You are on page 1of 29

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/334289232

PUTUSAN SELA DALAM PERKARA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM

Article · July 2019

CITATIONS READS

0 1,201

1 author:

Bisariyadi Bisariyadi
the Constitutional Court, Indonesia
16 PUBLICATIONS   16 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Finding Constitutional Interpretation in the Indonesian Constitutional Court's Rulings View project

All content following this page was uploaded by Bisariyadi Bisariyadi on 08 July 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 2 (2019): 397-424
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

PUTUSAN SELA DALAM PERKARA PERSELISIHAN HASIL


PEMILIHAN UMUM

Bisariyadi *
* Peneliti Mahkamah Konstitusi
Korespondensi: bisariyadi@mahkamahkonstitusi.go.id
Naskah dikirim: 29 Januari 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 4 April 2019

Abstract
This paper departs from the presumption of common misconception in the use of terms
as adopted in criminal and civil law. Interlocutory decision in the Constitutional Court
has a different definition from criminal and civil law procedure. The difference is
within the issue that is cover between the two. Interlocutory decisions in criminal and
civil law deals only as far as admissability and jurisdiction, where in the
Constitutional Court interlocutory decisions may actually related to the legal issues
brought by the party. In addition, as the experience shows that interlocutory decisions
are not only used as burden of proof but also part of the mechanism for imposing
sanctions due to electoral fraud that negate the core value of democracy. It aims to
rectify and redefine the conception of interlocutory decisions based on empirical
experience of the Court in examining cases on eletoral disputes. Furthermore, this
study will put forward a proposal in the context of revising the Court procedural law,
specifically in regards to interlocutory decisions.
Keywords: Constitutional Court, Interlocutory Decision, Election, Dispute on
Electoral Results Dispute, Procedure Law of the Constitutional Court

Abstrak
Tulisan ini berangkat dari anggapan adanya salah kaprah dalam penggunaan istilah
putusan sela yang diadopsi dari hukum acara pidana dan perdata. Istilah putusan sela
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memiliki konsepsi yang berbeda dengan
yang diatur dalam hukum acara pidana dan perdata. Salah satu bentuk perbedaannya
adalah terletak pada lingkup materi yang menjadi ranah untuk dapat dijatuhkan
putusan sela. Putusan sela dalam hukum acara pidana maupun perdata tidak
menyangkut mengenai materi pokok perkara, dimana dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi putusan sela justru berkenaan dengan materi pokok perkara. Disamping itu,
dalam praktek berkembang pengertian bahwa putusan sela tidak hanya difungsikan
sebagai bagian dari proses pembuktian tetapi juga merupakan bagian dari mekanisme
penjatuhan sanksi atas adanya pelanggaran pemilu yang menisbikan nilai demokrasi.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meluruskan dan merumuskan kembali konsepsi
mengenai putusan sela berdasarkan pengalaman empiris yang telah dilakukan
Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum
selama ini. Oleh karenanya, kajian ini juga mengajukan usulan untuk pembenahan
hukum acara Mahkamah Konstitusi, khususnya pengaturan mengenai putusan sela.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Putusan Sela, Pemilihan Umum, Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id


DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.2010
398 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

I. PENDAHULUAN
Istilah ‘putusan sela, sejatinya, tidak dikenal dalam aturan formal hukum acara
Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam Undang-Undang (UU), yaitu UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 8 tahun 2011. Dalam UU, secara tersirat, pengaturan mengenai ‘putusan
sela’ hanya terdapat dalam lingkup kewenangan sengketa kewenangan lembaga
negara.1
Istilah yang digunakan dalam UU adalah ‘penetapan’, bukan ‘putusan’. Dalam
praktek, MK menggunakan istilah ‘putusan sela’ sebagaimana yang pernah dilakukan
MK dalam pemeriksaan sengketa antara Pemerintah (dalam kasus ini adalah Menteri
Dalam Negeri) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh.2 Selain itu, dalam pemeriksaan perkara nomor 3/SKLN-
X/2012, dimana terdapat sengketa kewenangan antara KPU dengan pemerintahan
daerah Provinsi Papua, MK mengeluarkan putusan sela untuk menghentikan tahapan
pelaksanaan pemilihan Gubernur Provinsi Papua sementara waktu.
Praktek penggunaan istilah ‘putusan sela’ dalam penyelesaian perkara sengketa
kewenangan lembaga negara didasarkan pada Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006.
Dalam Peraturan diatur secara jelas mengenai definisi,3 mekanisme,4 dan ukuran untuk
menjatuhkan putusan sela.5
UU MK tidak mengatur, baik tersurat maupun tersirat, mengenai ‘putusan sela’
dalam pelaksanaan kewenangan MK selain dalam sengketa kewenangan lembaga
negara. Namun pada prakteknya, MK pernah mengeluarkan putusan sela dalam
pemeriksaan perkara pengujian undang-undang dan dalam rangka penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan umum.
Dalam kewenangan pengujian UU, ada beberapa perkara dimana MK
mempertimbangkan dan menjatuhkan putusan sela. Salah satunya adalah dalam
perkara pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002. MK menjatuhkan putusan sela untuk
menunda keberlakuan pelaksanaan norma yang diuji dalam perkara tersebut. 6
Pemohon dalam perkara ini adalah Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, yang
merupakan pimpinan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu. Pemohon
mengajukan permohonan provisi, sebelum memeriksa pokok perkara, agar MK
memerintahkan kepada kepolisian untuk menghentikan proses penyidikan atas
tuduhan pidana yang menetapkan status pemohon sebagai tersangka. MK
mengabulkan permohonan provisi dengan menjatuhkan putusan sela dengan
didasarkan pada pengaturan Pasal 16 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005. Akan

1
Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 98, dan Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Nomor 4316, Pasal 63 (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2011)
menyebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
2
Mahkamah Konstitusi (a), Putusan Nomor 1/SKLN-X/2012 tentang Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 antara Menteri Dalam Negeri dengan Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen
Pemilihan Aceh, bertanggal 17 Januari 2012, para [1.1]
3
Mahkamah Konstitusi (b), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Pasal 12 ayat (2).
4
Ibid., Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (4)
5
Ibid., Pasal 13 ayat (5)
6
Mahkamah Konstitusi (c), Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertanggal 29 Oktober 2009
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 399

tetapi, aturan yang dijadikan dalil oleh majelis hakim mengatur berkebalikan dengan
amar dari putusan sela. Yang diatur dalam Peraturan adalah penundaan pemeriksaan di
MK dan pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang untuk menindaklanjuti
persangkaan tindak pidana.7 Majelis hakim menyadari bahwa MK tidak berwenang
untuk memberi penilaian atas proses hukum pidana yang bukan merupakan wilayah
kewenangannya, sebagaimana permintaan provisi dari Pemohon. Oleh karenanya, MK
tidak dapat melakukan penghentian proses pidana di kepolisian dan kejaksaan
meskipun hanya sementara waktu. Yang dilakukan MK dalam menjatuhkan putusan
sela adalah menunda penerapan norma UU yang diuji yang merupakan tindakan
administratif dalam rangka pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi tersangka
karena tuduhan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya.8 Putusan sela atas
permohonan provisi Pemohon dinilai sebagai sebuah terobosan yang berdasar pada
pemikiran hukum yang progresif.9
Bila dilihat ke belakang, MK pernah mempertimbangkan mengenai urgensi
putusan sela. Dalam putusan Pengujian UU Nomor 2/Pnps/1964, pemohon
mengajukan permintaan putusan sela untuk menunda eksekusi pidana mati. MK
berpendapat bahwa permohonan provisi tidak dikenal dalam hukum acara pengujian
UU. Di lain pihak, pada putusan yang sama MK juga seolah membuka kemungkinan
akan dikabulkannya permohonan provisi yaitu bilamana permohonan tersebut bersifat
penting dan mendesak serta bersifat sementara dan tidak berkaitan dengan pokok
permohonan.10
Sehubungan dengan kemungkinan menjatuhkan putusan sela, ketika memeriksa
pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, MK mempertimbangkan mengenai perlu tidaknya menjatuhkan putusan sela.
Pemohon meminta MK untuk menunda pelaksanaan hak angket panitia khusus Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap KPK. Hasil keputusan permusyawaratan hakim,
permohonan provisi ditolak berdasarkan suara mayoritas majelis hakim. MK
mengumumkan dalam sidang terbuka bahwa dalam rapat permusyawaratan yang
dihadiri oleh 8 (delapan) hakim konstitusi disepakati melalui suara terbanyak bahwa
majelis hakim menolak untuk mengabulkan permohonan provisi untuk penundaan
pelaksanaan hak angket tersebut.11
Berbeda dengan perkara pengujian UU, dalam penyelesaian perkara perselisihan
hasil pemilu, praktek untuk menjatuhkan putusan sela telah menjadi kelaziman.
Meskipun serupa dengan pengujian UU, hukum acara dalam UU MK tidak mengatur
mengenai putusan sela dalam ranah kewenangan ini. Dasar penerapan putusan sela
adalah mengacu pada Peraturan MK yang mengatur hukum acara perselisihan hasil
pemilu, baik pemilu legislatif, presiden maupun kepala daerah.12

7
Mahkamah Konstitusi (d), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (4).
8
Mahkamah Konstitusi (c), Op. Cit., para [3.16].
9
Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, “Perkembangan Pengujian Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6 Desember 2010, hal. 162-167.
10
Mahkamah Konstitusi (e), Putusan Nomor 21/ PUU-XVI/2008 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer yang telah ditetapkan menjadi undang-undang
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, para [3.11].
11
Mahkamah Konstitusi (f), Risalah Sidang Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017, Nomor 37/PUU-
XV/2017, Nomor 40/PUU-XV/2017, dan Nomor 47/PUU-XV/2017 tanggal 13 September 2017, hal. 2-
3
12
MK telah beberapa kali menyusun dan mengubah Peraturan MK yang mengatur mengenai
pedoman beracara untuk pemilu legislatif, Presiden dan kepala daerah. Terakhir, MK menerbitkan
400 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Meskipun telah menjadi kelaziman namun kajian akademis yang mendiskusikan


mengenai putusan sela MK belum banyak diteliti. Kajian ini bermaksud untuk mengisi
celah dalam ceruk penelitian mengenai putusan sela di MK, khususnya dalam hukum
acara perselisihan hasil pemilihan umum. Hukum acara menempati kedudukan penting
dalam penyelenggaraan peradilan sengketa pemilu. Hukum acara merupakan landasan
dalam penyelenggaraan persidangan yang efektif. Persidangan yang efektif dan sesuai
dengan hukum acara berdampak besar terhadap citra pengadilan yang mandiri dan
tidak berpihak.13
Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu dalam kajian ini adalah
perselisihan hasil pemilu legislatif, pemilu presiden dan pemilu kepala daerah. Kajian
ini akan membahas praktek penerapan putusan sela dalam sengketa pemilu legislatif
dan pemilu kepala daerah yang pernah dijatuhkan MK. Kajian ini tidak akan
membahas, terlebih mengungkap data, mengenai sengketa pemilu presiden sebab
belum terdapat praktek dimana MK menjatuhkan putusan sela dalam sengketa pemilu
presiden. Meskipun demikian, kemungkinan akan adanya putusan sela dalam sengketa
pemilu presiden tetap terbuka lebar.
Pemilu kepala daerah menjadi sorotan dalam kajian ini sebab dinamika
perubahan kebijakan mengenai pemilu kepala daerah sangat pelik yang juga
mempengaruhi kewenangan MK untuk memeriksa perselisihan hasil pemilu kepala
daerah. Pada tahun 2015 sampai dengan 2024, merupakan masa transisional dimana
MK memegang kewenangan untuk menyelesaikan perkara hasil pemilu kepala daerah.
Pembentuk UU telah menetapkan bahwa pemilu kepala daerah pada tahun 2024 akan
dilaksanakan secara serentak dan kewenangan untuk menyelesaikan perkara hasil
pemilihan kepala daerah akan dilakukan oleh badan peradilan khusus. MK hanya akan
menangani perkara sengketa hasil pemilu kepala daerah sebelum batas waktu yang
ditentukan tersebut. Padahal, bilamana dilihat secara historis, gagasan untuk
menjatuhkan putusan sela dalam perkara perselisihan hasil pemilu dipicu oleh
pemeriksaan dalam perkara pemilu kepala daerah.
Tulisan ini dibagi dalam beberapa bagian. Pada bagian pertama pembahasan
akan didiskusikan mengenai pengadopsian konsep putusan sela yang diperoleh dari
hukum acara perdata dan pidana. Hal yang ingin dikaji adalah menyoroti keberagaman
penggunaan istilah putusan sela dimana setiap istilah itu sendiri memiliki konsepsi
yang berbeda-beda. Pada bagian ini akan ditunjukkan bahwa meskipun istilah ‘putusan
sela’ diadopsi dari hukum acara pidana maupun perdata namun dalam hukum acara
MK ‘putusan sela’ memiliki konsep yang berbeda dari yang sebagaimana diartikan
dalam hukum acara pidana maupun perdata.
Bagian berikutnya adalah mengkaji penerapan putusan sela dalam kewenangan
perselisihan hasil pemilu yang telah dilakukan sejak MK terbentuk. Pada bagian ini
akan dipisahkan antara penerapan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum
dalam pemilu legislatif dan dalam pemilu kepala daerah. Pemisahan pembahasan ini
didasarkan pada karakteristik yang berbeda antara pemilu legislatif dengan pemilu

Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Peraturan MK
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah; Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Peraturan MK Nomor 5
Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota
13
Katherine Ellena, Chad Vickery dan Lisa Reppel, Election on Trial: The Effective
Management of Election Disputes and Violations, (International Foundation for Electoral Systems,
2018), hal. 13
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 401

kepala daerah. Penyelesaian sengketa hasil pemilu kepala daerah memiliki dinamika
perubahan kebijakan yang tinggi. MK menyelenggarakan kewenangan ini diawali atas
dasar penafsiran UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), dimana MK
berpendapat bahwa penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah merupakan
pilihan kebijakan dari pembentuk UU. 14 Saat ini, pembentuk UU menetapkan bahwa
MK memegang kewenangan transisional untuk memutus hasil pemilu kepala daerah
sebelum menyerahkannya kepada badan peradilan khusus, yaitu tahun 2024.15
Sementara, kewenangan untuk menyelesaikan hasil pemilu legislatif merupakan
mandat yang diberikan dan dituangkan secara eksplisit dalam UUD 1945.
Bagian terakhir dalam kajian ini, termasuk sebagai penutup, berisi kesimpulan
mengenai keterkaitan teoritis dan praktek yang telah dilakukan MK dalam
menjatuhkan putusan sela. Kesimpulan ini selaras dengan tujuan penelitian yang
bermaksud untuk menemukan kesinambungan antara konsepsi putusan sela yang
diadopsi dari hukum acara perdata dan pidana dengan praktek yang dilakukan oleh
MK. Kesinambungan ini memiliki arti penting dalam rangka merumuskan hukum
acara yang mengatur mengenai putusan sela, terutama dalam kewenangan
menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. Oleh karenanya, pada bagian akhir kajian ini
juga menyampaikan usulan dalam rangka pembenahan hukum acara MK dalam
perselisihan hasil pemilu, khususnya yang menyangkut pengaturan mengenai putusan
sela.

II. PEMBAHASAN
1. Konsepsi Putusan Sela
Ditinjau dari sudut pandang pada saat penjatuhannya, putusan pengadilan dibagi
menjadi ‘putusan antara’ atau ‘putusan sela’ (tussen vonnis) dan ‘putusan akhir’ (eind
vonnis). Terdapat perbedaan dan persamaan antara keduanya dalam pengaturan pada
hukum acara pidana dan perdata.
Perbedaan pengaturannya terletak pada kesatuan antara putusan sela dengan
putusan akhir. Dalam hukum acara pidana, putusan sela dapat mengakhiri pemeriksaan
perkara apabila para pihak menerima putusan sela yang dijatuhkan oleh majelis
hakim.16 Putusan sela ini dijatuhkan dalam yurisdiksi pemeriksaan (1) penetapan
“tidak berwenangnya pengadilan mengadili suatu perkara (verklaring van
onbevoegheid);17 (2) putusan bahwa dakwaan jaksa batal demi hukum (nietig van
rechtswege/null and void);18 dan (3) putusan bahwa dakwaan jaksa tidak dapat
diterima (niet ontvakelijk verklaard).19 Selain itu, putusan sela dalam hukum acara
pidana dikatakan dapat berdiri sendiri karena atas putusan ini dapat diajukan

14
Mahkamah Konstitusi (g), Putusan Nomor 073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertanggal 22 Maret 2005, hal. 115
15
Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898, Pasal I angka 66 (Perubahan Pasal 201)
16
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Penerbit PT Citra
Aditya Bakti, 2007), hal.125
17
Indonesia (c), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1981 Nomor 76, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 3209, Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1).
18
Ibid., Pasal 143 ayat (2) b dan ayat (3).
19
Ibid., Pasal 156 ayat (1)
402 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

‘perlawanan’ (verzet) kepada pengadilan tingkat banding yang terpisah dari materi
pokok perkara tuntutan pidana kepada terdakwa. Putusan sela dalam hukum acara
pidana erat berkaitan dengan pengajuan keberatan (eksepsi) oleh terdakwa. Dalam
hukum acara pidana, harus dipisahkan, secara hati-hati, antara istilah penetapan dan
putusan sela. Benang merah antara keduanya adalah bahwa penetapan dan putusan sela
dapat dijatuhkan majelis hakim atas pengajuan eksepsi.20
Berbeda halnya dengan hukum acara pidana, dalam hukum acara perdata
‘putusan sela’ tidak berdiri sendiri dan harus merupakan satu kesatuan dengan putusan
akhir mengenai pokok perkara.21 Fungsi dari putusan sela adalah untuk mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara.22 Oleh karenanya, Soepomo mengidentifikasi jenis
putusan sela dalam hukum acara perdata menjadi preparatoir dan interlocutoir.23
Putusan preparatoir tidak akan mempengaruhi putusan akhir sebab putusan ini
bertujuan untuk mempersiapkan jalannya pemeriksaan persidangan seperti
menetapkan penggabungan perkara atau menetapkan jadwal persidangan. Sedangkan
putusan interlocutoir dapat mempengaruhi putusan akhir sebab berisi perintah sesuai
dengan tujuan yang diinginkan majelis hakim seperti perintah untuk pemeriksaan
setempat atau perintah untuk menghadirkan dan mendengarkan keterangan saksi atau
ahli.
Secara doktrinal, ada dua jenis putusan sela lainnya dalam hukum acara perdata
yang diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsverordering (Rv), yaitu putusan
insidentil dan provisionil.24 Yang dimaksud dengan putusan insidentil adalah putusan
yang berkaitan dengan insidentil seperti mengabulkan gugatan intervensi untuk
masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan atau berkenaan dengan pelaksanaan
sita jaminan.25 Sedangkan putusan provisi adalah putusan yang bersifat sementara
(interim award) berupa tindakan yang harus diambil sambil menunggu putusan akhir
mengenai pokok perkara dijatuhkan.26 Dalam mengajukan permohonan provisi,
hukum acara perdata mengatur beberapa syarat formil, yaitu: (a) harus memuat urgensi
dan relevansi atas permintaan provisi; (b) mengemukakan tindakan sementara yang
harus diputus pengadilan; dan (c) tidak boleh menyangkut materi pokok perkara.27
Dalam doktrin maupun yurisprudensi, pembedaan antara jenis-jenis putusan sela
tidaklah terlalu menjadi persoalan penting. Akan tetapi, dalam hal putusan provisi
penyebutan istilahnya lebih dikhususkan meskipun masih masuk dalam kelompok
putusan sela.28
MK dalam beberapa yurisprudensi juga mengenal penggunaan istilah ‘provisi’.
Sebagai contoh adalah dalam pemeriksaan perkara nomor 133/PUU-VII/2009,
mengenai pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002, sebagaimana telah dibahas pada
bagian pendahuluan dari tulisan ini. Dalam putusan sela pemeriksaan perkara
pengujian UU tersebut, MK memuat terminologi ‘provisi’.29

20
Lilik Mulyadi. Op Cit., hal. 160-162
21
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. 8 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 880
22
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 17 (Jakarta: Pradnya Paramita,
2005), hal. 93
23
Ibid.
24
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed.6 (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2002), hal. 223
25
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 881-884
26
Ibid.
27
Ibid., h. 885
28
Ibid., h. 887
29
Mahkamah Konstitusi (c), Op. Cit., para [1.1].
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 403

Dalam pemeriksaan penyelesaian sengketa pemilu, istilah yang digunakan oleh


MK bukanlah ‘provisi’ melainkan ‘eksepsi’. Akan tetapi, dikabulkannya eksepsi tidak
selalu berakhir dengan putusan sela. MK sebagai pengadilan tingkat pertama dan
terakhir, berdampak pada tidak adanya upaya hukum lain atas putusan yang telah
dijatuhkan MK. Sebagai imbasnya, permohonan eksepsi salah satu pihak yang
dikabulkan oleh majelis hakim serta merta menjadi putusan akhir. Pertama kali, MK
mengabulkan permohonan eksepsi adalah dalam perkara perselisihan hasil pemilu
Kabupaten Pinrang. MK mengabulkan permohonan eksepsi Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Pinrang mengenai permohonan pemohon yang melewati tenggat waktu
pengajuan.30 Dikabulkannya eksepsi dari KPU Kabupaten Pinrang berdampak pada
pemeriksaan pokok perkara tidak lagi relevan untuk dipertimbangkan. 31 Atas perkara
ini, MK menjatuhkan amar putusan “tidak dapat diterima”.
Aturan perihal eksepsi dikukuhkan dalam Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2014,32
dalam ranah pemilihan anggota legislatif, dan Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2015,33
dalam ranah pemilihan kepala daerah, yang kemudian diikuti dengan perubahan dan
penggantian dalam kedua peraturan tersebut.34 Dalam kedua Peraturan disebutkan
bahwa Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait dapat memuat eksepsi atas
permohonan dalam hal (i) kewenangan MK; (ii) kedudukan hukum pemohon; dan (iii)
tenggang waktu pengajuan permohonan. Dikabulkannya eksepsi termohon maupun
pihak terkait berdampak pada penjatuhan putusan akhir yang tidak dapat diajukan
upaya hukum lainnya.
Pada awalnya, penjatuhan putusan sela dimaksudkan untuk penyelenggaraan
penghitungan suara ulang demi kepentingan pemeriksaan persidangan. Cikal bakal
putusan sela dapat dirunut pada pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilu tahun
2004 dalam pemeriksaan yang diajukan oleh Partai Kebangkitan Bangsa untuk
pemilihan anggota DPR di daerah pemilihan Jawa Timur X. MK membuat Ketetapan
yang berisi perintah berupa pengecekan ulang terhadap hasil penghitungan dan
rekapitulasi suara dalam dokumen-dokumen Model C, di 6 Kecamatan di Kabupaten
Sampang.35 Dalam rangka pelaksanaan perintah pengecekan ulang ini, MK juga
mengirim tim pemantau.36 Mekanisme ini tidak diatur dalam aturan formal hukum
acara sebelumnya. Pada pemilu 2009, gagasan untuk menjatuhkan putusan sela
dirumuskan dalam Peraturan MK Nomor 14 Tahun 2008 dimana disebutkan bahwa “...

30
Mahkamah Konstitusi (h), Putusan Nomor 43/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pinrang.
31
Ibid. para [4.3]
32
Mahkamah Konstitusi (i), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lampiran IV dan Lampiran IX.
33
Mahkamah Konstitusi (j), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait, Pasal
15 dan Pasal 24
34
Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2014 telah diganti dengan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2018.
Sedangkan, Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2015 telah diganti dengan Peraturan MK Nomor 4 Tahun
2016 yang diubah dengan Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2017
35
Mahkamah Konstitusi (k), Putusan Nomor 031-PHPU.C-II/2004 tentang Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004, hal. 57-58
36
Tempo.co, MK Perintahkan Pengecekan Ulang di Sampang, Rabu, 26 Mei 2004, <
https://nasional.tempo.co/read/42970/mk-perintahkan-pengecekan-ulang-di-sampang>, diakses pada 18
Januari 2019.
404 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Mahkamah dapat menetapkan putusan sela dan menunjuk petugas guna menyaksikan
hal-hal yang terkait dengan penghitungan suara...”.37
Mekanisme putusan sela mengalami pergeseran dengan dipicu oleh adanya
putusan MK yang memerintahkan untuk melakukan pemungutan dan penghitungan
suara ulang di sebagian wilayah pada pemilu Provinsi Jawa Timur tahun 2008.38 Salah
satu pasangan calon keberatan atas hasil pemungutan dan penghitungan suara ulang
tersebut. Keberatan tersebut diwujudkan dengan melayangkan permohonan kembali.
MK menolak untuk meregistrasi permohonan tersebut.39 Alasannya, sebagaimana
dikemukakan oleh Panitera MK, pemeriksaan perkara yang telah diputus MK adalah
hal yang mustahil sebab putusan MK bersifat final. Dibukanya pemeriksaan kembali
setelah adanya putusan sama halnya dengan adanya upaya hukum terhadap putusan,
layaknya Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.40 Dalam kesempatan yang sama,
Mahfud MD selaku Ketua MK saat itu, membuka kemungkinan untuk penjatuhan
putusan sela.41
Definisi serta pengaturan mengenai putusan sela dalam aturan formal hukum
acara perselisihan hasil pemilu, yang dituangkan dalam Peraturan MK, beberapa kali
mengalami penyesuaian. Pengaturan putusan sela biasa dituangkan dalam Peraturan
mengenai pedoman beracara dalam penyelesaian sengketa pemilu untuk pemilihan
anggota legislatif, presiden dan kepala daerah (tabel 1). Perubahan pengaturan
mengenai putusan sela ada yang hanya bersifat redaksional dan perubahan sistematika.
Ada pula perubahan yang berdampak pada legitimasi mekanisme pelaporan hasil
pelaksanaan putusan sela.

Tabel 1. Perubahan Pengaturan Putusan Sela dalam Peraturan MK

Nomor
No Tentang Pasal Substansi Pengaturan
Peraturan
Apabila dipandang perlu, untuk
Pedoman Beracara Dalam
kepentingan Pemeriksaan Persidangan,
Perselisihan Hasil Pemilihan
Mahkamah dapat menetapkan putusan
Umum Anggota Dewan
1. PMK 14/2008 Pasal 9 ayat (6) sela dan menunjuk petugas guna
Perwakilan Rakyat, Dewan
menyaksikan hal-hal yang terkait
Perwakilan Daerah, Dan Dewan
dengan penghitungan suara yang
Perwakilan Rakyat Daerah
diperintahkan oleh Mahkamah
Untuk kepentingan pemeriksaan,
Pedoman Beracara Dalam
Mahkamah dapat menetapkan putusan
2. PMK 15/2008 Perselisihan Hasil Pemilihan Pasal 8 ayat (4)
sela yang terkait dengan penghitungan
Umum Kepala Daerah
suara ulang
Pedoman Beracara Dalam Pasal 1 angka 19
Perselisihan Hasil Pemilihan Putusan sela adalah putusan yang
Pasal 1 angka 19 dijatuhkan oleh hakim sebelum
Umum Anggota Dewan
3. PMK 16/2009 dan Pasal 9 ayat putusan akhir berupa putusan untuk
Perwakilan Rakyat, Dewan
(5) melakukan atau tidak melakukan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sesuatu yang berkaitan dengan objek
yang dipersengketakan yang hasilnya
Pedoman Beracara Dalam akan dipertimbangkan dalam putusan
Pasal 1 angka 19
Perselisihan Hasil Pemilihan akhir
4. PMK 17/2009 dan Pasal 8 ayat
Umum Presiden Dan Wakil
(5) Pasal 9 ayat (5) [dan Pasal 8 ayat (5)]
Presiden
Apabila dipandang perlu, Mahkamah

37
Mahkamah Konstitusi (l), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 9 ayat (6)
38
Mahkamah Konstitusi (m), Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur, tanggal 2 Desember 2008
39
Mahkamah Konstitusi (n), Ketetapan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, tanggal 3 Februari 2009
40
Hukum Online, “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada”, 17 Februari 2009,
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21209/menggagas-putusan-sela-dalam-
sengketa-pilkada>, diakses pada 7 Januari 2009
41
Ibid.
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 405

Nomor
No Tentang Pasal Substansi Pengaturan
Peraturan
dapat memutuskan putusan sela
sebelum putusan akhir
(5) Apabila dipandang perlu,
Mahkamah dapat memutuskan
putusan sela sebelum putusan
akhir
Pedoman Beracara Dalam (6) Putusan sela sebagaimana
Perselisihan Hasil Pemilihan dimakud pada ayat (5) [sic]
Pasal 11 ayat (5)
Umum Anggota Dewan adalah putusan yang dijatuhkan
5. PMK 3/2013 dan (6)
Perwakilan Rakyat, Dewan oleh hakim sebelum putusan akhir
Perwakilan Daerah, Dan Dewan untuk melakukan atau tidak
Perwakilan Rakyat Daerah melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
(1) Apabila dipandang perlu,
Mahkamah dapat mengeluarkan
putusan sela
Pedoman Beracara Dalam (2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
Perselisihan Hasil Pemilihan
putusan yang dijatuhkan oleh
Umum Anggota Dewan
6. PMK 1/2014 Pasal 41 Hakim sebelum putusan akhir
Perwakilan Rakyat, Dewan
untuk melakukan atau tidak
Perwakilan Daerah, Dan Dewan
melakukan sesuatu yang berkaitan
Perwakilan Rakyat Daerah
dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
(1) Dalam hal dipandang perlu,
Mahkamah dapat mengeluarkan
putusan sela
(2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
Pedoman Beracara Dalam
putusan yang dijatuhkan oleh
Perselisihan Hasil Pemilihan
7. PMK 4/2014 Pasal 37 Hakim sebelum putusan akhir
Umum Presiden Dan Wakil
untuk melakukan atau tidak
Presiden
melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
(1) Dalam hal dipandang perlu,
Mahkamah dapat mengeluarkan
putusan sela
(2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
Pedoman Beracara Dalam
putusan yang dijatuhkan oleh
Perkara Perselisihan Hasil
8. PMK 1/2015 Pasal 40 Hakim sebelum putusan akhir
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan
untuk melakukan atau tidak
Walikota
melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
Pedoman Beracara Dalam (1) Dalam hal dipandang perlu,
Perkara Perselisihan Hasil Mahkamah dapat mengeluarkan
9. PMK 1/2016 Pasal 42
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan putusan sela
Walikota (2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
putusan yang dijatuhkan oleh
Hakim sebelum putusan akhir
untuk melakukan atau tidak
Pedoman Beracara Dalam melakukan sesuatu yang berkaitan
Perkara Perselisihan Hasil dengan objek yang
10. PMK 5/2017 Pasal 45 dipersengketakan yang hasilnya
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan
Walikota akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir.
(3) Dalam hal Mahkamah
menjatuhkan putusan sela,
Mahkamah dapat
406 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Nomor
No Tentang Pasal Substansi Pengaturan
Peraturan
menyelenggarakan persidangan
untuk mendengarkan laporan
pelaksanaan hasil putusan sela
Tata Beracara Dalam Perkara (1) Dalam hal dipandang perlu,
Perselisihan Hasil Pemilihan Mahkamah dapat mengeluarkan
11. PMK 2/2018 Umum Anggota Dewan Pasal 58 putusan sela
Perwakilan Rakyat Dan Dewan (2) Putusan sela sebagaimana
Perwakilan Rakyat Daerah dimakud pada ayat (1) berisi
Tata Beracara Dalam Perkara perintah kepada Termohon
Perselisihan Hasil Pemilihan dan/atau pihak lain untuk
12. PMK 3/2018 Pasal 58
Umum Anggota Dewan melakukan sesuatu atau tidak
Perwakilan Daerah melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan objek yang
dipersengketakan.
(3) Dalam hal Mahkamah
Tata Beracara Dalam Perkara menjatuhkan putusan sela,
Perselisihan Hasil Pemilihan Mahkamah dapat
13. PMK 4/2018 Pasal 52 menyelenggarakan persidangan
Umum Presiden Dan Wakil
Presiden untuk mendengarkan laporan
pelaksanaan hasil putusan sela
sebagai dasar dan pertimbangan
dalam menjatuhkan putusan

Seiring dengan perkembangan rumusan serta mekanisme penjatuhan putusan


sela yang diatur dalam Peraturan MK yang berlaku saat ini, 42 setidaknya terdapat 4
(empat) karakteristik putusan sela yang berbeda dengan putusan sela dalam hukum
acara pidana maupun perdata. Pertama, inisiatif penjatuhan putusan sela berasal dari
majelis hakim. Hal ini berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana maupun
perdata dimana putusan sela dijatuhkan atas permintaan salah satu pihak yang
bersengketa. Karakteristik ini secara tersirat terkandung pada klausula yang
menyatakan “dalam hal dipandang perlu, Mahkamah dapat mengeluarkan putusan
sela”. Yang menjadi persoalan dalam karakteristik ini adalah menentukan bejana ukur
atas sesuatu hal dipandang “perlu” sehingga MK dapat menjatuhkan putusan sela.
Kapan suatu hal itu dianggap masuk dalam ukuran “perlu”? Ukuran “perlu”, sejatinya,
dapat dirumuskan dengan menelisik alasan majelis hakim dalam menjatuhkan putusan
sela dalam putusan-putusan yang telah dikeluarkan selama ini. Penetapan ukuran
“perlu” ini menjadi penting untuk menghindari penilaian subjektif majelis hakim
dalam rangka menjatuhkan putusan sela. Dalam Peraturan MK sebelumnya, rumusan
“dipandang perlu” diikuti oleh adanya frasa “untuk kepentingan pemeriksaan
persidangan”. Perpaduan kedua frasa ini dapat diartikan bahwa klausula “dipandang
perlu” untuk menjatuhkan putusan sela adalah dalam rangka proses pembuktian.
Tahapan pemeriksaan persidangan dalam hukum acara MK sekaligus berisikan agenda
pembuktian. Oleh karenanya, putusan sela merupakan inisiatif majelis hakim untuk
menguji bukti-bukti yang terkait dengan penemuan fakta-fakta di persidangan.
Kedua, putusan sela berisikan perintah majelis hakim kepada penyelenggara
pemilu dan pihak lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam
kaitannya dengan penyelenggara pemilu, putusan sela berisikan perintah, diantaranya,

42
Mahkamah Konstitusi (o), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota;
Mahkamah Konstitusi (p), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Mahkamah Konstitusi (q), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun
2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah; dan Mahkamah Konstitusi (r), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun
2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 407

untuk menyelenggarakan pemungutan atau penghitungan suara ulang. Sedangkan yang


dimaksud “pihak lain” dalam hal ini adalah pengawas pemilu dan kepolisian. Dalam
praktek, MK kerap memerintahkan pengawas pemilu untuk melakukan pemantauan
dan pengawasan atas penyelenggaraan pemungutan atau penghitungan suara ulang
yang dititahkan melalui putusan sela. Kepolisian juga dikerahkan untuk membantu
pengamanan sebagai antisipasi kemungkinan terjadinya pelanggaran pidana selama
penyelenggaran pemungutan atau penghitungan suara ulang. Putusan sela
dimungkinkan berisi perintah kepada para pihak untuk “tidak melakukan sesuatu”.
Yang dimaksud dengan perintah untuk tidak melakukan sesuatu adalah berupa
penghentian sementara suatu kegiatan dalam pemilu atau penangguhan sementara
keberlakuan suatu keputusan yang berkaitan dengan pemilu. Dalam praktek, MK
pernah mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan pada penyelenggara pemilu
untuk menangguhkan berlakunya keputusan mengenai rekapitulasi penghitungan
suara. Sebagai contoh, dalam penyelesaian sengketa pemilu anggota legislatif tahun
2009, MK mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan beberapa daerah
pemilihan untuk melakukan pemungutan suara ulang sekaligus menangguhkan
berlakunya keputusan KPU mengenai rekapitulasi penghitungan suara keseluruhan
sepanjang berkaitan dengan penghitungan suara pada daerah pemilihan yang akan
menyelenggarakan pemungutan suara ulang tersebut.
Ketiga, putusan sela dijatuhkan berkenaan dengan materi pokok perkara.
Berlawanan dengan hukum acara perdata maupun pidana, penjatuhan putusan sela di
MK justru berkenaan dengan pokok perkara. Dalam klausula pengaturan di Peraturan
MK disebutkan bahwa putusan sela dijatuhkan “berkaitan dengan objek yang
dipersengketakan”. Yang menjadi obyek sengketa dalam perselisihan hasil pemilu
adalah keputusan KPU mengenai rekapitulasi penghitungan suara secara keseluruhan.
Putusan sela yang berisi perintah untuk menyelenggarakan pemungutan atau
penghitungan suara ulang berarti, secara serta merta, juga mempertimbangkan materi
pokok perkara. Hal ini juga dikuatkan dengan karakteristik putusan sela berikutnya.
Keempat, MK menggelar sidang pemeriksaan pasca pelaksanaan putusan sela
untuk mendengarkan laporan dari pihak-pihak yang diperintahkan oleh majelis hakim
dalam putusan sela. Fakta-fakta di persidangan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan putusan sela menjadi pertimbangan majelis hakim dalam
menjatuhkan putusan akhir. Mekanisme untuk membuka persidangan pasca putusan
sela menyiratkan bahwa putusan sela bukanlah putusan yang mengakhiri sengketa.
Putusan sela merupakan bagian dari proses pemeriksaan persidangan meskipun telah
juga mempertimbangkan materi pokok perkara.
Keempat karakteristik ini akan dikaji dari sudut pandang praktek penerapannya
dengan melihat pada putusan-putusan sela yang telah dikeluarkan MK dalam
penyelesaian perselisihan hail pemilu anggota legislatif dan kepala daerah,
sebagaimana akan diuraikan pada bagian-bagian berikutnya dari tulisan ini.
2. Penerapan Putusan Sela dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota Legislatif
Sejak terbentuk hingga saat ini, MK telah melalui 3 (tiga) kali pemilu legislatif
dan Presiden, yaitu tahun 2004, 2009 dan 2014. Dalam setiap pemilu tersebut, MK
terlibat dalam penanganan sengketa hasil pemilu. Rumusan dalam aturan formal serta
praktek penjatuhan putusan sela baru dilaksanakan pada pemilu legislatif tahun 2009.
Akan tetapi, wacana akan kebutuhan adanya putusan sela telah dirasakan pada
penyelenggaraan pemeriksaan perkara sengketa pemilu tahun 2004.
Pada pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilu untuk anggota DPR di
Daerah pemilihan Jawa Timur X, dalam persidangan majelis hakim menemukan
adanya indikasi manipulasi terhadap formulir rekapitulasi DA-1 yang dibuat oleh
408 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di beberapa kecamatan di Kabupaten Sampang.


MK mengeluarkan terobosan dengan mengeluarkan Ketetapan Nomor 031/PHPU.C1-
II/2004 bertanggal 25 Mei 2004 yang berisi perintah untuk melakukan pengecekan
ulang atas hasil penghitungan suara yang dibuat oleh panitia penyelenggara pemilu di
bawah PPK dengan melihat dokumen model C. Hal ini merupakan upaya pemeriksaan
silang dalam rangka pembuktian adanya kemungkinan manipulasi penghitungan suara
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Secara formal, mekanisme ini tidak diatur
dalam UU maupun Peraturan MK mengenai hukum acara yang berlaku saat itu.43
Wacana kebutuhan akan adanya putusan sela dituangkan dalam aturan formal
hukum acara melalui Peraturan MK Nomor 14 Tahun 2008 yang akan berlaku untuk
penyelenggaraan pemeriksaan perkara sengketa pemilu tahun 2009. Sebelum aturan
ini berlaku dalam praktek, telah ada perubahan terhadap pedoman beracara yang juga
perubahan terhadap lingkup pengaturan mengenai putusan sela. Dalam Peraturan MK
Nomor 14 tahun 2008, hal yang diatur terbatas pada perintah untuk melakukan
penghitungan suara ulang. Perubahan atas pengaturan itu memuat lingkup yang lebih
luas yaitu menyangkut perintah “untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan objek yang dipersengketakan”.44 Lingkup pengaturan ini dipicu oleh
adanya pemeriksaan perkara pemilu kepala daerah Provinsi Jawa Timur tahun 2008.
Pada putusan perkara tersebut, MK selain memerintahkan penghitungan suara ulang
juga meminta penyelenggara pemilu untuk melakukan penghitungan suara ulang.
Akan tetapi, dalam pelaksanaan perintah tersebut tidak ada mekanisme pemantauan
atas pelaksanaan perintah dalam putusan. Oleh karenanya, MK memperluas lingkup
putusan sela, tidak hanya terbatasa pada penghitungan suara ulang sebagai bagian dari
proses pembuktian tetapi juga perintah untuk melakukan pemungutan suara ulang.
Permasalahan selanjutnya adalah mengenai ukuran kapan MK harus
memerintahkan penghitungan suara dan apa yang mendasari majelis hakim untuk
memerintahkan pemungutan suara ulang. Dalam pemilu tahun 2008, MK
mengeluarkan 9 putusan sela (tabel 2). Putusan dalam perkara pemilihan anggota DPD
Provinsi Papua45 menarik untuk dijadikan ilustrasi. Pada putusan sela perkara ini, MK
memerintah untuk melakukan penghitungan suara ulang juga pemungutan suara ulang
di distrik yang berbeda. Dalam fakta persidangan, mejalis hakim memenmukan bahwa
pemungutan suara di Kabupaten Yahukimo tidak mengikuti jadwal pemilu secara
serentak karena mengalami keterlambatan distribusi logistik. Selain itu, pemilu di
Kabupaten Yahukimo dilakukan melalui penentuan suara dengan cara “kesepakatan
warga” atau “aklamasi” oleh setiap perwakilan kelompok masyarakat. Akan tetapi,
hasilnya tetap dimasukkan ke dalam rekapitulasi hasil penghitungan suara.46 MK
berpendapat bahwa budaya untuk menyelenggarakan pemilu berdasarkan adat
setempat di Kabupaten Yahukimo harus dihormati namun penyelenggara pemilu telah
memanfaatkan budaya setempat dengan melakukan pelanggaran sehingga demi
keadilan MK menafikan hasil rekapitulasi tersebut dan memerintahkan agar KPU

43
Mahkamah Konstitusi (s), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang
Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
44
Mahkamah Konstitusi (t), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 1 angka 19 dan Mahkamah Konstitusi (u),
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Pasal 1 angka 19
45
Mahkamah Konstitusi (v), Putusan Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Papua Tahun 2009.
46
Ibid., para [3.22]
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 409

Kabupaten tetap melaksanakan kewajiban hukumnya.47 MK memerintahkan


pemungutan suara uang didistri yang tidak menyelenggarakan pemilu dan
penghitungan suara ulang di distrik yang terdapat perbedaan rekapitulasi penghitungan
suara hasil pemilu.48

Tabel 2. Rekapitulasi Putusan Sela pada Pemilu Anggota Legislatif tahun 2008

Tingkat/
No Nomor Perkara Daerah Pemilihan Amar Putusan
Keanggotaan
Penghitungan suara
37/PHPU.A- ulang di sebagian
1. DPD Provinsi Sumatera Utara
VII/2009 kecamatan di Kabupaten
Nias Selatan
Pemungutan suara ulang
47-81/PHPU.A- dan penghitungan suara
2. DPD Provinsi Papua
VII/2009 ulang di sebagian distrik
di Kabupaten Yahukimo
DPR (Dapil Sumatera Utara II)
DPRD Provinsi (Dapil Pemungutan suara ulang
28-65-70-82-84- DPR
Sumatera Utara 7) di Kabupaten Nias
3. 89/PHPU.C- DPRD Provinsi
DPRD Kabupaten (seluruh Selatan
VII/2009 DPRD Kabupaten
Dapil se-Kabupaten Nias
Selatan)
Penghitungan suara
50/PHPU.C-
4. DPR Dapil Kepulauan Riau ulang di sebagian daerah
VII/2009
kota Batam
Penghitungan suara
84/PHPU.C- ulang disebagian daerah
5. DPR Dapil Lampung II
VII/2009 Kabupaten Tulang
Bawang
Penghitungan suara
86/PHPU.C- ulang di TPS 10
6. DPRD Kota Dapil Kota Pariaman 3
VII/2009 Kampung Kandang Kota
Pariaman
Penghitungan suara
60/PHPU.C-
7. DPRD Kabupaten Dapil Minahasa 3 ulang disebagian daerah
VII/2009
Kabupaten Minahasa
Pemungutan suara ulang
75/PHPU.C-
8. DPRD Kabupaten Dapil Rokan Hulu 2 di Kecamatan Tambusai
VII/2009
dan Tambusai Utara
Penghitungan suara
95/PHPU.C- ulang di Kecamatan
9. DPRD Kabupaten Dapil Musi Rawas 4
VII/2009 Tiang Pumpung
Kepungut

Hal yang berbeda tampak dalam praktek perselisihan hasil pemilu tahun 2014.
Dalam pemilu tahun 2014, MK mengeluarkan 13 putusan sela (tabel 3) yang
keseluruhannya berisi perintah untuk melaksanakan penghitungan suara ulang.
Dimungkinkan bahwa pada pemilu 2014, MK berupaya untuk menahan diri dan tidak
mengeluarkan putusan yang terlalu kontroversial, seperti perintah untuk pemungutan
suara ulang. Hal ini dilandasi dengan keadaan bahwa tingkat kepercayaan publik
terhadap MK pada masa itu sedang mengalami penurunan.49 Bila MK menjatuhkan

47
Ibid., para [3.24]
48
Ibid., para [3.25]
49
Vivanews, LSI Network, Akil Ditangkap, Kepercayaan Publik pada MK Merosot, 6 Oktober
2013, < https://www.viva.co.id/berita/nasional/449541-lsi-network-akil-ditangkap-kepercayaan-publik-
pada-mk-merosot> diakses pada 21 Januari 2019; Tribunnews, Survei LSI: Gara-gara Akil Kepercayaan
Masyarakat Terhadap MK Drastis Merosot, 6 Oktober 2013 <
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/06/survei-lsi-kepercayaan-masyarakat-terhadap-mk-
drastis-merosot> diakses 21 Januari 2019.
410 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

putusan yang terlalu kontroversial dan kemudian perintah dalam putusan tidak
dilaksanakan karena rendahnya tingkat kepercayaan publik maka hal demikianjustru
akan mempertaruhkan reputasi MK sendiri.
Perintah untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang pada pada
hakikatnya merupakan hukuman terhadap penyelenggara pemilu atas adanya indikasi
pelanggaran. Secara tidak langsung, putusan jenis ini membutuhkan reputasi dan
tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap pengadilan. Putusan ini berbeda
dengan putusan yang berisi perintah penghitungan suara ulang sebagai bagian dari
upaya majelis hakim memperolah keyakinan dalam proses pembuktian ketika akan
memutus perkara.

Tabel 3. Rekapitulasi Putusan Sela pada Pemilu Anggota Legislatif tahun 2014

Tingkat/ Daerah
No. Nomor Perkara Amar Putusan
Keanggotaan Pemilihan
Penghitungan suara
1. 03-30/PHPU-DPD/XII/2014 DPD Provinsi Maluku
ulang di Kota Tual
Penghitungan suara
06-09-07/PHPU-DPR- Dapil Sumatera ulang di 3 kecamatan
2. DPR
DPRD/XII/2014 Selatan I kabupaten Musi
Rawas
01-01-31/PHPU-DPR-
3. Penghitungan suara
DPRD/XII/2014
ulang di 18
04-03-31/PHPU-DPR- Dapil Maluku
4. DPR kecamatan di
DPRD/XII/2014 Utara I
kabupaten Halmahera
10-07-31/PHPU-DPR-
5. Selatan
DPRD/XII/2014
Penghitungan suara
09-04-28/PHPU-DPR- Dapil Sulawesi
6. DPRD Provinsi ulang di Kecamatan
DPRD/XII/2014 Tenggara 1
Kadia
10-07-12/PHPU-DPR- Dapil Jawa Penghitungan suara
7. DPRD Provinsi
DPRD/XII/2014 Barat 3 ulang di 11 desa
Penghitungan suara
04-03-23/PHPU-DPR- Dapil Kota
8. DPRD Kota ulang di beberapa
DPRD/XII/2014 Samarinda 1
TPS
Penghitungan suara
03-05-24/PHPU-DPR- Dapil Kota
9. DPRD Kota ulang secara
DPRD/XII/2014 Manado 3
keseluruhan
05-14-02/PHPU-DPR- Dapil Nias Rekapitulasi ulang di
10. DPRD Kabupaten
DPRD/XII/2014 Selatan 3 Kecamatan Ulunoyo
Penghitungan suara
03-05-06/PHPU-DPR- Dapil Merangin
11. DPRD Kabupaten ulang di TPS 10 Desa
DPRD/XII/2014 4
Tuo
01-01-16/PHPU-DPR- Dapil Sampang Penghitungan suara
12. DPRD Kabupaten
DPRD/XII/2014 2 ulang di 9 desa
Dapil Penghitungan suara
05-14-31/PHPU-DPR-
13. DPRD Kabupaten Halmahera ulang di 2 TPS desa
DPRD/XII/2014
Barat 1 Tabadamai

3. Penerapan Putusan Sela dalam Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah


Sejarah mengenai kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu
kepala daerah sejatinya tidaklah panjang namun dinamika perubahan kebijakannya
sangat tinggi dan sering berubah. Bermula sejak tahun 2004, ketika pembentuk UU
menetapkan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat di daerah yang
bersangkutan.50 Ketika itu, penanganan penyelesaian sengketa hasil pemilu kepala

50
Indonesia (d), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 125, dan Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 4437, Pasal 24 ayat (5)
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 411

daerah diserahkan kepada Mahkamah Agung.51 Pada tahun 2008, pembentuk UU


mengubah pilihan kebijakannya dengan memindahkan kewenangan memutus sengketa
hasil pemilu kepala daerah dari Mahkamah Agung ke MK.52 Pelimpahan kewenangan
penanganan sengketa hasil pemilu kepala daerah berjalan efektif sejak tanggal 29
Oktober 2008 melalui penandatanganan Berita Acara Pengalihan Kewenangan
Mengadili antara Ketua MA dan Ketua MK.53 Sejak serah terima kewenangan tersebut
hingga akhir tahun 2008 sendiri, MK sudah memeriksa 27 perkara yang diajukan oleh
26 daerah yang menyelenggarakan pemilihan kepala daerah. Kebijakan yang diambil
pembentuk UU adalah tidak menyelenggarakan pemilihan kepala daerah pada tahun
dimana akan dilaksanakan pemilu legislatif dan Presiden. Oleh karenanya, tahun 2009
dan 2014, tidak ada penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. MK menerima dan
memeriksa perkara pemilu kepala daerah pada tahun 2009 dan 2014 sebagai sisa dari
perkara tahun sebelumnya yang belum diselesaikan.
Pada tahun 2014, MK mengeluarkan putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 yang
berpendapat bahwa mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah
merupakan penambahan kewenangan yang tidak sesuai dengan UUD.54 Pada saat yang
kurang lebih bersamaan, pembentuk UU juga sedang mempertimbangkan untuk
mengubah mekanisme penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Salah satu
pertimbangan perubahan mekanisme penyelenggaraan pemilihan kepala daerah adalah
dari segi jadwal pelaksanaannya. Sejak 1 Juni 2005 hingga Desember 2014, telah
berlangsung sebanyak 1.027 pemilu kepala daerah, yaitu 64 untuk pemilihan
Gubernur, 776 untuk pemilihan Bupati dan 187 untuk pemilihan Walikota. Bila
dihitung secara rata-rata, maka ada satu penyelenggaraan pemilu setiap 2-3 harinya.55
Oleh sebab itu, pembentuk UU memutuskan untuk menyelenggarakan pemilu kepala
daerah secara paralel yang dilaksanakan serentak dalam satu waktu. Sebelum sampai
pada saatnya tersebut, yaitu pada tahun 2024,56 penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah serentak akan dilaksanakan secara bertahap dengan mempertimbangkan sisa
dan pemotongan masa jabatan dari kepala daerah dan kesiapan penyelenggaraan.57
Dalam tahapan transisi menuju pemilihan kepala daerah serentak, pembentuk UU
menetapkan bahwa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu tetap
berada di tangan MK hingga terbentuknya badan peradilan khusus.58
Berdasarkan penjelasan di atas, dalam konteks pembahasan mengenai putusan
sela, kajian ini membaginya ke dalam 2 periode. Pertama, ketika MK memegang
kewenangan untuk mengadili sengketa pemilu kepala daerah berdasarkan UU Nomor
12 Tahun 2008, yaitu antara tahun 2008 sampai dengan 2014. Kedua, adalah periode

51
Ibid., Pasal 106. Ketentuan ini ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dengen menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan upaya
Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD
Kabupaten/Kota.
52
Indonesia (e), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2008 Nomor 59, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4844, Pasal 236C
53
Mahkamah Konstitusi (w), “Menegakkan Keadilan Substantif”, Laporan Tahunan 2008,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), hal.6
54
Mahkamah Konstitusi (x), Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para [3.12.5]
55
Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, (Jakarta: Penerbit Expose, 2015), hal. 52
56
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 66 (Perubahan Pasal 201)
57
Tjahjo Kumolo, Op. Cit., hal. 42
58
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 41 (Perubahan Pasal 157 ayat (3))
412 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

dimana MK memegang kewenangan transisional untuk menyelesaikan sengketa


pemilu kepala daerah hingga terbentuknya badan peradilan khusus, yaitu tahun 2015
sampai saat kajian ini disusun (2018).
A. Periode 2008 – 2014
Pada masa awal pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilu kepala daerah,
terdapat perdebatan mengenai kekuatan eksekusi dari putusan MK dalam perkara
tersebut. Hal ini tidak terlepas dari pertimbangan mengenai ranah kewenangan MK
untuk mengadili perselisihan hasil pemilu. MK sebagai peradilan konstitusi, tidak
hanya menjadi corong UU yang terbelenggu oleh aturan peraturan perundang-
undangan. Kewenangan untuk memutus sengketa hasil pemilu tidak berarti memasung
MK melalui penafsiran sempit dari ketentuan UU. MK selayaknya tidak hanya menilai
hasil pemilu kepala daerah melalui penghitungan suara ulang sebab hal demikian tidak
akan dapat menemukan keadilan melalui kebenaran material.59 Oleh sebab itu, MK
perlu memerintahkan pemungutan atau penghitungan suara ulang untuk menegakkan
keadilan substantif dan memberi manfaat dalam penegakan demokrasi dan
konstitusi.60
Di lain pihak, pertimbangan ini menimbulkan persoalan dalam pemantauan
pelaksanaan putusannya. Dalam perkara pemilu kepala daerah Provinsi Jawa Timur,
MK menjatuhkan putusan akhir. Tidak ada mekanisme yang mengatur mengenai
dilaksanakan atau tidaknya putusan ini. Oleh karenanya, problematika yang muncul
adalah seputar kekuatan eksekutorial dari putusan. Selain itu, bila ada permohonan
pasca pelaksanaan putusan tersebut maka memunculkan persoalan mengenai
karakteristik putusan yang bersifat final.61 Pada tahun 2008, ada 3 (tiga) putusan
lainnya yang senada dengan putusan dalam perkara perselisihan hasil pemilu Provinsi
Jawa Timur (tabel 4).
Tabel 4. Putusan Perkara Hasil Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2008
yang memerintahkan Pemungutan/Penghitungan Suara Ulang

No. Nomor Perkara Daerah Amar Putusan


1. Pemungutan suara Ulang di Kab. Bangkalan
dan Kab. Sampang
1. 41/PHPU.D-VI/2008 Provinsi Jawa Timur 2. Penghitungan suara ulang di Kabupaten
Pamekasan

1. Pemungutan suara ulang di Kec. Amanuban


Kabupaten Timor Barat dan Kec. Amanuban Selatan
2. 44/PHPU.D-VI/2008
Tengah Selatan 2. Penghitungan suara ulang di 17 Kecamatan

KabupatenTapanuli
3. 49/PHPU.D-VI/2008 Pemungutan suara ulang di 14 Kecamatan
Utara
Pemungutan suara ulang secara menyeluruh
Kabupaten Bengkulu dengan mengecualikan pasangan Dirwan
4. 57/PHPU.D-VI/2008 Mahmud dan Hartawan sebagai peserta dalam
Selatan
pemilu ulang tersebut

Pada tahun 2009 pemerintah menyelenggarakan pemilu anggota legislatif dan


Presiden sehingga tidak ada penyelenggaraan pemilu kepala daerah di tahun ini. MK
kembali membuka sidang pemeriksaan perkara sengketa hasil pemilu kepala daerah

59
Mahkamah Konstitusi (m)., Op. Cit., para [4.4]
60
Ibid., para [4.5]
61
Ni’matul Huda, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FHUII
Press, 2018), hal. 140-144
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 413

pada tahun 2010. Secara tegas, MK mulai mengenalkan dan menjatuhkan putusan sela
pada perkara perselisihan hasil pemilu di Kabupaten Bangli.62
Ada beberapa ciri yang membedakan putusan sela dengan putusan akhir.
Pertama, kepala putusan tidak menyebutkan judul sebagai “Putusan Sela” akan tetapi
pada paragraf pembuka disematkan frasa “menjatuhkan putusan sela”. Kedua, pada
bagian amar putusan selalu disebutkan klausula, “sebelum menjatuhkan putusan
akhir”. Ketiga, MK menetapkan tenggat waktu dari pelaksanaan perintah yang
terdapat dalam putusan. Keempat, pihak-pihak yang diperintahkan melaksanakan
putusan diberi kewajiban untuk melaporkan hasil pelaksanaan putusan dalam sidang
yang akan digelar oleh MK sebelum adanya putusan akhir.
Ciri khas putusan sela ini tidak selalu dipertahankan oleh MK. Sejak putusan
sela yang dijatuhkan dalam perkara sengketa hasil pemilu Kota Surabaya, 63 MK
menanggalkan frasa “menjatuhkan putusan sela” pada paragraf awal putusannya.
Pertimbangan untuk menghilangkan frasa ini didasarkan pada alasan pragmatis, bahwa
MK tidak menginginkan para pihak dapat memprediksi putusan yang akan dijatuhkan
sejak awal akan dibacakan dalam sidang.64
Selain itu, ada juga anomali dalam praktek penjatuhan putusan. Dalam
pemeriksaan perkara sengketa pemilu Kabupaten Kepulauan Yapen,65 MK
memerintahkan untuk melakukan pemilu ulang dengan terlebih dahulu melakukan
verifikasi terhadap seluruh pasangan calon. Putusan yang dijatuhkan MK tidak
memuat beberapa ciri putusan sela sebagaimana disebutkan diatas. Oleh sebab itu,
putusan tersebut seharusnya dikategorikan sebagai putusan akhir. Akan tetapi satu
setengah tahun setelah putusan dibacakan, MK kembali menggelar sidang untuk
perkara yang sama kemudian menjatuhkan putusan akhir dengan nomor registrasi
yang sama dengan putusan sebelumnya.66 Putusan yang dijatuhkan sebelumnya, secara
tidak langsung, dikategorikan sama dengan putusan sela.
Dalam rentang waktu 2008 sampai dengan 2014, MK telah menjatuhkan putusan
sela untuk 49 (empat puluh sembilan) daerah yang mengajukan sengketa pemilu
kepala daerah (tabel 5).
Tabel 5. Jumlah Daerah yang menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah
dan yang mengajukan sengketa ke MK antara tahun 2008 – 2014

Jumlah Daerah yang Jumlah Daerah yang Jumlah Daerah yang


Tahun Menyelenggarakan mengajukan Sengketa melaksanakan Putusan
Pemilu Pemilu Sela

2008 dan 2009 144 28 -


2010 224 175 21
2011 87 83 10
2012 79 62 7

62
Mahkamah Konstitusi (y), Putusan Nomor 9/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, bertanggal 3 Juni 2010.
63
Mahkamah Konstitusi (z), Putusan Nomor 31/PHPU.D-VIII/2010 Perselisihan Hasil Pemilihan
Bupati dan Wakil Walikota Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, bertanggal 30 Juni 2010.
64
Hasil wawancara dengan aparatur pengadilan di Mahkamah Konstitusi, tanggal 9 Januari 2019
65
Mahkamah Konstitusi (aa), Putusan Nomor 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua,
bertanggal 30 Desember 2010
66
Mahkamah Konstitusi (ab), Putusan Nomor 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua,
bertanggal 24 Juli 2012
414 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

2013 150 124 11


2014 1 - -
Data diperoleh dari Dirjen Otda Kemendagri dan Kepaniteraan MK

Variasi perintah dalam putusan sela tidak hanya terbatas pada pemungutan atau
penghitungan suara ulang. Ada 11 daerah yang melaksanakan putusan sela dengan
bentuk perintah yang bukan merupakan penghitungan atau pemungutan suara ulang
(Tabel 6). Sebuah kajian dengan pendekatan perbandingan yang dilakukan oleh the
International Institute for Democracy and Electoral Assistance menyimpulkan bahwa,
secara umum, ada 3 (tiga) bentuk pemulihan yang diajukan dalam gugatan atas hasil
pemilu, yaitu (1) mengubah hasil akhir perolehan suara melalui penghitungan suara
ulang secara keseluruhan atau di sebagian tempat; (2) menyatakan tidak sah atas hasil
pemilu; atau (3) membatalkan pencalonan peserta pemilu.67

Tabel 6. Daerah yang menyelenggarakan Putusan Sela dengan perintah


yang bukan penghitungan atau pemungutan suara ulang

No. Daerah Nomor Perkara Amar Putusan Sela


melakukan verifikasi dan klarifikasi
1. Kabupaten Tapanuli Tengah 31-32/PHPU.D-IX/2011
atas empat bakal pasangan calon
melakukan tahapan kampanye dan
2. Provinsi Papua Barat 84/PHPU.D-IX/2011 pemungutan suara ulang yang diikuti
oleh empat Pasangan Calon
1. melakukan verifikasi administrasi dan
verifikasi faktual terhadap seluruh
3. Kabupaten Buton 91-92/PHPU.D-IX/2011 bakal pasangan calon
2. menyelenggarakan pemungutan suara
ulang pasca verifikasi
1. Membuka kembali pendaftaran
pasangan calon
4. Provinsi Aceh 108/PHPU.D-IX/2011 2. Menyesuaikan tahapan, program, dan
jadwal penyelenggaraan pemilihan
umum
menerima berkas pencalonan salah satu
Kabupaten Maluku Tenggara bala pasangan calon dan melakukan
5. 124-125/PHPU.D-IX/2011
Barat verifikasi administrasi dan klarifikasi
faktual
melakukan verifikasi administrasi, dan
127-130-131-132/PHPU.D- verifikasi faktual berkas dukungan
6. Kabupaten Jayapura
IX/2011 partai politik atau gabungan partai
politik pencalonan Pasangan Calon
melaksanakan verifikasi administrasi
78-79-80-81-82/PHPU.D-
7. Kabupaten Paniai dan verifikasi faktual terhadap
X/2012
pasangan calon
Menunda penjatuhan putusan mengenai
pokok permohonan sampai dengan
8. Kota Gorontalo 32-33-34/PHPU.D-XI/2013
adanya Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Manado
membawa kotak suara hasil
9 Kabupaten Empat Lawang 71/PHPU.D-XI/2013 pemungutan suara di 38 TPS pada 10
desa ke MK
Melakukan verifikasi ulang dan
10. Kota Tangerang 115-116/PHPU.D-XI/2013 pemeriksaan kesehatan bagi pasangan
calon
melakukan verifikasi administrasi dan
158-160-161/PHPU.D-
11. Kabupaten Tapanuli Utara verifikasi faktual ulang terhadap
XI/2013
seluruh pasangan calon

67
International IDEA,Electoral Justice: the International IDEA Handbook, (Stockholm:
International IDEA, 2011) hal. 170-180
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 415

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa putusan sela yang dijatuhkan MK ada yang
memerintahkan penyelenggara pemilu untuk melakukan verifikasi administrasi
maupun faktual terhadap pasangan calon. Dengan demikian, MK seolah memutar
tahapan pemilu hingga awal. Hal ini tidak terlepas dari adanya indikasi bahwa pada
periode 2008 -2014, tingkat kepercayaan terhadap hasil pelaksanaan pemilu kepala
daerah masih rendah.68 Selain juga ditopang adanya ketidakpahaman dari para pihak
mengenai dasar gugatan yang bisa diajukan ke MK, sehingga pelanggaran dan
perselisihan dalam tahapan pemilu tidak diselesaikan pada ranah penegakan hukum
lainnya melainkan semuanya diserahkan ke MK.69 Dalam rangka memeriksa
pelanggaran pemilu yang bersifat luar biasa MK menganggap perlu untuk melakukan
terobosan hukum guna memulihkan nilai demokrasi yang cacat akibat pelanggaran
tersebut.70 Putusan yang dijatuhkan sebagai sanksi atas pelanggaran tersebut tidak
hanya terbatas pada penghitungan suara ulang melainkan juga (i) pemungutan suara
ulang, (ii) verifikasi administrasi dan faktual dari pasangan calon, (iii)
mendiskualifikasi pasangan calon terpilih sekaligus menetapkan pemenang, (iv)
mendiskualifikasi pasangan calon yang tidak memenuhi syarat, (v) memerintahkan
pemungutan suara bagi pemilih yang berhak memilih, hingga (vi) memberi kedudukan
hukum kepada bakal pasangan calon yang telah resmi mendaftarkan diri, namun tidak
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.71
Dalam konteks penjatuhan putusan sela, persoalan yang mengemuka adalah
campur baurnya hakikat putusan sela, antara pembuktian dengan penghukuman.
Hakikat putusan sela adalah bagian dari proses pembuktian dalam persidangan.
Namun demikian, putusan sela justru lebih cenderung menjadi mekanisme hukuman
atas adanya pelanggaran pemilu. Majelis hakim, dalam pemeriksaan persidangan,
menemukan adanya pelanggaran pemilu kemudian hendak menjatuhkan hukuman atas
pelanggaran tersebut. MK terbentur pada karakteristik putusan yang bersifat final
sehingga tidak dapat membuka sidang pasca putusan. Oleh karenanya, MK melakukan
terobosan melalui penjatuhan putusan sela. Selain itu, mekanisme putusan sela juga
difungsikan sebagai pemantauan akan pelaksanaan dari putusan sela. Penyelenggara
pemilu sebagai pihak yang diperintahkan untuk menjalankan putusan sela telah
menjalankan atau mengabaikan perintah MK.
Kecenderungan dalam praktek adalah bahwa pasca gelaran sidang yang
mendengar laporan para pihak atas pelaksanaan putusan sela, MK tidak lagi
melakukan pemeriksaan silang dan pembuktian lanjutan. Dalam banyak perkara, MK
menerima laporan pelaksanaan putusan sela dan mengukuhkan hasil pelaksanaan
tersebut dengan putusan akhir. Oleh sebab itu, penyelesaian perkara sengketa pemilu
kepala daerah dalam periode 2008 – 2014 masih terdapat kerancuan karakteristik
antara menjadikan putusan sela sebagai mekanisme penghukuman atas adanya
pelanggaran dengan memanfaatkannya sebagai bagian dari kepentingan pemeriksaan
persidangan, terutama untuk pembuktian.

68
Hamdan Zoelva, “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 3 September 2013, hal. 392
69
Ibid., hal. 392-393
70
Ibid., hal. 393. Dalam hal putusan MK yang dianggap melakukan terobosan hukum ada yang
menggunakan istilah ‘progresif’ atas pendekatan yang dilakukan MK tersebut, Meyrinda R. Hilipito,
“Progresivitas Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada”, Widyariset,
Volume 15 No. 1 (2012), hal. 57-66.
71
Ibid.
416 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

B. Periode 2015 – 2018


Pemeriksaan sengketa pemilu kepala daerah dalam periode 2015 – 2018
memiliki 2 (dua) perbedaan mendasar dengan periode sebelumnya. Pertama,
kewenangan ini dipegang MK sementara waktu sebagai transisi sebelum terbentuknya
badan peradilan khusus dan sebagai bagian dari tahapan menuju penyelenggaraan
pemilu kepala daerah secara serentak. Kedua, pembentuk UU memperkenalkan
kebijakan akan adanya batas selisih perolehan suara antara peserta pemilu kepala
daerah yang dapat mengajukan diri sebagai pihak yang bersengketa di MK. 72
Perbedaan pertama berdampak pada penyelesaian sengketa pemilu kepala daerah
diselesaikan dalam satu kurun waktu yang bersamaan. Hal ini merupakan upaya
pembentuk UU agar penyelenggaraan pemilu kepala daerah secara serentak tidak
merugikan pemotongan masa jabatan kepala daerah yang seharusnya memegang
jabatan selama 5 (lima) tahun. Semula, tahapan penyelenggaraan pemilu kepala daerah
dirancang hingga tahun 2027.73 Kemudian, pembentuk UU mengubah tahapan tersebut
dan melakukan percepatan sehingga penyelenggaraan pemilu kepala daerah serentak
akan dilaksanakan pada bulan November 2024.74
Hingga tahun 2018, MK telah menyelesaikan perkara sengketa pemilu kepala
daerah dalam tiga tahapan sebelum diselenggarakannya pemilu kepala daerah secara
serentak, taitu tahun 2015, 2017 dan 2018 (tabel 7).

Tabel 7. Jumlah Daerah yang menyelenggarakan pemilu kepala daerah


dan mengajukan sengketa di MK Periode 2015-2018

Jumlah Daerah Jumlah Daerah yang


Tahun Tingkat
Pemilu bersengketa di MK
Provinsi 9 7
2015 – 2016 75 Kabupaten 224 118
Kota 36 12
Provinsi 7 4
76 Kabupaten
2017 78 37
Kota 18 18
Provinsi 17 7
2018 Kabupaten 115 45
Kota 39 14
Data dari Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK

Kebijakan pembentuk UU yang menetapkan batas selisih perolehan suara agar


para pihak dapat mengajukan sengketa ke MK berakibat pada banyaknya perkara yang
diputus sebelum majelis hakim masuk dalam pemeriksaan pokok perkara. Pada pemilu
kepala daerah tahun 2016, MK memutus 96 perkara tidak memenuhi syarat batas

72
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 42 (Perubahan Pasal 158).
73
Indonesia (f), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 5678, Pasal I angka 115 (Perubahan Pasal 201 ayat (7)).
74
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 66 (Perubahan Pasal 201 ayat (8))
75
Mahkamah Konstitusi (ac), “Harmoni Sosial dan Budaya Demokrasi yang Berkeadilan”,
Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, 2017) hal. 19-20
76
Mahkamah Konstitusi (ad), “Konsistensi pada Konstitusi dan Ideologi Negara”, Laporan
Tahunan 2017, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, 2018), hal. 36
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 417

selisih suara. Dalam tahapan pemilu kepala berikutnya, tahun 2016, ada 33 perkara
yang diputus MK karena tidak memenuhi persyaratan yang sama. Di tahun 2018, ada
39 perkara yang dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memenuhi
syarat batas selisih perolehan suara.
Hanya sedikit perkara pemilu kepala daerah, pada periode ini, yang masuk
dalam pemeriksaan pokok perkara. Namun, meski berjumlah sedikit, dalam
pemeriksaan perkara MK juga menjatuhkan putusan sela sebagai bagian dari proses
persidangan. Bahkan, dalam beberapa perkara, MK menjatuhkan dua kali putusan sela
sebelum memberikan putusan akhir (tabel 8).

Tabel 8. Putusan Sela dalam Pemilu Kepala Daerah Periode 2015 – 2018

No. Nomor Perkara Daerah Putusan Sela I Putusan Sela II


Pemungutan suara
Kab. Halmahera Penghitungan surat suara ulang di
1. 1/PHP.BUP-XIV/2016 ulang di 20 TPS di
Selatan Kecamatan Bacan
Kec. Bacan
1. Pemungutan suara ulang di 10 Pemungutan suara
Kab. Membramo TPS ulang di 9 TPS
2. 24/PHP.BUP-XIV/2016
Raya 2. Mengganti seluruh anggota (dari 10 TPS
KPPS di TPS tersebut sebelumnya)
Kab. Kepulauan Pemungutan suara ulang di 11
3. 100/PHP.BUP-XIV/2016 -
Sula TPS
Kab. Teluk
4. 101/PHP.BUP-XIV/2016 Pemungutan suara ulang di 1 TPS -
Bintuni
Pemungutan suara
ulang di 2 TPS
5. 120/PHP.BUP-XIV/2016 Kab. Muna Pemungutan suara ulang di 3 TPS
(dari 3 TPS
sebelumnya)
6. 10/PHP.BUP-XV/2017 Kab. Maybrat Pemungutan suara ulang di 1 TPS -
Pemungutan suara ulang di 18
7. 14/PHP.BUP-XV/2017 Kab. Tolikara -
Distrik
8. 29/PHP.BUP-XV/2017 Kab. Gayo Lues Pemungutan suara ulang di 5 TPS -
9. 34/PHP.BUP-XV/2017 Kab. Bombana Pemungutan suara ulang di 7 TPS -
Pemungutan suara ulang di 6
10. 42/PHP.BUP-XV/2017 Kab. Puncak Jaya -
Distrik
11. 54/PHP.BUP-XV/2017 Kab. Intan Jaya Pemungutan suara ulang di 7 TPS -
Pemungutan suara ulang di 24
12. 8/PHP.KOT-XVI/2018 Kota Cirebon -
TPS
1. Pemungutan suara ulang di 6
Provinsi Maluku
13. 36/PHP.GUB-XVI/2018 desa dan 2 kecamatan -
Utara
2. Menyusun ulang DPT
1. Pemungutan suara ulang di
14. 38/PHP.BUP-XVI/2018 Kab. Sampang Kab. Sampang -
2. Memperbaiki DPT
Kab. Timor Penghitungan suara ulang di Kab. Pemungutan suara
15. 61/PHP.BUP-XVI/2018
Tengah Selatan Timor Tengah Selatan ulang di 30 TPS

Dalam periode ini terdapat beberapa putusan dimana MK memerintahkan untuk


melakukan pemungutan suara ulang tetapi tidak menjatuhkannya dalam bentuk
putusan sela, yaitu dalam perkara sengketa pemilu Kabupaten Kepulauan Yapen 77 dan
Kabupaten Deiyai.78 Perbedaan antara kedua kasus tersebut adalah bahwa pada
perkara sengketa pemilu Kabupaten Deiyai, para pihak mengajukan gugatan kembali

77
Mahkamah Konstitusi (ae), Putusan Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua Tahun 2017
78
Mahkamah Konstitusi (af), Putusan Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tahun 2018.
418 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

pasca putusan yang memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang di 12


TPS. Perkara ini diregistrasi dengan nomor perkara yang berbeda dengan
sebelumnya.79 Hal ini menyiratkan bahwa MK menganggap perkara yang baru
berbeda dengan perkara sebelumnya, meskipun objek sengketanya adalah sama yaitu
hasil akhir penghitungan suara pada pemilu kepala daerah di Kabupaten Deiyai.
Sebagian besar putusan sela yang dijatuhkan dalam periode 2015 – 2018 berisi
perintah untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang. Namun, hasil akhir setelah
pemungutan suara ulang tidak selalu identik dengan perubahan dari pasangan calon
menjadi pemenang pemilu, sebagaimana yang diumumkan oleh KPU. Pola yang
dilakukan oleh MK adalah memeriksa dalil mengenai kemungkinan adanya
pelanggaran pemilu sekaligus menjatuhkan sanksi berupa pemungutan suara ulang.
Kemudian, MK menetapkan hasil pemungutan suara ulang dan menggabungkannya
dengan perolehan suara pada daerah-daerah yang tidak diperintahkan untuk melakukan
pemungutan suara ulang. Dalam putusan MK tidak menetapkan pemenang pemilu.
Putusan akhir MK merupakan penetapan mengenai perolehan hasil penghitungan suara
terakhir.
Pada periode 2015 – 2018, variasi perintah dalam putusan sela tidaklah
seberagam pada periode sebelumnya. Dalam periode ini, MK tidak lagi ada perintah
untuk melakukan verifikasi ulang bagi pasangan calon atau mendiskualifikasi
pasangan calon. Meskipun demikian, ada pula perintah MK dalam putusan sela untuk
mengganti ketua dan anggota kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) di tingkat
TPS, seperti yang terjadi dalam pemilu kepala daerah Kabupaten Membramo Raya,
serta perintah untuk memperbaiki daftar pemilih tetap (DPT), seperti yang terjadi pada
pemilu Provinsi Maluku Utara dan Kabupaten Sampang.
Putusan sela difungsikan sebagai proses pembuktian sekaligus hukuman atas
pelanggaran pemilu yang terjadi pada daerah tertentu. Sebagai contoh, dalam pemilu
Kabupaten Sampang MK memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang.
Perintah ini diberikan MK atas dasar ditemukannya ketidakakuratan data DPT serta
adanya fakta hukum di persidangan yang menunjukkan kejanggalan dalam
penyusunan DPT oleh penyelenggara pemilu sehingga tidak dapat diterima
validitasnya.80 Pemungutan suara ulang merupakan upaya untuk mewujudkan pemilu
yang bersih dan transparan serta menghindari kekeliruan data yang dapat dimanipulasi
sehingga mengancam hak konstitusional masyarakat Kabupaten Sampang.81
Begitu pula dalam pemilu Kabupaten Timor Tengah Selatan. 82 Dalam perkara
ini, MK menjatuhkan dua kali putusan sela. Pertama, MK memerintahkan
penyelenggara pemilu untuk melakukan penghitungan suara ulang. MK perlu
meyakinkan diri bahwa penghitungan hasil akhir perolehan suara yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu telah sesuai berdasarkan formulir model C1-KWK asli yang
berhologram dengan formulir Model C1.Plano-KWK asli berhologram. Secara tersirat,
putusan sela ini merupakan bagian dari proses pembuktian. Kedua, pasca
penghitungan suara ulang dan setelah menggelar sidang laporan dari penyelenggaraan

79
Mahkamah Konstitusi (ag), Putusan Nomor 72/PHP.BUP-XVI/2018 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tahun 2018, pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018
80
Mahkamah Konstitusi (ah), Putusan Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018 tentang tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur
Tahun 2018, para [3.2.4]
81
Ibid., para [3.2.6]
82
Mahkamah Konstitusi (ai), Putusan Nomor 61/PHP.BUP-XVI/2018 tentang tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2018
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 419

penghitungan suara ulang tersebut MK kembali menjatuhkan putusan sela. Dalam


putusan sela kedua, MK memerintahkan untuk melakukan pemungutan suara ulang di
30 TPS. Putusan sela ini merupakan sanksi kepada penyelenggara pemilu. di 30 TPS
ini, MK menemukan ketidaklengkapan formulir sebagai bagian dari bukti
administratif. Formulir model C1-KWK asli yang berhologram dengan formulir Model
C1.Plano-KWK asli berhologram merupakan instrumen hukum untuk menilai validitas
dan keautentikan pemberian suara.83 Ketidaklengkapan formulir ini merupakan
pelanggaran yang perlu diberikan sanksi.
Dalam praktek, sebagaimana telah diuraikan diatas, terdapat perbedaan dalam
penerapan putusan sela antara periode 2008 – 2014 dengan periode 2015 – 2018.
Putusan sela dalam periode 2008 – 2014 lebih banyak menekankan pada fungsi
pemberian sanksi sebagai hukuman atas adanya pelanggaran pemilu. Sementara
putusan sela pada periode 2015 -2018 dimaksudkan sebagai bagian dari proses
pembuktian sekaligus hukuman atas adanya pelanggaran pemilu. Dalam pertimbangan
hukum majelis hakim pada putusan sela periode 2015 – 2018 kerap ditemukan alasan
mengenai adanya fakta-fakta hukum dalam persidangan yang perlu dikonfirmasi oleh
majelis hakim. Salah satu cara yang ditempuh majelis hakim untuk memeriksa ulang
penemuan fakta persidangan tersebut adalah melalui putusan sela.

III. USULAN PEMBENAHAN PENGATURAN PUTUSAN SELA


Putusan sela dalam kewenangan perselisihan hasil pemilu telah menjadi
kelaziman dalam praktek dan pengalaman MK memeriksa perkara tersebut. Akan
tetapi, pengaturan dalam hukum acara yang menjadi pedoman pelaksanaannya
tertinggal jauh dari praktek penyelenggaraannya. Pengaturan putusan sela dalam
Peraturan MK hanya memuat mengenai aturan umum sementara praktek penjatuhan
putusan sela memiliki banyak spektrum keberagaman yang belum diatur. Berikut ini
merupakan usulan dalam rangka pembenahan hukum acara dalam pengaturan putusan
sela berdasarkan pembahasan kajian diatas :
Pertama, meluruskan penggunaan terminologi yang tepat agar tidak
menyesatkan. Istilah ‘putusan sela’ kerap diasosiasikan dengan istilah yang sama
dalam hukum acara pidana dan perdata. Padahal, putusan sela dalam hukum acara MK
dengan hukum acara perdata dan pidana memiliki konsepsi yang jauh berbeda.
Perbedaannya terletak pada lingkup hal-hal yang menjadi materi dalam putusan sela.
Dalam hukum acara perdata dan pidana, materi putusan sela tidak boleh menyangkut
pokok perkara. Berlawanan dengan itu, putusan sela dalam hukum acara MK justru
menyangkut materi pokok perkara, atau dalam rumusuan Peraturan MK disebutkan
dengan frasa “berkaitan dengan obyek yang dipersengketakan”, dimana majelis hakim
kerap memerintahkan penghitungan atau pemungutan suara ulang. Hal ini berkaitan
dengan fungsi dari putusan sela dalam hukum acara MK yang merupakan bagian dari
proses pembuktian. Putusan sela dalam pemeriksaan perkara di MK dijatuhkan dalam
tahapan sidang pemeriksaan yang memiliki agenda untuk memeriksa dalil-dalil dalam
pokok permohonan. Oleh karenanya, pemeriksaan materi sebelum masuk dalam pokok
perkara dianggap telah selesai. Dalam beberapa hal, penggunaan istilah yang diadopsi
dari hukum acara pidana atau perdata justru dapat menyesatkan persepsi dari para
pihak padahal konsepsi yang dibangun justru jauh berbeda. Perumpamaan lainnya
adalah dalam penggunaan istilah ‘eksepsi’. Dalam hukum acara pidana, penolakan
atau pengabulan eksepsi dilakukan dengan penjatuhan putusan sela. Tidak demikian
halnya dengan hukum acara MK. Dalam hukum acara MK, putusan sela dijatuhkan

83
Ibid., para [3.2.4]
420 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

bukan dalam rangka memutus permohonan eksepsi melainkan dalam pokok perkara.
Format amar putusan dalam putusan sela yang dijatuhkan selama ini adalah dengan
memisahkan antara eksepsi dengan pokok perkara. Bagian amar putusan sela ada
format baku bahwa setelah majelis hakim mempertimbangkan permohonan eksepsi,
terdapat frasa yang senantiasa disebut bahwa “dalam pokok perkara: sebelum
menjatuhkan putusan akhir”. Oleh karenanya, MK perlu meluruskan kesalahan
persepsi yang mengasosiasikan putusan sela dalam hukum acara MK dengan
mempersamakannya dengan konsep putusan sela dalam hukum acara perdata atau
pidana. Atau pilihan lainnya adalah MK tidak lagi menggunakan istilah ‘putusan sela’
dan memeperkenalkan istilah lainnya. Begitu pula halnya dengan penggunaan istilah-
istilah yang diadopsi dari hukum acara lain padahal memiliki konsepsi yang berbeda,
seprti penggunaan istilah eksepsi dan provisi.
Kedua, MK perlu mempertimbangkan untuk mengembalikan hakikat putusan
sela. Sejatinya, putusan sela merupakan mekanisme sebagai proses pembuktian untuk
kepentingan persidangan. Namun demikian, dalam praktek hakikat putusan sela telah
diperluas dari sekedar proses pembuktian tetapi sekaligus juga merupakan mekanisme
penjatuhan sanksi atas pelanggaran pemilu. Putusan sela yang benuansa hukuman
merupakan langkah terobosan yang diambil MK karena mekanisme penegakan hukum
pemilu yang menjadi ranah kewenangan lembaga lain belum berjalan dengan baik.
Putusan sela menjadi media pemantauan akan pelaksanaan perintah dalam putusan
sebab, sebelum menjatuhkan putusan akhir, MK menggelar sidang dengan agenda
mendengar laporan mengenai pelaksanaan putusan sela.Putusan sela perlu
dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai bagian dari proses pembuktian untuk
kepentingan pemeriksaan persidangan. Hal ini berarti bahwa perintah dalam putusan
sela terbatas pada penghitungan suara ulang dalam rangka meneguhkan keyakinan
hakim pada proses pembuktian atas fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan.
Dampaknya, putusan sela harus memiliki format yang berbeda dengan putusan akhir.
MK dapat saja memberi judul dalam kepala putusan dengan sebutan “Putusan Sela”,
atau istilah lain yang disepakati bersama agar tidak salah persepsi dengan
menganalogikan pada putusan sela dalam hukum acara pidana dan perdata. Selain itu,
isi putusan sela tidak perlu memuat bagian duduk perkara. Hal dimungkinkan sebab
belum semua dalil akan dijawab oleh majelis hakim dalam putusan sela ini. Oleh
karena itu, sistematika putusan sela hanya memuat identitas para pihak, pertimbangan
hukum serta amar putusan yang berisi perintah majelis hakim dalam putusan sela.
Di lain pihak, MK juga perlu mengenalkan jenis putusan lain untuk
mengakomodasi perintah dalam putusan yang pada hakikatnya merupakan sanksi atas
adanya pelanggaran pemilu. Putusan ini dijatuhkan sebelum putusan akhir, tanpa
menyebutnya sebagai putusan sela atau putusan akhir. Dalam putusan ini, MK dapat
memerintahkan penyelenggara pemilu untuk melaksanakan pemungutan suara ulang
atau perintah lainnya, seperti memperbaiki daftar pemilih. Selain itu, MK juga
menetapkan batas waktu untuk melaksanakan putusan ini kemudian memerintahkan
para pihak untuk melaporkan pelaksanaannya kepada MK. Mekanisme ini dilakukan
untuk membuka kemungkinan atas pemantauan pelaksanaan putusan MK sebelum
kemudian menetapkan hasil pelaksanaan perintah tersebut dalam putusan akhir.
Ketiga, pertimbangan akan perbedaan ranah kewenangan antara sengketa pemilu
kepala daerah dengan pemilu legislatif dan presiden. Penyelesaian sengketa pemilu
kepala daerah merupakan kewenangan yang bersifat sementara. Sebelum beralihnya
kewenangan penanganan sengketa pemilu kepala daerah kepada badan peradilan
khusus, MK hanya tinggal memiliki satu kesempatan lagi yaitu pada tahapan pemilu
kepala daerah serentak tahun 2020. Mengingat pertimbangan ini maka selayaknya
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 421

dalam praktek nanti MK tidak banyak membuat terobosan hukum melainkan


membangun pondasi yang baik bagi hukum acara yang akan diwariskan kepada badan
peradilan khusus, terutama dalam hal penjatuhan putusan sela. Idealnya, telah tersusun
Peraturan yang menjadi pedoman hukum acara baku dalam hal lingkup, mekanisme
serta ukuran ketika MK, atau badan peradilan khusus yang akan menangani sengketa
pemilu kepala daerah ini nantinya, perlu menjatuhkan putusan sela.
Berkenaan dengan putusan sela dalam lingkup kewenangan perselisihan hasil
pemilu legislatif dan presiden, pengalaman empiris dalam 2 (dua) pemilu sebelumnya,
tahun 2009 dan 2014, menunjukkan bahwa MK lebih sering menahan diri dalam
mempertimbangkan dalil-dalil mengenai pelanggaran pemilu. Faktor yang menjadi
pertimbangan adalah batas waktu yang sangat sempit dan agenda ketatanegaraan yang
ketat berkenaan dengan penetapan hasil akhir pemilu legislatif dan Presiden. Namun
demikian, bukan berarti bahwa MK tidak akan menjatuhkan putusan sela. Dalam
praktek sebelumnya, putusan sela dikeluarkan dalam rangka proses pembuktian
dimana sebagian besar putusan berisi perintah untuk melakukan penghitungan suara
ulang. Selain itu, terbuka kemungkinan bahwa dalam perselisihan hasil pemilu
legislatif dan Presiden, MK juga menjatuhkan putusan sela berupa perintah
penangguhan keputusan KPU mengenai rekapitulasi penghitungan suara akhir. Oleh
karenanya, hukum acara perlu mengatur secara jelas mengenai mekanisme putusan
sela dalam pemilu legislatif dan Presiden terutama dengan mempertimbangkan
terbatasnya waktu penyelesaian perkara dalam ranah kewenangan ini.
Meski MK telah menyusun Peraturan mengenai Tata Beracara yang didalamnya
memuat pengaturan mengenai utusan sela, tidak ada salahnya bila MK melakukan
evaluasi dalam hukum acara tersebut. Hukum acara yang berisi pengaturan prosedur
yang jelas memiliki kedudukan penting dalam rangka penyelesaian sengketa pemilu.
Kejelasan prosedur beracara mencerminkan kemerdekaan hakim dalam memutus serta
menunjukkan ketidakberpihakan pengadilan terhadap para pihak yang bersengketa.
Membangun pedoman hukum acara, khususnya dalam menyusun mekanisme putusan
sela, tidak cukup hanya dengan mendasarkan pada landasan teori dan perbandingan
hukum semata. Akan tetapi putusan-putusan yang telah diputus sebelumnya, sebagai
bagian dari pengalaman empiris pengadilan, juga tidak dapat diabaikan sebab
yurisprudensi akan memperkaya dan memperkuat legitimasi MK dalam memutus
perkara.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel


Ellena, Katherine. Chad Vickery. dan Lisa Reppel, Election on Trial: The Effective
Management of Election Disputes and Violations, International Foundation
for Electoral Systems, 2018.
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata. cet. 8. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Hilipito, Meyrinda R., “Progresivitas Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam
Penyelesaian Sengketa Pemilukada”. Widyariset. Volume 15. No. 1 2012. 57-
66
Huda, Ni’matul. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta:
FHUII Press, 2018.
International IDEA. Electoral Justice: the International IDEA Handbook. Stockholm:
International IDEA, 2011.
Kumolo, Tjahjo. Politik Hukum Pilkada Serentak. Jakarta: Penerbit Expose, 2015.
422 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

Mahkamah Konstitusi. “Menegakkan Keadilan Substantif”. Laporan Tahunan 2008.


Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009.
----------------, “Harmoni Sosial dan Budaya Demokrasi yang Berkeadilan”. Laporan
Tahunan 2016. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK. 2017.
----------------, “Konsistensi pada Konstitusi dan Ideologi Negara”. Laporan Tahunan
2017. Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, 2018.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, ed. 6. Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2002.
Mulyadi, Lilik. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: Penerbit PT
Citra Aditya Bakti, 2007.
Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas. “Perkembangan Pengujian Undang-
Undang di Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Konstitusi. Volume 7 Nomor 6
Desember 2010. 147-224.
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 17. Jakarta: Pradnya
Paramita, 2005.
Zoelva, Hamdan. “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 10. No. 3 September 2013.
377-398.

Internet
Hukum Online, “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada”, 17 Februari 2009,
<https://www. hukumonline.com/berita/baca/hol21209/menggagas-putusan-
sela-dalam-sengketa-pilkada>.
Tempo.co, MK Perintahkan Pengecekan Ulang di Sampang, Rabu, 26 Mei 2004, <
https:// nasional.tempo.co/read/42970/mk-perintahkan-pengecekan-ulang-di-
sampang>.
Tribunnews, Survei LSI: Gara-gara Akil Kepercayaan Masyarakat Terhadap MK
Drastis Merosot, 6 Oktober 2013 <
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/06/ survei-lsi-kepercayaan-
masyarakat-terhadap-mk-drastis-merosot>
Vivanews, LSI Network, Akil Ditangkap, Kepercayaan Publik pada MK Merosot, 6
Oktober 2013, < https://www.viva.co.id/berita/nasional/449541-lsi-network-
akil-ditangkap-kepercayaan-publik-pada-mk-merosot>.

Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1981 Nomor 76, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3209.
----------------, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 98, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4316.
----------------, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 125, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4437.
----------------, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2008 Nomor 59, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4844.
----------------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 423

Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara


Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57, dan Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 5678.
----------------, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898.
Mahkamah Konstitusi, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga
Negara.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala
Daerah.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pedoman
Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan
Pihak Terkait.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati Dan
Walikota.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah.
----------------, Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata
Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan
Wakil Presiden.

Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bertanggal 22 Maret 2005
----------------, Putusan Nomor 21/ PUU-XVI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer yang
424 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019

telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1969, para [3.11].
----------------, Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur, tanggal 2 Desember
2008
----------------, Ketetapan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, tanggal 3 Februari 2009
----------------, Putusan Nomor 43/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Pinrang.
----------------, Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, bertanggal 29 Oktober 2009
----------------, Putusan Nomor 9/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bangli, Provinsi Bali,
bertanggal 3 Juni 2010.
----------------, Putusan Nomor 31/PHPU.D-VIII/2010 Perselisihan Hasil Pemilihan
Bupati dan Wakil Walikota Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, bertanggal
30 Juni 2010.
----------------, Putusan Nomor 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan
Yapen, Provinsi Papua, bertanggal 30 Desember 2010
----------------, Putusan Nomor 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan
Yapen, Provinsi Papua, bertanggal 24 Juli 2012
----------------, Putusan Nomor 1/SKLN-X/2012 tentang Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 antara Menteri Dalam Negeri dengan
Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen Pemilihan Aceh,
bertanggal 17 Januari 2012.
----------------, Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
----------------, Putusan Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi
Papua Tahun 2017
----------------, Putusan Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018 tentang tentang Perselisihan
Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa
Timur Tahun 2018
----------------, Putusan Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tahun
2018.
----------------, Putusan Nomor 61/PHP.BUP-XVI/2018 tentang tentang Perselisihan
Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan,
Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2018
----------------, Putusan Nomor 72/PHP.BUP-XVI/2018 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tahun
2018, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018.

View publication stats

You might also like