You are on page 1of 12

MEMBANGUN SIKAP TOLERANSI BERAGAMA

DALAM MASYARAKAT PLURAL


Casram
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. A.H. Nasution 105 Cibiru, Bandung 40614, Indonesia.
E-mail: dadahrobbani9@gmail.com
__________________________

Abstract
The reality of social life is possible because of accommodating differences and diversities among human being. One
of these diversities related to the choice of the faith, and therefore, we should be able to getting along either with the
members of the same religious community as well as with those of others. In this case, religious tolerance is a
necessity to guarantee social stability against the unwanted ideological force and even physical collisions in the
society. Social and religious lives are not to be isolated from each other, but must be integrated into one another.
Building educated and open minded religious community is a requirement to achieve this goal. The ideal religious
tolerance should be built trough active participation from all members of diverse religious communities to achieve
the same goals based on togetherness, inclusive attitude, respect and mutual understanding related to performing
certain rituals and doctrins of each religions. The variety of typologies of interfaith relations, such as exclusivism,
inclusivisme, pluralism, ect., are commonly formulated to bring these diversities into further step of harmonious
religious dialogues. This article reminds us that our comprehension and implementation of religious doctrines should
not stop in the claim of exclucivism (“I”) which culminate in realizing personal relationship with God (solitary), nor
in the claim of inclusivism (“You”) with its concern with recruiting theological and ideological allies (solidarity),
but also in the openness (“We”) where our religious comprehension of human values get emphasized (humanist-
functional). In addition, all parties should suspend such a judgment as theological or ideological one directed to
other religious community. This is a kind of phenomenological epoché we need to take if we wish to put religious
tolerance into practice and not let it stay only on discourse level.
Keywords:
Religious tolerance; educated people; harmonious dialogue; epoché.

__________________________

Abstrak
Realitas kehidupan sosial menjadi mungkin karena ia mengakomodasi perbedaan dan keragaman di antara manusia.
Salah satu dari keragaman ini berkaitan dengan pilihan keyakinan agama, dan karenanya kita hendaknya mampu
bergaul apakah dengan anggota komunitas seagama dan juga dengan anggota komunitas agama lainnya. Dalam hal
ini, toleransi agama merupakan sebuah keniscayaan untuk menjamin stabilitas sosial dari paksaan ideologis atau
bahkan bentrokan fisik dalam masyarakat. Kehidupan sosial dan agama hendaknya tidak tersisih dari satu sama lain,
dan musti terintegrasi kedalam satu sama lain. Membangun masyarakat terdidik dan umat beragama yang berpikiran
terbuka merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan ini. Toleransi agama yang ideal mustinya dibangun melalui
partisipasi aktif semua anggota masyakarat beragama yang beragam guna mencapai tujuan-tujuan yang sama atas
dasar kebersamaan, sikap inklusif, rasa hormat dan saling-paham terkait pelaksanaan ritual dan doktrin-dokrtin
tertentu dari masing-masing agama. Beragam rumusan tentang tipologi hubungan antar agama, seperti eksklu-
sifisme, inklusifisme, pluralisme, dst., lazim dikemukakan untuk membawa keragaman ini ke tahap dialog harmonis
agama yang lebih jauh. Tulisan ini mengingatkan agar penghayatan dan praktik keagamaan tidak berhenti pada
tahap klaim eksklusifisme (“Aku”) yang berujung pada hubungan personal dengan Tuhan (soliter), tidak juga pada
tahap inklusifisme (“Kamu”) dengan perhatiannya pada perekrutan dukungan teologis atau ideologis (solidaritas),
melainkan juga tahap keterbukaan (“Kita”) dimana penghayatan religius atas nilai-nilai kemanusiaan mendapat
penekanan (humanis). Semua pihak hendaknya menangguhkan penilaian yang semacam teologis dan ideologis
terhadap ajaran dan praktik ritual penganut agama lain. Ini merupakan sejenis epoché fenomenologis yang perlu
diambil jika kita hendak mewujudkan toleransi agama dan tidak membiarkannya hanya pada level wacana.
Kata kunci:
Toleransi beragama; masyarakat terdidik; dialog harmoni; epoché.
__________________________
DOI: http://dx.doi.org/10.15575/jw.v1i2.588
Received: March 2016 ; Accepted: August 2016 ; Published: August 2016
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

A. PENDAHULUAN Menurut Fritjhof Schuon,5 agama secara


Toleransi berasal dari bahasa latin eksoteris6 terlahir di dunia ini berbeda-beda.
tolerantia, berarti kelonggaran, kelembutan Akan tetapi terlepas dari perbedaan yang
hati, keringanan dan kesabaran.1 Secara umum muncul dalam agama-agama, secara esoterik7
istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka, agama-agama yang ada di dunia memiliki
lapang dada, suka rela dan kelembutan. prinsip yang sama, yaitu bersumber dan
Unesco mengartikan toleransi sebagai sikap tertuju pada Supreme Being. Cara Schuon
saling menghormati, saling menerima, saling membedakan kedua aspek agama ini bisa
menghargai di tengah keragaman budaya, diterapkan sebagai panduan bagaimana manu-
kebebasan berekspresi dan karakter manusia.2 sia yang berbeda agama bertemu satu sama
Toleransi harus didukung oleh cakrawala lain dalam memberikan peran mereka sebagai
pengetahuan yang luas, bersikap terbuka, hamba TuhanYang Esa di dunia ini.
dialog, kebebasan berpikir dan beragama. Toleransi merupakan bentuk akomodasi
Pendek kata toleransi setara dengan sikap dalam interaksi sosial.8 Manusia beragama
positif, dan menghargai orang lain dalam secara sosial tidak bisa menafikan bahwa
rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai mereka harus bergaul bukan hanya dengan
manusia. kelompoknya sendiri, tetapi juga dengan
Toleransi beragama adalah toleransi yang kelompok berbeda agama. Umat beragama
mencakup masalah-masalah keyakinan dalam musti berupaya memunculkan toleransi untuk
diri manusia yang berhubungan dengan akidah menjaga kestabilan sosial sehingga tidak
atau ketuhanan yang diyakininya. Seseorang terjadi benturan-benturan ideologi dan fisik di
harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan antara umat berbeda agama.
memeluk agama (mempunyai akidah) yang Artikel ini ditulis dengan tujuan agar
dipilihnya masing-masing serta memberikan kehidupan beragama dapat terbina harmonis.
penghormatan atas pelaksanaan ajaran-ajaran Kehidupan bergama dalam masyarakat plural
yang dianut atau diyakininya.3 akan terjalin harmonis bila semua umat yang
Toleransi beragama merupakan realisasi
dari ekspresi pengalaman keagamaan dalam 5
Fritjhof Schuon adalah seorang filosof Perancis
bentuk komunitas.4 Ekspresi pengalaman yang beraliran mistik. Dia menulis banyak tentang
keagamaan dalam bentuk kelompok ini, mistisisme agama-agama Barat dan Timur. Cukup
banyak karyanya, di antaranya, Frithjof Schuon, The
menurut Joachim Wach, merupakan tanggapan Transcendent Unity of Religions, cet. ke-2 (Wheaton:
manusia beragama terhadap realitas mutlak Quest Books Theosophical Publishing House, 2005);
yang diwujudkan dalam bentuk jalinan sosial Fithjof Schoun, Islam and the Perennial Philosophy,
antar umat seagama ataupun berbeda agama, terj. J.Peter Hobson (New York: World of Islam
guna membuktikan bahwa bagi mereka rea- Festival Publishing Company, 1976), dan sebagainya.
6
Eksoteris adalah konsep yang menyatakan bahwa
litas mutlak merupakan elan vital kebera- agama-agama yang ada di dunia ini berbeda
gamaan manusia dalam pergaulan sosial, dan perwujudannya. Perbedaan ini disebabkan oleh
ini terdapat dalam setiap agama, baik yang perwujudan sejarah. Dengan adanya pemahaman
masih hidup bahkan yang sudah punah. eksoteris ini, agama-agama di dunia, terutama agama-
agama yang masih hidup, tampil memiliki nama-nama
yang berbeda, seperti Islam, Kristen Katolik, Yahudi,
Konghucu, Budha, Hindu dan sebagainya.
1
Hornby AS, Oxford Advanced Learner’sDictionary 7
Esoteris adalah suatu pemahaman bahwa pada
(Oxford: University Printing House, 1995), 67. dasarnya agama-agama yang ada di dunia ini, baik yang
2
Michael Walzer, On Toleration Castle Lectures in sudah punah maupun yang masih terlihat sekarang,
Ethics, Politics, and Economics (New York: Yale secara batin memiliki tujuan yang sama yaitu menuju
University Press, 1997), 56. pada satu Tuhan. Konsep ini digagas oleh Frithjof
3
J. Cassanova, Public Religions In The Modern Schuon dalam karyanya Schuon, The Transcendent
World (Chicago: Chicago University Press, 2008),. 87. Unity of Religions.
4 8
Joachim Wach, The Comparative Study of Religion Graham C. Kinloch, Sociological Theory:Develop-
(New York: Colombia University Press, 1958), 121- ment and Major Paradigm (Bandung: Pustaka Setia,
132. 2005), 35.

188 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

berbeda agama memiliki sikap toleransi antipati. Toleransi yang dikembangkan dalam
terhadap satu sama lain. Sejarah mencatat ba- masyarakat ini tidak terjalin atau berjalan
nyak pertumpahan darah atas nama agama normal. Mereka mudah tersentuh atau
terjadi akibat tidak adanya kesaling-pahaman tersinggung bila ajaran keyakinan agama
antara satu sama lain, yang semestinya terwu- mereka sepertinya dihina oleh pemeluk agama
jud dalam sikap toleransi. lain. Mereka merespon langsung dengan
Tulisan ini juga bermaksud untuk memper- mempertahankan taruhan jiwa. Mereka mema-
kaya khazanah intelektual khususnya kajian hami agama orang lain dengan sikap antipati.
sosial berbasis fenemenologi agama yang Masyarakat kompleks atau masyarakat
menekankan bahwa kajian toleransi beragama multikultural tersusun dari keanekaragaman
tidak semata-mata dimunculkan sebagai isapan budaya, masyarakat dan struktur sosial.
jempol, tetapi lebih dari itu menggugah Keanekaragaman adalah fakta yang tidak bisa
perasaaan hati yang sebenarnya dari masing- dielakkan dalam kehidupan kolektif dan tidak
masing umat bergama. Dalam tulisan ini bisa diharapkan eksistensinya atau tidak dapat
ditampilkan bagaimana sikap epoché melan- ditekan tanpa tingkat kekerasan yang bisa
dasi dan dijadikan ukuran untuk menciptakan diterima. Terlebih lagi sejak manusia terikat
sikap toleransi antar umat beragama yang dan dibentuk oleh kebudayaan, penghormatan
proposional. Dengan dimilikinya sikap diri mereka secara erat terikat dengan peng-
epoché, setiap umat beragama akan mudah hormatan pada kebudayaannya. Penghormatan
bergaul dengan umat lain tanpa melepaskan pada kebudayaan ini menumbuhkan rasa
keyakinan agama yang dianutnya, atau bahkan kesetiaan, memberi rasa percaya diri dan
hingga tercipta pemahaman yang baik atas keberanian untuk berinteraksi dengan kebu-
agama lain dengan tanpa merasa tersepelekan dayaan lain.
pemahamannya atas agama yang dipeluknya Karakter interaksi antar kebudayaan dalam
sendiri. masyarakat multikultural adalah terjadinya
asimilasi kebudayaan. Begitu juga dalam hal
B. HASIL DAN PEMBAHASAN keberagamaan. Orang-orang yang hidup
1. Agama dalam Masyarakat Multi- dalam masyarakat multikultural berasimilasi
kultural mengenai bagaimana keberagamaan yang baik
Menurut MacIver, masyarakat dibentuk dalam masyarakat dengan komposisi kepeme-
oleh struktur yang tidak kelihatan dan lukan agama yang heterogen. Hal ini mencip-
merupakan kumpulan dari beragam hubungan takan rasa toleransi dan kerjasama antar
manusia yang dibangun dan diubah oleh budaya-agama. Proses asimilasi ini muncul
manusia itu sendiri.9 Masyarakat bergerak bukan hanya untuk kelompok minoritas tetapi
dinamis sesuai dengan perkembangan jaman. juga untuk kelompok mayoritas. Mereka
Dalam masyarakat sederhana atau primitif, beranggapan bahwa masyarakat memiliki
manusia memiliki karakteristik yang serba struktur moral dan kebudayaan yang padu dan
homogen baik dalam budaya, agama maupun koheren. Hal seperti ini jarang menjadi
struktur sosial. Agama yang dipahami oleh permasalahan. Meskipun struktur moral dan
masyarakat seperti ini adalah agama yang kebudayaan masyarakat memiliki koherensi
dekat dengan simbol-simbol. Simbol-simbol internal, struktur itu tidak sepenuhnya sama
ini memiliki peran dominan terhadap kebera- dan padu. Struktur tersebut berbeda-beda
gamaan mereka. Kebanyakan dari masyarakat menurut kelas, agama, wilayah dan disusun
sederhana ini berpendidikan rendah atau dari bermacam-macam rangkaian pemikiran
dalam lingkup ordinary people. Mereka bahkan yang bertentangan serta terdiri dari
memahami agama orang lain dengan perasaan nilai-nilai dan praktek-praktek yang dapat
ditafsirkan dan dihubungkan dengan beberapa
9
Dalam James. D. Proctor, Science, Religion and cara yang berbeda. Golongan assimilasionis
the Human Experience, (New York: Oxford University mengabaikan semua ini dan menawarkan satu
Press, 2005), 90.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198 189
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

pandangan yang sangat sempit dan menyim- dianggap lemah dalam bidang perekonomian
pang tentang kebudayaan nasional atau me- merasa tersisih dan terpinggirkan akibat tidak
nyamakan struktur kelompok minoritas bisa bersaing dengan kelompok bergama yang
dengan kelompok yang lebih dominan.10 kuat dari sisi ekonomi. Kelompok ini dalam
Dalam masyarakat multikultural, pengikut menjalankan ekonominya berupaya mengim-
atau pemeluk agama memainkan peranan bangi kelompok kuat, serta memasukkan nilai-
dominan bagi ajaran agama yang dipeluknya nilai supranatural. Dengan begitu, mereka
atau bahkan di antara mereka ada sekelompok merasa kuat secara kualitas spiritual sekalipun
orang yang acuh terhadap agama yang mereka dalam skala kuantitas ekonomi kecil.11
peluk. Kenyaataan seperti ini akan meng- Kenyataan seperti di atas adalah respon
ganggu dan juga sekaligus membantu mema- yang mendasar dari kelompok kecil. Respon
hami keberadaan suatu agama dengan ini bisa muncul dalam bentuk kelompok
umatnya. fundamentalis. Kelompok ini bereaksi untuk
Ada dua kelompok masyarakat beragama menjawab kelompok yang kuat dalam sistem
dalam masyarakat multikultural, yaitu perekonomian dengan menggulirkan berbagai
masyarakat beragama educated people dan konsep konservatif, ortodoks atau tradisional
masyarakat beragama ordiniary people. Kedua menuju konsep-konsep fundamentalis mo-
masyarakat beragama ini berbeda dalam dern. Mereka masuk dalam area masyarakat
memperlakukan agama yang mereka peluk. sipil, dunia permodalan dan universitas-
Bagi masyarakat beragama educated people, universitas.12
memahami ajaran agama harus mengikut- Sekalipun kelompok fundamentalis modern
sertakan analisis rasional dan mengesam- seperti ini secara ekonomi lemah, namun ia
pingkan pemahaman intuitif dan simbolik. memiliki berbagai strategi kuat dalam media
Mereka mudah diajak bertoleransi terhadap informasi yang menginspirasi berbagai kecen-
agama dan pemeluk agama lain. Sebaliknya, derungan militansi keagamaannya. Mereka
masyarakat beragama ordiniary people mema- menguasai berbagai jaringan telekomunikasi
hami ajaran agama penuh dengan simbol- canggih dan mampu menyebarkan gagasan
simbol dan tidak mempergunakan analisis ideologisnya untuk menghancurkan kekuatan
rasional. Mereka mudah tersulut emosi dan jumlah besar. Mereka bekerja untuk agama
sangat susah bertoleransi dengan agama dan dan kepentingan politik keagamannya.13
pemeluk agama lain. Kelompok ini mudah Dalam masyarakat multikultural, pengikut
digerakkan oleh sekelompok orang atau atau pemeluk agama memainkan peranan
komunitas baik yang beraliansi pada politik dominan bagi ajaran agama yang dipeluknya
maupun pada sosial budaya. atau bahkan di antara mereka ada sekelompok
orang yang acuh terhadap agama yang mereka
2. Toleransi Beragama dalam Masyarakat peluk. Kenyaataan seperti ini akan meng-
Multikultural ganggu dan juga sekaligus membantu mema-
Dalam masyarakat multikultural yang hami keberadaan suatu agama dengan
identik dengan masyarakat serba majemuk umatnya.
baik dalam politik, budaya atau bahkan agama, Dalam keragaman agama-agama, yang
manusia beragama cenderung mengalami muncul dalam suatu masyarakat multikultural
konflik akibat adanya berbagi kepentingan baik yang memiliki sistem pemerintahan
yang dihadapinya. Kelompok bergama yang republik atau monarki, perbedaan sering
secara ekonomi kuat akan mampu menjadi pemicu munculnya berbagai ham-
mengalahkan kelompok agama yang lemah
secara ekonomi. Pada sisi lain kelompok yang 11
Marty, When Faith Collide, 48.
12
Kinloch, Sociological theory:Development and
10
Bikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism; Major Paradigm, 67.
13
Cultural Diversity andPolitical Theory (New York: Kinloch, Sociological theory:Development and
Palgrave Macmillan, 2005), 78. Major Paradigm, 89.

190 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

batan dalam kohesi sosial.14 Perbedaan agama Toleransi beragama yang dilakukan dengan
tersebut telah meletakkan pemahaman keaga- penuh kesadaran akan melahirkan sikap
maan dalam kerangka dua kubu umat beraga- inklusif umat bergama. Sikap ini menganggap
ma: satu, kubu umat beragama tuan rumah; agama sendiri benar tetapi masih memberikan
kedua, kubu umat beragama pendatang. Kubu ruang untuk menyatakan kebenaran agama
umat beragama tuan rumah biasanya memiliki lain yang diyakini benar oleh umatnya. Sikap
kuantiatas umat yang mayoritas, sedangkan inklusif umat beragama akan mampu merun-
kubu umat beragama pendatang biasanya tuhkan sikap ekstrimis dan eksklusif umat
menduduki posisi minoritas. Kedua kubu ini beragama, yang biasanya melahirkan pema-
saling bertubrukan dalam pergaulan sosial, haman fanatik buta dan radikalisme bahkan
bila di antara mereka menjadikan perbedaan terorisme yang abadi terhadap umat berbeda
agama sebagai hambatan dalam agama.
mengintegrasikan nilai-nilai suatu bangsa atau Toleransi itu cukup mensyaratkan adanya
masyarakat. sikap membiarkan dan tidak menyakiti orang
Munculnya kesadaran antar umat beragama atau kelompok lain, baik yang berbeda
yang diwujudkan dalam toleransi bisa maupun yang sama. Toleransi ditumbuhkan
menekan atau meminimalisasi bentrokan di oleh kesadaran yang bebas dari segala macam
antara mereka. Moto agree in disagrement15 bentuk tekanan atau pengaruh serta terhindar
menjadi modal sosial yang kuat dalam tole- dari hipokrisis. Toleransi mengandung mak-
ransi beragama. Toleransi beragama yang sud untuk memungkinkan terbentuknya sistem
dikembangkan bukan hanya menghargai teo- yang menjamin keamanan pribadi, harta benda
logi dan iman masing-masing agama dan umat dan unsur-unsur minoritas yang terdapat
beragama, tetapi juga memahami dan meng- dalam masyarakat. Ini direalisasikan dengan
hargai budaya dari umat beragama tersebut. menghormati agama, moralitas dan lembaga-
Toleransi beragama mampu memberikan lembaga mereka serta menghargai pendapat
dukungan bagi terbentuknya masyarakat orang lain dan perbedaan-perbedaan yang ada
madani yang diinspirasi oleh nilai-nilai supra- di lingkungannya tanpa harus berselisih
natural. dengan sesamanya hanya karena berbeda
Ada dua tipe toleransi beragama: pertama, keyakinan atau agama. Dalam kaitan dengan
toleransi beragama pasif, yakni sikap mene- agama, toleransi mencakup masalah-masalah
rima perbedaaan sebagai sesuatu yang bersifat keyakinan pada diri manusia yang berhu-
faktual. Kedua, toleransi beragama aktif, bungan dengan akidah atau yang berhubungan
yakni toleransi yang melibatkan diri dengan dengan ketuhanan yang diyakininya. Se-
yang lain di tengah perbedaan dan keragaman. seorang harus diberikan kebebasan untuk
Toleransi aktif merupakan ajaran semua meyakini dan memeluk agama (mempunyai
agama. Hakekat toleransi adalah hidup ber- akidah) masing-masing yang dipilihnya serta
dampingan secara damai dan saling meng- memberikan penghormatan atas pelaksanaan
hargai di antara keragaman. Praktek toleransi ajaran-ajaran yang dianut atau diyakininya.
di sebuah negara sering mengalami pasang
surut. Pasang surut ini dipicu oleh pemaknaan 3. Tipologi Sikap Keberagamaan
distingtif yang bertumpu pada relasi “mereka” Komarudin Hidayat menyebutkan ada lima
dan “kita”. tipologi sikap keberagamaan, yakni “eksklu-
sivisme, inklusivisme, pluralisme, eklekti-
14
Parekh, Rethinking Multiculturalism; Cultural visme, dan universalisme”. Masing-masing
Diversity andPolitical Theory, 99.
15 dari kelima tipologi ini tidak berarti saling
Moto agree in disagreement adalah moto yang
diungkapkan oleh Mukti Ali untuk menciptakan rasa terlepas dan terputus satu sama lainnya dan
epoché dan toleransi antar umat beragama. Moto itu tidak pula permanen, tetapi lebih tepat
menyatakan toleransi beragama bukan hanya terjadi dikatakan sebagai sebuah kecenderungan
dalam kelompok beragama yang sama, tetapi juga menonjol, mengingat setiap agama maupun
dengan kelompok beragama yang berbeda.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198 191
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

sikap keberagamaan senantiasa memiliki Dan keselamatan tidak ada di dalam


potensi untuk melahirkan kelima sikap di siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di
atas.16 bawah kolong langit ini tidak ada nama lain
Sekalipun terdapat perbedaan tipe-tipe yang diberikan kepada manusia yang
teologis keberagamaan di antara para pengaji olehnya kita dapat diselamatkan.20
agama-agama — Panikkar, misalnya, menye- Menurut Budhy Munawar Rachman,21
but tiga tipologi: eksklusif, inklusif, dan para- dalam kasus Islam, sekalipun tidak ada
lelisme — tetapi secara esensial penyebutan semacam kuasa gereja dalam agama Kristen,
tipologi-tipologi itu mengandung makna dan khususnya Katolik yang bisa memberi fatwa
pengertian yang sama. Oleh karena itu, kita menyeluruh seperti contoh di atas, banyak
akan membahas tipologi-tipologi beragama penafsir sepanjang masa yang menyempitkan
itu. Islam pada pandangan-pandangan eksklusif.
a. Eksklusivisme Beberapa ayat yang biasa dipakai sebagai
Sikap eksklusivisme melahirkan pandangan ungkapan eksklusifitas Islam itu antara lain :
bahwa ajaran yang paling benar hanyalah Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk
ajaran agama sendiri, sedangkan agama lain mengalahkan agamamu. Janganlah kamu
sesat dan wajib dikikis, atau pemeluknya takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku.
dikonversi, sebab agama dan penganutnya Hari ini Ku-sempurnakan agamamu
terkutuk dalam pandangan Tuhan.17 Sikap ini bagimu dan Ku-cukupkan karunia-Ku
merupakan pandangan yang dominan dari untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi
zaman ke zaman, dan terus dianut hingga agamamu (QS Al-ma>’idah [5]:3).
dewasa ini.18 Tuntutan kebenaran yang Kemudian ayat yang berbunyi “Barangsiapa
dipeluknya mempunyai ikatan langsung de- menerima agama selain Islam (tunduk kepada
ngan tuntutan eksklusivitas. Artinya, kalau Allah) maka tidaklah akan diterima dan pada
suatu pernyataan dinyatakan, maka pernyataan hari akhirat ia termasuk golongan yang rugi”
lain yang berlawanan tidak bisa benar. (QS Al-‘imra>n [3]:85).
Menurut Nurcholish Madjid,19 bagi sikap Namun begitu, kata Komarudin Hidayat,
keberagamaan eksklusif ini, agama-agama lain sikap eksklusif, yakni merasa agama sendiri
adalah jalan yang salah, yang menyesat- paling baik dan benar, sementara yang lain
kan bagi para pemeluknya. Paradigma ini tidak masuk hitungan, tidaklah selamanya
merupakan pandangan yang dominan dari salah dalam beragama. Dalam pengertiannya
zaman ke zaman dan terus dianut hingga sebagai sikap agnostik, tidak toleran, dan mau
dewasa ini: “Agama sendirilah yang paling menang sendiri, eksklusifisme tentu tidak
benar, yang lain salah”. dibenarkan oleh etika agama manapun di
Bagi agama Kristen, inti pandangan eks- dunia. Tetapi, jika yang dimaksud dengan
klusivisme adalah bahwa Yesus adalah satu- eksklusif adalah berkenaan dengan kualitas,
satunya jalan yang syah untuk keselamatan. mutu, atau keunggulan suatu produk atau
“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. ajaran agamadengan dukungan bukti-bukti
Tidak ada seorangpun yang datang kepada dan argumen yang fair, maka setiap manusia
Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes sesungguhnya mencari agama yang eksklusif
14:6). Juga, dalam ayat lain (Kisah Para Rasul dalam arti excellent tersebut, sesuai dengan
4,12) disebutkan: selera dan keyakinanya.22

20
Budi Munawar Rahman dalam Alwi Shihab,
16
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Islam Inklusif (Jakarta: Taraju Press, 2005), 57.
21
Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), 45. Gerge A. Lindbeck, The Natural Of Doctrne:
17
Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 89. Religion and Theology in a Post Liberal Age
18
Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan, 90. (Philadelphia: The Westminster Press, 1985), 56.
19 22
Nurcholis Madjid dalam Hidayat, Menafsirkan Lindbeck, The Natural Of Doctrne: Religion and
Kehendak Tuhan, 46. Theology in a Post Liberal Age, 90.

192 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

Hanya saja, dalam jargon hidup politik dang agama-agama lain sebagai bentuk
modern, bersikap hidup eksklusif mengandung implisit dari agama kita.26
makna suatu sikap hidup yang mengabaikan Paradigma keberagamaan inklusif mem-
sikap hidup pluralistik, yakni sikap hidup yang bedakan antara salvific presence (kehadiran
benar, dan oleh sebab itu merupakan sikap yang membawa kepada keselamatan) dan
hidup manusia yang beriman.23 Sikap ini dapat aktifitas Tuhan yang terdapat dalam tradisi-
menimbulkan kesukaran-kesukaran. Pertama, tradisi agama lain, dimana penyelamatan dan
ia membawa bahaya yang nyata akan into- aktifitas Tuhan sepenuhnya dalam Yesus
leransi, kesombongan, dan penghinaan terha- Kristus. Menjadi “inklusif” berarti percaya
dap yang lain. Kedua, sikap ini pun mengan- bahwa seluruh kebenaran agama non-Kristiani
dung kelemahan intrinsik karena mengandai- mengacu kepada Kristus. Paradigma ini,
kan konsepsi kebenaran yang seolah logis membaca agama orang lain dengan kacamata
secara murni dan sikap yang tidak kritis sendiri. Sikap beragama inklusif ini juga bisa
terhadap kenaifan epistimologis.24 berarti memasukkan orang lain dalam
Friedrich Heiler, seorang ahli Ilmu kelompok kita.27
Perbandingan Agama dari Marburg, menya- Pandangan yang paling ekspresif dari
takan bahwa secara tradisional tradisi agama paradigma inklusif ini tampak pada dokumen
Barat adalah eksklusif dalam sikap mereka Konsili Vatikan II, yang mempengaruhi selu-
terhadap agama-agama lain dengan membe- ruh komunitas Katolik sejak 1965. Dokumen
rikan kepada agama mereka sendiri validitas yang berkaitan dengan pernyataan inklusif
mutlak.25 dalam kaitan dengan agama lain, ada pada
Terlepas dari adanya kelemahan dalam “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan
sikap eksklusif penganut suatu agama, Agama-agama Non-Kristiani”.
komitmen dan sikap tegas dalam memelihara Teolog terkemuka yang menganut aliran ini
dan mempertahankan kebenaran agamanya adalah Karl Rehner, yang pandangan-
biasanya dapat dipandang positif. Sebab, sikap pandangannya termuat dalam karya terbesar-
eksklusif tidak selamanya bisa disalahkan atau nya the Theological Investigation yang berjilid
dipandang negatif; sikap eksklusif seseorang 20, dalam “Christianity and the Non-Chris-
lebih banyak disebabkan oleh faktor kurang- tian Religions”, jilid 5. Persoalan yang dike-
nya pengetahuan dan pemahaman tentang tengahkannya adalah bagaimana terhadap
agamanya, atau bahkan oleh pengaruh orang-orang yang hidup sebelum karya penye-
lingkungan sosial dan kultural tempat ia hidup, lamatan itu hadir, atau orang-orang sesu-
yang turut membentuk cara ia menjalankan dahnya tetapi tidak pernah tersentuh oleh
agamanya. Injil? Di sini, Rahner memunculkan istilah
b. Inklusivisme inklusif, the Anonymous Christian (Kristen
Inklusivisme merujuk pada sikap dan anonim), yaitu orang-orang non-Kristen.
pandangan keberagamaan seseorang bahwa di Menurut pandangannya, Kristen anonim juga
luar agama yang dipeluknya juga terdapat akan selamat, sejauh mereka hidup dalam
kebenaran, meskipun tidak seutuh atau ketulusan hati terhadap Tuhan, karena karya
sesempurna agama anutannya. Di sini masih Tuhan pun ada pada mereka, walaupun me-
didapatkan toleransi teologis dan iman. Menu- reka belum pernah mendengar Kabar Baik.28
rut Nurcholish Madjid, sikap inklusif meman- Dalam contoh Islam, juga sering
dikemukakan misalnya istilah dari seorang
filsuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah, yang
23
Reinhold Niebuhr, The Tolerance and Intolerance membedakan antara orang-orang dan agama
In Early Judiasm and Christianity (Cambridge:
Cambridge Universdity Press, 1998), 76.
Islam umum (non-Muslim par exellance),
24
Paul Elmen, The Restoration of Meaning to
26
Contemporary Life (New York: Garden City, 2012), 56. Eliade, The Sacred and The Profan, 89.
25 27
Mircea Eliade, The Sacred and The Profan (New Eliade, The Sacred and The Profan, 80.
28
York, 1959), 76. Eliade, The Sacred and The Profan, 89.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198 193
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

serta orang-orang dan agama Islam khusus merangkul sistem-sistem pemikiran yang
(Muslim par exellence). Kata Islam sendiri di berbeda.30
sini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Sikap inklusivitas memuat kualitas
Tuhan”. Mengutip Ibn Taymiyah, “semua nabi keluhuran budi dan kemuliaan tertentu. Anda
dan pengikut mereka seluruhnya disebut oleh dapat mengikuti jalan anda sendiri tanpa perlu
Allah adalah orang-orang Muslim”. mengutuk yang lain. Ibadah anda dapat men-
Hal itu sebagaimana dalam Alquran (Ali jadi konkrit dan pandangan anda dapat
‘Imra>n [3]:85), “Barangsiapa yang menjadi universal. Tetapi, pada sisi lain, sikap
menganut suatu din selain al-Islam maka tidak inklusivitas pun membawa beberapa kesulitan:
akan diterima daripadanya al-din dan di Pertama, ia juga menimbulkan bahaya
akhirat ia termasuk yang merugi”. Dan kesombongan, karena hanya andalah yang
firman-Nya, “sesungguhnya al-din di sisi mempunyai privilege (hak istimewa) atas
Allah ialah al-Islam” (Ali ‘Imra>n [3]:19). penglihatan yang meliputi semua dan sikap
Menurut tafsir penganut “Islam Inklusif”, toleran; andalah yang menentukan bagi yang
sekalipun para nabi mengajarkan pandangan lain tempat yang harus mereka ambil dalam
hidup yang disebut al-Islam, halitu tidak alam semesta.
berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut Kedua, jika sikap ini menerima ekspresi
secara harfiah agama mereka al-Islam dan ‘kebenaran agama’ yang beraneka ragam
mereka sendiri sebagai orang-orang Muslim. sehingga dapat merengkuh sistem-sistem
Itu semua hanyalah peristilahan bahasaArab. pemikiran yang paling berlawanan sekalipun,
Para nabi dan rasul, dalam dakwah mereka maka ia terpaksa menjadikan kebenaran bersi-
pada dasarnya menggunakan bahasa kaumnya fat relatif murni. Kebenaran dalam arti ini
masing-masing. Alquran (Ibra>hi}m [14]:4) tidak mungkin mempunyai isi intelektual yang
menegaskan, bahwa “Kami tidak mengutus independen, karena berbeda atau berlainan
seorang Rasul kecuali dengan bahasa dengan orang lain.31
kaumnya.”29 Dengan demikian, kalangan c. Pluralisme atau Paralelisme
Islam inklusif menganut suatu pandangan Panikkar dan Budhy Munawar Rachman
bahwa agama semua nabi adalah satu. masing-masing menyebutkan istilah plura-
Sikap inklusif cenderung menginterpretasi- lisme dan paralelisme. Sikap teologis para-
kan kembali pelbagai hal dengan cara sede- lelisme bisa terekspresikan dalam macam-
mikian rupa, sehingga hal-hal tersebut tidak macam rumusan, misalnya: “agama-agama
saja cocok tetapi juga dapat diterima. Sikap lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk
demikian akan membawa ke arah univer- mencapai Kebenaran yang Sama”; “agama-
salisme ciri eksistensial atau formal ketimbang agama lain berbicara secara berbeda, tetapi
isi esensialnya. Suatu kebenaran doktrinal merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama
hampir tidak dapat diterima sebagai universal sah”; atau “setiap agama mengekspresikan
jika ia terlalu bersikeras mempertahankan bagian penting sebuah kebenaran”.32
isinya yang spesifik, karena pencerapan isi Paradigma ini percaya bahwa setiap agama
selalu mengandaikan perlunya suatu ‘forma mempunyai jalan keselamatan sendiri. Karena
mentis’ yang khusus. Sikap menerima yang itu, klaim kristiani bahwa ia adalah satu-satu-
toleran akan adanya tataran-tataran yang nya jalan (eksklusif), atau yang melengkapi
berbeda, sebaliknya, akan lebih mudah atau mengisi jalan yang lain (inklusif), harus
dicapai. Sementara, suatu pola payung atau
struktur formal dapat dengan mudah
30
Flood, Beyond Phenomenology: Rethinking The
Study of Religion, 78.
31
Flood, Beyond Phenomenology: Rethinking The
29
Gavin Flood, Beyond Phenomenology: Rethinking Study of Religion, 80.
32
The Study of Religion (London: Bloomsbury Academic, Flood, Beyond Phenomenology: Rethinking The
2013), 45. Study of Religion, 87.

194 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

ditolak demi alasan-alasan teologis dan feno- memiliki sikap beragama seperti ini lemah
menologis.33 terhadap ajaran agamanya sendiri dan
Menurut Komarudin Hidayat, sikap plura- menganggap agama sebagai tidak berbeda dari
lisme lebih moderat dari sikap inklusivisme, ilmu pengetahuan biasa.
atau bahkan dari eksklusivisme. Ia berpan- e. Universalisme
dangan bahwa secara teologis pluralitas aga- Universalisme beranggapan bahwa pada
ma dipandang sebagai suatu realitas niscaya dasarnya semua agama adalah satu dan sama.
yang masing-masing berdiri sejajar (paralel) Hanya saja, karena faktor historis-antropo-
sehingga semangat misionaris atas dakwah logis, agama lalu tampil dalam format yang
dianggap tidak relevan.34 plural.36
d. Eklektisisme Menurut Raimundo Panikkar, jika suatu
Eklektisisme adalah suatu sikap kebera- perjumpaan agama terjadi, baik dalam fakta
gamaan yang berusaha memilih dan memper- yang nyata maupun dalam suatu dialog yang
temukan berbagai segi ajaran agama yang disadari, maka orang membutuhkan metafora
dipandang baik dan cocok untuk dirinya dasar untuk mengutarakan masalah-masalah
sehingga format akhir dari sebuah agama yang berbeda. Oleh karena itu, tiga macam
menjadi semacam mosaik yang bersifat model perjumpaan agama bisa berguna, yakni
eklektik.35 model fisika: pelangi; model geometeri: inva-
Sikap keberagamaan seperti ini muncul rian topologis; dan model antropologis:
akibat ketidakberdayaan ajaran satu agama bahasa.37
dan melihat ada kekuatan ajaran agama lain. Paradigma atau sikap beragama yang
Kelompok ini muncul biasanya dari mereka berkembang di dunia Kristen tersebut, ada
yang kecewa dengan berbagai janji muluk para hubungannya dengan teori W.C. Smith dalam
tokoh agama yang hanya mementingkan mengaji agama orang lain. Ada beberapa
kebenaran ajarannya sendiri padahal pada di tahapan dalam hubungan antar agama yang
sisi lain agamanya tak mampu menyelesaikan akhirnya memunculkan dialog harmonis antar
berbagai persoalan hidup umatnya. umat beragama. Tahapan-tahapan ini diana-
Pilihan praktik keagamaan seperti ini logkan dalam bentuk: I, You dan We. “I”
kelihatannya sempurna karena di dalamnya menunjukkan eksklusif. “You”, menunjukkan
ajaran-ajaran dari berbagai agama dapat saling inklusif, dan “we” menunjukkan keterbukaan.
mengisi. Namun, sikap keberagamaan seperti Para penganut agama memberikan tangga-
ini mengandung ketegangan, yaitu apakah pan atau respon terhadap doktrin agamanya.
setiap umat beragama senang dengan sikap Dalam memberikan respon ini, para penganut
mencari keunggulan dari satu agama dengan agama setidaknya memiliki tiga kecen-
agama lain dan dijadikan satu wadah. Hal ini derungan yang bisa teramati. Menurut
tidaklah realistis bahkan akan menciptakan Komarudin Hidayat, ketiga kecenderungan
ketegangan antar umat beragama. itu, yang menurutnya bukan sebagai suatu
Kelompok manusia yang senang mencari- pemisahan, adalah kecenderungan “mistis”
cari ajaran dari berbagai agama untuk (solitary), “profetik-ideologis” (solidarity),
kemudian disatukan dalam satu wadah biasa- dan “humanis-fungsional”.38
nya ditemukan dalam masyarakat global yang Respon keberagamaan mistis, antara lain,
pada akhirnya mereka akan menciptakan ditandai dengan penekanannya pada pengha-
sebuah agama baru yang berbeda dari agama yatan individual terhadap kehadiran Tuhan.
yang dipeluk sebelumnya. Orang-orang yang Dalam tradisi mistik, puncak kebahagiaan

33 36
Flood, Beyond Phenomenology: Rethinking The Moran, Introduction To Phenomenology, 19.
37
Study of Religion, 90. Flood, Beyond Phenomenology: Rethinking The
34
Dormort Moran, Introduction To Phenomenology Study of Religion, 67.
38
(New York, The Westminster Press, 2012), 34. Mark. C. Taylor, Critical Term of Religious Study
35
Moran, Introduction To Phenomenology, 17. (Chicago: Chicago universiy Press, 2010), 45.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198 195
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

hidup adalah apabila seseorang telah berhasil Pyrrhon juga dikenal sebagai pria
menghilangkan segala kotoran hati, pikiran, bijak yang selalu berusaha menghindari
dan perilaku sehingga antara dia dan Tuhan perselisihan dalam ilmu pengetahuan
terjalin hubungan yang intim yang dijalin tertentu dengan cara menangguhkan peni-
dengan cinta kasih. laian (praktek epoché) untuk diteliti terle-
Kecenderungan profetis ideologis ditandai bih dahulu. Pyrrhonisme sangat meme-
antara lain dengan penekanannya pada misi ngaruhi pemikiran para filsuf Eropa abad
sosial keagamaan dengan menggalang solida- ke-17, terbukti dengan adanya istilah ini
ritas dan kekuatan. Oleh karenanya, kegiatan dalam tulisan-tulisan Kant pada tahun
penyebaran agama dengan tujuan menambah 1765, yang kemudian dipopulerkan fil-
pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis suf Jerman Edmund Husserl dalam meto-
dan memperkuat kekuatan ideologis. de penelitian atas fenomena keagamaan
Yang ketiga, humanis fungsional, adalah sebagai respon terhadap penilaian-peni-
kecenderungan beragama dengan titik tekan laian subjektif umat sekaligus kritik siste-
pada penghayatan nilai-nilai kemanusiaan matis terhadap modernisme.41
yang dianjurkan oleh agama. Pada tipe ini, apa Epoché digagas pertama kali dalam ka-
yang disebut kebijakan hidup beragama adalah jian fenomenologi agama oleh Husserl pada
bila seseorang telah beriman pada Tuhan dan abad ke-19, di antara karyanya ada-
lalu berbuat baik terhadap sesamanya. Sikap lah "Phenomenology and the Foundations of
toleran dan eklektisisme pemikiran beragama the Sciences", "Logische Untersuchungen
merupakan salah satu ciri tipe ini. (Logical Investigations) (1901, 1913)
Kecenderungan keberagamaan di atas dan "Meditations Cartésiennes (Cartesian Me-
hanyalah merupakan respon aksentuasi dan ditations)" (1931).42
tidak identik dengan totalitas doktrin agama Menurut Husserl, fenomenologi merupakan
itu sendiri. Partisipasi dan pelaksanaan seseo- sebuah studi terhadap struktur kesadaran yang
rang atas agama biasanya bersifat parsial, memungkinkan kesadaran tersebut mengacu
dibatasi oleh kemampuan, pilihan, serta kuat kepada objek-objek di luar dirinya. Namun,
lemahnya komitmen iman seseorang. Namun semua itu tetap membutuhkan refleksi dari
demikian, dalam konteks hidup bermasyarakat peneliti mengenai fenomena tersebut dengan
dan bernegara, tipologi keberagamaan ketiga, mengenyampingkan segalanya. Husserl me-
yang menekankan orientasi kemanusiaan, nyebut tipe refleksi ini dengan "reduk-
perlu mendapat apresiasi dan penekanan. si fenomenologis", ia mencoba menghapus
Hikmah hidup keberagamaan haruslah ber- konsep dan konstruk pandangan seseorang
muara pada komitmen untuk menjunjung dalam penelitiannya.43
tinggi nilai-nilai kemanusiaan tanpa harus Epoché menjadi ciri khas dalam feno-
dihambat oleh sentimen kelompok keaga- menologi Husserl, terutama dalam kecer-
maan.39 matannya memperlihatkan dua hal penting.
Pertama, kecermatan dalam menunjukkan
4. Epoché Teologis Sebagai Paradigma akar permasalahan mendasar yang ada pada
Pembangun Toleransi Beragama zaman modern, yaitu kesalahpahaman dalam
Epoché pada mulanya digunakan oleh memahami sifat dasar dunia dan sifat dasar
aliran Pyrrhonisme, yakni aliran filsafat manusia. Kedua, kecermatan dalam
Yunani sekitar abad 272 SM, untuk
mengungkapkan keraguan dalam ilmu
41
pengetahuan, sehingga pendiri aliran fil- Moran, Introduction To Phenomenology,
36;Eliade, The Sacred and The Profan, 90.
safat tersebut, Pyrrhon, dianggap sebagai 42
Moran, Introduction To Phenomenology;Eliade,
pendiri skeptisisme kuno Yunani.40 The Sacred and The Profan;Schuon, The Transcendent
Unity of Religions, 89.
39 43
Moran, Introduction To Phenomenology, 34. Proctor, Science, Religion and the Human
40
Moran, Introduction To Phenomenology, 36. Experience, 89.

196 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

menunjukkan jalan keluar dari permasalahan fenomenolog tetap perlu mempertanyakan


modern tersebut, yaitu melalui sikap feno- hakikat sebenarnya sebuah fenomena keaga-
menologis, khususnya epoché.44 maan melalui prinsip epoché tanpa harus
Dalam karyanya, "Logische Untersuchu- terlibat untuk merumuskan baik-buruknya
ngen" (Penyelidikan-penyelidikan Logika), religiusitas atau moralitas suatu kasus.46
dan "Philsophie als Strenge Wissenschaft", Epoché sangatlah fundamental dalam studi
(Filsafat sebagai Ilmu yang Kuat), Husserl agama-agama. Ia merupakan kunci untuk
memperlihatkan bahwa filsafat modern terje- menghilangkan sikap tidak simpatik, marah
bak ke dalam masalah perbedaan kategori dan benci atau pendekatan yang penuh kepen-
yang salah antara subjek dan objek. Menurut- tingan (intertested approaches), dan fenome-
nya, seluruh gerak pemikiran modern nologi telah membuka pintu penetrasi dari
sejak Descartes, Hegel, dan John Stuart pengalaman keberagamaan baik dalam skala
Mill hanya merupakan gerak psikologis yang yang lebih luas atau yang lebih baik.
bersifat subjektif terhadap seluruh realitas, Bila semua umat beragama yang hidup
kemudian mendudukkan manusia sebagai dalam masyarakat multikultural mampu
pusat seluruh pengetahuan. membuka sikap epoché, mereka bisa merasa-
Pandangan Husserl ini menjadi dasar kan penderitan, suka duka atau bahkan
baginya untuk menyebut filsafat modern kesenangan dengan umat berbeda agama.
sebagai psikologisme. Sedangkan psikologis- Sikap epoché dalam fenomenologi ini adalah
me menjadikan manusia yang sadar itu sebagai sikap menunda, menahan diri bila seorang
awal dari segala sesuatu, dan kemudian selu- beragama bertemu dengan ajaran agama yang
ruh realitas itu akhirnya akan kembali kepada berbeda dengan ajaran agama yang dipe-
kesadaran manusia sendiri. Inilah sema- luknya. Keberagamaan dengan berpijak pada
ngat optimisme modern yang pada awalnya sikap epoché akan bisa menghargai umat
bertujuan menegakkan kedudukan manusia berbeda agama dengan kesadaran sendiri dan
sebagai manusia seutuhnya, namun terjebak ke bukan atas keterpaksaan atau ancaman.
dalam pemutlakkan atas manusia dan rasio-
nya.45
Epoché memiliki sifat netral dalam C. SIMPULAN
penelitian keagamaan. Ia merupakan sikap Toleransi beragama tidak berarti bahwa
yang coba menghindar dari penilaian yang seseorang yang telah mempunyai keyakinan
diprakonsepsikan sebelumnya oleh seorang kemudian berpindah atau merubah keyakinan-
pemeluk agama yang meneliti fenomena nya untuk mengikuti dan berbaur dengan
keagamaan. Jadi, melalui epoché seorang keyakinan atau peribadatan agama-agama
fenomenolog dituntut untuk mendeskripsikan lainnya (sinkretisme); tidak pula dimaksudkan
dan menjelaskan secara empiris suatu fenome- untuk mengakui kebenaran semua agama/
na keagamaan, tanpa sudut pandang subjektif kepercayaan; melainkan bahwa ia tetap pada
dirinya sebagai pemeluk agama. Epoché suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya,
berada pada wilayah filsafat sekaligus teologi, serta memandang benar keyakinan orang lain,
namun adalah fakta bahwa manusia religius sehingga dalam dirinya terdapat kebenaran
tepat saja dapat memengaruhi tindakan- yang diyakininya sendiri menurut suara
tindakan dan tingkah-lakunya, sehingga ketika hatinya sendiri yang tidak diperoleh atas dasar
ungkapan keagamaan tersebut muncul darinya paksaan orang lain atau diperoleh dari
maka pengaruh tersebut akan terbawa ke pemberian orang lain.
dalam wilayah faktual. Artinya, seorang Masyarakat multikultural terpola oleh
keragaman budaya termasuk keragaman
44
Proctor, Science, Religion and the Human
Experience, 45. 46
Wikipedia, “Epoché,” t.t.,
45
Proctor, Science, Religion and the Human https://id.wikipedia.org/wiki/Epoch%C3%A9, diakses
Experience, 88. 02 April 2016.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198 197
Casram Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam
Masyarakat Plural

agama. Di dalam perjalanannya, agama-agama 1985.


yang muncul dalam masyarakat multikultural Marty, Martin E. When Faiths Collide. New
kemudian dipahami oleh umatnya. Di antara York: Blackwell Publishiers, 2004.
mereka, ada yang memahaminya secara Moran, Dormort. Introduction To
rasional an sich dan ada pula yang memahami- Phenomenology. New York, 2012.
nya secara irrasional atau mistis. Dampak Niebuhr, Reinhold. The Tolerance and
heterogenitas agama ini bisa menmunculkan Intolerance In Early Judiasm and
konflik di antara umat berbeda agama. Christianity. cambridge: Cambridge
Toleransi sangat dibutuhkan untuk menciptakn Universdity Press, 1998.
keseimbangan dan kohesi sosial dalam masya- Parekh, Bikhu. Rethinking
rakat multikutral. Untuk menciptakan sikap Multiculturalism;Cultural Diversity
toleransi beragama yang proposional dalam andPolitical Theory. New York: Palgrave
masyarakat multikultural perlu menumbuhkan Macmillan, 2005.
sikap epoché dalam berteologi. Sikap epoché Proctor, James. D. Science, Religion and the
ini mutlak diperlukan tanpa kompromi agar Human Experience. New York: Oxford
mereka bisa menjalankan toleransi beragama University Press, 2005.
dengan baik. Jika sikap epoché ini tidak Schoun, Fithjof. Islam and the Perennial
dimiliki, maka toleransi terhadap agama orang Philosophy. Diterjemahkan oleh J.Peter
lain hanya akan sebatas basa-basi atau, Hobson. New York: World of Islam
sekalipun toleransi beragama bisa dilakukan, Festival Publishing Company, 1976.
kecenderungan menyampur seluruh ajaran Schuon, Frithjof. The Transcendent Unity of
beragama atau menafikan ajaran agama dan Religions. Cet. ke-2. Wheaton: Quest
digantikan dengan kepentingan nilai-nilai Books Theosophical Publishing House,
kemanusiaan yang bersifat umum dan sekuler 2005.
akan muncul. Shihab, Alwi. Islam Inklusif. Jakarta: Taraju
Press, 2005.
DAFTAR PUSTAKA Taylor, Mark. C. Critical Term of Religious
AS, Hornby. Oxford Advanced Study. Chicago: Chicago universiy Press,
Learner’sDictionary. Oxford: University 2010.
Printing House, 1995. Wach, Joachim. The Comparative Study of
Cassanova, J. Public Religions In The Modern Religion. New York: Colombia University
World. Chicago: Chicago University Press, Press, 1958.
2008. Walzer, Michael. On Toleration Castle
Eliade, Mircea. The Sacred and The Profan. Lectures in Ethics, Politics, and
New York, 1959. Economics. New York: Yale University
Elmen, Paul. The Restoration of Meaning to Press, 1997.
Contemporary Life. New York: Garden
City, 2012. Internet
Flood, Gavin. Beyond Phenomenology: Wikipedia. “Epoché,” t.t. https://id.wikipe-
Rethinking The Study of Religion. London: dia.org/wiki/Epoch%C3%A9. Diakes 02
Bloomsbury Academic, 2013. April 2016.
Hidayat, Komaruddin. Menafsirkan Kehendak
Tuhan. Bandung: Mizan, 2003.
Kinloch, Graham C. Sociological Theory:
Development and Major Paradigm.
Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Lindbeck, Gerge A. The Natural Of Doctrne:
Religion and Theology in a Post Liberal
Age. Philadelphia: The Westminster Press,

198 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 187-198

You might also like