You are on page 1of 6

Jurnal Populika

Volume 8, Nomer 1, Januari 2020

SOCIAL CLIMBER IDENTITY AND MEMORY : POTRET DIRI SEBAGAI


OBJEKTIVITAS HIPERREALITAS KEHIDUPAN DAN DEGRADASI MEMORI

Nurfian Yudhistira
fianyudhistira@amikom.ac.id
Fakultas Ekonomi dan Sosial, Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas
AMIKOM Yogyakarta

Abstract

This study examines the development of photographic technology that facilitates the
development of the phenomenon of social climbing by highlighting the hyperreality of social
media, thereby resulting in the emergence of a new identity for social climbers. Photography
technology has evolved over time. Digital technology has created instant technology that makes
it easy for camera users to operate cameras with automatic adjustment features, therefore the
technology industry is constantly looking for ways to develop and make smartphones.
Smartphones integrate image and communication technology into one device, making it easier
for users to communicate. This smart phone supports online access to social media because of its
features that can be connected to the internet. So anyone can share their photography using this
tool and also social media. social media makes it easy for everyone to access information
including personal activities that are shared, so that phenomena that are often referred to as
social climbing phenomena are phenomena marked by social media users who are competing to
improve their social status on online social media. The phenomenon of social climbing makes
someone create a new identity for themselves on social media. Creating a life that is exaggerated
from its original reality or also called hyperreality. This study aims to provide education related
to the use of photography and social media, so that people do not fall into the phenomenon of
false identities in social media.

Keywords: photography technology, the phenomenon of social media trends, social media,
hyperreality

PENDAHULUAN fotografi pertama kali dikenalkan oleh


Perkembangan teknologi fotografi AlHazen, AlHazen mempopulerkan kamera
bermula dari beralihnya fungsi litografi Obscura pada abad ke-11. Sejak kamera
dengan media dan metode baru. sesuai yang Obscura dipopulerkan, fotografi menjadi
dikatakan oleh Walter Benjamin dalam ramai digemari dan banyak dikembangkan.
sebuah tulisannya yang berjudul “The World Pada era kerajaan Yunani, fotografi potret
of Art in The Age of Mechanical mulai diperdagangkan dalam bentuk dewa-
Reproduction” (1935) yang membahas dewa yang disembah, hingga potret untuk
tentang makna reproduksi. Dalam tulisannya mempermudah pelukis agar tidak memajang
membahas tentang mekanisme modelnya berlama-lama, sehingga produk
perkembangan fotografi dan juga degradasi potret ini menjadi sebuah tradisi. Berikut
makna tentang seni. Lebih lanjut adalah gambar sebagian perkembangan
perkembangan fotografi semakin meluas. teknologi kamera:
Darmawan (2002) mengatakan praktek

34
Jurnal Populika, Volume 8, Nomer 1, Januari 2020

tren cara ngopi atau nongkrong, lifestyle,


pola hidup remaja, tata bicara, bahasa,
hingga perilaku keseharian

METODE
Penelitian ini membutuhkan metode untuk
memperoleh hasil yang valid. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif, untuk mengumpulkan data
lebih dalam dari narasumber terkait. Peneliti
menjadi instrumen penelitian itu sendiri.
Metode ini digunakan unutk
menggambarkan aktivitas social climber
pada media sosial yang mengunggah gambar
dengan unsur hiperrealitas untuk menarik
penyimak sosial media milik mereka.
Gambar 1. Perkembangan kamera
Penelitian kualitatif menurut Lincoln dalam
Sumber : Kompas.com
Neuman (2003: 72) adalah penelitian yang
menekankan pada proses dan pemaknaan
Gambar di atas menunjukkan bahwa
atas realitas sosial yang tidak diuji atau
perkembangan teknologi fotografi sangat
diukur secara ketat dari segi kuantitas,
signifikan, metamorfosa kamera juga
ataupun frekuensi
berakibat pada metamorfosa teknologi,
seperti halnya yang kita rasakan saat ini
HASIL DAN PEMBAHASAN
teknologi fotografi sangat memudahkan
Industri Fotografi dan Perubahan
penggunanya untuk menciptakan gambar
Perilaku
seperti yang diharapkan. Kemudahan
Fotografi memiliki dua fungsi,
teknologi fotografi juga mendorong
pertama sebagai media untuk merekam
perubahan perilaku manusia pengguna
kenyataan dan kedua sebagai medium
fotografi, menurut purwati (2015) dalam
ekspresi artistik. Secara kodratnya sebagai
penelitian skripsinya mengatakan bahwa
alat perekam, fotografi memiliki hubungan
fenomena yang saat ini sangat marak terjadi
yang dekat dengan keseharian dan
di masyarakat adalah fenomena
perkembangan kehidupan sosial budaya
pendokumentasian kegiatan sehari-hari lalu
dalam masyarakat. Ia memperlihatkan
membagikannya pada media sosial, media
kehidupan urban atau pedesaan, kehidupan
daring membuat semua orang mudah untuk
secara alami, modernitas, wajah orang-
mengakses informasi termasuk seperti
orang, lanskap, kultur, fashion,
kegiatan personal yang dibagikan tersebut,
kegembiraan, keindahan lingkungan,
sehingga muncul sebuah fenomena yang
kesedihan, kehancuran, perang dan
kerap disebut dengan fenomena panjat sosial
perubahan dalam masyarakat (Alwi, 2004).
(Social Climber) yakni sebuah fenomena
Teknologi fotografi berkembang seiring
yang ditandai dengan para pengguna daring
masa, mulai dari teknologi kamera analog
media sosial berlomba-lomba menaikkan
hingga teknologi digital kamera handphone.
status sosial mereka pada daring media
Teknologi digital menciptakan teknologi
sosial. Fenomena ini mempengaruhi banyak
instan yang mempermudah pengguna
aspek dalam kehidupan para pemuda yang
kamera untuk mengoperasikan kamera
mengikuti trend fenomena tersebut. Seperti

35
Nurfian Yudhistira, Social Climber Identity And Memory……

dengan fitur pengaturan otomatis, sehingga smartphone yang mereka gunakan di


pengguna kamera tidak diwajibkan untuk kehidupan sehari-hari.
belajar teknik fotografi. Dengan kata lain Menurut Jean Baudrillard dalam
pengguna kamera dapat membuat gambar bukunya simulacra and simulations (2002),
seperti yang mereka inginkan tanpa harus hiperrealitas adalah konsep konstruksi
belajar dasar-dasar pengoperasian kamera. sebuah realitas baru dengan menggunakan
Tidak hanya itu, industri-industri teknologi simbol-simbol untuk memanipulasi realitas
terus menggali cara dalam pengembangan aslinya dengan melampaui realitas asli.
tersebut dan membuat smartphone. Sosial media dalam hal ini merupakan
Smartphone mengintegrasi teknologi image tempat terjadinya proses simulasi
yaitu dengan mengelaborasi teknologi image berlangsung. Manusia didalam pascamodern
dan teknologi komunikasi menjadi satu ini menjadikan sosial media sebagai acuan
perangkat, sehingga memudahkan dari kehidupan nyata. Sehingga apa yang
penggunanya dalam berkomunikasi. Dalam ada pada social media dianggap sebagai hal
smartphone ini mendukung akses daring yang nyata. Hiperrealitas menghadirkan
media sosial karena fiturnya yang dapat representasi sebuah kenyataan yang
terhubung dengan internet. Sehingga kebenarannya tidak dapat dipisahkan dengan
siapapun dapat membagikan hasil fotografi rekayasa, berisi sebuah pesan yang
menggunakan perangkat ini dan juga daring menyampaikan kesan hiperbola terhadap
media sosial. realitas yang ada. Hiperrealitas menjadikan
dunia riil atau nyata berkolaborasi dengan
Perkembangan media sosial yang dunia fantasi. Hiperrealitas membuat orang
terus diakses oleh penduduk Indonesia akhirnya terjebak pada simulacra, dan bukan
akhirnya memunculkan fenomena sosial pada sesuatu yang nyata. Dalam konteks ini
tersendiri yang disebut dengan cyberculture. akan membicarakan tentang hiperrealitas
Arti cyberculture secara harfiah dapat yang ada di media sosial yang berkaitan
diterjemahkan sebagai budaya cyber. dengan kamera, hiperrealitas dalam konteks
Dengan kata lain cyberculture adalah segala gambar atau video. Tren mengunggah foto
budaya yang telah atau sedang muncul dari mulai menjamur, salah satunya adalah foto
penggunaan jaringan komputer untuk makanan. Tren mengunggah foto makanan
komunikasi, hiburan, dan bisnis. ini mulai muncul beberapa tahun
Cyberculture juga mencakup tentang studi belakangan. Akhir-akhir ini jika berkunjung
berbagai fenomena sosial yang berkaitan ke suatu tempat makan, pemandangan
dengan internet dan bentuk-bentuk baru sekelompok orang yang memfoto makanan
komunikasi jaringan lainnya seperti pesanannya sebelum dimakan tentu tidak
komunitas online, game multiplayer online, asing lagi. Tidak ketinggalan, foto tersebut
jejaring sosial, texting, dan segala hal yang langsung diunggah ke media sosial dan
berkaitan dengan identitas, privasi, dan menunggu respon kekaguman dari dunia
pembentukan jaringan (Bell, 2001). Di maya. Tak jarang, ada juga orang yang
dalam cyberculture terdapat interaksi antara meluangkan waktu dan biaya untuk pergi ke
manusia yang satu dengan manusia yang restaurant mahal dan memesan makanan
lain khususnya dalam hal komunikasi dalam istimewa demi ikut serta dalam tren ini
aspek visual. Cyberspace memberi ruang (Fitria, 2015: 88). Terjadi perubahan
yang bebas bagi tiap individu untuk pandangan, makanan yang tadinya untuk
melakukan tindakan apa pun. Hal ini dapat mengisi perut kini menjadi tanda (Sarup,
dilihat dalam masyarakat urban yang
memiliki kecanggihan teknologi dalam

36
Jurnal Populika, Volume 8, Nomer 1, Januari 2020

2003: 287) yang ingin diperlihatkan kepada terbaik hiperrealitas, karena dapat
publik di media sosial. merepresentasikan hiperrealitas menjadi
realitas palsu (Sarup, 2003: 293). Simulasi
Kehidupan sosial kerap sekali membunuh makna secara absolut dan
dihadirkan dalam bentuk image yang memunculkan suatu kondisi hiperrealitas
kemudian disajikan pada media sosial (Baudrillard dalam Ritzer, 2003: 162-163).
dengan berbagai keterangan. Mereka Simulasi membuat realitas menjadi kabur.
mendokumentasikan kehidupan mereka Oleh karena itu telah terjadi pengaburan
dengan mengunggahnya di media sosial kelas, dimana tidak adanya kejelasan dari
dalam bentuk budaya selfie. Budaya swafoto kelas sosial yang dimunculkan di media
atau selfie telah menjamur, setiap orang sosial. Media sosial saat ini tidaklah lagi
yang memiliki smartphone dapat melakukan menampilkan realitas yang sebenarnya,
kegiatan swafoto. Selfie adalah singkatan namun menampilkan hiperrealitas (Ritzer,
dari self portrait, yang artinya foto yang 2003: 163). Citra atau realitas buatan yang
diambil dari kamera handphone atau kamera dibangun oleh media sosial berhasil
digital oleh orang itu sendiri. Mereka yang menutupi realitas yang sebenarnya dan
suka selfie ini menyebarkan hasil dari foto membentuk hiperrealitas. Media sosial saat
mereka ke media sosial, seperti Facebook, saat ini melakukan simulasi, manipulasi,
Twitter, dan instagram. Karena memang saat rekayasa dan mengubah bentuknya sendiri
ini, media sosial banyak menyediakan menjadi pesan itu sendiri.
media/aplikasi yang memang menggaet
masyarakat untuk menyukai selfie dan Fenomena panjat sosial (Social Climber)
narsis. Selfie biasanya digunakan untuk dan Degradasi memori
mengambil pose kasual dengan
Menurut Pradhana (2019) Panjat
menggunakan kamera yang diarahkan pada
Sosial atau bisa disebut dengan Social
diri sendiri. Selfie juga digunakan sebagai
Climbing yakni sebuah istilah yang
sebuah ajang dalam konteks aktualisasi diri
menyatakan perbuatan seseorang yang
secara visual, hal ini menunjukan bagaimana
memanfaatkan orang lain, barang, ataupun
seseorang dapat menunjukkan eksistensi
peristiwa untuk mendapatkan perhatian,
dirinya melalui visual. Bahkan demi
memperoleh keuntungan tertentu, ataupun
mendukung eksistensi ini, perusahaan
meningkatkan status sosial. Fenomena ini
smartphone menciptakan fitur filter kamera
yang berfungsi untuk menambah estetika terjadi sebagai sebuah self presenting
pada visual pengguna kamera dengan menggunakan alat dokumentasi dan
smartphonenya, hal ini membantu juga media sosial, media sosial yang ramai
merealisasikan keinginan mereka yang digunakan unutk panjat sosial adalah
belum terpenuhi dan membuat seseorang instagram dan facebook. Menurut Goffman
menjadi lebih percaya diri dalam (1959) Self Presenting atau presentasi diri
menampilkan visualisasi diri mereka. sering juga disebut sebagai manajemen
Sehingga pada saat ini orang akan melihat impresi (impression management)
fitur kamera apa saja yang ditawarkan oleh merupakan sebuah tindakan menampilkan
smartphone yang akan dipilihnya. Dari diri yang dilakukan oleh setiap individu
adanya budaya selfie, konsep hiperrealis ini untuk mencapai sebuah citra diri yang
juga berkembang pada perubahan perilaku diharapkan dan biasanya merupakan citra
seseorang di media sosial yang berakibat yang positif.
munculnya fenomena panjat sosial (Social Media sosial instagram memiliki
Climber). Media sosial menjadi ruang fitur instastory yang kerap digunakan unutk

37
Nurfian Yudhistira, Social Climber Identity And Memory……

membagikan kegiatan personal seseorang kehidupan impianku, bukan kehidupan


pada pengikutnya. Dari hal itulah pengikut asliku.”
kemudian dapat membandingkan dirinya Berdasarkan data di atas, seringkali
dengan orang yang dilihatnya dalam media fenomena panjat sosial ini menuntut
sosial, kemudian timbulah rasa ingin penganutnya untuk membuat identitas baru
menyamakan kehidupannya dengan pada dunia maya yang berbeda dengan
kehidupan orang yang di ikutinya. Cara identitas aslinya pada dunia nyata.
yang ditempuhpun bermacam-macam, Kehadiran media sosial di kalangan remaja,
seperti berteman dengan orang yang membuat ruang privat seseorang melebur
memiliki latar belakang ekonomi yang dengan ruang publik. Terjadi pergeseran
berlebih atau memiliki popularitas yang budaya, sebagian orang kini tidak segan-
tinggi kemudian mendokumentasikannya segan mengupload segala kegiatan
dan membagikan pada media sosial agar pribadinya untuk disampaikan kepada
mendapat perhatian dari orang lain. Dalam teman-temannya melalui akun media sosial
sebuah wawancara dengan seorang dalam membentuk identitas diri mereka.
mahasiswa salah satu universitas di Identitas, merupakan sebuah hal yang
Yogyakarta dengan inisial PN (2019) penting di dalam suatu masyarakat yang
mengatakan bahwa “aku ke cafe cuma mau memiliki banyak anggota. Identitas
update instastory saja, kadang nggak pesan membuat suatu gambaran mengenai
minuman, hanya nebeng minuman teman. seseorang, melalui; penampilan fisik, ciri
Supaya pengikut instagramku mengira ras, warna kulit, bahasa yang digunakan,
hidupku selalu bahagia, selalu penilaian diri, dan faktor persepsi yang lain,
berkecukupan, padahal pada kenyataannya yang semuanya digunakan dalam
tidak”. mengkonstruksi identitas budaya. Identitas
Lebih lanjut, argumen tersebut juga menurut Klap (Pradhana, 2019) meliputi
dikuatkan oleh seorang mahasiswi segala hal pada seseorang yang dapat
Universitas Muhamadiyah Yogyakarta menyatakan secara sah dan dapat dipercaya
dengan inisial FP (2019) dalam sebuah tentang dirinya sendiri – statusnya, nama,
wawancara yakni “aku liburan nggak pernah kepribadian, dan masa lalunya. Social
bayar atau punya uang, aku nebeng teman- Identity Theory (SIT) menurut Tajfel &
temanku yang bernotabene anak Turner (Pradhana, 2019) dalam bertujuan
konglomerat, dan Cuma sekedar pengen bahwa individu memiliki sebuah konsep
update instastory aja supaya dikira pada dirinya sendiri dalam bersosialisasi dan
ekonomiku sama dengan teman-teman mengidentifikasi dirinya sendiri. Fenomena
sepergaulanku.” panjat sosial mengandung hiperrealis yang
Salah satu pelayan pada sebuah cafe dapat membentuk sebuah identitas baru,
di Yogyakarta dengan inisial YK dalam sehingga identitas seseorang dapat menjadi
sebuah wawancara (2020) juga mengatakan bias antara identitas secara riil dan identitas
bahwa “ aku biasanya update Igs yang dibentuk dalam dunia maya, terkadang
(instagramstory) di meja bar cafe, selama ini dapat membuat seseorang lupa akan dirinya
teman-temanku mengira aku barista padahal pada dunia nyata karena sibuk unutk
aku pelayan biasa. Tapi aku senang pegikut membentuk identitas barunya dan bermain
instagramku tidak tahu kehidupan asliku, dengan identitas barunya pada dunia maya.
kehidupan yang mereka (pengikut Menurut Hollingworth (2005), media
instagram) tahu pada media sosialku adalah memiliki dampak dalam pembentukan

38
Jurnal Populika, Volume 8, Nomer 1, Januari 2020

memori jangka panjang 1 seperti Media Goffman. Skripsi Universitas Islam


mengganggu pengalaman karena mendorong Negri Sunan Ampel. Surabaya
multitasking, Media membuat seseorang Ritzer, G. (2003). Teori Sosial Postmodern.
dapat mengeksternalisasi pengalaman, Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Media dapat menyimpan pengalaman
seseorang, Media sosial membuat seseorang Sarup, M. (2003). Panduan Pengantar untuk
dapat membagikan pengalaman pada orang Memahami Poststrukturalisme dan
lain. terjadi Ketika media di elaborasikan Posmodernisme. Yogyakarta:
dengan hiperrealis maka akan terjadi sebuah Penerbit Jendela.
pendistorsian ingatan seseorang, hal yang Wawancara
seharusnya tidak ada akan menjadi ada dan
sebaliknya. Seseorang akan mencipatakan FP. (2019). Wawancara dilaksanakan di
sejarah yang manipulatif karena adanya perumahan jambusari, candi gebang
degradasi memori yang diakibatkan oleh Yogyakarta pada pukul 09.00 WIB
hiperrealitas. PN. (2019). Wawancara dilaksanakan di
cafe Estuary pada 12 November
Daftar Pustaka 2019 pukul 19.50 WIB
Alwi, A. M. (2004). Foto Jurnalistik YK. (2020). Wawancara dilaksanakan di
(Metode Memotret dan Mengirim café Alembana pada 2 januari 2020
Foto ke Media Massa). Jakarta: pukul 21,15 WIB.
Bumi Aksara.
Bell, D. (2001). An Introduction to
Cybercultures. New York:
Routledge.
Baudrillards. J. (2002). Simulacra and
Simulation. Ann Arbor The University of
Michigan Press.
Goffman, E. (1959). The Presentation of
Self in Everyday Life, Harmondworth:
Penguin.

Hollingworth. A. and Luck. S.J (2005).


Visual Memory. Oxford University Press.
Neuman. W Lawrence. 2006. Social
Research Methods Sixth Edition. Boston:
Allyn and Bacon.
Pradhana. T.A. (2019). Self-Presenting Pada
Media Sosial Instagram Dalam
Tinjauan Teori Dramaturgi Erving

1
Lebih lanjut baca Hollingworth. A. and Luck. S.J
(2005) Visual Memory. Oxford University Press.

39

You might also like