Professional Documents
Culture Documents
Desentralisasi Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
Desentralisasi Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
H. Hasan Baharun*
Abstract: Along with the birth of the reform era and the enactment of
the Regional Autonomy Law Number 22 of 1999, it has changed all
of the rules that is from centralization (top down) to be decentraliza-
tion. Center government has been providing the widest possible au-
thority to the regions government to manage their own households in
building their respective areas by accommodating and optimizing all
available resources in the area. In fact, the efforts of decentralization
or schools autonomy have championed by the education community
for a long time. The reason is that the centralization system has not
relevant to the present context of Indonesia’s population that is more
complex. Therefore, autonomy of education must be rightly applied
if the education in Indonesia want to be more progressive and equal
-even more than– with the developed countries and be accepted by
them. By decentralization, schools are encouraged to develop itself
with more flexibility towards to be better. In addition, decentraliza-
tion is a new challenge for schools that have been particularly affected
by opium of lulled by the government, such as new public schools.
The schools are now required to create a curriculum that fits their own
circumstances and implemented by itself, no longer supplied by the
center.
241
Desentralisasi dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Sistem Pendidikan Islam
PENDAHULUAN
Dalam tataran ideal teoritis, otonomi pendidikan merupakan tun-
tutan demokratisasi dan perkembangan peradaban serta ilmu penge
tahuan dan tekhnologi. Masyarakat ditempatkan pada posisi otonom
untuk merancang dan mengelola pendidikan, sehingga diharapkan akan
tumbuh suatu format kehidupan masyarakat yang semakin mandiri, kri-
tis dan kreatif. Hal ini menjadi semakin strategis dalam hubungan warna
dengan negara dalam segala benuk ekspresi dan praktek kenegaraan.1
Otonomi daerah di bidang pendidikan di satu sisi tidak bisa dilepas-
kan dari gerakan global, yaitu demokratisasi, atau menurut istilah kon-
temporer adalah “proses menuju masyarakat madani”. Di seluruh dunia
muncul gerakan-gerakan dari bawah (grass root) yang menginginkan ke-
hidupan yang lebih demokratis dan mengakui hak-hak asasi dalam se�-
luruh aspek kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Di sisi
lain, ia juga merupakan kritik terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru
yang lebih sentralistik. Selama masa Orde Baru proses pemberdayaan
masyarakat daerah/local, termasuk individu, boleh dikatakan dikesam
pingkan. Segala sesuatu ditentukan dari atas, dan daerah dianggap tidak
mampu untuk mengurus dirinya sendiri. Akibatnya, terjadi sikap keter-
gantungan yang tinggi terhadap pusat dan masyarakat lokal menjadi
tidak mandiri, kurang inisiatif dan kurang kreatif. Pemerintah daerah,
apalagi pemerintah kabupaten, boleh dikatakan tidak mempunyai we-
wenang apa-apa dalam penyelenggaraan pendidikan. Sekolah-sekolah
telah menjadi milik pemerintah pusat, karena dikendalikan melalui ber-
bagai peraturan yang ditentukan oleh pemerintah pusat, seperti: kuri-
kulum, tenaga kependidikan, sarana, buku-buku pelajaran, pembiayaan
dan lain-lain.2
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memi-
liki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya mem-
bangun dan memajukan daerah-daerah di seluruh nusantara, terutama
yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia dan alamnya da-
lam mendobrak kebekuan dan stagnasi yang dialami dan melingkupi
masyarakat selama ini. Begitu juga dengan adanya desentralisasi pendi-
ENDNOTES
1 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan : Solusi Problem Filosofis
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002) hal 251.
2 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003) hal : 280.
3 H.A.R Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)
hal: 76.
4 Sujamto, Perspektif Otonomi Daerah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993, hal: 13.
5 Lihat; Sujamto, “Desentralisasi Versus Sentralisasi” dalam Cakrawala Oto-
nomi Daerah, 1988 hal : 27.
6 Winarna Surya Adisubrata, Otonomi Daerah di Era Reformasi, (Yogyakarta
UPP AMP YKPN, 1999) hal : 10.
7 Nur Rif ’ah Masykur, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, (Jakarta: PT
Permata Artistika Kreasi, 2001) hal : 21.
8 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani, Jakarta ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003 hal 169
9 Imam Suprayogo, Pendidikan Berparadigma al-Qur’an: Pergulatan Membangun
Tradisi dan Aksi Pendidikan Islam, (Malang: UINPRESS, 2004) hal: 133.
10 Muhaimin, 2003, Op-Cit, hal : 282.
DAFTAR PUSTAKA
Adisubrata, Winarna Surya, Otonomi Daerah di Era Reformasi, Yog
yakarta: UPP AMP YKPN. 1999
Ballantine,Jeanne H, The Sociology of Education: A Systematic Analysis,
Engliwood Cliffs, United State of America: Prentice Hall, 1993
Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2004
Hidayat, Syarif, Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan ke
Depan, Jakarta: Pustaka Quantum, 2000
Masykur, Nur Rif ’ah, Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah, Jakarta
PT Permata Artistika Kreasi, 2001
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidik
an Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2002
________, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pus
taka Pelajar, 2003
Mulkhan, Abdul Munir, Nalar Spiritual Pendidikan: Solusi Problem Filo
sofis Pendidikan Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002
PERTA Jurnal Komunikasi Peruruan Tinggi Islam, Vol. III, No. 01, 2000
Sujamto, Perspektif Otonomi Daerah, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993
Sujamto, Desentralisasi Versus Sentralisasi dalam Cakrawala Otonomi
Daerah. t.tp.: t.p. 1988