You are on page 1of 11

JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,

Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524


Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

Analisis Faktor Lingkungan Abiotik yang Mempengaruhi Keberadaan


Leptospirosis pada Tikus di Kelurahan Sambiroto, Kecamatan Tembalang,
Kota Semarang

Wahyuni Arumsari1, Dwi Sutiningsih2, Retno Hestiningsih2


1.
Mahasiswa Peminatan Entomologi Kesehatan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
2.
Staf Pengajar Bagian Epidemiologi dan Penyakit Tropik
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro

ABSTRACT

Rats are the natural host for Leptospira development and is a major reservoir of
leptospirosis disease. Abiotic environment such as water pH, soil pH, humidity,
air temperature, and light intensity is an important factor for the presence of
Leptospira in mice. The purpose of this study is to analyze the influence of water
pH, soil pH, humidity, air temperature, and light intensity on the existence of
Leptospira in mice by using leptotek dri-dot at lateral flow re-confirmed by PCR.
Type of research is analytic with cross sectional method. Rat arrest made by the
single life trap in the house that have been choosen by using rapid survey. The
study was conducted on 34 mice that happened to be caught by using accidental
sampling. This study provides result that there is no influence of water pH, soil
pH, humidity, air temperature, and light intensity on the existence of Leptospira in
mice by leptotek dri-dot test at lateral flow. Reconfirmation is done by using PCR
test and give results that there is influence between water pH, soil pH, humidity,
and light intensity on the presence of Leptospira in mice. PCR test also proved
that the temperature does not affect the presence of Leptospira in mice. Leptotek
dri-dot at lateral flow is a weak test in detection of the presence of Leptospira in
mice, so confirmation with other tests such as PCR and MAT are also required.

Kata kunci : lingkungan abiotik, leptospirosis, tikus, sambiroto

PENDAHULUAN
Menurut NCBI penyakit leptospirosis setiap tahunnya di
zoonosis menyebabkan kematian wilayah tersebut.2
sebanyak 2,2 juta orang di seluruh Perkembangan bakteri
dunia.1 Kasus leptospirosis tertingi di Leptospira dalam lingkungan
Jawa Tengah ditemukan di Kota ditentukan oleh beberapa faktor
Semarang pada tahun 2008-2011 diantaranya derajad asam basa
tercatat berada di Kecamatan tanah (pH tanah), derajad asam
Tembalang. Kelurahan Sambiroto basa air (pH air), kelembaban udara,
merupakan salah satu wilayah yang suhu udara, dan intensitas cahaya.3
berada di Kecamatan Tembalang
yang termasuk ke dalam wilayah Penelitian mengenai leptospirosis
endemis leptospirosis. Menurut data pada tikus sangat penting untuk
dari Dinas Kesehatan Kota dilakukan dengan sudut pandang
Semarang, ditemukan kasus tikus merupakan reservoir utama
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

penyakit leptospirosis yang dapat tanah, higrometer untuk meengukur


ditularkan pada hewan dan kelembaban udara, termometeer
manusia. Perbedaan penelitian ini untuk mengukur suhu udara, dan lux
dengan penelitian sebelumnya meter yang digunakan untuk
adalah penggunaan dua metode mengukur iintensitas cahaya.
pengujian leptospirosis yaitu Tiga puluh empat tikus yang
menggunakan leptotek dri-dot at tertangkap diambil darahmya untuk
lateral flow dan PCR untuk diuji menggunakan leptoteek dri-dot
mengkonfirmasi keberadaan bakteri at lateral flow, tikus kemudian
Leptospira di dalam darah dan diidentifikasi untuk mengetahui jenis
jaringan ginjal tikus. PCR spesiesnya menurut kunci
merupakan teknik yang digunakan identifikasi B2P2VRP. Tikus yang
untuk uji diagnostik leptospirosis telah diketahui jenis spesiesnya,
secara cepat dan praktis dengan dibedah untuk mengambil ginjalnya
sensitivitas mencapai 90-100% guna pemeriksaan PCR.
bahkan pada spesimen yang sulit Pada peemeriksaan PCR,
untuk dibiakkan.4 Penelitian lebih hal yang perlu disiapkan adalah
lanjut mengenai leptospirosis pada pembuatan DNA Tamplate.
tikus perlu dilakukan untuk Pembuatan DNA tamplete diawali
meningkatkan kewaspadaan dini dengan pprosees pemeecahan atau
tentang kemungkinan penularan pencampuran. Ginjal tikus
leptospirosis melalui tikus yang dihaluskan dengan mortar kemudian
akrab dengan kehidupan manusia dihomogenkan dengan mencampur
dan hewan lainnya. 25-50 mg sampel ginjal tikuus dalam
1 ml DNAzol. Sampel ginjal yang
BAHAN DAN METODE telah halus diambil sebanyak 5-10
Penelitian ini dilakukan di mg dengan mengguunakan mikro
Kelurahan Sambiroto, Kecamatan pipet dan dimasukkan ke dalam
Tembalang, Kota Semarang pada tabung, dibiarkan selama 5-10 menit
bulan April-Agustus 2012. pada suhu kamar.
Jenis penelitian yang Proses dilanjutkan dengan
digunakan adalah analitik, dengan sentrifugasi sampel ginjal selama 10
pelaksanaan penelitian menit dengan kecepatan 10.000
menggunakan metode cross rpm. DNA diendapkan dengan
sextional. menambahkan 0,5 ml ethanol 100%
Sampel dalam penelitian ini dalam 1 ml DNAzol. Endapan
adalah seluruh tikus yang tertangkap didiamkan selama 1-3 menit dan
menggunakan teknik accidental mensetrifugasi kembali tabung
sampling pada dua hari waktu dengan kecepatan 5.000 rpm
penangkapan dengan menggunakan selama 5 menit.
single life trapp sejumlah 34 tikus. DNA kemudian dicuci
Pengukuran faktor dengan menggunakan 0,8-1 ml
lingkungan abiotik (pH air, pH tanah, etanol 70% dan mendiamkannya
kelembaban udara, suhu udara, dan selama 1 menit hingga DNA
intensiitas cahaya) dilakukan pada mencapai dasar tabung. Etanol
lokasi dimana ditemukan sumber air kemudian dihilangkan dengan cara
yang berpotensi ditemukannya tikus. dituang atau meenggunakan pipet.
Adapun alat yang digunakan DNA dilarutkan sebanyak 10-20 mg
meliputi: pH label untuk meengukur dengan air sebanyak 0,2-0,3 ml
pH air, pH tester untuk mengukur pH sehingga konsentrasinya menjadi
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

0,2-0,3 µg/µl. DNA disentrifugasi dan 72 OC untuk 5 menit sebagai


kembali selama 10 menit dengan tambahan (post-extension).
kecepatan 12.000 rpm. Menuang hasil PCR ke dalam media
Proses PCR dimulai dengan agar dan dilakukan proses
mencampurkan DNA tamplete yang elektroforesis selama 10 menit.
telah dibuat, enzim DNA Memvisualisasi/ melihat bakteri
polymerase, primer, Air, Mg2+ dan leptospira dengan alat gel
dNTP kemudian disentrifugasi documentation.
selama 1 menit. Memproses sample Semua data lingkungan
yang ke dalam mesin thermocycling abiotik, penenangkapan tikus, hasil
selama 3 jam. Didalam mesin uji leptotek dri-dot at lateral flow dan
thermocycling terjadi proses: PCR kemudian diolah dengan
Denaturasi (pemisahan) DNA menggunakan alat perangkat lunak
dengan suhu pemanasan 94OC yaitu dengan menggunakan program
untuk pre-denaturasi selama 5 SPSS versi 11.5 melaui analisis
menit, dan untuk denaturasi selama univariat dan bivariat dengan
1 menit. Annealing (penempelan) menggunakan uji chi square untuk
primer dengan suhu 52 OC selama 1 melihat ada atau tidaknya hubungan.
menit. Extension (perpanjangan)
dengan suhu 72 OC selama 1 menit,
HASIL DAN PEMBAHASAN (2003), trap shyness adalah
Pada penelitian yang sudah kejadian dimana tikus tidak mau
dilakukan, diperoleh hasil bahwa masuk ke perangkap yang
faktor lingkungan abiotik (pH air, pH disediakan. Menurutnya sifat jera
tanah, kelembaban udara, dan perangkap ini berhubungan
intensitas cahaya) mempengaruhi dengan sifat genetik. Selain itu
keberadaan leptospirosis pada tikus Priyambodo juga menjelaskan
menggunakan uji PCR. Suhu udara bahwa pada awal
tidak terbukti merupakan faktor pemerangkapan tikus akan
pendukung keberadaan leptospirosis mudah ditangkap, tetapi pada
pada tikus. Hasil peenelitian dapat pemerangkapan berikutnya tikus
dilihat pada tabel 1.1 menjadi susah ditangkap.5
Angka keberhasilan
Jumlah perangkap yang penangkapan (trap success) di
terdapat tikus pada hari pertama Kelurahan Sambiroto adalah
berjumlah 20 dan pada hari sebesar 17,0 %. Hal ini berarti
kedua sejumlah 14. Secara jumlah tikus pada wilayah
umum jumlah persentase penelitian tergolong tinggi atau
perangkap positif di kelurahan padat, sehingga potensi
tersebut pada hari pertama menularkan penyakit leptospirosis
(58,87%) lebih besar ke manusia juga besar. Tingginya
dibandingkan dengan hari kedua angka penangkapan
(41,2 %) atau terdapat penurunan dimungkinkan karena karakteristik
perangkap positif pada hari lokasi penangkapan tersebut
kedua. merupakan daerah pedesaan
Penurunan jumlah tikus yang jarak satu rumah dengan
yang tertangkap pada hari kedua rumah yang lainnya tidak saling
tersebut dimungkinkan karena berdempetan dengan kondisi
adanya sifat jera perangkap (trap sanitasi yang kurang baik. Pada
shyness). Menurut Priyambodo kelurahan ini tempat sampah
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

tanpa penutup sehingga cocok dkk, keberhasilan penangkapan


digunakan untuk lebih besar dari 7 % menunjukkan
perkembangbiakan tikus karena kepadatan populasi tikus secara
persediaan makanan di daerah ini kasar di suatu tempat atau
cukup melimpah. Menurut Hadi lingkungan tergolong tinggi.6

Tabel 1.1 Hasil Peneelitian


Leptotek dri-dot at
Jenis kelamin PCR
lateral flow
n
Variabel You p- p-
o Jant Beti Posit Negat Posit Negat
ng valu valu
an na if if if if
e e
1. Tikus
R. tanezumi 10 12 3 1 24 11 14
R.
0 3 2 1 3 0
norvegicus
R. exulans 0 1 0 1 1 0
S. murinus 4 1 0 5 0 5
Lingkunga
2.
n Abiotik
pH air 0,27 0,02
 optimal 3 22 15 11
 Tidak
0 9 0 8
optimal
pH tanah 0,07 0,03
 optimal 3 14 9 2
 Tidak
0 17 6 17
optimal
Kelembaba 0,45 0,03
n udara
 optimal 3 26 15 14
 Tiidak
0 5 0 5
optimal
Suhu udara 0,41 0,69
 optimal 1 18 11 8
 Tidak
2 13 4 11
optimal
Intensitas 0,27 0,02
cahaya
 optimal 3 22 15 10
 Tidak
0 9 0 9
optimal
Jenis tikus paling banyak yang tertangkap di Kelurahan
yang berhasil ditangkap adalah Sambiroto jauh lebih besar
Rattus tanezumi sejumlah 25 dibanding jenis tikus yang lain.
ekor, dilanjutkan Rattus Hal ini disebabkan karena
norvegicus sejumlah 3 ekor dan pemerangkapan dilakukan pada
terakhir Rattus exulans sebanyak area perumahan dan sekitar
1 ekor. Jumlah Rattus tanezumi perumahan warga sehingga jenis
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

R.tanezumi yang paling banyak Jumlah tikus yang


tertangkap. Hal tersebut sejalan mengandung Leptospira di dalam
dengan berbagai penelitian lain tubuhnya diuji dengan
tentang keberhasilan penagkapan menggunakan leptotek dri-dot at
tikus antara lain penelitian yang lateral flow sebanyak 3 ekor tikus
dilakukan oleh Paramasvaran dengan jenis spesies R.
(2009), Namue (1995), dan Ariani naorvegicus dan R. tanezumi.
(1994) yang berhasil menagkap Berbeda pada uji PCR, jumlah
lebih banyak Rattus tanezumi tikus yang mengandung
dibandingkan dengan Rattus Leptospira adalah sebanyak 15
norvegicus.6-8 tikus dengan jenis spesies R.
Jumlah tikus dan celurut tanezumi, R. norvegicus, dan R.
tertangkap di Kelurahan exulans. Sedangkan S. murinus
Sambiroto yang berjenis kelamin tidak terdeteksi mengandung
betina sejumlah 50,0 %, bakteri Leptospira di dalam
sedangkan persentase tikus tubuhnya.
jantan yang ditemukan sejumlah R. tanezumi merupakan
41,2 %. Penelitian lain yang tikus dengan paling banyak
serupa dilakukan oleh Kia (2001) tertangkap dibandingan dengan
di Ahvaz, Iran menyebutkan yang lain karena habitatnya di
bahwa dari ketiga jenis tikus yang dalam rumah sesuai dengan
tetangkap yaitu Mus musculus, diletakkannya perangkap tikus.
Rattus tanezumi, dan Rattus Menurut Brooks J. E, R. tanezumi
norvegicus yang tertangkap, yang juga dikenal sebagai tikus
semua spesies menunjukkan commensial mempunyai habitat di
jenis kelamin betina yang dalam rumah dan berperan
tertangkap lebih banyak daripada penting dalam penularan penyakit
tikus berjenis kelamin jantan.10 leptospirosis. Tikus ini
Menurutnya, hal tersebut menghabiskan seluruh hidupnya
dimungkinkan dapat terjadi untuk mencari makan, bersarang,
karena betina dapat berulang kali berlindung dan berkembang biak
keluar sarangnya untuk di dalam rumah.5
mendapatkan lebih banyak Dua dari tiga R.
makanan selama masa norvegicus yang tertangkap,
kehamilan dan masa menyusui kesemuanya dinyatakan
anaknya sehingga betina lebih mengandung Leptospira
mudah untuk tertangkap berdasarkan uji leptotek dri-dot at
dibandingkan dengan tikus lateral flow. Sedangkan
52
jantan. Pernyataan tersebut berdasarkan hasil uji PCR semua
sama seperti yang diutarakan R. norvegicus dinyatakan
oleh Priyambodo (2003), yang mengandung bakteri Leptospira.
menyatakan bahwa tikus betina Menurut Thierman (1981) R.
merupakan individu pencari norvegicus dikenal sebagai
makan untuk anak-anaknya, reservoir penular utama yang
sedangkan jantan berperan menularkan Leptospira ke
56
sebagai penjaga sarang atau manusia. R. norvegicus
wilayah teritorialnya sehingga merupakan host sejati Leptospira
tikus betina cenderung mudah karena beberapa serovar yang
tertangkap karena aktivitas berbahaya bagi manusia dibawa
mencari makanan ini.5 oleh R. norvegicus, serovar
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

tersebut diantaranya adalah: didapatkan pH air secara umum


ichterohamorragie, ballum, dan di Kelurahan sambiroto,
autumnalis. Infeksi Leptospira Kecamatan Tembalang, Kota
yang sifatnya kronis seperti pada Semarang adalah berkisar antara
tikus got Rattus norvegicus tidak 6,4-7,4. Sedangkan hasil
menimbulkan gejala klinis.11 penelitian dari Tunissia (2008)
Seperti halnya R. menyebutkan bahwa pH air >7
tanezumi, Infeksi bakteri merupakan faktor yang
leptospira pada R. norvegicus berhubungan dengan kejadian
diduga terpelihara secara alami leptospirosis meskipun
yang diwariskan melalui korelasinya lemah.13
keturunan ataupun antar inang Menurut pendapat
reservoir yang terkena Tangkanakull, et al. (2000)
leptospirosis terlebih dahulu. R. menyatakan bahwa bakteri
tanezumi memiliki pH urine yang Leptospira paling cocok hidup
cocok bagi perkembangan bakteri pada air dan lumpur dengan pH
Leptospira sehingga tikus jenis ini antara 7,0-7,462. Sehingga pada
merupakan spesies yang paling kisaran pH tersebut bakteri
sering dijumpai leptospirosis. Leptspira dapat menulari
Berdasarkan penelitian yang lingkungan melalui aktivitas
dilakukan oleh Mulyono dkk, tertentu seperti minum, berenag,
terdapat 8 tikus positif dan menyelam. Kemungkinan
leptospirosis dari 11 tikus yang besar tikus dapat tertular bakteri
tertangkap.12 Leptospira melalui lingkungan.
A. Pengaruh pH Air Terhadap Perilaku minum tikus dapat
Keberadaan Leptospira pada menyebabkan tikus tertular
Tikus bakteri Leptospira di dalam air.
Berdasarkan hasil Air sebagai sumber minuman
penelitian dengan analisis bivariat dapat diambil dari air bebas.
menggunakan Chi Square Selain dari aktivitas minum, tikus
diketahui bahwa ada pengaruh juga dapat tertular leptospirosis
yang bermakna secara statistik melalui kegiatan berenang. Tikus
antara pH air yang optimal (7,0- mampu berenang selama 50-72
7,4) bagi perkembangan bakteri jam pada suatu bak air dengan
Leptospira dengan kejadian suhu 35° C, dan dengan
leptospirois pada tikus (p kecepatan berenag 1,4 km per
value=0,04) yang diuji dengan jam, serta kecepatan 0,7 km per
menggunakan PCR. Berbeda jam untuk mencit pada saat
dengan uji Leptotek yang terdesak. Sedangkan
menyatakan tidak ada hubungan kemampuan menyelam yang
antara pH air yang optimal bagi dimiliki oleh tikus maksimum
perkembangan bakteri Leptospira adalah 30 detik.5
dengan tikus yang positif B. Pengaruh pH Tanah Terhadap
leptospirosis (p value= 0,276). Keberadaan Leptospira pada
Dari hasil pengukuran pH Tikus
air diketahui seluruh tikus yang Berdasarkan hasil
positif leptospirosis ditemukan penelitian dengan analisis bivariat
pada kondisi pH yang optimal menggunakan Chi Square
yaitu berkisar antara 7,0-7,4. diketahui bahwa ada pengaruh
Berdasarkan hasil penelitian yang bermakna secara statistik
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

antara pH tanah yang optimal dengan penelitian yang dilakukan


(7,2-8,0) bagi perkembangan oleh Muhidin (2011) yang
bakteri Leptospira dengan memperoleh kisaran pH tanah
kejadian leptospirois pada tikus (p sebesar 6,8-7,2. Bakteri
value=0,02). Hasil ini sejalan Leptospira peka terhadap asam,
dengan pendapat Sudarno yang sehingga tidak cocok hidup pada
menyatakan bahwa bakteri tanah dengan kandungan asam
Leptospira paling cocok hidup yang tinggi.15
pada air dan tanah dengan pH Tikus dan celurut dapat
antara 7,2-8,0. Sedangkan tertular leptospirosis melalui
berdasarkan hasil uji leptotek dri- tanah dengan berbagai macam
dot at lateral flow tidak cara. Menurut Priyambodo, tikus
menyatakan hubungan antara pH riul (Rattus norvegis) dan tikus-
tanah yang optimal bagi tikus terestrial lainnya akan
perkembangan bakteri Leptospira segera menggali tanah jika
dengan kejadian leptospirosis mendapat kesempatan.
pada tikus dengan signifikansi Penggalian ini bertujuan untuk
sebesar 0,07. membuat sarang.3 Tanah
Bakteri Leptospira dapat merupakan faktor penting dalam
tumbuh di tanah pada pH normal menentukan kelangsungan hidup
antara 6,2-8,0 dan mengalami tikus, terutama tikus yang bersifat
pertumbuhan paling optimal pada teristrial. Tubuh tikus telah
pH antara 7,2-8,0. Pada pH > 7 diciptakan untuk dapat
bakteri Leptospira dapat hidup beradaptasi dengan tanah.
selama 21-152 hari sedangkan Bentuk kepalanya runjung,
pada pH < 5 atau > 8,5 bakteri hampir tanpa leher, dan tubuhnya
Leptospira akan rusak dalam berbentuk silinder yang kompak.
beberapa menit atau jam. Matanya kecil dan hanya mampu
Leptospira dapat bertahan hidup membedakan terang atau gelap,
hingga 180 hari pada tanah yang dan melihat bentuk secara
basah dengan pH netral dan sederhana, buta warna. Kaki
selama berbulan-bulan dapat depan dan belakangnya telah
hidup di permukaan air yang beradaptasi untuk menggali tanah
menggenang.14 seperti mempunyai jari-jari dan
Dari hasil pengukuran pH telapak kaki yang halus dan kuat,
tanah diketahui sejumlah 9 tikus tanpa lamela seperti tikus yang
yang positif leptospirosis bersifat arboreal.16
ditemukan pada kondisi pH yang C. Pengaruh Kelembaban Udara
optimal yaitu berkisar antara 7,2- Terhadap Keberadaan
8,0. Sedangkan 6 tikus lainnya Leptospira pada Tikus
yang juga dinyatakan positif Berdasarkan hasil
leptospirosis berdasarkan uji PCR penelitian dengan analisis bivariat
ditemukan pada kondisi pH yang menggunakan Chi Square
tidak optimal. Berdasarkan hasil diketahui bahwa ada pengaruh
penelitian didapatkan pH tanah yang bermakna secara statistik
secara umum di Kelurahan antara kelembaban udara yang
sambiroto, Kecamatan optimal (76 - 90 %) bagi
Tembalang, Kota Semarang perkembangan bakteri Leptospira
adalah berkisar antara 6,4-7,4. dengan kejadian leptospirois
Hasil tersebut tidak jauh berbeda pada tikus (p value=0,03). Namun
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

tidak demikian pada uji leptotek menggunakan Chi Square


dri-dot at lateral flow yang diketahui bahwa tidak ada
menyatakan tidak ada hubungan pengaruh yang bermakna secara
yang bermakna secara statistik statistik antara suhu udara yang
antara kelembaban udara dengan optimal (20 – 25 OC) bagi
kejadian leptospirosis pada tikus perkembangan bakteri Leptospira
dengan signifikansi sebesar dengan kejadian leptospirois
0,451. pada tikus baik yang diuji dengan
Dari hasil pengukuran leptotek dri-dot at lateral flow
kelembaban udara diketahui maupun PCR dengan p value
sejumlah 11 tikus yang positif masing-masing sebesar 0,41 dan
leptospirosis menggunakan uji 0,69.
PCR dan 3 tikus positif Menurut Top dan Wehryl,
menggunkan uji leptotek dri-dot at suhu ideal bagi perkembangan
lateral flow ditemukan pada bakteri Leptospira berkisar antara
kondisi kelembaban udara 20 – 25 OC.65 Pendapat tersebut
optimal yaitu berkisar antara 76 - sejalan dengan penelitian yang
90 %. Sedangkan 4 tikus lainnya dilakukan Sudarno yang
yang juga dinyatakan positif menyatakan bakteri Leptospira
leptospirosis berdasarkan uji dapat hidup beberapa waktu
PCR, ditemukan pada kondisi dalam air dan alam terbuka pada
kelembaban udara yang tidak temperatur panas 25 OC dan
optimal. Berdasarkan hasil lembab.64 Namun berbeda
penelitian didapatkan dengan penelitian Tangkanakull
kelembaban udara secara umum (2000) yang menyatakan bahwa
di Kelurahan sambiroto, temperatuur yang paling cocok
Kecamatan Tembalang, Kota untuk perkembangan bakteri
Semarang adalah berkisar antara leptospira adalah 28 – 30 OC.17
74 - 78 %. Berdasarkan hasil
Menurut Soedarno, bakteri penelitian didapatkan suhu udara
Leptospira dapat hidup dalam air secara umum di Kelurahan
dan alam terbuka seperti ladang sambiroto, Kecamatan
dan sawah yang panas dan Tembalang, Kota Semarang
lembab. Kelembaban udara adalah berkisar antara 24 – 29
O
berkisar antara 76 - 78 % C. Suhu tersebut bukan
tergolong lembab dan merupakan merupakan kondisi yang paling
kondisi paling disukai bakteri cocok atau optimal bagi
sehingga merupakan faktor risiko perkembangan bakteri
kejadian leptospirosis.64 Hal ini Leptospira, namun pada kisaran
berbeda dengan hasil penelitian suhu tersebut bakteri tetap dapat
Tunissa (2008) yang hidup dengan virulensi yang
menyebutkan bahwa kelembaban berkurang. Bakteri Leptospira
udara tidak terbukti sebagai faktor akan mati selama 2 hari pada
yang berpengaruh terhadap suhu 32 OC dan selama 10 menit
13
kejadian leptospirosis. pada suhu 60 OC. Namun bakteri
D. Pengaruh Suhu Udara ini dapat disimpan dalam freezer
Terhadap Keberadaan pada suhu minus70 dan bisa
Leptospira pada Tikus bertahan sampai beberapa tahun
Berdasarkan hasil tanpa berkurang virulensinya.
penelitian dengan analisis bivariat Ketahanan hidup di luar hospes
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

dipengaruhi oleh beberapa faktor dengan p value sebesar 0,02.


diantaranya makanan, kompetisi Sedangkan tidak menunjukkan
dengan mikroba lainnya, pH, hubungan pada uji leptotek dri-dot
temperatur, kelembaban tanah at lateral flow dengan signifikansi
dan infeksi campuran pada sebesar 0,276.
hewan carrier.18 Intensitas cahaya <50 lux
E. Pengaruh Intensitas Cahaya tergolong ke dalam intensitas
Terhadap Keberadaan yang tidak terik dan merupakan
Leptospira pada Tikus nilai yang optimal bagi kehidupan
Berdasarkan hasil bakteri Leptospirosis. Hal ini
penelitian dengan analisis bivariat sejalan dengan penelitian yang
menggunakan Chi Square dilakukan Tunissia (2008) yang
diketahui bahwa ada pengaruh menyatakan bahwa intensitas
yang bermakna secara statistik cahaya <50 lux mendukung bagi
antara intensitas cahaya yang kehidupan bakteri Leptospira dan
optimal (<50 lux) bagi berkontribusi sebesar 99%
perkembangan bakteri Leptospira terhadap kejadian leptospirosis.13
dengan kejadian leptospirois
pada tikus yang diuji dengan PCR
KESIMPULAN value sebesar 0,41,dan uji PCR
1. pH air tidak berpengaruh dengan p-value sebesar 0,03.
terhadap keberadaan Leptospira 5. Intensitas cahaya tidak
pada tikus menurut uji leptotek berpengaruh terhadap
dri-dot at lateral flow dengan p- keberadaan Leptospira pada tikus
value sebesar 0,27, sedangkan menurut uji leptotek dri-dot at
pada uji PCR menunjukkan lateral flow dengan p-value
adanya hubungan dengan p- sebesar 0,27, sedangkan pada uji
value sebesar 0,02. PCR menunjukkan adanya
2. pH tanah tidak berpengaruh hubungan dengan p-value
terhadap keberadaan Leptospira sebesar 0,02.
pada tikus menurut uji leptotek
dri-dot at lateral flow dengan p- UCAPAN TERIMAKASIH
value sebesar 0,07, sedangkan Terimakasih disampaikan
pada uji PCR menunjukkan kepada B2P2VRP Salatiga dan
adanya hubungan dengan p- Dinas Kesehatan Kota Semarang
value sebesar 0,03. yang telah bersedia ikut dalam
3. Kelembaban udara tidak penelitian dan bersedia
berpengaruh terhadap memberikan data yang peneliti
keberadaan Leptospira pada tikus butuhkan.
menurut uji leptotek dri-dot at
lateral flow dengan p-value DAFTAR PUSTAKA
sebesar 0,45, sedangkan pada uji 1. NCBI. Castro F. Current Situation
PCR menunjukkan adanya of The Most Frequent Zoonosis in
hubungan dengan p-value The World. National Center for
sebesar 0,03. Disciplinary Research in Animal
4. Suhu udara tidak berpengaruh Microbiology, National Institute for
terhadap keberadaan Leptospira Forestry, Agriculture and
pada tikus menurut uji leptotek Livestock, Delegation Cuajimalpa,
dri-dot at lateral flow dengan p- Mexico. 2010; Vol.146 No.6
hal:423-9.
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

2. Priambodo S. Tikus dalam Hama Tropical Biomedicine. 2009;


Pemukiman Indonesia, Vol.26 No.1 Hal: 67 -72.
Pengenalan Biologi dan 10. Ariani D. Tikus dan
Pengendalian Hama Pemukiman. Ektoparasitnya yang Berperan
In: Sigit SH, ed. Bogor: Fakultas dalam Penularan Penyakit.
Kedokteran Hewan Institut Semarang: Skripsi tidak
Pertanian Bogor; 2006. diterbitkan, Fakultas Kesehatan
3. Ibrahim I. Penyakit Demam Masyarakat, Universitas
Semak dan Demam Tikus di Diponegoro; 1994.
Indonesia (Scrub Typus and 11. Institute for International
Murine Typus in Indonesia). Cooperation in Animal Biologics.
Jakarta: Bulletin Penyakit Leptospirosis. 2005.
Zoonosis. 2010; Vol.9 hal:11-15. http://www.cfsph.iastate.edu.
4. Sulistyaningsih E. Polymerase Diakses 25 Maret 2012.
Chain Reaction (PCR): Era Baru 12. Mulyono A, Ristiyanto, Soesanti
Diagnosis dan Manajemen H. Karakteristik Histopatologi
Penyakit Infeksi. Biomedis. 2007; Hepar Tikus Got Rattus
Vol.1 No.1 hal:17-25. norvegicus Infekstif Leptospira
5. WHO. Gordon S dan Turner. The sp. Jurnal Vektora. 2006; Vol.1
Effect of pH on The Survival of No.2.
Leptospires in Water. 1961; 13. Muhidin. Survei Kejadian
Vol.24 No.1 hal: 35-43. Leptospirosis di Desa
6. Sanford J. Leptospirosis. In: Sumbersari Kecamatan
Isselbacher K, Braunwald E, Moyudan Kabupaten Sleman
Martin J, Fauci A, Kasper D, ed. D.I. Yogyakarta Tahun 2010
Harrison's Principles of Internal (Skripsi). Semarang: Fakultas
Medicine. 13th edition. New York: Kesehatan Masyarakat,
Mc Graw Hill.1994 hal:833-837. Universitas Diponegoro. 2011.
7. Hadi R. Jenis Tungau 14. Tangkanakul W,
Tombiculidae di Berbagai Daerah Tharmaphornpil P, Plikaytis B,
di Indonesia, Desertasi Gelar Bragg S, Pran S. Risk Factor
Doktor Biidang Matematika dan Associated with Leptospirosis in
Ilmu Pengetahuan Alam North Eastern Thailand,1998,
Universitas Indonesia, Jakarta, Anj Trop Med Hyg: 63 (3,4).
1989. 2000. hal.204-208
8. Namoe C, Wongsawad C. 15. Tunissia A. Analisis Spasial
(Online). A Survey of Helminth Faktor Risiko Lingkungan pada
Infection in Rats (Rattus Spp) Kejadian Leptospirosis di Kota
from Chiang Mai Moat. 1995; Semarang (Sebagai Sistem
http://www.tm.mahidol. Kewaspadaan Dini) (Tesis).
ac.th/seameo/1997-28-1- Semarang: Magister Ilmu
suppl/36-179-183.pdf. Diakses 22 Lingkungan, Universitas
Maret 2012. Diponegoro. 2008.
9. Paramasvaran S, Sani R, Hassan 16. Top F dan Wehrle P (E.d) 1972,
L, et al. Endo-parasite Fauna of Communicable and Infectious
Rodents Caught in Five Wet Disease (7th edition), chapter
Markets in Kuala Lumpur and Its 37, 359, Saint Louist. 1972
Potential Zoonotic Implications.
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 514 - 524
Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm

You might also like