya kekuasaan diperoleh dari kekuatan fisik (kejawaraan),
namun ketika kekuasaan diraih maka kekuasaan cenderung pada kekuatan

145
 
uang. Jadi saat wafatnya Gubernur Jendral bukan ‘kekuatan fisik’ yang
diwariskan kepada Gubernur Malam (salah seorang anak dari Gubernur
Jendral) tapi ‘kekuatan uang’ yang sangat luar biasa. Agar kekuasaan ini tetap
terjaga demi mendapatkan rente yang tinggi maka masalah kejawaraan
beralih kepada kekuatan politik, kelompok ini memiliki kekuasaan uang yang
terpusat, memiliki pengalaman, dan pada akhirnya harus menguasai kekuatan
politik dengan cara mengembangkan kekuasaan politik di berbagai daerah di
Provinsi Banten melalui jaringan keluarga, bila keluarga tidak
memungkinkan maka bisa lewat relasi (orang kepercayaan).
Untuk mengembangkan kekuasaan cara yang dilakukan adalah
melalui jalur partai politik, penguasa Banten melakukan survey sebelum
pemilu legislatif 2009, untuk mengetahui perkiraan kursi yang akan diperoleh
masing-masing partai, kemudian melalui hasil survey itu mereka masuk ke
partai-partai politik itu dan membiayainya. Kelompok ini tidak hanya
bertumpu pada satu partai politik, partai politik bisa berbeda-beda yang
paling penting adalah partai politik tersebut bisa menjadi jembatan mereka
dalam melebarkan sayap kekuasaan.
Hebatnya hampir semua proyek APBD dikuasai oleh Gubernur
Malam, menurut Maman Supriyatna (Pembicara Fraksi Amanat Bintang
Keadilan/ABK) menyatakan “Ada monopoli terselubung, sehingga proyek-
proyek dan usaha-usaha lain di Banten dikerjakan oleh kelompok itu-itu saja
atau mereka sendiri yang mengerjakan tapi berbendera lain”156
Pernyataan ini didukung oleh pembenaran dari beberapa pihak terkait,
menurut salah seorang pihak akademisi Banten157, di Banten prilaku rent
seeking tercermin dari sepak terjang keluarga gubernur yang mendominasi
jabatan strategis dan menguasai sumber-sumber ekonomi, gubernur terlahir
dari keluarga pengusaha dan salah seorang saudaranya memiliki kekuatan
yang dapat mengendalikan seluruh alokasi APBD/APBN, sang saudara yang
diberi julukan gubernur malam ini adalah penguasa sesungguhnya dalam
dinasti semenjak ayahnya wafat, “Dia memiliki tangan-tangan, menggunakan
                                                            
156
Laporan Penelitian Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten 2006 :
Regenerasi sebuah Hagemoni Banten Institute, Loc cit, hal 8.
157
Pihak akademisi /mantan anggota staf ahli DPRD Banten, Loc.cit.

146 
 
banyak bendera untuk proyeknya, semua proyek yang bersumber dari
anggaran daerah”.
Menurutnya lagi di Provinsi Banten anggota dewan tidak punya hak
budget, hak itu dimiliki oleh Gubernur Malam, yang kemudian Gubernur

JABATAN EKSEKUTIF: ASOSIASI BISNIS :


-Gubernur Banten (anak -Kamar Dagang dan Industri /Kadin (Gubernur Jendral/mantan ketua)
perempuan) -Gabunngan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia (Gapesindo)
- Walikota Serang (Anak Banten (Gubernur Jendral/ mantanketua)
laki-laki) -Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi(LPJK)Nasional Indonesia
- Wakil bupati Pandeglang Banten (Gubernur Jendral/mantan ketua).
(istri) -Ketua Masyarakat agribisnis dan agroindustri Banten (Anak perempuan
-Wakil bupati Serang (anak) Gubernur Jendral/mantan ketua)
-Walikota Tanggerang -Ketua Gerakan Kewirausahaan Keluarga Sejahtera (anak)
Selatan (menantu)
ORGANISASI OLAH
JABATAN LEGISLATIF: RAGA:
- Anggota DPR RI -Ketua Koni Serang (cucu
(Menantu/suami Gubernur) menantu)
-Anggota DPD RI (cucu) -Ketua Persatuan Basket
-Anggota DPRD Provinsi Seluruh Indonesia 
Banten (Menantu) (Perbasi)(Menantu)
-Anggota DPRD Kota Serang
(Istri/Ibu Tiri Gubernur) ORGANISASI SOSIAL
-Anggota DPRD Kota Serang BUDAYA:
(cucu menantu) -Ketua PMI Provinsi Banten
(Anak Perempuan)
PARTAI GOLKAR: -Ketua Persatuan Artis Film
- Ketua DPD II Partai Golkar Indonesia (Parfi) (Istri).
Provinsi Banten -Ketua Himpunan Pendidik
(Menantu/suami Gubernur) dan Tenaga Kependidikan
-Ketua Partai Golk ar DPD II Anak Usia Dini
Kota Serang (Anak (HIMPAUDI) Banten(cucu
perempuan) menantu)
-Ketua DPDII Partai Golkar -Ketua Pusat Pelayanan
Kabupaten Pandeglang Terpadu Pemberdayaan
(Anak perempuan). Perempuan dan anak
-Angkatan Muda Partai P2TP2A Banten (cucu
golkar (Anak laki-laki) menantu)
-Ketua Dewan Koperasi
ORGANISASI BELA DIRI: ORGANISASI PEMUDA: Indonesia Wilayah (menantu)
-Persatuan Pendekar Persilatan dan -Ketua DPD KNPI Banten - Ketua Koalisis Politisi
Seni Budaya (PPPSBB). (Gubernur (Menantu) Perempuan Indonesia (anak)
Jendral/mantan ketua). -Wakil Keta GP Ansor (cucu) -Ketua Dewan Kerajinan
-Wushu Indonesia Banten(Gubernur -Ketua Taruna Tanggap Nasional daerah (menantu)
Jendral/Mantan ketua) Bencana (cucu) -Ketua Paguyuban Banten
-Satkar Ulama Banten(Gubernur -Bendahara Karang taruna Bersatu (Anak)
jendral/mantan Ketua) Banten (cucu)
Sumber: Data sekunder dan primer, 2012 (diolah).
Gambar 21. Penguasaan Berbagai Aspek Strategis di Provinsi Banten dalam
Lingkaran Keluarga.

147
 
Malam berbagi rente dengan eksekutif, lalu eksekutif berbagi rente juga
dengan legislatif. Sebagai indikator adanya prilaku rent seeker yang kuat di
suatu daerah adalah dengan melihat kondisi fiskal daerah yang tinggi, namun
indikator pembangunannya rendah, dan itulah yang terjadi di Provinsi Banten
Pernyataan atas ketiadaan hak budget DPRD, diperkuat dari hasil
wawancara kepada salah seorang anggota DPRD, menurutnya secara
normatif fungsi budgeting masih dimiliki oleh DPRD, namun mereka
dikooperasi dengan proyek yang akan dibeli oleh Gubernur Malam. Karena
akan percuma apabila DPRD menyusun anggaran tapi tidak berfungsi untuk
ditransaksikan, sebagai contoh akan dibangun rumah sakit, tapi tidak ada
kolega yang menangani maka pihak DPRD tidak akan mendapatkan rente.
Salah seorang peneliti ICW158 juga mengungkapkan dalam proses
penyusunan APBD di Provinsi Banten telah dikoordinir oleh Gubernur
Malam perusahaan-perusahaan yang menangani proyek-proyek APBD.
Karakteristik daerah Banten adalah anggota DPRDnya bukan dari kalangan
pengusaha, sehingga mereka mencari rente dengan koordinasi dengan pihak
eksekutif dengan cara meloloskan proyek-proyek APBD yang diusulkan,
apabila dibandingkan dengan DPR RI banyak yang anggotanya berlatar
belakang pengusaha sehingga mereka aktif mencari rente itu sendiri dalam
proyek. Walaupun proyek-proyek APBD menggunakan proses lelang, namun
Gubernur Malam telah mengkondisikan sebelumnya, selain DPRD yang
dikondisikan, ia pun mengkondisikan pengusaha.
Menurut informan lain cara Gubernur Malam mengendalikan DPRD
adalah dengan cara membeli proyek, contohnya eksekutif ingin meloloskan
sebuah proyek pembangunan jalan dengan nilai 10 triliun, maka harus ada
kerjasama dengan DPRD. Bentuk kerjasama itu ada dua cara, pertama DPRD
minta bagian dalam proyek, kedua DPRD meminta bagian beberapa persen
dari nilai proyek tersebut. Kemudian pemerintah daerah akan bekerjasama
dengan pemborong (Gubernur malam), pemborong akan memberikan
beberapa persen kepada eksekutif, kemudian eksekutif membagikannya
kepada DPRD. Besarnya koordinasi yang diterima DPRD tergantung pada
                                                            
158
Hasil wawancara peneliti ICW, 13 November 2012.

148 
 
keterlibatannya, bagi anggota DPRD yang terlibat langsung dalam proyek
akan mendapatkan bagian yang lebih besar daripada yang tidak terlibat secara
langsung159.
Cara Gubernur Malam mengkondisikan pengusaha lain adalah dengan
cara menguasai proyek-proyek APBD/APBN di Provinsi Banten, melalui
kaki tangannya di sejumlah dinas ‘basah’ atau dinas ‘mata air’, kaki tangan-
nya itu bertugas sebagai penjaga proyek-proyek. Bagi perusahaan yang bukan
atas nama Gubernur Malam, tidak akan mendapatkan proyek bila tidak
direstui olehnya. Restu yang dimaksud adalah pengusaha harus memberikan
kompensasi kepada Gubernur Malam sebesar 20 persen sampai dengan 40
persen dari nilai proyek melalui orang terdekatnya yaitu oknum IS160.
Sebagai contoh kasus bagaimana pemburu rente anggaran beroperasi,
adalah pada dua temuan kasus lawas berikut :
1. Dugaan praktek perburuan rente pada bisnis pengadaan lahan Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) APBD TA 2008161 .
Gubernur Malam (GM) belajar dari kesuksesan sang ayah yang
berhasil menjadi penyedia lahan 60 hektare untuk Kawasan Pusat
Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Modusnya hampir sama, yaitu
membeli tanah dengan harga murah dan melepasnya untuk pemerintahan
provinsi Banten dengan harga yang setinggi-tingginya.
Bahkan cara GM melakukannya lebih hebat, melalui akses informasi dari
dalam yang dengan mudah ia dapatkan mengenai kawasan yang diincar untuk
dijadikan lokasi RSUD Banten. Rencana pengadaan lahan untuk RSUD
Banten adalah di Kecamatan Cipocok Jaya, seluas kurang lebih 25 397m .
Pembebasan lahan itu dilakukan pada TA 2008 dari APBD Banten, oleh
Pemprov Banten melalui dinas kesehatan.
GM sebagai pemilik modal membeli sejumlah bidang tanah dikawasan
itu, tentu saja pembelian dilakukan tidak atas namanya, namun melalui nama-

                                                            
159
Hasil wawancara kepada pihak legislatif Provinsi Banten,28 November 2012.
160
Hasil wawancara dari berbagai pihak (ICW, DPRD, dan Akademisi Banten).
161
Djaroti A, Sebuah Catatan Tangan-tangan Kekuasaan Keluarga Atut, hal 10-11, tidak
dipublikasikan. Hanya dicetak sebanyak 5000 eksemplar dan dibagikan kepada seluruh
elemen kritis di provinsi Banten.

149
 
nama orang kepercayaannya. Ada tiga nama yang digunakan untuk membeli
lahan tersebut yaitu oknum DP, oknum DS, dan oknum ARD. Oknum DP dan
DS adalah kaki tangannya pada dinas-dinas terkait, sedangkan ARD adalah
orang terdekatnya.
DP membeli sebidang tanah dengan luas 2.478m dari seorang warga
Kecamatan Cipocok Jaya senilai 17 juta rupiah atau 6 900 rupiah/ m pada
tanggal 8 oktober 2007 (Akta jual beli Nomor 814/2007, ditandatangani
Camat Cipocok Jaya selaku PPAT, Heru Utomo). Pada tanggal 28 Oktober
2008, hak kepemilikan dilepaskan kepada Pemprov Banten dengan harga
yang mencengangkan Rp 1 030 848 000.00 atau Rp 416 000.00/m (surat
pelepasan hak tanah nomor 003/SPH/KEC.CPJ/III/2008 ditandatangani DP
selaku pihak yang melepaskan dan Heru Utomo selaku Camat Cipocok).
Masih dalam kasus yang sama dan modus yang sama, DS membeli tanah
dengan luas 5.214 m dengan harga Rp 52 140 000.00 atau Rp 10 000.00 m ,
oleh Pemprov Banten dihargai Rp 2 169 024 000.00 atau Rp 416 000.00/ m .
Menurut Surat Petanggungjawaban Belanja Nomor
900/keu/SPTB/775/2008 dengan nama kegiatan Pengadaan Sarana dan
Prasarana Rumah Sakit. Nama DP mendapat 6 kali kucuran dana untuk biaya
pembebasan 6 bidang lahan seluas 10 282 m atas namanya senilai Rp3 951
968 800.00. Sedangkan DS muncul 8 kali kucuran dana untuk 8 bidang lahan
seluas 16 712 m atas namanya, senilai total Rp 5 978 063 104.00, nama
ARD juga muncul penerima dana pembebasan lahan seluas 2 439 m senilai
total Rp 1 014 624.00. Praktek serupa juga diduga telah dilakukan untuk
pembebasan lahan gedung Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),
Sport Centre dan lahan Kawasan Pertanian Terpadu.

2. Dugaan rekaya tender pengadaan alat kesehatan APBD TA 2009.162


Tender pengadaaan alat-alat kesehatan di Dinas Kesehatan (Dinkes)
Provinsi Banten pada TA 2009 senilai 85 miliar rupiah diduga direkayasa.
Hal ini diungkap oleh dua pihak yaitu oleh Ade Marwansyah (Ketua
Departemen Pengembangan SDM Siklus) dan Edy Mulyanto (Area Manager
                                                            
162
http://koranmedan.com/2009/08/, 12/6/2012.

150 
 
Trading Cabang Tangerang PT Indofarma Tbk). Menurut Ade, dugaan bahwa
tender alat kesehatan itu direkayasa berdasarkan bocornya tiga dokumen
transaksi pembayaran uang muka kegiatan sebesar 20 persen kepada tiga
perusahaan rekanan.
“Dalam dokumen berupa surat permintaan pembayaran (SPP), surat
perintah membayar (SPM), dan berita acara pembayaran (BAP) yang terjadi
antara PT Profesional Indonesia Lantera Raga, P.T. Dini Contractor, dan
P.T. Kidemang Putra Prima dengan Dinas Kesehatan Pemprov Banten itu
terjadi pada 20 Maret 2009. Padahal, kontrak kerjanya sendiri baru
dikeluarkan sehari sebelumnya. Pencairan uang muka yang sangat cepat,”
Sedangkan Edy Mulyanto memaparkan tender alat kesehatan Dinkes
Pemprov Banten tahun 2009 terpublikasi pada harian Media Indonesia pada
bulan Februari. Namun, ketika Edy mendatangi alamat panitia tender yang
tercantum dalam koran, yaitu gudang farmasi milik Dinkes Pemprov Banten
di wilayah Ciracas, ternyata di tempat itu tidak ada kegiatan pendaftaran
lelang, kemudian beliau mendatangi kantor Dinkes, dan disana pun tidak ada.
Menurut informasi dari pegawai Dinkes, pendaftaran tender dilakukan di
gudang, di Ciracas, dugaan Edy tender itu tidak pernah ada.
Dugaan kuat adalah Dinkes Pemprov Banten sengaja
mempublikasikan tender melalui media massa, namun pemenangnya sudah
ditentukan, karena apabila tender itu dilakukan pemenangnya pasti adalah
perusahaan farmasi seperti Kimia Farma, Indofarma, dan perusahaan lainnya
yang bergerak dalam bidang farmasi. Dan juga perusahaan yang menjadi
rekanan untuk pengadaan alat kesehatan seharusnya adalah perusahaan
dengan kategori pengusaha besar farmasi (PBF). Namun ketiga perusahaan
pemenangnya adalah milik keluarga Gubernur yang perusahaannya selama ini
bergerak dalam jasa konstruksi.

Dari sedikit contoh kasus lawas diatas, membuktikan adanya praktek


perburuan rente yang dilakukan oleh penguasa juga kelompoknya dalam
pengerukan APBD provinsi Banten, kelompok ini berupaya mendapatkan

151
 
supernormal profit tanpa adanya upaya meningkatkan produktivitas, yang
pada akhirnya akan mengakibatkan welfare loss bagi masyarakat.
Selain itu, Biaya tinggi dalam pilkada membuat calon kepala daerah
mencari sumbangan dari swasta. Akibatnya setelah calon terpilih, kepala
daerah sibuk mengembalikan uang yang dikeluarkan dalam pemilihan,
sekaligus mengembalikan investasi yang diberikan pihak swasta yang
membantunya. Pernyataan Arif Nur Alam ini dicoba untuk dibuktikan dalam
studi kasus pilkada Banten 2011 dengan menelusuri badan usaha
penyumbang dana kampanye incumbent 1 (pemenang pemilihan gubernur
2011) dengan perusahaan yang berhasil memenangkan proyek-proyek APBD
tahun 2012.
Hasilnya ternyata sebagian besar penyumbang dana kampanye pada
pilkada provinsi 2011 berhasil memenangkan proyek APBD sepanjang tahun
2012, bagi penyumbang dana kampanye yang tidak memenangkan tender
adalah perusahaan yang sejak awal memang terdeteksi oleh ICW memiliki
beberapa kejanggalan (lihat lagi Lampiran 2), namun banyak juga para
pemenang tender adalah perusahaan yang juga memiliki kejanggalan, namun
diduga adalah bendera lain kelompok yang sama dalam lingkaran
keluarga/kerabat Gubernur (lihat Tabel 19). Selain itu ada juga proyek-proyek
APBD bernilai besar yang dimenangkan Badan Usaha milik lingkaran
keluarga Gubernur (lihat Tabel 20).

152 
 
Tabel 19. Badan Usaha Penyumbang Dana Kampanye PilGub Tahun 2011 yang Memenangkan Proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten.

No Badan Usaha Jumlah / Nilai Proyek APBD Kategori Proyek Keterangan


Penyumbang TA 2012 yang dimenangkan
PilGub Tahun Badan Usaha Penyumbang
2011 Pada PilGub 2011

1 P.T. ADCA 4 Proyek / 4.9 sd 9.9 miliar Pengadaan barang Rumah sakit/
Mandiri Puskesmas.
2 C.V. Waliman 9 Proyek/ 300juta sd 6.5 miliar Konstruksi, Pengadaan alat kesehatan, alat Alamat sama dengan P.T. Bintang Raya
Jaya Nugraha berat, buku. Putra dan adalah rumah tempat tinggal
JL (nama penyumbang PT Bintang Raya
putra dalam pilgub 2011).
3 C.V. Cristal 1 Proyek / 196 juta Konstruksi tidak menyertakan NPWP, alamat sama
Utama dengan 2 perusahaan lainnya,dan
alamatnya berupa rumah kosong.
4 P.T. Mitra Karya 1 Proyek / 9.5 miliar Konstruksi Alamat seorang dokter umum, sebelah
Rattan rumah itu no 51 adalah kantor
penghubung pemerintah Provinsi Banten

5 P.T. Buana 2 Proyek/ 5.3 sd 12 miliar Pengadaan Obat, Pengadaan alat kedokteran.
Wardana Utama

6 P.T. Sumber 7 Proyek / 760 juta sd 2.27 Pengadaan alat berat, buku,
Agung Putra miliar pengolahan pertanian peternakan,
alat laboraturium,alat olahraga,
jasa lainnya

7 P.T. Surtini Jaya 5 Proyek / 3 sd 7.5 miliar Pengadaan desain interior,


Kencana Konstruksi
8 P.T. Karya Raksa 3 Proyek/ 3.5 sd 7.4 miliar Konstruksi
Utama
9 P.T. Sukalimas 3 Proyek/ 3 sd 7.7 miliar Konstruksi
Mekatama Raya

 
 

153 
154 
(lanjutan)

No Badan Usaha Jumlah / Nilai Proyek APBD Kategori Proyek Keterangan


Penyumbang TA 2012 yang dimenangkan
PilGub Tahun Badan Usaha Penyumbang
2011 Pada PilGub 2011

10 P.T. Agro Mandiri 3 Proyek/ 400 sd 550 juta Pengadaan buku/kepustakaan.


Perkasa

11 P.T. Mikkindo Adiguna Pratama 5 Proyek/ 3 sd 14.7 miliar Pengadaan buka, pengadaan
alat kesehatan

12 P.T. Citra Putra - Alamat yang dimaksud ditempati oleh P.T. Bali Pasific Pragama, perusahaan itu milik
- adik laki-laki Gubernur.
Mandiri Internusa

13 P.T. Marbago 9 Proyek/ 2.9 sd 13.7 miliar Konstruksi, Pengadaan alat


Duta Persada kesehatan, Pengadaan Alat Pembelajaran

14 P.T. Sambada 1 proyek/ 4.9 miliar Konstruksi


Argha agung
Putra
15 P.T. Putra Perdana
Jaya
16 P.T. ADLI Urdha 3 Proyek/ 4.7 sd 5.5 miliar Konstruksi, Pengadaan hewan Qurban.

17 P.T. Priangan Jaya alamat sama dengan 2 perusahaan


Persada lainnya, dan alamatnya berupa rumah
kosong.
18 C.V. Graha Cipta 1 Proyek/ 1.3 miliar Pengadaan barang alat
Mandiri laboratorium multimedia

19 C.V. Wika Tunggal Jaya - -

 
 
(lanjutan)

No Badan Usaha Jumlah / Nilai Proyek APBD Kategori Proyek Keterangan


Penyumbang TA 2012 yang dimenangkan
PilGub Tahun Badan Usaha Penyumbang
2011 Pada PilGub 2011

20 P.T. Kidemangan - - tidak menyertakan NPWP,alamat sama


Putra Prima dengan 2 perusahaan lainnya,dan
alamatnya berupa rumah kosong.
(dikenal sebagai perusahaan milik
sahabat dekat adik Gubernur)
21 P.T. Palugada 2 Proyek/ 2.8 dan 3 miliar Pengadaan Alat kesehatan, Pengadaan Alat tidak menyertakan NPWP,alamat tidak
Mandiri media pembelajaran. jelas

22 P.T. Trias Jaya - - tidak menyertakan NPWP.


Perkasa

23 P.T. Trina Lestari - - tidak menyertakan NPWP,alamat tidak


jelas
24 C.V. Bangun 1 Proyek/ 394 juta Konstruksi tidak menyertakan NPWP,alamat tidak
Cipta Persada jelas
25 C.V. Bina Sadaya 5 Proyek/ 9.4 sd 15 miliar Pengadaan alat kedokteran/
alat kesehatan.
26 P.T. Banten Kusuma - -
Jaya
27 C.V.Shafaramania 10 Proyek/ 250juta sd 1.9 Pengadaan Barang elektronik,
miliar Pengadaan Mobil/ambulance,
Pengadaan Buku,Pengadaan alat
laboratorium

28 C.V. Rian Putra - -


Utama
29 C.V. Karindo Raya - - tidak menyertakan NPWP, alamat tidak
jelas

 
 

155 
156
(lanjutan)

No Badan Usaha Jumlah / Nilai Proyek Kategori Proyek Keterangan


Penyumbang APBD TA 2012 yang
PilGub Tahun dimenangkan Badan Usaha
2011 Penyumbang Pada PilGub
2011
30 C.V. Jayalaksana 10 Proyek/ 171 juta sd 1.5 Pengadaan buku/kepustakaan, meubelair,
miliar alat laboratorium, alat kesehatan.

31 P.T. Ramaditya - - tidak menyertakan NPWP,alamat tidak


jelas
32 P.T. Bintang Raya 7 Proyek/ 324 juta sd 1.9 Pengadaan barang Rumah sakit, pengadaan Alamat sama denga P.T. Waliman Jaya
Putra miliar buku/kepustakaan Nugraha dan alamat adalah rumah
tempat tinggal Jajang Lesmana.

33 P.T. Baracipta 5 Proyek/ 395 juta sd 2.2 Konstruksi, Pengadaan barang tidak menyertakan NPWP,alamat tidak
Nusapala miliar laboratorium jelas.
Sumber : KPUD Provinsi Banten 2011, http://lpse.bantenprov.go.id/eproc/lelang/pemenang 25/12/12, ICW 2012, 2012 (diolah).

Tabel 20. Proyek APBD TA 2012 yang dimenangkan Badan Usaha Milik Keluarga Gubernur

No Nama Proyek APBD Nilai Pagu Proyek Nama Badan Usaha Pemenang
1 Pembangunan Jalan Saketi – Banjarsari. Rp 13 900 000 000.00 P.T.BALIPACIFIC PRAGAMA
2 Pembangunan Jl. Pahlawan Seribu Rp 9 989 899 000.00 P.T.BALIPACIFIC PRAGAMA
(Segmen Cilenggang - Bunderan
Tekno).
3 Pembangunan Gedung Kantor SKPD Rp 86 000 000 000.00 P.T. GUNAKARYA NUSANTARA
Terpadu (Multiyears).
Sumber : KPUD Provinsi Banten 2011, http://lpse.bantenprov.go.id/eproc/lelang/pemenang 25/12/12, 2012 (diolah).

 
 
Berdasarkan data diatas, dari 33 badan usaha penyumbang dana
kampanye pada pilkada tahun 2011, terdapat 24 perusahaan yang
memenangkan proyek APBD TA 2012. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
penentuan pemenang proyek APBD menyalahi prinsip Adil/ tidak
diskriminatif , atau berarti tidak memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang dan Jasa dan mengarah untuk memberikan
keuntungan kepada pihak tertentu, dengan tidak memerhatikan kepentingan
nasional (Penjelasan atas Peraturan Presiden RI No.54 tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Pasal 5). Hal ini disebabkan oleh
adanya upaya mengembalikan investasi pihak-pihak swasta pada PilGub
tahun 2011.
Dari 33 badan usaha penyumbang ditemukan beberapa badan usaha
memiliki kejanggalan-kejanggalan, seperti tidak memiliki NPWP, tidak
memiliki alamat jelas, memiliki alamat sama, maupun memiliki alamat yang
bukan alamat perusahaanya, hal ini membuktikan bahwa diduga ada beberapa
perusahaan fiktif yang sengaja dibuat dalam mendukung upaya
menyempurnakan rancangan skenario besar pengerukan anggaran daerah.
Beberapa badan usaha yang bermasalah tersebut justru memenangkan proses
lelang dalam proyek APBD dengan nilai proyek APBD yang besar, hal ini
menimbulkan dugaan bahwa badan usaha yang menang adalah bendera lain
dari kelompok tertentu yang memiliki penguasaan terhadap proyek-proyek
APBD.
Dari 24 badan usaha pemenang proyek APBD TA 2012, banyak
diantaranya menang dalam berbagai macam kategori proyek, salah satunya
adalah CV Waliman Jaya Nugraha, yang menang dalam kategori proyek
Konstruksi, Pengadaan alat kesehatan, alat berat, dan buku. Sehingga sulit
ditebak badan usaha ini bergerak dalam dalam bidang apa, selain itu untuk
nilai proyek yang besar yang dimenangkannya seharusnya dapat dilihat
company profile pemenang secara online. Sebagian besar perusahaan
pemenang proyek APBD TA 2012 di Provinsi Banten sulit untuk didapatkan
informasi tentang perusahaannya secara online, kecuali pemberitaan adanya

157
 
masalah-masalah pada proyek-proyek APBD yang pernah dikerjakan
sebelumnya.
Perburuan rente oleh jajaran eksekutif, legislatif, dan pengusaha (yang
dalam kasus provinsi Banten adalah lingkaran keluarga/kerabat kepala
daerah) menimbulkan penunjukan langsung dalam proyek APBD bernilai
diatas 200 juta rupiah, yang menyalahi Peraturan Presiden No.54 tahun 2010
tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Diduga lelang proyek yang
dilakukan adalah rekayasa suatu kelompok tertentu dan sudah ditentukan
pemenangnya sebelum lelang tersebut dilakukan, dengan demikian rente yang
tinggi dapat diperoleh oleh pihak pengusaha, eksekutif, maupun legislatif,
tapi telah membelokan tujuan pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam
menyediakan barang dan jasa yang berkualitas, sehingga tidak berdampak
pada peningkatan pelayanan publik
Dari berbagai ulasan di atas, maka dapat disusun mekanisme
pengerukan APBD melalui proyek-proyek APBD pada Gambar 22. Gambar
22 menunjukan mekanisme pengerukan APBD melalui penguasaan proyek-
proyek APBD di Provinsi Banten. Penguasaan proyek dikoordinasi oleh
Gubernur informal atau yang disebut dengan Gubernur Malam, dia memiliki
oknum-oknum kepercayaan disejumlah “dinas basah” yang menjaga proyek-
proyek APBD, agar akses informasi dengan mudah dia dapatkan. Gubernur
informal sebagai pemborong dalam proyek-proyek APBD berkoordinasi
dengan Gubernur formal/ jajaran eksekutif dalam menentukan proyek APBD
dan siapa saja yang akan menangani proyek. Gubernur formal/jajaran
eksekutif akan menerima beberapa persen dari nilai proyek.
Bagi Gubernur Formal keputusan proyek-proyek APBD dan
penentuan pemenangnya adalah salah satu cara mengembalikan modal
kampanye bagi dirinya dan pihak-pihak yang telah mendukung pembiayaan
pada masa kampanye. Gubernur Malam kemudian mengendalikan DPRD
melalui eksekutif agar meloloskan usulan mereka, yaitu dengan cara membeli
proyek. Membeli proyek dilakukan dengan memberikan bagian dari proyek
atau beberapa persen dari nilai proyek kepada oknum DPRD.

158 
 
Setoran 20 persen sampai dengan 40
informasi
Oknum penjaga persen dari nilai proyek APBD
proyek-proyek
Gubernur Informal
APBD di berbagai
jajaran eksekutif.

Gubernur Formal Oknum DPRD


Pemilihan
Gubernur (dan oknum jajaran Bagian proyek atau
eksekutifnya) beberapa persen dari
Beberapa persen dari nilai proyek.
nilai proyek.

Proyek-Proyek APBD
Bernilai besar
Penyumbang dana
kampanye

Pemenang Proyek

Badan Usaha milik Badan usaha yang Badan


Gubernur Informal merupakan bendera lain swasta
milik Gubernur Informal/ lainnya
Supernormal kelompok yang sama.
Supernormal
profit. Supernormal profit. profit

Sumber: Berbagai sumber primer (hasil wawancara) dan sekunder, 2012


(diolah).
Gambar 22. Mekanisme Pengerukan APBD Melalui Penguasaan Proyek-
Proyek APBD di Provinsi Banten.

Dengan demikian pada saat perencanaan anggaran telah ditentukan


siapa pemenang proyek, sehingga proses lelang proyek hanyalah sebuah
formalitas, monopoli terselubung ini dapat dilihat dari data pemenang proyek-
proyek APBD bernilai besar, yang sebagian besar adalah perusahaan yang
termasuk dalam tiga kategori. Kategori yang pertama, Perusahaan milik
Gubernur informal. Kedua, perusahaan yang diduga merupakan bendera lain
milik Gubernur informal dan kelompoknya. Dan yang terakhir adalah badan
usaha swasta lainnya. Diketahui juga bahwa ketiga kategori ini adalah pihak-

159
 
pihak yang memberikan dukungan pembiayaan pada masa kampanye
Gubernur formal.
Kemenangan mereka tentu saja diduga menghasilkan keuntungan
ekonomi yang sebesar-besarnya/ laba berlebih (supernormal profit) dengan
upaya yang sekecil-kecilnya, selain itu juga monopoli terselubung ini akan
mencegah pesaing dalam memasuki pasar, yang pada akhirnya menimbulkan
welfare loss bagi masyarakat. Namun bagi kategori pemenang yang ketiga,
yaitu badan usaha swasta lainnya, sebelum mereka memenangkan suatu
proyek maka harus memperoleh restu dari Gubernur informal, badan usaha
swasta harus menyetorkan sebesar 20 persen sampai dengan 40 persen dari
nilai proyek-proyek APBD163.

5.2 Dampak Korupsi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di


Indonesia (48 Kota/Kabupaten).

Dalam pembahasan sebelumnya yang mengambil sampel salah satu


daerah di Indonesia pada level provinsi, yaitu Provinsi Banten. Dapat terlihat
dugaan korupsi APBD yang terjadi disebabkan prilaku perburuan rente
karena tingginya biaya politik, yang akhirnya meluas pada proses
penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban APBD (dalam dugaan
kasus dana hibah bansos), dan juga meluas pada penguasaan proyek-proyek
suatu kelompok tertentu di Banten yang tentu saja pada akhirnya semua itu
berdampak negatif pada kesejahteraan masyarakat daerah, begitu luas
dampak dari korupsi maka penelitian ini membatasi dampak korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah yang diproksi dengan variabel peningkatan
output riil.
Dalam pembahasan teori-teori pertumbuhan ekonomi telah diuraikan
sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Berbagai faktor tersebut kemudian ditambahkan variabel
independen persepsi korupsi setiap daerah (indeks persepsi korupsi

                                                            
163
Rentang nilai persentase adalah hasil wawancara dari berbagai pihak (ICW, DPRD, dan
Akademisi Banten)

160 
 
Indonesia) untuk mencapai salah satu tujuan penelitian, yaitu mengetahui
dampak korupsi terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia.
Penentuan faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi
daerah dilakukan dengan uji estimasi model. Uji estimasi model terdiri dari
tiga tahap uji, yaitu uji statistik, uji ekonometrik dan uji ekonomi. Yang
termasuk Uji statistik adalah uji-F untuk uji terhadap hasil keseluruhan
estimasi model, uji-T untuk uji terhadap masing-masing koefisien parameter,
dan koefisien determinasi (R ). Uji ekonometrik yang dilakukan adalah uji
terhadap autokolerasi dan heterokedastisitas. Dan yang terakhir adalah uji
ekonomi dengan melihat tanda/arah dari koefisien setiap variabel penjelas,
kemudian diintrepretasikan dengan teori dan nalar.

5.2.1 Estimasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional


Hasil pengujian pada ketiga model data panel statis yaitu Pooled Least
Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM)
diperoleh hasil bahwa metode yang dipilih adalah Fixed Effect Model (FEM).
Metode fixed effect yang digunakan yaitu dengan pembobotan GLS Weight:
Cross-section weight dan Cross-section weights (PCSE) untuk data cross
section 48 kabupaten/kota dengan time series 2008 dan 2010. Pendekatam
fixed effect ditentukan dengan berbagai tahapan berikut :
Pertama, Dalam penelitian ini dengan data yang ada, dicoba
pendekatan PLS (Lampiran 3) dan FEM (Lampiran 4). Untuk memutuskan
apakah akan menggunakan PLS atau FEM maka di lakukan chow test.
Hipotesis yang digunakan dalam chow test adalah sebagai berikut:
H : model pooled least square
H : model fixed effect
Tabel 21. Chow test antara Pooled Least Square dan Fixed Effect

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: EQ02
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 57.331983 (46,43) 0.0000


Cross-section Chi-square 388.452477 46 0.0000

161
 
Table 21 menunjukan hasil dari chow test, yang secara lengkap dapat
di lihat pada lampiran 5. Hasil pengolahan menunjukan nilai probabilitas Chi
square yaitu hasil estimasi p-value (0.000) < taraf nyata (α = 0.05) yang
berarti tolak H , sehingga keputusan model yang digunakan untuk sementara
adalah model fixed effect.
Selain itu tidak digunakannya pendekatan PLS adalah keputusan yang
tepat, karena PLS diduga dengan menggunakan Ordinary Least Square
(OLS) yang berasumsi bahwa intersep dan slope di anggap konstan baik
antarindividu maupun antarwaktu, sehingga pendekatan PLS memiliki
kelemahan dimana dugaan parameter akan bias, parameter yang bias
disebabkan karena PLS tidak dapat membedakan observasi yang sama pada
waktu yang berbeda, maupun observasi yang berbeda pada waktu yang sama,
sehingga kurang sesuai dengan tujuan penggunaan data panel.
Kedua, sebagai langkah selanjutnya dilakukan hausman test untuk
menentukan apakah model fixed effect adalah yang terbaik apabila di
bandingkan dengan model random effect (Lampiran 6), hasil dari hausman
test ditampilkan dalam tabel 22 yang secara lengkap dapat dilihat di
Lampiran 7.
Hipotesis yang digunakan dalam uji hausman adalah:
H : model random effect
H : model fixed effect

Tabel 22. Hausman Test antara fixed effect dan random effect

Correlated Random Effects - Hausman Test


Equation: EQ02
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 147.538221 4 0.0000

162 
 
Keputusan menggunakan Fixed Effect dapat dilihat dari nilai probabilitas
chi-square, berdasarkan hasil estimasi p-value adalah (0.0000) < dari taraf
nyata (α = 5%) yang berarti tolak H . Sehingga model terbaik yang akan
digunakan adalah fixed effect.
Ketiga, setelah memutuskan untuk menggunakan fixed effect, langkah
selanjutnya adalah melakukan uji asumsi. Asumsi yang harus dipenuhi dalam
persamaan regresi adalah bahwa estimasi parameter dalam model regresi
bersifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimate) maka var (ui) harus sama
dengan σ2 (konstan), atau semua error mempunyai varian yang sama. Kondisi
itu disebut dengan homoskedastisitas. Sedangkan bila varian tidak konstan
atau berubah-ubah disebut dengan heteroskedastisitas. Metode estimasi data
panel dengan menggunakan fixed effects model secara umum dilakukan
dengan Ordinary Least Squares (OLS). Namun jika terjadi
heteroskedastisitas dari data cross section maka dapat digunakan estimasi
dengan General Least Square (GLS).
Kemudian untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dapat
dilakukan dengan membandingkan sum square resid weighted GLS lebih
rendah daripada unweighted OLS. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan
adanya heteroskedastisitas pada model. Oleh karena itu, estimasi dilakukan
dengan Cross-section weights (PCSE). Estimasi yang dilakukan dengan fixed
effect GLS menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan fixed effect OLS.
Model yang diestimasi dengan fixed effect GLS lebih banyak menghasilkan
parameter yang signifikan.
Pendeteksian adanya autokorelasi juga dilakukan pada model.
Autokorelasi adalah korelasi yang terjadi antar observasi dalam satu variabel
atau korelasi antar error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Adanya
autokorelasi dapat memengaruhi efisiensi dari estimatornya, walaupun
estimatornya tetap tidak bias. Untuk mendeteksi adanya autokorelasi, maka
dilakukan dengan membandingkan Durbin Watson (DW)-statistiknya dengan
DW-tabel.
Berdasarkan pengamatan hasil estimasi dapat disimpulkan adanya
autokorelasi. Untuk mengatasi adanya autokorelasi dapat dilakukan dengan

163
 
metode GLS dengan memberikan weights: Cross-section weights. Hasil
estimasi yang diperoleh dengan metode ini menunjukkan perbaikan jika
dibandingkan dengan metode fixed effect GLS. Walaupun nilai DW masih
menunjukan terjadinya autokolerasi hal ini dapat diabaikan, karena dalam
pendekatan fixed effect tidak mensyaratkan persamaan terbebas dari masalah
autokolerasi.
Sejauh ini pendekatan terbaik yang dapat digunakan adalah
pendekatan fixed effect dengan GLS Weight: Cross-section weight dan Cross-
section weights (PCSE). Sehingga model estimasi terbaik yang didapat dari
langkah-langkah tersebut dapat dilihat pada tabel 23.

Tabel 23. Hasil Regresi Data Panel


No Variabel bebas Notasi Koefisien P-value
1 Peningkatan APBD LnAPBD 0.066361* 0.0000
belanja modal
2 Indeks Persepsi Korupsi CORR
0.022320* 0.0000
3 Peningkatan Penduduk LnPOP
-0.078770* 0.0003
4 Angka Melek Huruf AMH
0.426274* 0.0000
Keterangan :*P-value < 0.01 **P-value < 0.05; tn tidak nyata

Sehingga, bentuk umum persamaan dari model estimasi menggunakan data


panel adalah sebagai berikut:
LnPDRB = 0.0663LnAPBD+ 0.0223CORR+ 0.0787LnPOP+
0.4262AMH…………………………………..……...(5.0)

5.2.2 Evaluasi Model Pertumbuhan Ekonomi Regional


Model dalam persamaan (5.0) perlu dilakukan uji F, uji T , evaluasi
koefisien determinasi R . Langkah Pertama dilakukan Uji serempak (Uji F)
dengan hipotesa :
H : β = ….=β = 0 (tidak ada peubah bebas yang berpengaruh nyata
terhadap peubah terikat)
H : minimal ada satu peubah bebas β 0, I =1,2,3

164 
 
Penolakan H dilakukan karena melihat nilai probabilitas (F-Statistik =
0.000) < taraf nyata (α = 5%). Dengan demikian minimal ada satu peubah
bebas yang berpengaruh nyata terhadap peubah terikat dan berlaku
sebaliknya. Selanjutnya, melakukan uji parsial (uji-t), Hipotesis uji T adalah:
H :β =0
H :β ≠0
Jika t-hitung > t-tabel maka tolak H , yang artinya peubah bebas secara
statistik berpengaruh nyata pada taraf nyata yang telah diterapkan dalam
penelitian, dan berlaku hal sebaliknya. Jika P-value t-statistik < taraf nyata (α
= 5%) maka tolak tolak H yang artinya peubah bebas nyata secara statistik.
Pada Hasil regresi data panel (Tabel 23) dapat diketahui semua variabel bebas
nyata secara statistik. Kemudian berdasarkan lampiran 9, nilai koefisien
determinasi (Goodness of Fit) sebesar 0.9995 menunjukan 99.95%
keragaman pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh model tersebut, dan
sisanya dijelaskan oleh peubah lain diluar model.

5.2.3 Pembahasan Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pertumbuhan


Ekonomi Regional di Indonesia.

Dari hasil pengolahan ternyata yang memiliki kontribusi terhadap


pertumbuhan ekonomi dari 48 ibukota/kabupaten di Indonesia, berturut-turut
adalah Angka Melek Huruf, Penduduk, APBD, dan Korupsi. Sedangkan
intepretasi dari hasil pengolahan adalah sebagai berikut :
Tabel 24. Interpretasi Hasil Estimasi
No Notasi Variabel Deskripsi
1. LnAPBD Setiap kenaikan satu persen pada APBD, akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48
ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.0663 persen.
2 CORR Setiap kenaikan satu indeks pada CORR, akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48
ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.0223 persen.
3 LnPOP Setiap kenaikan satu persen pada POP akan menyebabkan
penurunan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di
Indonesia sebesar 0.0787 persen.
4 LnAMH Setiap kenaikan satu persen pada AMH, akan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi 48
ibukota/kabupaten di Indonesia sebesar 0.4262 persen.

165
 
Variabel Angka Melek Huruf (AMH) adalah variabel paling
berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi regional, variabel ini mewakili
tingkat pendidikan untuk mengukur dimensi kualitas penduduk. Hasil dari
estimasi model adalah apabila AMH naik 1 persen akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi 0.4262 persen.
Pendidikan, keterampilan dan pengalaman kerja menyebabkan
produktivitas bertambah, sehingga akan meningkatkan produksi yang lebih
cepat daripada penambahan tenaga kerja. Hasil tersebut sesuai dengan
pandangan teori pertumbuhan baru/endogen Mankiw,Romer,Weil (MWR)
yang mengusulkan menggunakan variabel human capital dalam
memodifikasi model solow, sebagai penyebab perkembangan teknologi.
Romer menyatakan knowledge stock adalah sumber utama
peningkatan produktivitas dalam perekonomian, dalam pertumbuhan endogen
ada tiga elemen yang mendasari yaitu adanya perubahan teknologi yang
bersifat endogen melalui sebuah proses akumulasi ilmu pengetahuan, adanya
penciptaan ide-ide baru sebagai akibat dari mekanisme limpahan pengetahuan
(knowledge spillover), dan produksi barang-barang konsumsi yang dihasilkan
oleh faktor produksi ilmu pengetahuan akan tumbuh tanpa batas.
Variabel kedua yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi daerah adalah variabel penduduk yang memberikan pengaruh
negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil estimasi
model adalah setiap kenaikan populasi sebesar 1 persen akan menurunkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 0.0787 persen, ceteris paribus.
Menurut pandangan Adam Smith perkembangan penduduk akan
mendorong pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan penduduk
memberikan kontribusi menambah calon-calon tenaga kerja untuk
ketersediaan kuantitas human capital dan mendorong penambahan produksi,
namun menurut Sukirno164 bagi masyarakat yang kemajuan ekonominya
belum tinggi namun memiliki masalah kelebihan penduduk, pertumbuhan
penduduk dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Suatu
negara/daerah yang memiliki jumlah penduduk tidak seimbang dengan
                                                            
164
Sukirno S, op.cit, hal 431.

166 
 
faktor-faktor produksi lain yang tersedia akan memiliki produktivitas
marjinal penduduk rendah. Artinya penambahan penduduk tidak akan
menimbulkan pertambahan produksi nasional, atau walaupun bertambah
pertambahan terlalu lambat dan tidak dapat mengimbangi pertambahan
penduduk, sehingga pendapatan per kapita akan turun.
Jauh sebelum Sukirno, Thomas Malthus mengajukan suatu teori
tentang hubungan pertumbuhan penduduk dan pembangunan ekonomi, yaitu
teori jebakan populasi Malthus165. Teori ini merumuskan tentang konsep
pertambahan hasil yang semakin berkurang (diminishing returns). Malthus
menggambarkan suatu kecenderungan universal bahwa jumlah populasi
disuatu negara akan meningkat dengan cepat menurut deret ukur (deret
geometri) dan pertumbuhan ekonomi mengikuti deret hitung (aritmatik) .
Karena pertumbuhan ekonomi tidak dapat berpacu secara memadai/
mengimbangi kecepatan peertumbuhan penduduk, maka pendapatan
perkapita cenderung terus mengalami penurunan sampai sedemikian
rendahnya sehingga segenap populasi harus bertahan pada kondisi sedikit di
atas tingkat subsisten (semua penghasilan hanya cukup mengganjal perut), itu
pun hanya untuk suatu kelompok populasi tertentu, sisanya bahkan
mengalami kemiskinan absolute. Cara untuk mengatasi hal tersebut yaitu
dengan membatasi jumlah kelahiran. Hasil dari penelitian ini, dimana
pertumbuhan penduduk memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah ternyata sejalan dengan teori jebakan populasi
Malthus.
Selanjutnya, APBD belanja modal/pembangunan adalah variabel yang
mewakili investasi pemerintah daerah, merupakan salah satu input produksi
yang digunakan untuk mendorong berbagai sumber ekonomi, kemudian
sumber-sumber ekonomi tersebut diharapkan dapat mendorong tercapainya
pemerataan dan peningkatan pendapatan daerah. Investasi di sektor yang
produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hasil
pengolahan data pada penelitian ini memperlihatkan hubungan yang positif
dan signifikan, pada taraf nyata 1 persen. Sehingga peningkatan 1 persen dari
                                                            
165
Malthus dalam Todaro MP, Smith SC, op.cit, hal 329-334.

167
 
pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan akan
meningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 0.0663 persen.
Hubungan positif tersebut bisa dijelaskan oleh gambar dampak
perubahan (penambahan) pengeluaran pemerintah terhadap output
keseimbangan (gambar 23).

Actual Expenditure
Expenditure, E
Y
Planned Expenditure

E= C+I+G

E= C+I+G

∆G 

∆Y

Output (Income),Y
0  Y Y Y
Sumber: Case &Fair, 2001.
Gambar 23. Dampak Perubahan (Penambahan) Pengeluaran Pemerintah
Terhadap Keseimbangan Output.

Pemerintah dapat memengaruhi tingkat ouput keseimbangan dengan


menambah atau mengurangi pengeluarannya. Penambahan pengeluaran
pemerintah yang direncanakan sebesar ∆G dari G ke G membuat output
perekonomian meningkat dari Y menjadiY . Pengeluaran pemerintah akan
berdampak pada meningkatnya pendapatan/output melalui efek pengganda
∆G
(Multiplier effect) sebesar ∆Y = , dimana b adalah Marginal Prospensity

to Consume (MPC). Peningkatan APBD belanja modal pemerintah daerah


menyebabkan peningkatkan pengeluaran pemerintah, yang pada akhirnya
mampu meningkatkan output perekonomian.
Peningkatan pengeluaran pemerintah adalah salah satu instrumen
dalam kebijakan fiskal ekspansif selain pengurangan pajak, melalui analisis

168 
 
IS-LM dengan asumsi slope LM mendatar (interval Keynesian). Pengeluaran
pemerintah ekspansif (∆G>0), sementara ∆T=0) menyebabkan kurva IS
bergeser ke kanan, pada tingkat suku bunga yang sama yaitu r , pergeseran
kurva IS melalui peningkatan permintaan agregat menyebabkan output
keseimbangan meningkat dari Y* ke Y .
Sementara itu apabila slope LM>0 (interval antara Keynesian dan
Klasik) pengeluaran pemerintah tetap meningkatkan output keseimbangan
walaupun tidak sebesar yang diharapkan karena terjadinya inflasi (adanya
kenaikan suku bunga), hal ini dapat disebut Crowding Out Effect
(menurunnya investasi swasta yang menyebabkan tidak tercapainya target
pertumbuhan ekonomi dari kebijakan fiskal ekspansif) yang dapat diatasi
dengan meningkatkan jumlah uang beredar atau kebijakan moneter ekspansif.
Combination policy efektif untuk membuat pengeluaran pemerintah
ekspansif tetap meningkatkan output perekonomian sebesar yang diharapkan.
Namun walaupun variabel APBD memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan, ternyata memiliki koefisien yang kecil, peningkatan 1 persen dari
pengeluaran pemerintah untuk belanja modal/pembangunan hanya akan
meningkatan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 0.0663 persen (yang
artinya kurang dari 1 persen), kecilnya angka koefisien ini bisa dikarenakan
oleh adanya beberapa faktor. Yaitu yang pertama, terjadi Crowding Out
Effect seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kemudian yang kedua
dikarenakan belanja modal misalnya untuk infrastruktur tidak dapat langsung
dirasakan dampaknya pada jangka pendek, dan baru bisa dirasakan pada
jangka panjang. Terakhir adalah adanya kemungkinan pengeluaran
pemerintah pada belanja modal yang terdistori, sehingga terjadi misalokasi
sumberdaya contohnya seperti korupsi pada proyek-proyek APBD
infrastruktur yang biasa terjadi di berbagai daerah di Indonesia, sehingga
multiplier effect yang dirasakan terhadap pertumbuhan ekonomi sangat kecil.

169
 
Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Simamora dan Sirojuzilam166 yang melakukan penelitian pada priode
1997- 2006 di provinsi wilayah pantai timur Sumatra Utara. Hasil temuan
Simamora dan Sirojuzilam adalah pengeluaran pemerintah untuk belanja rutin
dan belanja pembangunan positif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi regional. Temuan lainnya adalah penelitian Prahara yang melakukan
penelitian pada periode 2001-2008 di provinsi Kalimantan Barat
kabupaten/kota. Hasil temuan Prahara bahwa pengeluaran pemerintah untuk
belanja modal/pembangunan memiliki efek positif signifikan sebesar 0.0181
persen, yang artinya pengeluaran pemerintah untuk belanja modal
berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
Kemudian terakhir adalah pembahasan variabel utama dalam model
ini, yaitu korupsi. Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa setiap kenaikan
satu indeks pada CORR (indeks persepsi korupsi), akan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi 48 ibukota/kabupaten di Indonesia
sebesar 0.0223 persen, ceteris paribus. Dengan demikian Korupsi memiliki
dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, karena
variabel indeks persepsi korupsi TII merupakan indeks antara 0 sampai
dengan 10, dimana angka 0 untuk terjadi korupsi yang parah, dan 10 untuk
kondisi suatu daerah tidak ada korupsi, sehingga semakin tinggi indeks
adalah semakin baik. Dengan demikian terbukti bahwa teori speed money
yang menyatakan bahwa korupsi dapat memfasilitasi pertumbuhan kembali
terpatahkan.
Pengaruh negatif korupsi menunjukan korupsi menimbulkan
inefisiensi dan pemborosan dari sumber ekonomi periode sebelumnya, karena
hasil dari pengelolaan sumber daya ekonomi tidak seluruhnya dikembalikan
sebagai modal perputaran ekonomi secara multiplier, efek multiplier yang ada
menjadi lebih kecil yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara
tingkat pertumbuhan yang telah dicapai dengan potensi pertumbuhan yang
seharusnya bisa tercapai.
                                                            
166
Simamora M, Sirojuzilam, Determinan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Barat (studi
Kasus: Wilayah Pantai Timur), Jurnal Perencanaan dan Pembangunan Wilayah, Vol 4, No.
2, Desember 2008.

170 
 
Koefisien yang kecil menunjukan bahwa korupsi sebenarnya dapat
tumbuh beriringan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terbukti
dengan adanya berbagai daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi
namun korupsi tetap terjadi dimana-mana. Walaupun begitu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi menjadi tidak berkualitas, artinya tidak mampu
mengurangi kemiskinan, meningkatkan kualitas sumber daya manusia,
menyerap tenaga kerja dan mengurangi ketimpangan, jadi pertumbuhan
ekonomi yang beriringan dengan korupsi hanya akan dinikmati segelintir
kelompok tertentu, bukan oleh masyarakat disuatu daerah.
Namun walaupun memiliki nilai koefisien kecil, korupsi tetap
berimplikasi negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Korupsi
berpengaruh langsung terhadap tingkat investasi, rendahnya tingkat investasi
swasta karena besarnya biaya suap dalam perizinan usaha, dan terdistorsinya
investasi pemerintah oleh kelompok kepentingan akan menekan pertumbuhan
ekonomi daerah-daerah di Indonesia menjadi lebih rendah dari potensi yang
seharusnya dapat dicapai. Pertumbuhan ekonomi daerah adalah indikator
utama pembangunan ekonomi daerah, sehingga pada gilirannya nanti
pemerintah daerah menjadi tidak efektif menanggulangi kemiskinan dan
memenuhi kebutuhan dasar, atau dengan kata lain masyarakat daerah menjadi
tidak sejahtera.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian-penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Rahman, Kisunko, Kapoor167 terhadap 63 negara di dunia,
pada periode 1990-1997, korupsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian lain yang menunjukan hubungan
negatif korupsi dan pertumbuhan ekonomi adalah Dewi168terhadap 11 negara
di Asia pada periode 1995-2000, dimana korupsi dan pertumbuhan ekonomi
berhubungan negatif dan signifikan sebesar 1.316 pada taraf nyata 1%.
Dari Tabel 24, dapat dilihat pengaruh negatif korupsi terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah, kemudian dapat pula dilakukan perbandingan
antar daerah untuk mengukur potensi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya

                                                            
167
Rahman A, Kisunko G, Kapoor K, Loc.cit.
168
Dewi, Loc.cit.

171
 
dapat dicapai. Dari tingkat rata-rata korupsi 48 ibukota/kabupaten di
Indonesia (lihat Lampiran 9) dapat diurutkan Tiga besar rata-rata paling
buruk adalah Pekanbaru (3.58), Cirebon (3.71) dan Kupang (3.98). Tiga besar
tingkat rata-rata paling baik adalah kota Jogjakarta (6.12), Surakarta (5.675)
dan Palangkaraya (5.56).
Kota Pekanbaru apabila dapat menurunkan tingkat korupsi yang
artinya meningkatkan nilai indeks persepsi korupsinya, maka dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya. Misalnya kita ambil
perbandingannya dengan kota Jogjakarta, tingkat rata-rata korupsi Jogjakarta
adalah 6.12 apabila dilakukan perbandingannya dengan Pekanbaru maka
besar perbedaannya adalah 0.056169.
Artinya, jika Pekanbaru mampu meningkatkan indeks rata-rata
korupsinya pada periode tersebut sampai dengan yang dapat dicapai oleh
Jogjakarta maka pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 0.056 persen lebih
tinggi dari yang dicapai sekarang.
Perbandingan juga dapat dilakukan terhadap daerah-daerah lainnya
dengan cara yang sama untuk mengetahui potensi pertumbuhan ekonomi
daerah yang sesungguhnya bisa dicapai. Misalkan untuk kota Serang (Banten)
dengan indeks persepsi korupsi (IPK) rata-rata 4.72 apabila dapat
meningkatkan IPKnya menjadi 6.12 seperti daerah Jogjakarta maka dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonominya sebesar 0.031 persen170 lebih tinggi
dari sebelumnya.

5.2.4 Potensi Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Banten (Analisis ICOR).


Pada studi kasus di sub-bab 5.1, telah mengungkapkan bahwa korupsi
APBD dalam perburuan rente ekonomi menyebabkan terjadinya high cost
economy di Provinsi Banten, Pada sub-bab 5.2 melihat dampak korupsi
terhadap pertumbuhan ekonomi regional dengan sampel 48 kota/kabupaten di
Indonesia dengan salah satu sampel kota adalah ibukota Provinsi Banten.
Sedangkan kali ini peneliti mencoba menfokuskan dampak high cost

                                                            
169
0.022*(6.12-3.58)
170
0.022*(6.12-4.72)

172 
 
economy (yang salah satu penyebabnya adalah korupsi) terhadap
pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten. Hal ini dapat terlihat pada nilai
Incremental Capital Output ratio (ICOR) Provinsi Banten.
Soemitro pernah mengutarakan pada masa Orde Baru terdapat
kebocoran anggaran pembangunan sebesar 30 persen di Indonesia,
pemborosan itu terjadi dikarenakan beberapa faktor, yaitu: (1) Investasi
dalam infrastruktur yang bersifat memakan waktu lama, sebelum investasi
tersebut membuahkan hasil, (2) Adanya kesalahan/kelemahan teknis dalam
Perencanaan, penyelenggaraan dan perawatan proyek-proyek investasi, (3)
Segi negatif dalam iklim institutional penyelewengan dan penyimpangan
karena tidak dipatuhinya kaidah moral secara normatif (salah satunya
korupsi) 171.
Dengan adanya pemborosan anggaran negara untuk kepentingan
pribadi atau golongan tertentu, maka proses pembangunan menjadi
terganggu, Infrastruktur terganggu, sehingga negara/rakyat dirugikan akibat
adanya high cost economy. Perhitungan Soemitro itu berdasarkan data
ICOR Indonesia yang saat itu adalah 4.9 atau 5 yang dibandingkan dengan
rata-rata negara-negara ASEAN yang memiliki ICOR sebesar 3.5, sehingga
terditeksi adanya pemborosan anggaran pembangunan sebesar 30 persen172
pada masa Orde Baru ( ICOR Indonesia dan ASEAN tahun 1993).
Besarnya pemborosan anggaran pembangunan di provinsi Banten juga
dapat dihitung dengan cara yang sama, yaitu dengan menghitung nilai ICOR
Provinsi Banten dan membandingkan dengan nilai ICOR daerah yang efisien
di pulau Jawa dan Bali. Tabel 25 berikut menunjukan hasil perhitungan
ICOR dengan lag 0 pada suatu periode waktu tertentu173.

                                                            
171
Soemitro dalam Mahmud MF, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) : Barometer
Efisiensi Perekonomian Nasional, Jurnal Ekonomi Bisnis, No.1 Vol.13, april 2008, hal 28-
29.
172
1.5/5 x 100%
173
Teori ICOR (Harrod-Domar) dapat merefleksikan produktivitas kapital yang pada
akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang dicapai, dengan rumus ICOR=I/∆Y,
dimana I=∆K (Perubahan kapital) dan ∆Y adalah perubahan output, (I) investasi yang
dimaksud adalah investasi yang ditanam oleh swasta maupun pemerintah, besarnya investasi
fisik yang direalisasikan pada suatu tahun tertentu dicerminkan dengan besarnya Pembetukan
Modal Domestik Bruto (PMTB), sehingga rumus yang digunakan dalam penelitian ini
menjadi ICOR= PMTB / PDRB -PDRB .

173
 
Perhitungan ICOR di atas memiliki asumsi perubahan output semata-
mata hanya disebabkan perubahan kapital/ adanya investasi, sedangkan
faktor-faktor lain dianggap ceteris paribus dan semua perubahan kapital/
investasi yang di tanamkan pada tahun tersebut langsung digunakan dan
menghasilkan output pada tahun yang sama, atau memiliki lag 0.
Tabel 25. ICOR tahun 2008 di Pulau Jawa dan Bali.
Nama Provinsi ∆K* ∆Y* Koefisien ICOR
DKI Jakarta 120 867 773.81 20 752 135.70 5.8
Jawa Barat 50 071 918.83 17 025 528.87 5.5**
Jawa tengah 30 169 301.77 8 924 229.52 3.4
DI Yogyakarta 5 210 713.85 920 969.32 5.7
Jawa timur 54 702 838.69 17 134 374.34 3.2
Banten 11 537 469.70 3 756 134.53 4.6**
Bali 5 616 494.83 1 403 524.28 4.0
Sumber : BPS Provinsi Banten, BPS Provinsi Jawa Barat, BPS, diolah 2013.
Ket. *Dalam juta rupiah.
**Koefisien telah di sesuaikan dengan hasil perhitungan BPS dan
Bappeda di Provinsi terkait.

Pada Tabel 25 menyajikan nilai ICOR Provinsi-provinsi di Jawa dan


Bali, diketahui bahwa nilai ICOR paling baik adalah Jawa Timur sebesar 3.2
artinya untuk menghasilkan 1 rupiah hanya berinvestasi sebesar 3.2 rupiah.
Dengan demikian, nilai ICOR Banten sebesar 4.6, dapat mencerminkan
adanya pemborosan dana pembangunan di Provinsi Banten, sehingga
diperkirakan adanya kebocoran sebesar 30 persen174 dari anggaran
pembangunan. Besarnya kebocoran hingga mencapai 30 persen tersebut
menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi Banten pada tahun 2008
seharusnya dapat tumbuh diatas 5.8 persen, atau diperkirakan dapat
mencapai 8.3 persen175.
Dengan demikian apabila korupsi dapat diberantas, atau setidaknya
dikurangi pada level daerah maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi
daerah lebih tinggi dari pencapaian yang sekarang. Kemudian pertumbuhan
                                                            
174
4.6-3.2= 1.4, 1.4/4.6 *100%= 30%
175
70% anggaran pembangunan dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi 5.8% , artinya
memiliki perbandingan 1: 0.0828. Dengan perbandingan tersebut, kebocoran anggaran
sebesar 30% dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi 2.5%, sehingga potensi
pertumbuhan yang bisa dicapai 5.8%+2.5%=8.3%.

174 
 
ekonomi yang menjadi salah satu indikator pembangunan ekonomi, pada
akhirnya diharapkan dapat memberikan pengaruh dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah.

175
 
176 
 
6. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
1. Mekanisme korupsi APBD dalam mekanisme perburuan rente di Banten
dikarenakan adanya biaya politik yang tinggi dalam rekrutmen politik,
rekrutmen politik masih diwarnai tradisi politik uang. Dengan demikian calon
pejabat publik yang akan terpilih tidak perlu berkualitas, tapi harus bermodal
besar dalam meraih kekuasaannya, modal kampanye didapatkan dari berbagai
sumber dana, seperti dari pribadi, partai politik, perorangan, dan perusahaan
swasta. Sehingga motivasi mereka setelah terpilih adalah mengembalikan
modal politik. Pejabat publik yang ingin melanggengkan kekuasaannya
(calon yang sudah menjabat pada periode sebelumnya), dapat memanipulasi
pembiayaan kampanye dengan menggunakan fasilitas maupun anggaran
daerah, karena mereka memiliki kewenangan dalam menentukan peraturan
daerah (Perda), terutama perda tentang APBD. Ada dua mekanisme korupsi
APBD dalam perburuan rente ekonomi di Banten, yaitu:
a. Mekanisme Korupsi APBD Pos Belanja Bansos dan Hibah dalam
APBD yang dapat digunakan sebagai dana taktis pembiayaan
kampanye, mekanisme dugaan korupsi APBD di Provinsi Banten
dengan sampel Pos Bansos dan Hibah dimulai dari tahap perencanaan
anggaran (by design), meluas ke tahap pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban.
b. Mekanisme perolehan rente melalui proyek-proyek APBD, Bagi para
penyumbang dana kampanye yang memiliki kepentingan, misalnya
perusahaan-perusahaan swasta yang menginginkan untuk ‘dibayar
kelak’ dengan mendapatkan bagian proyek-proyek APBD bernilai
besar. Pada studi kasus Provinsi Banten, otonomi daerah mampu
mentransformasikan client businessmen pada masa OrBa (masa
sentralisasi politik) menjadi raja kecil di daerah mereka. Raja kecil
tersebut menentukan siapa yang menjadi penguasa di Banten, bahkan
kini anggota keluarga besarnya menguasai berbagai bidang termasuk
dalam aspek politik dan bisnis, kekuasaan diperoleh dengan cara

177 
 
membiayai partai politik, sedangkan aspek bisnis bertumpu pada
monopoli terselubung terhadap proyek-proyek APBD. Proyek APBD
di Banten dikerjakan oleh pihak yang sama namun berbendera lain.
Pihak-pihak itu adalah pejabat publik yang berkuasa bergandengan
tangan dengan pihak ketiga yang merupakan lingkungan keluarga dan
kerabat kepala daerah yang berkuasa secara informal.
2. Berdasarkan hasil regresi data panel, korupsi di level daerah di Indonesia
memiliki berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi 48 kota/kabupaten di Indonesia.

6.2 Implikasi Kebijakan dan Saran


1. Untuk studi kasus Banten, saran yang dapat diberikan adalah:
a. Perlu adanya Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri) yang
tegas terkait pengelolaan dana Bansos Hibah di daerah,
b. Agar pejabat publik dalam legislatif maupun eksekutif
daerah/nasional tidak dipengaruhi oleh kepentingan bisnis, maka
harus dikeluarkan peraturan yang menegaskan pembatasan pejabat
publik/keluarganya dengan kegiatan usaha swasta, sehingga Peraturan
Pemerintah No.6 tahun 1974 tentang Pembatasan Kegiatan Pegawai
Negeri dalam Usaha Swasta harus direvisi.
c. Berbagai data dari ICW maupun BPK menunjukan bahwa para
pelaku dapat terjerat undang-undang tindak pidana korupsi, salah
satunya yaitu UU No. 31/1999 jo. UU No.20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 2 ayat 1 atas unsur
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
merugikan keuangan negara. Sehingga sangat perlu bagi aparat
penegak hukum melakukan tindakan tegas sesuai dengan prosedur
hukum yang ada.
d. Law of enforcement di Banten perlu didukung oleh usaha pihak
internal dan masyarakat yang berani membongkar dan menegakan
aturan di Pemerintah Provinsi Banten.
2. Hendaknya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah,
dilakukan pemberantasan korupsi di daerah/nasional yang dimulai dengan

178 
 
menciptakan suatu sistem politik yang berbiaya rendah. Contoh negara
dengan biaya politik rendah adalah Korea Selatan. Dengan demikian
diharapkan mampu menciptakan pasar politik yang kompetitif (political
competitiveness market). Suatu sistem politik berbiaya rendah hendaknya
dapat melahirkan kepemimpinan (leadership) nasional/daerah yang mampu
secara tegas mendukung segala bentuk upaya pemberantasan korupsi di
tingkat nasional/daerah. Pemimpin tersebut harus mampu melakukan
pembenahan institusi seluruh aparat penegak hukum dengan menerapkan
Carrot and Stick. Sehingga aparat penegak hukum dapat mendukung
penerapan Carrot and Stick yang menyeluruh pada instansi pemerintahan
yang ada dan mewujudkan prinsip-prinsip Good Governance pada seluruh
elemen pemerintahan dan masyarakat.
3. Saran untuk Penelitian selanjutnya adalah mengeksplorasi secara lebih
mendalam bagaimana proses rekrutmen politik pada tubuh partai politik dan
sumber pembiayaan partai politik, hal ini dirasakan perlu dilakukan karena
dapat memahami akar terjadinya prilaku rente ekonomi yang menyebabkan
terjadinya korupsi di daerah (termasuk korupsi APBD), kemudian melakukan
pengembangan pemodelan menggunakan data time series yang lebih panjang
apabila data korupsi regional tersedia, dan juga menambah beberapa variabel
yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga mungkin akan
memberikan hasil pengolahan yang lebih baik.

179 
 
180 
 
DAFTAR PUSTAKA

Ackerman SR. 2006. Korupsi dan Pemerintahan: Sebab, akibat dan reformasi,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Aidt TS. 2003. Economic Analysis of Corruption: A Survey. The Economic
Journal 113(491), November: f632-f652.

Anzar D. 2011. Akrobat Pembangunan: Telaah Kritis Kebijakan Publik, Ekonomi


Banten dan Nasional dalam Bingkai Konektivitas, Jakarta:Paradigma
Semesta.

Azis IJ, Wihardja MM. 2010. Theory of Endogenous Institutions and Evidence
from an In-Depth Field Study in Indonesia. Economics and Finance in
Indonesia, 58(3):309-334.

[BPK RI] Badan Pemeriksa Keuangan. 2012. Audit Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah Provinsi Banten TA 2011. Jakarta: BPK RI

_______________________________. 2012. Audit Investigasi Dana Hibah Bansos


Pemprov Banten TA 2011. Jakarta: BPK RI

[BPS] Badan Pusat Statistik dan [Bappeda] Badan Pengawas Pembangunan


Daerah Provinsi Banten. 2009. ICOR Provinsi Banten 2008. Jakarta: BPS.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Banten dalam Angka. Jakarta: BPS.

_______________________. 2012. Banten dalam Angka. Jakarta: BPS.

Baltagi. 2005. Econometric Analysis of Panel Data: third Edition. England: John
Wiley and Sons.Ltd. England.

Bhinadi A. 2003. Disparitas Pertumbuhan Ekonomi Jawa Dengan Luar Jawa.


Jurnal Ekonomi Pembangunan Kajian Ekonomi Negara Berkembang 8(1),
Juni : 39-48.

Culis J, Jones P. 1992. Public Finance Public Choice analytical Perspective.


Singapore: McGrawHill.

Damanhuri DS. 1996. Ekonomi Politik Alternatif. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

_____________. 2006. Korupsi, Reformasi Birokrasi dan Masa Depan Ekonomi


Indonesia, Jakarta:LPFEUI.

_____________. 2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan. Jakarta:LPFEUI.


Dewi SNF. 2002. Analisis Pengaruh Korupsi Terhadap Pertumbuhan, Investasi Domestik
dan Foreign Direct investment (11 Negara Asia Tahun 1995-2000). Tesis. FEUI.

Djaroti A. Sebuah Catatan Tangan-tangan Kekuasaan Keluarga Atut. tidak


dipublikasikan.
Elok D, Briggita I. 2011. Gangren Desentralisasi Korupsi. Di dalam: Hartiningsih
M, editor. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta:PT.Kompas Media
Nusantara.

Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data Panel dan Time Series.
Bogor: IPB Press.

Harman BK. 2012. Negeri Mafia Republik Koruptor:Menggugat Peran DPR


Reformasi, Yogyakarta:Lamalera.

[ICW] Indonesian Corruption Watch. 2012. Laporan Monitoring Pilkada Banten 2011.
Jakarta :ICW.

[ICW] Indonesian Corruption Watch. 2012. Laporan Dugaan Korupsi APBD Dana Hibah
Bansos 2011. Jakarta:ICW.

Jain AK. 2001. Corruption: A Review, Jurnal of Economic Survey15(1) Corcodia


University: hal 71-116.

Jeremy P. 2002. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas


Nasional, Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Klitgaard R. 2005. Penuntun Pemberantasan korupsi dalam pemerintahan
daerah. Jakarta:Yayasan Obor.

[KPK] Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi.


Jakarta:KPK.http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=125
0, diakses 28 November 2011.

Kwik KG. 2003. Pemberantasan Korupsi: Untuk Meraih Kemandirian,


Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/5419/ , 28 november 2011.

Lambsdroff JD. 2002. Corruption and Rent Seeking. Nedherlands: Kluwer


Academic Publisher, Public Choice113: 97-125.

Lopa B. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan hukum. Jakarta: Kompas.

Mahmud MF. 2008. Incremental Capital Output Ratio (ICOR) : Barometer


Efisiensi Perekonomian Nasional. Jurnal Ekonomi Bisnis 13(1), April: 27-
37.

Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik, Yogyakarta:BPFE.

182 
 
Mankiw NG, Romer D, Weil DN. 1992. A Contribution To The Empirics Of
Economics Growth. Quartely Journal Of Economics, May:407-437.

Mauro P. 1995. Corruption and growth, Quarterly Journal of Economics 110(3):


681-712.

Muhaimin Y. 1991. Bisnis dan Politik: Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980,


Jakarta :LP3ES.

Nisjar K. 2005. Corruption In Less Developed Countries (a study on the Problem


and Sollution of Corruption in Indonesia). Jurnal Akuntansi 9(3),
September: 260-265 .

Nugroho T. 2004. Disparitas pembangunan wilayah pesisir utara dan selatan jawa
barat :studikasus diKabupaten Karawang Subang dan Kabupaten Garut
Ciamis. Tesis. IPB.

Prahara G. 2010. Analisis Disparitas Antar Wilayah Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi di Provinsi Kalimantan Barat. Tesis.FEM IPB.

Priyarsono DS, Sahara, Firdaus M. 2007. Ekonomi Regional. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Rachbini DJ. 2008. Teori Bandit. Jakarta: RMBooks.

__________. 2001. Pembangunan Ekonomi dan Sumber Daya Manusia. Jakarta:


Garsindo.

Rahman A, Kisunko G, Kapoor K. 2000. Estimating the effect of Corruption


Implication for Bangladesh.World Bank Report . www.worldbank.org

Rizak HB. 2012. Kebijakan Alokasi Anggaran: Studi Kasus Sulawesi Tengah.
Analisis CSIS 41(1), Maret: 95-116.

Riyanto. 2008. Korupsi dalam pembangunan ekonomi wilayah: suatu kajian


ekonomi politik dan budaya. Disertasi. Pascasarjana IPB.

Santosa I. 2011. Pagar betis Mengepung Tikus di Sawah Indonesia. Di dalam:


Hartiningsih M, editor. Korupsi yang Memiskinkan. Jakarta: P.T.Kompas
Media Nusantara.

Shera A. 2011. Corruption and The Impact of The Economic Growth. Journal of
Information Technology and Economic Development 2(1): 39-53.

Simamora M, Sirojuzilam. 2008. Determinan Pertumbuhan Ekonomi Sumatera


Barat (studi Kasus: Wilayah Pantai Timur). Jurnal Perencanaan dan
Pembangunan Wilayah 4(2), Desember: 94-101.

183 
 
Sitongga LT. 2012. Presiden SBY:Ini Dia 5 Sektor Rawan Korupsi. Rabu 25 Juli
http://www.bisnis.com/artikel, 13/9/2012.

Sillaeloe P. 2010. Korupsi Dalam Pengelolaan APBD, Kamis 13 September


2012,http://bimakab.go.id/article-korupsi-dalam-pengelolaan-apbd.html,
diakses 13/09/2012.

Shleifer A, Vinshy RW. 1993. Corruption. The Quarterly Journal of Economics


108(3), Aug: pp 559-617.

Sopanah, Wahyudi Isa. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Korupsi APBD di Malang Raya,
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/legality/article/view/277/290, diakses
14/9/2012.

Soesatyo B. 2010. Perang-perangan Melawan Korupsi : Pemberantasan Korupsi


di Bawah pemerintahan Presiden SBY, Jakarta:Ufuk Press.

Stiglitz J. 2002. Economics of Public Sector 3rd edition. New York:W.W. Norton
& Company.

Suparno. 2010. Desentralisasi Fiskal dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian


di Indonesia. Tesis. FEM IPB.

Sulistio F. Perilaku Korupsi dalam Pemilukada. Jurnal Konstitusi PPK FH


UB.http://faizinsulistio.lecture.ub.ac.id/2011/05/perilaku-korupsi-dalam-
pemilukada/, diakses 6/4/2012

Sukirno S. 2008. Teori Makroekonomi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sugiyono. 2011. Metode Penelitian kombinasi (Mixed method).


Bandung:Alfabeta.

Swaleheen M, Stansel D. 2007. Economic Freedom, Corruption and Growth,


Cato Journal 27(3): 343-258.

Taufik R, Maria P, Dewi D. 2007. Memerangi Korupsi di Indonesia Yang


Terdesentralisasi, Bank Dunia.
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publicatio
n/Memerangi_Korupsi_dprd.pdf, diakses 28 Desember 2012.

Thomas V,et.al. 2000. The Quality of Growth. World Bank.

Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi Ed ke-9 (Alih Bahasa oleh
Haris Munandar dan Puji A.L) Jakarta: Erlangga.

184 
 
Vermonte PJ. 2012. Mendanai Partai Politik: Problem dan Beberapa Alternative
Solusinya, Analisis CSIS 41(1), Maret: 82-94.

Yoshinara K. 1991. Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Jakarta:LP3ES.

Yustika AE, 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi. Jatim:.
Bayumedia Publishing.

Widjaja HAW. 2009. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : Rajawali
Pers.

Winters JA. 2011. Oligarkhi. Jakarta:Gramedia.

Zachrie R, Wijayanto. 2010. Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab akibat dan


Prospek Pemberantasan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

www.transparency.org,2010, diakses 30/11/2011

http://www.undp.or.id/programme/governance/intro_glg.pdf, 12 /11/2012

http://www.djpk.depkeu.go.id/, diakses 15/06/2012

http://www.ipkindonesia.org/, diakses 30/11/2011.

http://bantenologi.org/index.php?option=com_content&view=article&id=83:potre
t-budaya-banten-dulu-kini-dan-nanti&catid, diakses 5/11/2012.

http://www.humasprotokol.bantenprov.go.id/2012/07/, diakses 5/11/2012


http://www.p2d.org/index.php/kon/52-31-1pril-2011/273, diakses 1/11/ 2012.

Korupedia.org 18/6/2012, diakses 19/6/2012.

http://koranmedan.com/2009/08/, diakses 12/6/2012.

http://lpse.bantenprov.go.id/eproc/lelang/pemenang, diakses 25/12/12

185 
 
186 
 
Lampiran 1. Daftar Informan/Nara Sumber

Nama Tanggal Jabatan Keterangan


AI 19 Juni 2012 Peneliti ICW Mengetahui mekanisme
13 November 2012 dugaan korupsi APBD
dalam perburuan rente
ekonomi
PR 3 Juni 2012 Staff Pemerintah Mengetahui mekanisme
Daerah Provinsi Banten dugaan korupsi APBD
dalam perburuan rente
ekonomi
EA 19 Juni 2012 Badan Pengawas Pemilu Mengetahui mekanisme
6 Desember 2012 Provinsi Banten dugaan korupsi APBD
dalam perburuan rente
ekonomi
BS 13 November 2012 Forum Diskusi Mengetahui mekanisme
Wartawan Harian dugaan korupsi APBD
(FWDH) Banten dalam perburuan rente
ekonomi
Aeng 19 Juni 2012 Ketua DPRD Konfirmasi Temuan BPK
Khaerudin Pemerintah Daerah RI
Provinsi Banten
Gandung 19 Juni 2012 Itjen Pemerintah Daerah Konfirmasi Temuan BPK
Provinsi Banten RI
Babar 6 Desember 2012 Kepala Bidang Mengetahui normatif
Perencanaan Program Pengelolaam APBD,
dan Anggaran Bappeda. khususnya Pos Bansos
Hibah, dan prakteknya di
daerah.
AW 28 November 2012 Anggota DPRD Mengetahui mekanisme
Pemerintah Provinsi dugaan korupsi APBD
Banten. dalam perburuan rente
ekonomi .
DA 19 Juni 2012 Akademisi dan mantan Mengetahui mekanisme
8 November 2012 anggota staf ahli DPRD dugaan korupsi APBD
Banten dalam perburuan rente
ekonomi.

187 
 
Lampiran 2. Data ICW : Rincian Kejanggalan Penyumbang Dana Kampanye
Incumbent 1 Pada Pilkada Banten Tahun 2011 Uji Petik terhadap 30
persen dari Jumlah Penyumbang.

a. Sumbangan perusahaan swasta yang tidak menyertakan NPWP

No Tanggal Nama Alamat Total


1 13/09/11 CV Kristal Utama Komplek Rp 200 000 000.00
Kidemang Blok F
No 8 Kota Serang
2 4/10/2011 PT Kidemang Putra Komplek Rp 350 000 000.00
Prima Kidemang Putra
Prima
3 4/10/2011 PT Palugada Mandiri Serang Rp 300 000 000.00

4 4/10/2011 PT Trias Jaya Perkasa Ciracas, Kota Rp 350 000 000.00


Serang
5 5/10/2011 PT Trina Lestari Cilegon Rp 350 000 000.00
6 5/10/2011 CV Bangun Cipta Pandeglang Rp 150 000 000.00
Persada
7 13/10/2011 CV Karindo Raya Serang Rp 100 000 000.00
8 14/10/2011 PT Ramaditya Kota Serang Rp 150 000 000.00
9 14/10/2011 PT Bara Cipta Nusa Pandeglang Rp 150 000 000.00
Pala
TOTAL Rp 2 100 000 000.00

b. Perusahaan penyumbang yang beralamat tidak jelas

No Tanggal Nama Alamat Total


1 4/10/2011 PT Palugada Serang Rp 300 000 000.00
Mandiri
2 5/10/2011 PT Trina Lestari Cilegon Rp 350 000 000.00
3 5/10/2011 CV Bangun Cipta Pandeglang Rp 150 000 000.00
Persada
4 13/10/2011 CV Karindo Raya Serang Rp 100 000 000.00
5 14/10/2011 PT Ramaditya Kota Serang Rp 150 000 000.00
6 14/10/2011 PT Bara Cipta Pandeglang Rp 150 000 000.00
Nusa Pala
TOTAL Rp 1 200 000 000.00

188 
 
c. Perusahaan penyumbang dengan alamat sama

No Perusahaan Nama Alamat Total (Rp)


Penyumbang

1 PT Waliman Sigit Widodo Puri Serang Rp 200 000 000.00


Nugraha Jaya Hijau Blok L4-
12 Kota Serang

2 PT Bintang Jajang Lesmana Puri Serang Rp 150 000 000.00


Raya Putra Hijau Blok L4
no 12 Kota
Serang

3 CV Cristal Ahmad Saefudin Komplek Rp 200 000 000.00


Utama Kidemang Blok
F No 8 Kota
Serang
4 PT Priangan Prana Komplek Rp 300 000 000.00
Jaya Persada Rismayandi Kidemang Blok
F No 8 Kota
Serang
5 PT Kidemang Prana Komplek Rp 350 000 000.00
Putra Prima Rismayandi Kidemang Blok
F No 8 Kota
Serang
TOTAL Rp 900 000 000.00

d. Alamat perusahaan yang tidak layak disebut kantor

No Perusahaan Nama Alamat Keterangan


Penyumbang

1 PT Waliman Sigit Widodo Puri Serang Rumah Jajang


Nugraha Jaya Hijau Blok Lesmana
L4-12 Kota
Serang
2 PT Priangan Prana Rismayandi Komplek Rumah kosong
Jaya Persada Kidemang berlantai dua, sudah
Blok F No 8 tidak layak untuk
Kota Serang langsung ditempati

189 
 
(Lanjutan)
3 PT Kidemang Prana Rismayandi Komplek Rumah kosong
Putra Prima Kidemang berlantai dua, sudah
Blok F No 8 tidak layak untuk
Kota Serang langsung ditempati

4 CV Cristal Ahmad Saefudin Komplek Rumah kosong


Utama Kidemang berlantai dua, sudah
Blok F No 8 tidak layak untuk
Kota Serang langsung ditempati

5 PT Mitra Reiny Rahmawati Jl Tebet Alamat itu, tempat


Karya Rattan Timur Raya yang dimiliki oleh
No 50 A seseorang yang
Jakarta berprofesi dokter
Selatan umum. Sebelah rumah
itu no 51 adalah kantor
penghubung
pemerintah Provinsi
Banten
6 PT Citra Putra Adhi Pradipta The East Alamat yang
Mandiri Tower Lt.12 dimaksud ditempati
Internusa Unit 5 Mega oleh PT Bali Pasific
Kuningan, Pragama, perusahaan
Jakarta itu milik adik laki-laki
Selatan Gubernur

190 
 
Lampiran 3. Output pendekatan pooled least square estimasi model pertumbuhan
ekonomi regional
Dependent Variable: LNPDRB
Method: Panel Least Squares
Date: 04/19/13 Time: 11:38
Sample: 2009 2010
Periods included: 2
Cross-sections included: 47
Total panel (balanced) observations: 94

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNAPBD 0.478278 0.112436 4.253797 0.0001


LNPOP 1.026092 0.096931 10.58576 0.0000
AMH 0.066525 0.021527 3.090362 0.0027
CORR 0.053299 0.088274 0.603792 0.5475
C -10.46028 2.536999 -4.123091 0.0001

R-squared 0.798547 Mean dependent var 15.40056


Adjusted R-squared 0.789493 S.D. dependent var 1.311067
S.E. of regression 0.601532 Akaike info criterion 1.873049
Sum squared resid 32.20378 Schwarz criterion 2.008331
Log likelihood -83.03331 Hannan-Quinn criter. 1.927693
F-statistic 88.19751 Durbin-Watson stat 0.480137
Prob(F-statistic) 0.000000

191 
 
Lampiran 4. Output pendekatan fixed effects estimasi model pertumbuhan
ekonomi regional

FEM 

Dependent Variable: LNPDRB


Method: Panel Least Squares
Date: 04/19/13 Time: 11:39
Sample: 2009 2010
Periods included: 2
Cross-sections included: 47
Total panel (balanced) observations: 94

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNAPBD 0.058157 0.048976 1.187441 0.2416


LNPOP -0.096451 0.095689 -1.007967 0.3191
AMH 0.374979 0.047067 7.966967 0.0000
CORR 0.011218 0.023530 0.476760 0.6359
C -20.68145 4.758594 -4.346126 0.0001

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.996768 Mean dependent var 15.40056


Adjusted R-squared 0.993010 S.D. dependent var 1.311067
S.E. of regression 0.109614 Akaike info criterion -1.280701
Sum squared resid 0.516650 Schwarz criterion 0.099172
Log likelihood 111.1929 Hannan-Quinn criter. -0.723333
F-statistic 265.2337 Durbin-Watson stat 3.916667
Prob(F-statistic) 0.000000

192 
 
Lampiran 5. Output pooled least square/ fixed effects testing dengan
menggunakan rendundant fixed effects – likelihood ratio

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: EQ02
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 57.331983 (46,43) 0.0000


Cross-section Chi-square 388.452477 46 0.0000

Cross-section fixed effects test equation:


Dependent Variable: LNPDRB
Method: Panel Least Squares
Date: 04/19/13 Time: 14:20
Sample: 2009 2010
Periods included: 2
Cross-sections included: 47
Total panel (balanced) observations: 94

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNAPBD 0.478278 0.112436 4.253797 0.0001


LNPOP 1.026092 0.096931 10.58576 0.0000
AMH 0.066525 0.021527 3.090362 0.0027
CORR 0.053299 0.088274 0.603792 0.5475
C -10.46028 2.536999 -4.123091 0.0001

R-squared 0.798547 Mean dependent var 15.40056


Adjusted R-squared 0.789493 S.D. dependent var 1.311067
S.E. of regression 0.601532 Akaike info criterion 1.873049
Sum squared resid 32.20378 Schwarz criterion 2.008331
Log likelihood -83.03331 Hannan-Quinn criter. 1.927693
F-statistic 88.19751 Durbin-Watson stat 0.480137
Prob(F-statistic) 0.000000

193 
 
Lampiran 6. Output pendekatan Random effects estimasi model pertumbuhan
ekonomi regional
Dependent Variable: LNPDRB
Method: Panel EGLS (Cross-section random effects)
Date: 04/19/13 Time: 11:42
Sample: 2009 2010
Periods included: 2
Cross-sections included: 47
Total panel (balanced) observations: 94
Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNAPBD 0.147495 0.046686 3.159324 0.0022


LNPOP 0.578549 0.070328 8.226497 0.0000
AMH 0.123111 0.024335 5.059064 0.0000
CORR 0.004496 0.022999 0.195499 0.8454
C -5.965268 2.645806 -2.254612 0.0266

Effects Specification
S.D. Rho

Cross-section random 0.572529 0.9646


Idiosyncratic random 0.109614 0.0354

Weighted Statistics

R-squared 0.332090 Mean dependent var 2.066066


Adjusted R-squared 0.302071 S.D. dependent var 0.212085
S.E. of regression 0.177181 Sum squared resid 2.793975
F-statistic 11.06286 Durbin-Watson stat 2.167802
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.556702 Mean dependent var 15.40056


Sum squared resid 70.86451 Durbin-Watson stat 0.085470

194 
 
Lampiran 7. Output fixed effects/random effects testing dengan menggunakan
correlation random effects-Hausmant test
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: EQ02
Test cross-section random effects

Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 147.538221 4 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LNAPBD 0.058157 0.147495 0.000219 0.0000


LNPOP -0.096451 0.578549 0.004210 0.0000
AMH 0.374979 0.123111 0.001623 0.0000
CORR 0.011218 0.004496 0.000025 0.1761

Cross-section random effects test equation:


Dependent Variable: LNPDRB
Method: Panel Least Squares
Date: 04/19/13 Time: 11:43
Sample: 2009 2010
Periods included: 2
Cross-sections included: 47
Total panel (balanced) observations: 94

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -20.68145 4.758594 -4.346126 0.0001


LNAPBD 0.058157 0.048976 1.187441 0.2416
LNPOP -0.096451 0.095689 -1.007967 0.3191
AMH 0.374979 0.047067 7.966967 0.0000
CORR 0.011218 0.023530 0.476760 0.6359

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.996768 Mean dependent var 15.40056


Adjusted R-squared 0.993010 S.D. dependent var 1.311067
S.E. of regression 0.109614 Akaike info criterion -1.280701
Sum squared resid 0.516650 Schwarz criterion 0.099172
Log likelihood 111.1929 Hannan-Quinn criter. -0.723333
F-statistic 265.2337 Durbin-Watson stat 3.916667
Prob(F-statistic) 0.000000

195 
 
Lampiran 8. Output hasil estimasi pendekatan fixed effects dengan GLS Weight:
Cross-section weight dan Cross-section weights (PCSE)

Dependent Variable: LNPDRB


Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 04/19/13 Time: 11:45
Sample: 2009 2010
Periods included: 2
Cross-sections included: 47
Total panel (balanced) observations: 94
Linear estimation after one-step weighting matrix
Cross-section weights (PCSE) standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LNAPBD 0.066361 0.014673 4.522785 0.0000


LNPOP -0.078770 0.020197 -3.900092 0.0003
AMH 0.426274 0.024539 17.37139 0.0000
CORR 0.022320 0.004952 4.507644 0.0000
C -26.06943 2.460177 -10.59657 0.0000

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

Weighted Statistics

R-squared 0.999557 Mean dependent var 63.29866


Adjusted R-squared 0.999041 S.D. dependent var 232.5588
S.E. of regression 0.099340 Sum squared resid 0.424345
F-statistic 1939.457 Durbin-Watson stat 2.999957
Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.996641 Mean dependent var 15.40056


Sum squared resid 0.537029 Durbin-Watson stat 3.916667

196 
 
Lampiran 9. Tingkat Korupsi rata-rata tahun 2008 dan 2010 48 ibukota/kabupaten
di Indonesia

No  kab/kota  CPI  No kab/kota  CPI 


1  Banda aceh  5.24 25 Malang  4.575 
2  Lhokseumawe  4.845 26 Jember  4.835 
3  Sibolga  4.7 27 Kediri  5.23 
4  pematang siantar  4.49 28 Surabaya  4.1 
5  Medan  4.005 29 Serang  4.72 
6  padang sidempuan  4.12 30 Denpasar  5.48 
7  Padang  4.855 31 Mataram  5.4 
8  Pekanbaru  3.58 32 Kupang  3.93 
9  Jambi  4.85 33 Pontianak  4.165 
10  Palembang  4.285 34 Palangkaraya  5.565 
11  Bengkulu  4.57 35 Banjarmasin  5.155 
12  bandar lampung  4.755 36 Samarinda  4.94 
13  Pangkalpinang  4.61 37 Balikpapan  5.22 
14  Batam  4.35 38 Manado  4.665 
15  tanjung pinang  4.45 39 palu   4.8 
16  Jakarta  4.245 40 Makasar  4.335 
17  Tasikmalaya  5.4 41 Kendari  4.225 
18  Cirebon  3.715 42 Gorontalo  5.26 
19  Bandung  4.355 43 Mamuju  4.265 
20  Surakarta  5.675 44 Ambon  4.805 
21  Semarang  4.79 45 Ternate  4.715 
22  Banyumas  4.3 46 Jayapura  4.67 
23  Tegal  4.79 47 Sorong  4.325 
24  Jogjakarta  6.12 48 manokwari  4.6 
 

197 
 
Lampiran 10. Contoh Lembaran Kuisioner yang Digunakan Oleh Transparency
International Indonesia (TII)

80715 No. Kues:_______________


- CPI 2008- No. Intvr:_______________

PT. Karya Utama Integritas


Jl. Cilosari 35

Jakarta 10330

SEKTOR PEJABAT PUBLIK – FIELD


Nama responden: Nama interviewer :

Jabatan: Tanggal interview :

Nama Institusi:

Alamat: Lama interview : ………… menit

Mulai: ……………. Selesai:…………………..

Kode Pos: Nama TL :

Telpon Kantor: Fax: Nama SPV :

Nomor HP : Tanda tangan Responden:

Alamat E-mail: Penerimaan Gift: _______________

Sudah Interview: _____________

Saya menyatakan bahwa saya mengikuti prosedur rekrutmen Tanda tangan interviewer: _____________
responden dengan penuh tanggung jawab dan saya telah
melaksanakan interview sesuai instruksi yang diberikan. Bila Diperiksa oleh:
ditemukan kesalahan atau penipuan dalam pemilihan responden TL : _________________________
dan proses interview sehingga data menjadi tak berguna, saya
bersedia menerima tindakan yang dijatuhkan untuk saya. SPV :_________________________

Checker :_________________________

Kualitas Control Nama Tanggal Paraf Komentar

Interviewer

Witness

TL Check

198 
 
SPV. Check

Recall/Verify

KOTA/WILAYAH:

Banda Aceh 01 Pangkal Pinang 14 Malang 27 Manado


Lhokseumawe 02 Bandar Lampung 15 Kediri 28 Palu
Medan 03 Jakarta 16 Jember 29 Gorontalo
Padang Sidempuan 04 Bandung 17 Pontianak 30 Makassar
Pematang Siantar 05 Serang/Cilegon 18 Palangkaraya 31 Mamuju
Sibolga 06 Tasikmalaya 19 Balikpapan 32 Kendari
Pakan Baru 07 Cirebon 20 Sampit 33 Ambon
Batam 08 Semarang 21 Banjarmasin 34 Ternate
Tanjung Pinang 09 Surakarta 22 Samarinda 35 Jayapura
Padang 10 Yogyakarta 23 Tenggarong 36 Manokwari
Jambi 11 Tegal 24 Denpasar 37 Sorong
Palembang 12 Purwokerto 25 Mataram 39
Bengkulu 13 Surabaya 26 Kupang 39

TELPON UNTUK MEMBUAT PERJANJIAN


SETELAH DIHUBUNGKAN DENGAN ORANG YANG TEPAT, MULAI DENGAN
PERKENALAN:

PENDAHULUAN: 

Selamat pagi/siang/sore, kami dari PT. Karya Utama Integritas/3i-s research, sebuah perusahaan
riset pemasaran independen. Saat ini kami ingin menanyakan pendapat bapak/ibu mengenai Tata
kelola pemerintah yang baik (Good Governance). Kami percaya, bahwa Anda setuju bahwa Good
Governance akan membuat Pejabat Publik bisa lebih melayani masyarakat dengan baik. Karena
Good Governance sudah menjadi tekad Pemerintah Daerah, maka kami diminta oleh
Transparency International Indonesia untuk melakukan penelitian mengenai implementasi Good
Governance yang sudah dilaksanakan disini. Kami minta Anda bisa memberikan jawaban yang
jujur. Anda tidak perlu kuatir menyebutkan nama Anda, karena nama Anda tidak akan ditampilkan
dalam hasil survei ini. Semua jawaban akan diolah bersama dan akan ditampilkan sebagai
penemuan kolektif dalam satu daerah.

Bila diminta untuk menjelaskan: Perusahaan kami telah ditugaskan oleh Transparency
International Indonesia, sebuah lembaga nirlaba yang bertujuan membangun kesadaran publik
tentang transparansi dan akuntabilitas di sektor Pemerintah dan swasta di Indonesia.
Transparency International Indonesia melakukan survey ini dengan keinginan memperoleh
pengertian yang lebih baik mengenai masalah utama yang dihadapi masyarakat sehingga dapat
memberikan solusi yang lebih baik. Semua jawaban akan diterjemahkan ke dalam angka-angka
dan akan diolah sedemikian rupa sehingga tidak mungkin jawabannya bisa dirujuk kepada jawaban
pribadi-pribadi.

199 
 
PERTAMA-TAMA, KAMI INGIN MENANYAKAN BEBERAPA PERTANYAAN LATAR
BELAKANG

S1. Apa nama institusi tempat anda bekerja saat ini?

Badan Pertanahan Negara....................................................................... 1


Layanan Perpajakan nasional/Negara (PPH badan, PPN, PPNBM )...... 2
Layanan Pajak/retribusi daerah (PBB, Pajak kendaraan, Pajak Iklan) ..... 3
Imigrasi (KIMS, KITAS) ............................................................................ 4
Departemen Hukum (paten) .................................................................... 5
Polisi......................................................................................................... 6
DLLAJR ................................................................................................... 7
Bea Cukai ................................................................................................ 8
Pelindo (Pelabuhan) ................................................................................. 9
Angkasa Pura (Bandara) .......................................................................... 10
Pengadilan ............................................................................................... 11
BPOM....................................................................................................... 12
MUI (Sertifikat Halal) ................................................................................ 13
Pemda/Pemkot ......................................................................................... 14
Depkes ..................................................................................................... 15

S1b. Apakah ada bidang yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat di institusi ini ?
Ya ............................................................................................................. 1
Tidak ........................................................................................................ 2-
HENTIKAN

S2a. Bolehkah kami tahu bidang apa? BIDANG: __________________________________


S2b. Apakah Bapak memiliki jabatan struktural di sini ?

Ya ........................................................................................... .................. 1–
TANYA S2C
Tidak ........................................................................................................ 2–
HENTIKAN

S2c. Apa jabatan Bapak? JABATAN: ______________________

S2d. Dan, untuk posisi ini, secara struktural bapak di Eselon berapa?
ESELON [LINGKARI]: 1 2 3
4

KUESIONER UTAMA

Pengetahuan tentang UU Korupsi


P1. Apakah anda pernah mendengar tentang UU Anti Korupsi?
Ya .............................................................................................................
............................................................................................................... 1
Tidak .......................................................................................................
................................................................................................ 2 KE P4a

200 
 
P2. Apakah Anda pernah membaca UU Anti Korupsi Indonesia ?

Ya.............................................................................................................
............................................................................................................... 1
Tidak .......................................................................................................
............................................................................................... 2 KE P4 a

P3. [SHOW CARD] Dari daftar berikut ini yang mana saja menurut Anda termasuk dalam
tindakan korupsi menurut UU ? [M]

Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang oleh pejabat public


yang menyebabkan kerugian financial bagi Negara .....................
............................................................................................................... 1
Menyuap pejabat publik ...........................................................................
............................................................................................................... 2
Penipuan / Kecurangan oleh pejabat Negara .........................................
............................................................................................................... 3
Pemerasan...............................................................................................
............................................................................................................... 4
Penyelewengan berat di proyek pemerintah ............................................
............................................................................................................... 5
Konflik kepentingan pribadi dalam proyek pemerintah ............................
............................................................................................................... 6
Gratifikasi / pemberian hadiah .................................................................
............................................................................................................... 7

P4a. [SHOW CARD] Dari daftar berikut ini silakan anda memilih 5 hal yang paling bermasalah
untuk menjalankan bisnis/usaha di Indonesia. Tolong urutkan faktor-faktor ini menurut
seberapa bermasalahnya [ranking 1=paling bermasalah; 5=paling tidak bermasalah]

No Ranking
a. Akses ke pendanaan
b. Peraturan tenaga kerja yang mengekang
c. Instabilitas Pemerintahan / kudeta
d. Peraturan mata uang asing
e. Kriminalitas dan pencurian
f. Fasilitas infrastruktur yang tidak memadai
g. Korupsi
h. Birokrasi pemerintah yg tidak efisien
i. Peraturan perpajakan
j. Pendidikan SDM yang rendah
k. Tarif pajak nasional (PPN, PPH, Pajak Badan, PPNBM)
l. Tarif pajak daerah (retribusi, PBB, Pajak Kendaraan, Pajak Iklan)
m. Etika kerja buruk pada tenaga kerja local.
n. Inflasi
o. Kebijakan yang tidak stabil / sering berubah
P4b. Mengapa Anda memberikan ranking seperti itu?

201 
 
INDEX PERSEPSI KORUPSI

Persepsi tentang SUAP

[SHOW CARD SKALA] Untuk pertanyaan-pertanyaan berikut ini, silakan menilai dengan
memakai skala 0-10, dimana 0 berarti “lazim” sedangkan 10 berarti “tidak lazim/tidak
pernah”. Anda boleh memilih angka berapa saja sesuai dengan pendapat anda yang
menggambarkan penilaian anda.

P5. Di kota ini, menurut pendapat Anda, seberapa lazimnya/biasa-kah perusahaan–


perusahaan membayar pembayaran tidak resmi atau suap kepada pejabat
setempat sehubungan dengan :

A. Ijin Usaha

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

B – Prosedur yang berkaitan dengan utilitas publik (mis. listrik, telpon)

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

C - Pembayaran Pajak (tahunan)

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

D – Memenangkan kontrak proyek pemerintah

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

E – Mendapatkan keputusan hukum (judicial) yang menguntungkan

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

F – Mempengaruhi hukum, kebijakan, atau keputusan demi kepentingan bisnis


tertentu

202 
 
Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

G – Untuk mempercepat proses birokrasi

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

P6a. [SHOW CARD] Bila terjadi pembayaran suap, siapa yang umumnya akan memulai
transaksi ini? [S]

Pejabat publik minta suap ........................................................................ 1


Perusahaan yang menawarkan suap ...................................................... 2
Baik pejabat publik maupun perusahaan sudah tahu apa yang harus
dilakukan, tdk perlu inisiatif ................................................................... 3

Lainnya [Tuliskan kalau ada]....................................................................

P6b. Mengapa anda mengatakan demikian? PROBE SPESIFIK

.…………………………………………………………………………………………………………
………………

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

P7. [SHOW CARD] Untuk mempercepat proses birokrasi yang anda tangani, manakah
pernyataan berikut ini yang anda alami? [S]

Saya selalu ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi ........... 1


Saya seringkali ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi ...... 2
Saya kadangkala ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi .... 3
Saya tidak pernah ditawari uang untuk mempercepat proses birokrasi ... 4

P8. [SHOW CARD] Manakah pernyataan berikut yang paling sering anda hadapi? [S]

Saya pasti akan menerima ”uang tanda terima kasih” dari pengusaha ... 1
Saya mungkin akan menerima ”uang tanda terima kasih” ....................... 2
Saya mungkin tidak akan menerima ”uang tanda terima kasih” .............. 3
Saya pasti tidak akan menerima ”uang tanda terima kasih...................... 4

P9. Mengapa anda mengatakan demikian? PROBE SPESIFIK

203 
 
.…………………………………………………………………………………………………………
………………

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

P10. Apakah anda pernah melaporkan orang yang menerima suap kepada pihak berwajib?

Ya ............................................................................................................. 1–
LANGSUNG KE P12
Tidak ........................................................................................................ 2–
TANYAKAN P11

P11. Mengapa anda tidak melaporkannya? PROBE SPESIFIK

.…………………………………………………………………………………………………………
………………

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

Persepsi Konflik Kepentingan


P12. [SHOW CARD] Di kota Anda ini, menurut Anda, seberapa lazim-kah kontrak proyek
204 publik/pemerintah diberikan berdasarkan hubungan pribadi atau afiliasi/kedekatan
politik?

Lazim/Biasa 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tidak lazim/tidak pernah

Persepsi terhadap Dukungan Swasta tentang Usaha Pemerintah Daerah


memberantas korupsi.

P13a. [SHOW CARD] Dengan skala 0-10, dimana 0 berarti “sama sekali tidak mendukung”
sedangkan 10 berarti “sangat mendukung”. Anda boleh memilih angka berapa
saja sesuai dengan pendapat anda yang menggambarkan penilaian anda.
Di kota Anda ini, menurut Anda, seberapa jauhkah sektor swasta mendukung
pemerintah daerah dalam usaha untuk memberantas korupsi?

204 
 
Sama sekali tidak mendukung 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sangat mendukung

P13b. Mangapa Anda mengatakan demikian?


.…………………………………………………………………………………………………………
………………

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

……………………………………………………………………………………………………………
…………….

Kinerja Pelayanan
P14. Apakah institusi anda melayani masyarakat umum?

Ya............................................................................................................. 1
Tidak ........................................................................................................ 2–
LANGSUNG KE P16

P15. (SHOW CARD) Dengan skala 0 sampai 10, bagaimanakah anda menilai kualitas pelayanan
yang diberikan oleh institusi anda kepada masyarakat? [Definisi kualitas disini adalah
pelayanan tepat waktu sesuai peraturan, transparansi biaya pelayanan, dan
pelayanan yang diberikan]

Kualitas sangat rendah 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Kualitas sangat tinggi

205 
 
P16a. [SHOW CARD] Seandainya Anda diberikan tongkat wasiat yang punya kekuatan untuk
menghentikan korupsi saat itu juga, sebutkan satu lembaga pemerintah di mana Anda
akan menggunakan tongkat wasiat tsb. Untuk Lembaga mana Anda akan
menggunakannya? [S]

Kantor pajak ............................................................................................ 1


.................................................................................................................
Polisi ........................................................................................................ 2
Kantor Imigrasi ......................................................................................... 3
Badan pertanahan (BPN) ......................................................................... 4
DPR/DPRD .............................................................................................. 5
Kejaksaan ............................................................................................... 6
Pengadilan ............................................................................................... 7
Kantor Layanan Publik /One Stop Service ............................................... 8
Departmen Agama ................................................................................... 9
Departmen Pendidikan ............................................................................. 10

P16b. Mengapa lembaga itu yang menjadi prioritas Anda ?

...............................................................................................................................................
....................

...............................................................................................................................................
....................

...............................................................................................................................................
....................

P17. Menurut anda, bagaimana kita dapat berpartisipasi memberantas praktek korupsi?
PROBE. TULIS VERBATIM
...............................................................................................................................................
....................

...............................................................................................................................................
....................

...............................................................................................................................................
....................

SEBELUM KAMI MENGAKHIRI INTERVIEW, BOLEHKAH KAMI MENANYAKAN BEBERAPA


PERTANYAAN TAMBAHAN UNTUK KEPERLUAN KLASIFIKASI:

DEMOGRAFI:
 

D1. CATAT JENIS KELAMIN RESPONDEN:

206 
 
Pria........................................................................................................... 1
Wanita ...................................................................................................... 2

D2. Berapakah usia anda pada ulang tahun terakhir?

TULISKAN USIA SEBENARNYA LALU LINGKARI KODE YANG SESUAI

_________________ Tahun

15-19 tahun .............................................................................................. 1


20-29 tahun .............................................................................................. 2
30-39 tahun .............................................................................................. 3
40-49 tahun .............................................................................................. 4
50+ tahun ................................................................................................. 5

D3. Apakah pendidikan terakhir Anda?

Tidak ada pendidikan formal .................................................................... 1


Tamat SD ................................................................................................ 2
SLP tidak tamat ........................................................................................ 3
Tamat SLP ............................................................................................... 4
SMU tidak tamat ...................................................................................... 5
Tamat SMU .............................................................................................. 6
Akademi/D3 ............................................................................................. 7
Universitas/S1 .......................................................................................... 8
Paska sarjana/S2 ..................................................................................... 9
Doktoral/PhD. ........................................................................................... 10

D4. Apa status perkawinan anda?

Belum menikah ........................................................................................


............................................................................................................... 1
Sudah menikah ........................................................................................
............................................................................................................... 2
Duda/Janda/bercerai ................................................................................
............................................................................................................... 3
 

D5. Suku bangsa: Pribumi 1

Keturunan China 2

Keturunan Asing lainnya 3

D6. Agama responden: Islam 1

Kristen (Protestan, Katolik) 2

Buddha 3

Hindu 4

207 
 
Lainnya (Sebutkan ……….) 5

PERNYATAAN INTERVIEWER

SAYA MENYATAKAN BAHWA SEKALI SAYA DITEMUKAN MENIPU PADA 1 PERTANYAAN,


SEMUA KUESIONER TIDAK AKAN DIBAYAR, DAN SEMUA AKAN MENJADI MILIK
PERUSAHAAN. SAYA JUGA BERSEDIA DI KELUARKAN DARI PT 3i-s TANPA PESANGON
APAPUN.

TANDA TANGAN INTERVIEWER:

No. Coder :

No. Puncher :

JANGAN LUPA MEMBERIKAN FORM PENILAIAN/SELF COMPLETION SEBELUM 
MENGAKHIRI.

208 
 
FORM PENILAIAN/SELF COMPLETION

NAMA RESPONDEN: _________________________ [Swasta/Pejabat Publik/Tokoh


Masyarakat]
KOTA: _____________________________________

SC1. Seberapa setujukah anda dengan pernyataan-pernyataan berikut ini?

SILAKAN MENILAI DENGAN MEMAKAI SKALA PENILAIAN INI:

4 artinya ’SANGAT SETUJU’


3 artinya ’SETUJU’
2 artinya ’KURANG SETUJU’
1 artinya ’TIDAK SETUJU’
LINGKARI SATU ANGKA YANG SESUAI

Sangat Setuju Kurang Tidak


setuju setuju setuju
Korupsi dilarang oleh agama 4 3 2 1
Ada ayat di dalam Kitab Suci yang melarang 4 3 2 1
korupsi
Perbuatan korupsi sangat merusak moral 4 3 2 1
Korupsi membunuh masa depan bangsa 4 3 2 1
Menyuap berarti ikut melakukan korupsi 4 3 2 1
Orang yang tidak melaporkan tindak korupsi, 4 3 2 1
ikut dalam tindakan korupsi
Korupsi pasti bisa dikurangi di daerah ini 4 3 2 1
Gerakan anti korupsi hanya bisa berhasil 4 3 2 1
dengan partisipasi masyarakat
Tidak ada yang bisa dilakukan untuk 4 3 2 1
memberantas korupsi di Indonesia
Media berperan paling besar dalam 4 3 2 1
mengungkap kasus korupsi
Korupsi penyebab kemiskinan 4 3 2 1
Korupsi membuat urusan jadi mudah 4 3 2 1
Korupsi membuat roda pembangunan 4 3 2 1
berjalan sehingga ekonomi tumbuh
Di Indonesia, korupsi sudah menjadi budaya 4 3 2 1
yang sulit dihapus
Gerakan anti korupsi adalah agenda pihak 4 3 2 1
asing untuk melemahkan Indonesia
Korupsi kecil-kecilan bisa dimaklumi karena 4 3 2 1
gaji pegawai negeri memang rendah
Korupsi menimbulkan ekonomi biaya tinggi 4 3 2 1
Korupsi itu biasa, tidak korupsi baru luar biasa 4 3 2 1

209 
 
210 
 

You might also like