You are on page 1of 15

M.

Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

PENGARUH PERADABAN ISLAM DI PAPUA

M. Irfan Mahmud
(Balai Arkeologi Jayapura)

Research on Islamic civilization in Papua has been implemented since 1996.


Starting with limited exploration in the area of ​​Raja Ampat Sorong regency.
Then proceed in Fak-Fak regency and Kaimana. Study conducted found
that the influence of Islamic civilization was stimulated by trade dynamics,
especially the Islamic empire in the Moluccas, the Kingdom of Ternate and
Tidore. In its development, the kingdom of Tidore absolute power and give a
big hand in the formation of Islamic civilization color via satellite countries in
the Bird’s Head region along the surrounding islands to colonial entered. Many
archaeological remains indication, other than oral sources and the tradition
continues. Archaeological remains were found, including the mosques, tombs,
pottery, ceramics, religious symbols, and ancient manuscripts. This paper will
focus the discussion on three things: (1) a review of Islamic civilization studies
conducted Jayapura Archeology, particularly the constraints and problems
that still contain the debate to date, (2) the elements of Islamic civilization
are essential, such as cultural character and government (petuanan), network
scholars, and elements of material culture, and tradition, (3) Islamic cultural
traditions inherited colored Muslim communities in certain pockets on the
coast. Thirdly it is expected to provide information and research results that
will be developed within the framework of the Islamic era in Papua theme.

Key words: Islamic influence, Islam Cultural, Papua

Latar Belakang

Kerajaan-kerajaan (petuanan) di Papua dalam konteks jaringan Islamisasi dan


perdagangan, tampak sebagai halaman belakang dengan meletakkan wilayah Aceh sebagai
serambinya. Posisi di halaman belakang menjadikan kajian terhadap kerajaan-kerajaan
(petuanan) di Papua sering belum mendapat tempat dan perhatian para ilmuan. Padahal,

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 27


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

sumber lisan dan data arkeologis dari wilayah Papua juga masih ada yang tersimpan.
Karenanya, telaah arkeologis dalam hubungan dengan jaringan dakwah, perdagangan
antarwilayah, akulturasi dan asimilasi budaya, dan toleransi yang tumbuh dalam
masyarakatnya dapat memberi tambahan data sejarah peradaban Islam di Nusantara.
Pengaruh peradaban Islam di Papua merupakan bagian dari suatu rangkaian proses
panjang perjalanan Islam di Nusantara selama lima belas abad hingga sekarang. Para
sejarawan muslim telah menyepakati bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada
abad sejak abad VII dan VIII Masehi, ditandai dengan tumbuhnya pemukiman muslim di
pesisir utara Sumatera. Masa selanjutnya tumbuh Kerajaan Perlak (Aceh) sebagai negeri
Islam pertama di Indonesia pada tahun 840.
Setelah Kerajaan Perlak, berturut-turut muncul Kerajaan Islam Samudera Pasai (1042),
Kerajaan Islam Aceh (1025), Kerajaan Islam Benua Tamiyyah (1184), Kerajaan Islam
Darussalam (1511)1. Pada periode kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai, Agama Islam
berkembang pesat dengan mengambil peran aktif sebagai pusat
pendidikan Islam di Asia Tenggara. Saat itu dalam pengembangan pendidikan Islam
mendapatkan dukungan dari pimpinan kerajaan, sultan, uleebalang, panglima sagi dan
seluruh unsur-unsur kerajaan lainnya.
Berbeda dengan wilayah serambi dan wilayah lain di Indonesia, persoalan kapan
kehadiran pengaruh peradaban Islam di Papua sampai saat ini belum dapat ditentukan
dengan bukti dan penjelasan ilmiah yang memadai. Sejumlah seminar yang pernah
digelar seperti di Aceh pada tahun 1994, di Kabupaten Fak-Fak dan di Jayapura pada
tahun 1997, juga belum dapat menetapkan dengan tepat. Persoalan lain yang belum
mendapat penjelasan memadai terkait dengan dari mana saja asal-usul mubaligh yang
datang ke Papua, selain dari Maluku? Bagaimana karakteristik budaya Islam yang
diterima masyarakat Papua? Demikian pula bukti-bukti sejarah dan arkeologis kehadiran
pengaruh peradaban Islam di Papua memiliki kaitan dengan perdagangan dan kekuasaan
sultan-sultan Maluku, masih membutuhkan rekonstruksi lebih lanjut.

1 Berkaitan dengan dinamika perkembangan islamisasi dan tumbuhnya kerajaan Islam di Nusantara dapat ditelusuri lebih lanjut
pada karangan Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh (1995);Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (1999); De Graaf & TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa (2001); Musyrifah Sunanto, Sejarah Per-
adaban Islam Indonesia (2005); dan Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara (2010).

28 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Kerangka Pemikiran

Nusantara pra-kolonial --- secara tradisional disebut “negeri di bawah angin”


(the lands below the wind). Sejarah awal masuknya Islam di Nusantara, ditandai dengan
banyak ilustrasi yang memperlihatkan karakternya yang terkait erat dengan integrasi
Islam, perdagangan, dan politik (Burhanudin, 2012: 17). Karena
itu, kapan Islam terintegrasi dengan masyarakat lokal, jaringan perdagangan, dan
tumbuhnya kekuasaan raja-raja muslim dalam bentuk kerajaan menjadi studi yang penting
dalam mengkaji pengaruh karakter peradaban Islam di suatu wilayah.
Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi dan perdebatan
panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah pokok: tempat asal kedatangan Islam,
para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang
berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena
kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi juga sering terjadi
karena sifat sepihak dari berbagai teori yang ada.
Taufiq Abdullah (1987) menyatakan bahwa terdapat tiga konsep tentang masuknya
agama Islam ke suatu daerah, yaitu: (1) datang, yang dinyatakan dengan adanya bekas
peninggalan Islam di kawasan yang bersangkutan; (2) berkembang, yang dinyatakan
dengan adanya masjid, pusat-pusat pendidikan dan komunitas dan sarana keagamaan
lainnya; (3) kekuasaan politik, dengan munculnya kekuasaan kerajaan tersebut. Dari
sudut pandang Taufiq Abdullah, petuanan di wilayah Kepala Burung Papua dapat dikaji
dalam konteks penerimaan, pengembangan, dan tatanan politik yang legitimate.
Menurut Wertheim, prinsip egalitarianisme dalam Islam --- tidak seperti sistem
kasta dalam Hindu-Budha --- membentuk solidaritas sosial yang kuat di antara para
pedagang, dan membuka jalan bagi integrasi mereka ke dalam berbagai komunitas lokal
(Burhanudin, 2012: 19). Dengan penaklukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511
memberi jalan bagi keterlibatan Aceh dan wilayah pesisir Jawa dalam perdagangan jarak
jauh pada abad XVI. Di bagian Timur Jawa, Giri-Gresik muncul sebagai pelabuhan
penting yang mencapai kemajuannya pada masa pemerintahan Sunan Prapen (±1548 –
1605) dan menjadi pusat Islamisasi di wilayah timur Nusantara. Giri-Gresik memberi
pengaruh kuat ke wilayah Lombok di Nusa Tenggara, Makassar di Sulawesi Selatan,
dan Hitu di Maluku (Burhanudin, 2012: 20). Pengaruh Giri-Gresik ini dapat ditemukan
buktinya dalam bentuk ragam aspek peradaban, seperti arsitektur, ajaran, dan tatanan
keagamaan lainnya.

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 29


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Dalam konteks Papua, asal-usul para ulama yang datang juga tidak dapat dilepaskan
dari jaringan yang telah terbentuk sebelumnya di Lombok, Makassar, dan Hitu (Maluku).
Peran ulama lokal dan Arab juga tidak dapat disanksikan. Ulama dalam proses kulturasi
memainkan peran sebagai “pialang budaya” (cultural broker) yang berkontribusi pada
pembentukan kehidupan sosial dan keagamaan umat Islam. Mereka mendirikan pesantren
dan tarekat, memimpin praktik-praktik keagamaan di tengah masyarakat (Burhanudin,
2012: 74-75).
Diketahui bahwa mencari keuntungan ekonomi merupakan alasan utama bagi
orang-orang Arab, khususnya komunitas Hadramaut2 bermigrasi ke Nusantara. Dari sensus
1885, jumlah imigran Arab di Nusantara mencapai 20.501; 10.888 bermukim di Jawa dan
Madura, sementara sisanya, 9.613 tinggal di pulau-pulau di luar Jawa (Burhanudin, 2012:
101-102). Tidak mustahil, beberapa orang diantara dapat mencapai pulau-pulau di ujung
timur, sampai daratan pantai baratdaya Papua berserta pulau-pulau di wilayah Kepala
Burung.
Memasuki abad XIX teknologi percetakan telah digunakan para ulama muslim
di Nusantara mengenalkan ajaran Islam (Burhanudin, 2012: 123). Teknologi cetak atau
litografi telah memproduksi kitab-kitab yang tersebar juga ke berbagai wilayah Nusantara
sampai Papua. Kitab-kitab tersebut penting ditelusuri sumbernya.
Tampaknya, kedatangan dan pengaruh peradaban Islam di Papua tidak dapat
dilepaskan dengan perkembangan perdagangan. Meskipun demikian, kapan Islam
membentuk koloni awal memerlukan pembuktian arkeologis. Dalam perkembangannya,
hibrida Arab dan muslim Nusantara memegang peranan penting dalam pembentukan
peradaban Islam di Papua. Aspek-aspek peradaban yang dipengaruhi Islam, mulai dari
aspek pemerintahan, arsitektur, perdangangan, sampai kesenian. Aspek-aspek pengaruh
peradaban Islam itulah yang akan menjadi pusat perhatian dalam beberapa penelitian
Balai Arkeologi Jayapura dan akan di gambarkan dalam tulisan ini. Semua data yang
dikembangkan dalam tulisan ini diperoleh dengan metode yang lazim dalam penelitian
arkeologi, berupa survei (arkeologis dan wawancara) serta telaah pustaka.

2 Hadramaut daerah utama asal Orang Arab yang datang dan bermukim di Nusantara. Daerah ini pada peta bumi meliputi seluruh
pantai Arab Selatan, sejak Aden hingga Tanjung Rās al-Hadd. Bagi orang Arab di Nusantara, pengertian wilayah Hadramaut
hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, artinya pantai di antara desa-desa nelayan Ain Bāma’bad dan Saihũt, beserta daerah
pegunungan yang berada di belakangnya (Berg, 2010: 13).

30 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Awal Pengaruh Peradaban Islam

Pengaruh peradaban Islam di Papua tidak dapat dilepaskan dari jaringan yang
telah terbentuk dan berkembang pada masa sebelumnya. Sejak awal abad VII Masehi,
Papua yang kala itu dikenal dengan Janggi, telah memiliki kontak dengan Kerajaan
Maritim Sriwijaya. Tercatat, duta Kerajaan Sriwijaya membawa burung khas Papua
untuk cenderamata Kaisar Cina. Musafir Cina bernama Chau Yu Kua pada abad XIII
juga mencatat daerah Tung-ki atau Janggi atau Papua sebagai bagian dari wilayah suatu
kerajaan di sekitar Maluku (Prasetyo, 2011: 75-76).
Setelah Sriwijaya, diketahui muncul kekuasaan Kerajaan Majapahit yang memilik
pengaruh sampai seluruh wilayah Nusantara, termasuk Papua. Beberapa daerah di
kawasan tersebut bahkan disebut-sebut dalam kitab Negarakertagama sebagai wilayah
yurisdiksinya. Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai berikut:
“Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah
lawan tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i
bantayan pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang
sanusapupul”.
“Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni Ggaliyao
mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan
Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka
nusatutur”.

Dari keterangan yang diperoleh dari kitab klasik Nagarakertagama karangan


Mpu Prapanca (1365), sejumlah ahli linguistik berkesimpulan bahwa yang dimaksud
“Ewanin” adalah nama lain untuk daerah “Onin” dan “Sran” adalah nama lain untuk
“Kowiai”3. Semua tempat itu berada di Kabupaten Fak-Fak sekarang. Dari data tersebut
menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah
termasuk wilayah yang memiliki hubungan dengan Majapahit.
Seiring memudarnya pengaruh Majapahit, Islam menyebar melalui jalar
perdagangan Nusantara. Dari catatan-catatan yang ada menunjukkan bahwa kontak
pedagang muslim dengan Papua dapat diduga tidak lama setelah terbukanya jaringan
pelayaran ke Maluku, sekitar abad XV – XVI Masehi. Hal ini ditandai dengan adanya
3 Pandangan yang sama dapat dibaca dalam tulisan Bagyo Prasetyo, “Budaya Pantai dan pedalaman Masa Prasejarah di Papua”
(2011:76)

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 31


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

penemuan sejumlah keramik Ming periode abad XIV-XVI Masehi sebagai bekal kubur
pada ceruk/gua di situs Tomolol (Raja Ampat), penguburan ceruk pada pantai Kampung
Tua Furir (Fak-Fak). Kelihatannya, awal kontak dengan Papua, murni dagang dan belum
menunjukkan adanya bukti hunian muslim pada periode tersebut. Jadi pada kontak awal
pada sekitar abad XVI, Islam di Papua baru dapat dikategorikan datang dengan merujuk
konsep yang diajukan Taufik Abdullah (1987).
Sejak memasuki abad XVII Masehi, kerajaan lokal Maluku mulai menunjukkan jati-
dirinya dalam konteks politik, ekonomi dan militer untuk bersaing dengan para petualang/
pedagang bangsa Eropa, terutama Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini memiliki
pandangan politik ekspansionis yang pada dasarnya didorong oleh keinginan menguasai
sumber daya alam (ekonomi/perdagangan), bukan politik dan militer. Ekspansi Ternate
ke barat Maluku, sedangkan Tidore ke Timur sampai menguasai Kepulauan Raja Ampat,
kemudian Papua Daratan dan menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai vassalnya
(Amal, 2010: 11). Raja Tidore Sultan Saifuddin bahkan berhasil memperoleh legitimasi
yuridis dan praktis atas daerah seberang laut Tidore dengan “menukar” hak monopoli atas
cengkeh dengan pengakuan dari petinggi VOC di Batavia terhadap Kepulauan Raja Ampat
dan Papua Daratan pada tanggal 28 Maret 1667 di Batavia (Amal, 2010: 177). Dengan
pengakuan yang diperoleh Sultan Tidore memungkinkannya mengangkat perwakilan raja
di wilayah Papua, sehingga memungkinkan pengaruh Islam memasuki fase berkembang.
Pada fase pengaruh Islam berkembang, nampak mulai terbentuk koloni-koloni di
peisisir baratdaya dan pulau-pulau yang menjadi satelit kesultanan atas kebijakan politik
dan dagangnya. Hal ini ditandai dngan meningkatnya jumlah barang mewah di situs-
situs pusat petuanan muslim di Papua, terutama keramik Ching (Abad XVII-XVIII).
Meskipun demikian, pengaruh Islam tetap tidak dipaksakan kepada komunitas lokal, dan
berkembang seara damai serta penuh toleransi. Berdasarkan keterangan di atas jelaslah
bahwa, masuknya Islam ke Papua, berkaitan dengan tumbuhnya jalur dan hubungan
perdagangan dengan daerah lain di Indonesia. Faktor utama tentu pengaruh kekuasaan
kerajaan muslim di Maluku, terutama Tidore yang melakukan ekspansi politik.
Kedatangan Islam di tanah Papua, dalam konteks dagang murni mungkin tidak
lama berselang setelah tumbuhnya jalur perdagangan ke Maluku. Tetapi kedatangan
pedagang muslim mungkin masih bersifat perorangan. Mulai tumbuhnya komunitas
muslim, bisa bersamaan dengan makin kuatnya kekuasaan Tidore di Papua dengan
mengirim utusan atau mengangkat pejabat lokal. Dalam survei yang dilakukan pada

32 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

pusat-pusat pemukiman muslim di pantai Barat Daya papua, secara relatif dapat diduga
bahwa kolonisasi muslim sudah mulai terbentuk pada abad XVII dan menjadi mapan
pada abad XVIII ditandai dengan terbntuknya petuanan muslim di Raja Ampat, Fak-
Fak dan Kaimana. Oleh karena, semua pusat-pusat kerajaan dan pemukiman muslim
cenderung didominasi keramik Ching (XVII-XVIII), bahkan populasi keramik Eropa pada
bagian koloni tertentu jumlahnya lebih banyak dari keramik Ming. Tingginya populasi
keramik Eropa dari Ming, tentu berkaitan dengan pusat peradaban muslim yang dibentuk
pemerintah Belanda pada masa berikutnya untuk membangun keseimbangan politik dengan
pusat kerajaan lama yang sudah mapan. Kasus seperti ini ditemukan di situs Waigama
yang tampak merupakan “pemerintahan tandingan” pusat kerajaan Misool di Lilinta
(Raja Ampat).

Pengaruh Peradaban Islam

Pengaruh Islam yang masuk ke wilayah Papua, khususnya kawasan Kepala


Burung, awalnya dibawa oleh para pedagang muslim. Setelah itu menyusul para da’i dari
beberapa wilayah Nusantara. Pada perkembangan selanjutnya, Papua tidak sebagaimana
wilayah lain didatangi oleh para sufi mengajarkan ajarannya. Karena itu Papua tidak
ditemukan keragaman ajaran. Pengaruh nyata peradaban Islam dapat dilihat dari sistem
pemerintahan, pajak (upeti), dagang, jaringan dagang dan ulama, serta kesenian.
Sistem pemerintahan (petuanan). Dengan kedatangan Islam, masyarakat Papua
dikenalkan sistem pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja. Para raja memiliki
pembantu dengan gelar yang sama dengan pemerintahan kerajaan di Maluku (Tidore dan
Ternate), yaitu mayor dan sangaji. Di Raja Ampat, pejabat mayor dibantu oleh seorang
pejabat sawoi, sementara sangaji dibantu pejabat yang dinamakan marino. Selain
keempat pejabat tersebut, di wilayah Fafanlap (Misool-Raja Ampat) diangkat pula pejabat
kapitan. Dalam urusan agama, juga dikenal pejabat qadi terutama di pusat-pusat kerajaan.
Tampak, peran qadi di Papua (Raja Ampat, Fak-Fak dan Kaimana) masa lalu sama
dengan di Hadramaut, daerah yang banyak mempengaruhi ajaran muslim di Indonesia.
Di Hadramaut, para qadi memiliki kekuasaan peradilan perdata dan pidana pada perkara
perkawinan dan perkara lain yang berkaitan dengan hukum keluarga berdasarkan kitab
hukum mazhab Syafi’i (Berg, 2010: 43).

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 33


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Di Pulau Misool, Raja Ampat, kapitan laut, harus keturunan dari Tidore. Di
Fafanlap (Misool), Kapitan Laut bertugas mengumpulkan upeti untuk dibawa ke Sultan
Tidore. Dalam menjalankan tugasnya, kapitan laut di Fafanlap dibantu sangaji dalam
urusan pemerintahan, marinyo bertugas sebagai penyampai informasi, sedangkan sawoi
bertugas sebagai penjaga rumah/ pos kapitan. Dengan adanya sistem pemerintahan,
wilayah-wilayah bawahan akan memenuhi kewajiban dan memberi upeti kepada raja.
Sebagai bentuk tunduk dan patuh pada raja, orang Bigai misalnya, jika lewat di pusat
pemerintahan Lilinta akan menurunkan layar sebagai tanda hormat.
Pajak (sistem upeti). Hubungan kekuasaan pemerintahan antara Kerajaan Tidore
dengan kerajaan–kerajaan kekuasaannya, ditandai dengan kewajiban membayar pajak
setiap tahunnya yang sebelumnya belum dikenal dalam masyarakat Papua. Upeti
dikenalkan pemerintahan kesultanan dalam hubungan dengan perlindungan Kerajaan
Tidore. Upeti yang disampaikan ke Sultan Tidore setahun sekali berupa apa saja yang
dihasilkan oleh penduduk, seperti kulit penyu, burung kuning, pala, dan lain-lain. Upeti
yang sudah dikumpulkan dibawa para kapitan laut kepada Sultan Tidore dengan perahu
khusus. Perahu khusus yang membawa upeti Kapitan Fafanlap bernama “kaloinnya”
(=daun terbang), perahu Kapitan Sailolof dinamakan mancun, dan perahu Kapitan
Salawati bernama hairan.
Upeti yang dari suatu wilayah petuanan dibawa secara bersama sebagai refleksi
kebersamaan para kapitan dalam menjalankan amanah yang diembannya dari sultan.
Kapitan dari Misool membawa upeti menuju Sailolof. Lalu Kapitan Fafanlap dan Sailolof
bersama-sama menuju ke Salawati. Dari Salawati, rombongan pembawa upeti dipimpin
Kapitan Sailolof menuju Sangaji Gebe, kemudian menuju ke Sangaji Patani (Halmahera)
dan sekaligus memimpin perjalanan menuju ke istana Tidore.
Aspek kepercayaan. Pengaruh ajaran Islam di Papua, sangat sedikit bisa ditelusuri.
Beberapa bukti yang bisa ditemukan di Fak-Fak, berupa Kitab Al-Qur’an yang dicetak
pada tahun 1891 milik keluarga Raja Ati-Ati. Di wilayah Teluk Patippi juga ditemukan
Al-Qur’an yang tampak lebih tua yang tidak berangka tahun, isinya nash nya ditulis pada
bahan kulit kayu dengan sampul dari bahan kulit binatang.
Di Raja Ampat, menurut imam masjid Darussalam Lilinta, bahwa ajaran agama
Islam yang dibawa para muballigh beraliran Syafi’i. Sebagai penganut Syafi’i, khatib pada
saat naik mimbar mengikuti tata adab mazhab tersebut. Khatib pada saat naik mimbar
harus menginjakkan kaki langsung pada anak tangga kedua, setelah selesai khutbah

34 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

untuk kembali ke shaf baru menginjak anak tangga pertama. Anak tangga mimbar ke
3 digunakan untuk berdiri, sedangkan anak tangga ke-4 digunakan khatib untuk duduk,
sementara anak tangga ke-5 difungsikan sebagai sandaran. Kelima undakan mimbar
merefleksikan simbol rukun Islam.
Bagi jamaah di Masjid Darussalam situs Lilinta, azan dilakukan di pusat masjid,
tepat di bawah kubah, sehingga nampak diapit oleh empat tiang di semua sisinya. Laku
azan ini bagi mereka bermakna “alif”.
Di situs Kampung Gamta juga ditemukan batu tempat bersumpah. Batu tempat
bersumpah dari jenis batuan pasir, berbentuk persegi panjang. Menurut Bapak Bakan
Al Kadri (Wawancara, 7 April 2012), penduduk Kampung Gamta, dahulu orang yang
bersumpah akan berdiri di atas batu sambil memegang kerang terompet (tapyu)4. Jika
yang bersumpah salah atau berbohong akan mati. Batu sumpah mengingatkan kita pada,
batu penyumpahan raja di beberapa pusat Islam di Jawa dan Sulawesi, seperti Banten,
Gowa, Soppeng, dan Luwu. Bersumpah di atas batu belum pernah ditemukan dalam
tradisi suku-suku asli Papua.
Aspek arsitektur. Arsitektur Masjid Darussalam yang sekarang telah berubah
setelah renovasi pada tahun 1978. Para informan masih mengingat bahwa arsitektur
atap mesjid Darussalam yang lama berbentuk undakan atau tumpang bersusun dua,
sebagaimana kebanyakan mesjid di Jawa. Oleh karena dibangun di atas lahan rawa
pantai, masjid dibangun berbentuk panggung, dengan tiang dua meter dari atas muka
tanah. Masjid lama berdenah bujur sangkar tanpa serambi, dengan luas 12 x 12 m².
Masjid Fafanlap memiliki arsitektur yang sama dengan masjid Darussalam Lilinta,
namun bentuk asli juga sudah hilang sama sekali. Menurut Kaidat Soltif (88 tahun),
masjid Fafanlap telah berusia tidak kurang 200 tahun, dan telah empat kali mengalami
renovasi. Masjid-masjid sejenis juga ditemukan di sejumlah pemukiman muslim di Fak-
Fak dan Kaimana.
Di Distrik Fak-Fak Kota dan di Kampung Werpigan terdapat bekas lokasi masjid
yang sekarang sudah dipugar tanpa menyisakan bentuk aslinya. Menurut sumber lokal di
Fak-Fak, kedua masjid berada di pusat Kerajaan Fatagar dan Patippi berbentuk persegi
dengan atap tumpang dua sebagaimana masjid di Papua pada umumnya. Masjid di
Werpigan dibangun sudah dengan konstuksi tembok oleh Raja Patippi IX pada tahun
1931, sedangkan masjid Fatagar lebih tua dengan konstruksi kayu. Lokasi masjid
4 Tapyu Kaut dahulu digunakan penduduk Raja Ampat untuk memanggil orang yang hilang di hutan.

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 35


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Kerajaan Fatagar berada di punggung bukit sebelah utara istana raja. Dahulu sebelum
pemerintahan Belanda, diantara masjid dan istana Raja Fatagar ada ruang kosong yang
kemungkinan dahulu berfungsi sebagai alun-alun.
Jaringan Perdagangan dan Ulama. Dengan politik kontrol yang ketat di bidang
perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Tidore ditemukan di Raja Ampat, Sorong,
sekitar Fak-Fak dan wilayah Kaimana. Pedagang Arab yang menjangkau Papua sangat
minim. Komunitas pedagang Arab di Misool misalnya hanya ditemukan bermukim di
situs Kampung Usaha Baru yang orang-orang Misool Selatan kenal dengan Kampung
Tua Kapopof. Penemuan situs penguburan komunitas Arab di atas bukit rendah Kampung
Tua Kapopof dalam jumlah banyak dalam areal ± 1800 m² membuktikan bahwa mereka
telah membentuk kelompok pemukiman yang di masa kemudian sangat berpengaruh.
Dalam Areal pemakaman tersebut masih ditemukan enam buah makam yang tampak
“cukup mewah” di masa lalu, berjajar timur-barat yang menunjukkan mereka merupakan
saudagar kaya dan tokoh agama. Penemuan ini, menegasi pendapat Berg (2010: 110),
bahwa “di wilayah Nusantara sebelah timur Ambon dan Banda, bangsa Arab belum
membentuk kelompok, meskipun kapal-kapal mereka melaju hingga Guinea Baru (Irian)
dan mengunjungi Kepulauan Sulu serta Filipina.”
Kehadiran pedagang Arab dibuktikan dengan penemuan makam para sayyid dan
kompleks yang berpagar batu di situs Kampung Usaha Baru. Makam para sayyid menurut
penduduk berasal dari Hadramaut. Makam dibangun semacam subasemen yang terbuat
dari batu potong yang disusun tanpa bahan perekat. Penggunaan batu potong sudah
mereka kenal di negeri asal, Hadramaut, sebagai subasemen rumah (Berg: 2010: 62).
Kehadiran para pedagang muslim di Papua, khususnya di Misool telah memperkenalkan
pula sistem perkebunan. Seorang keturunan Arab berasal dari Hadramaut (Yaman)
bernama Salim Bafadal pernah membuka kebun kelapa di Misool5. Di daerah asalnya,
keturunan Bafadal termasuk golongan menengah bergelar syekh yang selain bekerja
sebagai pedagang, juga ada berprofesi sebagai petani dan pengrajin (Berg, 2010: 38).
Mereka dari keluarga Bafadal juga dikenal ahli hokum dan teologi terkenal (Berg, 2010:
40). Kelihatannya, saudagar Arab mudah diterima masyarakat lokal karena meskipun
mereka taat menjalankan agama, tetapi tidak menyebarkan agamanya dengan cara paksa
atau fanatik (Berg, 2010: xiv). Sejak dahulu para pedagang datang ke Raja Ampat, Fak-
5 Menanam kelapa sudah lazim bagi Orang Arab Hadramaut. Mereka sudah mengenal cara berkebun kelapa (nārjĩl) di daerah
asalnya, dan mengembangkan di perantauan, seperti di Singapura, sejumlah orang Arab juga memiliki perkebunan kelapa yang
luas (Berg, 2010: 136).

36 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Fak dan Kaimana mencari kulit penyu (fenunuf), teripang (te), damar (kisi atau hiro),
dan kopra (nu).
Pedagang Arab mendapat jalan ke Papua, lewat jalur Kesultanan Islam Tidore dan
Bacan (Prasetyo, 2011: 76). Mereka mendapat sambutan atau bahkan kalangan ulama
diundang para sultan guna mengajarkan dan menjaga fungsi hukum Islam yang dengan
itu akan meningkatkan reputasi istana. Bisa jadi ketika tekanan Portugis dan VOC yang
semakin kuat di Maluku, mereka mencoba mengeksplorasi wilayah Kepala Burung Papua
untuk mempertahankan eksistensinya dalam perdagangan. Sayang tidak seperti Aceh
yang dapat membentuk ranah sosial cultural cosmopolitan atau sebagai “Islamicate”.
Marshall Hudgson (1977) dalam buku The Venture of Islam, The Classical Age of Islam
Jilid I menggunakan terminology ‘Islamicate’. Untuk mendefinisikan sesuatu yang
tidak merujuk langsung kepada agama Islam, tetapi kepada sebuah kompleks sosial dan
kultural yang secara historis diasosiasikan dengan Islam dan kaum Muslimin, yang dapat
ditemukan baik di antara kaum Muslimin maupun non-Muslim (Alatas, 2010: xxxi).
Orang-orang Bacan, Bugis dan Buton yang datang ke Papua, sebagaimana ditemukan
di Misool, pada awalnya didorong oleh kepentingan dagang. Mereka datang membawa
barang dagangan, setelah lama bermukim, lalu mengajarkan berladang padi serta
juga mengajarkan kitab kuning di masjid. Masjid dan pendidikan tampak terintegrasi
dalam pembudayaan Islam di Papua. Dalam perkembangannya, keterbatasan sumber
daya manusia telah mereka atasi berkat tumbuhnya percetakan. Di Kampung Fafanlap,
mereka masih memiliki dan mengunakan kitab khutbah Jumat yang dicetak di Johor,
menggunakan bahasa Arab-Melayu (Pegon).
Sebelumnya, asumsi yang berkembang bahwa jaringan ulama yang datang ke Papua
berasal dari Maluku dan Arab. Tetapi bukti arkeologis menunjukkan juga kehadiran para
dai dari Bugis dalam periode akhir abad XIX dan awal abad XX. Di situs Lilinta, tepatnya
di Bukit Setlol (=teluk kecil), ditemukan makam dai Bugis berasal dari Wajo bernama
Solehuddin Waju dan orang Bone bernama Bodalle. Meskipun telah meninggalkan
kampung halaman, mereka membawa ciri identitasnya yang terefleksikan dari bentuk
nisan dan motif yang diterapkan pada nisan mereka. Makam Bodalle misalnya, berbentuk
pegangan pedang yang di Bugis digunakan pada makam mereka yang berperan sebagai
ahli hukum agama.
Aktivitas orang Bugis dan Buton ke Papua dalam aspek perdagangan dan jaringan
ulama merupakan dampak dari keberhasilan para sayyid Arab Hadramaut dalam jalinan

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 37


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

kekekrabatan lokal. Bisa jadi mereka merupakan hasil hibrida yang dikemukakan oleh
Alatas (2010: xxxiii). Kemungkinan proses hibrida Arab, dengan Bugis dan Buton makin
kuat setelah bermukim bersama dalam satu koloni yang dipimpin orang Arab di Ternate6.
Di bidang kesenian, pengaruh Islam pada masyarakat Papua nampak dari
dikenalkannya sistem kaligrafi, seni ukir kayu, dan musik “Arababo” (gambus). Kaligrafi
dituangkan pada nisan kubur para muslim untuk memberi informasi nama, garis
keturunan, tanggal lahir dan wafat seseorang. Selain itu, identitas diri juga ditemukan
inskripsi Allah, Muhammad, dan syahadat. Tradisi kaligrafi telah melahirkan seniman
yang sampai sekarang masih hidup pada beberapa orang, seperti Bapak Husen Umbalak
di Kampung Fafanlap dan Bapak H. Abdul Gani Bugis di Kampung Lilinta.
Nisan-nisan di Papua terbuat dari bahan kayu “gufasa”, sehingga mudah diukir.
Di situs Lilinta ditemukan nisan tertua tanpa angka tahun, berinskripsi “Muhammad”.
Menurut penduduk, makam tersebut adalah tokoh muslim keturunan Arab. Dari
Inskripsinya dapat diduga bahwa makam tersebut berasal dari masa awal pengenalan
Islam dengan mengabadikan atau menggunakan rasul sebagai identitas. Mungkin yang
dimakamkan adalah salah satu menganjur Islam awal di Misool, Raja Ampat.
Makam-makam keluarga raja muslim di Kaimana ditemukan di Kompleks
makam Raja Seran. Sedangkan di Fak-Fak tersebar luas di beberapa lokasi, seperti Pulau
Namatota, kompleks makam raja Fatagar. Seni ukir kayu nampak pada mimbar di masjid
situs Lilinta, Misool. Mimbar pada masjid Lilinta dihiasi motif bunga matahari. Pada
bagian tepian diberi hiasan meander. Tiang-tiang mimbar juga diukir dengan membagi
beberapa ruas yang dipisahkan dengan pelipit.
Alat musik Arababo masih ditemukan di Kampung Fafanlap, milik Kaidat Soltif
(88 tahun). Alat musik Arababo mirip biola, dibunyikan untuk mengiringi tarian “Salai”
untuk penjemputan tamu. Biasanya alat musik Arababo mengiringi lagu dari Maluku Utara
(Halmahera). Di Fafanlap, Arababo mendapat pengaruh dari Galela (Tobelo), Maluku
Utara. Tali senar Arababo dari bahan benang. Getah kenari (nyanyalito) digunakan untuk
menggosek alat musik Arababo. Pegangan dibuat dari bambu, kulit sontong (cumi besar)
dan kayu gupasa. Alat musik Arababo biasa dimainkan berpasangan dengan rebana dan
tifa. Selain itu, di wilayah Kerajaan Ati-Ati (Fak-Fak) ditemukan alat musik rebana yang
masih disimpan pewarisnya.

6 Berg mencatat bahwa “di Ternate, koloni Arab masih satu dengan kelompok asing yang beragama Islam, di bawah satu kepala
koloni yang sejak 1881 adalah orang Arab” (Berg, 2010: 110). Kondisi koloni yang serupa mungkin juga terjadi di Tidore.

38 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Penutup

Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam di Nusantara,
sehingga Islam di Papua sering tidak menarik perhatian. Islam dalam pengertian pedagang
muslim kemungkinan telah datang berinteraksi dengan pnduduk lokal Papua sekitar
abad XV. Melalui jalur perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah
masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam
masih relatif terbatas di pelabuhan dagang. Para pedagang dan ulama menjadi guru-guru
yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat baru.
Potret suasana keagamaan di daerah Papua Barat tersebut menarik, karena di satu
sisi agama Islam telah diterima dalam komunitas kerajaan di Kepulauan Raja Ampat,
Fak-Fak dan Kaimana. Diterimanya Islam sebagai agama dan jalan hidup masyarakat
Papua, maka pranata-pranata kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru. Keadaan
ini terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam sebagai agama, tidak terlalu banyak
mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada
sebelumnya. Apa yang dibawa oleh Islam pada mulanya hanyalah urusan-urusan
‘ubudiyah (ibadah) dan tetap menata lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat
yang ada sebelumnya, meskipun dengan nama jabatan yang baru. Ajaran Islam tampak
juga telah mengisi sesuatu dari aspek kultural mereka, karena sasaran utama dari pada
penyebaran awal Islam tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid.
Dari aspek tata ruang, kota Islam tidak ditemukan bentuknya yang nyata di Papua.
Tampaknya, ada kesulitan membangun kota seperti tata kota muslim di Jawa dan beberapa
kota lain di Sulawesi oleh karena topografi pantai-pantai di wilayah Kepala Burung berupa
perbukitan yang tidak landai. Jika ada yang landai sangatlah sempit untuk membangun
suatu pusat peradaban. Namun damikian,aspek yang terkait langsung dengan ketauhitan
tampak tegas pengaruhnya, seperti mesjid dan arsitekturnya, sistem penguburan, dan
kesenian.
Memang, secara arkeologis, tantangan terberat dalam kajian pengaruh peradaban
Islam di Papua karena sebagian besar aspeknya material budayanya terbuat dari bahan
yang mudah rusak, terutama kayu. Selain itu, masyarakat Papua tidak memiliki warisan
tulisan, sehingga dibutuhkan informan yang juga semakin langka karena sudah banyak
yang meninggal. Karena itu, di masa depan ekskavasi arkeologi diperlukan untuk
memperoleh pertanggalan absolut, penelusuran kajian bandingan di daerah lain yang
memberi pengaruh pada Papua, terutama Maluku, Buton, dan Bugis-Makassar.

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 39


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufiq. 1987. Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta:
LP3ES.

______________. 1979. Agama, Etos, dan Perkembangan Masyarakat. Jakarta: LP3ES.

Abidin, Ahmad Zainal. 1979. Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang. Jakarta:
Bulan Bintang.

Alatas, Ismail Fajrie. 2010. “Menjadi Arab: Komunitas Hadramî, Ilmu Pengetahuan
Kolonial dan Etnisitas”, dalam L.W.C. van den Berg, Orang Arab Nusantara, Cet.
1. Jakarta: Komunitas Bambu.

Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. 2007. Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh.
Jakarta: Lentera.

Amrullah, H. Abdul Malik Karim. 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Berg, L.W.C van den. 2010. Orang Arab di Nusantara. Cet. 1. Jakarta: Komunitas Bambu

Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah
Indonesia. Cet. 1. Bandung: Mizan.

Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

De Graaf, H.J. & TH. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah
Politik Abad XV dan XVI. Cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hasan Al-Aidrus, Muhammad. 1997. Penyebaran Islam di Asia Tenggara. Jakarta: PT.
Lentera Basritama.

Herry, Nachrawy. 2004. Peranan Ternate Tidore Dalam Pembebasan Irian Barat. Ternate:
Yayasan Kie Raha.

Pijper. 1985. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Prasetyo, Bagyo. 2011. “Budaya Pantai dan Pedalaman Masa Prasejarah di Papua”,
dalam M. Irfan Mahmud dan Erlin Novita Idje Djami, Austronesia dan Melanesia
di Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak, hal. 75-94.

40 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012


M. Irfan Mahmud
Pengaruh Peradaban Islam di Papua

Rais, Amin. 1989. Islam Di Indonesia: Sebuah Ikhtiar Mengaca Diri. Jakarta: CV.
Rajawali.

Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Edisi 1. Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

Syamsu, Muhammad. 1999. Ulama Pembawa Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Lentera.

Wanggai, Toni Victor. 2009. Rekonstruksi Umat Islam Di Tanah Papua. Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Depag RI.

Yatim, Badri. 1999. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 41

You might also like