You are on page 1of 36

1

ISLAM DAN MODERNISME


DI INDONESIA: KONTRIBUSI PEMIKIRAN MOHAMAD RASJIDI (1915-2001)

Mohammad Zakki Azani


Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS),
Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur.
Email: abuaishah13@gmail.com

Khalif Muammar A. Harris


Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation (CASIS),
Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur.
Email: khalif@utm.my

Abstract
Since Indonesia gained its independence in 1945, several Indonesian scholars have attempted to
build and re-develop various aspects of developmental fields including education, economy and
society. In developing a country with the world's largest Muslim-majority population, one of
their main concern is the revival of Islamic thought at Islamic higher institutions in Indonesia.
This revival of thought involves re-interpreting important elements of Islamic thought based
upon the secular, Western and modern way of thinking. This effort, known as the modernization
of Islamic thought, has led to severe confusion and misunderstanding. Mohammad Rasjidi
employed the framework of ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah to criticise and subsequently reject
secularisation as a philosophical program which was used as the foundation for the
modernization of Islamic thought. This paper elaborates the significant roles of Mohammad
Rasjidi’s thoughts and contributions in correcting and re-affirming the fundamental principles of
Islam, specifically concerning the nature of man, the nature of human reason, the nature of
morality and the understanding of the state, all of which conforms with the Worldview of Islam.

Keywords: Mohammad Rasjidi; Islam and modernism; the nature of man; revelation; reason;
morality; state.

Abstrak

Mohammad Zakki Azani. Mahasiswa Ph.D. Centre for Advanced Studies on Islam, Science and Civilisation
(CASIS), Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur.

Khalif Muammar Harris, Ph.D., Dosen sekaligus Direktur di Centre for Advanced Studies on Islam, Science and
Civilisation (CASIS), Universiti Teknologi Malaysia, Kuala Lumpur.

2

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan pada tahun 1945, beberapa cendekiawan di Indonesia
mencoba untuk membina dan membangun kembali dalam perbagai bidang pembangunan
termasuk pendidikan, ekonomi dan sosial. Dalam suasana negara yang sedang membangun
dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, salah satu aspek yang menjadi tumpuan
ialah pembaharuan pemikiran Islam di pendidikan tinggi Islam Indonesia. Pembaharuan
pemikiran ini melibatkan penguraian kembali tentang unsur penting pemikiran Islam dengan cara
berfikir modern Barat yang sekuler. Upaya ini dinamakan sebagai modernisasi pemikiran Islam
yang mengakibatkan kekeliruan dan kesilapan pemahaman. Rasjidi menggunakan kerangka ahl
al-sunnah wa al-jamā’ah dalam membahas sekularisasi sebagai program filsafat yang dijadikan
sebagai asas modernisasi pemikiran Islam. Makalah ini menguraikan kontribusi penting
pemikiran Mohammad Rasjidi dalam mengoreksi dan menegaskan kembali beberapa prinsip
Islam berkenaan--hakikat insan, akal, akhlak dan paham negara—agar tidak bertentangan dengan
Pandangan alam Islam (the Worldview of Islam).

Kata Kunci: Mohammad Rasjidi; Islam dan modernisme; hakekat insan; wahyu; akal; akhlak;
negara.

Sekilas Latar Belakang Pemikiran Rasjidi

Mohammad Rasjidi lahir pada 20 Mei 1915 di Kotagede, Yogyakarta. Lahir dari keluarga
berlatar belakang pedagang perhiasan yang sukses.1 Walaupun demikian, keluarga Rasjidi tetap
2
meletakkan keutamaan kepentingan ilmu agama Islam dalam diri keluarga. Rasjidi tumbuh
dalam suasana pergolakan bangsa dalam usaha menggagalkan arus gerakan kolonial Belanda dan
misi Kristen yang cukup besar. Diceritakan dalam salah satu karyanya; `waktu itu bangsa
Indonesia mulai bangun. Syarikat Islam mengetuk jiwa bangsa. Untuk mengkoordinir gerakan
Syarikat Islam yang di daerah-daerah, diadakan Central Syarikat Islam.’3 Setelah itu terdapat
1
Saridi merupakan nama asal dari orangtuanya, akan tetapi semasa beliau belajar dengan gurunya Sheikh
Aḥmad Surkati yang berasal dari Sudan di sekolah Al-Irsyad, Lawang, Malang, Jawa Timur selalu kesusahan untuk
mengingat nama yang identitik dengan suku Jawa, Saridi. Akhirnya nama tersebut diganti Rasjidi dengan tambahan
Mohammad. Soebagijo I.N. “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,” dalam 70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi, ed. E. B.
Ananda, (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985), 9; Djarnawi Hadikusuma, “Prof. Rasjidi, Pengkritik Tajam,” dalam
70 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi, ed. E. B. Ananda, (Jakarta: Harian Umum Pelita, 1985), 138.
2
Ahmad Ilham merupakan guru mengaji Rasjidi yang datang ke rumahnya setiap pagi. Lihat H. M. Rasjidi,
Islam dan Indonesia Dizaman Modern, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968), 4.
3
H. M. Rasjidi, Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968; cetakan ke 4,
1980), 9-10. Central Sarekat Islam merupakan nama-mana cawangan daripada Sarekat Islam (SI) yang ada di daerah
pedalaman. Sarekat Islam merupakan pergerakan Muslim dalam usaha nafi-jajahan (decolonization) rakyat dari pada
kekuatan penjajah pada awal abad 20 M. Pergerakan tersebut didirikan oleh Oemar Said Tjokroaminoto (1883-
1934). Uraian lebih dalam mengenai profil dan organisasi SI. Lihat Amelz, ed., H.O.S. Tjokroaminoto, Hidup dan
Perdjuangannja, (Jakarta: Bulan Bintang, 1952); Ismail Ja’kup, Sedjarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Widjaya
Jakarta, 1956), 69-70; Mohammad Roem, “Peranan Sarekat Islam Dalam Pergerakan Kemerdekaan,” Kiblat ,
3

keluarga yang memiliki seorang anak yang tertarik dengan gerakan Syarikat Islam, maka anak
tersebut dinamakannya Central dan dia menjadi sahabat Rasjidi yang dikemudian hari anak
tersebut menjadi seorang dokter yang terkenal di Yogyakarta dan juga salah seorang tokoh
Katholik.4

Saat Rasjidi menginjak usia dewasa, beliau mendengar para penjajah dan penyebar misi
Kristen pada masa itu yang berkemampuan berbahasa Balanda dianggap sebagai orang yang
maju dan modern. Sebaliknya seorang yang tidak masuk dalam kriteria tersebut termasuk
terbelakang atau ketinggalan zaman.5 Pengaruh tekanan penjajah dan kuatnya Kristenisasi
tersebut, tidak meredupkan semangat Rasjidi dan keluarganya untuk membekali diri dengan
pendidikan berasaskan agama Islam termasuknya Bahasaf Arab pada dan juga pengetahuan
umum lainnya termasuk bahasa Belanda. Oleh karena itu, pada tahap awal pendidikan Rasjidi
sekolah di Kweekschool Muhammadiyah (Sekolah Guru Muhammadiyah).6

Setelah menyelesaikan studinya di Yogyakarta, Rasjidi merantau untuk menuntut ilmu


agama lebih mendalam dan berguru kepada seorang ulama dari Sudan, Syeikh Ahmad Surkati
(w.1943), pendiri sekolah Al-Irsyad, Lawang, Malang Jawa Timur.7 Di al-Irsyad Rasjidi
mendalami berbagai kitab turāth Islām serta menjadi salah satu murid yang cemerlang di sekolah
tersebut. Syeikh Ahmad Surkati mengarahkan Rasjidi untuk meneruskan studi Islam di
Universitas Dār ‘Ulūm, Kairo.8

Ketika Rasjidi belajar di Universitas Dār ‘Ulūm, beliau belajar dengan guru-guru yang
mempunyai otoritas dalam menerangkan tradisi keilmuan dari peradaban Islam serta mengetahui
tantangan dari filsafat peradaban Barat. Di antara guru-guru Rasjidi ialah Sheikh Rashīd Ridā,
Sheikh Tanṭawī Jauhārī, Sayyid Quṭb, Sheikh Muṣṭafā ‘Abd Rāziq dan juga beberapa sarjana
Barat yang mengajar di Dār ‘Ulūm seperti Alexandre Koyre (w. 1964) and Andre Lalande

November, 1977, 16-20, 38; K.H. Firdaus AN, “80 Tahun Syarikat Islam,” Panji Masyarakat, 21 Oktober 1985, 61-
62; Soeharto, “HOS Cokroaminoto, Cucu Kiyai yang Pemberani,” Panji Masyarakat, 11, Ogos, 1985, 55-56.
4
Ibid., Mengapa Aku; Lihat juga M. Natsir, “Perangko Sosial” dalam Islam dan Kristen di Indonesia, ed.
Endang Saifuddin Anshari (Jakarta: Media Da’wah, 1988).
5
Ibid., Mengapa Aku, 15; Ibid., Islam dan Kristen, 103-107.
6
Rasjidi, Islam dan Indonesia, 4; Soebagijo, “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,” 8.
7
Ibid., Islam dan Indonesia; Untuk informasi lebih dalam mengenai Surkati. Lihat Aḥmad Ibrāhīm Abū
Shauq, Tārīkh Ḥarakah al-Iṣlāḥ wa al-Irshād wa Shaikh al- Irsḥādiyyīn Aḥmad Muḥammad al- Sūrkātti fi
Indonesia, (Kuala Lumpur: Dār al-Fajr and International Islamic University Malaysia, 2000).
8
Ibid., 11. Lihat juga, Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972), 89. Lihat juga, H. M. Rasjidi, “Tafsir Jawahir,” Kiblat 19 (Maret, 1973): 27.
4

(w.1963).9 Sebelum beliau menamatkan studinya di Dār ‘Ulūm dengan predikat sangat terpuji
(A), beliau juga telah menghafal Al-Qur’an 30 juz serta sempat mengikuti kursus Bahasa
Perancis.10

Melalui karya-karya gurunya dan pembelajaran secara langsung dengan para guru yang
ada di Mesir, Rasjidi menjadi lebih mengusai ilmu-ilmu peradaban Islam maupun Barat. Maka
jelas, ketika dari Mesir inilah Rasjidi dapat mendalami asas-asas ilmu falsafah Islam serta
pengetahuan mengenai karya para ulama dalam tradisi dan peradaban Islam yang mana menjadi
landasan berfikirnya dalam menghadapi tantangan ideologi khususnya dari padangan alam
(worldview) sekuler Barat.

Setelah pulang dari Kairo, Rasjidi banyak terlibat dalam ranah politik bersama para
pejuang bangsa Indonesia yang sedang berusaha untuk keluar dari ideologi Belanda dan Jepang.
Ketika itu Rasjidi mendapat amanah memegang jabatan penting pada masa awal kemerdekaan
sebagai Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama. 11 Beliau juga pernah menjabat
sebagai duta besar di berbagai negara di Timur Tengah seperti; Mesir, Iran, Saudi Arabia,
Pakistan.12

Dari pengalaman dalam proses nafijajahan (decolonization) diawal kemerdekaan


Indonesia, Rasjidi melihat langsung usaha penjajahan intelektual oleh para penjajah yang
berpengaruh kepada mental serta sikap sebagian pemimpin dan masyarakat yang dijajahnya. 13
Walaupun Rasjidi sudah pernah menjabat sebagai diplomat Republik Indonesia dengan jabatan
terhormat, namun semangatnya dalam menuntut ilmu tidak pernah surut dan luntur. Di Tahun
1956, Rasjidi berhasil menyelesaikan studi PhD dengan predikat Summa Cam Laude dari
Universitas Sorbonne, Perancis dengan bimbingan salah satu tokoh Orientalist terkenal, pakar
dalam bidang tasawwuf Islam, Louis Massignon (w.1962).14

9
Ibid, Koreksi Tentang Sekularisasi; 61-62; “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,” 17; Rasjidi, Islam dan
Indonesia, 4-5; Rasjidi, Mengapa Aku, 10-11, 29.
10
Ibid., “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,”
11
Team Veteran RI, Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950, (Jakarta: Penerbit Badan Pimpinan Harian
Pusat Korps Cacad Veteran, n.d.), 38. Baca juga “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,” 33-34.
12
O. G. Roeder, Who’s Who in Indonesia, (Djakarta: Gunung Agung, 1971), 313. Lihat juga, “Biografi Prof.
Dr. H.M. Rasjidi,” 37-40.
13
Rasjidi, Islam dan Indonesia, 20-24; Rasjidi, Mengapa Aku, 10-15.
14
Soebagijo, “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,” 55-56; H. M. Rasjidi, Islam dan Kebatinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1967), 4-5.
5

Selain keberhasilan Rasjidi dalam menyelesaikan s3, Rasjidi juga pernah diundang oleh
Wilfred Cantwell Smith sebagai dosen dengan gelar Associate Professor (1958-1963) di
Universitas McGill, Montreal, Canada.15 Ketika beliau menjadi dosen di Universitas tersebut
beliau merintis untuk menarik sarjana Islam Indonesia untuk menyelami pemikiran orientalis.
Salah satu sarjana yang diusahakannya untuk menyambung kajian di Universitas McGill ialah
Harun Nasution sekaligus sahabat Rasjidi ketika bekerja sama di KBRI (Keduataan Besar
Republik Indonesia) Kairo, Mesir.16 Akan tetapi Harun tidak menerima nasehat dan saran Rasjidi
dalam usaha mendalami studi Islam di Barat untuk mengetahui kesalahan pemikiran orientalis
dalam studi Islam dan bahkan menjadi pengikut setia cara berfikirnya.

Setelah lima tahun mengajar di Universitas McGill, beliau menjadi direktur di Islamic
Centre di Washington D.C. Perjalanan keilmuan Rasjidi di berbagai negara Barat tersebut
menjadi suatu pengalaman secara langsung bagi Rasjidi untuk mempelajari berbagai disiplin
ilmu Barat dalam pemahaman agama Kristen di Barat dan kebudayaannya sehingga dapat
mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Oleh karena itu Rasjidi mampu menyanggah para
sarjana Barat menganai kesalahan pemahaman tentang agama Islam semasa Rasjidi menjadi
dosen di Universitas McGill dan mampu mengambil manfaat dari kebenaran intelektualnya.
Sebagaimana Rasjidi mengakui bahwa C. Snouck Hurgronje (w. 1936) salah satu orientalis yang
karya-karyanya dimanfaatkannya untuk menambah pengetahuan tentang kehidupan sosiologi
umat Islam Indonesia pada masa yang sama Rasjidi juga bertentangan dan banyak perbedaan
pemahaman dengan Snouck mengenai hal-hal yang fundamental dan prinsip dalam agama
Islam.17 Dari perjalanan dan pengalamannya kita dapat melihat bahwa semasa Rasjidi di
Universitas Sorbonne dan McGill menguatkan serta membuktikan secara langsung apa yang
sudah Rasjidi pelajari dari para guru-gurunya di Mesir mengenai pemikiran Barat dan agama
Kristen. Dengan demikian ketika Rasjidi belajar, mengajar di negara Barat dan kembali ke tanah
air Indonesia, beliau mampu menilai dan merasakan secara langsung cara berfikir Barat dan
prakteknya yang terbentuk melalui sejarah agama Kristen Barat dan falsafahnya yang panjang.

15
Rasjidi juga mengakui bahwa Cantwell merupakan salah seorang intelektual yang banyak mempengaruhi
kehidupan berfikirnya terutama dalam memahami filsafat Kristen Barat dan pandangan alamnya. Rasjidi, Islam dan
Indonesia, 5.
16
H. M. Rasjidi, Koreksi Prof. Dr. H.M. Rasjidi Terhadap Prof. Dr. Harun Nasution dalam uraiannya:
Ajaran Islam Islam Tentang Akal dan Akhlaq, (Jakarta: Media Da’wah, 1985), 10.
17
Rasjidi, Islam dan Indonesia, 5, 15-25; Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 78; Rasjidi, Mengapa Aku,
11; “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi,” 63-67.
6

Karya Tulis Rasjidi

Berikut diantara karya tulisannya yang sebagiannya telah diterbitkan di surat kabar terlebih
dahalu dan baru kemudian dicetak dalam bentuk buku dan monograph. Berikut karya Rasjidi
berdasarkan urutan kronologi penerbitan; [1] Faham Tentang Islam dalam Kesusasteraan
Djawa, Jogjakarta: Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, 1955, [2] Filsafat Agama, Djakarta:
Bulan Bintang, 1965; cetakan ulang., 1970, [3] Islam Menentang Komunisme, Djakarta: Jajasan
Islam Studi Club Indonesia, 1965; 1966; 1970, [4] Islam dan Socialisme, Djakarta: Jajasan Islam
Studi Club Indonesia, 1966, [5] Islam dan Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, [6] Sikap
Umat Islam Indonesia Terhadap Expansi Kristian, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, [7] Kebebasan
Beragama, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1967, [8] Islam dan Indonesia di
Zaman Modern. Jakarta: Bulan Bintang. 1968, [9] Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1968; Cetakan keempat: 1980, [10] Dari Rasjidi dan Maududi kepada
Paus Paulus VI, Surabaja: DDII Perwakilan Djatim dan Documenta, 1971, [11] Keutamaan
Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1971, [12] Agama dan Etik, Jakarta: Sinar Hudaya, 1972,
[13] Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi, Jakarta: Bulan Bintang,
1972, [14] Sekularisme Dalam Persoalan Lagi? Suatu Koreksi atas Tulisan Drs. Nurcholis
Madjid tentang Sekularisasi, Jakarta: Yayasan ‘Bangkit’: 1972, [15] Apa Kata Prof. Rasjidi
disekitar R.U.U Perkawinan, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1973, [16] Sekitar
Natalan dan Tahun Baru, Jakarta: Fajar Shadiq, 1973, [17] Empat Kuliah Agama Islam pada
Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, [18] Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di
Jakarta 1975 Merupakan Tantangan Terhadap Dunia Islam, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia, 1974, [19] Soal Peradilan Agama: Prof. Dr. HM. Rasjidi menjawab Franz Magnis
Suseno SJ, Jakarta: Dewan Da'wah Islamiyah, 1974, [20] Laporan Prof. Dr. Rasjidi Tentang
Konperensi Meja Bundar, Da’wah Islam dan Missi Kristian di Geneva Tgl. 26-30 Juni 1976,
Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, 1976, [21] Hukum Islam dan Pelaksanaannya
Dalam Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, [22] Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution
Tentang Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Bulan Bintang 1977, [23] Documents
pour servir à l'histoire de l'Islam à Java, Paris: École française d'Extrême-Orient, 1977, [24]
Sekali lagi ummat Islam Indonesia Menghadapi Persimpangan Jalan, Jakarta: Sinar Hudaya.
1978, [25] Sekali Lagi Hubungan: Islam dan Kristen di Indonesia, Jakarta: Media Da’wah,
1978, [26] Kebebasan Beragama, Jakarta: Fajar Shadiq, 1979, [27] Strategi Kebudayaan dan
7

Pembaharuan Pendidikan Nasional, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, [28] Apa Itu Syi’ah?, Jakarta:
Harian Umum Pelita, 1984, [29] Koreksi Prof. Dr. H.M. Rasjdi Terhadap Prof. Dr. Harun
Nasution, Ajaran Islam Tentang Akal dan Akhlaq, Jakarta Pusat: Seri Media Da’wah, 1985, [30]
Henda dibawa ke Mana Ummat ini?, Jakarta: Media Da’wah, 1988, [31] Rasjidi, et al., Letter to
the Pope John Paul II, Abuse of Diakonia to be Suspended, Jakarta: Dewan Da’wah Islamiyah
Indonesia, 1989, [32]Selagi Umat Islam Indonesia Menghadapi Persimpangan Jalan, Jakarta:
Sinar Hudaya, [33] Rasjidi et al., Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat: buku daras pendidikan
agama Islam pada perguruan tinggi umum, Jakarta: Dep. Agama RI, 1997, [34] Islam dan Nilai-
Nilai Modern, Jakarta Pusat: Serial Media Da’wah, n.d.

Rasjidi juga menerjemahkan tiga buku dari Bahasa Perancis kepada Bahasa Indonesia
dan satu buku dari Bahasa Inggeris kepada Bahasa Indonesia; [1] Maurice Bucaille, Bibel,
Qur‘an dan Sains Modern, Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, [2] Marcel A.
Boisard, Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, [3] Roger
Garaudy, Janji-janji Islam, Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang, 1982, [4] Horald H. Titus,
Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, Persoalan Persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasjidi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
Selain daripada itu ada juga makalah Rasjidi yang telah diterbitkan yang sebagiannya
disunting dalam sebuah buku yang berbentuk kumpulan makalah. Terdapat juga tulisan beliau
dari perbagai surat kabar dan hasil wawancara dengannya. Berikut adalah beberapa makalahnya
mengikut urutan kronologi; [1] “Unity and Diversity in Islam,” dalam Islam the Straight Path,
ed. Kenneth W. Morgan, New York: The Ronald Press: 1958; 1987; 1993, [2] “Guilt, Pollution
and Rites of Purification in Islam,” dalam Proceedings of the XIth International Congfess of the
International Association for the History of Religions: Vol. II: Guilt or Pollution and Rites of
Purification, Leiden: E.J. Brill, 1968, [3] “Usaha MengKristiankan Indonesia dan Dunia,” Suara
Muhammadiyah, 1-2 Januari, 1968, [4] “Sambutan Atas Kedatangan Sri Paus Paulus IV di
Indonesia, 3 Desember, 1970,” dalam Dari Rasjidi dan Maududi Kepada Paus Paus Paulus VI,
ed. S.U. Bajasut, Surabaya: DDII Perwakilan Djatim dan Penerbit Documenta, 1971, [5]
“Methode Pengkajian Al-Qur’an,” Kiblat, no. 10, Oktober, 1972, [6] “Apakah Kebatinan itu?,”
dalam Disekitar Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, [7] “Kembali Kepada Persoalan yang
Pokok (Kerajaan Jawa dari Demak s/d Mataram adalah Kerajaan Islam),” dalam Disekitar
Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, [8] “Kesimpulan Terakhir,” dalam Disekitar
8

Kebatinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, [9] “The Role of Christian Missions, the Indonesian
Experience”, International Review of Mission Vol. 65 No. 260, October, 1976, 425-38, [10]
“Wawancara dengan Prof. Dr. Rasjidi tentang: Penertiban Mata Kuliah Agama,” Panji
Masyarakat, no. 286. P. 14-15. Desember, 1979, [11] “Sebuah Tanggapan Terhadap Tulisan sdr.
Marbangun Hardjowirogo,” dalam Sikap Majelis Ulama & Pemimpin-Pemimpin Islam
Indonesia Terhadap Aliran Kepercayaan, Jakarta: Fajar Shadiq, 1978, [12] “Wawancara dengan
Prof. Dr. Rasyidi, Saya Mengharapkan Keadaan Akan Lebih Baik,” Panji Masyarakat, 15
October 1978. 16-17, [13] “Islam dan Kristian di Indonesia,” Panji Masyarakat No. 258,
November, 1978; 10-14, [14] Resensi Buku Pergolakan Pemikiran Islam: Suatu Tragedi,” Oleh
Ahmad Wahib, Panji Masyarakat, no. 346, January, 1982, 42-43, [15] “Sumbangan Keterangan
Tentang Syi’ah,” dalam Soal Syi’ah, Keputusan Rakernas Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Jakarta: MUI, 1984, [16] “Departemen Keagamaan Hanya Mengada-ada,” Panji Masyarakat, no.
371, 1982, [17] “Sambutan Prof. Dr. H.M. Rasyidi; Agama, Jalan Mengatasi Bahaya Dunia,”
Panji Masyarakat No. 474, (July, 1985), 53-54, [18] “Ada Simponi Mencela Islam,” Panji
Masyarakat, no. 459, 1987, [19] “Cara Berpikir yang Berbahaya Karena Sederhana,” Panji
Masyarakat, no. 597, 31 Desember 1988: 8-9, [20] “Seputar Rencana UU Peradilan Agama,”
Panji Masyarakat, no. 616, July, 1989: 27-31, [21] “Antara Saya Dan Harun Nasution,” dalam
Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam 70 Tahun Harun Nasution, Lembaga Studi Agama dan
Filsafat: 1989.

Akar Paham Modernisme di Indonesia

Istilah modern dan reformasi tumbuh daripada asas dan sejarah yang sama dalam peradaban
Barat. Kedua kata tersebut berasal dari perkataan Latin. Istilah modern berasal dari modernus. Ia
berasal dari modo yang bermaksud nunc (sekarang).18 Dalam konteks zaman Pertengahan Eropa ,
kata modern dipakai untuk membedakan dari yang sudah lama (antique) dengan yang sekarang
18
Sir William Smith dan Sir John Lockwood, Chambers Murray Latin-English Dictionary, (Edinburgh:
Chambers, 1933; cetakan ulang, 2000), 472; Gustavo Benavides, “Modernity and Buddhism,” dalam Encyclopedia
of Buddhism, vol 2. ed. Robert E. Buswell. Jr (New York: MacMillan, 2004), 544.
9

(modernus).19 Sedangkan perkataan reform dari bahasa Latin reformare yang berarti membentuk
kembali dan juga ia 'menandakan perbaikan keadaan atau mengembangkan keadaan yang
sebelumnya sudah ada.'20 Dalam proses pengembangannya paham modernisme dalam sejarah
peradaban Kristen Barat berasas pada penggunaan kedaulatan akal yang berakar dari filsafat dan
agama. Walaupun pada prosesnya ia masih mempertahankan doktrin gereja akan tetapi doktrin
tersebut telah diuraikan sesuai dengan filsafat kontemporer, sehingga kebenaran yang mutlak dan
berwibawa yang datang dari Tuhan dinilai tidak semestinya benar. Oleh karena itu kedaulatan
akal disebut simbol daripada modernisasi peradaban Barat.21

Pada pertengahan kedua pada abad 20 tepatnya pada tahun 1970-an, cendikiawan di
Indonesia coba untuk mengatur kembali perbagai bidang ekonomi, sosial dan pendidikan
termasuknya yang menjadi tujuan utama ialah institusi Islam khususnya di perguruan tinggi
(universiti) untuk menjadi agen modernisasi pembangunan bangsa. Dan ini diwujudkan melalui
‘transformasi’ departemen Agama dan modernisasi perguruan tinggi Islam di Indonesia
khususnya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN).22
Tokoh yang cukup berpengaruh dalam proses ini adalah Mukti Ali dan Harun Nasution
yang keduanya alumni Universitas McGill, Montreal, Canada. Mukti Ali yang ketika itu
menjabat sebagai menteri Agama (1971-1978) melakukan kebijakan dan perubahan fundamental
untuk tujuan modernisasi Perguruan Tinggi Islam. Salah satunya ialah tidak lagi memberikan
‘posisi-posisi kunci pada kementerian agama kepada kelompok tradisionalis Muslim’ 23 dan pada
masa yang sama merekrut sejumlah lulusan luar negeri khususnya daripada Barat untuk
menduduki posisi penting pada kementerian agama. Tercatat ada sembilan orang staf yang telah
menempuh ijazah master di Universitas McGill dan merekalah yang mewarnai kebijakan umum

19
The New Encyclopaedia Britanica, 15th. ed., s.v, “Modernism,” 99 vols. (USA: Encyclopaedia Britanica.
Inc, 1768; 1998), 8: 215.
20
Charles Kurzman, “Reform,” di dalam Maryanne Cline Horowitz (eds), New Dictionary of the History of
Ideas, vol 5, (USA: Thomson Gale, 2005), 2025; Robert M. Kingdom, “Reformation,” in New Dictionary of the
History of Ideas, vol 5, ed. Maryanne Cline Horowitz, (USA: Thomson Gale, 2005), 2029; Marcel A. Boisard,
Humanisme Dalam Islam, Terj. H.M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 325; H. M. Rasjidi, Hendak Dibawa
ke Mana Ummat ini?, (Jakarta Pusat: Media Da’wah, 1988), 17-18.
21
Frederick J. Dockstader, “Modernism,” The Encylopedia Americana, (Canada: Grolier Limited &
Americana Corporation, 1928; 1978), 311; Ibid., Hendak Dibawa Kemana Ummat ini?
22
Fuad Jabali dan Jamhari (ed), IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003),
18-19.
23
Ibid., 19.
10

terkait perkembangan institusi agama di Indonesia dengan pimpinan secara birokrasinya


dipimpin oleh Mukti Ali ketika itu .24
Sedangkan Harun Nasution setelah selesai di Universiti McGill (1969) menjabat sebagai
direktur pasca sarjana selama beberapa periode di IAIN Jakarta berperan besar dalam
pengembangan modenisme Islam di pendidikan tinggi dengan buku-bukunya yang menjadi buku
teks bagi seluruh mahasiswa IAIN.25 Kedua tokoh inilah yang cukup berpengaruh dalam
mengenalkan secara sistematis pemikiran guru-gurunya di Barat dan tradisi keilmuan Barat.26
Memoderenkan pemikiran Islam menurut kedua tokoh tersebut ialah dengan lebih
menekankan kepada metodologi atau kaedah yang rasional dan pendekatan empiris dalam ilmu
Islam dengan metode mentafsirkan ulang khazanah pemikiran Islam dengan semangat berfikir
rasional.27 Berdasarkan pengalaman agama dalam sejarah Barat, Mukti Ali menguraikan bahwa
paham modernisme lebih terbuka menerima perubahan sebagai sumber kekuatannya seperti
halnya perubahan waktu dan kemajuan. 28 Sehingga beliau berkeyakinan bahwa kemajuan ilmu
mengarahkan dalam penjelasan kembali secara fundamental doktrin traditional yang mana hal
tersebut untuk memperkuat ide berfikirnya dan juga dipakai untuk mencari pembenaran atas
idenya.29 Oleh karena itu paham modernisme Islam menurut Mukti Ali ini mempunyai ciri khas
diantaranya percaya tentang kedaulatan akal dan menolak otoritas apa saja yang bertentangan
dengan akal.30
Selain daripada itu, ciri yang lain juga terdapat pada paham modernisme Islam ini ialah
percaya terhadap kemajuan karena menurutnya dunia ini selalu berjalan ke arah kemajuan
sehingga sesiapa yang coba untuk menghidupkan kembali yang sudah berlalu dianggap sebagai
kemunduran. Jikalau terpaksa untuk menghidupkan kembali tradisi yang telah berlalu atau
sejarah, maka ia harus dapat mendukung ideologi kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang
dibuatnya. Sehinggalah segala hal yang menghalangi kemajuan dianggap buruk termasuk
agama.31 Sebaliknya menurut Rasjidi pembaharuan (tajdīd) ‘bukanlah memperbaharui agama itu
sendiri’ akan tetapi ‘yang perlu diperbaharui ialah Īmān (Jaddidū Īmānakum) yang berhubungan

24
Ibid., 20.
25
Ibid., 24, 42-43.
26
Ibid., xi.
27
Ibid., xiv, 18-19, 42-43.
28
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), 232-234.
29
Boisard, Humanisme Dalam Islam. 325.
30
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, 235.
31
Ibid., 235-236.
11

dengan aspek pemelukan dan kesadaran beragama, dan cara pemikiran atau penafsiran terhadap
ajaran agama itu sendiri, dengan tetap berpijak kepada ketentuan Sharī’āh dan keyakinan kepada
Islam sebagai kebenaran.32 Selain daripada pada itu Rasjidi juga berpendapat ‘jika pembaharuan
(tajdīd) merasionalisasikan teks-teks al-Qur’ān dan Ḥadīth atau ajaran agama yang mempunyai
maksud keluar atau menyimpang dari tujuan legislasi (hukum) Islam dan memberi kelonggaran
terhadap ide-ide sekuler sebagai upaya modenisasi’ menurut Rasjidi hal tersebut tidak dapat
dinamakan pembaharuan (tajdīd) akan tetapi tindakan bermain main (talā’ub).33 Sehingga,
modernisme pemikiran pada beberapa cendikiawan di Indonesia dalam perbagai struktur
berfikirnya dalam memahami khazanah pemikiran Islam dalam negara kesatuan Republik
Indonesia menjadi perhatian serius oleh Rasjidi dalam karya-karyanya sebagaimana yang akan
diuraikan.

Ragam Metodologi Modernisme Dalam Studi Islam

Rasjidi menegaskan akan pentingnya mengetahui dan mendalami epistemologi Islam dalam
pendidikan tinggi.34 Walau bagaimanapun, tanpa mengetahui prinsip-prinsip asas dalam Islam,
seseorang mungkin tidak dapat melihat perpaduan pemikiran dalam tradisi intelektual Islam. 35
Oleh kerana itu, Rasjidi yakin bahwa asas penghukuman benar atau salahnya suatu perkara dan
penilaian terhadap etika haruslah berdasarkan ilmu yang telah ditetapkan dalam hukum Sharī‘ah
berlandaskan al-Qur’ān dan Sunnah sehingga seseorang betul-betul menjiwai agama Islam. 36 Hal
tersebut juga ditegaskan oleh Imām Ghazalī dalam satu karyanya bahwa seorang Muslim tidak
32
H.M. Rasjidi, Hendak dibawa kemana Ummat ini?, 21
33
Ibid.,
34
Rasjidi menekankan akan pentingnya epistemologi Islam dan memahami tantangannya ditataran universitas
yang mana tercermin dalam beberapa karangannya seperti H.M. Rasjidi, “Prasaran Tentang Perbaikan IAIN pada
Musjawarah Kerjda Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 11 Augustus 1970 di Tjiloto”, dalam Prof. Dr. H.
Rasjidi Versus Drs. Zahri Hamid, ed. Zahri Hamid, (Jogjakarta: Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga,
1970), 4-22; H. M Rasjidi, Kebebasan Beragama, (Jakarta: Media Da’wah, n.d.), 35; Rasjidi dan Osman Raliby.
“Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan J M E.” dalam Tanggapan Terhadap Rancangan Repelita II, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1974), 1. Seterusnya ditulis Tanggapan Terhadap Rancangan Repelita II.
35
H.M. Rasjidi, “Cara Berpikir Yang Berbahaya Karena Sederhana” Panji Masyarakat, 21-13 Desember
1988, 8-9; Mohammad Rasjidi, “Unity and Diversity in Islam” dalam Islam the Straight Path, ed. Kenneth W.
Morgan (New York: The Ronald Press Company, 1958; cetakan ulang., Delhi: Motilal Banarsidass Publishers.
1987), 419-424.
36
H.M. Rasjidi, Islam dan Nilai-nilai Modern, (Jakata: Serial Media Da’wah, n.d), 21. Rasjidi, Faham Tentang
Islam, 34; Hendak dibawa kemana Ummat ini?, 21;
12

akan kenal kebenaran ataupun kebatilan sesuatu melainkan daripada kewujudan dalil dalam
Sharī’ah.37

Kebudayaan Barat dan pemikirannya mempunyai ciri khasnya sendiri. Ciri-ciri peradaban
Barat modern tercerminkan daripada bagaimana doktrin agama Kristen secara beransur-ansur
disempitkan bahkan dihilangkan akibat perkembangan pengetahuan yang berdasarkan filsafat
sekuler. Akibatnya, doktrin agama Kristen Barat di masyarakat, politik dan kebudayaan serta
intelektual disempitkan atau bisa jadi tidak dihiraukan. Jikapun agama tersebut dihiraukan, ianya
hanya berkaitan sebatas ritual tertentu seperti kelahiran, perkawinan dan kematian. Rasjidi
menegaskan bahwa oleh karena peran agama tidak dilibatkan secara menyeluruh dalam aspek-
aspek duniawi seperti yang terjadi dalam sejarah dan peradaban, maka perkembangan
pengetahuan yang berasaskan filsafat rasional lebih dominan bahkan dalam menguraikan tujuan
hidup manusia dan bahkan agama itu sendiri.38 Itulah sebabnya, menurut Rasjidi objektif dari
berfikir tersebut dinamakan sebagai sekularisasi yang terkandung di dalamnya; kerangka
pemikiran dualistik, paham humanisme dalam etika dan bernegara.39

Maka dari itu, jika pemikiran sains sekuler digunakan untuk mendalami tradisi intelektual
Islam, maka ilmu dan nilai-nilai Islam bisa didefinisakan ulang (redefine) berdasarkan kerangka
berfikir dualistik dan humanisme dalam etika dan bernegara yang sekuler. Seperti halnya definisi
modernisme dalam pemikiran Islam yang ditawarkan oleh kelompok yang terbuai dengan
pemikiran para orientalist terhadap Islam. Sehingga jelaslah apa yang selalu ditegaskan oleh al-
Attas bahawa ilmu tidak bersifat netral.40 Wan Mohd Nor Wan Daud dalam uraiannya
mengatakan bahwa ilmu itu sendiri ditafsirkan dalam pandangan alam tertentu yang mungkin

37
Abū Ḥamīd al-Ghazālī, al-Iqtiṣād fi al-‘Itiqād, (Beirut: Dār al-Minḥāj, 2012), 86.
38
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan Bintang,
1972), 70-71.
39
Ibid., 22, 75; H. M. Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965; cetakan ulang., 1970), 17-20;
Rasjidi, Keutamaan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971; cetakan ulang., 1980), 18; Rasjidi, Strategi
Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 64. Lihat juga kata pengantar
Rasjidi dalam buku terjemahannya dari bahasa Perancis kepada Bahasa Indonesia karya Marcel A. Boisard,
Humanisme dalam Islam, 11; Rasjidi, Mengapa Aku, 49.
40
Uraian lebih dalam tentang ilmu ialah tidak netral. Lihat Al-Attas, I&S, 133-134; Syed Muhammad Naquib
al-Attas, Islām and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1978; repr., 1993), 133-134; Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: (ISTAC), International Institute of Islamic
Thought and Civilization, 2001) 38, 113-4.
13

memperoleh hasil dan makna yang berbeda bergantung kepada pandangan alam dalam diri
seseorang.41

Itulah sebabnya Rasjidi menasihatkan seorang Muslim bahwa terdapat beberapa ciri-ciri
sarjana Barat ketika mengkaji Islam yang sangat terkait dengan cara berfikir Barat yang sekuler
yang terbentuk dari sejarah yang dilaluinya. Rasjidi tidak menafikan akan keberadaan sarjana
Barat yang mempelajari Islam berdasarkan semangat penelitian dengan sikap ilmiah dan objektif
terhadap Islam yang karenanya membuat mereka menyadari bahwa agama Islam dan serta
epistemologinya tidak mungkin palsu.42 Karena dengan proses penelitian tersebut sebagian
daripada mereka telah menjadi seorang Muslim dan tentunya melalui hidayah Allah SWT.
Jikapun tidak menukar agama maka ia akan memberikan pandangan yang tepat sesuai dengan
Islam.43

Rasjidi menegaskan lagi walaupun ada sebagian daripada akademisi Barat yang secara
jujur menaruh hormat kepada tradisi intelektual Islam tapi masih ada pandangan tentang
epistemologi Islam dan ulama yang diuraikannya dengan sikap benci, curiga dan kurang tepat
sehingga bisa menimbulkan kekeliruan orang Islam.44 Sebagai contoh, dengan menekankan
kepada aspek konflik politik dan sosial yang bertentangan dari pandangan alam Islam untuk
memberikan kesan seakan-akan ada kekeliruan dan gejolak yang tidak berkesudahan dalam
pemikiran dan sumber keilmuan Islam. Konflik politik dan sosial inilah yang menjadi pokok
pemikiran modernisme dalam mengajarkan Islam di perguruan tinggi di Indonesia sebagaimana
yang telah ditulis oleh Harun Nasution.45

Selain daripada itu Harun juga menganggap bahwa ide pembaharuan pengetahuan dan
pemikiran yang berasal dari negara kafir (Barat) masih mendapat tantangan dan dianggap curiga
oleh ulama.46 Menurut Rasjidi pandangan Harun tersebut menunjukkan sikap benci, anti-Islam
41
Wan Mohd Nor Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998), 72.
42
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 4.
43
H. M. Rasjidi, “Apakah Kebatinan itu?” dalam Disekitar Kebatinan, ed. Warsito, Rasjidi, Hasbullah Bakry
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), 32.
44
Ibid., 32, 54; H.M. Rasjidi, Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah (Jakarta. Bulan Bintang,
1976), 24-26.
45
Khususnya berkenaan dengan hal furū’iyyah ialah seperti dalam masalah qunūṭ, membaca Surah yāsīn,
taqlīd, bid‘ah dan lainnya, uraiannya ada di buku H.A. Salim, “Kementerian Agama Dalam Republik Indonesia,”
dalam Kementerian Agama, ed. K.H. A. Wahid Hasjim, H. Agus Salim dan Hamka (n.d), 12-13; Rasjidi, Koreksi
Terhadap Dr. Harun Nasution, 51, 64-70.
46
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, 2 jilid (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), 2: 94.
14

dan menujukkan sikap tidak kritis terhadap pemikiran orientalis yang dinyatakannya sebagai
berikut; ‘kata-kata tersebut di atas sangat menusuk perasaan dan menandakan bahawa Dr. Harun
Nasution sudah menelan apa saja yang ditulis oleh orientalis yang anti Islam tanpa menggunakan
daya kritis fikirannya sebagai seorang sarjana.’ 47 Rasjidi sangat kecewa bahwa cara pandang
Harun yang demikian itu telah pun tertulis dalam bukunya dan diajarkan dalam jajaran studi
Islam di perguran tinggi Islam tanpa analisa kritis yang mana isi buku tersebut digambarkan
Rasjidi bagaikan ‘telah mengusap wajah Islam dengan debu yang basah, sehingga wajahnya
nampak dalam keadaan seburuk-buruknya.’48 Sesungguhnya metode-metode tersebut dapat
menimbulkan sikap ragu, rendah diri (inferiority) dan penanaman pandangan alam Barat
(westernization) dalam pemikiran akademisi Muslim yang belum kuat secara asas keilmuan
Islam terutama berkenaan epistemologi dan tradisi intelektual Islam.49

Dalam erti kata lain, jika metode tersebut dipakai, ianya akan minimbulkan keengganan
seorang pelajar untuk mempelajari Islam disebabkan sifat rendah diri serta bisa menjauhkannya
dari sikap menghargai tradisi intelektual Islam. Akibatnya hal tersebut bisa membawa seseorang
kepada kejahilan, kekeliruan memahami makna diri disebabkan kejahilan dan kekeliruan
terhadap rantai intelektual yang membawa pengetahuan dan tradisi Islam serta melemahkan daya
kritis terhadap segala hal yang bertentangan dari ajaran agama Islam.

Oleh karena itu kita bisa lihat bahwa pengetahuan, pengenalan serta pengakuan terhadap
tradisi keilmuan Islam yang meliputi aspek epistemologi dan adab amatlah penting bagi para
sarjana Muslim. Selain daripada itu, penguasaan dan pemahaman cabaran kaedah modern Barat
yang mengelirukan pemikiran juga perlu diketahui oleh intelektual Muslim di peringkat
pengajian tinggi sehingga mereka mampu berdaya kritis pada masa yang sama juga menghargai
kekuatan perabadan lain secara adil sesuai dengan pandangan alam Islam.50

47
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 128.
48
H.M. Rasjidi, Resensi Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Oleh Ahmad Wahib, dalam Kiblat, no. 16,
1992, 29-30: 29.
49
Rasjidi, “Cara Berpikir yang Berbahaya”, 9; Rasjidi, “Koreksi tentang Akal dan Akhlaq” 6-9.
50
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 5.
15

Hakekat Insan: Hubungan Antara Jasad dan Ruh

Rasjidi sangat memberi penekanan kepada peran institusi Islam sebagai salah satu aspek penting
dalam mentrasformasi ilmu agama di masa sekarang ini. 51 Sebagaimana yang Wan Mohd Nor
Wan Daud telah uraikan bahwa pemahaman akan hakekat insan sebagai individu ialah objek
yang sangat penting dalam proses pendidikan sebelum terlibat langsung dalam masyarakat. Ini
karena masyarakat adalah terbentuk dari kumpulan individu.52 Jika seorang individu dalam suatu
masyarakat memahami hakekat dirinya dan perannya maka akan menjadi seseorang yang baik
bukan hanya dalam tatanan sosial akan tetapi juga pada tatanan perseorangan atau individu.

Manusia dalam hakekatnya terdiri daripada; jasad dan ruh sekaligus. 53 Kedua-dua unsur
tidak dapat dipisahkan daripada manusia. Rasjidi menekankan bahwa seseorang harus dapat
menyeimbangkan diri dalam mengatur hubungan antara jasad dan ruh.54 Ia juga menekankan
mengenai kepentingan aspek-aspek rohani manusia yang mana tempat ilmu disematkan kedalam
diri namun pada masa yang sama juga memperhatian unsur-unsur jasadi dan keperluan-
keperluannya.55 Ini dinyatakan sebagai berikut ‘kebahagiaan manusia dalam pandangan Islam
bukanlah dengan menganggap remeh keperluan jasadi sementara hanya menjaga aspek rohani
sahaja. Akan tetapi ia juga bukan sahaja menekankan unsur jasadi dengan meremehkan
keperluan rohani.’56

Oleh karena dalam pemikirannya, Rasjidi selalu menempatkan agama Islam sebagai
epistemologi utama, Rasjidi menekankan ilmu mengenai hakekat Tuhan sebagai Sang Pencipta
51
Hal tersebut terpancar dalam beberapa tulisannya tentang permasalahan yang di peringkat universiti. H.M.
Rasjidi, “Prasaran Tentang Perbaikan IAIN pada Musjawarah Kerjda Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, 11
Augustus 1970 di Tjiloto”, dalam Prof. Dr. H. Rasjidi Versus Drs. Zahri Hamid, ed. Zahri Hamid, (Jogjakarta:
Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga, 1970), 4-22; Rasjidi, Kebebasan Beragama, 31; Rasjidi,
“Tanggapan Terhadap Rencangan Repelita II”, 1-2; Nashruddin Syarief, ‘Pemikiran H.M. Rasjidi Tentang
Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi’ Disertasi Doktoral, (Bogor: Universitas Ibn Khaldun, Indonesia,
2013).
52
Uraian lebih jelas tentang pentingnya pendidikan dalam menekankan pentingnya individu sebelum terjun
kepada masyarakat, lihat, Wan Mohd Nor Wan Daud, Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad
Naquib Al-Attas, 130-132.
53
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 43; , Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam and
Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), 139.
54
Ibid.
55
H.M. Rasjidi, Islam dan Socialisme, (Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia, 1966), 58; H.M. Rasjidi,
Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Dep. Agama RI, 1997), 8.
56
Al-qaṣaṣ (28): 77; 48-49.
16

alam semesta, kehidupan dan manusia. 57 Rasjidi mengatakan bahwa jika manusia hidup di dunia
dan tidak memahami sumber daripada alam ini dan identitasnya, maknanya dia dalam keadaan
ragu mengenai tujuan hidup di dunia ini. Hasil dari pada keadaan tersebut, menurut pandangan
Rasjidi manusia tersebut tidak dapat secara tepat menempatkan peran unsur jasad dan rohani
dalam dirinya dalam hubungannya dengan alam dan Tuhannya ataupun akan melihat bahwa
ketiga-tiga unsur tersebut selalu dalam keadaan pertentangan antara satu dengan yang lain. 58
Sebaliknya, berkenaan dengan tanggapan hubungan mengenai hubungan antara jasad dan
ruh dalam Islam, Rasjidi tidak setuju dengan Harun atas pemisahan antara peranan aspek internal
manusia dengan aspek jasadi manusia dengan mengatakan bahwa 'badan karena mempunyai
hawa nafsu bisa membawa kepada kejahatan, sedang roh, karena berasal dari unsur yang suci,
mengajak kepada kesucian'.59 Ini bermakna bahwa ruh hanya berfungsi sebagai pembimbing
kepada sesuatu yang suci atau baik saja. Sementara itu tubuh manusia yang memiliki keinginan
selalu mengarahkan manusia kepada kejahatan saja.

Walau bagaimanapun menurut Rasjidi bahwa pemikiran tersebut tidak benar karena ianya
mengadung ajaran untuk menjauhkan diri dari dunia karena keduwiaan itu jahat seperti dalam
ajaran Gnoticism dan Neo Platonism.60 Berarti bahwa tubuh manusia (jasad) selalu terlibat dalam
keinginan jahat dan hina karena pemikiran tersebut telah terperangkap dalam pandangan yang
dualistik yang berkefahaman terdapat konflik antara aspek rūḥ dan jasad manusia.61 Itulah
sebabnya Rasjidi menegaskan bahwa dalam aspek 'badan manusia sendiri tidak mempunyai
hasrat jahat' jika ia terputus dari rūḥ (soul).62 Sama seperti badan tanpa rūḥ dinamakan mayat
(mayyit). Beliau lebih lanjut mengatakan bahwa ianya adalah keadaan diri (nafs) manusia yang
mendorong kepada keburukan (al-nafs al-ammārah bi al-sū') yang fungsinya selalu terkait
dengan tubuh selagi manusia dalam keadaan hidup. Sementara itu, dalam tradisi intelektual Islam
sebagaimana diuraikan oleh al-Attas, manusia juga mempunyai keadaan diri yang lain; keadaan
diri yang insaf terumbang ambing dari ufuk kemuliaan ke busut kehinaan (al-nafs al-lawwāmah)
serta keadaan diri yang tenang yaitu diri dalam keadaan mengenali Allah SWT dan kekal

57
Rasjidi, Islam dan Socialisme, 46.
58
Ibid., 48.
59
Harun, Islam Ditinjau, 1: 36
60
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 35,
61
Ibid., 42-43; Rasjidi, Islam dan Sosialisme, 48.
62
Ibid., Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution.
17

keadaan mengenali dan mengakui ketuhananNya (al-nafs muthmainnah).63 Itulah sebabnya


Rasjidi menegaskan bahwa 'tubuh manusia itu sendiri tidak mempunyai kejahatan dan jiwa
manusia tidak semestinya dalam keadaan ketenangan'.64

Selain daripada itu, Rasjidi juga memperingatkan bahwa kegagalan memahami secara
tepat hubungan antara aspek jasadi dan rohani manusia dalam tradisi pemikiran agama Islam
dapat membawa seseorang kepada dua aliran. 65 Yang pertama, penekanan hanya pada aspek
rohani dapat membawa kepada paham yang meninggalkan secara mutlak aspek keduniawiaan
(asceticism) yaitu zuhud yang melewati batas dan menyiksa badan untuk kepentingan rohani
seperti amalan fakir-miskin dari agama Hindu dan mistik Kristen dalam abad pertengahan. 66
Sementara, yang kedua, memberi penekanan berlebihan kepada aspek jasadi dapat membawa
kepada paham materialisme.67 Ini berarti bahwa seseorang yang menekankan aspek luaran yang
secara tidak langsung mendukung kepada pemahaman bahwa manusia hanya menumpukan
kepada unsur jasadi (external) sebagai unsur yang sangat penting bagi manusia dalam masa yang
sama menganggap remeh kepada aspek rohani (internal) manusia.

Itulah sebabnya Rasjidi percaya bahwa keadilan sosial tidak dapat dicapai tanpa
menyedari akan peranan individu yang terkaitan rapat dengan aspek rohani yang berasal dari
unsur-unsur dalam ajaran agama Islam yang tetap.68 Rasjidi juga menyatakan bahwa individu ini
juga memerlukan 'kebebasan diri' yang bermaksud seorang manusia yang bersaksi dan percaya
bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, Yang Maha Esa, Pencipta alam semesta ini pada masa
yang sama juga terlibat dengan kegiatan sosial budaya dan ekonomi di dunia ini sebagai wujud
amalan yang penuh ketaatan dan kesetiaan (ṭā'ah) kepada Tuhan menurut hukum Allah SWT
(sharī‘ah), etika dan moral dengan niat yang benar sesuai dengan amalan dalam kehidupan Nabi
Muhammad SAW, teladan paling sempurna demi mencari keredhaan Allah SWT.69 Oleh itu,
63
Uraian lebih dalam tentang hal tersebut, lihat, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, The Nature of Man and
the Psychology of the Human Soul (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization
(ISTAC), 1990; cetakan ulang, 1993), 6; Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan
Pengalamannya Dalam Islam, Terj. Muhammad Zainiy Uthman, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2002), 10.
64
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 35-36.
65
Rasjidi, Islam Untuk Displin Ilmu Filsafat, 38-39.
66
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 43; Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 84; Rasjidi,
Islam dan Socialisme, 48.
67
Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 19,70.
68
Rasjidi, Islam dan Socialisme, 46.
69
Ibid., 46-55. Al-Attas menjelaskan bahwa kebebasan yang benar dalam istilah Islam yang tepat ialah
ikhtiyar (memilih kepada yang lebih baik) yang mana ianya adalah perbuatan yang membuat kepada suatu pilihan
18

Rasjidi menganggap tahap kerohanian seperti itu dalam diri seorang manusia yang mencoba
dengan disiplin dalam diri untuk meraih kedudukan ‘kebebasan diri’ juga mencerminkan usaha
seseorang untuk mencapai kebahagiaan dalam diri dan juga dalam masyarakat. 70 Selanjutnya
manusia dalam keadaan sedemikian berada dalam keadaan jiwa yang tenang (nafs al-
muthmainnah) yang bermaksud selalu menekan dan mengontrol kekuatan haiwani (ḥayawānīy)
untuk berada ditempat yang sewajarnya sehingga tidak terjebak kedalam kejahatan dan
kezaliman.71

Akal dan Wahyu

Akal (‘aql) dalam agama Islam dianggap sebagai salah satu unsur penting dan wasilah
bagi manusia untuk memahami sesuatu. Ini bermaksud bahwa walaupun akal dianggap sebagai
alat yang penting untuk memahami pengetahuan, akan tetapi Islam tidak membenarkan akal
melebihi peranan wahyu dalam agama. Rasjidi menegaskan bahwa akal tanpa petunjuk ilmu
yang benar terkait dengan agama Islam boleh melemahkan kekuatan īmān.72 Oleh karena itu,
adanya epistemologi ilmu yang benar dan nyata dalam pandangan Islam boleh terus menjadi
rujukan untuk menguatkan īmān. Sehingga ianya harus terus digali dan dikuatkan sehingga boleh
menjaga seorang Muslim untuk terhindar dari redup dan rapuhnya landasan diri.73 Keadaan diri
yang rapuh tersebut seperti halnya pokok yang tidak pernah tumbuh dengan sempurna
disebabkan tiada mempunyai akar yang kuat.
Rasjidi menerangkan bahwa dalam agama Islam, segala sesuatu tidak pernah terbebas
daripada Tuhan dalam setiap masa. Walaupun Islam perpegang pada kekuatan akal manusia
yang mana juga disebutkan dalam ayat al-Qur'ān dalam kata fikr, ‘aql, ‘ilm, tadabbur dan
sebagainya, namun demikian agama Islam tidak pernah membuka pintu sekularisasi yang mana

yang baik atau lebih baik daripada pilihan yang buruk. Sehingga, al-Attas menguraikan lebih lanjut bahwa memilih
keburukan antara dua pilihan (baik dan buruk) bukanlah dianggap sebagai ikhtiyār akan tetapi perbuatan zalim
(zulm) yang dilakukan diri sendiri. Penjelasan lebih tepat dan mendalam mengenai hal tersebut, baca, Al-Attas
Prolegomena, 33-34.
70
Rasjidi, Islam dan Socialisme, 48-49, 58-59.
71
Al-Attas, the Nature of Man, 5.
72
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 103.
73
Ibid.
19

memisahkan secara mutlak daripada kuasa Agama atau menghilangkan kehidupan diri daripada
peranan spiritualisme tanpa tujuan Ilahi dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.74

Seterusnya, dalam peradaban Islam dan peradaban-peradaban lain juga bersetuju bahwa
seseorang harus menggunakan akalnya untuk berfikir, merenung dan bahkan menyelidik,
memahami, mengambil manfaat dari alam semesta dengan sebaik baiknya. Selain itu, walaupun
Islam berpegang dan mengakui pada kekuatan akal manusia tersebut, hal lain yang penting
ditekankan oleh Rasjidi bahwa Islam tidak pernah membuka pintu sekularisasi. Karena
pemikiran sekular memandang seorang manusia dengan akal haiwani (reason/ratio) dan alam
semesta ini adalah terpisah dari kuasa Tuhan sehingga mampu menguraikan agama dan aspek
epistemologinya dengan keinginan akalnya seperti yang akan diuraikan seterusnya.75

Selanjutnya, dalam agama Islam, kita memahami bahwa alam semesta ini adalah
sebagian daripada ciptaan Tuhan yang juga merupakan tanda kebesaranNya. Ia juga dinamakan
al-āyāt al-kauniyyah. Rasjidi percaya bahwa agar manusia memanfaatkan tanda-tanda ini dengan
baik, Allah SWT memberi kita petunjuk sebagai cahaya bagi manusia untuk memahami dan
melihat sesuai dengan apa yang dikehendaki dalam hukum Allah SWT.76 Atas sebab itu, Rasjidi
tidak bersetuju dengan penyebar paham modernisme yang menggunakan ayat Al-Qur'an untuk
membenarkan bahwa akal merupakan karunia Allah SWT yang diberikan kepada manusia
sebagai 'pengganti Tuhan di bumi', pada masa yang sama menolak kedaulatanNya terhadap alam
semesta ini.77 Ini bermakna bahwa dunia sepenuhnya dipercayakan kepada manusia dengan
mengubah kedudukan manusia dari menjadi hamba Tuhan ('abd) menjadi khalifah Tuhan di
alam ini, dengan cara menggalakkan kebebasan daripada hukum Tuhan,78 dan menggunakan
akal lebih dari pada batasan wahyu untuk melihat, bertindak di dunia. 79 Ini juga secara tidak
langsung mendukung bahwa melalui akal, seorang Muslim boleh menafikan ilmu yang sebenar
yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
74
Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 19.
75
Ibid.
76
Rasjidi, “Unity in Diversity” 403.
77
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution, 37-38, Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 10, 22.
78
Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 26.
79
Dalam hal ini sesungguhnya Rasjidi tidak bersetuju dengan Nurcholish Madjid dalam uraiannya
terkait surat al-Aḥzāb (33) 72. Allah SWT berfirman ‘Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh.’ Ibid., 72; Rasjidi, Koreksi tentang Akal dan Akhlak, 14-15.
20

Dalam pengamatan Rasjidi paham modenisme Islam yang ada di perguruan tinggi Islam
yang disebarkan melalui istilah pembaharuan atau tajdīd sesungguhnya menyimpang dari tujuan
hukum Islam karena memberi kelonggaran terhadap idea-idea sekular sebagai upaya
modenisasi.80 Oleh karena itu pembaharuan menurut Rasjidi bukan untuk memperbaharui agama
itu sendiri akan tetapi imanlah yang perlu diperbaharui yang mana sangat terkait rapat dengan
kesadaran diri akan pentingnya agama dan cara berfikir serta mentafsir ajaran agama itu dengan
ketentuan sharī‘ah dan keyakinan akan kebenaran yang dari agama Islam.81

Rasjidi juga menegaskan bahwa manusia dalam Islam mempunyai kedudukan sebagai
hamba Allah SWT ('abd) di dunia ini serta khalifah di bumi. Dengan itu, manusia yang
demikian sentiasa sedar kedudukannya terhadap Penciptanya.82 Selain itu, Rasjidi menekankan
bahwa manusia sebagai khalifah Allah SWT bukanlah manusia sebagai individu, tetapi manusia
sebagai jenis (jins).83 Maksud kepercayaan dari Tuhan dalam ayat ini adalah untuk bertindak
atas perintah Allah SWT, mengikuti Al-Qur'an dan sunnah Nabi (SAW). Semua ini juga
dinamakan sebagai wujud ketundukan manusia, kasih sayang dan rasa syukur kepada Allah. 84
Itulah yang disebut Rasjidi sebagai tujuan yang tepat dari tindakan manusia. Untuk melakukan
itu, Allah SWT membimbing makhlukNya yang mulia untuk percaya dan bekerja dengan amalan
yang benar sesuai dengan sumber ilmu yang benar.85

Selanjutnya, Rasjidi juga menunjukkan pendapat bahwa Emmanuel Kant (1724-1804),


seorang ahli filsafat Barat, menguraikan dalam penggunaan akal dalam bukunya ‘Critique of
Pure Reason’' menyebutkan bahwa ada hal-hal yang tak mampu diketahui oleh akal yaitu
noumena (thing in itself) atau hakikat sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal. Tetapi akal hanya
dapat melihat fenomena.86 Oleh itu, untuk memberikan ungkapan yang lebih tepat, Kant
menegaskan bahwa 'kita tidak mengetahui diri kita sendiri dengan sebarang intuisi akal (cahaya
alam)'.87 Rasjidi menerangkan lagi bahwa Kant juga menjelaskan apabila manusia ingin tahu

80
Rasjidi, Hendak Dibawa, 21.
81
Ibid.
82
Al-Fātiḥah (1): 5. Al-Isrā’ (17): 1.
83
Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 72.
84
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 38.
85
Al-Nūr (24): 55; Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 64.
86
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 44.
87
Immanuel Kant, Prolegomena to Any future Metaphysics, ed. James W. Ellington dan Terj. The Paul Carus,
(Indiana: Hackett Publishing Company, 1977), ix.
21

kewujudan Tuhan dan alam akhirat, dia harus beramal dan berfikir tentang moral (akhlak). 88
Dalam erti kata lain, Rasjidi berkata bahwa Kant telah menunjukkan batasan akal manusia dan
oleh itu yang dalam agama Islam telah ajarkan bahwa kepercayaan tentang kewujudan Tuhan
Yang Maha Esa dan hari akhirat merupakan asas tindakan manusia, sebagaimana yang telah
disebutkan diatas dan semua kebenarannya disampaikan melalui Rasul dengan akhlaknya yang
sempurna.89

Selanjutnya, Rasjidi menerangkan makna bismillāh bahwa 'setiap amalan yang saya
laksanakan ialah dengan penuh kesedaran sebagai hambaNya dan untuk mengingati bahwa
satu-satunya Allah yang membuat semua tindakan saya adalah menjadi mungkin'. 90 Rasjidi
seterusnya menjelaskan bahwa ‘keyakinan terhadap Tuhan dan hari pembalasan’ menjadi asas
bagi semua perbuatan seorang Muslim.91 Karena ilmu dan amalan yang demikian itu merupakan
bukan semata-mata bergantung kepada akal tetapi juga iman. Rasjidi percaya bahwa ilmu yang
berdasarkan pemikiran yang benar dalam asas iman kepada Allah SWT akan membimbing
manusia dengan tujuan yang benar dalam hidupnya.92 Sebaliknya paham modenisme Islam
seperti Nurcholish justru mengatakan ‘sebelum kita mengadakan pemecahan dan pemahaman
secara rasional kepada sesuatu, maka ia harus bebas dari bungkusan yang menjadi halangan dan
kesakralan’.93 Sesungguhnya akal boleh mencapai kepada pemikiran tentang kewujudan Allah
SWT karena akal dapat melihat secara rasional tentang ‘keharmonian alam semesta’ 94 yang akan
mencapai kesimpulan bahwa alam ini pasti ada Pengatur, namun akal tidak dapat menjawab
nama Pengatur dan bagaimana cara menyembahNya sebagai wujud pengakuan akan
kewujudanNya.95

88
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 44, 105.
89
Ibid, 45. Perbandingan antara Kant dan Al-Ghazālī tentang perkara tersebut, lihat Muhammad Iqbal, The
Reconstruction of Religious Thought (Lahore: Iqbal Academy Pakistan; Institute of Islamic Culture, 1986; cetakan
ulang., 1989), 5; Rasjidi, Hendak Dibawa Kemana Ummat ini?, 22-23.
90
Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 65.
91
Ibid.,; Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 44.
92
Ibid., Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 45.
93
Nurcholish Madjid “Sekali Lagi Tentang Sekularisasi,” dalam Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 39.
Rasjidi mengamati pemikiran Nurcholish dari awal tahun 70an sehingga selepas mendapat gelaran PhD dari
Universiti Chichago tetap tidak berubah dan justeru bertambah sophisticated. Lihat juga Rasjidi, Hendak Dibawa,
29.
94
Mohammad Rasjidi, “Unity and Diversity in Islam” dalam Islam the Straight Path, ed, Kenneth W.
Morgan. (New York: The Ronald Press Company, 1958; cetakan ulang., Delhi: Motilal Banarsidass Publishers,
1987; 1993), 408-9.
95
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 45; Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 70-71.
22

Itulah sebabnya, Rasjidi yakin bahwa akal dalam Islam adalah aktiviti rohani manusia
yang bermakna, yang harus selalu dibimbing dengan cahaya atau ilmu Wahyu Ilahi; 'Al-Quran
dan Sharī'ah (Hukum Ilahi)' yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad (PBUH) akan
mengarahkan umat manusia keluar daripada kegelapan dan kejahilan, kekacuan dalam berfikir
sehingga tidak mengetahui kriteria kebenaran dan kebatilan.96 Epistemologi ilmu tersebut
menurut Rasjidi juga menjadi semangat utama ilmu tasawwuf seperti apa yang al-Ghazali
(w.1111) telah tuliskan dan ajarkan yakni dengan menggabungkan ritual ibadah-ibadah Islam
dengan pengalaman agama Islam yang mendalam dengan jiwa yang taqwa (tasawwuf). 97 Lebih
lagi peran tersebut menurut Rasjidi bahwa 'paham Sufi seperti itu telah memberikan, dan sedang
memberikan, sumbangan yang berharga terhadap kehidupan keagamaan ummat Islam diseluruh
dunia.'98

Namun sebaliknya, Harun peletak landasan kerangka pemikiran modenisme


mengaburkan pandangan alam Islam yang kukuh dengan hujjah bahwa karena ajaran Islam
sangat luas sekali dan ajaran dasar Islam sedikit sekali jumlahnya. Lanjutnya, ajaran dasar yang
sedikit itu tidak semua tetap (qaṭ‘ī) tetapi banyak yang bersifat tidak tetap atau berubah (ẓannīy).
Oleh karena itu, menurut Harun, umat Islam untuk mencapai kemajuan harus melepas ikat tradisi
nenek moyang (tradisi pemikiran Islam) yang dianggap sakral. 99 Karena menurut Harun
penyebab lambatnya perubahan dan kemajuan ummat Islam bukan agama Islam tetapi cara
berfikir yang masih terikat dengan tradisi pemikiran Islam yang dianggapnya sakral, 100 dalam
kesempatan lain Harun menguraikan ianya masih terikat pada arti harfiyah dari teks ayat al-
Quran dan tidak mau merubah arti harfiyah tersebut dengan arti mefasik seperti golongan
mu’tazilah, falsafah, sufi.101 Hal ini juga dinyatakan Harun dalam pernyataan berikut; ‘Wahyu
tidak membawa hal-hal yang bertentangan dengan akal. Kalau pada lahirnya teks ayat
bertentangan dengan pendapat akal, harus dicari interpretasinya yang membuat ayat itu selaras
dengan pendapat akal’.102
96
Rasjidi, Agama Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, 8.
97
Rasjidi, “Unity in Diversity in Islam” 419; Rasjidi, “Kesimpulan Terakhir”, dalam Disekitar Kebatinan, ed.
Warsito, H.M. Rasjidi, H. hasbullah Bakry (Jakarta: Bulan Bintang, 1972), 95.
98
Ibid {Mohammad Rasjidi, “Kesatuan dan Keragaman dalam Islam,” dalam Islam Djalan Mutlak, ed.
Kenneth W. Morgan, Terj. Abusalamah, Chaidir Anwar dan Harun al Rasjid, (Jakarta: PT Pembangunan Djakarta,
1963), 153. Seterusnya ditulis “Kesatuan dan Keragaman dalam Islam” }
99
Harun, Islam Ditinjau, 2: 114; Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 136-137, 139.
100
Ibid., Islam Ditinjau.
101
Rasjidi, “Koreksi tentang Akal dan Akhlaq,” 27.
102
Harun, Islam Ditinjau, 100.
23

Tanggapan Rasjidi terhadap paham modenisme sangat tajam bahwa paham tersebut
mengajak untuk tetap menggunakan nama Islam tetapi dengan meyakini ide-ide baru dan tafsiran
baru yang datang dari kerangka berfikir yang melanggar dan boleh merusak ajaran Islam yang
kokoh (thābit) seperti pemikiran mu’tazilah dan falsafah atau tradisi berfikir Barat yang rasional,
beraliran positivisme.103 Hal ini didasarkan dari anggapan dan landasan berfikir yang lemah yaitu
menganggap ajaran Islam banyak yang tidak tetap atau berubah dan segala sesuatu dari
peradaban Barat yang termasuk filsafat Yunani dari Plato, Aristotles harus diterima oleh umat
Islam. Sehingga dengan pedoman tersebut, agama Islam dengan sumber ajarannya dalam al-
Qur’an dan Hadīth menurut paham modenisme ialah fakta yang nyata dan ianya perlu ditafsirkan
ulang sesuai dengan keperluan kemajuan dan tuntutan zaman sekarang, sehingga sumber-sumber
yang tetap (ṭhābit) dan ayat hukum dalam al-Qur’an yang menjadi landasan yang kuat dalam
Islam dipakai sebagai pembenaran (justification), penyesuaian kepada kemajuan dan tuntutan
zaman.104 Rasjidi memberikan kritikan bahwa ‘tidak semua kemajuan kehidupan dunia ini sesuai
dengan Islam’.105

Itulah sebabnya, Rasjidi memberi penekanan pada pentingnya memahami tradisi


intelektual Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah terutama tema-tema utama mengenai
prinsip-prinsip yang telah ditetapkan (qaṭ‘ī) serta memahaminya sesuai dengan konteks sekarang
dengan selalu mengkaitkan akal dengan tuntunan wahyu sebagai kaedah berfikir.106 Muslim
dengan keyakinan yang demikian dapat mengenali dan mengakui identitasnya sendiri di
kalangan perbagai tradisi intelektual dan masyarakat yang beragam. Rasjidi mengekspresikan
pemikiran tersebut dalam ungkapan berikut khususnya berkenaan dengan peran ulama Islam
yang tegas dalam tradisi intelektual Islam dalam menangani keragaman dalam pemikiran dan
masyarakat;

‘Walaupun hidup di dalam kebudayaan yang berbeda-beda, Islam dapat


mempertahankan kesatuannya sepanjang abad....Dalam perbincangan kita
tentang kesatuan dan keberagaman dalam Islam, kita melihat bahwa
perpecahan-perpecahan dari kesatuan pokok Islam [ajaran dasar Islam] hanya
terjadi bila terdapat kejahilan diantara rakyat jelata-rendahnya tingkat
pengajaran.’107
103
Ibid.
104
Harun, Islam Ditinjau, 140.
105
Ibid.
106
Ibid; Rasjidi, Hendak Dibawa Kemana Ummat ini?, 21.
107
Rasjidi, “Unity and Diversity in Islam,” 430 {Ibid., 161.}
24

Oleh itu, Rasjidi percaya bahwa seorang muslim harus memahami prinsip-prinsip yang
ada dalam Islam dan kemudian diterapkan dalam konteks semasa berdasarkan pandangan alam
Islam. Karena menurut Rasjidi, keadaan dan persekitaran yang kita hidup harus diletakkan dalam
kerangka agama Islam.108

Mengenai Akhlak

Rasjidi memberikan makna moral sebagai akhlak,109 yaitu 'suatu aturan yang fundamental yang
kita rasakan tak dapat menyangkalnya dan oleh karena itu dapat menjadi pedoman kita dalam
keadaan yang berbeda-beda.’110 Sementara itu Rasjidi juga menerjemahkan al-'amal al-sāliḥ
sebagai perbuatan yang benar. Lawan daripada ṣāliḥ adalah fasād (kerusakan). Untuk
mengelakkan daripada kerusakan diri (ẓulm) atau tindakan tidak bermoral maka akhlak harus
berdasarkan kepada asas dan tujuan tertentu yang tetap (thābit) dalam ketentuan Sharī‘ah. Pada
agama Islam, petunjuk dan asas yang tetap tersebut ialah wahyu Allah SWT yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW yaitu Al-Qur'an.111 Sementara itu tindakan, ucapan dan
persetujuan daripada Nabi Muhammad dinamakan sebagai Sunnah yang merupakan tafsiran dan
perwujudan sempurna dari Al- Quran. Oleh itu, kewujudan kedua-dua sumber utama dalam
tradisi Islam adalah benar dan juga sebagai asas ajaran.112

Dalam pembahasan Rasjidi tentang paham modenisme dalam moral, hal yang menjadi
tumpuan Rasjidi ialah kesalahpahaman Harun dalam meletakkan ḥadīth akhlak kepada ḥadīth
hukum untuk digunakan untuk menguraikan hukum suatu ibadah yang mana boleh menimbulkan
kekacauan dalam berfikir dan beramal.113 Arti dalam Hadith tersebut ialah ‘solat yang tidak
menjauhkan pelakunya dari kelakuan tidak baik dan kejahatan, bukanlah solat’ dan ‘orang yang

108
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 65-66, 140.
109
Rasjidi, “Unity and Diversity in Islam,” 405.
110
H.M. Rasjidi, Agama dan Etik, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1972), 15.
111
Rasjidi, “Unity and Diversity in Islam,” 405.
112
Ibid.
113
Ḥadīth tersebut untuk menguraikan asas solat dan puasa dalam Surah Al- ‘Ankabūt: 45 dan Al-Baqarah:
183.
25

tidak meninggalkan kata-kata bohong dan sentiasa berdusta tidak ada faedahnya ia menahan diri
dari makan dan minum (puasa)’. Harun menguraikan bahwa solat yang tidak mencegah daripada
perbuatan jahat dan tidak baik bukanlah solat sebenarnya sementara puasa yang tidak
menjauhkan manusia dari ucapan dan perbuatan tidak baik tiada gunanya.114

Rasjidi menegaskan bahwa kedua ḥadīth tersebut merupakan ḥadīth akhlak yaitu anjuran
agar kita sembayang bukan sekedar ritual sembahyang akan tetapi hendaknya secara khusyuk
dan puasa bukan hanya sahaja meninggalkan makan dan minum sepanjang hari akan tetapi juga
melakukakan kebaikan dan menjauhi hal-hal yang tidak baik. 115 Karena menurut Rasjidi
kekeliruan dalam meletakkan ḥadīth moral sebagai ḥadīth hukum boleh membawa kepada
pemahaman ‘apa gunanya seorang sembayang jika tanpa sembahyang orang sudah dapat
memperbaiki dirinya’ atau memberikan implikasi untuk membenarkan tindakan baik yang
bermoral tanpa harus mengikuti dan mengamalkan Sharī‘ah agama Islam.116 Oleh karena itu
perlunya mengetahui ajaran Islam sebagaimana yang telah Rasjidi jelaskan bahwa Nabi
Muhammad SAW mewakili akhlak tertinggi dan teladan paling sempurna di mana setiap muslim
harus berusaha untuk meningkatkan akhlak dan etikanya sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad
SAW.117 Kehidupan jasadnya mungkin telah berlalu dari pandangan kita, namun sirah tentang
kehidupannya, pesan-pesannya dan akhlaknya tetap selalu menjadi teladan terbaik bagi umat
manusia sehingga akhir zaman.

Selain itu, jelas bahwa agama Islam memberikan bekal kepada manusia dengan matlamat
agar memiliki akhlak yang merujuk kepada teladan yang paling sempurna dalam kehidupan Nabi
Muhammad SAW.118 Rasjidi dalam karyanya menyebutkan bahwa Allah telah menghantar
utusan terakhirnya untuk mendidik manusia dengan akhlak yang mulia (al-akhlāq al-karīmah).119
Rasjidi juga percaya bahwa selain keteladanan Rasulullah sebagai tujuan (objektif) akhlak,
seorang Muslim pada masa yang sama juga memiliki pengalaman yang subjektif yaitu beramal
sesuai dengan petunjuk Al-Qur’an dan Sunnah Baginda SAW dengan penuh kepercayaan (īmān),
semua ini akan membawa seorang Muslim menjadi individu yang berakhlak baik dan bahagia

114
Harun, Islam Ditinjau, 40-41.
115
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 43.
116
Ibid.
117
Rasjidi, “Koreksi tentang Akal dan Akhlak”, 22, 25-25.
118
Rasjidi, Agama dan Etika, 33.
119
Rasjidi, “Unity and Diversity in Islam,” 405.
26

walaupun apapun juga tantangannya.120 Oleh itu, Rasjidi tidak bersetuju dengan pemikiran
modernisme yang berpendapat bahwa etika dan kesalehan amal hanya terbatas pada pengalaman
dan diukur pada kesesuaian lingkungan suatu masyarakat. 121 Karena akhlak atau amal saleh tidak
semua sesuai dengan pengalaman dan lingkungan saja, jika ianya dijadikan satu-satunya tolak
ukurnya, maka amalan kebaikan seseorang bersifat relatif dan bisa berubah-ubah mengikut adat
dalam suatu lingkungan.122

Selain itu, Rasjidi percaya bahwa moral dalam Islam bukan sekadar subjektif tetapi juga
obyektif sehingga tidak ada pemisahan.123 Sebagai contoh, kecantikan adalah objek suatu realitas
yang dapat dirasakan melalui persepsi kita, namun kita yang mengalaminya sebagai persepsi
subjektif. Bagaimanapun, Rasjidi juga berkata bahwa 'keindahan apa saja yang secara obyektif
dan subjektif terekam haruslah seiring dengan semangat ajaran Islam.' 124 Oleh itu, penjelasan kita
tentang makna kecantikan adalah berdasarkan kepada pandangan alam Islam.

Selain daripada itu, akhlak dalam keadaan apa pun atau bahkan dalam keadaan yang
sukar memerlukan lebih daripada sekadar 'akhlak' dalam arti 'bertanggungjawab tentang
tindakannya' (responsilbe for), ia juga memerlukan unsur-unsur metafisik yaitu dengan
mempunyai rasa tanggung jawab kepada suatu Zat (resposible to) dengan ketaatan dan
penyerahan sepenuhnya kepada Tuhan, Yang Maha Kuasa.125 Karena agama Islam terdiri
daripada 'moral, sharī'ah dan juga akidah' yang mana seorang Muslim secara sadar menganggap
kegiatannya dalam skema yang tersebut.126

Itulah sebabnya, Rasjidi mengkritik bahwa jika pencapaian material dianggap sebagai
nilai dan kehormatan tertinggi dalam membina peradaban yang mana akan berakibat kepada
penolakan akan kualitas tujuan manusia di dunia ini yang bukan sekadar hidup untuk memenuhi
kebutuhan jasadi.127 Hal ini bermakna bukan bermakna bahwa perkara materi itu tidak penting.
Sesungguhnya aspek jasadi atau materi juga penting akan tetapi hal itu bukan suatu tujuan

120
Ibid.,; Rasjidi, Agama dan Etika, 33; Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 39.
121
Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 64-65; Rasjidi, Agama dan Etika, 33.
122
Ibid., Koreksi Tentang Sekularisasi.
123
Rasjidi, eds., Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, 67.
124
Ibid.
125
Rasjidi, Sekali lagi Ummat Islam Indonesia Menghadapi Persimpangan Jalan, (Surabaya: Sinar Hudaya,
n.d), 8; Rasjidi, Agama dan Etika, 33.
126
Rasjidi, eds., Islam Dasar filsafat, 67-68.
127
Rasjidi, Agama dan Etika, 24; Rasjidi, Koreksi Tentang Sekularisasi, 71-72.
27

utama, karena Islam menganggapnya sebagai alat atau kendaraan untuk mendapatkan ridha dan
berkat-Nya. Dengan demikian keseimbangan diri dalam amalan (beradab) dan menjauhkan diri
dari sifat tamak adalah merupakan salah satu ciri akhlak mulia dalam Islam. Sebaliknya, cinta
kehidupan duniawi yang berlebihan atau tamak penyebab kerusakan kepada diri sendiri (ẓālim)
dan alam sekitar.128 Sehingga Rasjidi juga mengingatkan bahwa ‘akhlak dan nilai-nilai agama
haruslah ditempatkan pada kedudukan yang lebih tinggi berbanding dengan nilai-nilai
kebendaan.’129 Untuk mencapai keadaan tersebut adalah bukan mustahil bagi seorang Muslim
karena pengetahuan tentangnya adalah nyata dan jelas. Oleh itu, kegiatan ilmiah serta muamalah
sesuai dengan pandangan alam Islam itu digelar perbuatan baik (al-‘amal al-ṣāliḥ). Hal tersebut
juga ditegaskan oleh al-Attas bahwa 'bagi manusia Islam, seluruh kehidupannya yang beretika
adalah suatu ‘ibādāh yang berterusan, karena Islam itu sendiri adalah suatu cara hidup yang
lengkap.’130

Rasjidi yakin bahwa akhlak dalam pandangan alam Islam juga merupakan sebagai bentuk
kebebasan dalam Islam yang juga merupakan asas untuk keadilan sosial.131 Sehingga kerangka
yang demikian bercanggah kepada faham moral dalam kerangka humanisme yang hanya
berasaskan akal hewani (reason/ratio) dan pengalaman inderawi yang menghasilkan faham
relativisme yang berubah-ubah. Selain daripada itu, moral dalam pandangan alam Islam asasnya
juga bertentangan dengan moral sebagai nilai mutlak yang datang dari filsafat idealis yang mana
terdiri dari tiga; kebenaran (truth), kebaikan (goodness) dan keindahan (beauty).132 Karena moral
yang mempunyai nilai mutlak dalam faham filsafat idealis tersebut bertujuan hanya tanggung
jawab tentang tindakannya yang terkait dengan kebenaran, kebaikan dan keindahan saja
(responsible for)tanpa ada pertanggung jawaban atas perbuatannya tersebut kepada suatu Zat
(responsible to). Maka jelaslah bahwa dalam Islam asas tindakan untuk berbuat baik bukan
berdasarkan kerangka filsafat namun akhlak mulia menurut Rasjidi merupakan unsur yang saling

128
Keadaan seseorang yang seimbang dalam faham agama Islam ialah selalu dalam keadaan berjuang untuk
menekan aspek diri hayawani-yang selalu mengajak kepada hal duniawi- kepada jiwa yang damai untuk meraih
keridhaan Allah di dunia. Keadaan seseorang yang dalam keadaan jiwa yang tenang damai tersebut di namakan
dengan adil. Uraian lebih mendalam. Lihat Al-Attas, The Nature of Man.
129
Rasjidi, “Unitiy in Diversity,” 405.
130
Al-Attas, Islam and Secularism, 70.
131
Rasjidi, Islam dan Socialisme, 51-55.
132
Ibid., 25.
28

terkait dan tidak bisa terpisah daripada agama Islam yang mana sebagai sumber kebahagiaan di
dunia dan akhirat.133

Agama dan Negara

Rasjidi menegaskan bahwa negara tidak dapat dipisahkan daripada agama. 134
Bagaimanapun, ini tidak bermakna bahwa kita memegang sistem teokratik sebagaimana yang
berlaku dalam sejarah Kristen Barat; yang mana semua orang dibawah penindasan (tyranny)
pimpinan Gereja.135 Rasjidi menegaskan bahwa negara harus berdasarkan undang-undang yang
undang-undangnya tidak semata-mata tergantung pada hukum positif tetapi harus didasarkan
pada wahyu Ilahi. Selain itu, ini bukan bermaksud bahwa seseorang Muslim tidak dapat
menerima hukum yang berasal dari perabadan yang lain, tetapi kita boleh menerima perbedaan
tersebut tetapi kriteria penerimaannya berasaskan dalam kerangka berfikir Islam atau pandangan
alam Islam (the worldview of Islam).136 Oleh karena itu, Rasjidi menegaskan bahwa dalam
pandangan alam Islam tidak ada pemisahan antara masalah agama dan dunia dengan pernyataan
berikut;

‘Orang-orang Muslim ini tidak mengenal pembedaan antara urusan agama dan
duniawi; mereka mencoba mengikuti aturan-aturan yang terdapat dalam al-Qur’an
dan Sunnah dan dalam hidupnya sehari-hari kehidupan sosial mereka peraturan
yang diturunkan kepada mereka dalam Al-Qur'an dan Sunnah dan tafsiran-tafsiran
daripadanya yang berupa hukum Islam.’137

Itulah sebabnya, berkenaan dengan gerakan Islam dan bentuknya dalam perjuangan dan
kemerdekaan negara Indonesia, Rasjidi percaya bahwa agama Islam selalu menjadi landasan
pertama sebagai panduan hidup orang Islam karena semua amalan di dunia ini yang terwujud
kedalam bentuk budaya, ekonomi, politik, penemuan ilmiah dan teknologi mesti selalu senafas
dengan pandangan alam Islam.138 Sebaliknya, Rasjidi tidak bersetuju dengan AMW Pranarka,

133
Idem, Agama dan Etika, 26, 33.
134
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 65-66.
135
Idem, Mengapa Aku, 52.
136
Idem, “Unity in Diversity”, 403.
137
Ibid., 424.
138
Rasjidi, Strategi Kebudayaan, 83, 97.
29

intelektual Katolik dan juga ketua di Departemen Sosial Budaya di CSIS (Centre for Strategic
and International Studies) yang berpendapat bahawa perjuangan bangsa hanya dipandang sebagai
proses budaya saja. Pranarka mengatakan bahwa 'kebangkiatan nasional itu pada awalnya adalah
proses kebudayaan yang kemudian menemukan ekspresinya didalam konsep politik dan konsep
kenegaraan’ yang menurut Pranarka ada tujuh unsur kebudayaan tersebut ialah sistem
pengetahuan, teknologi, ekonomi, kemasyarakatan, bahasa, seni dan religi. 139 Pranarka
memahami budaya dalam paham humanism Barat dimana budaya dianggap satu-satunya yang
membentuk suatu konsep didalam agama, politik maupun Negara.

Ketika Pranarka menjelaskan agama dan kebudayaan berdasarkan paham humanism


Barat, pada masa yang sama Rasjidi juga keweca melihat bahwa materi buku yang membahas
Islam dan hubungannya dengan politik, kemasyarakatan dan sejarah telah di gambarkan dalam
bentuk yang negatif yaitu menekankan aspek konflik politik dan sosial yang bertentangan
daripada ajaran dan jiwa Islam untuk memberikan kesan seakan-akan ada kekeliruan dan konflik
yang tidak berkesudahan dalam pemikiran dan sumber keilmuan Islam. Hal tersebut tidak
mencerminkan keteladanan dalam usaha membangun pemikiran dan pemahanan yang kukuh
tentang agama Islam dan peradabannya bagi mahasiswa di perguruan tinggi Islam di Indonesia.
Hal tersebut justru bisa menciptakan keraguan dan rendah diri untuk boleh membangun kembali
peradaban Islam.140

Walau bagaimana pun Rasjidi tidak bersetuju dengan ide Pranarka bahwa agama bagian
daripada proses kebudayaan kerana Rasjidi percaya bahawa agama Islam bukanlah suatu
bahagian dari ciptaan kebudayaan kerana Islam merupakan agama wahyu oleh kerana itu tidak
sama dengan agama-agama lain.141 Sekiranya agama adalah kewujudan dari proses budaya, ia
akan berubah dan berkembang karena budaya selalu menuntut perubahan. Walau bagaimanapun,
ini tidak bermaksud bahwa agama Islam tidak menerima perubahan yang merupakan sebahagian
daripada proses kebudayaan dan inovasi manusia dalam suatu perabadan, tetapi perubahan ini
mesti berdasarkan prinsip ilmu, etika dan moral daripada agama Islam karena menurut Rasjidi
agama Islam akan membimbing ke jalan yang benar dalam berpolitik, budaya dan lain-lain
supaya menghasilkan kehidupan yang harmoni dalam masyarakat.142
139
Ibid., 66, 73, 82-83.
140
Rasjidi, Koreksi Terhadap Dr Harun Nasution, 47, 51, 64-70; Rasjidi, Hendak Dibawa, 31.
141
Ibid.,
142
Ibid., 81.
30

Terkait juga hal diatas Rasjidi juga menyatakan bahwa;

"Persaudaraan ini tidak membahagikan dunia menjadi umat Islam dan bukan Islam
selagi mereka bersahabat, selagi mereka tidak menyerang Islam. Islam
mengekalkan perpaduan dan ciri-ciri universalnya di tengah-tengah perbagai
budaya seperti Arab, Rom, dan Iran pada zaman dahulu, dan kemudiannya dalam
budaya Afrika, Mesir, Turki, Asia Tengah, India, China, dan Asia Tenggara. Sekali
lagi paham universalisme Islam sedang ditunjukkan karena ia berkaitan dengan
budaya baru Barat. "143

Selain daripada itu Rasjidi juga bersetuju dengan Pranarka ketika beliau mengakui bahwa
‘sebahagian besar dari pendekar nasionalisme Indonesia...penganut agama Islam’ akan tetapi
dalam Rasjidi menolak pandangan Pranarka ketika berpendapat akan adanya perbedaan terkait
antara penghayatan ke-Islam-an dengan penghayatan nasionalisme. Rasjidi menegaskan bahawa
dalam sejarah nasionalisme Indonesia ‘agama Islam telah merubah identitas bangsa Indonesia
sekaligus, sehingga bangsa Indonesia akan tetap beragama Islam.’144

Namun demikian, Rasjidi juga yakin bahwa ‘agama bukan sekedar stamp geografi atau
ethnologi’ akan tetapi ‘agama adalah penghayatan dan pengamalan’ sehingga Rasjidi
menegaskan bahawa ‘bangsa yang beragama Islam bukan berarti tertutup, tidak mau menerima
kebudayaan atau pengetahuan dari luar (agama Islam), asalkan kebudayaan tersebut sesuai
dengan agama yang dianutnya.’145 Sehingga sejarah telah membuktikan para pendekar
nasionalisme Indonesia tersebut dalam perjuangan mereka ialah melakukan tugas perintah agama
Islam sehingga hubungan penghayatan ke-Islam-an dan penghayatan nasionalisme sangat terkait
rapat bahkan menurut Rasjidi ‘Islam adalah salah satu unsur yang penting dalam nasionalisme
Indonesia.’146

Selain daripada itu paham sejagat (universalisme) agama Islam juga ditekankan oleh Wan
Mohd Nor Wan Daud bahawa 'proses Islamisasi mereformasi perbagai kekhususan budaya,
etnik, dan linguistik agar sesuai dengan pandangan alam dan tuntutan hukum dan akhlak Islam,
dengan itu ia menjadikan mereka universal, kecuali dalam hal yang tidak bertentangan dengan

143
Rasjidi, “Unity in Diversity,” 424.
144
Rasjidi, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan, 81
145
Ibid., 82, 94.
146
Ibid., 37-38.
31

syariat Islam.’147 Oleh karena itu Rasjidi berpendapat bahwa dalam kehidupan berbangsa selalu
ada yang mempertentangkan antara Islam dan nasionalisme dengan argumentasi bahwa Islam
mempunyai ajaran universal sedangkan nasionalisme tidak demikian. Rasjidi menegaskan bahwa
nasionalisme boleh menyatukan dan memecah belah. Akan tetapi jika ia dibimbing oleh prinsip
dasar Islam yang universal dapat membawa kepada persatuan dan menyelamatkan dari paham
melampau yang mengakibatkan perpecahan.148

Penutup

Arus pemikiran sekuler Barat menyelinap masuk sebagai bagian proses modernisasi di perguruan
tinggi Islam Indonesia melalui modernisme pemikiran. Paham tersebut telah coba menguraikan
kembali unsur-unsur asas dalam agama Islam akan tetapi harus disesuaikan dengan tujuan
kemajuan atau progressif yaitu menggunakan metode berfikir rasional. Hal tersebut disebabkan
pengusung paham modernisme bersikap antaranya conformist dan submissive yaitu menerima
apa saja tanpa kritis daripada pemikiran orientalis yang mana menayangkan pandangan alam
Barat dalam melihat agama dan peradaban Islam; dengan sikap benci, curiga dan salah faham
sehingga menimbulkan kekeliruan dalam berfikir jika diikuti oleh ummat Islam.

Salah satu unsur penting dalam pemikiran modernisme ialah paham dualisme;
pemisahan dan pertentangan dua hakekat kebenaran sehingga menjadikan keliru dalam
pemikiran dan amalan. Seperti yang telah dibahas diatas bahwa pemisahan antara hakekat insan
antara ruh dan jasad, wahyu dan akal, agama dan akhlak, agama dan negara. Sehingga
perjuangan Rasjidi dibidang keilmuan dan pemikiran mengokohkan apa yang al-Attas selalu
tekankan akan bahaya sekularisasi sebagai program filsafat yang mana dapat menjatuhkan
wibawa dan kesucian agama dalam penafsiran terhadap negara. Dan hal tersebut juga boleh
menghapuskan nilai-nilai mutlak dalam fikiran dan amalan yang bersumber daripada agama
Islam. Selain daripada itu, makna spiritual dalam alam semesta dihilangkan sehingga pandangan
terhadapnya hanya sebagai unsur benda yang bergerak dan berubah.149
147
Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 416-417.
148
Rasjidi, “Unity in Diversity,” 426; Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan, 61.
149
Al-Attas, Islam and Secularism, 18
32

Oleh karena itu, Rasjidi menekankan akan pentingnya memahami jiwa Islam melalui
pendidikan agama Islam sehinggalah dapat menghayati dan beramal sesuai dengan ajarannya.
Setelah menjiwai agama Islam dan tradisi intelektualnya, Rasjidi juga memahami masalah
kontemporer yang datang dari filsafat sekuler Barat. Dalam makalah ini juga tertayang jelas
bahwa Rasjidi mewakili pemikiran ahl ssanah wa aljama‘ah dengan kerangka tawḥīd yang
diantaranya telah coba mempersatukan kembali unsur-unsur penting dalam pandangan alam
Islam yang telah dipisahkan dan dikacaukan oleh pendukung dan penganut paham modenis
sekular. Oleh karena itu, sumbangan besar Rasjidi dalam pemikiran Islam tentunya memerlukan
kebijaksanaan (wisdom) yang tinggi dan pemahaman yang mendalam berkenaan dengan
pandangan alam Islam (the worldview of Islam) sehingga pada akhirnya beliau mampu memilah
dan memilih dengan pilihan yang sesuai dengan ajaran Islam ditengah arus tafsiran sekuler Barat
yang terbungkus dalam pemikiran modern, paham nasionalisme dan sebagainya sehingga beliau
mampu meluruskan dan tidak mengelirukan ummat Islam.

Daftar Pustaka
Abū Ḥamīd al-Ghazālī. al-Iqtiṣād fi al-‘Itiqād, (Beirut: Dār al-Minḥāj, 2012)
Aḥmad Ibrāhīm Abū Shauq. Tārīkh Ḥarakah al-Iṣlāḥ wa al-Irshād wa Shaikh al- Irsḥādiyyīn
Aḥmad Muḥammad al- Sūrkātti fi Indonesia, (Kuala Lumpur: Dār al-Fajr and
International Islamic University Malaysia, 2000)
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
33

______. Ma’na Kebahagiaan dan Pengalamannya Dalam Islam, Terj. Muhammad Zainiy
Uthman, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2002)
______. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001).
______. The Nature of Man and The Psychology of the Human Soul, (Kuala Lumpur:
International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1990; cetakan
ulang., 1993)
Benavides, Gustavo. “Modernity and Buddhism”, in Encyclopedia of Buddhism, 2 vols. ed.,
Robert E. Buswell. Jr, (New York: MacMillan, 2004)
Benda, Harry J. “The Structure of Southeast Asian History: Some Preliminary Observations”,
Journal of Southeast Asian History 3, No. 1, Maret, 1962.
Boisard, Marcel A. Humanisme dalam Islam, Terj. H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980)
Boland, B. J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia, (Netherlands: The Hague- Martinus
Nijhoff, 1971; cetakan ulang, 1981).
Dockstader, J. Frederick. “Modernism,” dalam The Encylopedia Americana, (Canada: Grolier
Limited & Americana Corporation, 1978).
Federspiel, Howard M. “Modernist Islam in Southeast Asia: A New Examination”, The Muslim
World 92 (2002): 371-386.
Fuad Jabali dan Jamhari, ed. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2003)
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religious Thought, (Lahore: Iqbal Academy Pakistan;
Institute of Islamic Culture, 1986; cetakan ulang 1989)
Johns, A. H. “Islam in Southeast Asia”, dalam Encyclopedia of Religion, ed. Mircea Eliade,
(New York: MacMillan Publishing Company, 1987)
Kingdom, Robert M. “Reformation,” dalam New Dictionary of the History of Ideas, 5 vols, ed.
Maryanne Cline Horowitz, (USA: Thomson Gale, 2005)
Kurzman, Charles. “Reform”, dalam New Dictionary of the History of Ideas, 5 vols, ed.
Maryanne Cline Horowitz, (USA: Thomson Gale, 2005)
Nasution, Harun. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, vol 2, (Jakarta Bulan Bintang, 1974)
Natsir, M. “Perangko Sosial” dalam Islam dan Kristen di Indonesia, ed. Endang Saifuddin
Anshari, (Jakarta: Media Da’wah, 1988).
34

Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, (London: Oxford
University Press, 1973)
Peacock, James L. Muslim Puritans, (London: University of California Press, 1978)
Rasjidi, H. M. Hendak Dibawa Kemana Ummat ini?, (Jakarta: Media Da’wah, 1987)
______. “Prasaran Tentang Perbaikan IAIN pada Musjawarah Kerjda Direktorat Perguruan
Tinggi Agama Islam, 11 Ogosus 1970 di Tjiloto”, dalam Prof. Dr. H. Rasjidi Versus Drs.
Zahri Hamid, ed. Zahri Hamid, (Jogjakarta: Alumnus Fakultas Syari’ah IAIN Sunan
Kalijaga, 1970)

______. “Tafsir Jawahir,” Kiblat, 19 Maret, 1973.


______. Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1965)
______. Islam dan Socialisme, (Jakarta: Jajasan Islam Studi Club Indonesia, 1966)

______. Keutamaan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971)


______. Hendak Dibawa ke Mana Ummat ini? Jakarta Pusat: Media Da’wah, 1980)
______. “Apakah Kebatinan itu?,” dalam Disekitar Kebatinan, ed. Warsito, Rasjidi, Hasbullah
Bakry (Jakarta: Bulan Bintang, 1972)
______. “Cara Berpikir yang Berbahaya karena Sederhana,” Panji Masyarakat, 21-13 Desember,
1988.
______. “Kesimpulan Terakhir”, dalam Disekitar Kebatinan, ed. Warsito, H.M. Rasjidi, H.
hasbullah Bakry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972)
______. Agama dan Etik, (Jakarta: Sinar Hudaya, 1972)
______.et al., Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: Dep. Agama RI, 1997)
______. Hukum Islam dan Pelaksanaannya Dalam Sejarah, (Jakarta. Bulan Bintang, 1976)
______. Islam dan Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)
______. Koreksi Prof. Dr. H.M. Rasjdi Terhadap Prof. Dr. Harun Nasution, Ajaran Islam
Tentang Akal dan Akhlaq, (Jakarta Pusat: Media Da’wah, 1985)
______. Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977)
______. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid Tentang Sekularisasi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1972)
______. Mengapa Aku Tetap Memeluk Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1968)
35

______. Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, (Jakarta: Bulan Bintang,
1980)
______. Faham Tentang Islam dalam Kesusasteraan Djawa, (Jogjakarta: Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri, 1955)
______. “Kesatuan dan Keragaman dalam Islam”, dalam Islam Djalan Mutlak, ed. Kenneth W.
Morgan, Terj. Abusalamah, Chaidir Anwar dan Harun al Rasjid, (Jakarta: PT
Pembangunan Djakarta, 1963)
______. “Unity and Diversity in Islam.” Islam the Straight Path. ed. Kenneth W. Morgan, (New
York: The Ronald Press Company, 1958., cetakan ulang.,Delhi: Motilal Banarsidass
Publishers; 1987; 1993)
______, Rasjidi, Raliby dan Osman. (1974). “Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan J M E”,
dalam Tanggapan Terhadap Rancangan Repelita II, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1974)
______, Hendak dibawa kemana Ummat ini?, (Jakarta: Media Da’wah, 1988)

_______, Resensi Buku Pergolakan Pemikiran Islam, Oleh Ahmad Wahib, dalam Kiblat, no. 16,
1992.
Roeder, O. G. Who’s Who in Indonesia, (Djakarta: Gunung Agung, 1971)
Roff, William R. “Indonesian and Malay Students in Cairo in the 1920s,” Indonesia, Ithaca: NY.
9 April, 1970.
Salim, H.A. “Kementerian Agama Dalam Republik Indonesia,” dalam Kementerian Agama, ed.
K.H. A. Wahid Hasjim, H. Agus Salim dan Hamka, (Jakarta, Kementerian Agama, n.d)
Soebagijo, I.N. “Biografi Prof. Dr. H.M. Rasjidi”, ed. Endang Basri Ananda, 70 Tahun Prof.
Dr. H. M. Rasjidi, (Jakarta: Harian Umum Pelita., 1985)
Team Veteran RI. Album Perjuangan Kemerdekaan 1945-1950, (Jakarta: Penerbit Badan
Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran, n.d)
The New Encyclopaedia Britanica. 15th. ed., s.v, “Modernism,” 99 vols, (USA: Encyclopaedia
Britanica. Inc, 1998), 8.
Waardenburg, Jaques. “Muslim Enlightenment and Revitalization. Movements of Modernization
and Reform in Tsarist Rusia (ca. 1850-1917) and the Dutch East Indies (ca. 1900-1942),”
Die Welt des Islams, New Series 28, 1988.
Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1978)
36

You might also like