You are on page 1of 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/281899261

Etika Kepedulian : Welas Asih Dalam Tindakan Moral

Article  in  Kanz Philosophia A Journal for Islamic Philosophy and Mysticism · June 2014
DOI: 10.20871/kpjipm.v4i1.51

CITATIONS READS

0 5,330

1 author:

Yeremias Jena
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
30 PUBLICATIONS   17 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tubuh dan Kedokteran View project

Philosophy of Education View project

All content following this page was uploaded by Yeremias Jena on 19 September 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 1

KANZ PHILOSOPHIA
Volume 4 Number 1, June 2014 Page1-151
Page1-14

ETIKA KEPEDULIAN :
WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL

Yeremias Jena

Departemen Etika/Filsafat,
Fakultas Kedokteran, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Email: yeremias.jena@gmail.com

ABSTRACT

Compassion in ethical discourse is used to describe the attitudes and actions of moral agent in helping the
vulnerables and the suffering. Discourse around compassion generally focused on whether compassion is an
attitude of sympathy or empathy, or it is the attitude of compassion derived from an altruistic attitude which
is inherent in intelligent being. This paper argues that compassion is realized only in the context of ethics of
care. For that reason, the paper will first distinguish simpaty from empathy and contextualize them within the
realm of altruism. At the same time this approach plays the role of criticizing emotive ethics of David Hume and
Kantian ethics which is attacked by Kantian ethics as heteronomous.

Keywords: sympathy, empathy, altruism, epiphanic experience, caring encounters, care ethics.

ABSTRAK

Sikap welas asih (compassion) dalam diskursus etika digunakan untuk mendeskripsikan sikap dan tindakan
moral menolong sesama yang rentan dan menderita. Diskursus seputar sikap welas asih umumnya difokuskan
pada apakah sikap tersebut adalah bagian dari sikap simpati atau empati? Atau, apakah sikap welas asih adalah
wujud dari sikap altruistik yang umumnya dimiliki makhluk hidup berperasaan dan berinteligensi? Tulisan
ini pertama-tama akan menunjukkan bahwa sikap welas asih lebih dekat dengan konsep dan sikap simpati.
Untuk memahami hal ini, pembedaannya dengan empati akan dikemukakan. Di atas semuanya itu, sikap welas
asih (simpati) dan empati dibedakan juga dari sikap altruistik manusia. Melalui tulisan ini akan ditunjukkan
pula bahwa hanya melalui etika kepedulian (ethics of care) kita dapat memahami welas asih sebagai sikap
dan tindakan moral. Ini sekaligus menjadi kritik tajam terhadap etika Humean yang terlalu memuja perasaan
moral dan etika Kantian yang menghojat emosi atau perasaan moral sebagai etika manusia heteronom.

Kata-kata Kunci: simpati, empati, altruisme, pengalaman epifani, perjumpaan-penuh-belas-kasih, etika


kepedulian.
2 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

Pendahuluan bunuh diri – setelah melakukan suatu kejahatan


yang merugikan orang lain. Pertanyaannya,
Media massa menyajikan beragam mengapa perasaan semacam ini timbul dari
peristiwa yang membangkitkan tidak hanya dalam diri kita? Apakah mungkin seorang dokter
rasa iba, perasaan sedih, perasaan ikut melakukan tindakan aborsi atau menghentikan
menderita atas penderitaan yang dialami pengobatan yang berujung pada kematian
orang lain, komitmen moral untuk membantu pasien tanpa suatu rasa bersalah? Apakah
meringankan beban dan penderitaan sesama, mungkin seorang teroris atau pembunuh
tetapi juga kemarahan atas berbagai aksi berdarah dingin tidak dihantui rasa penyesalan
dan tindakan brutal yang merendahkan seusai melakukan “tugasnya” menghancurkan
kemanusiaan. Demikianlah, kita merasa iba dan membunuh orang lain?
terhadap anak-anak yang menjadi korban Sebuah kisah rekaan dapat diajukan
sebagai latar belakang dan pintu masuk
kekerasan seksual, kita ikut menderita bersama
memahami pemikiran yang akan penulis
para orangtua yanganak-anaknya menjadi
diskusikan dalam tulisan ini. Bayangkan
korban perdagangan anak, kita sedih dan
seseorang – sebut saja Tuan N –setiap hari
menyesal ketika ada tetangga yang dirampok dan
melewati jalan yang sama menuju ke dan
dibunuh dan kita tidak sanggup mencegahnya.
kembali dari tempatnya bekerja. Di salah satu
Tetapi kita juga marah ketika aksi terorisme
lampu merah dia biasa menyaksikan banyak
brutal atau aksi kekerasan horisontal atas
orang yang hidupnya menggelandang, tidak
nama ideologi agama tertentu mengorbankan
punya rumah, tidur di bawah kolong jembatan,
nyawa manusia. Kasus kekerasan seks yang
tidak punya pekerjaan, tidak ada keluarga atau
terjadi di salah satu sekolah elit internasional
orang lain yang datang menolong. Suatu saat,
di Jakarta, misalnya, memicu kemarahan
ketika sedang antri di lampu merah, seorang
dan kecaman publik. Pemerintah RI melalui
gelandangan lain memberitahu Tuan N bahwa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan salah satu dari anak gelandangan yang biasa
akhirnya menutup TK internasional tersebut dia tolong baru saja meninggal dunia. Tuan N
(Ruqoyah dan Apriliasari 2014). Atau kasus mungkin berkata dalam hatinya, “Bagus kalau
lain, di mana Sekretaris Jenderal PBB, misalnya, begitu. Akhirnya saya terbebas dari kewajiban
mengutuk aksi brutal Boko Haram di Nigeria untuk selalu membantu dia.” Tiba-tiba muncul
dan berencana memberantas gerakan separatis anak gelandangan lain yang meminta sedekah.
itu sampai ke akar-akarnya (“UN Committee Karena Tuan N tidak mau menolong, anak
Imposes Sanction” 2014) dan di tempat lain itu mengumpat dan mengeluarkan kata-kata
kekesalan dan kemarahan publik menyusul aksi kasar. Merasa tersinggung, Tuan N keluar dari
kekerasan seksual dan pemerkosaan terhadap mobil dan mendorong pemuda gelandangan
perempuan tak berdosa di India (Banerjee itu tanpa sengaja. Anak itu terjatuh, dan
2014). celakanya, sebuah mobil melaju kencang dari
Ada perasaan menyesal (remorse) ketika belakang, melindas pemuda gelandangan itu
kita gagal menolong sesama yang sedang dan merenggut nyawanya (Gaita 1998, 30).
menderita atau berada dalam bahaya sehingga Perhatikan juga contoh lain yang diambil
menyebabkan kematian, atau aksi kutuk diri – dari dunia kedokteran. Apakah atas nama
dapat berujung pada keputusan dan tindakan profesionalisme, seorang dokter tidak memiliki
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 3

perasaan ikut bersedih, kecewa, marah dan ke pemikiran Simone Weil, Raimond Gaita
semacamnya, ketika berhadapan dengan pasien mengatakan bahwa jawaban atas semua
yang sakit parah dan yang memiliki kemungkinan pertanyaan ini adalah karena kita memosisikan
sembuh yang sangat rendah? “Para pasien orang lain sebagai manusia yang bermartabat.
yang sakit parah menjadi sangat rentan secara Simone Weill menulis dengan sangat indah
emosi selama menjalani hari-hari penderitaan dalam karyanya berjudul “Human Personality”,
mereka. Para dokter berusaha menjawab dan “At the bottom of the heart of every human being,
memenuhi kebutuhan pasien semacam ini, dan from earliest infancy until the tomb, there is
tidak jarang menguras emosi mereka sendiri, something that goes on indomitably expecting, in
terutama perasaan kegagalan dan putus asah the teeth of all experience of crimes committed,
yang diasosiasikan dengan perasaan kehilangan, suffered, and witnessed, that good and not evil
penderitaan, ketakutan untuk mengalami will be done to him. It is this above all that is
penderitaan yang sama, atau godaan untuk sacred in every human being”(Gaita 1998, 51).
menghindar dari pasien supaya tidak terbebani Demikianlah, perasaan iba, belas-
dengan perasaan-perasaan semacam ini”(Meier kasihan dan kesediaan ikut menanggung serta
2001). Meskipun artikel yang diacu ini berusaha membebaskan penderitaan sesama sebenarnya
menunjukkan jalan keluar mengatasi beban muncul karena kita memiliki hati yang mampu
emosi dokter menghadapi pasien yang sakit berbelas kasih (welas asih). Apa itu welas asih
keras demi profesionalitas dan peningkatan yang memampukan kita bersimpati pada nasib
kualitas pelayanan medis, satu hal yang tidak dan penderitaan sesama? Apakah welas asih
bisa dilupakan, dokter pun memiliki perasaan sama dengan simpati dan empati? Mengapa kita
iba dan ikut merasakan penderitaan pasien- memiliki kemampuan welas asih? Bagaimana
pasiennya. menjelaskan fenomena welas asih yang mampu
Rasa penyesalan seperti yang dialami mewajibkan seseorang untuk berperilaku
Tuan N, perasaan ketakberdayaan dan ketakutan moral?Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
akan kerentanan diri sendiri yang dialami para akan didiskusikan dalam tulisan ini. Untuk itu,
dokter, dan perasaan-perasaan moral lainnya berturut-turut akan dijelaskan (1) pengertian
sebenarnya menjawab pertanyaan yang penulis welas asih (compassion) dan perbedaannya
ajukan di atas: mengapa kita memiliki perasaan dengan empati dan simpati; (2) penderitaan
dan kepekaan moral tertentu terhadap sesama orang lain sebagai sumber kewajiban moral;
kita, terutama mereka yang rentan, lemah, dan (3) etika kepedulian sebagai lokus bagi
sedang dalam penderitaan, yang mendorong terwujudnya sikap welas asih.
kita melakukan kebaikan kepada mereka?
Mengapa kita tidak tega menghancurkan dan Membedakan Welas Asih, Empati,
melukai orang lain dan justru berusaha membela dan Simpati
dan menyelamatkan mereka? Mengapa orang
seperti Oskar Schindler (28 April 1908 – 9 Webster Dictionary mendefinisikan
Oktober 1974), seorang anggota Partai Nazi, compassion (welas asih) sebagai “kesadaran
mau mengambil risiko dengan menyelamatkan simpatik akan penderitaan orang lain dan
lebih dari seribu orang Yahudi selama masa hasrat untuk meringankan penderitaan
pembantaian dengan mempekerjakan mereka tersebut.” Sheryn Jimenez memahami welas asih
di pabrik-pabriknya? (Blum 1988). Mengacu (compassion) sebagai emosi yang kita rasakan
4 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

sebagai tanggapan terhadap penderitaan orang Compassion juga memiliki asal, bentuk dan
lain yang kemudian memotivasi dan mendorong makna yang sama dengan kata “patient” (orang
kita untuk menolongnya. Penderitaan orang lain yang menderita), yang berasal dari kata Bahasa
adalah teriakan minta tolong yang mendorong Latin “patiens”, bentuk ketiga (past participle)
seseorang bertindak moral dalam meringankan dari kata kerja “patior” yang artinya “telah
beban penderitaannya (Jimenez 2009). menderita”), dan ini sepadan dengan kata kerja
Pandangan Sheryn Jimenez ini sebenarnya “paskhein” dalam Bahasa Yunani yang artinya
menggarisbawahi apa yang pernah dikatakan “menderita” dan kata benda “pathos” yang
Aristoteles lebih dari dua ribu lima ratus tahun artinya “penyakit”. Demikianlah, compassion
lalu. Aristoteles menggunakan kata pity (belas (welas asih) berdasarkan asal kata mengandung
kasihan) untuk menjelaskan sikap welas asih. arti “ikut menderita bersama orang lain yang
Bagi Aristoteles, sikap welas asih (pity) adalah sedang menderita.”
“a feeling of pain atan apparent evil, destructive Manusia memiliki perilaku altruistik
or painful, whichbefalls one who doesn’t deserve dan egoistik. Seseorang memiliki perilaku
it, and whichwe might expect to befall ourselves or egoistik jika dia mementingkan keselamatan
some friend of ours, and moreover befall us soon” dan kesejahteraan dirinya dan kerabatnya
(Cassell 2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam setiap tindakan moralnya. Perilaku
memahami kata “welas” sebagai “belas” atau egoistik dalam pemikiran Peter Singer justru
“kasih” dan kata “asih” sebagai “kasih sayang”. membahayakan kelangsungan hidup diri atau
Dengan begitu, “welas asih” harus diartikan marganya dalam konteks evolusi (Singer 1981,
sebagai sifat dan sikap belas kasih atau kasih 14). Sebaliknya, perilaku altruistik mendorong
sayang terhadap sesama (“Kamus Besar Bahasa individu bersimpati pada penderitaan orang
Indonesia (KBBI) Online - Definisi Kata Welas” lain dan termotivasi untuk menolongnya
2014). (Churchill 2004,102; Bertens 2011,129-32).1
Kata benda compassion dalam Bahasa Demikianlah, perilaku altruistik termanifestasi
Inggris mengandung arti “to love together dalam sifat-sifat empati, simpati dan welas asih
with.” Kata ini diturunkan dari kata Bahasa (compassion).
Latin “cum” (“bersama”) dan “passus” (bentuk “Welas asih” (compassion) sebagai
past participle dari kata kerja deponen “pati”, perasaan empati kepada orang lain (webster
“passus sum”, yang artinya “telah menderita”). dictionary) mengesankan adanya paralelisme

1 Jika dalam tulisan ini simpati diparalelkan dengan welas asih (compassion), dan dengan demikian
berbeda dengan empati, maka keduanya pun sebetulnya harus dibedakan dari altruisme. Altuisme selalu
melibatkan empati dan welas asih (compassion), dan itu artinya melibatkan empati dan simpati juga. Dengan
kata lain, sikap altruis melibatkan sifat empati dan altruisme. Meskipun demikian, penolong atau pelaku moral
yang hatinya diliputi rasa welas asih secara literer tidak bisa merasakan secara persis sama apa yang dirasakan
penderita. Ini karena perasaan pelaku moral selalu bersifat self-conscious yang kemudian dipresentasikan
kepada orang yang menderita sebagai “cara” para penderita harus mengalaminya. Itulah sebabnya mengapa
posisi empati sering dikritik sebagai perspektif orang pertama. Dalam merasakan penderitaan sesama dari
segi empati, seorang altruis hanya bisa mengklaim bahwa dia mengetahui perasaan si penderita (karena
kemampuan self-conscious tersebut). Sementara itu, dalam merasakan penderitaan sesama dari perspektif
welas asih (atau simpati), seorang altruis tidak hanya akan secara afektif mengidentifikasikan dirinya dengan
penderitaan tersebut, tetapi juga memotivasi diri untuk menolong si penderita berdasarkan perspektif
kepentingan terbaik dari penderita.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 5

makna dengan empati. Padahal keduanya (Darwal 1998, 263).2


memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Pada empati, sikap ikut merasakan
Empati dan simpati sebetulnya sama-sama penderitaan orang lain berpusat pada
menggambarkan sifat kepedulian pada orang subjek atau pelaku moral dan bukan pada
lain dalam arti kemampuan menempatkan kepentingan korban (Darwal 1998, 266).
diri dalam dan ikut merasakan penderitaan Demikianlah, berhadapan dengan penderitaan
orang lain (perilaku altruistik). Keduanya juga orang lain, subjek atau pelaku moral mencoba
dapat termanifestasi dalam perilaku menolong membayangkan penderitaan tersebut dari sudut
meringankan atau bahkan membebaskan pandangnya (sudut pandang orang pertama),
penderitaan orang lain. Hanya saja, keduanya mengatributkan keadaan mentalnya sendiri
memiliki penekanan yang berbeda, terutama kepada korban dan kemudian memproyeksikan
dari sudut pandang subjek moral (moral perasaan-perasaannya seolah-olah sebagai
agent) – posisi moral subjek yang memiliki perasaan orang yang menderita. Perasaan ikut
perilaku empati dan simpati – maupun “objek merasakan penderitaan orang lain mungkin
moral” (kepentingan para penderita yang harus saja terjadi karena keadaan psikologis ketika
ditolong). terpapar dengan situasi penderitaan semacam
Simpati adalah perasaan ikut menderita itu, di mana seseorangikut merasakan
bersama dan komitmen un-tuk meringankan kedalaman penderitaan, tingkat ketakutan
atau membebaskan penderitaan orang lain. yang besar akan keselamatan hidup korban
Komitmen ini melibatkan tiga sikap kepedulian, yang sebetulnya lebih merupakan ketakutan
yakni (1) tanggapan atau reaksi terhadap dan kekhawatiran dirinya yang ia proyeksikan
hal-hal yang mengancam kebaikan atau (Darwal 1998, 268-69)
kebahagiaan orang lain; (2) memosisikan orang Dalam konteks kedokteran se-bagaimana
yang menderita sebagai objek atau korban; tampak dalam contoh yang dikemukakan
dan (3) kepedulian padanya semata-mata demi di atas, empati justru dapat melemahkan
kebaikan dan kebahagiaan korban. Simpati, komitmen petugas kesehatan dalam menolong
dengan demikian, mengambil sudut pandangan pasien jika mereka berangkat dari cara berpikir
orang ketiga, yakni mereka yang sedang paternalistik (Bertens 2011, 145–150)3 yang
menderita (Darwal1998, 261). Sebagai sikap berpendapat bahwa segala jenis penyakit
moral, simpati kepada nasib dan penderitaan harus dapat disembuhkan, dan bahwa dokter
orang lain semata-mata demi kebaikan dan mampu menyembuhkan berbagai penyakit,
kebahagiaan orang tersebut, dan bukan demi bahwa penyakit yang tidak dapat disembuhkan
keuntungan atau kepentingan pelaku moral justeru akan merendahkan dan menghina

2 “A person’s good is what it makes sense to want for that person’s sake, that is, insofar as one cares about
her. Desiring something for someone’s sake just is a form of desire that spring from care” (Darwal 1998, 263;
cetak tebal dari saya).
3 Dengan paternalisme dimaksud sebagai tindakan yang diambil seseorang dalam mencegah orang lain
melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri, sikap yang diambil dari perspektif pelaku moral untuk
melakukan sesuatu kebaikan yang menurut pandangannya adalah baik bagi orang lain (korban, pasien, dan
sebagainya). Sikap semacam ini sering dikritik sebagai tidak menghormati otonomi dan kebebasan seseorang
dalam menentukan dirinya.
6 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

profesi kedokteran itu sendiri. Padahal jika mutlak”(Armstrong 2012, 12-13).


mereka berangkat dari sudut pandang pasien Meskipun demikian, simpati tidak
(sudut pandang orang ketiga atau simpati) sepenuhnya mewakili sikap welas asih
dan pemaknaan atas penyakitnya, bisa jadi (compassion). Keduanya memang sama-sama
para pelaku moral terhindari dari stress dan bertitik tolak dari kepentingan penderita, tetapi
ketakutan berlebihan ketika pasien sendiri mereka berbeda dalam hal struktur motivasional
mulai berdamai dengan keadaannya dan dan kedalaman (depth). Seseorang dapat saja
menerima penyakitnya sebagai bagian integral memiliki sikap simpati terhadap penderitaan
yang membentuk identitas dirinya (Strandmark orang lain tetapi dia bisa memilih untuk tidak
2004).4 bertindak moral menolong orang tersebut.
Sikap welas asih (compassion) sebetulnya Sebaliknya, hampir mustahil membayangkan
bukan sikap empati tetapi sikap simpati. sikap welas asih terhadap penderitaan orang
Mencius pernah mengatakan: “Suppose a man lain tanpa komitmen untuk menolongnya. “To
were, all of a sudden, to see a young child on the be compassionate is to be moved in a certain
verge of falling into a well. He would certainly way; it is to be motivated to act for the benefit of
be moved to compassion”(Darwal 1998, 26). the other as one might act for oneself in a similar
Inilah sikap welas asih yang mau menolong situation”(Churchill dan Street 2005,102).
dan membebaskan penderitaan orang lain Mari kita tonjolkan beberapa elemen
berdasarkan sudut pandang kepentingan penting yang sudah didiskusikan di atas sebelum
para korban/penderita itu sendiri. Welas menjawab pertanyaan mengapa penderitaan
asih (compassion) pertama-tama adalah orang lain mewajibkan seseorang untuk
keadaan afektif terhadap penderitaan orang bertindak moral. Pertama, meskipun berbeda
lain, ketika kita, dipenuhi perasaan belas dalam arti struktur motivasional dan kedalaman
kasihan terdorong untuk “...bekerja tanpa lelah perasaan, sikap welas asih (compassion) adalah
menghapus penderitaan sesama manusia, sikap simpati terhadap penderitaan sesama.
melengserkan diri kita sendiri dari pusat dunia Kedua, penderitaan orang lain tidak hanya
kita dan meletakkan orang lain di sana, serta mendorong, tetapi juga mewajibkan seseorang
menghormati kesucian setiap manusia lain, untuk mengambil tindakan moral, terutama
memperlakukan setiap orang, tanpa kecuali, kesediaan (komitmen) untuk membantu
dengan keadilan, kesetaraan, dan kehormatan meringankan atau bahkan membebaskan orang

4 Orang sakit dan mereka yang mengalami penderitaan semula akan memaknakan keadaan mereka
sebagai ketakberdayaan, dan ini sangat mempengaruhi gambaran mengenai diri dan martabat diri. Rasa
ketakberdayaan ini juga akan mempengaruhi keseimbangan emosi dan perilaku tertentu. Ketidakmampuan
ini sering bermuara pada keengganan menaruh kepercayaan pada diri sendiri, dan itu membawa seseorang
kepada keadaan terpenjara dalam hidup dan pemikirannya sendiri. Meskipun demikian, melalui dukungan
sosial, keintiman dan kedekatan hubungan sosial, kemampuan komunitas mendesain kehidupan bersama
yang mengakomodasi kaum lemah dan cacad, dan sebagainya akan mengubah cara pandang dan pemaknaan
atas penderitaan. Keadaan di mana penderita atau orang sakit menerima keadaannya dan bersikap realistis
terhadap dirinya pasti akan tercapai, hanya saja memang tidak bisa dipastikan. Di titik ini, yang terpenting
yang hendak ditegaskan adalah bahwa kepentingan penderita, pasien, dan kaum rentan lainnya akan bersifat
berbeda antara sebelum menerima penderitaan sebagai bagian dari hidupnya dan setelahnya. Dan ini harus
diperhatikan oleh siapa pun yang menaruh simpati pada penderitaan sesama.”
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 7

tersebut dari penderitaan. Ketiga, relasi dengan asisten-bangsal di sebuah rumah sakit jiwa.
dan pengalaman akan penderitaan orang lain Dia melihat sendiri bagaimana para pasien
harus terjadi dalam kedalaman relasional diperlakukan secara tidak manusiawi. Para
tertentu, dan kedalaman pengalaman semacam dokter dan perawat yang bekerja di rumah
ini hanya bisa dialami jika seseorang telah sakit tersebut memandang penyakit pasien
berhasil mengatasi atau melampaui kerangka sebagai keadaan yang mustahil tersembuhkan.
atau deposit ajaran moralnya sendiri. Mereka tidak lagi memiliki harga diri, telah
Beberapa pertanyaan kunci dapat kehilangan segala hal atau kualitas hidup
membantu kita memahami fenomena sikap yang dapat dibanggakan. Keluarga mereka
welas asih (compassion). Mengapa penderitaan jarang datang berkunjung. Para dokter dan
orang lain mewajibkan kita untuk bertindak perawat melakukan pekerjaan mereka hanya
secara moral? Kondisi-kondisi seperti apa yang karena kewajiban. Para pasien diperlakukan
diandaikan bagi terealisasinya kewajiban moral secara mekanistik, misalnya mereka harus
tersebut? Kedalaman relasional dengan pihak diperiksa kesehatannya karena waktunya
yang menderita seperti apa yang diandaikan sudah menuntut demikian, atau harus diberi
supaya pengalaman menghadapi penderitaan makan, dimandikan, dan sebagainya, tanpa ada
orang lain sungguh-sungguh dapat memotivasi kesan yang menunjukkan bahwa para pasien
seseorang untuk bertindak secara moral? diperlakukan sebagai makhluk berharga. Suatu
Pertanyaan-pertanyaan ini mene-gaskan waktu, datanglah seorang suster (biarawati)
dua hal penting yang akan dideskripsikan lebih ke bangsal pasien di mana dia memperlakukan
lanjut dalam tulisan ini. Pertama, orang lain yang para pasien sakit jiwa itu secara berbeda:
adalah subjek bermartabat yang tidak boleh
direduksikan sebagai objek telah menjadi alasan ...the way she spoke to them, her facial
utama tindakan moral. Kedua, tindakan moral expressions, the inflection of her body –
constrasted with and showed up the behavior
menolong orang yang menderita mengandaikan
of those noble psychiatrists. She showed
kedalaman relasional tertentu, dan ini hanya that they were, despite their best efforts,
bisa diberikan oleh etika kepedulian (ethics of condescending, as I too had been. She thereby
care) persis ketika prinsip-prinsip etika lainnya revealed that even such patients were, as
the psychiatrists and I had sincerely and
gagal melakukannya.
generously professed, the equals of those who
wanted to help them; but she also revealed
2.2 Penderitaan Sesama that in our hearts we did not believe this.”
Mewajibkanku Bertindak Moral (Gaita 2000, 18-19)

Analisis terhadap fenomena pen-deritaan Mengapa suster (biarawati) itu


dapat membantu kita memahami mengapa memperlakukan para pasien sakit jiwa sebagai
kita wajib bertindak moral terhadapnya. pribadi yang berharga dan bermartabat? Semula
Pengalaman Raimond Gaita, filsuf Australia Gaita mengira bahwa suster tersebut memang
kontemporer, tentang bagaimana pasien sakit wajib bertindak demikian karena ajaran
jiwa diperlakukan selama tahun 1960-an di agamanya mewajibkan demikian. Masalahnya,
Australia dapat membantu kita menganalisis jika tindakan semacam itu dilakukan karena
penderitaan sesama secara fenomenologis. kepatuhan pada norma moral tertentu (norma
Selama periode ini, Gaita bekerja sebagai agama dalam konteks suster tersebut atau
8 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

kewajiban mematuhi prinsip-prinsip etika utilitarianisme dan etika keutamaan. Etika


profesi dalam konteks para dokter dan perawat utilitarianisme gagal menghargai manusia
di rumah sakit jiwa), mengapa para petugas sebagai baik dan berharga persis ketika
kesehatan gagal memperlakukan pasien kelompok masyarakat yang kurang beruntung
sebagai pribadi yang bermartabat? Inilah yang dan menderita seperti anak-anak, orang cacat,
meyakinkan Gaita bahwa mestinya ada alasan perempuan, kaum minoritas, orang sakit, kaum
yang lebih mendalam dari sekadar ketaatan lansia, dan semacamnya, sering dikorbankan
pada prinsip-prinsip moral tertentu yang sudah demi kebaikan lain yang lebih besar (Gaita
ada. 2000, 25). Sementara itu, etika keutamaan pun
Pengalaman Raimond Gaita ini gagal menghargai manusia sebagai pribadi
menegaskan bahwa ketaatan pada prinsip moral yang bermartabat persis ketika kelompok
– etika keagamaan, deontologi, utilitarisme, rentan tidak memiliki atau telah kehilangan
atau pun etika keutamaan – tidak cukup kuat kemampuan untuk merealisasikan seluruh
sebagai dasar untuk memperlakukan orang potensialitas dirinya (26).
lain sebagai sesama yang bermartabat. Etika Mengikuti cara berpikir Raimond Gaita,
keagamaan dapat membuat penganutnya tindakan moral memperlakukan orang lain
bersikap terlalu radikal, terutama dalam kasus sebagai pribadi yang bermartabat didorong
teror dan aksi kekerasan mengatasnamakan oleh prinsip-prinsip lain yang melampaui
agama. Sementara itu, etika deontologi (etika prinsip-prinsip moral yang sudah ada. Setiap
Kantian) gagal memberi tempat pada upaya perjumpaan dengan kelompok rentan dan
memperlakukan orang lain sebagaimana mereka yang menderita seharusnya adalah
adanya persis ketika dia mengkategorisasi sebuah “pengalaman epifani” (epiphanic
pribadi bermoral sebagai yang berpikir rasional, experience) yang membuka ruang bagi upaya
yang mampu mendeduksikan prinsip-prinsip memperlakukan orang lain sebagai baik.
moral dan menjadikannya sebagai prinsip- Pengalaman epifani5sebenarnya adalah
prinsip tindakan yang berlaku universal, pengalaman penampakan di mana orang lain
dan semacamnya (Gaita 2000, 24-25). Etika yang sedang menderita hanya bisa dipahami
Kantian memang menegaskan pentingnya sebagai manusia berharga dan bermartabat
memperlakukan orang lain sebagai tujuan dari sisi kebaikan (goodness). Dalam arti itu,
bagi dirinya tetapi simpati pada penderitaan kebaikan (goodness) menjadi kondisi niscaya
orang lain sebagai motif tindakan moral justru untuk memahami kejahatan, penderitaan,
dianggap sebagai perilaku moral heteronom situasi tidak manusiawi, keadaan rentan
menurut tradisi etika Kantian. (vulnerabilities) dan semacamnya (Ilham 2001).
Demikian pula halnya dengan etika Kembali ke pertanyaan mengapa

5 Dalam arti ini, pengalaman epifani sebetulnya adalah pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba di
mana seseorang menyadari termanifestasinya sesuatu dalam pengalaman tersebut. Dalam konteks pemikiran
Raimond Gaita mengenai pengalaman epifani seorang biarawati di rumah sakit jiwa sebagaimana dideskripsikan
dalam tulisan ini, pengalaman epifani tidak lain adalah pengalaman termanifestasinya kebaikan, kemanusiaan,
atau kebaikan absolut seorang pasien sakit jiwa. Penampakan inilah yang menyadarkan subjek moral bahwa
orang lain (dalam keadaan apa pun), adalah pribadi bermartabat yang harus dihormati dan dilindungi.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 9

penderitaan orang lain mewajibkan kita untuk moralitas atau agama tertentu), tetapi juga
bertindak moral menolongnya? Kebaikan selalu memperlakukan orang lain sebagai
orang lainlah yang menjadi satu-satunya alasan berharga dan bermartabat.
bagi tindakan moral semacam itu (Gaita 2004,
189). Setiap perjumpaan dengan orang lain
yang menderita selalu merupakan pengalaman 2.3 Motivasi Etika Kepedulian
epifani berjumpa dengan kebaikan orang
tersebut. Kebaikanlah – dan bukan kejahatan, Sampai di sini, kita sebetulnya berhadapan
keadaan sakit, kecacatan tubuh, dan berbagai dengan segelintir fakta psikologis yang
situasi rentan lainnya – yang mendorong kita mendorong sikap welas asih. Dalam konteks
melakukan tindakan moral dalam menolongnya pemikiran Aristoteles, kita dihadapkan pada
dan mengutuk diri (rasa penyesalan mendalam) fakta penderitaan yang ditanggungkan pada
ketika gagal menolongnya. Kebaikan juga orang-orang yang tak seharusnya menerimanya.
yang mendorong kita mencegah terjadinya Pengalaman itu menimbulkan perasaan sakit
keburukan yang lebih besar. Kebaikanlah yang (feeling of pain) dalam diri kita karena kita
membawa kita kepada pengalaman bahwa membayangkan kemungkinan mengalami
orang lain adalah pribadi yang berharga penderitaan yang sama. Perasaan semacam
dan bermartabat yang harus diperlakukan inilah yang mendorong kita berperilaku etis,
sebagaimana adanya (Gaita 2004, 31-32). antara lain dengan meringankan atau mencegah
Demikianlah, kerentanan dan terjadinya penderitaan yang lebih besar. Dalam
penderitaan sesama (Gaita 2000, 29) bisa6
konteks pemikiran Karen Amstrong, kita berani
mewajibkan kita berbuat baik terhadapnya melengserkan diri dari pusat dunia kita dengan
– menolong meringankan penderitaan atau segala kenyamanannya dan mau mengambil
membebaskannya dari penderitaan – jika risiko menolong para penderita. Atau, dalam
kita telah mampu bersikap melampaui pemikiran Raimond Gaita, kebaikan absolut
seluruh sekat-sekat ajaran moral yang sudah yang kita temukan dalam pengalaman epifani
ada selama ini dan masuk dalam sebuah mendorong kita untuk mencegah kejahatan yang
perjumpaan dengan orang lain sebagai terjadi pada diri sesama demi menghormati dan
pengalaman berjumpa dengan kebaikan. Sikap menegakkan martabat kemanusiaannya.
welas asih yang benar seharusnya bersumber Apa pun rumusannya, tampaknya gugatan
pada penghargaan akan orang lain sebagai David Hume masih sulit dijawab. “Bagaimana
baik, berharga dan bermartabat sebagaimana mungkin dari suatu fakta (is) seperti pengalaman
ditunjukkan oleh sang biarawati dalam contoh menghadapi penderitaan sesama, perasaan
di atas. Pengalaman perjumpaan dengan sakit dan ikut menderita, dan semacamnya
kebaikanlah yang tidak hanya mendorong kita dapat ditarik suatu kewajiban moral (ought)?
berbuat baik kepada orang lain tanpa pamrih Hume benar dalam arti memberikan ruang bagi
(tidak dibatasi oleh sekat-sekat pandangan perasaan sebagai alasan bagi suatu tindakan

6 Keadaan kerentanan dan penderitaan orang lain dapat berupa rasa sakit (pain), penderitaan
(sufferings), kehilangan seseorang (loss), kematian (death), penyakit (disease), pembunuhan (murder),
penyiksaan (torture), kekerasan (cruelty), dan sebagainya.
10 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

moral, hal yang memang ditolak Immanuel yang dijawab dalam tulisan ini bukan pada
Kant sebagai moral heteronom, tetapi yang apakah welas asih adalah sikap moral yang
dikemudian hari dianggap sebagai elemen melulu perasaan atau melulu rasional (sehingga
penting dalam memahami motivasi tindakan harus ditolak), tetapi apa kondisi yang harus
moral. Elemen yang kurang dalam pemikiran ada (necessary condition) bagi terwujudnya
David Hume adalah ketidakyakinannya sikap welas asih. Bagi penulis, etika kepedulian
bahwa nalar mampu menggerakkan perilaku dapat mengisi ruang kosong yang ditinggalkan
moral, dan itu kita dapatkan dari sumbangan oleh David Hume dan Immanuel Kant.
Immanuel Kant, bahwa ternyata “keharusan Sebagai salah satu aliran dalam
moral mengandaikan pengetahuan moral.” filsafat moral, etika kepedulian menawarkan
Pengetahuan morallah yang memampukan pendekatan tindakan moral pertama-
seseorang menakar dirinya sendiri, apakah tama sebagai komitmen moral untuk
dia memilih untuk bertindak secara moral merawat, melindungi, menyembuhkan,
dalam mentaati kewajiban moral universal memberi dukungan, tetapi sekaligus juga
yang bergema dalam batinnya? Pengetahuan memperjuangkan tata sosial yang adil, yang
moral – dan bukan sekadar perasaan – yang memungkinkan terwujudnya karakter moral
menentukan level kebebasan dalam tindakan kepedulian semacam itu (Held 2007). Etika
moral versus sekadar dorongan psikologis kepedulian hanya bisa menjadi kondisi bagi
merealisasikan perbuatan baik tertentu (Creel terwujudnya sikap welas asih jika relasi dengan
2001, 206). sesama yang menderita dihayati sebagai sebuah
Meskipun demikian, penulis ber- pengalaman perjumpaan (Noddings 2002,
pendapat bahwa membela hanya salah satu 13) atau sebuah pengalaman epifani dalam
kutub pemikiran (David Hume vs Immanuel pemahaman Raimond Gaita sebagaimana
Kant) tidak akan membantu kita memahami dideskripsikan di atas. Secara fenomenologis,
perilaku welas asih dalam sikap dan tindakan pengalaman perjumpaan itu oleh Noddings
moral. Perilaku welas asih jelas sebuah sikap (2002) disebut sebagai caring encounters
moral yang tidak menegasikan perasaan antara subjek moral (carer) dan sesama
moral. Tetapi perilaku welas asih juga bukan yang menderita (cared-for) di mana masing-
tanpa pertimbangan rasional. Dalam arti masing pihak mengalami pengalaman diterima
itulah penulis mengusulkan pendekatan etika (receptive), diperhatikan (attentive), tetapi
kepedulian (ethics of care) sebagai lokus juga – dan ini yang terpenting – pengalaman
bagi terjadinya sikap welas asih. Tesis yang “the readiness to bestow and spend oneself
diusung dalam tulisan ini dapat dirumuskan and make oneself available” (16). Pengalaman
demikian: sikap welas asih hanya mungkin jika perjumpaan yang memicu sikap moral welas
seseorang memiliki perasaan sakit (feeling of asih bukanlah proyeksi perasaan pelaku moral
pain) berhadapan dengan penderitaan sesama. dan mengenakan perasaan subjektifnya pada
Tetapi sikap welas asih juga hanya mungkin jika penderita – kritik terhadap empati –tetapi
seseorang memiliki kesadaran bahwa orang sebuah perhatian, kehadiran, kepedulian,
lain yang menderita dan yang memicu perasaan dan kesediaan untuk mengambil risiko
sakit dalam diri subjek moral itu sungguh- menolong karena sikap non-kompromistisnya
sungguh pribadi bermartabat yang harus terhadap kejahatan. Bahwa sikap welas asih
ditolong. Dalam arti itu, pertanyaan pamungkas dalam pengalaman perjumpaan itu dilakukan
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 11

pertama-tama untuk menegaskan bahwa orang dideskripsikan di atas, pemahaman yang


lain itu berharga dan bermartabat. simpatik membuka kesadaran moral sang
Lima sikap moral etika kepeduliaan dapat biarawati, bahwa perlakuan yang manusiawi
dikemukakan sebagai kondisi yang perlu dan adalah keinginan terbaik pasien dalam situasi
niscaya bagi terwujudnya sikap moral welas konkret caring encounters berhadapan dengan
asih (Manning 1998, 98-105).7 Pertama, caring keinginan-keinginan lain seperti sembuh
encounters hanya bisa terjadi jika seseorang dari penyakit, keluar dari rumah sakit jiwa,
memiliki perhatian moral. Berhadapan dengan dan sebagainya. Demikianlah, pemahaman
sesama yang rentan dan menderita, seseorang (understanding) saja tidak cukup memicu
mungkin saja memiliki pengetahuan yang sikap moral welas asih (kritik terhadap etika
memadai mengenai akar penderitaan tersebut Kantian) karena bahaya pemaksaan tindakan
tanpa perhatian moral (moral attention). Atau, moral pelaku moral atas nama kewajiban moral
seseorang dapat memproyeksikan kesadaran universal yang belum tentu menjadi keinginan
moralnya, bahwa dia akan memperlakukan terbaik mereka yang rentan dan menderita.
orang lain (yang rentan dan menderita) Dalam konteks kedokteran, pemahaman yang
sebagaimana dia ingin diperlakukan (kritik simpatik bahkan mampu mendorong tindakan
terhadap etika Kantian). Perhatian moral hanya moral menghentikan pengobatan yang agresif
bisa memicu tanggapan moral atau sikap welas (agressive medicine) dan beralih kepada
asih jika subjek atau pelaku moral hadir (attend perawatan paliatif demi mempersiapkan
to), sadar, penuh perhatian, dan merelakan sebuah kematian yang bahagia bukan sebagai
dirinya untuk memasuki seluruh detail dari hal yang keliru secara moral.8
kisah sesama yang rentan dan menderita. Ketiga, kesadaran akan adanya hubungan
Kedua, pemahaman yang simpatik (relationship awareness). Relasi antara subjek
(sympathetic understanding). Welas asih moral dengan sesama yang rentan dan
mengandaikan kemampuan memahami menderita adalah relasi subjek–subjek (relasi
situasi secara simpatik, mengidentifikasi diri carer dengan cared-for). Lebih dari sekadar
dengan sesama yang rentan dan menderita relasi antar sesama manusia, relasi dalam
serta mencoba menyadari apa yang para caring encounters harus dipahami sebagai
penderita ingin diperlakukan dari perspektif sebuah relasi khusus yang sifatnya mendesak
keinginan terbaik mereka (their best interests). dan tidak dapat ditunda (immediate), persis
Dalam konteks pengalaman perjumpaan sang ketika pelaku moral (carer) menyadari peran
biarawati dengan pasien sakit jiwa sebagaimana tertentu yang harus segera direalisasikan

7 Untuk bagian ini, saya sepenuhnya mengikuti pemikiran Rita C. Manning.


8 Pengobatan agresif (agressive medicine) digunakan untuk mendeskripsikan penanganan dan
perawatan kepada pasien tanpa batas, bahkan ketika keadaan pasien menunjukkan bahwa penanganan
semacam itu bersifat sia-sia (futile). Pendekatan dalam penanganan kesehatan semacam ini berangkat dari
optimisme kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran modern yang yakin bahwa seluruh penyakit
dapat ditangani dan disembuhkan. Padahal, penanganan-penanganan atas penyakit tertentu justru hanya
akan memperburuk keadaan pasien, karena tidak memperbaiki kualitas hidup pasien itu sendiri. Dewasa ini
orang semakin yakin bahwa pengobatan yang tidak memperbaiki keadaan pasien berdasarkan evaluasi cermat
terhadap kondisi kesehatannya harus diganti dengan perawatan yang sifatnya paliatif dan pendampingan atas
seseorang di akhir kehidupannya sebelum kematian.
12 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

berhadapan dengan kerentanan sesama. Relasi yang rentan dan menderita (Creel 2001, 206).9
khusus ini memicu cara tanggap yang tertentu Kelima, caring encounters bisa berubah
pula, terutama dalam memperlakukan dia menjadi sebuah sikap welas asih jika pelaku
secara manusiawi, meningkatkan kualitas hidup moral (carer) memiliki tanggapan (response)
atau kompetensinya, menghapus diskriminasi, terhadap pengalaman tersebut. Dalam relasi
memperjuangkan tata kelola masyarakat yang dokter–pasien, misalnya, tidak cukup seorang
adil, dan semacamnya. Cara tanggap yang dokter memandang pasien, membayangkan
tertentu ini dalam konteks etika kepeduliaan dia secara simpatik, atau memproyeksikan
harus dipahami sebagai sebuah kewajiban kebaikan moralnya pada pasien yang
moral keras dari pihak subjek moral (carer) dilayaninya (empati). Pengalaman perjumpaan
mengusahakan terwujudnya kesetaraan relasi hanya bisa memicu sikap welas asih jika sang
antarsesama pada level ideal, atau sekurang- dokter mengambil sikap konkret tertentu dalam
kurangnya perlakuan yang menghormati menolong pasiennya. Sikap konkret inilah wujud
keinginan terbaik (the best interests) mereka dari komitmen memberi ruang (akomodasi)
yang rentan dan menderita. terhadap pasien dan kesediaan menolong
Keempat, sikap welas asih dalam caring menyembuhkan, merawat, memperbaiki
encounters mengandaikan sikap akomodasi kualitas hidup, atau mempersiapkannya
(accomodation). Per definisi, kata “akomodasi” menghadapi kematiannya.
berarti “menawarkan ruang bagi seseorang,
menyediakan ruang bagi seseorang atau Kesimpulan
sesuatu, memberikan sesuatu yang dibutuhkan
atau diinginkan orang lain (Merriem Webster Dalam tulisan ini penulis mem-
2014). Siapa pun bisa terlibat dalam relasi pertahankan pendapat yang mengatakan bahwa
dengan sesama, tetapi tanpa pengalaman sikap welas asih sangat dibutuhkan sebagai
perjumpaan dalam konteks caring encounters, sikap moral dalam menolong sesama yang
dia tidak akan mampu “memberikan atau rentan dan menderita. Hanya saja, sikap welas
menawarkan tempat” bagi sesamanya. asih ini harus dibedakan dari sikap empati
Mengakomodasi kepentingan mereka yang berdasarkan pertimbangan bahwa posisi dan
rentan dan menderita sama artinya dengan kepentingan moral sesama yang menderita
komitmen merawat dan memelihara orang harus dipertimbangkan secara saksama. Bahwa
lain, sikap mengambil risiko terlibat atau sesama yang rentan dan menderita harus
menyangkal kemapanan diri dalam pemikiran diperlakukan sebagai pribadi yang bermartabat,
Karen Armstong, sikap memperlakukan orang sehingga pendekatan moral menolong mereka
lain dalam kepenuhannya, dan tentu sikap harus berangkat dari posisi mereka. Dalam arti
mengakomodasi diri sendiri dalam pengertian itu, penulis mengatakan bahwa sikap welas asih
kemampuan menyadari sejauh mana seseorang lebih dekat maknanya dengan sikap simpati dan
mampu mengakomodasi kepentingan sesama bukan empati.

9 Menurut Richard E. Creel (2001), inilah sikap moral subjek yang meskipun tahu harus merealisasikan
kewajiban-kewajiban moralnya, tetapi tetap mampu membedakan manakah kewajiban-kewajiban moral yang
bisa dia realisasikan berdasarkan kemampuannya, dan manakah yang melampaui kemampuannya.
KANZ PHILOSOPHIA Volume 4, Number. 1, June 2014 13

Penulis juga mempertahankan pendapat Reflections on Schindler, the Trocmes,


yang mengatakan bahwa sikap welas asih and Others.” Midwest Studies in
hanya dapat diwujudkan jika kita berpihak Philosophy 13 (1): 196 – 221.
pada pendekatan etika kepedulian (care Cassell, Eric J. 2002. “Compassion.” Positive
ethics) dan bukan etika kewajiban atau pun Psychology, diedit oleh C.C. Snyder dan
etika utilitarisme. Meskipun diskusi seputar Shane J. Lopez, 434-445. New York :
etika kewajiban, etika keutamaan, atau pun Oxford University Press.
utilitarisme versus etika kepedulian tidak Churchill, Robert Paul dan Erin Street. 2005. “Is
diberi tempat yang cukup luas, kondisi-kondisi There a Paradox of Altruism.” The Ethics
yang diprasyaratkan bagi terjadinya etika of Altruism, diedit oleh Jonathan Seglow.
kepedulian dapat diandalkan sebagai argumen London : Frank Cass Publisher.
kontra terhadap pendekatan-pendekatan etika Creel, Richard E. 2001. Thinking Philosophically.
tersebut. Hanya saja, distingsi antara empati Oxford : Blacwell Publishers.
dan simpati masih harus dielaborasi lebih Darwal, Stephen Darwal. 1998. “Empathy,
lanjut persis ketika debat di seputar mereka Sympathy, Care.” Philosophical Studies
masih mewarnai diskursus etika dewasa ini. 89: 261-282.
Pertanyaan tentang apakah sikap simpati atau Gaita, Ramond. 2000. Common Humanity.
empati yang lebih cocok menggambarkan Thinking about Love and Truth & Justice.
sikap welas asih manusia masih akan terus London : Routledge.
bergulir seiring dengan upaya mempertajam ---. 2004. A Common Humanity. Thinking About
pembedaan sikap simpati dan empati tersebut. Love and Truth and Justice. London :
Paper dan/atau penelitian lebih lanjut seputar Routledge.
tema ini akan sangat bermanfaat mempertajam ---. 2004. Good and Evil. An Absolute Conception.
pembedaan kita atas konsep-konsep tersebut. London : Roudledge.
Ilham, Dilman. 2001. “Critical Notice.”
Philosophical Investigations 24(4) :
DAFTAR RUJUKAN 347-360.
Jimenez, Sheryn. 2009. “Compassion.” Dalam
The Encyclopedia of Positive Psychology.
Armstrong, Karen. 2012. Compassion: 12 Shane Lopes, ed., 1st vol. New Jersey
Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih. :Wiley-Blackwell.
Terj. Yuliani Liputo. Bandung : Penerbit Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.
Mizan. 2014. Diakses pada 23 September,
Banerjee, Biswajeet. 2014. “Anger Grows in http://kbbi.web.id/welas.
India after Girls Raped and Murdered” Manning, Rita C. 1998. “A Care Approach.” A
HeraldScotland, 31 Mei. http://www. Companion to Bioethics, diedit oleh
heraldscotland.com/news/world- Helga Kuhse dan Peter Singer. Oxford :
news/anger-grows-in-india-after-girls- Blackwell Publishers.
raped-and-murdered.24366659. Meier, Diane E., Anthony L. Back, R. Sean
Bertens. K. 2011. Etika Biomedis. Yogyakarta : Morrison. 2001. “The Inner Life of
Penerbit Kanisius. Physicians and Care of the Seriously III.”
Blum, Lawrence. 1988. “Moral Exemplars: JAMA 286 (23): 3007–014.
14 ETIKA KEPEDULIAN : WELAS ASIH DALAM TINDAKAN MORAL (Yeremias Jena)

Merriem Webster. 2014. “Accomodate -


Definition and More from the Free
Merriam-Webster Dictionary.” Diakses
pada 22 September, http://www.
merriam-webster.com/dictionary/
accomodate.
Ruqoyah, Siti dan Hartini Apriliasari. 2014.
“Kemendikbud Resmi Cabut Izin TK
JIS Pondok Indah.” VIVAnews, 21 April.
http://metro.news.viva.co.id/news/
read/498340- kemendikbud-resmi-
cabut-izin-tk-jis-pondok-indah.
Seglow, Jonathan. 2004. The Ethics of Altruism.
London : Frank Cass Publisher.
Singer, Peter. 1981. The Expanding Circle:
Ethics and Sociobiology. New York: New
American Library.
Strandmark, K. Margaretha. 2004. “Ill health
is Powerlessness: a Phenomenological
Study about Worthlessness, limitations
and suffering.” Scandinavian Journal of
Caring Sciences 18(2):135–144.
“UN Committee Imposes Sanctions on Nigeria’s
Boko Haram.” 2014. BBC News, 23 Mei.
http://www.bbc.com/news/world-
africa-27529566.

View publication stats

You might also like