You are on page 1of 8

JURNAL KEBIJAKAN KESEHATAN INDONESIA

VOLUME 05 No. 04 Desember  2016 Halaman 168 - 175


Sri Idaiani: Penyakit-penyakit di Bidang Psikiatri
Artikel Penelitian

PENYAKIT-PENYAKIT DI BIDANG PSIKIATRI YANG HARUS DITUNTASKAN


DI PUSKESMAS

PSYCHIATRIC DISEASES HAVE TO BE CONTROLLED AND COMPLETELY TREATED


IN PRIMARY HEALTH CENTER

Sri Idaiani
Pusat Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI

ABSTRACT psikiatri, merupakan kasus-kasus yang tidak terdiferensiasi


Background: Since January 1st 2014, Indonesia has imple- (undifferentiated) dan tidak memenuhi kriteria diagnostik
mented the national health insurance. Indonesian Doctor Com- sehingga kasus gangguan jiwa selalu tidak terlaporkan.
petency Standard 2012 and Ministry of Health Regulation No 5 Kesimpulan dan Saran: Kesenjangan kasus gangguan jiwa
in 2014 about clinical practice guideline of doctor in primary yang tidak terlaporkan di Puskesmas mungkin disebabkan oleh
care were applied as reference. The aim of this analysis was kriteria diagnostik yang sangat ketat sehingga dokter di
to give reccomendation related to psychiatric diseases have pelayanan primer tidak mampu mendeteksi gangguan dengan
to be controlled and completely treated by doctors in primary keparahan yang lebih rendah. Hasil telaah ini mengusulkan
health care perlunya kode diagnosis di Puskesmas yang memperhatikan
Methods: This article was a study of health policy, literature diagnosis, severitas, kronisitas dan disabilitas.
review followed by verification from several experts and vis-
iting to two primary health centers (PHCs) in Jakarta and Bogor Kata kunci: penyakit dibidang psikiatri, Puskesmas, panduan
on July to September 2014. praktik klinik
Results: Four psychiatric diseases have to be controlled and
completely treated in PHC are insomnia, dementia, mixed anxi- PENGANTAR
ety depression disorder, and psychosis. In general, patients
visiting in PHC have physical, mental and social problems. It
Pelayanan kesehatan jiwa tidak hanya dapat
was undifferentiated cases and not fulfills the diagnostic cri- diberikan oleh Rumah Sakit Jiwa (RSJ), tetapi di Pu-
teria if examined by psychiatric interview and cause psychiat- sat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) harus da-
ric cases were very limited reported in PHC. pat memberikan pelayanan kesehatan jiwa bagi
Conclusion and Recommendation: The gap of psychiat-
ric cases that were not reported is possibly caused by very
pasien di wilayah kerjanya. Alasan diperlukan pela-
strict diagnostic criteria therefore doctor in PHC cannot detect yanan kesehatan jiwa di Puskesmas adalah adanya
psychiatric disease with low severity. This study suggests kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih ba-
the need of special psychiatric diagnostic in PHC considering nyak di tingkat dasar serta untuk mengurangi beban
diagnosis, severity, chronicity, and disability.
ekonomi yang ditimbulkan perawatan inap yang pan-
Keywords: psychiatric diseases, primary health center, jang di rumah sakit1. Aspek yang dimiliki program
clinical practice guideline. integrasi ini adalah keterjangkauan, peningkatan
mutu pelayanan, menghormati hak asasi manusia
ABSTRAK dan costeffectiveness. Di Indonesia integrasi kese-
Latar belakang: Sejak tanggal 1 Januari 2014 di Indonesia
dilaksanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sebagai
hatan jiwa pada pelayanan primer diartikan sebagai
rujukannya diterapkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia adanya pelayanan kesehatan jiwa di tingkat primer
tahun 2012 dan Permenkes Nomor 5 tahun 2014 tentang atau Puskesmas.
Panduan Praktik Klinik dokter di pelayanan primer. Tujuan analisis Sejak tanggal 1 Januari 2014 di Indonesia dilak-
ini adalah untuk memberikan rekomendasi terhadap penyakit-
penyakit dibidang psikiatri yang harus dikuasai dan tuntas
sanakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Salah
ditangani oleh dokter di pelayanan kesehatan primer. satu rujukan dalam pelaksanaan JKN adalah Per-
Metode: Artikel ini adalah telaah kebijakan kesehatan, kepus- aturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 71/2013
takaan dilanjutkan dengan verifikasi dengan beberapa narasumber tentang pelayanan kesehatan pada JKN dan Per-
dan kunjungan di dua Puskesmas di Jakarta dan Kota Bogor.
Dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2014.
menkes Nomor 5 tahun 2014 tentang Panduan Prak-
Hasil: Empat penyakit dibidang psikiatri yang harus dapat tik Klinik (PPK) dokter di pelayanan primer. Kedua
dituntaskan di Puskesmas adalah insomnia, demens ia, peraturan ini menetapkan penyakit penyakit yang
gangguan campuran cemas dan depresi, dan psikosis. Pada harus tuntas ditangani di pelayanan kesehatan
umumnya pasien Puskesmas mempunyai banyak gejala fisik,
psikologik dan masalah sosial. Bila dilakukan pemeriksaan
tingkat primer dan merupakan salah satu standar
kompetensi dokter Indonesia2,3.

168  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

Dalam menjalankan tugas, dokter Indonesia HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


harus memenuhi beberapa standar yang berlaku Penyakit di bidang psikiatri yang harus tuntas
antara lain bersikap sesuai Kode Etik Kedokteran di pelayanan primer.
Indonesia (Kodeki), dan menjalankan tugas sesuai Terdapat 4 penyakit dibidang psikiatri yang dican-
Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) yang tumkan pada PPK dokter dengan kriteria memiliki
diperoleh saat dinyatakan lulus sebagai dokter prevalensi tinggi (high volume), mempunyai risiko
umum4. Standar lain yang harus dimiliki adalah tinggi (high risk), dan mempunyai beban biaya tinggi
standar yang digunakan di tempat kerja sebagai (high impact). Dibidang psikiatri, penyakit tersebut
tenaga dokter yaitu Pedoman Nasional Pelayanan antara lain insomnia, demensia, gangguan cemas
Kedokteran (PNPK) dan Standar Prosedur Operasio- dan depresi, serta psikosis. Insomnia adalah penya-
nal yang berlaku di tempat kerja masing-masing. kit dengan kode P06 berdasarkan International Clas-
PNPK pada dasarnya merupakan implementasi sification of Primary Care (ICPC)-2 atau G47.0 berda-
SKDI. Berdasarkan SKDI terdapat 4 tingkatan sarkan International Classification of Diseases (ICD)-
kemampuan dokter Indonesia dalam hal mengelola 10. Demensia mempunyai kode P 70 berdasarkan
penyakit yaitu tingkat kemampuan 1, tingkat kemam- ICPC-2 atau F03 berdasarkan ICD-10. Gangguan
puan 2, tingkat kemampuan 3A, tingkat kemampuan campuran cemas dan depresi mempunyai kode P74
3B dan tingkat kemampuan 4A serta tingkat berdasarkan ICPC-2 atau F41.2 menurut ICD-10.
kemampuan 4B. Tingkat Kemampuan 1 yaitu menge- Psikosis yang dimaksud disini adalah P98 menurut
nali dan menjelaskan. Pada tingkat ini lulusan dokter ICPC-2 atau F20 berdasarkan ICD-10. Tingkat
mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik kemampuan dokter untuk menangani insomnia ada-
penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat lah 4A, demensia 3A, gangguan campuran cemas
untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai dan depresi 3A dan psikosis dengan kemampuan
penyakit. Tingkat Kemampuan 2 yaitu mendiagnosis 3A. Dengan demikian, penyakit yang dapat ditangani
dan merujuk dan diharapkan lulusan dokter mampu secara mandiri dan diberikan tatalaksana sampai
membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut tuntas di Puskesmas adalah penyakit dengan ke-
dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi pe- mampuan 4 (A dan B) yaitu insomnia. Jenis penyakit
nanganan pasien selanjutnya. Tingkat Kemampuan terpilih tersebut ditulis dalam Peraturan Konsil
3 yaitu dokter mampu mendiagnosis, melakukan Kedokteran Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang
penatalaksanaan awal, dan merujuk. Tingkat Ke- SKDI.
mampuan 4 dokter mendiagnosis, melakukan pena- Meskipun ada 4 gangguan (penyakit) di bidang
talaksanaan secara mandiri dan tuntas. Tingkat Ke- psikiatri yang harus dituntaskan, sangat sulit mem-
mampuan 4A adalah kompetensi yang dicapai pada peroleh berapa besar jumlah kasus penyakit tersebut
saat lulus dokter. Tingkat Kemampuan 4B diperoleh di Puskesmas. Profil kesehatan yang dikeluarkan
melalui profisiensi yang dicapai setelah selesai in- Kementerian Kesehatan dan laporan bulanan atau
ternship dan/atau Pendidikan Kedokteran Berkelan- tahunan oleh Dinas Kesehatan hampir tidak ada yang
jutan (PKB). Kemampuan A merupakan kasus bukan memberikan informasi mengenai besaran kasus ini.
gawat darurat, sedangkan B merupakan kasus gawat Hal ini disebabkan gangguan jiwa bukan merupakan
darurat. Tujuan analisis ini adalah untuk memberikan kasus yang menempati rangking kasus terbanyak.
rekomendasi terhadap penyakit penyakit di bidang Dengan demikian dapat diartikan bahwa kasus gang-
psikiatri yang harus dikuasai dan tuntas ditangani guan jiwa sangat sedikit terlaporkan di Puskesmas
oleh dokter di pelayanan kesehatan tingkat primer. sehingga luput dari catatan-catatan profil dan laporan
tahunan kesehatan.
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Tulisan ini merupakan telaah kebijakan kesehat- Insomnia
an, kepustakaan dan verifikasi dengan beberapa na- Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam
rasumber. Untuk melengkapi data dilakukan kunjung- tidur, dapat berupa kesulitan berulang untuk jatuh
an ke dua Puskesmas di Jakarta dan Kota Bogor. tidur, atau mempertahankan tidur yang optimal, atau
Dilaksanakan pada bulan Juli sampai September kualitas tidur yang buruk. Kondisi ini dapat
2014. berhubungan dengan gangguan jiwa, penyakit fisik,

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016  169
Sri Idaiani: Penyakit-penyakit di Bidang Psikiatri

efek samping obat, meskipun dapat juga merupakan ling besar (60-80%), sedangkan demensia vaskular
kondisi primer5. Insomnia dengan kode G47 lebih berkisar 10%12.
tepat untuk gangguan tidur tanpa spesifikasi yaitu Dengan bertambahnya umur harapan hidup
bukan karena kondisi mental, tetapi lebih ditujukan penduduk Indonesia menjadi 70,2 tahun pada tahun
untuk ganguan tidur karena kondisi medis6. Sangat 2016-2020 untuk semua jenis kelamin, maka ber-
jarang ditemui insomnia primer yaitu insomnia tanpa tambah besar risiko mengalami demensia. Umur
disertai gangguan jiwa. Apabila G47 lebih tepat untuk harapan hidup tertinggi di Indonesia yaitu 74,7 tahun
insomnia karena kondisi medis umum, maka insom- di Provinsi Daerah Istimewa Jogjakarta, diurutan ke-
nia yang berkaitan dengan diagnosis di bidang 2,3,4,dan 5 yaitu Provinsi Kalimantan Timur 74,1
psikiatri terdapat pada kode F51 berdasarkan ICD- tahun, Provinsi Jawa Tengah 73,8 tahun, Provinsi
10. Insomnia lebih banyak terjadi sebagai suatu Jawa Barat 72,8 tahun, dan Provinsi Daerah Khusus
gejala, dan bukan suatu diagnosis. Ibukota Jakarta 72,4 tahun.13 Pada provinsi-provinsi
Pada penelitian di pelayanan primer di Malay- yang memiliki Umur Harapan Hidup (UHH) lebih tinggi
sia, dari 2049 responden yang berasal dari tujuh tersebut pasti diperlukan pengendalian terhadap
pusat pelayanan kesehatan primer, 60% responden risiko demensia.
memiliki gejala insomnia. Gejala insomnia pada pe- Berdasarkan PPK, obat-obatan psikofarmaka
nelitian tersebut dinilai dengan kuesioner self report untuk demensia sedapat mungkin dihindari kecuali
yang dikembangkan dari Diagnostic and Statistical pada kasus yang memiliki agresivitas, dapat diberi-
Manual of Mental Disorders IV (DSM IV) dan Inter- kan haloperidol dosis ringan. Penatalaksanaan yang
national Classification of Sleep Disorders (ICSD). dianjurkan adalah modifikasi faktor risiko, misalnya
Pasien yang mengalami insomnia tersebut selanjut- melakukan stimulasi kognitif, senam kebugaran, dan
nya dinilai dengan Hospital Anxiety and Depression mengendalikan penyakit fisik. Anjuran lainnya berupa
Scale (HADS), hasilnya sebagian besar mempunyai stimulasi lingkungan yaitu memberikan suasana
gejala cemas dan depresi7. Melalui survei telepon di yang nyaman bagi orang berusia lanjut, meningkat-
Canada yang dinilai melalui 2000 responden didapat- kan fungsi sehari hari serta memberikan dukungan
kan prevalensi insomnia sebesar 40,2%. Prevalensi keluarga. Pemeriksaan laboratorium penunjang
ini ditegakkan berdasarkan adanya paling sedikit 1 dapat dilakukan di pelayanan primer jika terdapat
gejala yang terdapat pada DSM IV text revision (TR) kecurigaan adanya kondisi medis yang menimbulkan
dan ICD-108. Dari kedua penelitian tersebut diketahui dan memperberat gejala. Sebagai pemeriksaan
bahwa insomnia umumnya ditemukan sebagai geja- diagnostik tambahan dapat dilakukan pemeriksaan
la yang berhubungan dengan kondisi mental, bukan dengan alat Mini Mental State Examination (MMSE).
sebagai diagnosis gangguan jiwa yang utuh. Pada laporan LB1 Puskesmas di kota Jakarta
dan Bogor demensia akan digolongkan dengan di-
Demensia agnosis gangguan mental organik dengan kode ICD-
Demensia adalah suatu kondisi terdapat henda- 10 nya adalah F03. Dokter Puskesmas menegakkan
ya (impairment) yang beratdalam hal fungsi daya diagnosis dengan bantuan teknik mendeteksi 2 me-
ingat (memory), penilaian (judgment), orientasi dan nit atau buku panduan yang diperoleh saat pelatihan
kognisi (kemampuan belajar)9. Kriteria diagnosis de- kesehatan jiwa. Berdasarkan Laporan Bulanan Pro-
mensia mengharuskan adanya penurunan kemam- gram Kesehatan Jiwa, demensia tidak terdata dan
puan daya ingat dan daya pikir yang sampai meng- tidak mempunyai tempat di dalam laporan. Jumlah
ganggu kegiatan harian seseorang ditambah dengan kasus demensia dan jumlah kunjungan rata-rata tidak
gejala dan disabilitas yang sudah nyata untuk pal- dapat diketahui oleh karena diagnosis digabung de-
ing sedikit enam bulan, dan tidak dijumpai gangguan ngan gangguan mental organik lainnya. Jumlah rujuk-
kesadaran10,11. Beberapa jenis demensia antara lain an kasus demensia ke fasilitas pelayanan kesehatan
demensia pada penyakit Alzheimer, demensia vas- tingkat lanjut juga belum ada datanya.
kular (demensia multi infark), demensia karena kon-
disi medis misalnya pada penyakit Pick (Sapi Gila), Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi
penyakit Creufield-Jacob, penyakit Huntington, pada Istilah gangguan campuran ansietas dan depresi
penyakit Parkinson, dan demensia pada penyakit terdapat pada ICD-10.Gangguan ini ditandai oleh
HIV/AIDS. Selain itu terdapat demensia yang diinduk- adanya gejala-gejala ansietas dan depresi yang ter-
si oleh zat , demensia multiple etiologi, dan demen- jadi bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak
sia yang tidak tergolongkan (not otherwise speci- menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat un-
fied)9. Demensia tipe Alzheimer prevalensinya pa- tuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis tersendiri.

170  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

Untuk gejala ansietas, beberapa gejala autonomik banyak menimbulkan beban kesehatan masyarakat.
harus ditemukan, walaupun tidak terus menerus, di Faktor-faktor yang memperberat penyakit ini adalah
samping rasa cemas atau khawatir berlebihan. Untuk kemiskinan, marginalisasi, pandangan lingkungan
mengobati gejala kecemasan maupun depresinya sosial yang tidak menguntungkan ditambah dengan
dapat diberikan antidepresan dosis rendah. stigma, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi yang
Di pusat pelayanan primer pada umumnya ansie- turut memperberat kondisi pasien. Beban penyakit
tas dan depresi tidak terjadi sendiri (single), tetapi mental, neurologi dan penyalahgunaan zat ini me-
lebih sering mempunyai komorbiditas dengan penya- nyumbangkan 14% dari beban akibat penyakit.
kit fisik misalnya diabetes melitus, hipertensi, sakit Seperempat dari beban tersebut berada di negara
kepala atau migren, nyeri tulang belakang dan lain low middle income, sedangkan di negara-negara
sebagainya14. Sudah banyak penelitian yang menye- tersebut, anggaran kesehatan untuk penyakit-penya-
butkan bahwa kecemasan, depresi dan somatisasi kit tersebut maksimal hanya 2% dari total anggaran
banyak dijumpai pada pasien-pasien yang sering kesehatan. Treatment gap untuk penyakit tersebut
berkunjung ke pelayanan primer dibandingkan yang di negara low middle income adalah 75%. Makna
berkunjung normal atau seperlunya15. PPK menye- dari pernyataan tersebut adalah hanya 25% orang
butkan kode untuk gangguan ansietas dan depresi yang mengalami masalah dan gangguan jiwa yang
selain F41.2 adalah P74 berdasarkan ICPC-2, yang mendapat pengobatan. Untuk mengatasi masalah
sebenarnya P74 lebih tepat untuk gangguan ansietas itu, pada tahun 2008 diluncurkan program Mental
saja16. Dalam hal ini terdapat kerancuan gangguan Health Gap Action (MhGAP) dan pada tahun 2010
yang harus dapat diatasi di Puskesmas apakah cam- diluncurkan buku panduan berjudul Mental Health
puran antara cemas dan depresi atau depresi saja Gap Intervention Guide (MhGAP IG) versi 1.018. Buku
atau cemas saja. pedoman tersebut sangat layak digunakan pada
tempat dengan sumberdaya yang sangat terbatas.
Psikosis Berdasarkan panduan MhGAP IG, terdapat se-
Gangguan ini ditandai dengan ketidakmampuan belas topik penyakit atau ganguan jiwa prioritas yang
atau hendaya berat dalam menilai realita, berupa harus mampu ditegakkan diagnosisnya oleh dokter.
sindroma, antara lain adanya halusinasi dan waham. Pertimbangannya adalah besarnya masalah yang
Kriteria rujukan pasien psikosis di Puskesmas ada- terjadi akibat beban penyakit, kematian, kesakitan,
lah kasus baru yang dirujuk untuk konfirmasi diag- biaya ekonomi tinggi, dan seringkali berhubungan
nostik ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder dengan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manu-
yang memiliki pelayanan kesehatan jiwa setelah dila- sia. Ke-11 penyakit tersebut antara lain depresi, psi-
kukan penatalaksanaan awal. Pasien psikosis yang kosis, gangguan bipolar, epilepsi, gangguan perkem-
sedang gaduh gelisah membutuhkan perawatan inap bangan dan perilaku pada anak dan remaja, demen-
karena berpotensi membahayakan diri atau orang sia, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan zat,
lain dapat segera dirujuk. Penelitian pada pelayanan melukai diri/ bunuh diri, dan gejala-gejala emosio-
primer di Amerika Serikat pada populasi dewasa nal atau medik lain yang tidak dapat dijelaskan18.
yang tinggal di kawasan perkotaan menilai pasien MhGAP tidak mengelompokkan penyakit-penyakit
dengan kuesioner psikotik Mini International Neuro- tersebut berdasarkan kriteria diagnostik dengan kode
psychiatric Interview (MINI) menyebutkan proporsi tertentu baik ICD-10 atau DSM IV.
pasien yang memiliki gejala psikotik sebesar 20%17. Pedoman MhGAP diperuntukkan di pelayanan
Psikosis yang dimaksud pada PPK dokter Indone- non spesialistik terutama pusat pelayanan tingkat
sia adalah psikosis dengan kode diagnostik F20 se- primer contohnya Puskesmas. Pengguna pedoman
hingga yang dimaksudkan adalah psikosis sebagai MhGAP tidak harus dokter, tetapi dapat dilaksana-
sebuah diagnosis gangguan jiwa, dan bukan sebagai kan oleh tenaga kesehatan lain seperti dokter gigi,
gejala. bidan, perawat komunitas bahkan tenaga farmasi.
Pedoman ini juga dapat digunakan di pusat pelayan-
Mental Health Treatment Gap di negara low an sekunder yang memiliki sumber daya tenaga
middle income dokter spesialis yang sangat terbatas18.
WHO menyebutkan bahwa penyakit-penyakit
di bidang mental, neurologi dan substance abuse

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016  171
Sri Idaiani: Penyakit-penyakit di Bidang Psikiatri

Tabel 1. Berdasarkan pedoman PPK dan MhGAP terdapat beberapa persamaan dan perbedaaan
No Perbedaan danpersamaan Panduan Praktik Klinis Dokter Mental Health Gap Action Program
1 Jumlah prioritas penyakit yang 4 penyakit yaitu : insomnia, 11 penyakit yaitu: ansietas, depresi,
diharapkan dapat ditanggulangi demensia, gangguan campuran psikosis, gangguan bipolar, epilepsi,
ansietas dan depresi, psikosis gangguan perkembangan dan perilaku
pada anak dan remaja, demensia,
penyalahgunaan alkohol,
penyalahgunaan zat, melukai diri/
bunuh diri, gejala-gejala emosional
atau medik lain
2 Pengobatan Farmakologi
Depresi fluoxetine Fluoxetine dan amitriptilin
Psikosis haloperidol, chlorpromazine, haloperidol, chlorpromazine,
risperidone, injeksi haloperidol, flupenazine long acting.
haloperidol dan flupenazine long
acting
Demensia Haloperidol dosis ringan apabila Haloperidol dosis ringan apabila
gaduh gelisah gaduh gelisah.
3 Alat ukur demensia Mini mental state examination Menggunakan tes yang lebih
(MMSE). sederhana mengenai:
- Daya ingat : menyebut 3 benda lalu
minta pasien mengulangi segera
kemudian 3-5 menit kemudian
- Menilai orientasi tempat dan waktu.
- Menilai kemampuan bahasa.

Obat-obatan yang dianjurkan tidak banyak ber- kepentingan dan masalah. Sebenarnya apabila dila-
beda antara PPK dan yang dianjurkan WHO, tetapi kukan pemeriksaan psikiatri, pada umumnya gang-
yang perlu diperhatikan salah satunya adalah pema- guan yang dialami pasien merupakan kasus-kasus
kaian MMSE. MMSE memiliki spesifisitas yang lebih yang tidak terdiferensiasi (undifferentiated) dan tidak
baik dibandingkan dengan bertanya secara seder- memenuhi kriteria diagnostik20. Terdapat istilah dis-
hana, namun yang menjadi pertimbangan apakah tres dan diagnosis. Seseorang yang mengalami dis-
alat ukur ini tersedia di Puskesmas dan apakah dok- tres dapat mempunyai satu atau beberapa gejala
ter mendapatkan pelatihan mengenai pemakaiannya psikiatri yang berpotensi mengancam kondisi kejiwa-
sehingga mahir melakukannya di Puskesmas?. annya, tetapi belum tentu memenuhi kriteria diagnos-
PPK disusun berdasarkan masukan para ahli tik gangguan jiwa, sedangkan seorang yang mempu-
dan penyelenggara program dengan mempertim- nyai diagnosis tentunya mempunyai gejala yang
bangkan kelayakan serta standar kompetensi dokter lengkap sehingga memenuhi kriteria sebuah ganggu-
Indonesia yang telah ditetapkan oleh Konsil Kedok- an. Dalam hal ini pasien Puskesmas umumnya mem-
teran Indonesia (KKI). Pada keadaan dimana tidak perlihatkan kondisi distres dan tidak menunjukkan
tersedia data (evidence based), maka dapat diguna- diagnosis psikiatri yang khas. Sebaliknya pada bebe-
kan pendapat ahli. Di Nepal, penentuan prioritas gang- rapa pasien yang mempunyai gangguan jiwa tetapi
guan jiwa juga ditetapkan berdasarkan panel ahli, dengan threshold di bawah ambang seringkali tidak
tetapi dilengkapi perhitungan statistik sederhana12. memperlihatkan distres20. Untuk dapat dikategorikan
Panel dipilih mewakili berbagai profesi antara lain sebuah gangguan jiwa diperlukan syarat tidak hanya
psikiater, psikolog, perawat jiwa, konselor psikoso- terdapat gejala-gejala saja, tetapi membutuhkan
sial.Penetapan prioritas ditetapkan berdasarkan kriteria durasi serta tingkat keparahan tertentu.
penilaian kesesuaian terhadap budaya, frekuensi Pasien Puskesmas yang mengalami distres
kasus, dan kelayakan untuk dilakukan pengobatan. apabila dinilai dengan alat diagnostik praktis misal-
Dengan demikian kesimpulan diperoleh tidak seke- nya pengukuran dari Center for Epidemiologic Stud-
dar berdasarkan pendapat para ahli, tetapi dilengkapi ies Depression (CES-D) atau Hamilton Rating Scale
oleh alat bantu data statistik19. for Depression (HDRS) dapat memiliki skor diatas
ambang yang ditetapkan, tetapi apabila dibandingkan
Diagnosis di bidang kedokteran jiwa yang lebih dengan pasien depresi yang sesungguhnya yaitu me-
tepat untuk Puskesmas reka yang menjadi pasien pusat pelayanan psikiatri
Pasien yang berkunjung ke Puskesmas pada akan mempunyai pola berbeda meskipun keparahan
umumnya mempunyai banyak gejala, kecemasan, depresinya sama. Perbedaanya yaitu pada pasien

172  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

depresi akan menonjol gejala penurunan mood, an- untuk tidak langsung memberikan diagnosis yang
hedonia dan keinginan bunuh diri. Sebaliknya pada ketat tetapi dapat merupakan keluhan. Meskipun
pasien distres akan menonjol gejala hipokondriasis demikian ICPC memiliki keterbatasan berdasarkan
dan insomnia21. penelitian-penelitian yang dilakukan. Kelemahan alat
Hal lainnya yang dijumpai pada pelayanan ini adalah masalah spesifisitas yaitu pada kasus
primer adalah pasien datang tidak hanya dengan bukan gangguan jiwa akan sulit untuk memastikan
keluhan fisik, tetapi juga dengan keluhan mental dan kasus tersebut bukan gangguan jiwa13.
pemasalahan sosial. Selayaknya semua keadaan Para pakar dibidang kesehatan jiwa menyadari
baik gejala mental, keluhan fisik dan masalah sosial bahwa diagnosis gangguan jiwa di Puskesmas
tetap dicatat pada lembaran pemeriksaan pasien dan berbeda dengan perspektif psikiater di klinik atau
Puskesmas mampu memberikan pengobatan yang rumah sakit karena di Puskesmas diagnostik yang
menyangkut ketiga kondisi tersebut20. Perjalanan digunakan harus sederhana dan praktis23. Pada
penyakit gangguan jiwa umumnya fluktuatif, kelompok masyarakat non Barat bahkan kadang-
kadangkala memeperlihatkan suatu gangguan yang kadang gejala psikiatri perlu disesuaikan dengan
nyata, tetapi kadangkala menyerupai keadaan tran- konsep masyarakat setempat 24. Dokter yang
sient . Pada bulan ke-6 akan menunjukkan perbaikan bertugas di pelayanan primer juga harus menyadari
sebesar 66%, pada bulan ke-3 menunjukkan bahwa pada kelompok etnis minoritas, pasien usia
perbaikan 20% dan pada minggu ke-4 sebesar 30%. muda dan yang memiliki penyakit-penyakit fisik
Kondisi yang fluktuatif seperti ini memerlukan kode kronik sering kali sulit mendeteksi adanya gangguan
diagnosis khusus untuk menjelaskan keparahannya. psikiatri. Pasien sering luput dari diagnosis dokter,
Kompleksitas serta masalah-masalah di sekitar yang sebenarnya apabila dinilai oleh spesialis
diagnosis di Puskesmas disikapi dengan cara ternyata mereka memiliki diagnosis gangguan jiwa25.
beragam. Pada sebagian dokter hanya memberikan
pengobatan untuk pasien yang mempunyai gejala KESIMPULAN DAN SARAN
yang nyata, dan sebagian dokter memilih PPK menyebutkan ada 4 penyakit di bidang psi-
memberikan pemecahan masalah terhadap masalah kiatri yang perlu mendapat perhatian oleh karena
sosial pasien. Sampai saat ini masih ada stigma di besaran masalahnya cukup besar. Dari empat pe-
bidang psikiatri yang menyebutkan bahwa gangguan nyakit, hanya 1 penyakit yaitu insomnia yang men-
jiwa disebabkan masalah sosial atau stres psikologik syaratkan kompetensi dokter 4 A yaitu tidak perlu
antara lain kesulitan hidup, hubungan personal dan dirujuk, tetapi dapat dikelola di Puskesmas saja.
sebagainya20. Tiga penyakit lainnya adalah penyakit yang ditangani
Disamping Diagnostic and Statistical Manual of dokter dengan tingkat kemampuan 3 yaitu berpeluang
Mental Disorders (DSM) dan ICD-10, untuk besar untuk dirujuk ke fasilitas pelayanan sekunder
Puskesmas dapat digunakan ICD-10 for Primary atau tersier. Hal ini sangat jauh dari anjuran WHO
Care (ICD-10-PHC).22 Terdapat 25 diagnosis di yang menyebutkan ada 11 penyakit di bidang psikia-
bidang psikiatri menurut kriteria ini yang merupakan tri yang seharusnya perlu ditangani di pelayanan
penggabungan atau penyederhanaan kriteria primer.
beberapa diagnostik yang sesuai. Meskipun ICD- Empat gangguan jiwa yang harus tuntas diatasi
10-PHC disebutkan memiliki validitas konkurent di Puskesmas mempunyai kode diagnostik berda-
yang baik, alat ini belum mempertimbangkan sarkan ICD-10 atau ICPC. Pada kenyataannya pa-
masalah keparahan, disabilitas dan kronisitas20. Alat sien yang datang ke Puskesmas lebih banyak tidak
diagnostik lain diperkenalkan tahun 1987 yaitu In- memenuhi kriteria diagnostik yang lengkap melain-
ternational Classification of Primary Care (ICPC) oleh kan hanya kondisi distres. Kondisi kesenjangan
World Organisation of Family Doctors. ICPC terakhir kasus gangguan jiwa yang sedikit ditemui di Puskes-
dikeluarkan tahun 1993 yaitu ICPC-216. Di dalam mas seperti yang disebutkan WHO mungkin dise-
kriteria diagnostik ini, tersedia 90 diagnosis yang babkan kriteria diagnostik yang sangat ketat sehing-
terdapat pada bab psikologik. ICPC cukup baik ga dokter di pelayanan primer tidak mampu mende-
digunakan di Puskesmas serta tidak memerlukan teksi gangguan dengan keparahan yang lebih
kriteria yang ketat seperti pada DSM atau ICD. ICPC rendah.
memberikan kode untuk diagnosis dan gejala (health Laporan bulanan penyakit di Puskesmas meng-
problem), alasan datang ke fasilitas kesehatan (rea- gunakan ICD-10 untuk kode diagnosis, sedangkan
son for encounter) dan tindakan yang diperoleh (pro- ICPC belum digunakan. ICPC memungkinkan mene-
cess of care). Dengan kode ICPC-2 memungkinkan gakkan diagnosis lebih longgar dibandingkan ICD,

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016  173
Sri Idaiani: Penyakit-penyakit di Bidang Psikiatri

tetapi sayangnya ICPC tidak diperkenalkan atau and Its Treatment in Canada. Can J Psychiatry
diberikan petunjuk penggunaannya. Bila 2011 09;56(9):540-8.
menggunakan kode diagnostik sesuai ICPC, 9. Sadock BJ, Sadock VA. Delirium, dementia,
diperkirakan kasus-kasus gangguan jiwa akan lebih and amnestic and other cognitive disorder and
banyak dilaporkan di Puskesmas. mental disorder due to a general medical
condition. 2008. In: Concise textbook of clinical
SARAN psychiatry [Internet]. Philadelphia: Lippincott
Dari seluruh kompleksitas tersebut, William and Wilkins[46-7].
rekomendasi yang bisa dipertimbangkan adalah 10. WHO. International classification of diseases
perlunya kode diagnosis di Puskesmas/pelayanan and related health problem 10 th revision 2016
primer yang tidak hanya berupa diagnosis, tetapi [cited 2015 December 20]. Available from: http:/
memperhatikan keparahan, kronisitas dan disa- /apps.who.int/classifications/icd10/browse/
bilitas. Disamping kode khusus untuk Puskesmas, 2016/en#/F00.
diperlukan buku panduan diagnostik sebagai 11. Ditjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan
penuntun kerja. ICPC, DSM atau ICD, dapat menjadi RI. Pedoman Penggolongan Diagnosis
pedoman penyusunan diagnostik, tetapi diagnostik Gangguan Jiwa III. 1993.
sederhana lebih dibutuhkan untuk diterapkan di 12. Type of dementia Chicago: Alzheimer’s
Puskesmas dengan tambahan suplemen berupa association; 2015. Available from: http://
petunjuk penggunaan yang lebih jelas. Dengan www.alz.org/dementia/types-of-dementia.asp.
adanya kode yang lebih longgar diharapkan data 13. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-20135.
kasus dibidang psikiatri di Puskesmas dapat dila- Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2013.
porkan dengan lebih baik. Dengan cakupan laporan 14. Bener A, Ghuloum S, Abou-saleh M. Prevalence,
yang memadai, akan lebih mudah menyusun kebijak- symptom patterns and comorbidity of anxiety
an dan menurunkan kesenjangan pengobatan bagi and depressive disorders in primary care in
pasien yang mengalami gangguan jiwa. Qatar. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol
2012;47(3):439-46.
REFERENSI 15. Ferrari S, Galeazzi GM, Mackinnon A, Rigatelli
1. WHO & Wonca. Primary care for mental health M. Frequent attenders in primary care: impact
within a pyramid of health care. Integrating of medical. Psychother Psychosom
mental health into primary care. Geneve: WHO 2008;77:306-14.
Library Cataloguing-in-Publication Data.2008 16. WHO Wonca. International classification of
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 primary care 2. London: Oxford University Press;
tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada 1998.
JKN. 17. Olfson M, Lewis-Fernandez R, Weissman MM,
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 5 tahun Feder A, Gameroff MJ, Pilowsky D, et al.
2014 tentang panduan praktik klinis bagi dokter Psychotic symptoms in an urban general medici
di pelayanan primer. ne practice. Am J Psychiatry 2002;159(8):1412-
4. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar 9.
Kompetensi Dokter Indonesia. 2012. 18. WHO. MhGAP intervention guide for mental,
5. Sadock BJ, Sadock VA. Symptom and sign. neurological and substance use disorders in
2008. In: Concise textbook of clinical psychiatry non-specialized health settings. Geneve: WHO,
[Internet]. Philadelphia: Lippincott William and 2010
Wilkins. third. [21-32]. 19. Jordans MJD, Luitel NP, Tomlinson M, Komproe
6 Coding for insomnia 2012 [updated March 26, IH. Setting priorities for mental health care in
2012; cited 2015 December 18]. Available from: Nepal:a formative study, BMC Psychiatry 2013,
http://www.fortherecordmag.com/archives/ 13:332 . Av ailable at http://
032612p27.shtml. www.biomedcentral.com /1471-244X/13/332
7. Zailinawati A, Mazza D, Teng CL. Prevalence of 20. Gask L, Dowrick C, Fortes S, Katerndahl DA,
insomnia and its impact on daily function Gureje O, Klinkman MS, et al. Capturing
amongst Malaysian primary care patients. Asia complexity the case for new classification
Pacific Family Medicine 2012;11:9. system for mental disorder in primary care. In:
8. Morin CM, LeBlanc M, Bélanger L, Ivers H, Saxena S, Esparza P, Regier DA, Saraceno B,
Mérette C, Savard J. Prevalence of Insomnia Sartorius N, editors. Public health aspects of

174  Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

diagnosis and classification of mental and 23 Jacob KS, Patel V. Classification on mental
behavioral disorder. Arlington: American disorders: a global mental health perspective.
Psychiatric Publishing; 2012. p. 71-104. Lancet. 2014;383:1433-5.
21 Katerndahl DA, Larme AC, Palmer RF, Amodei 24 Karasz A, Patel V, Kabita M, Shimu P. “Tension”
N. Reflections on DSM Classification and Its in South Asian women: developing a measure
Utility in Primary Care:Case Studies in “Mental of common mental disorder using participatory
Disorders”. Prim Care Companion J Clin methods. PCHP.2013;7(4):429-41.
Psychiatry. 2005;7:91-9. 25 Borowsky SJ, Rubenstein LV, Meredith LS, Camp
22 Dowrick C, Rosendal M. Medical unexplained P, Triche MJ, Wells KB. Who is at risk of
symptoms. 2009. In: Primary care mental health nondetection of mental health problems in
[Internet]. London: RC Psych; [156-73]. primary care? J Gen Intern Med 2000 ;15:381-8.

Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia, Vol. 05, No. 4 Desember 2016  175

You might also like