You are on page 1of 11

Seminar Nasional Peternakan 3 tahun 2017

Universitas Hasanuddin Makassar, 18 September 2017

SUPLEMENTASI BERBAGAI DOSIS HORMON FSH DAN GnRH TERHADAP


PERKEMBANGAN EMBRIO SAPI PESISIR HASIL SUPEROVULASI

Ferry Lismanto Syaiful

Staf Pengajar Fakultas Peternakan Universitas Andalas

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the effectiveness of supplementation of


various doses of FSH hormone to corpus luteum (CL), number of embryos and quality
of superovulation cattle. Treatment using Coastal cow as much as 15 tail, then cattle
Pesisir treatment paired CIDR (containing hormone progesterone), laying CIDR in
front position cervic for 11 days. Furthermore on the day-to-10 given supplementation
of various doses of FSH in the morning and afternoon for 3 days. Treatment cows were
injected with FSH divided into 5 groups of livestock receiving 12 ml FSH + 200 mg
GnRH, 14 ml FSH + 200 mg GnRH and 16 ml FSH + 200 mg GnRH treatment. Giving
FSH done with dose decreased for 3 days. Day 3 FSH injections accompanied by
injection of Capriglandin lethal detection done in the morning and afternoon. Artificial
Insemination (IB) is performed after visible signs of livestock. Embryo collections are
performed on days 6 to 8 after IB (artificial insemination). On day 6 - 8 after IB embryo
harvest done. The variables observed were the number of corpus luteum (CL), the
number of embryos and the quality of the superovulated coastal cow embryo. The
result of this study was obtained the highest CL total at dose of 14 ml FSH + 200 mg
GnRH of 28 CL, followed by the acquisition of CL 14 in FSH 16 ml + 200 mg GnRH
supplementation whereas the lowest CL was found in dosage supplementation FSH 12
ml + 200 Mg GnRH as much as 13 CL. While the number of embryos obtained at a dose
of 12 ml FSH + 200 mg GnRH, 14 ml FSH + 200 mg GnRH and 16 ml FSH + 200 mg
GnRH of (5, 15 and 9). While the quality of embryo (grade A, B, C, Dg and Uf) obtained
at various doses of FSH is 12 ml FSH + 200 mg GnRH (0.33, 0.33, 0.0; 1.00; ; 14 ml FSH +
200 mg GnRH (0,0; 0,33; 1,67; 2,67; 0,33) and 16 ml FSH + 200 mg GnRH (0,67; 0,33; 0,0;
1 , 0; 1,0). From the research data it can be concluded that the highest CL number
obtained at the dose of FSH 14 ml + 200 mg GnRH of 28 CL while the lowest CL gain is
in the supplementation dose FSH 12 ml + 200 mg GnRH as much as 13 CL. The
acquisition of the number of Coastal Cow embryos on supplementation of various FSH
and GnRH hormones was 3.22 and the highest embryo quality was obtained in grade
A of 16 ml FSH (0.67), grade C at 14 ml FSH (1.67), grade Dg at dose 14 ml (2.67) and
grade Uf at dose 16 ml (1.00).
Keywords: FSH, GnRH, dose, embryo and Pesisir cattle

ABSTRAK

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas suplementasi berbagai dosis


hormon FSH terhadap jumlah korpus luteum (CL), jumlah embrio dan kualitas embrio
sapi Pesisir hasil superovulasi. Perlakuan menggunakan sapi Pesisir sebanyak 15 ekor,
kemudian sapi Pesisir perlakuan dipasangkan CIDR (mengandung hormon
progesteron), peletakan CIDR pada posisi di depan servik selama 11 hari. Selanjutnya
pada hari ke-10 diberikan suplementasi berbagai dosis FSH pada pagi dan sore hari

53
Ferry Lismanto Syaiful

selama 3 hari. Sapi perlakuan diinjeksi dengan FSH yang dibagi mejadi 5 kelompok
ternak yang memperoleh perlakuan injeksi 12 ml FSH + 200 mg GnRH, 14 ml FSH +
200 mg GnRH dan 16 ml FSH + 200 mg GnRH. Pemberian FSH dilakukan dengan
dosis menurun selama 3 hari. Hari ke 3 injeksi FSH di iringi dengan injeksi
Capriglandin deteksi berahi dilakukan pada pagi dan sore. Inseminasi Buatan (IB)
dilakukan setelah tampak tanda-tanda berahi dari ternak. Koleksi embrio dilakukan
pada hari ke-6 sampai 8 setelah IB (inseminasi buatan). Pada hari ke 6 - 8 setelah IB
dilakukan panen embrio. Variabel yang diamati adalah jumlah korpus luteum (CL),
jumlah embrio dan kualitas embrio sapi Pesisir hasil superovulasi. Hasil penelitian
yang diperoleh adalah perolehan jumlah CL tertinggi pada dosis FSH 14 ml + 200 mg
GnRH sebesar 28 CL, diikuti dengan perolehan CL sebanyak 14 pada suplementasi
FSH 16 ml + 200 mg GnRH sedangkan perolehan CL terendah yaitu pada suplementasi
dosis FSH 12 ml + 200 mg GnRH sebanyak 13 CL. Sedangkan jumlah embrio yang
diperoleh pada dosis 12 ml FSH + 200 mg GnRH, 14 ml FSH + 200 mg GnRH dan 16 ml
FSH + 200 mg GnRH sebesar (5; 15 dan 9). Sedangkan kualitas embrio (grade A, B, C,
Dg dan Uf) yang diperoleh pada berbagai dosis FSH adalah 12 ml FSH + 200 mg GnRH
(0,33; 0,33; 0,0; 1,00; 0,0); 14 ml FSH + 200 mg GnRH (0,0; 0,33; 1,67; 2,67; 0,33) dan 16
ml FSH + 200 mg GnRH (0,67; 0,33; 0,0; 1,0; 1,0). Dari data penelitian dapat
disimpulkan bahwa perolehan jumlah CL tertinggi pada dosis FSH 14 ml + 200 mg
GnRH sebesar 28 CL sedangkan perolehan CL terendah yaitu pada suplementasi dosis
FSH 12 ml + 200 mg GnRH sebanyak 13 CL. Perolehan jumlah embrio sapi Pesisir
terhadap suplementasi berbagai hormon FSH dan GnRH adalah 3,22 dan kualitas
embrio diperoleh terbanyak pada grade A yaitu dosis FSH 16 ml (0,67), grade C yaitu
pada dosis FSH 14 ml (1,67), grade Dg yaitu pada dosis 14 ml (2,67) dan grade Uf yaitu
pada dosis 16 ml (1,00).
Kata Kunci : FSH, GnRH, dosis, embrio dan sapi Pesisir

PENDAHULUAN

Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu


terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi Pesisir merupakan
salah satu jenis ternak yang memberikan kontribusi besar dalam memenuhi protein
hewani masyarakat Sumatera Barat. Sapi Pesisir merupakan salah satu bangsa sapi
lokal yang menyebar di Sumatera Barat dan sebagai plasma nutfah Indonesia dan
komoditas unggulan spesifik wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Kebutuhan masyarakat di Indonesia akan protein hewani/ daging mengalami
peningkatan. Pada tahun 2000, konsumsi daging 1,72 kg/ kapita/ tahun sedangkan
pada tahun 2010, konsumsi daging meningkat 2,72 kg/ kapita/ tahun. Kebutuhan
masyarakat akan daging selama 10 tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 1,0
kg/ kapita/ tahun (Victorbuana, 2010).
Sapi Pesisir memiliki keunggulan yaitu tahan terhadap lingkungan yang panas
dan mampu memanfaatkan pakan berkualitas jelek (Anwar, 2004).Populasi sapi Pesisir
mendominasi di daerah Pesisir Selatan diperkirakan sekitar 90 %sedangkan
populasinya mencapai 20% dari total populasi sapi potong di Sumatera Barat.
Populasi sapi di Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2011 tercatat 93.581 ekor,
sedangkan pada tahun 2004 hanya sebesar 104.109 ekor, atau mengalami penurunan
sebesar 11,25 %(BPS, 2012).

54
Seminar Nasional Peternakan 3 tahun 2017
Universitas Hasanuddin Makassar, 18 September 2017

Selama beberapa tahun belakangan ini populasi sapi Pesisir terus mengalami
penurunan, apabila dibiarkan berkelanjutan tentu akan berdampak buruk bahkan
dapat mengakibatkan kepunahan bagi keberadaan plama nutfah Sumatra Barat ini.
Ada beberapa factor yang mengakibatkan penurunan populasi diduga berkaitan
dengan sistem pemeliharaan yang bersifat ekstensif tradisional, tingginya jumlah
pemotongan ternak produktif, menyempitnya areal penggembalaan, dan kurang
tersedianya pejantan, rendahnya upaya pembudidayaan, tingginya angka ternak
keluar daerah.
Salah satu usaha untuk meningkatan populasi dapat dilakukan dengan
bioteknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (IB) dan Transfer Embrio (TE).
Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggul dalam bidang reproduksi untuk
meningkatkan produktivitas ternak.Perkembangan bioteknologi sangat maju dengan
pesat dan mempunyai peluang untuk diterapkan dalam membantu secara teknis
peningkatan populasi ternak.Melalui teknologi bioteknologi reproduksi dianggap
dapat mengatasi tantangan dalam arti dapat memenuhi peningkatan produktivitas
tanpa merusak sumber hayati lokal melalui upaya mengatasi kendala-kendala skala
produksi yang kecil dari petani atau rendahnya produktivitas ternak asli lokal.
Menurut Willett dan Hillers (1994) bahwa teknologi IB merupakan teknologi
perkawinan yang telah lama diterapkan termasuk pada sapi Pesisir, sedangkan
teknologi TE masih terbatas penggunaannya tetapi mempunyai efektifitas yang lebih
baik dibanding IB untuk meningkatkan populasi suatu bangsa ternak. Teknologi TE
selain untuk mempercepat peningkatan populasi ternak juga membuka peluang untuk
manipulasi embrio.
Kualitas embrio berpotensi untuk meningkatkan populasi ternak. Embrio yang
telah ditentukan kualitas embrionya dalam peternakan sapi potong lebih efektif dan
sangat membantu untuk mengelola sumber daya genetik ternak sehingga usaha
pemeliharaan sapi akan lebih menguntungkan sebelum kebuntingan ternak terjadi.
Guna mewujudkan dalam penentuan kualitas embrio dapat meningkatkan
efisiensi ekonomi dalam program TE. Pada penelitian ini akan mengidentifikasi jumlah
dan kualitas embrio terhadap suplementasi berbagai dosis hormon FSH. FSH
merupakan hormon glikoprotein yang dapat menggertak ovari dan merangsang
pertumbuhan dan pematangan folikel dan terbukti mampu menginisiasi munculnya
gelombang folikel pada ternak (Amstrong, 1993). Hafez (1987) mengemukakan bahwa
FSH berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan folikel dan pematangan folikel de
Graff di dalam ovarium dan bersama LH bekerjasama untuk menstimulasi pelepasan
estrogen. FSH mempunyai waktu paruh yang pendek (pada sapi 2-5 jam) sehingga
diperlukan injeksi berulang pada interval 12 jam selama 2-4 hari (Hunter, 1995; Herdis,
Surachman dan Suhanan, 2001).
Sato et al. (2005) melaporkan superovulasi dapat dilakukan antara hari ke 8 dan
hari ke 12 siklus estrus atau 2.5 hari setelah pemberian GnRH. Lebih lanjut dinyatakan
bahwa respon donor dapat meningkat ketika superovulasi dilakukan pada waktu
gelombang folikel terjadi atau tanpa keberadaan folikel dominan. Setiadi et al. (2005)
menyatakan bahwa aplikasi hormon gonadotropin pada saat muncul gelombang
folikel dapat meningkatkan respon superovulasi. Selanjutnya setelah berahi lalu
dilakukan IB. Selanjutnya pada hari ke 6-8 setelah IB dilakukan panen embrio
kemudian dilakukan identifikasi kualitas embrio terhadap sapi Pesisir.
Tujuan penelitian adalah 1). untuk mengetahui suplementasi efektivitas berbagai
dosis hormon FSH terhadap jumlah embrio sapi Pesisir hasil superovulasi, dan 2).

55
Ferry Lismanto Syaiful

untuk mengetahui efektivitas suplementasi berbagai dosis hormon FSH terhadap


kualitas embrio sapi Pesisir hasil superovulasi.

METODE PENELITIAN

Materi Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan adalah :
1. Sapi Pesisir berumur 3 tahun sebanyak 15 ekor
2. Bahan kimia habis terpakai yaitu NaCl fisiologis, FSH (Follicle Stimulating
Hormone) (Ovagen,Sigma) Taq DNA polymerase, dNTPs ( dNTPs,10,100),
gentamicin (Sigma,G-1397), Calf Serum (CS,Sigma), hyolurinidase air bebas ion
(deionized water), minyak mineral (Sigma,M-8410), alcohol dan tissue.
Perlengkapan habis terpakai adalah Petridis, corong pemisah 35 dan 60 mm, pipet
Pasteur, filter Millipore, objek dan cover glass dan gas pak.
3. Alat-alat utama yang digunakan antara lain inkubator, timbangan listrik, oven,
laminator flow dan mikroskop.

Metode Penelitian
Prosedur kerja
Prosedur pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut;

Superovulasi
Perlakuan menggunakan sapi Pesisir sebanyak 15 ekor, kemudian sapi Pesisir
perlakuan dipasangkan CIDR (mengandung hormon progesteron), peletakan CIDR
pada posisi di depan servik selama 11 hari. Selanjutnya pada hari ke-10 diberikan
suplementasi berbagai dosis FSH pada pagi dan sore hari selama 3 hari. Sapi perlakuan
diinjeksi dengan FSH yang dibagi mejadi 5 kelompok ternak yang memperoleh
perlakuan injeksi 12 ml FSH + 200 mg GnRH, 14 ml FSH + 200 mg GnRH dan 16 ml
FSH + 200 mg GnRH. Pemberian FSH dilakukan dengan dosis menurun selama 3 hari.
Hari ke 3 injeksi FSH di iringi dengan injeksi Capriglandin deteksi berahi dilakukan
pada pagi dan sore. Inseminasi Buatan (IB) dilakukan setelah tampak tanda-tanda
berahi dari ternak. Koleksi embrio dilakukan pada hari ke-6 sampai 8 setelah IB
(inseminasi buatan).

Inseminasi Buatan
Setelah perlakuan superovulasi, perlu dilakukan pengamatan tanda-tanda estrus
pada sapi donor sehingga dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu Inseminasi
yang tepat (Seidel dan Eldsen, 1985). Inseminasi Buatan (IB) dilakukan 6-24 jam setelah
timbulnya estrus. Semen segar lebih baik digunakan dibandingkan semen beku,
karena semen segar lebih lama bertahan di dalam saluran reproduksi betina (FAO,
2000). Grimes (2002) menyarankan agar IB dilakukan 1-3 kali selama dan setelah
estrus dengan interval yang sama.

Panen Embrio Sapi Pesisir


Pada hari ke 6 - 8 setelah IB dilakukan panen embrio dengan prosedur yaitu;
ternak donor ditempatkan di dalam kandang jepit khusus dengan bagian depan
ditinggikan 10-20 cm. Alat reproduksi diperiksa melalui palpasi rektum, dengan

56
Seminar Nasional Peternakan 3 tahun 2017
Universitas Hasanuddin Makassar, 18 September 2017

mengeluarkan feaces terlebih dahulu, setelah itu dapat dilanjutkan pemeriksaan, akan
teraba servik, uterus dan ovarium, jumlah korpus luteum pada ovari kanan dan kiri
dihitung. Selanjutnya dilakukan anastesi epidural dengan Lydocain 2 % sebanyak 4 – 6
ml, gunanya untuk memudahkan pemasukan foley catheter dan mengurangi timbulnya
defikasi sewaktu pelaksanaan flushing berlangsung.
Pada daerah perinium, pangkal ekor, vulva dan sekitarnya dibersihkan dengan
air, disabun kemudian dibilas dengan larutan antiseptik dan alcohol 70%. Setelah
semuanya siap maka servik perlu dibuka terlebih dahulu. Pemasukan semua peralatan
ke dalam alat reproduksi harus dalam keadaan aseptis dan steril. Untuk mencegah
pencemaran terhadap alat reproduksi dan menjaga kualitas embrio. Selanjutnya
pemasukan dilatators harus hati-hati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri
melakukan fiksasi servik per rectum untuk memandu pemasukan dilatators tersebut.
Pembukaan servik dilakuakan sampai cincin ke empat dari servik, sampai dilatators
memasuki bagian kaudal dari korpus uterus. Bila servik telah dibuka sepenuhnya,
selanjutnya disiapkan foley catheter yang sudah dimasuki Stilette Cassou Insemination
Gun untuk membuatnya kaku.
Foley catheter dilumasi dengan jelly dan pemasukannya dilakukan dengan cara
aseptis. Pemasukan foley catheter lewat servik juga dilakukan secara manual,
pemasukan dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri melakukan fiksasi servik
perektum untuk memandu pemasukan foley catheter ke dalam servik. Pemasukan
foley catheter sampai mencapai kornua uteri sepanjang pertengahan kornua. Balon
pada foley catheter kemudian di isi udara dengan volume 15 – 20 ml tergantung dari
diameter lumen uterus. Pada pengisian balon dilakukan control volume dan
keterangan dinding lumen uterus per rektum. Stilette kemudian dicabut dan catheter
dihubungkan dengan selang penyambung berbentuk V. Satu ujung dihubungkan ke
botol penampung yang sudah berfilter, sedang ujung yang lain dihubungkan dengan
botol plastik 500 ml yang berisi media pembilas (500 ml larutan laktat ringer ditambah
1% gentamicin dan 5% calf serum), yang ditempatkan tinggi sehingga media bisa
mengalir.
Pembilasan uterus dilakukan dengan membuka klem Inlet dan menutup klem
Outlet, baik dengan pompa uterus otomatis maupun secara manual media pembilas
dibiarkan mengalir sebayak 50 ml. dalam keadaan klem Inlet tertutup dilakuakan
massage dan manipulasi uterus, kornua uteri diluruskan beberapa menit untuk
menghindari adanya embrio yang tersekap dalam afeks uteri yang melengkung,
kemudian klem Outlet dibuka untuk mengeluarkan media pembilas. Cara pembilasan
ini diulang lagi, sehingga untuk satu kornua uteri dibutuhkan 300 - 500 ml media
pembilas. Setelah pembilas pada satu kornua selesai kemudian dilanjutkan dengan
Kornua yang satunya. Pemindahan catheter dilakukan dengan pengempesan balon
terlebih dahulu, catheter dimasuki stilet kembali dengan dipandu secara manual per
rectum catheter dikeluarkan dengan hati-hati dari kornua sampai di korpus kemudian
catheter kembali dimasukan ke dalam kornua yang satunya.
Penempatan catheter sama seperti sebelumnya ujung catheter menempati kurang
lebih separuh panjang kornua. Balon kembali di isi udara, stilette dicabut, catheter
dihubungkan dengan selang penyambung dan di mulai pembilasan kornua dengan
cara yang sama. Botol penampung kemudian dilepas, diambil bagian cawan atas yang
berfilter embrio diharapkan akan tersaring dan terkumpul pada cawan ini, selanjutnya
dilakukan pemeriksaan evaluasi dan pemilihan embrio.

Evaluasi Embrio Segar

57
Ferry Lismanto Syaiful

Evaluasi embrio dilakukan di bawah stereo mikroskop dengan pembesaran lebih


dari 40 kali. Embrio yang didapat harus mempunyai stadia yang relatif sama; yaitu
stadium morula (32 sel), morula kompak (blastomer memadat menjadi masa yang
lebih kompak), dan blastosis awal (mempunyai blastosel). Adanya embrio yang
stadium pertumbuhannya kurang dari 32 sel menunjukkan adanya kelambatan
pertumbuhan.
Evaluasi embrio berpedoman kepada klasifikasi embrio menurut Saito (1997),
yang mana embrio dibedakan ke dalam 5 kelompok (grade) yaitu : A, B, C, Dg
(degenerated), Uf (unfertilized).

Variabel yang Diamati


1. Jumlah CL
2. Jumlah embrio hasil superovulasi
3. Kualitas embrio hasil superovulasi

Analisis Data
Data yang diperoleh di analisis dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data
yang berbeda akan dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah korpus luteum


Jumlah CL sapi dapat diperiksa melalui palpasi rektal, umumnya CL yang
fungsional akan teraba karena menonjol pada permukaan ovarium. Namun tidak
semua bagian CL selalu muncul dengan jelas pada permukaan ovarium (Maidaswar,
2007). Sedangkan jumlah CL sapi Pesisir pada ovarium kanan dan ovarium kiri terlihat
pada Tabel 1.
Tabel 1. Suplementasi Berbagai Dosis Hormon FSH dan GnRH Terhadap Perolehan
Jumlah CL Sapi Pesisir Pada Ovarium Kanan dan Ovarium Kiri
Jumlah Korpus Luteum
Hormon Perlakuan
Ovarium Kanan Ovarium Kiri
12 ml + 200 mg GnRH 8 5
14 ml + 200 mg GnRH 12 16
16 ml + 200 mg GnRH 8 6
Total 28 27
Rata-rata 3,11±1,90a 3,00±2,92a
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan jumlah sebaran CL pada ovarium
kanan dan ovarium kiri tidak berbeda nyata (P>0,05)

Pada Tabel 1. dapat dilihat bahwa suplementasi berbagai dosis hormon FSH dan
GnRH terhadap perolehan jumlah CL sapi Pesisir pada ovarium kanan (3,11±1,90) dan
ovarium kiri (3,00±2,92) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini
disebabkan karena adanya perlakuan superovulasi yang menyebabkan kedua ovarium
memberikan respon yang sama. Jumlah sebaran CL yang teraba di ovarium kanan
lebih banyak dibandingkan dengan ovarium kiri. Hal ini sesuai pendapat Hylan et al.

58
Seminar Nasional Peternakan 3 tahun 2017
Universitas Hasanuddin Makassar, 18 September 2017

(2009) menyatakan bahwa aktifitas ovarium kanan lebih aktif bekerja dibandingkan
ovarium kiri. Selanjutnya Sobari et al. (2012) menyatakan adanya perbedaan aktifitas
ovarium kanan dibandingkan ovarium kiri sapi Bali. Panjang ovarium kanan (2,261)
lebih panjang dibandingkan ovarium kiri (2,239), lebar ovarium kanan (1,561) lebih
lebar dibandingkan ovarium kiri (1,489).
Islam et al. (2007) menjelaskan bahwa ovarium kanan lebih berat, lebih panjang
dan lebih lebar dibandingkan ovarium kiri. Selanjutnya Geres et al., (2011) menyatakan
bahwa ovarium kanan lebih besar dan lebih aktif dibandingkan ovarium kiri. Hal ini
disebabkan karena adanya perbedaan aktifitas ovarium, perbedaan physiologis pada
bagian tubular organ reproduksi ternak dan perbedaan anatomi vena ovari yang
mempengaruhi aliran darah ke ovari. Secara anatomi rumen berada di rongga perut
sebelah kiri yang menyebabkan tertekannya ovarium kiri sehingga aliran darah ke
ovarium kiri terganggu akibatnya pertumbuhan ovarium kiri sedikit terhambat dan
kinerjanya menjadi lebih rendah dibandingkan ovarium kanan (Salem et al., 2011).
Sedangkan jumlah CL yang teraba terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Suplementasi Berbagai Dosis Hormon FSH dan GnRH Terhadap Perolehan
Jumlah CL Sapi Pesisir
Hormon Perlakuan Donor (ekor) Jumlah CL Rata-rata
12 ml + 200 mg GnRH 3 13 4,33±2,52
14 ml + 200 mg GnRH 3 28 9,33±7,51
16 ml + 200 mg GnRH 3 14 4,67±1,15
Total 9 55 6,11±4,68

Pada Tabel 2. terlihat bahwa perolehan jumlah CL terbanyak pada dosis FSH 14
ml + 200 mg GnRH (sebanyak 28 CL), diikuti dengan perolehan CL sebanyak 14 pada
suplementasi FSH 16 ml + 200 mg GnRH sedangkan perolehan CL terendah yaitu pada
pemberian dosis FSH 12 ml + 200 mg GnRH (sebanyak 13 CL). Perbadaan jumlah CL
yang dihasilkan ternak donor menandakan pada masing-masing individu ternak
memiliki respon yang berbeda-beda terhadap perlakuan gonadotropin (Hafez, 1987).
Selanjutnya Toelihere (1985) menjelaskan bahwa tingkat ovulasi pada ternak
dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk makanan, kondisi fisik dan umur ternak.
Yusuf (1990) mengemukakan bahwa sapi yang diberi perlakuan superovulasi
dan menghasilkan rataan CL sebanyak 7 atau lebih termaksud dalam katagori tinggi,
sedangkan rataan CL yang dihasilkan 3-6 termaksud dalam katagori sedang, dan
rataan CL yang dihasilkan antara 0-2 termaksud dalam katagori rendah. Berdasarkan
pernyataan tersebut, rata-rata jumlah CL yang diperoleh dari hasil penelitian ini
adalah termasuk ke dalam katagori sedang kecuali pada dosis FSH 14 ml adalah
katagori tinggi.

Jumlah Embrio
Koleksi embrio dilakukan pada hari ke-7 setelah perkawinan/ IB pada saat
embrio berada pada kornua uteri. Perolehan jumlah embrio sapi Pesisir pada kornua
kiri dan kanan terlihat pada Tabel 3.
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah embrio sapi lokal Pesisir pada kornua
kiri (1,78±1,48) lebih banyak dibandingkan dengan kornua kanan (1,44±1,01), namun
berdasarkan uji statistik jumlah embrio pada kornua kanan dan kornua kiri
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan karena tidak

59
Ferry Lismanto Syaiful

semua embrio yang dihasilkan bisa terkoleksi saat pembilasan. Sependapat ini sejalan
dengan Suradi (2004) menyatakan bahwa jumlah embrio yang terkoleksi dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu; sumber dan kondisi sperma, kondisi alat reproduksi sapi
betina, nutrisi pakan, tingkat keberhasilan pada saat perkawinan, lingkungan
pemeliharaan dan jadwal pengkoleksian embrio yang tepat.
Tabel 3. Suplementasi Berbagai Dosis Hormon FSH dan GnRH Terhadap perolehan
Jumlah Embrio Sapi Pesisir Pada Kornua Kanan dan Kornua Kiri
Jumlah Embrio
Hormon Perlakuan
Kornua Kanan Kornua Kiri
12 ml + 200 mg GnRH 3 2
14 ml + 200 mg GnRH 7 9
16 ml + 200 mg GnRH 4 5
Total 13 16
Rata-rata 1,44±1,01a 1,78±1,48 a
Keterangan : Angka yang sama pada kolom yang sama menunjukkan jumlah sebaran embrio pada kornua
kanan dan kornua kiri tidak berbeda nyata (P>0,05)

Rensis and Scaramuzzi (2003) mengemukakan bahwa tingkat stres dapat


mempengaruhi jumlah embrio yang dihasilkan sapi. Ditambahkan Merton et al. (2003)
bahwa banyaknya folikel subordinat pada pool gelombang folikel akan menentukan
jumlah embrio yang dihasilkan oleh hewan donor. Sedangkan perolehan jumlah
embrio sapi Pesisir terkoleksi pada berbagai dosis FSH dan GnRH terlihat pada Tabel
4.

Tabel 4. Suplementasi Berbagai Dosis Hormon FSH dan GnRH Terhadap Jumlah
Embrio Sapi Pesisir
Hormon Perlakuan Donor (ekor) Jumlah Embrio Rata-rata
12 ml + 200 mg GnRH 3 5 1,67±0,58
14 ml + 200 mg GnRH 3 15 5,00±3,00
16 ml + 200 mg GnRH 3 9 3,00±1,00
Total 9 29 3,22±2,17

Pada Tabel 4. terlihat bahwa perolehan jumlah embrio sapi Pesisir pada
berbagai dosis FSH menunjukkan bahwa perolehan jumlah embrio tertinggi pada
suplementasi FSH dengan dosis 14 ml (5,00±3,00) kemudian di ikuti dengan
penurunan pada dosis FSH 16 ml (3,00±1,00) dan suplementasi FSH dengan dosis 12
ml memperoleh embrio sapi Pesisir terendah (1,67±0,58). Berdasarkan uji statistik
jumlah embrio sapi Pesisir pada berbagai dosis FSH menunjukkan perbedaan nyata
(P<0,05). Hal ini disebabkan karena suplementasi FSH dan GnRH pada dosis tertentu
dapat menggertak ovari dan merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel dalam
menghasilkan embrio yang optimal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Toelihere (1985)
dan Hafez (1987), bahwa fungsi FSH adalah untuk menstimulasi pertumbuhan folikel
dan pematangan folikel de Graff di dalam ovarium dan bersama LH bekerjasama
untuk menstimulasi pelepasan estrogen. Sato et al. (2005) melaporkan superovulasi
dapat dilakukan antara hari ke 8 dan hari ke 12 siklus estrus atau 2.5 hari setelah

60
Seminar Nasional Peternakan 3 tahun 2017
Universitas Hasanuddin Makassar, 18 September 2017

pemberian GnRH. Lebih lanjut dinyatakan bahwa respon donor dapat meningkat
ketika superovulasi dilakukan pada waktu gelombang folikel terjadi atau tanpa
keberadaan folikel dominan. Demikian juga Setiadi et al. (2005) menyatakan bahwa
aplikasi hormon gonadotropin pada saat muncul gelombang folikel dapat
meningkatkan respon superovulasi.
Beragam variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada sapi
berkaitan erat dengan beragamnya status perkembangan folikel pada saat perlakuan
(Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon ovarium lebih rendah apabila
superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel dominan karena adanya
inhibin, sebaliknya respon lebih tinggi jika dilakukan saat keberadaan sejumlah besar
folikel-folikel kecil (Sato et al. 2005). Respon untuk ovulasi terhadap pemberian
gonadotropin pada satu hari sebelum atau pada hari munculnya gelombang folikel,
lebih tinggi dari perlakuan pada satu atau dua hari setelah munculnya gelombang
folikel (Bo et al. 1995).
Bila dibandingkan dengan jumlah CL, jumlah embrio yang terkoleksi lebih
sedikit, hal ini dapat terjadi karena jatuhnya embrio ke dalam rongga perut bila cairan
pembilas yang dimasukkan terlalu banyak, rusaknya embrio sehingga zona pellusida
berpisah dengan blastomer dan menyulitkan pencarian embrio, pada uterus yang
besar dan menggantung dapat menyebabkan penutupan balon kateter kurang
sempurna sehingga cairan pembilas dapat merembes ke sisi lain (Yusuf, 1990),
kegagalan fimbrae menangkap ovum karena terlalu banyak oosit yang diovulasikan
dan kegagalan pada saat pengamatan dibawah mikrosop sehingga embrio tidak
terlihat.

Kualitas Embrio
Perolehan kualitas embrio sapi Pesisir pada berbagai dosis FSH terlihat pada
Tabel 5. Pada Tabel 5. dapat dilihat bahwa perolehan jumlah embrio terbanyak pada
grade A dengan dosis FSH 16 ml (0,67±1,15) yang diikuti oleh grade C pada dosis FSH
14 ml (1,67±1,53) lalu grade Dg pada dosis 14 ml (2,67±0,58) dan grade Uf pada dosis
16 ml (1,00±1,00). Perbedaan perolehan kualitas grade embrio sapi Pesisir pada
berbagai dosis FSH menunjukan bahwa pada superovulasi dapat terjadi ovulasi oosit
yang tidak serempak sehingga menyebabkan fertilisasi yang tidak serentak pula dan
mengakibatkan perkembangan embrio berada pada tingkat perkembangan yang
berbeda-beda. Hafez (2000) menyatakan bahwa variasi tahap perkembangan embrio
dalam satu lingkaran yang sama dapat mempengaruhi daya hidup embrio. Lebih
lanjut dinyatakan embrio yang mati (Degenerated) atau oosit yang tidak terbuahi
(Unfertilized) dapat menyebabkan penurunan kualitas embrio lain. Selain itu variasi
induk juga mempengaruhi kualitas embrio yang dihasilkan seperti yang dijelaskan
oleh Mermillod et al. (1992) bahwa perbedaan perkembangan embrio dipengaruhi oleh
variasi genetik dari individu sapi.
Selain itu pengaruh lingkungan seperti nutrisi yang diperoleh ternak juga
mempengaruhi kualitas embrio. Ternak yang diberi asupan nutrisi cukup akan lebih
mampu menopang kehidupan embrio yang dikandungnya dibandingkan ternak yang
tidak diberikan nutrisi cukup. Ovum yang Unfertilized dapat terjadi karena ovum yang
di ovulasikan terlambat sampai di oviduk sehingga gagal di buahi spermatozoa.

61
Ferry Lismanto Syaiful

Tabel 5. Suplementasi Berbagai Dosis Hormon FSH dan GnRH Terhadap Kualitas
Embrio Sapi Pesisir
Kualitas Embrio
Hormon Total
A B C Dg Uf
1 1 0 0 0 2
12 ml + 200 mg GnRH 0 0 0 2 0 2
0 0 0 1 0 1
Rata-rata 0,33±0,58 0,33±0,58 0±0 1,00±1,00 0±0 1,67±0,58
0 1 3 3 1 8
14+ 200 mg GnRH 0 0 2 3 0 5
0 0 0 2 0 2
Rata-rata 0±0 0,33±0,58 1,67±1,53 2,67±0,58 0,33±0,58 5,00±3,00
2 0 0 0 0 2
16+ 200 mg GnRH 0 0 0 2 1 3
0 1 0 1 2 4
Rata-rata 0,67±1,15 0,33±0,58 0±0 1,00±1,00 1,00±1,00 3,00±1,00

Adanya embrio Degenerated dan Unfertilized dapat disebakan oleh kegagalan


fertilisasi dan degenerasi embrio di dalam saluran reproduksi hewan donor. Harsono
(2001) menyatakan bahwa waktu optimum untuk inseminasi merupakan hal penting
dikarenakan adanya berahi tenang (silent heat) dan lama estrus yang berbeda pada
ternak sapi dapat menyebabkan penentuan waktu inseminasi yang kurang optimal
sehingga rendahnya tingkat fertilitas yang diinginkan. Seidel and Elsden (1985)
menyatakan bahwa fertilisasi yang rendah dapat disebabkan oleh kualitas semen yang
rendah, teknik serta waktu inseminasi yang kurang tepat.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
perolehan jumlah CL tertinggi pada dosis FSH 14 ml + 200 mg GnRH sebesar 28 CL,
diikuti dengan perolehan CL sebanyak 14 pada suplementasi FSH 16 ml + 200 mg
GnRH sedangkan perolehan CL terendah yaitu pada suplementasi dosis FSH 12 ml +
200 mg GnRH sebanyak 13 CL. Sedangkan perolehan jumlah embrio sapi Pesisir
terhadap suplementasi berbagai dosis FSH dan GnRH adalah 3,22±2,17. Sedangkan
perolehan kualitas embrio terbanyak pada grade A dengan dosis FSH 16 ml + 200 mg
(0,67±1,15) yang diikuti grade C pada dosis FSH 14 ml + 200 mg (1,67±1,53) lalu grade
Dg pada dosis 14 ml + 200 mg (2,67±0,58) dan grade Uf pada dosis 16 ml + 200 mg
(1,00±1,00).

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini disponsori oleh Penelitian Hibah Bersaing TA 2015. Kami juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada LPPM (Lembaga Penenelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat) Universitas Andalas yang telah membantu
terlaksananya penelitian dengan baik.

62
Seminar Nasional Peternakan 3 tahun 2017
Universitas Hasanuddin Makassar, 18 September 2017

DAFTAR PUSTAKA

Akcay. E., O. Oysal, I. Yavas and U. An. 2008. The effects of serum, steroid and gonadorophins
on in vitro maturation and fertilization of bovine oocytes. J. Anim. And Vet. Advances 7:
178-183.
Bilodeau-Goeesels S and P. Panics. 2002. Effects of oocyte quality on development and
transcriptional activity in early bovine embryos. Anim. Reprod Sci 71 : 143-155
Boediono A.,Suzuki T and Godke R. 2003. Comparison of hybrid and purebred in vitro derived
catle embryos during in vitro culture. Anim.Sci 78: 1-11.
Burry.N.M, Fernandez. R, Jimenez.A, Garnelo.S.P, Moreira.P.N, Pintado.B, de la Fuente.J, Adan.
A. G. 2003. Effect of ejaculate,bull, and a double swim-up sperm proscesing method on
sperm sex ratio. Zygote. Cambridge. Aug 2003. Vol 11. 155. 3. P 229 (7 page). Diakses
Tanggal
Ditjen Peternakan. 2005. Usaha Peternakan, Perencanaan Usaha, Analisa dan Penegelolaan.
Ditjen Peternakan.
Hafez, B and E. S. E. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7th Edition. Philadelphia:
Lippincott Wiliams and Wilkins.
Maidaswar. 2007. Efisiensi Superovulasi pada Sapi Melalui Sinkronisasi Gelombang Folikel dan
Ovulasi. Thesis. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.
Mermillod, P., C. Boccard, C. Wils, A. Massie and F. Dessy. 1992. Effect of Oviduct-Condition
Medium and of Cumulus Cells on Bovine Embryo Development In-vitro.
Theriogenology. 37: 256.
Praharani, L dan E. Triwulaningsih. 2007. Karakteristik bibit kerbau pada agroekosistem
dataran tinggi. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Roheni., Sabran dan Hamdan. 2007. Potensi peran dan permasalahan beternak kerbau di
Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan,Bogor.
Talib, R.A.B dan C. Talib. 2007. Ternak kerbau (bubalus bubalis) ternak potensial masa depan
Indonesia. Prosiding seminar dan lokakarya nasional usaha ternak kerbau. Pusat
penelitian dan pengembangan peternakan, Bogor.
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Triwulaningsih dan Anggraini.2007. Inovasi Teknologi untuk mendukung pengembangan
ternak kerbau. Prosiding seminar dan lokakarya nasional usaha ternak kerbau. Pusat
penelitian dan pengembangan, Bogor.
Wattimena J. 2011. Pematangan oosit domba secara in vitro dalam berbagai jenis serum.
Universitas Pattimura. J Agrinimal 1: 22-27
Victorbuana. 2010. Peluang Usaha Ternak Sapi Potong. PeluangUsaha.web.id

63

You might also like