You are on page 1of 256

1

Silahkan bajak katalog ini!

(copyleft) Forum Lenteng


Jakarta, Indonesia
Agustus 2013

Katalog
Editor Otty Widasari & Tim Arkipel
Penerjemah/Translator Yuki Aditya, Umi Lestari
Penulis/Writer Yuki Aditya, Mahardika Yudha, Otty Widasari, Adrian Jonathan,
Andrie Sasono, Afrian Purnama, Bunga Siagian, Makbul Mubarak,
Akbar Yumni, Dag Yngvesson, Hafiz
Perancang Grafis/Designer Graphic Andang Kelana
Drawing Hafiz
Arkipel Logotype Ugeng T. Moetidjo

Diterbitkan oleh Forum Lenteng


Jl. Raya Lenteng Agung No. 34 RT.007/RW.02
Lenteng Agung, Jakarta Selatan - 12610
Indonesia
T/F. +6221 7884 0373
E. info@forumlenteng.org // info@arkipel.org
W. forumlenteng.org // arkipel.org
F. facebook.com/forumlenteng // facebook.com/arkipel.festival
T. twitter.com/forumlenteng // twitter.com/arkipel

Katalog: Arkipel International Documentary & Experimental Film festival 2013


Jakarta: Forum Lenteng

2
Katalog Versi Online

3
Daftar Isi
Colophon2
Daftar Isi 4
Biografi8
Agenda14

Arkipel dan Kehadiran Pertama /


Arkipel: The First Edition 18 / 24
oleh: Hafiz Rancajale

Program: Kompetisi International / International Competition32

Program: Kuratorial / Curatorial


“Kepengarangan” dalam Dokumenter /
Authorship in Documentary Filemmaking 74 / 83
kurator: Akbar Yumni
Pasca-komunis di Eropa Timur dan Kehidupan Kelas Pekerja /
Post-Communism in Eastern Europe and the Life of Working Class 91 / 96
kurator: Afrian Purnama
Apa Jang kau Tjari, Pak Misbach? /
What Are You Looking For, Pak Misbach? 103 / 109
kurator: Dag Yngvesson
Sinematik Representasi dalam Modernisasi Kota /
Cinematic Representation of City’s Modernity 116 / 121
kurator: Bunga Siagian
Menggugat Konstruksi Sejarah / Challenging The History Construction 129 / 135
kurator: Otty Widasari
Jatuhnya Sebuah Rezim / The Fall of a Regime 143 / 148
kurator: Andrie Sasono
Memakai Arsip, Mereka Ulang Sejarah / Found Footage Archive: Reconstruction of History 154 / 159
kurator: Yuki Aditya

4
Estetika Kenyataan, Realisme Publik? / Reality Aesthetics, Public Realism? 165 / 169
kurator: Mahardika Yudha
Mobilitas Sosial untuk Pemula / Social Mobility for Beginners 174 / 179
kurator: Adrian Jonathan Pasaribu
Dokumenter Kreatif dan Figurasi Ruang / Creative Documentary and Spatial Figuration 186 / 189
kurator: Makbul Mubarak

Program: Penayangan Khusus / Special Screening


Partes de una Familia / Parts of a Family (Diego Gutiérrez) 198
Forgotten Tenor: Ada Nostalgia dalam Setiap Jumpa. /
Forgotten Tenor: Remembering is a game often enacted during encounters.  200 / 205

Program: Presentasi Khusus / Special Presentation


Bangkok Experimental Film Festival 212
Images Festival Toronto, Canada 216
Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi 224 / 227
Gelora Indonesia: Documentary and Filem as Communication Media
kurator: Mahardika Yudha

Program: Diskusi Publik / Public Discussion


Diskusi Publik: Sinema & Aktivisme / Public Discussion: Cinema & Activism236
Diskusi Publik: Sinema, Sejarah & Arsip / Public Discussion: Cinema, History & Archive238
Diskusi Publik: Kritik dalam Sinema / Public Discussion: Critics on Cinema240
DocNet Southeast Asia 242

Indeks Filem / Film Index 244


Indeks Sutradara / Directors Index 246

5
Arkipel

Kata ARKIPEL diambil dari kata archipelago yang merujuk pada


istilah bahasa Indonesia, ‘nusantara’ yang muncul sejak awal abad ke-16.
Nusantara yang merupakan gugusan ribuan pulau ini menyimpan sejarah
panjang tentang globalisasi baik secara politik, budaya dan ekonomi.
Lebih dari 500 tahun lalu, wilayah ini menjadi tujuan utama bagi
para penjelajah Barat untuk menemukan wilayah-wilayah baru untuk
dikuasai atau sebagai rekanan dunia dagang. Selain bangsa Eropa, bangsa
Timur (Cina, Arab, dan India) telah menjadikan kawasan Nusantara
ini sebagai tujuan penjelajahan dalam misi-misi dagang mereka seperti
rempah-rempah dan sutra. ARKIPEL International Documentary and
Experimental Film festival digagas oleh Forum Lenteng untuk membaca
fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya
melalui sinema. Melalu media filem yang diharapkan dapat melihat,
bagaimana sinema berperan dalam menangkap fenomena masyarakat
global, baik dalam konteks estetika maupun konteks sosial-politiknya
melalui bahasa dokumenter dan ekperimental.
ARKIPEL diniatkan untuk dapat menghadirkan filem
dokumenter berkualitas (bukan dokumenter televisi) dan capaian
eksperimentasi dalam sinema kepada penonton Indonesia, Asia
Tenggara dan Internasional. Selain itu, festival ini akan selalu melihat
perkembangan bahasa sinema secara kritis, terlepas dari terminologi
“sinema industri” atau “sinema independen”. Untuk itulah, ARKIPEL
akan selalu menghadirkan wacana kritis dalam melihat perkembangan
sinema melalui program kuratorial, simposium, dan kuliah umum untuk
menambah wawasan tentang perkembangan estetika sinema mutakhir.

6
The word ARKIPEL was taken from ‘archipelago’ which refers to a
term in Indonesian language ‘nusantara’. The word was known since the
early 16th century. Nusantara is a group of thousand of islands keeping
long globalization history of politics, cultural, and economics. More
than 500 years ago, this region has become one of main destinations
for Western explorer whom tried to find new areas to be colonized or
as trading partner. Besides the European, there were also people came
from the East (China, Arab, and India) which made this Nusantara
region as an exploration destination in their trading missions of spices
and silk. ARKIPEL International Documentary and Experimental Film
festival was initiated by Forum Lenteng to read a global phenomenon
in social, political, economic and culture contexts through cinema. Of
cinema, it is expected to capture the global society phenomenon, both
in terms of aesthetic and socio-political context through the language
of documentary and experimental filmmaking.
ARKIPEL is intended to be able to deliver quality documentary
(not TV documentary) and achievement of experimentation in cinema to
Indonesian, Southeast Asian, and International audiences. In addition,
the festival will always see the development of the cinematic language
with critical thinking, regardless of the terms ‘cinema industry’ or
independent cinema. For this reason, ARKIPEL will always bring a
critical discourse to observe it through curatorial programs, symposium,
and public lecture to broaden the knowledge of the ever-changing
cutting-edge cinema aesthetics.

7
Hafiz Rancajale Yuki Aditya Otty Widasari
Lahir di Pekanbaru, 1971. Lahir di Jakarta, 1980. Lahir di Balikpapan 1973.
Seniman, kurator, pendiri Penulis di majalah filem Seniman, penulis, sutradara
Forum Lenteng dan Fovea, kurator filem di filem, pendiri Forum
Raungrupa Jakarta, Chief Kineforum, Anggota Lenteng dan koordinator
Editor www.jurnalfootage. Forum Lenteng, Ketua Pemberdayaan Media,
net. Menempuh pendidikan Sahabat Sinematek. akumassa. Pernah kuliah
seni murni di Institut Menempuh pendidikan Jurnalistik di Institut Ilmu
Kesenian Jakarta. Direktur Administrasi Fiskal di Sosial dan Politik (IISIP)
Artistik OK.Video Jakarta Universitas Indonesia. Jakarta dan lulus Seni
International Video Festival Di ARKIPEL sebagai Murni di Institut Kesenian
(2003-2011). Saat ini, Direktur Festival. Jakarta. Pimpinan Redaksi
Hafiz menjabat sebagai www.akumassa.org (2008-
Ketua Komite Seni Rupa Born in Jakarta in 1980. 2013). Di ARKIPEL
Dewan Kesenian Jakarta. Writer at Fovea filem sebagai Kurator Program
Di ARKIPEL sebagai magazine, film programmer dan Juri.
Direktur Artistik dan Juri. at Kineforum, Member
of Forum Lenteng. Born in Balikpapan 1973.
Born in Pekanbaru 1971. Chair Person of Sahabat Artist, writer, film director,
Artist, curator, co-founder Sinematek. Studied co-founder of Forum
of Forum Lenteng and Tax Administration in Lenteng and Coordinator of
Ruangrupa Jakarta, Chief University of Indonesia. Media Literacy, akumassa.
Editor of jurnalfootage. Festival Director of Studied Journalism at
net. Studied fine arts at ARKIPEL. Institute of Social and
Jakarta Institute of Arts. Political Science Jakarta
Artistic Director OK.Video and Fine Arts graduated
Jakarta International Video at Jakarta Institute of Arts
Festival (2003-2011). (IKJ). Chief Editor www.
Since 2013, Hafiz is The akumassa.org (2008-2013).
Head Commisioner of Program Curator and Jury
Visual Arts at Jakarta Arts of ARKIPEL.
Council. Artistic Director
and Jury of ARKIPEL.

8
Mahardika Yudha Bunga Siagian Akbar Yumni
Lahir di Jakarta, 1981. Lahir di Jakarta, 1988. Lahir di Jakarta,
Seniman, kurator, peneliti Praktisi Filem. Anggota 1975. Penulis, aktivis
seni, sutradara, pendiri Forum Lenteng. Saat ini kebudayaan, periset,
Forum Lenteng. Editor kuliah di Sekolah Tinggi pendiri www.jurnalfootage.
www.jurnalfootage.net. Filsafat Driyarkara. Di net. Anggota Forum
Koordinator Penelitian ARKIPEL sebagai Kurator Lenteng. Menempuh Ilmu
dan Pengembangan Forum Program dan Koordinator Komunikasi di Universitas
Lenteng. Menempuh Program Diskusi Publik. Muhamadyah Malang dan
pendidikan jurnalistik di saat ini kuliah di Sekolah
Institut Ilmu Sosial dan Born in Jakarta 1988. Tinggi Filsafat Driyarkara,
Politik (IISIP) Jakarta. Film worker. Member of Jakarta. Bekerja sebagai
Saat ini, bekerja sebagai Forum Lenteng. Now, periset lepas di Dewan
Direktur Artistik OK.Video she study philoshophy Kesenian Jakarta. Di
Jakarta International at Driyakarya Philosphy ARKIPEL sebagai Kurator
Video Festival 2013. Di School Jakarta. Program Program.
ARKIPEL sebagai Kurator Curator and Public
Program dan Juri. Program of ARKIPEL. Born in Jakarta 1975.
Writer, cultural activist,
Born in Jakarta 1981. researcher, founder www.
Artist, curator, arts jurnalfootage.net. Member
researcher, film director, of Forum Lenteng.
and co-founder Forum Studied Cummunication at
Lenteng. Editor www. Muhammadyah University
jurnalfootage.net. Malang dan Philosophy
Coordinator Research at Driyarkara Philosophy
and Development at School Jakarta. Now, he
Forum Lenteng. Studied is part-time researcher
Journalism at Institute of at Jakarta Arts Council.
Social and Political Science Program Curator of
Jakarta. Now, he is Artistic ARKIPEL.
Director OK.Video Jakarta
International Video Festival
2013. Program Curator and
Jury of ARKIPEL

9
Afrian Purnama Andrie Sasono Dag Yngvesson
Lahir di Jakarta, 1989. Lahir di Jakarta, 1992. Seorang pembuat filem,
Baru saja lulus dari Sutradara dan penulis dosen dan Kandidat
Universitas Bina Nusantara skenario. Saat ini Doktoral Cultural Studies
jurusan Ilmu Komputer. menempuh pendidikan di Universitas Minnesota.
Anggota Forum Lenteng. filem di Institut Kesenian Sejak pertengahan 90an,
Penonton Filem. dan Jakarta. Anggota ia telah bekerja sebagai
sekarang menjadi kurator di Forum Lenteng. Andrie produser, sutradara,
ARKIPEL juga sedang sibuk sinematografer dan/atau
mempersiapkan proyek- editor dalam berbagai
Born in Jakarta, 1989. proyek filem pendeknya. Di proyek.
Student who just graduate ARKIPEL sebagai Kurator
from Bina Nusantara Program. A filmmaker, lecturer, and
University majoring PhD candidate in Cultural
Computer, member Born in Jakarta 1992. Film Studies at the University of
of Forum Lenteng, a director and writer. Now, he Minnesota. Since the mid
cinephile. Now, he is is studying Script Writing 1990s, Dag has worked
Program Curator of at Jakarta Institute of Arts as producer, director,
ARKIPEL and preparing his short film cinematographer and/or
projects. Member of Forum editor in various projects.
Lenteng. Program Curator
of ARKIPEL.

10
Adrian Jonathan Makbul Mubarak Andang Kelana
Lahir di Pasuruan, 1988. Lahir di Palu, 1990. Lahir di Jakarta, 1983.
Jurnalis filemindonesia. Salah satu pengurus Seniman, desainer grafis
or.id, pengurus harian harian CinemaPoetica. & web, pendiri Forum
CinemaPoetica.com. com. Sebelumnya, aktif Lenteng, Sekretaris-
Manajer Program bioskop berpartisipasi dalam Jenderal Forum Lenteng.
Kinoki di Yogyakarta (2007 perkara harian bioskop Menempuh pendidikan
-2010), penonton filem Kinoki. Saat ini tengah periklanan di Institut Ilmu
dari kecil sampai sekarang. menimba ilmu di jurusan Sosial dan Politik (IISIP)
Menempuh pendidikan Cinema Studies, Korea Jakarta. Saat ini, bekerja
Ilmu Komunikasi di National University of Arts. sebagai ketua Jakarta 32ºC.
Universitas Gajah Mada, Di ARKIPEL sebagai Di ARKIPEL sebagai
Yogyakarta. Di ARKIPEL Kurator Program. Manajer Festival.
sebagai Kurator Program.
Born in Palu 1990. Work Born in Jakarta 1983.
Born in Pasuruan at CinemaPoetica.com. Artist, graphic & web
1988. Journalist of Now, he is studying on designer, co-founder Forum
filmindonesia.or.id, work Cinema Study at Korea Lenteng and Secretary-
at CinemaPoetica.com. National University of Arts, General at Forum Lenteng.
Program Manager at Korea. Program Curator of Studied Advertising at
Kinoki, Yogyakarta (2007- ARKIPEL. Institute of Social and
2010), a cinephile. Studied Political Science Jakarta.
Communication Studies Now, he is Chairman of
at Gajah Mada University, Jakarta 32ºC (Jakarta
Yogyakarta. Program Student Biennale). Festival
Curator of ARKIPEL. Manager of ARKIPEL

11
Jury Members
Hafiz Rancajale, Mahardika Yudha , Otty Widasari,
Ugeng T. Moetidjo, Intan Paramaditha

Ugeng T. Moetidjo Intan Paramaditha


Seniman, penulis, dan Lahir di Bandung, 15
periset seni. Anggota November 1979. Seorang
Forum Lenteng. penulis fiksi yang sedang
Menempuh pendidikan menyelesaikan disertasinya
Seni Murni di Institut tentang film dan politik
Kesenian Jakarta. seksual di New York
University.
Artist, writer, art researcher
and Forum Lenteng Born in Bandung,
member. Studied Fine Arts November 15, 1979. She
at Jakarta Institute of Arts. is a fiction writer currently
completing her dissertation
on film and sexual politics
at New York University.

12
Organizational
Board of Artistic Administration
Hafiz, Ugeng T. Moetidjo, Mahardika Humairah, Sugar Nadia Azier
Yudha, Otty Widasari, Yuki Aditya Finance
Chief/Artistic Director Jayu Julie Astuti
Hafiz Communication & Partnership
Festival Director Andang Kelana, Yuki Aditya,
Yuki Aditya Titaz Permatasari
Festival Manager Screening Coordinator
Andang Kelana Syaiful Anwar
Curators Research & Database
Yuki Aditya, Mahardika Yudha, Otty Bagasworo Aryaningtyas
Widasari, Adrian Jonathan, Documentation
Andrie Sasono, Afrian Purnama, Andrie Sasono
Bunga Siagian, Makbul Mubarak, Communication Material Designer
Akbar Yumni, Dag Yngvesson Andang Kelana
Discussion Manager Catalogue Editor
Bunga Siagian Otty Widasari & Tim Arkipel

Forum Lenteng adalah organisasi non- Forum Lenteng is a non-prof it


profit berbentuk perhimpunan dengan organization which was formed by
anggota individu yang didirikan oleh individual members, and founded
pekerja seni, peneliti budaya, mahasiswa by artists, communication students,
komunikasi/jurnalistik pada tahun researchers, and cultural observer in 2003.
2003, yang bekerja mengembangkan The forum is a community working within
pengetahuan media dan kebudayaan the framework of audiovisual media
melalui pendidikan alternatif berbasis and cultural studies as an alternative
komunitas. Forum ini bertujuan educational tool. The forum is aiming
menjadikan pengetahuan media dan to enact media and cultural knowledge
kebudayaan bagi masyarakat untuk hidup for the society to lead a better life, the
yang lebih baik, terbangunnya kesadaran awakening the awareness of media literacy,
bermedia, munculnya inisatif, produksi to initiate and to produce knowledge and
pengetahuan, dan terdistribusikannya distribute the knowledge widely.
pengetahuan tersebut secara luas.

13
24/8 25/8 26/8

13.00 Curatorial: Authorship in International International


Documentary Filem Competition 3 Competition 12

15.00 Special Screening: Special Presentation: Special Screening: Naga


Forgotten Tenor BEFF I yang Berjalan di Atas Air
kineforum

17.00 - Special Presentation: Curatorial: Cinematic


BEFF II Representation...

19.00 - International International Premiere:


Competition 11 Elesan deq a Tutuq

13.00 - International International


Competition 8 Competition 4

15.00 - International International


GoetheHaus

Competition 9 Competition 5

17.00 - International International


Competition 10 Competition 6

19.00 OPENING NIGHT International Premiere: International


Elesan deq a Tutuq Competition 7

14.00 - - Curatorial: Post-Communism


in Eastern Europe...
Teater Kecil

17.00 - - Curatorial: The Fall of


Regime

19.00 - - Special Presentation:


Images Festival II
(director in attendance)

13.00 - -
Sinematek

Gelora Indonesia:
Indonesia

Filem Dokumenter dan


Filem Sebagai Media
15.00 - - Komunikasi

19.00 - - -
PPHUI

14
27/8 28/8 29/8 30/8

Curatorial: Found Special Presentation: International International


Footage Archive Images Festival I Competition 4 Competition 6

Curatorial: Cinematic Curatorial: Challenging International International


Representation... the Construction of History Competition 5 Competition 7

Special Screening: International Curatorial: Mahardika International


Dongeng Rangkas Competition 2 Yudha Competition 8

International Special Screening: Partes International International


Competition 1 de una Familia Competition 9 Competition 10

- Curatorial: Social - -
Mobility for Beginner

- Curatorial: Social - -
Mobility for Beginner

- Curatorial: What Are - -


You Looking For, ...

- Curatorial: What Are - -


You Looking For, ...

International International - -
Competition 1 Competition 11

International International - -
Competition 2 Competition 12

International Curatorial: Realism - -


Competition 3 Aesthetics ...

Gelora Indonesia: Gelora Indonesia: Gelora Indonesia: Gelora Indonesia:


Filem Dokumenter dan Filem Dokumenter dan Filem Dokumenter dan Filem Dokumenter dan
Filem Sebagai Media Filem Sebagai Media Filem Sebagai Media Filem Sebagai Media
Komunikasi Komunikasi Komunikasi Komunikasi

AWARDING NIGHT - - -

International Competition (IC) • Special Presentation (SP) • Special Screening (SS)


Discussion (D) • International Premiere (IP) 15
International Competition 1 International Competition 6
(Total 143 min) (Total 93 min)
Je Vie Dans le Rêve de ma Mêre Sacrifice a Flower
(I Live in the Dream of My Mother) 65 min. 2013
143 min. 2011 Hasumi Shiraki (Japan)
Jan Willem van Dam (The Netherlands) J. Werier
4 min. 2012
International Competition 2 Rhayne Vermette (Canada) 
Le Bonheur… Terre Promise Hermeneutics
(Happiness… Promised Land) 3 min. 2012
94 min. 2011 Alexei Dmitriev (Russia)
Laurent Hasse (France) Marshy Place Across
5 min. 2012
Lorenzo Gattorna (USA)
International Competition 3 Kaputt/Katastrophe
(Total 84 min) 16 min. 2013
Perampok Ulung (Sneaky Robber) Luca Ferri (Italy)
84 min. 2009
Marjito Iskandar Tri Gunawan (Indonesia)

International Competition 7
International Competition 4 (Total 77 min)
(Total 81 min) Suitcase of Love and Shame
Ecce Ubu 70 min. 2013
60 min. 2012 Jane Gillooly (USA)
Luca Ferri (Italy) Volkspark
Preludes I 7 min. 2011
2 min. 2013 Kuesti Fraun (Germany)
Rahee Punyashloka (India)
Climax
2 min. 2008
Shinkan Tamaki (Japan) International Competition 8
Tears of Inge (Total 86 min)
5 min. 2013 La Visita (The Visit)
Alisi Telengut (Canada) 52 min. 2013
…And the Wound Closed Wearily Fany de la Chica (Spain)
12 min. 2012 Canggung (The Awkward Moment)
Ian Deleón (China) 22 min. 2013
Tunggul Banjaransari (Indonesia)
Hitching the A1
International Competition 5 14 min. 2013
(Total 88 min) Gary McQuiggin (UK)
Old Cinema, Bologna Melodrama
60 min. 2011
Davide Rizzo (Italy)
Le jour a vaincu la nuit
(The Day has Conquered the Night)
28 min. 2013
Jean-Gabriel Périot (France)

16
International Competition 9 International Competition 11
(Total 87 min) (Total 72 min)
Lejos de Saint Nazaire Chroma
(Far From Saint Nazaire) 3 min. 2012
52 min. 2011 Jeremy Moss (USA)
Lluc Güell (Spain) Momentum
Il Contorsionista (The Contortionist) 7 min. 2013
19 min. 2013 Boris Seewald (Germany)
Mauro Maugeri (Italy) Park of Contemporary Culture
Wojoh (Faces) 8 min. 2011
16 min. 2012 Dmytro Bondarchuk (Ukraine)
Said Najmi (Jordan) Les Fantômes de l’escarlate
(The Ghosts and the Escarlate)
International Competition 10 15 min. 2012
(Total 82 min) Julie Nguyen Van Qui (France)
Polaziste za Cekanje (The Waiting Point) Generator of Duriban
44 min. 2013 38 min. 2012
Masa Drndic (Croatia) Wonwoo Lee (South Korea)
A City Through Different Spaces
9 min. Linda Bannink (The Netherlands) International Competition 12
Journey of Consciousness (Total 67 min)
(Awareness Journey) To Raise From the Water
24 min. 2013 16 min. 2012
Yi-Yu Liao (Taiwan) Andrew Littlejohn (Japan)
The Flaneurs #3 “A Man Since Long Time”
4 min. 2013 17 min. 2012
Aryo Danusiri (Indonesia) Mahmoud Yossry (Egypt)
Ben Ancestral Delicatessen
1 min. 2013 15 min. 2012
Kuesti Fraun (Germany) Gabriel Folgado (Spain)
Pretty Good Look
19 min. 2012.
Youngnam KIM, Jungwha JUNG,
Minho JO,Sohyun MOON, Goeun BAE,
Seungbum HONG (South Korea)

17
ARKIPEL dan
Kehadiran Pertama
oleh: Hafiz Rancajale

18
I.
Jika kembali ke sejarah, kehadiran teknologi sinema di Nusantara
tidaklah begitu jauh dari negeri kelahirannya di Utara. Di Paris, Lumière
Bersaudara memutar kepada publik filem-filemnya, pada 28 Desember
1895 di Salon Indien, Grand Café. Di Nusantara, melalui seorang
fotografer berkebangsaan Prancis, L. Talbot, pita seluloid telah diputar di
Batavia (Jakarta) pada bulan Oktober 1896 dan di Surabaya pada bulan
April 1897. Rekaman filem itu berupa situasi jalanan di Jakarta, yang
diproses sendiri oleh Talbot di sini.1 Peristiwa itu menjadikan Nusantara
sebagai salah satu wilayah di Asia yang pertama-tama dapat mengakses
teknologi baru, scenematograph, selain China, India dan Jepang. Dalam
perkembangannya, tercatat di tahun 1912, J. C. Lamster, sutradara
berkebangsaan Belanda, diminta oleh pemerintah Belanda untuk
melakukan perekaman situasi Nusantara atau Hindia Belanda sebagai
bagian dari rekaman dan pelaporan tentang keadaan negeri Jajahan.2
Periode tahun 1920-an, sinema Nusantara, terutama di Jawa, telah

1  Dafna Ruppin, makalah The Arrival of Moving Pictures to Indonesia, 1896-1897,


Utrecht University, hal 1.
2  Kompilasi filem dalam DVD J.C. Lamster – Een Vroege Filemer in Nederlands-Indie
(2009) & Van de Kolonie Niets dan Doeds – Nederlands-Indie in Beeld 1912-1942 (2004),
kompilasi filem tentang Indonesia di masa kolonial, Eye Filem Instituut Nederland,
Beelden – voor de Toekamst, dan Tropenmuseum.

19
berubah menjadi studio-studio yang juga mengikuti pola produksi yang
berkembang di Amerika Serikat dan Eropa yang diprakarsai oleh para
pedagang keturunan China dan Belanda. Filem-filem produksi Hindia
Belanda mencoba mengimitasi pola studio yang berlaku di Hollywood
dengan mengadaptasi cerita tonil, dan cerita-cerita China Peranakan
yang sangat popular pada masa itu, seperti Njai Dasima (Lie Tek Swie,
1929), dan Bunga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931) yang
disebut oleh Misbach Yusa Biran sebagai Sejarah Anak Wayang.3 Setelah
Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, lompatan besar dilakukan
oleh Usmar Ismail, saat ia menegaskan identitas keindonesian dalam
sinema dengan memproduksi Darah dan Doa (1950). Bapak Perfileman
Indonesia itu mulai membangun kesadaran authorship dalam membuat
filem jauh sebelum teori auteur digaungkan oleh André Bazin melalu
buku Qu’est-ce que le cinéma? (What is Cinema?) pada tahun 1958-1962.4

II.
Dalam tradisi wacana dan apresiasi filem Indonesia, pengertian ‘apa itu
filem?’ dan ‘apa itu sinema sebagai kultur?’, pengertian-pengertiannya
hanya terjebak dalam satu ‘ruang’ saja, yaitu; industri filem, di mana
yang dianggap filem adalah filem cerita fiksi panjang. Filem pendek
hanya dianggap sebagai filem untuk pemula. Ia tidak dianggap sebagai
entitas yang sekelas dengan filem cerita fiksi panjang. Begitu pula dengan
filem dokumenter. Sejak dulu, filem dokumenter diletakkan dalam
pengertian sebagai filem “non-cerita”. Padahal, filem dokumenter sejak
Robert J. Flaherty menghadirkan Nanook of The North (1922), filem
dokumenter bukan lagi hanya dimengerti sebagai filem berita tanpa
‘cerita’. Menempatkan kategori filem dokumenter dalam pengertian non-
cerita sudah sangat lama dimasukkan sebagai salah satu kategori penilaian
dalam ajang Festival Filem Indonesia (festival filem tertua di Indonesia).
Hal ini juga terangkum dalam berbagai tulisan kritik dan wacana filem
Indonesia yang ditulis oleh para kritikus filem kita. Sehingga, filem

3  Hafiz, wawancara dengan JB. Kristanto 12 April 2012, “JB Kristanto: Kritik Filem Kita
Berhenti” www.jurnalfootage.net
4  Ibid.

20
dokumenter yang notabene adalah induk dari kelahiran tradisi sinema
dunia, menjadi terpinggirkan dalam sejarah perfileman Indonesia. Dalam
wacana kritik filem Indonesia, dokumeter hampir tidak pernah mampir
dalam tulisan-tulisan para penulis kita. Filem dokumenter dianggap
hanya sebagai alat propaganda dan rekaman berita semata. Padahal, di
masa-masa Revolusi setelah kemerdekaan negara ini, Usmar Ismail, dr.
Huyung, Bachtiar Siagian, Kotot Sukardi, Djajakusuma, Nawi Ismail
dan lainnya telah mencoba merumuskan apa yang dinamakan dengan
sinema Indonesia melalui eksperimentasi estetika bahasa sinema dan
juga ‘kelokalan citraan’ yang tidak hanya terjadi dengan filem fiksi
tetapi juga dengan filem dokumenter. Salah satunya adalah proyek
filem berita Gelora Indonesia (Januari 1951) yang dibuat oleh Perusahaan
Filem Negara (P.F.N) yang tidak sekedar mendokumentasikan sejarah
perjalanan bangsa ini tetapi juga mencoba mendefinisikan kembali
tentang keindonesiaan melalui rekaman kenyataan dan situasi sosial
politik masa itu.5 Selain itu, tokoh seperti D.A. Peransi yang merupakan
tokoh penting pengembangan filem dokumenter dan eksperimentasi
dalam bahasa filem sejak akhir tahun 1960-an, pun tidak banyak dikenal
kalangan perfileman kita saat ini. Nama ini begitu asing bagi telinga
para aktivis perfileman kita jaman sekarang.

III.
Setelah kematian industri filem, pada akhri 1980-an hingga awal 1990-
an yang kemudian diikuti oleh Reformasi 1998 —dengan runtuhnya
rezim militer-Soeharto yang menguasai berbagai sendi kehidupan kita,
termasuk perfileman— muncul inisiatif aktivis filem muda Indonesia
untuk menggerakkan dunia perfileman dengan membuat berbagai
festival, baik dengan skala besar maupun kecil. Awal tahun 2000-an
adalah masa merekahnya kembali geliat produksi filem dan munculnya
antusiasme kalangan generasi muda dalam memproduksi filem dan
menonton filem Indonesia. Hal ini disambut baik oleh kalangan pemilik
modal yang menghidupkan kembali industri filem Indonesia. Festival

5  Muh. Husein Saari, Gelora Indonesia, 10 Tahun Produksi P.F.N, Seksi Publisitet P.F.N
1962.

21
Filem Indonesia yang sebelumnya berhenti selama beberapa tahun, oleh
pemerintah dihidupkan kembali. Jumlah produksi filem yang pada masa
mati surinya hampir tidak ada, melonjak menjadi puluhan produksi.
Sumber majalah filem online, filemindonesia.or.id menyebutkan, pada
tahun 2009 produksi filem Indonesia mencapai 89 filem yang beredar
di bioskop-bioskop Nusantara.6

IV.
Kritikus JB. Kristanto mengatakan, tidak ada perubahan yang cukup
signifikan dalam bahasa filem pada masa sesudah periode Usmar Ismail.
Mayoritas filem-filem di Indonesia tetap terjebak dalam Sejarah Anak
Wayang seperti yang disebutkan Misbach. Bahkan generasi 1980-an
dan1990-an, yang merupakan generasi yang terdidik dari sekolah filem,
pun tidak mampu melepaskannya, meski mereka telah dibungkus oleh
ilmu-ilmu baru. Tapi sebenarnya mereka tidak menguasai logikanya. Yang
terjadi hanyalah akulturasi medium filem, semacam hybrid saja, yaitu
bagaimana menggunakan teknologi dan menafsirkan masalah dengan
cara dan pikiran mereka.7 Keadaan yang mungkin agak berbeda, dapat
ditemukan pada beberapa sutradara filem periode 2000an. Dari yang
sedikit ini, kita masih dapat menemukan kesadaran teknologis kepada
kemungkinan kemampuan medium dalam teknologi filem. Ini dapat kita
lihat pada penggunaan berbagai kemungkinan kemampuan teknologi
digital. Teknologi tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang eksotis dari
dunia Barat dan kita hanya menjadi ‘konsumen pasif ’, namun sudah
menjadi hal yang kultural, tak terpisahkan dari generasi-generasi digital
native. Namun, apakah kemampuan mengadaptasi teknologi tersebut
sudah memberikan peluang pada eksperimentasi dalam estetika filem?

V.
ARKIPEL International Documentary & Experimental Film festival
diniatkan oleh Forum Lenteng untuk membaca fenomena global dalam

6  www.filemindonesia.or.id
7  Ibid. Hafiz, wawancara dengan JB. Kristanto 12 April 2012, “JB Kristanto: Kritik
Filem Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net

22
konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui sinema. dokumenter
dan ekperimental. Gagasan festival ini adalah menyuarakan bagaimana
persoalan-persoalan kebudayaan tersebut dan dapat dibaca dalam
kurun waktu tertentu. Idealnya, festival filem dapat menjadi event
yang menghadirkan capaian puncak sutradara-sutradara dari berbagai
kalangan, baik secara estetika dan kontennya.
Filem dokumenter yang dimaksud oleh Forum Lenteng adalah
filem dokumenter yang merujuk pada bahasa filem yang berlaku
dalam tradisi sinema, bukan filem dokumenter televisi. Dalam tradisi
sinema, filem dokumenter juga dapat menghadirkan drama, konflik,
imanjinasi, dan ruang kritik bagi penonton. Hal ini tentu berkaitan
dengan bagaimana eksperimentasi bahasa sinema yang dilakukan oleh
sutradara dalam mengemas kenyataan. Sedangkan filem eksperimental
yang dimaksud Forum Lenteng adalah bagaimana eksperimentasi
medium dan konten dalam filem menghadirkan kebaruan secara estetika.
Hal ini merujuk pada sejarah sinema avant-garde dalam sejarah sinema
dunia. Eksperimentasi di sini, bukan hanya dalam konteks filemnya
saja, namun juga bagaimana filem digunakan dalam tindakan yang
mengaktivasi persoalan-persoalan sosial kebudayaan di ranah publik.
Sebagai sebuah festival berskala internasional, ARKIPEL akan
selalu melihat perkembangan bahasa sinema secara kritis, terlepas dari
terminologi “sinema industri” atau “sinema independen”. Untuk itulah,
ARKIPEL akan selalu menghadirkan wacana kritis dalam melihat
perkembangan sinema melalui program kuratorial, simposium, dan
kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika
sinema mutakhir.
Semoga kehadiran ARKIPEL International Documentary &
Documentary Film festival dapat memberikan warna baru dalam melihat
sinema bagi publik Indonesia dan internasional.

23
ARKIPEL: The First Edition
by: Hafiz Rancajale

24
I.
If we trace back the history, the presence of cinema technology in the
archipelago was not so far from its birth country in the North. In Paris,
the Lumière Brothers showcased their film to the public on December
28, 1895 at Salon Indien, Grand Café. In the archipelago, the celluloid
medium was already screened in Batavia (Jakarta) in October 1896 and
in Surabaya in April 1897, brought by a French photographer, L. Talbot.
The recorded footage was about the situation in the streets of Jakarta at
that time, processed here by Talbot himself.1 That event appoints the
archipelago as one of the first regions in Asia to have access of the new
technology, scenematograph, in addition to China, India and Japan.
In its development, J.C. Lamster, a Dutch film director was asked
by the government of the Netherlands in 1922 to record the situation in
the archipelago or Netherlands Indies as part of surveillance activities
on the circumstances in their colonized region.2 In 1920s the cinema
scene in the archipelago, particularly in Java, has been transformed

1  Dafna Ruppin, from her paper The Arrival of Moving Pictures to Indonesia, 1896-1897,
Utrecht University, page 1.
2  Films compiled on DVD J.C. Lamster - Een Vroege Filmer in Nederlands-Indie
(2009) and Van de Kolonie Niets and Doeds - Nederlands-Indie in styl 1912-1942 (2004), a
compilation film about Indonesia in the colonial period, Eye Film Instituut Nederland,
Beelden - voor de Toekamst , and Tropenmuseum.

25
into studio system following the production pattern similar to the film
industry in United States and Europe. The transformation was initiated
by the Chinese-descent traders and the Dutch. The films produced in
the Netherlands Indies was trying to imitate the Hollywood film studio’s
pattern by adapting stories from tonil (traditional play), and tales from
the Chinese descent community which were very popular in those
days, such as Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929), and Bunga Roos dari
Tjikembang / The Rose of Tjikembang (The Teng Chun, 1931) mentioned
by Misbach Yusa Biran as Sejarah Anak Wayang / The History of Wayang
Puppet.3 After the Indonesia’s Revolution of Independence in 1945-1949,
Usmar Ismail made a big leap, as he asserted his national identity in
cinema by producing Darah and Doa / The Long March (1950). Usmar
Ismail, the Father of Indonesian cinema, has already started to build
awareness of authorship in filmmaking long before the auteur theory
was echoed by André Bazin in his book Qu’est-ce que le cinéma? (What
is Cinema?) in 1958-1962.4

II.
In the tradition of discourse and appreciation of Indonesian cinema,
the definition of ‘what is film?’ and ‘what is cinema as a culture?’ stucks
only on one ‘term’; which is the film industry, where what deemed as
film is narrative fiction feature. Short film is only considered as film for
beginner. It is not regarded in the same league as the fiction feature film.
Similarly with documentary film. Documentary has always been placed
in a sense as “non-narrative” since a long time ago. Whereas since Robert
J. Flaherty produced Nanook of The North in 1922, documentary film
was no longer understood as only a news reportage without ‘story’. It has
been cathegorized that way too in Festival Film Indonesia (Indonesia’s
oldest film festival). It is also summarized in various criticism and
discourse writings on Indonesia cinema written by Indonenesian film
critics. Therefore, documentary film which traditionally in fact is the

3  Hafiz, interview with J.B. Kristanto on April 12, 2012. “J.B. Kristanto: Kritik Film
Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net
4  Ibid.

26
birth mother of world cinema, marginalized in the history of Indonesia
cinema.
In the discourse of Indonesian film criticism, documentary film
is almost never written. Documentary was only considered as a means of
propaganda and news footage alone. In fact, in the revolutionary period
after the country’s independence, Usmar Ismail, Doctor Huyung, Bachtiar
Siagian, Kotot Sukardi, Djajakusuma, Nawi Ismail and others have tried
to formulate the so-called Indonesian cinema through experimentation of
cinema’s aesthetic language which had ‘a sense of locality in their images’
that are not only to be applied in fiction film but also to documentary
film. One of the film was the news project Gelora Indonesia made ​​by
the State Film Company, which not only documented the history of
this nation but also tried to redefine the sense of being ‘Indonesia’—the
county through recording reality and its socio-political situation of the
time.5 In addition, DA. Peransi whom was an important figure in the
development of documentary and experimentation in film since the late
1960s, are not widely known in Indonesian film scene nowadays. This
name is so unfamiliar to the ears amongst film activists these days.

III.
After the long hiatus of the film industry, in the late 1980s to early
1990s and then followed by the Reformation in 1998 — with the fall
of Soeharto’s regime of Suharto’s which dominated the various aspects
of our lives, including the film industry — there was an emergence of
initiatives by young generation of film activists to propel the film world
by organizing film festivals, both in large and small scale. Early 2000s
was the rising time of film production and enthusiasm among the
younger generation in producing film and watching Indonesian film.
This was welcomed by the capital’s owner to resurrect the Indonesian
film industry. Festival Film Indonesia which previously was stopped
for the past few years, revived by the government. The number of film
production was surged from almost zero to tens of film produced.

5  Muh. Husein Saari, Gelora Indonesia, 10 Tahun Produksi P.F.N, Seksi Publisitet P.F.N
1962

27
According to the online film magazine, filmindonesia.or.id, the number
of Indonesian film production reached its peak with 89 films circulated
in cinemas around the archipelago.6

IV.
The film critic, JB. Kristanto said, there are no significant changes in film
language after Usmar Ismail’s period. The majority of Indonesian films
remain stuck on the Sejarah Anak Wayang / History of Wayang Puppet as
mentioned by Misbach Yusa Biran. Even the generation of 1980s and
1990s, whom are more educated in film school, is not able to let that
influence go, even when they have been enlightened by new sciences.
But actually they have not mastered the logic of the film language. What
has happened is only the acculturation of the film medium, a kind of
hybrid, of how to use the technology and interpret the problems with
their own way and their minds.7 The situation may be somewhat different
can be found on some film directors of the class of 2000s. From that
few numbers of film director, we can still find their awareness on the
possibility of technological capabilities of the film medium. This can
be seen in the use of various possibilities of digital technology skills.
Technology is no longer seen as something exotic from Western world
while we are just being ‘passive consumers’, but has become a cultural
thing, an integral part of the so-called digital native generation. However,
is the ability of adapting such technology already gives experimentation
opportunity in film aesthetics?

V.
ARKIPEL International Documentary and Experimental Film festival
is initiated by Forum Lenteng to read the global phenomenon in the
context of social, political, economic and culture through documentary
and experimental cinema. The idea of this film festival is to voice
those cultural issues mentioned beforehand can be read in a certain

6  www.filmindonesia.or.id
7  Ibid. Hafiz, interview with J.B. Kristanto on April 12, 2012. “J.B. Kristanto: Kritik
Film Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net

28
period. Ideally, film festival could be the event to present what has been
accomplished by any filmmaker, both in aesthetics and content.
The documentary film aforesaid by Forum Lenteng is the one
that refer to the applicable film language in the tradition of cinema, not
TV documentary. In the tradition of cinema, documentary film could
also brings dramatic space, conflict, imagination, and criticism for the
audience. It certainly relates to how experimentation on the language of
cinema by the filmmaker in representing ‘reality’. While experimental
film which is meant by Forum Lenteng is how experimentation in the
medium and content brings novelty in term of aesthetics. It refers to the
history of avant-garde cinema in the history of world cinema. Not only
in the context of the film itself, but also how film is used to activate the
trigger on socio-cultural issues in public domain.
As a international film festival, ARKIPEL will always see the
development of the cinematic language with critical thinking, regardless
of the terms ‘cinema industry’ or independent cinema. For this reason,
ARKIPEL will always bring a critical discourse to observe it through
curatorial programs, symposium, and public lecture to broaden the
knowledge of the ever-changing cutting-edge cinema aesthetics.
Hopefully, ARKIPEL International Documentary &
Experimental Film festival may give new insight in looking at cinema
to both Indonesian and international audience.

29
Opening

Square Disintegrated
2013, Installation 3 Channel Surround Projection

Ricky Janitra (Indonesia)

Dalam setiap bingkaian, bidikan hingga In any frames, shots to visual sequence
rangkai-adegan visual pada sinema in cinema has a complexity of code that
memiliki kompleksitas kode yang provoke us to interpret it. Although the
memancing kita untuk menafsirnya. layers of code has it’s track history and
Walau lapisan-lapisan kode itu memiliki ‘future’ each of which is subject to the
jalur sejarah dan ‘masa depannya’ authority of the director construction,
masing-masing yang tunduk pada but the chances of disintegration and
kuasa konstruksi sang sutradara, namun deconstruction of each sign are still wide
peluang disintegrasi dan dekonstruksi open to be interpreted or even attached
setiap penanda masih terbuka lebar together with other signs to make other
untuk ditafsir atau bahkan direkatkan history and ‘future’ that are much
dengan penanda-penanda yang lain untuk different from the initial construction of
membuat sejarah dan ‘masa depannya’ the director.
yang jauh berbeda dari konstruksi awal Square Disintegrated collect local
sang sutradara. signifier-signified that contained in
Karya Square Disintegrated kemudian the footages of Indonesian films. That
mengumpulkan penanda-petanda lokal ‘materialized’ layers of code as a trial
yang terdapat dalam footage-footage filem to intrpreting again of how the actual
Indonesia. Lapisan-lapisan kode yang construction of Indonesian cinema
‘difisikkan’ itu mencoba untuk memaknai language.
kembali dalam melihat bagaimana
sebenarnya konstruksi bahasa sinema
Indonesia.
Lahir pada 18 Januari 1985 di Jawa Born January 18th, 1985 at West Java,
Barat. Ricky Janitra menyelesaikan studi Ricky Janitra has finished his study in
Seni Grafis di Jakarta Institute of Arts printmaking department jakarta Arts
(IKJ) pada 2005 dan juga inisiator GIF Institute in 2005. Founder GIF Festival
Festival 2011 (giffestival.tumblr.com). 2011 (giffestival.tumblr.com). Until
Hingga Saat ini, Ricky bekerja lepas now, Ricky works independently as Full
sebagai Seniman, Audiovisual Performer, time Artists, Audio Visual Performer,
DJ Hujan Pagi, VJ dan bermain musik. Video Performer, Playing Music, DJ of
HujanPagi, VJ.
http://www.rickyjanitras.com
http://www.rickyjanitras.com

30
Gadis kecil yang bernama lengkap The little girl’s name is Dendang
Dendang Belantara ini ikut meramaikan Belantara. She will participate in
Arkipel International Documentary ARKIPEL International Documentary
& Experimental Film festival yang di & Experimental Film festival organized
selenggarakan Forum Lenteng. Tampil by Forum Lenteng. She will appear with
dalam permainan piano tunggal dengan her solo piano recital performing Jaya
lagu Fragmen gubahan komposer Jaya Suprana’s Fragment and Consolotion no.3
Suprana dan Consolation no.3 dari Franz composed by Fransz Liszt in the Opening
Liszt dalam Opening Ceremony, Dara – Ceremony. You can call her Dara, and she
demikian ia biasa dipanggil – gembira is happy to be involved in the film festival.
bisa terlibat dalam aktivitas ini.
“I also love watching film. I also draw
“Aku juga nonton filem. Aku suka animation. I hope one day I can make
gambar anime juga. Mudah-mudahan film too”
nanti aku juga bisa bikin filem sendiri,
seperti kakak-kakak yang ikut dalam Dara whom has practiced the piano since
Festival Filem ini...” she was 5 years old hopefully will learn
something meaningful about cinema, to
Dengan terselenggaranya Festival kali enrich her cinematic experience here.
ini, Dara yang berlatih piano sedari
umur 5 tahun itu mendapat kesempatan
untuk lebih mengenal filem sebagai bekal
visualnya di kemudian.

Dendang Belantara lahir di Jakarta, 22 Dendang Belantara was born in Jakarta,


Oktober 2002. Masih sekolah di SDI October 22nd, 2002. Studied at SDI Al-
Al-azhar kelas 6, selain bermain piano, Azhar grade 6, besides playing piano, she
ia juga senang menggambar dan main also likes to draw and play games.
game.

31
program:
Kompetisi
Internasional

32
program:
International
Competition

33
Agenda: IC 12

Country of Production: Japan


Language: Japan
Subtitles: English
16 min, Color, 2012

To Raise From the Water


Andrew Littlejohn (US/Japan)

Sebuah desa nelayan di Jepang mencoba untuk A fishing village in Japan tried to rebuild their
bangkit kembali setelah tertimpa rangkaian home after a series of disasters in March 2011,
bencana pada Maret 2011, dari tsunami, gempa from tsunami, earthquake, to nuclear meltdown.
bumi, hingga bencana nuklir. Pembuat film The filmmakers give their audience enough time
memberi cukup kesempatan bagi penonton untuk to observe the collective efforts of the villagers.
mengunyah bahasa film ini hingga lunak dan The camerawork is static, while the narrative is
mudah untuk ditelan. Pergerakan kameranya kept at leisurely pace (the scene duration averages
cenderung statis, sementara ritme film dibiarkan at 30 seconds). Judging from the scenes picked by
renggang (tiap adegan rata-rata di atas 30 detik). the filmmaker, especially the ending, To Raise
Dari adegan-adegan yang dipilih pembuat film, from the Water aims to share with the audience
terutama adegan penutupnya, film ini seperti ingin the optimism of the villagers.
mengajak penonton turut merasakan optimisme -Rajiv Ibrahim
orang-orang yang mencoba untuk membangun
kembali hidup mereka.
-Rajiv Ibrahim

Andrew Littlejohn adalah calon Doktor Andrew Littlejohn is a PhD Candidate


dari bidang Antropologi dengan Kritik in Anthropology with Critical Media
Media Praktis di Universitas Harvard Practice at Harvard University, and
dan Pusat Studi Film di Universitas a Harvard University Film Studies
Harvard. Seorang sutradara dan Center Fellow. An aspiring filmmaker
phonografer, karyanya bertempat pada and phonographer, his work is situated
persimpangan dari penerapan etnografi at the intersection of ethnographic and
dan artistik. Dia mengambil sarjana di artistic practices. He took his B.A. in
School of Oriental and African Studies, Japanese from the School of Oriental and
London dan telah tinggal dan belajar African Studies, London, and has lived
di Jepang selama lebih dari dua tahun. and studied in Japan for over two years.
Dia saat ini bekerja dalam berbagai He is currently working on a variety of
audiovisual dan projek etnografi di audiovisual and ethnographic projects in
Amerika, Inggris dan Jepang. America, England and northeast Japan.
http://andrewlewislittlejohn.com/

34
Agenda: IC 6

Country of Production: Canada


Language: English
Subtitles: No Subtitle
4 min, Color, 2012

J. Werier
Rhayne Vermette (Canada)

Kamera bergerak dan berganti ke ruang-ruang The camera keep moving and the frame changes
sebuah gudang dengan artefak-artefaknya di from one room to another inside a warehouse with
Winnipeg. Ruang-ruang tersebut dimanipulasi its artifacts in Winnipeg. Those rooms had been
dengan proyeksi proyektor bekas oleh sang manipulated by somewhat damaged projector by the
seniman. Secara mengejutkan gambar-gambar artist. Surprisingly, the result of that projection is
yang dihasilkan adalah sebuah montase tentang a montage about an old house, as the current state
ruang tua, sebagaimana keadaan gudang Winnipeg of the warehouse Winnipeg.
saat ini. -Hafiz
-Hafiz

Rhayne Vermette adalah seorang Rhayne Vermette is an emerging artist,


seniman, sutradara dan DJ dari filmmaker, and DJ from Winnipeg,
Winnipeg, Manitoba. Dia memiliki Manitoba. Her educational background
latar belakang English Literature dan was English Literature and she had her
melanjutkan magister arsitektur di Master Degree in Architecture from
Universitas Manitoba. Dia salah satu University of Manitoba. She is one of
anggota dari Winnipeg Film Group. member of Winnipeg Film Group.
http://mbcoldstorage.tumblr.com/

35
Agenda: IC 11

Country of Production: South Korea


Language: Korea
Subtitles: English
38 min, Color & B/W, 2012

Generator of Duriban
Wonwoo Lee (South Korea)

Duriban adalah nama sebuah restoran yang akan Duriban is the name of a restaurant that would be
digusur pemerintah demi kepentingan kelanjutan demolished by the Government for the sake of the
pembangunan di kota Seoul. Pemiliknya yang continuation of development in the city of Seoul.
notabene juga adalah warga negara tidak tinggal The owner is also one of citizens of the metropolitan
diam ketika tempatnya mencari penghidupan city, they couldn’t stay silent when their livelihood
direnggut secara paksa. Listrik dimatikan, were snatched away forcefully. The electricity was
namun semangatnya tak pernah surut. Film ini turned off, but his their spirits were never subsided.
bukanlah melulu tentang korban penggusuran, This film is not merely about the victims of the
namun semangat di belakang orang-orang yang eviction, but the spirit of the people who inhabits
tergusur itu. itm they are few of many ‘generators’ in that city.
-Yuki Aditya -Yuki Aditya

Wonwoo Lee mulai membuat filem Wonwoo Lee start filmmaking since
sejak tahun 2006 di film lab di Seoul. 2006 in hand-made film lab in Seoul.
Kebanyakan filmnya dibuat dengan Most films made by handmade film
kemampuan tangannya. semua filem- making way. All of films talking about
filemnya berbicara tentang sejarah personal history and emotion.
personal dan emosi.

36
Agenda: IC 4

Country of Production: Japan


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
42min, B/W, 2008

Climax
Shinkan Tamaki (Japan)

Sebuah komposisi visual yang disusun secara acak A visual composition which arranged randomly
dari proses afdruk (develop) yang dilebih-lebihkan. from an excessive print process. From the overmuch
Dari emulsi yang berlebihan itu, menghasilkan emulsion, bring out the unusual images. A visual
gambar-gambar yang tak biasa. Sebuah komposisi composition that reflected a process of chemical
visual yang menggambarkan proses kimiawi yang flakiness.
mengelupas. -Hafiz
-Hafiz

Shinkan Tamaki lahir tahun 1982 di Shinkan Tamaki born in 1982, Japan.
Jepan, mulai membuat gambar bergerak Started making moving image with
dengan kamera film 16mm . tujuan 16mm film in 2006. Main theme is
utamanya adalah untuk memprovokasi to instigate changes in perception by
perubahan dalam presepsi dengan datang coming and going across the border
dan menyeberangi batas dari gambar saat of images while extracting film’s
menggali material film. Karya-karyanya materiality. The works have been
telah di tanyangkan di berbagai festival screened at many film festivals, including
film, termasuk Rotterdam Film Festival. International Film festival Rotterdam.

37
Agenda: IC 12

Country of Production: South Korea


Language: Korea
Subtitles: English
19 min, Color, 2011

Pretty Good Look


Youngnam Kim, Jungwha Jung, Minho Jo, Sohyun Moon, Goeun Bae,
Seungbum Hong (South Korea)

Filem ini merupakan pseudo-dokumenter This pseudo-documentary film which mixes the
yang menggabungkan pertunjukan, fiksi, dan art of performance, fictions and real situation.
situasi sebenarnya. Sebuah studi yang berusaha A study to examine how South Korean society
melihat bagaimana masyarakat Korea Selatan generalizing the definition of physical appearance
menyeragamkan definisi fisik orang yang terlihat of suspicious persons.
mencurigakan. -Bunga Siagian
-Bunga Siagian

KIM Youngnam belajar membuat KIM Youngnam Studied filmmaking in


film di Universitas Seni Korea. Dia the Korea National University of Arts.
mengambil jurusan seni rupa (seni video) He Majored in fine arts (video art) in
di MFA. MFA at Karts.

JUNG Jungwha mengambil Diploma di JUNG Jungwha Diplomed at the


Akademi Seni Marseilles (Prancis) dan Academy of Arts in Marseilles (France)
Akademi Seni di Hamburg (Jerman). and the Academy of Arts in Hamburg
(Germany).
MOON Sohyun mengambil jurusan seni
rupa (seni video) di MFA. MOON Sohyun Majored in fine arts
(video art) in MFA at Karts.
JO Minho mendapatkan Master seni
rupa Universitas Negeri Korea. JO Minho Studied a Master degree of
fine art at Korea National University
HONG Seungbum mengambil jurusan of Arts.
seni rupa (seni video) di BFA/MFA.
HONG Seungbum Majored in fine
BAE Goeun mengambil jurusan di arts(video art) in BFA/MFA at Karts.
seni rupa (seni video) di MFA, saat ini
tinggal di Rijksakademie, Belanda. BAE Goeun Majored in fine arts (video
art) in MFA at Karts. She stayed in
Rijksakademie residency in Netherlands
now.

38
Agenda: IC 12

Country of Production: Egypt


Language: Arabic
Subtitles: English
17min, Color, 2012

A Man Since Long Time


Mahmoud Yossry (Egypt)

A Man Since a Long Time, dokumenter pendek yang A Man Since a Long Time, is a short documentary
mengkisahkan tentang pandangan sejumlah remaja about the view of a number of teenagers in Egypt
di Mesir yang harus menghadapi sebuah aturan who has to face a cultural and religious rules curbing
kultural dan agama yang mengekang ekspresi their expression of sexuality. The development of
seksualitas. Perkembangan teknologi, sangat technology made the access to the pornography
memungkinkan para remaja untuk mengakses dunia world more possible to the teenagers more than
pornografi yang mengglobal. Sedemikian hingga ever. Therefore their perspective of sexuality has
pandangan seksualitas dari para remaja Mesir pun shifted. This film examines the liberal side of
mengalami pergeseran. Filem ini mengisahkan modern culture of the adolescent in Egypt, and
sisi liberal dari kebudayaan anak remaja Mesir the footages of daily lives in Cairo—a city that is
kekinian, dan footage-footage keseharian di kota getting more liberal every day.
Kairo yang semakin liberal. -Akbar Yumni
-Akbar Yumni

Mahmoud Yossry masih berstatus Mahmoud Yossry is still a student In


mahasiswa di High Cinema Institute, High Cinema Institute In EgyptHe
Mesir. Ia mempelajari Editing dan studies film editing and directing.
Penyutradaraan. Ia banyak terlibat dalam He has edited a lot of projects at his
proyek-proyek film yang dikerjakan institute, including short narrative film
bersama sekolahnya, baik film fiksi and documentary film. This documentary
maupun dokumenter. is his first film.

39
Agenda: IC 11

Country of Production: Ukraine


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitles
8 min, Color, 2011

Park of Contemporary Culture


Dmytro Bondarchuk (Ukraine)

Sebuah taman menawarkan hiburan kontemporer An amusement park offers a contemporary appeal
menarik bagi warga Ukraina. Berisi berbagai macam to the citizens of Ukraine. It is filled with works
karya seni berupa patung dengan berbagai bentuk, of art such as sculptures in various shapes, colors
warna dan fungsi. Mungkin tempat ini adalah and function. Maybe this place is the only non-
satu-satunya taman hiburan -bukan komersil commercial amusement park that can bring the
yang mampu mendatangkan anak-anak, remaja, kids, teens, and adults into the same excitement.
maupun orang dewasa kedalam satu kegembiraan -Bunga Siagian
yang sama.
-Bunga Siagian

Dmytro Bondarchuk lahir 10 April, Dmytro Bondarchuk was born April


1988. Lulus dari Institut Jurnalisme 10, 1988. Graduated from Institute
Universitas Taras Shevchenko di Kiev of Journalism Kyiv Taras Shevchenko
tahun 2010. Dia adalah kritikus filem National University in 2010. He is
independen dan pembuat filem pendek independent film critic and maker
eksperimental serta animasi di serikat of short experimental and animation
seni MIKNU (Ukraina) movies in the art union MIKNU
(Ukraine).

40
Agenda: IC 4

Country of Production: India


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitile
2 min, Color, 2013

Preludes I
Rahee Punyashloka (India)

Kilatan gambar muncul dari komposisi kabut di Flashes of images that emerged from a moving haze
ruang gelap yang terus bergerak. Komposisi ini composition in the dark room. The composition is
memaksa penonton untuk untuk mencari gambar- forcing the audience to look for images in wavelike
gambar dalam gerakan seperti gelombang, yang motion, which stimulates the unexpected memory.
menstimulasi pada memori yang tak terduga. -Hafiz
-Hafiz

Seniman visual dan sutradara yang Visual artist and filmmaker, majorly
dipengaruhi oleh karya-karya Hollis influenced by the works of Hollis
Frampton dan Pat O’Neil diantara Frampton and Pat O’Neill among
lainnya. Saat ini, sedang mencoba others. Recently, I have tried to explore
mengeksplorasi kesalahan tempat dari a displacement from the ‘ontological
‘esensi eontologis dari gambar’ dalam essence of the image’ in celluloid to
seloluid ke lebih kompleks ikonografi more complex iconographic possibilities
gambar digital. Eksplorasi ini berakar of representation through the digital
dari perbedaan medium digital dan image. This exploration is rooted in the
seloluid, dan seharusnya tidak dibatasi conviction that the digital medium is
sebagai pengganti film. inherently different from Celluloid, and
thereby must not be limited to being a
mere substitute for film.

41
Agenda: IC 11

Country of Production: Germany


Language: English
Subtitles: No Subtitles
7 min, Color, 2013

Momentum
Boris Seewald (Germany)

Momentum bukanlah sekedar f ilem yang Momentum is not just a film which document a
mendokumentasik an ta rian, tapi juga dance, but also applying various cinematic tactics
mengaplikasikan siasat-siasat sinema dalam proses in the construction process of the images. Jump-
penyusunan gambarnya. Teknik jump-cut dan cut technique and double exposure neatly used to
exposure ganda rapih dipakai untuk menangkap capture fast, dynamic, and entertaining motions
gerak cepat, dinamis, dan menghibur dari seorang from a man named Patrick recalling his dance
pria bernama Patrick yang mengingat kembali when eating tortilla chips at a party. Momentum
tariannya saat mengambil penganan keripik tortilla itself is a small private party for Patrick and his
di sebuah pesta. Momentum sendiri adalah sebuah mother. A party which is not quite sufficient to be
pesta kecil pribadi bagi Patrick dan ibunya, yang immortalized through a photograph only because
tak cukup diabadikan hanya dengan sebuah foto then would limit their kinetics.
yang membatasi kinetika-nya. -Yuki Aditya
-Yuki Aditya

Besar di jerman, Boris Seewald pertama Raised in Central-West Germany, Boris


memasuki dunia media digital desain Seewald first ventured into digital media
dan bermain musik di berbagai band. design and played music in various
Dia pindah ke Berlin tahun 2005 bands. He moved to Berlin in 2005 with
dengan tujuan jelas untuk mengejar a clear intention of pursuing a career in
karir di film dan mulai bekerja dengan film, and began work on his own film
proyeknya sendiri dan mengembangkan projects and developing work experience
pengalaman kerja di bidang ini. in this field. Owing to his innate ability
Memiliki bakat untuk mengkordinasi to coordinate image and sound, Boris
gambar dan suara, Boris mencari bentuk seeks his form of expression in the
dari ekspresi dalam irama ilustrasi rhythmical illustration of music.
musik. www.borisseewald.de

42
Agenda: IC 8

Country of Production: Indonesia


Language: Javanese, Japanese,
Bahasa Indonesia, English
Subtitles: English
22 min, Color, 2013

Canggung (The Awkward Moment)


Tunggul Banjaransari (Indonesia)

Kota Solo menjadi tempat bertemu sekelompok The city of Solo becomes a meeting point of a
orang Jepang yang sedang mengunjungi keluarga group of Japanese who were away to visit their
jauhnya di Indonesia. Dua kelompok orang tersebut family in Indonesia. Those two groups are not
tidak saling mengerti bahasa satu sama lainnya. mutually understand each other language. What
Penghubung mereka hanyalah seorang pria Jawa and who connects them are a Javanese man who
yang mampu berbahasa Jepang dan sebuah kamera. speaks Japanese and a camera recorder. Visual
Visual minimalis dan konsep perekaman sebuah minimalism and the concept of recording a reunion
reuni dari orang-orang yang sebelumnya hanya of people who previously only known through verbal
kenal melalui cerita verbal tanpa pernah bertemu stories without ever having met before, made us
sebelumnya, membuat kita merasa canggung di feel awkward in our own home and at a place that
rumah sendiri dan di tempat yang menyimpan kisah holds old stories since many years ago. This film is a
lama sejak puluhan tahun lalu. Filem ini adalah documentary about the intersection of two cultures,
sebuah dokumenter tentang persinggungan dua two histories, and two traditions. The audience
budaya, dua sejarah, dan dua kebiasaan. Penonton will take part in the meeting which allows certain
akan dibawa mejadi bagian dari pertemuan voice to be heard and let the others remain silent.
yang membiarkan suara tertentu terdengar dan -Yuki Aditya
membiarkan suara lainnya tetap diam.
-Yuki Aditya

Tunggul lahir di Solo pada 30 Tunggul was born in 30 September


September 1988. Tumbuh dan 1988. Raise in farmer family, he was
berkembang atas didikan keluarga petani lucky enough to learn and become an
yang mungkin mujur berbelok menjadi artist. His father and brothers adept
seniman sekaligus akademisi seni. playing musical instrument, he was an
Ayah dan saudara-saudara kandungnya exception because he didn’t have ability
mahir mempermainkan musik, namun to play, so he decided to watch film, since
Tunggul hanya bisa mendengar, bermain elementary school and began presume
pun tidak. Karena sadar mendengar itu making videos after high school.
membosankan, ia memutuskan mulai
sering menonton filem ketika masih
SD. Hingga mulai memberanikan diri
membuat rekaman-rekaman video
selepas SMA.

43
Agenda: IC 6

Country of Production: Italy


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitles
16 min, Color, 2013

Kaputt/Katastrophe
Luca Ferri (Italy)

Filem pendek eksperimental yang unik, berani, A provocative assault on the senses, Kaputt/
dan provokatif. Eksperimen Kaputt/katastrophe katastrophe forces us to rearrange our perspectives
terletak pada permainan tempo dari rangkaian continuously as the film bulldozes through its
gambar yang disajikan, pemotongan dialog, chaotic interplay of sight and sound. Dialogues
penggunaan suara, dan yang terutama adalah cut, tempo distorted, and images rearranged
keselarasan antara elemen-elemen sinematik. accordingly. In short, a reflection on the inner
Filem ini mengajak kita untuk terus-menerus workings of cinema.
memperbaharui perspektif kita tentang sinema -Rajiv Ibrahim
lewat berbagai permainan sudut pandang.
-Rajiv Ibrahim

Luca Ferri (Bergamo, 1976) bekerja Luca Ferri (Bergamo, 1976) works
dengan gambar dan teks. Saat 2005 on images and words. In 2005/2008
hingga 2008 dia menyutradarai filem he directed short, medium and
berdurasi pendek, sedang dan panjang feature-length films that took part
yang diikuti berbagai kompetisi in competitions and were hosted in
dan eksebisi. Saat 2011 Magog (atau exhibitions. In 2011 Magog [or Epiphany
Epiphany of The Barn Owl) ditayangkan of The Barn Owl] was screened in
di Bergamo; tahun 2012 filem tersebut Bergamo; in 2012 it has been selected for
terpilih untuk beberapa festival filem, some film festivals, such as 48th Mostra
seperti Mostra Internazionale del Nuovo Internazionale del Nuovo Cinema
Cinema (Pesaro). (Pesaro).
www.ferriferri.com

44
Agenda: IC 12

Country of Production: Spain


Language: Spain, French
Subtitles: English
15 min, Color, 2012

Ancestral Delicatessen
Gabriel Folgado (Spain)

Kenari, keledai, hewan-hewan ternak, dan lebih Canaries, donkeys, various livestock, and more
banyak kenari. Begitulah sumber daya alam canaries. Such diversity in the nameless hamlet
sebuah desa kecil tak bernama dalam Ancestor captured in Ancestor Delicatessen. Dedicated to the
Delicatessen. Didedikasikan untuk saudara laki- brother of the filmmaker, this simple and sweet film
laki sang sutradara, filem pendek sederhana chronicles how the locals make use of the natural
ini mengkronologikan bagaimana para warga resources around them into edibles, through static
mengolah sumber daya alam sekitar mereka jadi camerawork and neat arrangement of sounds. Their
makanan sehari-hari, lewat pergerakan kamera specialty: marron glance, a dish of frozen canaries.
statis dan pengaturan bebunyian yang rancak. -Rajiv Ibrahim
Makanan khas mereka: marron glance, sepiring
kenari beku.
-Rajiv Ibrahim

Gabriel Folgado lahir di Leon, Gabriel Folgado was born in León,


Spanyol 12 Mei tahun 1970. Lulusan Spain (May 12, 1970). He has a degree
Sinema dari Universitas Leon. Pada in cinema from the University of León.
2004 dia menyutradarai filem pendek In 2004 he directed his first short film
pertamanya Vilapicardo diikuti dengan Vilapicardo followed by La embajada
La embajada Toscana di tahun 2005. toscana in 2005. He has also spent time
Dia juga mengajar di Universitas teaching at León University. His first
Leon, dokumenter pertamanya Interior documentary Interior landscapes has
landscapes telah di akui dan diberi been shortlisted and awarded in over
penghargaan lebih dari 30 festival filem 30 worldwide film festivals. Amongst
di seluruh dunia. Di antaranya menerima others, it received seven nominations
tujuh nominasi Goya Awards tahun 2011 in the 2011 Goya Awards and the
dan penghargaan bergengsi “Golden prestigious “Golden Botillo” prize.
Botillo”. Ancestral Delicatessen adalah Ancestral delicatessen is the second
dokumentar keduanya bersama Catoute documentary he has directed with
Films, perusahaan filemnya. Catoute Films, his production company.
http://gabrielfolgado.webnode.es/

45
Agenda: IC 7

Country of Production: Germany


Language: Germany
Subtitles: English
7 min, Color, 2011

Volkspark
Kuesti Fraun (Germany)

Volkspark, merupakan karya dokumenter dengan Volkspark, is set in the park as a new social system.
menempatkan taman sebagai sebuah sistem sosial This documentary reveals how the response of the
baru. Dokumenter ini menampakkan bagaiman people who were in the park when a new system
respon orang-orang yang berada di taman ketika is implemented. The filmmaker along with his
diterapkan sebuah sistem baru yang asing bagi interlocutor are creating an extreme social system
mereka. Sampai kemudian, sang sutradara bersama in the park, that whoever wants to pass will be
reporternya, membuat sebuah sistem sosial pada taxed promptly. Finally the application of the new
taman tersebut dengan sesuatu yang ekstrem, yakni system has to face an act of violence where camera
barang siapa melintas akan dikenai pajak. Dan are then banned from recording.
akhirnya penerapan sistem sosial baru di taman -Akbar Yumni
tersebut harus mengalami sebuah tindakan yang
mengarah pada kekerasan dan kamera pun dilarang
merekam.
-Akbar Yumni

Kuesti Fraun tinggal dan bekerja Kuesti Fraun lives and works as an
sebagai produser independen, seniman independent producer, performance
performance dan videografer di Berlin artist and videographer in Berlin and
dan Düsseldorf. Banyak memproduksi Düsseldorf, producing projects from
karya mulai dari seni media sampai media art to traditional fictional stories
cerita fiksi tradisi dalam medium in pictures and sound since 1999.
audiovisual sejak 1999.

46
Agenda: IC 10

Country of Production: Germany


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitles
1 min, B/W, 2012

Ben
Kuesti Fraun (Germany)

Ben memuat hanya satu bidikan, tentang Ben Ben contains only one shot: a shot of Olympic
Jhonson, mantan juara dunia lari 100m, berlari winner Ben Jhonson running in slow-motion.
dalam gerak lambat. Karya ini mengeksplorasi Through that solitary shot, Kuesti Fraun showcases
tentang bentuk dan gestur tubuh. Olah kamera the potency of cinema in capturing humanity in
menghadirkan antara ekspresi wajah yang berlari its minute mundane details. The camera moves
semakin kuat, dengan bidikan kamera yang smoothly, focusing on every little change in
merekam secara lambat. Kekuatan bentuk dan the runner’s face. Such visual exploration then
gerak gambar ini yang diperkuat, didramatisir is augmented, dramatized even, by an exquisite
bahkan, dengan penggunaan suara yang apik. array of sounds.
-Akbar Yumni -Akbar Yumni

Kuesti Fraun tinggal dan bekerja Kuesti Fraun lives and works as an
sebagai produser independen, seniman independent producer, performance
performance dan videografer di Berlin artist and videographer in Berlin and
dan Düsseldorf. Banyak memproduksi Düsseldorf, producing projects from
karya mulai dari seni media sampai media art to traditional fictional stories
cerita fiksi tradisi dalam medium in pictures and sound since 1999.
audiovisual sejak 1999.

47
Agenda: IC 4

Country of Production: Canada


Language: Mongolian
Subtitles: English
5 min, Color, 2013

Tears of Inge
Alisi Telengut (Canada)

Sebuah cerita sederhana yang menyetuh tentang A simple touching story about a human and a camel
hubungan manusia dan unta dari Mongolia. Cerita friendship in Mongolia. This story is told by the
yang diriwayatkan oleh nenek sang sutradara. Elisi director’s grandmother. Elisi Telengut described
Telengut berhasil menggambarkan hubungan the emotional relationship with the colorful line
emosional ini dengan guratan-guratan garis warna- sketching in dazzling animation.
warni dalam animasi yang memukau. -Hafiz
-Hafiz

Alisi Telengut lahir 1989, lulus dari Alisi Telengut, born in 1989, graduated
BFA jurusan Filem Animasi dan akan from the BFA in Film Animation
mengambil Master Produksi Filem and is going to pursue a MFA in Film
di Sekolah Filem Mel Hoppenheim, Production at the Mel Hoppenheim
Universitas Concordia. Dia School of Cinema, Concordia University.
bereksperimen dan mengeksplorasi She experiments and explores animation
animasi di bawah kamera melalui under camera through painting, colors
lukisan, warna dan tekstur, di tahun and textures. In 2012, she finished her
2012 dia menyelesaikan kuliahnya. graduation film, Tengri, which was
Tengri, yang dibuat dengan menambah created by adding and removing colors
dan menghilangkan warna per-adegan frame by frame, received four awards
menerima empat penghargaan di festival in film festivals and has been presented
filem dan telah diperkenalkan ke lebih in more than twenty film festivals up to
dari 24 festival filem selama juni 2013. June 2013.
http://cargocollective.com/AlisiTelengut

48
Agenda: IC 10

Country of Production: The Netherlands


Language: Spanish
Subtitles: English
9 min, Color, 2013

Una Ciudad a Traves de Unos Espacios (A City Through


Different Spaces)
Linda Bannink (The Netherlands)

Karya-karya Linda Bannink selalu membicarakan The works of Linda Bannink are unified by its
persoalan urban. A City Through Different Spaces exploration on urban issues. A City Through
tak terkecuali. Filem ini mengajak kita melihat Different Spaces is no exception. The film invites
interaksi sutradara dengan ruang-ruang kota us to roam the urban spaces of Mexico City through
di México City melalui orang-orang yang tiba- the eyes of the anonymous masses that dwells the
tiba hadir ‘tanpa sejarah’ di tengah-tengah kota. downtown area.
(Mahardika Yudha) This film paints a catalogue of societal
Filem ini memiliki latar persoalan yang problems brought about by rampant urbanization;
sangat mirip dengan kota-kota di negara- among them is physical and psychological
negara Asia, seperti Indonesia. Urbanisasi telah dissonance of the people to things around them.
melahirkan berbagai macam persoalan sosial, Similar situation could also be found in many
bahkan mentalitas warga. Asian cities.
-Mahardika Yudha -Mahardika Yudha

Linda Bannink (Alkmaar, 1975) tinggal Linda Bannink (Alkmaar, 1975)


dan bekerja di Amsterdam, Belanda, lives and works in Amsterdam, The
di tahun 2000 dia lulus dari Akademi Netherlands. In 2000 she graduated
Gerrit Rietveld Amsterdam dan pada at the Gerrit Rietveld Academy in
2002, dia menyelesaikan program Amsterdam and in 2002 she completed
residensinya di Rijksakademie van her residency at the Rijksakademie van
Beeldende Kunsten Amsterdam. Filem beeldende kunsten Amsterdam. Her
dan instalasinya telah ditampilkan films and installations have been shown
di museum/galeri skala nasional in national and international museums/
dan internasional. Sejak 2002 dia galleries and festivals. Since 2002 she has
mengorganisir beberapa proyek been organizing and assisting on several
dokumenter kolaboratif untuk inisiatif collaborative documentary projects for
seniman “El Despacho”, yang telah the Mexican/Dutch artist initiative ‘el
diadakan di beberapa tempat seperti despacho’, which have been taken place
Meksiko, Belanda dan Maroko amongst other countries in Mexico, The
Netherlands and Morocco.
www.lindabannink.com /www.
eldespacho.org

49
Agenda: IC 9

Country of Production: Jordan


Language: Arabic
Subtitles: English
16 min, Color, 2012

Wojoh (Face)
Said Najmi (Jordan)

Cerita mengenai sebuah keluarga Bedouin yang A story about a Bedouin family who struggle to
mengalami kesulitan untuk pindah ke kota. move out to the big city. Where they are still not
Dimana kehidupan perkotaan berkebalikan dengan sure whether the life in the city will be better than
tempat tinggal mereka sekarang dan sebaliknya. the life they are doing now.
-Bunga Siagian -Bunga Siagian

Said Najmi (1980) lahir dan besar di Said Najmi (1980) born and raised in
Jordan. Menerima beasiswa dari Sekolah Jordan. An award-winning director, was
Seni Sinema MFA pada 2008. Saat granted a scholarship in MFA Cinematic
ini sedang menyiapkan filem pendek Arts in 2008. Currently preparing for
selanjutnya, menulis untuk filem panjang his next short, writing his feature, and
dan bekerja lepas di MENA Region. freelancing in the MENA region and
internationally.

50
Agenda: IC 11

Country of Production: France


Language: French
Subtitles: English
15 min, Color, 2012

Les Fantômes de l’escarlate (The Ghosts and The Escarlate)


Julie Nguyen van Qui (France)

The Ghosts and the Escarlate berlatar di sebuah The Ghosts and the Escarlate is set in a wool factory.
pabrik pembuatan benang wol. Suara manusia yang The voice of human is not coming from the workers,
terdengar bukan dari para pekerja di dalamnya, but from the narration delivered through voice-
melainkan dari narasi yang dibawakan melalui over of a man telling a story of a business rivalry
voice-over seorang pria yang menceritakan sebuah hundreds years ago. The camera explores and
kisah persaingan bisnis ratusan tahun lampau. browses the rooms inside the factory from awkward
Kamera menelusur dan menelisik ruangan-ruangan angles, The imagination and fantasy of the audience
di dalam pabrik tersebut dari sudut yang canggung, are challenged to believe and understand a place
Imajinasi dan fantasi penonton ditantang untuk they never think before.
percaya dan paham tentang tempat yang tak kita -Yuki Aditya
kira sebelumnya.
-Yuki Aditya

Lulus dari seni terapan dan antropologi, Graduate of applied arts and
Julie Nguyen van Qui berlatih dalam anthropology, Julie Nguyen van Qui
menulis dan sutradara dokumentar di was trained in writing and documentary
Universitas Paris Diderot, di mana dia filmmaking at the University Paris
meembuat filem pertamanya, The Ghosts Diderot, whereby she directed her first
and The Escarlate. film, The Ghosts and The Escarlate.

51
Agenda: IC 10

Country of Production: Indonesia


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
4 min, Color, 2013

The Flaneurs #3
Aryo Danusiri (Indonesia)

Potret masyarakat urban ibukota. Fokusnya adalah A portrait of urban community in the capital city.
kelompok pengajian yang melakukan perjalanan The focus is a religious group that travels around
keliling Jakarta dengan menggunakan sepeda motor Jakarta using motorcycle and held mass recitations
secara beramai-ramai dan menggelar pengajian- by blocking some roads. A fanaticism feast which is
pengajian massal di tepi jalan. Sebuah Fanatisme structured powerfully in 4 minutes tour-de-force.
yang tersusun dengan kuat dalam 4 menit. -Bunga Siagian
-Bunga Siagian

Aryo Danusiri adalah sutradara Aryo Danusiri is a documentary


dokumenter dan antropolog yang lahir filmmaker and anthropologist born
di Jakarta 1973. Karya-karyanya telah in Jakarta in 1973. His works have
menjelajahi sirkulasi dari kode-kode been exploring the circulations of
baru, kekerasan dan ingatan dalam new keywords, violence and memory
mengkonfigurasi kembali ranah politik in reconfiguring political and social
dan sosial dari pasca-otoritarian landscape of post-authoritarian
indonesia setelah 1998. Karyanya Indonesian 1998. Those works have
telah di tayangkan di berbagai festival premiered at various festivals, including
termasuk Rotterdam, Amnesty Rotterdam, Amnesty Amsterdam,
Amsterdam, Mead Festival dan Mead Festival and Yamagata “New Asia
Yamagata “New Asia Current” Current.”

52
Agenda: IC 11

Country of Production: USA


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
3 min, Color, 2012

Chroma
Jeremy Moss (US)

Dalam durasi tiga menit, Chroma memadukan In only three minutes, Chroma serves a bold
warna-warna flicker, gerakan dan lekuk-lekuk mixture of flickering colors, body movements, and
tubuh, serta permainan tempo flicker sebagai bahasa tempo changes as its mode of cinematic narration.
sinematik. Penonton diajak untuk memfokuskan The film forces the eye to look for focus in the
pandangannya (vision) dalam perebutan ‘ruang struggle for space, between the dark-costumed
pada frame’ antara performer yang berwarna hitam performer and the flickering landscape of myriad
dengan warna-warna flicker yang menjadi latarnya. colors.
-Mahardika Yudha -Mahardika Yudha

Jeremy Moss adalah seniman gambar Jeremy Moss is a moving image artist,
gerak, kurator dan guru. Filem dan curator, and teacher. His films and
videonya telah ditayangkan di festival, videos have screened at festivals,
museum dan berbagai tempat di dunia. museums, and various venues throughout
Karyanya dengan jelas mendobrak the globe. His work clearly pushes for
sesuatu yang baru dan pengalaman- new and alternative experiences, both
pengalaman alternatif, baik kultural cultural and aesthetic, exploring the
maupun estetik. Menjelajahi hubungan relationship of moving bodies within
gerak tubuh dengan gerak frame dan moving frames and the kinetic impact
efek kinetik yang terjukstaposisi. Dia of jolting montage juxtapositions. He is
adalah Asisten Profesor Film & Media an Assistant Professor of Film & Media
Studies Franklin & Marshall College di Studies at Franklin & Marshall College
Lancaster. in Lancaster, PA.

53
Agenda: IC 5

Country of Production: France


Language: French
Subtitles: English
28 min, Color, 2013

Le Jour a Vaincu la Nuit (The Day Has


Conquered the Night)
Jean-Gabriel Périot (France)

Berkisah tentang delapan narapidana yang The Day Has Conquered the Night chronicled the
mengungkapkan mimpi dan suasana hati yang dreams and aspirations of eight inmates in a
sedang mereka alami. Pendekatan dokumenter ini prison somewhere in France. The approach of this
sangat sederhana, dengan menampatkan subyek di documentary is very simple. The filmmaker let
hadapan kamera untuk mengungkapkan suasana the inmates talk about whatever they want to the
hati dan mimpi mereka, namun sang sutradara camera. Emotions then are emphasized through
menghadirkan emosi para narapidana yang various melodies of music that accompany their
diwakili dan melalui irama musik. Bentuk bidikan confession. Soon all these audiovisual cues lead
yang sederhana dalam merekam para napi tersebut to one thing: repetition, that is emblematic of the
menggambarkan ekspresi visual dari kejenuhan boredom felt by the inmates of the life they lead
para napi yang berada di dalam penjara. behind prison bars.
-Akbar Yumni -Akbar Yumni

Jean-Gabriel Périot adalah seorang Jean-Gabriel Périot is an artist and


seniman dan sutradara yang tinggal di filmmaker based in Tours, France. His
Tours, Prancis. Karya-karyanya telah work has been shown extensively around
banyak ditampilkn di seluruh dunia dan the world winning a number of awards
memenangkan beberapa penghargaan, including the Grand Prix at the Tampere
diantaranya; Grand Prix di Festival International Film festival, USA and
Filem Internasional Tampere-Finlandia, Best International Short at the Cork
dan Filem Pendek Terbaik di Festival International Film festival, Ireland.
Filem Internasional Cork, Irlandia.

54
Agenda: IC 6

Country of Production: Russia


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
3 min, Color, 2012

Hermeneutics
Alexei Dmitriev (Russia)

Hermeneutics bermula dengan footage-footage Hermeneutics begins with war footages, ends
perang, dan berakhir dengan footage-footage with footages from firework shows. From the
perayaan pesta kembang api. Sedari awal para beginning, the film forces us to identify with the
penonton diajak melihat tentang gambaran perang explosion apparent in both activities. This visual
melalui ledakan-ledakan dan cahaya dari bom exploration leads to ambiguity, of two extremely
yang diluncurkan dan meledak. Cahaya ledakan contrasting events that somehow are defined by
berkesinambungan dengan cahaya kembang api similar visual codes. As the title suggests, the film
dalam sebuah perayaan. Eksperimen ini membawa ask us to reconsider the way we perceive visual codes
ketaksaan (ambiguitas) kisah tentang dua peristiwa hermeneutically.
yang berbeda yang dipertemukan pada suatu kode -Akbar Yumni
visual yang hampir serupa. Sedemikian hingga
membawa penonton untuk merenungkan ulang
pengertian kode visual secara hermeneutis.
-Akbar Yumni

Alexei Dmitriev adalah seniman visual, Alexei Dmitriev is visual artist, curator
kurator dan programmer yang tinggal and programmer who living in Russia.
di Rusia.

55
Agenda: IC 8

Country of Production: UK
Language: English
Subtitles: English
14 min, Color, 2013

Hitching The A1
Gary McQuiggin (UK)

Hitching A1 adalah dokumenter perjalanan sang Hitching A1 is a road documentary of the


sutradara dari London ke Edinburgh dengan filmmaker’s journey from London to Edinburgh
menumpang kendaraan orang lain. Dalam by hitchhiking. In a way, this documentary records
perjalanannya, dokumenter ini merekam dialog the daily spontaneous dialogue from the encounter
keseharian yang spontan dari perjumpaan antara between two sides who have not known each other
dua pihak yang belum saling kenal. Cara Gary beforehand. How Gary McQuiggin shoots and
McQuiggin membidik dan menyusun gambarnya composes his images giving an impression of
mengimpresikan panorama lokasi dan pemetaan panoramic location and the process of mapping
tradisi tua yang humanis di Inggris tentang an old yet humane tradition in England about the
fenomena orang menumpang mobil ditengah jalan hitchhiking phenomenon.
(hitchhiking). -Akbar Yumni
-Akbar Yumni

Gary McQuiggin lahir di kota Gary McQuiggin (b. 1988) was born in
Shrewsbury, Inggris pada 1988. Ia the English town of Shrewsbury, studied
mendapat gelar sarjana Filem dan BA Film & Video at the University of
Video di University of Arts pada 2008. the Arts in 2008. He has an interest
Dia tertarik dengan landscape art, trik in landscape art, camera trickery, DIY
kamera, paham D.I.Y. (Do It Your punk, radicalism and diary filmmaking.
Self) punk, radikalisme dan membuat His work has been screened across
filem diari. Karyanya telah diputar Europe at festivals (including Cannes
dalam festival (hampir) seluruh Eropa & Sheffield Doc/Fest), on public access
(termasuk Cannes dan Sheffield Doc/ television in the US, as installations, in
Fest), Televisi-televisi yang dapat diakses squatted cinemas and on the walls of a
oleh publik di Amerika; seperti instalasi, fortress
layar tancap maupun TV-Wall Projection.

56
Agenda: IC 6

Country of Production: China


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
12 min, Color, 2012

. . . And the Wound Closed Wearily


Ian Deleón (Brazil)

Filem yang menjukstaposisikan mitos dan sejarah, The film juxtaposes a myth and history, between
antara kisah Yunani kuno: Prometheus yang the ancient Greek myth about Prometheus who was
dihukum oleh dewa-dewa karena telah memberikan punished by gods because give the fire to a human,
api bagi manusia dan sejarah pemimpin revolusi and the story of Chinese people revolution leader,
rakyat Cina, Mao Zedong. Filem ini memberikan Mao Zedong . This film tries to give balanced
gambaran seimbang tentang Mao, sebagai images about Mao, as a revolution leader, unifier,
pemimpin revolusi, pemersatu Cina, dan manusia and a human being.
biasa. -Afrian Purnama
-Afrian Purnama

Ian Deleón mendapat gelar Sarjana Ian Deleón received a B.F.A. from
Seni Murni dari jurusan Studio for the Studio for Interrelated Media
Interrelated Media pada Massachusetts department at Massachusetts College
College of Art di Boston 2011. Praktek of Art in Boston in 2011. Their daily
seni keseharian terdiri dari penolakan art practice consists of rejecting the
kecenderungan partisipasi yang pasif tendency to participate passively in
dalam budaya populer. popular culture.

57
Agenda: IC 6

Country of Production: USA


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
5 min, Color, 2012

Marshy Place Across


Lorenzo Gattorna (US)

Sebuah dataran pesisir pantai di Maryland yang A coastal plain in Maryland filled with diverse
dipenuhi beragam vegetasi alami, juga sejarah vegetation, and also the history of American Indian
lampau masyarakat Indian di Amerika yang people represented by the presence of wild horses
direpresentasikan oleh keberadaan kuda liar yang that lives peacefuly and in harmony without human
hidup damai tanpa intervensi manusia. Marshy intervention. Marshy Place Across tries to cross
Place Across mencoba menyebrangi sejarah American history through moving images of a
Amerika melalui gambar bergerak sebuah tempat place with imagination.
yang lekat dengan imajinasi. -Afrian Purnama
-Afrian Purnama

Lorenzo Gattorna adalah pembuat Lorenzo Gattorna is a filmmaker/


filem atau programmer yang tinggal programmer residing in Baltimore.
di Baltimore. Filem pendeknya telah His short films have been screened in
diputar dalam berbagai eksebisi yang exhibitions associated with CCNY,
diadakan antara lain oleh; CCNY, Chicago Underground Film festival,
Chicago Underground Film Festival, LMAKprojects, Maryland Film festival,
LMAK projects, Maryland Film Maysles Cinema, Microscope Gallery,
Festival, Maysles Cinema, Microscope NYFF, Plug Projects and UnionDocs.
Gallery, NYFF, Plug Projects and He recently received the 2012 Creative
UnionDocs. Baru-baru ini dia menerima Alliance Media Makers’ Fellowship.
Creative Alliance Media Makers’
Fellowship 2012.

58
Agenda: IC 10

Country of Production: Taiwan


Language: Mandarin
Subtitles: English
24 min, Color, 2013

Journey of Consciousness (Awareness Journey)


Yi-Yu Liao (Taiwan)

Sebuah filem berlatar di Taiwan, tentang bagaimana A film that takes place in Taiwan, and how people
masyarakat yang mempertahankan tradisi nenek maintain the tradition of the ancestors as an escape
moyang sebagai pelarian bahkan solusi terhadap or even solution to the typical problem in modern
berbagai masalah khas masyarakat moderen. society they live in. Especially in welcoming the
Khususnya menghadapi kiamat 2012. doomsday in 2012.
-Bunga Siagian -Bunga Siagian

Yi-Yu Liao, belajar filem di CalArts. Yi-Yu Liao studied film in CalArts, now
Sekarang bekerja sebagai seorang editor is working as an art editor.
seni.

59
Agenda: IC 9

Country of Production: Ukraine


Language: Italian
Subtitles: English
19 min, Color, 2013

Il Contorsionista
Mauro Maugeri (Italy)

The Contortionist bercerita tentang hubungan The Contortionist tells a story of a father and
ayah-anak yang keduanya kebetulan adalah son relationship, whom both coincidentally are
juru kamera. Sang anak mendokumentasikan cameramen. The son is documenting the last
hari terakhir ayahnya bekerja. Apakah ada day of his father at work. Is there a trace which
jejak sejarah yang secara tidak langsung connect both men’s expertise historically? The
menghubungkan keahlian dua ayah-anak Contortionist is not just about their closeness,
tersebut? The Contortionist bukan sekedar tentang but also about the past and the present, two
kedekatan hubungan mereka, tapi juga tentang different mediums, an expertise with two
masa lalu dan sekarang, dua medium yang different backgrounds where the father has
berbeda, satu kemampuan yang sama namun di worked for a company and the son is making an
dua latar yang bersebrangan dimana sang ayah independent film, and also about the possibility
bekerja untuk suatu perusahaan dan anaknya and probability lies ahead in the future of
sebagai pembuat filem independen, serta the younger cameraman. The director of this
tentang kemungkinan dan kesempatan yang documentary also concerns on legacy, a cycle
membentang di depan anaknya sebagai juru of knowledge, of himself, of his father, and of
kamera di masa depan. Perhatian sutradara filem cinema in particular.
ini adalah pada warisan, yang tidak melulu soal -Yuki Aditya
materi namun siklus pengetahuan, akan dirinya
sendiri, ayahnya, dan sinema dalam makna
besarnya.
-Yuki Aditya

Lahir di Catania (Italia) pada tahun Born in Catania (Italy) in 1981, Mauro
1981. Mauro Maugeri lulus dalam Script Maugeri is graduated in Script for
for television and cinema di “Roma 3” television and cinema at the “Roma 3”
University dan memiliki gelar master University and has a master’s degree in
dalam Literature and publishing for Literature and publishing for children. In
children. Akhir 90an, mulai bekerja the end of the 90s he started to work
sebagai juru kamera dan editor untuk as cameraman and editor for Italian
televisi-televisi Italia. Semenjak 2005, televisions (Rai, Mediaset and local TV).
dia anggota Associazione Culturale Since 2005 he’s a member of Associazione
Scarti, yang tiap tahun mengorganisir culturale Scarti, a cultural association that
“Magma-Mostra di Cinema Breve”, every year organizes Magma – Mostra
sebuah festival filem pendek di cinema breve, an international short
internasional yang sekarang telah masuk film festival now going into its twelfth
edisi ke-20. edition.
60
Agenda: IC 3

Country of Production: Indonesia


Language: Javanese
Subtitles: No Subtitle
84 min, Color, 2009

Perampok Ulung
Marjito Iskandar Tri Gunawan (Indonesia)

Tikus bagi sebagian Petani di Kecamatan Mice for most farmers in the village of Moyudan,
Moyudan, Sleman, Yogyakarta dianggap sebagai Yogyakarta are considered as the robber who spread
perampok yang senang menebar teror dengan terror to loot rice. They also threaten the villagers
menjarah tanaman padi, juga mengancam dengan with leptospirosis bacteria. However, the farmers
bakteri leptospirosis. Namun demikian Petani pun are sometimes afraid because they appear as a myth
kadangkala takut karena muncul mitos yaitu too. Tukijo is one of the victims of of these mice,
tikus itu ada yang “memelihara”. Tukijo salah satu altogether with other farmers they try to eradicate
korban dari aksi tikus ini, dengan petani lainnya those rodents. They are the farmers’ most ultimate
melakukan gerakan pembasmian tikus. Tetapi enemy.
tikus tetaplah tikus, selalu menjadi musuh abadi
bagi petani.

Menyenangi aktivitas fotografi, filem, He loves doing photography, cinema,


travelling. Pernah menjadi asisten and travelling. He used to be an assistant
sutradara di salah satu rumah produksi director in one of production house
iklan dan filem televisi di Jakarta. in Jakarta. He participated in Master
Pernah mengikuti Workshop Master Class workshop Encouraging Indonesia
Class Program Encouraging Indonesia Documentary Program supported by
Documentary yang didukung oleh the Jan Vrijman Fund International
Jan Vrijman Fund International Documentary Film Festival Amsterdam
Documentary Film festival Amsterdam in 2009. Now he manages a community
2009. Saat ini mengelola komunitas yang focusing in producing documentary
fokus memproduksi filem dokumenter, film, and active in media literacy
serta aktivitas pemberdayaan masyarakat empowerment.
melalui video.

61
Agenda: IC 4

Country of Production: Italy


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
60 min, Color, 2012

Ecce Ubu
Luca Ferri (Italy)

Footage-footage yang bersumber dari rekaman- Footages sourced from old recordings that compiled
rekaman lama di susun sedemikian rupa hingga in such way to produce a fascinating cinematic
menghasilkan pengalaman sinematik yang experience. In Ece Ubu, images composed
memukau. Dalam filem Ece Ubu, gambar-gambar accurately. With the mathematically measurement,
itu disusun secara terukur. Dengan hitungan yang those new images inserted, which then configurated
matematis, gambar-gambar baru diselipkan, yang the pattern, so that created unexpected surprise.
kemudian membetuk pola, hingga melahirkan -Hafiz
kejutan yang tak terduga.
-Hafiz

Luca Ferri (Bergamo, 1976) bekerja Luca Ferri (Bergamo, 1976) works
dengan gambar dan teks. Saat 2005 on images and words. In 2005/2008
hingga 2008 dia menyutradarai filem he directed short, medium and
berdurasi pendek, sedang dan panjang feature-length films that took part
yang diikuti berbagai kompetisi in competitions and were hosted in
dan eksebisi. Saat 2011 Magog (atau exhibitions. In 2011 Magog [or Epiphany
Epiphany of The Barn Owl) ditayangkan of The Barn Owl] was screened in
di Bergamo; tahun 2012 filem tersebut Bergamo; in 2012 it has been selected for
terpilih untuk beberapa festival filem, some film festivals, such as 48th Mostra
seperti Mostra Internazionale del Nuovo Internazionale del Nuovo Cinema
Cinema (Pesaro). (Pesaro).
www.ferriferri.com

62
Agenda: IC 7

Country of Production: USA


Language: English
Subtitles: Bahasa Indonesia
70 min, Color, 2013

Suitcase of Love and Shame


Jane Gillooly (USA)

Filem puitik ini mereka cipta kisah cinta sepasang This poetic film reconstructs the love story of a
kekasih di tahun 60an yang ditemukan di internet. couple in the 60s, found in the web pages of the
Dalam 70 menit, Suitcase of Love and Shame internet. In 70 minutes, Suitcase of Love and
menyelam dalam dialektika problematis antara Shame delves into the dialectics of private and
persoalan privat dan publik. public matter.
Penuturan dilakukan melalui ‘bunyi-bunyi Storytelling primarily unfolds through an
temuan’. Menariknya, visual filem tidak menjadi aural catalogue from found objects. Intriguingly,
sebuah latar atau pendukung bunyi, tapi alur narasi the visual does not become a mere accomplice for
tersendiri yang melukiskan ‘perselingkuhan’ antara the sounds, but evolves into a peculiar portrayal of
gambar diam (still images) dengan gambar bergerak the interaction between still and moving images,
(moving images), antara masa lalu dan sekarang between media landscapes of the past and the
dalam dunia media yang berbeda. present.
-Mahardika Yudha -Mahardika Yudha

Jane Gillooy adalah seorang pembuat Jane Gillooly is a non-fiction and


filem non-fiksi dan filem naratif. Banyak narrative film/video maker her work
mempelajari sejarah filem, filem bisu is inspired and informed by a century
dan sinema-sinema kuno. Dia berusaha of non-fiction filmmaking, silent and
melintasi batas baru dan menghadapkan vintage cinema, and activism. Gillooly
subyek baru dengan visi khasnya. consistently surprises as she crosses new
boundaries and confronts new subjects
with her distinctive vision.

63
Agenda: IC 1

Country of Production: The Netherlands


Language: Dutch, French, Vietnamese,
Bahasa Indonesia
Subtitles: English
143 min, Color, 2011

Je Vie Dans le Rêve de ma Mêre (I Live in the Dream


of My Mother)
Jan Willem van Dam (The Netherlands)

Dokumenter ini merekam perjalanan seorang anak This documentary records the journey of a boy,
kecil, yang juga adalah biografi Jan Willem van which also serves as a biography of the filmmaker,
Dam, sang sutradara. Kisah filem ini adalah mimpi Jan Willem van Dam. The story of the film is a
dan harapan sang ibu terhadap anaknya untuk collage of hopes and dreams of his mother, who
mencari makna hidup dari banyak tempat dan encouraged her son to pay attention to lessons in
perjumpaan dengan orang-orang. meanings hidden in places and brief encounters
Perjalanan Van Dam juga menjadi renungan with people he met.
akan gejolak politik dan kulturil beberapa negara Van Dam’s journey, through some clever
Eropa dan Asia. Pembuat filem mengambil layerings, becomes an amalgam of reflections on the
beberapa tokoh dari masing-masing negara, sebagai political and cultural struggle of several Asian and
representasi dan alusi pernyataan sosial politiknya. European nations. The filmmakers picks various
Dalam beberapa adegan, muncul semacam interupsi figures from each nation, as the mouthpiece of his
mengenai kebimbangan antara perihal filem dan political statements. In several scenes, the film takes
perihal kenyataan, termasuk di dalamnya perkara a turn into the realm of ambiguity, questioning the
kapan filem dimulai. real and the imaginary, and also questioning when
-Akbar Yumni a film truly starts.
-Akbar Yumni

Jan Willem van Dam adalah pembuat Jan Willem van Dam is a Dutch
filem, produser dan organizer festival filmmaker, producer and organized a
filem serta pementasan filem asal filmfestival and filmhappenings.
Belanda.

64
Agenda: IC 5

Country of Production: Italy


Language: Italian
Subtitles: English
60 min, Color, 2011

Old Cinema, Bologna Melodrama


Davide Rizzo (Italy)

Sinema sedang sekarat di kota Bologna. Penonton Cinema is dying in the city of Bologna. The
dibawa ke masa kejayaan sinema di Bologna audience was brought to the heyday of cinema in
kembali ke puluhan tahun ke belakang melalui Bologna decades back then through interviews with
wawancara dengan para saksi mata yang notabene eyewitnesses who incidentally at that time were
adalah penonton filem setia saat itu. Orang-orang devoted moviegoers. Those old folks are not just
tua tersebut bukan hanya bercerita tentang filem- talked about movies they love, but also about their
filem yang mereka cintai saja, namun juga tentang personal experiences that made them love cinema
pengalaman-pengalaman pribadi yang membuat and the differences with the current moviegoing
mereka cinta sinema dan perbedaan dengan culture. Affecting but not cloying, sentimental but
budaya menonton saat ini. Mengharukan tapi not maudlin, Old Cinema, Melodrama Bologna is
tidak menjemukan, sentimental tapi tidak cengeng, a way to glue back a certain matter, the magic and
Old Cinema, Bologna Melodrama adalah sebuah spell of cinema.
perjalanan merekat kembali tentang suatu perihal, -Yuki Aditya
yaitu sihir dan mantra sinema.
-Yuki Aditya

David Rizzo, menyelesaikan Masternya Davide Rizzo completed his Master’s in


di Modern Letters pada 2006 dengan Modern Letters in 2006 with a thesis on
tesis tentang kesusastraan para tahanan the literary activities of inmates in Italian
di penjara-penjara Italia, dari University prisons, from the University of Bologna.
of Bologna. Pada 2004 dia bersama In 2004 he founded with Adam Selo
Adam Selo (penulis-sutradara) dan (writer-director) and Alessandra Cesari
Alessandra Cesari (koordinator proyek) (project co-ordination) the cultural
perkumpulan kultural Elenfant Film association Elenfant Film dedicated to
yang didedikasikan bagi promosi hak the promotion of human rights through
asasi manusia melalui seni sinema. the art of cinema.

65
Agenda: IC 6

Country of Production: Japan


Language: Japanese
Subtitles: English
65 min, Color, 2013

Sacrifice a Flower
Hasumi Shiraki (Japan)

Sacrifice a Flower merupakan dokumenter melalui Sacrifice the Flower is a documentary film with
pendekatan eksperimental. Hampir seluruh bidikan experimental approach. Almost all the shots in
pada karya ini nyaris menciptakan representasi yang this work almost create distorted representation
didistorsi dari impresi sang pembuat. Beberapa of the creator’s impression. Several attempts to
usaha mendistorsi realitas pada Sacrifice a Flower distort reality in Sacrifice a Flower are done with
berupa bidikan-bidikan yang cukup membiaskan, refracted shots, and some with editing the collage.
dan beberapa pembiasan dilakukan dengan The work is divided into eight segments. Each
melakukan kolase gambar. Karya ini terdiri dari segment has different theme, either about certain
delapan bagian dengan masing-masing subjudul situation or specific location, which has a very
yang mentematiskan situasi atau tempat tertentu, personal relationship with the filmmaker. For
yang memiliki hubungan yang sangat personal example two segments which titled “Black is Island”
dengan sang pembuat. Seperti pada subjudul “Black and “Empty”, are depictions of the filmmaker’s
is Island” dan “Empty”, merupakan penggambaran grandfather’s birthplace. Sacrifice a Flower is a
dari tempat kelahiran kakek sang pembuat. work of experimental documentary which put great
Sacrifice a Flower merupakan karya dokumenter importance on the form and personal vision rather
eksperimental yang sangat mementingkan tentang than its actuality.
bentuk dari visi personal ketimbang aktualitas. -Akbar Yumni
-Akbar Yumni

Hasumi Shiraki lahir di Hokkaido, Hasumi Shiraki was born in Hokkaido,


Jepang. Pindah ke Yokohama, Jepang Japan. Moved to Yokohama, Japan when
ketika dia berumur 3 tahun. Dan di I was 3 years old. In 17 years old I went
umur 17 tahun dia pergi Melbourne, Melbourne, Australia for a year. Then
Australia selama setahun. Kemudian dia I had got interested in making films in
tertarik membuat filem. Setelah pulang there. After came back to Japan, entered
ke Jepang, dia memasuki TAU untuk TAU for study about film making. Last
belejar tentang pembuatan filem. Dan ia March I graduated TAU.
lulus di TAU.

66
Agenda: IC 8

Country of Production: Spain


Language: Khmer
Subtitles: English
52 min, Color, 2013

La Visita (The Visit)


Fany de la Chica (Spain)

Berkisah tentang kehidupan pendidikan anak-anak The Visit narrates the lives of disabled children in
penyandang cacat di Sekolah Luar Biasa Arrupe Arrupe Centre, Cambodia. This film attempts to
Centre, Kamboja. Filem ini mempertemukan confront perspectives between the modern and the
perspektif generasi moderen dan generasi feodal, older generation, between Ratita and her mother,
antara Ratita dan ibunya, tentang ‘kebudayaan tani’ on the matter of agriculture in their society.
di lingkungan mereka. Ratita sees education as the one and only way
Ratita melihat pendidikan sebagai satu- to preserve and develop the culture of agriculture
satunya cara untuk mempertahankan dan in their society. Her mother, however, has a more
mengembangkan ‘kebudayaan tani’. Tapi, sang pragmatic approach. “Why don’t you just buy some
ibu berpendapat lain, “Kenapa kamu tidak beli pieces of land and grow paddy on them?”
sawah untuk menanam padi saja?” Southeast Asia, and most of Asia, is renowned
Asia Tenggara dan juga sebagian besar as agricultural society. Farming is perceived not
masyarakat Asia dikenal sebagai masyarakat only as economic, but also cultural matters.
tani. Bertani tidak hanya dilihat sebagai persoalan -Mahardika Yudha
ekonomi, tetapi juga kebudayaan.
-Mahardika Yudha

Fanny de la Chica (Jaén, Spanyol, 28 Fany de la Chica (Jaén, Spain,


Desember 1984) adalah seorang pembuat 12/28/1984) is an Andalusian filmmaker
filem Andalusia yang tinggal di London. based in London. She did an MA in
Dia lulus MA di Documentary pada Documentary at the Royal Holloway
Royal Holloway University of London. University of London. Her first short
Karya pendek dokumenternya “Round documentary “Round Trip” was funded
Trip” yang dibiayai oleh Spanish Culture by the Spanish Culture Ministry, pre-
Ministry, pra-seleksi untuk Goya selected for the Goya Awards -Spain and
Award-Spanyol dan siaran TV. Untuk broadcast on TV. For the last four years
empat tahun terakhir ia bekerja paruh- she has been working also as a freelance
waktu untuk membuat video perusahaan, on corporate videos, music videos and
video musik, reportase untuk VPRO reportages for VPRO (Netherlands
(TV publik di Belanda). Saat ini ia public TV) . At the moment she works
bekerja di Contentive yang berada di for Contentive company based in
London, dan juga sedang menyelesaikan London making corporate videos and
karya dokumenter berikutnya Land of prepares her next documentary Land of
Olive Trees. Olive Trees.

67
Agenda: IC 9

Country of Production: Spain


Language: Catalan, German, French,
Spanish
Subtitles: English
52 min, Color, 2011

Lejos de Saint Nazaire (Far From Saint Nazaire)


Lluc Güell (Spain)

Dokumenter ini merupakan napak tilas perjalanan This documentary retraces the winding paths
seorang serdadu Jerman, Ernesto Fleck, yang taken by Ernsesto Flack, a German soldier, when
pada pada Agustus 1944 berada di pantai he tried to run away from the Allied forces in
Atlantik Perancis, melarikan diri dari Sekutu August 1944, one of the cruelest year in World
dan berusaha mencapai Strasbourg. Adalah sang War II. It is the grandson of Ernesto and also
cucu dan juga sutradara filem ini, Lluc G Fleck, the director of this film, Lluc G Fleck, who does
yang melakukan perjalanan napak tilas. Perjalanan the journey of rediscovery. The journey is done
dilakukan berdasarkan catatan harian, arsip-arsip according to personal notes, archives of photos,
foto, serta kesaksian-kesaksian beberapa orang and testimonials from several people who lived
yang mengalami masa kelam pendudukan Nazi under Nazi Occupation during World War II.
pada Perang Dunia II. Salah seorang narasumber Among them is Lluc’s grandmother, who tells
adalah sang nenek, yang menceritakan bagaimana how his beloved husband insisted that fighting for
suaminya menegaskan kalau membela Jerman dan Germany and serving Nazi is not the same thing.
melayani Nazi bukanlah hal yang sama. -Akbar Yumni
-Akbar Yumni

Lluc Güell (Barcelona, Spanyol, 2 Lluc Güell (Barcelona, Spain,


November 1983). Dia lulus dari ESCAC 02/11/1983) He graduated from ESCAC
(Film School of Catalonia) pada tahun (Film School of Catalonia) in 2008.
2008. Semenjak dia berpartisipasi pada Since then, he has participated in various
berbagai macam proyek audiovisual di audiovisual projects in the field of
bidang televisi dan filem dokumenter. television and documentary films. As a
Proyek akhirnya, dia membuat sebuah final project, he made a short film about
filem pendek tentang hubungan manusia human relations in extreme situations
dalam situasi yang ekstrem (Camas (Camas Calientes, A shared Bed), and a
Calientes, A Shared Bed), dan sebuah documentary film about the years that
filem dokumenter tentang masa-masa his grandfather spent in the Second
sang kakeknya mengalami Perang Dunia World War on the german side (Far from
ke-2 di Jerman. Saint Nazaire).

68
Agenda: IC 2

Country of Production: France


Language: French
Subtitles: English
94 min, Color, 2012

Le Bonheur... Terre Promise (Happiness... Promised Land)


Laurent Hasse (France)

Happiness…Promised Land, berkisah tentang sang Happiness…Promised Land, tells about the film
sutradara sendiri, Laurent Hasse, yang secara director himself, Laurent Hasse, who traveled
spontan melakukan perjalanan di Prancis dari from Southern France up to the Northern. This
Selatan ke Utara. Dokumenter ini menyibak respon documentary is asking the response of some people
beberapa orang yang dijumpai secara spontan. whom he encountered spontaneously.
Perjalanan berakhir pada perjalanan di KM His journey ends at 1.500th KM (Kilo Meters),
1.500, di sebuah tempat bernama Dunkerque. in a place called Dunkerque. spent more than 90
Dalam proses perjalanan sang sutradara yang days. The documentary is never showing the ‘real’
menghabiskan waktu 90 hari lebih. Dokumenter face of the filmmaker, but only his shadows and
ini sama sekali tidak memperlihatkan wajah ‘nyata’ his voice. Overall it tells about how people create
dirinya sendiri, hanya bayangan dan suaranya. their own story, about their profession, and the
Dokumenter perjalanan ini, secara keseluruhan environment they live in. Sort of a reflection of the
menceritakan tentang bagaimana orang- daily life through the people he met, in anywhere
orang mengkisahkan dirinya, profesinya, dan or anyplace spontaneously.
lingkungannya. Semacam merenungkan tentang -Akbar Yumni
kehidupan melalui keseharian mereka, dan semua
berlangsung dengan spontan.
-Akbar Yumni

Laurent Hasse adalah pembuat filem Laurent Hasse Documentary filmmaker


dokumenter untuk televisi sejak 1996. for television since 1996. Laurent Hasse
Dia juga sutradara untuk video konser is also director for the screening of
(tayangan langsung televisi dan edisi concerts (live tv show & DVD edition).
DVD). Happiness… Promised Land Happiness ... Promised Land is his 1st
adalah karya filem feature panjangnya feature length film for movie theaters.
untuk bioskop filem.

69
Agenda: IC 10

Country of Production: Croatia


Language: Croatian
Subtitles: English
44 min, Color, 2013

Polaziste za Cekanje (The Waiting Point)


Maša Drndic (Croatia)

Bercerita mengenai kehidupan di sebuah terminal A story about life in a small and crowded terminal
kecil dan sesak di Kroasia yang akan mengalami in suburb Croatia which will undergo major
renovasi besar dalam rangka Kroasia masuk ke renovation in order to prepare Croatia’s entering
Uni Eropa. Bayang-bayang modernisasi membuat into the European Union. Modernization shadows
terminal ini dengan segala aktivitasnya menjadi haunts the terminal and its inhabitants as a meeting
sebuah persimpangan antara yang ‘lama’ dan yang point between the ‘old’ and the ‘new’.
‘baru’. -Bunga Siagian
-Bunga Siagian

Maša membuat filem pertamanya dalam Maša made her first documentary in
workhsop dokumenter yang diadakan Documentary workshop held by Atelier
Atelier Varan, di Belgrade, Serbia, Varan in 2007 in Belgrade, Serbia.
pada 2007. Dokumenter otobiografi an-autobiography “My Belgrade” and
My Belgrade, setelah itu memutuskan decided to continue with filmmaking.
untuk menjadi pembuat filem. Setelah After gaining her MA Degree in arts
mendapatkan gelar MA untuk seni dia she enrolled in MA in cinematography
melanjutkan untuk gelar MA di bidang at BFM, Estonia in 2008. In her works
sinematografi pada BFM, Estonia as a director Maša often focuses on
pada 2008. Maša sering memfokuskan relationship between locations and its
pada hubungan antara lokasi dan para inhabitants, exploring individual as well
penduduknya, eksplorasi individu as collective expressions of identity,
sebagaimana ekspresi identitas, belonging, memories, dreams and
kepemilikan, memoria, mimpi dan desires.
hasrat kolektif.

70
71
program:
Kuratorial

72
program:
Curatorial

73
Agenda: 24/8, kineforum

“Kepengarangan”
dalam Dokumenter
Petit à Petit (Usaha Dagang
“Petit à Petit”, 1968-1969)
kurator: Akbar Yumni

Kepengarangan (authorship) merupakan ranah yang berpeluang untuk


disentuh dalam perbincangan mengenai sinema dokumenter kekinian.
Selama perkembangannya, upaya-upaya bagi sinema dokumenter kini
bukan melulu suatu kesetiaan akan hal-hal yang menyingkap ‘realitas’,
namun boleh jadi, malahan mempertanyakan ‘realitas’ itu sendiri demi
menangkap relung terdalam pengalaman manusia yang mendiami realitas
itu. Dalam sejarah sinema, kepengarangan yang dipelopori oleh para
sutradara “gelombang baru” (nouvelle vague) Prancis 1960an menjelaskan
visi individual sutradara dalam mewujudkan bahasa sinema sehingga
kesetiaan akan hal-hal estetis di situ benar-benar berdasar pada kepekaan
sang pembuat filem layaknya seorang pengarang roman. Dokumenter,
pada dasarnya adalah ‘perlakuan kreatif atas aktualitas’, dan hal ini
seringkali ditafsirkan sebagai sikap takzim akan peristiwa-peristiwa
aktual kala memandang momen realitas itu. Di sinilah, Jean Rouch
menjadi sosok penting dalam khasanah dokumenter yang membuka
peluang pemanfaatan fiksi secara diskursif guna mencapai gambaran
filemis dari realitas tertentu yang diungkapkan. Dalam pergulatan

74
sinematisnya, penggunaan fiksi pada karya-karya dokumenter Rouch
justru lebih dapat menangkap realitas dalam pengertiannya yang paling
dalam melalui aktualitas pengalaman psikologis dari subyek yang
‘difiksikan’ secara filemis, sembari mempertanyakan ‘realitas’,dan bahkan
sinema dokumenter itu sendiri. Usaha-usaha akan kepengarangan ini
menjadi suatu cara pandang baru dalam memandang ‘kebenaran’ dalam
sinema dokumenter.

Pengalaman Modernitas para Native Afrika (Sinopsis)


Usaha Dagang: Petit à Petit merupakan “sekuel etnografis” dari karya
Rouch sebelumnya, Jaguar (1957-1967). Digarap dengan skenario yang
turut diimprovisasi oleh aktor-aktornya, narasi Petit à Petit mendedah
petualangan dan perjuangan sekelompok kecil pengusaha Niger, yaitu
Damoure, Illo, dan Lam dalam usaha mereka membangun ekonomi-
niaga di tingkat lokal yang dinamai “Petit à Petit” (Kecil-Kecilan). Latar
belakang tradisional mereka, tampaknya menjelaskan posisi tersebut.
Awalnya, Illo hanyalah seorang pemancing, dan Lam penggembala.
Bertekad memajukan usaha, tokoh-tokoh ‘pos-kolonial’ ini berniat
membangun sebuah gedung bertingkat sebagai tempat usaha mereka.
Untuk itu Damoure terbang ke Paris guna melihat dan menjajaki
pembangunan gedung bertingkat, sekaligus bersua dengan fenomena
kehidupan moderen kosmopolitan.
Paris telah menakjubkan Damoure, juga Lam yang kemudian
menyusulnya, dan kedua migrator seketika itu pula mengalami kejutan
budaya. Tanpa sengaja, Damoure melakukan ‘eksperimen etnografis’
dalam mengenali orang Paris sambil merasakan tanggapan mereka
mengenai keberadaan Damoure sendiri. Dalam pandangannya, betapa
orang Paris melakukan suatu kamuflase antar jender, dan strategi
dokumenter filem ini membuat kita melihat jembatan bagi jurang dua
kebudayaan, kolonial dan pos-kolonial, terhadap pertukaran identitas
sosial sebagian warga kosmopolitan dalam perkenalan mereka dengan
tiga orang sesama asal Niger. Bersama-sama, mereka akhirnya merupakan
satu komunitas kecil yang kembali ke Niger demi melanjutkan usaha
Petit à Petit. Kelompok baru ini memutuskan untuk menjalani kehidupan
di negeri asal budaya mereka, kendati upaya ini tidak semudah yang
dibayangkan. Praktik modernitas yang coba diterapkan membuat orang-

75
orang baru tersebut memikirkan ulang identitas dan keberadaan mereka
melalui kejemuan dan perasaan tak nyaman sehingga tinggal Damoure
dan Lam yang kembali ke upaya semula untuk membangun peradaban
mereka sendiri dengan cara yang lama.
Dalam filem ini, Rouch mencoba memberi keleluasaan pada
tokoh-tokohnya, terutama Damoure dan Lam, untuk berpartisipasi
dalam ruang konstruksi dokumenter ini guna melacak sejarah penindasan
mereka, khususnya terkait dengan pengaruh-pengaruh sejarah kolonial
Afrika sesudah kemerdekaan. Kisah mereka sebenarnya menggarisbawahi
benturan antara “tradisi” dan “modernitas” yang berlangsung di Afrika
pasca koloni, dan dalam narasi filem ini ditunjukkan lewat kegagalan
Damoure menjalankan usaha Petit à Petit secara profesional dan moderen.
Secara naratif, filem ini berakhir sama seperti awalnya ketika Damoure
memakai kuda sebagai sarana transportasi. Ideologis, ini menunjukkan
bahwa eksistensi Damoure berawal dari kesadaran tradisional, yang lalu
di pertengahan kisah, mengalami proses modernisasi selama berada di
Paris, dan kemudian berakhir ke alam tradisional.

Kebenaran Dokumentris sebagai Kebenaran ‘Filemis’


Jean Rouch adalah etnografer yang berpandangan bahwa tak ada batas
antara dokumenter dan fiksi. Disaat yang sama ia juga menganggap
bahwa sesungguhnya tidak ada objektivitas sinema. Rouch mengandaikan
bahwa ‘realitas sebagai kehidupan’ merupakan sesuatu yang tak sepandan
dengan keperihalan akan yang ‘nyata’ atau ‘kebenaran’. Pengalaman-
pengalaman pasca jajahan yang dialami komunitas-komunitas bangsa
Afrika adalah kenyataan yang demikian ‘subtil’, hasil perbenturan
peradaban yang membutuhkan kemungkinan-kemungkinan sureal yang
bisa digali dalam memposisikan kondisi-kondisi pasca koloni di Afrika.
Secara kasat mata, realitas pasca koloni yang demikian adalah realitas
yang masih diselubungi dampak-dampak kekuasaan kolonial. Apa yang
dimaksudkan Rouch tentang ‘realitas sebagai kehidupan’,yakni bagaimana
realitas tersebut dikonstruksi berdasar kemungkinan-kemungkinan
psikologis dari pengalaman represif di masa kolonial ketika tiba saatnya
harus menghadapi kekiniaan.
Dalam Petit à Petit, kemungkinan-kemungkinan psikologis
tersebut nampak pada adegan cemburu sang pribumi Niger sekretaris

76
Damoure kepada Ariene si pendatang dari Paris yang sama-sama bekerja
sebagai sekretaris tetapi bergaji jauh lebih besar dari si pribumi. Atau
pada adegan kecanggungan Lam melihat Safi –juga pendatang dari
Paris– berpakaian seronok memperlihatkan bagian dadanya sehingga
Lam berada dalam posisi kemoralan native dengan kebebasan ala Paris.
Siasat-siasat pengisahan dalam Petit à Petit maupun dalam beberapa
karya Jean Rouch, merupakan upaya penyingkapan atas patologi-patologi
psikologis para protagonis yang hidup di antara pengalaman keterjajahan
mereka dengan modernitas yang sedang mereka ikuti. Siasat-siasat
tersebut juga menjadi semacam eksperimen untuk melihat respon-
respon perbenturan antara modernitas dan tradisionalitas, pengalaman
keterjajahan serta situasi pasca koloni di wilayah lokal. Eskperimen
Rouch dalam mengeksplorasi perbenturan budaya seperti itu juga
diperlihatkan pada adegan ketika Damoure melakukan “pengenalan
etnografis” terhadap sejumlah orang Paris dengan cara memeriksa
bagian-bagian tubuh mereka.
Petit à Petit adalah etno-fiksi yang menghadirkan subyek lewat
percobaan-percobaan menempatkan tokoh pada situasi dan naratif
tertentu untuk mencapai momen-momen diskursif sinema dokumenter.
Dalam etno-fiksi tersebut, pemerihalan konstruksi gambar diciptakan
melalui dan bersama dengan keterlibatan tiap subyek, misalnya, pada
adegan Damoure memandang Paris dari ketinggian, persis ketika saat
itu Paris baginya bukan lagi sekedar menara Eiffel atau kubur Napoleon
dalam gambar-gambar kartu pos kota itu. Konflik-konflik imaji dan
psikologis tentang modernitas dari pengalaman Damoure adalah semacam
etno-fiksi yang notabene adalah pengalaman sang aktor itu sendiri.
Untuk menemukan momen-momen yang demikian dari tokohnya,
Rouch berupaya memasukkan struktur dan siasat pengisahan yang
berasal dari pengalaman aktor-aktor native itu sendiri sebagai metode
demi mencapai relung terdalam pengalaman modernitas Damoure,
misalnya. Pada titik inilah, ‘Kepengarangan’ memiliki relevansi yang
penting bagi khasanah dokumenter yang mencoba menangkap realitas
paling konstruktifnya manakala perlakuan kreatif atas aktualitas tidak
sekadar cukup melalui bidikan-bidikan (shot) dan bingkaian (frame)
kamera, akan tetapi juga dalam hal bagaimana memperlakukan dan
memandang realitas itu sendiri.

77
Bagi Jean Rouch, tak ada ‘kebenaran murni’ kecuali ‘kebenaran
filemis’. ‘Kebenaran sinema’ pada Jean Rouch, ini sebenarnya tidak terlepas
dari pengaruh Dziga Vertov dengan kino-pravda (sinema-kebenaran)-nya.
Rouch merenungkan ulang makna kebenaran pada kino-pravda Vertov,
dan berpandangan bahwa bidikan-bidikannya yang langsung hadir pada
realitas, sesungguhnya bukan suatu ‘kebenaran murni’, melainkan lebih
sebagai ‘kebenaran filemis’. Kebenaran dalam sinema adalah ‘kebenaran
filemis’ karena,pada fitrahnya,itu sudah melekat sebagai kodrat sinema
dalam membentuk cara pandang tertentu. Demikian pula halnya cinéma
vérité, sesungguhnya ia bukan ‘kebenaran’ objektif dalam filem,karena
media itu sudah mengandaikan suatu klaim yang berasal dari satu
abstraksi tertentu. Perbincangan soal kebenaran dalam dokumenter,
sungguh tak terlepaskan dari dunia pengetahuan sinema. Sebagai barang
seni, fitrah‘realitas’ yang dimasukkan ke dalamnya mustahil kembali
untuk berlaku ‘murni’lantaran dengan seketika itu juga ‘realitas’ itu
sudah terperangkap dalam ideologi-ideologi seni sinema.Dalam kisah
Petit à Petit itu sendiri, gambaran sebagaimana dicontohkan pada
Damoure menunjukkan tampilnya satu entitas budaya tertentu yang
senantiasa dalam tegangan antara modernitas dan tradisionalitas yang
diwujudkan melalui konflik antara keperihalan-keperihalan ‘fiksi’ dengan
‘dokumentariitas’demi menyentuh impresi-impresi akan kebenaran.

Kamera Sebagai ‘Kehadiran’ dan ‘Pihak Ketiga’.


Seturut sejarah dokumenter, Rouch memandang Robert Flaherty
sebagai khasanah etnografis, dan Dziga Vertov sebagai khasanah
sosiologis. Flaherty lah ilham Rouch untuk menempatkan kamera sebagai
‘pihak ketiga’. Dalam Nanook of The North (1922), sutradara mampu
menangkap pergulatan kemanusiaan masing-masing anggota komunitas
Eskimo sebagai individu yang berhadapan dengan alam. Kepiawaian
Flaherty dalam menyingkapkan sejarah alamiah ini disebabkan oleh
penempatannya atas kamera sebagai “pihak ketiga”. Pengandaian ini
memungkinkan adanya “observasi partisipan” (participant observation)
dan timbal-balik (feedback)”. Dalam bahasa Luc de Heusch, “obeservasi
partisipan” adalah wujud “kamera partisipatoris” (participatory camera)”,
yang memainkan peran penting dalam mengisi peluang-peluang dialogis
antara kamera dengan subyek. Rouch mengembangkan “kamera

78
partisipatoris” sebagai semacam metode refleksi timbal-balik antara
hasil bidikan dan peran subyek dalam mengkonstruksi gambar.
Kamera sebagai “pihak ketiga”, ini secara niscaya juga
mengandaikan kamera sebagai kehadiran yang dengan itu Rouch
merefleksikan perannya sebagai sutradara manakala selama proses
pembidikan ia benar-benar berada di lokasi. Di situlah, keberadaan
kamera menjadi semacam ‘pihak ketiga’ yang memberi pengaruh terhadap
interaksi yang dimungkinkan oleh para aktornya dalam meresponsi
lokasi dari lingkungan kehidupannya. Kehadiran kamera, bagi Jean
Rouch adalah stimuli, akselerasi, bahkan katalisasi, sedemikian hingga
kamera sebagai “pihak ketiga” sejajar dengan kehadiran sang etnografer
sendiri. Pada posisi demikian, kehadiran kamera menjadi momentum
pengungkapan diri kaum native tentang pengalaman represi kolonial dan
benturan budaya. Rouch memainkan proses penyingkapan ini sebagai
sebentuk pengisahan pada sinema yang secara bebas memilih keperihalan
‘tematik’ maupun diskursif terkait pengalaman aktual kaum native.
Pada hakikatnya, “kamera partisipatoris” adalah sebentuk
pendekatan etnografis yang mengandaikan sejenis momen etis bagi
proses-proses representasi. Rouch mengembangkan ide ini menjadi
anthropologie partagee atau shared anthropology, yang bisa juga disebut
dengan antropologi egaliter atau antropologi reflektif. Antropologi
egaliter merupakan momen etis karena mengandaikan adanya upaya-
upaya bagi pihak yang direpresentasikan (dalam kasus ini, kaum
pribumi Afrika) untuk bersama-sama terlibat dalam proses representasi
tentang diri mereka sendiri. Secara metodis, antropologi egaliter adalah
hubungan timbal-balik (feedback), antara yang direpresentasikan dan yang
merepresentasikan. Rouch sendiri juga menyebut antropologi egaliter
ini sebagai contre-don audiovisuel (timbal-balik audiovisual). Dalam
perkembangannya, model keterlibatan pihak yang direpresentasikan
dalam proses representasi bersama dengan pihak yang merepresentasikan,
adalah usaha untuk mencapai semacam ‘totalitas’ gambar atau semangat
untuk menangkap ‘totalitas fakta sosial’. Secara tidak langsung, metode
timbal-balik dalam proses representasi ini mengingatkan pada diskursus
antropologinya Marcel Mauss (1872-1950) tentang konsep pemberian
(gift) sebagai bentuk pertukaran mengikat yang melestarikan keberadaan
masyarakat.

79
Antropologi egaliter juga adalah semacam kritik terhadap model-
model pendekatan antropologi visual atau dokumenter antropologi yang
sekedar memuat laporan tentang dan dari ‘yang liyan’ tanpa kehadiran
sang antropolog, kecuali hanya menyusun pengarsipan pasif lantaran
telah mengobjektifasikan ‘yang liyan’. Antropologi egaliter sebagai
teorema dari antropologi reflektif dapat terwujud karena mengandaikan
hubungan timbal balik antara pembuat filem dengan subyek yang
difilemkan. Dalam tradisi sinema dokumenter sejak Lumière seolah
menciptakan ilusi ketidakhadiran kamera untuk menangkap aktualitas
‘kenyataan’, di sini terjadi semacam “pencurian reflektif ” atas bidikan-
bidikan gambar yang dihasilkan.
Rouch selalu mengabarkan kepada para subyeknya bahwa mereka
sedang dibidik. Ini dilakukan sebagai usaha mendapatkan ontentisitas
gambar, atau secara lebih essensial lagi, adalah demi menghindari
sang ‘pencuri’ refleksi atas kehidupan. Pendekatan ini mungkin bisa
dilihat pada adegan ketika Damoure berada di bandara di Niger untuk
terbang menuju Paris, serta ketika Safi berada di pasar berbelanja bahan
pakaian. Pada adegan-adegan tersebut nampak bagaimana orang-orang
merespon para aktor yang sedang dibidik. Tentu terdapat hal berbeda
dalam skema perekaman model Rouch ini yaitu ketika subyek gambar
merasa lebih sadar saat tengah direkam, subyek juga merasa sedang
berada dalam sejenis interogasi sadar mengenai perilaku dan gerak
mereka. Bahkan dalam beberapa pendekatannya, Rouch menempatkan
proses “timbal-balik (feedback)” dari subyek representasi sebagai upaya
bersama dalam mengkonstruksi gambar. Dalam hal ini, keperihalan
akan teknologi filem juga menjadi hal yang amat dipertimbangkan oleh
Jean Rouch. Seturut Edgar Morin, “Kita tidak dapat memisahkan image
dari kehadiran dunia di dalam diri manusia dan kehadiran manusia di
dalam dunia. Image adalah medium yang resiprokal.”
Gagasan dan karya Jean Rouch adalah kelanjutan dari proyek
‘Museum Manusia’ yang dalam tradisi sebelumnya banyak dilakukan
oleh kalangan etnografer. Dalam proses perkembangan atas gagasan ‘ke-
disana-an’, ketika kelahiran kamera menjadi sebuah cara pandang baru
terhadap realitas, Rouch meluaskan khasanah etnografi baru melalui
kamera yang dianggap memiliki keterkaitan etis serta kemungkinan-
kemungkinan lebih subtil tentang pengalaman psikologis terhadap

80
proses representasi. Keterkaitan etis inilah, yang bagi Rouch sendiri,
kamera sengaja dihadirkan kepada subyek gambar, baik sebagai satu
entitas tertentu dari sebuah dunia maupun jendela untuk melihat dunia.
Melalui penghapusan batas terhadap keperihalan dokumenter maupun
fiksi, Rouch secara bebas mengembangkan kepengarangan dalam etno-
fiksinya guna memperoleh kegairahan diskursif dalam gambar-gambar
sinematisnya.
Petit à Petit merupakan salah satu dari karya-karya penting
Rouch, terutama mengenai pengalaman para native Afrika dalam
menghadapi dan menanggapi modernitas. Rouch melakukannya
dengan cara antropologi egaliter, dimana konstruksi gambar tersusun
berdasarkan pengalaman para native atau pemain-pemain itu sendiri.
Konstruksi-kontruksi sinematis oleh Rouch menjadi upaya untuk
mencapai diskursus visual tentang etno-antropologis sebagai bentuk
ungkapan naratif filemis dari pengalaman kolonialisme di masa lalu.
Etno-fiksi Rouch memaparkan cara pandang berbeda dari etnografi
melalui kodrat sinema dan kemungkinan-kemungkinan kamera untuk
secara diskursif menangkap kehidupan tentang masyarakat-masyarakat
dunia ketiga (Afrika).
‘Kepengarangan’ dalam sinema dokumenter Rouch, yakni
bagaimana menciptakan kebenaran filemis dalam pencapaian yang
sedemikian tinggi sehingga penggunaan fiksi justru bukan halangan
guna menyibak realitas yang ingin ia tangkap. Alexandre Astruc telah
menyebut nya dengan camera stylo, suatu pembayangan tentang kamera
sebagai pena, yang mengandaikan seorang pembuat filem layaknya
penulis yang dengan bebas menyingkapkan apa yang hendak ia tulis.
Demikianpun Jean Rouch, dengan semangat kepengarangannya ia
berupaya melepaskan diri dari segala hambatan definitif terhadap
pemahaman akan aktualitas dan bahkan realitas demi mencapai diskursus
mengenai kaum Afrika. Merujuk Rouch, “sinema adalah seni kegandaan,
yang siap ditransformasi dari dunia nyata ke dunia imajinasi, dan
etnografi sebagai ilmu tentang sistem pengetahuan akan yang liyan,
adalah sebuah silang nilai permanen dari keuniversalan yang konseptual
ke yang liyan…”.
Akan tetapi, Rouch tidak serta-merta sekadar menampilkan upaya
etis yang masih menyisakan kodrat representasi tentang Eropa maupun

81
Afrika dalam tegangan antara kodrat kenativean versus strategi Barat
dalam memandang ‘yang liyan’. Setidaknya sebagaimana sejarawan filem
asal Prancis sendiri, Georges Sadoul, menyebutkan masalah tegangan
itu sebagai ‘penggambaran duaratus juta orang Afrika yang dikucilkan
dari bentukpaling maju akan seni paling moderen…, representasi tentang
Afrika dalam sinema malahan menjadi suvenir murahan tentang masa
lalu’.

82
Authorship in
Documentary Filmmaking
curator: Akbar Yumni

Authorship is a possible territory to be spoken of in the discussion


of contemporary documentary cinema. In its evolution, documentary
cinema is now no longer on the allegiance to reveal ‘reality’, but might
be to question how ‘reality’ itself captures the human experience who
inhabits that reality. In the history of cinema, authorship was spearheaded
by the French “new wave” (nouvelle vague) filmmakers in 1960s to explain
the personal vision of the filmmaker in creating their own cinematic
language therefore the director’s aesthetic consistency was really based
on the sensitivity of the filmmakers similar to a novel writer. Basically
documentary is ‘creative treatment to actuality’, which is often interpreted
as a respectful attitude to how actual events look at those realities. Herein,
Jean Rouch becomes an important figure in the realm of documentary
film in opening opportunity to use fiction discursively to obtain a filmic
overview of certain reality revealed. In his cinematic struggle, the use of
fiction in Rouch’s film actually can capture reality in its deepest sense
through the actuality of psychological experience of his ‘fictionalized’
subjects cinematically while questioning the ‘reality’ and even the term
of documentary itself. This efforts of ‘authorship’ are somewhat making
a new way of looking at the ‘truth’ in documentary cinema.
Petit à Petit is the “ethnographic sequel” to Rouch’s previous film,
Jaguar (1957-1967). This film is produced on a an improvised scenario by
the actors themselves. Petit à Petit’s narration is exposing an adventure
and struggle of the Niger small entrepreneurs, namely Damoure, Illo

83
and Lam with their attempt to build the local trading company, Petit
à Petit. Their traditional background clarifies that position. At the
beginning, Illo was only just a fisherman, and Lam was a herder. They
have a desire to build multi-storey building as a place to develop and
demonstrate the progress of their trading company. For that, Damoure
then flied to Paris to see and explore possibility to construct the building
in their home land, as well to meet with the phenomenon of modern
cosmopolitan life.
Paris has amazed Damoure, also Lam whom followed him
later, and both migrators immediately experienced the culture shock.
Unintentionally, Damoure conducted ‘ethnographic experiment’
in recognizing the Parisian people while sensing their responses of
Damoure’s own existence. In his view, how the Parisians did the cross-
gender camouflage, and the strategy of this documentary film was to
make us see the bridge between two cultural gaps, colonial and post-
colonial, to social identity exchange in those three fellow Nigerians
meetings with the cosmopolitan citizens. Together they constituted
a small community whom eventually returned to Niger in order to
continue their trading company, Petit à Petit. This new group of people
decided to live in their own country, although it was not as easy as they
had imagined beforehand. The modernity practice trying to be applied,
was making these new people to rethink their identity and existence
through the boredom and uneasy feeling. Therefore Damoure and Lam
returned to their original plan to build their own civilization in old way.
In this film, Rouch gives space to his protagonists, especially
Damoure and Lam, to participate in the construction of his documentary
to trace their history of colonization in their home country, particularly
regarding the impacts of the colonial history in Africa after independence.
Their story actually underscores the clash between “tradition” and
“modernity” that took place in post-colonial Africa, and in the narration
of the film is indicated by Damoure’s failure to run his company Petit
à Petit in professional and modern way. Narratively speaking, the film
ends similarly with its beginning, when Damoure using the horse as a
mean of transportation. Ideologically, this suggests that his existence
was originated from traditional consciousness, which then in the middle

84
of the story underwent a process of modernization while in Paris, and
then ended in the traditional nature.

Truth in Documentary Film as ‘Filmic’ Truth


Jean Rouch was an ethnographer who argues that there is no boundary
between documentary film and fiction films. At the same time Rouch
also assume that there is no such thing as objectivity in cinema. Rouch
presupposes that the ‘reality as life’, is inconsummerate with ‘reality’ or
‘truth’. Post-colonial experiences suffered by the Africans was a very
‘subtle’, and the experience of the results of the clash of civilizations.
It requires surreal possibilities that make sense in describing the post-
colonial condition experienced by the Africans. At face value, post-colonial
reality is a reality that each covered with the effects of colonial rule.
What Rouch wants about ‘reality as life’ is how that reality constructed
based on the psychological possibilities of repressive colonial experience
when facing contemporaneity.
In Petit à Petit, those psychological possibilities appeared at the
scene of Damoure’s secretary who is a native African, felt jealous when
Ariene the migrant secretary from Paris, got much larger salary than
the native.
Or at the scene of Lam’s awkwardness when looking at Safi’s racy
outfit—also a migrant from Paris—showing off part of her breast so
that Lam was in morality position as a native with life style a la Parisian.
The narrative tactics in Petit à Petit, or in Jean Rouch’s other works, is
a way in revealing the psychological pathologies of his subjects whom
has lived between the experiences they have during colonization and
the modernity which they were living in at the moment. Those tactics
are also becoming some kind of experiment to see responses of clash
between modernity and traditionalism, the experience from colonialism
and post-colonial situation locally. The experimentations of Jean Rouch
in exploring culture clash was shown in the scene when Damoure did
“ethnography mapping” to some Parisian, by examining their body parts.
Petit à Petit is an ethno-fiction that presents the subjects through
experimentation by putting them in certain narrative and situation to
obtain discursive moments in documentary cinema. In ethno-fiction,
the construction of images is done with the involvement of the subject.

85
As in the scene when Damoure saw Paris from height. He was amazed
and felt that Paris was not only about the Eiffel Tower and the Tomb of
Napoloen as he saw from the postcard of that city. Conflicts of images
and psychological of modernity experienced by Damoure were sort of
ethno-fiction which incidentally were the actor’s own experience. To
get the experience of his subject, Rouch needed to insert the structure
and finesse narration from those native actors’ experiences, as a ploy
to capture the deepest recesses of Damoure’s own experience towards
modernity. At this point, ‘authorship’ has an important relevance to the
repertoire of documentary cinema in capturing its most constructive
reality, when creative treatment of actuality is not only about shots and
framings, but also how to treat and perceive the reality itself.
For Jean Rouch, there is no ‘pure truth’, but there is ‘filmic
truth’. Cinema truth’ in Jean Rouch’s works actually cannot escape the
influence of Dziga Vertov’s kino-pravda (cinema-truth). Rouch ponders
over the meaning of truth in Vertov’s kino-pravda, and assumes that
his ‘in-situ’ images are actually not a ‘pure truth’, but rather as ‘filmic
truth’. Truth in cinema is ‘filmic truth’ because its tendency already
inherent in the nature of cinema—to establish a particular point of
view. Similarly, the cinema verite, in fact is not an objective ‘truth’ of
film, because the medium has already presupposed a claim coming off
of a certain abstraction. The discourse about truth in documentary film
is indeed can not escape from cinema as a knowledge. As an artwork,
its nature as ‘reality’ captured is impossible to be considered as ‘pure’,
because instantly the ‘reality’ has been caught up in ideologies of the
art of cinema. The subject Damoure in Petit à Petit is an overview of a
presence of certain cultural entity that always in the middle of a tension
between modernity and traditionalism. The tension are realized through
‘fictionalized’ sequences and ‘documentary’ approach to pursue an
impression of truth.

Camera’s ‘presence’ and as the ‘Third Party’.


In the history of documentary, Rouch saw Robert Flaherty in ethnographic
view, and Dziga Vertov in sociological view. Flaherty was his inspiration
for putting the camera as the ‘third party’. In Nanook of the North (1922),

86
Flaherty was able to capture the Eskimos as individuals whom were
dealing with nature. Flaherty’s prowess in revealing human struggle
with nature because he presupposes the camera as the “third party”.
The third party modality allows participant observation and feedback.
In the language of Luc de Heusch “participant observation” is a form
of “participatory camera”, which plays an important role in dialogic
opportunities between the camera and the subject in the picture. Rouch
developed “participatory camera” as a method of mutual reflection
between shots and role of the subject in constructing the image.
The camera as the third party necessarily showed its presence
reflecting Rouch’s role as a director whom deliberately present directly
in the shooting process. It actually had an impact on the interaction
amongst the actors when responding to the environment around them.
The presence of a camera for Jean Rouch became a sort of stimuli,
accelerator and even as catalyst, so that the camera is equal with the
presence of ethnographer himself. The camera became a momentum for
self-disclosure of the native African about their experiences of colonial
repression, and culture clash. Rouch played this disclosuring process as a
form of cinematic narrative, in which he was free to choose the ‘thematic’
subject-matter or discursively regarding his subjects’ actual experiences.
“Participatory camera” is basically a form of ethnographic
approach that relies on ethical moment in the process of representation.
Rouch develops the approach into an Anthropologie partagee; shared
anthropology (anthropology egalitarian), or it could be called as
reflective anthropology. Egalitarian anthropology is ethical moment,
for it assumes the existence of effort represented by his subject (the
African) to engage with the process of self-representation. Methodically,
egalitarian anthropology is a reciprocal relationship (feedback), between
the represented and representing. Rouch himself also considers this
egalitarian anthropology as contre-don audiovisuel (audiovisual reciprocity).
During its development, the model of the subject’s involvement in
the process of making the film was an attempt to get some sort of
‘totality’ of image, or the spirit to capture ‘the totality of social facts’. The
reciprocal method of this representation process is a reminiscent of an
anthropological discourse indirectly. The discourse is by Marcel Mauss

87
(1872-1950) about the concept of giving (gift) as a binding exchange to
preserve the existence of society.
This egalitarian anthropology is a kind of criticism to model of
visual anthropological approach or anthropological documents which only
carried a report of ‘the otherness’ without presenting the anthropologist.
Those criticized methods are merely forming passive archiving because
they simply objectify ‘the otherness’. This egalitarian anthropology is
also called reflective anthropology, Because it assumes on a reciprocal
relationship between filmmakers with the film’s subjects. In the tradition
of documentary cinema since Lumiere seemed to make illusion on the
absence of a camera to capture the actuality of ‘reality’, that kind of
approach is more like “stealing of reflection” of images produced.
Rouch always informed his subjects that they were being observed.
This was done to obtain authenticity of the image, or more essentially to
avoid the reflection ‘stealer’ of human life. This approach might be seen
when Damoure was at the airport in Niger to fly to Paris, and when Safi
were in the market to shop for clothing materials. At those scenes we
could see how people respond to the actors who are being filmed. Sure
there was a difference of Rouch’s recording scheme. The subjects of the
film felt more aware that they were being recorded, so that they also felt
being interrogated and conscious of their behavior and gesture. Even
in some of his approaches, Rouch also used the process of “reciprocal
(feedback)” from the represented subject in constructing the images
together. In this matter, film technology also became something that
was carefully considered by Jean Rouch. According to Edgar Morin,
“We can not dissociate it (the image) from the presence of the world in
man and the presence of man in the world. The image is their reciprocal
medium. “
Jean Rouch’s ideas and works were continuation of the ‘Museum
of Man’ project, which previously was done by many ethnographers.
In the development of the idea of ‘contextuality’, when the camera was
born as a new perspective to look at reality. Rouch broadened a new
ethnography repertoire through a camera that was considered having
ethical interconnection also subtler possibilities about the psychological
experience of the representation process. This ethical interconnection, for

88
Rouch himself, is when a camera deliberately presented to the subject of
the film, either as a certain entity of a world or as a window to see the
world. Through eliminating the boundaries between documentary and
fiction, Rouch freely pursued authorship in his ethno-fiction in order
to obtain the discursive zest on his images.
Petit à Petit is one of Rouch’s important films, especially about the
native African’s experiences in facing and responding to modernity. Rouch
did it in the way of egalitarian anthropology, where the construction
of images were based on native’s experience or the subjects themselves.
Rouch’s cinematic constructions were an attempt to obtain visual discourse
about ethno-anthropology as a form of expression in filmic narrative of
colonialism experience in the past. Rouch’s ethno-fiction was exposing
a different perspective of ethnography through the nature of cinema as
well as the possibilities of the camera discursively to capture the life of
the Third World society (Africa).
‘Authorship’ in Rouch’s documentary, is how to create a filmic
truth, where the using of fiction is not an obstacle to uncover the reality
he wanted to capture. Alexander Astruc has mentioned it on Camera
Stylo, to imagine the camera as a pen, as an imagery of a filmmaker
like a writer who freely reveals what he wrote. Similarly Jean Rouch,
with his spirit of authorship, he tried to get away from all definitive
obstacles towards understanding on actuality and even reality, to obtain
a discourse on the African. According to Rouch “the cinema, the art of
the double, is already the transition from the real world to the imaginary
world, and ethnography, the science of the thought systems of others, is
a permanent crossing point from one conceptual universe to another...”.
However, Rouch did not necessarily just show an ethical effort
which still leaves the nature of representation between ‘Europe’ or
‘Africa’ related to the tension between the nature of nativity versus the
Western strategy on how to look at ‘another’. At least the French film
historian Georges Sadoul himself mentioned that matter of tension as
“Thus two hundred million people are shut out from the most evolved
form of the most modern of the arts. I am convinced that before the
close of the 1960s this scandal will be but a bad souvenir of the past.”

j
89
Agenda: IC 4

supported by:
Institut Français Indonesia
Jakarta

Country of Production: France


Language: French
Subtitles: English
96 min, Color, 1970

Petit à Petit (Little by Little)


Jean Rouch (France)

Kisah petualangan dan perjuangan The adventure and struggle of the Niger
para pengusaha Niger; Damoure, Illo entrepreneurs; Damoure, Illo and Lam
dan Lam dengan usaha dagang mereka with their trading enterprise, Petit à
yang bernama Petit à Petit. Mereka Petit. They have a desire to build multi-
punya keinginan membangun gedung storey building as a place to develop and
bertingkat untuk mengembangkan dan demonstrate the progress of their business
menunjukkan kemajuan usaha mereka. enterprise. Damoure then fly to Paris and
Maka Damoure terbang ke Paris dan at that heart of European civilization, he
ia mengalami konflik moderenitas dan experiences a conflict of modernity and
kejutan budaya. culture shock.

Jean Rouch, pembuat filem dan Jean Rouch, filemmaker and


antropolog kelahiran Paris 31 Mei anthropologist born in Paris May 31st,
1917. Dianggap sebagai salah satu 1917. Considered as one of the pioneers
perintis gaya cinéma vérité dan teknik of cinéma vérité style and jump-cut
jump-cut yang kemudian dikembangkan technique which later developed by the
oleh gerakan New Wave Prancis. French New Wave movement. His filems
Filem-filemnya banyak bermain di plays between the border of ‘fiction’ and
antara batas ‘fiksi’ dan ‘dokumenter’, ‘documentary’, especially on his efforts in
terutama tentang usahanya dalam showing awareness of ‘camera presence’
memperlihatkan kesadaran ‘kehadiran in the middle of the subject that he was
kamera’ di tengah-tengah subyek yang talking about, the post-colonial society.
sedang dibicarakannya, masyarakat
pasca-kolonial.

90
Agenda: 26/8, Teater Kecil

Pasca-komunis di Eropa Timur


dan Kehidupan Kelas Pekerja
kurator: Afrian Purnama

Pada 1989 terjadi perubahan radikal di kawasan Eropa Timur karena


berkurangnya pengaruh Uni Soviet dan mulainya pengaruh liberalisasi
pada otoritas di kawasan tersebut. ini ditandai dengan runtuhnya Tembok
Berlin pada 9 November 1989, runtuhnya Tembok Berlin adalah puncak
dari protes dan kerusuhan yang terjadi selama beberapa minggu, hingga
akhirnya pihak Jerman Timur memberikan izin bagi warganya untuk
melintas ke Berlin bagian barat. Diawali dengan revolusi di Polandia,
lalu gelombang revolusi menyebar ke seluruh negara Eropa Timur hingga
akhirnya Uni Soviet terpecah.
Keberadaan kelas pekerja memiliki sejarah panjang di Eropa
Timur. Mereka menjadi aktor utama dalam pergerakan Revolusi
Bolshevik dengan menurunkan kekuasaan Tsar yang sudah berkuasa
berabad-abad. Sergei Eisenstein mengabadikan perjuangan heroik mereka
pada filem October: Ten Days That Shook the World. Pada poster-poster,
dan filem-filem era Uni Soviet, kelas pekerja digambarkan begitu heroik,
hingga dibuatkan monumen, Worker and Kolkhoz Woman.

91
Workers Leaving the Lumière Factory yang dibuat oleh Louis
Lumière tahun 1895, menampilkan buruh pria dan wanita yang berjalan
dari pintu keluar pabrik dan keluar dari frame filem, menuju ke kiri dan
kanan hingga tertutup pintunya. Gambaran bersejarah itu menandai
sebuah cabang seni baru. Gambaran tentang pekerja ini adalah gambar
bergerak tertua yang ditayangkan di layar lebar untuk masyarakat banyak.
Kelas pekerja dan filem sudah menjadi sahabat sejak awal dia dibuat. Dan
ketiga filem yang akan dibahas, telah melanjutkan keakraban tersebut
dalam sudut pandang, regional, dan masa yang berbeda.
Ketiga filem yang ditampilkan, Earth of the Blind (1992), Factory
(2004), dan Artel (2006) berada di masa yang sama, pasca-komunis yang
dibuat setelah runtuhnya Uni Soviet, hanya saja rentang waktunya yang
berbeda. Baik Factory dan Artel tidak memiliki selisih tahun pembuatan
yang jauh, dan dibuat oleh sutradara yang sama. Dibandingkan kedua
filem tersebut, Earth of the Blind dibuat 2 tahun setelah Lithuania
merdeka dari Uni Soviet.
Secara teknis visual, ketiga filem ini memiliki perbedaan yang
begitu mencolok, tapi sama-sama menggunakan medium 35mm. Earth
of the Blind menggukanan tone color sepia dengan kontras warna yang
rendah, hingga hampir menyerupai filem hitam-putih, menyebabkan
filem ini terlihat seperti filem yang dibuat pada tahun 1920an, secara
sengaja agar terlihat tua dan rapuh. Tidak ada dialog dalam filem ini.
Suara kebanyakan diisi oleh ambience yang continous, suara kehampaan,
dan suara decitan besi kursi roda, tapi tidak banyak. Pendekatan teknis
visual Factory sangat berbeda dengan Earth of the Blind, kontras warnanya
begitu terasa, frame statis, hampir tidak ada gerakan kecuali pada satu
bidikan (shot). Lain pula dengan Artel yang menggunakan medium
hitam-putih, tapi memiliki kesamaan teknis dari bidikannya yang statis.
Sama dengan Earth of the Blind dan Factory, tidak ada dialog dalam
Artel, suaranya menyatu dalam visual, merekam apa yang terjadi saat
itu secara berkelanjutan.
Earth of the Blind memiliki tiga cerita: cerita tentang pemotongan
sapi, cerita kakek dengan kursi rodanya, dan nenek tua yang hidup
sendirian. Masing-masing cerita ini saling berdiri sendiri tapi saling
terhubung dengan paradoks. Nenek dan kakek ini sudah tentu tahu

92
mereka akan menemui ajalnya, walaupun mereka tidak bisa melihat,
kondisi buta ini tidak menghentikan mereka untuk melakukan sesuatu.
Bagi nenek, rutinitas yang harus dijalaninya adalah memberi makan
hewan ternak, dan merawat diri, seperti menyisir rambut. Tindakan ini
lucu-ironis karena si nenek tinggal sendirian dan dia buta. Sedangkan
kakek dengan kursi rodanya melakukan aktivitas yang menurutnya
menyenangkan, bermain musik dan berjalan-jalan. Sekali lagi hal ini
lucu tapi ironis. Sedangkan di peternakan sapi, sapi-sapi ini bisa melihat
dengan matanya yang bulat dan besar, tapi mereka tidak bisa melihat
apa yang akan mereka hadapi, yaitu rumah pemotongan sapi. Dengan
kontras pula diperlihatkan kondisi hewan yang masih hidup di padang
rumput, dengan hewan yang sudah dipotong dan digantung.
Earth of the Blind berlatar di pedesaan. Saat dalam perjalanan
kakek dengan kursi rodanya, kita bisa melihat beberapa pabrik tua di
sisi jalan, tapi tidak banyak aktivitas, seperti mati dan ditinggalkan.
Aktivitas pekerja dalam Earth of the Blind diperlihatkan pada daerah
peternakan dimana ada para pemotong dan pengawas hewan ternak
menaiki kuda.
Factory dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis material yang
dijadikan obyeknya, pertama adalah baja, dan yang kedua plester (bahan
bangunan semacam semen). Mengawali gambar dengan bidikan dari luar
pabrik, dari luar jendela yang memperlihatkan antrian pekerja memasuki
pabrik. Filem ini penuh dengan pertentangan, keras dan lembut, dingin
dan panas, pria dan wanita. Dan yang paling utama, manusia dan mesin.
Pertentangan antara keras dan lembut direpresentasikan dengan material
sumber daya alam untuk produksi pabrik, besi dan tanah lempung, lalu
pabrik besi diisi oleh pekerja yang semuanya pria, kontras dengan pabrik
pengolahan plester yang hampir semua pekerjanya wanita. Mesin dalam
manufaktur besar bekerja untuk membantu pekerja. Pemandangan
ini sudah tidak asing sejak ditemukannya mesin uap yang merevolusi
industri manufaktur dunia. Karl Marx dalam Manifesto Komunis
menjabarkan lemahnya perlindungan kelas pekerja yang bekerja dalam
sistem kapital. Mesin-mesin pabrik menurutnya, telah menghilangkan
sifat-sifat perseorangan para pekerja hingga hilang kegairahannya. Ini
diperlihatkan dengan sangat jelas oleh Sergei Loznitsa. Pekerta yang

93
bekerja mengikuti ritme dari mesin, bukan sebaliknya. Hal ini pernah
diparodikan dengan jenaka oleh Charlie Chaplin dalam Modern Times.
Tapi dalam Factory, apa yang diperlihatkan adalah kenyataan yang
seutuhnya. Pemandangan pahit melihat manusia yang berkorban menyatu
dengan mesin untuk menjinakkan material alam menjadi material jual.
Sejalan dengan pernyataan Marx, makin tidak menyenangkan pekerjaan
buruh, makin rendah upahnya. Pertentangan antara dingin dan panas
mengakhiri filem ini. Tempratur panas ekstrim di dalam pabrik kontras
dengan cuaca luar pabrik yang dingin bersalju.
Waktu istirahat dihabiskan pekerja untuk berkumpul di pantri
sambil makan dan berinteraksi. Dari dalam, sayup-sayup terdengar
alunan musik klasik,  Frédéric Chopin, Waltz Brillante no 2 in A minor.
Frédéric Chopin memiliki latar belakang sejarah dengan kelas pekerja,
Komposer ini yang juga membuat Polonaise in A-flat major, atau disebut
juga ‘Heroic Polonaise’, yang sejak revolusi 1848 menjadi simbol perjuangan
kelas pekerja. Dalam bisingnya suara pabrik, apa yang dibicarakan
para pekerja di kala rehat tidak bisa terdengar, tapi mungkin apa yang
dibicarakan mereka adalah romantisme masa lalu tentang kehebatan
kelas pekerja yang mampu menggulingkan pemerintahan.
Realita yang terungkap di Factory seperti bidikan awal dari balik
jendela luar pabrik. Kamera menjadi jendela bagi kita tentang bobroknya
sistem kapital untuk kelas pekerja.
Bidikan pertama dari Artel berkebalikan dengan Factory. Artel
memperlihatkan pemandangan keluar dari dalam sebuah ruangan. Artel
diawali dengan bidikan pemandangan yang abnormal. Perahu nelayan
terbalik di tengah hamparan salju, tiang listrik yang hampir rubuh,
suasana pedesaan yang terlihat sepi, kontras dengan suara latar yang
ramai, suara-suara anjing, besi beradu, percakapan, angin salju. Hingga
muncul sekelompok orang dengan jaket tebal melakukan aktivitas rutin
mereka, mencari ikan untuk dimakan dan dijual. Artel yang memiliki
arti ‘kelompok’, dan kelompok ini lalu menuju ke danau beku dan
memecah es hingga terlihat airnya dan mengambil ikan yang hidup di
dalamnya. Seperti Vertov, Sergei Loznitsa mengambil gambar seperti
apa adanya. Pekerja dalam Artel berbeda dengan Factory dan Earth of the
Blind, mereka tidak bekerja untuk siapapun kecuali untuk kelompoknya.

94
Mereka tidak bergaji. Mereka mengendalikan mesin, tidak sebaliknya.
Kelompok pekerja dalam Artel jauh lebih sejahtera, mereka memiliki
peralatan sendiri, pekerja yang lebih independen.
Artel berlatar di utara Rusia yang bersuhu ekstrim dan dekat
dengan Arktik. Pada tahun 1922, dengan tema yang sama Robert
J. Flaherty membuat Nanook of the north tentang suku Inuit di utara
Kanada. Dalam filem tersebut diperlihatkan suku Inuit yang masih lugu
bertemu dengan budaya modern, seperti saat melihat gramofon. Lalu
ada adegan bagaimana cara orang Inuit membuat rumah dari salju dan
juga cara mereka berburu. Sebuah perbedaan yang sangat mencolok bila
dibandingkan dengan masa sekarang yang dilihat di Artel.
Dari ketiga filem tersebut, Artel memiliki akhir yang paling
optimis, dengan bergantinya musim, dan mencairnya salju, maka
mendapatkan ikan tidak lagi begitu sulit, dan mereka bisa kembali
menggunakan perahu terbalik yang menganggur selama musim dingin.

95
Post-Communism in Eastern
Europe and the Life of
Working Class
curator: Afrian Purnama

In 1989, there was a radical change in Eastern Europe because of the


diminishing influence of Soviet Union and the influence of liberalization
just started amongst authorities in that region. It was punctuated with
the collapse of Berlin Wall in November 9, 1989. That event was the
peak of protests and riots which had occured for many weeks, thus the
East German government finally gave permission to its citizens to cross
to the west side of Berlin. The revolution in Poland was the starting
point, then the revolution wave spread through all countries in Eastern
Europe until the fall of Soviet Union.
Eastern Europe has a long history about the existence of the
working class. They led the movement of the Bolshevik revolution
bringing down the Tsar’s power who had ruled for many centuries.
Sergei Eisenstein perpetuated their heroic struggle in the film October:
Ten Days That Shook the World. In posters, and films made in Soviet era,
the working class was depicted heroically. They were even enshrined as
called monument called Worker and Kolkhoz Woman.
Louis Lumière made Workers Leaving the Lumière Factory in
1895. It showed male and female labors walking out of a factory gate
and then turned to the left and right edge of the film frame until the
gate was closed. That historical image marked the birth of a new art
form. The image of the labors is the oldest moving picture shown on big
screen for wide audience. Labors and cinema have become best friends
since the medium of film was born. And three films in this curatorial,

96
have maintained their intimacy with their own perspective, regional,
and time frame.
The three films which will be discussed here are Earth of the
Blind (1992), Factory (2004) and Artel (2006). All were made in the
same period—Post-Communism—after the fall of Soviet Union, only
from different time frames. The production year of Factory and Artel
was not far apart. Both were made by a same director, while Earth of
the Blind was made just 2 years after Lithuania’s independence from
the Soviet Union.
Visually these three films have such striking differences, but all
were made with 35mm medium. Earth of the Blind uses sepia tone color
with low color contrast, almost resembles a black-and-white film. This
causes the film looks like it was made in silent era, intentionally to be
looked old and fragile. There is no dialogue in the film, mostly filled by
a continuous ambient sound, then the sound of emptiness, and a bit of
screeching sound of a metal wheelchair. The visual technical approach
in Factory is very different from Earth of the Blind, the color contrast is
noticeably. The frame is static, almost no movement except in one shot.
While Artel also uses black and white film as in Earth of the Blind, but
has technical similarities of static shots as in Factory. Similar to Earth
of the Blind and Factory, there is no dialogue in the Artel. The sound
blends with the visual, recording what happens sustainably.
Earth of the Blind is formed by three stories: about cows and the
slaughterhouse, an old man with his wheelchair, and an old woman who
lives alone. Each story stands on its own but connected with paradox.
The old man and old woman surely know they will pass away pretty
soon, even though they are blind, this condition don’t stop them to do
something in their lives. The old woman’s daily routines are feeding
her livestock animals, and taking care of herself, such as combing her
hair. Whereas the old man does his exciting daily activities with his
wheelchair such as playing music, and wandering around. again, this
funny behaviors were ironic. Their habits and behaviors are funny but
ironic considering both blind and live alone.
Meanwhile in the cattle breeding, the cows with their big round
eyes and supposedly can see everything around them are not able to
predict their future, slaughterhouse. We are also shown the condition

97
of the still-living cows in in contrast with the ones which have been
chopped and hanged.
Earth of the Blind was set in a rural area. We can see some
abandoned old factories at the side of the road when the old man
wandering around with his wheelchair.. Most of the workers’ activities
in Earth of the Blind were shown around the cattle breeding and the
slaughterhouse, with the butchers and the supervisors riding horses.
Factory is divided into two segments based on the object materials
used in the factory. The first is steel, and the second is plaster. The film
begins with a shot from outside the factory. From outside the window,
the workers show queuing to go inside the factory. Contradiction is used
in the film, like hard and soft, cold and hot, man and woman, and most
importantly, human and machine. The soft and hard contradiction is
represented with the materials used in the factory production—steel
and clay. The steel factory is filled with male labors, while in the plaster
processing factory almost all the labors are female.
Machinery in big manufacture works to help the labors. This
view is familiar since the invention of steam machine. Karl Marx in his
Communist Manifesto described the weak protection of the working
class who works in capital system. The factory machineries have omitted
individual characteristics and morale of the workers. This is shown very
clearly by Sergei Loznitsa. It is the workers who work following the
rhythm of the machineries, not vice versa. This condition was parodied
by Charlie Chaplin in Modern Times, but in Factory, what we see is the
real ugly truth, and not funny at all to see human sacrifice fused with
machine to tame natural resources then turned them into a ready-to-sale
material. Attuned with Marx’s statement, the more unpleasant their job
is, the lower the wages would be. The film ends with a contradiction
between cold and hot condition. The extreme hot temprature inside the
factory contradicted with the snowy and cold weather outside.
The hour break is spent by the labors to gather in the pantry
while eating and interacting to each other. We can hear a classical
music drifted from inside, it was Frédéric Chopin’s composition, Waltz
Brillante no 2 in A Minor. Frédéric Chopin had historical background with
the working class. He was the composer who made Polonaise in A-flat
Major, or could also be called as ‘Heroic Polonaise’, which since the 1848

98
revolution had been used as the working class’s symbol of struggle. In the
noise of the factory we can not hear what the labors are talking about,
but maybe they are mumbling about past romantism of the greatness of
the working class who was capable to overthrow the empire.
The reality revealed in Factory is like the first shot at the beginning
of the film, from outside the factory’s window. Camera becomes a window
for us to look at the injustice of capital system for the working class.
The first shot from Artel is in contrast to Factory. Artel shows a
view of natural landscape out from inside of a room. The scenery shots
are unusual. A capsized fishing boat in the middle of a snowfield, a nearly
collapsed electric pole, a quiet rural area is in contrast to the bustling
sound in the background, iron clanging, the sound of dogs, conversation,
and snowy wind. And then a group of people with their thick jackets
appear on the screen doing their routines, looking for fishes to be eaten
and to be sold. Artel means ‘a group’, and this group is heading to the
frozen lake dan breaking the ice to take the fishes out of the cold water.
Like Vertov, Sergei Loznitsa shoots the reality as it is. The workers in
Artel are different with the ones in Factory and Earth of the Blind. They
do not work for anyone except for their own group. They are paid by no
one. They control the machine, not the other way around. The workers
in Artel are much more prosperous, they have their own tools, they are
more independent.
Artel was set in north Russia, which the temprature is extreme,
and near to the Arctic. In 1922, Robert J. Flaherty made a film with
similar theme, Nanook of the North about the Inuit tribe in north Canada.
The film documents the meeting of the naive Inuit tribe and modern
culture. We can see their reaction when holding a gramophone for the
first time, how they make their house with blocks of snow and how
they hunt. A very noticeable difference when compared with what is
presented in Artel.
Out of those three films discussed in this curatorial, Artel has
the most optimistic ending. When the season is changing, and the snow
begins to melt, then catching fishes is no longer a hard work, so they
can use the capsized boat again which was unused during the winter.

j
99
supported by the filmmaker

Country of Production: Lithuania


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
24 min, Color, 1992

Earth of The Blind (Neregių žemė)


Audrius Stonys (Lithuania)

Earth of the Blind menggunakan sepia tone color Earth of the Blind uses sepia tone color with low
dengan kontras warna yang rendah, hingga hampir color contrast, almost resembles a black-and-white
menyerupai filem hitam-putih. Hal ini menyebabkan filem. This causes the filem looks like it was made
filem terlihat seperti dibuat pada 1920an, disengaja in silent era, intentionally to be looked old and
agar terlihat tua dan rapuh. Tidak ada dialog di fragile. There is no dialogue in the filem, mostly
filem ini, sebagian besar terisi terus menerus oleh filled by a continuous ambient sound, then the
suara ambient, lalu suara kehampaan, dan sedikit sound of emptiness, and a bit of screeching sound
suara decitan besi kursi roda. of a metal wheelchair.

A. Stonys lahir di Vilnius tahun 1966. A. Stonys was born in 1966 in Vilnius.
Belajar TV dan penyutradaraan di State Studied TV and filem directing at
Conservatory Vilnius. 1989 magang the State Conservatory in Vilnius. In
di Pusat Arsip Antologi di bawah 1989, probation Jonas Mekas Cinema
bimbingan Jonas Mekas di New York. Anthology Archive in New York.
Pernah bekerja di studio filem dan TV Worked Lithuanian filem studio and
Lithuania. Telah menyutradarai 13 television. Since 1989, created 13
filem dokumenter dan satu filem pendek documentary filems and one short filem.
sejak 1989.

100
supported by:
Deckert Distribution GMBH

Country of Production: Russia


Language: Russian
Subtitles: English
30 min, Color, 2004

Fabrika (Factory)
Sergei Loznitsa (Ukraine)

Factory dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis Factory is divided into two segments based on the
material yang dijadikan obyeknya, pertama adalah object materials used in the factory. The first is
baja, dan yang kedua plester (bahan bangunan steel, and the second is plaster. The filem begins
semacam semen). Mengawali gambar dengan with a shot from outside the factory. From outside
bidikan dari luar pabrik, dari luar jendela yang the window, the workers show queuing to go inside
memperlihatkan antrian pekerja memasuki pabrik. the factory. Contradiction is used in the filem, like
Filem ini penuh dengan pertentangan, keras dan hard and soft, cold and hot, man and woman, and
lembut, dingin dan panas, pria dan wanita. Dan most importantly, human and machine.
yang paling utama, manusia dan mesin.

Sergei Loznitsa lahir pada 5 September Sergei Loznitsa was born on September
1964 di Baranovichi (Belarusia). 5th, 1964 in Baranovichi (Belarus, former
Tumbuh di Kiev, dan pada 1987 lulus USSR). He grew up in Kiev, and in 1987
dari Politeknik Kiev jurusan Matematika graduated from the Kiev Polytechnic
Terapan. Rentang 1987-1991 dia bekerja with a degree in Applied Mathematics.
sebagai ilmuwan di Institut Sibernetika In 1987-1991 he worked as a scientist
Kiev, dengan spesialisasinya riset at the Kiev Institute of Cybernetics,
artificial intelligence. Dia jufa bekerja specializing in artificial intelligence
sebagai penerjemah dari Bahasa Jepang. research. He also worked as a translator
from Japanese.

101
supported by:
Deckert Distribution GMBH

Country of Production: Russia


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
30 min, Color, 2006

Artel
Sergei Loznitsa (Ukraine)

Artel berlatar di utara Rusia yang bersuhu ekstrim Artel was set in north Russia, which the temprature
dan dekat dengan Arktik. Diawali dengan bidikan is extreme, and near to the Arctic. The first scenery
pemandangan yang abnormal. Perahu nelayan shots are unusual. A capsized fishing boat in the
terbalik di tengah hamparan salju, tiang listrik middle of a snowfield, a nearly collapsed electric
yang hampir rubuh, suasana pedesaan yang terlihat pole, a quiet rural area is in contrast to the bustling
sepi, kontras dengan suara latar yang ramai, suara- sound in the background, iron clanging, the sound
suara anjing, besi beradu, percakapan, angin salju. of dogs, conversation, and snowy wind. And then a
Hingga muncul sekelompok orang dengan jaket group of people with their thick jackets appear on
tebal melakukan aktivitas rutin mereka, mencari the screen doing their routines, looking for fishes
ikan untuk dimakan dan dijual. to be eaten and to be sold.

Sergei Loznitsa lahir pada 5 September Sergei Loznitsa was born on September
1964 di Baranovichi (Belarusia). 5th, 1964 in Baranovichi (Belarus, former
Tumbuh di Kiev, dan pada 1987 lulus USSR). He grew up in Kiev, and in 1987
dari Politeknik Kiev jurusan Matematika graduated from the Kiev Polytechnic
Terapan. Rentang 1987-1991 dia bekerja with a degree in Applied Mathematics.
sebagai ilmuwan di Institut Sibernetika In 1987-1991 he worked as a scientist
Kiev, dengan spesialisasinya riset at the Kiev Institute of Cybernetics,
artificial intelligence. Dia jufa bekerja specializing in artificial intelligence
sebagai penerjemah dari Bahasa Jepang. research. He also worked as a translator
from Japanese.

102
Agenda: 28/8, GoetheHaus

Apa Jang kau Tjari,


Pak Misbach?
kurator: Dag Yngvesson

1. Sang Arsip: Server Internal


Pada saat ibadah sholat Jumat di Masjid Mal Pasar Festival-
Kuningan, aku duduk di ruangan besar yang sehari-harinya dipakai
sebagai gedung olahraga, lantainya kini dilapisi dengan karpet sajadah,
muadzin mengumandangkan adzan. Bersama para pegawai lembaga
Arsip filem Nasional-Sinematek, yang berlokasi di gedung sebelahnya,
Budi, Sandas, dan beberapa yang lainnya, dengan kepala tertunduk
dan mata setengah terbuka, aku mendengarkan kiai berkata: “Allah
telah memasang sebuah kamera CCTV di dalam kehidupan manusia.
Segalanya telah terekam, bahkan walau itu hanya berupa bisikan dalam
hatimu yang tak terucapkan. “
Sebagai seorang umat yang secara aktif berpartisipasi
mendengarkan cerama dalam sholat Jumat itu, aku mengeluarkan buku
catatan kecilku dan mulai menuliskan: Sejarah dan pengalaman manusia
di dalamnya, sepenuhnya ditangkap dan dipreservasi di sebuah server
yang sangat besar, yang mana hidup kita akan ditinjau dan dievaluasi.
Karena Tuhan selalu ‘men-shoot’ kita, apa yang telah kita perbuat, Sang

103
Penceramah berargumen—melalui perilaku yang melekat pada suara
kita, pikiran kita—pasti merefleksikan tujuan yang lebih besar. Bahkan
perpaduan yang paling personal dalam diri kita pun merupakan elemen
kunci dalam sebuah proses tajam dari sebuah pembentukan imajinasi
kolektif. Kalau kita bisa mengkonseptualisasi jaman baru di mana
kesalahan-kesalahan masa lalu tidak diulang, kemudian kita dapat
menerapkannya ke dalam sebuah praktek.
Namun kata-kata Si Kiai ini mengandung paradoks. Kita
diharapkan belajar dari sebuah ‘arsip’ masa lalu kolektif yang terwacanakan
secara ketubuhan yang kita, sebagai individu, hanya dapat serpihan akses
sangat terbatas. Jadi sebenarnya kita tinggal menunggu firman Allah
yang membimbing kita, dan kiai dan ulama yang berperan sebagai
penerjemah dan gurunya. Mungkin sebetulnya ini hal yang wajar: arsip
itu, dengan ketidakterbatasan kemampuannya untuk menyimpan dan
melestarikan, pasti akan berisi kesan sisi gelap jiwa kita yang mungkin
berjumlah sangat besar. Semata bagi manusia, melihat ke dalam masa
lalu yang direkam secara persis dan total justru mungkin juga membuka
jurang keputusasaan karena kemustahilan mengubah karakter manusia
dari waktu ke waktu akan menjadi sangat jelas. Dengan demikian batas-
batas memori perseorangan juga dapat melindungi kita dari diri kita
sendiri, dari melihat sebagaimana “manusia” kita sebenarnya.

2. Sang Dokumenter: Arsip, The Movie


Dalam Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, 2013, sebagaimana
dalam kehidupannya, Misbach Yusa Biran adalah seorang penjaga dan
pemandu spiritual Sinematek, sebuah ‘ruang penyimpanan’ di mana
bisikan hati yang filemis dan kolektif dari negeri ini—dari masa pasca
kemerdekaan—dikumpulkan. Melalui wajahnya Misbach, pada suaranya,
melalui surat-suratnya, dan pada gerak tubuh rentanya, terlukiskan
dinamisasi ketegangan antara sifatnya apa yang dia sebut sebagai
“rekaman sejarah yang paling akurat mungkin” dan ideal penggunaan
koleksi rekaman/impresi itu sebagai alat untuk melayani konsep yang
sangat spesifik dari harta karun publik. Anak Sabiran sendiri bergulir
di dalam ketegangan ini, dan menanggapinya. Daripada sekedar hanya
menyajikan narasi audio-visual mengenai kehidupan dan kelahiran
Misbach beserta arsipnya (yang mana juga dilakukan oleh filem ini),

104
dengan perlahan, hati-hati dan meraba-raba dengan rasa, menjalani
hubungan yang rumit Indonesia kini dengan masa lalunya, dan, yang
lebih penting, dengan sejarahnya yang kaya dan kurang dijelajahi sebagai
sebuah negara yang memproduksi sinema.
Dalam sebuah adegan, yang secara jeli menunjukkan, filem ini
mengikuti langkah terpatah-patah Pak Misbach ke sebuah klinik di
mana dia menjalankan sebuah terapi setrum (listrik). Kita menyaksikan
bagaimana dia dipijat, dan menerima sejenis terapi kejut listrik yang
menyakitkan pada kaki dan punggungnya yang nyeri. Sekuen ini
kemungkinan meninggalkan pertanyaan dalam sejumlah penonton
tentang durasinya dan banyaknya rincian tentang pengobatan tersebut yang
sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengarsipan dan
sinema. Tapi sebenarnya adegan ini secara subtil berhasil menyampaikan
komentar penting tentang tema sentral filemnya. Setelah mengorbankan
hidupnya dengan berjuang untuk ‘menyelamatkan’ Indonesia dengan
melestarikan masa lalu, tubuh ‘Sang Arsip’ menjadi kaku dan membatu
seperti juga citra yang sudah dibekukan dalam waktu.
Adegan berikutnya, sebuah wawancara dengan sutradara terkenal
pasca-Reformasi, Riri Riza, mengisahkan Pak Misbach muda, saat
masih sehat dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta pada 1990-an.
Saat itu, Sang Pengarsip dengan enerjiknya memangku peran sebagai
seorang agen dan provokator, yang sangat bertekad untuk membentukkan
imajinasi nasional/kolektif yang lebih bajik dengan cara mengarahkan
karya dari para pembuat filem yang masih muda dan bercita-cita. Sebagai
muridnya, bagaimanapun, tampaknya Riri Riza langsung patah arang.
Tesis filemya ditolak karena dianggap terlalu ‘tidak jelas’, membiarkan
moralitas para tokoh dan situasi-situasinya terbuka, kekurangan dialog
berat yang secara garisbawah dianjurkan oleh Misbach serta harus
memperkuat nilai yang positif.
Bagi Riri, sinema dalam pemahaman idelaisme Misbach terlalu
kaku dan propagandaistis. Namun pada saat dia berkunjung ke kantornya
di Sinematek, gambaran tentang sang dosen pun berubah. Di sini seorang
yang benar-benar percaya, dengan cara yang mirip keyakinan terhadap
agama, dengan kekuatan yang berada dalam sinema. Penghormatannya
pada segala makhluk ciptaan Tuhan yang rela membungkukkan
badan untuk mengangkat kamera terlihat sangat jelas: dalam konteks

105
perngarsipan, tak ada waktu untuk melemparkan tuduhan. Perihal ‘baik’
dan ‘buruk’ keduannya adalah bagaian penting dari Keseluruhan, maka
wajib dilestarikan masing-masing sebelum itu semua punah selamanya.
Misbach dengan rendah hati meminta Riri Riza untuk menyerahkan
‘apapun’, apa saja yang berhubungan dengan produksi filem-filemnya,
‘apapun’ untuk dibagi demi koleksinya.
Anak Sabiran sendiri mengambil perspektif seorang pengunjung
yang baru pertama kali ke kantor Pak Misbach. Seperti semua tamu-
tamu di situ, disambut baik untuk berkunjung dan menjelajah, juga
pastinya menemukan hubungan diantara benda-benda dan citra-citra
lamanya dengan dunia masa kini di luaran sana. Di dalamnya, gedung
tersebut (sebelum direnovasi tahun ini) tampak seperti badan yang tua
dan renta, penuh dengan sebuah totalitas ‘rekaman-rekaman’ yang tak
terpahami, namun dijiwai oleh sebuah kekuatan yang jarang: sebuah
idaman yang hebat dan tidak gentar untuk mengingat dan berbagi. Pada
rak-rak dan temboknya, ambiguitas perasaan kolektif terhadap citra-
citra yang angker karena diawetkan dari masa yang hilang, tertuliskan
di mana-mana sebagai terabaikan dan kerusakan. Seperti pernyataan
berulang-ulang yang diucapkan Pak Misbach di bagian akhir filem, di
mana itu adalah seminggu masa akhir hidupnya, “Kamu pikir gampang
mengumpulkan semua benda ini? Tidak gampang.” Selama 40 tahun
berhadapan dengan ketidakpedulian masyarakat dan negara, memang
kemungkinan hanya sebuah kekukuhan yang tumbuh dengan kegairahan
yang membabibuta adalah satu-satunya cara yang mampu menyelamatkan
runutan-runutan masa lalu ini.

2. Sang Kurator: dari Kumpulan Arsip


Tidak seperti citraan yang terkunci dengan seksama yang dikumpulkan
oleh kamera internal CCTV kita, potensi radikal dalam arsip-arsip
yang tentu (dan ini sangat tidak mengecualikan kumpulan yang “acak”
atau tidak resmi) terletak dalam aksesnya, bagi mereka yang cenderung
punya waktu untuk menggali, terhadap kesungguhan “sudut pandang
Tuhan” mengenai sejarah. Tak seorangpun, tentunya, bisa meyerap, atau
memilah masa lalu secara menyeluruh. Namun proses sederhana dari
menjelajahi citraan, ide-ide, dan momen dalam waktu yang direkam
dapat memberi rasa keterhubungan dan pemahaman yang kuat dan

106
memabukkan, bahkan bisa menimbulkan kebencian atau kecintaan: yaitu
di sini ‘kita’ dan ‘mereka’ terlahir dari narasi-narasi yang dibuat oleh para
penjelajah arsip, mengkristal dalam jalur-jalur yang mereka tarik dari
masa lalu ke sekarang. Ini bukan sesuatu yang dapat dianggap enteng.
Hingga kini aku telah menghabiskan beberapa tahun
mengumpulkan banyak DVD dan membenamkan diri dalam dunia
ratusan filem Indonesia. Walaupun, sebagian besar dengan resolusi
rendah dan beraspek rasio sinemaskop yang dipangkas secara keras
menjadi 4:3, mengurangi nyaris 50 persen area gambar dalam bingkaian.
Oleh karena itu sulit dijelaskan betapa menyenangkannya bisa berkutat
berminggu-minggu terakhir ini di ruang bawah tanah Sinematek,
menghirup aroma kimia dan menyaksikan goresan-goresan frame 35
mm yang tak terhitung jumlahnya dalam layar meja edit untuk melihat
filem seluloid. Ketika saya menyadari, untuk alasan yang rumit, ini adalah
pandangan tertentu tentang masa lalu yang amat, teramat sedikit pernah
dialami orang Indonesia, terutama yang usianya di bawah 40 tahun.
Sebagai seorang peneliti asing, dan seseorang dari “Hollywood” sebagai
tambahannya, setidaknya sekali seminggu saya dihujani pertanyaan
meragukan kegiatanku yang selalu sama: “Mengapa anda tertarik dengan
sinema Indonesia??”
Saya menganggap tulisan ini, di atara lainnya, sebagai kesempatan
untuk memberi jawaban yang paling tidak merespon sebagaian. Dalam
memilih ‘filem pasangan’ yang akan dijajarkan dengan Anak Sabiran, saya
telah mengacu kembali dari ‘jurang’ gelap arsip tadi dengan karya yang
memberi sebuah harapan untuk masa depan. Apa Jang Kau Tjari Palupi
(1970) karya Asrul Sani bukan hanya sebuah filem Indonesia favorit saya,
tapi salah satu yang saya letakkan di antara karya-karya sinema papan
atas secara general. Rasa harapan yang dimunculkan, walaupun, bukan
hasil ending yang bahagia atau kata-kata bijak yang dituturkan oleh
aktor karismatik. Sebaliknya, sumbernya adalah pandangan sejarah dan
pengalaman manusia yang tak tergoyahkan serta keterusterangan yang
keras​​, meskipun tidak terlalu ‘dingin.’ Menerjemahkan pengulangan
kesalahan manusia yang sudah pasti ke dalam bayangan kelabu yang
pergeseran, goresan dan mengharukan: tidak pernah benar-benar hitam
atau putih, dan selalu berwarna.

107
Jika semua berjalan sesuai rencana, filem Asrul Sani yang anda
tonton akan datang dari ruang bawah tanah penyimpanan filem yang
sama yang baru saja terjelajahi dalam karya Mr. Rancajale dan teman-
teman. Kedua filem ini, pada kenyataanya diproduksi di era yang sangat
berbeda dan memiliki genre, struktur formal, dan teknologi media
yang berlainan, namun menampilkan kegelisahan yang sama dengan
kaidah penceritaan klasik. Keduanya mengundang mata penonton untuk
berlama-lama menatap gambar atau sekuen ini-itu, memilih gambar
peristiwa, atau suara yang resonan, dan melibatkan kita ke dalam sebuah
dunia yang selalu dialami melalui kumpulan rekaman dan ditata oleh
para kolektor jeli.

108
What Are You Looking For,
Pak Misbach?
curator: Dag Yngvesson

1. Sang Arsip: the Internal Server


During Friday prayers at the Pasar Festival Mall in Kuningan, I sat
in a large room normally used for sports, the floor now covered with
prayer rugs, the scorekeeper’s speakers broadcasting the adzan. Along
with Budi, Sandas, and ____, staff members of Sinematek, the national
film archive housed in the building next door, I listened, head bowed
and eyes half open, to the kiai: “God (Allah) has installed a CCTV
camera inside each human being. Everything is recorded, even the inner
whispers of your heart that remain unspoken.”
As an active participant in Friday prayers, I took out my notebook
and began to write: History and human experience in its totality, then,
is captured and preserved somewhere in a massive server from which
our lives will be carefully reviewed and evaluated. Because God is
always “filming” us, what we make, the kiai argued – with our voices,
our thoughts, and the actions attached to them – must reflect a greater
purpose. Even the most private stirrings within us are key elements
in the delicate process of building a collective imagination. If we can
conceive of a new era in which the mistakes of the past are not repeated,
then we can put it into practice.
Yet the kiai’s words contain a paradox. We are meant to learn from
a collectively embodied “archive” of the past to which we, as individuals,
have at best fragmented access. So we are left with God’s words to guide
us, and with our kiai and ulama as interpreters and teachers. Perhaps

109
this is for the best: the archive, with the limitlessness of its ability to
store and preserve, will inevitably contain impressions, maybe billions
of them, of the darker sides of our souls. For a mere mortal, a look into
the precisely recorded past might well open an abyss of hopelessness at
the very impossibility of altering human character over time. Thus the
limits of individual memory may also protect us from ourselves, from
seeing how “human” we really are.

2. Sang Dokumenter: Archive, The Movie


In Anak Sabiran, Dibalik Cahaya Gemerlapan (‘Sabiran, Behind the
Flickering Light 2013), as in his life, the late Misbach Yusa Biran is the
keeper and spiritual guide of Sinematek, the vault where the collective,
filmic whisperings of the heart of a nation – post independence Indonesia
– are stored. On his face, in his voice, his letters, and the movements
of his aging body, is written the dynamic tension between the nature
of what he calls “the most accurate recording of history possible” and
the ideal of using such a collection of impressions as a tool to serve a
very specific conception of the greater public good. Anak Sabiran is
itself embroiled in this tension, and responds to it. Instead of merely
providing a visual-aural narrative of the birth and life of Misbach and
his archive (which it also does to some extent), it slowly, carefully feels
its way through the tangled relationship of Indonesia with its recent
past, and, more important, with its rich and underexplored history as a
nation that produces cinema.
In a cleverly revealing scene, the film follows Pak Misbach’s
halting gait into a small clinic where he is to receive a type of electroshock
therapy. We watch as he is massaged, and then receives painful jolts of
electrical current in his aching legs and lower back. The sequence may
raise questions for some viewers regarding its length and the amount of
details we’re given about a treatment seemingly unrelated to archiving
or cinema. Yet it nonetheless conveys an important commentary on the
film’s central theme. After sacrificing much of his life to a struggle to
“save” Indonesia by preserving its past, the archivist’s body has become
rigid and petrified, itself resembling an image frozen in time.
The following scene, an interview with the well-known, post
Reformasi director Riri Riza, conjures Pak Misbach as a younger,

110
healthier lecturer at the Jakarta Arts Institute (IKJ) in the 1990s. There,
he energetically assumes the role of agent and provocateur, determined
to foster a more wholesome national/collective imagination by shaping
the work of aspiring filmmakers. As his student, however, the young
Riza is turned off. His thesis film is rejected because it’s too “unclear,”
leaving the morality of characters and situations open, and lacking
the heavy dialog that Misbach has suggested to underline and solidify
positive values.
For Riri, the cinema of Misbach’s ideals is stiff and propagandistic.
Yet when visiting his office at Sinematek, Riza’s image of his teacher
changes. Here is a man who believes, with a religious conviction, in
the power of film. His great respect for all God’s creatures who have
bent down to pick up a movie camera is evident: in the context of the
archive, there is no time to stop and pass judgment. Both “good” and
“bad” are integral parts of Everything, and must be preserved before
they are lost forever. Misbach now humbly asks Riza for “anything,”
anything at all related to the production his films, whatever he can spare
for the collection.
Anak Sabiran itself takes on the perspective of a first-time visitor
to Pak Misbach’s office. Like all guests there, it is generously invited to
stay and explore, inevitably finding connections with the world of the
present outside. Inside, the building resembles an ailing, aging body,
filled with an incomprehensible totality of “recordings,” yet imbued with
a rare strength: an incredible, fearless drive to remember and to share.
On its shelves and walls, the ambiguity of collective feelings toward
the ghostly, preserved images of vanished eras is written everywhere
as neglect and disrepair. As Pak Misbach repeatedly states toward the
end of the film, and only weeks from the end of his life, “You think you
could collect all this stuff? It’s not easy.” In the face of 40 years of state
and public indifference, a certain rigidity bred of quixotic passion may
well be only thing that could have “saved” these impressions of the past.

3. Sang Kurator: From the Archives


Unlike the carefully locked away images collected by our internal CCTV
cameras, the radical potential in certain archives (and this by no means
excludes unofficial or “random” assemblies) lies in the access, for those

111
inclined to spend some time digging, to a veritable “God’s eye view” of
history. No one, of course, can absorb, remember, or sort out the past in
its entirety. Yet the simple process of exploration of images, ideas, and
recorded moments in time can give rise to an intoxicatingly powerful
sense of connection and understanding, even of hate or love: it is here
that “us” and “them” are born in the narratives of archival explorers,
crystallizing on the paths they draw from then to now. This is not
something to be taken lightly.
I have now spent several years collecting DVDs and immersing
myself in the worlds of hundreds of Indonesian films. However, the
vast majority are low resolution and have had their cinemascope aspect
ratios violently slashed to 4:3, reducing the visible area of the frame by
nearly 50 percent. It is therefore difficult to describe the excitement of
recent weeks spent in the basement of Sinematek, breathing chemicals
and watching innumerable 35mm frames flicker in front of me on the
screen of the large, flatbed editor used for viewing celluloid prints. As
I have come to realize, for complex reasons, this particular view of the
past is one that very, very few Indonesians, especially those below age 40,
have experienced. As a foreign researcher, and one from “Hollywood”
to boot, I am asked the same incredulous question at least once a week:
“why are you interested in Indonesian cinema??”
I take the task at hand as a way to provide at least a partial
answer. In choosing a partner-film to screen with Anak Sabiran, I return
from the archival abyss with a work that provides a measure of hope
for the future. Asrul Sani’s Apa Jang Kau Tjari, Palupi (What is it You’re
Looking for, Palupi 1970) is not only a favorite Indonesian film, but one
I would place among the masterworks of cinema in general. The sense
of hope it produces, however, is neither the result of a happy ending nor
words of wisdom recited by a charismatic actor. Rather, its source is a
view of history and human experience that is unwavering and brutally
frank, although rarely cold. It renders the inevitably repeated mistakes
of mortals in shifting, flickering, and poignant shades of Gray: never
quite black nor white, and always in color.
If all goes according to plan, the print you watch of Sani’s
film will come from the same vault you have just vicariously explored

112
through the work of Mr. Rancajale and friends. The two movies, while
produced in vastly different eras and employing distinct genres, formal
structures, and technological media, nonetheless display a similar sense
of restlessness with the conventions of classical storytelling. Both invite
the gaze of viewers to linger on this or that shot or sequence, selecting
resonant images, moments, or sounds and engaging us in a world always
experienced through the recordings amassed and arranged by prescient
collectors.

113
Country of Production: Indonesia
Language: Bahasa Indonesia
Subtitles: English
160 min, Color, 2013

Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan


(Sang Arsip)
Hafiz Rancajale (Indonesia)

Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang A documentary about an important figure in filem
Arsip) mencoba membaca gagasan pengarsipan archiving in Indonesia, or in Indonesian cinema in
filem yang ada di dalam pikiran Misbach Yusa general. Hajji Misbach Yusa Biran was a former
Biran sebagai seorang tokoh yang menyerahkan filem director who dedicated most of his lives to
seluruh hidupnya untuk mengawetkan wacana preserve materials regarding Indonesian cinema to
dan memaknainya kembali sebagai sumber record history, This filem is much about his personal
sejarah perfileman Indonesia yang disimpannya lives as an archivist as it is about him as the founding
di Sinematek Indonesia. father of Sinematek Indonesia.

Lahir di Pekanbaru, 1971. Seniman, Born in Pekanbaru 1971. Artist,


kurator, pendiri Forum Lenteng dan curator, co-founder of Forum Lenteng
Raungrupa Jakarta, Chief Editor and Ruangrupa Jakarta, Chief Editor
www.jurnalfootage.net. Menempuh of jurnalfootage.net. Studied fine arts
pendidikan seni murni di Institut at Jakarta Institute of Arts. Artistic
Kesenian Jakarta. Direktur Artistik Director OK.Video Jakarta International
OK.Video Jakarta International Video Video Festival (2003-2011).Since 2013,
Festival (2003-2011). Saat ini, Hafiz Hafiz is The Head Commisioner of
menjabat sebagai Ketua Komite Seni Visual Arts at Jakarta Arts Council.
Rupa Dewan Kesenian Jakarta.

114
supported by:
Sinematek Indonesia

Country of Production: Indonesia


Language: Bahasa Indonesia
Subtitles: No Subtitle
156 min, Color, 1969

Apa Jang Kau Tjari, Palupi? 


Asrul Sani (Indonesia)

Haidar adalah pengarang yang sedia melarat Haidar is a writer who can embrace poverty for the
demi mempertahankan kejujuran dan kebenaran. sake of an honest and truthful life. On the contrary,
Sebaliknya sang isteri, Palupi (Farida Syuman) Palupi is a woman who cannot love anyone but
adalah wanita yang tak bisa memberikan cintanya herself. This makes Palupi unable to feel happiness,
kepada siapapun, kecuali kepada dirinya sendiri. even when she is given a role in a movie. During the
Karenanya, Palupi merasa tidak bahagia, walau shooting, she becomes jealous of Putri, the director
telah diizinkan bermain filem. Di situ dia merasa iri Chalil’s lover. Palupi makes a move on Chalil so
kepada Putri, kekasih Chalil, sang sutradara. Palupi that the director would turn away from Putri, Then
mendekati Chalil begitu rupa, sehingga sutradara Palupi is attracted to a young businessman, Sugito.
itu jadi menjauhi Putri. Kemudian Palupi tertarik After witnessing this, Chalil decides to stay away
kepada seorang pengusaha muda, Sugito. Melihat from Palupi and returns to his former girlfriend,
hal itu Chalil menjauhi Palupi, dan kembali ke Putri. What is actually Palupi looking for?
kekasih lamanya, Putri. Apa sesungguhnya yang
dicari Palupi?

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Asrul Sani born in Rao, West Sumatra,
Barat, 10 Juni 1927. Belajar di Fakultas June 10 th, 1927. Studied at Veterinary
Kedokteran Hewan, Bogor dan Faculty, Bogor and in 1956 he had master
mendapat gelar “doktorandes” pada degree. Meanwhile, from 1951-1953 he
1956. Sementara itu, rentang 1951-1953 studied at Theatre Academy Amsterdam.
ia belajar di Akademi Seni Drama 1955-1956 he studied cinema at USC
di Amsterdam. 1955-1956 belajar (University of Southern California),
filem di USC (University of Southern USA.
California), Amerika Serikat.

115
Agenda: 26/8 & 27/8, kineforum

Sinematik Representasi dalam


Modernisasi Kota
kurator: Bunga Siagian

Berangkat dengan satu kutipan dari filem Helsinki Forever: “In


1915, there were 19 divorces in Helsinki. In 1990, the number was 2000”.
Perubahan semacam itu sebagai salah satu ciri kota modern yaitu adanya
wanita–wanita karir yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas.
Oleh karena itu tingkat kemandirian mereka sudah begitu tinggi, dan
tingkat ketergantungan mereka terhadap pria pun semakin menurun.
Dari situ, saya akan menarik satu narasi yaitu Modernisasi.
Teori modernisasi sebenarnya merupakan teori perubahan sosial
yang dibangun di atas landasan kapitalisme, teori evolusionisme dan
teori fungsionalisme. Mengingat bahwa teori modernisasi dibangun di
atas landasan kapitalisme, maka norma yang mendukung modernisasi
jelas bernuansa kapitalistik yang diletakkan di atas sistem persaingan
atau kompetisi bebas.
Paling tidak pengertian umum tentang modernisasi adalah
proses sejarah pada transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian
tradisional ke masyarakat industri modern sejak masa revolusi industri
abad XVIII, maka Peter Hutton menghadirkan industri modern itu

116
melalui karyanya Lodz Syhmpony (1993). Melalui filem, Peter Hutton
mampu merepresentasi modernitas yang hadir di sebuah kota Industri
Lodz, Polandia pada abad 19. Hutton menggambarkan perubahan ke
modernitas itu dengan menyisipkan satu gambar seorang laki-laki yang
bekerja menggarap sebuah lahan yang luas sebagai antitesa di tengah-
tengah gambar ruang-ruang kota yang kosong dengan gambar-gambar
pabrik yang megah, alat-alat kerja industri seperti roda mesin dan mesin
tenun, juga jalur trem. Scene pembuka seorang kakek yang berjalan
pincang menggunakan tongkat dan kemudian out frame dari kamera,
seolah menegaskan bahwa 19 menit sesudahnya adalah gambar-gambar
yang hidup dalam diri para lanjut usia, para saksi bagaimana kota
itu tumbuh. Dan Hutton merepresentasikannya dari sudut pandang
manusia modern. Penggunaan gambar hitam putih seolah adalah satu
kode bahwa selanjutnya filem itu adalah situasi ‘klasik’ yang berhadapan
dengan modernitas. Seperti diketahui, baru pada 1937 teknologi filem
mampu memproduksi filem berwarna.
Setelah Perang Dunia II, negara-negara yang terlibat dalam
perang dan negara yang baru merdeka banyak yang mengalami kesulitan
ekonomi sehingga banyak sekali pengangguran. Di Helsinki Forever (Peter
Von Bagh, 2008), filem menjadi saksi yang baik dalam menceritakan
kembali keadaan sosial saat itu. Salah satunya, mengambil footage
adegan-adegan dari filem karya Edvin Laine berjudul Ristikon Varjossa,
yang menggambarkan sebuah pabrik yang menjadi ‘harapan’ bagi para
pengangguran sehingga mereka berbondong-bondong mencari pekerjaan
di sana. Atau di Filemnya yang lain berjudul Pikku-Matti Maailmalla
(Edvin Laine,1947), sebuah bidikan yang menggambarkan beberapa jalur
rel kereta dari beberapa daerah melebur menjadi satu rel yang menuju
Kota Helsinki, langsung berganti ke bidikan selanjutnya, masyarakat
urban yang berdesakan turun dari kereta hendak mengadu nasibnya di
kota. Untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya maka negara-
negara yang terlibat melakukan konsolidasi. Hasilnya adalah adanya
perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi, dan
politik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi
yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru
merdeka.

117
Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara
berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi
negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara-
negara tersebut melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang
kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara
tersebut. Ada satu scene metafora menarik di City Scene karya Zhao Liang.
Bidikan seekor anjing kecil yang disetubuhi anjing besar, kemudian
kamera zoom-out dan menyorot sebuah papan city plan besar Cina.
Tersirat Zhao Liang dengan nakal menganalogikan Cina sebagai anjing
kecil dan Kapitalisme sebagai anjing besar.
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di
negara-negara Dunia Ketiga,  termasuk Indonesia ternyata menunjukkan
hal yang berlawanan dengan negara maju. Hal ini terjadi karena ada
perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan.
Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses
industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga
modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur
tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negara-
negara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena
ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber
daya manusia.
Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat
dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga
justru menimbulkan dominannya peran negara sehingga menciptakan
pemerintah yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan
sebagai ideologi. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan serta terjadinya
kesenjangan sosial dan ekonomi yang begitu mencolok. Fenomenanya
dapat kita lihat dalam sebuah filem Dokumenter pendek berjudul The
Island of Flower (Jorge Furtado, 1989). Terdapat gambar-gambar kontras
antara masyarakat yang makan di restoran-restoran kapital dengan
masyarakat lain yang berebut tomat busuk di sebuah tempat pembuangan
sampah yang luas. Lalu proses bagaimana tomat tumbuh, babi yang
diberi makan dan orang miskin yang dibiarkan menderita karena ‘mereka
tidak memiliki uang, dan mereka tidak memiliki pemilik’, adalah contoh
timbulnya kelompok-kelompok sosial tertentu, adanya perbedaan kelas

118
berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan yang ditempuh, budaya
konsumerisme, dan kelompok masyarakat yang berhasil dalam bidangnya
Ideologi pembangunan di kota-kota juga akhirnya menyisakan
masalah. Ruang-ruang kebutuhan publik harus dikorbankan demi
mewujudkan kota metropolitan yang megah. Di City Scene, gambar
seorang laki-laki yang berolahraga di sebuah lahan kecil yang dikelilingi
bangunan-bangunan tinggi, sambil melempar-lempar puing bangunan
yang berserakan di lahan itu. Pindah ke adegan sebuah bangunan tua
yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan yang sesuai dengan
ideologi pemerintah. Gambar itu menimbulkan sebuah tebak-tebakan
sinis berapa lama lagi kira-kira lahan itu akan bertahan? Lalu berubah
menjadi gedung bertingkat seperti di sekelilingnya. Atau yang sudah
terjadi adalah bagaimana di salah satu adegan proses senam pagi yang
lazimnya dilakukan di sebuah lahan olahraga tapi dilakukan di sebuah
high way kota dengan mobil-mobil ngebut dibawahnya.
Selain itu, ideologi pembangunan tersebut tidak sejalan dengan
terbangunnya ruang-ruang publik untuk pendidikan dan seni. Akhirnya
lahirlah masyarakat yang hidup di lingkungan ekonomi. Kurangnya
masyarakat yang apresiatif terhadap seni menimbulkan masalah baru
dalam susunan masyarakat. Yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia
dan teknologi sebagai pendukung perngarsipan karya seni. Contohnya
Di Indonesia sendiri, Sinematek, tempat arsip audio visual pertama
dan tebesar di Asia Tenggara baru terbentuk pada tahun 1975. Itupun
menyisakan banyak sekali pekerjaan rumah mengenai mortalitas karya
yang tersimpan, seperti yang kita lihat di filem Anak Sabiran, karya
Hafiz Rancajale.
Perbedaan keadaan sosial ekonomi negara berkembang dengan
negara-negara maju tersebut berpengaruh besar dalam kontruksi estetik
filem-filem di atas.
Kita kembali ke Helsinki Forever, sebuah filem megah dan mewah
yang menggunakan arsip dari puluhan seniman terbaik Finlandia
yang begitu tersimpan dengan baik: lukisan; puisi; dan footage-footage
reel filem yang terawat dan sudah direstorasi ulang. Bahkan kita dapat
melihat footage filem pertama yang dihasilkan negara Finlandia pada
tahun 1907, dipakai dalam filem Helsinki Forever untuk menghadirkan
sudut Jalan Mannerheim dari masa ke masa dengan kualitas yang sangat

119
baik. Narasi pun mulai bertutur, pada tahun 1931, Olavi Paavolainen
(seorang esais dan jurnalis) membuat sebuah cerita mengenai lalu lintas
di jalan itu. Bidikan selanjutnya, hadir sebuah footage dari karya filem
Eino Ruutsalo yang berjudul Hetkia Yosa (1961) yang berarti dibuat 30
tahun setelah tulisan Olavi. Selanjutnya dihadirkan sebuah lukisan dari
Leo Rannikko (Sokoksen Kulma, 1976). Lihat bagaimana terbantunya
Von Bagh menyusun narasinya menggunakan arsip arsip tersebut.
Hal ini bertentangan dengan keadaan di negara-negara dunia
ketiga termasuk Indonesia yang memiliki kesulitan dalam mengakses
arsip karena ada masalah dengan pengarsipan. Dalam kuratorial ini,
terjadi perbedaan tematik antara filem dari Eropa dan filem dari negara
dunia ketiga. Lihatlah Helsinki Forever dan Lodz Syhmpony, mereka
sedang asik bernostalgia, lalu kita dari dunia ketiga dengan City Scene
dan The Island of Flower, sibuk menghadirkan realitas sebagai kritik
sosial yang di masa datang menjadi sejarah dan berfungsi sebagai kritik
pula. Gambar-gambar yang dihadirkan di filem-filem seperti City Scene
dan The Island of Flower adalah bagaimana filem tersebut adalah arsip
itu sendiri. Jika Helsinki Forever mampu dibangun atas susunan arsip
yang sangat kaya, maka dua filem dari negara-negara berkembang ini
adalah arsip untuk masa depan. Melalui sinema, Von Bagh mengajak kita
menembus ruang dan waktu untuk mengunjungi Finlandia. Sementara
di sisi lain, sinema menyaksikan bagaimana masalah-masalah sosial
akibat modernitas menguburkan bagian-bagian hidup masyarakat tak
bersisa, termasuk mortalitas filem itu sendiri.

120
Cinematic Representation of
City’s Modernity
curator: Bunga Siagian

Set off with a quote from the movie Helsinki, Forever: ‘In 1915,
there were 19 divorces in Helsinki. In 1990, the number was 2000 ‘.
Such change is one of charactheristics of a modern city—career women
whom are highly educated and broad-minded. Therefore the level of
their independence were high, and their dependence on men were also
decreased. From there, I will draw a narration which is modernization.
The theory of modernization is actually a theory of social change
which builds on the foundation of capitalism, the theory of evolutionism
and functionalism. Considering that the theory of modernization is
built on the foundation of capitalism, then the norms that support the
modernization clearly have capitalistic nuance and placed on competitive
system or free-market competition.
At least the general sense of modernization is the historical
process of massive transformation from traditional agriculture to modern
industrial societies since the revolution of industry in eighteenth century,
then Peter Hutton presents the modern industry through his work,
Lodz Syhmpony (1993). Peter Hutton represents the modernity in an
industrial town Lodz, Poland in the 19th century. Peter describes the
changes towards modernity by inserting a picture of a man working on
a large area as an antithesis to the images of an empty city which has
magnificent plants, industrial machineries such as wheel looms, and a
trem line.
The opening scene where a limped old guy walking and using
a cane then outframe of the camera to confirm that 19 minutes later is
images that live on the elderly themselves, the witnesses of how the city
has grown. And Hutton represents it from the standpoint of modern

121
human. The use of black and white image as a code of what is the next
thing cinema has to face is ‘classic’ situation against modernity. As we
all know, not until 1937 the film technology was capable of producing
color film.
After World War II, the countries involved in the war and many
newly independent countries were experiencing economic difficulties
that led to unemployment. In Helsinki, Forever (Peter von Bagh, 2008),
film becomes a good witness in retelling the current social situation at
that time. Helsinki, Forever (Peter von Bagh, 2008) becomes a good
witness in retelling current social situation. There is a footage taken from
Edvin Laine’s film Ristikon Varjossa which describes a factory that has
become a hope for the unemployed so they drove in to find a job there.
Another footage from Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine, 1947),
where there is one shot depicting railroads from several areas merge into
one rail to behead the city of Helsinki. The next shot directly switch to
a crowd of urban people getting off a train to improve their life in the
city. To recover the economic conditions then the countries involved
had to do consolidation. The result was a change in the relationship
among countries in the social, economics, and political. In economics,
economics institutions were established that essentially would control
the newly independent countries.
The policy implementation of theory of modernization in
developing countries (Third World country) has caused the opening of
opportunities for capitalist countries to broaden their business through
multinational companies in which then carries out the exploitation of
natural resources in these countries. There is an interesting metaphor in
Zhao Liang’s City Scene. A shot of a big dog copulating with a little dog,
then the camera zoomed out and highlighted a huge city plan board of
China. Zhao Liang implied mischieviously an analogy of China as the
little dog and Capitalism as the big dog.
The implementation of theory of modernization and the ideology
of development in Third World countries, including Indonesia apparently
shows the opposite compared to developed countries. This happens
because there are differences in the level of wealth (capital) to carry out
the development. At the beginning of the developing in the industrialized
Western Europe countries, the process of industrialization required

122
a relatively small capital therefore modernization could be run by
businessmen, society, without interference from the state. While in Third
World countries modernization requires a very large sum of capital due
to backwardness of these countries in technology and human resources.
The success of implying theory of modernization in Western
countries on Third World countries would lead to domination of the state’s
role so as to create a dominant government, which finally put development
as ideology. Environmental damage happened and conspicuous socio-
economic discrepancy as the results. Those phenomenons could be seen
in the short documentary titled The Island of Flowers (Jorge Furtado,
1989). Images were contrasted between people who eat in restaurants and
other who fights over rotten tomatoes in a large landfills. Then followed
by process of how to grow tomatoes, pigs were fed and the poor are left
to suffer because ‘they do not have money, and they aren’t owned by
anyone’. Those are examples of the emergence of certain social groups,
class difference based on level of education, the culture of consumerism
, and people who are successful in their fields.
The ideology of development in the cities also ends up leaving
some problems. The needs for public space have to be sacrificed in
order to ‘create’ a majestic metropolis. In City Scene (2004), Zhao Liang
portrays an image of a man who is working in a small area surrounded
by tall buildings while throwing ruins from a construction site. Old
building was demolished to be replaced with a building in accordance
with the government program. The scene raises a cynical question—how
long the land will last? Then it turned into a skyscrapers similar to its
neighborhood. Or what is shown in one scene when morning exercise
typically done in a sports field but here is done in a high way city with
speeding cars below.
Moreover, the ideology of development is not in line with
the establishment of public spaces for education and the arts. At the
end people are born and living in material culture. The lacking of art
appreciation in society has created new problems in the structure of
society. To name a few, the lack of human resources and technology to
support artwork archiving. In Indonesia for example, the audio-visual
archive center—Sinematek Indonesia—the first and the largest in
Southeast Asia were just formed in 1975. Even then it still leaves a lot

123
of homework regarding the mortality of the work stored there, as we see
in the film Behind the Flickering Light (The Archive) by Hafiz Rancajale.
The differences in socio-economic conditions between developing
countries and the developed countries have been a big influence in the
construction of the aesthetic of the films mentioned above.
Let’s return to Helsinki, Forever, a magnificent and luxurious
film using dozens of archive from the best Finnish artists which are
very well preserved. The use of painting, poetry, and film footages which
have been restored and well preserved. Even in Helsinki, Forever we can
see footage of the first Finland film produced in 1907, to show us the
corner of Mannerheim Street from time to time with excellent quality.
Narrative began to speak, in 1931 Olavi Paavolainen (an essayist and
journalist) made up a story about the traffic on that street. The next shot,
came a footage from a film by Eino Ruutsalo, Hetkia Yosa (1961), which
means it happened 30 years after the story made by Olavi. Subsequently
presented a painting of Leo Rannikko (Sokoksen Kulma, 1976). We can see
how von Bagh was helped in drafting his narrative using those archives.
It is like a contrast with the situation in Third World countries,
including Indonesia, which have difficulties in accessing the archive.
In this curatorial, there is a thematic difference between films from
Europe and Third World countries. Look at Helsinki, Forever and Lodz
Symphony, they are being nostalgic, then we from the Third World with
City Scene and The Island of Flowers, are busy presenting reality as social
criticism which in the future will become history and also serve as a
critique. The images presented in City Scene and The Island of Flowers felt
like how both films are archives themselves. If Helsinki, Forever could
be built upon an arrangement of very rich archive materials, then the
two films from developing countries are archives for the future. Peter
von Bagh took us through space and time to visit Finland with his film.
While on the other hand, cinema was witnessing of how social problems
and economic consequences of modernity buried parts of human’s life,
including the mortality of the film itself.

j
124
Agenda: 26/8, kineforum

supported by the filmmaker

Country of Production: Finland


Language: Finnish
Subtitles: English
74 min, Color & B/W, 2008

Helsinki, Ikuisesti (Helsinki, Forever)


Peter Von Bagh (Finland)

Di Helsinki, Forever, filem menjadi saksi yang baik Helsinki, Forever becomes a good witness in retelling
dalam menceritakan kembali keadaan sosial saat current social situation. There is a footage taken
itu. Salah satunya dengan mengambil footage adegan from Edvin Laine’s filem Ristikon Varjossa which
dari filem Edvin Laine berjudul Ristikon Varjossa describes a factory that has become a hope for the
di mana sebuah pabrik digambarkan menjadi unemployed so they drove in to find a job there.
‘harapan’ para pengangguran sehingga mereka Another footage from Pikku-Matti Maailmalla
berbondong-bondong mencari pekerjaan kesana. (Edvin Laine, 1947), where there is one shot
Atau ada juga footage dari filem lain berjudul depicting railroads from several areas merge into
Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine,1947), satu one rail to behead the city of Helsinki. The next
shot menggambarkan rel-rel kereta dari beberapa shot directly switch to a crowd of urban people
daerah melebur menjadi satu menuju kota Helsinki getting off a train to improve their life in the city.
dan langsung berganti ke shot selanjutnya yaitu
masyarakat urban yang berdesakan turun dari
kereta hendak mengadu nasibnya di kota.

Peter von Bagh adalah sejarawan dan Peter von Bagh worked as Finnish filem
sutradara filem asal Finlandia. Dia historian and director. Von Bagh has
pernah menjabat sebagai Kepala Arsip worked as the head of the Finnish Filem
Filem Finlandia. Sekarang bekerja Archive. He is the editor-in-chief of
sebagai Pemimpin Redaksi majahal Filemihullu magazine and co-founder
Filemihullu juga salah satu pendiri dan and director of the Midnight Sun Film
Direktur Festival Filem Midnight Sun. festival. Since 2001, he has been the
Sejak 2001, dia adalah Direktur Artistik artistic director of the film festival Il
Festival Filem Il Cinema Ritrovato di Cinema Ritrovato in Bologna. Von
Bologna. Dia juga telah menjadi anggota Bagh was a member of the jury in the
juri di Festival Filem Cannes 2004. competition category of 2004 Cannes
Film festival.

125
Agenda: 27/8, kineforum

supported by the filmmaker

Country of Production: China


Language: Mandarin
Subtitles: English
23 min, Color, 2004

Cheng Shi Feng Jing (City Scene)


Zhao Liang (China)

Ideologi pembangunan di kota-kota juga akhirnya The ideology of development in the cities also ends
menyisakan masalah. Kebutuhan akan ruang up leaving some problems. The needs for public
publik harus dikorbankan demi mewujudkan kota space have to be sacrificed in order to ‘create’ a
metropolitan yang megah. Di City Scene, Zhao majestic metropolis. In City Scene, Zhao Liang
Liang menggambarkan seorang laki-laki yang portrays an image of a man who is working in
berolahraga di sebuah lahan kecil yang dikelilingi a small area surrounded by tall buildings while
bangunan-bangunan tinggi, sambil melempar- throwing ruins from a construction site. Old
lempar puing bangunan yang berserakan di lahan building was demolished to be replaced with
itu. Pindah ke adegan sebuah bangunan yang tua a building in accordance with the government
yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan program. The scene raises a cynical question—how
yang sesuai dengan ideologi pemerintah. Gambar long the land will last?
itu menimbulkan sebuah tebak-tebakan sinis berapa
lama lagi kira-kira lahan itu akan bertahan?

Zhao Liang lahir di Liaonung, Dandong Zhao Liang born in Liaoning, Dandong
pada 1971. Lulus dari Akademi Seni at 1971. Graduated from the Luxun
Rupa Luxun pada 1992, lalu melanjutkan Academy of Fine Arts at 1992. Studied
studi fotografi di akademi Filem Beijing in the Photography Department of
(1993-1994). Dan sekarang tinggal dan the Beijing Filem Academy (Narrative
bekerja di Beijing. Photography) (1993-1994). Currently
lives and works in Beijing

126
Agenda: 27/8, kineforum

supported by the filmmaker &


co-presented with Canyon Cinema

Country of Production: USA


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitles
20 min, B/W, 1993

Lodz Symphony
Peter Hutton (USA)

Peter Hutton menghadirkan industri modern Peter Hutton presents the modern industry through
itu melalui karyanya Lodz Syhmpony, yang his work Lodz Syhmpony. The film represents the
merepresentasikan modernitas yang hadir di modernity in an industrial town Lodz, Poland
sebuah kota industri Lodz, Polandia pada abad in the 19th century. Peter describes the changes
ke-19. Filem ini menggambarkan perubahan ke towards modernity by inserting a picture of a man
modernitas itu dengan menyisipkan satu gambar working on a large area as an antithesis to the
seorang laki-laki yang bekerja menggarap sebuah images of an empty city which has magnificent
lahan yang luas sebagai antitesa di tengah-tengah plants, industrial machineries such as wheel looms,
gambar ruang-ruang kota yang kosong dengan and a trem line.
gambar-gambar pabrik yang megah, alat-alat kerja
industri seperti roda mesin dan mesin tenun, juga
jalur trem.

Peter Hutton, lahir di Detroit, Michigan Peter Hutton (born 1944 in Detroit,
pada 1944 adalah salah satu pembuat Michigan) is an experimental
filem eksperimental yang penting. filemmaker, known primarily for his
Terkenal dengan gaya sinema yang silent cinematic portraits of cities
memotret kota-kota dan lanskap dari and landscapes around the world.
berbagai belahan dunia. Ia juga seorang He has also worked as a professional
sinematografer. Hutton studi seni lukis, cinematographer. Hutton studied
patung dan filem di Intitut Seni Rupa painting, sculpture and filem at the San
San Francisco. Ia pernah mengajar di Francisco Art Institute. He has taught
Cal Arts, Hampshire College, dan filemmaking at CalArts, Hampshire
Universitas Harvard. Pada bulan Mei College, dan Harvard University. In
2008, Museum of Modern Art, New May 2008 the Museum of Modern Art
York membuat pameran retrospektif in New York held a full retrospective of
filem-filem Hutton. Hutton’s filems.

127
Agenda: 27/8, kineforum

Country of Production: Finland


Language: Portuguese
Subtitles: English
13 min, Color, 1989

Ilha das Flores (Island of Flowers)


Jorge Furtado (Brazil)

Gambar-gambar kontras antara masyarakat Images were contrasted between people who eat
yang makan di restoran-restoran kapital dengan in restaurants and other who fights over rotten
masyarakat lain yang berebut tomat busuk di sebuah tomatoes in a large landfills. Then followed by
tempat pembuangan sampah yang luas. Lalu diikuti process of how to grow tomatoes, pigs were fed and
dengan proses bagaimana tomat tumbuh, babi the poor are left to suffer because ‘they do not have
yang diberi makan & orang miskin yang dibiarkan money, and they aren’t owned by anyone’. Those
menderita karena ‘mereka tidak memiliki uang, are examples of the emergence of certain social
dan mereka tidak memiliki pemilik’ adalah contoh groups, class difference based on level of education,
timbulnya kelompok-kelompok sosial tertentu, the culture of consumerism , and people who are
adanya perbedaan kelas berdasarkan tinggi successful in their fields.
rendahnya pendidikan yang ditempuh, budaya
konsumerisme, dan kelompok masyarakat yang
berhasil dalam bidangnya.

Jorge Furtado lahir pada tahun 1959 di Jorge Furtado born in 1959 at Porto
Porto Alegre. Ia adalah salah satu figur Alegre. He is a beloved figure in Brazil.
sutradara yang disukai di Brazil. Karya- His work displays amazing range,
karyanya mempresentasikan rentang from critiques of capitalism to playful
persoalan masyarakat Brazil, dari kritik historical recreation to bitter tales of
pada kapitalisme hingga satir sejarah racism in his country. Furtado play with
tentang pahitnya rasisme negerinya. Ia the cinematic construction of time and
banyak mepermainkan persoalan naratif narrative.
dan waktu dalam konstruksi senema.

128
Agenda: 28/8, kineforum

Menggugat Konstruksi Sejarah


kurator: Otty Widasari

Di pertengahan tahun 90-an, sinema Indonesia mati. Distribusi filem


yang beredar di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi yang menyalurkan
hanya filem dari Hollywood saja. Seperti apa yang telah terjadi dengan
TV, sinema arus utama juga sebuah alat kekuasaan, walaupun saat ini
dia tidak lagi menjadi alat kekuasaan utama layaknya TV. Namun kita
semua mengetahui sesuatu hal bahwa jika media arus utama tersebut
tidak memiliki tandingan, dia akan menguasai persepsi dan budaya
masyarakat secara massif. Dan hal itu terjadi pada sinema Indonesia
yang sekarang sedang bangkit kembali.
Dalam sebuah kongres komunitas filem se-Indonesia yang
diadakan di Solo pada tahun 2010, dari hasil pemetaan yang dilakukan,
bisa dilihat bahwa lemahnya distribusi pengetahuan dalam bidang
perfileman di Indonesia setelah 12 tahun reformasi berjalan, merupakan
hal utama yang dibikin oleh kuasa industri tersebut di atas.

129
Lalu adakah hubungan antara kedua persoalan tersebut?
Saya kira ada.
Perkembangan pesat komunitas-komunitas filem independen
sejak 1998 memang memunculkan gairah baru di bidang perfileman
Indonesia. Gerakan ini mengerjakan beberapa pekerjaan rumah
di bidang kebudayaan yang harusnya diselesaikan oleh negara. Di
antaranya adalah menghasilkan produk-produk filem baru dari generasi
berikutnya, membentuk komunitas penonton filem Indonesia yang
akhirnya mampu menggeser posisi filem Hollywood sebagai satu-satunya
konsumsi tontonan, memunculkan pembuat-pembuat filem generasi
baru, sampai bahkan ikut berperan mengharumkan nama bangsa di
ajang internasional. Namun ada satu pekerjaan rumah yang tertinggal,
walaupun juga harusnya diselesaikan oleh negara, yaitu membangun
pengetahuan dan daya kritis terhadap konstruksi kekuasaan yang selama
ini terbangun secara politis. Konstruksi politis itu menyelinap melalui
pesan-pesan, dan pesan-pesan itu terus tersisipkan era demi era. Ada
pesan yang dipenetrasi dengan intensif dan propagandis untuk ‘menjaga
stabilitas nasional’ di masa Orde Baru; ada pesan intoleransi yang
berkaitan dengan keyakinan agama atau kelompok yang berkuasa secara
jumlah; dan yang paling kuat mengakar sejak lama yaitu pesan global
yang paling memainkan peran mengukuhkan kuasa pasar.
Sebagai satu contoh saja, masyarakat Indonesia seusia saya yang
memang mengalami masa remaja di tengah perubahan era kekuasaan
dari rezim Orde Baru dan Reformasi, tentu dibesarkan oleh impian
kehadiran tokoh superhero yang berasal dari Amerika (saya dibesarkan
bersama filem Superman 1-4, selain komik-komik Batman, Spiderman).
Tokoh panutan sebagaian besar dari kami adalah ‘pahlawan’, yang mampu
menyelesaikan persoalan kejahatan di dunia. Di masa usia produktif,
kami mengadaptasi para pahlawan kuat luar biasa itu ke dalam karya
kreatif, karena itu yang kami ketahui. Kami tumbuh besar bersama
metamorfosis superhero Amerika. Dan itu menjadi tolok ulur kebenaran
yang hitam putih.
Tentu saja persepsi penonton dewasa yang sadar akan bisa melihat
perubahan dari jaman ke jaman metamorfosis superhero Amerika tersebut,
dari yang hanya bermodal otot bisa menahan laju kereta api yang nyaris
masuk jurang, melempar mobil ke udara, dan bisa terbang atau merayap

130
di tembok melawan hukum grafitasi. Belakangan, sosok superhero dengan
berbagai cara sepertinya diupayakan untuk tampak lebih manusiawi.
Narasi yang dibentuk, walaupun tetap saja harus ada yang dikambing-
hitamkan, selalu berpulang pada otokritik terhadap negara Amerika
yang bisa dibaca sebagai kebenaran politis (political correctness).
Hal-hal ini tentu saja dipercaya sebagai kebenaran narasi yang
merupakan sebuah presentasi hiburan, oleh penonton yang benar-benar
hanya menginginkan hiburan. Penonton Indonesia kebanyakan akan
terpukau dengan segala tetek bengek efek visual yang terus dieksplorasi
kecanggihannya. Bagi kalangan pembuat filem Indonesia yang jarang
melakukan pencarian sesuatu lebih dalam (riset), hal yang paling menarik
adalah bagaimana filem ini bisa menjadi sangat menarik secara narasi,
dan itu tak akan lepas dari kenyataannya bahwa dia bisa menembus box
office, diluncurkan di semua kota-kota besar dunia dan mendatangkan
penonton yang banyak dan sangat tertarik. Lalu apa jadinya jika kita
menempatkan filem yang salah satunya juga punya peran sebagai media
pembelajaran, di mana kita sebagai penonton bisa melihat sebuah sistim
nilai yang akan masuk dan berkonstruksi di kepala kita, apakah kita
akan percaya dengan sistim nilai yang dibangun dengan tujuan wacana
political correctness?
Ternyata juga produk filem yang ada, lemah pengetahuan,
perfileman Indonesia selalu bersandar pada sistem produksi.
Kesimpulannya, kesadaran medium dan kekuatan sinema yang
berpeluang memberi peran dekonstruksi kenyataan, atau mengoreksi
sejarah, tidak berdaya.
Peluang tersebut jelas muncul dalam Vampire of Poverty (1977)
karya Carlos Mayolo dan Luis Ospina; 200000 Phantoms (2007), karya
Jean-Gabriel Périot dan Zoo (1962) karya Bert Haanstra.

ttt

Dalam presentasinya di Forum Lenteng pada tahun 2010, Jean-Gabriel


Périot dilempari pertanyaan oleh salah satu peserta diskusi tentang
apakah dia selalu menggunakan kekuatan arsip dalam berkarya. Singkat

131
saja dia menjawab, “Bisa jadi, ya, tapi saya tidak pernah percaya pada
arsip. Karena arsip pun adalah sebuah konstruksi.”
Saya memahami pernyataan ini sebagai sebuah penunjukkan
bahwa peristiwa yang terjadi di masa lampau itu hanya milik sang waktu.
Waktu berganti, maka peristiwa tersebut pun lenyap. Orang-orang yang
menyayangkan berlalunya waktulah, atau, anggaplah sadar dokumentasi,
yang mendokumentasikan peristiwa, membekukannya dalam sebuah
medium. Namun, dari pernyataan Périot tadi, kita tentu sadar bahwa
kebutuhan pendokumentasian pasti didasari oleh bebarapa hal yang
kemudian menjadi konstruksi dasar dokumen. Sebuah konstruksi
dokumen pasti memiliki kepentingan yang bisa kita baca sebagai polemik
kekuasaan. Maka Périot, dalam hal ini kita bicara tentang karyanya
yang berjudul 200000 Phantoms (Prancis, 2007), tidak memutarbalik
dan melawan dengan keras sebuah sistem nilai yang berkuasa melalui
dokumen awal yang digunakannya, melainkan menggubah karyanya
dan meletakkan dokumen foto-foto Kubah Genbaku di Hiroshima
dalam kenyataan yang puitik, lewat sinema.
Yang saya bicarakan di sini tak lain adalah peluang medium, di
mana seorang sutradara memiliki otoritas dalam membuat konstruksinya
sendiri dan tidak tunduk pada kekuasaan—setidaknya kekuasaan yang
melingkupi ruang dan membangun konstruksi sistem nilainya yang
mapan, yang bertentangan dengan nurani si sutradara. Kita akan melihat
bagaimana sebuah pemahaman tentang ‘siapa’ yang meilhat ‘siapa’ dalam
filem Zoo (1962), Bert Haanstra, sutradara asal Belanda. Sistem perkebun-
binatangan dalam sebuah negara tidak memposisikan monyet untuk
menertawakan manusia seperti yang kita lihat dalam filem ini. Peluang
itu yang dijadikan permainan oleh si sutradara dalam memanusiakan
binatang, sehingga mereka pun bisa duduk bertepuk tangan menonton
sirkus manusia di Amsterdam.
Sedangkan Vampire Of Poverty (Agarrando Pueblo, 1977) karya
Carlos Mayolo dan Luis Ospina dari Columbia jelas berdiri tegak lurus,
berhadapan dengan kuasa pasar yang melanda dunia hiburan di daratan
Eropa yang mengonsumsi apapun yang berasal dari Amerika Latin.
Kehidupan sosial ekonomi dan kemiskinan negara-negara berkembang di
Selatan Amerika tersebut menjadi barang dagangan dan diekspos secara
besar-besaran. Ini merupakan sebuah kritik tajam terhadap Misery Porn,

132
Dilakukan dengan cara yang gamblang dan humoris, karena sinema
memiliki kemampuan untuk itu.
Filem fiksi yang dilakukan dengan pendekatan dokumenter
tentang para pembuat filem yang mengeksploitasi kesengsaraan untuk
keperluan komersil ini memberi sketsa kritik tentang ‘porn misery’
(eksploitasi kesengsaraan untuk tujuan komersil) dan para oportunis
yang membuat dokumenter yang tidak jujur tentang kehidupan sosial-
politik di negara-negara berkembang untuk dijual ke stasiun televisi
Eropa dan untuk memenangkan penghargaan festival.
Filem ini menyajikan informasi tandingan dengan memadukan
gaya filem fiksi dan adegan nyata dari kru filem khusus yang ditugaskan
oleh saluran televisi Jerman untuk mencari tipikal kengerian sosial,
menginjak-injak prinsip-prinsip dasar etika profesi.
Pada dekade sebelum filem ini dibuat, proses sosial politik dan
budaya dimulai di Amerika Latin setelah Revolusi Kuba yang mulai
membangkitkan keinginan untuk membuat filem dokumenter yang
menarik perhatian kritikus Eropa sejak pertengahan 1960-an, dan
dukungan kritis mereka menimbulkan imbas langsung terhadap gerakan
ini sebagai kanon baru sinema Amerika Latin. Terutama setelah Festival
Filem Pesaro di Italia tahun 1968, Eropa mulai rajin mengkonsumsi
apapun yang berasal dari Amerika Selatan yang berisi sedikit cerita
rakyat atau revolusi. Di Indonesia ada kemiripan di mana para pembuat
filemnya mencoba peruntungan di ajang festival internasional dengan
menjual eksotisme sosial Indonesia. (: kita harus berhati-hati dengan
langkah ini).
Fakta tersebutlah yang dimainkan oleh para pembuat filem ini
untuk mengkritisi dari dalam dirinya sendiri selaku pembuat filem dari
negara berkembang, dengan menciptakan arsip filem yang di kemudian
hari bisa kita lihat (kini) sebagai sebuah dekonstruksi sistim nilai yang
dikuasai pasar.
Apa yang dilakukan ketiga filem yang saya rangkum dalam satu
kuratorial program ini adalah sebuah peluang bagi kita untuk melihat
lebih jauh, bahwa sinema juga memiliki tugas-tugas ideologis yang harus
diselesaikan. Walaupun sinema sudah bukan lagi merupakan alat utama
kekuasaan, namun peluang sebuah tawaran konsep perlawanan terhadap
sejarah dalam filem itu tetap ada. Bila dia bisa menjadi sebuah gerakan

133
yang kemudian dilancarkan secara pasti dengan sebuah niatan kuat untuk
memproduksi pengetahuan dengan muatan kritis yang obyektif, maka
dia akan membuka jalurnya sendiri di sisi jalur yang sudah terbangun
secara sistemik terlebih dahulu, yaitu jalur arus utama.
Kembali saya mengutip pernyataan Jean-Gabriel Périot dalam
wawancara di jurnalfootage.org, bahwa sejak penciptaan fotografi, dan
kemudian penciptaan sinema, sejarah bukanlah apa yang terjadi, tetapi
apa yang tertangkap oleh gambar-gambar, yaitu apa yang dipresentasikan.
Sejarah bukanlah realitas atau kejadian-kejadian, melainkan representasi
atas realitas atau kejadian-kejadian itu. Sebelum gambar-gambar,
sejarah adalah apa yang tertulis. Itu bukanlah sejarah yang sebenarnya.
Sejarah akan selalu, dan sejak dulu merupakan apa yang dituturkan oleh
kekuasaan melalui medium kekuasaan itu.
Dan saya menambahkan, bahwa sejarah itu bisa didekonstruksi
oleh sinema, kekuasaan bisa digugat oleh persepsi baru yang dimunculkan
oleh penggerak sejarah muda yang konsisten berjalan di rel bukan arus
utama.

13 Juni 2013

134
Challenging
The History Construction
curator: Otty Widasari

In the mid 90s, Indonesian cinema had collapsed. Film Distribution


in Indonesia wass dominated by big institution which only distributed
Hollywood movies. Just like what has been happening with TV,
mainstream cinema has been also used as a tool of power, although this
time it is no longer used as a major power equipment like TV. But we all
knew something that if the mainstream media did’t have a counter, it
would dominate people perception and culture on a massive scale. And
it happened to Indonesian cinema which is now being revived.
In one of cinema communities congress from all over Indonesia
which was held in Solo in 2010, from the mapping that had been made,
we could see the weakness of knowledge distribution in the field of
Indonesian cinema in the past 12 years post-Reformation, was the major
problem generated by the power of film industry.
So is there any connection between the two issues?
I think there is.
The rapid development of independent film communities since
1998 have been bringing out new passion in the field of Indonesian
cinema. This movement has been doing some cultural homework which
should has been resolved by the state. Such as producing new films of
the next generation, creating new indonesian film audience who finally
can replace the position of Hollywood movies as the sole consumption
of spectacle, creating the new filmaker generation, even contributed to

135
bring the name of the nation in the international events. But there is
one task left, although also should be completed by the state
also should has been completed: to build knowledge and critical
awareness of the construction of power that has been established politically.
These political constructions has been slipping through messages, and
the messages have been inserted continually era after era. There was
a message that was penetrated intensively and propagandistic for the
sake of ‘national stability’ in the New Order era; there was a message
of intolerance related to religious beliefs or the ruling party that had
a majority number; and, the most powerful and entrenched for a long
time, was the most global message that played a role in reinforcing the
market power.
One example, Indonesian people my age who were experiencing
adolescence in the transition era from New Order regime to Reform,
certainly raised by the presence of the American superhero dream (I grew
up with the movies Superman 1-4, in addition to the comics Batman,
Spiderman). Our role models were ‘heroes”, who could solve the crime
problem in the world. During our productive age, we had been addapting
those extraordinary powerful heroes into creative works, because that
was what we knew. We grew up with the metamorphosis of American
superheroes. And it was a black and white measurement of truth.
Of course, adults audiences perception who aware will be able to
see the metamorphosis of the American superhero from time to time,
from the one who can detain the train into ravine with his muscles,
throw the car into the air, to the one who can fly and crawl on the wall
against the law of gravitation. Later, superhero figure, in many ways,
seems attempted to look more humane. The narration created, although
there must also be a scapegoat, always comes back to self-criticism of
America that could be read as political correctness.
These things certainly believed as narrative truth which is
an entertainment presentation, by the audiences who really want an
entertainment. Most Indonesian audiences will be blown away with all
the pretty-pretties of visual effects whose sophistication continue to be
explored. For the Indonesian film-makers who are rarely do anything
more in the research, the most interesting thing is how cinema can be
so interesting narratively, and it cannot be separated from the fact that

136
it could penetrate the box office, launched in all major cities in the world
and bring a lot of very interested audience. So what would happen if
we put movie, which also has a role as a medium of learning, where we
as the audiences can see a value system that will fit and constructed in
our heads, only as a business commodity? Will we believe in the value
system that was built with the goal of political correctness discourse?
In reality, the existing film products, have weakness of knowledge,
menawhile Indonesian cinema has always relied on the production system.
In conclusion, medium awareness and the power of cinema that
have a chance to give the role of reality deconstruction, or to correct
history, are helpless
The opportunity clearly emerged in the Vampire of Poverty (1977)
by Carlos Mayolo and Luis Ospina; 200000 Phantoms (2007), by and
Zoo (1962) by Bert Haanstra.

ttt

In his presentation at the Forum Lenteng in 2010, Jean-Gabriel Périot


was questioned by one of the participants of the discussion about whether
he always uses archives in the workforce or not. Briefly he replied,
“Could be, yes, but I never believe in the archives. Because the archive
also is a construction”.
I understood that this statement gave the intention that the
events that had happened in the past only belonged to the time.Time has
changed, then the event has gone. People who lamented the passing of
time, or, supposedly aware of documentation, who documented events,
froze them in a medium. However, from Périot’s statement earlier, we
are certainly aware that the documentation needs definitely based on
several things that later become the basis of construction documents. A
construction documents certainly have an interest that we can read as a
polemic of power. Therefore, Périot, in this case we are talking about his
work of 200000 Phantoms (French/2007), instead of twisted and fought
hard a powerful value system through the use of earlier documents,
rather composed his work and put the document of Genbaku Dome
photographs in Hiroshima, in the poetic realm, through cinema.

137
What I’m talking about here is none other than the medium
chance, in which a director has the authority to make his own construction
and not subject to the power— at least a power that surrounds the
room and builds established value system construction, which contrary
to the director’s conscience. We would see how an understanding about
‘who’ sees ‘who’ in Zoo (1962), by Bert Haanstra, a Dutch director.
Monkeys were not being positioned to laugh at human in ‘zoo’ system
in a country as we saw in this film. The director used that opportunity
as a game to humanize animals, so they could sit and applaud human
circus in Amsterdam.
While Vampire Of Poverty/AgarrandoPueblo (1977) by Carlos
Mayolo and Luis Ospina of Columbia, clearly stood upright, dealing
with market power that swept the world of entertainment in mainland
Europe who ate everything that came from Latin America. Socio-
economic life and poverty of developing countries in South America
became a commodity and were massively exposed. This was a sharp
critique to the Misery Porn, was done with a vivid and humorous way,
because the cinema has the ability to do so.
This fictional film that was made with a documentary approach
of the film makers who exploited misery, for the purposes of commercial,
and the opportunists who made dishonest documentary about the socio-
political life in developing countries to be sold to European TV station
and for the award-winning festival, gave a sketch of criticism about the
‘misery porn’ (woes exploitation for commercial purposes).
The film presented the counter information by mixing fiction
movie style with a real scene from a special film crews that was
commissioned by German television channel to look for typical social
horrors, trampling on the basic principles of professional ethics.
In the decade before the film was made, socio-political and
cultural process began in Latin America after the Cuban Revolution
that has been starting to awaken the desire to make a documentary film
that attracted the attention of European critics since the mid-1960s,
and their critical support posed a direct impact on the movement as
a new canon of Latin American cinema. Especially after the Pesaro
Film festival in Italy in 1968, Europe had been beginning to diligently

138
consume anything that came from South America that contained a little
folklore or revolution. In Indonesia there are similarities in which the
filmmakers try their luck at the international festival by selling social
exoticism of Indonesia. (: we have to be careful with this step).
Filmmakers played the fact to do self-criticism as filmmakers
from developing countries, to create a film archive we could see in the
future (now) as a deconstruction of the value system that dominated
by the market.
What the three films have done that I have outlined in this
curatorial program is an opportunity for us to look further, that cinema
also has ideological tasks that must be completed. Although the cinema is
no longer a major power tool, but an offering chance of history-counter-
concept in the movie is still there. If it could be a movement which then
launched exactly with a strong intention to produce knowledge with the
objective critical load, then it would open its own way on the path that
has built up systemically, i.e. the mainstream line.
I am quoting again the interview in jurnalfootage.org with
Jean-Gabriel Périot, that since the creation of photography, and then
the creation of cinema, history has not been what happened, but what
caught by the images, i.e. what has been presented. History has not been
a reality or events, but rather a representation of reality or the events.
Before the images, history had been what it had said. They were not the
real history. History, since ancient times, has been and will
And I add, that history can be deconstructed by cinema, the
power could be sued by the new perception that is raised by the young
history activists, who consistently run on non-mainstream rails.

139
supported by the filmmaker

Country of Production: France


Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
11 min, Color & B/W, 2007

Nijuman No Borei (200000 Phantoms)


Jean-Gabriel Périot (France)

Périot, dalam hal ini kita bicara tentang karyanya Périot in 20,000 Phantoms was not twisting and
yang berjudul 20,000 Phantom, tidak memutarbalik fighting hardly a powerful value system through
dan melawan dengan keras sebuah sistem nilai the usage of documents from the past, but rather
yang berkuasa melalui dokumen awal yang composed his work by putting photographs of
digunakannya, melainkan menggubah karyanya Genbaku Dome in Hiroshima in reality poetically
dan meletakkan dokumen foto-foto Kubah through cinema.
Genbaku di Hiroshima dalam kenyataan yang
puitis, lewat sinema.

Jean-Gabriel Périot adalah seorang Jean-Gabriel Périot is an artist and


seniman dan sutradara yang tinggal di filemmaker based in Tours, France. His
Tours, PRancis. Karya-karyanya telah work has been shown extensively around
banyak ditampilkn di seluruh dunia dan the world winning a number of awards
memenangkan beberapa penghargaan, including the Grand Prix at the Tampere
diantaranya; Grand Prix di Festival International Film festival, USA and
Filem Internasional Tampere-Finlandia, Best International Short at the Cork
dan Filem Pendek Terbaik di Festival International Film festival, Ireland.
Filem Internasional Cork, Irlandia.

140
Country of Production: The Netherlands
Language: No Dialogue
Subtitles: No Subtitle
10 min, B/W, 1962

Zoo
Bert Haanstra (The Netherlands)

Dalam filem Zoo, sistem perkebunbinatangan Zoo, a monkey is not positioned to laugh at
dalam sebuah negara tidak memposisikan human in the system of a zoo in a country,
monyet untuk menertawakan manusia seperti as we see in this filem. That opportunity
yang kita lihat dalam filem ini. Peluang itu is utilized as a game by the filemmaker to
yang dijadikan permainan oleh si sutradara humanize the animals, so they are now able
dalam memanusiakan binatang, sehingga to sit and clap while watching a human circus
mereka pun bisa duduk bertepuk tangan in Amsterdam.
menonton sirkus manusia di Amsterdam.

Bert Haanstra (31 Mei 1916 – 23 Bert Haanstra (31 May 1916 – 23
Oktober 1997) adalah sutradara asal October 1997) was a Dutch filem and
Belanda. Ia tumbuh di kota Holten documentary director. Haanstra was
dan menjadi pembuat filem profesional born in the town of Holten and became a
sejak 1947. professional filemmaker in 1947.

141
supported by the filmmaker

Country of Production: Spain


Language: Spanish
Subtitles: English
28 min, Color, 1977

Agarrando Pueblo (Vampyre of Poverty)


Luis Ospina & Carlos Mayolo (Colombia)

Filem ini jelas berdiri tegak lurus, berhadapan This filem clearly standing upright, dealing with
dengan kuasa pasar yang melanda dunia hiburan market power that swept the world of entertainment
di daratan Eropa dan mengonsumsi apapun in mainland Europe, and consume everything that
yang berasal dari Amerika Latin. Kehidupan comes from Latin America. The socio-economic
sosial ekonomi dan kemiskinan negara-negara and poverty of developing countries in South
berkembang di Selatan Amerika tersebut menjadi America are treated as merchandises and massively
barang dagangan dan diekspos secara besar-besaran. exposed. This is a sharp critique of the Misery Porn,
Ini merupakan sebuah kritik tajam terhadap Misery done vividly and humorously, because cinema has
Porn, dilakukan dengan cara yang gamblang dan an authority to do that.
humoris, karena sinema memiliki otoritas untuk itu.

Luis Ospina. Dia belajar filem di Luis Ospina. He studied filem at the
University of Southern California dan University of Southern California and
Universitas California (UCLA). Dia the University of California UCLA.
adalah bagian dari kelompok bersama He was part of the group along with
Carlos Maiolus Cali, Andrés Caicedo, Carlos Maiolus Cali, Andrés Caicedo,
Hernando Guerrero dan seniman asal Hernando Guerrero and other artists
Cali lainnya, yang mendirikan Cinema from Cali, who in the 1970s founded
Club of Cali pada 1970, majalah filem the Cinema Club of Cali, Eye magazine
Eye dan kelompok artistik Solar City. filem and artistic commune Solar City.
Dia telah menyutradarai dua filem He has directed two feature filems,
feature, Thoroughbred (1982) dan Breath of Thoroughbred (1982) and Breath of Life
Life (1999), dan telah mebuat lebih dari (1999), and has made ​​over 30 short filems
30 filem pendek dan dokumenter. and documentaries.

Carlos Mayolo. Lahir di Cali pada 1945 Carlos Mayolo. Born in Cali in 1945
dan menyelesaikan SMA-nya di Bogota. and finished high school in Bogota. Two
Dua tahun setelah lulus ia belajar years later studied law at the Universidad
Hukum di Universidad Santiago de Cali. Santiago de Cali. He began his career
Ia memulai karirnya pada 1968 sebagai in 1968 as a documentary filem director.
sutradara dokumenter. Dia merupakan He was part of the group called Cali
bagian dari kelompok yang disebut Cali also integrated Luis Ospina, Andrés
yang juga melibatkan Luis Ospina, Caicedo, Arbelaez and Sandro Ramiro
Andrés Caicedo, Arbelaez dan Sandro Romero Rey, all movie fans, with whom
Ramiro Romero Rey, semua pecinta he founded the Cinema Club of Cali
filem, dengan mereka ia mendirikan in 1971 and the Cinema Eye magazine
Cinema Club of Cali pada 1971 dan in 1974. He played in the Colombian
majalah filem Eye pada 1974. Dia aktif Communist Party.
di Partai Komunis Kolombia.

142
Agenda: 26/8, Teater Kecil

Jatuhnya Sebuah Rezim


kurator: Andrie Sasono

Pada November 1989, Nicolae Ceauşesqu kembali terpilih menjadi


presiden Rumania untuk 5 tahun masa kepemimpinan. Dalam pidatonya
dia mencela revolusi yang terjadi di negara-negara komunis lainnya.
Ironisnya beberapa bulan setelahnya, terjadi perlawanan terhadap
terpilihnya kembali diktator Rumania itu. Penolakan ini dimulai dari
kota Timisoara dan menyebar keseluruh negeri. Rentetan–rentetan
perlawanan ini berujung dengan jatuhnya Rezim Nicolae Ceauşesqu.
Pergolakan yang terjadi di Rumania merupakan dampak dari
perubahan arus politik di Soviet yang merembet ke aliansi negara–
negara Eropa Timur pada tahun 1989. Perubahan arus politik ini yang
paling signifikan ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin. Kekuatan
komunis Soviet kehilangan pengaruh pada sekutunya.
Gerakan perlawanan dan protes pada kekuasaan Ceauşesqu
terekam dengan baik melalui alat–alat rekam masyarakat, kamera
video. Rekaman–rekaman ini ada yang dari seorang pria yang sedang
menonton tv di kamar hotelnya sementara dia sedang menonton berita
yang menyiarkan pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat Rumania

143
di jalanan. Ada juga adegan langsung sekumpulan rakyat sipil yang
sedang melempari batu ke arah para tentara sementara sebagian lainnya
hanya ingin masuk ke dalam stasiun kereta. Hingga rekaman peristiwa
ketika stasiun tv lokal dimasuki orang–orang yang ingin menduduki
dan mengambil alih stasiun tv lokal itu. Peristiwa ini sampai membuat
salah satu orang mengalami luka parah di kepala.
Semua rekaman–rekaman inilah yang digunakan oleh Harun
Farocki dan Andrei Ujica untuk membangun filem Videogram of a
Revolution. Dengan rekaman-rekaman yang dikumpulkan dari berbagai
sumber, disusun potongan demi potongan, dari satu kamera ke kamera
yang lain. Dua sutradara ini, secara sadar memandang rekaman sebagai
realita. Rekaman itu juga dapat dicampur, dibentuk kembali, dan
dimanipulasi. Menurut Ujica dalam salah satu wawancara di media
online, rekaman–rekaman yang pada dasarnya hanya inisiatif dari warga
sipil yang ingin mendokumentasikan peristiwa dan sekedar menjadi
dokumentasi pribadi. Peristiwa yang sedang berlangsung tertangkap dan
terekam oleh mata kamera dan hasilnya adalah video yang membingkai
peristiwa tersebut. Isi dari rekaman–rekaman ini menyuguhkan perspektif
dari sang perekam yaitu warga sipil dalam melihat peristiwa historik
yang sedang terjadi. Peristiwa historik yang terjadi tentu imbasnya
terasa oleh masyarakat Rumania, efek–efek yang timbul ini memicu
bermacam bentuk reaksi dari masyarakat Rumania. Dengan hadirnya
kamera video, warga sipil dimungkinkan untuk merekam peristiwa yang
sedang berlangsung dengan mobilitas tinggi yang ditawarkan kamera
video. Rekaman–rekaman yang dihasilkan oleh warga sipil ini pun
kemudian menjadi sebuah arsip. Peristiwa yang terekam dalam kamera
video itulah yang kemudian dikumpulkan oleh Farocki dan Ujica untuk
diolah kembali, dirangkai sedemikian rupa untuk membentuk realitas
baru yang mereka hadirkan dalam satu bentuk filem.
Lewat Videogram, Farocki dan Ujica menunjukkan bagaimana
representasi media akan sebuah revolusi yang sedang terjadi, disajikan
dari berbagai perspektif, kita bisa melihat revolusi yang terjadi dari
banyak sisi.
Sinema berarti persepsi yang timbul dari koneksi antara waktu
dan ruang. Dalam Videogram, ditampilkan representasi media bisa
membangun persepsi. Farocki dan Ujica mengkoneksikan waktu dan

144
ruang dari setiap rekaman yang ada hingga menjadi satu narasi linear yang
utuh. Dalam filem ini kita seperti dibawa mengikuti proses terjadinya
revolusi dari satu kamera ke kamera lain, seakan berasal dari satu reel
filem yang sama. Ujica sebelumnya menulis buku berjudul Television/
Revolution: The Ultimatum of The Images – Romania in December 1989
yang menarik perhatian Farocki untuk membuat filem tentang peristiwa
runtuhnya Rezim Nicolae Ceauşesqu. Buku ini berisikan dialog–dialog
antara Ujica dan seorang intelektual Rumania serta dua orang temannya
yang berasal dari Timisoara dan Bukares yang menyaksikan peristiwa
yang terjadi baik secara langsung dan dari TV. Tetapi Ujica tidak mau
membuat filem tentang buku ini, dia memilih membuat filem tentang
hal yang lebih menarik dan tidak terdapat di bukunya. Dan terciptalah
Videogram of a Revolution.
Dalam Videogram kita di ajak untuk mengikuti proses kejadian
kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat Rumania dari kekuasaan
Rezim Nicolae Ceauşesqu. Filem dibuka dengan kejadian yang pelik,
yaitu seorang wanita yang terluka parah meminta kepada reporter TV
yang kebetulan sedang berada di rumah sakit untuk merekam pesannya.
Pesan tersebut berisi harapannya untuk ikut turun bersama masyarakat
dan menjadi bagian dari kejadian bersejarah yang akan terjadi. Wanita
itu sedang kesakitan tapi dia masih punya harapan yang kuat akan masa
depan negaranya. Di sini suara wanita ini menjadi narasi besar dari filem
ini dan juga mewakili suara rakyat Rumania yang menginginkan masa
depan yang lebih baik.
Kita diajak berpindah dari rumah sakit ke halaman gedung
komite di mana Nicolae Ceauşesqu didampingi Elena, istrinya, sedang
berorasi di depan seluruh rakyat Rumania yang memenuhi halaman
gedung komite. Di sini Farocki dan Ujica mengajak kita menyaksikan
peristiwa dari kamera televisi yang sedang merekam, dan narator memberi
tahu kita bahwa kamera sedang merekam secara langsung.
Ketika Nicolae Ceauşesqu sedang berpidato, tiba–tiba dia
mendadak diam karena suasana di halaman menjadi riuh. Kamera ikut
terganggu dan siaran langsung dari kamera TV pun mati. Di TV hanya
terlihat layar merah. Sebenarnya kamera masih merekam tapi para juru
kamera mengarahkan kamera ke atas menghadap langit, seperti mereka
telah diinstruksikan untuk melaksanakannya apabila terjadi hal–hal

145
yang tak terduga. Selama itu kamera masih merekam menghadap ke
langit dan suara riuh masih terdengar. Nicolae Ceauşesqu meminta
mereka diam tapi rakyat Rumania sudah tidak perduli lagi. Mereka
terus membuat suara–suara yang riuh.
Kamera kembali menyiarkan secara langsung, tapi tidak ada suara
yang terdengar. Nicolae Ceauşesqu melanjutkan pidatonya dan suara
kembali terdengar. Narrator membawa kita kembali ke peristiwa yang
sebenarnya terjadi ketika siaran langsung terganggu, di sini Farocki dan
Ujica menunjukkan kepada kita mana sejarah yang ditampilkan oleh
televisi dan mana sejarah sebenarnya yang terjadi di lapangan melalui
kamera yang berbeda, bukan kamera televisi resmi yang siarannya
ditayangkan di seluruh negeri.
Dua sisi representasi inilah yang terus digali oleh Farocki dan
Ujica dalam filem Videogram of a Revolution. Juga ada dua tempat yang
menjadi pusat terjadinya peristiwa jatuhnya rezim ini, yaitu di halaman
gedung komite tempat Nicolae Ceauşesqu dan stasiun televisi yang
direbut oleh rakyat.
Dari kedua tempat itu peristiwa berkembang seiring kamera yang
berpindah–pindah dari kamera sipil ke kamera TV. Kamera menjadi
mata, dan mata yang dimaksud disini mencakup dua sisi. Kamera massa
atau sipil, dan kamera televisi. Kedua sisi tersebut mewakili representasi
yang berbeda. Tetapi Farocki dan Ujica memadukan footage–footage ini.
Terlihat seperti ingin menunjukkan kontrasnya tetapi tidak sekedar itu.
Footage–footage ini juga saling membangun satu sama lain.
Ketika helikopter yang ingin dinaiki oleh Nicolae Ceauşesqu
berusaha digagalterbangkan oleh para rakyat, kita bisa lihat Farocki dan
Ujica menyuguhkannya dari berbagai sudut dan jarak kamera. Hal ini
hanya bisa dilakukan dengan menggunakan konsep estetika seperti ini,
yang memungkinkan pembuatnya untuk mengikuti peristiwa yang terjadi
dengan sangat detil. Detil–detil yang belum tentu bisa ditunjukkan bila
menggunakan satu kamera.
Subyektivitas berusaha dihilangkan oleh Farocki dan Ujica.
Memungkinkan, karena footage–footage ini digabungkan dalam satu
sekuen sehingga melebur menjadi satu bentuk utuh. Farocki dan Ujica
berusaha menampilkan bagaimana sejarah itu bisa menjadi sesuatu yang
filemis, tapi hanya dengan kemampuan kamera video yang merekam

146
dengan durasi yang lebih panjang dan mobilisasinya yang tinggi,
memberikan tawaran kepada kita bagaimana cara unuk merekam atau
memfilemkan sejarah secara utuh.
Ketika hanya ada satu kamera yang mendapat akses sampai
ke saat–saat terakhir dari Nicolae Ceauşesqu dan istrinya dieksekusi,
semua orang duduk di depan TV dengan kamera masing–masing.
Mereka berusaha merekam. Revolusi akan menjadi kenyataan dengan
hukuman mati yang akan dilaksanakan, dan kamera seperti mewakili
mata para rakyat Rumania yang ingin melihat dan merekam peristiwa itu.
Dalam narasi di sekuen terakhir, narator berucap, “Filem itu mungkin
karena sejarah ada”. Filem ada untuk merepresentasikan sejarah dan
menampilkan kondisi yang terjadi saat ini.

147
The Fall of a Regime
curator: Andrie Sasono

In November 1989, Niculae Ceauşescu was re-elected as the president


of Romania for 5 years more. In his speech, he denounced the revolution
that occurred in other communist countries. Ironically, a few months after
that, uprising began in Timişoara and spread throughout the country.
Series of uprisings led to the fall of the Niculae Ceauşescu regime.
Upheaval that occurred in Romania was the impact of political
changes in Uni Soviet which pervaded to the alliance of East European
countries in 1989. The fall of the Berlin walls was the most significant
marker of the changes in political situation at that time. The power of
the Soviet communist allies was degraded.
The resistance and protest against the power of Ceauşescu were
well documented through ordinary people’s recording equipment—video
camera. One of these recordings was an image of a man watching TV
in his hotel room while it was reporting the movement of Romanian
people on the streets. There was also a scene broadcasted live about
civilians throwing stones at the soldiers while others just wanted to get
into the train station, to the recording of event when many people tried
to occupy and take over the local tv station. The event was causing one
person suffered a serious injury in his head.
All recordings were used by Harun Farocki and Andrei Ujica
to construct their film, Videograms of a Revolution. They compiled the
footages out of recordings collected from various sources, from one
camera to another camera.

148
Both directors, were consciously looking at footage as reality.
Those footages were mixed, reshaped, and manipulated. According to
Ujica in an interview on online media, recordings were basically an
initiative of civilians who wanted to document those events and for
personal documentation purpose only. The ongoing events were caught
and captured by the eye of video camera and the result was videos framing
those events. The contents of these recordings presented the perspective
of the recorder whom were civilians in witnessing the historical event
happened at that time. Historical events that happened of course was
affecting the Romanian people, these effects arisen was triggering various
reactions within the Romanian society. With the presence of video
camera, civilians was possible to record the ongoing event with high
mobility offered by video camera. The recordings produced by civilians
later became an archive. Events recorded by video camera were then
collected by Farocki and Ujica for reprocessed, strung together in such
way to form a new reality in the form of a film.
Through Videograms of a Revolution (1992), Harun Farocki
and Andrei Ujica shows how media represents an on-going revolution,
presented from different perspectives, then we could see a revolution
through various prisms.
Cinema is about perception created from the connection between
time and space. In Videograms, media representations are shown able
to build perception. Ujica and Farocki connected time and space from
any existing recorded video to become a complete linear narrative. In
this film we were brought to follow the process of revolution from one
camera to another camera as if coming from the same reel of film.
Ujica once wrote a book called Television/Revolution: The
Ultimatum of the Images - Romania in December 1989, which attracted
the attention of Farocki to make a film about the fall of the regime of
Nicolae Ceauşescu. This book contains the dialogue between Ujica, a
Romanian intellectual, and two friends of them, one from Timisoara and
the other from Bucharest who had witnessed the event either directly or
on TV. But Ujica did not want to make a film about his book, but rather
about things that were not included in the book. Then, Videograms of a
Revolution was the result.

149
In Videograms we will be invited to follow the coup d’etat carried
out by the people of Romania to Nicolae Ceauşescu regime. The film
opens with a scene of a badly injured woman who asked the tv reporter
who happened to be in the hospital to recorded her message. The message
contains her hope to go to the street along with the Romanian people
and be part of the historical event. There was a contrast here, she was
in pain but she still had a strong hope for her country’s future. Herein
the woman’s voice became the film main narrative and also represented
the voice of the Romanian people of a better future.
The film then moved from the hospital to the central commitee
square where Nicolae Ceauşescu accompanied by his wife, Elena, were
giving speeches in front of thousands Romanian people. Farocki and
Ujica invited us to witness the event from the television cameras and
the narrator told us that the camera was recording live.
When Nicolae Ceauşescu was making a speech suddenly we
could not hear his voice as the situation in central commitee square
became boisterous. The camera was disrupted and live broadcasting
from tv stopped. We could only see on tv a red screen. Actually, the
camera was still recording but the cameraman pointed the camera
upwards to the sky, as if they had been instructed to do so if something
unexpected happen. While the camera still recorded, some noises were
heard. Nicolae Ceauşescu then asked the crowd to be quiet but they
didn’t care and kept shouting.
The camera broadcasted the live report again, but no sound was
heard in the background. Nicolae Ceauşescu continued his speech and
the voice was coming on again. The narrator took us back to what had
happened when the broadcast was interrupted. Farocki and Ujica showed
us both sides of history, one was officially displayed by the national
television and the other which actually happened in the actual location
from different cameras through the citizens’ cameras.
These two different sides of representation were continuously
dug up by Farocki and Ujica in Videograms of a Revolution. There were
other two places which became the center of the fall of the Ceauşescu
regime, which were in the courtyard of the committee building where
Ceauşescu gave his speech and in the TV station that were taken
over by the Romanian people. From both places the event evolved

150
simultaneously suggesting that camera became eyes which covered two
sides, from civilian camera to TV camera. Two sides were representing
two different sides. But Farocki and Ujica combined all these footages
to make them look like a contrast which at the same time also mutually
were constructing one another.
When Nicolae Ceauşescu wanted to flee out by using the
helicopter, his citizens were trying to prevent it. We could see Farocki
and Ujica presented it from various camera angles and distances. This
could only be possible with the aesthetic concept like this, in which
the author could follow the event in minutiae detail—the kind of detail
that could not be displayed when only using a single camera.
Farocki and Ujica was trying to eliminate subjectivity. This
could happen because the footages were combined in a single sequence
to emerge and represent only a single entity. Farocki and Ujica were
trying to show how history could be something filmic, but only with
the potentiality of video camera which provided the ability to record
longer duration and its high mobility offered us a way to record or film
the whole history.
When there is only one camera that had access to the the last
moment of Nicolae Ceauşescu and his wife’s life, everyone was sitting
in front of their TV and recorded it with their own camera. Revolution
were about to become a reality with the death penalty actually imposed
to the couple, and the camera was like a representation of the eyes of the
Romanian people to see and record the incident. In the last sequence,
the narrator said “Film was possible because there was history.” Film
exists to represent the history and displays the present conditions.

151
Country of Production: Germany,
Romania
Language: Germany, Romanian,
English
Subtitles: English
106 min, Color, 1992

Videogramme Einer Revolution


(Videograms of Revolution)
Harun Farocki, Andrei Ujică (Germany)

Built around amateur videos, demonstration footage and excerpts from a demonstrator-controlled
Bucharest TV studio in late December 1989, this rigorous chronology of the Romanian uprising that
overthrew dictator Nicolae Ceausescu shows clearly, and often with real suspense, how the mediated
image not only records but engenders historic change. The studio was occupied for 120 unbroken hours
and became a courtroom/interrogation centre/report hub for the seismic events unfolding outside. A
Marker-esque voice-over occasionally guides our reading, but it’s left primarily to the images to narrate
themselves, and they offer a ringside seat for this revolution of the image. Watch out for the extraordinary
moment early on when the state newscaster coughs slightly after reading out some blatant double-speak
a ministerial suicide, marking perhaps the moment when it all starts to unravel.

Built around amateur videos, demonstration footage and excerpts from a demonstrator-controlled
Bucharest TV studio in late December 1989, this rigorous chronology of the Romanian uprising that
overthrew dictator Nicolae Ceausescu shows clearly, and often with real suspense, how the mediated
image not only records but engenders historic change. The studio was occupied for 120 unbroken hours
and became a courtroom/interrogation centre/report hub for the seismic events unfolding outside. A
Marker-esque voice-over occasionally guides our reading, but it’s left primarily to the images to narrate
themselves, and they offer a ringside seat for this revolution of the image. Watch out for the extraordinary
moment early on when the state newscaster coughs slightly after reading out some blatant double-speak
a ministerial suicide, marking perhaps the moment when it all starts to unravel.

152
Harun Farocki was born in Novi Jicín Harun Farocki was born in Novi Jicín
in 1944 in what is today the Czech in 1944 in what is today the Czech
Republic. He studied at the German Republic. He studied at the German
Cinematic and Television Academy Cinematic and Television Academy
(DFFB) in Berlin, from which he was (DFFB) in Berlin, from which he was
expelled in 1968 for political reasons. expelled in 1968 for political reasons.
In addition to writing theoretical texts, In addition to writing theoretical texts,
he has scripted numerous filems and he has scripted numerous filems and
television productions. His work was television productions. His work was
shown at Documenta 12 in Kassel and shown at Documenta 12 in Kassel and
in numerous international retrospectives in numerous international retrospectives
and has received many awards. and has received many awards.

Andrei Ujică (born 1951 in Timişoara, Andrei Ujică (born 1951 in Timişoara,
Romania) is a Romanian screenwriter Romania) is a Romanian screenwriter
and director. Ujică studied literature in and director. Ujică studied literature in
Timişoara, Bucharest and Heidelberg. Timişoara, Bucharest and Heidelberg.
He moved to Germany in 1981. In 1990 He moved to Germany in 1981. In 1990
he began making filems. Together with he began making filems. Together with
Harun Farocki, he created Videograms Harun Farocki, he created Videograms
of a Revolution, a filem which has of a Revolution, a filem which has
become a standard work in Europe become a standard work in Europe
when referring to relationships between when referring to relationships between
political power and the media and the political power and the media and the
end of the Cold War, and which was end of the Cold War, and which was
listed by the magazine Les Cahiers du listed by the magazine Les Cahiers du
Cinema as one of the top 10 subversive Cinema as one of the top 10 subversive
filems of all time. filems of all time.

153
Agenda: 26/8, kineforum

Memakai Arsip,
Mereka Ulang Sejarah
kurator: Yuki Aditya

Menggunakan arsip tidak diragukan lagi adalah salah satu tren penting
dalam pembuatan filem dokumenter di era kontemporer ini. Nama-nama
seperti Mark Rappaport, Thom Andersen, dan Artavadz Peleshian
merupakan beberapa seniman yang produktif menghasilkan karya-karya
yang baik dengan memanfaatkan arsip. Rekaman dari arsip difungsikan
sebagai katalis untuk menuliskan arsip baru—untuk melihat sejarah
dengan cara yang baru. Ini adalah sebuah teknik yang memungkinkan
sejarah direfleksikan melalui interpretasi pribadi senimannya. Tetapi
bagaimanakah caranya agar pertautan kita ke masa lalu mungkin bisa
dibentuk dengan materi arsip? Bagaimana mungkin teks-teks baru yang
didasarkan pada materi arsip bisa menciptakan suatu hubungan antara
masa lalu dan masa kini bagi pembuat filem dan penontonnya?
Dokumenter memegang dan memainkan peran penting dalam
mengkreasikan memori kolektif dari peristiwa budaya, sosial dan politik.
Oleh sebab itu, pembuat filem dokumenter penting untuk awas terhadap
dampak dan efek dari penggunaan materi arsip dalam filem-filem mereka.

154
Dua filem dalam program ini menggunakan estetika yang
berbeda dalam menyampaikan visi personal pembuatnya. Adam Curtis
menggunakan teks tertulis, sedangkan Isaki Lacuesta menggunakan
narasi verbal untuk membangun argumen sinematiknya. Keduanya
pun lebur dalam hubungan antara sejarah dan ingatan, mendaur ulang
masa lalu sebagai kendaraan untuk membicarakan masa sekarang. Klaim
akan kebenaran dari footage arsip yang dipakai oleh pembuat filem tetap
sahih, tapi tafsiran yang ada di dalam footage-footage tersebut kini
dihubungkan antara saat footage itu direkam dengan kondisi saat filem
dokumenter tersebut dibuat.
Dokumenter yang lama menjadi materi pembentuk sebuah
kompilasi baru. Setiap footage dipresentasi ulang dan disandingkan
dengan footage arsip lainnya (It Felt Like a Kiss) maupun gabungan
dengan footage baru (Marker Variations). Sejarah tidak lagi tentang
masa lalu. Namun sejarah adalah pertanyaan masa sekarang kepada
masa lalu, sehingga cara melihat sejarah bukan lagi hanya dari apa yang
sudah terjadi, tapi juga mengenai di mana kita sekarang.

It Felt Like a Kiss


Filem ini diambil dari judul lagu yang dipopulerkan oleh Carole King
pada tahun 1962. Lagu ini diambil sebagai metafora terhadap tragedi
runtuhnya menara kembar World Trade Center di kota New York pada
tahun 2001. Peristiwa itu jelas merupakan pukulan telak bagi Amerika
Serikat. Namun melalui filem ini Adam Curtis membuka wacana baru,
di mana peristiwa itu sendiri sebenarnya telah dipupuk oleh kebijakan
politik Amerika Serikat, yang ikut “membina” teroris-teroris tersebut
sejak puluhan tahun sebelumnya.
Montase filem ini mengungkap bagaimana Amerika Serikat
paska Perang Dunia II dengan “American Dream”-nya yang membuncah
lalu menimbulkan konspirasi yang menghancurkan negara itu sendiri
pada 2001.
Dokumenter ini dibuka dengan potongan adegan dari filem
Pillow Talk rilisan 1959 yang dibintangi oleh dua bintang filem terkenal
saat itu, Rock Hudson dan Doris Day. Adegan menampilkan Hudson
mengantar Doris Day pulang ke rumah setelah kencan mereka, Doris
menutup pintu yang bertuliskan angka 2001. Doris tidak dapat tidur

155
dan terbangun karena mendengar suara ledakan yang kemudian kita
ketahui dari ledakan pesawat yang menabrak Menara Kembar World
Trade Center.
Prolog filem adalah bagaimana Amerika Serikat memproklamirkan
diri sebagai agen yang akan “mengubah dunia” ke arah lebih baik
namun lambat laun fragmen yang disusun malah menceritakan keadaan
sebaliknya. 1959 juga adalah kali pertama virus HIV diketemukan pada
simpanse dan Adam Curtis menggunakan teks untuk menjahit cerita
filemnya. Fokusnya luas, misalnya Perang Vietnam, munculnya diktator
Mobutu Sese Seko, awal karir Osama bin Laden, dan kudeta di Irak
oleh Saddam Hussein yang disponsori oleh Amerika Serikat sebagai
peristiwa ekspor politik, ditampilkan selaras dengan maraknya budaya
pop yang diwakilkan oleh iklan dan industri kecantikan.
Curtis juga melihat daya tarik sekaligus keburukan dari filem
dan musik populer. Tensi dalam filem dibangun dengan persinggungan
antara apresiasi Curtis terhadap dinamisnya budaya pop Amerika dengan
kesinisan terhadap efek dari kedigdayaan negara tersebut. Lagu It Felt
Like a Kiss dari Carole King yang adalah cerita dari pengalaman buruk
pemukulan pengasuh anak Carole King, oleh pacarnya disandingkan
dengan footage peristiwa bakar diri seorang biksu di Vietnam untuk
memprotes dukungan pemerintah Amerika Serikat kepada rezim korupsi
Diem di Vietnam.

The Marker Variations


Siapa Chris Marker adalah pertanyaan dalam filem ini. Marker
diceritakan sebagai penulis, seniman multimedia, yang hidupnya
diungkap lewat voice-over orang lain dan ia terkenal akan keengganannya
untuk diabadikan dalam foto. Lacuesta menunjukkan beberapa foto-foto
sosok Chris Marker yang kabur dan tidak jelas. Apakah Chris Marker
benar-benar ada? Isaki Lacuesta menyuratinya dan mendapat balasan
yang unik. “As for the idea of the composite video, you may guest that I’m
never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes to pick bits and pieces
from my filems, let it be, I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.”
Premis filem dilanjutkan dengan betapa penting dan kuatnya
peran imaji atau gambar, baik di dalam filem Chris Marker maupun
dalam kehidupan nyata. Footage dari filem Chris Marker yang berjudul

156
Sans Soleil dipakai Lacuesta untuk menerangkan seorang penguasa
bernama Sabu di daerah Dijon yang menggunakan foto dirinya untuk
mengekalkan kekuasaan. Semua relung wilayah Dijon sampai daerah
terkumuh dipenuhi oleh foto Sabu, yang secara metafora menerangkan
bagaimana terbaliknya kondisi tersebut dengan Chris Marker.
Kehadirannya di filem ini hanya diwakilkan oleh footage-footage dari
filemnya dan oleh satu foto diri yang hanya memperlihatkan setengah
wajahnya yang tertutup kamera.
Hampir semua footage dalam dokumenter ini direkam oleh
Marker sendiri, dan Lacuesta di sini bermeditasi terhadap filem-filem
yang dibuat oleh Marker. Bagaimana Marker merekam wajah, merekam
dan mengusut dunia, dan menggambarkan abad ke-20. Lacuesta
seakan mencoba untuk menyalin kembali apa yang telah dilakukan
oleh Marker dalam karyanya. Lacuesta mengusut, mempertanyakan
dan mendefiniskan kembali footage-footage Chris Marker seperti yang
dilakukan Marker dulu dengan subjek-subjeknya. Dengan kata lain,
Lacuesta sedang mencoba apa mungkin membuat suatu filem baru dari
tentang visinya sendiri dari footage orang lain. Sebuah filem esai tentang
pembuat filem esai yang karyanya lekat akan tema waktu, memori dan
kematian.
Footage diambil dari beberapa filem Chris Marker antara lainnya
Sans Soleil, Level Five, Koumiko Mystery dan lainnya. Rupanya Lacuesta
bukan orang pertama yang melakukan reproduksi terhadap terhadap
karya Marker. Cuplikan dari karya dari Johan van der Keuken, Alain
Berliner, dan Sophia Coppola disandingkan dengan cuplikan filem
Chris Marker yang menjadi inspirasi mereka. Bahkan Lacuesta memberi
pertanyaan yang sama kepada seorang perempuan Jepang dengan yang
ditanyakan Marker terhadap Koumiko dalam The Koumiko Mystery.
Perbedaan jawaban antara dua perempuan yang berasal dari negara yang
sama namun dari periode berbeda sebagai metafora perbandingan masa
lalu dan kontemporer, fiksi dan dokumenter, seluloid dan medium video
yang digunakan Lacuesta untuk membuat filem, serta dua visi berbeda
dari dua sutradara beda generasi.
Baik footage dari filem-filem Chris Marker maupun yang direkam
oleh Lacuesta sendiri bisa dikatakan sebagai memento mori, bukan
terhadap kematian Marker tapi atas kemisteriusannya. Marker sendiri

157
biasa melakukan reproduksi macam tersebut, mulai dari antusiasmenya
terhadap filem Alfred Hitchcock yang berjudul Vertigo, sampai
menangkap ulang lokasi tangga yang terkenal dengan gaya dokumenter
dari filem Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein. Saat biasanya
sinema digunakan sebagai model untuk membangkitkan kesadaran
historis seperti dalam It Felt Like a Kiss, maka Lacuesta dalam filem ini
seakan meminjam peribahasa favorit Chris Marker yang dikutip Marker
dari George Steiner: “Kita tidak diperintah oleh masa lalu, melainkan oleh
gambar yang berasal dari masa lalu.” Tanpa arsip, sejarah akan hilang.

158
Found Footage Archive:
Reconstruction of History
curator: Yuki Aditya

Using archival footage is undoubtedly one of the important trends


in documentary filmmaking in contemporary era. Names like Mark
Rappaport, Thom Andersen, and Artavadz Peleshian are prolific artists
who produced works with utilizing archival footage. Footage from the
archive functions as catalyst to write a new archive-to see history in a
new way. It is a technique that allows a personal interpretation of history
reflected through its artists. But how can our linkage to the past might
be formed with archive material? How is it possible the new texts based
on archival material can create a link between the past and the present
for the filmmakers and the audience?
Documentary film plays an important role in the creation of
collective memory of cultural, social, and political event. Therefore, it
is important for documentary filmmaker to be aware of the impact and
effects of the use of archival material in their films.
Two films in this curated program are using different aesthetic
in delivering the maker’s personal vision. Adam Curtis uses written
text, while Isaki Lacuesta using verbal narrative to build a cinematic
argument. Both were dissolved in the relationship between history
and memory, recycling the past as a vehicle to talk about the present.
Claims the truth of which used archival footage by filmmaker remains
valid, but the interpretation is in the footages now connected between
the time when the footages were recorded with the current state of the
time the documentaries were made.

159
The old documentaries material are forming a new compilation.
Each footage was re-examined, juxtaposed with other archival footage (It
Felt Like a Kiss) or combined with new footage (The Marker Variations).
History is no longer about the past. But history is a question of the
present to the past, which means we no longer just look at the history
as what has happened, but also of where we are now.

It Felt Like a Kiss


It Felt Like a Kiss is taken from the title of a song made famous
​​ by Carole
King in 1962. This song is used as a metaphor for the 9/11 tragedy, of
the collapsed World Trade Center twin towers in New York back in
2001. The event was clearly a blow to the United States. But through
this film Adam Curtis opened a new discourse, where the event has
actually fostered by the United States policy, took part in ‘creating’ these
terrorists since the previous decades.
The montage of the film reveals how the United States after World
War II with its utopian “American Dream” then caused a conspiracy to
destroy the country itself in 2001.
The documentary opens with a scene cuts from a movie from
1959, Pillow Talk, starring two famous movie stars at the time, Rock
Hudson and Doris Day. The scene features Hudson drove Doris Day
home after their date, and then Doris closed the door which is labeled
a number, 2001. Doris could not sleep and woke up to the sound of
explosions and then we know the explosion is coming of the plane
crashing into the World Trade Center’s Twin Towers.
The prologue of the film is how the United States proclaim as
an agent that will “change the world” for the better but gradually the
fragments compiled instead tells the opposite situation. 1959 is also the
first time that the HIV virus found in chimpanzees and Adam Curtis
uses text to sew his story. The focus is broaden, from Vietnam War, the
rise of dictator Mobutu Sese Seko, the early career of Osama bin Laden,
to the coup in Iraq by Saddam Hussein sponsored by the United States
as a political export events shown in tune with the rise of pop culture,
which is represented by advertising and beauty industry.
Curtis also sees the attraction as well as the ugliness of popular
movies and music. Tension in the film is built with intersection of Curtis’

160
appreciation of the dynamics of American pop culture and the cynicism
to the effects of the country’s superiority. The song It Felt Like a Kiss
was sung by Carole King, telling the bad experience of her nanny who
was beaten by her own boyfriend. The song is juxtaposed with a self-
immolation incident footage of a monk to protest the U.S. government’s
support to the corrupt Diem regime in Vietnam.

The Marker Variations


Who is Chris Marker is the question in this film. Marker is told as a
writer, multimedia artist, whose life is revealed through other people’s
voice-over, and he is famous for his reluctance to be immortalized in
a photograph. Lacuesta showed some pictures of Chris Marker which
are vague and unclear. Does Chris Marker really exist? Isaki Lacuesta
wrote to him and got a unique reply. “As for the idea of the composite video,
you may guest that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes
to pick bits and pieces from my films, let it be, I practice enough piracy myself
to enjoy being pirated.”
The premise of the film followed by the importance and the
strong role of images or pictures, either in Chris Marker’s films or in real
life. Lacuesta uses footages from Marker’s film, Sans Soleil, to explain
a ruler named Sabu that uses pictures of himself to perpetuate power
in the Dijon region. Every corner and slum area in Dijon were filled
by Sabu photos, which are metaphors to contradict with the condition
of Chris Marker. Marker’s presence in the film is only represented by
footages from his films and by a photo of himself that shows only half
of his face and covered by a camera.
Most of the footages in this documentary were taken from
Marker’s films, and Lacuesta here is meditating on those films. How
Marker recorded faces, recorded and investigated the world, and described
the 20th century. Lacuesta as if trying to copy what has been done by
Marker in his works. Lacuesta investigates, questions and redefines
Marker’s footages as what Marker did to his subjects. In other words,
what Lacuesta does is trying to make his own film from footages of
other filmmaker. A film essay about an essay filmmaker whose themes
were mostly about time, memory and death.

161
Footages were taken from several films of Chris Marker including
Sans Soleil, Level Five, Koumiko Mystery and others. Lacuesta apparently
not the first person who committed reproduction of Marker’s works.
Excerpts from the work of Johan van der Keuken, Alain Berliner, and
Sophia Coppola juxtaposed with footage of Chris Marker films that
inspired them. Lacuesta gave same questions to a Japanese woman which
Marker once was asking to Koumiko in Koumiko Mystery. The differences
in the response between the two women from the same country but from
different periods, act as a metaphor comparing past and contemporary,
fiction and documentary, celluloid and video medium used by Lacuesta
to make his film, as well as two different visions coming from two
different generations of film directors.
Either the footage of Chris Marker films or the ones recorded by
Lacuesta himself could be regarded as memento mori, not to the death
of Chris Marker but to Marker the mysterious figure. Marker himself
used to do these kind of reproduction, ranging from his enthusiasm to
Alfred Hitchcock’s Vertigo, to ‘re-imagine’ the famous staircase scene
of Sergei Eisenstein’s Battleship Potemkin in documentary style. When
cinema is usually used as a model to raise historical awareness as in It
Felt Like a Kiss, then Lacuesta in The Marker Variations seemed to borrow
a favorite proverb quoted by Chris Marker from George Steiner: “It is
not the literal past that rules us. It is images of the past. “. Without archive,
history will be lost.

162

It Felt Like a Kiss


Kevin Adam Curtis (UK)

It Felt Like a Kiss diambil dari judul lagu yang It Felt Like a Kiss is taken from the title of a song
dipopulerkan oleh Carole King pada 1962. Lagu made ​​famous by Carole King in 1962. This song
ini dipakai sebagai metafora terhadap tragedi is used as a metaphor for the 9/11 tragedy, of the
runtuhnya menara kembar World Trade Center collapsed World Trade Center twin towers in New
di kota New York pada 2001. Peristiwa itu jelas York back in 2001. The event was clearly a blow to
merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat. the United States. But through this filem Adam
Namun melalui filem ini Adam Curtis membuka Curtis opened a new discourse, where the event
wacana baru, di mana peristiwa itu sendiri has actually fostered by the United States policy,
sebenarnya telah dipupuk oleh kebijakan politik took part in ‘creating’ these terrorists since the
Amerika Serikat yang ikut ‘membina’ teroris-teroris previous decades.
tersebut sejak puluhan tahun sebelumnya.

Kevin Adam Curtis lahir pada 1955, dia Kevin Adam Curtis (born 1955) is a
seorang pembuat dokumenter televisi British television documentary maker
Inggris yangmana disepanjang karir who has during the course of his
televisi-nya bekerja sebagai penulis, television career worked as a writer,
produser, sutradara dan narator. producer, director and narrator. He
Baru-baru ini ia bekerja untuk Berita currently works for BBC Current
Terkini BBC. Program asuhannya Affairs. His programmes express a clear
mengungkapkan opini yang jelas (dan (and sometimes controversial) opinion
kadang kontroversial) akan subyeknya, about their subject, and he narrates the
dan dia menarasikan programnya programmes himself.
sendiri.

163
supported by the filmmaker

Country of Production: Spain


Language: Spain
Subtitles: English
34 min, Color, 2007

Las Variaciones Marker (The Marker Variations)


Isaki Lacuesta (Spain)

Siapa Chris Marker adalah pertanyaan dalam Who is Chris Marker is the question in this film.
filem ini. Marker diceritakan sebagai penulis, Marker is told as a writer, multimedia artist,
seniman multimedia, yang hidupnya diungkap whose life is revealed through other people’s voice-
lewat voice-over orang lain dan ia terkenal akan over, and he is famous for his reluctance to be
keengganannya untuk diabadikan dalam foto. immortalized in a photograph. Lacuesta showed
Lacuesta menunjukkan beberapa foto-foto sosok some pictures of Chris Marker which are vague
Chris Marker yang kabur dan tidak jelas. Apakah and unclear. Does Chris Marker really exist? Isaki
Chris Marker benar-benar ada? Isaki Lacuesta Lacuesta wrote to him and got a unique reply.
menyuratinya dan mendapat balasan yang unik. “As for the idea of the composite video, you may
“As for the idea of the composite video, you may guest guest that I’m never against experiments. If Isaki
that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta Lacuesta wishes to pick bits and pieces from my
wishes to pick bits and pieces from my filems, let it be, films, let it be, I practice enough piracy myself to
I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.” enjoy being pirated.”

Isaki Lacuesta lahir di Spanyol pada Isaki Lacuesta was born in Spain at
1975. Setelah studi filemnya selesai, ia 1975. After his filem studies, he took a
melanjutkan kuliah jurusan Komunikasi course in Audio-visual Communication
Audiovisual di Universitat Autònoma at the Universitat Autònoma de
de Barcelona lalu kuliah Master dalam Barcelona and later a Master Course
Pembuatan Dokumenter di Universitat in Documentary of Creation at the
Pompeu Fabra. Universitat Pompeu Fabra.

164
Agenda: 29/8, kineforum

Estetika Kenyataan,
Realisme Publik?
kurator: Mahardika Yudha

“Di sini kita temui perbedaan Lacanian antara ‘ kenyataan’ (reality)


dan ‘yang Nyata’ (the real): ‘ kenyataan’ (reality) yang dimaksud di sini
adalah kenyataan sosial dari orang-orang yang benar-benar terlibat
dalam interaksi dan dalam proses produksi, sementara yang Nyata
(the Real) adalah sesuatu yang ‘abstrak’ yang tak dapat ditawar,
logika menakutkan dari ibukota yang menentukan apa yang terjadi
dalam kenyataan sosial. Kita dapat melihat kesenjangan ini secara
jelas ketika kita pergi ke suatu negara yang kehidupan masyarakatnya
berantakan. Banyak kita lihat kerusakan lingkungan dan penderitaan
manusia. Namun, yang bisa kita baca hanyalah laporan dari para
ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini ‘ baik secara finansial’ –
realitas tidak penting, yang penting adalah kondisi di ibukota…”
– Slavoj Žižek1

1  The Violence, Slavoj Žižek. Terjemahan Indonesia dikutip dari artikel Kota Fasis yang
Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta, Andre Vltchek, diterjemahkan oleh Fitri Bintang
Timur, disunting oleh Rossie Indira, artikel aslinya dimuat di Counter Punch, ”The
Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, edisi 17-19 Februari 2012, http://m.kaskus.

165
Obsesi sinema menjangkau ‘yang nyata’ (the real) bukanlah persoalan
baru. Sejak fotografi ditemukan hingga filem Lumière Bersaudara
ditayangkan kepada publik, teknologi reproduksi kenyataan itu telah
dituduh merebut ‘yang nyata’ (the real). Apalagi ketika filem bicara
lahir, sinema mencapai polemiknya terhadap usaha-usaha mencapai
‘yang nyata’ sampai lahirnya genre realisme pada sinema usai Perang
Dunia I. Sinema berusaha sekuat tenaga dengan berbagai macam moda
produksi hingga bahasa estetika untuk menghadirkan ‘yang nyata’ apa
adanya dengan tidak menjadikan ‘kenyataan’ (reality) hanya sebagai
sarana. Pada Neo Realisme Italia, André Bazin mengatakan bahwa,
“Tak satu pun [tokoh] yang dipersempit menjadi keadaan atau simbol
sehingga penonton bisa membenci mereka tanpa harus bersusah payah
memahami terlebih dahulu ketaksaan dunia manusia yang ditampilkan.”2
Neo Realisme Italia lebih ke arah realitas sebagai sebuah impian, atau
sesuatu yang di luar norma yang dominan. Di sisi lain, perkembangan
genre dokumenter yang dikatakan ‘lebih mendekati’ pada ‘yang nyata’
mencapai titik kejenuhan estetika di masa paska Perang Dingin hingga
muncul pernyataan bahwa fiksi dikatakan sebagai genre yang paling
mendekati ‘yang nyata’, melalui jargonnya “berdasarkan kisah nyata”.
Jargon ini kemudian mendiamkan kita pada sebuah situasi tentang
kehadiran ‘perspektif teknologi’ dan juga sosok yang merujuk pada
kepentingan si perekam di belakang teknologi itu, sekalipun dalam
rekaman dokumenter. Dari sinilah kita kemudian berhadapan dengan
situasi tentang sebuah pergeseran ‘yang nyata’. Kita sedang mencurigai
bahwa ‘kenyataan’ (reality) yang kita alami di dunia ini sebenarnya
adalah sebuah ilusi yang dikonstruksi. Lalu pertanyaan yang muncul
kemudian, apakah sinema semakin menjauh dari ‘yang nyata’?
Dalam dua filem feature dokumenter, Disorder karya Huang
Weikai dan Petition karya Zhao Liang, kita dihadapkan pada bagaimana
sinema berperan dalam menangkap ‘yang nyata’ (the real). Moda produksi
dan bahasa estetika ‘kenyataan’ (reality) yang digunakan oleh Huang

co.id/thread/51e2560b1ad719aa73000007/curhatan-orang-asing-tentang-jakarta/, diakses
pada 17 Juli 2013.
2  Qu’est ce que le cinéma?, Andre Bazin. Terjemahan Indonesia oleh Mirza Jaka Suryana.

166
Weikai dan Zhao Liang berusaha mereduksi dan menghancurkan peran
‘perspektif teknologi’. Tentu saja hal ini tidak mungkin bisa dilakukan
tanpa situasi sosial yang memadai. Dengan kata lain, situasi ‘yang nyata’
masyarakat Cina dewasa ini sangat mungkin mendorong bahasa estetika
‘kenyataan’ (reality) dalam sebuah filem dokumenter.
Disorder (2009. 58 menis). Huang Weikai menyelesaikan Disorder
di tahun 2009, setahun setelah Olimpiade 2008 sebagai pernyataan
terbuka negara Cina tentang kelahiran negara kaya baru pada masyarakat
internasional. Melalui footage-footage temuan dari 26 insiden kekacauan
sehari-hari, Huang Weikai membeberkan kenyataan masyarakat Cina
di masa transisi itu, masa yang dikatakannya sebagai, “Dalam sebuah
zaman kamera video surveillance berfungsi sebagai dokumenter dan gosip
di internet mampu mengungguli rating sebagai berita utama, gagasan
tragedi yang berputar ke tempat dan waktu yang baru.”3 Kenyataan
sebenarnya dari footage-footage yang ia kumpulkan dari pembuat video
amatir yang menjual hasil rekamannya itu untuk televisi, menjadi
dua hal yang menarik dari filem ini. Bagaimana publik melihat dan
memandang dirinya sendiri. Bagaimana peran sinema terhadap televisi.
Dan juga melihat bagaimana peran dari kenyataan kedua itu kemudian
memberikan pengaruh pada kenyataan pertama di masyarakat itu sendiri.
Sebuah siklus yang dikatakan Huang Weikai sebagai “Hari ini adalah
masa depan dari masa lalu” yang ia terjemahkannya menjadi disorder.
Petition (2009. 120 menit). Zhao Liang mengangkat peristiwa
pengajuan petisi kepada pemerintah yang banyak dilakukan oleh
masyarakat kelas bawah di Cina. Kampung Petisi berisi orang-orang
yang berasal tidak hanya dari Beijing tetapi juga dari berbagai propinsi
di Cina yang telah bertahun-tahun mengajukan petisi atas kasus-kasus
hukum masa lalu yang terkait dengan persoalan hak asasi manusia yang
berhubungan dengan pemerintah. Menjelang perayaan Olimpiade 2008,
kampung itu pun akhirnya dibongkar secara paksa. Dalam memproduksi
filem ini, Zhao Liang menceburkan diri masuk ke dalam kampung
petisi dengan membawa kamera yang menjadi matanya. Ia berinteraksi,

3  CinemaTalk: Interview with Huang Weikai, Director of Disorder, http://


dgeneratefilems.com/tag/huang-weikai, diakses pada 17 Juli 2013.

167
merekam situasi dengan gamblang ataupun sembunyi-sembunyi, dan
mewawancarai para pencari petisi. Dalam filem ini kita sadar bahwa
sang sutradara berada di balik kontruksi kenyataan kedua pada tiap
bidikan-nya.

168
Reality Aesthetics,
Public Realism?
curator: Mahardika Yudha

“Here we encounter the Lacanian difference between reality and


the Real: ‘reality’ is the social reality of the actual people involved
in interaction and in the productive processes, while the Real is the
inexorable ‘abstract’, spectral logic of capital that determines what goes
on in social reality. One can experience this gap in a palpable way
when one visits a country where life is obviously in shambles. We see
a lot of ecological decay and human misery. However, the economist’s
report that one reads afterwards informs us that the country’s economic
situation is ‘financially sound’ – reality doesn’t matter, what matters
is the situation of capital…”– Slavoj Žižek 1

Cinema obsession to reach ‘the real’ is not a new issue anymore. Since
photography was invented and Lumière Brothers’ movie was shown to
the public, a technology to reproduce reality had been accused for seizing
‘the real’. Especially, when talking motion picture was born, cinema

1  The Violence, Slavoj Žižek . English version published in Counter Punch, “The
Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, February 17-19, 2012. Indonesian version
was quoted from Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta, Andre Vltchek,
translated by Fitri Bintang Timur, edited by Rossie Indira, http://m.kaskus.co.id /
thread/51e2560b1ad719aa73000007/curhatan-orang-asing-tentang-jakarta/, accessed on
July 17, 2013.

169
reached its polemic against the efforts to grab ‘the real’ until the birth
of realism in cinema after World War I. Cinema bend over backwards
through the variety production modes to aesthetics language to bring
‘the real’ as it is through not making ‘reality’ merely as a medium. In
Italian Neorealism, Andre Bazin had said: “None of the [character]
that are reduced to a state or a symbol so that the audience can hate
them without having to bother to understand first the human ambiguity
that is displayed.” 2 Italian Neorealism shows that reality represent a
dream or something outside dominant norm. On the other hand, the
development of documentary genre which can be said ‘closer’ to ‘the
real’ reached saturation point of its aesthetics in the post-Cold War
period until then appeared statement that fiction as a genre is closest
to ‘the real’ through its jargon ‘based on a true story’. This jargon, then
ignored yet lead us on a situation about the presence of ‘technological
perspective’ and a figure refers to the man-behind-technology interest,
even in the documentary record. From this, we are faced with the shift
situation of ‘the real’. We are suspecting that our reality is an illusion
that is actually constructed. A question arises then: is it cinema getting
away from ‘the real’?
In the two documentary feature films, Disorder by Huang
Weikai and Petition by Zhao Lian, we are faced on how cinema play a
role in capturing ‘the real’. Modes of production and ‘reality’ aesthetic
language, which used by Huang and Zhao Liang Weikai, try to reduce
and destroy the role of ‘technological perspective’. Of course this could
not be done without adequate social situations. In other words, ‘the real’
situation of Chinese society today is very likely encourage the aesthetics
language of ‘reality’ in a documentary film.
Disorder (2009, 58 minutes). Huang Weikai finished Disorder in
2009, a year after 2008 Olympics which can be seen as China statement
as the new wealthy country to international society. Through found-
footage from 26 incidents of everyday chaos, Huang Weikai reveals
the reality of Chinese society in that transition time, the time that he

2  Qu’est ce que le cinéma?, Andre Bazin. Indonesian translation by Mirza Jaka


Suryana.

170
considered: “In the era when surveillance camera can be functioning as
documentary machine and gossips in internet are able to outperform
rating as the headlines, the idea of tragedy rotates to a new place and
time.”3 The true reality from footage which he compiled from amateur
video maker who sold his records to television becomes second interesting
point from this film. We can see how the public see and look themselves,
the role of cinema for television, and also how the role from the second
reality can influence the first reality. This is a circle that Huang Weikai
said as, “the present is the future of the past” - and he translated it to
be Disorder.
Petition (2009. 120 minutes). Zhao Liang tells an event when
lower class people submitted a petition to the government. Petition
consists not only people from Beijing, but also from other provinces
in Chinna who had submitted petition of legal case related to the past
issues on human rights to the government for many years. Before 2008
Olympics’ celebration, the villages in Petition were finally demolished
by force. To make this film, Zhao Liang followed directly the village
petition, considering his cameras as his eyes. He interacted, recorded
the situation both clearly and secretly, and interviewed the petition
seekers. Through this film, we can realize that the director is behind
the construction of ‘second reality’ in every shots.

3  CinemaTalk: Interview with Huang Weikai, Director of Disorder, http://


dgeneratefilms.com/tag/huang-weikai, accessed on July 17, 2013.

171
supported by:
Icarus Filems

Country of Production: China


Language: Mandarin
Subtitles: English
58 min, Color, 2009

Disorder (Xianshi Shi Guoqu de Weilai)


Huang Weikai (China)

Huang Weikai menyelesaikan Disorder di Huang Weikai completed Disorder in 2009, a year
tahun 2009, setahun setelah Olimpiade 2008 after the 2008 Olympics as a public statement
sebagai pernyataan terbuka negara Cina tentang about the birth of a new rich country, China, to
kelahiran negara kaya baru pada masyarakat international community. Huang Weikai exposes
internasional. Melalui footage-footage temuan dari the reality of Chinese society in transition through
26 insiden kekacauan sehari-hari, Huang Weikai footages found from 26 daily incidents. It is a period
membeberkan kenyataan masyarakat Cina di masa of time where, “In an age where surveillance videos
transisi itu, masa yang dikatakannya sebagai, serve as a kind of documentary and internet gossip
“Dalam sebuah zaman kamera video surveillance supercedes mainstream news cycles, the idea of
berfungsi sebagai dokumenter dan gosip di internet tragedy is spun into a new place and time.
mampu mengungguli rating sebagai berita utama,
gagasan tragedi yang berputar ke tempat dan waktu
yang baru.”

Huang Weikai lahir di Provinsi Huang Weikai was born in 1972 in


Guangdong, Cina pada 1972. dia belajar Guangdong Province, China. He
lukisan Cina selama 15 tahun dan lulus studied Chinese painting for 15 years
dari Jurusan Seni Cina dari Akademi and graduated from the Chinese Art
Seni Rupa Guangzhou. Dia terbiasa Department of the Guangzhou Academy
bekerja sebagai promotor sinema, editor of Fine Arts. He used to work as a
seni, desainer grafis, penulis naskah cinema promoter, art editor, graphic
filem dan juru kamera. Sejak 2002, designer, movie script writer and
dia banyak menyutradarai filem-filem cameraman. Since 2002, he has been
independen. directing independent filems.

172
supported by the filmmaker

Country of Production: China


Language: Mandarin
Subtitles: English
120 min, Color, 2009

Petition
Zhao Liang (China)

Petition, karya Zhao Liang, mengangkat peristiwa Zhao Liang’s Petition, follows some low-class
pengajuan petisi yang banyak dilakukan oleh Chinese people filing a petition against the
masyarakat kelas bawah di Cina. Tempat yang government whom evicted their houses to be
awalnya menjadi persinggahan untuk menunggu replaced by sport stadium. It is also about a place
turunnya petisi dari pemerintah, telah berubah which used to be a stopover for people waiting the
menjadi sebuah kampung yang berisi masyarakat result of the petition, and later turned into a village
yang telah menunggu bertahun-tahun turunnya inhabited by those marginalized people. Ahead
petisi. Menjelang perayaan Olimpiade 2008, of the 2008 Olympic celebrations, the village was
kampung itu pun akhirnya dibongkar secara paksa. eventually dismantled by force.

Zhao Liang lahir di Liaonung, Dandong Zhao Liang was born in Liaoning,
pada 1971. Lulus dari Akademi Seni Dandong at 1971. Graduated from the
Rupa Luxun pada 1992, lalu melanjutkan Luxun Academy of Fine Arts at 1992.
studi fotografi di akademi Filem Beijing Studied in the Photography Department
(1993-1994). Dan sekarang tinggal dan of the Beijing Filem Academy (Narrative
bekerja di Beijing. Photography) (1993-1994). Currently
lives and works in Beijing

173
Agenda: 28/8, GoetheHaus

Mobilitas Sosial untuk Pemula


kurator: Adrian Jonathan Pasaribu

Tiga tahun lebih. Selama itu pembuat filem Negeri di Bawah Kabut serta
Denok & Gareng mengikuti narasumbernya. Di filem pertama, kita mendapati
Shalahuddin Siregar mengikuti geliat dua keluarga petani di Desa Genikan
menyambung kehidupan di tengah perubahan cuaca yang tak menentu. Di
filem kedua, kita menyaksikan Dwi Sujanti Nugraheni merekam perjuangan
sepasang mantan anak jalanan membangun rumah tangga di Desa Gamping.
Lokasi kedua filem ini terpisah 42 kilometer jauhnya. Apabila dihitung
berdasarkan panjang jalan raya yang menghubungkan Desa Genikan dan Desa
Gamping, kita akan mendapati kisaran angka dari 61 sampai 70 kilometer.
Cukup jauh. Jauh pula perbedaan corak kehidupan masing-masing desa.
Genikan adalah sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merbabu, Jawa
Tengah, di mana kebanyakan warganya hidup dengan bertani. Gamping
sendiri berada di pinggir Yogyakarta, salah satu kota yang terhitung maju
di negeri ini. Artinya, ada opsi penghidupan tambahan yang didapat warga
Gamping dari kedekatan geografis ini, bersamaan dengan opsi penghidupan
yang mungkin diberikan oleh Desa Gamping sendiri.

174
Menariknya, di antara jarak geografis dan perbedaan corak kehidupan,
warga kedua desa seperti terhubung oleh masalah serupa: kebutuhan
menyekolahkan anak. Dalam Negeri di Bawah Kabut, isu ini menjadi dominan
dari pertengahan hingga akhir filem. Arifin, murid berprestasi di kelasnya,
ingin lanjut SMP di sekolah negeri, tapi orangtua Arifin bukanlah kaum
berpunya. Uang tiga ratus ribu masihlah terlalu besar untuk penghasilan
seorang petani. Orangtua Arifin pun keliling desa cari pinjaman, yang juga
tak didapat karena keluarga-keluarga lain sama kekurangannya. Isu yang
sama turut hadir dalam Denok & Gareng. Sejak awal, pasangan ini mendapati
anak lelakinya sering bolos sekolah, sementara biaya pendidikan yang harus
mereka penuhi tak bisa dibilang murah. Masalahnya lagi, biaya pendidikan
ini hanyalah satu dari sekian banyak tuntutan yang Denok dan Gareng harus
penuhi, karena mereka ‘mewarisi’ hutang empat puluh juta Rupiah milik ayah
Gareng yang kabur entah ke mana.
Perkara soal pendidikan anak ini menarik untuk diulik lebih lanjut.
Sebutlah ini imajinasi populer masyarakat setempat, suatu harapan yang
dijadikan pegangan untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Para
orangtua dalam Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng tidak ada yang
mengenyam bangku pendidikan, beberapa bahkan buta huruf, tapi semuanya
terikat dalam komitmen menyekolahkan anak, walau memeberi beban yang
tak sedikit pada perekonomian mereka yang juga tak bisa dibilang stabil.
Untuk apa? Tidak tahu, pembuat filem juga tidak menyusurinya lebih lanjut.
Satu asumsi yang bisa kita panjatkan adalah untuk kehidupan lebih
baik, seabstrak apapun konsep itu. Asumsi ini lahir dari cara para pembuat
filem mengemas filemnya: dekat dan personal. Jarak terjauh antara penonton
dengan para protagonis adalah medium shot. Kamera seakan-akan tak ada
bagi para narasumber; atau lebih tepatnya mereka sudah terbiasa dengan
kehadiran kamera di sekitar mereka, mengingat cukup lamanya waktu riset
yang dilakukan para pembuat filem. Tak ada narasi tambahan, tak ada pula
angka dan statistik njlimet, yang ada hanyalah rekaman akan keseharian
narasumber.
Dari rekaman-rekaman yang lekat ini, terpetakan ruang-ruang yang
menubuhi keseharian para pekerja ini, dan semuanya tak lepas dari kebutuhan
untuk bertahan hidup. Inilah yang menjadi benang merah kedua filem. Para
pekerja ini pergi-pulang menempati ruang kerja mereka untuk menjamin
keberlangsungan hidup, sementara kebutuhan datang silih berganti dengan

175
nama yang berbeda. Tak ada jalan keluar, tak ada kesempatan untuk naik ke
taraf kehidupan yang lebih baik.
Dalam Negeri di Bawah Kabut, kita mendapati para petani bolak-
balik antara rumah dan ladang sawah. Klimaks cerita, atau momen krusial
sebagaimana yang pembuat filem lihat, ada pada perjalanan ke pasar, titik
di mana segala hasil jerih payah para petani ditukar dengan sejumlah uang,
yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ironisnya,
harga pasar yang tak menentu hanya menghasilkan cukup uang untuk melunasi
kebutuhan-kebutuhan mendesak, sedikit sekali bahkan tidak ada yang tersisa
untuk ditabung. Mereka pun kembali ke rumah untuk memulai siklus kerja
serupa. Dalam Denok & Gareng, kita bisa melihat para protagonis bolak-balik
ke kota untuk sejumlah pekerjaan sampingan: Gareng dan ibunya mengais-
ais bak sampah, Denok membuat berbagai produk kerajinan tangan. Untuk
penghasilan tambahan, mereka mengurus peternakan babi di halaman rumah
mereka, atau menjual perabot apapun yang ada di rumah mereka untuk
melunasi apapun yang harus segera dilunasi, salah satunya uang sekolah anak.
Pemetaan ruang-ruang kerja ini semakin menegaskan komitmen
menyekolahkan anak tadi. Apabila hari ini habis di ladang-ladang dan pinggir
jalan hanya untuk bertahan hidup, setidaknya kemakmuran hari esok bisa
diusahakan lewat para penerus yang lebih terdidik, yang lebih ‘melek’ dengan
cara dunia bekerja. Lagi-lagi ini asumsi, yang dirumuskan setelah melihat
betapa abstraknya pegangan para orangtua dalam Negeri di Bawah Kabut
serta Denok & Gareng. Para keluarga petani di Desa Genikan memegang
kalender Jawa sebagai acuan siklus perubahan cuaca, sayangnya perangkat
yang sama tak dapat menjelaskan perubahan iklim secara global akibat dari
global warming. Mereka hanya bisa menelan rasa kecewa setiap melihat hasil
panen yang jauh dari harapan. Begitu pula dengan pasutri Denok & Gareng.
Gareng berteori: setiap jelang Lebaran, selalu saja ada perkara pelik yang
menguras hasil kerjanya, dari kepergian bapaknya yang meninggalkan hutang
hingga kecelakaan parah yang menimpa adiknya. Denok menyebutnya cobaan
Allah, Gareng menamainya nasib buruk.
Satu pertanyaan tersisa: di mana kontribusi negara terkait dengan
aspirasi warganya akan kehidupan lebih baik? Nyaris absen, atau seperti
guyonan ibu Gareng pada anaknya, “Pemerintah ya mengurusi orang-orang
kaya dan berpendidikan, buat apa repot-repot mengurusi orang miskin
sama orang bodoh.” Dalam kedua filem, negara paling banter hadir dalam

176
wujud janji kampanye, menyemai harapan-harapan di kalangan ekonomi
bawah kalau situasi akan segera berubah. Nyatanya, yang berubah hanyalah
biaya minimum kredit motor yang makin menurun, tapi pendidikan gratis
yang terus-menerus disuarakan tak kunjung jadi nyata. Konsumsi didorong,
kemasyalahatan khalayak tidak.
Penggambaran peran negara dalam kesejahteraan rakyat ini, dalam
kasus sinema Indonesia, menarik untuk ditarik lebih luas lagi. Narasi kemiskinan
dalam sinema Indonesia masihlah tidak jauh-jauh dari perkara moral. Seakan-
akan dinamika kelas sosial, yang notabene ada dan terus bergejolak dalam
tubuh masyarakat kita, bisa diselesaikan dengan penyesuaian moral dengan
kebutuhan rezim (sewaktu Orde Baru) atau apapun yang dianggap baik oleh
kelas menengah (selepas Orde Baru). Siapapun yang bertindak sesuai dengan
konsensus moral yang ada, yang umumnya berarti hidup jujur, kerja keras,
serta tunduk pada tuan dan Tuhan, pastilah ia akan keluar dari masalahnya
dan naik kelas menjadi orang dengan harta berkecukupan.
Contohnya banyak sekali sepanjang sejarah filem kita. Tahun 1970an
semangat akhlak-baik-pangkal-kaya ini begitu kuat tercerap dalam filem-filem
populer macam Yatim (1974), Sebatang Kara (1974), Jangan Biarkan Mereka
Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975), dan Nasib Si Miskin (1977). Pasca
Reformasi semangat serupa kembali direproduksi dalam filem-filem seperti
Rindu Purnama (2011), Rumah Tanpa Jendela (2011), dan filem-filem Islam
pasca Ayat-Ayat Cinta (2008).
Sejumlah faktor historis bisa dikemukakan untuk menjelaskan fenomena
ini. Dekade 1970an adalah periode ketika pemerintah mendengungkan wacana
pembangunan dan persatuan bangsa. Ingat, pada tahun 1969, pemerintah
Orde Baru pertama kalinya memulai Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Pada periode yang sama, sensor filem kian diperketat, baik dalam perumusan
maupun penerapan, sehingga filem diharapkan steril dari diskursus tentang
konflik sosial. Ada pula tuntutan dari para intelek dan pengamat, termasuk
di dalamnya dewan juri Festival Filem Indonesia, agar sinema Indonesia turut
merespons kebobrokan sosial yang secara konkret ada di masyarakat.
Perfileman nasional mengambil jalan tengah dengan memproduksi
suatu mitos tentang mobilitas sosial. Melalui konflik moral yang protagonis
hadapi, mobilitas sosial yang drastis menjadi sesuatu yang mungkin, sehingga
segala konsepsi tentang perbedaan kelas hanya menjadi hambatan sementara
yang protagonis dapat atasi. Dalam mitos tersebut, tidak ada istilahnya yang

177
kaya tambah kaya, yang miskin tambah sengsara. Bagi yang mau berusaha,
semuanya akan setara pada akhirnya. Pada zamannya, mitos tersebut mudah
diterima oleh kesadaran populer penonton Indonesia, dan tentunya oleh badan
sensor. Rezim silih berganti, tapi Lembaga Sensor Filem tetap bertahan di
ujung siklus produksi, yang pada prosesnya melanggengkan mitos mobilitas
sosial dalam sinema Indonesia sampai sekarang.
Fenomena ini jelas mengusik pikiran. Demokrasi paling riil di
Indonesia saat ini adalah demokrasi produksi audiovisual. Teknologi digital
memungkinkan generasi pembuat filem sekarang untuk menghasilkan
gambar dan bentuk cerita apapun. Lebih pentingnya lagi, teknologi digital
memungkinkan semua orang menjadi produsen, sebagaimana teknologi video di
tahun 90an membuka akses produksi audiovisual, yang tadinya eksklusif milik
industri dan sekolah filem, bagi siapapun di manapun. Di atas kertas, sinema
kita seharusnya bisa menjadi cermin dari keragaman bangsa. Kenyataannya,
yang terjadi malah sebaliknya.
Pada titik ini, kita bisa mengapresiasi kontribusi Negeri di Bawah
Kabut dan Denok & Gareng bagi khazanah sinema Indonesia. Menonton
kedua dokumenter ini akan mengingatkan kita kalau tantangan terbesar
sinema Indonesia saat ini bukanlah menjadi orisinil, tapi menjadi otentik.
Mitos mobilitas sosial hanyalah satu di antara jutaan perkara negeri ini
yang belum terartikulasikan secara jujur oleh sinema kita. Yang perlu
kita lakukan sekarang adalah merekam realita apa adanya.

178
Social Mobility for Beginners
curator: Adrian Jonathan Pasaribu

More than three years. That is the amount of time spent by the
filmmakers of The Land Beneath the Fog and Denok & Gareng following
their sources. In the former, Shalahuddin Siregar followed the daily
lives of two peasant families in Genikan, who strive to endure through
erratic climate changes. In the latter, Dwi Sujanti Nugraheni recorded
the struggle of a couple of former street punks in Gamping, who try to
raise their family on meager earnings from odd jobs and a small pig farm.
Both films are set in Central Java, Indonesia, though the shooting
locations are 42 kilometers apart. If we calculate the length of the road
connecting Genikan and Gamping, we will get figures around 61 to
70 kilometers. Quite a distance. Such distance is also reflected in the
stark contrast of lifestyle between the two villages. Genikan is a remote
village on the slopes of Mount Merbabu, where most people live by
farming, while Gamping is located just slightly outside of Yogyakarta,
one of the relatively developed cities in Indonesia. Such geographical
convenience provides more jobs, more means of survival, to the people
of Gamping, along with the jobs and means of survival already available
in their own village.
Intriguingly, despite the distance in lifestyle and geographical
location, the residents of Gamping and Genikan are connected by one
similar problem: the need to send their children to school. In The Land
Beneath the Fog, this issue is dominant throughout the latter half of the
film. Arifin, an outstanding student in his class, wants to continue his

179
education to publick junior high school, but his parents are far from
rich. Three hundred thousand Rupiah is too much for a farmer’s income.
Arifin’s parents went around the village to look for a loan, which they
didn’t get any since the other families were having the same shortcomings.
The same issue is also present in Denok & Gareng. Minutes from the
opening, we see the couple enraged after learning that their son has been
skipping classes. The school tuition is not cheap, and their coffer is not
exactly overflowing with gold coins. Moreover, they have to bear the
burden of forty million Rupiah debt, ‘inherited’ from Gareng’s father
whose whereabouts is currently unknown.
The matter about children education is interesting to be explored
further. We can perceive it as the popular imagination of the local
community, some kind of common hope among the people. The parents
in The Land Beneath the Fog and in Denok & Gareng are neither schooled
nor educated, some even illiterate, but all of them are inexplicably
commited to give their children education as good as possible, even if it
puts more burden on their flailing economy. For what? No reason given,
none of the filmmakers explore the matter further.
One assumption we can make is that the parents see their
children’s education as a guarantee for a better life in the future, however
abstract that concept might be. This assumption could be formulated
by dissecting the way the filmmakers present their movie. Everthing
is up close and personal. The farthest distance between the audience
with the protagonist is medium shot. The presence of the camera was
somewhat invisible for their subjects, or rather they were used to having
cameras around them given the sufficient length of time to research of
each filmmaker. No voiceovers, no complicated statistics, only records
of the subjects’ daily lives.
Of these close observations, we could map out the spaces that
make up these workers lives; all of them are tied to the urgent need to
survive. This is the unifying thread of both films. The protagonists are
workers who commute and occupy their workspace to ensure their life,
while their necessities become a neverending cycle of bills that comes
in different names. There is no way out, no opportunity to move up to
a better standard of living.

180
In The Land Beneath the Fog, we found the farmers go back and
forth between their homes and paddy fields. The climax of the story, or
the most crucial moment that filmmaker pick in their struggle, is the
trip to the market, where the farmers exchange the fruits of their labor
with a sum of money, which was then used to pay their bills. Ironically,
the fluctuating market values result in just enough money to pay their
short-term needs, very little even none left to be saved for long-term
needs. In Denok & Gareng, the protagonist commutes to the city for
numerous low-end jobs: Gareng and his mother scavenge the garbage
dumps, while Denok make various handicrafts. For additional income,
they take care of their small pig farm in the backyard of their home, or
sell whatever left in their house to pay whatever that must be paid, one
of them was the children’s school fees.
This mapping of work spaces further affirmed the parents’
commitment to their children’s education mentioned earlier. If the
present days were spent working on the fields and roadsides just to survive,
at least the coming days would not be so bad since their successors are
more educated, more ‘literate’ in the way the world works. Again, this
is only an assumption, formulated after seeing the abstract guide those
parents hold to get by through life. The peasants in Genikan use Javanese
calendar as reference for the cycle of weather changes, unfortunately the
same calendar could not explain the climate change happening globally
due to global warming. They could only swallow their disappointment
seeing their crop way below their expectation. Similar things could be
said about the titular couple in Denok & Gareng. Gareng theorized: in the
weeks leading to Idul Fitri, a disaster would strike his family, draining
the money out of their coffers, undoing hours of hard work they have
committed. This is what happens in the last four years of Gareng’s life,
from the much-lamented departure of his father to a severe motorcycle
accident that befell his brother. For Denok, this is a test from God. For
Gareng, this is bad luck.
One question remains: where is the contribution of the state
regarding the aspiration of its citizens for better life? Almost absent,
or as Gareng’s mother joked to her son, “Government only cares about
the rich and the educated, why bother dealing with the poor and the

181
uneducated?” In both films, the state’s present only comes in the form of
countless promises of political campaigns, planting false hopes amongst
lower-class people that situation would soon improve. In fact, the only
concrete change happening is the decrease of minimum credit payment
to purchase a motorcycle, while the oft-promised free education never
come into realization. Consumption encouraged, public welfare not.
The portrayal of the state’s role in public welfare, in the case
of Indonesian cinema, is intriguing to be pursued further. Indonesian
cinema tends to treat poverty as moral issues, as if the dynamics of social
classes, which is actually there and still happening throughout Indonesian
society, can be solved with moral adjustment to the needs of the regime
(during the reign of Soeharto’s regime) or anything considered acceptable
by the bourgeois (after the fall of Soeharto’s regime). Anyone who acts
in accordance with the moral consensus, which generally means living
an honest life, hard working, and following the rules of the landlord
and Lord Almighty, would come out of the problem, move upward in
the social ladder, and live a prosperous life.
Many examples can be found throughout Indonesian film history.
In 1970s this overtly moralistic solution to poverty could be found in
popular films such as Yatim (Orphans, 1973), Sebatang Kara (Alone,
1973), Jangan Biarkan Mereka Lapar (Don’t Let Them Go Hungry, 1974),
Ratapan Si Miskin (The Poor’s Lament, 1975), and Nasib Si Miskin (The
Fate of the Poor, 1977). The similar spirit was again reproduced in post-
reformation films such as Rindu Purnama (Rindu and Purnama, 2011),
Rumah Tanpa Jendela (House Without Windows, 2011), and Islamic films
after Ayat-Ayat Cinta (Verses of Love, 2008).
Several historical factors could be cited as explanations regarding
this phenomenon. 1970s was a period when the government launched
the discourse of development and national unity. We must remember
in 1969, when the first time the New Order government was starting
the Five-Year Development Plan. In the same period, film censorship
was increasingly tighter, both in the formulation and implementation,
so that film was expected to be free from discourse about social conflict.
There were also demands from the intellect and the observer, including
the Indonesian Film festival jury, so that Indonesian cinema could also

182
respond to social decadence which concretely happened amongst the
society.
The national film scene took the middle way by producing a
myth of social mobility. Through moral conflict that the protagonists
had to face, the drastic change of social mobility might happen, therefore
any conception of class differences only be a temporary obstacle that
the protagonist can overcome. In that kind of myth, there was no such
thing as the rich becomes richer, the poor becomes poorer. For those
willing to try and be good, everthing will be equal eventually. In its
heyday, the myth was easily accepted by popular consciousness of the
Indonesian audience, and of course by the censors. Regimes come and go,
National Censorship Board remains at the end of the production cycle,
ensuring the perpetuation of the social mobility myth in Indonesian
cinema until now.
This phenomenon is certainly ridiculous and needs to be addressed
soon. The most real democracy in Indonesia at the moment is the
democracy of audiovisual production. Digital technology now allows
the generation of filmmakers to produce any kind of images and stories.
More importantly, digital technology allows everyone to be content
producer or filmmaker, as video technology in the 90s opened access
to audiovisual production, which was previously exclusive to the film
industry and schools, to anyone anywhere. On paper, our cinema should
be able to reflect the reality and diversity of Indonesia. Somehow, the
opposite happened.
At this point, we can truly appreciate the contribution of The
Land Beneath the Fog and Denok & Gareng to the repertoire of Indonesian
cinema. Both documentaries remind us that the ultimate challenge of
Indonesian cinema at the moment is not originality, but authenticity. The
social mobility myth is just one among millions of things in Indonesia
that has not been articulated truthfully by our cinema. What we need
to do now is to capture reality as it is.

183
supported by the filmmaker

Country of Production: Indonesia


Language: Javanese,
Bahasa Indonesia
Subtitles: English
89 min, Color, 2012

Denok & Gareng


Dwi Sujanti Nugraheni (Indonesia)

Berhadapan dengan rentetan harapan, rencana, In the constant stream of hoping, failing and
dan kegagalan secara terus-menerus, mantan making new plans, Denok and Gareng stay united
anak-anak jalanan, Denok dan Gareng bersatu in their passionate struggle to make it up the hill
demi memperjuangkan kesuksesan di masa depan. one day. In the modest house of Gareng’s mum, the
Pasangan muda ini mencoba peruntungan mereka young Muslim couple starts a small pig business,
dengan memulai bisnis kecil penjualan babi di looking for the lucky streak to come over the family.
tengah masyarakat Jakarta yang mayoritas Muslim. But new challenges constantly arise, putting their
Lewat berbagai tantangan yang menguji kesabaran cheerfulness and patience on trial.
dan keyakinan mereka. In an entirely observational approach Denok
Filem ini melakukan eksplorasi terhadap & Gareng explores a strong loving relationship
kemampuan sebuah keluarga untuk bersatu, inside a strikingly vivid family that sticks together,
berjuang, dan tertawa bersama di hadapan nasib fights back and laughs, about what others would
serupa Sisyphus dalam mitologi Yunani. call a Sisyphus fate.

Dwi Sujanti Nugraheni bergiat sebagai Dwi Sujanti Nugraheni a volunteer for a
sukarelawan pelayanan kesehatan untuk street children health service since 5 year
anak jalanan sejak beberapa tahun ago, and ever join as a volunteer for the
lalu, dan pernah bergabung dengan program of the UNESCO. Now she still
UNESCO untuk hal yang sama. study in Gadjah Mada University. Works
Sekarang ia masih kuliah di Universitas as researcher, mountaineering, and also
Gadjah Mada, Yogyakarta. Kerja sebagai an independen filemmaker.
periset, pegiat alam, dan juga pembuat
filem independen.

184
supported by the filmmaker

Country of Production: Indonesia


Language: Bahasa Indonesia
Subtitles: English
105 min, Color, 2011

Negeri di Bawah Kabut (The Land Beneath the Fog)


Shalahudin Siregar (Indonesia)

Di sebuah desa di lereng gunung, sebuah komunitas In the rhythm of a slow visual journey The Land
diam-diam sedang menghadapi perubahan tanpa Beneath the Fog takes an intimate look a family
mengerti alasannya. Sebagai komunitas petani yang relations in Genikan -a remote mountain village
mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa on the Merbabu slope (Central Java). A quiet
dalam membaca musim, mereka dibuat bingung community is facing change without understanding
oleh musim yang sedang berubah. why it happens. As a community of farmers who
Melalui kehidupan sehari-hari dua keluarga relies on the traditional Javanese calendar system
petani, Negeri di Bawah Kabut membawa kita to read the seasons, they become puzzled by the
melihat lebih dekat bagaimana perubahan musim, dramatic change of seasons.
pendidikan dan kemiskinan saling berkaitan satu Describing a life on the brink of vanishing,
sama lain. this documentary offers deep insights into “an
invisible and disenfranchised society” which is
struggling hard to maintain its existence

Shalahuddin Siregar Memulai Shalahuddin Siregar started his career


karirnya ketika menjadi finalis Eagle in documentary flmmaking as a finalist
Award tahun 2005. Setelah itu dia of Eagle Award 2005. From then on
mengembangkan kemampuannya dengan he keeps his passion for documentary
mengikuti beberapa workshop, antara flmmaking by attending several
lain Jiffest Script Development 2005. workshops and festivals. In 2005 he
Pada tahun 2009 dia menjadi wakil was an observer for Script Development
Indonesia dalam Doc Station Berlinale Jakarta International Film festival. In
Talent Campus, sebuah workshop dalam 2009 he was selected as participant in the
rangkaian festival filem Berlinale yang 7th Berlinale Talent Campus, an annual
diadakan di Berlin – Jerman. Negeri di workshop for young and promising
Bawah Kabut adalah filem dokumenter lmmaker held in Berlin, Germany. The
panjang pertamanya. Land Beneath the Fog, is his feature
documentary.

185
Agenda: 27/8, kineforum

Dokumenter Kreatif dan


Figurasi Ruang
kurator: Makbul Mubarak

Dalam beberapa dokumenter yang diprakarsainya, Forum Lenteng


kerap berusaha keluar dari pakem dokumenter dengan subjek manusia
yang bulat, atau dengan struktur yang menekankan pada naik-turun
alur drama. Dua yang menjadi konsentrasi program ini adalah Dongeng
Rangkas dan Naga Yang Berjalan Di Atas Air, dokumenter yang dibuat atas
kerjasama antara Forum Lenteng dengan komunitas setempat, dengan
Saijah Forum dalam Dongeng Rangkas, dengan Komunitas Djuanda
dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air.
Dongeng Rangkas memotret terik-gigil kehidupan di kota kecil
Rangkasbitung, 120 km dari Jakarta. Selain bingkai konseptualnya
sebagai penyedot partisipasi masyarakat dalam permediaan, Dongeng
Rangkas juga menyertakan komponen praktikalnya, sebagai pemotret
ruang pinggiran setelah 10 tahun Suharto lengser; detik yang diyakini
sebagai penanda perubahan di segala lini. Hal yang sama terjadi dalam
Naga Yang Berjalan Di Atas Air, dimana yang menjadi konsentrasi adalah
kelenteng sebagai ruang temu sosial. Koh Liong yang diwawancarai
berfungsi sebagai semacam personifikasi kelenteng yang telah menjadi

186
tuan rumah bisu bagi tak terhitung sudah pengunjung. Yang menarik,
terlontar pula pertanyaan mengenai peristiwa 98, sesuatu yang juga
menjadi penting dalam Dongeng Rangkas.
Dua hal penting yang diangkat oleh kedua dokumenter ini adalah
keterpinggiran. Dongeng Rangkas mengangkat kota-kota pinggiran dan
seberapa ia dipengaruhi, atau tidak dipengaruhi, oleh kejadian-kejadian
revolusioner yang terjadi di pusat. Sementara Naga Yang Berjalan Di Atas
Air mengaduk keterpinggiran itu ke sebuah ruang yang lebih sempit
dan spesifik: kelenteng yang menampung narasi tentang pasangan
pinggiran: Koh Liong dan Istrinya; tentang etnis pinggiran: etnis
Tionghoa yang alih-alih digambarkan sebagai etnis kalem yang rajin
berdagang, malah digambarkan sebagai etnis yang sama saja dengan
etnis manapun di nusantara ini sepanjang ia ditempatkan dalam ruang
sosialnya masing-masing.
Sisi dokumenter kreatif yang dipilih oleh teman-teman di Forum
Lenteng tidak pernah terlepas dari acuan-acuan visual yang mereka
gunakan. Sejak proses produksi hingga ke detil pengambilan gambar,
selalu ada saat yang mengingatkan kita pada corak khas pengambilan
gambar dalam karya-karya kanon fiksi dunia. Ini bukan serta-merta
menyamaratakan karya-karya Forum Lenteng dengan kanon dunia itu,
melainkan untuk menjelaskan bahwa Forum Lenteng adalah komunitas
yang sadar pada bahaya produksi yang tuna acuan. Mereka mementingkan
produksi pada tingkatan yang sama dengan perhatian mereka atas literasi.
Memang inilah yang menjadi tulang punggung estetika dokumenter
kreatif, dimana informasi bukanlah saja sekedar bongkahan-bongkahan
mentah dengan narator orang ketiga dan narasumber lainnya, melainkan
juga terbungkus rapih dalam teknik penyampaian khas sinema, sebagai
sebuah pemberdayaan maksimal atas kemungkinan mediumnya.
Hal penting lain dari dua dokumenter ini adalah penekanannya
pada ruang. Ruang senantiasa dipotret sebagai ruang arsitektur sosial
yang spesifik dan penuh makna yang belum sempat terbaca. Uniknya,
pemotretan ruang yang dilakukan dalam kedua dokumenter ini tidak
pernah terlepas dari orang-orang yang menghuninya, itulah kenapa
saya sebut ruang pemotretan ini sebagai ruang arsitektur sosial. Dalam
Dongeng Rangkas, Iron dan Kiwong dipinjam sebagai Orang Rangkas,
dua subjek yang keberadaan dan kemengadaannya senantiasa dipengaruhi

187
oleh tekstur sosial di sekitarnya. Hal-hal yang dilakukan oleh Iron dan
Kiwong (metal satu jari, dagangan tahu, dsb) adalah hasil interaksi
antara ruang arsitektur berupa kota Rangkas dan orang-orang sosial
yang menghuninya. Demikian pula dalam Naga Yang Berjalan Di Atas
Air, ruang arsitektur berupa kelenteng dipotret melalui pengalaman
orang-orang yang meninggalinya: Koh Liong dan istrinya, serta orang-
orang yang bolak-balik mengunjungi kelenteng. Dalam kelenteng itu
tidak melulu berfokus pada ruang transenden antara manusia dan tuhan,
tetapi lebih banyak membidik interaksi yang dimungkinkan oleh ruang
arsitektur sosial seperti kelenteng tersebut.
Yang diupayakan oleh Dongeng Rangkas dan Naga Yang Berjalan
Di Atas Air di sini bukanlah semata representasi ruang yang disampaikan
dalam bentuk informasi telanjang, bukan pula presentasi yang sekedar
bertumpu pada bentuk penyampaian, melainkan adalah figurasi
ruang, sebuah upaya untuk melahirkan kembali ruang dalam konteks
kemeruangannya, sebuah upaya pemaknaan baru lewat bukti-bukti yang
bersifat segera dan sehari-hari dalam rangka figurasi tiga aspek paling
penting tentang ruang: bagaimana ia dibaca, bagaimana ia diterima,
dan bagaimana ia hidup dan dihidupi. Dokumenter kreatif dan figurasi
ruang adalah persimpangan konseptual antara bentuk penyampaian dan
pembacaan baru atas ruang-ruang yang tidak sekedar berhenti pada
permasalahaan konten representasi dan presentasi, melainkan bermain
dengan bingkainya, melampaui konsep-konsepnya untuk melahirkan
makna ruang sebagai arsitektur sosial lewat tangkapan gambar yang
dibidik secara kini.

188
Creative Documentary and
Spatial Figuration
curator: Makbul Mubarak

In documentary films they initiated, Forum Lenteng always did


experimentation on narrative possibility with human as a given subject,
or with a structure which emphasized on the up and down dramatic
flow. Two films in this program is Rangkasbitung: A Piece of Tale and
The Dragon Who Walks on the Water. Both were made in collaboration
between Forum Lenteng and the local community. Rangkasbitus: A
Piece of Tale with Saidjah Forum, while The Dragon Who Walks on the
Water was with Komunitas Djuanda.
Rangkasbitung: A Piece of Tale is a protrait of struggling lives in a
small town, Rangkasbitung, located 120 km out of Jakarta. Besides its
conceptual frame to atract local community in media literacy participation,
Rangkasbitung: A Piece of Tale also includes its practical component as
a ‘photographer’ of suburban space after Suharto’s resignation 10 years
ago; a moment which is believed to be the mark of change in all aspect.
The same thing happens in The Dragon Who Walks on the Water, where
it’s concentrating on a temple which becomes a social meeting space.
The interlocutor is Koh Liong whom serves as a sort of personification
of the temple which has been the silent witness and has hosted countless
visitors. Interestingly, there is a question about the 1998 tragedy being
asked, something that also important in Rangkas Fables.
Two important points raised by both documentaries are about
marginalization. Rangkasbitung: A Piece of Tale exposes the life in
suburban towns and how it is affected or not affected, by revolutionary

189
events that occurred in the capital city. While The Dragon Who Walks
on the Water stirs that marginalization into a narrower space and more
specific: the temple that holds the narrative of a suburban couple: Koh
Liong and his wife; about an ethnic group in a suburb: Chinese people
whom portrayed similar to any other ethnic anywhere in this archipelago
as long they were placed in a certain social space, instead as an ethnic
that is calm and as proficient in selling goods.
The creative documentary endeavour shown by Forum Lenteng
is never apart from visual references they use. Since the production
process to the minutiae detail of shooting the images, there is always
a moment that reminds us of the distinctive style from the canonical
world fiction cinema. This is not necessarily to generalize Forum Lenteng
works with the world’s canons, but rather to explain that Forum Lenteng
is a community that aware of the dangers of producing film without
reference. They are concerned with their works on the same level with
their attention on literacy. Indeed that is the backbone of creative
documentary aesthetics, where information is not only formed by raw
chunks of data or third person narrator and other sources, but also
wrapped neatly in particular cinematic language, to maximize the
possibility of the medium.
Another important point of both documentaries is the emphasis
on space. Space is always portrayed as a specific social architecture and
full of meaning which hasn’t been read yet. Interestingly, the portrayal
in these documentaries is never separated from the people who inhabit
it, that’s why I call this kind of portrayal as a social architectural space.
In Rangkasbitung: A Piece of Tale, Iron and Kiwong were assigned as
Rangkas people, two subjects whose existence are always influenced by
the surrounding social texture. Actions that are done by Iron and Kiwong
(one-finger metal, selling tofu, etc.) are the result of interaction between
architectural space which is Rangkas the small town and societies who
inhabit it. Similarly in The Dragon Who Walks on the Water, the temple as
architectural space is photographed through experiences of the people
who inhabit it: Koh Liong and his wife, as well as people who come
and visit the temple. The focus was not only on the transcendence space
inside the temple between the human and the divine soul, but more

190
targeting on interaction made possible
​​ by social architectural space such
as that temple.
What pursued in Rangkasbitung: A Piece of Tale and The Dragon
Who Walks on the Water is neither merely a spatial representation presented
in a form of stark realism, nor a mere presentation rests on its cinematic
form, but in spatial figuration, an attempt to give birth again of space
in spatial context, a new effort of defining through immediate and daily
evidence in terms of three most important aspects of spatial figuration:
how it should be read, how it is received, and how it lives and inhabited.
Creative documentary and spatial figuration is the conceptual intersection
between the cinematic form and the new reading of the spaces which does
not simply stop at content representation and presentation matter, but
being playful with the frame, beyond its concepts to define the meaning
of space as social architectural entity through the contemporaneity of
the captured images.

191
Country of Production: Indonesia
Language: Sundanese, Bahasa
Indonesia
Subtitles: English
75 min, Color, 2011

Dongeng Rangkas (Rangkasbitung: A Piece of Tale)


Andang Kelana, Badrul Munir, Fuad Fauji, Hafiz, Syaiful Anwar (Indonesia)

Filem ini berusaha memotret Rangkasbitung Rangkasbitung: A Piece of Tale is a piece of story
dari aktivitas-aktivitas masyarakat yang diwakili which has been taken from two young men from
oleh sosok dua orang penjual tahu; Kiwong dan Rangkasbitung – it’s a small town which has a
Iron. Dua tokoh ini dapat dianalogikan sebagai distance 120 kilometer’s from the capital city of
potret dua pemuda yang hidup paska Reformasi Jakarata. Kiwong and Iron have a profession as a
1998 yang hidup di sebuah kota berjarak 120 Km tofu sellers. Kiwong sells tofu in the economy train
dari ibu kota Jakarta. Kota yang menjadi terkenal of Rangkasbitung to Jakarta while Iron sells the
oleh buku Multatuli itu, sepertinya begitu lambat fresh tofu in the traditional Rangkasbitung market.
tumbuh, di antara hingar-bingar pembangunan Those character are portraits of young
paska Reformasi. generation from post Reformation in 1998
Kiwong dan Iron adalah dua pemuda where Indonesia was a country which had been
sederhana yang memilih hidup sebagai Pedagang reigned by military regime before, and turn to be
Tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang a large democration country in the world. That
teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang transformation of the social politic had been
lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih impacted to Kiwong and Iron. Kiwong was a young
baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron, percaya man who graduated from Muslim school and a
musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin crackerjack who lived in the street in Jakarta. He
terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur still believes to the tradition of Banten’s “whiz”, it’s
‘underground’. a magic power and physical which he has believed
in overcoming his problems. Meanwhile, Kiwong
has chose a profesion as a tofu seller in the train
that thought it’s better for him. He hopes he will
live better for his family.

192
Fuad Fauji dilahirkan di Lebak, 10 Fuad Fauji was born in Lebak-West
Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Java, 1983. Active as Forum Lenteng
Forum Lenteng Jakarta sebagai periset member and works as a researcher
dan penulis seni rupa. Tahun 2005 and art writer. In 2005 he co-founded
ia dan kawan-kawan lainnya terlibat Saidjah Forum alongside his friends.
mendirikan Saidjah Forum. Sekarang Now he work in National Gallery of
bekerja di Galeri Nasional Indonesia. Indonesia.

Badrul Munir dilahirkan pada 16 April Badrul Munir was born at April 16th,
1978. Menyelesaikan studi Hubungan 1978. He finished his study at LP3I
Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan majoring Public Relations in 2000, was
studi Ilmu Dakwah di STITDA - Lebak born in Lebak in 16th of April in 1978.
tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa He graduated from Public Relation study
Inggris di STKIP Banten & STIB in LP3I (2000) and Study of Speech
Pandeglang ini merupakan pelopor Science in STTIDA – Lebak in 2008-
musik underground di Lebak, terutama 2009. He was a pioneer of underground
di Kitarung Underground sejak tahun music in Lebak, especially in Kitarung
1997-98. Underground since 1997-1998.

Andang Kelana lahir di Jakarta, 1983. Andang Kelana Was born in Jakarta
Seniman, desainer grafis & web, pendiri 1983. Artist, graphic & web designer,
Forum Lenteng, Sekretaris-Jenderal co-founder Forum Lenteng and
Forum Lenteng. Menempuh pendidikan Secretary-General at Forum Lenteng.
periklanan di Institut Ilmu Sosial dan Studied Advertising at Institute of Social
Politik (IISIP) Jakarta. Saat ini, bekerja and Political Science Jakarta. Now, he
sebagai ketua Jakarta 32ºC. is Chairman of Jakarta 32ºC (Jakarta
Student Biennale).

Syaiful Anwar dilahirkan di Jakarta Syaiful Anwar was born in Jakarta,


pada 1983. Ia menyelesaikan Strata 1 1983. He finished his study at Institute
ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial of Social and Political Science, Jakarta
dan Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun in 2007. In 2011, one of his video
2011, karya videonya menjadi salah work won in Media Art Competition
satu pemenang kompetisi seni media held by Indonesia Ministry of Culture
yang diselenggarakan oleh Direktorat and Tourism. Active as Member and
Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Production Coordinator Forum Lenteng,
Budaya, Seni dan Filem, Kementerian he also directing filems. His current
Kebudayaan dan Pariwisata. Aktif filem is: Elesan deq a Tutuq, a feature
sebagai anggota dan Koordinator documentary.
Produksi Forum Lenteng, ia juga
membuat filem. Karya terbarunya adalah
filem dokumenter feature: Elesan deq a
Tutuq.

Lahir di Pekanbaru, 1971. Seniman, Born in Pekanbaru 1971. Artist,


kurator, pendiri Forum Lenteng dan curator, co-founder of Forum Lenteng
Raungrupa Jakarta, Chief Editor and Ruangrupa Jakarta, Chief Editor
www.jurnalfootage.net. Menempuh of jurnalfootage.net. Studied fine arts
pendidikan seni murni di Institut at Jakarta Institute of Arts. Artistic
Kesenian Jakarta. Direktur Artistik Director OK.Video Jakarta International
OK.Video Jakarta International Video Video Festival (2003-2011).Since 2013,
Festival (2003-2011). Saat ini, Hafiz Hafiz is The Head Commisioner of
menjabat sebagai Ketua Komite Seni Visual Arts at Jakarta Arts Council.
Rupa Dewan Kesenian Jakarta.

193
Country of Production: Indonesia
Language: Bahasa Indonesia
Subtitles: English
115 min, Color, 2012

Naga Yang Berjalan Di Atas Air


Otty Widasari (Indonesia)

Sebuah cerita kecil dari perbatasan Kabupaten A story about the life in a Chinese temple at the
Tangerang dan Kabupaten Bogor, di mana hiduplah border between the city of Tangerang and Bogor.
Kang Sui Liong, sang penjaga kuil, bersama istri The protagonist is Kang Sui Liong, a 73-year-old
dan anak-anaknya. Zaman berganti. Kang Sui guardian of the temple with his family members.
Liong menjadi saksi kejayaan kaum Cina Benteng As the time goes by, Kang Sui Liong is also an
yang hidup dari hilir di Tangerang ke hulu di eyewitness of the glory of the Chinese Benteng
Bogor, hingga proses asimilasi menghitamkan kulit community in that area who live across the
mereka. Di kala hari telah senja, Kang Sui Liong Cisadane River. The temple is a place for people
duduk termangu di persimpangan jalan, bertanya to get blessed and spiritual escapism, which left
pada dirinya sendiri, akan di bawa ke mana tradisi Kang Sui Liong questioned himself, where the
warisan leluhur ini kelak. tradition of the heritage will be led to.

Lahir di Balikpapan 1973. Seniman, Born in Balikpapan 1973. Artist, writer,


penulis, sutradara filem, pendiri Forum filem director, co-founder of Forum
Lenteng dan koordinator Pemberdayaan Lenteng and Coordinator of Media
Media, akumassa. Pernah kuliah Literacy, akumassa. Studied Journalism
Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan at Institute of Social and Political
Politik (IISIP) Jakarta dan lulus Seni Science Jakarta and Fine Arts graduated
Murni di Institut Kesenian Jakarta. at Jakarta Institute of Arts (IKJ). Chief
Pimpinan Redaksi www.akumassa.org Editor www.akumassa.org (2008-2013).
(2008-2013). Di ARKIPEL sebagai Program Curator and Jury of ARKIPEL.
Kurator Program dan Juri.

194
195
program:
Penayangan Khusus

196
program:
Special Screening

197
Agenda: 28/8, kineforum

supported by the filmmaker & Deckert


Distribution GMBH

83 min, Color, 2012

editing: Danniel Danniel


sound design: Mark Glynne
produced: Diego Gutiérrez
& BONANZA FilmS
with the support of: DocLab
of the Binger FilmLab
financed by: Fondo para la
producción cinematográfica
de calidad FOPROCINE
(México)

Partes de una Familia (Parts of a Family)


Diego Gutiérrez (México)

Partes de una Familia adalah sebuah kisah cinta universal berikut suka dukanya. Apa
yang tersisa ketika gairah cinta yang tadinya begitu besar perlahan-lahan memudar?
Apa ada yang tersisa dari kehidupan selama bertahun-tahun yang telah dilalui bersama?
Gonzalo dan Gina Gutierrez hidup di dunia mereka sendiri, sebuah villa besar
seluas 4.000 meter persegi, dekat Mexico City. Dinding dengan kawat berduri
mengasingkan mereka dari dunia di luar sana. Pembuat filem ini, Diego Gutierrez,
adalah putra mereka yang akan bercerita tentang kisah kedua orang tuanya tersebut.
Lima puluh tahun yang lalu Gonzalo melamar Gina setelah satu minggu berpacaran.
Mereka menikah dua bulan setelahnya. Karir Gonzalo mulai menanjak sebagai dokter
saat itu, dan Gina yang mengurus anak dan rumah bersama dengan pengasuh anak
dan pembantu-pembantu lainnya.
Gonzalo baru saja pensiun dan akhirnya menemukan panggilan jiwanya:
yaitu menulis. Sebental lagi Gonzalo akan menginjak umur 80 tahun dan ingin
merayakannya dengan terjun menggunakan parasut. Gina merasa kesepian, lelah dan
marah. Gonzalo menjalani hidupnya sendiri tanpa memedulikan Gina lagi. Dia tidak
lagi bisa melihat pentingnya Gina dalam menjalankan rumah tangga dan dia tidak
pernah mengajak Gina jalan-jalan keluar. Gina terlalu takut untuk meninggalkan
villa itu seorang sendiri. Rasa benci di antara keduanya menjadi semakin nyata.
Pondok tetirah mereka terasa seperti penjara sekarang, dan menjadi medan “perang
dingin” keduanya. Tapi apakah ada harapan untuk mereka kembali seperti sedia kala?

198
Diego Gutiérrez adalah seorang perupa, Diego Gutiérrez is a visual artist, film
sutradara filem, dan juru kamera. Dia director and cameraman. He studied
belajar seni rupa di UNAM Mexico City visual Arts at the UNAM in Mexico
dan selanjutnya mengikuti dua tahun City and later on made a two years
program residensi di Rijksakademie residency at the Rijksakademie van
van Beeldende Kunsten dan program Beeldende Kunsten and at the Doc Lab
Doc Lab di Binger Filemlab di kota at the Binger Filmlab in Amsterdam,
Amsterdam, Belanda. The Netherlands.

Tahun 1998 ia mendirikan “el despacho”; In 1998 he founded “el despacho”; an


sebuah organisasi inisiatif seniman artist initiative based in Mexico City
yang terletak di Mexico City dan and Amsterdam interested in relating
Amsterdam. Organisasi ini tertarik visual artists and people from other
menghubungkan para perupa dan orang- disciplines with an alternative way of
orang dari disiplin ilmu yang lain untuk making documentary films by means of
membuat filem dokumenter dengan playful formative processes. Since 1998
cara alternatif, yaitu proses formal yang Gutierrez has coordinated numerous
menyenangkan. Sejak tahun 1998, documentary-workshop film projects
Gutierrez telah mengadakan workshop and has co-directed together with other
proyek filem dokumenter beberapa kali filmmakers and visual artists such as
dan juga pernah melakukan kolaborasi Kees Hin, Yael Bartana, Sebastián Díaz
penyutradaraan dengan beberapa Morales, and Linda Bannink.
pembuat filem dan perupa seperti Kees
Hin, Yael Bartana, Sebastián Díaz
Morales, dan Linda Bannink.

Parts of a Family is a bittersweet and universal love story. What stays behind when
the great passion of being in love has slowly faded away, and the years have been
passing by?
Gonzalo and Gina Gutierrez live in a world of their own; a huge villa on a 4.000
square meter estate, near Mexico City. Walls with barbed wire keep the outside world
far away. It’s their son, filmmaker Diego Gutierrez who tells their story. Fifty years
ago Gonzalo proposed to Gina after one week of dating. They got married after two
months. Gonzalo developed a blooming career as a doctor; Gina took care of the
children and the house, together with her nanny and other servants.
Gonzalo just retired and claims he has finally discovered his real vocation: writing.
He’s about to become 80 and wants to celebrate this with jumping with a parachute.
Gina feels lonely, tired and angry. Gonzalo lives his own life without taking her
into account. He does not see her value in running the house and he never takes her
out. She is too scared to leave the property on her own. The underlying resentment
between them becomes more tangible. Their safe haven has paradoxically become
their prison, their “cold war” battlefield, it seems. But is there a chance they’ll find
each other back?

199
Forgotten Tenor: Ada Nostalgia
dalam Setiap Jumpa.
curator: Dag Yngvesson

Saya cukup beruntung untuk bisa mengenal dengan baik Abraham


Ravett, seorang pembuat filem, seorang teman, pembimbing dan profesor
saya, yang saya ikut bantu dalam proses perekaman dan penyuntingan
gambar dalam proses pembuatan karya terbarunya,. Proyek itu adalah
“Blues and The Abstract Truth” yang fokus pada proses rekaman musik
jazz terkenal pada awal 1960an, membawa kembali ingatan ke salah
satu filem Abraham Ravett favorit saya yaitu Forgotten Tenor (1994),
yang saya pilih menjadi salah satu program di ARKIPEL. Filem ini
juga bercerita mengenai dunia Jazz, tentang masa akhir kehidupan
seorang pemain saxofon yang ‘terlupakan,’ Wardell Gray (1921-1955).
Namun hubungannya bukan sekedar antara dua filem yang terhubung
dengan jenis musik tertentu, dimana proses pembuatan karya yang baru
menjadi pengingat akan karya sebelumnya, yang sudah kita rekam,
dan menghubungi narasumber yang potensial untuk filem yang lebih
baru, mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat
menjelaskan proses pembuatan album, para musisi, khususnya komposer
Oliver Nelson – dan konteks sosial, sejarah, dan musik yang ada di
sekitar mereka.
Dalam Forgotten Tenor, beberapa narasumber potensial yang
kami hubungi terlihat keberatan untuk berbagi kisah mereka, dengan
berbagai alasan seperti : sudah lama dan sudah lupa tentang informasi
yang seharusnya punya nilai penting. Namun apa untungnya buat mereka?
Mengapa mereka harus menolong orang asing untuk ‘menghasilkan uang’

200
berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan tanpa kompensasi yang
menjanjikan? Siapa Abraham? Dan mengapa tiba-tiba ada ketertarikan
dengan sebuah album yang diproduksi lima puluh tahun yang lalu?
Berikut adalah jawaban Abraham terhadap pertanyaan-
pertanyaan itu yang membuat saya membuat saya ingat akan karya-karya
Abraham sebelumnya. Dia sering berkata kepada narasumber yang akan
diwawancara maupun yang berkeberatan: “Saya hanya ingin kamu ada
dalam filem saya.” Pernyataan yang terkesan sederhana namun secara
implisit mampu mengidentifikasi memori, dan tujuan mewawancara
itu sendiri, tiada lain sebagai rangkaian fakta mengenai masa lalu yang
dapat dimasukkan ke dalam filem untuk memberikan legitimasi, atau
sebagai akses ke kebenaran sejarah yang otentik dan tunggal. Selanjutnya,
Abraham menyarankan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang dimulai
dengan kehadiran : pertemuan. Apa yang pada akhirnya diberikan,
kemudian, akan berkembang melalui pertemuan ini, saat dimana pembuat
filem dan yang diwawancara melakukan ‘pertukaran’, dimana hasil, isi,
atau nilai akan sulit untuk ditetapkan. Apa yang akhirnya benar terjadi,
dalam kasus ini, mungkin sesederhana pertemuan itu terjadi, partisipasi
kedua pihak menunjukkan ketertarikan dalam proses mengingat dan
merekonstruksi sejarah tertentu.
Partisipasi mereka terutama yang tertarik dalam ‘menjual’ fakta
tidak lebih penting dibanding eksplorasi sejarah yang dilakukan oleh
Abraham Ravett ini, mereka yang setuju untuk bertemu, walaupun masih
menyimpan banyak keraguan, berpotensi menyediakan kesempatan
bukan hanya sejarah itu sendiri, tetapi membuat sejarah, dan munculnya
perkembangan yang kompleks, sosial, pribadi, ekonomi dan sebaliknya—
mengarahkan dan penataan pertukaran informasi dan proses mengingat.
Mengenai pernyataan Abraham, saya berpendapat, hal itu menjadi
salah satu kunci, struktur, dan tekhnik metodologis kedua filemnya
baik Forgotten Tenor maupun yang akan datang Blues and The Abstract
Truth. Ini juga isyarat salah satu cara dimana ketegangan menghasilkan
keberhasilan atau kegagalan dalam mengingat, dan dengan demikian,
dalam banyak hal, filem itu sendiri, dalam pertaruhan dalam dinamika
setiap pertemuannya, dan hasilnya tidak berarti terjamin.
Dalam menceritakan adegan di Forgotten Tenor, Ravett
mewawancarai Dorothy Gray, salah satu dari mantan istri subjek utama

201
filem ini, yaitu almarhum Wardell Gray. Saat ibu Gray telah setuju
untuk bicara di depan kamera, jelas dia sudah mengajukan beberapa
syarat, menggunakan rekaman suara dari diskusi mereka (dibalik layar
hitam dengan tulisan kontekstual) sebelum wawancara itu sendiri
dimulai, Ravett mengedit tekanan ini: mungkin dia sedikit gugup
dengan kemampuannya untuk mengingat dan mengekspresikan dirinya
dengan jelas dalam situasi yang formal. Mungkin juga dia telah berjanji
pada dirinya sendiri untuk tidak mengungkap dirinya terlalu banyak.
Saat percakapan di filem dimulai, ibu Gray memegang satu seri kartu
catatan yang mana terlihat tulisan dari pertanyaan-pertanyaan yang
sudah disediakan Abraham, bersama dengan pertanyaan yang sudah
dia siapkan terlebih dahulu untuknya. Kamera memasukan kartu-kartu
itu kedalam adegan, melatari tiap pergantian. Dia mulai membaca dari
kartu, membaliknya satu persatu, mendeskripsikan almarhum suaminya
dengan: “menarik, rajin, lucu.. seorang pemasak yang handal... dekat
dengan anaknya... penggemar olah raga, fanatik dalam mengkliping
koran... ramah, hangat...” disini dia berhenti, membaca beberapa kartu,
tapi tetap menyimpan isinya hanya untuknya: “ini sudah cukup”.
Seakan ibu Gray telah melalui proses perekaman dari memori
dirinya sebelumnya, memungkinkannya untuk melihat kembali dan
memilih bagian untuk diceritakan, mungkin bedasarkan perasaan dari
bagaimana sesuatu terjadi bersama Abraham. Tetapi, kita tidak akan
mendapatkan kesan bahwa ibu Gray menahan diri karena harapan
bayaran atas informasi yang telah dia berikan. Sebaliknya, dia terlihat
lebih peduli dengan bagaimana orang lain mengingat Wardell Gray, yang
bakatnya diakui luas oleh publik dan seharusnya mendapat pencapaian
dan penghargaan yang harusnya ia dapatkan. Mungkin ini tekanan
dari kekhawatiran yang awalnya membuat ibu Gray terlihat gugup. Ia
memiliki keuntungan untuk menyampaikan gambaran dari mantan
suaminya ke khalayak luas, tetapi dia harus melakukannya melalui
mediator, Abraham, yang mana adalah orang asing, walaupun tidak
bicarakan, kita bisa merasakan adanya permasalahan rasial (Dorothy
dan Wardell Gray adalah Afro-Amerika sementara Abraham orang
kulit putih) mungkin juga terdapat kekhawatiran signifikan tentang apa

202
yang harus ditampilkan, dan bagaimana menampilkannya atau dan apa
yang tidak seharusnya ditampilkan.
 Tetapi ketegangan tersebut mencair saat ibu Gray buntu selama
beberapa saat, saat mencoba untuk menggambarkan perasaan almarhum
suaminya mengenai reaksi kuat dan positif setelah melihat konsernya
dari banyak pendengar yang diantaranya belum pernah mendengar nama
Wardell Gray. Ibu Gray menolak untuk terkejut, Abraham berusaha
untuk mengisi kekosongan itu: Wardell Gray tahu dia memang bagus,
dia menyiratkan itu, jadi dia tidak seharusnya terkejut saat yang lain
menyadarinya. Tapi di sesi kedua. dia “merendah,” terlihat banyak yang
disukainya dan dia menyetujui dengan apresiasi yang nyata. Sebuah
persetujuan, walaupaun terlihat kecil, tapi penting, aspek historis dari
pertanyaan. Setelah itu, saat masih menggunakan kartunya sebagai
sketsa jawaban, dia sering kali mengadah, tersenyum dan menambahkan
informasi tertulis dengan detail lebih banyak yang tenggelam dalam
ingatan. Akhirnya dia menambahkan bahwa seringnya ketidakberadaan
Wardell saat tur menyulitkan pada masa pernikahan mereka. Setelah
kematian sang suami, hal itu memudahkannya mengatasi fakta bahwa
suaminya tak akan pulang ke rumah selamanya. Dia “menghibur dirinya
sendiri” bahwa “suaminya sedang tur ke luar kota”. Mengakhiri kalimat
ini, walaupun terlihat spontan, ia membiarkan dirinya dibawa ke tempat
lain, seseorang sekarang terlihat memainkan kartu dan mengontrol bagian
dari kenangannya juga membantunya untuk menghindari konfrontasi
dengan ingatan kematian, dengan cara yang tiba-tiba, misterius dan
keras, dari pasangan yang betul-betul dia cintai.
 Saya merekomendasikan Forgotten Tenor untuk disertakan di
ARKIPEL tidak hanya karena ini filem kesukaan saya dan bisa dikatakan
masuk kedalam kategori “experimental dokumenter” yang sangat
baik. Saya juga memilih karena caranya yang rumit dalam berurusan
dengan ingatan dan masa lalu, dan dengan bermacam pertemuan dapat
menghasilkan yang diketahui nantinya sebagai sejarah, akan tersajikan
untuk memperkaya sejumlah kuratorial dalam tema kearsipan, Forgotten
Tenor akan menjadi salah satu karya yang menantang dan layak untuk
disimak, dan memperkenalkan karya-karya dari Abraham Ravett ke
penonton Indonesia, yang mana sudah diakui secara luas dan telah

203
berkarya selama lebih dari tiga dekade. Saya harap filem ini akan mampu
menjadi inspirasi bagi teman-teman saya di Forum Lenteng, yang karya-
karyanya juga sudah dikenal luas, walaupun jauh secara geografis dan
kultur dengan Abraham, tapi saya bisa merasakan semangat yang sama.

204
Forgotten Tenor:
Remembering is a game often
enacted during encounters.
curator: Dag Yngvesson

I am lucky enough to have observed the filmmaker Abraham Ravett,


a friend, mentor and former professor of mine, at work on one of his
latest films in progress, parts of which I helped to shoot and edit. The
project, focused on the making of Blues and the Abstract Truth, a famous
jazz record from the early 1960s, brought back memories of one of my
favorites of Ravett’s earlier works, Forgotten Tenor (1994), which I have
selected for inclusion in the Arkipel program. That film also engages
with the world of jazz, by delving into the life of the late, ‘forgotten’
saxophonist Wardell Gray (1921-1955). Yet much more than the simple
connection of two films dealing with a certain kind of music, what
recalled the older work was the process, which we often recorded, of
contacting potential interviewees for the current film: those who had
experiences or knowledge that might shed light on the making of the
album, its players – particularly the composer/arranger Oliver Nelson
– and the social, historical and musical contexts surrounding them.
As in Forgotten Tenor, some of those we contacted seemed
reluctant to share their memories, for various reasons: it had been so
long and things had faded, what could they possibly say that would be
of value; what was in it for them, why should they help a stranger to
‘make money’ from their own past experiences without the promise of

205
financial compensation; who was Abraham, anyway, and why the sudden
interest in an album produced fifty years earlier?
It was Abraham’s response to these sorts of questions that
triggered my reflection on his earlier work. He often told the reluctant,
prospective interviewees, “I just want your presence in the film.” The
disarming and deceptively simple statement implicitly identifies memory,
and the goal of interviewing itself, as something other than a particular
series of facts about the past that can inserted into a film to provide a
sense of legitimacy, or the appearance of access to an authentic, singular
historical truth. What he is after, Abraham suggests, is something
different, something that begins with presence: a meeting. What is
eventually ‘given,’ then, will emerge through this encounter, a moment
in which filmmaker and interviewee engage in a formalized exchange
for which the outcome, content, or value are difficult to pre-determine.
What is ultimately ‘true,’ in this case, is perhaps simply that the encounter
occurred, the participation of both parties indicating an interest in the
process of remembering and reconstructing a certain history.
The participation of those mainly interested in selling ‘facts’ is
thus far less vital to Ravett’s historical explorations; those who agree to a
meeting, however, even if still harboring serious doubts, will potentially
provide the opportunity to record not history itself, but the pursuit
of making history, and the emergence of the complex stakes – social,
personal, economic, and otherwise – driving and structuring the exchange
of information and the process of remembering. Abraham’s statement, I
would argue, thus points to one of the key, structural, methodological
techniques of both Forgotten Tenor and the forthcoming Blues and the
Abstract Truth. It also hints at one of the ways in which dramatic tension
is produced: the success or failure of remembering, and thus, in many
ways, of the film itself, is at stake in the dynamics of each encounter,
and the outcome is by no means guaranteed.
In a telling scene of Forgotten Tenor, Ravett interviews Dorothy
Gray, one of the former wives of the film’s main subject, the late
saxophonist Wardell Gray. While Ms. Gray has agreed to speak on
camera, it is clear that she has reservations. Using recorded audio of
their discussion (over black screen with contextualizing titles) before

206
the interview itself begins, Ravett’s edit foregrounds this tension: maybe
she is a little nervous about her ability to remember and express herself
clearly in such a formal situation. Perhaps as well, she has promised
herself not to reveal too much. As the filmed part of the conversation
begins, Ms. Gray holds a series of note cards on which appear to be
written the questions Abraham has provided, along with answers that
she has pre-prepared for him. The camera includes the cards in the
frame, foregrounding the tools of this particular exchange. She begins
by reading from the cards, flipping through one by one, describing her
late husband: “interesting, studious, funny… he was a good cook…
he was good with my daughter… a sports nut, a newspaper clipping
fanatic… friendly, warm…” Here she pauses, reading a few more cards,
but keeping their contents to herself: “That’s about enough.”
It is as if she has gone through a process of recording her memories
before hand, allowing her to review and select which predefined “pieces” to
offer, perhaps based on her feelings of how things seem to be going with
Abraham. However, one does not get the sense she is holding back due
the expectation of financial remuneration for what she provides. Rather,
she appears genuinely concerned with the way in which Wardell Gray
may be remembered by others, by a greater public whose recognition many
of his peers said he richly deserved, and yet, in his short career and life,
he never quite achieved. Perhaps it is the pressure of this concern that
at first makes her appear nervous. She has the opportunity to convey a
particular image of her former husband to a potentially broad audience,
yet she must do so through a mediator, Abraham, who is a stranger.
While it remains unspoken, one gets the sense that racial difference
(Dorothy and Wardell Gray are both African-American while Abraham
is white) may also be a significant concern in the ongoing evaluation of
what to present, and how it should, or shouldn’t, be explained.
Yet the tension is broken when Ms. Gray becomes momentarily
stuck in an attempt to convey her late husband’s feelings regarding the
strong, positive reactions audiences, many of whom had likely never heard
of him, had to his live performances. She quickly rejects “surprised,”
Abraham’s initial effort to help fill in the blank: Wardell Gray knew he
was good, she implies, so he shouldn’t have been surprised when others

207
realized it, too. But the second offering, “humbled,” seems much to her
liking, and she accepts it with obvious appreciation. An agreement is
thus established regarding a small, but important, aspect of the history
in question. Following this, while still using her cards as an outline, she
frequently looks up, smiles, and supplements the written information
with further details drawn from memory. Finally, she adds that while
Wardell’s regular, long absences while on tour were difficult for her
during their marriage, after his death, this is precisely what enabled her
to better cope with the fact that he would never again return home. She
would “play a game with herself ” that her husband was “just on the road.”
Finishing this last, seemingly spontaneous, memory she allows herself
to be taken back to another place, one that it now seems the game of
the cards and the controlled pieces of her recollections were also initially
helping her to avoid: confrontation with the memory of the death, in a
sudden, mysterious, and violent manner, of a partner she dearly loved.
I recommended Forgotten Tenor for inclusion in Arkipel not only
because it is a favorite film of mine and could be said to fit the category
“experimental documentary” extremely well. I also chose it because the
complex ways in which it deals with memory and the past, and with the
kinds of encounters that produce what comes to be known as history,
will serve to enrich the general curatorial theme of film in the context of
archives. Forgotten Tenor will be one of a number of challenging works
that are well worth the time invested in engaging with, and will introduce
the films of Abraham Ravett, whose extensive and acclaimed body of
work has been built over the past three decades, to Indonesia. I hope in
particular that the film will serve as further inspiration to my colleagues
at Forum Lenteng, themselves accomplished filmmakers, whose work,
despite its geographical and cultural distance from Abraham’s, I have
long felt to be driven by a similar spirit.

208
Agenda: 24/8, kineforum

Country of Production: USA


Language: English
Subtitles: English
136 min, B/W, 1994

Forgotten Tenor
Abraham Ravett (Poland-USA)

Forgotten Tenor adalah sebuah penghormatan Forgotten Tenor pays tribute to Wardell Gray,
terhadap Wardell Gray yang dianggap oleh considered by many one of the greatest and most
banyak orang sebagai salah satu peniup saksofon unheralded tenor saxophonists in American Black
terhebat yang pernah ada namun kini terlupakan Classical Music. Utilizing a combination of rare
di ranah musik orang kulit hitam di Amerika archival footage, family photographs, memorabilia,
Serikat. Dibuat dengan mengkombinasikan and conversations with family and colleagues, the
rekaman arsip yang langka, foto-foto keluarga, film attemps to resurrect the presence of this great
memorabilia dan wawancara dengan keluarga musician and pay tribute to his accomplishments.
dan rekan sejawat sang subjek, filem ini mencoba
untuk menghadirkan kembali seorang musisi
hebat sekaligus pencapaiannya yang kini jarang
dibicarakan.

Abraham Ravett lahir di Polandia pada Abraham Ravett was born in Poland in
1947. Di besarkan di Israel, emigrasi 1947, raised in Israel, and emigrated to
ke Amerika Serikat pada 1955. Dia the United States in 1955. He holds a
memegang gelar Sarjana Seni Rupa dan Bachelor of Fine Arts and Master of Fine
gelar Master Seni Rupa dalam bidang Arts in Filmmaking and Photography
Pembuatan Filem dan Fotografi dan and has been an independent filmmaker
aktif sebagai pembuat filem independen for the past thirty years.
selama 30 tahun ini.

209
program:
Presentasi Khusus

210
program:
Special Presentation

211
Agenda: 25/8, kineforum

berkolaborasi dengan/in collaboration with:

Bangkok Experimental
Film Festival

PROGRAM I: Aksi-aksi Kenangan


Perhelatan ke-6 Festival Filem Eksperimental Bangkok tahun lalu bertemakan
“merampok arsip”. Kami ingin memperlihatkan bagaimana seniman gambar bergerak
dari seluruh dunia, baik seniman masa kini maupun masa lalu, menggunakan bentuk
formal, dokumenter, dan kapasitas sensorik dari gambar bergerak untuk ‘bermain’
secara kritis dan imajinatif dalam ranah politik kenangan. Program ini menampilkan
karya dari seniman asal Australia, Amerika Serikat, Thailand, Korea Selatan, dan
Kanada dengan aksi sinematik mereka sendiri-sendiri untuk mengenang yang mulai
terlupakan.

PROGRAM I: Acts of Memory


The 6th edition of the Bangkok Experimental Film festival took place in Thailand
last year under the theme of ‘raiding the archives.’ We wanted to show how moving
image artists from around the world, both in present and past times, use the formal,
documentary and sensorial capacities of the moving image to engage critically and
imaginatively in the politics of memory. This touring programme, featuring artists
from Australia, USA, Thailand, South Korea and Canada, highlights their cinematic
acts of remembrance in the land of the victors’ amnesia.

212
Oz@1950
Dirk de Bruyn
2010, 4:11

Oz@1950 menampilkan kembali arsip visual Oz@1950 re-performs the visual archive to expose
untuk menyoroti ideologi kebijakan kuilt putih di the ideology of the white Australian policy. The film
Australia. Filem ini menunjukkan bahwa prilaku suggests that contemporary Australian politicians’
politisi Australia sekarang ini terhadap manusia attitude to illegal boat arrivals is not new but is
perahu ilegal bukanlah hal baru, tapi dapat dilacak traceable to the 1950s’ idea of the ‘New Australian.’
balik ke ide ‘Australia Baru’ yang ada sejak tahun
1950an.

Memory Objects,
Memory Dialogues
Alyssa Grossman &
Selena Kimbal
2011, 26:10

Dua frame diproyeksikan berdampingan. Frame Two frames are projected side by side. On the
pertama adalah serangkaian wawancara yang first is a series of edited interviews featuring
menampilkan warga Bucharest berbagi kenangan Bucharest residents sharing their recollections
mereka saat Romania masih berupa negara of the communist past stimulated by ordinary
komunis. Mereka dirangsang dengan alat-alat household objects associated with the period before
rumah tangga yang berasal dari periode sebelum the 1989 Revolution.
revolusi tahun 1989. The second displays a series of 16mm
Yang kedua menampilkan serangkaian animations of these objects—everyday, domestic
animasi 16mm dari alat-alat rumah tangga pada items, including an ice cube tray, a porcelain
frame pertama, termasuk sebuah animasi nampan figurine, an ink bottle, a set of miniature cookbooks,
es batu, patung porselen, botol tinta, miniatur a wooden darning mushroom, and a schoolgirl’s
buku masak, replika tumbuhan jamur, dan seragam uniform.
anak sekolah.

213
A Brief History of
Memory
Chulayarnnon Siriphol
2010, 14:00

Filem ini didedikasikan untuk orang-orang yang Dedicated to the people who were killed during the
tewas selama krisis politik di Thailand. Seorang political crisis in Thailand. A mother who lost her
ibu yang kehilangan anaknya pada bulan April son in April 2009 recalls that day. The resonance
2009 mengingat masa-masa itu. Resonansi antara between her voice and the abstract, eerie images
suaranya dan gambar abstrak serta menakutkan create a communal space of mourning.
menciptakan ruang berkabung komunal.

Untitled#1
from the series “Eight Men
Lived in the Room”
Hyewon Kwon
2010, 5:56

Proyek ini dimulai dengan ditemukannya berita This project started with the discovery of news
cuplikan filem di Arsip Nasional Korea Selatan. film footage in South Korea’s National Archive.
Rekaman 45 detik, difilemkan pada tahun 1961, The 45-second footage, filmed in 1961, reported
melaporkan penyelesaian asrama pekerja di Seoul the completion of a workers’ dorm in Seoul which
yang dihancurkan pada tahun 1999. Tidak ada was demolished in 1999. No other official records
catatan resmi lain dari bangunan ini ada kecuali of this building exist except this clip. Untitled#1
klip ini. Untitled #1 menggabungkan cuplikan combines original news footage with scripted news
berita asli dengan berita yang didasarkan fakta performance based on facts found in newspapers
yang ditemukan dalam surat kabar dan dokumen and administrative documents.
pemerintahan.

214
Lay Claim to an
Island
Chris Kennedy
2009, 13:00

Teks dari Pendudukan Orang Indian di Alcatraz Texts from the 1969 American Indian Occupation
pada 1969 dan surat dari para pendukung of Alcatraz and letters from supporters propel an
pendudukan itu mendorong eksplorasi kerinduan exploration of political yearning, emancipatory
akan politik, arsitektur emansipatoris dan utopia architecture and failed utopias. What does it mean
yang gagal. Apa artinya untuk mengklaim tanah to claim land that has more value as a symbol than
yang memiliki nilai lebih sebagai simbol dibanding as a potential home? And how does that symbol
sebagai tempat tinggal sebenarnya? Dan bagaimana function beyond the boundaries of its geographic
bahwa fungsi simbol di luar batas geografisnya? limits?

Program 2:
An Escalator
in World Order
Kim Kyung-Man
2011, 118 min

Filem menakjubkan arahan Kim Kyung-man ini Kim Kyung-man’s awesome film looks back at Korea
melihat Korea ke belakang saat dominasi Amerika in an age of US domination. Re-edited newsreel and
Serikat di sana. Newsreel dan footage propaganda propaganda footage present a parade of past leaders
di susun ulang untuk menampilkan suatu parade pledging one new dawn after the other – the return
dari para pemimpin masa lalu dengan janji- of the same haunting an existentially homeless
janji manis mereka masing-masing. Walau film present. Although ostensibly about the relationship
ini menggambarkan hubungan Korea Selatan between South Korea and the USA, this film subtly
dan Amerika Serikat, filem ini secara subtil asks what similarities persist between North and
mempertanyakan kesamaan antara Korea Utara South. Winner of the 2011 Jeonju International
dan Korea Selatan. Film ini memenangkan audience Film Festival audience award.
award di Festival Film Jeonju 2011.

215
Agenda: 26/8, Teater Kecil

berkolaborasi dengan/in collaboration with:

Images Festival Toronto, Canada

PROGRAM I: Cara Melihat


Program ini merupakan kurasi dari karya-karya dari penyelenggaraan Images
Festival ke-26 yang mengusut bagaimana kita melihat dan memahami gambar.
Dengan menggunakan pengalaman pribadi, wawancara dokumenter, materi dari
arsip dan teknik animasi eksperimental, karya-karya berikut ini hadir dalam wilayah
persinggungan antara fakta dan fiksi, mencoba menawarkan cara baru untuk
memahami dunia sekitar kita melalui gambar.

PROGRAM I: Ways of Seeing


This selection of recent works from the 26th edition of the Images Festival investigates
the way in which we see and understand images. Using personal reflection, documentary
interview, archival materials and experimental animation techniques, these works
operate on the boundaries of fact and fiction, proposing different positions from
which we can understand the world around us through an image.

216
A Third Version of the Imaginary

Movement in Squares
Jean-Paul Kelly (Canada)
2013, video, 13 min

“Video dua kanal dikonf igurasi untuk “A two-channel video work configured here for
dipresentasikan dalam satu layar, karya Jean-Paul a single screen presentation, Jean-Paul Kelly’s
Kelly ini terdiri dari tiga unsur: Video yang berasal Movement in Squares is composed of three
dari broker penyitaan yang berbasis di Florida yang elements: video appropriated from a Florida-based
mendokumentasikan kondisi rumah yang sudah foreclosure broker who documents the condition
ditebus kembali, seorang seniman yang sedang of repossessed homes; the artist paging through a
menyusun katalog lukisan koleksi pionir British catalogue of paintings by the British Op Art pioneer
Op Art yaitu Bridget Riley, dan narasi voice-over Bridget Riley; and voice-over narration from a 1979
dari sebuah filem dokumenter tentang Riley yang documentary about Riley. In conversation on the
dibuat tahun 1979. Dalam percakapan di layar, screen, these elements put forth questions about
elemen-elemen ini mengajukan pertanyaan tentang representation, ethics and perception in how we
representasi, etika dan persepsi dalam cara kita look at images.“
melihat gambar.”
Jean-Paul Kelly (born in London, Canada, 1977)
Jean-Paul Kelly (lahir di London, Kanada, 1977) creates drawings, photographs and videos that
membuat gambar, foto dan video yang sering are often displayed together. His work has been
ditampilkan bersama-sama. Karyanya telah shown at The Power Plant Contemporary Art
dipamerkan di The Galeri Seni Kontemporer Power Gallery (Toronto, 2012), Mercer Union (Toronto,
Plant (Toronto, 2012), Mercer Union (Toronto, 2010), Ed Video (Guelph, 2010), Cambridge
2010), Ed Video (Guelph, 2010), Cambridge Galleries (2009) and Gallery TPW (Toronto,
Galeri (2009) dan Galeri TPW (Toronto, 2005 2005 and 2008). Screenings include the Toronto
dan 2008). Karyanya pernah diputar di Toronto International Film festival, International Film
International Film festival, International Film festival Rotterdam, Internationale Kurzfilmtage
festival Rotterdam, Internationale Kurzfilemtage Oberhausen, Migrating Forms (New York),
Oberhausen, Migrating Forms (New York), Arsenal Arsenal - Institute for Film and Video Art (Berlin),
- Institute for Filem and Video Art (Berlin), Rencontres Internationales (Paris) and Pleasure
Rencontres Internationales (Paris) dan Pleasure Dome (Toronto).
Dome (Toronto).

217
Underscore (_) Subguión
Jorge Lozano (Canada)
2012, video, 28 min

“Potret layar-kembar dari Lozano tentang seorang “Lozano’s twin-screen portrait of a political activist
aktivis politik di pengasingan tanpa nama yang in exile in 1 has the unnamed individual tell the
menceritakan kisah percobaan pembunuhan yang story of the assassination attempt that forced him to
memaksa dia untuk bersembunyi dan kemudian go into hiding and then to flee his home. The details
lari dari rumahnya. Rincian peristiwa traumatik of the traumatic event are told with matter-of-fact
diberitahu dengan presisi faktual, namun nama- precision, but names, places and dates have been
nama, tempat dan tanggal telah dihapus untuk removed to protect the subject. The combination of
melindungi subjek. Kombinasi presisi dan abstraksi precision and abstraction lead us to reflect on the
membawa kita untuk merefleksikan kenyataan fact that the subject’s chilling story is indeed all too
bahwa kisah mengerikan subyek memang terlalu common, while the fact that he survived is not.”
umum, sedangkan fakta bahwa ia selamat tidak. “
Jorge Lozano has been working as a film and
Jorge Lozano telah bekerja sebagai filem dan video artist for nearly fifty years and has achieved
seniman video selama hampir lima puluh tahun national and international recognition. His films
dan telah mendapat pengakuan nasional dan have been exhibited at the Toronto International
internasional. Filem-filemnya telah diputar antara and Sundance Film festivals, amongst others, and
lainnya di Toronto International Film festival dan his experimental work has been exhibited at many
Sundance, dan karya-karya eksperimentalnya telah international festivals and galleries. Lozano is
dipamerkan di banyak festival internasional dan currently working on a Ph.D at York University
galeri. Lozano saat ini sedang menyelesaikan in Visual Arts.
pendidikan Ph.D di York University jurusan Seni
Visual.

Sight
Thirza Jean Cuthand (Canada)
2013, video, 3 min

“Pola noda dan cat diambil dengan kamera Super “Stained and painted patterns on Super 8 images
8 menghasilkan gambar yang menghambat impede our view. The interrupted images reflect
pandangan kita. Gambar yang terputus the words of the filmmaker as she muses on trauma
mencerminkan kata-kata pembuat filem saat ia and the loss of sight.”
merenungi trauma dan kehilangan penglihatannya.”
Thirza Cuthand was born in Saskatchewan and
Thirza Cuthand lahir di Saskatchewan dan grew up in Saskatoon. Since 1995 she has been
dibesarkan di Saskatoon. Sejak tahun 1995 dia telah making short experimental narrative videos and
membuat video pendek naratif eksperimental dan films about sexuality, madness, youth, love and race,
filem tentang seksualitas, kegilaan, muda-mudi, which have screened in festivals internationally. She
cinta dan ras, yang telah ditayangkan di berbagai is of Plains Cree and Scots descent and currently
festival internasional. Dia mempunyai darah Plains resides in Saskatoon.
Cree dan Skotlandia dan saat ini bertempat tinggal
di Saskatoon.

218
A Third Version of the Imaginary
Benjamin Tiven (USA)
2012, video, 12 min

“Kunjungan ke perpustakaan filem dan video “A visit to the film and video library of the Kenya
perusahaan Kenya Broadcasting di Nairobi Broadcasting corporation in Nairobi provides an
memberi kesempatan untuk menyelidiki makna opportunity to investigate the meaning and value
dan nilai dari suatu gambar. Tiven mengeksplorasi of an image. Tiven’s film explores what is preserved,
materi seperti apa yang diawetkan, apa yang what is discarded and how technology, economics
dibuang dan bagaimana teknologi, ekonomi dan and politics all have a role in determining what
politik semua memiliki peran dalam menentukan is broadcast.”
apa yang disiarkan. “
Benjamin Tiven currently lives in New York.
Benjamin Tiven saat ini tinggal di New York. In 2012, he completed the Whitney Museum’s
Pada tahun 2012, ia menyelesaikan Program Studi Independent Study Program in studio art. Recent
Independen di Whitney Museum di bidang seni exhibitions in New York, Dublin, Vancouver,
studio. Mengadakan pameran baru-baru ini di New Toronto, and the Center for Curatorial Studies
York, Dublin, Vancouver, Toronto, dan Pusat Studi at Bard College. Recent contributions to Triple
Kuratorial di Bard College. Kontribusi tulisan Canopy, Bidoun, The Bulletins of the Serving
terbarunya dimuat di Triple Canopy, Bidoun, Library, The Nation, The Abu Dhabi National,
The Bulletins of the Serving Library, The Nation, and The Philadelphia Independent.
The Abu Dhabi National, dan The Philadelphia
Independent.

Shadow Puppet
Yi Cui (Canada)
2010, 16mm, 5 min

“Melalui penggunaan printer optik sebagai “Through the use of an optical printer as a
perangkat kreatif, frame individu ditampilkan creative device, the individual frame is played
seperti catatan musik. Sebuah improvisasi berirama like a music note. A rhythmic improvisation
divisualisasikan pada seluloid. “ visualized on celluloid.”

Yi Cui lahir dan dibesarkan di Cina. Sebelum Yi Cui was born and raised in China. Before
membuat filem, dia mengenyam pendidikan di stepping into f ilmmaking, she pursued
bidang ekologi konservasi. Apa yang dipelajari dari conservation ecology. What was learned
alam telah tinggal di identitas karya-karyanya dan from nature has stayed in her identity and
memengaruhi karya kreatifnya. Pencarian aliran reverberated into her creative work. A search
yang puitis dan mempunyai irama terlihat jelas for poetics and rhythmic flow inside the film
dalam karya-karya filemnya. Yi Cui memperoleh medium has driven all her works. Yi Cui
gelar MFA-nya dalam produksi filem di York acquired her MFA in film production at York
University di Toronto. University in Toronto.

219
You Are Here
Leslie Supnet (Canada)
2012, video, 3 min

“Membangkitkan kembali orang mati untuk “Invoking the dead to write through a ritual
menulis melalui ritual yang ditampilkan dengan performed by animated hands.”
tangan imajiner.”
Leslie Supnet is an artist living in Toronto whose
Leslie Supnet adalah seorang seniman yang tinggal moving image and drawing aims to express
di Toronto. Karya-karya visualnya bertujuan untuk sincerity, lived experience, and the multiplicity of
mengungkapkan ketulusan, pengalaman hidup, human emotion. Her works have screened at various
dan keragaman emosi manusia. Karyanya telah festivals, cinemas and microcinemas near and far.
diputar di berbagai festival, bioskop dan bioskop
kecil di banyak tempat.

Program II: River and My Father (2010, video, 75 min)

Luo Li (Canada/China)
*Q & A with the director after screening

Filem ini adalah kombinasi subtil antara pembuatan filem dokumenter dan fiksi. Karya menakjubkan
dari Luo Li ini terinspirasi dari cerita-cerita masa kecil Ayahnya sendiri. Desain tata suara, gambar
dan narasi secara kreatif disuguhkan oleh Luo Li mirip dengan bagaimana kerja ingatan. Luo Li dan
keluarganya dibesarkan di sepanjang Sungai Yangtze (Chang Jiang) di Cina yang juga menjadi latar
belakang di mana cerita filem diungkap. Jika dilihat sekilas dari waktu dan ruang, serta kaitannya
dengan cara-cara migrasi di zaman sekarang, cerita-cerita dalam filem ini mengalir seperti sungai pada
peta masa lalu. Filem dimulai di kantor dan lorong-lorong York University dengan memperlihatkan
seorang karyawan yang akan pensiun. Pria ini berbicara tentang berlalunya waktu dan bagaimana tahun
2010 dulunya terasa seperti masa depan yang jauh. Percakapan ini menandai ‘warna’ filem ini, di mana
detil-detil yang terjadi pada hidup sehari-hari terasa universal. Pengalaman-pengalaman pribadi yang
unik dipahami lebur dalam perasaan kolektif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Luo Li, “masa
peralihan dan masa ketidakpastian.”
Gambar dari peta perpustakaan di Universitasnya tertebar ke jalanan hujan di Cina. Cerita-cerita
keluarga Li dimulai di sini dan diilustrasikan oleh sinematografi yang elegan, elipsis, dan berulang-
ulang: anak laki-laki dan seorang wanita berjalan menaiki tangga, seorang pria berenang di kolam air
yang besar, tiga anak laki-laki berjalan di sepanjang tepi sungai. Persepsi penonton akan keabadian,
pecah dan “masa peralihan” diperjelas dengan fakta bahwa cerita-cerita dari masa lalu diilustrasikan
dengan gambar-gambar kekinian.
Visualnya tidak langsung merujuk narasi yang ada, terkadang rujukan gambar bisa lebih awal atau
belakangan dari narasi voice over, sebuah teknik yang menciptakan penundaan kejelasan dan logika
cerita secara menarik. Li menjelaskan bahwa motivasinya membuat filem ini tidak sekedar untuk
mendokumentasikan kisah-kisah pribadi keluarganya, tetapi juga untuk menampilkan apa-apa saja yang
memengaruhi kehidupan orang-orang Cina di masa lalu, bagaimana kehidupan mereka dipengaruhi oleh
lingkungan tempat mereka dibesarkan, dan bagaimana kenangan mereka bersinggungan dengan masa

220
kini. Li menulis:. “Bersama-sama, kisah-kisah pribadi lintas generasi ini menjadi sebuah alegori dari
sejarah modern Cina .... Sejarah sering didominasi oleh narasi besar yang berpusat pada peristiwa penting
dan tokoh-tokoh kuat. Namun saya percaya bahwa kenangan pribadi manusia biasa sama pentingnya.
Kenangan ini dapat memberikan kita sudut dan perspektif yang berbeda untuk melihat masa kini dan untuk
merencanakan masa depan ... Dengan filem ini saya berharap telah berkontribusi mendokumentasikan
dan melestarikan sejarah lokal melalui representasi cerita dan kenangan dari orang biasa. “
Luo Li adalah pembuat filem independen. Ia lahir dan dibesarkan di Cina. Ia belajar produksi
filem dan menyelesaikan MFA di Kanada. Karya Li telah diputar secara internasional di festival filem
dan galeri-galeri antara lainnya Arsenal (Berlin), Cinematheque Ontario (Toronto), Images Festival
(Toronto), Nouveau Cinema International Filem and New Media Festival (Montreal), Reyes Hecoles
Gallery (Mexico City), BAFICI (Buenos Aires), China Independent Filem Festival, Jeonju International
Filem Festival, International Filem Festival or Rotterdam, New Directors/New Filems (New York), dan
Hong Kong International Filem Festival. Filem terbarunya, Emperor Visits the Hell memenangkan
penghargaan Dragons and Tigers di Vancouver International Filem Festival tahun 2012.

A subtle combination of documentary and fiction filmmaking, Luo Li's remarkable Rivers and My
Father was inspired by stories from his father's childhood. Li inventively structures sound, image and
narration, evoking the ways in which memory operates. The filmmaker and his family grew up along the
Yangtze River (Chang Jiang) in China, which serves as the backdrop on which the film's stories unfold.
Seen from a distance in both time and space, and in relation to contemporary forms of migration, these
stories flow like rivers on a map of the past. The film begins in the nondescript offices and hallways of
York University with an employee who is about to retire. The man comments on the passing of time
and how 2010 once seemed like the distant future. This conversation sets the tone of the film, where
the ordinary details of daily life take on a universal quality. These unique personal experiences convey
collectively understood feelings of, as Li puts it, "inbetweenness, uncertainty and the indeterminacy."
Images from the map library at the University segue to a rainy street in China. The stories of Li's
family begin here and are illustrated by a suite of elegantly composed, elliptical, repeating shots: a boy
and a woman walking up steps; a man swimming in a wide body of water; a trio of boys walking along
a riverbank. The audience's perception of timelessness, rupture and "inbetweenness" is enhanced by the
fact that stories from the past are illustrated with contemporary images.
The shots don't always immediately or directly refer to the narration, sometimes preceding and
sometimes following it, a technique that creates an engaging delay in the revelation of the film's internal
logic. Li explains that he was motivated to make the film to not only document the personal stories of
his family, but also to represent aspects of what an ordinary Chinese person's life was like in the past,
how their lives were affected by the environment they grew up in, and how their memories intersect
with the present. Li writes: "Together, these cross-generational personal stories become an allegory in
regard to the modern history of China.… History is often dominated by grand narratives that centre on
significant events and powerful figures. However, I believe that ordinary people's personal memories are
equally important. These memories can provide us with different angles and perspectives to look at the
present and plan for the future… With Rivers and My Father I hope to contribute to the documentation
and preservation of local history through the representation of ordinary people's stories and memories."
Luo Li is an independent filmmaker. He was born and grew up in China. He studied film production
and completed his MFA in Canada. Li’s works have screened internationally in festivals and galleries
including Arsenal (Berlin), Cinematheque Ontario (Toronto), Images Festival (Toronto), Nouveau Cinema
International Film and New Media Festival (Montreal), Reyes Hecoles Gallery (Mexico City), BAFICI
(Buenos Aires), China Independent Film Festival, Jeonju International Film Festival, International
Film Festival or Rotterdam, New Directors/New Films (New York), and Hong Kong International
Film Festival. His most recent film, Emperor Visits the Hell won the Dragons and Tigers award at the
2012 Vancouver International Film Festival.

221
Sekapur Sirih: Program Gelora Indonesia

The Japan Foundation mempromosikan pertukaran budaya internasional melalui


berbagai kegiatan di bidang seni dan budaya termasuk mengundang para seniman
muda ke Jepang.
Sejak tahun 2007 kami telah menyelenggarakan “Program Undangan untuk
para seniman” sebagai bagian dari program JENESYS (Japan-East Asia Network
of Exchange for Students and Youths). Melalui program ini, para seniman muda
atau pun professional di bidang artistik dan kreatif berkesempatan untuk tinggal
di Jepang selama satu atau tiga bulan untuk terlibat dalam produksi seni, magang,
penelitian, dan membuat jejaring. Sementara kami mendukung pengembangan
karir mereka sebagai seorang seniman kami pun berharap dapat memelihara dan
mengembangkan jalinan kemitraan mereka dengan para tokoh kunci masa depan
di wilayah Asia Pasifik.
Untuk tahun fiskal 2012-2013 kami mengundang Mahardika Yudha (lahir 1981),
seorang kurator muda Indonesia yang mengkhususkan diri di bidang perfileman,
video art, dan media art. Saat ini Yudha aktif berkecimpung di ruang alternatif
ruangrupa dan Forum Lenteng, yang memiliki jaringan luas di luar negeri. Selama
berada di Jepang, Yudha melakukan penelitian terhadap sutradara Matsumoto Toshio,
salah seorang tokoh perfileman eksperimental Jepang, termasuk interview dengan
para sutradara dan kurator. Yudha juga melakukan penelitian terhadap media art
karya para seniman muda Jepang yang memiliki potensi untuk membangun proyek
kolaborasi di Indonesia di masa depan.
Kami sangat gembira dan bangga mengetahui jika Yudha tengah menciptakan dan
berupaya mewujudkan Festival Filem Dokumenter dan Eksperimental ARKIPEL,
sebuah proyek kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang. Proyek ini
melibatkan berbagai media dan disiplin ilmu yang berfokus pada bagaimana filem
menginspirasi penontonnya. ARKIPEL merupakan proyek follow up dan menjadi
bentuk pertanggungjawaban Yudha sebagai peserta proyek JENESYS.
Kami berharap kesempatan ini memiliki arti untuk karir Yudha sekaligus
memperkuat hubungan antara seniman Indonesia dan Jepang.

Jakarta, 31 Juli 2013

Tadashi OGAWA
Director General
The Japan Foundation, Jakarta

222
Foreword: Gelora Indonesia Program

The Japan Foundation promotes international cultural exchange by organizing


programs in the fields of arts and culture including inviting young artists to Japan.
Since 2007 we have been administering the “Invitation Programme for Creators”
as part of JENESYS Programme (Japan-East Asia Network of Exchange for Students
and Youths). Through this programme, young creators or professionals in artistic and
creative fields take residency for one or three months to engage in art production,
internship, research, and networking. While we support individuals in developing
their careers as creators, we also hope to nurture future partners for collaboration
and to establish a network of key figures in the Asia Pacific region.
For the 2012-2013 term we invited Mahardika Yudha (born in 1981), a young
Indonesian curator specializes in film, video art, and media art. Yudha is active at
the alternative art spaces ruangrupa and Forum Lenteng, which have an extensive
network of overseas connections. Living in Japan, he made a study of director
Matsumoto Toshio, one of the titans of Japanese experimental filmmaking, which
included interviews with the director and with curators. Yudha also conducted a
study of works of media art by young Japanese artists with the potential to develop
collaboration projects in Indonesia in the future.
We are happy and proud knowing Yudha creates and directs ARKIPEL
Documentary and Experimentally Film festival, an international collaboration project
between Indonesia and Japan. The project involving various media and disciplines
focused on how film inspires people. ARKIPEL is a follow up project and be the
form of Yudha’s responsibility as the participant of JENESYS project .
We hope this opportunity is worthwhile for Yudha’s career and strengthen the
relationship between young Indonesian and Japanese artists.

Jakarta, July 31st 2013

Tadashi OGAWA
Director General
The Japan Foundation, Jakarta

223
Agenda: 26-30/8, Sinematek Indonesia lt. 4

Gelora Indonesia: Filem


Dokumenter dan Filem Sebagai
Media Komunikasi
kurator: Mahardika Yudha

“Satu hal yang hilang sekaligus dari permukaan filem Indonesia, ialah
corak komersialisme dan Amerikanisme, untuk digantikan dengan
corak propaganda politik dan kemasyarakatan… orang sadar akan
fungsi filem sebagai alat komunikasi sosial.”1

Kelahiran Keimin Bunka Shidosho atau “Poesat Keboedajaan” menjadi


satu periode baru yang berhasil membangun kesadaran tentang posisi
seni dan seniman di masyarakat. Mulai dari teater, seni rupa, sandiwara
bahkan hingga ke filem, seni tidak lagi ditempatkan pada wilayah
adiluhung sebagai media ekspresi semata, tetapi bagaimana cakupan
peran seni di wilayah sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat.
Di periode 1942-1945, filem merupakan salah satu media propaganda

1  Sari Soal dalam Filem Indonesia, Usmar Ismail, Konfrontasi, No. 1/Tahun I, Juli-
Agustus 1954, h. 55-56.

224
yang efektif bagi pendudukan Jepang di Asia Tenggara. Sudut pandang
ini telah merubah banyak tokoh intelektual, seniman, dan sutradara
Indonesia dalam melihat fungsi filem yang tidak lagi dipandang sebagai
media hiburan semata, tetapi juga sebagai media komunikasi yang
paling persuasif.
Di bawah Djawa Eiga Kôsha yang berdiri sejak 1 Oktober
1942, sedikitnya telah dibuat Djawa Baharoe sebanyak 8 kali sampai
kemudian pada Maret 1943, organisasi yang melakukan produksi
sekaligus distribusi ini direorganisasi menjadi Nippon Eigasha Jakarta
(Nichi’ei Jakarta) dan menerbitkan Berita Filem di Djawa yang pada
bulan Januari 1944 berganti nama menjadi Nampo-Hodo (Southern
News). Produksi filem dokumenter dan semi dokumenter yang ditujukan
sebagai media propaganda Jepang untuk penerangan dan pendidikan
sangat produktif bahkan di antara cabang-cabangnya di negara lain.
Setelah kemerdekaan 1945, Berita Filem Indonesia dibentuk
dengan peralatan dan perlengkapan produksi filem yang berasal dari
Nippon Eigasha Jakarta. Organisasi yang memproduksi filem-filem
berita dan dokumenter ini dipimpin oleh RM. Soetarto dan Rd Arrifien.
Di tahun 1949, organisasi ini kemudian bergabung dengan Regerings
Filem Bedrijf (RFB) menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) yang
kemudian disempurnakan ejaannya menjadi Perusahaan Filem Negara
(PFN) dan mulai memproduksi Gelora Indonesia sejak 5 Januari 1951
dengan merekam situasi hari ibu, pertandingan sepak bola Jawa-Sumatera
(2-1), ataupun perlombaan atletik seluruh Indonesia.
Dalam program “Dokumenter dan Filem Sebagai Media
Komunikasi” akan ditayangkan beberapa filem dokumenter yang
diproduksi sejak Nippon Eigasha Jakarta hingga Perusahaan Filem
Negara melalui Gelora Indonesia, yang berhasil dikumpulkan, dikoleksi,
dan dirawat oleh Sinematek Indonesia. Program ini mencoba membaca
bagaimana pengaruh kesadaran filem sebagai media komunikasi yang
muncul di masa pendudukan Jepang pada produksi-produksi filem
dokumenter negara setelah kemerdekaan. Lalu bagaimana refleksi
estetika pada sinema Indonesia jika kita merujuk pada produksi filem
yang dilakukan oleh orang Indonesia dan dengan kesadaran kebangsaan
yang lahir dalam produksi Berita Filem Indonesia sebelum Darah dan
Doa dibuat.

225
Seluruh filem akan ditayangkan di Pusat Perfileman Haji Usmar
Ismail lantai 4 dari tanggal 26-30 Agustus 2013 mulai pukul 13.00-
15.00 dan 15.00-17.00 WIB.
Program ini bekerjasama dengan Japan Foundation Jakarta,
Sinematek Indonesia, dan Sahabat Sinematek; dan menjadi program
tindak lanjut (follow up project) dari program JENESYS 2011-2012 yang
diikuti Mahardika Yudha pada bulan Januari-Februari 2012 di Jepang.

226
Gelora Indonesia: Documentary
and Film as Communication
Media
curator: Mahardika Yudha

“One thing missing from the surface of Indonesian cinema is the shade
of commercialism and Americanism, to be replaced with a pattern of
socio-political propaganda ... people is aware of the function of film
as a tool of social communication.”

The birth of Keimin Bunka Shidosho or “Poesat Keboedajaan”


marked a new period which succeeded in building awareness of the
position of arts and artists in society. Ranging from theater, visual arts,
theater even up to film, arts was no longer placed on the ivory tower
merely as a medium of expression, but what about the role of arts in
social, economic, and political domain amongst the society. Between
1942-1945, film was one of the most effective propaganda medias for
the Japanese occupation in Southeast Asia. This perspective has changed
how a lot of Indonesian intellectuals, artists, and directors view the
function of film that no longer perceived merely as entertainment, but
also as the most persuasive mediums of communication.
Djawa Eiga Kôsha was formed in October 1, 1942. They have
produced at least eight series of newsreel documentary titled Djawa
Baharoe. In March 1943, the company was no longer distributing their
newsreel, but only doing the documentary production. The company
was re-organized into Nippon Eigasha Jakarta (Nichi’ei Jakarta) and
produced News Film in Java / Berita Film di Djawa. Later the company’s

227
name was again changed its name into Nampo-Hodo (Southern News) in
January 1944. The production of documentary and semi-documentary
films were intended as the Japanese media of propaganda for information
and educational purpose. From the number of films produced, we can
see the company was very productive in Indonesia, even when compared
with its branches in other countries.
Berita Film Indonesia was formed after Indonesia’s independence in
1945 using the film production equipment once owned by Nippon Eigasha
Jakarta. The organization produced news films and documentaries,
was led by RM. Soetarto and Rd Arrifien.. In 1949, the organization
then joined with Regerings Film Bedrijf (RFB) to form Perusahaan
Pilem Negara / The State Film Company (PPN) which later refined
the spelling to Perusahaan Film Negara (PFN) and began producing
Gelora Indonesia since January 5, 1951 by recording the situations on
Mother’s Day, football games around Java-Sumatra, or athletics games
throughout Indonesia.
In the program “Documentary and Film as Communication
Media” will showcase a series documentary film produced since Nippon
Eigasha Jakarta to its change into the State Film Company through
Gelora Indonesia, which had been gathered, collected, and preserved by
Sinematek Indonesia. The program tries to read how the influence on
the consciousness of film as a medium of communication that emerged
during the Japanese occupation to documentary film produced after
the country’s independence. And then how the aesthetic reflected on
Indonesian cinema if we refer to production of film made by ​​ Indonesian
and about the national consciousness that was already appeared in the
production of Berita Film Indonesia even before The Long March was made​​.
All films will be screened at 4th floor of Sinematek Indonesia, in
Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail building from August 26-30, 2013
twice at 1 PM and 3 PM.The program is in collaboration with the Japan
Foundation Jakarta, Sinematek Indonesia, and Sahabat Sinematek /
Friends of Sinematek, as a follow-up project of the JENESYS 2011-2012
program where Mahardhika Yudha was involved in January-February
2012 in Japan.

j
228
229
program:
Penayangan
Perdana
Internasional

230
program:
International
Premiere

231
Agenda: 25/8, GoetheHaus &
26/8, kineforum

95 min, Color, 2013

co-director:
Gelar Agryano Soemantri,
Muhammad Sibawaihi
editing:
Syaiful Anwar, Muhammad Sibawaihi
produced by:
Forum Lenteng & akumassa
in collaboration with:
Komunitas Pasir Putih, Lombok Utara

Elesan deq a Tutuq (The Unfinished Stream)


Syaiful “Paul” Anwar (Indonesia)

Elesan Deq a Tutuq ( Jejak yang Tidak Berhenti) merupakan sebuah filem dokumenter
feature keempat Forum Lenteng. Filem ini mengisahkan tentang dua generasi berbeda
yang masing-masing diwakili oleh satu tokoh yang memiliki pergaulan sosial cukup
luas di masyarakat Pemenang. Filem ini mencoba mendedah bagaimana situasi sosial
masyarakat Sasak sekarang ini dalam menghadapi banjir kebudayaan dunia dalam
satu kawasan. Wisatawan-wisatawan asing yang keluar-masuk membawa berbagai
macam informasi dan budayanya berbaur atau berbentur dengan tradisi-tradisi lokal
masyarakat di Pemenang dan memberikan berbagai macam pilihan gaya hidup
ataupun ideologi.
Masuknya penyebaran Islam di Indonesia bisa di tandai awanya mulai abad ke
15 hingga 16. Sebutan mubaligh atau penyebar agama bisa dikategorikan beberapa
nama, yakni, syekh, kiai, ustadz, penghulu dan tuan guru. Istilah untuk yang terakhir,
Tuan Guru, masuk di Lombok mungkin bisa ditelusuri sejak abad ke 18.
Gelar Tuan Guru merupakan kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur
masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan
keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam
masyarakat. Kehidupan agama dan syarat tradisi menempel dalam berperilaku Tuan
Guru dalam beraktivitas ke masyarakatnya.

232
Syaiful Anwar dilahirkan di Jakarta Syaiful Anwar was born in Jakarta,
pada 1983. Ia menyelesaikan Strata 1 1983. He finished his study at Institute
ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial of Social and Political Science, Jakarta
dan Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun in 2007. In 2011, one of his video
2011, karya videonya menjadi salah work won in Media Art Competition
satu pemenang kompetisi seni media held by Indonesia Ministry of Culture
yang diselenggarakan oleh Direktorat and Tourism. Active as Member and
Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Production Coordinator Forum Lenteng,
Budaya, Seni dan Filem, Kementerian he also directing films. His current
Kebudayaan dan Pariwisata. Aktif film is: Elesan deq a Tutuq, a feature
sebagai anggota dan Koordinator documentary.
Produksi Forum Lenteng, ia juga
membuat filem. Karya terbarunya adalah
filem dokumenter feature: Elesan deq a
Tutuq.

Elesan Deq a Tutuq (The Unfinished Stream) is Forum Lenteng’s fourth feature
documentary film. This film tells the story of two different generations, each of
which is represented by a character who has a fairly extensive social interaction in
the community Pemenang. This film tries to examine how social situations in Sasak
people today in the face of a flood of world culture in that region. Foreign tourists
who come and go, and carry a wide range of information and culture, mingling or
colliding with local traditions in Pemenang. They also bring an assortment of lifestyle
choices and ideologies.
The entry and the spread of Islam in Indonesia can be marked and it started circa
15th to 16th century. Designation of preachers or missionaries can be categorized by
several names, sheikh, cleric, priest and Tuan Guru. The term for the latter, Tuan
Guru, entered in Lombok could be traced since the 18th century.
The title Tuan Guru is a high social position in the structure of the Sasak
people. The title is given by the people to someone whom providing or having Islamic
knowledge, wisdom, personality, and charisma in the society. Religious life and the
conditions attached to the tradition of how Tuan Guru behaves in his daily activity
in the society.

233
program:
Diskusi Publik

234
program:
Public Discussion

235
Diskusi Publik:
Sinema & Aktivisme
28/8/2013, 10.00 – 11.30, Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki)
Pembicara Speakers: Bowo Leksono (Festival Film Purbalingga) &
Abduh Azis (Koalisi Seni Indonesia)
Moderator: Forum Lenteng

Independensi dan industri merupakan dua pilihan yang lazim ada dalam wilayah
perfileman dimanapun. Keduanya tidak harus saling bertentangan tapi bisa berjalan
beriringan. Kegiatan aktivisme dalam perfileman Indonesia hadir untuk menyajikan
tontonan alternatif maupun edukasi media filem dalam bentuk yang dekat dan
langsung kepada masyarakat.
Perkembangan aktivisme filem menjadi wadah apresiasi sekaligus wadah pembuat
filem independen, tidak terlepas dari loncatan perkembangan piranti teknologi kamera
sebagai alat dasar pembuatan filem yang didistribusikan di masyarakat luas. Seperti
di tahun 1970an, ketika semula menggunakan seluloid 16 mm dan 8 mm, beralih
menggunakan pita magnetik kaset video. Lalu ketika revolusi digital berlangsung
pasca Reformasi 1998, kemudahan pengoperasian kamera dan peralatan filem lainnya
seperti perangkat editing yang relatif mudah diakses dan berharga murah telah
mendorong gelombang euforia membuat filem di kalangan masyarakat yang lebih
luas lagi. Namun, euforia kemudahan dalam hal teknis ini tidak diimbangi dengan
euforia distribusi pengetahuan filem yang seharusnya semakin mudah diperoleh,
terutama ketika akses internet telah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia.
Terputusnya jalur distribusi pengetahuan ini kemudian dijembatani oleh
kelompok-kelompok yang mengupayakan distribusi pengetahuan filem melaui
berbagai macam kegiatan produksi dan distribusi filem. Dalam rentang 10 tahun,
kelompok-kelompok yang tersebar hampir merata di berbagai daerah di Indonesia
ini telah memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan filem Indonesia,
terutama terdistribusikannya pengetahuan sinema yang menjadi pondasi penting
dalam membangun struktur perfileman nasional.

236
Diskusi Publik:
Sinema, Sejarah & Arsip
28/8/2013, 13.00 – 14.30, Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki)
Pembicara Speakers: Sahabat Sinematek &
Intan Paramaditha (Penulis, Peneliti)
Moderator: Andy Pulung (Editor Filem)

Filem, sebagaimana produk kesenian lain, merupakan produk budaya sebuah


bangsa yang mencerminan karakter dan identitas suatu bangsa. Seperti yang dikatakan
oleh Sig freid Kracauer, “Media filem merupakan pencerminan paling nyata masalah
mentalitas, budaya dan perkembangan suatu masyarakat, melebihi media seni yang
lain.” Setidaknya ada dua hal yang menguatkan alasan tersebut. Pertama filem
merupakan kerja koleklif yang melibatkan banyak unsur sampai sebuah filem ditonton
khalayaknya. Yang kedua, filem diproduksi untuk ditonton oleh khalayak sebanyak
mungkin. Oleh karena itu filem diproduksi tidak bisa lepas dari konteks masyarakat
yang melingkupinya.
Sebagai produk budaya sebuah masyarakat bangsa dan negara, dalam satu kurun
waktu yang panjang dan akan terus berlangsung sampai masa depan, pendokumentasian
filem merupakan hal penting. Sebagai pusat pengarsipan tertua di Asia Tenggara,
Sinematek Indonesia memiliki berbagai macam masalah, termasuk masalah keuangan
dan sumber daya manusia. Padahal, pengarsipan menjadi salah satu persoalan penting
yang mendesak diwacanakan dalam perkembangan sinema di Indonesia dewasa ini.
Selain sebagai tempat menyimpan, melestarikan, dan juga mendokumentasikan
perkembangan sejarah sinema di Indonesia, pengarsipan filem juga menjadi ruang
tempat wacana berserakan yang hingga kini belum tersentuh secara maksimal untuk
dikembangkan, didistribusikan, diperdebatkan, dan dituliskan.
Upaya pelestarian filem Indonesia sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak
pemangku kepentingan industri filem, baik itu pemerintah, masyarakat perfileman
indonesia, komunitas filem, dunia kampus dan masyarakat umum.

237
Diskusi Publik:
Kritik dalam Sinema
28/8/2013, 16.00 – 17.30, Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki)
Pembicara Speakers: Hikmat Darmawan (Pemerhati Filem & Komik) &
Riri Riza (Sutradara Filem)
Moderator: Adrian Jonathan (Penulis)

Pada permulaan abad 21, kita bersama telah menyaksikan dan menjadi saksi
mata akan adanya perubahan signifikan yang terjadi baik dalam bidang teknologi,
komersial, estetika, politik, dan dimensi sosial lainnya pada filem dokumenter
yang diproduksi. Keragaman tema dan/atau objek begitu luas tidak hanya untuk
merekam peristiwa tetapi juga m e n j a d i pelaku peristiwa tersebut. Kemajuan dan
penyebarluasan alat produksi filem dokumenter tidak lagi dibatasi oleh medium
seluloid saja. Hadirnya teknologi digital berupa alat rekam, editing, maupun media
distribusi online macam YouTube dan Vimeo hadir dengan intim dalam jangkauan
jari. Kemudahan dalam memproduksi filem ini mengantarkan kita kepada satu
era produksi filem secara besar- besaran. Namun kuantitas ini berbanding terbalik
dengan kualitas. Hanya sedikit dari seluruh jumlah filem yang diproduksi dari tahun
ke tahun yang dibuat atas pertimbangan sinematik dan estetika.
Kritik filem k e m u d i a n m e n j a d i media apresiasi penting bagi penulisan
sejarah perfileman, ia mengungkap bagaimana reaksi dan pembacaan suatu masa
terhadap filem. Sayangnya, lebih mudah merunut sejarah perfileman dibanding
merunut sejarah penulisan kritik perfileman di Indonesia. Maka diskusi ini akan
mengajak praktisi penulisan kritik filem lintas generasi dan lintas wilayah dan untuk
merumuskan kembali pentingnya penulisan sejarah perfileman melalui kritik filem.

238
Agenda: 27/8, GoetheHaus
For Invitation Only

DocNet Southeast Asia


Round Table 2013

Untuk mendorong perkembangan dokumenter Indonesia, DocNet Southeast


Asia, bekerja sama dengan In-Docs dan Arkipel International Documentary &
Experimental Film festival mengadakan sebuah diskusi meja bundar tentang
pendanaan dan distribusi dokumenter kreatif. Diskusi yang diadakan pada tanggal 27
Agustus ini mengundang pihak-pihak kunci dalam perkembangan filem dokumenter
di Indonesia, seperti institusi pemerinah, institusi non-pemerintah, distributor,
exhibitor, penyelengara festival, dan pembuat filem untuk membicarakan bagaimana
mendanai dan mendistribusikan dokumenter Indonesia.

In order to encourage the development of Indonesian documentaries,


DocNet Southeast Asia, partnering with In-Docs and Arkipel International
Documentary & Experimental Film festival hosts a roundtable discussion on funding
and distribution of creative documentaries. The discussion takes place on 27th August
and brings stakeholders of Indonesian documentary films, such as governmental
agencies, non-governmental agencies, distributors, exhibitors, festival organizers,
and filmmakers to discuss how to fund and distribute Indonesian documentaries.

Funded by the European Union

239
Indeks Filem / Film Index

Agarrando Pueblo (Vampyre of Poverty) 142


A Man Since Long Time 39
Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) 114
Ancestral Delicatessen 45
. . . And the Wound Closed Wearily 57
Apa Jang Kau Tjari, Palupi?  115
Artel102
Ben47
Canggung (The Awkward Moment) 43
Cheng Shi Feng Jing (City Scene) 126
Chroma53
Climax37
Denok & Gareng 184
Disorder (Xianshi Shi Guoqu de Weilai) 172
Dongeng Rangkas (Rangkasbitung: A Piece of Tale) 192
Earth of The Blind (Neregių žemė) 100
Ecce Ubu 62
Elesan deq a Tutuq (The Unfinished Stream) 232
Fabrika (Factory) 101
Forgotten Tenor 209
Generator of Duriban 36
Helsinki, Ikuisesti (Helsinki, Forever)  125
Hermeneutics55
Hitching The A1 56
Il Contorsionista 60
Ilha das Flores (Island of Flowers) 128
It Felt Like a Kiss 163
Je Vie Dans le Rêve de ma Mêre (I Live in the Dream of My Mother) 64
Journey of Consciousness (Awareness Journey) 59
J. Werier 35
Kaputt/Katastrophe44

240
Las Variaciones Marker (The Marker Variations) 164
La Visita (The Visit) 67
Le Bonheur... Terre Promise (Happiness... Promised Land) 69
Lejos de Saint Nazaire (Far From Saint Nazaire) 68
Le Jour a Vaincu la Nuit (The Day Has Conquered the Night) 54
Les Fantômes de l’escarlate (The Ghosts and The Escarlate) 51
Lodz Symphony 127
Marshy Place Across 58
Momentum42
Naga Yang Berjalan Di Atas Air 194
Negeri di Bawah Kabut (The Land Beneath the Fog) 185
Nijuman No Borei (200000 Phantoms) 140
Old Cinema, Bologna Melodrama  65
Park of Contemporary Culture 40
Partes de una Familia (Parts of a Family) 198
Perampok Ulung 61
Petit à Petit (Little by Little) 90
Petition173
Polaziste za Cekanje (The Waiting Point) 70
Preludes I 41
Pretty Good Look 38
Sacrifice a Flower  66
Square Disintegrate 30
Suitcase of Love and Shame 63
Tears of Inge 48
The Flaneurs #3 52
To Raise From the Water 34
Una Ciudad a Traves de Unos Espacios (A City Through Different Spaces) 49
Videogramme Einer Revolution (Videograms of Revolution) 152
Volkspark46
Wojoh (Face) 50
Zoo141

241
Indeks Sutradara / Directors Index

Abraham Ravett (Poland-USA) 209


Alexei Dmitriev (Russia) 55
Alisi Telengut (Canada) 48
Alyssa Grossman & Selena Kimbal 213
Andang Kelana, Badrul Munir, Fuad Fauji (Indonesia) 192
Andrew Littlejohn (US/Japan) 34
Aryo Danusiri (Indonesia) 52
Asrul Sani (Indonesia) 115
Audrius Stonys (Lithuania) 100
Benjamin Tiven (USA) 219
Bert Haanstra (The Netherlands) 141
Boris Seewald (Germany) 42
Chris Kennedy 215
Chulayarnnon Siriphol 214
Davide Rizzo (Italy) 65
Diego Gutiérrez (México) 198
Dirk de Bruyn 213
Dmytro Bondarchuk (Ukraine) 40
Dwi Sujanti Nugraheni (Indonesia) 184
Fany de la Chica (Spain) 67
Gabriel Folgado (Spain) 45
Gary McQuiggin (UK ) 56
Hafiz Rancajale (Indonesia) 114 & 192
Harun Farocki, Andrei Ujică (Germany) 152
Hasumi Shiraki (Japan) 66
Huang Weikai (China) 172
Hyewon Kwon 214
Ian Deleón (Brazil) 57
Isaki Lacuesta (Spain) 164
Jane Gillooly (US) 63
Jan Willem van Dam (The Netherlands) 64
Jean-Gabriel Périot (France) 54 & 140
Jean-Paul Kelly (Canada) 217

242
Jean Rouch (France) 90
Jeremy Moss (US) 53
Jorge Furtado (Brazil) 128
Jorge Lozano (Canada) 218
Julie N guyen van Qui (France) 51
Kevin Adam Curtis (UK ) 163
Kuesti Fraun (Germany) 46 & 47
Laurent Hasse (France) 69
Leslie Supnet (Canada) 221
Linda Bannink (The Netherlands) 49
Lluc Güell (Spain) 68
Lorenzo Gattorna (US) 58
Luca Ferri (Italy) 44 & 62
Luis Ospina & Carlos Mayolo (Colombia) 142
Mahmoud Yossry (Egypt) 39
Marjito Iskandar Tri Gunawan (Indonesia) 61
Maša Drndic (Croatia) 70
Mauro Maugeri (Italy) 60
Otty Widasari (Indonesia) 194
Peter Hutton (USA) 127
Peter Von Bagh (Finland) 125
Rahee Punyashloka (India) 41
Rhayne Vermette (Canada) 35
Said Najmi (Jordania) 50
Sergei Loznitsa (Ukraine) 101 & 102
Shalahudin Siregar (Indonesia) 185
Shinkan Tamaki (Japan) 37
Syaiful “Paul” Anwar (Indonesia) 192 & 232
Thirza Jean Cuthand (Canada) 219
Tunggul Banjaransari (Indonesia) 43
Wonwoo Lee (South Korea) 36
Yi Cui (Canada) 220
Yi-Yu Liao (Taiwan) 59
Youngnam Kim, Jungwha Jung, Minho Jo, Sohyun Moon, Goeun Bae, Seungbum
Hong (South Korea) 38
Zhao Liang (China) 126 & 173

243
Terima Kasih:

Katrin Sohn, Lanny Tanulihardja (Goethe Institut)


Alex Sihar, Totot Indrarto (Komite Film DKJ)
Sugar Nadia Azier (Kineforum DKJ)
Bambang Subekti (Taman Ismail Marzuki)
Djony Syafruddin (Yayasan PPHUI)
Adisurya Abdy (Sinematek Indonesia)
N. Nuranto, Titin Natalia Sitorus (Tembi Rumah Budaya)
Scott Miller Berry, Pablo de Ocampo (Images Festival)
May Adadol Ingawanij, Mary Pansanga (BEFF)
Livia Bloom (Icarus Films)
Denah Johnston (Canyon Cinema)
Ina Rossow (Deckert DIstribution)
Lilia Nursita (Gajah Hidup)
Tadashi Ogawa, Ayumi Hashimoto, Nurul, Diana (The Japan Foundation)
Amelia Hapsari, Lulu Ratna (Docnet Southeast Asia)
Dimas Jayasrana, Juliette Derosiaux (IFI Jakarta)

Riri Riza, Hikmat Darmawan, Andhy Pulung, Abduh Azis,


Intan Paramaditha, Bowo Leksono, Rajiv Ibrahim, Diego Gutiérrez,
Linda Bannink, Bert Haanstra, Isaki Lacuesta, Peter von Bagh,
Neil McGlone, Zhao Liang, Huang Weikai, Peter Hutton,
Jean-Gabriel Périot, Luis Ospina, Audrius Stonys, Shalahuddin Siregar
Dwi Sudjanti Nugraheni, Anhar Moha, Syauki Sani, Nani Widjaja,
Deddy Mizwar, Zairin Zain, Elenfant Distribution - Italy,

244
Promofest - Spain, Komunitas Djuanda - Ciputat,
Saidjah Forum - Rangkasbitung, Komunitas Pasir Putih - Lombok Utara,
Eko Harsoselanto, Yosep Anggi Noen, Jonathan Manulang,
Asmayani Kusrini, Meiske Taurisia, Doni Agustan,

Ina Listyani Riyanto (Univ. Multimedia Nusantara), Andhika Eka Buana


Agus Mediarta (Sahabat Sinematek)
Anggun Priambodo (Majalah Cobra)
Adrian Jonathan Pasaribu, Makbul Mubarak (Cinema Poetica)
Gayatri Nadya, Angga Rulianto (muvila.com)
Bayu Bergas (komunitasfilm.org)
J.B. Kristanto, Amalia Sekarjati (filmindonesia.or.id)
Arie Kartikasari, Lintang Gitomartoyo (filmindonesia.or.id)
Irvin Domi (Area XYZ)
Suryani Liauw (Europe On Screen)
Titaz Permatasari, Mira Febri Mellya, Segenap anggota Forum Lenteng
All filmmakers, producers, film workers, participants.

245
246
The Japan Foundation (JF) adalah lembaga nir-laba yang didirikan oleh
parlemen Jepang yang khusus bergerak di bidang pertukaran budaya
internasional. JF ada di 22 kota di 21 negara di seluruh dunia.

Beragam kegiatan JF dan perpustakaan terbuka untuk UMUM.

Contact us:
The Japan Foundation, Jakarta
Gedung Summitmas I lt. 2-3 Jl. Jend. Sudirman kav.61-62. Jakarta Selatan 12190.
T. 520-1266 / F. 525-5159

www.jpf.or.id The Japan Foundation, Jakarta JF_ Jakarta


247
248
TEMBI RUMAH BUDAYA

Jl.Gandaria I No.47
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
t. +21 7203055 / +856 1152 733
www.tembi.net

249
250
251
252
offi cial partners

main partners

media partners

You might also like