You are on page 1of 45

Pelepasan pulsatil dari hormon pelepas gonadotropin(GnRH) dari hipotalamus sering terganggu

pada sindrom ovarium polikistik (PCOS), yang menyebabkan hipersekresi hormon luteinizing (LH)
oleh kelenjar pituitari, yang menyebabkan disfungsi ovarium dan hiperandrogenisme. Sekresi LH
yang terganggu ini tampaknya muncul di awal masa pubertas dan berhubungan untuk menghambat
penghambatan sekresi GnRH oleh progesteron. Meskipun serum menstimulasi folikel Kadar
hormon (FSH) umumnya normal, folikel tampaknya lebih resisten terhadap FSH pada wanita
dengan PCOS daripada di kontrol. Efek ini mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar
antiMüllerian intra-ovarium hormon (AMH). Khususnya, varian genetik dan epigenetik
berkontribusi besar rentan untuk sebagian besar perubahan ini. Faktor lingkungan berkontribusi
lebih sedikit, sebagian besar oleh memperburuk resistensi insulin dan sekresi gonadotropin yang
tidak teratur. PCOM, ovarian polikistik morfologi ; SHBG, globulin pengikat hormon seks.
Sumber: Azziz et al.
Pathophysiology of the PCOS reproductive phenotype. There is increased frequency of pulsatile GnRH
release that selectively increases LH secretion. LH stimulates ovarian theca cell T production. T is
incompletely aromatized by the adjacent granulosa cells because of relative FSH deficiency. There are also
constitutive increases in the activity of multiple steroidogenic enzymes in polycystic ovaries contributing to
increased androgen production. Increased adrenal androgen production may also be present in PCOS. T acts
in the periphery to produce signs of androgen excess, such as hirsutism, acne, and alopecia. T and
androstenedione can also be aromatized extragonadally to estradiol and estrone, respectively, resulting in
unopposed estrogen action on the endometrium. T feeds back on the hypothalamus to decrease the
sensitivity to the normal feedback effects of estradiol and progesterone to slow GnRH pulse frequency. This
figure is used with the permission of Andrea Dunaif.
Depiction of the organization and regulation of the major steroid biosynthetic pathways in the small antral
follicle of the ovary according to the 2-gonadotropin, 2-cell model of ovarian steroidogenesis. LH stimulates
androgen formation within theca cells via the steroidogenic pathway common to the gonads and adrenal
glands. FSH regulates estradiol biosynthesis from androgen by granulosa cells. Long-loop negative
feedback of estradiol on gonadotropin secretion does not readily suppress LH at physiologic levels of
estradiol and stimulates LH under certain circumstances. Androgen formation in response to LH appears to
be modulated by intraovarian feedback at the levels of 17-hydroxylase and 17,20-lyase, both of which are
activities of cytochrome P450c17 that is expressed only in theca cells. The relative quantity of
androstenedione formation via 17OHP (dotted arrow) in the intact follicle is probably small, as is the
amount of progesterone formed from granulosa cell P450scc activity in response to FSH (data not shown).
17βHSD2 activity is minor in the ovary, and estradiol is primarily formed from androstenedione. Androgens
and estradiol inhibit (minus signs) and inhibin, insulin, and IGF-1 (IGF) stimulate (plus signs) 17-
hydroxylase and 17,20-lyase activities. Pertinent enzyme activities are italicized: the 17-hydroxylase and
17,20-lyase activities of P450c17 are shown, otherwise enzyme abbreviations are as in the text. Modified
with permission from Ehrmann et al, Polycystic ovary syndrome as a form of functional ovarian
hyperandrogenism due to dysregulation of androgen secretion. Endocr Rev. 1995;16:322–353 (22).
Depiction of the organization of the major steroid biosynthetic pathways in the adrenal cortex. The top row
shows the pathway to aldosterone; the middle row shows the zona fasciculata pathway to cortisol; the
lowest, darkly shaded row shows the zona reticularis steps to 17-ketosteroids that are not expressed in the
other adrenal zones. Note similarities between the biosynthetic capacities of the zona reticularis and that of
ovarian theca cells. Dotted pathways are minor. The zona reticularis is notable for its low 3βHSD2 activity
(denoted by small arrow) and unique expression of cytochrome b5, a cofactor which enhances the 17,20-
lyase activity of P450c17. Sulfotransferase 2A1 is uniquely expressed in the zona reticularis and rapidly
converts DHEA to DHEAS. Compound S (Cpd S), 11-deoxycortisol. Corticosterone and 18-
hydroxycorticosterone, the successive intermediates between deoxycorticosterone (DOC) and aldosterone,
are not shown. The steroidogenic enzymes are italicized. The clinically relevant electron transfer enzymes
also shown are POR and type 1 3′-phosphoadensosine-5′-phosphosulfate synthase (PAPSS). Formation of
androstenedione from 17OHP and Cpd S does not seem attributable to CYP450c17. Modified with
permission from Rosenfield, Identifying children at risk of polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol
Metab. 2007;92:787–796 (431).
Unified minimal model of PCOS pathophysiology. A, Ovarian hyperandrogenism is nearly universal in
PCOS and can account for all the cardinal clinical features of the syndrome: hyperandrogenemia, oligo-
anovulation, and polycystic ovaries (1). Pituitary LH secretion is necessary to sustain the ovarian androgen
excess but is not sufficient to cause it. B, About half of patients with FOH have insulin-resistant
hyperinsulinism (2). Insulin-resistant hyperinsulinism acts on theca cells to aggravate hyperandrogenism,
synergizes with androgen to prematurely luteinize granulosa cells, and stimulates adipogenesis. The
increased hyperandrogenemia provokes LH excess (3), which then acts on both theca and luteinized
granulosa cells to worsen hyperandrogenism. LH also stimulates luteinized granulosa cells to secrete
estradiol (4), which suppresses FSH secretion. These hyperinsulinism-initiated changes in granulosa cell
function further exacerbate PCOM and further hinder ovulation. Obesity increases insulin resistance, and the
resultant increased hyperinsulinism further aggravates hyperandrogenism. Heaviness of lines and fonts
represents severity. Both FOH and insulin resistance typically have an intrinsic basis. This model does not
exclude the possibility that the unknown intrinsic ovarian defects that underpin the ovarian steroidogenic
dysfunction also involve granulosa cell folliculogenesis as well. The figure also does not depict other
associated defects, such as the FAH that often accompanies the ovarian hyperandrogenism and the
contribution of excess adiposity to peripheral androgen production and gonadotropin suppression.
Resistensi insulin akan menimbulkan keadaan hiperinsulinemia sebagai reaksi kompensasi
insensitivitas insulin. Tingginya kadar insulin akan merangsang produksi androgen ovarium dengan
berbagai mekanisme.Hiperinsulinemia akan menghambat sekresi hepardalam menghasilkan Insulin
like Growth FactorBinding Protein-I (IGFBP-I) dan meningkatkan Insulin like Growth Factor-I
(IGF-I). Kelebihaninsulin akan diikat oleh IGF-I yang bekerja pada sel teka untuk meningkatkan
kadar LH. Insulinjuga akan mengaktifasi jalur fosforilasi serin yangbisa meningkatkan aktivitas
P450c17 padaovarium dan adrenal yang akan menstimulasisintesis androgen.4 Insulin juga
menekan kadar Sex HormoneBinding Globulin (SHBG) sehingga kadar androgen bebas meningkat.
Tingginya kadar androgen akan mengganggu sistem aromatase di dalam sel granulosa sehingga
memicu terjadinya atresia folikel lebih dini.4,5

Resistensi insulin diyakini sebagai principal underlying etiologic factor.10 Resistensi insulin akan
menimbulkan keadaan hiperinsulinemia sebagai reaksi kompensasi insensitivitas insulin. Tingginya
kadar insulin merangsang berbagai produksi androgen ovarium dengan berbagai mekanisme, yaitu
penurunan kadar IGFBP-I, peningkatan IGF-I, aktivasi jalur autofosforilasi serin, peningkatan
aktivasi P450c17, dan penurunan kadar SHBG. Mekanisme-mekanisme tersebut akan menstimulasi
sintesis androgen sehingga kadar androgenmenjadi tinggi. Tingginya kadar androgen akan
mengganggu sistem aromatase sehingga memicu terjadinya atresia folikel lebih dini dan
menimbulkan berbagai gambaran klinis SOPK.3-5

Resistensi insulin mempengaruhi siklus ovulatorik wanita usia reproduksi. Resistensi insulin
menyebabkan tingginya kadar insulin didalam darah (hiperinsulinemia). Makin tinggi kadar insulin
seorang wanita, maka siklus menstruasi juga semakin jarang. Hal ini terkait dengan tingginya kadar
androgen akibat hiperinsulinemia. Tingginya kadar androgen akan menghambat aromatisasi dan
kerja FSH yang berdampak pada ketidakmatangan folikel sehingga estrogen yang dihasilkan
berkurang. Jika kadar estrogen berkurang maka tidak terjadi umpan balik positif pada LH yang
menyebabkan tidak terjadinya lonjakan LH dan ovulasi pun tidak terjadi.4

Obesitas dapat memicu terjadinya sindrom ovarium polikistik. Hal ini terjadi karena obesitas dapat
menimbulkan resistensi insulin melalui peningkatan produksi asam lemak bebas. Akibatnya terjadi
penurunan sensitivitas insulin sehingga terjadi hiperinsulinemia.5 Tingginya kadar insulin yang
terkait dengan resistensi insulin dapat menstimulasi ovarium untuk menghasilkan kadar androgen
yang berlebihan.13 Obesitas juga akan meningkatkan kadar kolesterol dan menstimulasi jalur
steroid yang akan mengubah kolesterol menjadi androstenedion. Setelah itu, androstenedion akan
dikoversi menjadi estrogen. Tingginya kadar androgen dapat mengakibatkan terganggunya proses
konversi androstenedion. Akibatnya kadar androgen menjadi semakin tinggi dan menimbulkan
sindrom ovarium polikistik.4,5

Pada SOPK, resistensi insulin juga berpengaruh terhadap timbulnya hirsutisme. Hal ini terkait
dengan tingginya kadar androgen akibat hiperinsulinemia pada wanita SOPK dengan resistensi
insulin seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Peningkatan androgen tersebut akan berperan
penting dalam menentukan jenis dan distribusi rambut. Androgen akan diubah menjadi
Dehydrotestosteon (DHT) yang akan mengkonversi rambut vellus halus menjadi rambut terminal
kasar. Konversi ini bersifat ireversibel dan hanya rambut yang berada dalam area sensitif yang
dapat diubah menjadi rambut terminal, seperti bibir atas, dagu, jambang, dada, aksilla, dan linea
alba di perut bagian bawah. 12
Sama halnya dengan hirsutisme, timbulnya gambaran klinis acne pada penderita dengan sindrom
ovarium polikistik terkait dengan tingginya kadar androgen. Hal tersebut terjadi karena androgen
yang berlebihan di pilosebaceous unit (PSU) akan menstimulasi terbentuknya sebum yang
berlebihan. Akibatnya terjadi gangguan drainase dan membentuk komedo dan menimbulkan
peradangan akibat invasi dari kolonisasi abnormal microba (Proprionibacterium acnes).4

Gambar 1. Dampak Resistensi Insulin dan Hiperinsulinemia Pada SOPK


(Sumber: The Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), 2020)
2.1 PATOLOGI

Secara makroskopis, ovarium pada wanita dengan SOPK berukuran 2-5 kali lipat dari
ukuran normal. Pada potongan melintang permukaan ovarium tampak adanya penebalan korteks
dan ditemukan kista yang multipel yang secara tipikal dengan diameter kurang dari 1 cm.
Sedangkan secara mikroskopis, korteks superficial ovarium mengalami fibrotik dan hiposelluler,
dan mungkin mengandung pembuluh darah prominent. Selain itu tampak folikel atretik yang
lebih kecil, dimana dijumpai peningkatan jumlah folikel dengan luteinisasi teka interna, dan
mungkin juga ditemukan luteinisasi pada sel stroma.2,8,9

2.2 PATOFISIOLOGI
Sindrom ovarium polikistik (SOPK) merupakan tahap akhir dari suatu “siklus perusak”
akibat peristiwa-peristiwa endokrinologis yang dapat diawali dari banyak titik yang berbeda.
Masih belum jelas apakah patologi primernya berada di ovarium atau pada hipotalamus, tetapi
kerusakan yang mendasar tampaknya adalah karena pengiriman sinyal yang “tidak seharusnya”
ke hipotalamus dan hipofisis. Kadar LH yang meningkat (tanda khas SOPK) disebabkan oleh
peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik negatif) dan peningkatan sekresi inhibin.
Sedangkan kadar FSH yang tertekan diakibatkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer
(umpan balik positif) dan peningkatan sekresi GnRH.7
SOPK ditandai oleh “keadaan menetap” dari LH yang meningkat secara kronik dan kadar
FSH yang tertekan secara kronik, meskipun terdapat peningkatan dan penurunan yang bersifat
siklik yang terlihat dalam siklus menstruasi normal. LH yang meningkat menstimulasi stroma
ovarium dan sel-sel teka untuk meningkatkan produksi androgen. Androgen dikonversi di perifer
melalui aromatisasi menjadi estrogen yang memperparah anovulasi kronik. Sedangkan akibat
dari FSH yang tertekan, pertumbuhan folikel baru terus-menerus distimulasi tetapi tidak sampai
titik pematangan dan ovulasi penuh (korpus luteum dan korpus albikan jarang terdeteksi).
Androgen yang meningkat berperan terhadap pencegahan perkembangan folikel normal dan
induksi atresia premature.7
Penambahan jaringan adipose pada pasien yang mengalami obesitas turut berperan
terhadap aromatisasi ekstraglandular androgen menjadi estrogen. Sedangkan testosterone dalam
sirkulasi meningkat (menyebabkan hirsutisme) karena kadar globulin pengikat hormone seks
(sex hormone-binding globulin, SHBG) menurun pada SOPK. Ovarium merupakan lokasi utama
overproduksi androgen pada SOPK sedangkan kelenjar adrenal hanya memiliki peran kecil.7

Gambar 2.1 Patofisiologi SOPK2


Resistensi insulin berhubungan erat dengan obesitas perifer dan obesitas sentral melalui
pelepasan asam lemak bebas dari sel-sel adiposit. Menurut penelitian yang dilakukan Dunaif
dkk, terjadi kerusakan transduksi sinyal insulin pada tingkat reseptor yang bersifat diturunkan.
Kondisi ini memicu kelenjar pankreas mensekresi hormon insulin berlebih (hiperinsulinemia).
Resistensi insulin dan hiperinsulinemia selanjutnya akan berhubungan positif dengan
hiperandrogen.10
Kadar insulin yang berlebih secara sinergis akan meningkatkan sekresi LH dan
menurunkan produksi seks hormone binding globulin (SHBG) sehingga menyebabkan
peningkatan kadar androgen bebas. Kondisi hiperandrogen intraovarium akan menghambat
proses folikulogenesis.10
Gambar 2.2 Hubungan resistensi insulin dan SOPK10
Mekanisme kerja antara lemak dan hiperinsulinemia merupakan hubungan sebab akibat
yang saling memberikan efek satu sama lain. Akumulasi lemak visceral abdomen akan
menyebabkan penurunan adiponektin, peningkatan TNF-α, interleukin-6, leptin dan mediator-
mediator lain yang menyebabkan perubahan struktur reseptor insulin sehingga terjadi resistensi
insulin. Keadaan hiperinsulinemia akan meningkatkan produksi androgen ovarium dan kelenjar
adrenal. Sementara itu sitokin-sitokin yang dihasilkan akibat tingginya lemak visceral abdomen
secara langsung juga dapat menyebabkan peningkatan produksi androgen melalui pengaruhnya
terhadap kelenjar adrenal.10

Gambar 2.3 Hubungan obesitas dan SOPK10


A. Patofisiologi 1,2,4
Patofisiologi dari SOPK sangat komplek, temuan utama adalah peningkatan dari kadar
LH serum dan FSH rendah atau normal. Selain itu dijumpai pula peningkatan kadar androgen.
Kelainan metabolik berupa hiperinsulinemia dan resistensi insulin ikut berperan dalam
timbulnya SOPK.
a) Kelainan neuroendokrin
LH yang meningkat pada pasien SOPK akan meningkatkan jumlah dan frekuensi
respon dari Gonadotropin-releasing hormone (Gn-RH) dari hipotalamus. GnRH merupakan
stimulan utama untuk menghasilkan sekresi gonadotropin dan menstimulasi sel-sel teka
interna folikel untuk memproduksi androstenedion, yang dikonversi di perifer, utamanya di
dalam jaringan lemak, menjadi estron (E1), dan testoteron dalam jumlah yang lebih sedikit
meningkat, berlawanan dengan pasien-pasien dengan hipertekosis. Kadar estradiol (E2)
tetap normal atau sedikit dibawah normal, yang menyebabkan peningkatan rasio E1/E2.
Peningkatan kadar E1, dan pada beberapa pasien akan meningkatkan sekresi dari inhibin-F
suatu peptida nonsterois yang dihasilkan oleh sel-sel granulosa, akan menghambat sekresi
FSH. Peningkatan rasio LH/FSH merupakan temuan yang khas pada ovarium polikistik.
Peningkatan estrogen yang bersirkulasi tampaknya akan meningkatkan sekresi dari
Luteinizing hormone relasing factor (LHRF) dan mempertinggi sensitifitas sel-sel hipofisis
yang memproduksi LH terhadap LHRF. Produksi estrogen ovarium pada pasien polikistik
ovarium secara nyata berkurang dari jaringan ovarium, mungkin karena inaktivasi dari
sistem aromatese FSH dependent pada sel-sel granulosa. Sintesis estrogen intrafolikel, dan
peningkatan rasio LH/FSH akan menyebabkan rendahnya pertumbuhan folikel pada stadium
midantral, terjadi anovulasi, dan ovarium yang sklerokistik. Sejumlah kelainan akan
menyebabkan hiperestronemia dan perubahan sekresi gonadotropin secara potensial
berperan dalam inisiasi atau terjadinya polikistik ovarium yang terus- menerus.
b) Hiperandrogenisme
Salah satu studi menunjukkan bahwa wanita dengan SOPK terjadi peningkatan
aktivitas 11-hidroksisteroid dehidrogenase, yang merupakan enzim yang memetabolisme
kortisol menjadi kortison. Hal ini mengakibatkan peningkatan kadar clearence kortisol dan
menurunkan feedback negatif dari sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan secara
sekunder meningkatkan sekresi androgen adrenal. Pada studi ini wanita yang obes
menunjukkan peningkatan aktivitas 11-hidroksisteroid dehidrogenase, tetapi tidak sesuai
dengan derajat yang terlihat pada wanita dengan SOPK. Ini kemungkinan adanya pengaruh
hiperinsulinemia yang dapat meningkatkan aktivitas enzim ini yang mengarahkan terjadinya
hiperandrogen adrenal.
Peningkatan androgen adrenal dapat menyebabkan hiperestronemia karena akan
memanjangkan fase folikuler dan memendekkan fase luteal dan konsekuensinya terjadi
peningkatan rasio LH/FSH. Peristiwa ini yang menerangkan kerapnya infertilitas dan
ketidakteraturan haid pada wanita dengan hiperandrogen. Terapi deksametason dapat
mengoreksi rasio LH/FSH yang abnormal pada beberapa pasien dengan polikistik ovarium,
yang dapat menyebabkan terjadinya ovulasi lagi. Walaupun beberapa penelitian percaya
bahwa pada pasien-pasien polikistik ovarium, abnormalitas adrenal adalah gangguan yang
primer, penelitian lain telah menyimpulkan bahwa itu adalah sekunder dari kelainan
hormonal.
Pada pihak lain, hiperandrogen endogen akan menebalkan tunika albuginea ovarium.
Juga ternyata bahwa pemberian androgen eksogen yang berlebihan dapat menebalkan
kapsul ovarium. Selanjutnya keadaan tersebut akan mengganggu pelepasan folikel dan
pecahannya bintik ovulasi. Ini merupakan bentuk lain dari androgen dalam mengganggu
mekanisme ovulasi. Secara klinis dengan menekan kadar androgen yang tinggi akan
menyebabkan folikel ovarium menjadi lebih peka terhadap gonadotropin endogen dan
eksogen.
c) Obesitas, hiperinsulinemia dan resistensi insulin
Obesitas berhubungan dengan masalah kesehatan pada umumnya dan kelainan
ginekologi secara khusus, meliputi siklus menstrusasi yang ireguler, amenorea, dan
perdarahan uterus disfungsional.
Penelitian menemukan bahwa pada wanita remaja yang gemuk meningkatkan serum
androgen dan kadar LH dan rasio E1 dan E2 yang terbalik. Namun hal ini bersifat reversibel
dengan menurunnya berat badan.
Hiperinsulinemia merupakan penyebab utama dari SOPK, meskipun peningkatan
produksi androgen sendiri dapat menyebabkan terjadinya SOPK. Wanita dengan
predisposisi resistensi insulin mengkombinasikan hubungan antara obesitas yang
menyebabkan resistensi insulin. Hiperinsulinemia dapat meningkatkan androgen melalui
setidaknya 3 mekanisme : (1) Stimulasi dari hiperandrogenisme ovarium melalui
peningkatan LH atau stimulasi aktivitas 17-hidroksilase/17,20-lyase, (2) stimulasi
hiperandrogenisme adrenal melalui augmentasi aktivitas 11-hidroksisteroid dehidrogenase,
atau (3) supresi kadar SHBG. Jaringan adiposa mengandung aromatase yang merupakan
enzim yang mengkonversi androgen menjadi estrogen. Meningkatnya keadaan androgen
dan estrogen mengarah kepada terjadinya atresia folikuler, anovulasi, dan meningkatnya
sekresi LH, yang secara lebih lanjut meningkatkan produksi androgen ovarium.
Kadar androgen meningkat pada wanita gemuk. Baik tingkat produksi androgen
maupun tingkat clearance-nya meningkat. Penurunan Sex hormone binding globulin
(SHBG) berhubungan dengan obesitas yang meningkatkan kadar clearance androgen.
Tingkat kelebihan berat badan berkorelasi dengan derajat aromatisasi ekstraglanduler dari
androgen menjadi estrogen. Meningkatnya kadar androgen, tingginya rasio E2:E1, dan
rendahnya kadar SHBG membuat keadaan biokimiawi kepada keadaan SOPK. Lebih dari
50% pasien SOPK merupakan pasien gemuk. Pada banyak wanita SOPK, pengurangan dari
berat badan dapat menurunkan kadar androgen, menghilangkan hirsutism, dan bahkan
mengembalikan ovulasi.
Obesitas, ketika dikaitkan dengan SOPK, mempunyai berhubungan dengan
hiperinsulinemia, resistensi insulin, dan tes toleransi glukosa yang abnormal. Resistesi
insulin dan hiperinsulinemia ditentukan terjadi pada wanita SOP, baik yang gemuk maupun
tidak gemuk. Insulin menstimulasi sekresi androgen dari stroma ovarium, hal ini disebabkan
karena insulin merupakan famili insulin lainnya dari insulin growth factor 1 (IGF-1). IGF-1
dapat meningkatkan produksi sel teka ovarium menghasilkan androgen. Disebabkan karena
reseptor untuk insulin dan IGF-1 serupa, sehingga pada percobaan secara in vitro insulin
dapat meningkatkan produksi androgen pada sel teka dan stroma. Hiperinsulinemia juga
secara potensial menyebabkan peningkatan kadar androgen yang bersirkulasi (dan dengan
konversi di perifer, estron) pada pasien-pasien SOPK. Hasil dari hiperandogenisme ini pada
gilirannya akan meningkatkan resistensi insulin.
Ketidaknormalan lipoprotein secara umum terdapat pada SOPK meliputi
meningkatnya kolesterol, trigliserida, dan low density lipoprotein (LDL), dan rendahnya
kadar high density lipoprotein dan apoporetin. Berdasarkan salah satu penelitian, ciri yang
paling penting dari peningkatan lipid ialah menurunnya kadar HDL.
Penemuan lain yang muncul pada wanita dengan SOPK meliputi gangguan
fibronolisis yang ditunjukkan oleh meningkatnya kadar inhibitor aktivator plasminoge,
meningkatnya insidensi hipertensi terjadi pada 40% perimenopaus, prevalensi yang besar
dari aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler, dan resiko infark myokard.

BAB II. Pembahasan


Metformin
Metformin merupakan insulin sensitizer dan obat tertua di seluruh dunia yang paling
sering digunakan dalam pengobatan intoleransi glukosa, terutama DM tipe 2. Metformin juga
yang paling umum digunakan dalam PCOS, baik sendiri atau dalam kombinasi dengan intervensi
gaya hidup. Hal ini dianggap sebagai insulin sensitizer karena menurunkan kadar glukosa tanpa
meningkatkan sekresi insulin. Bahkan, menurunkan produksi glukosa hepatik, dengan mengurangi
glukoneogenesis dan dengan mengurangi glikogenolisis, meningkatkan penyerapan glukosa
perifer oleh otot rangka dan jaringan adiposa, dan mengurangi penyerapan glukosa usus.
Penggunaan metformin pada PCOS telah dikaitkan dengan penurunan kadar androgen serum dan
gonadotropin, dan dengan peningkatan gangguan metabolik, termasuk hiperinsulinemia, profil
lipid diubah, dan prothrombotic faktor plasminogen activator inhibitor tipe 1. Terapi ini juga telah
dikaitkan dengan penurunan hirsutisme dan jerawat, dengan perbaikan atau normalisasi hipertensi,
dan menstruasi. Menariknya, ada peningkatan bukti bahwa ovulasi dan tingkat kesuburan juga
dapat secara signifikan ditingkatkan dengan metformin. Metformin telah terbukti meningkatkan
sensitivitas insulin pada PCOS dengan resistensi insulin, yang menjamin pertimbangan mereka
dalam pengelolaan gangguan ini. Kebanyakan studi telah mendeteksi penurunan yang signifikan
dalam kadar testosteron serum sedangkan yang lain, yang telah memasukkan pasien dengan
obesitas berat, tidak dapat menunjukkan efek serupa. Metformin meningkatkan sensitivitas insulin
di hati untuk mengurangi glukoneogenesis dan hiperinsulinemia. Studi klinis telah menunjukkan
bahwa pemberian metformin untuk wanita PCOS mengakibatkan penurunan kadar androgen,
peningkatan tingkat ovulasi spontan, dan ditingkatkan tanggapan ovulasi untuk clomiphene.
Penelitian telah menunjukkan bahwa
metformin mungkin memiliki efek langsung pada independen steroidogenesis ovarium. Inkubasi
human ovarian theca-like tumor cells dengan metformin menghambat ekspresi protein regulatory
steroidogenik mRNA dan 17α-hidroksilase, sedangkan tidak ada efek untuk 3β-hidroksisteroid
dehidrogenase (3βHSD) atau rantai samping kolesterol. Sebaliknya, metformin tidak dikaitkan
dengan perubahan 17α-hidroksilase atau 3βHSD dalam studi sel ragi. Efek samping metformin
termasuk gejala gastrointestinal yang terkait dosis. Efek samping yang jarang dari terapi
metformin adalah asidosis laktat yang mungkin terjadi pada individu dengan penyakit sistemik
dan kronis. Oleh karena itu, metformin tidak harus diresepkan untuk pasien dengan ginjal, hati,
atau penyakit kardiovaskular atau hipoksia karena pasien ini memiliki kecenderungan untuk
peningkatan kadar laktat.5,6

Metformin, D-chiro inositol, dan myo-inositol


Salah satu obat yang paling umum digunakan untuk PCOS adalah metformin. Dari uraian awal
untuk pengelolaan induksi ovulasi pada PCOS, metformin dengan cepat menjadi salah satu obat
yang paling diminta. Sebuah survey dari Pubmed mengungkapkan >30 metaanalisis dari
percobaan acak dan >70 tinjauan sistematis meliputi peran terapi metformin dalam pengelolaan
PCOS, termasuk induksi ovulasi, penurunan berat badan, kontrol menstruasi, kelahiran prematur,
keguguran, dan hirsutisme. Meskipun sejumlah besar analisis selesai, ada beberapa skala besar
atau acak plasebo-terkontrol (RCT) menggunakan metformin untuk PCOS. Metformin bekerja
sebagai agen sensitisasi insulin. Karena resistensi insulin merupakan bagian integral patofisiologi
PCOS, maka wajar untuk mengantisipasi bahwa peningkatan resistensi insulin akan meningkatkan
banyak gejala PCOS. RCT tunggal terbesar metformin pada PCOS gagal meningkatkan
kesuburan dibandingkan dengan clomiphene citrate. Untuk indikasi regulasi siklus menstruasi,
meta-analisis menunjukkan bahwa metformin meningkatkan pola menstruasi dibandingkan
dengan plasebo. Bila dibandingkan dengan kontrasepsi oral, terapi metformin tidak efektif dalam
meningkatkan pola menstruasi dalam beberapa percobaan acak. Mengenai hirsutisme, ketika
metformin dibandingkan dengan plasebo atau kontrasepsi oral, tidak ada manfaat yang signifikan,
hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh digunakan untuk mengurangi hirsutisme pada PCOS.
Mengingat dampak metabolisme resistensi insulin dan faktor risiko kardiovaskular terlihat dalam
PCOS, maka wajar untuk mempertimbangkan terapi metformin untuk perbaikan risiko
kardiometabolik. Pada populasi umum pada risiko diabetes karena
gangguan toleransi glukosa, metformin secara signifikan mengurangi risiko diabetes. Secara
keseluruhan, bentuk peran metformin dalam pengobatan PCOS tidak pasti yang terbaik, dengan
data berkualitas tinggi yang terbatas. D-Chiro-inositol adalah inositol isomer pada
phosphoglycans insositol dan merupakan mediator yang diusulkan pada insulin. Sebuah isomer
terkait adalah myo-inositol. Kedua sensitizer insulin yang diusulkan telah diuji pada PCOS,
meskipun beberapa studi digunakan kontrol placebo.6

Hiperinsulinemia
Hubungan anatara resistensi insulin, hiperinsulinemia kompensasi dan hiperandogenisme
telah memberikan pemahaman patogenesis dari PCOS. Mekanisme seluler dan molekuler dari
resistensi insulin pada PCOS telah banyak diteliti dan terbukti bahwa kelainan utama adalah
penurunan sensitivitas insulin sekunder pada transduksi sinyal insulin reseptor-mediated,
penurunan respon insulin dengan kurang substansial tetapi signifikan. Tampak bahwa penurunan
sensitivitas insulin pada PCOS berpotensi kelainan intrinsik pada wanita secara genetik, karena
tidak tergantung pada obesitas, kelainan metabolik, topografi lemak tubuh dan kadar hormon seks.
Mungkin ada kelainan genetik dalam regulasi fosforilasi reseptor insulin, yang mengakibatkan
peningkatan serin fosforilasi insulin-independent, dan penurunan tergantung insulin thyrosine
fosforilasi. Hubungan PCOS dengan obesitas memiliki dampak merusak synergystic pada
homeostasis glukosa dan dapat memperburuk baik hiperandrogenisme dan anovulasi. Telah
dilaporkan bahwa hubungan antara BMI dan penyakit jantung koroner hampir menghilang setelah
koreksi pada dislipidemia, hiperglikemia, dan hipertensi. Latihan memiliki efek yang baik dalam
mengurangi lemak visceral dan risiko kardiovaskular.7
Insulin bertindak melalui beberapa bagian untuk meningkatkan serum endogen androgen.
Efek insulin melalui beberapa bagian untuk meningkatkan tingkat androgen endogen. Peningkatan
resistensi insulin perifer hasil dalam konsentrasi serum insulin yang lebih tinggi. Kelebihan
insulin berikatan dengan reseptor IGF-1 yang meningkatkan produksi androgen sel-sel teka dalam
menanggapi rangsangan LH. Hiperinsulinemia juga menurunkan produksi SHBG oleh hati. Oleh
sebab itu, terjadi peningkatan konsentrasi testosterone bebas. Disamping itu hiperinsulinemia
menghambat sekresi insulin like-growth factor binding protein-1 (IGFBP-1), mengarah pada
peningkatan bio-avalability IGF 1 dan 2, regulator penting dari pematangan folikel ovarium dan
steroidogenesis. Bersama dengan sekresi IGF-2 dari sel teka, IGF-1 dan 2
lebih meningkatkan produksi androgen ovarium dengan bertindak pada receptor IGF-1. Insulin
juga dapat meningkatkan konsentrasi endogen androgen oleh peningkatan aktivitas sitokrom p-
450c17α, yang penting untuk biosinstesis hormon ovarium dan kelenjar adrenal. Telah dibuktikan
stimulasi oleh GnRHa insulin-diinduksi oleh aktivitas berlebihan sitokrom p-450c17α dan respon
berlebihan 17 hidroksiprogesteron (17-OHP). Kelebihan intra-ovarian androgen bertanggung
jawab pada anovulasi dengan bertindak langsung pada ovarium yang menyebabkan atresia dari
folikel. Proses yang terakhir ini ditandai oleh apoptosis dari sel granulosa. Sebagai konsekuensi
pembesaran kompartemen stroma, respon LH dipertahankan dan terus menghasilkan androgen.7
Resistensi insulin didefinisikan sebagai menurunnya respon glukosa, penurunan bersihan
insulin hati dan atau peningkatan sensitivitas pankreas. Disfungsi sel beta pankreas telah
dijelaskan pada wanita dengan PCOS, dimana terjadi peningkatan sekresi basal insulin. Insulin
bertindak melalui reseptor untuk memulai kaskade kejadian pasca-reseptor dalam sel target.
Fosforilasi penyebab substrat reseptor insulin (IRS1-4) untuk mempromosikan penyerapan
glukosa melalui transporter glukosa transmembran (GLUT4), dan juga sintesis protein intraseluler
tirosin fosforilasi meningkatkan aktivitas kinase tirosin reseptor insulin, sedangkan serin
fosforilasi menghambat itu, dan tampaknya bahwa setidaknya 50% dari wanita dengan PCOS
memiliki fosforilasi serin berlebihan dan penghambatan sinyal normal. Efek ini hanya
mempengaruhi homeostasis glukosa dan bukan tindakan pleitropic insulin lainnya, sehingga
pertumbuhan sel dan sintesis protein dapat berlanjut. Serin fosforilasi juga meningkatkan aktivitas
p-450c17α di kedua ovarium dan adrenal, sehingga mempromosikan sintesis androgen, dan
mungkin ini menjadi mekanisme untuk kedua resistensi insulin dan hiperandrogenisme pada
beberapa wanita dengan PCOS.7

Metformin dan metabolik


Metformin merupakan suatu biguanide yang telah digunakan dalam pengobatan DM tipe 2
selama beberapa dekade ini. Metformin menurunkan kadar glukosa darah dengan mengurangi
produksi glukosa hepatic dan meningkatkan penggunaan glukosa di perifer. Selain itu, metformin
tampaknya masuk ke dalam sel-sel dan meningkatkan fosforilasi tirosin dari bagian intraseluler
dari β subunit reseptor insulin dan reseptor insulin protein substrat (IRS). Baru-baru ini, telah
menyarankan bahwa IRS genotipe dapat memodulasi respons terhadap pengobatan metformin
pada wanita PCOS. Sejumlah studi telah dipublikasikan menyelidiki efek metformin pada
resistensi insulin pada wanita dengan PCOS. Studi pertama pada tahun 1994 oleh Velazquez dkk,
menunjukkan bahwa pengobatan metformin di 26 wanita PCOS dengan obesitas selama 2 bulan
berkurang hiperinsulinemia, tekanan darah sistolik dan perbaikan hormona serta reproduksi. Di
Eropa yang dilakukan pada tahun 1998, peningkatan sensitivitas insulin dikonfirmasi dengan
menggunakan penjepit euglycemic, secara independen dari perubahan berat badan, setelah
pemberian 1700 mg metformin selama 6 bulan pada 13 wanita PCOS dengan obesitas. Meta-
analisis dari 13 studi terkontrol, pada populasi etnis yang berbeda, menegaskan bahwa metformin
memiliki efek yang signifikan dalam mengurangi kadar insulin puasa dengan penurunan kecil
glukosa puasa. Namun, pada wanita PCOS sangat gemuk tidak ada hasil yang bermanfaat yang
ditemukan, dan telah menyarankan bahwa metformin dalam kelompok wanita ini tidak memiliki
efek pada resistensi insulin. Temuan ini juga menegaskan, baru-baru ini, secara acak plasebo
terkontrol, double blind studi multicenter 143 perempuan (dengan BMI 38 kg/m 2) menerima
pengobatan metformin selama 6 bulan. Hasil ini menunjukkan bahwa obesitas berat dapat
menjadi faktor pengikut. Faktor lain yang berkontribusi terhadap perbedaan ini mungkin
kurangnya kesepakatan dalam metode yang berbeda menilai sensitivitas insulin, seperti indeks
matematika tidak memperkirakan secara akurat resistensi insulin dalam kaitannya dengan tingkat
yang berbeda dari obesitas. Dalam kesimpulan, metformin telah terbukti dalam banyak, tetapi
tidak semua studi bahwa efek metabolik yang merugikan dari PCOS mengalami perbaikan selama
2 sampai 6 bulan pengobatan. Meskipun data longitudinal masih kurang dan metformin tidak
disetujui oleh USA FDA sebagai modalitas terapi utama dalam PCOS, penggunaannya terus
meningkat sebagai pengobatan jangka panjang PCOS.2
2.1.1 Patofisiologi
Terdapat 4 kelainan utama yang terlibat dalam patofisiologi dari PCOS,9 yaitu :
1. Morfologi ovarium yang abnormal
Lebih kurang enam sampai delapan kali lebih banyak folikel pre-antral dan
small antral pada ovarium polikistik dibandingkan dengan ovarium normal. 12
Folikel ini tertahan pertumbuhannya pada ukuran 2-9 mm, mempunyai rerata
atresia yang lambat dan sensitive terhadap FSH eksogen. Hampir selalu
terdapat pembesaran volume stroma yang menyebabkan volume total dari
ovarium > 10 cc. Penyebab kelainan dari morfologi ini diduga disebabkan
oleh adanya androgen yang berlebihan. Androgen merangsang pertumbuhan
folikel primer sampai dengan stadium folikel pre-antral dan small antral, dan
proses ini dipercepat dengan adanya androgen yang berlebihan dibandingkan
dengan ovarium yang normal. Faktor lain yang ditemukan pada PCOS yang
ikut berpengaruh pada morfologi ovarium adalah kelebihan beberapa faktor
yang menghambat kerja dari FSH endogen (seperti follistatin, epidermal
growth factor dll), kelebihan factor anti-apoptotic (BCL-2) yang dapat
memperlambat turnover dari folikel yang terhambat ini. Kombinasi dari
faktor-faktor tersebut yang menyebabkan morfologi ovarium yang
karakteristik pada ovarium polikistik.
Gambar 2. Kunci utama dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary
(Dikutip dari Homburg R)

2. Produksi androgen ovarium yang berlebihan


Produksi androgen ovarium yang berlebihan adalah penyebab utama dari
PCOS. Hampir semua mekanisme enzymatic pada PCOS yang merangsang
produksi androgen meningkat. Peningkatan insulin dan LH, baik secara
sendirian ataupun kombinasi akan meningkatkan produksi androgen. Adanya
single gene dengan kode cytochrome P450c17a, enzym ini memediasi
aktifitas 17a-hydroxylase dan 17-20- desmolase pada tingkat ovarium.

Gambar 3. Mekanisme dari produksi androgen yang berlebihan pada polycystic ovary
(Dikutip dari Homburg R)
3. Hiperinsulinemia
Hiperinsulinemia yang disebabkan oleh resistensi insulin terjadi pada lebih
kurang 80% wanita dengan PCOS dan obesitas sentral, dan juga pada lebih
kurang 30-40% wanita dengan PCOS yang berbadan kurus. 13 Hal ini
disebabkan oleh kelainan pada post-receptor yang berefek pada transport
glukosa, dan ini adalah kelainan yang unik pada wanita dengan PCOS.13
Resistensi insulin secara bermakna di eksaserbasi oleh obesitas, dan
merupakan faktor utama dalam patogenesa anovulasi dan hyperandrogenism.
Kelainan fungsi dari sel beta pancreas juga ditemukan pada PCOS.

Gambar 4. Peranan hperinsulinemia dalam patogenesa anovulasi dan hperandrogenisme


(Dikutip dari Homburg R)

4. Kadar serum LH yang berlebihan


Kadar serum LH yang berlebihan dapat diditeksi pada sample darah pada
satu kali pemeriksaan dalam lebih kurang 40-50% wanita dengan PCOS.
Tingginya kadar LH lebih banyak terdapat pada wanita dengan berat badan
yang kurus dibandingkan dengan yang obesitas. Walaupun kadar serum FSH
dalam batas normal, tetapi didapatkan penghambatan intrinsic pada kerja
FSH. Kadar prolactin pun mungkin sedikit meningkat.
2.2 Resistensi Insulin
Pada tahun 1921, Achard dan Thiers pertama kali melaporkan suatu hubungan
patofisiologi antara hyperandrogenism dan metabolisme insulin dalam deskripsi
mereka pada ”diabetes des femmes ả barbe” (diabetes pada wanita yang
berjanggut). Selanjutnya pada tahun 1976, Kahn dkk mendeskripsikan virilisasi
yang signifikan pada gadis-gadis muda dengan resistensi insulin berat, hal ini
mengarahkan pada suatu eksplorasi lebih lanjut tentang sekresi insulin pada wanita
dengan hiperandrogen.14

Resistensi insulin didefinisikan sebagai penurunan kemampuan insulin untuk


menstimulasi pemasukan glukosa kedalam jaringan target, atau berkurangnya
respon glukosa pada pemberian sejumlah insulin sebagai respon kompensasi
terhadap resistensi jaringan target maka terjadilah hiperinsulinemia. Beberapa
mekanisme telah di usulkan untuk menjelaskan resistensi insulin, termasuk
resistensi jaringan perifer target, penurunan pembersihan di hepar, atau peningkatan
sensitivitas pankreas. Penelitian dengan menggunakan teknik euglycemic clamp
mengindikasikan bahwa wanita hyperandrogenic dengan hiperinsuliemia
mempunyai resistensi insulin perifer dan penurunan rerata pembersihan insulin
yang disebabkan oleh penurunan ekstraksi insulin di hepar.15

Resistensi insulin perifer pada PCOS adalah bersifat unik disebabkan kelainan
diluar aktifasi dari receptor kinase, yang disebut sebagai penurunan tyrosine
autophosphorylation dari reseptor insulin. 16 Serine residue phosphorylation yang
berlebihan pada reseptor insulin menurunkan transmisi signal, dan hal ini telah
diusulkan untuk menjelaskan juga hyperandrogenism oleh serine phosphorylation
pada saat yang bersamaan dari enzyme P450c17 pada kelenjar adrenal dan ovarium,
yang mana dapat meningkatkan aktifitas 17,20- lyse dan produksi androgen.
Resistensi insulin mungkin dapat dihubung-sebabkan pada aktifitas yang lebih dari
cytochrome P450c17, yang merupakan enzyme kunci utama pada biosintesa
androgen di ovarium dan kelenjar adrenal. 17 Insulin sendiri, bekerja melalui
reseptornya, memperlihatkan suatu rangsangan biosintesa androgen pada ovariun
dan kelenjar adrenal, meningkatkan produksi luteinizing hormone (LH)-induced
androgen oleh sel theca sehingga menyebabkan hiperandrogenemia. 18 Perbaikan
hiperinsuliemia secara dramatik akan menurunkan sirkulasi androgen pada kadar
yang normal. Hiperinsulinemia mungkin juga meningkatkan regulasi reseptor
insulin-like growth factor-I (IGF-I), yang merupakan suatu stimulator yang kuat
dari sintesa LH-induced androgen, dan meningkatkan bioavailability dari IGF-I
yang disebabkan oleh supresi pada produksi IGF-binding protein I
oleh hati. Sebagai tambahan, insulin mungkin meningkatkan potensi respon dari
steroidogenesis kelenjar adrenal pada adrenocorticotropic hormone (ACTH), dan
meningkatkan ekspresi dari hyperandrogenism oleh efek inhibisinya pada produksi
sex hormone binding globulin (SHBG) hepar, sehingga meningkatkan bioavailbility
dari androgen.18

Gambar 5. Potensial mekanisme dari resistensi insulin pada polycystic ovary syndrome
(Dikutip dari Ben-Haroush A)

Walaupun banyak penelitian mengindikasikan bahwa androgen dapat menginduksi


hiperinsuliemia, tetapi banyak kenyataan yang mendukung bahwa hiperinsulimemia
adalah faktor primer yang menyebabkan hyperandrogenism. Keduanya wanita yang
kurus ataupun obesitas dengan PCOS mungkin mempunyai resistensi insulin. 18
Wanita PCOS yang kurus mempunyai bentuk resistensi insulin intrinsic yang masih
sulit untuk dimengerti, dan wanita yang obesitas mungkin mempunyai bentuk ini
sebagai tambahan pada resistensi insulin yang disebabkan oleh kelebihan berat
badan. Penemuan klinik yang menunjukan adanya resistensi insulin dan
hiperinsulinemia termasuk body mass index (BMI) > 27 kg/m2, waist to hip ration
> 0.85, waist > 100 cm, acanthosis nigricans, dan beberapa achrochordons (skin
tags)19. Akan tetapi, menurut American Diabetes Association Consensus
Conference,20 belum ada metode
yang sesuai untuk menentukan resistensi insulin dalam praktek klinikal. Tidak ada
satu pun pemeriksaan, seperti fasting insulin, glucose, atau glucose-to-insulin ratio,
yang menunjukan kegunaannya dalam memprediksi respon ovulasi pada obat-obat
insulin-sensitizing. Walaupun fasting glucose-to-insulin ratio (<4,5) berkorelasi
dengan sensitivitas insulin seperti yang ditentukan oleh insulin-glucose clamp, hal
ini tidak pernah di uji cobakan sebagai prediktor dari respon pada pengobatan
dengan insulin-sensitizing.21

2.2.1 Mekanisme Resistensi Insulin pada PCOS


Insulin terikat pada transmembrane reseptor insulin, mengaktivasi beberapa
kegiatan termasuk tyrosine autophosphorylation dari reseptor insulin, yang
mengaktivasi reseptor dan selanjutnya phosphorylation dari intermediary proteins
(seperti insulin receptor substrate 1),22 hal ini sebaliknya akan mengaktivasi
mobilisasi dari glucose transporter proteins dan pengambilan glukosa ke dalam
sel.23 Penelitian pada wanita dengan PCOS memperlihatkan bahwa reseptor insulin
nya normal dan tidak ditemukan mutasi genetic. Dalam respon terhadap stimulasi
insulin, adipocytes dari wanita dengan PCOS juga mempunyai insulin binding yang
normal. Akan tetapi kegiatan seperti aktivasi glucose transporter proteins dan
pengambilan glukosa ke dalam sel ditemukan menurun, dan hal ini menunjukan
adanya kelainan pada tingkat postreceptor. Dunaif 23 dan Dunaif dkk24 menemukan
bahwa lebih kurang separuh dari wanita PCOS dengan obesitas mempunyai
kelainan pada autophosphorylation dari reseptor insulin. Pada wanita ini reseptor
insulin yang belum terstimulasi sudah mempunyai phosphorylation yang signifikan,
sehingga tidak terjadi phosphorylation ketika insulin terikat pada reseptornya.
Terdapat kemungkinan bahwa dasar phosphorylation yang tidak terstimulasi ini
terjadi pada serine residues dan terjadi penurunan tyrosine phosphorylation yang
normal.

2.2.2 Hiperinsulinemik Resistensi Insulin dan PCOS


Perjalanan pengobatan PCOS berawal dari observasi bahwa hampir semua wanita
dengan PCOS menderita resistensi insulin dan dengan kompensasi hiperinsuliemia
(hyperinsulinemic insulin resistance), dan dari bukti nyata menyimpulkan bahwa
peningkatan kadar insulin dalam sirkulasi menghambat terjadinya ovulasi.
Beberapa penelitian telah menyimpulkan patogenesa dari peranan hiperinsulinemia
terhadap penghambatan ovulasi pada PCOS. Pada wanita PCOS dengan obesitas
telah dibuktikan bahwa beratnya obesitas (begitu juga hiperinsulinemia) berkorelsi
langsung dengan kegagalan ovulasi dalam respon terhadap clomiphene, atau
memerlukan beberapa kali dan peningkatan dosis clomiphene yang
progresif.25 Dengan demikian pada wanita PCOS dengan obesitas, usaha untuk
menurunkan berat badan dengan diet dan olah raga dapat memperbaiki ovulasi. 26
Hal ini dengan sangat yakin di dokumentasikan dalam penelitian oleh Norman dkk,
yang menyatakan bahwa modifikasi gaya hidup yang dapat meningkatkan
sensitivitas insulin juga memberikan hasil dalam perbaikan ovulasi dan infertility
pada wanita PCOS yang obesitas. 26 Yang perlu dicatat, walaupun peningkatan
sensitivitas insulin tidak disertai oleh penurunan berat badan, tetapi terdapat
perbaikan ovulasi, hal ini yang membuktikan bahwa kunci utama pada PCOS
adalah pada resistensi insulin dari pada berat badan absolute. Sangatlah masuk akal
untuk merekomendasikan modifikasi gaya hidup, termasuk diet dan olah raga untuk
penurunan berat badan sebagai pengobatan lini pertama untuk semua wanita
obesitas dengan PCOS. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa dalam
kenyataannya banyak wanita obesitas dengan PCOS di Amerika Serikat tidak
menurunkan berat badannya, dan bila terdapat masalah fertilitas, mereka
mengharapkan untuk tidak menunda konsepsi walaupun untuk waktu yang singkat
untuk modifikasi gaya hidup. Lebih lagi, antara 10-30% dari wanita PCOS adalah
berbadan kurus, dan penurunan berat badan bukanlah opsi yang baik untuk wanita
ini. Untuk alasan ini, beberapa peneliti mengeksplorasi pemakaian obat insulin
sensitizing untuk memperbaiki sensitivitas insulin perifer dan menurunkan kadar
insulin plasma pada PCOS. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa obat ini efektif
dalam memperbaiki siklus menstruasi, ovulasi dan infertility pada wanita dengan
PCOS

2.2.3 Hiperinsulinemia dan Induksi Ovulasi


Fulghesu dkk27 mengevaluasi pengaruh kadar insulin terhadap respons ovarium
pada induksi ovulasi dengan follicle-stimulating hormone (FSH) pada 34 wanita
dengan PCOS. Mereka menyimpulkan bahwa pasien dengan hyperinsulinemic
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi ovarian hyperstimulation syndrome
(OHSS) dibandingkan dengan pasien yang normoinsulinemic. Dale dkk
mengevalusi korelasi antara metabolisme insulin dan luaran dari stimulasi
gonadotropin pada 42 pasien PCOS yang infertil yang resisten terhadap clomiphene
citrate (CC). Mereka menemukan 17 pasien dengan resistensi insulin memerlukan
penggunaan dosis gonadotropins yang lebih tinggi dan lebih lama untuk mencapai
pematangan folikel. Pada kelompok ini, 35% dari siklusnya dibatalkan disebabkan
oleh respons multifollikel dibandingkan dengan hanya 2.5% pada kelompok yang
tidak ada resistensi insulin. Lebih lagi, walaupun rerata ovulasi pada siklus yang
komplit adalah sama pada kedua kelompok, rerata konsepsi secara signifikan lebih
tinggi pada wanita yang tidak ada resistensi insulin. Hiperinsulinemia dan obesitas
berhubungan secara langsung dengan
kegagalan induksi ovulasi dengan CC, atau memerlukan dosis CC yang lebih tinggi
dan berulang. Sehingga, wanita dengan PCOS dan resistensi insulin yang berat
lebih cenderung untuk gagal dalam respons terhadap CC. 28 BMI (Body Mass Index)
adalah faktor penentu mayor pada resistensi insulin dan hiperinsulinemia.
Resistensi insulin jarang terjadi pada wanita dengan BMI < 22 kg/m 2, sering pada
wanita dengan BMI > 27 kg/m2 dan hampir selalu terjadi pada wanita dengan BMI
> 30 kg/m.26,29 Pada wanita yang obesitas, penurunan berat badan dapat menurunkan
androgen, LH dan kadar insulin dalam sirkulasi, sehingga dapat menginduksi
ovulasi dan juga memperbaiki rerata kehamilan.29 Kesulitan wanita yang obesitas
untuk menurunkan berat badan, ditambah dengan kenyataan bahwa 10-30% wanita
dengan PCOS adalah kurus, hal ini yang mendorong pemakaian obat insulin-
sensitizing untuk memperbaiki sensitivitas insulin perifer dan menurunkan kadar
plasma insulin.29

2.3 Metformin
Metformin (1,1-dimethylbiguanide hydrochloride) adalah obat golongan biguanide
yang dipergunakan sebagai anti hiperglikemik oral pada penderita diabetes mellitus
tipe 2. Kerja utamanya adalah menghambat produksi glukosa dari hepar, selain itu
metformin juga menghambatan pengambilan glukosa dari saluran pencernaan dan
meningkatkan sensitifitas insulin di jaringan perifer. Metformin juga menpunyai
efek anti lipolitik, menurunkan konsentrasi asam lemak bebas dalam sirkulasi darah
sehingga menyebabkan menurunnya gluconeogenesis. 30 Metformin mengaktifkan
adenosine monophosphate (AMP)-activated protein kinase pathway (AMPK) baik
secara in vitro maupun in vivo3 sehingga menyebabkan penurunan produksi glukosa
dan meningkatkan oksidasi asam lemak di dalam sel-sel hepar (hepatocytes), otot-
otot dan di dalam jaringan ovarium31

Metformin direkomendasikan didalam International Guidelines sebagai terapi


utama untuk diabetes mellitus tipe 2 karena mempunyai profil yang baik dalam
pengontrolan metabolisme glukosa. Akan tetapi sampai saat ini belum ditemukan
regimen dosis yang tetap sehingga dianjurkan untuk disesuaikan secara individu
dengan dasar efektifitas dan toleransi dan tidak melebihi dosis maksimal yang
direkomendasikan yaitu 2250 mg untuk dewasa dan 2000 mg untuk anak-anak
dalam sehari. Untuk menghindari efek samping dan meningkatkan toleransi,
pemberian metformin dianjurkan dimulai dari dosis yang kecil kemudian
ditingkatkan secara bertahap sampai mencapai dosis yang sesuai.
2.3.1 Metformin dan PCOS
Velazquez dkk32 pertama kali melaporkan penggunaan metformin sebagai obat
untuk PCOS, dan hasilnya membuktikan bahwa metformin memperbaiki
sensitivitas insulin, menurunkan kadar serum LH, total dan free testosterone dan
menyebabkan peningkatan kadar serum FSH dan SHBG pada wanita obesitas
dengan PCOS. Genazzani dkk33 memperlihatkan adanya modifikasi yang signifikan
pada sekresi spontan LH dan perbaikan fungsi reproductive axis setelah pemakaian
metformin pada wanita PCOS yang tidak obesitas.

Kolodziejczyk dkk34 mengobati 39 wanita dengan PCOS dan hiperinsulinemia


puasa dengan metformin, menemukan penurunan yang signifikan pada insulin
puasa dan total testosterone dan juga meningkatkan SHBG sehingga menurunkan
free testosterone index. Sebagai tambahan, juga ditemukan penurunan yang
signifikan pada mean BMI, waist-to-hip ratio, hirsutism, acne dan juga
memperbaiki siklus menstruasi. Tetapi tidak terdapat perubahan pada kadar LH
atau LH-to-FSH ratio. Penurunan testosterone dan free index nya yang paling tinggi
terjadi pada pasien dengan hiperandrogenemia yang berat.

Peranan metformin dalam memperbaiki induksi ovulasi pada wanita penderita


PCOS melalui beberapa cara meliputi menurunkan kadar insulin, merubah efek
insulin pada ovarium dalam pembentukan androgen, proliferasi sel-sel theca dan
pertumbuhan endometrium. Dan juga melalui efek langsung pada penghambatan
gluconeogenesis di ovarium sehingga menurunkan produksi androgen di ovarium.35
Attia dkk membuktikan adanya penghambatan pada produksi androgen pada sel
theca manusia. Yang juga penting, kerja metformin tidak menyebabkan
peningkatan sekresi insulin, sehingga tidak terjadi hipoglikemia. Dalam beberapa
penelitian juga dijumpai kemungkinan penurunan berat badan dengan pemakaian
metformin jangka panjang dan hal ini merupakan suatu keuntungan bagi PCOS.36,37

2.3.2 Ovulasi Spontan setelah Pengobatan dengan Metformin


Vrbikova dkk38 dalam suatu penelitian pada 24 pasien PCOS dengan menggunakan
metformin selama 6 bulan memperlihatkan perbaikan yang signifikan pada siklus
menstruasi pada 58% pasien. Baysal dkk 39 melakukan penelitian pada 50 wanita
PCOS dengan pemberian metformin selama 12 bulan menemukan penurunan mean
BMI secara signifikan dan perbaikan siklus menstruasi pada 60% kasus. Fleming
dkk40 melakukan suatu penelitian double blind placebo-controlled dengan penilaian
secara seksama pada aktivitas ovarium untuk mengevaluasi efek metformin pada
pasien PCOS, ternyata pada kelompok yang
diberikan metformin mempunyai rerata siklus ovulasi yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok placebo, dan secara signifikan lebih pendek waktu yang
diperlukan untuk mendapat ovulasi yang pertama, begitu juga terdapat penurunan
berat badan yang signifikan. Glueck dkk41 dalam penelitian terhadap 43 wanita
amenorrheic dengan PCOS melaporkan bahwa pemberian metformin dapat
mengembalikan siklus menses yang normal pada 91% kasus. Penelitian pada
remaja belasan tahun, Glueck dkk 42 mendeskripsikan pengalaman pemberian
kombinasi metformin dengan diet tinggi protein rendah karbohidrat, setelah 6 bulan
semua pasien dalam kelompok ini mempunyai kadar gula darah puasa dan
glycohemoglobin yang normal, 91% mempunyai siklus menses yang normal.

2.3.3 Metformin dan Induksi Ovulasi dengan Clomiphene Citrate (CC)


Walaupun CC merupakan obat utama untuk induksi ovulasi pada PCOS, wanita
obesitas dengan PCOS sering kurang respons terhadap CC. Hal ini mungkin
disebabkan oleh resistensi insulin dan bersamaan dengan hiperinsulinemia. Wanita
obesitas dengan PCOS sering memerlukan peningkatan dosis yang progresif dan
juga pemberian yang berulang dari CC untuk mencapai keberhasilan induksi
ovulasi, dan juga dosis CC berkorelasi secara langsung dengan derajat obesitasnya.
Metformin telah diuji pada wanita yang kurang respons terhadap CC. Pada suatu
Cochrane review43 yang menganalisa beberapa penelitian terhadap kombinasi antara
metformin dan CC pada PCOS menyimpulkan secara keseluruhan terjadi ovulasi
pada 76% wanita yang menggunakan metformin dan CC dibandingkan dengan 42%
yang hanya menggunakan CC. Dan yang penting adalah terdapat peningkatan rerata
kehamilan secara signifikan yaitu 4.4-fold pada kelompok metformin dan CC
dibandingkan dengan CC saja.

Dalam suatu penelitian prospektif pada wanita obesitas dengan PCOS, Nestler dkk
membandingkan metformin dan placebo selama pemberian dalam 35 hari. Bila
tidak terjadi ovulasi, diberikan lagi CC bersamaan dengan metformin atau placebo.
Ternyata dalam penelitian tersebut, terdapat perbaikan OGTT pada 19 dari 21
wanita (90%) di kelompok metformin dan hanya 2 dari 25 wanita (8%) di
kelompok placebo. Secara keseluruhan, ovulasi spontan ataupun yang respons
terhadap CC terjadi pada 31 dari 35 wanita (89%) yang diberikan pengobatan
dengan metformin dibandingkan dengan hanya 3 dari 26 wanita (12%) yang
diberikan placebo.
Dalam suatu meta-analysis, kombinasi antara metformin dan CC secara signifikan
memperbaiki rerata ovulasi dan kehamilan (OR 4.39 dan 2.67) apabila
dibandingkan dengan pemakaian CC saja. Hasil ini menyimpulkan bahwa
pemberian kombinasi (metformin dan CC) adalah pengobatan yang menjadi pilihan
pada wanita PCOS dengan resistensi CC. Dengan kata lain, wanita yang gagal
untuk ovulasi dengan CC mungkin akan mendapat manfaat bila ditambahkan
dengan metformin.

Walaupun penyebab resistensi ovulasi terhadap CC belum jelas diketahui, dapat di


hipotesakan bahwa pemberian metformin dapat memperbaiki induksi ovulasi pada
wanita yang resisten terhadap CC dikarenakan oleh perbaikan pada androgens,
gonadotropins dan insulin, melalui mekanisme yang tidak didapatkan dengan
pemberian CC saja. Sangatlah masuk akal diduga bahwa wanita dengan CC
resistance yang mendapat metformin menunjukan peningkatan respons terhadap CC
disebabkan oleh suatu pengaruh di dalam microenvironment dari folikel yang
disebabkan oleh pengaruh metformin terhadap insulin dan insulin growth factor
(IGF)-I didalam sel granulosa. Tosca dkk melaporkan bahwa didalam sel granulosa
sapi, metformin menurunkan steroidogenesis dan mitogen-activated protein kinase
(MAPK)3/MAPK1 phosphorylation melalui aktifasi AMPK. Pada suatu penelitian
yang dilakukan oleh Vandermolen dkk, terdapat perbaikan yang signifikan pada
rerata ovulasi dan kehamilan pada wanita PCOS dengan CC resistance yang diberi
pengobatan dengan metformin saja. Peneliti lain juga memperlihatkan perbaikan
rerata ovulasi dan kehamilan pada CC resistance yang diberi pengobatan dengan
kombinasi metformin dan CC dibandingkan dengan placebo dan CC. Kemampuan
metformin untuk mengembalikan respons terhadap CC pada wanita obesitas dengan
PCOS, dan juga rendahnya rerata terjadinya multiple pregnancy dan ovarian
hyperstimulation syndrome (OHSS) adalah merupakan keuntungan tambahan dari
pengobatan dengan metformin pada pasien dengan CC resistance.

2.4 Dosis dan Jangka Waktu Pemberian Metformin pada PCOS


Dosis dan jangka waktu yang optimal untuk pemberian metformin pada penderita
PCOS dengan insulin resisten sampai sekarang belum ditemukan suatu konsensus.
Beberapa peneliti memberi pengobatan 4 sampai 8 minggu dengan dosis 500 mg
tiga kali sehari sebagai pengobatan awal sebelum diberikan CC32,36, tetapi banyak
pasien yang merasa tidak nyaman dan sering menemukan efek samping dengan
pemberian 4 sampai 8 minggu tersebut, sehingga banyak yang tidak melanjutkan
pengobatan. Untuk mempersingkat waktu dan
meningkatkan kepatuhan dalam pengobatan, banyak peneliti mencoba pemberian
metformin yang lebih singkat. Hwu dkk36 memberikan metformin dengan dosis 500
mg tiga kali sehari untuk 12 hari sebelum dimulai pengobatan dengan CC. Pada
penelitian tersebut ovulasi ditemukan pada 42.5% dibandingkan hanya 12.5% pada
kelompok kontrol. Khorram dkk44 memberikan metformin 500 mg tiga kali sehari
dimulai dari hari pertama withdrawal bleeding (setelah pemberian medroxy-
progesterone acetate 10 mg perhari selama 10 hari) dan pemberian CC pada hari ke
lima sampai hari ke sembilan. Pada penelitian tersebut ditemukan 44% dan 31%
dibandingkan hanya 6.7% dan 0% pada kelompok kontrol yang ovulasi dan
keberhasilan untuk hamil.

2.5 Efek Samping Metformin


Metformin standar yang digunakan adalah metformin IR yang mana mempunyai
kekurangan dalam hal harus diberikan dalam dua atau tiga kali sehari dan
mempunyai resiko untuk merangsang terjadinya efek samping terutama pada
saluran pencernaan sehingga menimbulkan masalah dalam pencapaian dosis yang
optimal dan mengurangi kepatuhan penderita terhadap pengobatan.45

Banyak cara yang digunakan untuk mengatasi efek samping ini seperti dimulai dari
dosis yang kecil dan kemudian menaikan dosis obat secara bertahap, mengurangkan
frekuensi pemberian dengan pemakaian dosis yang lebih tinggi.

American Diabetes Association (ADA) dan European Society for the study of
Diabetes (EASD) dalam suatu konsensus bersama juga menyatakan adanya
kesulitan dalam pemberian metformin IR yang disebabkan oleh pemberian yang
memerlukan beberapa kali dan efek samping yang ditimbulkan sehingga dapat
mengurangi kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Selain menganjurkan
pemberian dengan cara tersebut diatas, dalam konsensus itu juga dianjurkan untuk
pemakaian metformin XR yang dapat diberikan satu kali sehari dengan efek
samping yang lebih minimal sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien
terhadap pengobatan.45
2.6 Metformin XR (Extended Released)
Metformin yang biasa digunakan adalah metformin bentuk konvensional yaitu
Immediate- release (IR) metformin dengan pemberian oral 2 sampai 3 kali sehari.
Selain pemberian yang
harus beberapa kali, metformin IR juga menimbulkan efek samping yang dapat
menyebabkan diberhentikannya pengobatan dengan metformin.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, Peter Timmins dkk 7 pada tahun 2002
memperkenalkan suatu bentuk controlled-release delivery system (GelShield
Diffusion System) yang dipakai pada formula XR dari metformin. Sistem ini
menggunakan pendekatan dua fase yang heterogen yang terdiri dari suatu inner
solid particulate phase dan outer solid continuous phase. Inner solid particulate
phase berisi granula tersendiri dari metformin-associated XR polymer, sedangkan
outer solid continuous phase terdiri dari XR polymer yang berbeda yang tidak
mengandung metformin, dimana granula atau partikel dari inner phase tersebar
didalamnya.

Setelah pemberian metformin XR, polymer dari outer solid phase akan mengalami
hidrasi dan menyebabkan perubahan tablet menjadi suatu gel-like mass. Perubahan
bentuk ini dapat membantu secara sementara untuk mencegah transit dari tablet
melalui pylorus (bila diberikan bersama makanan), sehingga secara efektif
memperpanjang masa penempatan didalam lambung.

Gambar 6. Metformin Extended Release


(Dikutip dari Timmins P)

Setelah pelepasan dari inner solid particulate phase, metformin tersebar melalui
outer phase dan siap untuk diserap. Rerata pelepasan dari metformin XR secara
signifikan lebih lambat
dibandingkan dengan metformin IR, hal ini dibuktikan secara in vitro dimana
metformin IR melepaskan 90 % kandungan obatnya dalam waktu 30 menit
sedangkan metformin XR melepaskannya dalam waktu lebih dari 10 jam. Karakter
ini mengindikasikan suatu kontrol yang baik dari pelepasan obat metformin XR
sehingga merendahkan potensial dari penumpukan obat. Bila diberikan bersamaan
dengan makan malam, GelShield Diffusion System dari metformin XR berkerja
seirama dengan fisiologi yang normal dari pengosongan saluran pencernaan yang
lambat pada malam hari yang menghasilkan suatu perpanjangan masa penyerapan
dari metformin sehingga dapat diberikan dengan dosis satu kali sehari.

Penyerapan metformin IR didalam saluran pencernaan dibatasi oleh


permeabilitasnya sehingga secara eksklusif penyerapan hanya terjadi didalam
saluran pencernaan bagian atas. Sehingga diperlukan pemberian beberapa kali
sehari untuk mencapai dosis yang efektif.

Setelah pemberian metformin IR, kadar puncak dalam plasma (cmax) akan dicapai dalam
2 sampai 3 jam (tmax) sedangkan pada metformin XR kadar puncak tersebut dicapai
dalam 7 jam. Akan tetapi hal ini tidak mengurangi penyerapan metformin XR seperti
yang ditunjukan dalam AUC yang sebanding dengan metformin IR.
Gambar 7. Rerata kadar plasma berbanding waktu pada pemberian metformin IR dan metformin XR
(Dikutip dari Timmins P)
Davidson J dkk46 dalam suatu penelitian membandingkan toleransi saluran
pencernaan terhadap metformin XR dan metformin IR, ternyata dalam penelitian
tersebut metformin XR menimbulkan efek samping terhadap saluran pencernaan
lebih sedikit dibandingkan dengan metformin IR. Hal ini mendukung penggunaan
metformin XR sebagai pengganti metformin IR. Dalam suatu review, Jabbour S
dkk47 menemukan pemakaian metformin XR memberikan pengontrolan glikemik
sama atau lebih baik dibandingkan dengan metformin IR dengan efek samping yang
lebih kecil. Walaupun dengan dosis kecil 500 mg sehari, metformin XR masih
efektif dalam memperbaiki resistensi insulin dan hiperinsulinemia.

You might also like