Professional Documents
Culture Documents
net/publication/334289232
CITATIONS READS
0 1,201
1 author:
Bisariyadi Bisariyadi
the Constitutional Court, Indonesia
16 PUBLICATIONS 16 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Finding Constitutional Interpretation in the Indonesian Constitutional Court's Rulings View project
All content following this page was uploaded by Bisariyadi Bisariyadi on 08 July 2019.
Bisariyadi *
* Peneliti Mahkamah Konstitusi
Korespondensi: bisariyadi@mahkamahkonstitusi.go.id
Naskah dikirim: 29 Januari 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 4 April 2019
Abstract
This paper departs from the presumption of common misconception in the use of terms
as adopted in criminal and civil law. Interlocutory decision in the Constitutional Court
has a different definition from criminal and civil law procedure. The difference is
within the issue that is cover between the two. Interlocutory decisions in criminal and
civil law deals only as far as admissability and jurisdiction, where in the
Constitutional Court interlocutory decisions may actually related to the legal issues
brought by the party. In addition, as the experience shows that interlocutory decisions
are not only used as burden of proof but also part of the mechanism for imposing
sanctions due to electoral fraud that negate the core value of democracy. It aims to
rectify and redefine the conception of interlocutory decisions based on empirical
experience of the Court in examining cases on eletoral disputes. Furthermore, this
study will put forward a proposal in the context of revising the Court procedural law,
specifically in regards to interlocutory decisions.
Keywords: Constitutional Court, Interlocutory Decision, Election, Dispute on
Electoral Results Dispute, Procedure Law of the Constitutional Court
Abstrak
Tulisan ini berangkat dari anggapan adanya salah kaprah dalam penggunaan istilah
putusan sela yang diadopsi dari hukum acara pidana dan perdata. Istilah putusan sela
dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi memiliki konsepsi yang berbeda dengan
yang diatur dalam hukum acara pidana dan perdata. Salah satu bentuk perbedaannya
adalah terletak pada lingkup materi yang menjadi ranah untuk dapat dijatuhkan
putusan sela. Putusan sela dalam hukum acara pidana maupun perdata tidak
menyangkut mengenai materi pokok perkara, dimana dalam hukum acara Mahkamah
Konstitusi putusan sela justru berkenaan dengan materi pokok perkara. Disamping itu,
dalam praktek berkembang pengertian bahwa putusan sela tidak hanya difungsikan
sebagai bagian dari proses pembuktian tetapi juga merupakan bagian dari mekanisme
penjatuhan sanksi atas adanya pelanggaran pemilu yang menisbikan nilai demokrasi.
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk meluruskan dan merumuskan kembali konsepsi
mengenai putusan sela berdasarkan pengalaman empiris yang telah dilakukan
Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilihan umum
selama ini. Oleh karenanya, kajian ini juga mengajukan usulan untuk pembenahan
hukum acara Mahkamah Konstitusi, khususnya pengaturan mengenai putusan sela.
Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Putusan Sela, Pemilihan Umum, Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
I. PENDAHULUAN
Istilah ‘putusan sela, sejatinya, tidak dikenal dalam aturan formal hukum acara
Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam Undang-Undang (UU), yaitu UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 8 tahun 2011. Dalam UU, secara tersirat, pengaturan mengenai ‘putusan
sela’ hanya terdapat dalam lingkup kewenangan sengketa kewenangan lembaga
negara.1
Istilah yang digunakan dalam UU adalah ‘penetapan’, bukan ‘putusan’. Dalam
praktek, MK menggunakan istilah ‘putusan sela’ sebagaimana yang pernah dilakukan
MK dalam pemeriksaan sengketa antara Pemerintah (dalam kasus ini adalah Menteri
Dalam Negeri) dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Komisi Independen
Pemilihan (KIP) Aceh.2 Selain itu, dalam pemeriksaan perkara nomor 3/SKLN-
X/2012, dimana terdapat sengketa kewenangan antara KPU dengan pemerintahan
daerah Provinsi Papua, MK mengeluarkan putusan sela untuk menghentikan tahapan
pelaksanaan pemilihan Gubernur Provinsi Papua sementara waktu.
Praktek penggunaan istilah ‘putusan sela’ dalam penyelesaian perkara sengketa
kewenangan lembaga negara didasarkan pada Peraturan MK Nomor 08/PMK/2006.
Dalam Peraturan diatur secara jelas mengenai definisi,3 mekanisme,4 dan ukuran untuk
menjatuhkan putusan sela.5
UU MK tidak mengatur, baik tersurat maupun tersirat, mengenai ‘putusan sela’
dalam pelaksanaan kewenangan MK selain dalam sengketa kewenangan lembaga
negara. Namun pada prakteknya, MK pernah mengeluarkan putusan sela dalam
pemeriksaan perkara pengujian undang-undang dan dalam rangka penyelesaian
perselisihan hasil pemilihan umum.
Dalam kewenangan pengujian UU, ada beberapa perkara dimana MK
mempertimbangkan dan menjatuhkan putusan sela. Salah satunya adalah dalam
perkara pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002. MK menjatuhkan putusan sela untuk
menunda keberlakuan pelaksanaan norma yang diuji dalam perkara tersebut. 6
Pemohon dalam perkara ini adalah Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah, yang
merupakan pimpinan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu. Pemohon
mengajukan permohonan provisi, sebelum memeriksa pokok perkara, agar MK
memerintahkan kepada kepolisian untuk menghentikan proses penyidikan atas
tuduhan pidana yang menetapkan status pemohon sebagai tersangka. MK
mengabulkan permohonan provisi dengan menjatuhkan putusan sela dengan
didasarkan pada pengaturan Pasal 16 Peraturan MK Nomor 06/PMK/2005. Akan
1
Indonesia (a), Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 98, dan Tambahan Lembaran Negara
(TLN) Nomor 4316, Pasal 63 (sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 tahun 2011)
menyebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada
pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi”.
2
Mahkamah Konstitusi (a), Putusan Nomor 1/SKLN-X/2012 tentang Sengketa Kewenangan
Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 antara Menteri Dalam Negeri dengan Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Independen
Pemilihan Aceh, bertanggal 17 Januari 2012, para [1.1]
3
Mahkamah Konstitusi (b), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang
Pedoman Beracara dalam Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Pasal 12 ayat (2).
4
Ibid., Pasal 13 ayat (1) sampai dengan ayat (4)
5
Ibid., Pasal 13 ayat (5)
6
Mahkamah Konstitusi (c), Putusan Nomor 133/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertanggal 29 Oktober 2009
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 399
tetapi, aturan yang dijadikan dalil oleh majelis hakim mengatur berkebalikan dengan
amar dari putusan sela. Yang diatur dalam Peraturan adalah penundaan pemeriksaan di
MK dan pemberitahuan kepada pejabat yang berwenang untuk menindaklanjuti
persangkaan tindak pidana.7 Majelis hakim menyadari bahwa MK tidak berwenang
untuk memberi penilaian atas proses hukum pidana yang bukan merupakan wilayah
kewenangannya, sebagaimana permintaan provisi dari Pemohon. Oleh karenanya, MK
tidak dapat melakukan penghentian proses pidana di kepolisian dan kejaksaan
meskipun hanya sementara waktu. Yang dilakukan MK dalam menjatuhkan putusan
sela adalah menunda penerapan norma UU yang diuji yang merupakan tindakan
administratif dalam rangka pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi tersangka
karena tuduhan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya.8 Putusan sela atas
permohonan provisi Pemohon dinilai sebagai sebuah terobosan yang berdasar pada
pemikiran hukum yang progresif.9
Bila dilihat ke belakang, MK pernah mempertimbangkan mengenai urgensi
putusan sela. Dalam putusan Pengujian UU Nomor 2/Pnps/1964, pemohon
mengajukan permintaan putusan sela untuk menunda eksekusi pidana mati. MK
berpendapat bahwa permohonan provisi tidak dikenal dalam hukum acara pengujian
UU. Di lain pihak, pada putusan yang sama MK juga seolah membuka kemungkinan
akan dikabulkannya permohonan provisi yaitu bilamana permohonan tersebut bersifat
penting dan mendesak serta bersifat sementara dan tidak berkaitan dengan pokok
permohonan.10
Sehubungan dengan kemungkinan menjatuhkan putusan sela, ketika memeriksa
pengujian UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, MK mempertimbangkan mengenai perlu tidaknya menjatuhkan putusan sela.
Pemohon meminta MK untuk menunda pelaksanaan hak angket panitia khusus Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap KPK. Hasil keputusan permusyawaratan hakim,
permohonan provisi ditolak berdasarkan suara mayoritas majelis hakim. MK
mengumumkan dalam sidang terbuka bahwa dalam rapat permusyawaratan yang
dihadiri oleh 8 (delapan) hakim konstitusi disepakati melalui suara terbanyak bahwa
majelis hakim menolak untuk mengabulkan permohonan provisi untuk penundaan
pelaksanaan hak angket tersebut.11
Berbeda dengan perkara pengujian UU, dalam penyelesaian perkara perselisihan
hasil pemilu, praktek untuk menjatuhkan putusan sela telah menjadi kelaziman.
Meskipun serupa dengan pengujian UU, hukum acara dalam UU MK tidak mengatur
mengenai putusan sela dalam ranah kewenangan ini. Dasar penerapan putusan sela
adalah mengacu pada Peraturan MK yang mengatur hukum acara perselisihan hasil
pemilu, baik pemilu legislatif, presiden maupun kepala daerah.12
7
Mahkamah Konstitusi (d), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, Pasal 16 ayat (1) sampai dengan ayat (4).
8
Mahkamah Konstitusi (c), Op. Cit., para [3.16].
9
Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas, “Perkembangan Pengujian Undang-Undang di
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6 Desember 2010, hal. 162-167.
10
Mahkamah Konstitusi (e), Putusan Nomor 21/ PUU-XVI/2008 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer yang telah ditetapkan menjadi undang-undang
oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, para [3.11].
11
Mahkamah Konstitusi (f), Risalah Sidang Perkara Nomor 36/PUU-XV/2017, Nomor 37/PUU-
XV/2017, Nomor 40/PUU-XV/2017, dan Nomor 47/PUU-XV/2017 tanggal 13 September 2017, hal. 2-
3
12
MK telah beberapa kali menyusun dan mengubah Peraturan MK yang mengatur mengenai
pedoman beracara untuk pemilu legislatif, Presiden dan kepala daerah. Terakhir, MK menerbitkan
400 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Peraturan MK
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Daerah; Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam
Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, serta Peraturan MK Nomor 5
Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota
13
Katherine Ellena, Chad Vickery dan Lisa Reppel, Election on Trial: The Effective
Management of Election Disputes and Violations, (International Foundation for Electoral Systems,
2018), hal. 13
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 401
kepala daerah. Penyelesaian sengketa hasil pemilu kepala daerah memiliki dinamika
perubahan kebijakan yang tinggi. MK menyelenggarakan kewenangan ini diawali atas
dasar penafsiran UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004), dimana MK
berpendapat bahwa penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah merupakan
pilihan kebijakan dari pembentuk UU. 14 Saat ini, pembentuk UU menetapkan bahwa
MK memegang kewenangan transisional untuk memutus hasil pemilu kepala daerah
sebelum menyerahkannya kepada badan peradilan khusus, yaitu tahun 2024.15
Sementara, kewenangan untuk menyelesaikan hasil pemilu legislatif merupakan
mandat yang diberikan dan dituangkan secara eksplisit dalam UUD 1945.
Bagian terakhir dalam kajian ini, termasuk sebagai penutup, berisi kesimpulan
mengenai keterkaitan teoritis dan praktek yang telah dilakukan MK dalam
menjatuhkan putusan sela. Kesimpulan ini selaras dengan tujuan penelitian yang
bermaksud untuk menemukan kesinambungan antara konsepsi putusan sela yang
diadopsi dari hukum acara perdata dan pidana dengan praktek yang dilakukan oleh
MK. Kesinambungan ini memiliki arti penting dalam rangka merumuskan hukum
acara yang mengatur mengenai putusan sela, terutama dalam kewenangan
menyelesaikan perselisihan hasil pemilu. Oleh karenanya, pada bagian akhir kajian ini
juga menyampaikan usulan dalam rangka pembenahan hukum acara MK dalam
perselisihan hasil pemilu, khususnya yang menyangkut pengaturan mengenai putusan
sela.
II. PEMBAHASAN
1. Konsepsi Putusan Sela
Ditinjau dari sudut pandang pada saat penjatuhannya, putusan pengadilan dibagi
menjadi ‘putusan antara’ atau ‘putusan sela’ (tussen vonnis) dan ‘putusan akhir’ (eind
vonnis). Terdapat perbedaan dan persamaan antara keduanya dalam pengaturan pada
hukum acara pidana dan perdata.
Perbedaan pengaturannya terletak pada kesatuan antara putusan sela dengan
putusan akhir. Dalam hukum acara pidana, putusan sela dapat mengakhiri pemeriksaan
perkara apabila para pihak menerima putusan sela yang dijatuhkan oleh majelis
hakim.16 Putusan sela ini dijatuhkan dalam yurisdiksi pemeriksaan (1) penetapan
“tidak berwenangnya pengadilan mengadili suatu perkara (verklaring van
onbevoegheid);17 (2) putusan bahwa dakwaan jaksa batal demi hukum (nietig van
rechtswege/null and void);18 dan (3) putusan bahwa dakwaan jaksa tidak dapat
diterima (niet ontvakelijk verklaard).19 Selain itu, putusan sela dalam hukum acara
pidana dikatakan dapat berdiri sendiri karena atas putusan ini dapat diajukan
14
Mahkamah Konstitusi (g), Putusan Nomor 073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertanggal 22 Maret 2005, hal. 115
15
Indonesia (b), Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-
Undang, Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2016 Nomor 130, dan Tambahan
Lembaran Negara (TLN) Nomor 5898, Pasal I angka 66 (Perubahan Pasal 201)
16
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Penerbit PT Citra
Aditya Bakti, 2007), hal.125
17
Indonesia (c), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1981 Nomor 76, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 3209, Pasal 148 ayat (1) dan Pasal 156 ayat (1).
18
Ibid., Pasal 143 ayat (2) b dan ayat (3).
19
Ibid., Pasal 156 ayat (1)
402 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
‘perlawanan’ (verzet) kepada pengadilan tingkat banding yang terpisah dari materi
pokok perkara tuntutan pidana kepada terdakwa. Putusan sela dalam hukum acara
pidana erat berkaitan dengan pengajuan keberatan (eksepsi) oleh terdakwa. Dalam
hukum acara pidana, harus dipisahkan, secara hati-hati, antara istilah penetapan dan
putusan sela. Benang merah antara keduanya adalah bahwa penetapan dan putusan sela
dapat dijatuhkan majelis hakim atas pengajuan eksepsi.20
Berbeda halnya dengan hukum acara pidana, dalam hukum acara perdata
‘putusan sela’ tidak berdiri sendiri dan harus merupakan satu kesatuan dengan putusan
akhir mengenai pokok perkara.21 Fungsi dari putusan sela adalah untuk mempermudah
kelanjutan pemeriksaan perkara.22 Oleh karenanya, Soepomo mengidentifikasi jenis
putusan sela dalam hukum acara perdata menjadi preparatoir dan interlocutoir.23
Putusan preparatoir tidak akan mempengaruhi putusan akhir sebab putusan ini
bertujuan untuk mempersiapkan jalannya pemeriksaan persidangan seperti
menetapkan penggabungan perkara atau menetapkan jadwal persidangan. Sedangkan
putusan interlocutoir dapat mempengaruhi putusan akhir sebab berisi perintah sesuai
dengan tujuan yang diinginkan majelis hakim seperti perintah untuk pemeriksaan
setempat atau perintah untuk menghadirkan dan mendengarkan keterangan saksi atau
ahli.
Secara doktrinal, ada dua jenis putusan sela lainnya dalam hukum acara perdata
yang diatur dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsverordering (Rv), yaitu putusan
insidentil dan provisionil.24 Yang dimaksud dengan putusan insidentil adalah putusan
yang berkaitan dengan insidentil seperti mengabulkan gugatan intervensi untuk
masuknya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan atau berkenaan dengan pelaksanaan
sita jaminan.25 Sedangkan putusan provisi adalah putusan yang bersifat sementara
(interim award) berupa tindakan yang harus diambil sambil menunggu putusan akhir
mengenai pokok perkara dijatuhkan.26 Dalam mengajukan permohonan provisi,
hukum acara perdata mengatur beberapa syarat formil, yaitu: (a) harus memuat urgensi
dan relevansi atas permintaan provisi; (b) mengemukakan tindakan sementara yang
harus diputus pengadilan; dan (c) tidak boleh menyangkut materi pokok perkara.27
Dalam doktrin maupun yurisprudensi, pembedaan antara jenis-jenis putusan sela
tidaklah terlalu menjadi persoalan penting. Akan tetapi, dalam hal putusan provisi
penyebutan istilahnya lebih dikhususkan meskipun masih masuk dalam kelompok
putusan sela.28
MK dalam beberapa yurisprudensi juga mengenal penggunaan istilah ‘provisi’.
Sebagai contoh adalah dalam pemeriksaan perkara nomor 133/PUU-VII/2009,
mengenai pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002, sebagaimana telah dibahas pada
bagian pendahuluan dari tulisan ini. Dalam putusan sela pemeriksaan perkara
pengujian UU tersebut, MK memuat terminologi ‘provisi’.29
20
Lilik Mulyadi. Op Cit., hal. 160-162
21
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cet. 8 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 880
22
Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, cet. 17 (Jakarta: Pradnya Paramita,
2005), hal. 93
23
Ibid.
24
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ed.6 (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2002), hal. 223
25
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 881-884
26
Ibid.
27
Ibid., h. 885
28
Ibid., h. 887
29
Mahkamah Konstitusi (c), Op. Cit., para [1.1].
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 403
30
Mahkamah Konstitusi (h), Putusan Nomor 43/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Pinrang.
31
Ibid. para [4.3]
32
Mahkamah Konstitusi (i), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lampiran IV dan Lampiran IX.
33
Mahkamah Konstitusi (j), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Pedoman Penyusunan Permohonan Pemohon, Jawaban Termohon dan Keterangan Pihak Terkait, Pasal
15 dan Pasal 24
34
Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2014 telah diganti dengan Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2018.
Sedangkan, Peraturan MK Nomor 3 Tahun 2015 telah diganti dengan Peraturan MK Nomor 4 Tahun
2016 yang diubah dengan Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2017
35
Mahkamah Konstitusi (k), Putusan Nomor 031-PHPU.C-II/2004 tentang Perkara Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum Tahun 2004, hal. 57-58
36
Tempo.co, MK Perintahkan Pengecekan Ulang di Sampang, Rabu, 26 Mei 2004, <
https://nasional.tempo.co/read/42970/mk-perintahkan-pengecekan-ulang-di-sampang>, diakses pada 18
Januari 2019.
404 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Mahkamah dapat menetapkan putusan sela dan menunjuk petugas guna menyaksikan
hal-hal yang terkait dengan penghitungan suara...”.37
Mekanisme putusan sela mengalami pergeseran dengan dipicu oleh adanya
putusan MK yang memerintahkan untuk melakukan pemungutan dan penghitungan
suara ulang di sebagian wilayah pada pemilu Provinsi Jawa Timur tahun 2008.38 Salah
satu pasangan calon keberatan atas hasil pemungutan dan penghitungan suara ulang
tersebut. Keberatan tersebut diwujudkan dengan melayangkan permohonan kembali.
MK menolak untuk meregistrasi permohonan tersebut.39 Alasannya, sebagaimana
dikemukakan oleh Panitera MK, pemeriksaan perkara yang telah diputus MK adalah
hal yang mustahil sebab putusan MK bersifat final. Dibukanya pemeriksaan kembali
setelah adanya putusan sama halnya dengan adanya upaya hukum terhadap putusan,
layaknya Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.40 Dalam kesempatan yang sama,
Mahfud MD selaku Ketua MK saat itu, membuka kemungkinan untuk penjatuhan
putusan sela.41
Definisi serta pengaturan mengenai putusan sela dalam aturan formal hukum
acara perselisihan hasil pemilu, yang dituangkan dalam Peraturan MK, beberapa kali
mengalami penyesuaian. Pengaturan putusan sela biasa dituangkan dalam Peraturan
mengenai pedoman beracara dalam penyelesaian sengketa pemilu untuk pemilihan
anggota legislatif, presiden dan kepala daerah (tabel 1). Perubahan pengaturan
mengenai putusan sela ada yang hanya bersifat redaksional dan perubahan sistematika.
Ada pula perubahan yang berdampak pada legitimasi mekanisme pelaporan hasil
pelaksanaan putusan sela.
Nomor
No Tentang Pasal Substansi Pengaturan
Peraturan
Apabila dipandang perlu, untuk
Pedoman Beracara Dalam
kepentingan Pemeriksaan Persidangan,
Perselisihan Hasil Pemilihan
Mahkamah dapat menetapkan putusan
Umum Anggota Dewan
1. PMK 14/2008 Pasal 9 ayat (6) sela dan menunjuk petugas guna
Perwakilan Rakyat, Dewan
menyaksikan hal-hal yang terkait
Perwakilan Daerah, Dan Dewan
dengan penghitungan suara yang
Perwakilan Rakyat Daerah
diperintahkan oleh Mahkamah
Untuk kepentingan pemeriksaan,
Pedoman Beracara Dalam
Mahkamah dapat menetapkan putusan
2. PMK 15/2008 Perselisihan Hasil Pemilihan Pasal 8 ayat (4)
sela yang terkait dengan penghitungan
Umum Kepala Daerah
suara ulang
Pedoman Beracara Dalam Pasal 1 angka 19
Perselisihan Hasil Pemilihan Putusan sela adalah putusan yang
Pasal 1 angka 19 dijatuhkan oleh hakim sebelum
Umum Anggota Dewan
3. PMK 16/2009 dan Pasal 9 ayat putusan akhir berupa putusan untuk
Perwakilan Rakyat, Dewan
(5) melakukan atau tidak melakukan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sesuatu yang berkaitan dengan objek
yang dipersengketakan yang hasilnya
Pedoman Beracara Dalam akan dipertimbangkan dalam putusan
Pasal 1 angka 19
Perselisihan Hasil Pemilihan akhir
4. PMK 17/2009 dan Pasal 8 ayat
Umum Presiden Dan Wakil
(5) Pasal 9 ayat (5) [dan Pasal 8 ayat (5)]
Presiden
Apabila dipandang perlu, Mahkamah
37
Mahkamah Konstitusi (l), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 9 ayat (6)
38
Mahkamah Konstitusi (m), Putusan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur, tanggal 2 Desember 2008
39
Mahkamah Konstitusi (n), Ketetapan Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, tanggal 3 Februari 2009
40
Hukum Online, “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada”, 17 Februari 2009,
<https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21209/menggagas-putusan-sela-dalam-
sengketa-pilkada>, diakses pada 7 Januari 2009
41
Ibid.
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 405
Nomor
No Tentang Pasal Substansi Pengaturan
Peraturan
dapat memutuskan putusan sela
sebelum putusan akhir
(5) Apabila dipandang perlu,
Mahkamah dapat memutuskan
putusan sela sebelum putusan
akhir
Pedoman Beracara Dalam (6) Putusan sela sebagaimana
Perselisihan Hasil Pemilihan dimakud pada ayat (5) [sic]
Pasal 11 ayat (5)
Umum Anggota Dewan adalah putusan yang dijatuhkan
5. PMK 3/2013 dan (6)
Perwakilan Rakyat, Dewan oleh hakim sebelum putusan akhir
Perwakilan Daerah, Dan Dewan untuk melakukan atau tidak
Perwakilan Rakyat Daerah melakukan sesuatu yang
berkaitan dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
(1) Apabila dipandang perlu,
Mahkamah dapat mengeluarkan
putusan sela
Pedoman Beracara Dalam (2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
Perselisihan Hasil Pemilihan
putusan yang dijatuhkan oleh
Umum Anggota Dewan
6. PMK 1/2014 Pasal 41 Hakim sebelum putusan akhir
Perwakilan Rakyat, Dewan
untuk melakukan atau tidak
Perwakilan Daerah, Dan Dewan
melakukan sesuatu yang berkaitan
Perwakilan Rakyat Daerah
dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
(1) Dalam hal dipandang perlu,
Mahkamah dapat mengeluarkan
putusan sela
(2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
Pedoman Beracara Dalam
putusan yang dijatuhkan oleh
Perselisihan Hasil Pemilihan
7. PMK 4/2014 Pasal 37 Hakim sebelum putusan akhir
Umum Presiden Dan Wakil
untuk melakukan atau tidak
Presiden
melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
(1) Dalam hal dipandang perlu,
Mahkamah dapat mengeluarkan
putusan sela
(2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
Pedoman Beracara Dalam
putusan yang dijatuhkan oleh
Perkara Perselisihan Hasil
8. PMK 1/2015 Pasal 40 Hakim sebelum putusan akhir
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan
untuk melakukan atau tidak
Walikota
melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan objek yang
dipersengketakan yang hasilnya
akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir
Pedoman Beracara Dalam (1) Dalam hal dipandang perlu,
Perkara Perselisihan Hasil Mahkamah dapat mengeluarkan
9. PMK 1/2016 Pasal 42
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan putusan sela
Walikota (2) Putusan sela sebagaimana
dimakud pada ayat (1) adalah
putusan yang dijatuhkan oleh
Hakim sebelum putusan akhir
untuk melakukan atau tidak
Pedoman Beracara Dalam melakukan sesuatu yang berkaitan
Perkara Perselisihan Hasil dengan objek yang
10. PMK 5/2017 Pasal 45 dipersengketakan yang hasilnya
Pemilihan Gubernur, Bupati Dan
Walikota akan dipertimbangkan dalam
putusan akhir.
(3) Dalam hal Mahkamah
menjatuhkan putusan sela,
Mahkamah dapat
406 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Nomor
No Tentang Pasal Substansi Pengaturan
Peraturan
menyelenggarakan persidangan
untuk mendengarkan laporan
pelaksanaan hasil putusan sela
Tata Beracara Dalam Perkara (1) Dalam hal dipandang perlu,
Perselisihan Hasil Pemilihan Mahkamah dapat mengeluarkan
11. PMK 2/2018 Umum Anggota Dewan Pasal 58 putusan sela
Perwakilan Rakyat Dan Dewan (2) Putusan sela sebagaimana
Perwakilan Rakyat Daerah dimakud pada ayat (1) berisi
Tata Beracara Dalam Perkara perintah kepada Termohon
Perselisihan Hasil Pemilihan dan/atau pihak lain untuk
12. PMK 3/2018 Pasal 58
Umum Anggota Dewan melakukan sesuatu atau tidak
Perwakilan Daerah melakukan sesuatu yang berkaitan
dengan objek yang
dipersengketakan.
(3) Dalam hal Mahkamah
Tata Beracara Dalam Perkara menjatuhkan putusan sela,
Perselisihan Hasil Pemilihan Mahkamah dapat
13. PMK 4/2018 Pasal 52 menyelenggarakan persidangan
Umum Presiden Dan Wakil
Presiden untuk mendengarkan laporan
pelaksanaan hasil putusan sela
sebagai dasar dan pertimbangan
dalam menjatuhkan putusan
42
Mahkamah Konstitusi (o), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota;
Mahkamah Konstitusi (p), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara
Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Mahkamah Konstitusi (q), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun
2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Daerah; dan Mahkamah Konstitusi (r), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun
2018 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil
Presiden
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 407
43
Mahkamah Konstitusi (s), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang
Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
44
Mahkamah Konstitusi (t), Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Pasal 1 angka 19 dan Mahkamah Konstitusi (u),
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden, Pasal 1 angka 19
45
Mahkamah Konstitusi (v), Putusan Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Papua Tahun 2009.
46
Ibid., para [3.22]
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 409
Tabel 2. Rekapitulasi Putusan Sela pada Pemilu Anggota Legislatif tahun 2008
Tingkat/
No Nomor Perkara Daerah Pemilihan Amar Putusan
Keanggotaan
Penghitungan suara
37/PHPU.A- ulang di sebagian
1. DPD Provinsi Sumatera Utara
VII/2009 kecamatan di Kabupaten
Nias Selatan
Pemungutan suara ulang
47-81/PHPU.A- dan penghitungan suara
2. DPD Provinsi Papua
VII/2009 ulang di sebagian distrik
di Kabupaten Yahukimo
DPR (Dapil Sumatera Utara II)
DPRD Provinsi (Dapil Pemungutan suara ulang
28-65-70-82-84- DPR
Sumatera Utara 7) di Kabupaten Nias
3. 89/PHPU.C- DPRD Provinsi
DPRD Kabupaten (seluruh Selatan
VII/2009 DPRD Kabupaten
Dapil se-Kabupaten Nias
Selatan)
Penghitungan suara
50/PHPU.C-
4. DPR Dapil Kepulauan Riau ulang di sebagian daerah
VII/2009
kota Batam
Penghitungan suara
84/PHPU.C- ulang disebagian daerah
5. DPR Dapil Lampung II
VII/2009 Kabupaten Tulang
Bawang
Penghitungan suara
86/PHPU.C- ulang di TPS 10
6. DPRD Kota Dapil Kota Pariaman 3
VII/2009 Kampung Kandang Kota
Pariaman
Penghitungan suara
60/PHPU.C-
7. DPRD Kabupaten Dapil Minahasa 3 ulang disebagian daerah
VII/2009
Kabupaten Minahasa
Pemungutan suara ulang
75/PHPU.C-
8. DPRD Kabupaten Dapil Rokan Hulu 2 di Kecamatan Tambusai
VII/2009
dan Tambusai Utara
Penghitungan suara
95/PHPU.C- ulang di Kecamatan
9. DPRD Kabupaten Dapil Musi Rawas 4
VII/2009 Tiang Pumpung
Kepungut
Hal yang berbeda tampak dalam praktek perselisihan hasil pemilu tahun 2014.
Dalam pemilu tahun 2014, MK mengeluarkan 13 putusan sela (tabel 3) yang
keseluruhannya berisi perintah untuk melaksanakan penghitungan suara ulang.
Dimungkinkan bahwa pada pemilu 2014, MK berupaya untuk menahan diri dan tidak
mengeluarkan putusan yang terlalu kontroversial, seperti perintah untuk pemungutan
suara ulang. Hal ini dilandasi dengan keadaan bahwa tingkat kepercayaan publik
terhadap MK pada masa itu sedang mengalami penurunan.49 Bila MK menjatuhkan
47
Ibid., para [3.24]
48
Ibid., para [3.25]
49
Vivanews, LSI Network, Akil Ditangkap, Kepercayaan Publik pada MK Merosot, 6 Oktober
2013, < https://www.viva.co.id/berita/nasional/449541-lsi-network-akil-ditangkap-kepercayaan-publik-
pada-mk-merosot> diakses pada 21 Januari 2019; Tribunnews, Survei LSI: Gara-gara Akil Kepercayaan
Masyarakat Terhadap MK Drastis Merosot, 6 Oktober 2013 <
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/06/survei-lsi-kepercayaan-masyarakat-terhadap-mk-
drastis-merosot> diakses 21 Januari 2019.
410 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
putusan yang terlalu kontroversial dan kemudian perintah dalam putusan tidak
dilaksanakan karena rendahnya tingkat kepercayaan publik maka hal demikianjustru
akan mempertaruhkan reputasi MK sendiri.
Perintah untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang pada pada
hakikatnya merupakan hukuman terhadap penyelenggara pemilu atas adanya indikasi
pelanggaran. Secara tidak langsung, putusan jenis ini membutuhkan reputasi dan
tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap pengadilan. Putusan ini berbeda
dengan putusan yang berisi perintah penghitungan suara ulang sebagai bagian dari
upaya majelis hakim memperolah keyakinan dalam proses pembuktian ketika akan
memutus perkara.
Tabel 3. Rekapitulasi Putusan Sela pada Pemilu Anggota Legislatif tahun 2014
Tingkat/ Daerah
No. Nomor Perkara Amar Putusan
Keanggotaan Pemilihan
Penghitungan suara
1. 03-30/PHPU-DPD/XII/2014 DPD Provinsi Maluku
ulang di Kota Tual
Penghitungan suara
06-09-07/PHPU-DPR- Dapil Sumatera ulang di 3 kecamatan
2. DPR
DPRD/XII/2014 Selatan I kabupaten Musi
Rawas
01-01-31/PHPU-DPR-
3. Penghitungan suara
DPRD/XII/2014
ulang di 18
04-03-31/PHPU-DPR- Dapil Maluku
4. DPR kecamatan di
DPRD/XII/2014 Utara I
kabupaten Halmahera
10-07-31/PHPU-DPR-
5. Selatan
DPRD/XII/2014
Penghitungan suara
09-04-28/PHPU-DPR- Dapil Sulawesi
6. DPRD Provinsi ulang di Kecamatan
DPRD/XII/2014 Tenggara 1
Kadia
10-07-12/PHPU-DPR- Dapil Jawa Penghitungan suara
7. DPRD Provinsi
DPRD/XII/2014 Barat 3 ulang di 11 desa
Penghitungan suara
04-03-23/PHPU-DPR- Dapil Kota
8. DPRD Kota ulang di beberapa
DPRD/XII/2014 Samarinda 1
TPS
Penghitungan suara
03-05-24/PHPU-DPR- Dapil Kota
9. DPRD Kota ulang secara
DPRD/XII/2014 Manado 3
keseluruhan
05-14-02/PHPU-DPR- Dapil Nias Rekapitulasi ulang di
10. DPRD Kabupaten
DPRD/XII/2014 Selatan 3 Kecamatan Ulunoyo
Penghitungan suara
03-05-06/PHPU-DPR- Dapil Merangin
11. DPRD Kabupaten ulang di TPS 10 Desa
DPRD/XII/2014 4
Tuo
01-01-16/PHPU-DPR- Dapil Sampang Penghitungan suara
12. DPRD Kabupaten
DPRD/XII/2014 2 ulang di 9 desa
Dapil Penghitungan suara
05-14-31/PHPU-DPR-
13. DPRD Kabupaten Halmahera ulang di 2 TPS desa
DPRD/XII/2014
Barat 1 Tabadamai
50
Indonesia (d), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 125, dan Tambahan Lembaran
Negara (TLN) Nomor 4437, Pasal 24 ayat (5)
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 411
51
Ibid., Pasal 106. Ketentuan ini ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dengen menerbitkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan upaya
Hukum Keberatan Terhadap Penetapan Hasil Pilkada dan Pilwakada dari KPUD Propinsi dan KPUD
Kabupaten/Kota.
52
Indonesia (e), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia
(LNRI) Tahun 2008 Nomor 59, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4844, Pasal 236C
53
Mahkamah Konstitusi (w), “Menegakkan Keadilan Substantif”, Laporan Tahunan 2008,
(Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), hal.6
54
Mahkamah Konstitusi (x), Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para [3.12.5]
55
Tjahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak, (Jakarta: Penerbit Expose, 2015), hal. 52
56
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 66 (Perubahan Pasal 201)
57
Tjahjo Kumolo, Op. Cit., hal. 42
58
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 41 (Perubahan Pasal 157 ayat (3))
412 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
KabupatenTapanuli
3. 49/PHPU.D-VI/2008 Pemungutan suara ulang di 14 Kecamatan
Utara
Pemungutan suara ulang secara menyeluruh
Kabupaten Bengkulu dengan mengecualikan pasangan Dirwan
4. 57/PHPU.D-VI/2008 Mahmud dan Hartawan sebagai peserta dalam
Selatan
pemilu ulang tersebut
59
Mahkamah Konstitusi (m)., Op. Cit., para [4.4]
60
Ibid., para [4.5]
61
Ni’matul Huda, Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta: FHUII
Press, 2018), hal. 140-144
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 413
pada tahun 2010. Secara tegas, MK mulai mengenalkan dan menjatuhkan putusan sela
pada perkara perselisihan hasil pemilu di Kabupaten Bangli.62
Ada beberapa ciri yang membedakan putusan sela dengan putusan akhir.
Pertama, kepala putusan tidak menyebutkan judul sebagai “Putusan Sela” akan tetapi
pada paragraf pembuka disematkan frasa “menjatuhkan putusan sela”. Kedua, pada
bagian amar putusan selalu disebutkan klausula, “sebelum menjatuhkan putusan
akhir”. Ketiga, MK menetapkan tenggat waktu dari pelaksanaan perintah yang
terdapat dalam putusan. Keempat, pihak-pihak yang diperintahkan melaksanakan
putusan diberi kewajiban untuk melaporkan hasil pelaksanaan putusan dalam sidang
yang akan digelar oleh MK sebelum adanya putusan akhir.
Ciri khas putusan sela ini tidak selalu dipertahankan oleh MK. Sejak putusan
sela yang dijatuhkan dalam perkara sengketa hasil pemilu Kota Surabaya, 63 MK
menanggalkan frasa “menjatuhkan putusan sela” pada paragraf awal putusannya.
Pertimbangan untuk menghilangkan frasa ini didasarkan pada alasan pragmatis, bahwa
MK tidak menginginkan para pihak dapat memprediksi putusan yang akan dijatuhkan
sejak awal akan dibacakan dalam sidang.64
Selain itu, ada juga anomali dalam praktek penjatuhan putusan. Dalam
pemeriksaan perkara sengketa pemilu Kabupaten Kepulauan Yapen,65 MK
memerintahkan untuk melakukan pemilu ulang dengan terlebih dahulu melakukan
verifikasi terhadap seluruh pasangan calon. Putusan yang dijatuhkan MK tidak
memuat beberapa ciri putusan sela sebagaimana disebutkan diatas. Oleh sebab itu,
putusan tersebut seharusnya dikategorikan sebagai putusan akhir. Akan tetapi satu
setengah tahun setelah putusan dibacakan, MK kembali menggelar sidang untuk
perkara yang sama kemudian menjatuhkan putusan akhir dengan nomor registrasi
yang sama dengan putusan sebelumnya.66 Putusan yang dijatuhkan sebelumnya, secara
tidak langsung, dikategorikan sama dengan putusan sela.
Dalam rentang waktu 2008 sampai dengan 2014, MK telah menjatuhkan putusan
sela untuk 49 (empat puluh sembilan) daerah yang mengajukan sengketa pemilu
kepala daerah (tabel 5).
Tabel 5. Jumlah Daerah yang menyelenggarakan Pemilu Kepala Daerah
dan yang mengajukan sengketa ke MK antara tahun 2008 – 2014
62
Mahkamah Konstitusi (y), Putusan Nomor 9/PHPU.D-VIII/2010 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, bertanggal 3 Juni 2010.
63
Mahkamah Konstitusi (z), Putusan Nomor 31/PHPU.D-VIII/2010 Perselisihan Hasil Pemilihan
Bupati dan Wakil Walikota Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, bertanggal 30 Juni 2010.
64
Hasil wawancara dengan aparatur pengadilan di Mahkamah Konstitusi, tanggal 9 Januari 2019
65
Mahkamah Konstitusi (aa), Putusan Nomor 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua,
bertanggal 30 Desember 2010
66
Mahkamah Konstitusi (ab), Putusan Nomor 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua,
bertanggal 24 Juli 2012
414 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
Variasi perintah dalam putusan sela tidak hanya terbatas pada pemungutan atau
penghitungan suara ulang. Ada 11 daerah yang melaksanakan putusan sela dengan
bentuk perintah yang bukan merupakan penghitungan atau pemungutan suara ulang
(Tabel 6). Sebuah kajian dengan pendekatan perbandingan yang dilakukan oleh the
International Institute for Democracy and Electoral Assistance menyimpulkan bahwa,
secara umum, ada 3 (tiga) bentuk pemulihan yang diajukan dalam gugatan atas hasil
pemilu, yaitu (1) mengubah hasil akhir perolehan suara melalui penghitungan suara
ulang secara keseluruhan atau di sebagian tempat; (2) menyatakan tidak sah atas hasil
pemilu; atau (3) membatalkan pencalonan peserta pemilu.67
67
International IDEA,Electoral Justice: the International IDEA Handbook, (Stockholm:
International IDEA, 2011) hal. 170-180
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 415
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa putusan sela yang dijatuhkan MK ada yang
memerintahkan penyelenggara pemilu untuk melakukan verifikasi administrasi
maupun faktual terhadap pasangan calon. Dengan demikian, MK seolah memutar
tahapan pemilu hingga awal. Hal ini tidak terlepas dari adanya indikasi bahwa pada
periode 2008 -2014, tingkat kepercayaan terhadap hasil pelaksanaan pemilu kepala
daerah masih rendah.68 Selain juga ditopang adanya ketidakpahaman dari para pihak
mengenai dasar gugatan yang bisa diajukan ke MK, sehingga pelanggaran dan
perselisihan dalam tahapan pemilu tidak diselesaikan pada ranah penegakan hukum
lainnya melainkan semuanya diserahkan ke MK.69 Dalam rangka memeriksa
pelanggaran pemilu yang bersifat luar biasa MK menganggap perlu untuk melakukan
terobosan hukum guna memulihkan nilai demokrasi yang cacat akibat pelanggaran
tersebut.70 Putusan yang dijatuhkan sebagai sanksi atas pelanggaran tersebut tidak
hanya terbatas pada penghitungan suara ulang melainkan juga (i) pemungutan suara
ulang, (ii) verifikasi administrasi dan faktual dari pasangan calon, (iii)
mendiskualifikasi pasangan calon terpilih sekaligus menetapkan pemenang, (iv)
mendiskualifikasi pasangan calon yang tidak memenuhi syarat, (v) memerintahkan
pemungutan suara bagi pemilih yang berhak memilih, hingga (vi) memberi kedudukan
hukum kepada bakal pasangan calon yang telah resmi mendaftarkan diri, namun tidak
ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah.71
Dalam konteks penjatuhan putusan sela, persoalan yang mengemuka adalah
campur baurnya hakikat putusan sela, antara pembuktian dengan penghukuman.
Hakikat putusan sela adalah bagian dari proses pembuktian dalam persidangan.
Namun demikian, putusan sela justru lebih cenderung menjadi mekanisme hukuman
atas adanya pelanggaran pemilu. Majelis hakim, dalam pemeriksaan persidangan,
menemukan adanya pelanggaran pemilu kemudian hendak menjatuhkan hukuman atas
pelanggaran tersebut. MK terbentur pada karakteristik putusan yang bersifat final
sehingga tidak dapat membuka sidang pasca putusan. Oleh karenanya, MK melakukan
terobosan melalui penjatuhan putusan sela. Selain itu, mekanisme putusan sela juga
difungsikan sebagai pemantauan akan pelaksanaan dari putusan sela. Penyelenggara
pemilu sebagai pihak yang diperintahkan untuk menjalankan putusan sela telah
menjalankan atau mengabaikan perintah MK.
Kecenderungan dalam praktek adalah bahwa pasca gelaran sidang yang
mendengar laporan para pihak atas pelaksanaan putusan sela, MK tidak lagi
melakukan pemeriksaan silang dan pembuktian lanjutan. Dalam banyak perkara, MK
menerima laporan pelaksanaan putusan sela dan mengukuhkan hasil pelaksanaan
tersebut dengan putusan akhir. Oleh sebab itu, penyelesaian perkara sengketa pemilu
kepala daerah dalam periode 2008 – 2014 masih terdapat kerancuan karakteristik
antara menjadikan putusan sela sebagai mekanisme penghukuman atas adanya
pelanggaran dengan memanfaatkannya sebagai bagian dari kepentingan pemeriksaan
persidangan, terutama untuk pembuktian.
68
Hamdan Zoelva, “Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada oleh Mahkamah
Konstitusi”, Jurnal Konstitusi, Vol. 10, No. 3 September 2013, hal. 392
69
Ibid., hal. 392-393
70
Ibid., hal. 393. Dalam hal putusan MK yang dianggap melakukan terobosan hukum ada yang
menggunakan istilah ‘progresif’ atas pendekatan yang dilakukan MK tersebut, Meyrinda R. Hilipito,
“Progresivitas Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada”, Widyariset,
Volume 15 No. 1 (2012), hal. 57-66.
71
Ibid.
416 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
72
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 42 (Perubahan Pasal 158).
73
Indonesia (f), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Lembaran
Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2015 Nomor 57, dan Tambahan Lembaran Negara (TLN)
Nomor 5678, Pasal I angka 115 (Perubahan Pasal 201 ayat (7)).
74
Indonesia (b), Op. Cit., Pasal I angka 66 (Perubahan Pasal 201 ayat (8))
75
Mahkamah Konstitusi (ac), “Harmoni Sosial dan Budaya Demokrasi yang Berkeadilan”,
Laporan Tahunan 2016, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, 2017) hal. 19-20
76
Mahkamah Konstitusi (ad), “Konsistensi pada Konstitusi dan Ideologi Negara”, Laporan
Tahunan 2017, (Jakarta: Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal MK, 2018), hal. 36
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 417
selisih suara. Dalam tahapan pemilu kepala berikutnya, tahun 2016, ada 33 perkara
yang diputus MK karena tidak memenuhi persyaratan yang sama. Di tahun 2018, ada
39 perkara yang dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum karena tidak memenuhi
syarat batas selisih perolehan suara.
Hanya sedikit perkara pemilu kepala daerah, pada periode ini, yang masuk
dalam pemeriksaan pokok perkara. Namun, meski berjumlah sedikit, dalam
pemeriksaan perkara MK juga menjatuhkan putusan sela sebagai bagian dari proses
persidangan. Bahkan, dalam beberapa perkara, MK menjatuhkan dua kali putusan sela
sebelum memberikan putusan akhir (tabel 8).
Tabel 8. Putusan Sela dalam Pemilu Kepala Daerah Periode 2015 – 2018
77
Mahkamah Konstitusi (ae), Putusan Nomor 52/PHP.BUP-XV/2017 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua Tahun 2017
78
Mahkamah Konstitusi (af), Putusan Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tahun 2018.
418 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
79
Mahkamah Konstitusi (ag), Putusan Nomor 72/PHP.BUP-XVI/2018 tentang Perselisihan Hasil
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua Tahun 2018, pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PHP.BUP-XVI/2018
80
Mahkamah Konstitusi (ah), Putusan Nomor 38/PHP.BUP-XVI/2018 tentang tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur
Tahun 2018, para [3.2.4]
81
Ibid., para [3.2.6]
82
Mahkamah Konstitusi (ai), Putusan Nomor 61/PHP.BUP-XVI/2018 tentang tentang
Perselisihan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa
Tenggara Timur Tahun 2018
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 419
83
Ibid., para [3.2.4]
420 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019
bukan dalam rangka memutus permohonan eksepsi melainkan dalam pokok perkara.
Format amar putusan dalam putusan sela yang dijatuhkan selama ini adalah dengan
memisahkan antara eksepsi dengan pokok perkara. Bagian amar putusan sela ada
format baku bahwa setelah majelis hakim mempertimbangkan permohonan eksepsi,
terdapat frasa yang senantiasa disebut bahwa “dalam pokok perkara: sebelum
menjatuhkan putusan akhir”. Oleh karenanya, MK perlu meluruskan kesalahan
persepsi yang mengasosiasikan putusan sela dalam hukum acara MK dengan
mempersamakannya dengan konsep putusan sela dalam hukum acara perdata atau
pidana. Atau pilihan lainnya adalah MK tidak lagi menggunakan istilah ‘putusan sela’
dan memeperkenalkan istilah lainnya. Begitu pula halnya dengan penggunaan istilah-
istilah yang diadopsi dari hukum acara lain padahal memiliki konsepsi yang berbeda,
seprti penggunaan istilah eksepsi dan provisi.
Kedua, MK perlu mempertimbangkan untuk mengembalikan hakikat putusan
sela. Sejatinya, putusan sela merupakan mekanisme sebagai proses pembuktian untuk
kepentingan persidangan. Namun demikian, dalam praktek hakikat putusan sela telah
diperluas dari sekedar proses pembuktian tetapi sekaligus juga merupakan mekanisme
penjatuhan sanksi atas pelanggaran pemilu. Putusan sela yang benuansa hukuman
merupakan langkah terobosan yang diambil MK karena mekanisme penegakan hukum
pemilu yang menjadi ranah kewenangan lembaga lain belum berjalan dengan baik.
Putusan sela menjadi media pemantauan akan pelaksanaan perintah dalam putusan
sebab, sebelum menjatuhkan putusan akhir, MK menggelar sidang dengan agenda
mendengar laporan mengenai pelaksanaan putusan sela.Putusan sela perlu
dikembalikan kepada hakikat awalnya sebagai bagian dari proses pembuktian untuk
kepentingan pemeriksaan persidangan. Hal ini berarti bahwa perintah dalam putusan
sela terbatas pada penghitungan suara ulang dalam rangka meneguhkan keyakinan
hakim pada proses pembuktian atas fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan.
Dampaknya, putusan sela harus memiliki format yang berbeda dengan putusan akhir.
MK dapat saja memberi judul dalam kepala putusan dengan sebutan “Putusan Sela”,
atau istilah lain yang disepakati bersama agar tidak salah persepsi dengan
menganalogikan pada putusan sela dalam hukum acara pidana dan perdata. Selain itu,
isi putusan sela tidak perlu memuat bagian duduk perkara. Hal dimungkinkan sebab
belum semua dalil akan dijawab oleh majelis hakim dalam putusan sela ini. Oleh
karena itu, sistematika putusan sela hanya memuat identitas para pihak, pertimbangan
hukum serta amar putusan yang berisi perintah majelis hakim dalam putusan sela.
Di lain pihak, MK juga perlu mengenalkan jenis putusan lain untuk
mengakomodasi perintah dalam putusan yang pada hakikatnya merupakan sanksi atas
adanya pelanggaran pemilu. Putusan ini dijatuhkan sebelum putusan akhir, tanpa
menyebutnya sebagai putusan sela atau putusan akhir. Dalam putusan ini, MK dapat
memerintahkan penyelenggara pemilu untuk melaksanakan pemungutan suara ulang
atau perintah lainnya, seperti memperbaiki daftar pemilih. Selain itu, MK juga
menetapkan batas waktu untuk melaksanakan putusan ini kemudian memerintahkan
para pihak untuk melaporkan pelaksanaannya kepada MK. Mekanisme ini dilakukan
untuk membuka kemungkinan atas pemantauan pelaksanaan putusan MK sebelum
kemudian menetapkan hasil pelaksanaan perintah tersebut dalam putusan akhir.
Ketiga, pertimbangan akan perbedaan ranah kewenangan antara sengketa pemilu
kepala daerah dengan pemilu legislatif dan presiden. Penyelesaian sengketa pemilu
kepala daerah merupakan kewenangan yang bersifat sementara. Sebelum beralihnya
kewenangan penanganan sengketa pemilu kepala daerah kepada badan peradilan
khusus, MK hanya tinggal memiliki satu kesempatan lagi yaitu pada tahapan pemilu
kepala daerah serentak tahun 2020. Mengingat pertimbangan ini maka selayaknya
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 421
DAFTAR PUSTAKA
Internet
Hukum Online, “Menggagas Putusan Sela dalam Sengketa Pilkada”, 17 Februari 2009,
<https://www. hukumonline.com/berita/baca/hol21209/menggagas-putusan-
sela-dalam-sengketa-pilkada>.
Tempo.co, MK Perintahkan Pengecekan Ulang di Sampang, Rabu, 26 Mei 2004, <
https:// nasional.tempo.co/read/42970/mk-perintahkan-pengecekan-ulang-di-
sampang>.
Tribunnews, Survei LSI: Gara-gara Akil Kepercayaan Masyarakat Terhadap MK
Drastis Merosot, 6 Oktober 2013 <
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/10/06/ survei-lsi-kepercayaan-
masyarakat-terhadap-mk-drastis-merosot>
Vivanews, LSI Network, Akil Ditangkap, Kepercayaan Publik pada MK Merosot, 6
Oktober 2013, < https://www.viva.co.id/berita/nasional/449541-lsi-network-
akil-ditangkap-kepercayaan-publik-pada-mk-merosot>.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 1981 Nomor 76, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 3209.
----------------, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2003 Nomor 98, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4316.
----------------, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor 125, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4437.
----------------, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2008 Nomor 59, dan
Tambahan Lembaran Negara (TLN) Nomor 4844.
----------------, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Putusan Sela dalam Perkara Perselisihan, Bisariyadi 423
Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi, Putusan Nomor 073/PUU-II/2004 tentang Pengujian Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, bertanggal 22 Maret 2005
----------------, Putusan Nomor 21/ PUU-XVI/2008 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang
dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer yang
424 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-49 No.2 April-Juni 2019