Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Introduction : Tuberculosis is the cause of 20% of the 1.6 million people living with HIV and HIV is the cause
of 25% of the 1.3 million TB deaths. Stop TB Partnership develop guidelines for implementing collaborative TB-
HIV compiled based on the level of HIV prevalence in Indonesia. Implementing collaborative TB-HIV in Ambon
began at 2015. The purpose of this research is to analyze the implementation of collaborative TB-HIV services
at Dr. M. Haulussy Hospital, Ambon. Method : Descriptive analytic methods with qualitative approaches. The
subject of the research was a collaborative ministry implementing TB-HIV in the Dr. M. Haulussy Ambon Hospital
with 5 informant triangulation. Data collection used indepth interview and analyzed using content analysis. Result
: The study showed the number of human resources in the implementation of the TB-HIV collaboration services
does not meet standards. Health workers on the second unit has another position at another unit, so health workers
have a duplicate work, because of the lack of health workers. Infastructure quite sufficient, just that there is some
damage to the TB diagnostic tool. The output of this ministry views of some indicators of success and the result
is already formed a working group on fasyankes, but the coordinator at the level of city and the province does not
yet exist. Joint planning is not implemented either at the level of health services, town or province, conducted only
monitoring and evaluation services that involve all health workers on both programs.
pada tahun 2015 dan meningkat tajam pada menggunakan sistem rujukan dari klinik TB
tahun 2016, menjadi 202 kasus baru. Dalam ke HIV, maupun sebaliknya dari klinik HIV
survei awal yang dilakukan oleh peneliti, petugas ke klinik TB. Pelayanan kolaborasi TB-HIV
Dinas Kesehatan Kota Ambon mengaku bahwa ini dijalankan secara bersama-sama. Jadi,
petugas kesehatan pada fasilitas pelayanan masing-masing petugas dalam tim HIV maupun
kesehatan belum sepenuhnya menjalankan TB tetap melakukan tugasnya sebagaimana
kegiatan kolaborasi TB-HIV. Hal ini dapat mestinya. Petugas kesehatan pada tim TB
dibuktikan dengan data pasien TB, dari 1414 maupun HIV telah dibentuk sesuai dengan
pasien TB yang datang ke unit DOTS, tahun standar yang ditetapkan, namun terjadi rangkap
2015 hanya 40 pasien yang melakukan tes HIV, jabatan sehingga beban kerja petugas kesehatan
dan pada triwulan pertama tahun 2016 menjadi semakin tinggi.
35 orang. Dari wawancara yang dilakukan “Tenaga ini ada strukturnya, bisa liat di
dikemukakan bahwa petugas kesehatan belum situ (menunjuk bagan di dinding). Ada 7 orang
serius dalam mencatat jumlah pasien kolaborasi kalau VCT tapi yang nomor 2 itu lagi lanjut
TB-HIV. Hal lain yang menjadi kendala juga sekolah. Kalau di ruangan ini cuma katong
adalah petugas kesehatan pada klinik HIV tidak 2 perawat sa ini. Kalau ada pertemuan atau
memberitahukan status HIV pasien kepada kegiatan baru semua kumpul disini. Karna
petugas kesehatan di klinik TB maupun petugas katong kan samua nih rangkap jabatan karna
kesehatan pada klinik lainnya. Mereka masih seng ada orang”. (PV, 46 thn)
menganggap bahwa data atau status kesehatan
pasien HIV merupakan rahasia yang hanya bisa
diketahui oleh petugas pada klinik HIV. Tujuan
penelitian ini adalah menganalisis pelaksanaan
pelayanan kolaborasi TB-HIV di RSUD Dr. M.
Haulussy Ambon.(2)
dari WHO ataupun dari organisasi di luar Untuk koordinator pada tingkat kota,
Kota Ambon saja. Hal ini dapat dilihat lewat kegiatan kolaborasi TB-HIV dilaksanakan
pernyataan informan berikut dan diawasi oleh pemegang program TB dan
“Monitoring, yang lakukan biasanya dari pemegang program HIV pada Dinas Kesehatan
dinas kesehatan kota, tapi yang beta lihat itu Kota Ambon. Tingginya beban kerja pada
yang pertama kalau ada mau kunjungan dari program TB dan HIV, membuat informan
luar misalnya dari WHO. Tapi berapa kali juga kesulitan dalam mengemban tugas ini. Sehingga
itu b liat dorang datang juga. Dorang ambel alternatif penunjukan koordinator kolaborasi
laporan. Kalau monev itu sendiri, itu nanti TB-HIV di tingkat kota sangat diharapkan,
dipanggil, jadi ada acara. Jadi klinik-klinik HIV agar nantinya pelayanan ini dapat dilaksanakan
dari yang puskesmas dan RS nanti dipanggil. dengan baik dan terfokus pada pengendalian
Ada 2 kan monev, monev yang kota, dan yang kedua penyakit ini.
kementerian punya. Tiap tahun bulan juni atau Ketenagaan dalam program pengendalian
juli itu di pusat. Kalau di kota kalau tidak salah TB dan HIV memiliki standar dalam hal
1 tahun 2 kali k. tapi lebih dari 1x. ”(KV). jumlah dan jenis tenaga yang diperlukan untuk
Indikator keberhasilan kegiatan TB- melaksanakan kegiatan program tersebut.
HIV menurut informan triangulasi mengatakan Dalam pelaksanaannya sangat tergantung
bahwa dalam pelayanan ini pasien TB yang pada ketersediaan SDM di Fasyankes
discreening HIV harus sebanyak-banyaknya, pelaksana tersebut. Oleh karena itu, dalam
dan pasien TB yang positif HIV harus 100% kegiatan kolaborasi TB-HIV tidak selalu
mendapat ARV. Pada program pengendalian harus menambah tenaga baru tetapi dapat
TB yaitu Case Notification Rate (CNR) dan memanfaatkan ketenagaan yang sudah ada.
success Rate (SR). Untuk CNR sendiri menurut Pelaksana kegiatan kolaborasi TB-HIV melekat
informan sudah mengalami peningkatan, pada masing-masing program di setiap tingkat
sedangkan untuk SR, masih dibawah target administrasi.(5)
90% dan pasien TB-HIV yang pengobatan TB- Sarana dan prasarana yang tersedia sudah
nya sembuh sudah termasuk dalam indikator ini. cukup memadai, namun terkendala pada keadaan
Sedangkan untuk klinik HIV sendiri, indicator dan kecukupan sarana dan prasarana dalam
keberhasilan kegiatan kolaborasi TB-HIV dilihat pelaksanaan kegiatan pelayanan kolaborasi TB-
dari jumlah ODHA yang discreening TB dan HIV. RSUD Dr. M. Haulussy Ambon. Dalam hal
jumlah ODHA yang mendapat pengobatan TB. akses terhadap obat-obatan dan bahan diagnostic
lainnya, sering mengalami kendala. Hal ini tentu
PEMBAHASAN membuat pasien harus mengeluarkan biaya lagi,
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui dan berpindah dari satu layanan ke layanan lain.
bahwa pelayanan kolaborasi TB-HIV dijalankan Pelayanan seperti ini tentunya tidak efektif,
di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon dengan mengingat kondisi pasien yang sedang sakit,
menggunakan sistem pararel, dimana Tim TB namun harus berpindah-pindah hanya untuk
dan Tim HIV bekerjasama dalam melaksanakan melakukan pengobatan.
kegiatan kolaborasi TB-HIV. Petugas kesehatan Pemegang program pada tingkat kota
pada klinik TB maupun HIV yang yang ditunjuk biasanya membuat permintaan ke pusat.
dengan SK penunjukan Tim TB maupun HIV Permintaan ini dilakukan setiap 3 bulan sekali
sudah sesuai dengan standar yang berlaku, atau triwulan bersamaan dengan laporan TB
hanya saja petugas yang nama-namanya 13. TB 13 merupakan laporan tentang jumlah
tercantum pada klinik ini melakukan pelayanan pemakaian dan sisa stok obat. Namun obat yang
rangkap, dimana petugas kesehatan tersebut diberikan, selalu tidak sesuai dengan permintaan
memiliki tanggung jawab pada klinik atau obat dari Dinas Kesehatan Kota. Hal inilah yang
bidang lain di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon. membuat distribusi obat ke fasilitas pelayanan
Rangkap jabatan ini terjadi karena keterbatasan kesehatan sedikit terhambat.
petugas kesehatan. Informan pun mengakui Sarana dan prasarana dalam kegiatan
bahwa petugas kesehatan yang nama-namanya kolaborasi TB-HIV dibagi menjadi 2 bagian.
tercantum pada SK akan berkumpul jika ada Yakni sarana prasarana pada program TB dan
pertemuan-pertemuan penting terkait pelayanan sarana prasarana pada program HIV. Sarana
TB-HIV. dan prasarana yang dimaksud adalah Sarana/
9
Pasapua Health Journal, 1(1), 6-13
Prasarana Obat Program : OAT, Alat dan bahan TB dan program HIV AIDS harus mencakup
diagnostic : Sarana pemeriksaan mikroskopis kolaborasi TB-HIV dengan mempertimbangkan
dahak, biakan dan uji kepekaan, layanan foto tingkat epidemi HIV di daerah tersebut.
thorax, pencatatan dan pelaporan : Formulir Perencanaan disusun secara berjenjang dimulai
TB 01, 02, 03, 04, 05, 06, 09, 10, formulir dari tingkat Kabupaten/Kota berdasarkan
rujukan kolaborasi TB-HIV, formulir penilaian kebutuhan dengan mempertimbangkan
factor risiko HIV, formulir laporan 17 variabel kemampuan sumber daya dan kondisi spesifik
kolaborasi TB-HIV, KIE : Poster, leaflet dan wilayah. Perencanaan strategis ini menjelaskan
lembar balik. Sarana/Prasarana Program HIV tujuan, target, kegiatan, pembiayaan, monitoring
AIDS : ARV, Kotrimoksasol dan beberapa dan evaluasi serta tugas dan tanggung jawab
obat IO yang lain, Alat dan bahan diagnostic masing-masing unsur. Perencanaan strategis
: sarana pemeriksaan Rapid test HIV, ELISA, ini merupakan rujukan dalam menyusun
Flowcytometer (untuk pemeriksaan CD4), PCR rencana tahunan masing-masing program yang
unit (untuk pemeriksaan PCR-RNA HIV/Viral diimplementasikan secara terpadu.(7)
Load), Pencatatan dan pelaporan : Ikhtisar Kolaborasi TB-HIV di tingkat Fasyankes
perawatan HIV & ART, Register ART, Laporan bertujuan untuk menjamin kesinambungan
Bulanan Perawatan HIV & ART, Formulir perawatan pasien yang berkualitas, yang pada
VCT, Formulir PITC, Formulir skrining gejala akhirnya akan mengurangi angka kesakitan
dan tanda TB, Buku bantu kolaborasi TB-HIV, dan kematian akibat infeksi ganda dan masalah
Formulir laporan 17 variabel kolaborasi TB- resistensi obat.1
HIV, bahan KIE : Poster, leaflet dan lembar Ada dua pilihan bentuk model layanan
balik.(6) kolaborasi TB-HIV yang dapat diterapkan,
Hal ini sejalan dengan penelitian yang yaitu: Model Layanan Paralel yaitu layanan TB
dilakukan oleh Cimatira dan Raymond (2011) dan layanan HIV yang berdiri sendiri-sendiri
yang menyatakan bahwa penelitian yang di Fasyankes yang sama atau berbeda. Masing-
dilakukan tetang integrating TB/HIV service masing layanan melaksanakan kolaborasi
in Tsandi District Hospital, Namibia : (1) melalui system rujukan yang disepakati dan
poor communication and weak referrals links Model Layanan Terintegrasi yaitu layanan TB
between services; (2) inadequate infrastructure dan layanan HIV terpadu dalam satu unit di satu
to encourage and deliver TB and HIV care; Fasyankes.
(3) staff shortages and high workload; (4) Pelaksanaan pelayanan kolaborasi TB-
lack of training and skills among healthcare HIV yang diterapkan di RSUD Dr. M. Haulussy
workers; (5) financial constraints and other Ambon yaitu dengan model layanan pararel,
socioeconomic challenges; and (6) fragmented dimana layanan TB dan HIV berdiri sendiri-
recording and reporting systems with limited sendiri, dan melakukan kolaborasi melalui
data use to improve service delivery.(7) system rujukan. Pelaksanaan pelayanan
Perencanaan bersama kegiatan kolaborasi kolaborasi TB-HIV menurut informan utama
TB-HIV memang tidak dilaksanakan pada pada klinik TB, dikatakan bahwa pasien
fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas yang datang ke klinik TB wajib dianjurkan
dan Rumah Sakit, sebab pelayanan kolaborasi untuk mengikuti tes HIV. Pasien yang dikirim
TB-HIV merupakan program kesehatan yang dari klinik TB ke HIV maupun sebaliknya
dicover langsung oleh Dinas Kesehatan Provinsi menyertakan blanko rujukan pasien. Apabila
dan Dinas Kesehatan Kota, sehingga hampir hasil tes reaktif maka maka pasien langsung
tidak ada yang diusahakan sendiri dari fasilitas dirujuk ke klinik HIV. Secara garis besar,
pelayanan kesehatan. alur pelayanan kolaborasi yang dijalankan di
Perencanaan Bersama TB-HIV RSUD Dr. M. Haulussy Ambon sudah benar,
adalah perencanaan secara bersama-sama hanya saja ada beberapa persayaratan seperti
dengan melibatkan unsur-unsur terkait yang blanko rujukan dan beberapa data yang tidak
dilaksanakan secara periodik pada setiap ada dalam pelaksanaan pelayanan ini. Dalam
tingkat. Program TB dan Program HIV AIDS pelaksanaannya pun, sangat jarang pasien TB
telah menyiapkan perencanaan sesuai dengan menerima tawaran untuk melakukan tes HIV,
bidangnya sebelum melakukan perencanaan dengan alasan belum siap untuk dites. Untuk
bersama TB-HIV. Dalam Perencanaan program itu akan lebih baik apabila RS mengembangkan
10
Pasapua Health Journal, 1(1), 6-13
Angka Konversi, Angka Kesembuhan dan RSUD Dr. M. Haulussy Ambon dijalankan oleh
Angka Keberhasilan Pengobatan TB.(5) tim klinik TB dan klinik HIV. Berdasarkan SK
Berdasarkan indicator keberhasilan yang ditetapkan, kedua tim sudah memenuhi
tersebut, maka hasil penelitian menunjukan standar ketenagaan yang berlaku, namun terjadi
bahwa pembentukan kelompok kerja/forum rangkap jabatan sehingga beban kerja petugas
komunikasi kegiatan kolaborasi TB-HIV sudah kesehatan meningkat. Sarana-prasarana dalam
berjalan pada beberapa fasilitas pelayanan pelayanan kolaborasi TB-HIV ini sudah cukup
kesehatan. Di kota Ambon sendiri, pelaksanaan memadai. Namun beberapa alat penunjang yang
kegiatan kolaborasi TB-HIV pada akhir tahun mengalami kerusakan sehingga tidak dapat
2015 melibatkan 3 rumah sakit sebagai klinik dipergunakan dalam pelayanan ini. Disamping
VCT. Saat ini terdapat 11 Puskesmas Klinik itu, ketersediaan logistic seperti obat-obatan
IMS di Kota Ambon, yakni Puskesmas Passo, dan bahan diagnostic menjadi hambatan dalam
Puskesmas Hative Kecil, Puskesmas Rijali, pelaksanaan pelayanan ini. Dalam Proses
Puskesmas Karang Panjang, Puskesmas Ch. Pelayanan Kolaborasi TB-HIV, perencanaan
M. Tiahahu, Puskesmas Waehaong, Puskesmas bersama TB-HIV di tingkat kota, maupun
Air Salobar, Puskesmas Benteng, Puskesmas provinsi belum berjalan dengan maksimal.
Amahusu dan Puskesmas Air Besar. Selain Kegiatan yang sering dilakukan adalah kegiatan
Puskesmas, masyarakat juga dapat melakukan monitoring dan evaluasi pada tingkat kota
tes HIV di pada klinik VCT yang terdapat di maupun tingkat provinsi. Perencanaan TB-
RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, RS Sumber HIV tidak dilaksanakan oleh RSUD Dr. M.
Hidup, RS Al-Fatah dan BKPM Maluku. Haulussy Ambon sebab program ini tercover
Penurunan beban TB pada ODHA oleh Dinas Kesehatan Provinsi maupun Kota
berdasarkan data yang diperoleh 6 bulan Ambon. Pelaksanaan pelayanan kolaborasi
terakhir, menunjukan bahwa proporsi ODHA TB-HIV di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon
yang mengunjungi klinik PDP yang dikaji status dilaksanakan dengan menggunakan model
TB-nya sebanyak 97%, proporsi ODHA yang layanan pararel, dimana pelaksanaan kolaborasi
mendapatkan pengobatan TB diantara diantara TB-HIV dilaksanakan pada masing-masing unit
ODHA yang telah didiagnosis sebesar 71% pelayanan dengan menggunakan system rujukan.
sedangkan penurunan beban HIV pada pasien Setiap pasien TB yang datang wajib dianjurkan
TB dapat dilihat melalui indicator proporsi untuk mengikuti tes HIV, dan setiap ODHA
pasien TB yang dites HIV sebesar 30%, proporsi yang melakukan kontrol harus tetap discreening
pasien TB yang dites HIV dan hasilnya tercatat TB. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan pada
dalam register TB sebesar 100%. tingkat kota dan provinsi. Monitoring dilakukan
Berdasarkan angka proporsi tersebut setiap 3 bulan sekali atau 6 bulan sekali, sesuai
maka dapat dikatakan bahwa pelayanan yang dengan dana yang tersedia. Pelaksanaan
dilakukan belum berjalan dengan baik, sebab ada kegiatan monev ini diikuti oleh petugas
beberapa indicator yang tidak tercapai 100%. pelaksana pada klinik TB maupun HIV pada
Seperti hambatan sarana dan prasarana termasuk semua fasilitas pelayanan kesehatan. Output
obat dan bahan diagnosis dalam pelayanan TB- Pelayanan Kolaborasi TB-HIV yang didapatkan
HIV serta pencapaian keberhasilan penurunan pembentukan tim kolaborasi pada semua tingkat
beban HIV pada pasien TB dan penurunan pelayanan, namun pembentukan tim ini belum
beban TB pada ODHA. dijalankan. Koordninator kolaborasi TB-
HIV belum dibentuk di tingkat kota maupun
KESIMPULAN DAN SARAN provinsi. Penurunan beban HIV pada pasien TB
Pelayanan kolaborasi TB-HIV di RSUD dan penurunan beban TB pada ODHA, apabila
Dr. M. Haulussy Ambon sudah berlangsung dilihat dari proporsi pasien TB yang ditawari
sejak akhir tahun 2015 dengan menggunakan melakukan tes HIV dan ODHA yang discreening
model layanan pararel Pelaksanaan pelayanan TB, belum mencapai 100%. Disarankan agar
ini sudah berjalan dengan cukup baik, namun penelitian-penelitian terbaru terkait TB-HIV
tidak terlepas dari beberapa hambatan yang termasuk metode diagnostik TB secara cepat
mempengaruhi pelaksanaan pelayanan pada ODHA dan diagnostic HIV pada pasien
kolaborasi TB-HIV di RSUD Dr. M. Haulussy TB lebih ditingkatkan sehingga penjaringan
Ambon. Pelayanan kolaborasi TB-HIV di pasien HIV dan TB dapat dilaksanakan dengan
12
Pasapua Health Journal, 1(1), 6-13
cepat dan praktis. Dinas Kesehatan agar dapat berjalan dengan baik. Perlu adanya pelaksanaan
menjalankan kegiatan perencanaan bersama kegiatan monitoring dan evaluasi di tingkat
TB-HIV sehingga pelayanan kolaborasi TB-HIV fasyankes yang melibatkan unit TB maupun
yang dijalankan pada fasyankes terarah. Dinas HIV, agar masalah-masalah terkait pelayanan
Kesehatan diharapkan dapat memonitoring ini dapat diselesaikan dengan pertimbangan oleh
dan mengevaluasi kegiatan kolaborasi TB- kedua unit pelayanan. Perlu mengintegrasikan
HIV dengan menggunakan indicator yang pelaksanaan pengendalian infeksi TB kedalam
baku dengan memanfaatkan pencatatan dan pengendalian infeksi secara umum di Rumah
pelaporan rutin TB-HIV. Untuk mengurangi Sakit, dengan melaksanakan screening TB rutin
beban kerja, sebaiknya dinas kesehatan pada petugas unit TB maupun HIV, pengaturan
menunjuk seorang koordinator dan kelompok ruang tunggu pada pasien, dan penggunaan APD
kerja TB-HIV sebagai badan koordinasi di dalam pencegahan infeksi TB.
tingkat kota maupun provinsi, agar pelaksanaan
pelayanan ini dapat berjalan dengan maksimal DAFTAR PUSTAKA
karena terfokus pada satu masalah. Bagi 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012.
RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, perlu adanya Pedoman Manajemen Pelaksanaan Kolaborasi
TB-HIV di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal
penambahan tenaga pada kegiatan kolaborasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
TB-HIV sehingga pelayanan boleh berjalan 2. Ambon DKK. 2016. Laporan Tahunan Dinas
secara maksimal, dan mengurangi beban kerja Kesehatan Kota Ambon. Ambon.
petugas kesehatan. Sarana-prasarana penunjang 3. Moleong L. Metode Penelitian Kualitatif. 2016
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya;
pelayanan kolaborasi TB-HIV seperti layanan
4. Sugiono. 2013. Metode Penelitian Kombinasi (Mix
foto thorax agar segera diperbaiki, sehingga Method). Bandung: Alfabeta.
pasien dapat memanfaatkan fasilitas yang ada 5. Depkes RI. 2007. Kebijakan Nasional Kolaborasi TB-
di rumah sakit, tanpa harus mengeluarkan biaya HIV di Indonesia. In: Stop TB Partnership. Jakarta;
tambahan untuk perawatan dan pengobatan di 6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016.
Kebijakan dan Program TB-HIV di Indonesia. Jakarta:
luar. Pelayanan kolaborasi TB-HIV di RSUD Kementerian Kesehatan RI.
Dr. M. Haulussy Ambon lebih baik apabila 7. Chimatira R. Challenges. 2015. Barriers and
menggunakan model layanan terintegrasi, Opportunities in integrating TB/HIV Services in Tsandi
sehingga pasien TB yang harus ditawarkan tes District Hospital, Namibia. Univ West Cape.
8. Linguissi LSG. 2016. Health Systems in The
HIV dan ODHA yang harus discreening TB tidak
Republic of Congo: Challenges and Opportunities for
terlepas dari follow up petugas kesehatan dan Implementing Tuberculosis and HIV Collaborative
pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV dapat Service, Research, and Training Activities. Elsevier.
13