You are on page 1of 17

ABSTRACTS

KUMPULAN SARI (ABSTRAK)

1 Introduction
1 Pendahuluan
D. J. GOWER, K. G. JOHNSON, J. E. RICHARDSON, B. R. ROSEN, L. RÜBER AND S. T. WILLIAMS

Abstract: Southeast Asia has long been of major interest for many scientific disciplines because of its
vast diversity of organisms, environments and physical habitats. In particular, scientists have aimed to
understand Southeast Asia’s geological history and the origins of its main biotic features. This
introductory chapter highlights major themes identified in the following chapters, links aspects of these
articles, and attempts to summarise the contribution of the volume as a whole. The field has changed
rapidly and substantially, with revised palaeogeographic maps, growing knowledge of the diversity and
distribution of the region’s biota, and new analytical tools. One major difference to previous books
about Southeast Asia is the repeated voicing of a deep concern for the conservation of its biota.

Sari: Asia Tenggara telah menjadi fokus dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, karena mempunyai
keragaman organisme yang tinggi, lingkungan, dan habitatnya. Para ilmuwan telah mencoba untuk
mempelajari sejarah geologi Asia Tenggara dan asal-muasal dan ciri utama biotanya. Pada bagian
pendahuluan ini kami menyoroti tema-tema utama yang akan dibahas selanjutnya, merangkaikannya,
dan menyarikannya dalam buku ini sebagai satu kesatuan. Bidang penelitian ini telah berkembang
secara cepat dan meluas cakupannya, dengan telah direvisinya peta-peta paleogeografi, sejalan dengan
berkembangnya pengetahuan tentang keragaman dan persebaran biota di wilayah ini, serta munculnya
metode-metode analisa baru. Satu perbedaan yang mencolok antara buku ini dan buku-buku
sebelumnya mengenai Asia Tenggara, adalah keprihatinan yang besar mengenai pelestarian fauna.

2 Wallace, Darwin and Southeast Asia: the real field site of evolution
2 Wallace, Darwin dan Asia Tenggara: situs evolusi yang sebenarnya
J. VAN WYHE

Abstract: The Galapágos Islands are famous as the supposed site of the discovery of the theory of
evolution by natural selection. Yet Darwin did not discover evolution there, nor base his discovery
solely on evidence collected there. Wallace however did uncover evolution by natural selection in the
field in Southeast Asia. Hence Southeast Asia has a far better claim to being the field site for the
discovery of the theory of evolution. Wallace’s life and career are succinctly surveyed in this paper,
which also resolves the most intractable mystery surrounding the sending of Wallace’s Ternate essay to
Darwin in 1858. There is no evidence for the idea that Darwin delayed forwarding Wallace’s essay to
Lyell in order to incorporate some of Wallace’s manuscript ideas into his own work.

Sari: Kepulauan Galapágos terkenal sebagai situs yang dianggap menjadi tempat ditemukannya teori
evolusi berdasar seleksi alam. Sebenarnya, Darwin tidak menemukan teori evolusi di kepulauan ini
ataupun mendasarkan teorinya hanya pada bukti-bukti yang ia kumpulkan dari wilayah kepulauan ini.
Namun sebaliknya,Wallace justru menemukan teori evolusi berdasar seleksi alam pada saat melakukan
perjalanannya di Asia Tenggara. Dengan demikian, Asia Tenggara adalah situs yang sebenarnya
menjadi tempat penemuan teori evolusi. Kehidupan dan karir Wallace dipaparkan secara singkat dalam
artikel ini, yang juga menjelaskan dengan gamblang misteri risalah tentang Ternate, yang dikirimkan
oleh Wallace kepada Darwin pada tahun 1858. Tidak dapat dibuktikan dalam tulisan ini, bahwa Darwin
telah menunda pengiriman risalah tersebut kepada Lyell. Selama ini, peristiwa penundaan tersebut telah
diperkirakan sebagai cara Darwin untuk memasukkan naskah Wallace ke dalam karyanya sendiri.

3 Sundaland and Wallacea: geology, plate tectonics and palaeogeography


3 Paparan Sunda dan Kawasan Wallacea: geologi, tektonika lempeng, dan paleogeografi
R. HALL

Abstract: The Southeast Asian gateway is the connection between the Pacific and Indian Ocean that
diminished from a wide ocean to a complex narrow passage as plate movements caused Australia to
collide with Southeast Asia. This overview of the geological history of the gateway region discusses
Cenozoic palaeogeographic changes and their causes.
The core of Southeast Asia, Sundaland, was assembled in the Late Palaeozoic and Early Mesozoic
by addition of continental fragments from Gondwana. Mesozoic rifting of fragments, now in Indonesia,
from western Australia determined the shape of the Australian margin and influenced its later collision
history. Mesozoic collisions affected the strength and elevation of Sundaland, and terminated
subduction during the Late Cretaceous and Early Cenozoic. Subduction resumed in the Eocene and
continues to the present-day. Australia–Southeast Asia collision began about 25 million years ago
forming the region known as Wallacea. It is part of a complex plate boundary zone between the weak
continental region of Sundaland and strong surrounding plates of the Pacific, Philippine Sea, Australia
and India.
New palaeogeographical maps illustrate the distribution of land and sea. They differ from earlier
maps in showing more small areas of land within Wallacea in the Neogene, in the orientation and
greater southward extent of the Sundaland margin in the Early Cenozoic, the importance of the Banda
embayment in the Australian margin, and the elimination of the deep marine gap between Australia and
Southeast Asia in the Early Miocene. Palaeogeography changed very quickly in and around Wallacea,
particularly in the last 15 million years. A microplate or terrane approach to the geology needs to be
used with caution by biologists in understanding biogeographic patterns. Instead of slicing fragments
from New Guinea followed by multiple collisions, new models interpret the fragments to be the result
of extension driven by subduction rollback. The present distributions of plants and animals in the
region reflect the interplay and feedbacks between geology, tectonics, palaeogeography, and ocean–
atmospheric circulation. Rapid vertical movements may mean there was more land than previously
expected and perhaps more short-lived stepping stones for terrestrial dispersal.

Sari: Jalur Asia Tenggara adalah jalur yang menghubungkan Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.
Jalur ini di masa lalu adalah lautan yang luas, yang kemudian berubah menjadi suatu jalur sempit yang
rumit. Perubahan ini terjadi pada saat lempeng bumi bergerak, yang telah menyebabkan benua
Australia bertumbukan dengan Asia Tenggara. Dalam uraian umum mengenai sejarah geologi wilayah
Asia Tenggara berikut ini, kami akan memaparkan perubahan-perubahan paleogeografi dalam Era
Kenozoikum dan penyebab-penyebabnya.
Paparan Sunda merupakan daerah inti wilayah Asia Tenggara yang terbentuk dalam Era
Paleozoikum Akhir dan Era Mesozoikum Awal dengan penambahan dari pecahan-pecahan Benua
Besar Gondwana. Proses retaknya pecahan-pecahan yang kini terletak di Indonesia dimulai dari bagian
barat Australia dalam Era Mesozoikum. Retaknya pecahan-pecahan ini menentukan bentuk batas tepi
(margin) benua Australia dan mempengaruhi sejarah tumbukan benua ini di masa depan. Peristiwa-
peristiwa tumbukan dalam Era Mesozoikum mempengaruhi kekuatan dan ketinggian Paparan Sunda,
dan mengakhiri tumbukan selama Zaman Kapur Akhir dan Era Kenozoikum Awal. Tumbukan
lempeng dimulai lagi pada Kala Eosen dan berlanjut hingga kini. Peristiwa tumbukan antara Lempeng
Australia dengan Asia Tenggara dimulai pada sekitar 25 juta tahun yang lalu dan membentuk daerah
yang kini dikenal sebagai Kawasan Wallacea. Daerah ini adalah bagian dari zona batas lempeng yang
kompleks yang terletak di antara Paparan Sunda yang merupakan benua yang lemah dan Lempeng-
lempeng Pasifik, Laut Filipina, Australia dan India yang lebih kuat.
Pada peta-peta paleogeografi terkini telah digambarkan persebaran daratan dan lautan. Peta-peta ini
berbeda dari peta-peta terdahulu karena peta-peta terbaru ini menggambarkan lebih banyak pulau-pulau
kecil di Kawasan Wallacea selama Neogen. Di samping itu, peta-peta baru ini juga mengalami
penyempurnaan pada orientasi batas tepi Paparan Sunda dan cakupan benua ini yang lebih besar ke
arah selatan pada Era Kenozoikum Awal. Perbedaan lainnya adalah penegasan lekukan Banda ke
dalam batas tepi Australia dan dihilangkannya batas laut dalam di antara Australia dan Asia Tenggara
pada Kala Miosen Awal. Palaeogeografi berubah sangat cepat di Kawasan Wallacea dan daerah-daerah
sekitarnya, terutama dalam 15 juta tahun terakhir. Pendekatan-pendekatan benua renik atau ‘terrane’
terhadap geologi selayaknya digunakan oleh para ilmuwan dalam bidang biologi secara berhati-hati
untuk mempelajari pola-pola biogeografi. Alih-alih penyayatan pecahan-pecahan dari Papua yang
diikuti oleh tumbukan yang berulang kali, model-model paleogeografi yang terbaru
menginterpretasikan pecahan-pecahan ini sebagai hasil dari suatu pemanjangan yang dipicu oleh
sebuah penggelindingan mundur suatu pecahan yang disebabkan oleh tumbukan lempeng (subduction
rollback). Persebaran flora dan fauna di wilayah ini menunjukkan interaksi antara geologi, tektonika,
paleogeografi, dan sirkulasi laut dengan atmosfer dan hasil-hasil dari interaksi tersebut. Pergerakan
vertikal yang cepat dapat diartikan sebagai adanya daratan yang lebih banyak dibandingkan dengan
perkiraan sebelumnya. Hal ini barangkali dapat pula diartikan sebagai ketersediaan batu-batu lompatan
yang lebih banyak. Batu-batu lompatan tersebut muncul untuk sementara waktu dari kedalaman laut
dan dapat membantu penyebaran flora dan fauna di daratan.

4 A review of the Cenozoic palaeoclimate history of Southeast Asia


4 Tinjauan tentang sejarah iklim purba pada Masa Kenozoikum di Asia Tenggara
R. J. MORLEY

This paper presents a review of the climate history of the Southeast Asian region, building and
expanding on the review presented by Morley in 2000 (‘Origin and Evolution of Tropical Rain Forests,
Chapter 9’). The paper covers each epoch of the Cenozoic, emphasing the prevailing climate and
climatic gradients and attempts an explanation of climate changes through time in relation to plate
tectonics, changing palaeogeographies and changing global climate scenarios.
Compared to the Morley 2000 review, major progress has been made with respect to the timing
of the immigration of ‘Indian’ elements in the flora following the collision of the Indian Plate with Asia
during the Eocene, the nature of Oligocene climates, climate gradients and climate cycles, and of high
resolution (100 Ka) climate cycles during the Late Miocene in the Borneo region. It is also
demonstrated that equatorial Borneo has experienced an essentially everwet climate for at least 10 Ma
and this long-term climate stability is thought to explain the very high floristic diversity recorded in
some parts of Borneo.
A new perspective has also been placed on Quaternary climate change. For the first time
climates can be effectively mapped for the period of lowest sea levels during the last glacial, for the
subsequent period of rising sea levels, and for the period of stable high sea levels during the later
Holocene. The pattern of Quaternary climate change is also discussed in relation to long term changes
in the O18 record, and also to the record of mammalian fossils.
A detailed discussion of controls on climate change has also been made, and it is suggested that
the region experienced a change from a more ‘equatorial’ climatic regime up until the end of the
Oligocene, to a more ‘monsoonal’ regime from the base Miocene onward following the disruption of
the Indonesian Throughflow after the collision of the Australian Plate with Sunda. The ‘monsoonal’
climate regime continued until the present day and accounts for many of the characteristic features of
the modern vegetation of the region.

Sari: Artikel ini memaparkan sebuah tinjauan tentang sejarah iklim di wilayah Asia Tenggara dan
merupakan perluasan dari sebuah ulasan yang telah kami sampaikan dalam sebuah buku pada Bab 9
yang berjudul ‘Origin and Evolution of Tropical Rain Forests’ yang diterbitkan pada tahun 2000.
Artikel ini mencakup setiap zaman dalam Masa Kenozoikum, menekankan iklim yang umum pada era
ini dan gradien iklimnya serta mencoba menjelaskan perubahan-perubahan iklim sepanjang waktu
dalam kaitannya dengan pergerakan lempeng, perubahan paleogeografi dan berubahnya skenario iklim.
Dibandingkan dengan ulasan terdahulu, di dalam tinjauan ini terkandung suatu kemajuan, yaitu
mengenai migrasi flora ‘India’ ke dalam flora Asia Tenggara yang terjadi setelah peristiwa tumbukan
antara Lempeng India dengan Asia pada Kala Eosen. Selain itu, di dalam tinjauan ini terdapat pula
kemajuan-kemajuan lain, yaitu sifat-sifat iklim Kala Oligosen dan runtutan iklim dan siklus iklim, serta
siklus iklim selama Kala Miosen Akhir di wilayah Borneo yang kini digambarkan dengan resolusi
tinggi (100 Ka). Penelitian ini menunjukkan, bahwa iklim di wilayah Borneo di sepanjang garis
Khatulistiwa adalah iklim basah sepanjang tahun yang telah terjadi sedikitnya selama 10 juta tahun.
Iklim yang tidak berubah dalam jangka waktu yang panjang tersebut dapat digunakan untuk
menjelaskan tingginya tingkat keragaman flora yang telah tercatat dari beberapa daerah di Borneo.
Sebuah pandangan baru tentang perubahan iklim pada Zaman Kuarter dibahas dalam ulasan ini.
Untuk pertama kalinya, pemetaan iklim dapat dilakukan secara efektif untuk periode waktu di kala
permukaan laut mencapai jenjang paling rendah, yaitu yang telah terjadi selama periode Es Terakhir
(last glacial). Selain itu, pemetaan iklim juga dapat dilakukan untuk periode kenaikan jenjang laut
setelah periode Es Terakhir, dan di kala periode muka laut tinggi yang stabil dalam Kala Holosen. Pola
perubahan iklim pada Zaman Kuarter juga dibahas dalam hubungannya dengan catatan O18 yang
mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang dandalam hubungannya dengan keberadaan
fosil-fosil hewan menyusu (mamalia).
Kontrol perubahan iklim dibahas secara terperinci di dalam ulasan ini. Menurut hasil
pembahasan kami, wilayah Asia Tenggara telah mengalami perubahan rezim iklim. Iklim yang
cenderung bersifat ‘ekuatorial’, yang umum terjadi hingga di akhir Kala Oligosen berubah menjadi
iklim yang cenderung dipengaruhi oleh angin pancaroba (muson). Iklim pancaroba ini mulai terjadi
sejak awal Kala Miosen hingga kini, setelah peristiwa terganggunya sistem Throughflow Indonesia
yang diakibatkan oleh tumbukan Lempeng Australia dengan Lempeng Sunda. Rezim iklim pancaroba
ini berlanjut hingga kini dan telah mempengaruhi sifat-sifat khas vegetasi Asia Tenggara saat ini.

5 Quaternary dynamics of Sundaland forests


5 Dinamika hutan-hutan di Paparan Sunda pada Zaman Kuarter
C. H. CANNON

Abstract: The historical dynamics and distribution of Sundaland forests during the Quaternary Period
involved the interaction between global climate change and its associated effects on land area and the
ecology and evolution of rain-forest trees. Spatial modeling of historical land area and climate indicates
that Sundaland’s wet evergreen forests are currently reduced and fragmented in comparison to the
majority of their Quaternary history, and that the current distribution of forests is quite recent.
Interpreting the effect of these dramatic cyclical changes on the ecology and evolution of forest trees
remains difficult. We lack a convincing general theory for their diversification and speciation given
that sympatry of numerous closely related species is a common feature of these communities.
Additionally, the evolutionary and ecological characteristics of trees do not fit easily into standard
evolutionary models or analytical approaches, often derived using zoological subjects or model
herbaceous plant species.
This chapter first reviews our understanding of the historical biogeography of Sundaland forests
through the Quaternary Period. Because some key elements of the historical biogeography of the region
are robust to a wide range of model parameters, Sundaland exemplifies a marvellous natural laboratory
for testing assumptions about community assembly processes, historical population size, and the
natural formation of refugia. This review also pinpoints major outstanding questions related to the
geomorphology of the Shelf and the interaction of forests and soils. Secondly, several important aspects
of rain-forest tree life history are outlined, emphasizing the spectacular 'non-model' nature of their
evolutionary behaviour. Pulling these two major themes together, the ways in which the unique
biogeographic history of Sundaland forests and the evolutionary characteristics of rainforest trees have
interacted to produce the forests of today are discussed. On a final note, the importance of capturing the
natural spatial patterns of community composition and genetic variation prior to their complete erasure
by human activities is stressed.

Sari: Dinamika dan persebaran hutan-hutan di Paparan Sunda pada Zaman Kuarter mencakup interaksi
antara perubahan iklim global dan pengaruhnya pada luas daratan, serta ekologi dan evolusi pepohonan
di dalam hutan hujan. Hasil pembuatan model luas daratan (spatial modelling) dan juga model iklim
mengindikasikan berkurangnya luas hutan-hutan hijau abadi (evergreen) di Paparan Sunda saat ini dan
juga terpecah-pecahnya hutan-hutan ini dibandingkan dengan keadaan hutan-hutan ini sebelumnya di
sepanjang sejarah Zaman Kuarter. Model ini juga mengindikasikan bahwa persebaran hutan yang kita
lihat sekarang ini terbentuk dalam waktu yang relatif singkat. Keadaan hutan dan pepohonan di
dalamnya saat ini masih sulit untuk diartikan karena adanya perubahan-perubahan berulang yang
sangat cepat yang berpengaruh pada ekologi dan evolusinya. Kami belum menemukan suatu teori
umum yang meyakinkan, yang dapat menjelaskan proses penganekaragaman jenis (diversification) dan
proses spesiasi pepohonan ini. Hal ini disebabkan oleh simpatri (sympatry) jenis-jenis yang berkerabat
dekat yang terjadi pada banyak jenis pohon di hutan hujan. Simpatri semacam ini merupakan kondisi
khas dan juga umum pada komunitas pepohonan di hutan hujan. Selanjutnya, ciri-ciri khas evolusi dan
ekologi pepohonan tidak dapat dengan mudah dicocokkan dengan model evolusi yang standar ataupun
pendekatan-pendekatan analitis, yang banyak dibuat dengan menggunakan subyek-subyek penelitian
yang berupa binatang maupun jenis-jenis model tumbuhan herba.
Dalam bab ini, terlebih dahulu kami akan menguraikan pemahaman tentang biogeografi hutan-
hutan di Paparan Sunda di masa lalu selama Zaman Kuarter. Paparan Sunda merupakan suatu contoh
laboratorium alam yang luar biasa dalam pengujian asumsi mengenai proses-proses pembentukan
komunitas, ukuran populasi di masa lalu, dan pembentukan refugia secara alamiah, karena unsur-unsur
kunci biogeografinya berkaitan erat dengan berbagai parameter model. Tinjauan ini juga akan
menunjukkan satu demi satu pertanyaan-pertanyaan utama yang berhubungan dengan geomorfologi
Paparan Sunda dan interaksi antara hutan-hutannya dengan tanah. Selanjutnya, kami menarik garis
besar aspek-aspek penting sejarah kehidupan (life history) pepohonan hutan hujan dan memberi
penekanan pada perilaku evolusinya (evolutionary behaviour) yang luar biasa, yang bersifat ‘bukan
model’ (non-model). Kedua tema besar tersebut dipaparkan untuk menjelaskan mekanisme interaksi
antara sejarah biogeografi hutan-hutan di Paparan Sunda dan ciri-ciri khas evolusi pepohonan hutan
hujan, yang menghasilkan hutan-hutan yang ada sampai saat ini. Sebagai catatan terakhir, kami juga
menekankan pentingnya pengambilan data tentang pola-pola ruang alamiah dari komposisi komunitas
dan variasi genetika sebelum hutan-hutan tersebut lenyap karena ulah manusia.
6 The Malesian floristic interchange: plant migration patterns across Wallace’s Line
6 Persimpangan floristik Malesia: pola migrasi tumbuhan di sepanjang Garis Wallace
J. E. RICHARDSON, C. M. COSTION AND A. N. MUELLNER

Abstract: Dated molecular trees, together with fossil and current distribution patterns were used to
determine the origins of lineages of flowering plants throughout Southeast Asia. Our analysis indicated
a greater migration across Wallace’s Line from west to east (from Sundania to Australasia) than vice
versa, supporting what had been suggested by earlier botanical studies. We suggest that a combination
of the area of land available for colonisation and the effects of phylogenetic niche conservatism help to
explain this pattern. Published dated molecular phylogenetic trees indicate that migrations occurred
from the Early Miocene at a time when Asian and Australian plates were converging around Wallace’s
Line.

Sari: Untuk menentukan asal-muasal garis-garis keturunan tumbuhan berbunga di Asia Tenggara, kami
menggunakan pohon filogeni molekuler yang telah dikalibrasi, fosil dan pola persebaran terkini
tumbuh-tumbuhan tersebut. Hasil analisa menunjukkan migrasi yang relatif besar di antara kedua sisi
Garis Wallace, yaitu dari barat ke timur (dari Sundania ke Australasia) dan sebaliknya, seperti yang
telah ditunjukkan dalam penelitian-penelitian botani sebelumnya. Pola ini dapat dapat dijelaskan
dengan mendasarkan pemikiran pada ketersediaan daratan untuk membantu proses kolonisasi, yang
dikombinasikan dengan kestabilan relung ekologi secara filogenetis (phylogenetic niche conservatism).
Pohon-pohon filogeni yang telah dikalibrasi dalam publikasi-publikasi ilmiah menunjukkan bahwa,
migrasi terjadi semenjak Kala Miosen Awal pada saat Lempeng Asia dan Lempeng Australia bersatu di
sekitar Garis Wallace.

7 Biogeography and distribution patterns of Southeast Asian palms


7 Biogeografi dan pola persebaran palem Asia Tenggara
W. J. BAKER AND T. L. P. COUVREUR

Abstract: The Indo-Pacific is widely recognised as an outstanding centre of plant diversity. Palms are
no exception among the plant families of the region. Tropical Asia, for example, contains around half
of all palm species diversity (ca. 1,200 species in 57 genera) with almost 1,000 species in 50 genera
concentrated in Malesia alone. The biogeography of Asian palms has been reviewed previously leading
to the identification of three main types of distribution: 1) distributions to the west of Wallace’s line, 2)
distributions to the east of Wallace’s Line and 3) bimodal (“bicentric”) distributions. However, a
detailed review of patterns of palm distribution in the Indo-Pacific region has not been conducted in the
context of new phylogenetic evidence for palms.
New resources now exist for biogeographers who study palms, specifically numerous well-
supported phylogenetic trees, a dated phylogeny for all genera, a phylogenetic classification and a
complete checklist of accepted palm species and their distributions. New opportunities now exist for in-
depth analyses of palm diversification in space and time. In this paper we review patterns of
distribution for palm clades in the Indo-Pacific within the new phylogenetic and taxonomic framework,
emphasizing patterns across the geologically complex Malesian region. We evaluate the diversity of
distributions displayed by major palm lineages, compare them to interpretations in previous studies and
explore the biogeographic implications of our divergence time estimates and the fossil record. We find
that while previous biogeographic reviews are accurate at some coarse level, they over-simplify a far
more complex array of patterns that are revealed through phylogenetics. We observe that many clades
share similar patterns and yet molecular dates and the fossil record suggest widely varying
diversification histories for these groups. The paucity of palm species in Wallacea remains paradoxical.
We concur with previous authors that climate change may have resulted in a reduction in palm
diversity in the region. We conclude that further progress in Indo-Pacific palm biogeography will be
achieved most effectively through a multi-disciplinary approach involving innovative phylogenetic,
biogeographic, macroecological and phylogeographic methods.

Sari: Wilayah Indo-Pasifik telah dikenal luas sebagai pusat keragaman tumbuhan, termasuk di
dalamnya Suku Palem-paleman yang merupakan salah satu dari banyak suku tumbuhan dari wilayah
ini. Sebagai contoh, Asia Tropis mempunyai sekitar setengah dari seluruh keanekaragaman jenis palem
(kira-kira 1.200 jenis dalam 57 marga) dan hampir 1.000 jenis dalam 50 marganya terpusat hanya di
Malesia. Biogeografi palem Asia telah ditelaah sebelumnya dan menghasilkan tiga tipe utama
persebaran: 1) persebaran di sebelah barat Garis Wallace, 2) persebaran di sebelah timur Garis Wallace
dan 3) persebaran di kedua belah sisi Garis Wallace (“bicentric”= dua pusat). Namun demikian,
penelaahan secara terperinci pola-pola persebaran palem di wilayah Indo-Pasifik belum dilakukan
dalam rangka mencari bukti filogenetis baru untuk palem.
Data penunjang penelitian tentang biogeografi palem telah tersedia, khususnya data tentang
hubungan kekerabatan. Termasuk di dalam data penunjang ini adalah pohon-pohon filogeni yang
akurat, sebuah pohon filogeni terkalibrasi untuk semua marga, klasifikasi palem secara filogenetis, dan
daftar cek (checklist) lengkap jenis-jenis palem yang diakui beserta persebarannya. Dengan tersedianya
data tersebut, terbukalah suatu kesempatan untuk melakukan analisa-analisa penganekaragaman jenis-
jenis palem secara terperinci dalam konteks ruang dan waktu. Dalam tulisan ini, kami menelaah
persebaran kelompok-kelompok palem di Indo-Pasifik berdasarkan filogeni dan taksonomi yang baru
dan menekankan pola-pola persebaran di seluruh Malesia, yang secara geologi sangat kompleks. Kami
juga meninjau keragaman persebaran palem (seperti yang dapat diamati pada garis-garis utama
keturunan palem), membandingkannya dengan penafsiran-penafsiran di dalam penelitian-penelitian
terdahulu, dan mempertimbangkan implikasi hasil analisa perkiraan waktu divergensi dan data fosil
etrhadap biogeografi palem. Hasil-hasil penelaahan pola persebaran palem yang terdahulu tampaknya
hanya akurat secara kasar, namun penelaahan-penelaahan tersebut mengesampingkan pola-pola yang
jauh lebih kompleks, yang dapat diamati dari hasil penelaahan berdasar filogeni. Beberapa kelompok
palem mempunyai pola persebaran yang sama, namun sangat berbeda sejarah penganekaragaman
jenisnya, jika diamati dari penanggalan molekuker dan catatan fosilnya. Ketiadaan jenis-jenis palem di
Kawasan Wallacea masih menjadi suatu keganjilan. Kami sependapat dengan penulis-penulis terdahulu
yang menyatakan bahwa perubahan iklim dapat mengakibatkan berkurangnya keragaman palem di
kawasan Wallacea. Akhirnya, kami berkesimpulan bahwa kemajuan dalam penelitian biogeografi
palem Indo-Pasifik akan dapat dicapai dengan pendekatan multidisiplin yang melibatkan metode-
metode filogenetika, biogeografi, makroekologi, dan filogeografi.

8 Historical biogeography inference in Malesia


8 Kesimpulan biogeografi sejarah di Malesia
C. O. WEBB AND R. REE

Abstract: The Malesian region presents special challenges for biogeographic reconstruction because of
its complex history of both accreting and dividing land areas. Phylogenetic tree-based approaches are
likely to incorrectly reconstruct ancestral ranges because the region’s area cladogram is fundamentally
non-treelike. A promising alternative is to directly incorporate hypotheses for historical land
connections into probabilistic models of ancestral lineage movement. One method, applied in the
program LAGRANGE, is dispersal-extinction-cladogenesis, which uses maximum likelihood estimates
of ranges at each node in a tree. Another method, implemented in the program SHIBA, simulates
lineage movement on a changing historical landscape and offers probabilistic estimates of ancestral
ranges. Using a hypothesis for the historical conformation of Malesia over the last 55 Ma, we compare
these approaches with dispersal-vicariance analysis (using DIVA) in a case study of Rhododendron
section Vireya. We discuss the advantages and limitations of the two methods, and the challenges to
further progress in Malesian historical biogeography.

Sari: Karena sejarah pembumbunan (accretion) dan pembelahan (division) wilayah daratan Malesia,
maka tidaklah mudah membuat rekonstruksi biogeografinya. Daerah persebaran nenek moyang suatu
organisme di masa lalu tidak mungkin direkonstruksikan dengan tepat, jika rekonstruksi ini didasarkan
pada pendekatan-pendekatan pohon filogeni. Ketidaktepatan hasil rekonstruksi ini disebabkan oleh
sifat pohon filogeni yang pada dasarnya tidak mencerminkan suatu kladogram luasan wilayah Malesia.
Sebuah cara alternatif untuk merekonstruksi biogeografi suatu organisme di wilayah ini adalah dengan
menggabungkan secara langsung hipotesa-hipotesa tentang terhubungnya daratan-daratan di masa yang
lampau dengan model-model probabilistis tentang perpindahan garis-garis keturunan nenek moyang.
‘Dispersal-extinction-cladogenesis’ adalah suatu metode rekonstruksi biogeografi yang terdapat di
dalam program LAGRANGE. Metode ini menggunakan perkiraan ‘kemungkinan maksimal’ (maximum
likelihood) untuk memperkirakan daerah persebaran suatu organisme pada setiap percabangan suatu
pohon filogeni. Metode lain untuk merekonstruksi biogeografi adalah simulasi perpindahan garis-garis
keturunan pada bentang darat yang berubah-ubah di masa silam. Metode ini dapat digunakan untuk
memperkirakan kemungkinan terdapatnya suatu daerah persebaran di masa silam dan dapat dijumpai di
dalam program SHIBA. Kami membandingkan kedua metode tersebut dengan analisa ‘dispersal-
vicariance’ dari suatu studi kasus mengenai Rhododendron seksi Vireya (yang kami lakukan dengan
program DIVA). Perbandingan tersebut kami lakukan dengan menggunakan hipotesa tentang
konformasi wilayah Malesia di masa silam, yang terjadi lebih dari 55 juta tahun yang lalu.
Keuntungan-keuntungan dan juga keterbatasan-keterbatasan dari kedua metode tersebut juga kami
bahas dalam tulisan kami ini, demikian pula tantangan-tantangan yang akan dihadapi dalam mencapai
kemajuan dalam usaha merekonstruksi biogeografi Malesia di masa silam.

9 Biodiversity hotspots, evolution and coral reef biogeography: a review


9 Hotspots keanekaragaman hayati, evolusi dan biogeografi terumbu karang: sebuah tinjauan
D. R. BELLWOOD, W. RENEMA AND B. R. ROSEN

Abstract: In the marine realm, the largest and most conspicuous biodiversity hotspot is centred on the
Indo-Australian Archipelago (IAA). The exceptional marine diversity in this area has been known for
over a century. However, it is only in recent decades that the familiar ‘bull’s-eye’ pattern of species
diversity has been described. The presence of both latitudinal and longitudinal gradients in diversity,
away from the IAA hotspot (the ‘coral triangle’), challenges traditional theories explaining higher
diversity in the tropics, and has resulted in four ‘centre-of’ hypotheses to explain the unusual bull’s-eye
pattern. These four hypotheses have formed the cornerstones of tropical marine biogeography in this
region for the last few decades. Focusing on coral reef organisms, this review examines the origins of
the four key hypotheses (the Centre of Origin, Centre of Overlap, Centre of Accumulation and Centre
of Survival hypotheses), revealing some complexity and convergence in the various interpretations of
the hypotheses. After considering alternative null models (mid-domain effects), the review then
evaluates various tests of the four hypotheses looking at studies examining ecological correlates,
endemics, phylogenies and fossils. There is some support for all four hypotheses, with no one
predominating. However, there is a clear consensus among taxa. Biogeographic patterns are highly
congruent among taxa, often conforming closely to random expectations. Nevertheless, species
richness patterns exhibit consistent correlations with a limited number of environmental variables
(especially habitat area and, to a lesser extent, sea surface temperature and oceanic currents), and
numerous taxa exhibit a shared evolutionary and geological history reflecting past biodiversity hotspots
in Europe (in the Eocene) and Arabia (early Miocene) - a history of hopping-hotspots. Finally, it
appears that the various taxa also share a common problem: human activity and habitat loss. These
different marine groups share a long and complicated history and an
uncertain and challenging future.

Sari: Hotspot keanekaragaman hayati yang terbesar dan paling mencolok di bidang kelautan terpusat di
Kepulauan Indo-Australia (IAA = Indo-Australian Archipelago). Keanekaragaman laut yang luar biasa
ini telah terkenal lebih dari satu abad. Namun demikian, pola “mata banteng” (‘bull’s-eye’) dari
keragaman jenis di wilayah ini baru dideskripsikan sejak beberapa dekade terakhir. Teori-teori
tradisional yang menjelaskan tentang tingginya keanekaragaman di daerah tropis tampaknya mulai
tergeser, dengan munculnya teori-teori tentang gradien keanekaragaman yang berdasarkan pada garis
lintang maupun garis bujur, dan gradien ini tidak lagi terletak pada Hotspot IAA (”segitiga terumbu”).
Pergeseran teori ini telah mengakibatkan munculnya empat buah hipotesa mengenai pusat keragaman
(‘centre-of’ hypotheses) yang dapat digunakan untuk menjelaskan pola mata banteng yang berbeda dari
pola-pola tersebut sebelumnya. Keempat hipotesa tersebut telah membentuk kerangka dasar berfikir
mengenai biogeografi laut tropis di wilayah ini sejak beberapa dasawarsa terakhir. Dengan mengambil
fokus pada organisme-oranisme yang hidup pada terumbu karang, dipaparkan dalam tulisan ini
telaahan tentang proses munculnya keempat hipotesa kunci pusat keanekaragaman (yaitu hipotesa
Pusat Asal, Pusat Tumpang-tindih, Pusat Pelonggokan dan Pusat Keberlangsungan hidup) Telaahan
kami ini mengungkapkan kerumitan dan juga kesepahaman yang muncul di dalam berbagai penafsiran
hipotesa-hipotesa ini. Dalam telaahan ini, kami menilai berbagai hasil uji pada keempat hipotesa
tentang pusat keanekaragaman dengan merujuk kepada penelitian-penelitian tentang korelat-korelat
ekologi (ecological correlates), jenis-jenis endemis, filogeni dan fosil, serta mempertimbangkan
model-model nol alternatif (efek-efek ‘mid-domain’). Hasil penelaahan kami menunjukkan bahwa
keempat hipotesa ini terbukti kebenarannya, dan tidak satu pun dari keempat hipotesa tersebut dapat
dinilai lebih baik daripada yang lain. Meskipun demikian, terdapat suatu konsensus yang jelas di
antara kelompok-kelompok taksonomi. Pola biogeografi kelompok-kelompok taksonomi ini sangat
kongruen satu sama lain dan sering kali tampak seperti di luar dugaan. Namun demikian, pola-pola
kekayaan jenis menunjukkan korelasi yang konsisten dengan beberapa variabel lingkungan, terutama
area habitat; korelasi ini kurang konsisten dengan variabel suhu permukaan laut dan variabel arus
samudera. Selain itu, banyak kelompok taksonomi yang menunjukkan sejarah evolusi maupun sejarah
geologi yang sama. Keadaan ini menyerupai persebaran hotspots keanekaragaman hayati di masa
lampau di Eropa (Kala Eosen) dan Tanah Arab (Kala Miosen Awal), sehingga terbentuklah sebuah
sejarah lompatan hotspots. Kelompok-kelompok taksonomi ini tampaknya juga mempunyai masalah
yang sama, yaitu aktifitas manusia dan hilangnya habitat. Akhirnya, kami dapat menyimpulkan bahwa
kelompok-kelompok taksonomi di habitat laut ini memiliki sejarah yang panjang dan rumit, serta masa
depan yang dan tidak menentu dan penuh tantangan.

10 Tsunami impacts in the marine environment: review and results from studies in Thailand
10 Dampak-dampak Tsunami pada lingkungan laut: tinjauan dan hasil-hasil penelitian di
Thailand
G. L. J. PATERSON, M. A. KENDALL, C. ARYUTHAKA, N. J. EVANS, Y. MONTHUM, C. JITTANOON, P.
CAMPBELL, L. R. NOBLE AND K. M. O’NEILL

Abstract: In this chapter we review what is known about the effects of tsunamis on natural
communities, both from previous events and the 2004 Asian tsunami. We also present recent research
based on short time-series studies undertaken in Thailand that evaluates the changes that have occurred
in soft sediment and coral reef communities at eight localities, and puts the tsunami disturbance into
local context. At higher taxonomic levels, coastal polychaete communities did not differ markedly
before and after the 2004 tsunami. The impact of the 2004 tsunami on reef communities was generally
limited and very localized. Overall, the 2004 tsunami is deemed to have had a limited effect on a
resilient marine biota, with damaged areas showing signs of recovery by 2009. More long-term studies
are required to better understand marine ecology. The ecological disturbance created by tsunamis is
compared with other large-scale natural environmental disturbances, especially storms and typhoons.

Sari: Dalam bab ini kami menelaah pengetahuan tentang pengaruh tsunami pada komunitas alami, baik
tsunami Asia yang terjadi pada tahun 2004 maupun peristiwa-peristiwa tsunami sebelumnya. Kami
juga memapaparkan sebuah penelitian terkini yang berdasarkan pada studi-studi berkala jangka pendek
yang telah dilakukan di Thailand. Data yang yang dihasilkan dari studi-studi tersebut kami gunakan
untuk menilai perubahan-perubahan yang terjadi pada sedimen halus dan komunitas terumbu karang di
delapan titik, dengan membahas bencana tsunami pada konteks lokal. Pada tingkatan taksonomi yang
tinggi, tidak tampak perbedaan-perbedaan yang nyata di antara komunitas-komunitas Polychaeta
(Cacing Berambut Banyak) pantai, baik sebelum maupun sesudah peristiwa tsunami di tahun 2004.
Peristiwa tsunami di tahun 2004 umumnya berdampak pada komunitas-komunitas karang secara
terbatas dan dampak-dampaknya pun terjadi pada tingkat lokal. Secara keseluruhan, peristiwa tsunami
tahun 2004 dapat dipastikan mempunyai dampak yang terbatas bagi biota laut dengan daya tahan hidup
yang tinggi. Daerah-daerah yang mengalami kerusakan akibat tsunami tersebut telah menunjukkan
tanda-tanda pemulihan pada tahun 2009. Studi-studi dengan jangka waktu yang lebih panjang
tampaknya diperlukan untuk menjelaskan keadaan ekologi laut. Gangguan ekologis yang ditimbulkan
oleh peristiwa-peristiwa tsunami dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa bencana alam lain berskala
besar, terutama badai dan topan.

11 Coalescent-based analysis of demography: applications to biogeography on Sulawesi


11 Analisa demografi berdasar Teori Penggabungan (Coalescent): penerapannya untuk
biogeografi di Sulawesi
B. J. EVANS

Abstract: Molecular data offer great promise to increase our understanding of the timing, patterns,
processes, and nature of biological diversification. However, we generally must cope with at least two
challenges: (1) ancient events must be inferred from a sample of genetic variation that occurs in the
present time, and (2) to make analyses computationally tractable, simplifying assumptions that are
violated by real biological systems are required. In this contribution I explore how the complexity of
natural systems could affect conclusions drawn from divergence population genetic analysis of
speciation. Using macaque monkeys on the islands of Sulawesi and Borneo in central Indonesia as an
example, I simulated diversification of an ancestor into two descendent lineages, one of which develops
population structure. I analyzed these simulations using a coalescent approach that assumes no
population structure in the ancestral or descendant lineages. This is germane to other Sulawesi
endemics that exhibit substantial population structure, and sometimes with similar geographic patterns
to other taxa. Results indicate that extreme asymmetry in population structure does not lead to strong
biases in parameter estimation or an inappropriate inference of migration, with the (expected) exception
that the value of the polymorphism parameter of the subdivided population is exaggerated. These
results illustrate how relatively simple demographic models can provide a useful framework for
understanding complex biological systems, such as those of Sulawesi.

Sari: Data molekuler mempunyai potensi yang besar dalam menambah pemahaman kita mengenai
penganekaragaman jenis dalam hal waktu, pola, proses, dan sifatnya. Namun demikian, dua tantangan
secara umum harus kita hadapi: (1) peristiwa di masa lampau harus disimpulkan berdasarkan pada
sampel variasi genetika yang didapat di masa kini, dan (2) diperlukan penyederhanaan asumsi-asumsi
yang tidak cocok dengan sistem biologis yang sebenarnya, sehingga analisa-analisa yang akan
dilakukan dapat dirunut dengan perhitungan-perhitungan matematis. Dalam bab ini kami memaparkan
kerumitan sistem-sistem alamiah yang dapat mempengaruhi pengambilan kesimpulan dari suatu analisa
genetika populasi pada proses spesiasi (munculnya suatu jenis). Untuk itu, kami mengambil contoh
kasus dari sebuah pembuatan simulasi tentang proses penganekaragaman jenis nenek moyang monyet
Makaka di Sulawesi dan Kalimantan. Proses penganekaragaman jenis ini disimulasikan mempunyai
dua garis keturunan, yang salah satunya berkembang membentuk suatu populasi yang terstruktur.
Simulasi ini kami analisa dengan pendekatan Coalescent, dengan asumsi bahwa populasi nenek
moyang ataupun keturunannya tidak terstruktur. Asumsi ini berhubungan dengan populasi jenis-jenis
endemis lain di Sulawesi yang mempunyai struktur yang kuat, dan kadang-kadang mempunyai
kemiripan pola-pola geografis dengan kelompok-kelompok taksonomi lain. Hasil simulasi
menunjukkan bahwa struktur populasi yang sangat asimetris tidak menimbulkan penyimpangan yang
besar dalam suatu perkiraan parameter atau sebuah kesimpulan tentang migrasi yang tidak benar.
Namun demikian, sebuah perkecualian diperkirakan dapat terjadi, yaitu jika harga-harga parameter
polimorfisme (polymorphism) pada populasi yang terbagi menjadi beberapa subpopulasi menjadi
terlalu besar. Hasil-hasil ini menggambarkan betapa bermanfaatnya model-model demografi yang
relatif mudah dalam membentuk kerangka berfikir yang digunakan untuk menjelaskan sistem-sistem
biologi yang rumit, seperti yang terdapat di Sulawesi.

12 Aquatic biodiversity hotspots in Wallacea - the species flocks in the ancient lakes of Sulawesi,
Indonesia
12 Hotspots kenekaragaman hayati akuatik di Kawasan Wallacea – kerumunan jenis di danau-
danau tua Sulawesi, Indonesia
T. VON RINTELEN, K. VON RINTELEN, M. GLAUBRECHT, C. D. SCHUBART AND F. HERDER

Abstract: Two ancient lake systems in the central mountains of the Indonesian island of Sulawesi,
Lake Poso and the five lakes of the Malili system, harbour a highly diverse and endemic fauna. Four
groups of organisms in particular – pachychilid snails, gecarcinucid crabs, atyid shrimps, and
telmatherinid fishes – have formed conspicuous species flocks in the lakes. Data from recent genetic,
ecological and morphological studies on these taxa show some interesting common patterns: All groups
have radiated in situ and in three taxa this has happened two or three times independently in a single
lake system, the Malili lakes. All species flocks have arisen in the process of adaptive radiation, and
trophic specialization (i.e., adaptations of the feeding apparatus to different substrates or prey) seems to
have been the major factor driving diversification. Hybridization is a widespread phenomenon,
especially in snails and fishes, where it is suspected of promoting adaptive divergence. A conspicuous
and frequently flamboyant body colouration is also common to all taxa, and may contribute to
diversification processes in snails and shrimps. Species number differs widely between groups, ranging
from 8 species (crabs) to 53 (snails). No species is shared between Lake Poso and the Malili lakes,
which is not surprising given that these systems were never connected. Even within the Malili system,
very few taxa occur in all five lakes, the vast majority is endemic to one or two lakes only. Some
species have very restricted distribution ranges that are frequently coupled with very specific habitat
requirements. The most extreme case is found in shrimps, where a recently described species dwells
exclusively on a yet undescribed freshwater sponge species, the first record of such an association in
freshwater. The Sulawesi lakes thus provide unique opportunities for studying processes of speciation
and adaptation in natural replicates within and between several taxa. The lakes’ unique fauna is
increasingly threatened by human action, and appreciable efforts should be made now to preserve this
aquatic biodiversity hotspot in Wallacea.

Sari: Danau Poso dan lima danau dalam rangkaian Danau Malili yang terletak di pegunungan tengah di
Pulau Sulawesi, Indonesia, merupakan dua rangkain danau tua dengan fauna yang sangat
beranekaragam dan endemis. Empat kelompok organisme tertentu telah menunjukkan kerumunan jenis
(species flocks). Keempat kelompok organisme tersebut adalah siput-siputan dari Suku Pachychilidae,
kepiting-kepitingan dari Suku Gecarcinucidae, udang-udangan dari Suku Atyidae, dan ikan-ikanan dari
Suku Telmatherinidae. Data molekuler, ekologi, dan morfologi dalaml penelitian ini menunjukkan
beberapa pola umum: 1) Kelompok-kelompok organisme tesebut terpecah-pecah menjadi lebih banyak
jenis atau beradiasi secara in situ, 2) Pola ini terjadi pada tiga dari keempat kelompok organisme
tersebut selama dua kali atau tiga kali secara terpisah di dalam satu rangkaian danau, yaitu rangkaian
Danau Malili, 3) Semua kelompok jenis ini muncul selama berlangsungnya proses radiasi adaptif
(adaptive radiation), dan 4) Pengkhususan trofik (trophic specialisation), yaitu berupa adaptasi alat
makan (feeding apparatus) hewan-hewan ini terhadap dasar danau (substrate) dan mangsanya yang
berbeda tampaknya merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penganekaragaman jenis, 5)
Kawin silang adalah fenomena umum, terutama pada siput dan ikan, yang kemungkinannya menjadi
pemicu proses pembedaan jenis dengan penyesuaian (adaptive divergence). Di samping pola-pola
umum tersebut di atas, pewarnaan yang mencolok pada tubuh suatu organisme juga umum ditemukan
pada semua kelompok dan dapat membantu proses penganekaragaman pada siput dan udang. Cacah
jenis di antara keempat kelompok organisme sangat berbeda, yaitu berkisar antara delapan (8) jenis
pada kepiting-kepitingan sampai dengan lima puluh tiga (53) pada siput-siputan. Tidak ada satu jenis
pun dari Danau Poso yang dapat ditemukan di rangkaian Danau Malili, karena kedua rangkaian danau
tersebut tidak pernah terhubung sebelumnya. Bahkan di dalam rangkaian Danau Malili sekalipun,
hanya beberapa kelompok taksonomi saja yang dapat ditemukan di kelima danaunya. Hanya beberapa
jenis endemis yang sering ditemukan, yaitu pada satu atau dua danau saja. Beberapa jenis bahkan
tersebar di dalam suatu wilayah yang sangat terbatas dan seringkali mempunyai habitat yang khusus.
Kasus yang paling ekstrim adalah pada udang-udangan, yaitu satu jenis udang hidup di dalam sepon air
tawar yang belum terdeskripsi jenisnya. Asosiasi antara udang dan sepon air tawar ini merupakan
catatan pertama di dunia. Akhirnya, disimpulkan bahwa danau-danau di Sulawesi merupakan tempat
yang cocok untuk mempelajari proses munculnya suatu jenis di alam dan juga proses penyesuaian
(adaptation) yang terjadi secara alamiah di antara beberapa kelompok taksonomi. Fauna khas di danau-
danau ini terancam keberadaannya oleh ulah manusia. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk melestarikan
hotspots keanekaragaman hayati air tawar di Kawasan Wallacea perlu segera dilakukan tanpa
penundaan.

13 Molecular biogeography and phylogeography of the freshwater fauna of the Indo-Australian


Archipelago
13 Biogeografi molekuler dan filogeografi fauna air tawar di Kepulauan Indo-Australia
M. DE BRUYN, T. VON RINTELEN, K. VON RINTELEN, P. B. MATHER AND G. R. CARVALHO

Abstract: The Southeast Asian region likely houses the second richest freshwater fauna globally,
second only to the Amazon in terms of species-richness and endemicity, yet comparatively little work
has been carried out on the biogeography and evolutionary history of the region’s freshwater fauna.
Two principal processes have most likely contributed to the generation of biodiversity in this region.
Southeast Asia is effectively a region of admixture between predominantly Oriental and Australian or
earlier (Laurasian and Gondwanan) biotas brought into contact through plate tectonic coalescence,
while cyclical Pleistocene sea level fluctuations may have acted as a speciation ‘pump’, as populations
were isolated repeatedly. We review phylogenetic and phylogeographic studies on freshwater
organisms from this region, and synthesise common patterns emerging from the (limited) literature.
This freshwater fauna, representing millions of years of unique evolutionary history, is under extreme
and sustained threat, and consolidated conservation research programs are urgently required.

Sari: Wilayah Asia Tenggara kemungkina besar adalah kawasan dengan kekayaan fauna air tawar
nomor dua terbesar di dunia dan yang menempati posisi kedua setelah wilayah Amazon dalam hal
kekayaan jenis dan tingkat endemisitas. Namun demikian, hanya sedikit penelitian tentang biogeografi
dan sejarah evolusi fauna air tawar wilayah ini yang telah dilakukan. Dua proses utama diduga telah
mempengaruhi timbulnya keanekaragaman hayati di wilayah ini. Asia Tenggara merupakan suatu
kawasan pembauran antara biota Asia (Oriental), yang menjadi bagian utama dari biota wilayah ini
secara keseluruhan, dan biota Australia atau biota-biota yang telah muncul sebelum munculnya benua
Australia (yaitu Benua Tua Laurasia dan Gondwana). Membaurnya biota-biota dari kedua sisi dunia
tersebut terjadi melalui penggabungan tektonika lempeng, sedangkan perubahan-perubahan ketinggian
permukaan laut yang terjadi secara berulang berperan sebagai “pompa” dalam mengisolasi populasi-
populasi dalam bebeapa kali kejadian. Kami menelaah beberapa studi filogenetika dan filogeografi
yang dilakukan pada organisme air tawar di wilayah ini dan membuat sintesis pola-pola umum yang
muncul dari berbagai karya tulis (yang jumlahnya terbatas). Fauna air tawar yang kami paparkan dalam
bab ini adalah wakil-wakil dari sejarah evolusi yang taktergantikan dan telah berlangsung selama
jutaan tahun. Program-program penelitian terpadu dengan tema pelestarian sangat diperlukan karena
fauna air tawar di wilayah Asia Tenggara terus mengalami ancaman kepunahan yang ekstrim.

14 Patterns of biodiversity discovery through time: an historical analysis of amphibian species


discoveries in the Southeast Asian mainland and adjacent island archipelagos
14 Pola-pola penemuan keanekaragaman hayati sepanjang masa: sebuah analisa sejarah tentang
penemuan-penemuan jenis amfibi di daratan Asia Tenggara dan kepulauan-kepulauan di
sekitarnya
R. M. BROWN AND B. L. STUART

Abstract: We present an analysis of patterns of Southeast Asian amphibian species discoveries and
descriptions over the last two centuries. Beginning with the description of the toad Duttaphrynus
melanostictus in 1799, at last 618 species are recognized from five biogeographic regions between
southern China and eastern Indonesia. These discoveries have not accumulated at a constant, equitable
rate. Instead, they have occurred in periods of rapid species accumulation (followed by periods of
relative stasis), concentrated in the time periods corresponding to the careers of prominent
herpetologists, in their taxonomic focal groups, and in the geographic regions in which these
herpetological luminaries worked. Recent descriptions have moved away the first 170 years’ reliance
on solely morphological data, and the last three decades have seen increasingly diverse types of data
brought to bear on recognizing species. Most lineages (particularly ranid and rhacophorid frogs)
continue to be discovered and described with no evidence of a decline in rates of discovery in recent
years. Most geographic centers of endemism have exhibited variable numbers of species discoveries
over the past two centuries but the two extremes in these periodic fluctuations have been Sulawesi,
with no formal species descriptions since the 1930s and, the northern mainland, where numbers of
species descriptions have been the highest detected in this study—and shown no signs of abating over
the past two decades. Finally, with a few exceptions, most geographically widespread species were
discovered and described by the end of the 1800s. Although a small number of descriptions over the
past century have identified species distributed over two biogeographic zones, most of the last 100
years of new species have been identified as taxa that are limited to a small geographic area in a single
biogeographic zone.

Sari: Makalah ini mengulas hasil analisa pola-pola penemuan jenis amfibia Asia Tenggara dan
pencandraanya selama dua abad terakhir. Berawal dengan pencandraan Kodok Duttaphrynus
melanostictus pada tahun 1799, akhirnya kini telah dikenal 618 jenis dari lima wilayah biogeografi
yang terletak di antara Cina bagian selatan dan Indonesia. Cacah penemuan-penemuan tersebut tidak
bertambah secara konstan dengan laju yang sama. Alih-alih, penemuan-penemuan jenis tersebut terjadi
dalam suatu periode pelonggokan jenis yang sangat cepat (yang diikuti dengan periode stasis), terpusat
dalam periode-periode yang bertepatan dengan perjalanan karir para ahli herpetologi terkenal, dalam
kelompok-kelompok taksonomi yang mereka tekuni, dan di wilayah-wilayah geografi tempat
bekerjanya para ahli herpetologi ini. Pencandraan jenis di masa kini telah berubah dengan munculnya
ragam data yang baru selama tiga dasawarsa terakhir. Selama 170 tahun penemuan jenis-jenis amfibi
didasarkan hanya pada data morfologi saja. Penemuan dan pencandraan sebagian besar garis-garis
keturunan amfibia, terutama katak-katak dalam Suku Rana dan Racophoridae, terus berlanjut tanpa
tanda-tanda yang menunjukkan penurunan laju penemuan tersebut dalam tahun-tahun terakhir ini.
Kebanyakan pusat-pusat endemisme geografis telah menunjukkan cacah penemuan jenis yang
bervariasi sepanjang dua abad terakhir, kecuali Sulawesi yang pencandraan jenis barunya yang terakhir
kali dilakukan pada tahun tigapuluhan. Selain Sulawesi, daratan Asia Tenggara juga tidak
menunjukkan variasi dalam cacah penemuan jenis, dengan bagian sebelah utara daratan ini
menghasilkan cacah pencandraan jenis-jenis baru amfibia yang tertinggi. Dalam dua dasawarsa terakhir
ini, belum tampak tanda-tanda menurunnya cacah tersebut. Kebanyakan jenis-jenis yang tersebar luas
secara geografis telah ditemukan dan dipertelakan pada akhir abad ke-19, walaupun terdapat beberapa
perkecualian. Akhirnya, kebanyakan jenis-jenis baru yang ditemukan dalam satu abad terakhir ini
termasuk di dalam kelompok-kelompok taksonomi yang persebarannya terbatas pada suatu wilayah
geografis yang sempit di dalam sebuah zona biogeografi, dengan beberapa perkecualian yang daerah
persebarannya meliputi dua zona biogeografi.

15 Wildlife trade as an impediment to conservation as exemplified by the trade in reptiles in


Southeast Asia
15 Perdagangan satwa liar sebagai kendala dalam usaha melestarikan alam dan contoh kasusnya
pada perdagangan reptil di Asia Tenggara
V. NIJMAN, M. TODD AND C. R. SHEPHERD

Abstract: Increasing globalisation, human population growth and buyer power has led to an increase in
wildlife trade, probably more so in Asia then elsewhere. Reptiles and their derivatives are traded in
large volumes in and from Asia for a variety of purposes supplying the medicinal, skin, meat and pet
trades. Here we report on trade in four groups of reptiles from four Asian countries, focusing on aspects
that are deemed illegal because either the animals are legally protected at the national level or are
included on Appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora (CITES) precluding international trade for commercial purposes. Trade in CITES I-listed
exotic tortoises in Thailand was assessed by conducting surveys (2006-2010) in Bangkok’s pet
markets. Nearly 500 CITES I-listed tortoises of six species were offered for sale including some of the
world’s rarest and most endangered species (including Madagascar radiated and spider tortoises). Trade
in CITES I-listed marine turtles and bekko (‘tortoise shell’) was assessed during two surveys in
Vietnam (2002, 2008), with ~12,000 bekko products and over 200 stuffed marine turtles observed.
Trade in CITES I-listed clouded monitor lizards for meat in Malaysia was examined from seizure data
(2005-2009) showing ~40,000 monitors being confiscated, with several seizures comprising >2000
monitors. The plausibility of commercial captive breeding of five species of legally protected reptiles
in Indonesia was also assessed by inspection of all eight captive-breeding facilities licensed to breed
these species. Numbers observed were consistently lower than those reported (1200 vs 4000) and only
two facilities were deemed to be capable of producing offspring at a commercial level, suggesting a
substantial part of the international trade in ‘captive-bred’ reptiles from Indonesia likely represents
wild-caught individuals. The trade reported here by and large has an international character, with bekko
and monitor lizard meat destined mainly for the Chinese market (including Hong Kong), Thai pet
tortoises being sold to Japan, Malaysia and Singapore, and Indonesian pet reptiles being exported
primarily to the USA and the EU. The bulk of this trade is illegal and undermines national legislation
and CITES regulations.

Sari: Meningkatnya arus globalisasi, pertumbuhan populasi manusia dan menguatnya daya beli
konsumen telah memberi peluang ke arah peningkatan volume perdagangan satwa liar, terutama di
Asia. Jenis-jenis reptil dan juga produk-produk yang dihasilkan dari bahan baku hewan melata ini
diperdagangkan dalam jumlah yang besar dari Asia dengan tujuan menyediakan komoditas dalam
perdagangan obat-obatan, kulit, daging, dan hewan piaraan. Dalam makalah ini kami melaporkan
perdagangan empat kelompok reptil dari empat negara di Asia dan menekankan pada aspek-aspek yang
melanggar hukum. Pelanggaran hukum ini terjadi karena hewan-hewan yang diperdagangkan tersebut
mendapat perlindungan hukum pada tingkat nasional atau termasuk dalam Daftar Tambahan I CITES
(Appendix I of the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and
Flora) yang mencegah perdagangan internasional dengan tujuan komersial. Kami menelaah
perdagangan kura-kura yang termasuk dalam Daftar Tambahan I CITES di Thailand dengan melakukan
beberapa survei (mulai tahun 2006 sampai dengan tahun 2010) di pasar hewan piaraan di Bangkok.
Enam jenis kura-kura yang termasuk dalam daftar Tambahan I CITES ditawarkan di pasaran dengan
jumlah yang hampir mencapai 500 ekor. Termasuk di antara keenam jenis ini adalah jenis-jenis yang
jarang dijumpai di seluruh dunia dan jenis-jenis yang terancam (endangered), yaitu Kura-kura Bintang
Madagaskar (Madagascar Radiated Tortoise) dan Kura-kura Laba-laba Madagaskar (Madagascar
Spider tortoise). Perdagangan semua jenis penyu yang termasuk di dalam Daftar Tambahan I CITES
dan bekko (“cangkang kura-kura”) telah kami pelajari selama dua kali survei di Vietnam, yaitu pada
tahun 2002 dan 2008. Sekitar 12.000 hasil olahan bekko dan lebih dari 200 buah hasil taksidermi penyu
kami jumpai di Vietnam. Sementara itu, data perdagangan Biawak Berawan (Clouded monitor), yang
juga termasuk di dalam Daftar Tambahan I CITES, untuk tujuan konsumsi daging di Malaysia kami
dapatkan dari data penyitaan pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Data ini menunjukkan bahwa
sekitar 40.000 ekor Biawak Berawan telah disita oleh pihak berwenang. Beberapa aksi penyitaan ini
bahkan telah menahan lebih dari 2.000 ekor biawak. Dalam tulisan ini, kami juga menelaah status
pengembangbiakan lima jenis reptil yang dilindungi secara hukum di Indonesia, yang dilakukan
dengan cara pengandangan (captive breeding). Untuk tujuan ini, kami telah melakukan inspeksi di
delapan tempat pengembangbiakan berizin di Indonesia, yang semuanya bertujuan
memperdagangankan reptil. Cacah anakan yang kami dapatkan dari hasil inspeksi tersebut selalu lebih
rendah daripada yang telah dilaporkan (1.200 yang didapatkan, dan 4.000 yang telah dilaporkan).
Hanya dua perusahaan pengembangbiakan yang dapat dipastikan menghasilkan anakan yang cukup
pada skala perdagangan. Berdasarkan hasil inspeksi ini, dapat ditafsirkan bahwa sebagian besar reptil
yang ‘dikembangbiakkan dalam kandang’ di Indonesia untuk tujuan perdagangan internasional
sebenarnya adalah hewan-hewan yang diambil dari alam. Perdagangan reptil yang dilaporkan di dalam
tulisan ini umumnya mempunyai pangsa pasar internasional, misalnya bekko dan daging biawak yang
ditujukan untuk mensuplai pasar di Cina (termasuk Hong Kong), kura-kura peliharaan dari Thailand
diperdagangkan ke Jepang, Malaysia, dan Singapura, sementara reptil piaraan dari Indonesia diekspor
terutama ke Amerika Serikat dan negara-negara anggota Uni Eropa. Perdagangan satwa liar semacam
ini merupakan sebuah pelanggaran hukum dan telah merusak undang-undang nasional serta peraturan-
peraturan CITES.
16 The tropical peat swamps of Southeast Asia: human impacts on biodiversity, hydrology and
carbon dynamics
16 Rawa-rawa gambut tropis Asia Tenggara: dampak yang ditimbulkan manusia pada
keanekaragaman hayati, hidrologi dan dinamika karbon
S. PAGE, A. HOOIJER, J. RIELEY, C. BANKS AND A. HOSCILO

Abstract: Peatlands are important terrestrial carbon stores and vital components of global carbon soil-
atmosphere exchange processes. In this regard, tropical peatlands, most of which occur in Southeast
Asia, are particularly important. These are carbon-dense ecosystems that have developed over
millennial time scales and which, in their natural state, support peat swamp forest. In addition to carbon
storage, they provide a range of other valuable ecosystem services, including biodiversity support, with
a unique combination of habitats and endemic and endangered species. Until relatively recently,
climatic and associated sea level changes were the main influences on peat accumulation and carbon
storage rates, but in recent decades human activity has become the main driver of change and most if
not all of the remaining peat swamp forests in Southeast Asia are impacted to some extent. Land
management practices on and around tropical peatlands lead to degradation and reduction of the
peatland carbon store and contribute to greenhouse gas emissions, while compromising other valuable
ecosystem services. This chapter reviews the current understanding of human impacts on tropical
peatland biodiversity, hydrology and carbon dynamics. It focuses on the main causes of land use
change (deforestation, drainage and fire) and considers the risks that these pose to biodiversity,
hydrological regulation, loss of the peatland carbon store and greenhouse gas emissions. It also
addresses likely responses of tropical peatlands and peat swamp forests to a changing climate,
especially for forests that are fragmented and often heavily disturbed.

Sari: Lahan gambut merupakan lokasi penyimpanan karbon yang penting di daratan dan juga
merupakan bagian yang vital dalam proses pertukaran karbon antara tanah dan atmosfer. Hal ini
menunjukkan pentingnya lahan gambut tropis, yang sebagian besar dapat dijumpai di Asia Tenggara.
Lahan gambut tropis adalah ekosistem yang kaya akan karbon yang telah berkembang dalam jangka
waktu yang lebih dari jutaan tahun dan telah mendukung keberadaan hutan rawa gambut secara alami.
Selain sebagai lokasi penyimpanan karbon, lahan-lahan gambut juga berfungsi menyediakan jasa-jasa
ekosistem (ecosystem services) yang sangat berharga, dan termasuk di dalamnya adalah
keanekaragaman hayati dengan penggabungan yang khas antara habitat, jenis-jenis endemis, dan jenis-
jenis yang terancam. Hingga kini, perubahan-perubahan iklim dan permukaan laut merupakan
pengaruh utama terhadap mengumpulnya gambut dan lajunya penyimpanan karbon. Namun ironisnya,
dalam beberapa dasawarsa terakhir ini kegiatan-kegiatan manusialah yang menjadi penyebab
perubahan yang dialami oleh kebanyakan hutan rawa gambut yang masih ada di Asia Tenggara.
Praktek-praktek pengelolaan lahan pada lahan gambut tropis dan lahan-lahan lain di sekitarnya telah
mengarah kepada penurunan kualitas simpanan karbon dan pengurangan simpanannya serta beperan
dalam menambah efek rumah kaca (greenhouse gas emissions), sementara membahayakan jasa-jasa
ekosistem lainnya. Dalam bab ini kami menelaah pengertian terkini tentang dampak kegiatan manusia
pada keanekaragaman hayati di lahan gambut, hidrologi, dan dinamika karbon. Bab ini memfokuskan
pembahasan pada penyebab-penyebab utama berubahnya penggunaan lahan (penggundulan hutan,
pengeringan lahan, dan kebakaran hutan) dan memperkirakan resiko-resiko yang mungkin timbul untuk
keanekaragaman hayati, pengaturan hidrologi, hilangnya simpanan karbon di lahan gambut, dan efek
rumah kaca. Di dalam bab ini juga dibahas akibat-akibat perubahan iklim yang mungkin terjadi pada
lahan-lahan gambut dan hutan-hutan rawa gambut, terutama pada hutan-hutan yang terpecah-pecah dan
seringkali ditemukan dalam keadaan rusak.
17 Southeast Asian Biodiversity Crisis
17 Krisis Keanekaragaman Hayati Asia Tenggara
D. BICKFORD, S. POO AND M. C. POSA

Abstract: Within the larger context of a global biodiversity crisis, Southeast Asia stands apart –
unfortunately outperforming all other regions in deforestation, human population growth, and
biodiversity loss. The region’s severe ecological dysfunction demands action and despite numerous
treatments summarizing the current situation, little progress has been made in addressing the most
serious problems that face humanity. Here we review and highlight new insights into the main drivers,
synergies, and effects of the biodiversity crisis, the endemic problems of Southeast Asia. We offer
realistic solutions: education and public awareness; restoration and reconnection of protected areas; and
rethinking priorities, incentives, economic policies, and enforcement of environmental laws. We
suggest that although the situation is urgent, using the right tools and analytical approaches, and
coordinating efforts across local, regional and global scales, we can deal with a largely uncertain future.

Sari: Di dalam kerangka pembahasan yang luas mengenai krisis keanekaragaman hayati dunia, Asia
Tengara tampil berbeda- namun sayangnya wilayah ini mengalahkan wilayah-wilayah lain di dunia
dalam bidang penggundulan hutan, pertumbuhan populasi manusia, dan hilangnya keanekaragaman
hayati. Tidak berfungsinya wilayah ini secara ekologi telah mencapai batas akhir, sehingga dimerlukan
sebuah tindakan yang nyata. Meskipun berbagai cara telah diupayakan untuk menjelaskan keadaan ini,
namun hanya sedikit kemajuan yang telah tampak di dalam usaha menjawab masalah-masalah yang
paling serius menimpa umat manusia ini. Makalah ini menelaah dan menyoroti beberapa pandangan
baru tentang hal-hal yang telah menyebabkan krisis keanekaragaman hayati, faktor-faktor yang
bersinergi dengan penyebab-penyebab tersebut, dan akibat-akibatnya yang membuat krisis ini menjadi
suatu masalah yang hanya dapat dijumpai di Asia Tenggara. Kami mencoba menawarkan beberapa
penyelesaian masalah yang nyata, yaitu penyelesaian masalah dari segi pendidikan dan kewaspadaan
masyarakat; dari segi pembaharuan kawasan-kawasan yang dilindungi dan penghubungan kembali
kawasan-kawasan tersebut; serta dari segi perubahan prioritas-prioritas, insentif, kebijakan-kebijakan
ekonomi, dan pemberlakuan hukum-hukum lingkungan hidup. Krisis keanekaragaman hayati ini adalah
masalah yang sangat mendesak, yang mungkin hanya akan dapat diatasi dengan menggunakan cara-
cara yang tepat dan pendekatan-pendekatan analitis, serta usaha-usaha pengkoordinasian pada tingkat
lokal, regional, maupun global.

You might also like