Professional Documents
Culture Documents
SYAHIDAH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI
TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis
(Garcinia mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Syahidah
NIM E051060051
ABSTRACT
Woods with low natural durability are vurnerable to the attack of deterioration organism.
Preservation processes would encounter this problem by increasing wood life service.
However, preservative chemicals that are usually non-biodegradable will lead to some
environmental problems. The development of biodegradable and renewable natural
preservatives that are environmental friendly is then necessary. This research was
aimed at inspecting bioactive component from extractives of mangosteen wood that is
prospected as natural preservatives. The investigation was through isolation and
identification of single compound of the wood extractives that was expected to be
antitermitic. Extraction and successive fractionation enfolded 1.95% of acetone extract
that was consist of 0.18%, 0.58%, 0.19%, and 1.00% of n-hexane, ethyl ether, ethyl
acetate and residue fractions, respectively. Anti termite test of C. curvignathus
Holmgren revealed the most active ethyl acetate fraction that at concentration 4%
already showed very high anti termite activity. Ethyl acetate fraction isolation resulted
second fraction namely EA7. NMR spectrometri and LCMS analysis of the second
fraction EA7 resulted compound 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone
(C14H12O6) as the possibly main component that is within phenolic group.
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF
KAYU MANGGIS (Garcinia mangostana L.)
TERHADAP RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus Holmgren
SYAHIDAH
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Tesis : Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia
mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren
Nama Mahasiswa : Syahidah
NIM : E051060051
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc.
Ketua Anggota
Diketahui
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas nikmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat melakukan penelitian dan penulisan tesis dengan
judul ” Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap
Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren” sebagai persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB
Bogor.
Selama menempuh pendidikan, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai
pihak sehingga penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya. Untuk
itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. Sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan
Bapak Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing
atas segala petunjuk dan bimbingannya selama penulis melakukan penelitian
2. Rektor Universitas Hasanuddin dan Dekan Fakultas Kehutanan atas kesempatan
yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan dan bantuan biaya penyusunan tesis
3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas pemberian Beasiswa
Program Pasca Sarjana (BPPS)
4. Staf Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB,
Bpk. Supriyatin dan Sdr. Gunawan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia
FMIPA IPB Ibu Prof. Dr. Suminar Achmadi, Bpk Sabur dan Pusat Penelitian Kimia
LIPI Serpong Bpk Dr. M. Hanafi, Ibu Dr. Puspa D. Lotulung dan Sdri. Sofa yang telah
banyak memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian.
5. Kedua orang tuaku Tandra Ismail (alm.) dan Haniah serta mertua Umar Biduna dan
Rajinah, adikku Fatmawati, kakak dan adik-adik ipar, keponakan dan semua
keluarga besar di Makassar atas bantuan moril dan materil yang telah diberikan
6. Suami tercinta Sunandar Umar dan putra-putriku Aulia Fatimah Khairunnisa dan
Muh. Farhan Syawal atas segala dukungan dan pengorbanannya selama penulis
menempuh pendidikan
7. Rekan-rekan angkatan 2006 di IPK atas kebersamaannya selama pendidikan
terutama Eka dan Anti atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan
juga penghuni Pondok Afra (Ida, Arie dan Santi) serta Mbak Desy.
Masih banyak pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, hanya
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang dapat penulis sampaikan semoga
Allah SWT. berkenan memberikan balasan atas segala amal kebaikannya. Amin.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya.
Syahidah
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bone pada tanggal 15 Agustus 1972. Penulis adalah anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Tandra Ismail dan Haniah. Penulis
menikah dengan Sunandar Umar dan dikarunia 2 orang anak bernama Aulia Fatimah
Khairunnisa dan Muh. Farhan Syawal.
Pendidikan dasar penulis selesaikan di Madrasah Ibtidaiyah No. 7 Macope Bone
tahun 1984, SMP Negeri 4 Watampone tahun 1987, SMA Negeri I Watampone 1990.
Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1995.
Pada tahun 1996-1998 menjadi dosen luar biasa di Universitas Satria Makassar
dan tahun 1998-2001 bekerja sebagai staf HTI PT Alinia Setra Makassar. Pada tahun
2005 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin dan tahun 2006 melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program
Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul ”Bioaktivitas
Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.
Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc.
sebagai anggota Komisi Pembimbing.
Selama menempuh pendidikan S2, penulis mempublikasikan karya ilmiah
berjudul ”Analisis Komposisi Kimia Bagian Cabang, Akar dan Batang Atas Jati dan
Gmelina” di Jurnal Perenial Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Volume 3
Nomor 1 Januari 2007. Penulis juga menyajikan makalah yang berjudul “Pemilahan
Kayu Borneo dengan Gelombang Ultrasonik” dan “Stabilisasi Dimensi Kayu dengan
Parafin Cair” pada Seminar Nasional MAPEKI IX di Pontianak Kalimantan Barat, 11-13
Agustus 2007.
Penulis juga merupakan penerima Beasiswa Unggulan P3SWOT Departemen
Pendidikan Nasional Tahap IV bulan Oktober 2007. Penulis juga pernah menjabat
sebagai Wakil Bendahara Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana) Sulawesi Selatan
tahun 2006-2007 dan anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI).
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
Simpulan ............................................................................................ 38
Saran .................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 39
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari, kayu merupakan salah satu hasil hutan yang
dibutuhkan manusia untuk berbagai penggunaan baik untuk konstruksi bangunan
maupun untuk produk-produk lain. Kebutuhan akan kayu terus meningkat seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk, sementara kemampuan hutan alam untuk
memproduksi kayu semakin menurun. Sehingga di masa depan penggunaan kayu
akan didominasi oleh kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun demikian,
kayu-kayu yang dihasilkan dari HTI merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast
growing species) yang umumnya memiliki keawetan alami yang rendah.
Selain itu telah diketahui bahwa sebagian besar kayu yang terdapat di
Indonesia (sekitar 80-85%) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga
mudah diserang oleh organisme perusak kayu, misalnya jamur dan rayap (Syafii
2000a). Organisme perusak tersebut dapat menyerang pohon, log, papan maupun
barang-barang yang terbuat dari bahan kayu. Dilihat dari segi efisiensi pemanfaatan
sumberdaya hutan, penyerangan kayu dan produk kayu oleh organisme tersebut
sangat merugikan karena dapat memperpendek masa pakai kayu yang
bersangkutan. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan efisiensi pemanfaatan
sumberdaya hutan, khususnya kayu, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk
memperpanjang masa pakai kayu, misalnya melalui proses pengawetan dengan
bahan kimia.
Namun demikian, pengawet kayu yang digunakan sebagian besar merupakan
bahan kimia sintetis non organik, sehingga memberikan dampak yang kurang
menguntungkan bagi lingkungan karena bahan kimia tersebut bersifat non-
biodegradable. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, maka perlu dilakukan
usaha-usaha pemanfaatan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu sebagai bahan
pengawet alami.
Keawetan alami yaitu kemampuan kayu untuk menahan serangan organisme
perusak kayu seperti jamur, rayap, bubuk dan lain-lain. Keawetan kayu tersebut
disebabkan adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun bagi organisme
perusak kayu. Zat ekstraktif tersebut terbentuk pada saat kayu gubal berubah
menjadi kayu teras sehingga pada umumnya kayu teras lebih awet dari kayu gubal.
Hal ini didukung oleh pernyataan Syafii (1996) bahwa komponen kimia tumbuhan
yang terbukti memiliki sifat bioaktif adalah zat ekstraktif. Selain itu jenis kayu yang
awet secara alami memiliki warna yang lebih gelap pada kayu terasnya
dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang awet. Warna yang secara alami
terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya ekstraktif yang diendapkan pada
saat pembentukan kayu teras tersebut.
Zat ekstraktif beberapa jenis kayu memang telah terbukti mengandung
senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan organisme. Syafii (2000a)
melaporkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai sifat anti rayap
beberapa jenis kayu dan kulit (Da Costa dan Rudman 1958; Rudman 1961; Steller
dan Labosky 1984) yang membuktikan bahwa ekstrak metanol kayu eukaliptus,
ekstrak eter dan metanol kayu jati dan ekstrak kulit beberapa jenis kayu mempunyai
sifat anti rayap yang sangat tinggi dan karena itu sangat mungkin dimanfaatkan
sebagai bahan pengawet alami. Selain itu juga dilaporkan bahwa latifolin dan new
neoflavonoid yang diisolasi dari kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)
mempunyai sifat bioaktif terhadap perkembangan Coptotermes curvignathus
Holmgren. Falah (2001) juga membuktikan bahwa zat ekstraktif kayu torem
(Manilkara kanosiensis Lam.) dan kayu lara (Mterosideros petiolata Kds.)
mengindikasikan peranannya sebagai racun terhadap serangan rayap tanah (C.
curvignathus) dan jamur pelapuk (Schizophyllum commune Fries).
Beberapa peneliti lain juga telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi
komponen bioaktif dari berbagai jenis kayu dan telah pula membuktikan sifat
aktivitas biologisnya terhadap pertumbuhan jamur maupun rayap. Alen (2000)
menyebutkan komponen bioaktif yang terkandung dalam zat ekstraktif tersebut
antara lain resin, alkaloid, quinon, flavonoid, isoflavon, tanin, lignan, fenol, alkana,
coumarins, dan stilbena. Dari penemuan-penemuan tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa keawetan alami kayu disebabkan karena adanya komponen
bioaktif yang bersifat racun dan secara alami mempunyai kemampuan untuk
menahan serangan organisme perusak kayu. Komponen-komponen bioaktif ini
sangat mungkin untuk diisolasi dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan
pengawet kayu alami.
Dengan demikian eksplorasi komponen bioaktif dari berbagai jenis kayu harus
terus dilakukan untuk berbagai keperluan, baik untuk bahan farmasi, insektisida
maupun fungisida. Salah satu jenis kayu rakyat yang potensial untuk dieksplorasi
komponen bioaktifnya adalah kayu manggis (Garcinia mangostana L.) yang cukup
dikenal oleh masyarakat dan terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selain
dikenal sebagai penghasil buah, manggis juga banyak digunakan oleh masyarakat
sebagai bahan obat tradisional yaitu sebagai sumber utama senyawa-senyawa
fenolat turunan xanton, kumarin, benzofenon dan biflavon yang terprenilasi.
Senyawa-senyawa tersebut memperlihatkan sifat bioaktivitas yang sangat menarik
dan beragam, seperti anti-HIV, antileukimia, antikanker, antitumor, antiinflamasi,
antihipertensi, obat penyakit hepatitis dan radang usus (Dharmaratne dan
Wanigasekera 1996; Huang 2001; Peres dan Nagem 1997) dalam Ersam (2005).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk
mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam kayu manggis yang
kemungkinan bersifat racun bagi organisme perusak kayu, khususnya rayap tanah.
Rumusan Masalah
Hipotesis
Manfaat Penelitian
Berbagai faktor eksternal seperti bakteri, jamur, serangga, organisme laut, iklim,
mekanis, kimia, dan panas, dapat menyebabkan penurunan penampilan, struktur, atau
komposisi kimia kayu. Menurut Tsoumis (1991), ketahanan suatu kayu yang digunakan
tanpa perlindungan khusus (misalnya perlakuan pengawetan) terhadap faktor perusak
dalam suatu rentang waktu tertentu disebut daya tahan atau durability. Salah satu faktor
penentu keawetan alami kayu adalah jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang terdapat di
dalam kayu yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu. Eaton dan Hale
(1993) menyatakan bahwa serangan serangga perusak kayu juga dapat dicegah
dengan adanya zat ekstraktif yang berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme.
Secara alami kayu memiliki ketahanan terhadap serangan organisme perusak,
salah satu faktor penyebab keawetan alami kayu adalah adanya zat ekstraktif yang
bersifat racun yang menyebabkan kayu tersebut tahan terhadap serangan organisme
perusak kayu. Selain itu terdapat beberapa faktor perusak yaitu faktor luar dan faktor
dalam, di mana faktor luar berkaitan dengan kondisi lingkungan di mana kayu tersebut
digunakan sedangkan faktor dalam adalah pengaruh komponen kimia dari kayu yang
bersangkutan (Syafii 1996).
Menurut Scheffer dan Cowling (1966) dalam Syafii (2000a), kandungan zat
ekstraktif dalam kayu merupakan penyebab utama keawetan alami kayu yang
bersangkutan. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Hawley yang telah
membuktikan bahwa : a) ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun terhadap organisme
perusak dibandingkan dengan ekstrak dari kayu gubal dan b) keawetan alami kayu teras
mengalami penurunan yang sangat tajam setelah kayu tersebut diekstraksi dengan air
panas maupun dengan pelarut netral lainnya.
Zat Ekstraktif
Perubahan kayu gubal menjadi kayu teras disertai oleh pembentukan berbagai
substansi zat organik yang dikenal sebagai zat ekstraktif. Hal inilah yang menyebabkan
kayu teras lebih awet dibandingkan dengan kayu gubal (Pandit dan Ramdan 2002).
Ekstraktif dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik dan fraksi hidrofilik. Fraksi lipofilik meliputi
lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Sementara itu fraksi hidrofilik
meliputi senyawaan fenolik (tanin, lignan, stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin,
garam anorganik (Achmadi 1990).
Berdasarkan pengaruhnya terhadap keawetan kayu, ekstraktif yang mempunyai
pengaruh positif terhadap keawetan kayu antara lain senyawa fenol, terpena, alkaloid,
saponine, flavonoid, stilbene, terpenoid, glikosida, chinone, tanin dan lain-lain,
sedangkan yang berpengaruh negatif dalam arti mengurangi daya tahan kayu, misalnya
zat gula, zat tepung dan lain-lain ( Rudi et al. 2003).
Zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai macam ketahanan
pada pohon hidup terhadap agen-agen perusak meskipun sangat bervariasi pada
berbagai habitat (Hillis 1987). Ekstraktif berpengaruh terhadap daya tahan, warna, bau
dan rasa. Dalam beberapa jenis, ekstraktif fenol mempengaruhi ketahanan kayu
terhadap kerusakan dan serangan serangga. Fenolik juga berpengaruh terhadap warna
kayu. Minyak esensial atau volatil menimbulkan bau dan bersifat menolak serangga
atau sebagai insektisida (Bodig dan Jayne 1992).
Fengel dan Wegener (1995) menambahkan bahwa di samping komponen-
komponen dinding sel, terdapat juga sejumlah zat-zat yang disebut bahan tambahan
atau ekstraktif kayu. Meskipun komponen-komponen tersebut hanya terdapat beberapa
persen saja dari massa kayu, mereka dapat memberikan pengaruh yang besar pada
sifat-sifat dan kualitas pengolahan kayu. Kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda
di antara jenis kayu, tempat tumbuh dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-
senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan
rayap. Banyaknya zat ekstraktif yang dapat diekstrak dari dalam kayu bergantung
pada berbagai macam faktor yaitu jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi, ukuran
serbuk dan kadar air serbuk (Syafii 2000a). Pada umumnya kandungan zat ekstraktif
jenis-jenis kayu tropika berkisar antara 0,9%-6,2% ekstrak air panas dan 1,0% - 13,8%
ekstrak etanol benzena (Rowe dan Conner 1978) dalam Syafii (2000a).
Syafii (2000b) melaporkan bahwa zat ekstraktif dari kayu Sonokeling (Dalbergia
latifolia Roxb.) mempunyai sifat anti rayap. Ganapaty et al. (2004) mengemukakan
bahwa enam jenis kuinon telah diisolasi dari ekstrak kloroform akar Diospyros sylvatica
dan diidentifikasi sebagai 2-metil-antrakuinon, plumbagin, diosindigo, diospyrin,
isodiospyrin dan mikrofillon. Empat dari kuinon tersebut diuji terhadap rayap tanah
Odontotermes obesus dan memperlihatkan mortalitas yang tinggi setelah 48 jam
diekspos. Komponen anti rayap utama diidentifikasi sebagai plumbagin, isodiospyrin dan
mikrofillon sementara diospyrin tidak toksik terhadap rayap pada konsentrasi yang diuji.
Peters dan Fitzgerald (2004) telah melakukan penelitian mengenai ketahanan
beberapa jenis kayu Pinus terhadap serangan rayap tanah Coptotermes acinaciformis
(Froggat) dan Mastotermes darwiniensis Froggat. Hasilnya memperlihatkan bahwa
kayu teras Maritime Pine (Pinus pinaster Aiton) dan F1 hybrid of slash pine (P. elliottii
Englem. var elliottii L. & D.) x Carribean pines (P. caribaea Morelet. var hondurensis
Barrett & Golfari) memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kerusakan akibat serangan
rayap tanah C. acinaciformis dan M. darwiniensis, jika digunakan pada keadaan bahaya
kelas 2/Hazard Class 2 (H2 : internally above-ground).
Zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis) memperlihatkan
sifat penolak yang tinggi terhadap aktivitas makan rayap tanah Coptotermes
formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test. Hal ini karena
ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam jumlah yang cukup besar
yang berpotensi menghambat aktivitas makan rayap tanah (Chen et al. 2004).
Penelitian yang dilakukan oleh Kartal et al. (2004) mengenai sifat anti rayap dan anti
jamur filtrat BSF (Biomass slurry fuel) yang menggunakan kayu Sugi (Cryptomeria
japonica) dan Acacia (Acacia mangium) memperlihatkan bahwa kayu yang diberi
perlakuan meningkat ketahanannya terhadap serangan jamur brown-rot (Fomitopsis
palustris). Filtrat kayu sugi yang mengandung senyawa fenolik yang lebih sedikit
daripada filtrat lain efektif terhadap serangan jamur white-rot (Trametes versicolor).
Senyawa fenolik dari filtrat kelihatannya mempunyai peranan dalam ketahanan terhadap
kerusakan contoh uji, namun filtrat tidak meningkatkan keawetan kayu terhadap
serangan rayap tanah (Coptotermes formosanus). Walaupun kandungan asam asetat
dan asam laktat dalam filtrat cukup tinggi, vanilin yang terkandung dalam filtrat mungkin
menjadi tambahan makanan yang menarik bagi rayap.
Suatu percobaan mengenai aktivitas anti rayap minyak esensial dari daun yang
diperoleh dari dua klon Cinnamomum osmophloeum (A dan B) dan kandungan kimianya
telah diteliti terhadap Coptotermes formosanus Shiraki. Hasilnya memperlihatkan
minyak esensial daun kayu manis lokal B memiliki aktivitas anti rayap yang lebih efektif
daripada minyak esensial daun kayu manis lokal A. Selanjutnya ketika cinnamaldehid,
eugenol, dan α–terpineol diekstrak dari minyak esensial daun kayu manis lokal dan
digunakan pada dosis kuat 1mg/g, efektifitas anti rayapnya jauh lebih tinggi daripada
ketika menggunakan minyak esensial daun kayu manis lokal. Di antara ketiga
komponen yang diuji tersebut, cinnamaldehid memperlihatkan sifat anti rayap yang
paling kuat (Chang dan Cheng 2002).
Menurut Mitsunaga (2007), tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai
perlindungan terhadap serangan dari luar, misalnya serangan rayap. Beberapa aktivitas
biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman yang telah diteliti di laboratorium
Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological Science, Gifu
Univesity, Japan, menunjukkan bahwa senyawa polifenol dari kayu tropika mempunyai
efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri. Sari dan Syafii (2001) telah melakukan
penelitian tentang sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati dan diperoleh hasil bahwa
ekstrak aseton kulit kayu jati memiliki sifat anti rayap rendah, sedangkan hasil
fraksinasinya menunjukkan bahwa fraksi n-heksan 6% dan fraksi etil eter 8-10%
memiliki sifat anti rayap sedang, fraksi n-heksan 10% memiliki anti rayap yang tinggi dan
fraksi etil asetat dan residu memiliki sifat anti rayap yang sangat rendah.
Minyak nilam yang diperoleh dari Pogostemon cablin (Blanco) Benth dan
konstituen utamanya, alkohol nilam, telah diuji sifat penolak dan toksisitasnya terhadap
rayap tanah Formosan (Coptotermes formosanus Shiraki). Ditemukan bahwa keduanya
bersifat menolak dan toksik terhadap rayap (Zhu et al. 2003). Minyak esensial dari 29
jenis tanaman telah diuji aktivitas insektisidanya terhadap rayap Jepang (Reticulitermes
speratus Kolbe) menggunakan bioassay fumigasi. Aktivitas insektisida yang baik
terhadap rayap Jepang diperoleh dari minyak esensial Melaleuca dissitiflora, M.
uncinata, Eucalyptus citriodora, E. polybractea, E. radiata, E. dives, E. globulus, Orixa
japonica, Cinnamomum cassia, Allium cepa, Illicium verum, Evodia officinalis,
Schizonepeta tenuifolia, Cacalia roborowskii, Juniperus chinensis var. horizontalis,
Juniperus chinensis var. kaizuka, clove bud dan garlic diaplikasikan pada 7,6 µL/L dari
udara (Park dan Shin 2005).
Jalaluddin et al. (1995) melakukan penelitian mengenai respon rayap tanah
(Coptotermes curvignathus Holmgren) terhadap zat ekstraktif dari 6 jenis kayu tropika
komersial di Malaysia yaitu cengal (Neobalnocarpus hemeii), merbau (Intsia
palembanica), kempas (Koompasia malaccensis), keruing (Dipterocarpus sp.), meranti
(Shorea sp) dan jelutung (Dyera costulata). Kehilangan berat kertas terkecil terjadi pada
contoh uji yang diberi perlakuan zat ekstraktif dari kayu cengal dibandingkan dengan zat
ekstraktif kayu lain.
Beberapa jenis kayu tertentu mempunyai daya tahan terhadap serangan rayap,
jamur dan mikroorganisme perusak kayu lain. Hal tersebut disebabkan oleh zat
ekstraktif yang spesifik dari tiap jenis kayu. Sebagai contoh dalam kayu jati (Tectona
grandis) terdapat senyawa tektokuinon dan pada kayu eboni (Diospyros virginia)
mengandung senyawa 7-methyl juglone sebagai anti rayap (Carter et al. 1978) dalam
Pari dan Sumarni (1990). Begitu pula dengan ekstrak tanin yang mengandung senyawa
polifenol tinggi tahan terhadap serangan rayap dan jamur (Milie 1972) dalam Pari dan
Sumarni (1990). Hasil penelitian Harun (1984) dalam Pari dan Sumarni (1990) yang
mengekstrak kulit kayu Pinus resinosa, Quercus rubra dan Acer rubrum menunjukkan
daya tahan terhadap serangan rayap Reticulitermes flavipes dan menghambat
pertumbuhan jamur Lenzites trabea.
Salah satu sumberdaya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pengawet alami adalah resin damar mata kucing yang diperoleh sebagai eksudat dari
pohon S. javanica K. et V. Resin ini dapat dikembangkan sebagai bahan baku pengawet
alami, karena diduga memiliki aktivitas insektisida yang efektif. Hal ini dipertegas oleh
beberapa hasil penelitian yang membuktikan bahwa resin yang berasal dari tumbuhan
famili Dipterocarpaceae menunjukkan aktivitas anti rayap yang tinggi. Resin dari
Dipterocarpus kerii, D. retusus, D. intricatus, D. haseltii dan D. grandiflorius diketahui
mengandung senyawa bioaktif yang bersifat anti rayap Neutermes spp. dan anti-jamur
Cladosporium cucumerinum seperti humelene, caryophyllene, caryophylene oxide, α-
gurjunene, alloaromadendrene dan calarene (Messer et al. 1990 dan Richardson et al.
1989) dalam Sari et al. (2004) . Setiawati et al. (2001) dalam Sari et al. (2004) juga
melaporkan bahwa ekstrak kloroform dan ekstrak petroleum eter dari damar mata
kucing memiliki sifat anti rayap yang cukup tinggi. Dari fraksi n-heksana diperoleh
senyawa tunggal yang identik dengan senyawa friedelin, sedangkan dari fraksi dietil eter
diperoleh 4 senyawa yang diduga masing-masing adalah vulgarol B; 3,4- Secodamar-
4(28)-en-3-oic acid; (7R,10S)-2,6,10- Trimethyl-7,10–epoxy-2,11dode- cadien; dan
junipene (Sari et al. 2004).
Ekstrak dari tumbuh-tumbuhan, seperti dari kayu, kulit, daun, bunga, buah atau
biji, diyakini berpotensi mencegah pertumbuhan jamur ataupun menolak kehadiran
serangga perusak. Beberapa contoh misalnya nikotin dari daun tembakau, rotenoid
dengan bahan aktif rotenon dari banyak spesies dari genus Tephrosia, Derris,
Lonchocarpus, Miletia dan Mundilea, kemudian ekstrak dari biji Schoenocaulon
officinale. Veratrine dari biji S. drummondii dan S. texanum adalah bahan-bahan
beracun dari grup alkaloid. Ryania dari akar dan batang Ryania speciosa familia
Flacourtiaceae, dengan bahan aktif alkaloid ryanodine, merupakan racun perut dan
kontak bagi serangga, sifatnya lebih stabil daripada rotenon dan veratrin (Sari dan
Hadikusumo 2004).
Rayap Tanah
Dalam koloni setiap jenis rayap, terdapat beberapa kasta individu yang wujudnya
berbeda, yaitu:
1. Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (yang
abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja)
yang tugasnya membuahi betina.
2. Kasta prajurit . Kasta ini ditandai dengan bentuk tubuh yang kekar karena
penebalan (sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka
tugasnya mempertahankan kelangsungan hidup koloninya.
3. Kasta pekerja. Kasta ini membentuk sebagian besar koloni rayap, dan tidak kurang
dari 80 persen populasi dalam koloni merupakan individu-individu pekerja.
Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa rayap adalah serangga yang berbadan
kecil, bertubuh lunak dan hidup dalam suatu koloni (berkelompok), sehingga disebut
serangga sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Dalam setiap koloni
terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja,
kasta prajurit dan kasta reproduktif (reproduksi primer dan reproduksi suplementer).
Nandika et al. (2003) menambahkan bahwa dalam hidupnya rayap mempunyai
beberapa sifat yang penting untuk diketahui yaitu :
1. Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan
pertukaran makanan
2. Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada
rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) di mana mereka selama periode yang
lebih pendek dalam hidupnya memerlukan cahaya
3. Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya
4. Canibalism, yaitu sifat rayap memangsa sesamanya, terutama yang lemah dan sakit
5. Polimorfisme, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda antara kasta pekerja, prajurit
dan reproduktif.
Melihat sifat-sifat rayap tersebut di atas, maka pada pengujian aktivitas anti rayap
yang digunakan adalah rayap dari kasta pekerja dan kasta prajurit yang sehat. Apabila
selama percobaan didapati rayap yang mati, bangkai rayap segera dibuang mengingat
rayap memiliki sifat kanibalisme dan necrophagy yang memakan individu sejenis yang
lemah, sakit atau mati dan juga rayap yang mati akan diserang jamur dan menularkan
penyakit kepada rayap lainnya. Ditambahkan oleh Nandika et al. (2003) bahwa C.
curvignathus Holmgren memiliki daya serang yang paling tinggi dibandingkan dengan
rayap lainnya sehingga dalam penelitian ini digunakan jenis C. curvignathus Holmgren.
Hal tersebut disebabkan karena C. curvignathus memiliki kelimpahan populasi flagelata
yang tinggi. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna
selulosa yang tinggi sehubungan dengan tingginya populasi flagelatanya dengan rata-
rata 4682 ekor flagelata / rayap (Nandika dan Adijuwana 1995).
Manggis
Manggis merupakan pohon tropika yang hijau sepanjang tahun dan dipercaya
sebagai tumbuhan asli dari daerah Sunda dan Maluku. Manggis terdapat juga di
Kemaman Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, India, Filipina,
Queensland (jarang), Ekuador, Inggris. Departemen Pertanian Amerika Serikat
menerima biji manggis dari Jawa tahun 1906 (Morton 1987). Klasifikasi ilmiah manggis
sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliofita
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malpigiales
Famili : Clusiaceae/Guttiferae
Genus : Garcinia
Spesies : Garcinia mangostana L.
Deskripsi
Kayu
Di Thailand, semua pohon yang tidak dilurus akan ditebang, sehingga kayu yang
tersedia biasanya dalam dimensi kecil. Warna kayunya coklat gelap, keras, umumnya
tenggelam dalam air, dan memiliki keawetan sedang. Kayu manggis banyak dibuat
sebagai gagang tombak/lembing, penumbuk padi, dan digunakan dalam konstruksi dan
pembuatan lemari.
Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan dari bulan Januari 2008 - Juni 2008
bertempat di Bagian Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,
Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor
dan Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong
Tangerang.
Bahan
Kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian teras kayu manggis
(Garcinia mangostana L.) yang berumur ± 17 tahun dengan diameter 35 cm dan
diperoleh dari daerah Leuwiliang Bogor.
Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi dan fraksinasi adalah aseton, n-
heksan, etil eter, dan etil asetat. Bahan lain yang digunakan seperti pasir, air destilata,
dan alkohol 70%. Bahan untuk kromatografi lapis tipis (KLT) adalah lempeng silika gel
GF254 (produk E. Merck 05554), metanol, kloroform, aseton, n-heksan, etil eter, etil
asetat dan etanol. Untuk kromatografi kolom digunakan silika gel 60 F254 (produk E.
Merck 1.07734), glass wool, n-heksan dan etil asetat. Untuk pengujian sifat bioaktif
terhadap rayap digunakan kertas selulosa dan rayap tanah Coptotermes curvignathus
Holmgren.
Alat
Peralatan yang digunakan adalah Willey mill (untuk membuat serbuk), saringan
ukuran 40 dan 60 mesh, vacuum rotary evaporator, alat timbang, oven (suhu 103±20C
dan 40-600C), perangkat ekstraksi, aluminium foil , autoclave, dan peralatan gelas
(erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, cawan petri, funnel separator, pipet kaca, dan lain-
lain). Untuk identifikasi komponen bioaktif digunakan Coloumn Cromatography (CC),
Liquid Cromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) dan Nuclear Magnetic Resonance
(NMR) JNM ECA 500.
Metode Penelitian
Untuk mendapatkan ekstraktif dari kayu manggis yang akan diteliti maka diambil
2000 gram serbuk kayu teras dengan ukuran 40 - 60 mesh, lalu dimasukkan ke dalam
stoples dan direndam dengan pelarut aseton dengan perbandingan tinggi serbuk dan
pelarut 1 : 3. Larutan ini harus dikocok sesering mungkin dan setelah 48 jam larutan
tersebut disaring dengan kertas saring. Perlakuan ini dilakukan hingga diperoleh larutan
yang jernih sehingga dianggap semua ekstraktif sudah diperoleh. Selanjutnya larutan
ekstrak disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.
Ekstrak Aseton
Fraksinasi Bertingkat
Dari 990 ml larutan ekstrak aseton yang tersisa, diambil sebanyak 500 ml dan
dievaporasikan hingga diperoleh volume sebanyak 100 ml. Larutan ekstrak aseton
yang telah kental tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam funnel separator, kemudian
ditambahkan pelarut n-heksan sebanyak 75 ml. Campuran ini selanjutnya dikocok dan
dibiarkan sampai terjadi pemisahan antara pelarut aseton dengan n-heksan. Setelah
terjadi pemisahan, selanjutnya fraksi terlarut n-heksan dipisahkan dari residu. Fraksi n-
heksan yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas dan ditutup rapat.
Fraksinasi ini dilakukan sampai larutan jernih.
Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan yang tertinggal dalam funnel separator
selanjutnya ditambahkan lagi dengan pelarut etil eter sebanyak 75 ml. Selanjutnya
dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan seperti halnya fraksinasi dengan n-
heksan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil eter dipisahkan dan disimpan
pada gelas yang tertutup rapat. Fraksinasi ini juga dilakukan sampai larutan jernih.
Tahapan terakhir dari fraksinasi bertingkat ini adalah dengan menggunakan pelarut etil
asetat. Residu hasil fraksinasi dengan pelarut etil eter selanjutnya difraksinasi dengan
pelarut etil asetat sebanyak 75 ml. Fraksinasi ini dilakukan sama seperti fraksinasi
dengan tiga pelarut sebelumnya.
Secara skematis fraksinasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :
Ekstraksi Aseton
Ekstrak Aseton*
Fraksinasi n-heksan
b
Keterangan : * Uji anti rayap (Syafii 2000 ).
Pengujian sifat anti rayap ekstrak aseton dan masing-masing fraksinya dilakukan
dengan menggunakan metode anti feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh
Ohmura et al. (1997) yang diacu dalam Syafii (2000a) dengan beberapa modifikasi.
Rayap yang digunakan dalam pengujian ini adalah C. curvignathus. Pada pengujian ini,
semua jenis zat ekstraktif dilarutkan dalam pelarut aseton. Zat ekstraktif tersebut
kemudian diteteskan sebanyak 0,2 ml pada contoh uji kertas masing-masing dengan
konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10% (b/b). Sebagai kontrol digunakan contoh uji yang tidak
diberi perlakuan zat ekstraktif, tetapi hanya diberi perlakuan pelarut aseton (perlakuan
dengan konsentrasi 0%) dan contoh uji tanpa perlakuan apapun. Setelah contoh uji
tersebut dikering-udarakan untuk menghilangkan pelarut aseton, lalu dimasukkan ke
dalam gelas uji. Ke dalam gelas uji tersebut selanjutnya dimasukkan 50 ekor rayap
sehat dan aktif yang terdiri atas 45 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit. Rayap
pekerja berfungsi untuk mendegradasi contoh uji, sedangkan rayap prajurit untuk
menstabilkan koloni rayap dalam gelas uji tersebut. Gelas uji lalu ditutup dengan kain
hitam. Selanjutnya diletakkan di atas bak plastik yang terisi air untuk mengatur
kelembaban dalam gelas uji. Secara skematis pengujian anti rayap ini dapat dilihat
pada Gambar 2. Pengumpanan ini dilakukan selama 4 minggu. Mortalitas rayap dan
laju konsumsi (dinyatakan dalam bentuk kehilangan berat contoh uji) dihitung pada akhir
pengamatan.
Penentuan persentase kematian rayap dilakukan pada minggu keempat dengan
menggunakan rumus :
Ki = Mi x 100 %
50
Di mana :
Ki : Persen kematian rayap pada contoh uji ke-i (%)
Mi : Jumlah mortalitas rayap pada contoh uji ke-i
Dimana :
A : Persentase penurunan berat (%)
B0 : Berat contoh uji sebelum pengumpanan (gram)
B1 : Berat contoh uji setelah pengumpanan (gram)
Kertas uji
Plastik alas kertas uji
* *
Pasir
Rayap tanah
* * * *
kategori tingkat aktivitas zat ekstraktif sebagaimana tercantum pada Tabel 1 berikut :
Dimana :
A : Nilai penghambat aktivitas makan kertas uji berekstrak (%)
KK : Kehilangan berat kertas uji kontrol (g)
EE : Kehilangan berat kertas uji berekstrak (g)
Fraksi yang diuji lebih lanjut adalah fraksi etil asetat karena fraksi ini
memperlihatkan sifat antirayap yang paling tinggi dibandingkan dengan fraksi-fraksi
lainnya. Fraksi ini kemudian dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan mempergunakan
kromatografi kolom.
Kolom yang dipergunakan berukuran panjang 60 cm dengan diameter 3 cm, silika
gel berukuran 270 mesh sebanyak 150 gram yang akan berfungsi sebagai fase diam.
Sebelum digunakan, silika gel dicampur dengan pelarut etil asetat kemudian diaduk
selama ± 10 menit, setelah itu larutan tersebut dibiarkan selama 24 jam agar terbentuk
larutan yang homogen dan udara yang terdapat dalam larutan dapat keluar semua.
Pengoperasian kromatografi kolom dimulai dengan pemasangan kolom yang telah
bersih pada statif secara tegak lurus. Bagian dasar kolom diisi dengan glass wool dan
ditekan-tekan sampai padat dan diisi dengan sepertiga pelarut yang akan digunakan.
Setelah itu silika gel yang telah disuspensikan dengan eluen kemudian dimasukkan ke
dalam kolom sedikit demi sedikit agar lapisannya seragam hingga mencapai tinggi
sepertiga kolom. Eluen dibiarkan mengalir sehingga silika gel di dalam kolom menjadi
padat dan permukaannya rata. Untuk meningkatkan kepadatan dan penyebaran silika
di dalam kolom agar menjadi lebih rata , kolom digetarkan selama beberapa saat.
Ekstrak yang akan dimasukkan dalam kolom terlebih dahulu dilarutkan dalam
aseton kemudian dimasukkan dengan cara diteteskan ke sekeliling kolom dengan pipet.
Eluen dibiarkan mengalir ke dalam kolom dan masing-masing fraksi yang diperoleh
ditampung dalam tabung reaksi sebanyak 6 ml. Pada fraksi yang diperoleh kemudian
dilakukan pengecekan bercak dengan KLT dan jika tidak terdapat bercak, maka eluen
dilanjutkan dengan komposisi yang lebih polar. Untuk bercak yang tidak tampak dengan
mata biasa dicek dengan menggunakan sinar UV (merk Heraeus 254 nm). Fraksi yang
mempunyai bercak kromatogram yang sama digabung menjadi satu. Apabila telah
memperoleh bercak tunggal dan terbentuk kristal, berarti telah memperoleh senyawa
tunggal.
Ekstraksi dengan pelarut aseton terhadap 2.000 g serbuk kayu teras manggis
dengan kadar air 8,56% menghasilkan ekstrak aseton sebesar 36 g atau 1,95%
berdasarkan berat kering oven kayu. Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara
bertingkat menggunakan metode ekstraksi pelarut-pelarut yang tidak bercampur
(solvent-solvent extraction) berturut-turut dengan n-heksan, etil eter, dan etil asetat.
Adapun hasil fraksinasinya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :
Tabel 3 Kadar Zat Ekstraktif Hasil Fraksinasi Terhadap Ekstrak Aseton Kayu Manggis
Dari tabel di atas terlihat bahwa residu mempunyai nilai yang paling besar
(1,00%) dibandingkan dengan fraksi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masih
banyak jenis senyawa yang tidak dapat larut dalam pelarut yang digunakan. Namun
demikian, jumlah fraksi etil eter juga mempunyai nilai yang cukup besar (0,58%)
dibandingkan dengan fraksi n-heksan (0,18%) dan etil asetat (0,19%) yang berarti
bahwa senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak aseton kayu manggis cenderung
bersifat semi polar.
Selain jumlah, kondisi fisik ekstrak aseton kayu manggis dan fraksi-fraksinya
juga memiliki warna yang berbeda-beda (Gambar 5). Hal ini kemungkinan disebabkan
oleh jenis senyawa yang larut dalam masing-masing fraksi tersebut. Hasil fraksinasi
dengan n-heksan menghasilkan fraksi yang berwarna kuning muda dan pada saat
dikeringkan (suhu 40-60oC), fraksi n-heksan sulit kering dibandingkan dengan fraksi
lainnya. Hal tersebut diduga disebabkan karena fraksi n-heksan mengandung minyak-
minyak (fixed oils), sebagaimana yang dikemukakan oleh Houghton dan Raman (1998)
bahwa n-heksan dapat melarutkan fixed oils dan volatile oils. Adapun larutan fraksi etil
eter berwarna coklat pekat dan fraksi etil asetat larutannya berwarna merah bata.
Jika dibandingkan dengan kandungan ekstrak aseton kayu sonokeling (Dalbergia
latifolia Roxb.), kayu torem (Manilkara kanoensis Lam.), dan kayu damar laut (Hopea
spp.) yang kandungan ekstrak asetonnya masing-masing sebesar 8,23%, 6,05%, 4,53%
kandungan ekstrak aseton kayu manggis lebih rendah, namun lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kayu eboni (Diospyros polisanthera Blanco.) yang kandungan
ekstrak asetonnya hanya 1,15% (Syafii 2001). Tsoumis (1991) mengemukakan bahwa
kandungan zat ekstraktif sangat bervariasi mulai kurang dari 1% sampai lebih dari 10%
(berat kering oven) tergantung jenis kayu, terutama antara kayu gubal dan kayu teras.
Variasi kadar zat ekstraktif yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang
terdapat dalam contoh uji dan kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang
digunakan. Achmadi (1990) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa yang dapat larut di
dalam etil eter adalah senyawa dari kelompok asam lemak (lemak, lilin, resin, asam
resin, dan sterol). Sedangkan Houghton & Raman (1998) menyatakan bahwa fraksi
n-heksan mengandung senyawa jenis lemak, lilin, fixed oils dan volatile oils. Senyawa
yang dapat larut dalam fraksi etil asetat adalah kelompok alkaloid, aglikon, dan
glikosida.
Zat ekstraktif dikatakan aktif terhadap serangga (anti rayap) apabila memiliki nilai
mortalitas (kematian) dan penghambat makan (antifeedant) yang tinggi. Parameter
yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap zat ekstraktif kayu manggis ini adalah
mortalitas rayap C. curvignathus Holmgren dan kehilangan berat kertas uji selulosa.
Indikator yang digunakan untuk melihat aktivitas anti rayap dari zat ekstraktif
adalah mortalitas rayap C. curvignathus Holmgren. Nilai mortalitas yang tinggi
menunjukkan ekstrak memiliki aktivitas anti rayap yang tinggi. Persentase nilai rataan
mortalitas rayap ini disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4 Mortalitas Rata-Rata Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren Setelah
Diumpankan Selama 4 Minggu
Tampak adanya pengaruh yang berbeda dari setiap jenis fraksi (n-heksan, etil
eter, etil asetat, dan residu) dan tingkat konsentrasi yang digunakan terhadap nilai
mortalitas rayap. Hal ini disebabkan oleh jenis dan taraf konsentrasi zat ekstraktif yang
berbeda pada masing-masing ekstrak. Fraksi-fraksi tersebut memperlihatkan nilai
mortalitas yang sangat tinggi (100%), kecuali residu. Tingginya nilai mortalitas rayap
tersebut diduga disebabkan oleh karena adanya efek termitisida dari senyawa-senyawa
fenolik yang terlarut dalam pelarut etil asetat dan etil eter. Pelarut-pelarut semipolar ini
merupakan pelarut yang efektif untuk mendapatkan senyawa kimia golongan hidrofilik
seperti fenolik dan terpenoid.
Fraksi n-heksan kayu lara juga menunjukkan daya racun yang tinggi terhadap
rayap karena mengandung senyawa asam p-hidroksibenzoat, asam vanilat, dan asam
siringal (Syafii 2001). Sementara Syafii (2003) menyebutkan bahwa senyawa kimia yang
dapat diidentifikasi dari fraksi n-heksan kayu sawo kecik (Manilkara kauki Dubard.) dan
kayu tanjung (Mimusops elengi Linn.) menggunakan kromatrografi gas spektromassa
(GC-MS) adalah asam oleat, tetradekana, tridekana, heptadekana 2 metil, dan
isoborneol, sedangkan komponen utama pada fraksi n-heksan kayu damar laut antara
lain 1-heptadekana, 3-oktadekana, 2-naptalenol, dibutil ptalat, asam heksadekanoat,
tarasasterol, dan 9-eikosena (Syafii 2000c).
Hasil pengumpanan dengan fraksi residu menunjukkan nilai mortalitas rayap
yang rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai mortalitasnya dimana setelah 2
minggu pengumpanan, mortalitas fraksi-fraksi lain umumnya sudah mencapai 100%
sementara residu justru menunjukkan kecenderungan penurunan nilai mortalitas dengan
peningkatan kadar ekstrak. Hal ini terjadi diduga karena dalam residu terkandung
senyawa-senyawa yang kemungkinan menjadi tambahan makanan bagi rayap sehingga
membuat mereka lebih survive dalam pengujian, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kartal et al. (2004) bahwa filtrat kayu sugi dan Acacia mangium tidak tahan terhadap
serangan rayap diduga karena dalam filtrat tersebut terkandung vanilin yang
kemungkinan menjadi tambahan makanan yang menarik bagi rayap.
Fraksi teraktif setiap jenis kayu berbeda-beda tergantung jenis zat ekstraktif yang
dikandungnya. Penelitian Syafii (2001) memperlihatkan fraksi teraktif ekstrak aseton
kayu sonokeling adalah fraksi n-heksan diikuti fraksi etil eter, sedangkan fraksi teraktif
kayu torem dan kayu lara adalah fraksi residu. Pada kulit jati (Tectona grandis L.f.),
fraksi n-heksan menunjukkan sifat anti rayap tertinggi (Sari & Syafii 2001).
Sementara itu, tingginya nilai mortalitas kontrol (kontrol 1 : 72,67% dan kontrol 2
: 76,67%) diduga disebabkan oleh karena rayap mengalami stress karena tidak dapat
beradaptasi dengan suasana di dalam botol uji dan tidak ada pilihan makanan lain
selain kertas uji.
Jika dibandingkan dengan mortalitas kontrol, nilai mortalitas setiap minggu dari
fraksi-fraksi jauh lebih tinggi, kecuali residu. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian
Syafii (2001) yang memperlihatkan fraksi etil asetat ekstrak aseton kayu eboni dan kayu
sonokeling kurang aktif terhadap rayap C. curvignathus Holmgren. Dengan metode
kromatrografi lapis tipis dan kromatrografi gas spektromassa (GC-MS) diketahui
kandungan komponen utama pada fraksi etil asetat kayu damar laut yaitu asam
oktadekanoat, asam-9-oktadekanoat, 1,2-benzaldikarboksilat diiso etil ester, dan asam
eikosadienoat metil ester (Syafii 2000c).
Gambar 6 memperlihatkan bahwa semua jenis ekstrak yang diuji menunjukkan
kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan
ke dalam contoh uji menghasilkan nilai mortalitas rayap yang semakin besar.
120.00
Mortalitas Rayap
100.00
Tanah (%)
80.00
60.00
40.00
20.00
0.00
0% 2% 4% 6% 8% 10%
Gambar 6. Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Aseton Kayu Manggis dan Fraksi-
Fraksinya dengan Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren
Berdasarkan klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak (Prijono 1998), fraksi
n-heksan dengan konsentrasi 2% tergolong cukup kuat (72,67%), tetapi pada
konsentrasi 4-10% nilai mortalitasnya 100% yang tergolong sangat kuat. Lain halnya
dengan fraksi etil eter, ,etil asetat dan ekstrak kasar aseton pada semua tingkat
konsentrasi memiliki tingkat aktivitas yang tergolong sangat kuat karena mortalitasnya
setelah empat minggu pengumpanan adalah 100%, sedangkan residu pada konsentrasi
2-6% tergolong cukup kuat tetapi pada konsentrasi 8-10% tergolong sedang.
Kehilangan Berat
Jenis Fraksi Konsentrasi (%) Kehilangan Berat (%) Rata-Rata
(%)
Kontrol 1 0 48,89
Kontrol 2 0 51,97
Aseton 2 24,41
4 19,44
6 2,22
8 3,42
10 2,50 10,40
n-Heksan 2 41,78
4 17,59
6 6,67
8 8,55
10 4,94 15,91
Etil Eter 2 20,19
4 6,57
6 1,33
8 5,98
10 3,29 7,47
Etil Asetat 2 32,39
4 2,72
6 1,75
8 3,38
10 1,65 8,38
Residu 2 50,24
4 50,63
6 55,70
8 52,74
10 55,56 52,97
Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi bergantung pada jenis fraksi dan
konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji, yaitu berkisar 1,33% sampai
55,70%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang
diberikan pada kertas uji, maka kehilangan berat kertas uji tersebut umumnya juga
semakin kecil (Gambar 7), kecuali pada fraksi residu. Hal ini terjadi karena tingginya
mortalitas rayap yang terjadi dimana nilai kehilangan berat ini berbanding terbalik
dengan nilai mortalitas rayap yang berarti bahwa semakin tinggi mortalitas rayap maka
kehilangan berat kertas akan semakin kecil.
KEHILANGAN BERAT KERTAS UJI SETELAH DIUMPANKAN
TERHADAP RAYAP TANAH
60.000
Kehilangan Berat (%)
50.000 0%
40.000 2%
4%
30.000
6%
20.000 8%
10.000 10%
0.000
Kontrol 1 Kontrol 2 Aseton N-Hexan Etil Eter Etil Asetat Residu
Jenis Fraksi
Di antara fraksi-fraksi yang diuji, fraksi etil asetat dan fraksi etil eter menunjukkan
nilai kehilangan berat kertas yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi n-heksan
dan residu. Hal ini ditunjukkan oleh data kehilangan berat yang rendah dari fraksi etil
eter (1,33% - 20,19%), demikian juga dengan fraksi etil asetat kehilangan berat kertas
ujinya berkisar antara 1,65% - 32,39%, fraksi n-heksan 4,94% - 41,78 dan fraksi residu
menunjukkan kehilangan berat kertas uji terbesar (50,24% - 55,70%) yang bahkan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kehilangan berat kertas uji kontrol 1 (48,89%) dan
kontrol 2 (51,97%). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa nilai kehilangan berat
kertas ini berbanding terbalik dengan nilai mortalitas, maka pada residu kehilangan
beratnya menjadi tinggi karena nilai mortalitas rayap pada residu ini cukup rendah.
Berdasarkan pengujian bioassay yang mengukur kehilangan berat kertas uji,
fraksi teraktif dalam ekstrak aseton dari hasil penelitian ini berbeda dengan fraksi teraktif
dalam ekstrak aseton dari jenis kayu yang berbeda. Fraksi dalam ekstrak aseton kayu
manggis yang memiliki nilai kehilangan berat terendah adalah etil eter disusul kemudian
oleh fraksi etil asetat, sedangkan kehilangan berat kertas uji terendah pada kayu lara
misalnya, adalah fraksi residu (Syafii 2001). Namun demikian untuk menentukan fraksi
teraktif dalam ekstrak aseton kayu manggis bukan hanya melihat nilai kehilangan berat
kertas tetapi juga melihat nilai mortalitas rayap yang terjadi. Berdasarkan nilai
mortalitas, pada konsentrasi 4% di minggu kedua pada fraksi etil asetat sudah
menunjukkan nilai 100% sementara pada konsentrasi yang sama dan waktu yang sama,
nilai mortalitas fraksi etil eter baru 77,33%, sehingga disimpulkan bahwa fraksi teraktif
dalam ekstrak aseton kayu manggis adalah fraksi etil asetat.
KONTROL
2% 4% 6% 8% 10%
%
ASETON
n-HEKSAN
ETIL ETER
ETIL ASETAT
RESIDU
Gambar 8. Kondisi Kertas Uji pada Beberapa Taraf Konsentrasi Setelah Diumpankan
pada Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren.
Penghambatan Penghambatan
Jenis Fraksi Konsentrasi (%) Makan (%) Makan Rata-Rata
(%)
Aseton 2 33,39
4 43,09
6 91,31
8 86,93
10 90,27 69,00
n-Heksan 2 7,84
4 47,07
6 76,00
8 70,24
10 81,65 56,56
Etil Eter 2 41,55
4 76,30
6 94,69
8 78,19
10 87,38
Etil Asetat 2 20,29 75,62
4 89,48
6 93,07
8 87,08
10 93,49
Residu 2 -1,36 76,68
4 -1,75
6 -6,51
8 -3,79
10 -6,38
-3,96
Tabel di atas menunjukkan bahwa ekstrak aseton kayu manggis dan fraksi-
fraksinya memiliki nilai penghambat makan (antifeedant) yang berbeda. Fraksi etil asetat
memperlihatkan nilai penghambat makan yang tertinggi, diikuti fraksi etil eter, aseton
dan n-heksan serta yang paling rendah adalah residu. Sesuai dengan klasifikasi tingkat
penghambat makan, maka fraksi etil asetat dan fraksi etil eter tergolong sangat kuat
(76,68% dan 75,62%), diikuti ekstrak aseton dan fraksi n-heksan yang tergolong kuat
(69,00% dan 56,56%), sementara residu tergolong lemah (-3,96%).
Isolasi dan Pemurnian Fraksi Teraktif
Isolasi dan pemurnian dilakukan terhadap fraksi yang memiliki aktivitas anti rayap
yang tinggi yaitu fraksi etil asetat. Untuk mencari eluen yang mampu menghasilkan
pemisahan terbaik dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Dari
KLT diperoleh bahwa hasil pemisahan terbaik adalah kromatogram dengan komposisi
pengembang n-heksan - etil asetat 1 : 1. Ketika pemisahan dilakukan dengan
menggunakan fase gerak pelarut n-heksan – etil asetat 1 : 1 diperoleh fraksi dengan
bercak kromatogram tunggal pada botol 205 – 230 dengan Rf 0,32. Fraksi ini
dinamakan fraksi lanjutan EA7.
Penentuan struktur senyawa murni yang terdapat dalam fraksi EA7 dilakukan
dengan menggunakan spektrometri resonansi magnetik inti untuk hidrogen (H-NMR)
serta resonansi magnetik inti karbon (C-NMR) dan LC-MS untuk mengetahui bobot
molekul senyawa.
1
Hasil spektrometri H-NMR menunjukkan adanya pergeseran pada puncak-
puncak 6,0505 – 8,4559 ppm sebagai pergeseran proton dari gugus aromatik (Ar-H)
sebanyak sembilan puncak yaitu pada pergeseran 6,0505 (triplet), 6,0554 (triplet),
6,0591 (triplet), 6,4868 (triplet), 6,4905 (triplet), 6,4954 (triplet), 6,5687 (doublet), 6,5736
(doublet), dan 8,4559 (singlet). Dari perhitungan nilai coupling constants (J)
menunjukkan posisi atom H berada pada posisi meta yang ditunjukkan oleh nilai
coupling constants (J) sebesar 2,45. Menurut Silverstein dan Webster (1998) nilai
J = 0 -1 (para), J = 1 – 3 (meta), J = 6 – 10 (orto).
13
Spektrometri C-NMR menunjukkan kemungkinan jumlah atom karbon
sebanyak 14 buah yang tampak pada pergeseran 14,4116 – 164,3828 ppm. Dari
spektrometri NMR diperoleh beberapa senyawa dalam fraksi EA7 yaitu 1,2,5-
Tryhydroxyxanthone; 1,4,5-Tryhydroxyxanthone; 1,5,6-Tryhydroxyxanthone; 1,6,7-
Tryhydroxyxanthone; 1,3,5,7-Tetrahydroxyxanthone; 1,3,6,7-Tetrahydroxyxanthone; 2-
Me eter 3’,4,4’,6 - Tetrahydroxybenzophenone; Garcinisidone E, dan Fuscaxanthone G.
Namun spektrometri LC-MS yang dilakukan menunjukkan adanya senyawa
dengan berat molekul 277 yang mendekati berat molekul 2-Me eter 3’,4,4’,6-
Tetrahydroxybenzophenone (276,245) sehingga diduga senyawa dalam fraksi EA7
adalah 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6) yang termasuk
golongan fenolik.
Adapun struktur molekul dari senyawa 2-Me eter 3’,4,4’,6-
Tetrahydroxybenzophenone, seperti terlihat pada gambar berikut ini:
OH
CH3
O
OH
OH
O
OH
Selain itu, Peres et al. (2000) serta Bennett dan Lee (1989) dalam Lannang et al.
(2005) mengemukakan bahwa genus Garcinia terkenal kaya akan turunan berbagai
fenol terprenilasi dan fenol teroksigenasi. Beberapa di antaranya memperlihatkan
penghambatan terhadap aktifitas biologis misalnya sebagai sitotoksik, anti jamur, anti
mikroba, anti oksidan, anti inflamasi dan anti HIV (Hiroyuki et al. 1996; Nkengfack et al.
2002; Hay et al. 2004; Merza et al. 2004) dalam Lannang et al. (2005). Wenkert et al.
(1978) menemukan senyawa three pentacyclic triterpenoids dan lupeol serta oleanolic
acid (Ampofo and Waterman 1986) dan friedelin (LeFevre et al. 2001) dalam Lannang et
al. (2005).
Chen et al. (2004) melaporkan bahwa zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese
larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktivitas
makan rayap tanah Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam
bio-assay test. Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid
dalam jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktivitas makan rayap
tanah. Dengan demikian hal ini memperkuat dugaan bahwa senyawa 2-Me eter
3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6) yang tergolong fenolik yang
kemungkinan telah menghambat aktivitas makan rayap C. curvignathus Holmgren.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Kayu manggis mengandung ekstrak yang larut dalam aseton sebanyak 1,95%.
Ekstrak aseton tersebut mengandung fraksi n-heksan 3,4 g (0,18%), etil eter 10,7 g
(0,58%), etil asetat 3,44 g (0,19%) dan residu 18,46 g (1,00%)
2. Meningkatnya penambahan konsentrasi ekstrak menyebabkan mortalitas rayap juga
cenderung meningkat seiring dengan menurunnya persentase kehilangan berat
kertas uji.
3. Dari nilai mortalitas dan kehilangan berat kertas uji pada akhir pengumpanan serta
nilai penghambatan aktifitas makan (antifeedant), fraksi teraktif adalah fraksi etil
asetat, diikuti fraksi etil eter, n-heksan, ekstrak aseton dan residu.
4. Hasil isolasi terhadap fraksi etil asetat diperoleh fraksi lanjutan sebanyak 13 fraksi
dan pada fraksi yang ketujuh (EA7) diperoleh single spot (bercak kromatogram
tunggal) dan identifikasi yang dilakukan menggunakan spektrometri NMR diperoleh
senyawa yang diduga adalah 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone
(C14H12O6) yang termasuk golongan fenolik.
Saran
Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut
Pertanian Bogor.
Bodig J, Jayne BA. 1992. Mechanics of Wood and Wood Composites. Malabar,
Florida. Krieger.
Chang ST, Cheng SS. 2002. Antitermitic activity of leaf essential oils and components
from Cinnamomum osmophleum. J Agric Food Chem 50: 1389-1392.
Eaton RA, Hale MDC. 1993. Wood: Decay, Pests, and Protection. London: Chapman
and Hall.
Falah S. 2001. Analisis bioaktivitas zat ekstraktif kayu torem (Manilkara kanosiensis
Lam.) dan kayu lara (Metrosideros petiolata Kds.) terhadap organisme perusak
kayu [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lannang AM, Komguem J, Ngninzeko FN, Tangmouo JG, Lontsi D, Ajaz A, Choudary
MI, Ranjit R, Devkota KP, Sondengam BL. 2005. Bangangxanthone A and B,
two xanthones from the stem bark of Garcinia polyantha Oliv. Phytochem. 66
(2005) 2351-2355.
Morton, JF. 1987. Mangosteen, In: Fruits of warm climates. Miami. p. 301–304.
http://en.wikipedia.org/wiki/Mangosteen (16 Januari 2008)
Nilar, Nguyen LHD, Venkatraman G, Sim KY, Harrison LJ. 2005. Xanthones and
Benzophenones from Garcinia griffithii and Garcinia mangostana. Phytochemistry
66 (2005) 1718-1723.
Pandit IKN, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu : Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan
Baku. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Pari G, Sumarni G. 1990. Sifat ekstrak kulit Acacia decurens sebagai insektisida. Jurnal
Penelitian Hasil Hutan 8(1):17-19.
Park IK, SC Shin. 2005. Fumigant activity of plant essential oils and components from
garlic (Allium sativum) and clove bud (Eugenia caryophyllata) oils against the
Japanese Termite (Reticulitermes speratus Kolbe). J Agric Food Chem 53: 4388-
4392.
Peters BC, Fitzgerald CJ. 2004. Field exposure of Pinus heartwoods to subterranean
termite damage (Isoptera : Rhinotermitidae, Mastotermitidae). Aust For 67(2):75-81.
Sari RK. 2002. Isolasi dan identifikasi Komponen Bioaktif dari damar mata kucing
(Shorea javanica K. et. V) [tesis]. Bogor : Program Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Sari RK, Syafii W, Sofyan K, Hanafi M. 2004. Sifat antirayap resin damar mata kucing
dari Shorea javanica K.et.V. J. Ilmu & Tek, Kayu Tropis 2(1).
Sari RK, Syafii W. 2001. Sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati (Tectona grandis
L.f.). Jurnal THH Fakultas Kehutanan IPB XIV(1).
Sari L dan Hadikusumo SA. 2004. Daya Racun Ekstraktif Kulit Kayu Pucung terhadap
Rayap Kayu Kering Cryptotermes cynocephalus Light. J. Ilmu & Teknologi Kayu
Tropis 2 (1) 2004.
Suparjana TB. 2000. Kajian toksisitas beberapa fraksi ekstraktif kayu sonokembang
(Pterocarpus indicus Wild.) dan nyantoh (Palaquium gutta Baill.) terhadap rayap
tanah dan jamur pelapuk kayu [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Syafii W. 1996. Zat ekstraktif dan pengaruhnya terhadap keawetan alami kayu. Jurnal
THH Fakultas Kehutanan IPB IX(2):29-53.
Syafii W . 2000a. Sifat anti rayap zat ekstraktif beberapa jenis kayu daun lebar tropis.
Bul Kehutanan Fakultas Kehutanan UGM. 42:2-13.
Syafii W. 2000c. Zat ekstraktif kayu damar laut (Hopea spp.) dan pengaruhnya terhadap
rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Jurnal Teknologi Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan IPB XIII (2) : 1-8.
Syafii W. 2001. Eksplorasi dan identifikasi komponen bio-aktif beberapa jenis kayu tropis
dan kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan pengawet alami. Di dalam:
Prosiding Seminar Nasional IV Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI),
Samarinda 6-9 Agustus 2001. Samarinda: Kerjasama MAPEKI dan Fakultas
Kehutanan Universitas Mulawarman, hlm III-43 – III-52.
Syafii W. 2003. Antitermite and antifungal of tanjung (Mimusops elengi Linn) and sawo
kecik (Manilkara kauki Dubard) extractives. Jurnal Teknologi Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan IPB 16 (1) : 29-38.
Tarumingkeng, RC. 2001. Biologi dan Perilaku Rayap. Pusat Studi Ilmu Hayati. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. tumoutou.net/biologi_dan_perilaku_rayap.
(4 Maret 2008)
Zhu BCR., Gregg H, Ying Y, Roger AL. 2003. Toxicity and repellency of Patchouli oil
and Patchouli alcohol against Formosan termites Coptotermes formosanus
Shiraki (Isoptera : Rhinotermitidae). J Agric Food Chem 51: 4585-4588.
LAMPIRAN
HASIL SPEKTROMETRI LC-MS KAYU MANGGIS
60
180.0857
50
40
185.0438
30
20
163.3938 260.9894
10 180.4102 245.0258 320.9691
165.0875 194.0852 219.0498 278.9848 347.0803
0 0
153.0 197.2 241.4 285.6 329.8 374.0
Mass (m/z)