Professional Documents
Culture Documents
(STUDI KASUS PERAN FRAKSI PG, FRAKSI PKS, DAN FRAKSI PPP DALAM
PENENTUAN AMBANG BATAS PARLEMEN DALAM PEMBAHASAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10
TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD)
Andi Iswanto*)
This study examined and discussed the phenomenon topic on the role of the House of
Representatives’ factions, as the central issue raised during the discussion, namely the dissolution of
factions by the National Anti-Corruption Movement (GNPK) since factions were being assessed as
playing a significant role in the execution of the functions, duties, and powers of the House of
Representatives which were against the 1945 Constitution. Accordingly, this study focused on the
exercise of one of the functions of the House, that is the legislation function in deciding
parliamentary threshold during discussion on Bill on the Amendments to Law No. 10 of 2008 on the
Election of Members of DPR, DPD and DPRD. The issue was raised because there were tough
discussions among factions before the floor made any decisions on parliamentary threshold. On the
one hand, faction with small number of MPs (PPP Faction) that was concerned on the failure to
reach significant number of vote insisted on maintaining massive parliamentary threshold of 2.5%,
while faction with not to large number of MPs (PKS Faction) wanted a massive parliamentary
threshold of 3%-5%. On the other hand, faction with larger number of MPs (PG Faction), with an
enthusiasm of getting more seats on the next election, insisted in raising thkeye percentage to 5% of
parliamentary threshold. This study used a qualitative research design with descriptive analysis.
Data were obtained through literature reviews and interviews. The results showed that the ruling
faction played significant role and dominated the legislation functions of the House, especially
during the discussion on parliamentary threshold decision on Bill on the Amendments to Law No. 10
of 2008 on Election of Members DPR, DPD and DPRD. That conclusion was clearly manifested
both in organizational aspect of faction members, faction’s policy substance aspect as well as
faction’s supervision system aspect. While, based on the review of the theory of political
representation, it can be concluded that there was a theory of freedom with a partisan type of
relationship that worked within.
Keyword:
Faction, the House of Representatives, legislation, election.
1. PENDAHULUAN
*)
Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Departemen Ilmu Politik, FISIP UI, Depok.
1
Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Bagaimanakah Peran Fraksi PG, Fraksi PKS, dan Fraksi PPP dalam penentuan
ambang batas parlemen dalam pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun
2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD?”
Fungsi Legislasi
Salah satu fungsi DPR adalah fungsi legislasi.2 Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai
perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.3 Pembentukan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan pada intinya meliputi tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.4
Secara garis besar proses pembahasan RUU, sebagaimana terlihat pada bagan 1.1 berikut:
1
“Kinerja DPR: DPR Saat Ini Mengingatkan Zaman Orba”, dalam Kompas, 10 Oktober 2005, hlm. 2.
2
Lihat Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, Pasal 69 ayat (1) huruf a UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD3), dan Pasal 4 ayat (1) huruf a Tatib DPR.
3
Lihat Pasal 70 ayat (1) UU MD3 dan Pasal 5 ayat (1) Tatib DPR.
4
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
2
Presiden (Penugasan
Pimpinan DPR
menteri)
Rapat Paripurna
Rapat Bamus
PEMBICARAAN TINGKAT I
(dalam RAPAT KOMISI, RAPAT GABUNGAN KOMISI, RAPAT BADAN
LEGISLASI, RAPAT PANITIA KHUSUS, ATAU RAPAT BADAN
ANGGARAN)
Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim
perumus/tim kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi. Dalam Pembicaraan Tingkat I
juga dapat diadakan RDP/RDPU, mengundang pimpinan lembaga negara yang
terkait, dan/atau rapat intern.
PEMBICARAAN TINGKAT II
(dalam RAPAT PARIPURNA)
1. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, dan hasil
Pembicaraan Tingkat I;
2. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna;
3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
Untuk menganalisis apakah fraksi mewakili masyarakat atau partai maka teori yang
digunakan adalah Teori Perwakilan Politik.
Ada dua teori klasik tentang hakikat hubungan wakil dengan terwakil yang terkenal,
yaitu teori mandat dan teori kebebasan.5 Teori Mandat menjelaskan bahwa wakil dilihat
sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kekuasaan
politik. Oleh karena itu, wakil hendaklah selalu memberikan pandangan, bersikap, dan
bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Pandangan wakil secara
pribadi tidak diperkenankan dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil. Kemudian,
Teori Kebebasan menjelaskan bahwa wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan
pandangannya tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara ketat kepada terwakil.
Dalam hal terwakil telah memberikan kepercayaan kepadanya selaku wakil. Oleh karena itu,
pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan aspek yang terikat
kepada masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil.
Menurut Gilbert Abcarian, ada empat tipe hubungan antara wakil dan yang
diwakilinya, yaitu: a) Si wakil betindak sebagai “Wali” (trustee), di sini si wakil bebas
bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu
berkonsultasi dengan yang diwakilinya; b) Si wakil bertindak sebagai “Utusan” (delegate),
di sini si wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu
mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya; c) Si
wakil bertindak sebagai “Politico”, di sini si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali
(trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan (delegate) serta tindakannya tergantung
dari isu (materi yang dibahas; d) Si wakil bertindak sebagai “Partisan”, di sini si wakil
bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil. Setelah si
wakil dipilih oleh pemilihnya maka lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah
hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.6
Pada era Reformasi ini, Indonesia menerapkan sistem multipartai. Sistem multipartai
yang diberlakukan pada era ini merupakan social regulation yang melahirkan fragmentasi
partai dan membuat sentimen kepartaian menjadi menguat sehingga dengan demikian, elite
partai pada gilirannya akan mengontrol anggotanya. Sistem multipartai itulah yang secara
tidak sengaja mengontrol para anggota DPR. Sistem kepartaian merupakan salah satu bentuk
dalam batasan pengertian Robert Dahl tentang struktur sosial, yaitu struktur pengatur yang
merupakan social regulation.7
Selain itu, pada tubuh partai politik (fraksi), sebagaimana yang diungkapkan oleh
Robert Michels, maka tidak mungkin terhindar dari munculnya fenomena oligarki.
Menurutnya, partai sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme tidak selalu dapat
diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang memiliki partai
itu. Penyebab utama oligarki dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan teknis yang
5
Austin Ranney, The Governing of Man, (N.Y.: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1966), hlm. 268–271. Sebagaimana
dikutip oleh Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hlm. 37. Lihat juga dalam
Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-Teori Politik: Dari Sistem Politik Sampai Korupsi,
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 109–110.
6
Ibid., hlm. 84–85.
7
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hlm. 30–
32.
4
Konsep Fraksi
Istilah fraksi merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebut political
group/party group yang ada di parlemen. Istilah lain selain fraksi, juga sering digunakan
istilah faction, club, group, dan sebagainya.9 Dalam pengertian fraksi terkandung maksud
adanya “elemen disiplin partai, partai harus dihormati. Anggota-anggota di dalam partai
harus menyampaikan hal-hal yang menjadi kebijakan partai, mereka yang tidak
mengindahkan kebijakan partai terancam posisinya. Kalau disiplin partai yang akan
dipegang maka keberadaan fraksi itu penting.”10
Di dalam Kamus Politik yang ditulis oleh B.N. Marbun bahwa kata fraksi
diterjemahkan sebagai kelompok orang yang mempunyai dan memperjuangkan suatu aliran
politik dalam parlemen atau dewan-dewan perwakilan, juga diterjemahkan sebagai bagian
kecil; pecahan.11
Berdasarkan Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, Fraksi adalah pengelompokan
anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum.12
Konsep Peran
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Online kata “Peran” ialah perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yg berkedudukan dalam masyarakat,
sedangkan kata “Peranan” ialah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa.13
8
Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1988), hlm. 60.
9
Siti Nur Solechah, “Tranformasi Peran Fraksi dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kemandirian Anggota dalam
Menjalankan Tugas Kedewanan (Tinjauan pada Era Orde Baru dan Era Reformasi)”, dalam Uli Sintong Siahaan &
Siti Nur Solechah, (eds.), Peran Politik DPR RI pada Era Reformasi, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan
Informasi (P3I) Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001), hlm. 104.
10
Ibid.
11
Lihat B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hlm. 153.
12
Lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/DPR RI/I/2009–2010
tentang Tata Tertib.
13
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi /index.php, diakses 21
September 2012, pkl. 18.44 WIB.
5
14
A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, Edisi Kedua, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.
108.
15
David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, dalam edisi Indonesia oleh LPPS, (Jakarta: CV Rajawali,
1981), hlm. 99.
16
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah Daneil Dhakidae, (Jakarta: PT Rajawali, 1993), hlm. 110.
17
Richard F. Fenno, dalam Dennis F. Thomson, Etika Politik Pejabat Negara, Penerjemah Benyamin Molan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 149.
18
Ibid., hlm. 148.
6
Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitis.
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan wawancara.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan seluruh data berupa bahan primer,
bahan sekunder, dan bahan tersier. Untuk melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan, dilakukan juga wawancara terhadap unsur pimpinan dan/atau anggota fraksi
DPR, yang tergabung dalam Pansus RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam penentuan ambang batas parlemen,
yaitu Fraksi Partai Golongan Karya (FPG), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), dan
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Alasan penulis meneliti ketiga fraksi tersebut
berdasarkan pengelompokan besaran dalam penentuan ambang batas parlemen, yang
berbeda satu sama lain.
2. PEMBAHASAN
Perak Fraksi di DPR sebagaimana tercantum dalam ketentuan Tatib DPR, UU Parpol,
dan UU MD3. Dalam ketentuan tersebut fraksi mengalami penguatan dari masa Orde Lama
sampai dengan Era Reformasi. Pada masa Orde Lama (DPR Periode 1950–1959), masa
Orde Baru (DPR Periode 1966–1998), dan awal Era Reformasi (DPR Periode 1999–2004),
ketentuan tentang fraksi hanya tercantum pada Tatib. Namun, memasuki era Reformasi
(DPR Periode 2004 s.d. sekarang), ketentuan tentang fraksi, telah dicantumkan dalam UU.
Pada DPR Periode 2004–2009, ketentuan tentang fraksi selain tercantum dalam Tatib,
tercantum pula pada UU Susduk. Memasuki DPR Periode 2009–2014, ketentuan tentang
fraksi semakin menguat, selain tercantum pada Tatib DPR, tercantum pula pada UU Parpol
dan UU MD3. Hal ini memperlihatkan bahwa ketentuan tentang fraksi semakin kuat.
Selain itu, fraksi yang ada di DPR juga merupakan bagian dari struktur partai,
kepanjangan tangan, dan alat perjuangan partai-partai yang memiliki kursi di DPR, yang
susunan/komposisi kepengurusan fraksi tersebut diangkat, disahkan, dan diberhentikan oleh
ketua partai tersebut sesuai dengan tingkatannya, sebagaimana hal ini dapat dilihat pada
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) tiap-tiap partai politik tersebut.
Bahkan, pengurus partai politik yang bukan anggota DPR dapat memimpin rapat, memberi
arahan, dan kebijakan dan pendapat fraksi dari partai tersebut. Hal ini sebagaimana
tercantum pada AD/ART beberapa partai politik yang ada di DPR. Dengan demikian, jelas
bahwa keberadaan fraksi di DPR adalah bagian dari struktur kepengurusan partai politik,
Fungsi Legislasi • Memberikan usulan dalam penyusunan prolegnas (Pasal 104 ayat (1))
• Menyampaikan pendapat mini pada akhir pembicaraan Tingkat I Pembahasan
RUU (Pasal 136 ayat (6 huruf a)
• Memberikan penjelasan, keterangan, atau tanggapan atas RUU serta tanggapan
terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan oleh menteri, apabila RUU berasal
dari DPR. (Pasal 140 ayat (3))
• Mengajukan pertanyaan kepada menteri yang mewakili presiden, apabila RUU
berasal dari Presiden. (Pasal 140 ayat (2))
• Pengambilan keputusan RUU dalam Raker, dilaksanakan apabila dihadiri oleh
lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur
fraksi (Pasal 148 ayat (2))
• Menyampaikan pernyataan persetujuan atau penolakan pada akhir Pembicaraan
Tingkat II Pembahasan RUU (Pasal 150 ayat (1) huruf b).
Fungsi Anggaran • Menyampaikan pandangan atas materi yang disampaikan oleh pemerintah pada
pembicaraan pendahuluan dalam rapat paripurna (Pasal 152 ayat (4))
• Menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU APBN disertai nota
keuangan dan dokumen pendukungnya dalam rapat paripurna (Pasal 153 ayat (2))
• Menyampaikan pemandangan umum terhadap penyelesaian akhir RUU APBN
dalam rapat kerja (Pasal 155 ayat (1) huruf b)
• Menyampaikan pandangan terhadap materi RUU tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN yang disampaikan oleh Pemerintah dalam rapat paripurna
(Pasal 158 ayat (2)).
Fungsi Pengawasan • Memberi pertimbangan atas nama DPR terhadap sesuatu masalah atau
pencalonan orang untuk jabatan tertentu.(Pasal 30 ayat (2) huruf f)
• Membentuk tim atas nama DPR terhadap suatu masalah mendesak yang perlu
penanganan segera. (Pasal 30 ayat (2) huruf h).
• Memberi pertimbangan terhadap pencalonan duta besar negara sahabat. (Pasal
194 huruf b).
Sumber: Diolah dari Peraturan DPR RI No. 01/DPR RI/I/2009–2010 tentang Tata Tertib.
19
Yang dimaksud dengan kekuasaan politik ialah kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk memengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Adapun sumber-sumber kekuasaan, di antaranya, yaitu
jabatan, keahlian, normatif, pribadi popular, dsb. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Keenam,
(Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 85.
20
Pembahas FGD sebagai TA FPDS, "Peran Fraksi dalam Mengelola Aspirasi Masyarakat dan Menjadikannya
sebagai Basis Keberpihakan", dalam Frank Feulner, dkk., op. cit., hlm. 245.
21
Misalnya pada tahun 2006, DPR dan Pemerintah memprioritaskan 76 RUU untuk diselesaikan selama satu tahun.
Dari 76 RUU tersebut, 33 di antaranya merupakan limpahan tahun 2005. Pada akhir 2006 DPR melaporkan 39 UU
yang dihasilkannya, tetapi 16 UU di antaranya Pemekaran Wilayah. Lihat Bivitri Susanti, dkk., Bobot Kurang Janji
Masih Terutang: Catatan PSHK tentang Kualitas Legislasi 2006, (Jakarta: PSHK-Konrad Adenaeur Stiftung, 2007),
9
hlm. 37. Fenomena ini juga terlihat pada pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang ditargetkan selesai Maret 2012,
tetapi karena masih ada perdebatan terhadap isu krusial, akhirnya RUU tersebut diperpanjang sampai April 2012.
22
Lihat Alfian, “Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD”, dalam Jurnal Ilmu Politik 7,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 45.
23
Hal ini bisa dilihat dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3.
24
Hal ini sebagaima terlihat pada Kasus Recall Lili Wahid dan Effendy Choirie oleh PKB karena dianggap melanggar
AD/ART pascasikap mereka yang berseberangan dengan sikap fraksi dalam Pengambilan Keputusan Usul Hak
Angket Perpajakan tahun 2011.
25
Immanuel E. Blegur, op. cit., hlm. 2–3.
26
Pembahas Utama FGD sebagai anggota tim Pansus RUU Susduk/anggota Tim Peningkatan Kinerja DPR/FPDIP,
dalam Frank Feulner, dkk., op. cit., hlm. 140.
27
Pembahas Utama FGD, “Penguatan Prinsip Representasi dalam Fungsi Pokok Parlemen”, dalam Frank Feulner,
dkk., op. cit., hlm. 141.
10
28
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), hlm. 469.
29
Lihat Bilal Dewansyah, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan
Konstituen”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 2, 2010, hlm. 21.
30
Ichlasul Amal (ed.), loc. cit.
31
August Mellaz, “Membaca Prospek dan Peta Politik Pemilu Legislatif 2014: Dari Sisi Ambang Batas Perwakilan,
Daerah Pemilihan, dan Formula Perhitungan”, dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Mei 2012, hlm. 220.
11
32
Arwani Thomafi, Menuju Pemilu 2014: Pertarungan Gagasan dan Kepentingan Seputar Pembahasan Perubahan
UU Pemilu, (Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012), hlm. 99.
33
Ibid.
34
Zahir Rusyad, “Parliamentary Threshold dan Pengaruhnya terhadap Penguatan Sistem Pemerintahan di Indonesia”,
dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, hlm. 100.
35
Lihat “Penyederhanaan Parpol untuk Kepentingan Siapa?”, dalam Majalah FIGUR, Edisi IX, 2007, hlm. 18.
12
36
Keenam belas partai politik tersebut adalah PG, PDIP, PPP, PKB, PAN, PKS, PD, PDS, PPDK, PNI Marhaenisme,
PKPB, PPDI, PP, dan PBB.
37
Lihat Jurnal Penelitian Politik, Kisruh Pemilu 2009, vol. 6, No. 1, 2009, sebagaimana dikutip oleh Arwani Thomafi,
op. cit., hlm. 2–3.
38
Hasil Wawancara dengan Nurul Arifin (Pimpinan FPG), 10 Desember 2012, di Gedung Nusantara I DPR RI, Lantai
12.
39
Hasil Wawancara dengan Agoes Poernomo (Pimpinan FPKS), 13 Desember 2012, di Gedung Nusantara I DPR RI,
Lantai 3.
40
Hasil Wawancara dengan Ahmad Yani (Pimpinan FPPP), 28 November 2012, di Gedung Nusantara I DPR RI,
Lantai 15.
13
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dari setiap fraksi menempatkan pimpinan
fraksinya. Pimpinan FPG, yaitu Ibnu Munzir (Wakil Ketua) dan Nurul Arifin (Wakil
Sekretaris), pimpinan FPKS, yaitu Agoes Poernomo (Wakil Ketua) dan Al Muzzammil
Yusuf (Ketua Bidang), sementara di FPPP kedua-duanya adalah pimpinan fraksi, yaitu
Ahmad Yani (Wakil Ketua) dan Muhamad Arwani Thomafi (Sekretaris).41 Hal ini
membuktikan bahwa fraksi selalu mengawal proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif.
Pembicaraan Tingkat I
Sesuai dengan Pasal 136 Tatib DPR maka pembahasan RUU dalam Pembicaraan
Tingkat I dilakukan dengan kegiatan: a) pengantar musyawarah; b) pembahasan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM); c) penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir; c)
pengambilan keputusan. Karena RUU berasal dari DPR maka dalam pengantar musyawarah,
DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan. DIM diajukan oleh
Presiden. Kemudian, penyampaian pendapat mini dilakukan pada akhir Pembicaraan
Tingkat I oleh fraksi dan Presiden.
Adapun kegiatan Pembicaraan Tingkat I tersebut dilakukan dalam rapat kerja, rapat
panitia kerja; rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau rapat tim sinkronisasi.42 Namun,
berdasarkan penelitian penulis bahwa pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang terkait
penentuan ambang batas parlemen hanya dilakukan satu kali dalam rapat panitia kerja
(panja), rapat kerja (raker), dan selebihnya dilakukan dalam rapat tertutup atau lobby.
41
Data ini penulis lihat dari lampiran Surat Keputusan DPR RI tentang Susunan Pimpinan Fraksi Partai Golkar, Fraksi
PKS, dan Fraksi PPP DPR RI Periode 2009–2014.
42
Lihat Pasal 138 Tatib DPR.
14
Dengan catatan:
Angka 3% atau tiga per seratus bukan merupakan hasil kesepakatan politik di Baleg,
untuk selanjutnya besaran angka definitif ambang batas parliamentary threshold akan
ditentukan dalam rapat paripurna.
Setiap fraksi tetap memiliki pendirian sebagai berikut:
43
Lihat Risalah Rapat Kerja Pansus RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD dengan Menteri Dalam Negeri & Menteri Hukum dan HAM, 6 Oktober 2011.
44
Lihat Risalah Rapat Kerja Pansus RUU Pemilu Legislatif dengan Pemerintah, 26 Oktober 2011, hlm. 4.
45
Hasil masukan secara lengkap, sebagaimana tercantum dalam lampiran skripsi ini.
15
Rumusan Alternatif 2:
“Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
kurangnya 2,5% sampai dengan 5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan pereolehan kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota”
Kemudian, pada akhir Pembicaraan Tingkat I pada tanggal 10 April 2012, Pansus
RUU Pemilu Legislatif mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Hukum dan HAM dengan agenda Pendapat Akhir Mini Fraksi dan pengambilan
keputusan Tingkat I, yang juga belum menemui kesepakatan terhadap penentuan ambang
batas parlemen.
46
Arwani Thomafi, op. cit., hlm. 88.
47
Data ini penulis peroleh dari Risalah Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan
Pansus RUU Pemilu Legislatif, tanggal 15, 22, 29 Maret 2012 dan 9 April 2012.
48
Hasil masukan dari Barisan Partai Non-Parlemen secara lengkap, sebagaimana tercantum dalam lampiran skripsi.
49
Lihat Risalah RDPU Pansus RUU Pemilu Legislatif dengan Barisan Partai Non-Parlemen, 10 April 2012, hlm. 11–
12.
17
Pembicaraan Tingkat II
Proses akhir dari sebuah pembahasan RUU adalah Pembicaraan Tingkat II.
Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurma DPR,
dengan kegiatan: a) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat
mini DPD, dan hasil pembicaraan Tingkat I; b) pernyataan persetujuan atau penolakan dari
tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c)
pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.51
Rapat paripurna adalah rapat anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan
merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR.52 Dalam forum
rapat paripurna inilah keputusan-keputusan DPR diambil. Dalam proses pembahasan RUU,
rapat paripurna disebut juga Rapat Pengambilan Keputusan Tingkat II untuk pembahasan
RUU. Rapat paripurna bersifat terbuka, yaitu rapat yang selain dihadiri oleh anggota, juga
dapat dihadiri oleh bukan anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang.53
Setelah diupayakan beberapa kali lobby dan tidak menemukan kata sepakat maka
terhadap ambang batas tersebut disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna DPR dalam
50
Arwani Thomafi, op. cit., hlm. 99–100.
51
Lihat Pasal 151 UU MD3.
52
Lihat Pasal 221 ayat (1) Tatib DPR.
53
Lihat Pasal 240 ayat (2) Tatib DPR.
18
54
Saifullah Ma’shum, DPR Terhormat DPR Dihujat: Refleksi Lima Tahun di DPR Periode 2004–2009 (Catatan
Sejarah Sang Wakil Rakyat), (Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012), hlm. 35.
19
55
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tertanggal 29 Agustus 2012, hlm. 27–28.
20
Dilihat dari aspek pengorganisasian anggota fraksi dalam Pansus RUU tentang
Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
dalam penentuan ambang batas parlemen (RUU Pemilu Legislatif), fraksi DPR terlihat
mendominasi bahkan tidak melibatkan anggota fraksinya. Hal ini sebagaimana terlihat
dalam penentuan penempatan anggota fraksinya dalam Pansus RUU Pemilu Legislatif,
seperti terlihat pada FPG, FPPP, dan FPKS. Ketiga fraksi tersebut dalam memutuskan siapa
yang akan duduk dalam pansus ditentukan oleh internal pimpinan tiap-tiap fraksi. Dengan
demikian, terlihat bahwa anggota fraksi yang lain tidak dilibatkan dalam penentuan
penempatan anggotanya masuk dalam pansus. Lebih menarik lagi bahwa dari pimpinan
fraksi tersebut, dua orang ditempatkan dalam pansus. Hal ini sebagaimana terlihat pada FPG
dari enam anggota yang masuk pansus, dua di antaranya unsur pimpinan fraksi, yaitu Ibnu
Munzir dan Nurul Arifin, sementara, FPKS dari tiga anggota yang masuk dalam pansus, dua
di antaranya adalah unsur pimpinan fraksi, yaitu Agoes Poernomo dan Al Muzzammil
Yusuf. Begitu juga, dengan FPPP, dari dua anggota yang masuk pansus, semuanya adalah
unsur pimpinan fraksi, yaitu Ahmad Yani dan Arwani Thomafi. Selain itu, dari awal
pembahasan, baik pada Pembicaraan Tingkat I maupun pada Pembicaraan Tingkat II, ketiga
fraksi tersebut tidak pernah melakukan rotasi terhadap anggotanya yang masuk dalam
pansus. Dengan demikian, pelaksanaan hak anggota fraksi lainnya, baik dalam mengajukan
pertanyaan maupun menyampaikan usul dan pendapatnya, dalam penentuan penempatan
anggotanya masuk dalam pansus, tereliminasi oleh fraksinya (pimpinan fraksi).
Di sini terlihat bahwa kewenangan fraksi begitu kuat dan dominan dalam
menempatkan anggota fraksinya, sebagaimnana diatur dalam tata kerja fraksi, sampai
pimpinan fraksi sendiri memilih bergabung dalam pansus tersebut. Hal ini mencerminkan
Hukum Besi Oligarkhi, sebagaimana diungkapkan oleh Robert Michels bahwa pada tubuh
partai politik (fraksi) tidak mungkin terhindar dari kemungkinan munculnya fenomena
oligarkhi. Menurutnya, “Partai, sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme tidak selalu
dapat diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang memiliki
partai itu.” Penyebab utama oligarkhi dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan
teknis yang mendesak akan kepemimpinan.56
Melalui proses dalam partai tersebut dan dengan adanya hal-hal kompleks yang ada di
dalamnya, para pemimpin menemukan dirinya terpisah dari massanya. Pembentukan
oligarkhi di dalam berbagai bentuk organisasi adalah akibat kebutuhan organis. Fraksi yang
merupakan suatu unit kerja yang terorganisir dan mempunyai hierarkhi tidak tertutup
kemungkinan terjebak dalam Hukum Besi Oligarkhi.
Dari sini terlihat adanya perdebatan alot dalam menentukan besaran ambang batas
parlemen sehingga aturan main politik tidak menentu bahkan konsensus pun sulit dicapai.
Di dalam era transisi menuju demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Guillermo
O’Donnell dan Philippe C. Schmitter bahwa:
“Aturan main politik sama sekali tidak menentu. Tidak hanya karena aturan main tersebut
bekerja dalam perubahan yang terus-menerus terjadi, tapi juga karena biasanya aturan tersebut
22
57
Guillermo O’Donnell dan Philipe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan
Ketidakpastian, Jilid IV, Penerjemah Nurul Agustina, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 2.
58
Alfian dalam Ismid Hadad (ed.), Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 120.
59
Hal ini sebagaimana disampaikan pada Pembicaraan Tingkat I dengan agenda Pendapat Akhir Mini Fraksi, 10 April
2012.
23
Jika dikaitkan dengan tujuan dari pemberlakuan parliamentary threshold (PT) maka
ada dua hal: pertama, membatasi jumlah partai politik masuk parlemen dan kedua,
menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Secara objektif memang, menurut Didik
Supriyanto dan August Mellaz, penerapan ambang batas parlemen mempersempit peluang
partai-partai kecil atau partai-partai baru untuk memperoleh kursi di parlemen dan
dimaksudkan juga agar sistem politik lebih stabil, efektif, dan berkualitas. Namun, secara
subjektif, pemberlakuan PT bisa juga ditafsirkan sebagai upaya membangun kekuasaan bagi
partai-partai politik besar. Hal ini sebagaimana terlihat pada FPG yang merupakan fraksi
besar, bersikeras menghendaki PT 5%, sementara FPPP yang merupakan fraksi kecil
bersikeras menghendaki PT 3%, sedangkan fraksi menengah (FPKS), bersikeras
menghendaki 3,5%-4%.
Menjelang diputuskannya dalam rapat paripurna, penentuan ambang batas parlemen
dilakukan secara tertutup melalui lobby-lobby dan kompromi politik. Berdasarkan lobby-
lobby dan kompromi politik tersebut, penentuan ambang batas parlemen mengerucut, fraksi
besar akhirnya turun, fraksi kecil akhirnya naik, lalu ditetapkan 3,5% dan diberlakukan
secara nasional. Adapun yang menjadi kunci penentu dalam pembahasan tersebut adalah
fraksi besar (Fraksi Partai Demokrat).
Dengan demikian, meminjam istilah Arbi Sanit bahwa persekongkolan benar-benar
terjadi di DPR. Penentuan ambang batas parlemen yang ditentukan secara beragam, yang
kemudian diprotes fraksi partai kecil, terjadilah persekongkolan antara fraksi partai besar
dan kecil yang hasilnya bukan untuk rakyat. Jika penentuan ambang batas parlemen tersebut
buat rakyat, justru tidak akan terjadi perdebatan yang alot dan diberlakukan secara nasional.
Persekongkolan politik itu datang dari bargain dan konsensus yang semestinya selalu
mengarah untuk mewakili rakyat yang diwakilinya. Jadi, perundingan atau tawar-menawar
yang dilakukan seharusnya untuk memperbaiki keadaan rakyat, tetapi yang terjadi adalah
konspirasi maka hanya menguntungkan orang yang melakukan perdebatan melalui tawar-
menawar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Arbi Sanit bahwa siapa yang mendapatkan
manfaat dari proses fraksi di DPR? Kalau rakyat yang mendapatkan manfaat, itu konsensus,
tetapi kalau hanya anggota DPR, fraksi atau partai yang mendapatkan manfaat maka itulah
konspirasi.
Dari hasil RDPU dan kunjungan kerja Pansus tentang Perubahan Pemilu Legislatif,
mayoritas menghendaki ambang batas parlemen jangan terlalu besar dan tidak diberlakukan
secara nasional (Ramlan Surbakti, Perludem, Cetro, Ketua KPU Kab. Selayar, KPU dan
Universitas di Sumatera Utara, KPU dan Universitas di Jawa Timur, serta Universitas
Hasanuddin Makassar).61 Namun, terhadap hasil RDPU dan kunjungan kerja tersebut pansus
(FPG, FPKS, FPPP) seakan tidak mengakomodir aspirasi masyarakat bahkan pembahasan
terkesan hanya mengedepankan kepentingan fraksinya.
Jika dikaitkan dengan Teori Perwakilan Politik, jelas bahwa fraksi-fraksi DPR, baik
FPG, FPKS, dan FPPP lebih mencerminkan teori Kebebasan. Hal ini dikarenakan wakil
60
Lihat Risalah Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Pansus RUU Pemilu
Legislatif, 29 Maret 2012 dan 9 April 2012, loc. cit.
61
Uraian lebih lengkap lihat Hasil Masukan RDPU dan Kunker Pansus RUU Pemilu Legislatif terkait dengan Ambang
Batas Parlemen dalam lampiran skripsi.
24
Dilihat dari aspek pengawasan fraksi-fraksi, baik FPG, FPKS maupun FPPP selalu
memantau jalannya proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Hal ini sebagaimana terlihat
dalam Risalah yang terkait dengan pembahasan ambang batas parlemen, baik FPG, FPKS,
dan FPPP tidak pernah absen dari rapat. Kalaupun ada anggota fraksinya yang berhalangan
mengikuti pembahasan maka ada anggota fraksi lainnya yang menggantikannya. Setiap
anggota fraksi yang masuk dalam pansus diwajibkan memberikan penjelasan terhadap
kegiatan pansus yang diikutinya. Bahkan ada yang dikomunikasikan via handphone seperti
yang dilakukan oleh FPPP.
Lebih menarik lagi, yang menjadi juru bicara fraksi adalah unsur Pimpinan Fraksi. Hal
ini sebagaimana terlihat pada FPG yang menjadi juru bicara dalam Pendapat Akhir Mini
Fraksi/Pengambilan Keputusan dalam Pembicaraan Tingkat I adalah Nurul Arifin (Wakil
Sekretaris Fraksi dan elite di DPP sebagai Wasekjen). Sementara, pada FPKS yang menjadi
juru bicara adalah Al Muzzammil Yusuf (Ketua Bidang Fraksi). Selanjutnya, pada FPPP
yang menjadi juru bicara adalah Ahmad Yani (Wakil Ketua Fraksi). Selain itu, dalam lobby-
lobby pembahasan penentuan ambang batas parlemen yang dilakukan melalui Rapat
Konsultasi, yang diundang dan yang hadir adalah Pimpinan Fraksi. Dengan demikian,
pengawasan yang dilakukan oleh fraksi begitu kuat dan dominan sehingga pelaksanaan hak
anggota fraksi, baik dalam mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan usul dan
pendapatnya dalam pembahasan RUU tersebut tidak berjalan secara optimal dan efektif.
Pandangan/sikap politik fraksi terhadap penentuan ambang batas parlemen yang
tertuang pada Pendapat Akhir Mini Fraksi ada yang sesuai dengan pandangan/sikap anggota
dari tiap-tiap fraksi yang terlibat dalam pansus, seperti pada FPG dan FPKS. Namun, ada
pula sikap perorangan anggota Pansus yang bertentangan dengan pendapat/sikap fraksinya.
Hal ini sebagaimana terlihat pada Ahmad Yani (FPPP) yang memiliki pandangan/sikap yang
berbeda dengan pandangan/sikap fraksinya. Ahmad Yani, menghendaki zero parliamentary
threshold, sementara fraksinya mengikuti arus di pansus. Terkait dengan sikap/pandangan
Ahmad Yani tersebut, FPPP tidak memberikan sanksi. Hal ini bisa jadi karena Ahmad Yani
sendiri merupakan salah satu pimpinan fraksi.
Dilihat dari pandangan/sikap ini maka bisa diketahui bahwa pandangan/sikap
perorangan seringkali berbeda dengan pandangan/ sikap fraksinya. Pada pengambilan
keputusan akhir maka yang dimenangkan adalah sikap politik fraksinya. Apabila
ketundukan anggota atas pandangan/sikap politik fraksi tersebut dinilai sebagai fatsun
politik, hal ini secara teoritis logis dan rasional. Hal ini karena didasarkan pada alasan
25
3. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan dari tulisan ini bahwa penguatan posisi fraksi
sudah mulai terlihat sejak DPR Periode 1956–1959. Meskipun demikian, peran anggota sebagai
wakil rakyat tidak tereduksi karena peran fraksi hanya dalam pembentukan alat kelengkapan,
tidak dalam pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR. Hal ini berlanjut sampai dengan DPR
periode 1959–1971. Pada DPR Periode 1971–1998, peran fraksi semakin menguat, tidak hanya
pada pembentukan alat kelengkapan DPR, fraksi dipersyaratkan kehadirannya dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Demikian pula pada DPR Periode 1999–2014, secara politik
peran fraksi semakin kuat dan dominan, baik dalam pelaksanaan fungsi DPR (legislasi,
anggaran, dan pengawasan), pelaksanaan tugas kedewanan maupun dalam penetapan
keanggotaan alat kelengkapan DPR. Hal ini disebabkan karena adanya faktor internal dan
eksternal. Faktor internal adalah adanya ketentuan tentang fraksi yang diatur sedemikian rupa
dalam Tatib DPR. Sementara, faktor eksternal adalah adanya ketentuan recall, sistem pemilu
proporsional, dan sistem multipartai.
Dengan adanya peran fraksi yang kuat dan dominan tersebut tentu berdampak pada
optimalisasi dan efektivitas, baik pada pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR maupun
pada pelaksanaan hak anggota DPR dalam mengajukan pertanyaan dan menyampaikan usul dan
pendapatnya dalam setiap pembentukan kebijakan yang ada di DPR, khususnya dalam proses
62
Bintan R. Saragih, loc. cit.
63
Robert A. Dahl, loc. cit.
26
Dengan demikian, berdasarkan ketiga aspek tersebut maka peran fraksi DPR dalam proses
pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD dalam penentuan ambang batas parlemen begitu kuat dan dominan
sehingga pelaksanaan hak anggota fraksi, baik dalam mengajukan pertanyaan maupun
menyampaikan usul dan pendapatnya dalam pembahasan RUU tersebut tidak berjalan secara
optimal dan efektif dikarenakan tereliminasi oleh fraksinya. Meskipun tingkat independensi
anggota fraksi tinggi, tetapi tetap mendapat kontrol dari fraksinya yang merupakan kepanjangan
tangan partainya.
27
Buku:
Amal, Ichlasul (ed.). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Dahl, Robert A.. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali,
1985.
Denis, Lincoln (Eds.). Handbook of Qualitative Research. London: SAGE Publications, 1994.
Feulner, Frank, dkk.. Peran Perwakilan Parlemen. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia bekerja sama dengan United Nations Development Programme
(UNDP) Indonesia, 2008.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hadad, Ismid (ed.). Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1981.
Handayani, Amalia Puri (ed.). Berharap Pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009–2010. Jakarta:
PSHK, 2011.
Jadwal Acara Rapat Dewan Perwakilan Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI,
2012.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries. New Haven: Yale University Press, 1999.
Ma’shum, Saifullah. DPR Terhormat DPR Dihujat: Refleksi Lima Tahun di DPR Periode 2004–
2009 (Catatan Sejarah Sang Wakil Rakyat). Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012.
Marbun, B.N.. Kamus Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta:
Kencana, 2010.
Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966–1971. Jakarta: LP3ES, 1989.
Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Cet. ke-26. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Mulyana, Dede. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta:
Kencana, 2011.
O’Donnell, Guillermo dan Philipe C. Schmitter. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian
Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jilid IV, Penerjemah Nurul Agustina. Jakarta: LP3ES,
1993.
Pito, Toni Andrianus; Efriz; dan Kemal Fasyah. Mengenal Teori-Teori Politik: Dari Sistem Politik
Sampai Korupsi. Bandung: Penerbit Nuansa, 2006.
Salang, Sebastian, dkk.. Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum
Sahabat, 2009.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1985.
Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto. Panduan Penelitian. Cetakan Edisi Revisi. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2011.
Saragih, Bintan R.. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1988.
Saraswati, Sylvia. Cara Mudah Menyusun Proposal, Skripsi, Tesis, Disertasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009.
28
Tesis:
Blegur, Immanuel E.. “Peranan Fraksi dan Pengaruhnya terhadap Kemandirian Anggota Dalam
Pengambilan Keputusan (Studi Kasus Fraksi Partai Golkar dalam Pengambilan Keputusan
tentang Perubahan Kedua APBN 2005)”. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 2005.
Solechah, Siti Nur. “Interaksi Politik Antar-Fraksi di DPR RI: Studi Kasus Penggunaan Hak
Penyelidikan terhadap Kasus Penggunaan Dana Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan
Brunei”. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 2002.
Jurnal:
Angraini, Titi. “Jalan Panjang Menuju Keadilan Pemilu: Catatan Atas UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD”, dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Mei
2012.
Alfian, “Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD”, dalam Jurnal Ilmu Politik
7. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.
Dewansyah, Bilal. “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat
dan Konstituen”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 2, 2010.
Huda’, Ni’matul. “Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia”,
dalam Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 3, Oktober 2011.
Mellaz, August. “Membaca Prospek dan Peta Politik Pemilu Legislatif 2014: Dari Sisi Ambang
Batas Perwakilan, Daerah Pemilihan, dan Formula Perhitungan”, dalam Jurnal Pemilu dan
Demokrasi, Mei 2012.
Pahlevi, Indra. “Pemberlakuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2009 dan Implikasinya
terhadap DPR (Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD)”, dalam Kajian, Vol. 14, No. 2, Juni 2008.
Rusyad, Zahir . “Parliamentary Threshold dan Pengaruhnya terhadap Penguatan Sistem
Pemerintahan di Indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009.
Solechah, Siti Nur. “Tranformasi Peran Fraksi dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kemandirian
Anggota dalam Menjalankan Tugas Kedewanan (Tinjauan pada Era Orde Baru dan Era
Reformasi)”, dalam Siahaan, Uli Sintong & Siti Nur Solechah, (eds). Peran Politik DPR RI
pada Era Reformasi. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) Sekretariat
Jenderal DPR RI, 2001.
Dokumen:
Keputusan DPR RI No. 29/DPR RI/2009–2010 tentang Pembentukan Fraksi-Fraksi DPR RI.
29
Internet:
http://www.pshk.or.id.
http://www.detik.com.
http://www.golkar.or.id.
http://www.rumahpemilu.com.
Wawancara:
Wawancara dengan Nurul Arifin (Pimpinan FPG), pada tanggal 10 Desember 2012 di Gedung
Nusantara I DPR RI, Jakarta.
Wawancara dengan Agoes Poernomo (Pimpinan FPKS), pada tanggal 13 Desember 2012, di
Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta.
Wawancara dengan Ahmad Yani (Pimpinan FPPP), pada tanggal 28 November 2012, di Gedung
Nusantara I DPR RI, Jakarta.
31