You are on page 1of 9

Problematika Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia 1

Oleh M. Yasin al-Arif

Abstrak

Although there have been four stages of change, the 1945 Constitution as the highest
regulation of the state has not shown any impact in improving the concept of the rule of law
and Indonesian constitutionalism. This paper focuses on the problems of the rule of law and
constitutionalism arising after the 1945 amendments to the Constitution of the Republic of
Indonesia and formulating efforts to overcome them. The results of the writing show that
there are several problems that arise, including the weakening of the presidential system, the
authority of the DPD that is all-encompassed, the design of a dilemmatic MPR institution, the
inappropriate position of KY. In an effort to overcome this, the presidential system must be
emphasized by not including the President in the formation and discussion of laws and
pairing a presidential system with a simple multi-party system. In addition, the DPD must be
given a function and authority that is balanced with the DPR so that checks and balances
between the two institutions run. With this concept, the MPR was held as a joint session
between the DPD and the DPR. In accordance with their duties and authorities, KY must be
separated from the CHAPTER of Judicial Power in the 1945 Constitution and a separate
chapter is established which specifically regulates the State Commission.

Keyword: Constitution, Amandement, Ruf of Law

Kendati sudah mengalami perubahan sebanyak empat tahap, UUD 1945 sebagai peraturan
tertinggi negara belum menampakkan dampaknya dalam memperbaiki konsep negara
hukum dan konstitusionalisme Indonesia. Tulisan ini fokus pada permasalahan negara
hukum dan konstitusionalisme yang timbul pasca amandemen UUD NRI 1945 dan
merumuskan upaya untuk mengatasinya. Hasil penulisan menunjukkan bahwa terdapat
beberapa problematika yang timbul di antaranya melemahnya sistem presidensial,
Kewenangan DPD yang serba tanggung, desain lembaga MPR yang dilematis , kedudukan
KY yang tidak tepat. Sebagai upaya mengatasinya maka sistem presidensial harus
dipertegas dengan tidak menyertakan Presiden dalam pembentukan dan pembahasan
undang-undang serta memasangkan sistem presidensial dengan multi partai sederhana.
Selain itu DPD harus diberikan fungsi dan kewenangan yang seimbang dengan DPR agar
check and balances diantara dua lembaga tersebut berjalan. Dengan konsep demikian maka
MPR didudukan sebagai joint session di antara DPD dan DPR. Sesuai dengan tugas dan
wewenangnya maka KY harus dipisahkan dari BAB Kekuasaan Kehakiman dalam UUD
1945 dan dibentuk bab tersendiri yang mengatur khusus tentang Komisi Negara.

Kata Kunci: Konstitusi, Amandemen, Negara Hukum

Latar Belakang

Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah


suatu hal yang pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah
dinyatakan oleh Soekarno pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945. 2 Amandemen
1
Tulisan ini dimuat dalam “WARTA HUKUM” Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT) FH UII Edisi:
I/WH/AGUSTUS-DESEMBER/2017.
2
Jimly Ashiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 266
UUD 1945 yang dilakukan pasca reformasi setidaknya menjadi titik awal terjadinya
desakralisasi terhadap konstitusi Indonesia yang selama kurang lebih 32 tahun di bawah
tampuk kekuasaan Soeharto menjadi barang suci yang tidak dapat disentuh apalagi diutak
atik. Terjadinya amandemen UUD 1945 adalah tuntutan reformasi yang tidak dapat
disanggah lagi.

Tidak dapat dipungkiri setelah UUD tampak jelas kepada kita bahwa kehidupan
demokrasi tumbuh semakin baik. Dilakukannya perubahan itu sendiri sudah merupakan
kemajuan yang sangat besar bagi demokrasi kita sebab masa lalu jika ada gagasan untuk
mengubah UUD 1945 sangat ditabukan. Sekarang setelah UUD 1945 diubah siapapun boleh
mempersoalkan UUD tanpa harus takut ditangkap. Ini adalah kemajuan besar di dalam
demokrasi kita.3

Kenyataan demikian tentu harus disanjung sebagai keberhasilan merubah situasi


kenegaraan yang lebih demokratis dari sebelumnya. Namun tentu tidak dapat menafikan
kenyataan lain yang belum ditampakkan dari adanya amandemen konstitusi. Kendatipun
telah mengalami perubahan selama empat tahap (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002),
konstitusi Indonesia masih jauh dari kesan rapih dan selesai. Walaupun memang, pasca
amandemen, kosntitusi Indonesa telah memberikan wajah konstitusionalisme yang lebih
baik.4

Setidaknya adat tiga faktor5 yang menyebabkan kesan yang masih jauh dari rapih
dan selesai. Pertama, jalur perubahan konstitusi didominasi oleh orang-orang dalam (orang
soeharto). Peran penting tetap dimainkan oleh para pemimpin yang aktif dalam rezim
otoritarian sebelumnya yang kini bekerja di dalam lingkungan yang benar-bener kompetitif.
Para pemimpin ini dan mantan pemimpin oposisi yang sama-sama tergabung dalam
lembaga legislative setelah pemilu ternyata menempuh perubahan konstitusional radikal
secara diam-diam. Perubahan konstitusi ini dilakukan tanpa membentuk komisi konstitusi
atau konvensi dan tanpa banyak berkonsultasi dengan badan-badan masyarakat sipil atau
rakyat secara umum. Konstitusi hasil revisipun jelas-jelas merupakan kerjaan para politisi.

Kedua, urutan reformasi mendahulukan pemilu daripada perubahan konstitusi.


Dengan mempertimbangkan sejarah otoritarian Indonesia legitimasi pada suara rakyat
3
Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hlm. 144
4
Zainal Arifin Mochtar, “Negara Hukum Indonesia dan Problematikanya”, makalah disampaikan pada
kuliah umum pedana Magister Hukum UII, November 2015, hlm. 3
5
Donald Horowitz, Perubahan Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia, terjemahan dari Constitusional
Change and Democracy in Indonesia, alih bahasa: Daryanto, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014, hlm.
1-2
mungkin dipandang bisa memperkuat legislator yang baru terpilih sehingga membuat mereka
tidak berani mengembangkan demokrasi sepenuhnya liberal.

Ketiga, reformasi konstitusi dilakukan selama beberapa tahun. Salah satu dari empat
amandemen besar konstitusi disahkan pada Oktober 1999, sedangkan yang terakhir pada
Agustus 2002. Namun sebagian perubahan politik terpenting terkandung dalam peraturan
pemerintah tentang kepartaian, pemilu, struktur pemerintahan, dan pelimpahakan
kekuasaan/wewenang. Keempat amandemen ini dapat dipandang sebagai syarat-syarat
konstitusional yang tidak dibakukan dalam dokumen resmi sehingga bisa mengalami proses
amandemen lebih lanjut yang lebih ringan.

Rumusan Masalah

Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis menfokuskan diri pada dua
permasalahan, pertama, apa saja permasalahan negara hukum dan konstitusionalisme yang
timbul pasca amandemen UUD NRI 1945? Dan kedua, bagaimana mengatasinya agar
sejalan dengan semangat negara hukum dan konstitusionlisme Indonesia?

Tujuan Penulisan

Tulisan ini dibuat untuk mengetahuan permasalahan negara hukum dan


konstitusionalisme yang timbul pasca amandemen UUD NRI 1945 dan untuk memberikan
solusi mengatasinya agar sejalan dengan semangat negara hukum dan konstitusionalisme
Indonesia.

Pembahasan

Berangkat dari tiga faktor sebagaimana diuraikan dalam latar belakang, dapat
dikatakan bahwa perubahan konstitusi tidak dibarengi dengan desain dan cetak biru yang
tertata. Sehingga setelah UUD hasil perubahan berjalan kurang lebih 5 tahun, eksistensi
UUD 1945 kembali dipersoalkan. Konstitusi seakan menjadi “terdakwa” ditengah carut
marutnya kondisi bangsa. Berbagai ketimpangan dan kelemahan desain yang selama ini
dikhawatirkan oleh sejumlah kalangan, mulai bermunculan satu demi satu. 6

Masalah Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia

Bertolak dari pemahaman di atas, dapat dikatakan bahwa secara substansial


konstitusi Indonesia belum menyelesaikan beberapa hal. Dan disitulah lahir problem konsep
bagi negara hukum Indonesia dalam kaitannya dengan bengunan konstitusi. Pertama,

6
Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press, Jakarta 2008,
hlm.213-214
Indonesia dalam bidang eksekutif mengatur sistem presdiensial. Namun apabila dicermati
dalam konstitusi yang ada saat ini, sistem presidensial yang ada di Indonesia sangat kabur.
Hal ini tercermin dari beberapa kewenangan yang dimiliki oleh Presiden yang tidak sesuai
dengan sistem presidensial. Dalam hal ini termasuk peran presiden dalam legislasi yang
ternyata tidak mengikuti model bicameral yang selama ini dicita-citakan. 7

Sehingga dalam praktiknya dengan melihat kewenangan yang diberikan kepada


presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan yang seharusnya otoritas
kewenangannya lebih tinggi karena dijamin oleh sistem pemerintahan presidensial,
senyatanya presiden harus kerja lebih ekstra untuk menghadapi gejolak politik di tubuh
parlemen. Presiden dalam menjalankan kewenangannya tersandra oleh politikus-politikus di
Parlemen.8 Selain itu, perpaduan sistem presidensial dengan sistem multiparti juga menjadi
juga menjadi alasan terpuruknya siste presidensial di Indonesia. Scott Mainwaring dalam
penelitiannya mengungkapkan bahwa kombinasi antara presidensialisme dan sistem multi
partai yang terpecah belah tampak bertentangan dengan demokrasi yang stabil. Hal ini
disebabkan karena kombinasi ini mudah menimbulkan berbagai kesulitan dalam hubungan
antara presiden dan kongres.9

Kedua, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak memiliki


kedudukan yang seimbang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPD sebagai
perwakilan daerah dalam legislasi nasional hanya didesain setengah-setengah hal ini terlihat
dari pengebirian kewenangan DPD yang tidak dapat ikut dalam mengesahkan suatu
peraturan perundang-undangan meskipun rancanganan undang-undang tersebut merupakan
kepentingan daerah. Melalui konsep yang setengah-setengah ini check and balances
terhadap DPR tidak berjalan.

Sejak awal, kehadiran DPD sebagaimana termaktub dalam Pasal 22D Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945) tidaklah dirancang sebagai suatu
lembaga legislatif yang ideal. Secara sederhana, posisi DPD dapat dikatakan serba tanggung
sebagai sebuah lembaga yang dihadirkan dengan imaji besar. Ihwal fungsi legislasi,
misalnya, Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, DPD memiliki otoritas terbatas dengan
adanya frasa "dapat mengajukan" dan "ikut membahas" rancangan undang-undang (RUU)
yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Fungsi sub-ordinat DPD kian jelas karena
7
Zaenal Arifin, Negara Hukum….. Loc.Cit
8
M. Yasin al- Arif, “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen UUD 1945” Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 22, April 2015, hlm. 239-240
9
Scott Mainwaring, Presidensialisme di Amerika Latin, dalam Arend Lijpart, Sistem Pemerintahan
Parlementer dan Presidensial, diterjemahkan oleh Ibrahim R. dkk, Cet.1, Jakarta,
Rajawali Pers, 1995. hlm. 119-120
dalam desain besar pembahasan RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama, lembaga ini hanya diberi wewenang sempit, yaitu sebatas
memberikan pertimbangan.10

Ketiga, sebelum perubahan UUD 1945, MPR mempunyai kedudukan sebagai


lembaga tertinggi negara. Kepada lembaga MPR inilah Presiden, sebagai kepala negara dan
sekaligus kepala pemerintahan, tunduk dan bertanggungjawab. Dalam lembaga ini pula
kedaulatan rakyat Indonesia dianggap sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat itu.
Dari lembaga tertinggi MPR inilah mandat kekuasaan kenegaraan dibagi-bagikan kepada
lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, yang kedudukannya berada di bawahnya sesuai
prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal (distribution of power).11

Namun, sekarang setelah perubahan UUD 1945 tidak dikenal lagi lembaga tertinggi
negara. Pemangkasan wewenang MPR yang tidak lagi memilih presiden dan tidak
menetapkan GBHN sebagai wujud nyata dari kedaulatan rakyat yang tidak lagi dijalankan
oleh MPR. Sehingga Keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang ditempatkan
sama kedudukannya dengan lembaga negara lainnya seolah menjadi dilema ketatanegaraan
tersendiri. Di satu sisi ingin memberikan corak sistem bicameral namun disisi yang lain
dengan keberadaan MPR yang mempunyai fungsi melakukan perubahan UUD terdapat satu
cabang kekuasaan sebagai perwakilan rakyat. Sehingga terkesan menjadi trikameral.

Keempat, walaupun Komisi Yudisial KY diletakkan dalam BAB IX UUD 1945, tetapi
tidak termasuk sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Karena menurut ketentuan dalam
Pasal 24 ayat (1), “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan KY tidak
menyelenggarakan peradilan yang dimaksud.12

Keberadaan KY yang ditempatkan dalam BAB IX tentang kekuasaan kehakiman


tersebut menimbukan kerancuan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman itu sendiri.
Pasalnya KY tidak mempunyai fungsi dan wewenang dalam menjalankan kekuasaan
kehakiman seperti mengadakan sidang dalam suatu perkara tertentu. Disebutkan dalam
konstitusi bahwa KY hanya berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran

10
Saldi Isra, “Masa Depan DPD”, Opini Harian Kompas, 6 April 2017, hlm. 6
11
Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsoldasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta, Sinar
Grafika, Edisi Kedua, 2010, hlm. 124
12
NI’matul Huda, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
Yogyakarta, FH UII Press, 2011, hlm. 63
martabat serta perilaku hakim. Dengan kata lain KY berfungsi untuk mengawasi tindakan
hakim dalam rangka menjaga martabat dan keluhuran hakim.

Mengatasi Kerancuan Negara Hukum dan Konstitusionalisme Indonesia

Berpangkal tolak dari problematika negara hukum yang muncul dipermukaan pasca
dilakukannya amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali maka upaya yang dapat
dilakukan untuk menegakkan negara hukum dan konstitusionalisme adalah sebagai berikut:

Pertama, mempertegas sistem presidensial Indonesia. Gagasan mempertegas


sistem presidensial pada dasarnya merupakan salah satu agenda penting yang dirumuskan
PAH I dalam melakukan perubahan UUD 1945. Namun yang terjadi bukannya mempertegas
sistem presidensial malah cenderung ke arah parlementer. Beberapa indikasinya adalah
Presiden sebagai kepala pemerintahan masih dilibatkan dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, padalah dalam sistem presidensial kekuasaan eksekutif dan legislatif
seharusnya terpisah dan presiden tidak diberikan kewenangan untuk ikut campur dalam
proses legislasi. Selain itu, dianutnya sistem multipartai yang lazimnya hanya dapat
dipasangkan dengan sistem parlementer.

Untuk mempertegas sistem presidensial maka hal yang harus dilakukan adalah
kewenanangan legislasi hanya ditempatkan di badan legislasi seperti DPR dan DPD. Dalam
hal ini presiden tidak boleh ikut campur tangang di dalamnya, presiden hanya berhak
mengusulkan rancangan peraturan perundang-undangan tapi tidak berhak ikut
membahasnya. Namun setelah proses legislasi selesai dengan kesepakatan dalam lembaga
perwakilan tersebut naskah RUU yang sudah disepakati diberikan kepada presiden. Presiden
diberikan hak veto untuk menolak jikalau RUU tersebut merugikan kepentingan masyarakat
dan lekat dengan unsur muatan politis parlemen. Disinilah letak fungsi check and balances
antara eksekutif dan legislatif.

Selain itu, sistem presidensial tidak dapat dihadapkan dengan sistem multipartai.
Jika hal ini dipaksakan maka akan mengakibatkan instabilitas pemerintahan presidensial
karena kuatnya cengkraman politik di dalamnya. Oleh karenanya harus diatur sedemikian
rupa sehingga multipartai tersebut dapat disederhanakan. Salah satunya dengan melakukan
peningkatan presentase ambang batas pemilihan, baik parliamentary threshold maupun
electoral threshold.

Kedua, dalam rangka menata lembaga legislatif maka perlu dilakukannya


pembentukan strong bicameral. Agar terbentuk strong bicameral maka DPD sebagai
perwakilan daerah harus ditempatkan sebagai senate seperti di Amerika.DPD harus
mempunyai fungsi dan kewenangan yang sama dengan DPR dalam proses legislasi
nasional. DPD tidak hanya mengusulkan RUU kepada DPR dan ikut membahas pada
pembicaraan tingkat 1 (satu) saja tetapi juga turut andil dalam pembicaraan tingkat 2 (dua)
yaitu dalam proses pengesahan. Sehingga dengan kedudukan yang seimbang ini maka akan
tercipta check and balances yang efektif.

Ketiga, Kemudian dimana letak MPR dalam konsep ini?, karena MPR sebagaimana
disebutkan dalam konstitusi Pasal 2 ayat (1) terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih
melalui pemilihan umum, maka seyogyanya MPR hanya sebagai joint session yaitu
pertemuan antara DPR dan DPD dalam hal tertentu saja. Sehingga MPR bukan lagi lembaga
tinggi melainkan terjadi hanya jika dilakukannya pertemuan anggota DPR dan DPD untuk
membahas perubahan UUD 1945.

Keempat, melihat kewenangan Komisis Yudisal (KY) yang tertuang dalam UUD 1945
yang memiliki wewenang dalam mengusulkan pengangkatan hakim agung dan pengasawan
terhadap hakim dalam rangka menjaga martabat hakim tidak tepat jika ditempatkan dalam
BAB kekuasaan kehakiman. Sehingga KY harus dipisahkan dari bab tersebut daan dibuat
bab tesendiri tentang Komisi Negara. Pembantukan bab tersebut akan memperjelas susunan
kelembagaan negara dalam konsep negara hukum.

Penutup

Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan


bahwa pertama, kendati sudah mengalami perubahan sebanyak empat tahap, konstitusi hasil
amandemen belum sejalan dengan konsep bagi negara hukum Indonesia dalam kaitannya
dengan bengunan konstitusi. Hal ini terlihat dalam beberapa hal, seperti kesepakatan untuk
menggunakan sistem presidensial namun presiden masih dilibatkan untuk membentuk
peraturan perundang-undangan yang sejatinya adalah domain DPR. Selain itu konsep
kelembagaan negara yang cacat, seperti DPD yang sedari awal hanya dirancang secara
setengah-setengah, lembaga MPR yang tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara
melainkan hanya sejajar dengan lembega tinggi lainnya dan KY yang diposisikan dalam BAB
IX UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman tetapi tidak menjalankan proses peradilan.

Kedua, dalam rangka mengatasi problematika yang muncul, maka ditetapkan


langkah-langkah sebagai berikut, sistem presdiensial harus dipertegas menghilangkan
keterlibatan presiden dalam membentuk dan membahas undang-undang, presiden hanya
berhak mengusulkan rancangan undang-undang sedangkan pembahasan adalah DPR dan
DPD. Selain itu sistem presidensial harus dipasangkan dengan sistem multi partai
sederhana, akan lebih baik jika dengan dwipartai. Kemudian penataan lembaga negara
harus diperbaiki dengan menempatkan DPD sebagai senate dengan diberikan kewenangan
dan fungsi yang seimbang dengan DPR, sehingga check and balances berjalan. Karena
DPD mempunyai kedudukan yang seimbang dengan DPR maka MPR dikontruksi sebagai
forum joint session. Selanjutnya KY sebagai komisi harus didudukan diluar BAB kekuasaan
kehakiman dan dibentuk BAB tentang komisi negara dengan kewenangan yang tetap sama
yaitu mengawasi hakim dalam rangkan menjaga martabat hakim.

Daftar Pustaka

Ashiddiqie, Jimly, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat


Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
_____________, Perkembangan dan Konsoldasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Jakarta, Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2010.
al- Arif, M. Yasin, “Anomali Sistem Pemerintahan Presidensial Pasca Amandemen
UUD 1945” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, No. 2, Vol. 22, April 2015.

Horowitz, Donald, Perubahan Konstitusi dan Demokrasi di Indonesia, terjemahan


dari Constitusional Change and Democracy in Indonesia, alih bahasa: Daryanto,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2014.

Huda, Ni’matul, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Press,
Jakarta 2008.

______________, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan Mahkamah


Konstitusi, Yogyakarta, FH UII Press, 2011.

Isra, Saldi “Masa Depan DPD”, Opini Harian Kompas, 6 April 2017
Mochtar, Zainal Arifin,”Negara Hukum Indonesia dan Problematikanya”, makalah
disampaikan pada kuliah umum pedana Magister Hukum UII, November 2015.
Mainwaring, Scott, Presidensialisme di Amerika Latin, dalam Arend Lijpart, Sistem
Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, diterjemahkan oleh Ibrahim R.
dkk, Cet.1, Jakarta, Rajawali Pers, 1995.

You might also like