Professional Documents
Culture Documents
Bab Ii PDF
Bab Ii PDF
KAJIAN TEORI
1.
1.1. Kajian Teori Umum
1.1.1. Pengertian Community
Community merupakan sebuah bangunan yang mempunyai fungsi sebagai
tempat berkumpul dari sebuah komunitas, sebagai pusat kegiatan dari sebuah komunitas
tertentu. Beberapa definisi lain mengenai community :
A community is basically people or segmen of society with common or shared
interests
Communities are free to use and create
A community can be defined by their interaction
Community can represent more than locality
Community seems to better capture the current ethos of getting together to do
something meaningful
“ Identifiable, Distinct group “identifiable, distinct group ”
A community can refer to people of a specific physical region or government (the
local community)
1
A store or establishment devoted to a particular subject or hobby, carrying supplies,
materials, tools, and books as well as offering guidance and advice: a garden center;
a nutrition center.
Fungsi dari bangunan Community Centre berkaitan erat dengan latar belakang
dan tujuan dari komunitas yang diwadahi didalamnya. Dapat dikatakan bahwa sebuah
bangunan community centre yang satu dengan lainnya akan berbeda tergantung pada
komunitasnya.
Prinsip
Prinsip-prinsip yang penting dalam pembangunan komunitas antara lain:
(1) Keterpaduan pembangunan aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, dan
pribadi/ spiritual
(2) Mengatasi ketidakberdayaan structural
(3) Menjunjung Hak Asasi Manusia
(4) Keberlanjutan
(5) Pemberdayaan
(6) Kaitan masalah individual dan politik
(7) Kepemilikan oleh komunitas
(8) Kemandirian
3
(9) Ketidaktergantungan pada pihak lain termasuk pemerintah
(10) Keterkaitan jangka pendek dan menengah
(11) Pembangunan yang bersifat organik dan bukan mekanistik
(12) Kecepatan pembangunan ditentukan sendiri oleh masyarakat
(13) Pengalaman pihak luar diadaptasi sesuai kondisi local
(14) Proses sama pentingnya dengan hasil pembangunan, dan
(15) Prinsip lainnya seperti proses tanpa paksaan, partisipatif, inklusif, koperatif, serta
pengambilan keputusan secara demokratis, dialogis dan berdasarkan konsensus.
Gagasan Community Development (Comdev) dapat ditelusuri sejak sekitar tahun 1925.
Ketika itu pernah berhasil dipraktekkan oleh Inggris di beberapa negeri jajahannya
sampai tahun 1948.
Bila ditelusur lebih lanjut ke masa sebelumnya, sebenarnya sejak akhir dekade tahun
1870-an di Amerika Serikat juga telah ada implementasi gagasan senada, yang
mengandalkan strategi penyuluhan pertanian, yang bertumpu pada proses difusi inovasi.
Selanjutnya lebih berkembang sejak Undang-undang Smith Lever diundangkan tahun
1914. Di Uni Soviet, sesuai dengan asas komunisme, menyelenggarakan pembangunan
dengan perencanaan dan pengendalian yang sentralistik, sejak tahun 1920.
Setelah perang Dunia II, disadari betapa parahnya kehancuran akibat menjadi ajang
peperangan. Di negara-negara Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II, dipikirkanlah
bagaimana memulihkan, memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Negara-
negara korban penjajahan dan perang tersebut. Kemudian dikenal Marshall Plan, yang
ketika itu, gagasannya banyak disumbangkan oleh Uni Soviet yang menerapkan
pembangunan dengan nuansa sentralistik.
Di Amerika Serikat dalam pembangunan yang terjadi sejak tahun 1880-an, ketika itu,
kapitalisme industrial berkembang pesat. Daerah urban bahkan maju meninggalkan apa
yang telah dicapai Eropa. Namun, di tengah kelimpahan kesejahteraan di kota tersebut
ternyata terjadi ketidakadilan dalam bentuk kemiskinan dan ketidakmerataan. Pada
tahun 1890 terjadilah gejolak reformasi agraria yang radikal. Gejolak ini memperburuk
suasana dan terjadi krisis usahatani (farm crisis), lalu muncul Country Life Movement,
suatu gerakan kaum Urban yang mengobarkan reformasi sosial, kebudayaan dan moral.
4
Gerakan ini didasari pada keinginan adanya perbaikan kondisi daerah pedesaan di AS.
Pada awal pemerintahan Orde Baru, awal tahun 1970-an, didukung oleh pakar ekonomi
menyusun strategi pembangunan yang dikenal dengan Pembangunan Lima Tahun
(PELITA) dan Pembangunan Jangka Panjang (PJP) 25 tahunan dengan pendekatan
yang bersifat sentralistis.
Pada reformasi pasca 1997, rakyat merasakan kurang terwakili dalam aspirasi
pembangunan. Hal ini sejalan dengan banyaknya masalah yang mendera rakyat.
Dapat dicatat di sini, pelajaran dari berbagai isu-isu berkembang di kalangan para pakar
pembangunan setelah mereka mencermati praktek-praktek pembangunan tersebut, yaitu:
(1) pertumbuhan vs pemerataan, yang mengindikasikan perlunya penggunaan
sumberdaya, baik manusia maupun material yang tersedia dalam masyarakat secara
lebih efektif lagi. Program yang hanya berorientasi meningkatkan keluaran
umumnya berakibat mengalirnya kesejumlah kecil orang dan membiarkan massa
rakyat tertinggal
(2) pembangunan pertanian vs industri, mengingat dunia ketiga masih kekurangan
pangan maka seyogyanya pertanian menjadi prioritas
(3) pembangunan perkotaan vs pedesaan, dimana konsep pertumbuhan ekonomi dengan
urbanisasi dan industrialisasi dinilai merupakan konsep anti-pedesaan, yang
berdampak pada meluasnya kemiskinan di kalangan masyarakat desa yang tenaga
kerjanya tidak tertampung di sektor industri, bahkan ketika terpaksa juga terlempar
dari sektor pertanian
(4) teknologi padat modal vs padat karya, mengindikasikan perlunya pengembangan
teknologi tepat guna yang lebih sesuai dengan kondisi lokal
(5) sentralisasi vs desentralisasi, yang mengindikasikan kecenderungan pentingnya
desentralisasi yang diharapkan dapat lebih efektif mengembangkan partisipasi
masyarakat dan pendekatan-pendekatan yang lebih manusiawi dan dialogis
5
(6) modern vs tradisional, yang mengindikasikan modernisasi yang sesungguhnya
berasal dari tradisi, negara dunia ketiga tidak perlu “westernisasi”, tetapi bertumpu
pada budaya luhur sendiri
(7) perencanaan sosial-ekonomi vs fisik, yang mengindikasikan bahwa perlunya para
perencana memahami apa yang diperlukan oleh masyarakat, bekerja dengan
masyarakat dan bukan bekerja sekedar untuk masyarakat.
6
3. b). Kesejarahan, lokasi peristiwa bersejarah yang penting
4. c). Estetika, memiliki keindahan bentuk, struktur, ataupun ornament
5. d). Superlativitas, tertua,tertinggi,terpanjang
6. e) Kejamakan, karya yang tipikal, mewakili suatu jenis atau ragam bangunan tertentu
7. f). Kualitas pengaruh, keberadaannya akan meningkatkan citra lingkungan sekitar
8.
9. Selain itu,terdapat juga tiga tolak ukur yang ditambahkan oleh James S. Kerr (1983) yaitu:
10. g). Nilai Sosial, untuk bangunan yang bermakna bagi masyarakat banyak
11. h) Nilai Komersial, sehubungan peluangnya dimanfaatkan bagi kegiatan ekonomis
12. i) Nilai ilmiah, berkaitan dengan perannya untuk pendidikan dan pengembangan ilmu
13.
Disamping kesembilan tolok ukur tersebut,terdapat beberapa tambahan yang
dapat menunjukkan kekhasan bangunan, antara lain adalah citra dan penampilan, yang
meliputi tata ruang luar, bentuk, struktur dan konstruksi, interior, serta ornament. Rasa
memiliki dari masyarakat setempat juga dapat ditandai dengan pemberian nama khas
bagi bangunan tersebut.Infill design sendiri merupakan bagian dari tipe pembangunan
fisik dalam konteks kawasan, yaitu infill development, roedevelopment, dan new
development.
Definisi
Secara harfiah, infill design berarti desain yang mengisi, menambahkan,
memasukkan suatu fungsi baru ataupun lama dalam konteks bangunan maupun
kawasan. (Roger Trancik, Finding Lost Space,1986) sehingga dalam pelaksanaannya
dapat diterjemahkan menjadi usaha mengisi sebuah bangunan atau kawasan dengan
desain baru. Kegiatan tersebut merupakan penambahan arsitektur, dimana site lama
diberi tambahan berupa suatu desain yang baru. Definisi lain dari Infill Design adalah
7
pembangunan bangunan-bangunan baru multifungsi yang sesuai dengan kebutuhan
masa kini dengan kepadatan yang tinggi pada lahan ataupun bangunan dikawasan kota
yang padat dan diharapkan dapat menghidupkan kawasan tersebut. (Kwanda,2004).
Latar Belakang
Latar belakang kemunculan infill design dimulai dari munculnya problem
perkuatan kota secara horizontal dan sprawling incremental menuju pinggiran dan desa-
desa. Hal ini mengakibatkan kurangnya densitas pada kota-kota dan memakan lahan-
lahan hijau dipinggiran. Sedangkan di Kota, perluasan ini menyebabkan munculnya ruang-
ruang hilang atau lost space yang tidak digunakan untuk aktivitas positif dan permanen.
Perluasan kota juga menyebabkan bertambahnya beban transportasi dan energy untuk
sirkulasi dari pinggiran kota ke pusat kota, dimana masyarakat bekerja dipusat kota dan
tinggal dipinggiran kota.
Dari sinilah muncul metode infill design dengan tujuan memadatkan ruang-
ruang sisa kota dan memaksimalkan FAR (Floor Area Ratio), beserta metode mix-use
maupun superimposisi berbagai fungsi dan aktivitas kedalam sebuah bangunan yang
terpadu. Infill design seringkali digunakan pula untuk revitalisasi kawasan dengan cara
preservasi bangunan-bangunan bersejarah yang ada, seringkali infill design disebut
sebagai “the architecture of addition” (Byard,1990).
Tujuan
Infill design pada hakekatnya bertujuan untuk memadatkan ruang-ruang kota,
pada kawasan heritage, infill design berkaitan dengan konservasi dan revitalisasi,
memberi nyawa baru pada suatu bangunan/kawasan. Pada skala bangunan, infill design
memberi fungsi baru dan menyatu dengan bangunan sekitarnta terkadang menjadi
sebuah landmark baru ataupun menguatkan landmark yang sudah ada. Dalam
praktiknya, infill design terbagi menjadi beberapa tujuan :
a). Menghubungkan dua atau lebih bangunan
b) Mengisi lahan antara atau sisa (in between space)
c) Melengkapi sebuah bangunan atau kompleks bangunan
d) Meneruskan sebuah bangunan
Aplikasi
Infill design dapat dilakukan dengan cara membuat fungsi baru pada bangunan
lama tanpa merubah kondisi bangunan dan site, pengurangan maupun penambahan
8
elemen-elemen tertentu serta membuat bangunan baru dalam area kompleks bangunan
lama dengan mempertahankan keberadaan bangunan lama. Infill design juga dapat
menciptakan simbiosis antara dua tipe bangunan tersebut. Adapun 3 cara penerapan Infill
design, yaitu :
a). Extension
merupakan tindakan menambah bangunan lama dengan suatu desain yang serupa,
tipikal sehingga menjadi sesuatu yang terintegrasi. Bagian baru yang ditambahkan ke
bagian lama masih memiliki hubungan. Penambahan arsitektur semacam ini paling
sederhana karena seolah-olah melanjutkan desain bangunan lama.
Contoh: Yale University Art Gallery
Allen Memorial Art Museum
a) Derrivation
dalam hal ini, bangunan lama menjadi inspirasi pada bangunan baru, namun desain
bangunan baru tidak memiliki keterkaitan dengan bangunan lama. Fungsi dan
aktivitas yang berlangsung antara bangunan lama dan baru tidak saling mengganggu
atau berpengaruh satu sama lain.
Contoh: Maison Carre and The Carre d’ Art
Park Avenue
ICRAM
b) Transformation
merupakan penambahan yang didasarkan pada perubahan bentuk secara
keseluruhan. Dalam hal ini, bangunan baru memiliki bentuk yang sama sekali berbeda
dengan bangunan lama. Desain bangunan baru sama sekali tidak memiliki keterkaitan
dengan bangunan lama. Metode ini merupakan metode yang paling radikal
dibandingkan dengan yang lain.
Contoh: Centre Pompidou
Louvre Pyramid, Palais du Louvre
Reichstag
Prinsip
Ketika merancang suatu bangunan pengisi, penting sekali untuk
mempertimbangkan “The Existing Context” (Milfrod,2001).
9
13.1. Studi Kasus
13.1.1. Community Centre
Pada pekerjaan pembangunan Hotel Pop Harris Yogyakarta ini, tim ahli
supervise ditugaskan memiliki spesifikasi sesuai dengan pekerjaan yang akan
dilaksanakan dan diawasi di lapangan. Adapun unsur-unsur manajemen proyek adalah
sebagai berikut:
Sitting between the landmark State Heritage Listed Adelaide Arcade and Regent
Arcade buildings, the former Regent Cinema laneway has been adaptively re-used to
create a concept store for Rip Curl in Adelaide’s Rundle Mall. The Woodhead design makes
a valid and respectful contemporary contribution to the ongoing heritage of the place. The
new building’s transparency and volume allows the conserved and featured adjoining
10
heritage walls to form an intrinsic part of the new building space with dramatic and
elegant effect.
The challenge was to design a building that was eye catching and unashamedly
contemporary to achieve the commercial objectives for both owner and tenant, whilst
being considerate and in context with the significant neighbouring heritage buildings.
Glass facades unify the competing ornate original façade elements with glass joints
creating a subtle rhythm and continuity between old and new facades.
The design maximises natural light, uses high performance low emissivity glazing to
reduce heat loads and reuses existing adjoining building walls to form the internal walls
for the new Rip Curl store.
The Rip Curl building design solution achieves an intense visual impact and presence in
Adelaide’s main shopping mall, reinforcing the tenant’s unique brand and image.
11