You are on page 1of 11

Scope Squence Kurikulum

Mohamad Mustafid Hamdi


STAI Darussalam Krempyang Nganjuk
E-mail: hamdimustafid@yahoo.com.

Abstract. Education is the process by which people go through


educational institutions (schools, colleges, or other institutions), which
intentionally transforms their cultural heritage, namely knowledge,
values and skills from generation to generation. The more developed
human civilization, the more developed the problems faced by
education, thus increasingly demanding human progress in systematic
thinking in education. Scope is the scope of the overall learning
experience that will be given to students who have been in the form of a
field of study, for example the field of science study for junior high
(biology) which is detailed into the subject and sub-subject matter
containing the scope of the material itself. To get clearer material can be
obtained from books, textbooks or principal sources of the lesson.
Squence means the arrangement or sequence of grouping activities or
steps taken in curriculum planning. If the scope refers to "what", then
the sequence refers more to "when" and "where" the points are placed
and implemented. The compatibility of the lesson material depends on
the objectives to be achieved, therefore in learning there must be
curriculum development which includes Scope and Squence, so that the
teaching and learning process in the school environment becomes
better and achieves its educational goals.

Kata Kunci: Scope, Squence, Kurikulum


Accepted : July, 10 2018
Reviewed : August 25 2018
Published : October 30 2018
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

Pendahuluan
Pendidikan adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga
pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), yang dengan
sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai
dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi1. Semakin berkembang
peradaban manusia, semakin berkembang pula permasalahan yang dihadapi
pendidikan, sehingga semakin menuntut kemajuan manusia dalam pemikiran-
pemikiran yang sistematik dalam pendidikan.
Hal tersebut tentu saja menyebabkan pembentukan kurikulum yang ada
dalam pembelajaran harus menyesuaikan kepada peserta didik dan kemajuan
manusia dalam pemikiran-pemikiran yang sistematis.
Dari pernyataan tersebut, masih banyak para pendidik yang belum
mengetahui atau memahami tentang pembentukan kurikulum sesuai dengan
kebutuhan peserta didik, yaitu tentang scope dan sequence kurikulum yang
memberikan pemahaman terhadap pendidik agar pembelajaran yang diberikan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Kajian Pustaka
Pengertian Scope.
Scope yaitu ruang lingkup keseluruhan pengalaman belajar yang akan diberikan
kepada siswa yang sudah berbentuk bidang studi, misal bidang studi IPA untuk
SMP (biologi) yang diperinci menjadi pokok bahasan dan sub pokok bahasan yang
mengandung ruang lingkup bahannya sendiri2. Untuk mendapat bahan yang lebih
jelas dapat diperoleh dari buku, buku paket atau sumber pokok dari pelajaran.
Scope mengenai apa yang akan diajarkan, yaitu ruang lingkup atau luas
bahan pelajaran, jenis dan bentuk pengalaman-pengalaman belajar, pada berbagai
tingkat perkembangan anak guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan.
Scope merupakan pemilihan pengalaman belajar yang bersifat melintang
atau meluas (latitudinal axis) dan memikirkan “what” dari kurikulum, yang

1 M A H Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Di


Indonesia (Kencana, 2012).

13
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

menurut curriculum planning tepat untuk merealisasikan tujuan pendidikan.


Sedangkan sequence mempersoalkan “when” di dalam perencanaan kurikulum.
William B. Ragan mendiskripsikan secara umum bahwa scope ditentukan
kegiatan-kegiatan dasar yang dikerjakan orang, nilai-nilai dalam masyarakat, dan
masalah-masalah utama yang nampak.

Menentukan Scope dalam Kurikulum.


Dalam menentukan Scope, yaitu apa yang harus diajarkan merupakan masalah
yang semakin sulit seiring berjalannya waktu3. Beberapa penyebabnya antara lain:
a. Bahan pelajaran cepat bertambah luas karena eksplosi ilmu pengetahuan.
Spesialisasi dalam pendidikan semakin meluas dan tiap spesialisasi
memerlukan bahan pelajaran tambahan. Selain itu, waktu belajar terbatas
demikian pula kemampuan anak untuk menguasai bahan pelajaran.
b. Belum ada kriteria yang pasti tentang bahan apa yang perlu diajarkan. Juga
belum ada cara tentang mengorganisasi kurikulum yang dapat diterima oleh
semua.
c. Mata pelajaran yang tradisional tidak lagi memadai. Timbul pula tujuan baru
seperti berpikir kritis dan kreatif, memahami lingkungan social dan memahami
dunia internasional.
Mata pelajaran baru ditambahkan sedangkan matapelajaran lama masih
disampaikan sehingga beban belajar anak bertambah berat dan membuat
pengetahuan anak tersebut dangkal tentang aneka ragam bidang.

Kriteria Penentuan Bahan Pelajaran.


Ada sejumlah kriteria yang digunakan untuk memilih bahan pelajaran, namun
setiap kriteria ini mempunyai kelemahan4. Kriteria tersebut antara lain:
a. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai.

2 W J S Poerwadarminta, “Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Diolah Kembali Oleh
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional),” Jakarta: Balai Pustaka (2003).
3 Piter Marbun, “HUBUNGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 TERHADAP HASIL

BELAJAR KIMIA SISWA KELAS X SMA N 1 TANJUNG MORAWA TA 2013/2014.” (UNIMED, 2015).
4 Akhlan Husen, M Subana, and Deny Iskandar, “Telaah Kurikulum Dan Buku Teks Bahasa

Indonesia” (Jakarta: Depdikbud, 1997).

14
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

b. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan generasi


lampau.
c. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin.
d. Bahan pelajaran yang dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam
hidupnya.
e. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat anak.
Dalam memilih bahan pelajaran perlu kita perhatikan pendapat Hilda Taba
yakni bahwa untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya
memperhatikan isi atau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau
pengalaman belajar. Ia berpendirian bahwa bahan pelajaran tidak boleh
dipisahkan dari pengalaman belajar. Karena itu lebih baik pelajaran dipusatkan
pada sejumlah pokok yang terbatas yang dapat mengembangkan keterampilan
mental daripada berusaha meliputi sejumlah bahan yang aluas yang hanya dihafal
secara mendangkal tetapi tidak mengembangkan kesanggupan mental itu5.
Dalam penentuan bahan pelajaran para penyusun kurikulum dipengaruhi
oleh aliran yang dianutnya. Mereka yang mengutamakan subject curriculum akan
mementingkan bahan yang terkandung dalam disiplin. Penganut aliran “progresif”
akan menetukan bahan pelajaran terutama berdasarkan minat anak atau pemuda.
Mereka yang mengutamakan fungsi sosial sekolah mengambl aspek-aspek
kehidupan sosial sebagai dasar untuk menentukan bahan pelajaran.Dalam
pembinaan kurikulumhendaknya kita perhatikan semua faktor yang turut
mempengaruhinya, yaitu faktor anak, masyarakat, maupun disiplin ilmu
pengetahuan.

Prosedur Menentukan Bahan Pelajaran.


Cara yang dipilih banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
mereka yang menentukan kurikulum. Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung
pada tujuan yang ingin dicapai. Berikut ini beberapa prosedur yang diikuti dalam
penentuan bahan pelajaran6:

5 Oemar Hamalik, “Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum,” Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya (2007).
6 Sorimuda Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Oleh S. Nasution (Tarate, 1964).

15
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

a. Prosedur menerima otoritas para ahli.


Lebih dahulu dirumuskan tujuan pendidikan agar dapat ditentukan
bahan pelajaran yang kiranya paling serasi untuk mencapainya. Tujuan
pendidikan dapat diselidiki berdasarkan undang-undang dan dokumen-
dokumen resmi, dapat juga berdasarkan studi tentang sosiologi, politik, sejarah,
dan sebagainya.Kemudian diadakan diskusi untuk merumuskan dengan jelas
tujuan-tujuan pendidikan itu.
b. Prosedur eksperimental.
Bahan pelajaran dapat ditentukan secara eksperimental dengan
mengadakan penelitian hingga manakah bahan itu memang serasi untuk
mencapai sasarannya.Biasanya metode ini digunakan untuk menyelidiki
keserasian bahan yang khusus untuk tujuan yang spesifik agar dapat dikuasai
faktor-faktor yang mempengaruhi dan keilmiahannya dapat dipertahankan.
c. Prosedur ilmiah atau analitis.
Bahan pelajaran dapat ditentukan dengan menganalisis situasi-situasi di
mana bahan pelajaran itu diperlukan. Dapat dianalisis kegiatan manusia dewasa
dalam kehidupannya sehari-hari, dapat pula dianalisis berbagai jabatan,
misalnya jabatan jururawat, guru penerbang dan sebagainya. Dengan
mengetahui kegiatan, ketrampilan, sikap, pengetahuan dan kompetensi-
kompetensi yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan itu dengan baik, dapat
pula ditentukan bahan pelajaran yang serasi untuk itu.
d. Prosedur konsensus.
Memperoleh konsensus dengan meminta pendapat orang-orang yang
dianggap berwewenang, antara lain ahli-ahli dalam bidang studi tertentu,
tokoh-tokoh masyarakat, perusahaan dan sebagainya.
e. Prosedur-prosedur lainnya :
1) Prosedur fungsi-fungsi sosial.
Kurikilum ini mengutamakan aspek sosial dan tidak begitu menonjolkan soal
kebutuhan dan minat pelajar, sekalipun tidak mengabaikannya.
2) Prosedure “persistent life situations”.
Prosedur ini memperhatikan kebutuhan, masalah dan minat anak dan
pemuda menurut taraf perkembangan dalam dunia yang kompleks dan
16
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

dinamis ini. Persistent yakni senantiasa pada hakikatnya sama, dulu,


sekarang maupun di masa mendatang di mana saja di dunia ini, akan tetapi
situasinya berbeda-beda dan berubah-ubah.
3) Prosedur kebutuhan atau masalah pemuda.
Prosedur ini bertitik tolak dari kebutuhan pemuda atau masalah-masalah
yang mereka hadapi.Prosedur ini diterapkan dalam “the Eight Year Study”
yang mengadakan percobaan di 30 sekolah menengah di Amerika Serikat.
Untuk menentukan scope tersebut, para pengembang kurikulum
dihadapkan pada sejumlah permasalahan berikut:
a) Pengorganisasian berbagai elemen dan hubungan antar elemen
tersebutbahwa unsur-unsur scope merupakan hal-hal pokok (actual point)
yang harus dipelajari siswa di sekolah sehubungan dengan hal tersebut,
maka Tyler menyarankan agar para pengembang kurikulum sebaiknya dapat
mengorganisasikan hubungan antarelemen atau unsur scope tersebut, yang
berupa konsep, ilmu pengetahuan, dan berbagai ketrampilan yang harus
diberikan pada siswa. Dewasa ini, masalah yang dihadapi adalah tidak
terbatasnya konsep, pengetahuan, dan ketrampilan tersebut.
b) Pesatnya perkembangan IPTEKSebagai ujung tombak dari implementasi
kurikulum, sudah sewajarnya guru terus mencermati keterbatasan materi
pelajaran. Ini dikarenakan dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi
cenderung terus berkembang dan meningkat sedemikian pesatnya berkaitan
dengan masalah ini.
c) Penetapan prosedur tujuan Caswel dan cambel 7 mengingatkan bahwa
prosedur tujuan bukan hanya menyangkut pengalaman belajar, topik,
maupun organisasi dan hubungan antar elemen, tetapi juga menyangkut lima
tahapan berikut:
1. Penetapan tujuan yang inklusif.
2. Tujuan umum tersebut harus dirumuskan lagi kedalam sejumlah
pernyataan tujuan umum yang lebih “kecil”.
3. Sejumlah pernyataan tersebut diterjemahkan ke dalam tujuan intitusional.

7 Enco Mulyasa, Pengembangan Dan Implementasi Kurikulum 2013 (PT Remaja Rosdakarya,
2013).

17
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

4. Selanjutnya, tujuan institusional tersebut diuraikan ke dalam tujuan per


mata pelajaran (bidang studi) dan
5. Masing-masing tujuan per mata pelajaran atau bidang studi tersebut harus
diuraikan ke dalam tujuan pembelajaran umum, yang selanjutnya
dijabarkan lagi menjadi tujuan pembelajaran khusus pe pokok bahasan,
dengan ketentuan bahwa pernyataaan tersebut dapat diukur.

Pengambilan keputusan.
Masalah lain yang dihadapi dalam penentuan scope kurikulum adalah
pengembilan keputusan tentang jadi atau tidaknya scope tersebut ditetapkan
sebagai cakupan sebuah kurikulum. Dalam pengambilan keputusan (decision
making) tersebut, olivia mengajukan sejumlah pertanyaan yanng harus
dipertimbangkan, yaitu 8:
a) Apa yang sebenarnya diperlukan agar siswa dapat sukses didalam masyarakat.
b) Kebutuhan-kebutuhan apa yang diinginkan oleh daerah, bangsa, negara dan
dunia.
c) Hal-hal esensial apa yang harus diajarkan.

Squence
Squence berarti susunan atau urutan pengelompokan kegiatan atau langkah-
langkah yang dilakukan dalam perencanaan kurikulum. Bila scope mengacu pada
“apa”, maka sequence lebih mengacu pada “kapan” dan “di mana” pokok-pokok
bahasan tersebut ditempatkan dan dilaksanakan. Berikut adalah langkah-langkah
sequence, sebagai berikut :
1. Mulai dari yang paling sederhana menuju yang kompleks.
2. Mulai dari keadaan geografis yang dekat sampai ke yang jauh.
3. Dari jauh menuju ke dekat.
4. Dari konkret ke abstrak.
5. Dari umum menuju khusus, dan
6. Dari khusus menuju umum.

8 Paul J Hu et al., “Examining the Technology Acceptance Model Using Physician Acceptance

of Telemedicine Technology,” Journal of management information systems 16, no. 2 (1999): 91–112.
18
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

Donald E. Orlosky dan B. Othanel Smith (Olivia, 1992) mengemukakan


bahwa terdapat tiga konsep sequence yaitu sequnce menurut kebutuhan, sequence
menurut makro, dan sequence mikro. Dalam proses sequnce, para pengembang
kurikulum harus memperhatikan tingkat kedewasaan, latar belakang pengalaman,
tingkat kematangan dan ketertarikan atau minat siswa, serta tingkat kegunaan dan
kesukaran materi pelajaran.
Sequence menentukan urutan bahan pelajaran disajikan, apa yang dahulu
apa yang kemudian, dengan maksud agar proses belajar berjalan dengan baik.
Faktor-faktor yang turut menentukan urutan bahan pelajaran antara lain9:
a. kematangan anak.
b. latar belakang pengalaman atau pengetahuan
c. tingkat intelegensi
d. minat
e. kegunaan bahan
f. kesulitan bahan pelajaran.
Squence atau urutan berkenaan dengan dua hal: urutan isi atau bahan
pelajaran, dan urutan pengalaman belajar memerlukan pengetahuan tentang
urutan perkembangan anak dalam menghadapi bahan pelajaran tertentu, misalnya
memahami suatu konsep, sikap kejujuran, tanggung jawab, memecahkan suatu
masalah.
Tentang urutan atau langkah-langkah menguasai bahan tertentu belum
banyak kita ketahui. Kebanyakan diserahkan saja kepada guru tanpa dasar
ilmiahmenurut hasil penelitian, biasanya guru berpegang pada urutan, dari mudah
yang sulit, dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari keseluruhan kepada
bagian-bagiannya, dari yang diketahui kepada yang belum diketahui.
Menentukan Sequence Dalam Kurikulum Dengan sequence dimaksud
urutan pengalaman belajar itu diberikan. Sering ini diartikan sebagai kapan
pengalaman belajar atau bahan pelajaran itu harus diberikan, atau disempitkan
menjadi di kelas berapa bahan pelajaran tertentu harus diajarkan.

9 Jennifer M Walker et al., “Taxonomic Distribution and Phylogenetic Utility of Gender-


Associated Mitochondrial Genomes in the Unionoida (Bivalvia),” Malacología 48, no. 1–2 (2006):
265–282.

19
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

Scope dan sequence erat hubungannya dalam penyusunan kurikulum, oleh


sebab tiap bahan harus diberikan pada waktu yang setepat-tepatnya. J. Bruner
mengatakan bahwa prinsip-prinsip tiap mata pelajaran dapat diajarkan kepada
setiap orang pada setiap usaha dalam suatu bentuk tertentu oleh sebab ide-ide
pokok yang mendasari setiap ilmu sebenarnya sederhana. J Piaget membuktikan
bahwa anak-anak lebih cepat dapat berfikir secara formal daripada yang diduga
semula.
Ada dua pendekatan Dalam penentuan urutan bahan pelajaran dapat diikuti
antara lain:
1) Menentukan bahan pelajaran untuk kelas-kelas tertentuPendekatan ini yang
dipentingkan ialah bahan pelajaran dan anak harus menyesuaikan diri dengan
bahan pelajaran untuk kelasnya.
2) Menyesuaikan bahan pelajaran dengan taraf perkembangan anak,Untuk itu
perlu diselidiki tingkat pengetahuan dan kemampuan anak agar dapat
ditentukan bahan yang sesuai.
Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada
anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan
kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan
(discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang
sesuai dengan tingkat perkembangan anak10. Sesuatu bahan pengajaran yang
berarti bagi anak disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan
berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak
terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih
berjangka panjang.

Kesimpulan
Banyak hal dalam lingkungan peserta didik tanpa kita sadari merupakan bahan
pelajaran dalam pembentukan kurikulum, bukan hanya isi disiplin ilmu berupa
pengetahuan, melainkan juga prosesnya. Anak-anak harus dengan sengaja

10 Soetopo Hendayat and Soemanto Wasty, “Administrasi Pendidikan” (Surabaya, Usaha Baru

Nasional, 1982).

20
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

diajarkan proses berpikir kritis, proses penemuan, proses pemecahan masalah,


dan sebagainya.
Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan kita tidak cukup hanya
memperhatikan isiatau bahan pelajaran akan tetapi juga proses pelajaran atau
pengalaman belajar. Dan cara yang dipilih untuk menentukan bahan pelajaran
banyak bergantung pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh mereka yang
menentukan kurikulum. Serasi tidaknya bahan pelajaran bergantung pada tujuan
yang ingin dicapai.
Oleh karena itu dalam pembelajaran haruslah ada pengembangan
kurikulum yang meliputi Scope dan Squence, agar proses belajar mengajar dalam
lingkungan sekolah menjadi lebih baik dan tecapai tujuan pendidikannya.

Daftar Pustaka
H Abuddin Nata, M A. Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam Di Indonesia. Kencana, 2012.
Hamalik, Oemar. “Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.” Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya (2007).
Hendayat, Soetopo, and Soemanto Wasty. “Administrasi Pendidikan.” Surabaya,
Usaha Baru Nasional, 1982.
Hu, Paul J, Patrick Y K Chau, Olivia R Liu Sheng, and Kar Yan Tam. “Examining the
Technology Acceptance Model Using Physician Acceptance of Telemedicine
Technology.” Journal of management information systems 16, no. 2 (1999): 91–
112.
Husen, Akhlan, M Subana, and Deny Iskandar. “Telaah Kurikulum Dan Buku Teks
Bahasa Indonesia.” Jakarta: Depdikbud, 1997.
Marbun, Piter. “HUBUNGAN IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 TERHADAP HASIL
BELAJAR KIMIA SISWA KELAS X SMA N 1 TANJUNG MORAWA TA
2013/2014.” UNIMED, 2015.
Mulyasa, Enco. Pengembangan Dan Implementasi Kurikulum 2013. PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Nasution, Sorimuda. Asas-Asas Kurikulum, Oleh S. Nasution. Tarate, 1964.
Poerwadarminta, W J S. “Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Diolah
21
Mohamad Mustafid Hamdi
INTIZAM : Jurnal Manajemen Pendidikan Islam
Volume 2, Nomor 1, Oktober 2018
ISSN : 2622-6162 (Online) 2598-8514 (Print)

Kembali Oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional).” Jakarta: Balai


Pustaka (2003).
Walker, Jennifer M, Jason P Curole, Dan E Wade, Eric G Chapman, Arthur E Bogan, G
Thomas Watters, Walter R Hoeh, and Walker E T Al. “Taxonomic Distribution
and Phylogenetic Utility of Gender- Associated Mitochondrial Genomes in the
Unionoida (Bivalvia).” Malacología 48, no. 1–2 (2006): 265–282.

22
Mohamad Mustafid Hamdi

You might also like