You are on page 1of 15

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP

DENGAN KETAATAN PEMAKAIAN KACAMATA PADA


SISWA SMP NEGERI 18 SURABAYA
Antonius Yansen Suryadarma
Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah Surabaya
yansen.chan99@gmail.com

ABSTRACT: Refractive errors are the leading cause of visual impairment in


school-age children. Moreover, there are still many children with refraction errors,
but do not use their spectacles regularly. Lack of knowledge and attitudes towards
the use of glasses is expected to be one of the causes that lead to irregular use of
spectacles. This study aims to determine the relationship between knowledge and
attitudes toward obedience to use spectacles among students of SMP Negeri 18
Surabaya.
This study is an observational analytic study using a cross-sectional survey
method using questionnaire on students of SMP Negeri 18 Surabaya class VII and
VIII in May 2013, to measure the level of knowledge, attitude, obedience to use
spectacles, and reasons for not using spectacles on a regular basis. The sample
size is as much as 78 respondents used the purposive sampling method, in which
the sample used in this study, is students who had been diagnosed need glasses.
Then the research data were analyzed using the Spearman correlation test with α =
0.05.
Based on the results of the study, as much as 44 respondents (56,4%) had a
poor knowledge, 48 respondents (61,5%) had a moderate attitude, and only 25
respondents (32,1%) had good obedience to use spectacles or wear spectacles on a
regular basis. There was no significant relationship between knowledge with
obedience to use spectacles (P = 0,595). There were a significant relationship
between gender (P = 0,042) and attitude (P = 0,000) with obedience to use
spectacles.
Lack of knowledge regarding the use of glasses is obtained from most
samples in this study. Respondent’s attitude toward the use of glasses is mostly
classified as moderate. Respondent’s obedience to use spectacles is still fairly low.
Education and developing a positive attitude towards the use of spectacles is
expected could improve obedience to use spectacles in school-age children.

Keywords: knowledge, attitude, spectacles

ABSTRAK: Gangguan refraksi merupakan penyebab utama gangguan


penglihatan pada anak usia sekolah. Terlebih lagi, masih banyak anak dengan
gangguan refraksi, namun tidak menggunakan kacamatanya dengan teratur.
Kurangnya pengetahuan dan sikap terhadap pemakaian kacamata diperkirakan
merupakan salah satu penyebab yang menyebabkan pemakaian kacamata menjadi
tidak teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
pengetahuan dan sikap dengan ketaatan pemakaian kacamata pada siswa SMP
Negeri 18 Surabaya.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan metode
survei menggunakan kuesioner secara cross sectional pada siswa SMP Negeri 18
Surabaya kelas VII dan VIII pada bulan Mei 2013, untuk mengukur tingkat
pengetahuan, sikap, ketaatan pemakaian kacamata, dan alasan tidak memakai
kacamata secara teratur. Besar sampel yang digunakan adalah sebanyak 78
responden dengan metode purposive sampling, di mana yang digunakan sebagai
sampel adalah siswa yang pernah didiagnosa memerlukan kacamata. Kemudian
data hasil penelitian dianalisa menggunakan uji korelasi spearman dengan α =
0,05.
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 44 responden (56,4%) memiliki
pengetahuan yang kurang, 48 responden (61,5%) memiliki sikap sedang, dan
hanya 25 responden (32,1%) yang ketaatan pemakaian kacamatanya baik atau
memakai kacamata secara teratur. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan ketaatan pemakaian kacamata (P = 0,595). Ada hubungan
yang signifikan antara jenis kelamin (P = 0,042) dan sikap (P = 0,000) dengan
ketaatan pemakaian kacamata.
Pengetahuan yang kurang mengenai pemakaian kacamata didapatkan pada
sebagian besar sampel penelitian ini. Sikap terhadap pemakaian kacamata
responden sebagian besar hanya tergolong sedang. Ketaatan pemakaian kacamata
responden juga terbilang masih rendah. Edukasi dan membangun sikap yang
positif terhadap pemakaian kacamata diharapkan dapat memperbaiki ketaatan
pemakaian kacamata pada anak usia sekolah.

Kata kunci: pengetahuan, sikap, kacamata

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gangguan refraksi saat ini merupakan salah satu penyebab umum dari
kebutaan yang dapat dicegah. Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2006-2010,
ada sekitar 123 juta orang dengan gangguan penglihatan yang disebabkan oleh
gangguan refraksi yang tidak terkoreksi (WHO 2012). Terlebih lagi, gangguan
refraksi merupakan penyebab utama dari gangguan penglihatan pada anak usia
sekolah di seluruh dunia dan masih banyak yang belum terkoreksi (Rustagi et al.
2012).
Gangguan refraksi sebenarnya dapat dikoreksi dan dapat dilakukan dengan
berbagai metode. Pemakaian kacamata merupakan metode yang paling murah,
mudah, aman, dan paling sering digunakan. Namun, berdasarkan studi pada anak
usia sekolah di China, hanya sekitar sepertiga murid yang dianjurkan untuk
menggunakan kacamata yang membelinya dan hanya seperempat dari mereka
yang menggunakan kacamata secara teratur (Li et al. 2008).
Ada beragam alasan mengapa penderita gangguan refraksi tidak mau
menggunakan kacamata atau menggunakannya secara tidak teratur, Sebuah studi
pada anak usia sekolah di Delhi, India, menunjukkan bahwa ketidaktaatan
pemakaian kacamata terutama disebabkan karena adanya berbagai mitos dan
persepsi yang salah mengenai kacamata yang berkembang di masyarakat, antara
lain: pemakaian kacamata dapat berdampak buruk pada penglihatan, sulit
mendapat pasangan, takut diejek oleh teman sekolah, dan khawatir merusak
penampilan. Hal ini merupakan dampak dari buruknya pengetahuan masyarakat
serta rendahnya kesadaran mengenai pemakaian kacamata (Rustagi et al. 2012).
Berdasarkan fakta di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti apakah
ada hubungan antara pengetahuan dan sikap mengenai pemakaian kacamata pada
anak usia sekolah terhadap ketaatan pemakaian kacamata. Penelitian ini
menggunakan kuesioner untuk mengetes tingkat pengetahuan dan sikap mengenai
pemakaian kacamata dan ketaatan pemakaian kacamata pada sampel.

Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pengetahuan dan sikap
dengan ketaatan pemakaian kacamata dari siswa SMPN 18 Surabaya.
Tujuan khusus
1. Mengukur tingkat pengetahuan dan sikap dari siswa SMPN 18 Surabaya
seputar pemakaian kacamata.
2. Mengetahui gambaran siswa SMPN 18 Surabaya yang didiagnosa
memerlukan kacamata dan mengetahui ketaatan pemakaian kacamatanya.

METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah analitik observasional untuk mengetahui
hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan ketaatan pemakaian kacamata
pada siswa SMPN 18 Surabaya. Jenis pendekatan yang digunakan adalah cross
sectional, di mana data yang menyangkut variabel bebas dan terikat akan
dikumpulkan pada waktu yang bersamaan (Notoatmodjo 2010b).

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei di mana tidak
dilakukan intervensi atau perlakuan terhadap variabel, melainkan mengamati
fenomena alam atau sosial yang terjadi, atau mencari hubungan suatu fenomena
dengan variabel yang lain (Notoatmodjo 2010b).

Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah pelajar kelas VII dan VIII yang
bersekolah di SMP Negeri 18 Surabaya.

Kriteria Inklusi:
Syarat responden yang diambil dalam penelitian ini adalah:
a. Pelajar SMPN 18 Surabaya kelas VII dan VIII baik laki-laki maupun
perempuan
b. Pernah didiagnosa memerlukan kacamata dengan berbagai penyebab oleh
dokter spesialis mata atau refraksionis.
c. Bersedia mengikuti penelitian dan mengisi informed consent.

Kriteria Eksklusi:
Responden yang tidak diambil dalam penelitian ini adalah:
a. Tidak pernah didiagnosa memerlukan kacamata atau didiagnosa memerlukan
kacamata selain oleh dokter spesialis mata atau refraksionis.
b. Tidak bersedia mengikuti penelitian atau tidak mengisi informed consent
dengan berbagai alasan.
Besar Sampel
Pengambilan jumlah sampel yang minimal pada penelitian ini diambil
berdasarkan rumus di bawah ini:
2
{z1−α/2 √Po(1 − Po) + z1−β √Pa(1 − Pa)}
n=
(Pa − Po)2
n = 78
Keterangan:
n = Besar sampel
z1-α/2 = Nilai z pada derajat kemaknaan (α = 0,05)
Po = Proporsi kejadian pada populasi penduduk indonesia dengan
gangguan refraksi yaitu sebesar 0,221 atau 22,1% (didapat
dari keputusan Menkes RI 2005)
Z1-β = Nilai z pada kekuatan uji power (β = 0,8)
Pa = Proporsi kejadian pada populasi anak usia sekolah dengan
gangguan refraksi di Indonesia yaitu sebesar 0,1 atau 10%
(didapat dari keputusan Menkes RI 2005)
Dengan menggunakan rumus di atas, maka dapat dihitung besar
sampelnya, yaitu sebesar 78 anak.

Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah
purposive sampling. Pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri (Notoatmodjo 2010b).
Dalam penelitian ini, pertimbangan tersebut adalah hanya pelajar yang pernah
didiagnosa memerlukan kacamata oleh dokter spesialis mata dan refraksionis.

Alat dan Bahan Penelitian


Alat bantu penelitian agar pelaksanaan observasi mendapat data yang
cermat pada penelitian ini adalah menggunakan kuesioner. Kuesioner adalah
daftar pertanyaan yang tersusun dengan baik, sehingga sampel penelitian hanya
memberikan jawaban atau tanda-tanda tertentu (Notoatmodjo 2010b).
Sebelum dilakukan penelitian, kuesioner tersebut harus melalui tahap uji
reliabilitas dan validitas. Reliabilitas berarti sejauh mana hasil dari suatu
pengukuran dapat dipercaya. Sedangkan validitas adalah sejauh mana suatu alat
ukur tepat dan cermat dalam melakukan fungsi ukurnya (Sunyoto 2012). Untuk
melakukan uji reliabilitas dan validitas, peneliti melakukan uji coba kuesioner ke
20 orang responden, lalu dilakukan skoring, kemudian data diolah menggunakan
SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) versi 20.0.
Untuk uji reliabilitas, metode yang digunakan adalah dengan
membandingkan nilai cronbach’s alpha untuk seluruh butir pertanyaan masing-
masing variabel dengan nilai alpha pembanding yaitu sebesar 60% atau 0,6. Jika
nilai cronbach’s alpha lebih dari 0,6, maka kuesioner tersebut dikatakan reliabel.
Untuk uji validitas, metode yang digunakan adalah dengan melakukan uji
korelasi Pearson antara skor butir-butir pertanyaan masing-masing variabel
dengan total skor masing-masing variabel. Jika hasil koefisien korelasi Pearson
suatu butir pertanyaan dengan skor total variabel menunjukkan hasil signifikan
pada level alpha sebesar 0,05, maka butir pertanyaan tersebut valid. Jika butir
pertanyaan tersebut tidak valid, maka pertanyaan tersebut diganti dengan
pertanyaan yang baru atau tidak diikutkan dalam penelitian (Sunyoto 2012).
Variabel yang diuji disini adalah variabel tingkat pengetahuan dan sikap mengenai
pemakaian kacamata.

Prosedur Pengambilan atau Pengumpulan Data


Pengambilan data untuk penelitian ini diawali dengan proses perijinan ke
Kepala SMP Negeri 18 Surabaya. Setelah itu, dilakukan uji validitas dan
reliabilitas ke 20 orang responden yang bukan merupakan populasi penelitian.
Setelah itu, dilakukan proses seleksi sebanyak 78 responden yang memenuhi
kriteria inklusi. Sebelum mengisi kuesioner, terlebih dahulu responden mengisi
formulir informed consent. Semua responden juga diberi penjelasan secara lisan
bahwa penelitian ini tidak memiliki resiko apapun terhadap kesehatan fisik
responden. Setelah itu, dilakukan pengisian kuesioner dengan dipandu oleh
peneliti sendiri. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan
komputer.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA


Hasil survey kuesioner pengetahuan, sikap, dan ketaatan pemakaian
kacamata
Berikut ini adalah hasil penelitian menggunakan kuesioner untuk
mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan ketaatan pemakaian kacamata pada
responden:

Tabel 1. Distribusi responden berdasarkan tingkat pengetahuan mengenai pemakaian kacamata.


Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Kurang 44 56,4
Sedang 29 37,2
Baik 5 6,4
Jumlah 78 100

Berdasarkan tabel 1 dapat dilihat bahwa sebanyak 44 responden (56,4%)


memiliki pengetahuan mengenai pemakaian kacamata yang kurang, 29 responden
(37,2%) memiliki pengetahuan yang sedang, dan sebanyak 5 responden (6,4%)
memiliki pengetahuan yang baik.

Tabel 2. Distribusi jawaban kuesioner tingkat pengetahuan mengenai pemakaian kacamata.


Frekuensi yang Frekuensi yang
Soal kuesioner: Apakah
Kunci menjawab sesuai menjawab tidak
No pernyataan di bawah ini
jawaban dengan kunci sesuai dengan kunci
benar atau salah?
jawaban jawaban
1 Kacamata adalah lensa yang
ditempelkan ke kornea untuk Salah 25 (32,1%) 53 (67,9%)
membantu penglihatan
2 Kacamata digunakan oleh
penderita gangguan tajam Benar 74 (94,9%) 4 (5,1%)
penglihatan
3 Kacamata mengurangi
Salah 47 (60,3%) 31 (39,7%)
kemampuan penglihatan
4 Kacamata menyebabkan Salah 33 (42,3%) 45 (57,7%)
ketergantungan
5 Kacamata dapat merusak
Salah 68 (87,2%) 10 (12,8%)
mata
6 Vitamin A dapat mencegah
dan mengobati gangguan
Salah 9 (11,5%) 69 (88,5%)
penglihatan yang mem-
butuhkan kacamata
7 Kacamata hanya alat bantu
Benar 50 (64,1%) 28 (35,9%)
koreksi
8 Rajin memakai kacamata
tidak membuat progresi
Benar 43 (55,1%) 35 (44,9%)
gangguan penglihatan
menurun
9 Jarang memakai kacamata
Benar 18 (23,1%) 60 (76,9%)
menyebabkan mata juling
10 Kacamata dapat meng-
ganggu daya akomodasi Salah 38 (48,7%) 40 (51,3%)
mata

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa kurang dari 50% responden


menjawab tidak sesuai dengan kunci jawaban soal nomor 1, 4, 6, 9, dan 10, dan
soal nomor 6 dan 9 merupakan soal yang paling banyak dijawab dengan salah atau
tidak sesuai dengan kunci jawaban.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden tidak
mengetahui bahwa vitamin A tidak dapat mencegah dan mengobati semua
penyakit gangguan refraksi dan tidak mengetahui bahwa jarang memakai
kacamata dapat menyebabkan mata juling.

Tabel 3. Distribusi responden berdasarkan sikap terhadap pemakaian kacamata.


Sikap Frekuensi Persentase (%)
Kurang 11 14,1
Sedang 48 61,5
Baik 19 24,4
Jumlah 78 100

Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat bahwa sebanyak 11 responden (14,1%)


memiliki sikap terhadap pemakaian kacamata yang tergolong kurang, 48
responden (61,5%) memiliki sikap yang tergolong sedang, dan 19 responden
(24,4%) yang sikapnya tergolong baik.

Tabel 4. Distribusi responden berdasarkan ketaatan pemakaian kacamata.


Ketaatan pemakaian kacamata Frekuensi Persentase (%)
Kurang 26 33,3
Sedang 27 34,6
Baik 25 32,1
Jumlah 78 100

Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat bahwa sebanyak 26 responden (33,3%)


ketaatan pemakaian kacamatanya kurang, 27 responden (34,6%) ketaatan
pemakaian kacamatanya sedang, dan 25 responden (32,1%) ketaatan pemakaian
kacamatanya baik. Ketaatan pemakaian kacamata merupakan gambaran praktik
pemakaian kacamata dari responden. Responden yang sering memakai kacamata,
seperti yang dianjurkan oleh dokter, digolongkan ketaatannya baik dan sebaliknya
jika jarang memakai kacamata, maka digolongkan tidak taat atau ketaatannya
kurang. Kesimpulannya, 53 responden (67,9%) dari 78 responden yang
mengikuti penelitian tidak sering memakai kacamata yang terdiri dari responden
yang ketaatannya kurang atau jarang memakai kacamata dan responden yang
ketaatannya sedang atau kadang-kadang memakai kacamata. Berikut ini adalah
gambaran praktik pemakaian kacamata dari seluruh responden penelitian ini yang
ternyata seluruhnya sudah memiliki kacamata.

Gambar 1. Distribusi alasan responden tidak sering memakai kacamata.

Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa dari 53 responden yang tidak


sering memakai kacamatanya (kadang-kadang atau jarang memakai kacamata),
sebagian besar alasannya adalah karena tidak terbiasa atau tidak nyaman saat
menggunakan kacamata (34%) dan memakai kacamata hanya saat pelajaran saja
atau melihat jauh saja (30%).

Gambar 2 Distribusi alasan responden sering memakai kacamata.


Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa alasan terbanyak mengapa
responden sering memakai kacamatanya adalah karena penglihatannya menjadi
kabur jika tidak memakai kacamata (60%). Alasan lainnya adalah: sudah terbiasa
memakai kacamata (20%), supaya gangguan penglihatan cepat sembuh (16%),
dan diedukasi oleh dokter supaya memakai kacamata dengan teratur (4%).
Hasil Analisis Statistik
Hubungan antara jenis kelamin dengan ketaatan pemakaian kacamata

Tabel 5. Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan ketaatan pemakaian kacamata.
Ketaatan pemakaian kacamata
Jenis kelamin Jumlah
Kurang Sedang Baik
Laki-laki 15 (39,5%) 16 (42,1%) 7 (18,4%) 38 (100%)
Perempuan 11 (27,5%) 11 (27,5%) 18 (45,0%) 40 (100%)
Jumlah 26 (33,3%) 27 (34,6%) 25 (32,1%) 78 (100%)

Berdasarkan tabel 5 diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok laki-laki,


yang paling banyak adalah responden yang ketaatan pemakaian kacamatanya
sedang, yaitu sebanyak 16 responden (42,1%). Pada kelompok perempuan, yang
paling banyak yaitu adalah yang ketaatan pemakaian kacamatanya baik yaitu
sebanyak 18 responden (45%). Dari data diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
responden perempuan lebih taat memakai kacamata, di mana proporsi responden
perempuan yang ketaatan pemakaian kacamatanya baik, lebih banyak
dibandingkan responden laki-laki.
Hasil analisis bivariat dengan menggunakan uji koefisien kontingensi,
didapatkan tingkat signifikansi (p) sebesar 0,042, di mana p < α (0,05), sehingga
disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
ketaatan pemakaian kacamata dengan kuat hubungan sebesar 0,274 atau kuat
hubungan rendah.

Hubungan antara pengetahuan dengan ketaatan pemakaian kacamata

Tabel 6. Tabulasi silang antara tingkat pengetahuan mengenai pemakaian kacamata dengan
ketaatan pemakaian kacamata.
Tingkat Ketaatan pemakaian kacamata
Jumlah
pengetahuan Kurang Sedang Baik
Kurang 13 (29,5%) 16 (36,4%) 15 (34,1%) 44 (100%)
Sedang 11 (37,9%) 11 (37,9%) 7 (24,1%) 29 (100%)
Baik 2 (40%) 0 (0,0%) 3 (60%) 5 (100%)
Jumlah 26 (33,3%) 27 (34,6%) 25 (32,1%) 78 (100%)

Berdasarkan tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa yang paling banyak


proporsinya adalah responden dengan tingkat pengetahuan mengenai pemakaian
kacamata yang tergolong kurang dan ketaatan pemakaian kacamatanya sedang
yaitu sebanyak 16 responden atau 36,4% dari seluruh responden yang
pengetahuannya kurang.
Hasil analisis bivariat menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan
hasil p = 0,595, di mana p > α, yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara tingkat pengetahuan mengenai pemakaian kacamata
dengan ketaatan pemakaian kacamata.

Hubungan antara sikap dengan ketaatan pemakaian kacamata

Tabel 7. Tabulasi silang antara sikap terhadap pemakaian kacamata dengan ketaatan pemakaian
kacamata.
Ketaatan pemakaian kacamata
Sikap Jumlah
Kurang Sedang Baik
Kurang 10 (90,9%) 1 (9,1%) 0 (0,0%) 11 (100%)
Sedang 15 (31,2%) 21 (43,8%) 12 (25,0%) 48 (100%)
Baik 1 (5,3%) 5 (26,3%) 13 (68,4%) 19 (100%)
Jumlah 26 (33,3%) 27 (34,6%) 25 (32,1%) 78 (100%)

Berdasarkan tabel 7 diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok yang sikap
terhadap pemakaian kacamatanya kurang, hampir semuanya yaitu sebanyak 10
responden (90,9%) ketaatan pemakaian kacamatanya kurang. Pada kelompok
yang sikapnya sedang, paling banyak adalah yang ketaatan pemakaian
kacamatanya sedang yaitu sebanyak 21 responden (43,8%). Pada kelompok yang
sikapnya baik, sebagian besar ketaatan pemakaian kacamatanya baik yaitu
sebanyak 13 responden (68,4%). Dari hasil ini terlihat ada hubungan positif antara
sikap terhadap pemakaian kacamata dengan ketaatan pemakaian kacamata.
Hasil analisis bivariat menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan
hasil p = 0,000, di mana p < α, yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara sikap terhadap pemakaian kacamata dengan ketaatan pemakaian
kacamata dengan kuat hubungan sebesar 0,570 atau kuat hubungan tergolong
sedang.

PEMBAHASAN
Pengetahuan Responden Mengenai Pemakaian Kacamata
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa lebih dari setengah dari
total 78 responden yaitu sebanyak 44 responden (56,4%), memiliki pengetahuan
yang kurang mengenai pemakaian kacamata. Selain itu, hanya 5 responden saja
(6,4%) yang memiliki pengetahuan baik.
Pengetahuan merupakan salah satu faktor yang berperan penting untuk
membentuk suatu tindakan, dalam hal ini adalah pemakaian kacamata. Sebagai
contoh, seorang ibu membawa anaknya untuk imunisasi, karena ibu tersebut tahu
bahwa imunisasi akan mencegah anaknya terjangkiti penyakit berbahaya. Tanpa
adanya pengetahuan ini, ibu tersebut tidak akan membawa anaknya diimunisasi.
Dari ilustrasi contoh tersebut, dapat kita lihat bahwa pengetahuan berperan sangat
penting dalam membentuk tindakan (Notoatmodjo 2005).
Hasil penelitian mengenai pengetahuan ini berbanding terbalik dengan
penelitian sejenis yang dilakukan oleh Sasraningrat pada tahun 2011, di mana
pada penelitian tersebut yang paling banyak adalah responden dengan
pengetahuan baik. Meskipun begitu, fakta bahwa sebagian besar masyarakat
kurang begitu memahami pemakaian kacamata, didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Chawla dan Rovers (2010), dan Rustagi, Uppal, dan Taneja (2012)
yang dilakukan di India. Mereka menyebutkan bahwa sebagian besar responden
belum begitu paham tentang pemakaian kacamata, dan dibutuhkan edukasi yang
baik untuk meningkatkan pemakaian kacamata pada masyarakat.

Sikap Responden Terhadap Pemakaian Kacamata


Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan hasil bahwa sebagian besar
responden yaitu sebanyak 48 responden (61,5%) memiliki sikap sedang. Kedua
terbanyak adalah yang memiliki sikap baik, yaitu sebanyak 19 responden (24,4%),
lalu sisanya sebanyak 11 responden (14,1%) memiliki sikap kurang. Hasil ini
lebih memuaskan dibandingkan pengetahuan responden. Jadi, sekalipun pada
penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar responden pengetahuannya
kurang, setidaknya sikap mereka banyak yang tergolong sedang dan baik.
Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan
merupakan suatu tindakan. Komponen pokok dari suatu sikap meliputi:
kepercayaan atau keyakinan, kehidupan emosional, dan kecenderungan untuk
bertindak. Selain ada komponen, sikap juga memiliki tingkatan berdasarkan
intensitasnya, yaitu: 1) menerima, 2) menanggapi, 3) menghargai, 4) bertanggung
jawab (Notoatmodjo 2010a).
Dari hasil kuesioner untuk mengukur sikap responden terhadap pemakaian
kacamata, soal pertama yang berisi pernyataan: saya akan memakai kacamata
dengan teratur, memiliki skor rata-rata yang cukup baik, yaitu 2,1282. Itu artinya,
sikap responden terhadap pemakaian kacamata yang teratur, sudah baik. Namun,
dilihat dari soal nomor 10 yang merupakan soal dengan rata-rata skor paling
rendah yang berisi pernyataan: saya sering lupa memakai kacamata, ternyata
bentuk tanggung jawab responden untuk memakai kacamata dengan teratur masih
terbilang rendah. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa responden kebanyakan
belum masuk ke tingkatan tertinggi dari sikap, yaitu tanggung jawab. Inilah yang
diduga menyebabkan sebagian besar responden memiliki sikap yang tergolong
sedang.
Hasil penelitian mengenai sikap yang sebagian tergolong sedang, masih
memerlukan edukasi yang lebih baik lagi untuk membentuk sikap yang baik.
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ayanniyi et al (2008) di
Nigeria, di mana juga disarankan untuk memberikan edukasi yang lebih baik
untuk membentuk sikap yang lebih baik.

Ketaatan Pemakaian Kacamata dari Responden


Ketaatan pemakaian kacamata dalam penelitian ini, dinilai dari apakah
responden menaati anjuran kesehatan mengenai pemakaian kacamata, di mana
anjuran yang ditetapkan adalah memakai kacamata sesering mungkin dalam
semua kegiatan kecuali mungkin pada saat tidur atau mandi. Secara otomatis,
ketaatan mencerminkan seberapa sering responden memakai kacamata. Jika
responden jarang memakai kacamata, itu artinya responden kurang taat memakai
kacamata. Sebaliknya jika responden sering memakai kacamata, itu berarti mereka
menaati anjuran kesehatan dan tergolong taat memakai kacamata. Sedangkan jika
responden memakai kacamata kadang-kadang saja, maka digolongkan ketaatan
pemakaian kacamatanya sedang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan hasil yang
hampir berimbang antara yang kurang taat, sedang, dan taat memakai kacamata.
Sebanyak 25 responden (32,1%), ketaatannya baik, 27 responden (34,6%)
ketaatannya sedang, dan 26 responden (33,3%) ketaatannya kurang.
Ketaatan pemakaian kacamata merupakan suatu bentuk tindakan atau
praktik. Suatu tindakan merupakan suatu bentuk respons terbuka dari seseorang
terhadap suatu stimulus dan dapat diamati oleh orang lain dari luar. Tindakan
merupakan tingkatan tertinggi dari ranah perilaku. Secara teori, suatu tindakan
akan terwujud jika seseorang itu tahu dan paham, lalu terbentuklah sikap yang
merupakan kesiapan atau kecenderungan untuk bertindak. Untuk terbentuk suatu
tindakan, sikap yang baik harus disertai dengan faktor pemungkin, dalam hal ini
adalah ketersediaan dana dan sarana untuk mendapatkan kacamata (Notoatmodjo
2005).
Suatu tindakan seperti halnya pengetahuan dan sikap, juga memiliki
tingkatan-tingkatan. Tingkatan-tingkatan tersebut dibedakan berdasarkan
kualitasnya, yang paling bawah adalah praktik terpimpin, kedua adalah praktik
secara mekanisme, dan tingkatan tertinggi disebut adopsi (adoption), yang berarti
seseorang sudah melakukan tindakan tersebut dengan kualitas yang baik, bukan
sekedar tindakan yang belum dilakukan dengan benar (Notoatmodjo 2005).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya 25 responden yang
ketaatannya baik. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian sejenis yang pernah
dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rustagi, Uppal,
dan Taneja (2012) di India dan Congdon et al (2008) di China, pemakaian
kacamata pada responden masih banyak yang belum sesuai dengan anjuran
kesehatan atau memakai dengan tidak teratur.
Alasan tidak teratur memakai kacamata atau tidak taat memakai kacamata
dalam penelitian ini yang terbanyak adalah karena ketidaknyamanan (34%), yang
berarti bahwa kacamata yang tidak nyaman menyebabkan responden malas
memakai kacamata.

Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Ketaatan Pemakaian Kacamata


Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa responden dengan
ketaatan pemakaian kacamatanya baik, lebih banyak yang berjenis kelamin
perempuan (18 responden). Hasil analisis bivariat menggunakan uji koefisien
kontingensi, didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin
dengan ketaatan pemakaian kacamata.
Kecenderungan bahwa siswa dengan jenis kelamin perempuan lebih taat
memakai kacamata juga ditemukan pada penelitian serupa yang dilakukan oleh
Congdon et al (2008) yang dilakukan pada siswa daerah perkotaan di China. Pada
penelitian tersebut, juga didapatkan hasil yang signifikan dari hubungan antara
jenis kelamin dengan pemakaian kacamata. Hasil ini juga diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Deeks et al (2009) di Australia. Pada penelitian
tersebut, didapatkan bahwa jenis kelamin memang memiliki hubungan dengan
perilaku kesehatan. Selain itu, diketahui juga bahwa wanita memiliki kesadaran
yang lebih baik dalam hal perilaku kesehatan termasuk kesehatan mata. Wanita
cenderung lebih sadar, memahami, dan lebih rutin memeriksakan kesehatan
dibandingkan dengan pria.
Jenis kelamin memiliki pengaruh besar terhadap perilaku kesehatan, lebih
disebabkan karena faktor sosial dan budaya setempat ketimbang faktor biologis.
Pada masyarakat kita, seorang anak perempuan memiliki karakter yang lebih
perhatian terhadap penampilan, lemah lembut, rajin, dan lebih patuh. Hal ini
berbeda dengan anak laki-laki. Masyarakat kita menilai bahwa anak laki-laki lebih
aktif, kurang peduli, dan dianggap wajar bahwa seorang anak laki-laki itu tidak
patuh atau nakal. Nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat inilah yang
diduga menyebabkan adanya hubungan antara jenis kelamin dengan ketaatan
pemakaian kacamata (WHO n.d.).

Hubungan Antara Pengetahuan dengan Ketaatan Pemakaian Kacamata


Dari hasil analisis bivariat menggunakan uji korelasi Spearman, dapat
ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat
pengetahuan mengenai pemakaian kacamata dengan ketaatan pemakaian
kacamata. Hasil ini kontras dengan penelitian sebelumnya oleh Congdon et al
(2008) dan Li et al (2008) yang dilakukan di China. Pada penelitian tersebut,
ditemukan hasil yang signifikan antara pengetahuan dengan pemakaian kacamata.
Kurangnya pengetahuan seperti ketakutan responden bahwa kacamata akan
membuat mata menjadi “lemah”, merupakan alasan utama responden tidak mau
memakai kacamata.
Meskipun pengetahuan merupakan faktor yang penting, terjadinya suatu
tindakan juga dipengaruhi oleh banyak faktor yang lain. Dari alasan-alasan
responden yang ketaatan pemakaian kacamatanya sedang dan kurang, yang paling
banyak adalah dikarenakan kacamata mereka tidak nyaman digunakan. Kedua
terbanyak adalah kacamata hanya dipakai jika melihat jauh saja. Sedangkan yang
ketaatan pemakaian kacamatanya baik, sebagian besar mengatakan bahwa tidak
bisa melihat dengan jelas jika kacamatanya dilepas. Faktor keadaan tajam
penglihatan diduga lebih berpengaruh terhadap ketaatan pemakaian kacamata
responden. Jika tajam penglihatannya sudah tidak bagus lagi, tentunya mereka
akan lebih sering memakai kacamata karena penglihatannya kabur. Sayang sekali
dalam penelitian ini tidak disertai dengan uji tajam penglihatan, sehingga tidak
dapat diketahui, pada visus berapakah seseorang akan lebih sering menggunakan
kacamata dan apakah tajam penglihatan memiliki hubungan yang signifikan
dengan ketaatan pemakaian kacamata.
Pemakaian kacamata yang kurang taat dari responden dengan gangguan
refraksi ringan, dipicu pula oleh ketidak tahuan responden akan bahaya yang akan
ditimbulkan jika kacamata tidak sering dipakai. Hasil kuesioner dengan
pertanyaan benar atau salah bahwa jarang memakai kacamata dapat menyebabkan
mata juling, hanya 18 responden (23,1%) saja yang menjawab benar. Meskipun
dalam penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan ketaatan pemakaian kacamata, pemberian edukasi akan
bahayanya jarang memakai kacamata diharapkan dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk lebih taat dan lebih teratur memakai kacamatanya.

Hubungan Antara Sikap dengan Ketaatan Pemakaian Kacamata


Hasil analisis bivariat menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan
bahwa ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap pemakaian kacamata
dengan ketaatan pemakaian kacamata.
Kesimpulan dari hasil di atas adalah bahwa sikap memiliki hubungan yang
signifikan dengan ketaatan pemakaian kacamata. Secara teori, sikap positif tidak
selalu terwujud dalam suatu tindakan karena masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi, misalnya ada tidaknya sarana, faktor sosial, ataupun karena
pengaruh dari orang lain. Dari kuesioner, diketahui bahwa semua responden
memiliki kacamata dan responden yang tidak taat memakai kacamata hanya
sedikit sekali yang tidak diperbolehkan oleh orang tua. Dikarenakan tidak
signifikannya faktor-faktor pengganggu tersebut, menyebabkan sikap memiliki
hubungan yang signifikan dengan tindakan atau ketaatan pemakaian kacamata
sesuai dengan teori di atas (Notoatmodjo 2010a).

Keterbatasan Penelitian
Seperti yang sudah dibahas, pengetahuan ternyata tidak memiliki
hubungan yang signifikan dengan ketaatan pemakaian kacamata, meskipun secara
teori seharusnya ada hubungan. Sebenarnya masih banyak faktor lain yang
mempengaruhi ketaatan pemakaian kacamata, misalnya gangguan refraksi yang
sudah parah, faktor kenyamanan kacamata, dan kemungkinan masih banyak lagi
faktor yang tidak mampu dianalisis. Kemungkinan faktor lain inilah yang
menyebabkan tidak signifikannya hubungan antara pengetahuan dengan ketaatan
pemakaian kacamata.
Selain dikarenakan tidak ditelitinya faktor-faktor lain yang mempengaruhi
ketaatan pemakaian kacamata, keterbatasan penelitian ini juga terletak pada
kuesionernya. Peneliti sudah melakukan uji validitas dan reliabilitas supaya
kuesioner penelitian ini dapat mengukur dengan tepat pengetahuan dan sikap dari
responden. Namun, dikarenakan populasi yang digunakan untuk uji validitas dan
reliabilitas berbeda, menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian hasil, terutama
kuesioner pengetahuan.
Penelitian ini menggunakan kuesioner untuk menentukan siapa yang
termasuk dalam kriteria inklusi yaitu pernah didiagnosa memerlukan kacamata,
dikarenakan peneliti masih belum memiliki kompetensi untuk menilai tajam
penglihatan. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan penelitian memilih sampel
dengan lebih baik dan disertai dengan tes tajam penglihatan. Selain menghindari
bias dalam penelitian, diharapkan dengan dilakukannya tes tajam penglihatan
dapat memudahkan mencari sampel dengan gangguan refraksi karena berdasarkan
fakta dari WHO, masih banyak gangguan refraksi yang tidak terdeteksi.

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan mengenai pemakaian
kacamata yang kurang, yaitu sebanyak 44 responden (56,4%).
2. Sebagian besar responden memiliki sikap terhadap pemakaian kacamata yang
sedang, yaitu sebanyak 48 responden (61,5%).
3. Hanya 25 responden (32,1%) yang memiliki ketaatan pemakaian kacamata
baik atau menggunakan kacamata secara teratur.
4. Ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan ketaatan
pemakaian kacamata dengan tingkat signifikansi sebesar 0,042 dan kuat
hubungan sebesar 0,274 atau kuat hubungannya rendah.
5. Tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan mengenai
pemakaian kacamata dengan ketaatan pemakaian kacamata dengan tingkat
signifikansi sebesar 0,595.
6. Ada hubungan yang signifikan antara sikap terhadap pemakaian kacamata
dengan ketaatan pemakaian kacamata dengan tingkat signifikansi sebesar
0,000 dan kuat hubungan sebesar 0,570 atau kuat hubungannya sedang.
DAFTAR PUSTAKA
Ayanniyi, AA, Adepoju, FG, Ayanniyi, RO, & Morgan, RE 2010, 'Challenges,
attitudes and practices of the spectacle wearers in a resource-limited
economy', Middle East African journal of ophthalmology, volume 17,
number 1.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) 2012, Panduan
penyusunan proposal, protokol dan laporan akhir penelitian, Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
Chawla, K, & Rovers, J 2010, 'Survey of patient opinions on eyeglasses and eye
care in rural and slum populations in Chennai', The internet journal of
epidemiology, volume 8, number 2.
Congdon, N, Zheng, M, Sharma, A, Choi, K, Song, Y, Zhang, M, et al. 2008,
'Prevalence and determinants of spectacle non wear among rural Chinese
secondary school children'. Arch ophthalmology, 126 (12) , pp. 1717-1723.
Conlons opticians, Glasses myths n.d., viewed 20 February 2013,
<http://www.conlons.co.uk/myths-and-misconceptions-opticians>.
Deeks, A, Lombard, C, Michelmore, J, & Teede, H 2009, 'The effects of gender
and age on health related behaviors'. BMC public health, 9:213.
Fox, SI 2003, Human physiology, 8th edition, Mc Graw-Hill, New York.
Ganong, WF 2005, Review of medical physiology, 22nd edition, Mc Graw-Hill,
New York.
Guyton, AC, & Hall, JE 2006, Textbook of medical physiology, 11th edition,
Elsevier Saunders, Philadelphia.
Junqueira, LC, & Carneiro, J 2007, Basic histology: text and atlas, 11th edition,
Mc Graw-Hill, New York.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1473/Menkes/SK/X/2005 tentang rencana strategi nasional
penanggulangan gangguan penglihatan dan kebutaan untuk mencapai
vision 2020.
Khaw, PT, Shah, P, & Elkington, AR 2004, ABC of eyes, 4th edition, BMJ
Publishing Group, London.
Khurana, AK 2007, Comprehensive ophthalmology, 4th edition, New Age
International, New Delhi.
Li, L, Song, Y, Liu, X, Bei, L, Choi, K, Lam, DS, et al. 2008, 'Spectacle
acceptance among secondary school students in rural China: the Xichang
pediatric refractive error study (X-PRES)-report 5', Investigative
ophthalmology & visual science, volume 49, number 7.
Moore, KL, & Dalley, AF 2006, Clinically oriented anatomy, 5th edition,
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.
Notoatmodjo, S 2010a, Ilmu perilaku kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, S 2010b, Metodologi penelitian kesehatan, PT Rineka Cipta,
Jakarta.
Notoatmodjo, S, 2005, Promosi kesehatan: teori dan aplikasinya, PT Rineka
Cipta, Jakarta.
Orkney optical library, Optical myth buster n.d., viewed 20 February 2013,
<http://www.glasses4less.net/acatalog/Myth_Buster.html>.
Riordan-Eva, P, & Whitcher, JP 2007, Vaughan & Asbury's general
ophthalmology, 17th edition, Mc Graw-Hill, New York.
Rustagi, N, Uppal, Y, & Taneja, DK 2012, 'Screening for visual impairment:
outcome among schoolchildren in a rural area of Delhi', Indian journal of
ophthalmology, volume 16, issue 3 , pp. 203-206.
Saladin, K 2003, Saladin: anatomy and physiology: the unity of form and
function, 3rd edition, Mc Graw-Hill, New York.
Saleh, TT, & Suryani, PT 2006, 'Refraksi dan lensa kontak'. Dalam Pedoman
diagnosis dan terapi bag/smf ilmu penyakit mata edisi III Rumah Sakit
Umum Dokter Sutomo, Surabaya, hal. 172-184.
Sasraningrat, MI 2011, Gambaran tingkat pengetahuan dan sikap siswa SD Islam
Ruhama Cireundeu kelas 5 dan 6 terhadap miopia dan faktor yang
mempengaruhinya 2011, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Schlote, T, Grueb, M, Mielke, J, & Rohrbach, JM 2006, Pocket atlas of
ophthalmology, Georg Thieme Verlag, Stuttgart.
Snell, RS 2008, Clinical anatomy by regions, 8th edition, Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia.
Standring, S 2005, Gray's anatomy: the anatomical basis of clinical practice, 39th
edition, Elsevier Churchill Livingstone, Philadelphia.
Stanfield, CL 2011, Principle of human physiology, 4th edition, Pearson
Education Inc.
Sunyoto, D 2012, Uji validitas dan reliabilitas: asumsi klasik untuk kesehatan,
Nuha Medika, Yogyakarta.
Vogl, W, Mitchell, A, & Drake, RL 2004, Gray's anatomy for students, Churchill
Livingstone, London.
World Health Organization (WHO) 2012, Global data on visual impairments
2010, viewed 22 December 2012
<http://www.who.int/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf>.
World Health Organization (WHO), Why gender and health n.d., viewed 24 June
2013, <http://www.who.int/gender/genderandhealth/>
Widmaier, EP, Raff, H, & Strang, KT 2003, Vander, Sherman, & Luciano's
human physiology: the mechanisms of body function, 9th edition, Mc
Graw-Hill, New York.
Young, B, Lowe, JS, Stevens, A, & Heath, JW, 2007, Wheater's functional
histology: a text and colour atlas, 5th edition, Churchill Livingstone,
Philadelphia.

You might also like