You are on page 1of 31

PERAN FRAKSI DPR RI

(STUDI KASUS PERAN FRAKSI PG, FRAKSI PKS, DAN FRAKSI PPP DALAM
PENENTUAN AMBANG BATAS PARLEMEN DALAM PEMBAHASAN RANCANGAN
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10
TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA DPR, DPD, DAN DPRD)

Andi Iswanto*)

This study examined and discussed the phenomenon topic on the role of the House of
Representatives’ factions, as the central issue raised during the discussion, namely the dissolution of
factions by the National Anti-Corruption Movement (GNPK) since factions were being assessed as
playing a significant role in the execution of the functions, duties, and powers of the House of
Representatives which were against the 1945 Constitution. Accordingly, this study focused on the
exercise of one of the functions of the House, that is the legislation function in deciding
parliamentary threshold during discussion on Bill on the Amendments to Law No. 10 of 2008 on the
Election of Members of DPR, DPD and DPRD. The issue was raised because there were tough
discussions among factions before the floor made any decisions on parliamentary threshold. On the
one hand, faction with small number of MPs (PPP Faction) that was concerned on the failure to
reach significant number of vote insisted on maintaining massive parliamentary threshold of 2.5%,
while faction with not to large number of MPs (PKS Faction) wanted a massive parliamentary
threshold of 3%-5%. On the other hand, faction with larger number of MPs (PG Faction), with an
enthusiasm of getting more seats on the next election, insisted in raising thkeye percentage to 5% of
parliamentary threshold. This study used a qualitative research design with descriptive analysis.
Data were obtained through literature reviews and interviews. The results showed that the ruling
faction played significant role and dominated the legislation functions of the House, especially
during the discussion on parliamentary threshold decision on Bill on the Amendments to Law No. 10
of 2008 on Election of Members DPR, DPD and DPRD. That conclusion was clearly manifested
both in organizational aspect of faction members, faction’s policy substance aspect as well as
faction’s supervision system aspect. While, based on the review of the theory of political
representation, it can be concluded that there was a theory of freedom with a partisan type of
relationship that worked within.

Keyword:
Faction, the House of Representatives, legislation, election.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemilu Anggota DPR tahun 2009, menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai dasar
pelaksanaannya, tetapi dalam praktiknya masih memunculkan sejumlah kelemahan.
Sehubungan dengan itu, DPR melakukan perubahan terhadap UU tersebut, yang kemudian
menjadi RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD (RUU Pemilu Legislatif). Dalam pembahasan RUU tersebut banyak
hal yang menjadi masalah krusial yang kemudian diangkat menjadi bahan lobby dan voting,
baik antarfraksi maupun antara DPR dan Pemerintah. Salah satu materi yang cukup alot

*)
Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana Ekstensi Departemen Ilmu Politik, FISIP UI, Depok.
1

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


dibahas di DPR dan menjadi perdebatan adalah pembahasan ambang batas parlemen.
Ambang Batas parlemen pada UU No. 10 Tahun 2008 tersebut, yang menerapkan ambang
batas parlemen 2,5%, diubah menjadi 3,5% melalui proses lobby oleh fraksi-fraksi yang ada
di DPR. Terhadap materi krusial tersebut, antarfraksi berusaha saling mendekatkan sejumlah
perbedaan.
Sehubungan dengan itu, jika dikaitkan dengan Pasal 18 ayat (1) Tatib DPR
menyebutkan bahwa “Fraksi dibentuk dalam rangka optimalisasi dan keefektifan
pelaksanaan tugas dan wewenang DPR, serta hak dan kewajiban anggota” dan Pasal 18 ayat
(5) Tatib DPR menyebutkan pula bahwa “Fraksi bertugas mengoordinasikan kegiatan
anggotanya dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR, dan meningkatkan
kemampuan, disiplin, keefektifan, dan efisiensi kerja anggotanya dalam melaksanakan tugas
yang tercermin dalam setiap kegiatan DPR.” Namun, pada praktiknya apakah fraksi sudah
berperan mengoptimalkan dan mengefektifkan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang
DPR, serta hak dan kewajiban anggotanya? Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat
fraksi dipandang sebagai kepanjangan tangan partai politik di DPR, sementara anggota DPR
dipilih melalui partai politik.1
Dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan partai, fraksi berperan besar di
berbagai proses politik yang terjadi di DPR, baik di tingkat alat kelengkapan DPR, Rapat
Paripurna DPR maupun lobi di luar kelembagaan formal DPR. Lebih dari itu, fraksi juga
dapat mengarahkan setiap pilihan pandangan/sikap dan keputusan yang diambil dalam
proses politik pemerintahan secara keseluruhan. Tidak ada kebijakan fraksi yang diambil
tanpa “restu” atau minimal hasil konsultasi dengan pimpinan partai politik masing-masing.
Hal ini juga nampak pada penentuan ambang batas parlemen dalam pembahasan RUU
tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Bagaimanakah Peran Fraksi PG, Fraksi PKS, dan Fraksi PPP dalam penentuan
ambang batas parlemen dalam pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun
2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD?”

1.3 Kerangka Pemikiran

Fungsi Legislasi

Salah satu fungsi DPR adalah fungsi legislasi.2 Fungsi legislasi dilaksanakan sebagai
perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.3 Pembentukan
undang-undang atau peraturan perundang-undangan pada intinya meliputi tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.4
Secara garis besar proses pembahasan RUU, sebagaimana terlihat pada bagan 1.1 berikut:

1
“Kinerja DPR: DPR Saat Ini Mengingatkan Zaman Orba”, dalam Kompas, 10 Oktober 2005, hlm. 2. 
2
Lihat Pasal 20A ayat (1) UUD 1945, Pasal 69 ayat (1) huruf a UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (UU MD3), dan Pasal 4 ayat (1) huruf a Tatib DPR.
3
Lihat Pasal 70 ayat (1) UU MD3 dan Pasal 5 ayat (1) Tatib DPR.
4
Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
2

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Bagan 1.1 Pembahasan RUU dari DPR

Presiden (Penugasan
Pimpinan DPR
menteri)

Rapat Paripurna
Rapat Bamus

PEMBICARAAN TINGKAT I
(dalam RAPAT KOMISI, RAPAT GABUNGAN KOMISI, RAPAT BADAN
LEGISLASI, RAPAT PANITIA KHUSUS, ATAU RAPAT BADAN
ANGGARAN)

1. Pengantar Musyawarah (DPR memberikan penjelasan dan Presiden


menyampaikan pandangan);
2. Pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) (Diajukan oleh Presiden);
3. Penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir (Disampaikan oleh fraksi dan
Presiden);
4. Pengambilan keputusan (dengan acara: pengantar pimpinan komisi, gabungan
komisi, Badan Legislasi, panitia khsus, atau Badan Anggaran); laporan panitia
kerja; pembacaan naskah RUU; pendapat mini sebagai sikap akhir; dan
pengambilan keputusan untuk melanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II).

Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja, rapat tim
perumus/tim kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi. Dalam Pembicaraan Tingkat I
juga dapat diadakan RDP/RDPU, mengundang pimpinan lembaga negara yang
terkait, dan/atau rapat intern.

PEMBICARAAN TINGKAT II
(dalam RAPAT PARIPURNA)

1. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, dan hasil
Pembicaraan Tingkat I;
2. Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna;
3. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.

Disetujui bersama Tidak disetujui bersama

Tidak boleh diajukan lagi dalam


Pengesahan dan Pengundangan persidangan DPR masa itu

Sumber: Diolah dari UU MD3, UU PPP, dan Tatib DPR.

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Teori Perwakilan Politik

Untuk menganalisis apakah fraksi mewakili masyarakat atau partai maka teori yang
digunakan adalah Teori Perwakilan Politik.
Ada dua teori klasik tentang hakikat hubungan wakil dengan terwakil yang terkenal,
yaitu teori mandat dan teori kebebasan.5 Teori Mandat menjelaskan bahwa wakil dilihat
sebagai penerima mandat untuk merealisasikan kekuasaan terwakil dalam proses kekuasaan
politik. Oleh karena itu, wakil hendaklah selalu memberikan pandangan, bersikap, dan
bertindak sejalan dengan mandat dalam melaksanakan tugasnya. Pandangan wakil secara
pribadi tidak diperkenankan dipergunakan dalam kualifikasinya sebagai wakil. Kemudian,
Teori Kebebasan menjelaskan bahwa wakil dianggap perlu merumuskan sikap dan
pandangannya tentang masalah yang dihadapi tanpa terikat secara ketat kepada terwakil.
Dalam hal terwakil telah memberikan kepercayaan kepadanya selaku wakil. Oleh karena itu,
pertimbangan wakil secara pribadi yang memperhatikan keseluruhan aspek yang terikat
kepada masalah yang dihadapi amat menentukan keputusan dan sikap wakil.
Menurut Gilbert Abcarian, ada empat tipe hubungan antara wakil dan yang
diwakilinya, yaitu: a) Si wakil betindak sebagai “Wali” (trustee), di sini si wakil bebas
bertindak atau mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu
berkonsultasi dengan yang diwakilinya; b) Si wakil bertindak sebagai “Utusan” (delegate),
di sini si wakil bertindak sebagai utusan atau duta dari yang diwakilinya, si wakil selalu
mengikuti instruksi dan petunjuk dari yang diwakilinya dalam melaksanakan tugasnya; c) Si
wakil bertindak sebagai “Politico”, di sini si wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali
(trustee) dan ada kalanya bertindak sebagai utusan (delegate) serta tindakannya tergantung
dari isu (materi yang dibahas; d) Si wakil bertindak sebagai “Partisan”, di sini si wakil
bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil. Setelah si
wakil dipilih oleh pemilihnya maka lepaslah hubungan dengan pemilih dan mulailah
hubungannya dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan tersebut.6
Pada era Reformasi ini, Indonesia menerapkan sistem multipartai. Sistem multipartai
yang diberlakukan pada era ini merupakan social regulation yang melahirkan fragmentasi
partai dan membuat sentimen kepartaian menjadi menguat sehingga dengan demikian, elite
partai pada gilirannya akan mengontrol anggotanya. Sistem multipartai itulah yang secara
tidak sengaja mengontrol para anggota DPR. Sistem kepartaian merupakan salah satu bentuk
dalam batasan pengertian Robert Dahl tentang struktur sosial, yaitu struktur pengatur yang
merupakan social regulation.7
Selain itu, pada tubuh partai politik (fraksi), sebagaimana yang diungkapkan oleh
Robert Michels, maka tidak mungkin terhindar dari munculnya fenomena oligarki.
Menurutnya, partai sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme tidak selalu dapat
diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang memiliki partai
itu. Penyebab utama oligarki dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan teknis yang

5
Austin Ranney, The Governing of Man, (N.Y.: Holt, Rinehart and Winston, Inc., 1966), hlm. 268–271. Sebagaimana
dikutip oleh Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hlm. 37. Lihat juga dalam
Toni Andrianus Pito, Efriza, dan Kemal Fasyah, Mengenal Teori-Teori Politik: Dari Sistem Politik Sampai Korupsi,
(Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), hlm. 109–110.
6
Ibid., hlm. 84–85.
7
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol, (Jakarta: CV Rajawali, 1985), hlm. 30–
32.
4

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


mendesak akan kepemimpinan.8 Melalui proses dalam partai tersebut dan dengan adanya
hal-hal kompleks yang ada di dalamnya, para pemimpin menemukan dirinya terpisah dari
massanya. Pembentukan oligarki di dalam berbagai bentuk organisasi adalah akibat
kebutuhan organis. Dengan demikian, fraksi yang merupakan suatu entitas yang terorganisir
dan mempunyai hierarki, tidak tertutup kemungkinan terjebak dalam Hukum Besi Oligarki,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert Michels.
Sementara itu, partai-partai yang mendapat kursi melalui pemilihan umum
menempatkan wakil-wakilnya di DPR dan tergabung dalam fraksi-fraksi. Fraksi dasar
pijakannya adalah partai. Segi positif dari adanya fraksi adalah ada yang memberi arahan.
Dalam konteks kepartaian dan keparlemenan di Indonesia maka sebagai konsekuensi sistem
proporsional maka anggota DPR tidak mungkin meninggalkan fraksi karena mereka menjadi
anggota DPR adalah melalui partai politik.

Konsep Fraksi

Istilah fraksi merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk menyebut political
group/party group yang ada di parlemen. Istilah lain selain fraksi, juga sering digunakan
istilah faction, club, group, dan sebagainya.9 Dalam pengertian fraksi terkandung maksud
adanya “elemen disiplin partai, partai harus dihormati. Anggota-anggota di dalam partai
harus menyampaikan hal-hal yang menjadi kebijakan partai, mereka yang tidak
mengindahkan kebijakan partai terancam posisinya. Kalau disiplin partai yang akan
dipegang maka keberadaan fraksi itu penting.”10
Di dalam Kamus Politik yang ditulis oleh B.N. Marbun bahwa kata fraksi
diterjemahkan sebagai kelompok orang yang mempunyai dan memperjuangkan suatu aliran
politik dalam parlemen atau dewan-dewan perwakilan, juga diterjemahkan sebagai bagian
kecil; pecahan.11
Berdasarkan Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib, Fraksi adalah pengelompokan
anggota berdasarkan konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum.12

Konsep Peran

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Online kata “Peran” ialah perangkat
tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yg berkedudukan dalam masyarakat,
sedangkan kata “Peranan” ialah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa.13

8
Ichlasul Amal (ed.), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1988), hlm. 60.
9
Siti Nur Solechah, “Tranformasi Peran Fraksi dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kemandirian Anggota dalam
Menjalankan Tugas Kedewanan (Tinjauan pada Era Orde Baru dan Era Reformasi)”, dalam Uli Sintong Siahaan &
Siti Nur Solechah, (eds.), Peran Politik DPR RI pada Era Reformasi, (Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan
Informasi (P3I) Sekretariat Jenderal DPR RI, 2001), hlm. 104.
10
Ibid.
11
Lihat B.N. Marbun, Kamus Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007), hlm. 153.
12
Lihat Pasal 1 angka 7 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/DPR RI/I/2009–2010
tentang Tata Tertib.
13
Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia Online dalam http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi /index.php, diakses 21
September 2012, pkl. 18.44 WIB.
5

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Menurut A. Ridwan Halim bahwa kata “Peran” berarti kedudukan (status), ialah
sesuatu tingkatan eksistensi yang merupakan sumber bagi timbulnya peranan-peranan
tertentu, sedangkan “Peranan” berarti suatu “Fungsi” (role), ialah suatu kegunaan diri, baik
dalam arti kegunaan diri seseorang bagi dirinya sendiri maupun kegunaan diri orang itu bagi
orang lain. Kegunaan diri seseorang bagi dirinya sendiri disebut dengan istilah “Hak”,
sedangkan kegunaan diri seseorang bagi orang lain disebut dengan istilah “Kewajiban”14
Peran atau peranan didefinisikan oleh Gross, Mason, dan Mc. Echern sebagai
seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada individu-individu yang memenpati
kedudukan sosial tertentu.15
Dengan kata lain dalam peran atau peranan terdapat dua macam harapan, yaitu:
1) Harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban
dari pemegang peran.
2) Harapan-harapan yang dimiliki oleh si pemegang peran terhadap masyarakat atau
terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau
kewajiban-kewajibannya.
Uraian tersebut dapat diartikan bahwa peran dapat dilihat sebagai bagian dari struktur
masyarakat, misalnya dalam pekerjaan, keluarga, dan kekuasaan sehingga peran merupakan
wujud dari aktivitas-aktivitas seseorang atau lembaga yang mempunyai pengaruh terhadap
orang lain atau lingkungannya.
Sementara, menurut Duverger, peran ialah atribut sebagai akibat dari status dan
perilaku yang diharapkan oleh anggota-anggota lain dari masyarakat terhadap pemegang
status, singkatnya peran adalah aspek dari status.16 Duverger juga mengutip pendapat
Stoetzel, yang menyatakan bahwa status atau kedudukan ialah pola kolektif yang secara
normal bisa diharapkan dari orang lain, sedangkan peran atau peranan ialah pola perilaku
kolektif orang lain yang diharapkan terhadap pemegang status atau kedudukan. Kedudukan
dan peranan tidak dapat dipisahkan, tetapi dalam kehidupan sehari-hari, dua kata tersebut
tidak selalu identik. Orang yang mempunyai peranan, belum tentu mempunyai kedudukan.
Sebaliknya, orang yang memiliki kedudukan, juga belum tentu memiliki peranan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan “Peran fraksi” di sini ialah suatu kedudukan
atau tingkatan eksistensi (kehadiran) fraksi yang memberikannya peranan-peranan tertentu
dalam kedudukannya sebagai kepanjangan tangan partai.
Menurut Dennis F. Thomson17 yang merumuskan tentang etika legislatif tidak dapat
memberi tahu kepada wakil rakyat apakah bertindak sebagai wakil rakyat atau delegasi, saat
menyangkut isu tertentu. Ini berarti bahwa etika legislatif memberikan satu keleluasaan
besar kepada para legislator dalam pilihan-pilihan peran dan keputusan mereka tentang
kebijakan. Sementara, Mill18 mengatakan bahwa apa yang seharusnya diusahakan adalah
adanya suatu susunan perwakilan yang benar-benar seimbang di antara berbagai jenis wakil.
Tugas seorang wakil rakyat manapun tergantung pada apa yang dilakukan atau tidak

14
A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum dalam Tanya Jawab, Edisi Kedua, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hlm.
108.
15
David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, dalam edisi Indonesia oleh LPPS, (Jakarta: CV Rajawali,
1981), hlm. 99.
16
Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Penerjemah Daneil Dhakidae, (Jakarta: PT Rajawali, 1993), hlm. 110.
17
Richard F. Fenno, dalam Dennis F. Thomson, Etika Politik Pejabat Negara, Penerjemah Benyamin Molan, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 149. 
18
Ibid., hlm. 148.
6

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


dilakukan oleh wakil lain dan dengan demikian peran yang tepat dari seorang wakil rakyat
tidak bisa ditentukan tanpa rujukan pada status sistem legislatif.
Dalam konteks ini maka penulis akan mengkaji dan membahas peran fraksi DPR
dalam proses pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam penentuan ambang batas parlemen, dari tiga
aspek, yaitu aspek pengorganisasian anggota fraksi, aspek substansi kebijakan, dan aspek
sistem pengawasan.

1.4 Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitis.
Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan dan wawancara.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan seluruh data berupa bahan primer,
bahan sekunder, dan bahan tersier. Untuk melengkapi data yang diperoleh melalui penelitian
kepustakaan, dilakukan juga wawancara terhadap unsur pimpinan dan/atau anggota fraksi
DPR, yang tergabung dalam Pansus RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dalam penentuan ambang batas parlemen,
yaitu Fraksi Partai Golongan Karya (FPG), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS), dan
Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (FPPP). Alasan penulis meneliti ketiga fraksi tersebut
berdasarkan pengelompokan besaran dalam penentuan ambang batas parlemen, yang
berbeda satu sama lain.

2. PEMBAHASAN

2.1 Peran Fraksi di DPR RI

Perak Fraksi di DPR sebagaimana tercantum dalam ketentuan Tatib DPR, UU Parpol,
dan UU MD3. Dalam ketentuan tersebut fraksi mengalami penguatan dari masa Orde Lama
sampai dengan Era Reformasi. Pada masa Orde Lama (DPR Periode 1950–1959), masa
Orde Baru (DPR Periode 1966–1998), dan awal Era Reformasi (DPR Periode 1999–2004),
ketentuan tentang fraksi hanya tercantum pada Tatib. Namun, memasuki era Reformasi
(DPR Periode 2004 s.d. sekarang), ketentuan tentang fraksi, telah dicantumkan dalam UU.
Pada DPR Periode 2004–2009, ketentuan tentang fraksi selain tercantum dalam Tatib,
tercantum pula pada UU Susduk. Memasuki DPR Periode 2009–2014, ketentuan tentang
fraksi semakin menguat, selain tercantum pada Tatib DPR, tercantum pula pada UU Parpol
dan UU MD3. Hal ini memperlihatkan bahwa ketentuan tentang fraksi semakin kuat.
Selain itu, fraksi yang ada di DPR juga merupakan bagian dari struktur partai,
kepanjangan tangan, dan alat perjuangan partai-partai yang memiliki kursi di DPR, yang
susunan/komposisi kepengurusan fraksi tersebut diangkat, disahkan, dan diberhentikan oleh
ketua partai tersebut sesuai dengan tingkatannya, sebagaimana hal ini dapat dilihat pada
Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) tiap-tiap partai politik tersebut.
Bahkan, pengurus partai politik yang bukan anggota DPR dapat memimpin rapat, memberi
arahan, dan kebijakan dan pendapat fraksi dari partai tersebut. Hal ini sebagaimana
tercantum pada AD/ART beberapa partai politik yang ada di DPR. Dengan demikian, jelas
bahwa keberadaan fraksi di DPR adalah bagian dari struktur kepengurusan partai politik,

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


diangkat, dipilih, diberhentikan, dan bertanggung jawab kepada partai politiknya dan fraksi
juga merupakan kepanjangan tangan dari partai politik yang membentuknya serta bukan
merupakan bagian atau alat kelengkapan dari DPR.
Keberadaan dan peran fraksi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik di
Indonesia. Oleh karena itu, peran fraksi akan selalu berubah mengikuti perkembangan
politik tersebut. Berdasarkan ketentuan Tatib DPR terlihat bahwa penguatan posisi fraksi
sudah mulai terlihat sejak tahun 1956. Meskipun demikian, peran anggota sebagai wakil
rakyat tidak tereduksi karena peran fraksi hanya dalam pembentukan alat kelengkapan, tidak
dalam pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR. Namun, peran fraksi semakin menguat di
tahun 1971, tidak hanya pada pembentukan alat kelengkapan DPR, fraksi dipersyaratkan
kehadirannya dalam pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Demikian pula pada DPR Periode
2009–2014, peran fraksi semakin jelas dan nyata.
Dalam pelaksanaan fungsi DPR, fraksi juga berperan, baik dalam pelaksanaan fungsi
legislasi, fungsi anggaran maupun fungsi pengawasan. sebagaimana terlihat dalam tabel
berikut:
Tabel Peran Fraksi dalam Pelaksanaan Fungsi DPR

Fungsi DPR Peran Fraksi

Fungsi Legislasi • Memberikan usulan dalam penyusunan prolegnas (Pasal 104 ayat (1))
• Menyampaikan pendapat mini pada akhir pembicaraan Tingkat I Pembahasan
RUU (Pasal 136 ayat (6 huruf a)
• Memberikan penjelasan, keterangan, atau tanggapan atas RUU serta tanggapan
terhadap DIM dan pertanyaan yang diajukan oleh menteri, apabila RUU berasal
dari DPR. (Pasal 140 ayat (3))
• Mengajukan pertanyaan kepada menteri yang mewakili presiden, apabila RUU
berasal dari Presiden. (Pasal 140 ayat (2))
• Pengambilan keputusan RUU dalam Raker, dilaksanakan apabila dihadiri oleh
lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur
fraksi (Pasal 148 ayat (2))
• Menyampaikan pernyataan persetujuan atau penolakan pada akhir Pembicaraan
Tingkat II Pembahasan RUU (Pasal 150 ayat (1) huruf b).

Fungsi Anggaran • Menyampaikan pandangan atas materi yang disampaikan oleh pemerintah pada
pembicaraan pendahuluan dalam rapat paripurna (Pasal 152 ayat (4))
• Menyampaikan pemandangan umum terhadap RUU APBN disertai nota
keuangan dan dokumen pendukungnya dalam rapat paripurna (Pasal 153 ayat (2))
• Menyampaikan pemandangan umum terhadap penyelesaian akhir RUU APBN
dalam rapat kerja (Pasal 155 ayat (1) huruf b)
• Menyampaikan pandangan terhadap materi RUU tentang Pertanggungjawaban
Pelaksanaan APBN yang disampaikan oleh Pemerintah dalam rapat paripurna
(Pasal 158 ayat (2)).

Fungsi Pengawasan • Memberi pertimbangan atas nama DPR terhadap sesuatu masalah atau
pencalonan orang untuk jabatan tertentu.(Pasal 30 ayat (2) huruf f)
• Membentuk tim atas nama DPR terhadap suatu masalah mendesak yang perlu
penanganan segera. (Pasal 30 ayat (2) huruf h).
• Memberi pertimbangan terhadap pencalonan duta besar negara sahabat. (Pasal
194 huruf b).
Sumber: Diolah dari Peraturan DPR RI No. 01/DPR RI/I/2009–2010 tentang Tata Tertib.

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Dalam pelaksanaan tugas kedewanan peran fraksi sangat dominan. Hal ini dapat
dilihat, di antaranya Pimpinan DPR dalam menjalankan tugas harus melibatkan peran
fraksi/pimpinan fraksi, yang pada kenyataannya fraksi merupakan kepanjangan tangan
partai, sedangkan tugas kedewanan mestinya dilakukan oleh anggota DPR yang tidak perlu
lagi memperhitungkan atau mempertimbangkan pendapat fraksi. Selanjutnya, untuk
konsultasi dan koordinasi dengan lembaga negara lain mengikutsertakan fraksi, yang
seharusnya pimpinan DPR-lah yang merepresentasikan lembaga DPR dalam berinteraksi
dengan lembaga negara lain. Terkait dengan tugas kedewanan seharusnya yang melakukan
kegiatan tersebut adalah lembaga internal DPR atau alat kelengkapan DPR. Fraksi
merupakan kepanjangan tangan partai yang menempatkan wakilnya di DPR dan bukan
merupakan alat kelengkapan DPR. Idealnya, yang melakukan tugas kedewanan adalah alat
kelengkapan DPR tanpa harus melibatkan fraksi.
Selain besarnya peran fraksi DPR dalam pelaksanaan fungsi DPR dan tugas
kedewanan, ternyata fraksi DPR juga sangat menentukan komposisi keanggotaan,
mengusulkan nama anggota, dan mengganti anggota alat kelengkapan DPR. Bahkan, fraksi
berperan besar dalam mengajukan calon pimpinan alat kelengkapan DPR. Hal ini
dikarenakan dalam setiap pembentukan alat kelengkapan DPR, keterlibatan fraksi selalu
ada, baik dalam menentukan komposisi keanggotaan, mengusulkan nama anggota,
mengganti anggota maupun dalam mengajukan nama calon pimpinan alat kelengkapan
DPR.
Berdasarkan uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan, apa sebenarnya yang
menyebabkan peran fraksi kuat dan dominan, baik pada pelaksanaan fungsi DPR,
pelaksanaan tugas kedewanan maupun pada penetapan keanggotaan dalam alat kelengkapan
DPR. Hal ini paling tidak disebabkan karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah adanya ketentuan tentang fraksi yang diatur sedemikian rupa dalam Tatib
DPR. Ketentuan tentang fraksi yang diatur dalam Tatib DPR merupakan salah satu sumber
kekuasaan politik fraksi.19 Hal inilah yang menyebabkan kekuasaan fraksi powerful,
sebagaimana diungkapkan juga oleh Audy Wuisang20 bahwa fraksi merupakan lembaga
yang sangat powerful, hampir setiap kebijakan DPR ada di sana. Setiap keputusan strategis
pasti ada trade off atau jarang lewat voting atau mekanisme terbuka.
Kecenderungan memberikan peran “istimewa” pada fraksi memberikan dampak
bahwa individu anggota DPR tidak dapat menunjukkan sikapnya secara leluasa. Karena
pandangan-pandangan fraksi dilembagakan, tiap-tiap wakil rakyat berkecenderungan untuk
menyesuaikan pandangannya. Memang, dengan pelembagaan fraksi tersebut, mekanisme
pengambilan keputusan diharapkan akan lebih efisien, terutama dalam hal waktu. Meskipun
demikian, misalnya, dalam praktik pembahasan RUU, cepat atau tidaknya proses tersebut
sangat relatif21 karena sangat bergantung pada sikap pemerintah, sikap fraksi, dan
kemampuan anggota DPR secara individu.

19
Yang dimaksud dengan kekuasaan politik ialah kemampuan menggunakan sumber-sumber untuk memengaruhi
proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Adapun sumber-sumber kekuasaan, di antaranya, yaitu
jabatan, keahlian, normatif, pribadi popular, dsb. Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Cetakan Keenam,
(Jakarta: PT Grasindo, 2007), hlm. 85.
20
Pembahas FGD sebagai TA FPDS, "Peran Fraksi dalam Mengelola Aspirasi Masyarakat dan Menjadikannya
sebagai Basis Keberpihakan", dalam Frank Feulner, dkk., op. cit., hlm. 245.
21
Misalnya pada tahun 2006, DPR dan Pemerintah memprioritaskan 76 RUU untuk diselesaikan selama satu tahun.
Dari 76 RUU tersebut, 33 di antaranya merupakan limpahan tahun 2005. Pada akhir 2006 DPR melaporkan 39 UU
yang dihasilkannya, tetapi 16 UU di antaranya Pemekaran Wilayah. Lihat Bivitri Susanti, dkk., Bobot Kurang Janji
Masih Terutang: Catatan PSHK tentang Kualitas Legislasi 2006, (Jakarta: PSHK-Konrad Adenaeur Stiftung, 2007),
9

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Sementara, faktor eksternal adalah adanya ketentuan recall, sistem pemilu, dan sistem
multipartai. Terkait dengan ketentuan recall, menurut Rachmat Witoelar sebagaimana
dikutip oleh Alfian, menilai bahwa kurang berfungsinya DPR karena ada anggota DPR yang
dikecam rasa takut, baik karena takut dimarahi maupun takut salah, takut tidak berkenan
dengan hati pimpinan, juga takut di-recall.22 Pernyataan Witoelar tersebut jelas tidak hanya
mengenai salah satu fungsi DPR saja, tetapi dalam konteks yang lebih luas adalah DPR
sebagai sebuah lembaga. Hal ini tentu berbeda dengan DPR Periode 1999–2004, yang tidak
ada ketentuan tentang recall sehingga anggota DPR berani berseberangan dengan sikap
fraksinya. Namun, ketentuan tersebut kembali dicantumkan dalam UU,23 baik pada DPR
Periode 2004–2009 maupun pada DPR Periode 2009–2014 sehingga anggota DPR lebih
banyak bersikap sejalan dengan sikap fraksinya.
Diberikannya hak recall pada parpol dapat menyebabkan kecenderungan wakil rakyat
untuk mengikuti kehendak parpol melalui fraksinya. Berdasarkan ketentuan dalam UU
Parpol bahwa hilangnya keanggotaan dalam parpol karena melanggar AD/ART. Meskipun
demikian, tidak ada mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh wakil rakyat yang ter-
recall untuk membela apakah yang bersangkutan melanggar AD/ART atau tidak. Hal ini
dapat menyebabkan parpol dapat menjustifikasi bahwa semua tindakan yang tidak disukai
oleh pimpinan parpol (atau kebijakannya) dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
melanggar AD/ART Parpol.24
Lewat kebijakan Penelitian Khusus (Litsus) seluruh anggota DPR, baik yang dipilih
maupun yang diangkat diteliti dan dikontrol dengan sangat ketat sehingga tidak memiliki
kemandirian dan kebebasan politik untuk menentang pemerintah. Pada sisi lain, pemberian
peran yang kuat bagi fraksi dan pemberlakuan sistem recalling, menyebarkan "ketakutan
politik" di kalangan Anggota DPR, yang diduga menjadi sebab para anggota kehilangan
kemandirian dalam melakukan tugas kedewanan.25
Terkait dengan sistem pemilu, Eva Kusuma Sundari26 menjelaskan bahwa sistem
partai yang belum baik dan belum modern, menyebabkan kekuasaan fraksi powerful,
meskipun diakui fraksi tidak efisien, tetapi efektif untuk mengatasi pembahasan yang
berkepanjangan dalam rapat-rapat. Hal ini ditegaskan pula oleh Maswadi Rauf,27
menurutnya, keberadaan fraksi, tergantung sistem pemilu. Sistem pemilu proporsional
menghasilkan partai atau fraksi yang cukup kuat mencengkeram anggota DPR karena wakil
rakyat didukung oleh rakyat atau para pemilih dan partai politik. Anggota DPR yang dipilih
dengan sistem proporsional sebenarnya mereka adalah wakil rakyat sekaligus juga wakil
partai. Memang secara teoritis, menurut Miriam Budiardjo, dalam bukunya, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, bahwa sistem proporsional memiliki sejumlah kelemahan dan memberikan

hlm. 37. Fenomena ini juga terlihat pada pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang ditargetkan selesai Maret 2012,
tetapi karena masih ada perdebatan terhadap isu krusial, akhirnya RUU tersebut diperpanjang sampai April 2012.
22
Lihat Alfian, “Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD”, dalam Jurnal Ilmu Politik 7,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990), hlm. 45.
23
Hal ini bisa dilihat dalam UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk dan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MD3.
24
Hal ini sebagaima terlihat pada Kasus Recall Lili Wahid dan Effendy Choirie oleh PKB karena dianggap melanggar
AD/ART pascasikap mereka yang berseberangan dengan sikap fraksi dalam Pengambilan Keputusan Usul Hak
Angket Perpajakan tahun 2011.
25
Immanuel E. Blegur, op. cit., hlm. 2–3.
26
Pembahas Utama FGD sebagai anggota tim Pansus RUU Susduk/anggota Tim Peningkatan Kinerja DPR/FPDIP,
dalam Frank Feulner, dkk., op. cit., hlm. 140.
27
Pembahas Utama FGD, “Penguatan Prinsip Representasi dalam Fungsi Pokok Parlemen”, dalam Frank Feulner,
dkk., op. cit., hlm. 141.
10

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


implikasi negatif, salah satunya, yaitu menjadikan anggota DPR merasa lebih terikat pada
partai politik dan kurang loyalitasnya kepada konstituennya.28
Selain itu, menurut Bilal Dewansyah29 dibentuknya fraksi juga merupakan salah satu
konsekuensi dari sistem multipartai yang dianut. Dalam sistem multipartai, mekanisme
untuk melakukan agregasi kepentingan penting diatur, salah satunya dengan pelembagaan
fraksi. Meskipun demikian, fraksi dalam praktiknya merupakan kristalisasi kepentingan
parpol dalam tubuh lembaga perwakilan. Dilembagakannya kepentingan parpol dalam
lembaga perwakilan, pada tahap yang ekstrem juga melembagakan oligarki parpol. Hal ini
juga diungkapkan oleh Robert Michels bahwa pada tubuh parpol tidak mungkin terhindar
dari munculnya fenomena oligarki. Menurutnya, partai sebagai suatu entitas dan bagian dari
mekanisme tidak selalu dapat diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan
kelas yang memiliki partai itu. Penyebab utama oligarki dalam partai-partai demokratis
adalah kebutuhan teknis yang mendesak akan kepemimpinan.30 Melalui proses dalam partai
tersebut dan dengan adanya hal-hal kompleks yang ada di dalamnya, para pemimpin
menemukan dirinya terpisah dari massanya. Pembentukan oligarki di dalam berbagai bentuk
organisasi adalah akibat kebutuhan organis. Fraksi yang merupakan suatu entitas yang
terorganisir dan mempunyai hierarki tidak tertutup kemungkinan terjebak dalam Hukum
besi oligarki, sebagaimana yang diungkapkan oleh Robert Michels. Dengan demikian,
hubungan antara wakil rakyat dengan konstituen menjadi semakin rumit dengan adanya
pelembagaan fraksi dalam lembaga perwakilan. Oleh karena itu, wakil rakyat dihadapkan
pada dua pihak, fraksi di satu pihak dengan pandangan-pandangannya dan konstituen di
pihak lain yang mendudukkannya menjadi wakil rakyat.

2.2 Ambang Batas Parlemen

Parliamentary threshold, electoral threshold, ataupun threshold pada dasarnya


bermakna sama, yaitu ambang batas atau persyaratan minimum yang harus dipenuhi oleh
partai politik agar perolehan suaranya dilibatkan dalam perhitungan kursi perwakilan atau
syarat minimal yang harus dipenuhi partai politik untuk bisa mengirimkan wakilnya ke
lembaga perwakilan. Syarat ini biasanya diwujudkan dalam bentuk persentase suara
minimal yang harus diperoleh partai politik, meskipun pada beberapa situasi juga diterapkan
dalam bentuk syarat jumlah minimal perolehan kursi.31
Dalam konsep ilmu politik sesungguhnya dikenal hanya satu ambang batas pemilu,
yaitu ambang batas masuk parlemen. Akan tetapi, konsep politik Indonesia pasca-Orde Baru
dikenal dua macam ambang batas, yaitu ambang batas persentase jumlah kursi atau
persentase jumlah suara yang diperoleh untuk berhak mengikuti pemilu berikutnya
(electoral threshold) dan ambang batas persentase jumlah suara atau jumlah kursi yang
diperoleh untuk dapat masuk parlemen (parliamentary threshold). Dalam konsep ilmu
politik apa yang disebut electoral threshold tidak lain tidak bukan adalah parliamentary

28
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2008), hlm. 469.
29
Lihat Bilal Dewansyah, “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat dan
Konstituen”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 2, 2010, hlm. 21.
30
Ichlasul Amal (ed.), loc. cit.
31
August Mellaz, “Membaca Prospek dan Peta Politik Pemilu Legislatif 2014: Dari Sisi Ambang Batas Perwakilan,
Daerah Pemilihan, dan Formula Perhitungan”, dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Mei 2012, hlm. 220.
11

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


threshold. Ambang batas seperti ini merupakan salah satu instrument sistem pemilu untuk
mencapai sistem politik yang disepakati bersama.32
Adapun tujuan penerapan parliamentary threshold menurut Didik Supriyanto dan
August Mellaz adalah:33 1) Membatasi jumlah partai politik yang memperoleh dukungan
tidak signifikan dari pemilih masuk parlemen. Hal ini dimaksudkan karena berkurangnya
jumlah partai politik di parlemen diharapkan dapatmeningkatkan efektivitas kerja parlemen;
2) Menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Karena, dengan banyaknya partai
politik peserta pemilu, tidak hanya berdampak pada membengkaknya dana penyelenggaraan
pemilu, tetapi juga membuat pemilih bingung dalam memberikan suara.
Sementara, tujuan PT menurut Eep Syaifullah adalah merampingkan jumlah partai
dalam lembaga legislatif, tetapi ada hal lain yang tidak bisa terakomodir. PT tidak bisa
merampingkan dan menguatkan sistem kepartaian.34 Secara objektif penyederhaaan jumlah
partai politik dimaksudkan agar sistem politik lebih stabil, efektif, dan berkualitas. Namun,
secara subjektif penyederhaaan jumlah partai politik bisa juga ditafsirkan sebagai upaya
membangun kekuasaan bagi partai-partai politik besar.35
Adapun perkembangan penerapan ambang batas parlemen di Indonesia, sebagaimana
tabel berikut:
Tabel Perkembangan Penerapan Ambang Batas Parlemen di Indonesia
Partai Partai Partai
Pemilu Peserta Masuk Lolos Besaran ET/PT
Pemilu DPR ET/PT
1999 48 21 6 2% Electoral Threshold
2004 24 16 7 3% Electoral Threshold
2009 38 9 9 2,5% Parliamentary Threshold
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.

2.3 Deskripsi Pembahasan RUU Pemilu Legislatif

Melalui surat nomor: LG.01.01/6504/DPR RI/VII/2011 tanggal 25 Juli 2011, DPR RI


menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
(RUU Pemilu Legislatif) kepada Presiden dan melalui surat nomor: R-43/Pres/08/2011
tanggal 10 Agustus 2011, Presiden menunjuk Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum
dan HAM, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, untuk mewakili Pemerintah
membahas RUU tersebut bersama-sama dengan DPR RI serta berdasarkan Rapat Bamus
DPR RI tanggal 8 September 2011 memberi tugas kepada Pansus RUU Pemilu Legislatif
untuk memproses Pembicaraan Tingkat I. Sesuai dengan kesepakatan antara DPR dan
Presiden yang dikukuhkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) berdasarkan
Keputusan DPR RI Nomor 02G/DPR RI/II/2010–2011 maka perancangan RUU Pemilu
Legislatif tersebut dilakukan oleh DPR, bukan oleh Presiden (Pemerintah).

32
Arwani Thomafi, Menuju Pemilu 2014: Pertarungan Gagasan dan Kepentingan Seputar Pembahasan Perubahan
UU Pemilu, (Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012), hlm. 99.
33
Ibid.
34
Zahir Rusyad, “Parliamentary Threshold dan Pengaruhnya terhadap Penguatan Sistem Pemerintahan di Indonesia”,
dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, hlm. 100.
35
Lihat “Penyederhanaan Parpol untuk Kepentingan Siapa?”, dalam Majalah FIGUR, Edisi IX, 2007, hlm. 18.
12

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Adapun alasan perubahan terhadap RUU tersebut karena dilihat dari banyaknya
komentar dan analisis di media massa yang memperlihatkan tingginya kekecewaan
masyarakat terhadap penyelenggaraan pada Pemilu 2009. Hal ini dikarenakan antara DPR
dan Pemerintah dalam membuat UU Pemilu 2009 terjadi banyak transaksi politik di dalam
mengakomodir berbagai kepentingan, yang akhirnya proses selesainya UU tersebut
mengalami keterlambatan dan menyebabkan berbagai kekisruhan terjadi pada Pemilu 2009.
Di antara kekisruhan tersebut salah satunya adalah konsekuensi dari Pasal 316 huruf d UU
10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyatakan bahwa
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 315 (Partai Politik
Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPR)
dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004
maka 16 partai politik yang mewakili di DPR secara otomatis menjadi kontestan Pemilu
2009.36 Padahal jika mengikuti ketentuan Pasal 315 UU tersebut yang menetapkan
Electoral Threshold 3%, praktis hanya akan ada tujuh partai politik yang lolos secara
otomatis, yaitu PG, PDIP, PPP, PKB, PAN, PKS, dan PD. Dari 16 partai yang lolos secara
otomatis tersebut mengilustrasikan inkonsistensi dalam pembahasan RUU Pemilu 2009
yang sarat kepentingan dan kompromi politik serta ketentuan tersebut pula yang
menyebabkan kegagalan melakukan penyederhanaan parpol atau dalam rangka
pembentukan parpol yang efektif. Sehari setelah KPU mengumumkan hasil verifikasi
faktual dan menyatakan parpol yang menjadi peserta Pemilu 2009 pada 9 Juli 2008 maka
Pasal 316 huruf d tersebut kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena
dianggap melanggar UUD 1945.37
Terkait dengan alasan perubahan UU Pemilu tersebut, Nurul Arifin mengungkapkan
bahwa perubahan UU Pemilu tersebut untuk memperbaiki sistem pemilu agar lebih
demokratis dan lebih berkualitas.38 Sementara, Agoes Poernomo mengungkapkan: pertama,
belum menentukan parlemen threshold untuk partai sehingga terlalu banyak partai sebagai
peserta pemilu dan menimbulkan kesulitan dalam penyelenggaraan pemilu; kedua, tidak
memiliki semangat penyederhaaan partai.39 Lebih lanjut, Ahmad Yani menjelaskan, ingin
memperbaiki pelaksanaan pemilu dan untuk menyederhanakan partai melalui ambang batas
parlemen.40
Berdasarkan Pasal 129 Peraturan DPR RI Nomor 01/DPR RI/I/2009–2010 tentang
Tata Tertib bahwa pembahasan RUU dilakukan berdasarkan tingkat pembicaraan. Tingkat
pembicaraan tersebut dilakukan melalui dua tingkat pembicaraan. Pembicaraan Tingkat I
dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat panitia
khusus, atau rapat Badan Anggaran bersama dengan menteri yang mewakili Presiden,
sedangkan Pembicaraan Tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna.
Sementara itu, pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008
(RUU Pemilu Legislatif) dilakukan dalam pansus. Sesuai dengan Pasal 90 Tatib DPR,

36
Keenam belas partai politik tersebut adalah PG, PDIP, PPP, PKB, PAN, PKS, PD, PDS, PPDK, PNI Marhaenisme,
PKPB, PPDI, PP, dan PBB.
37
Lihat Jurnal Penelitian Politik, Kisruh Pemilu 2009, vol. 6, No. 1, 2009, sebagaimana dikutip oleh Arwani Thomafi,
op. cit., hlm. 2–3.
38
Hasil Wawancara dengan Nurul Arifin (Pimpinan FPG), 10 Desember 2012, di Gedung Nusantara I DPR RI, Lantai
12.
39
Hasil Wawancara dengan Agoes Poernomo (Pimpinan FPKS), 13 Desember 2012, di Gedung Nusantara I DPR RI,
Lantai 3.
40
Hasil Wawancara dengan Ahmad Yani (Pimpinan FPPP), 28 November 2012, di Gedung Nusantara I DPR RI,
Lantai 15. 
13

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


susunan dan keanggotaan Pansus RUU Pemilu Legislatif ditetapkan dalam Rapat Paripurna
DPR yang dilaksanakan pada tanggal 20 September 2011, berdasarkan perimbangan dan
pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi. Jumlah anggota Pansus paling banyak 30 orang.
Begitu juga dengan Pansus RUU Pemilu Legislatif ini, jumlah anggotanya adalah 30 orang.
Adapun nama-nama Anggota Pansus RUU Pemilu Legislatif dari FPG, FPKS, dan FPPP,
sebagai berikut:
Tabel Daftar Nama Anggota Pansus RUU Pemilu Legislatif dari FPG, FPKS, dan FPPP
No. Nama Fraksi Nama Anggota
Drs. H. Ibnu Munzir
Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP, M.Si.
Drs. Taufiq Hidayat, M.Si.
1. Fraksi Partai Golkar (FPG)
Dra. Hj. Popong Otje Djundjunan
Nurul Arifin, S.I.P., M.Si.
Edison Betaubun, S.H., M.H.
Agus Poernomo, S.I.P.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
2. Drs. Al Muzzammil Yusuf
(FPKS)
H. TB. Soenmandjaja, S.D.
Fraksi Partai Persatuan H. Muhamad Arwani Thomafi, S.Ag.
3.
Pembangunan (FPPP) Ahmad Yani, S.H., M.H.
Sumber: Lampiran Keputusan DPR RI Nomor 11/DPR RI/I/2011–2012 tentang
Pembentukan Panitia Khusus DPR RI mengenai RUU tentang Perubahan atas UU
No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, tanggal 20
September 2011.

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa dari setiap fraksi menempatkan pimpinan
fraksinya. Pimpinan FPG, yaitu Ibnu Munzir (Wakil Ketua) dan Nurul Arifin (Wakil
Sekretaris), pimpinan FPKS, yaitu Agoes Poernomo (Wakil Ketua) dan Al Muzzammil
Yusuf (Ketua Bidang), sementara di FPPP kedua-duanya adalah pimpinan fraksi, yaitu
Ahmad Yani (Wakil Ketua) dan Muhamad Arwani Thomafi (Sekretaris).41 Hal ini
membuktikan bahwa fraksi selalu mengawal proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif.

Pembicaraan Tingkat I

Sesuai dengan Pasal 136 Tatib DPR maka pembahasan RUU dalam Pembicaraan
Tingkat I dilakukan dengan kegiatan: a) pengantar musyawarah; b) pembahasan Daftar
Inventarisasi Masalah (DIM); c) penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir; c)
pengambilan keputusan. Karena RUU berasal dari DPR maka dalam pengantar musyawarah,
DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan. DIM diajukan oleh
Presiden. Kemudian, penyampaian pendapat mini dilakukan pada akhir Pembicaraan
Tingkat I oleh fraksi dan Presiden.
Adapun kegiatan Pembicaraan Tingkat I tersebut dilakukan dalam rapat kerja, rapat
panitia kerja; rapat tim perumus/tim kecil; dan/atau rapat tim sinkronisasi.42 Namun,
berdasarkan penelitian penulis bahwa pembahasan RUU Pemilu Legislatif yang terkait
penentuan ambang batas parlemen hanya dilakukan satu kali dalam rapat panitia kerja
(panja), rapat kerja (raker), dan selebihnya dilakukan dalam rapat tertutup atau lobby.

41
Data ini penulis lihat dari lampiran Surat Keputusan DPR RI tentang Susunan Pimpinan Fraksi Partai Golkar, Fraksi
PKS, dan Fraksi PPP DPR RI Periode 2009–2014.
42
Lihat Pasal 138 Tatib DPR.
14

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Penjelasan DPR atas RUU Pemilu Legislatif dilakukan dalam Rapat Kerja dengan
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 6 Oktober 2011. Dalam
rapat tersebut, ada beberapa substansi krusial di antaranya, yaitu ambang batas parlemen.
Dalam penjelasannya bahwa ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) yang
tercantum, antara 2,5% sampai dengan 5%. Sementara mekanisme pembahasan RUU
Pemilu Legislatif disepakati dengan menggunakan sistem cluster, yaitu berdasarkan kategori
substansi permasalahan.43
Adapun pandangan dan pendapat Pemerintah terhadap penjelasan DPR atas RUU
Pemilu Legislatif tersebut terkait penentuan ambang batas parlemen bahwa untuk
mewujudkan sistem multipartai sederhana dan sistem presidensial, Pemerintah menawarkan
PT dinaikkan dari 2,5% menjadi 4% secara nasional dengan tujuan membangun dan
mengembangkan kehidupan politik dengan berusaha menciptakan kompatibilitas antara
sistem kepartaian dengan pemerintahan presidensial dalam suasana mewujudkan checks and
balances. Untuk memperoleh angka PT yang dapat diterima seluruh partai politik peserta
pemilu, Pemerintah tidak menutup kemungkinan dilakukan pembahasan secara lebih
mendalam.44
Selain itu, Pansus mengadakan RDPU dengan penyelenggara pemilu seperti KPU,
Bawaslu, KPU kabupaten/kota, LSM (Perludem dan cetro), dan RDPU dengan
perseorangan, seperti Ramlan Surbakti. Kemudian, Pansus juga melakukan kunjungan kerja
keempat provinsi, yaitu Bali, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Hal
tersebut dilakukan dalam rangka meminta pandangan, kajian, dan masukan dari berbagai
kalangan masyarakat, baik para ahli, praktisi, penyelenggara pemilu, dan jajaran pemerintah
daerah, serta unsur masyarakat lainnya. Berdasarkan hasil masukan tersebut, baik dari
RDPU maupun dari kunjungan kerja memiliki beragam pandangan. Namun, terhadap
besaran ambang batas parlemen (PT), mayoritas menghendaki bahwa besaran PT jangan
terlalu besar dan diberlakukan secara berjenjang (tidak diberlakukan secara nasional).45
Terhadap hasil masukan tersebut, kemudian dibahas dalam Rapat Panja RUU Pemilu
Legislatif tanggal 27 Februari 2012, yang melakukan perubahan terhadap ketentuan Pasal
202 UU No. 10 Tahun 2008, diusulkan diubah dengan berbagai alternatif, sebagai berikut:
Rumusan alternatif 1 tentang Parliamentary Threshold (PT)
“Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
kurangnya 3% atau tiga per seratus dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan pereolehan kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota”

Dengan catatan:
Angka 3% atau tiga per seratus bukan merupakan hasil kesepakatan politik di Baleg,
untuk selanjutnya besaran angka definitif ambang batas parliamentary threshold akan
ditentukan dalam rapat paripurna.
Setiap fraksi tetap memiliki pendirian sebagai berikut:

43
Lihat Risalah Rapat Kerja Pansus RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD dengan Menteri Dalam Negeri & Menteri Hukum dan HAM, 6 Oktober 2011.
44
Lihat Risalah Rapat Kerja Pansus RUU Pemilu Legislatif dengan Pemerintah, 26 Oktober 2011, hlm. 4.
45
Hasil masukan secara lengkap, sebagaimana tercantum dalam lampiran skripsi ini.
15

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


No. Nama Fraksi Besaran PT
1. Fraksi Partai Demokrat 4%
2. Fraksi Partai Golkar 5%
3. Fraksi PDIP 5%
4. Fraksi PKS 3%-5%
5. Fraksi PAN 2,5%
6. Fraksi PPP 2,5%
7. Fraksi PKB 2,5%
8. Fraksi Partai Gerindera 2,5%
9. Fraksi Partai Hanura 2,5%

Rumusan Alternatif 2:
“Partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-
kurangnya 2,5% sampai dengan 5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan pereolehan kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota”

Perbedaan antara rumusan 1 dan 2, rumusan 1, yaitu besaran PT 3% tetapi bukan


angka definitif, sedangkan rumusan 2, ada range, yaitu besaran PT antara 2,5%-5%.
Rumusan Pemerintah 4% dengan argumentasi:
Berkenaan dengan penentuan batas persentase parliamentary threshold atau PT, yang
waktu Pemilu tahun 2009 ditetapkan 2,5% dari perolehan suara partai secara nasional.
Dalam perjalanannya, belum dapat mewujudakan multipartai sederhana dan sistem
pemerintahan presidensil. Untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana dan sistem
presidensil, Pemerintah Menawarkan PT untuk dinaikkan menjadi dari 2,5% menjadi 4%
secara nasional dengan tujuan untuk membangun dan mengembangkan kehidupan politik
dengan berusaha menciptakan konstabilitas antara sistem kepartaian dengan pemerintahan
yang presidensil dengan suasana mewujudkan checks and balances. Meskipun demikian,
untuk memperoleh angka PT yang dapat diterima oleh seluruh partai politik peserta Pemilu,
Pemerintah berpendapat bahwa tidak menutup kemungkinan dilakukan pembahasan secara
lebih mendalam.
Dengan demikian, inti usulan Pemerintah, yaitu multipartai sederhana, kompatibiliti
antara sistem presidensil dan sistem kepartaian dalam rangka menimbulkan checks and
balances. Berdasarkan rapat panja tersebut, diputuskan bahwa pembahasan ambang batas
parlemen akan dibahas di tingkat pansus.
Sementara penyusunan RUU Perubahan UU Pemilu Legislatif berlangsung sangat
dinamis dan melalui perdebatan yang mendalam dan panjang.Berbagai masukan dan
tanggapan dari pakar, stakeholder, dan kalangan masyarakat menjadi pembahasan dalam
panja. Secara umum sebagian besar materi perubahan pemilu berhasil disepakati, tetapi
untuk materi yang krusial, dalam hal ini penentuan ambang batas parlemen dan
pemberlakuannya secara nasional menjadi perdebatan alot dan beberapa kali lobby tidak
menemukan kata sepakat.
Pembahasan RUU tersebut terancam menemui jalan buntu (deadlock). Pembahasan
yang ditetapkan selesai pada Maret 2012, akhirnya tidak terselesaikan sehingga
diperpanjang sampai pertengahan April 2012. Pembahasan selalu saja berkutat pada isu
krusial, di antaranya ambang batas parlemen. Meskipun sebelumnya, sudah ada kesepakatan
bahwa pembahasan hal-hal kontoversial, seperti PT dan lainnya, diselesaikan di akhir
16

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


pembahasan. Namun, tiba-tiba pembahasan tersebut yang menjadi dikedepankan sehingga
hal ini membuat pembahasan berkutat pada hal-hal tersebut.
Pembahasan tersebut akhirnya memaksa fraksi-fraksi dalam Pansus RUU tersebut
sepakat diupayakan lobby-lobby internal pansus, pimpinan fraksi di DPR, rapat-rapat
sekretariat gabungan (Setgab) Koalisi Pendukung Pemerintah, serta pimpinan partai politik
diintensifkan ketimbang pembahasan formal.46
Berdasarkan hasil penelitian penulis, lobby-lobby tersebut dilakukan dalam forum
Rapat Konsultasi antara Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi-Fraksi dan Pimpinan
Pansus RUU Pemilu Legislatif yang dilakukan secara tertutup, yaitu Rapat Konsultasi
tanggal 15, 22, dan 29 Maret 2012, serta Rapat Konsultasi tanggal 9 April 2012.47 Dari hasil
lobby melalui rapat konsultasi tersebut belum juga menemui kesepakatan terhadap
penentuan ambang batas parlemen.
Menjelang diputuskan RUU Pemilu Legislatif tersebut maka pada tanggal 10 April
2012, Pansus RUU Pemilu Legislatif kembali mengadakan RDPU dengan Barisan Partai
Non-Parlemen. Adapun masukan dari Barisan Partai Non-Parlemen terhadap penentuan
ambang batas parlemen: pertama, untuk menghindari hangusnya suara rakyat, Barisan Partai
Non-Parlemen menawarkan perubahan sistem parliamentary threshold atau PT menjadi
factional threshold atau FT dengan mengganti frase untuk diikutkan dalam perhitungan kursi
DPR dalam Pasal 202 UU No. 10 Tahun 2008, untuk dapat membentuk fraksi di DPR.
Kedua, agar produk DPR tidak memicu perselisihan, pertikaian, bentrok di masyarakat dan
konflik horizontal, Barisan Partai Non-Parlemen mengingatkan DPR agar tidak menerapkan
ambang batas yang berlaku secara nasional, kecuali dengan sistem berjenjang sesuai
tingkatannya berdasarkan suara masing-masing di masing-masing daerah atau wilayahnya.48
Terhadap masukan tersebut Ahmad Yani menanggapi bahwa ketentuan PT sudah
terlanjur ditetapkan 2,5%. Menurutnya, untuk mempertahankan besaran PT yang lama saja
agak berat apalagi kalau diturunkan besarannya. Meskipun demikian, Ahmad Yani sendiri
menghendaki zero parliamentary threshold. Hal ini sebagaimana terlihat dalam
ungkapannya, sebagai berikut:
“Pada waktu perdebatan-perdebatan bahkan saya sering mengatakan zero parliamentary
threshold. Memang karena kita sudah terlanjur menetapkan 2.5% tadi sudah disampaikan
bapak-bapak bahwa angka 2.5% itu ada 19 juta lebih suara, kalau dikonversikan dengan
presentase sekitar 18% lebih. Kita undang para pengiat pemilu ini kita undang Cetro kita
undang Perludem sama itu kajian-kajiannya seperti itu cuman tidak tahu nanti
keputusannya. Kita pun sendiri ini inginnya memperjuangkan dengan yang lama saja masih
agak berat ini kan realitas politik.”49

Kemudian, pada akhir Pembicaraan Tingkat I pada tanggal 10 April 2012, Pansus
RUU Pemilu Legislatif mengadakan Rapat Kerja dengan Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Hukum dan HAM dengan agenda Pendapat Akhir Mini Fraksi dan pengambilan
keputusan Tingkat I, yang juga belum menemui kesepakatan terhadap penentuan ambang
batas parlemen.
46
Arwani Thomafi, op. cit., hlm. 88.
47
Data ini penulis peroleh dari Risalah Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan
Pansus RUU Pemilu Legislatif, tanggal 15, 22, 29 Maret 2012 dan 9 April 2012.
48
Hasil masukan dari Barisan Partai Non-Parlemen secara lengkap, sebagaimana tercantum dalam lampiran skripsi.
49
Lihat Risalah RDPU Pansus RUU Pemilu Legislatif dengan Barisan Partai Non-Parlemen, 10 April 2012, hlm. 11–
12.
17

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Dari berbagai uraian di atas maka tergambar dengan jelas bahwa proses pembahasan
RUU Pemilu Legislatif terkait dengan penentuan Ambang Batas Parlemen mengalami
perdebatan yang alot, dari rapat panja, rapat konsultasi, sampai dengan pengambilan
keputusan Pembicaraan Tingkat I yang dilakukan dalam rapat kerja, tetap tidak
menghasilkan sebuah kesepakatan sehingga perdebatan pembahasan tersebut berlanjut
hingga menjelang diputuskannya dalam Pembicaraan Tingkat II yang dilakukan dalam rapat
paripurna.
Dalam pembahasan di Pansus RUU Pemilu Legislatif tersebut, perdebatan penerapan
PT berlangsung lama. Bahkan dapat dikatakan masalah besaran PT sejatinya merupakan
persoalan kunci yang akan menentukan cepat atau lambatnya pembahasan. Hal ini
dikarenakan bagi sebagian partai politik besaran PT akan menentukan keberlangsungan
mereka ke depan. Terdapat setidaknya tiga alternatif usulan dalam pembahasan Pansus RUU
tersebut, yaitu pertama, usulan agar PT tetap seperti pada Pemilu 2009, yaitu sebesar 2,5%;
kedua, usulan agar PT sebesar 4%; dan ketiga, usulan agar PT sebesar 5%.
Kalangan partai menengah ke bawah cenderung agar PT tetap 2,5% dengan alasan
mengingat luas dan majemuknya bangsa Indonesia maka perlu menjaga keragaman dengan
tetap mempertimbangkan efektivitas. Sementara partai besar menginginkan peningkatan
besaran PT, yaitu 5% dengan alasan untuk meningkatkan efektivitas di parlemen. Di sisi
lain, usulan PT 4% dengan alasan kenaikan dibutuhkan, tetapi sebaiknya secara bertahap
sehingga kalaupun ada kenaikkan tidaklah terlalu tinggi.50
Hasil akhir pembahasan RUU diputuskan agar membawa permasalahan yang belum
disepakati dalam pembahasan di tingkat I ke dalam pengambilan keputusan tertinggi dalam
pembicaraan tingkat II, yaitu pada rapat paripurna. Pilihan tersebut didasarkan masih adanya
perbedaan pandangan yang sulit dikompromikan, sementara dari segi waktu persiapan
tahapan pemilu mengharuskan agar RUU Pemilu Legislatif segera diselesaikan.

Pembicaraan Tingkat II

Proses akhir dari sebuah pembahasan RUU adalah Pembicaraan Tingkat II.
Pembicaraan Tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurma DPR,
dengan kegiatan: a) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat
mini DPD, dan hasil pembicaraan Tingkat I; b) pernyataan persetujuan atau penolakan dari
tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan c)
pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.51
Rapat paripurna adalah rapat anggota DPR yang dipimpin oleh Pimpinan DPR dan
merupakan forum tertinggi dalam melaksanakan tugas dan wewenang DPR.52 Dalam forum
rapat paripurna inilah keputusan-keputusan DPR diambil. Dalam proses pembahasan RUU,
rapat paripurna disebut juga Rapat Pengambilan Keputusan Tingkat II untuk pembahasan
RUU. Rapat paripurna bersifat terbuka, yaitu rapat yang selain dihadiri oleh anggota, juga
dapat dihadiri oleh bukan anggota, baik yang diundang maupun yang tidak diundang.53
Setelah diupayakan beberapa kali lobby dan tidak menemukan kata sepakat maka
terhadap ambang batas tersebut disepakati untuk dibawa ke rapat paripurna DPR dalam

50
Arwani Thomafi, op. cit., hlm. 99–100.
51
Lihat Pasal 151 UU MD3.
52
Lihat Pasal 221 ayat (1) Tatib DPR.
53
Lihat Pasal 240 ayat (2) Tatib DPR.
18

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


rangka diambil keputusan. Pada rapat paripurna tanggal 11 April 2012, kata sepakat pun
belum tercapai hingga meskipun sebelumnya sudah dilakukan beberapa kali lobby.
Selanjutnya, pada rapat paripurna tanggal 12 April 2012, ambang batas parlemen baru dapat
disepakati setelah melakukan lobby dan kompromi politik, yang kemudian disahkan dalam
rapat paripurna DPR.
Rapat Paripurna DPR/Pengambilan Keputusan Tingkat II untuk RUU tentang
Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
dilakukan dua kali, yaitu pada tanggal 11 April 2012 dan 12 April 2012. Hal ini terjadi
karena pada Rapat Paripurna pertama (11 April 2012) belum terjadi kesepakatan untuk
empat materi substansi yang masih diperdebatkan, yaitu sistem pemilu, parliamentary
threshold (PT), alokasi kursi, dan metode perhitungan perolehan kursi. Hal ini sebagaimana
dilaporkan oleh Ketua Pansus, Arif Wibowo, dalam Rapat Paripurna DPR yang menjelaskan
bahwa hasil pembahasan Tingkat I RUU Pemilu Legislatif, masih terdapat beberapa materi
krusial, di antaranya ambang batas parlemen, yang belum mendapat persetujuan dari seluruh
fraksi DPR.
Pada saat forum lobby digelar Rabu Malam, 11 April 2012, yang disebabkan masih
adanya perbedaan pendapat tersebut, dua fraksi, yaitu FPG dan FPDIP memilih walkout dari
forum lobby. Karena menyangkut kepentingan partai politik maka rapat untuk mencari titik
temu dilanjutkan besok. Namun, pada hari itu, ambang batas parlemen telah disepakati di
angka 3,5% melalui kompromi politik.
Dari perbedaan tersebut pansus berusaha keras mencari titik temu melalui serangkaian
lobby dan pertemuan khusus. Bahkan dalam tahapan tertentu dibawa ke forum pimpinan
partai terutama yang tergabung dalam sekretariat gabungan (Setgab) partai pendukung
pemerintah. Hasilnya mengerucut pada titik tengah pada kisaran 3% dan pada akhirnya
disepakati PT sebesar 3,5%. Seluruh fraksi dalam hal pemberlakuan PT sepakat bahwa PT
perlu diberlakukan secara nasional sampai ke tingkat daerah.
Meskipun angka 3,5% sudah disepakati untuk tingkat nasional (DPR), tetapi untuk
tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota belum disepakati besarannya sehingga kembali harus
diselesaikan melalui mekanisme voting. Dari hasil voting, FPD, FPG, FPPP, FPKB, FP-
Gerindra, dan FP-Hanura mendukung mengusulkan usulan PT sebesar 3,5% yang berlaku
secara nasional, dengan jumlah suara adalah 343 suara, sedangkan FPDIP, FPKS, FPAN,
mendukung ambang batas berjenjang. Misalnya, untuk DPR sebesar 3,5%, DPRD provinsi
4%, dan DPRD kabupaten/kota sebesar 5%, dengan jumlah suara sebanyak 187 suara.
Dengan demikian, hasil ambang batas 3,5% yang diberlakukan secara nasional disetujui
oleh mayoritas fraksi yang ada di DPR. Dengan demikian, ambang batas parlemen telah
ditetapkan sebesar 3,5% dan diberlakukan secara nasional. Dengan hasil akhir tersebut maka
RUU Pemilu Legislatif disahkan dalam rapat Paripurna DPR.
RUU yang telah disahkan tersebut, meskipun tidak ada perubahan yang berarti, tetapi
memiliki harapan besar ingin menciptakan sistem presidensiil yang efektif dan multipartai
sederhana. Namun, dari pembahasan yang mengalami perdebatan alot bahwa partai-partai
melalui fraksinya seakan lebih cenderung berkeinginan agar partai tersebut bisa ikut pemilu
berikutnya. Mengapa demikian, karena menurut pengakuan Mantan Anggota DPR Periode
2004–2009 dari FPKB, Saifullah Ma’shum,54 dalam bukunya, DPR Terhormat DPR
Dihujat, menjelaskan bahwa salah seorang ketua umum partai kecil, mengatakan “Sudah

54
Saifullah Ma’shum, DPR Terhormat DPR Dihujat: Refleksi Lima Tahun di DPR Periode 2004–2009 (Catatan
Sejarah Sang Wakil Rakyat), (Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012), hlm. 35.
19

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


pasti kami-kami ini tidak bisa memenuhi ambang batas PT”, Jadi? “Yang penting bisa ikut
pemilulah”.Dengan demikian, jelas bahwa kepentingan bagi partai kecil asal bisa ikut
pemilu, berada di atas segalanya, tanpa mempertimbangkan betapa beratnya memenuhi
ketentuan PT 2,5%. Jika pimpinan partai kecil (yang memiliki kursi di parlemen) bisa
menerima usulan sebagaimana draf RUU, yaitu untuk ikut Pemilu 2009, partai kecil yang
tidak lolos ET harus memenuhi persyaratan baru yang ditetapkan dalam UU maka niscaya
tidak akanada ketentuan tentang PT 2,5% yang pada kenyataannya memang tidak bisa
mereka penuhi. Sementara, bagi partai-partai besar, apa manfaat ketentuan PT 2,5% jika
norma itu harus di-barter dengan ketentuan yang meloloskan semua partai kecil bisa menjadi
peserta pemilu sehingga pemilu menjadi demikian tidak sederhana. Seandainya partai-partai
tersebut tidak keukeuh mempertahankan ketentuan PT 2,5% sehingga tidak ada kerikatan
moral dan politik untuk meloloskan usulan partai-partai kecil (untuk bisa ikut pemilu), boleh
jadi Pemilu 2009 tidak diikuti oleh sedemikian banyak partai.
Pascapengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR pada tanggal 12 April 2012,
RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Angota DPR, DPD,
dan DPRD disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tanggal 11 Mei 2012.
Pascapengundangan, muncul berbagai gugatan dari masyarakat, di antaranya oleh
Barisan Partai Non-Parlemen, yaitu Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), Partai
Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Karya Peduli
Bangsa (PKPB), Partai Persatuan Nasional (PPN), Partai Merdeka, Partai Nasional Benteng
Kerakyatan Indonesia (PNBK Indonesia), Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai
Sarikat Indonesia (PSI), Partai Kedaulatan, Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Kesatuan
Demokrasi Indonesia (PKDI), Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Damai
Sejahtera (PDS), Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Republika Nusantara (PRN),
dan Partai Pemuda Indonesia (PPI) dengan nomor perkara 52/PUU-X/2012. Pada tanggal 16
April 2012, Barisan Partai Non-Parlemen tersebut antara lain menggugat Pasal 208 UU No.
8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, yang berbunyi “Partai
Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya
3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam
penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.”
Adapun alasan Barisan Partai Non-Parlemen menggugat Pasal 208 dikarenakan pasal
tersebut dinilai tidak adil dan bersifat diskriminatif serta menggerus bahkan menghilangkan
adanya kemajemukan atau kebinekatunggalikaan dan persatuan maupun prinsip kedaulatan
rakyat dan perwakilan rakyat sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 yang
sesunguhnya harus menjadi cita-cita hukum dari pembentukan UU Pemilu itu sendiri.55
Kemudian, pada tanggal 29 Agustus 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
atas gugatan dari Barisan Partai Non-Parlemen tersebut dengan Putusan Nomor 52/PUU-
X/2012, yang mengabulkan sebagian terhadap gugatan Pasal 208. Berdasarkan putusan MK
tersebut maka terhadap Pasal 208 yang dinyatakan dikabulkan permohonannya oleh MK
menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, Pasal 208 hanya
berlaku untuk DPR dan tidak berlaku untuk DPRD provinsi/kabupaten/kota.

55
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tertanggal 29 Agustus 2012, hlm. 27–28.
20

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


2.4 Analisis Peran Fraksi DPR RI

Pengorganisasian Anggota Fraksi

Dilihat dari aspek pengorganisasian anggota fraksi dalam Pansus RUU tentang
Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
dalam penentuan ambang batas parlemen (RUU Pemilu Legislatif), fraksi DPR terlihat
mendominasi bahkan tidak melibatkan anggota fraksinya. Hal ini sebagaimana terlihat
dalam penentuan penempatan anggota fraksinya dalam Pansus RUU Pemilu Legislatif,
seperti terlihat pada FPG, FPPP, dan FPKS. Ketiga fraksi tersebut dalam memutuskan siapa
yang akan duduk dalam pansus ditentukan oleh internal pimpinan tiap-tiap fraksi. Dengan
demikian, terlihat bahwa anggota fraksi yang lain tidak dilibatkan dalam penentuan
penempatan anggotanya masuk dalam pansus. Lebih menarik lagi bahwa dari pimpinan
fraksi tersebut, dua orang ditempatkan dalam pansus. Hal ini sebagaimana terlihat pada FPG
dari enam anggota yang masuk pansus, dua di antaranya unsur pimpinan fraksi, yaitu Ibnu
Munzir dan Nurul Arifin, sementara, FPKS dari tiga anggota yang masuk dalam pansus, dua
di antaranya adalah unsur pimpinan fraksi, yaitu Agoes Poernomo dan Al Muzzammil
Yusuf. Begitu juga, dengan FPPP, dari dua anggota yang masuk pansus, semuanya adalah
unsur pimpinan fraksi, yaitu Ahmad Yani dan Arwani Thomafi. Selain itu, dari awal
pembahasan, baik pada Pembicaraan Tingkat I maupun pada Pembicaraan Tingkat II, ketiga
fraksi tersebut tidak pernah melakukan rotasi terhadap anggotanya yang masuk dalam
pansus. Dengan demikian, pelaksanaan hak anggota fraksi lainnya, baik dalam mengajukan
pertanyaan maupun menyampaikan usul dan pendapatnya, dalam penentuan penempatan
anggotanya masuk dalam pansus, tereliminasi oleh fraksinya (pimpinan fraksi).
Di sini terlihat bahwa kewenangan fraksi begitu kuat dan dominan dalam
menempatkan anggota fraksinya, sebagaimnana diatur dalam tata kerja fraksi, sampai
pimpinan fraksi sendiri memilih bergabung dalam pansus tersebut. Hal ini mencerminkan
Hukum Besi Oligarkhi, sebagaimana diungkapkan oleh Robert Michels bahwa pada tubuh
partai politik (fraksi) tidak mungkin terhindar dari kemungkinan munculnya fenomena
oligarkhi. Menurutnya, “Partai, sebagai suatu entitas dan bagian dari mekanisme tidak selalu
dapat diidentifikasikan dengan totalitas anggotanya dan juga dengan kelas yang memiliki
partai itu.” Penyebab utama oligarkhi dalam partai-partai demokratis adalah kebutuhan
teknis yang mendesak akan kepemimpinan.56
Melalui proses dalam partai tersebut dan dengan adanya hal-hal kompleks yang ada di
dalamnya, para pemimpin menemukan dirinya terpisah dari massanya. Pembentukan
oligarkhi di dalam berbagai bentuk organisasi adalah akibat kebutuhan organis. Fraksi yang
merupakan suatu unit kerja yang terorganisir dan mempunyai hierarkhi tidak tertutup
kemungkinan terjebak dalam Hukum Besi Oligarkhi.

Substansi Kebijakan Fraksi

Dalam penentuan ambang batas parlemen, fraksi memiliki pandangan/sikap yang


berbeda-beda, baik dalam rapat panja, rapat konsultasi maupun rapat kerja. Hal ini
sebagaimana terlihat pada FPG yang memiliki pandangan/sikap yang beragam, dari awal
pembahasan sampai diputuskannya ambang batas parlemen dalam rapat paripurna. Pada
Rapat Panja 27 Februari 2012, Rapat Konsultasi 15 dan 22 Maret 2012, FPG menentukan
56
Ichlasul Amal (ed.), loc. cit.
21

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


besaran ambang batas yang sama, yaitu sebesar 5%. Sementara pada Rapat Konsultasi 29
Maret 2012 dan 9 April 2012, menyetujui dua alternatif, yaitu 3% atau 4%. Namun, pada
Pendapat Akhir Mini Fraksi yang disampaikan pada Rapat Kerja Pansus 10 April 2012, FPG
menentukan besaran ambang batas yang berlainan pula dan kembali memunculkan angka
5%, yaitu sebesar 4%-5%. Dari sini terlihat bahwa FPG, dari awal pembahasan sampai
disampaikannya pendapat akhir mini fraksi, tetap menginginkan angka 5%.
Sementara, FPKS menentukan ambang batas yang berbeda pula. Pada Rapat Panja 27
Februari 2012 dan Rapat Konsultasi 15 Maret 2012, FPKS menentukan besaran 3%-5%,
sementara di surat kabar tercatat besaran angka 3%-4%. Kemudian, pada Rapat Konsultasi
22 Maret 2012, menentukan besaran 4%. Sementara, pada Rapat Konsultasi 29 Maret 2012
dan 9 April 2012, menyetujui besaran angka 3% atau 4%. Namun, pada Pendapat Akhir
Mini Fraksi yang disampaikan pada Rapat Kerja Pansus 10 April 2012, FPKS, kembali
menentukan besaran angka 4%. Namun, berdasarkan Laporan Ketua Pansus RUU Pemilu
Legislatif yang disampaikan pada Rapat Paripurna DPR 11 April 2012, FPKS menentukan
besaran yang berbeda pula, yaitu 3,5%-4%. Dari sini terlihat bahwa FPKS, dari awal
pembahasan sampai disampaikannya pendapat akhir mini fraksi, tetap menginginkan angka
4%. Bahkan, terlihat tidak konsisten dalam menentukan besaran ambang batas. Hal ini
sebagaimana terlihat, yang sebelumnya pada Rapat Konsultasi 15 Maret 2012 menentukan
besaran PT 3%-5%, tetapi pada surat kabar Kompas 17 Maret 2017 menentukan PT sebesar
3%-4%. Selain itu, pada pendapat akhir mini fraksi menentukan 4%. Namun, pada laporan
yang disampaikan ketua pansus, FPKS menentukan 3,5%-4%. Dari sini terlihat bahwa
FPKS, cenderung mengingikan angka 4%.
Berbeda pula dengan FPPP, dalam Rapat Panja 27 Februari 2012 dan Rapat Konsultasi
15 Maret 2012, FPPP menentukan besaran PT 2,5%. Sementara pada Rapat Konsultasi 22
Maret 2012, FPPP menentukan 3%. Kemudian, pada Rapat Konsultasi 29 Maret 2012 dan 9
April 2012, menyepakati 3% atau 4%. Selanjutnya, pada Pendapat Akhir Mini Fraksi yang
disampaikan pada Rapat Kerja Pansus 10 April 2012, FPPP, kembali menentukan besaran
angka 3%. Dari sini terlihat bahwa FPPP, cenderung tetap menginginkan angka 3%.
Secara lebih ringkas, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut.
Pembicaraan Pembicaraan
Tingkat I Tingkat II
Rapat Laporan
Nama Rapat
Rapat Konsultasi Kerja Ketua Pansus Rapur
Fraksi Panja
di Rapur
27/2/ 15/3/ 22/3/ 29/3/ 9/4/ 10/4/
11/4/2012 12/4/2012
2012 2012 2012 2012 2012 2012

FPG 5% 5% 5% 4%-5% 4%-5% 3,5%


3% 3%
FPKS 3%-5% 3%-5% 4% atau atau 4% 3,5%-4% 3,5%
4% 4%
FPPP 2,5% 2,5% 3% 3% 3% 3,5%

Dari sini terlihat adanya perdebatan alot dalam menentukan besaran ambang batas
parlemen sehingga aturan main politik tidak menentu bahkan konsensus pun sulit dicapai.
Di dalam era transisi menuju demokrasi, sebagaimana diungkapkan oleh Guillermo
O’Donnell dan Philippe C. Schmitter bahwa:
“Aturan main politik sama sekali tidak menentu. Tidak hanya karena aturan main tersebut
bekerja dalam perubahan yang terus-menerus terjadi, tapi juga karena biasanya aturan tersebut
22

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


dipertarungkan dengan sengit. Para pelaku politik tidak hanya berjuang untuk sekedar
memuaskan kepentingan-kepentingan pribadi sesaat dan atau kepentingan orang lain yang
mereka wakili, namun juga berjuang untuk menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur-
prosedur yang konfigurasinya dapat menentukan siapa yang mungkin akan menang atau kalah di
masa mendatang”.57
Selain itu, mengingat Indonesia mengadopsi sistem multipartai maka menjadikan
politik Indonesia bagai kembali pada suasana perpolitikan pada demokrasi parlementer pada
Era 1950-an. Dalam perkembangannya, pada masyarakat Indonesia diduga ada fakta bahwa
sejak kemerdekaan dan sekarang, sulit untuk mencapai konsensus dalam berbagai hal,
sebagaimana diungkapkan oleh Alfian bahwa:
“Mereka mudah berkonflik tetapi sulit untuk mencapai konsensus. Salah satu alasan yang
diberikan pada zaman demokrasi liberal, ialah karena kelompok-kelompok masyarakat atau
anggota-anggota masyarakat ketika itu mau benar sendiri, mau menang sendiri. Mereka
menganggap pendapatnya atau pandangan mereka saja yang benar. Pandangan orang atau
kelompok lain, tentu tidak benar. Dalam suasana seperti itu, dimana masing-masing kelompok
menganggap dirinya saja yang benar—jadi orientasi politiknya selalu mengandung sifat
selfrighteousness atau kebenaran diri sendiri—maka dengan sendirinya tidak mungkin terdapat
titik-titik temu atau konsensus. Keasyikan dengan paham dan pandangan sendiri serta sikap
apriori menolak ide atau pendapat golongan lain dalam suasana liberal itu ternyata menjurus
kepada apa yang disebut anarkhisme dalam politik.”58
Berdasarkan uraian tersebut terlihat bahwa pembahasan mengenai ambang batas
parlemen pada Pembicaraan Tingkat I tidak menemui sebuah konsensus. Hal ini tentu saja
ada kepentingan tertentu, baik dari fraksi besar (FPG), fraksi menengah (FPKS), maupun
fraksi kecil (FPPP). FPG seakan tetap menghendaki ambang batas parlemen sebesar 5%,
sementara FPKS antara 3,5%-4%, sedangkan FPPP menghendaki ambang batas parlemen
sebesar 3%. Alasan FPG menghendaki angka tersebut dikarenakan FPG berkeinginan
membangun dan mengembangkan sebuah kehidupan politik yang berkesuaian antara sistem
kepartaian dan pemerintahan presidensiil dengan motif kebangsaan, kepentingan nasional,
dan motif mewujudkan perpolitikan yang mencerdaskan dan mencerahkan demi kehidupan
politik yang semakin beradab. Sementara, FPKS beralasan bahwa angka tersebut merupakan
angka moderat yang memungkinkan untuk bisa diterima oleh partai besar atau kecil, yang
bertujuan untuk menyederhanakan jumlah partai politik. Berbeda dengan FPPP, FPPP
beralasan bahwa jika ambang batas parlemen dinaikkan lebih dari 3% maka pemilu menjadi
semakin tidak proporsional dan menjauhi keadilan.59
Meskipun demikian, dari beberapa sikap/pandangan yang dikemukan dalam forum
lobi melalui Rapat Konsultasi tanggal 29 Maret 2012 dan 9 April 2012 bahwa pada intinya
fraksi-fraksi menghendaki tetap dapat masuk parlemen pada Pemilu 2014 dengan
menyepakati angka ambang batas parlemen 3% atau 4%. Hal ini sebagaimana ditegaskan
oleh Pimpinan Rapat dari fraksi pendukung pemerintah, yaitu Fraksi Partai Demokrat
bahwa:
“Saya akan tawarkan dari 3 dan 4 itu sudahlah kita daripada ini kita tinggal setengah saja
mungkin di sana jadi bagus daripada kita voting 3 dan 4, kita tawarkan saja 3,5 misalnya begitu,
misalnya, nah itu kan misalnya nah karena apa hasil polling partai ini hidup semua, iya cuma
satu yang partai baru tidak boleh masuk. Nah kalau kinerja kita ini jelek terus, ada pendatang

57
Guillermo O’Donnell dan Philipe C. Schmitter, Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian Kemungkinan dan
Ketidakpastian, Jilid IV, Penerjemah Nurul Agustina, (Jakarta: LP3ES, 1993), hlm. 2.
58
Alfian dalam Ismid Hadad (ed.), Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 120.
59
Hal ini sebagaimana disampaikan pada Pembicaraan Tingkat I dengan agenda Pendapat Akhir Mini Fraksi, 10 April
2012.
23

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


baru, ada yang tereliminasi yang ada ini, nah itu yang kita juga jaga yang ada ini tidak
tereliminasi.”60

Jika dikaitkan dengan tujuan dari pemberlakuan parliamentary threshold (PT) maka
ada dua hal: pertama, membatasi jumlah partai politik masuk parlemen dan kedua,
menyaring partai politik peserta pemilu berikutnya. Secara objektif memang, menurut Didik
Supriyanto dan August Mellaz, penerapan ambang batas parlemen mempersempit peluang
partai-partai kecil atau partai-partai baru untuk memperoleh kursi di parlemen dan
dimaksudkan juga agar sistem politik lebih stabil, efektif, dan berkualitas. Namun, secara
subjektif, pemberlakuan PT bisa juga ditafsirkan sebagai upaya membangun kekuasaan bagi
partai-partai politik besar. Hal ini sebagaimana terlihat pada FPG yang merupakan fraksi
besar, bersikeras menghendaki PT 5%, sementara FPPP yang merupakan fraksi kecil
bersikeras menghendaki PT 3%, sedangkan fraksi menengah (FPKS), bersikeras
menghendaki 3,5%-4%.
Menjelang diputuskannya dalam rapat paripurna, penentuan ambang batas parlemen
dilakukan secara tertutup melalui lobby-lobby dan kompromi politik. Berdasarkan lobby-
lobby dan kompromi politik tersebut, penentuan ambang batas parlemen mengerucut, fraksi
besar akhirnya turun, fraksi kecil akhirnya naik, lalu ditetapkan 3,5% dan diberlakukan
secara nasional. Adapun yang menjadi kunci penentu dalam pembahasan tersebut adalah
fraksi besar (Fraksi Partai Demokrat).
Dengan demikian, meminjam istilah Arbi Sanit bahwa persekongkolan benar-benar
terjadi di DPR. Penentuan ambang batas parlemen yang ditentukan secara beragam, yang
kemudian diprotes fraksi partai kecil, terjadilah persekongkolan antara fraksi partai besar
dan kecil yang hasilnya bukan untuk rakyat. Jika penentuan ambang batas parlemen tersebut
buat rakyat, justru tidak akan terjadi perdebatan yang alot dan diberlakukan secara nasional.
Persekongkolan politik itu datang dari bargain dan konsensus yang semestinya selalu
mengarah untuk mewakili rakyat yang diwakilinya. Jadi, perundingan atau tawar-menawar
yang dilakukan seharusnya untuk memperbaiki keadaan rakyat, tetapi yang terjadi adalah
konspirasi maka hanya menguntungkan orang yang melakukan perdebatan melalui tawar-
menawar. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Arbi Sanit bahwa siapa yang mendapatkan
manfaat dari proses fraksi di DPR? Kalau rakyat yang mendapatkan manfaat, itu konsensus,
tetapi kalau hanya anggota DPR, fraksi atau partai yang mendapatkan manfaat maka itulah
konspirasi.
Dari hasil RDPU dan kunjungan kerja Pansus tentang Perubahan Pemilu Legislatif,
mayoritas menghendaki ambang batas parlemen jangan terlalu besar dan tidak diberlakukan
secara nasional (Ramlan Surbakti, Perludem, Cetro, Ketua KPU Kab. Selayar, KPU dan
Universitas di Sumatera Utara, KPU dan Universitas di Jawa Timur, serta Universitas
Hasanuddin Makassar).61 Namun, terhadap hasil RDPU dan kunjungan kerja tersebut pansus
(FPG, FPKS, FPPP) seakan tidak mengakomodir aspirasi masyarakat bahkan pembahasan
terkesan hanya mengedepankan kepentingan fraksinya.
Jika dikaitkan dengan Teori Perwakilan Politik, jelas bahwa fraksi-fraksi DPR, baik
FPG, FPKS, dan FPPP lebih mencerminkan teori Kebebasan. Hal ini dikarenakan wakil

60
Lihat Risalah Rapat Konsultasi Pimpinan DPR RI dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Pansus RUU Pemilu
Legislatif, 29 Maret 2012 dan 9 April 2012, loc. cit.
61
Uraian lebih lengkap lihat Hasil Masukan RDPU dan Kunker Pansus RUU Pemilu Legislatif terkait dengan Ambang
Batas Parlemen dalam lampiran skripsi.
24

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


(fraksi) merumuskan sikap dan pandangannya tentang masalah yang dihadapi tidak terikat
secara ketat kepada terwakil (masyarakat). Sementara teori Mandat tidak berlaku,
dikarenakan wakil (fraksi) tidak merealisasikan kekuasaan terwakil (masyarakat) dalam
proses kekuasaan politik. Hal ini sebagaimana terlihat pada masukan-masukan yang tidak
diakomodir oleh fraksi-fraksi di DPR, seperti Perludem, Cetro, Ramlan Surbakti, dan
Barisan Partai Non-Parlemen yang menghendaki bahwa ambang batas parlemen jangan
terlalu besar dan tidak diberlakukan secara nasional. Namun, pada Rapat Paripurna 12 April
2012, berdasarkan kompromi politik, ambang batas parlemen disepakati sebesar 3,5% dan
diberlakukan secara nasional. Hal ini jelas bahwa keputusan tersebut tidak mengakomodir
aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fraksi-fraksi bertindak partisan, yaitu sesuai dengan
keinginan atau program dari partai (organisasinya).

Sistem Pengawasan Fraksi

Dilihat dari aspek pengawasan fraksi-fraksi, baik FPG, FPKS maupun FPPP selalu
memantau jalannya proses pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Hal ini sebagaimana terlihat
dalam Risalah yang terkait dengan pembahasan ambang batas parlemen, baik FPG, FPKS,
dan FPPP tidak pernah absen dari rapat. Kalaupun ada anggota fraksinya yang berhalangan
mengikuti pembahasan maka ada anggota fraksi lainnya yang menggantikannya. Setiap
anggota fraksi yang masuk dalam pansus diwajibkan memberikan penjelasan terhadap
kegiatan pansus yang diikutinya. Bahkan ada yang dikomunikasikan via handphone seperti
yang dilakukan oleh FPPP.
Lebih menarik lagi, yang menjadi juru bicara fraksi adalah unsur Pimpinan Fraksi. Hal
ini sebagaimana terlihat pada FPG yang menjadi juru bicara dalam Pendapat Akhir Mini
Fraksi/Pengambilan Keputusan dalam Pembicaraan Tingkat I adalah Nurul Arifin (Wakil
Sekretaris Fraksi dan elite di DPP sebagai Wasekjen). Sementara, pada FPKS yang menjadi
juru bicara adalah Al Muzzammil Yusuf (Ketua Bidang Fraksi). Selanjutnya, pada FPPP
yang menjadi juru bicara adalah Ahmad Yani (Wakil Ketua Fraksi). Selain itu, dalam lobby-
lobby pembahasan penentuan ambang batas parlemen yang dilakukan melalui Rapat
Konsultasi, yang diundang dan yang hadir adalah Pimpinan Fraksi. Dengan demikian,
pengawasan yang dilakukan oleh fraksi begitu kuat dan dominan sehingga pelaksanaan hak
anggota fraksi, baik dalam mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan usul dan
pendapatnya dalam pembahasan RUU tersebut tidak berjalan secara optimal dan efektif.
Pandangan/sikap politik fraksi terhadap penentuan ambang batas parlemen yang
tertuang pada Pendapat Akhir Mini Fraksi ada yang sesuai dengan pandangan/sikap anggota
dari tiap-tiap fraksi yang terlibat dalam pansus, seperti pada FPG dan FPKS. Namun, ada
pula sikap perorangan anggota Pansus yang bertentangan dengan pendapat/sikap fraksinya.
Hal ini sebagaimana terlihat pada Ahmad Yani (FPPP) yang memiliki pandangan/sikap yang
berbeda dengan pandangan/sikap fraksinya. Ahmad Yani, menghendaki zero parliamentary
threshold, sementara fraksinya mengikuti arus di pansus. Terkait dengan sikap/pandangan
Ahmad Yani tersebut, FPPP tidak memberikan sanksi. Hal ini bisa jadi karena Ahmad Yani
sendiri merupakan salah satu pimpinan fraksi.
Dilihat dari pandangan/sikap ini maka bisa diketahui bahwa pandangan/sikap
perorangan seringkali berbeda dengan pandangan/ sikap fraksinya. Pada pengambilan
keputusan akhir maka yang dimenangkan adalah sikap politik fraksinya. Apabila
ketundukan anggota atas pandangan/sikap politik fraksi tersebut dinilai sebagai fatsun
politik, hal ini secara teoritis logis dan rasional. Hal ini karena didasarkan pada alasan
25

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


bahwa sistem pemilu yang diterapkan adalah sistem proporsional dan penerapan sistem
multipartai. Sistem proporsional membawa konsekuensi pada tipe perwakilan yang
diperankan oleh anggota DPR, yaitu tipe partisan. Dengan tipe partisan ini maka “Anggota
DPR bertindak sesuai dengan keinginan atau program dari partai (organisasi) si wakil.
Setelah wakil dipilih oleh pemilihnya, maka lepaslah hubungan dengan pemilih, dan
mulailah hubungan dengan partai (organisasi) yang mencalonkannya dalam pemilihan
tersebut.”62
Pilihan peran tersebut bagi anggota DPR memang dari perspektif etika legislatif adalah
bebas. Anggota DPR bisa/leluasa untuk memerankan apapun tipe perwakilan yang ingin
diperankan karena bisa saja dalam suatu masalah anggota DPR berperan sebagai
wali/trustee, pada masalah lain tertentu berperan sebagai utusan/delegasi, dan pada
permasalahan yang lain pula, ia memerankan peran perwakilan politiko, tergantung dari
permasalahan yang dihadapi.
Begitu juga dengan penerapan sistem multipartai, dengan penerapan sistem tersebut
maka anggota DPR mendapat kontrol tidak langsung dari sistem tersebut. Sistem multipartai
yang diberlakukan akan berimplikasi lahirnya fragmentasi partai dan membuat sentimen
partai menjadi menguat sehingga dengan demikian, elite partai pada gilirannya juga akan
mengontrol anggotanya dalam kehidupan berpolitik. Fragmentasi partai pada gilirannya
seringkali menjadikan perilaku anggota DPR menjadi partisan. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Robert A. Dahl bahwa sistem kepartaian merupakan salah bentuk struktur
sosial, yaitu “struktur pengatur yang merupakan social regulation.”63 Meskipun, pada era
Reformasi ini tingkat independensi anggota DPR tinggi, tetapi tetap mendapat kontrol dari
fraksinya yang merupakan kepanjangan tangan partainya.

3. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas maka kesimpulan dari tulisan ini bahwa penguatan posisi fraksi
sudah mulai terlihat sejak DPR Periode 1956–1959. Meskipun demikian, peran anggota sebagai
wakil rakyat tidak tereduksi karena peran fraksi hanya dalam pembentukan alat kelengkapan,
tidak dalam pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR. Hal ini berlanjut sampai dengan DPR
periode 1959–1971. Pada DPR Periode 1971–1998, peran fraksi semakin menguat, tidak hanya
pada pembentukan alat kelengkapan DPR, fraksi dipersyaratkan kehadirannya dalam
pelaksanaan tugas dan fungsi DPR. Demikian pula pada DPR Periode 1999–2014, secara politik
peran fraksi semakin kuat dan dominan, baik dalam pelaksanaan fungsi DPR (legislasi,
anggaran, dan pengawasan), pelaksanaan tugas kedewanan maupun dalam penetapan
keanggotaan alat kelengkapan DPR. Hal ini disebabkan karena adanya faktor internal dan
eksternal. Faktor internal adalah adanya ketentuan tentang fraksi yang diatur sedemikian rupa
dalam Tatib DPR. Sementara, faktor eksternal adalah adanya ketentuan recall, sistem pemilu
proporsional, dan sistem multipartai.
Dengan adanya peran fraksi yang kuat dan dominan tersebut tentu berdampak pada
optimalisasi dan efektivitas, baik pada pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang DPR maupun
pada pelaksanaan hak anggota DPR dalam mengajukan pertanyaan dan menyampaikan usul dan
pendapatnya dalam setiap pembentukan kebijakan yang ada di DPR, khususnya dalam proses

62
Bintan R. Saragih, loc. cit.
63
Robert A. Dahl, loc. cit.
26

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


pembahasan RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD dalam penentuan ambang batas parlemen.
Berdasarkan literatur dan hasil penelitian yang telah penulis lakukan terhadap Peran Fraksi
PG, Fraksi PKS, dan Fraksi PPP dalam penentuan ambang batas parlemen dalam pembahasan
RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan
DPRD, hal ini dapat dijawab dengan melihat dari tiga aspek, antara lain:
1. Dilihat dari aspek pengorganisasian anggota fraksi dalam Pansus RUU Pemilu Legislatif
bahwa penentuan anggota fraksi yang masuk dalam pansus, ditentukan oleh pimpinan fraksi
dan tidak melibatkan anggota fraksinya. Kemudian, dalam pansus tersebut ditempatkan dua
orang dari unsur pimpinan fraksi. Selain itu, dari awal pembahasan, baik pada Pembicaraan
Tingkat I maupun pada Pembicaraan Tingkat II, fraksi tidak pernah melakukan rotasi
terhadap anggotanya yang masuk dalam pansus.
2. Dilihat dari aspek substansi kebijakan fraksi dalam penentuan ambang batas parlemen
bahwa penentuan ambang batas parlemen dihasilkan dari lobi-lobi dan kompromi politik
antarfraksi serta yang menjadi kunci penentu adalah fraksi besar (FPD). Sikap/pandangan
fraksi dalam penentuan ambang batas parlemen ditentukan oleh DPP parpol melalui
pimpinan fraksinya. Selain itu, fraksi lebih mementingkan partainya dibandingkan masukan
yang diberikan oleh masyarakat, baik melalui RDPU maupun kunjungan kerja. Hal ini
sebagaimana terlihat dalam pembahasan bahwa yang dikedepankan adalah kepentingan
parpol melalui fraksinya yang menginginkan tetap masuk DPR pada Pemilu 2014.
3. Dilihat dari aspek sistem pengawasan bahwa fraksi selalu memantau jalannya proses
pembahasan RUU Pemilu Legislatif. Hal ini dapat dibuktikan: pertama, dalam pembahasan
penentuan ambang batas parlemen, fraksi tidak pernah absen dari rapat. Kedua, yang
menjadi juru bicara dan yang mengikuti lobi-lobi adalah unsur pimpinan fraksi. Ketiga,
adanya kewajiban bagi anggota fraksi yang masuk dalam pansus untuk memberikan
penjelasan terhadap hasil rapat yang telah diikutinya kepada fraksinya.

Dengan demikian, berdasarkan ketiga aspek tersebut maka peran fraksi DPR dalam proses
pembahasan RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD dalam penentuan ambang batas parlemen begitu kuat dan dominan
sehingga pelaksanaan hak anggota fraksi, baik dalam mengajukan pertanyaan maupun
menyampaikan usul dan pendapatnya dalam pembahasan RUU tersebut tidak berjalan secara
optimal dan efektif dikarenakan tereliminasi oleh fraksinya. Meskipun tingkat independensi
anggota fraksi tinggi, tetapi tetap mendapat kontrol dari fraksinya yang merupakan kepanjangan
tangan partainya.

27

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Amal, Ichlasul (ed.). Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Cetakan Ketiga. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008.
Dahl, Robert A.. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali,
1985.
Denis, Lincoln (Eds.). Handbook of Qualitative Research. London: SAGE Publications, 1994.
Feulner, Frank, dkk.. Peran Perwakilan Parlemen. Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia bekerja sama dengan United Nations Development Programme
(UNDP) Indonesia, 2008.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Hadad, Ismid (ed.). Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1981.
Handayani, Amalia Puri (ed.). Berharap Pada 560: Catatan Kinerja DPR 2009–2010. Jakarta:
PSHK, 2011.
Jadwal Acara Rapat Dewan Perwakilan Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI,
2012.
Lijphart, Arend. Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six
Countries. New Haven: Yale University Press, 1999.
Ma’shum, Saifullah. DPR Terhormat DPR Dihujat: Refleksi Lima Tahun di DPR Periode 2004–
2009 (Catatan Sejarah Sang Wakil Rakyat). Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012.
Marbun, B.N.. Kamus Politik. Edisi Revisi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007.
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Jakarta:
Kencana, 2010.
Mas’oed, Mohtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966–1971. Jakarta: LP3ES, 1989.
Moleong, Lexy J.. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi, Cet. ke-26. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2009.
Mulyana, Dede. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu
Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah. Jakarta:
Kencana, 2011.
O’Donnell, Guillermo dan Philipe C. Schmitter. Transisi Menuju Demokrasi: Rangkaian
Kemungkinan dan Ketidakpastian. Jilid IV, Penerjemah Nurul Agustina. Jakarta: LP3ES,
1993.
Pito, Toni Andrianus; Efriz; dan Kemal Fasyah. Mengenal Teori-Teori Politik: Dari Sistem Politik
Sampai Korupsi. Bandung: Penerbit Nuansa, 2006.
Salang, Sebastian, dkk.. Menghindari Jeratan Hukum Bagi Anggota Dewan. Jakarta: Forum
Sahabat, 2009.
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1985.
Sandjaja, B. dan Albertus Heriyanto. Panduan Penelitian. Cetakan Edisi Revisi. Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2011.
Saragih, Bintan R.. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1988.
Saraswati, Sylvia. Cara Mudah Menyusun Proposal, Skripsi, Tesis, Disertasi. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2009.
28

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Setyowati, Erni (ed.). Catatan Kinerja DPR 2011, Legislasi: Aspirasi atau Transaksi. Jakarta: Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), 2012.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Cetakan Keenam. Jakarta: Grasindo, 2007.
Susanti, Bivitri, dkk.. Bobot Kurang Janji Masih Terutang: Catatan PSHK tentang Kualitas
Legislasi 2006. Jakarta: PSHK-Konrad Adenaeur Stiftung, 2007.
Thomafi, Arwani. Menuju Pemilu 2014: Pertarungan Gagasan dan Kepentingan Seputar
Pembahasan Perubahan UU Pemilu. Jakarta: Kreasi Cendekia Pustaka, 2012. (belum
dipublikasikan)
Tweedie, Steven, dkk.. Penguatan Manajemen Fraksi: Meningkatkan Kinerja Fraksi dan
Penyusunan Indikator Baseline Kinerja Fraksi di DPR RI. Jakarta: Sekretariat Jenderal
DewanPerwakilan Rakyat Republik Indonesia bekerja sama dengan United Nations
Development Programme (UNDP) Indonesia, 2008.
Yin, K. Robert. Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.

Tesis:
Blegur, Immanuel E.. “Peranan Fraksi dan Pengaruhnya terhadap Kemandirian Anggota Dalam
Pengambilan Keputusan (Studi Kasus Fraksi Partai Golkar dalam Pengambilan Keputusan
tentang Perubahan Kedua APBN 2005)”. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 2005.
Solechah, Siti Nur. “Interaksi Politik Antar-Fraksi di DPR RI: Studi Kasus Penggunaan Hak
Penyelidikan terhadap Kasus Penggunaan Dana Yanatera Bulog dan Dana Bantuan Sultan
Brunei”. Jakarta: Tesis Universitas Indonesia, 2002.

Jurnal:
Angraini, Titi. “Jalan Panjang Menuju Keadilan Pemilu: Catatan Atas UU No. 8 Tahun 2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD”, dalam Jurnal Pemilu dan Demokrasi, Mei
2012.
Alfian, “Masalah Pelaksanaan Fungsi DPR yang Diinginkan oleh UUD”, dalam Jurnal Ilmu Politik
7. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990.
Dewansyah, Bilal. “Implikasi Pergeseran Sistem Pemilu Terhadap Pola Hubungan Wakil Rakyat
dan Konstituen”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 2, 2010.
Huda’, Ni’matul. “Recall Anggota DPR dan DPRD dalam Dinamika Ketatanegaraan Indonesia”,
dalam Mimbar Hukum, Vol. 23, No. 3, Oktober 2011.
Mellaz, August. “Membaca Prospek dan Peta Politik Pemilu Legislatif 2014: Dari Sisi Ambang
Batas Perwakilan, Daerah Pemilihan, dan Formula Perhitungan”, dalam Jurnal Pemilu dan
Demokrasi, Mei 2012.
Pahlevi, Indra. “Pemberlakuan Parliamentary Threshold pada Pemilu 2009 dan Implikasinya
terhadap DPR (Analisis terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD)”, dalam Kajian, Vol. 14, No. 2, Juni 2008.
Rusyad, Zahir . “Parliamentary Threshold dan Pengaruhnya terhadap Penguatan Sistem
Pemerintahan di Indonesia”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009.
Solechah, Siti Nur. “Tranformasi Peran Fraksi dan Pengaruhnya terhadap Tingkat Kemandirian
Anggota dalam Menjalankan Tugas Kedewanan (Tinjauan pada Era Orde Baru dan Era
Reformasi)”, dalam Siahaan, Uli Sintong & Siti Nur Solechah, (eds). Peran Politik DPR RI
pada Era Reformasi. Jakarta: Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi (P3I) Sekretariat
Jenderal DPR RI, 2001.

Dokumen:
Keputusan DPR RI No. 29/DPR RI/2009–2010 tentang Pembentukan Fraksi-Fraksi DPR RI.

29

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 03D/PIMP/I/2010–2011 tentang Susunan Pimpinan Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera, 30 Juli 2010.
Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 05/PIMP/I/2011–2012 Susunan Pimpinan Fraksi Partai
Persatuan Pembangunan, 23 Agustus 2011.
Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 26/PIMP/III/2011–2012 tentang Susunan Pimpinan Fraksi
Partai Golkar, 12 Januari 2012.
Keputusan DPR RI Nomor 11/DPR RI/I/2011–2012 tentang Pembentukan Panitia Khusus DPR RI
mengenai RUU tentang Perubahan atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD, tanggal 20 September 2011.
Laporan Singkat RDPU dan Laporan Kunjungan Kerja Pansus RUU Pemilu Legislatif, 2011.
Naskah Akademik RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 01/DPR RI/I/2009–2010 tentang
Tata Tertib. Jakarta: Sekretariat Jenderal DPR RI, 2009.
Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR RI, 11 dan 12 April 2012, Jakarta: Bagian
Persidangan Paripurna Sekretariat Jenderal DPR RI, 2012.
Pokok-Pokok Pembicaraan Rapat Paripurna DPR RI, 22 Februari 2011, Jakarta: Biro Persidangan
Sekretariat Jenderal DPR RI, 2011.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.
Risalah Rapat Kerja Pansus RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Menteri Dalam Negeri & Menteri Hukum dan HAM,
6 Oktober 2011.
Risalah Rapat Panja Pansus RUU tentang Perubahan Atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, 27 Februari 2012.
Risalah Rapat Paripurna DPR RI, 11 dan 12 April 2012, Jakarta: Bagian Risalah Sekretariat
Jenderal DPR RI, 2012.
Risalah Rapat RDPU Pansus RUU tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD dengan Barisan
Partai Non-Parlemen, 10 April 2012.
Risalah Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Pansus RUU
PemiluLegislatif, tanggal 15, 22, 29 Maret 2012 dan 9 April 2012.
Surat Mahkamah Konstitusi yang ditujukan kepada Ketua DPR RI perihal Salinan Permohonan
Nomor 72/PUU-X/2012 tanggal 26 Juli 2006.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,
2006.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebaagimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Surat Kabar dan Majalah:


“Ambang Batas Berjenjang: Diusulkan Ambang Batas hingga Tingkat Provinsi”, dalam Kompas, 17
Maret 2012.
“Anas: Pemindahan Otoritas Fraksi”, dalam Kompas, 18 Februari 2012.
Anggota 8 Fraksi Usung Hak Angket”, dalam Tempo, 3 Juni 2008.
30

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013


Isra, Saldi. “Mati Rasa!”, dalam Kompas, 17 Februari 2012.
“Kinerja DPR: DPR Saat Ini Mengingatkan Zaman Orba”, dalam Kompas, 10 Oktober 2005.
Notosusanto, Smita. “Anatomi dan Solusi Konflik di DPR”, dalam Kompas, Rabu, 3 November
2004.
Pramono, Sidik. “UU Pemilu: PT Selalu Jadi Masalah”, dalam Kompas, Selasa, 24 April 2012.
“Pembelot Interpelasi yang tak Mau Dipengaruhi”, dalam Kompas, 1 Juli 2000.
“Partai Demokrat: Ruhut Mendapat Peringatan Keras”, dalam Kompas, 27 Juni 2012.
Republika, 1 Juni 1996.
Majalah Sinar, 11 Februari 1995.
“Penyederhanaan Parpol untuk Kepentingan Siapa?”, dalam Majalah FIGUR, Edisi IX, 2007.

Internet:
http://www.pshk.or.id.
http://www.detik.com.
http://www.golkar.or.id.
http://www.rumahpemilu.com.

Wawancara:
Wawancara dengan Nurul Arifin (Pimpinan FPG), pada tanggal 10 Desember 2012 di Gedung
Nusantara I DPR RI, Jakarta.
Wawancara dengan Agoes Poernomo (Pimpinan FPKS), pada tanggal 13 Desember 2012, di
Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta.
Wawancara dengan Ahmad Yani (Pimpinan FPPP), pada tanggal 28 November 2012, di Gedung
Nusantara I DPR RI, Jakarta.

31

Peran fraksi ..., Andi Iswanto, FISIP UI, 2013

You might also like