You are on page 1of 14

Memahami ASEAN Community

dengan Teori-teori Integrasi Internasional:


Fungsionalisme, Neofungsionalisme, dan Konstruktivisme
Oleh: Bambang Wahyu Nugroho1

ABSTRACT
Regionalism and regional integration is a middle-way out in managing world order between the
difficult (even utopian) effort to settle a world government and anarchical nature of nation-states
relationship. It implies causes and effects, factors and goals, as well as process and conditions of
shifting respect and loyalty of the government as well as citizens from its established nation-
states into a newly regional political institution. It also discusses on how procedural and
consensual processes could be (or could not be) achieved and continued in particular regional
system. Meanwhile, there are two fundamental powers which shape regional integration, say,
internal and external powers. Internal powers means internal cohesion among member countries
within a region, and external powers implies the common interest on the potential threat from
extra-regional power as a shared attention.

To understand about ASEAN Community in term of process and condition of Southeast Asia
regional integration, we will discuss about such aspects with functionalism and neo-
functionalism theoretical framework as classic approaches on regional integration. At least it
could make easier comprehension on the topic, especially for the students. However, many
criticisms have made to reveal the limitation of both approaches. Therefore we need to develop
our analysis using a more recent constructivist approach. By the framework, we assume that
ASEAN Community is a product of social construction upon which the cohesivity of the
institution could be better analysed.

Keywords: integration, regionalism, functionalism, neo-functionalism, constructivism.

PENGANTAR:KONSENSUS, KEKUATAN, DAN KOMUNITAS POLITIK DI ASEAN

Komunitas politik regional telah lama dikaji sebagai sebuah alternatif “jalan tengah” antara
utopianisme pemerintahan dunia1 dan anarkisme negara-bangsa. 2 Intisari kajiannya yakni
identifikasi dan analisis atas mengenai kekuatan-kekuatan pembentuk integrasi komunitas-
komunitas politik di suatu kawasan yang kemudian disebut sebagai komunitas regional. Dua
masalah fundamental yang menjadi pokok kajian integrasi politik regional yakni: Pertama,
mengapa aktor politik (warga negara, badan hukum, atau bahkan pemerintah) di suatu negara
memindahkan (atau tidak memindahkan) rasa hormat dan pengabdiannya kepada satuan politik
“baru” di dalam kawasan mana mereka eksis; 3 dan kedua, bagaimana proses konsensus
prosedural dan substantif dapat dicapai dan diteruskan keberlangsungannya di dalam sistem
politik regional itu.4

Terdapat dua kekuatan dasar yang mengenai sumber daya integrasiregional yang patut
diperhatikan di sini. Pertama,sebut saja kekuatan endogen. Sistem regional memperoleh dan
dapat mempertahankan kohesivitasnya oleh adanya nilai-nilai bersama yang tersebar luas di
antara para anggota mereka dan adanya kesepakatan umum mengenai kerangka sistem tersebut.
Sistem-sistem seperti itu didasarkan atas persetujuan prosedural, atau kesepakatan umum
mengenai kerangka politik dan proses-proses hukum dengan mana masalah-masalah dipecahkan,
dan persetujuan substantif, atau kesepakatan umum mengenai solusi terhadap masalah-masalah
yang hendak diselesaikan (atau yang tidak akan diselesaikan) oleh sistem regional tersebut.
Semakin tinggi persetujuan prosedural dan substantif tersebut, semakin kuatlah integrasi sistem
regional itu. Hal ini mirip dengan istilah konsensus sebagai pengabsahan (legitimation)
sebagaimana dicontohkanantara lain oleh Henry A. Kissinger yakni kesetimbangan kekuatan
klasik di Eropa.5Kedua,kekuatan eksogen. Sistem-sistem politik regional menjadi tetap kohesif
disebabkan oleh adanya ancamankekuatan dari luar kawasan. Asumsinya, integrasi sebuah
komunitas politik regional ditentukan pula oleh persepsi bersama akan adanya tantangan atau
ancaman ekstraregional.6Namun demikian, dari kedua pandangan tersebut kita dapat menarik

1
Bambang Wahyu Nugroho, S.IP., M.A. Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.

1
sebuah sistesis mengenai proses integrasi regional sebagai sebuah konstruksi sosial yang dibentuk
baik oleh para elit regional maupun proses-proses sosial yang lebih menyebar (diverse) dan
majemuk (pluralistic).7Analisis konstruktivisme diharapkan dapat memperbaiki keterbatasan
kedua pendekatan sebelumnya.

Dalam tulisan ini, kita akan mencoba memahami seberapa kuat kohesivitas ASEAN Community
sebagai suatu unit politik regional dengan menelaah kedua kekuatan tersebut berdasarkan senarai
teori-teori integrasi regional yang terkemuka, terutama yang menggunakan pendekatan
fungsionalisme, neofungsionalisme, dan konstruktivisme. 8 Dengan menelusuri ketiganya kita
berharap dapat memahami problematika yang menyangkut eksistensi ASEAN Community, antara
lain:
 Bagaimana kita dapat memahami homogenitas ASEAN Community di tengah
kemajemukan sosial dan ekonomi ASEAN?
 Bagaimana kita dapat memahami elitisitas ASEAN Community di tengah perkembangan
transnasionalitas di Asia Tenggara?
 Bagaimana kita dapat memahami efektivitas makro ASEAN sebagai stabilisator kawasan
di tengah problem-problem bilateral dan multilateral yang masih rapuh?

Tulisan singkat ini tentu tidak bermaksud untuk menjawab soalan tersebut secara tuntas, namun
lebih merupakan pengantar untuk menuju analisis yang lebih mendalam. Tulisan ini mungkin
juga berguna untuk menuntun pemahaman mahasiswa secara bertahap dari yang paling sederhana
menuju ke pemahaman yang lebih canggih mengenai regionalisme dan integrasi regional.

FUNGSIONALISME DAN INTEGRASI DI ASIA TENGGARA

David Mitrany pernah mengemukakan bahwa sepanjang tahun-tahun antara dua perang dunia,
dan juga masa-masa setelah Perang Dunia II, perkembangan kompleksitas sistem pemerintahan
telah meningkatkan dengan pesat tuntutan-tuntutan teknis non politis yang dihadapi oleh
pemerintah. Tuntutan-tuntutan itu bukan hanya menimbulkan permintaan akan ketersediaan
sumber daya manusia yang terlatih, baik pada level nasional ataupun internasional, yang lebih
teknokratik ketimbang politik, namun juga arti penting masalah-masalah teknis yang berkembang
sepanjang abad ke-20 meningkatkan keperluan untuk menciptakan atau memperbaiki kerangka
kerja sama internasional. Pembentukan organisasi-organisasi fungsional regional diharapkan
dapat menjawab meningkatnya problem-problemteknikal, baik skala maupun bobotnya. Pada
gilirannya, organisasi fungsional regional akan dapat menggantikan, atau setidaknya melengkapi
institusi lawas yakni negara-negara-bangsa yang menjadi induknya. 9Dalam teori Mitrany tersebut
terdapat konsep ramification, yakni perkembangan dari kerja sama di satu bidang teknis yang
kemudian merembet ke bidang-bidang teknis lainnya. Artinya, kerja sama fungsional pada satu
sektor menimbulkan kebutuhan untuk bekerja sama secara fungsional pada sektor lainnya.
Contohnya, upaya yang diawali dengan hanya menciptakan pasar bersama (common market)
dapat menjadi patokan (benchmarking)dan pengungkit (leverage)bagi kerja sama selanjutnya,
misalnya penetapan harga, investasi, asuransi, pajak, upah pekerja, perlindungan sosial, keuangan
dan perbankan, serta kebijakan-kebijakan lainnya. Kompatibilitas ini akan meningkatkan
kompleksitas interdependensi yang berperan bagi perdamaian regional.

Integrasi regional juga dapat dipahami sebagai proses dan kondisi. Ernst Haas mendefinisikan
integrasi sebagai suatu proses “yang ditempuh oleh para aktor politik dari sejumlah negara-
bangsa yang berbeda-beda yang terpengaruh untuk menggeser dukungan, harapan, dan kegiatan
politiknya ke suatu pusat baru, yang lembaga-lembaganya memiliki atau menuntut jurisdiksi atas
negara-negara kebangsaan yang telah ada sebelumnya.” 10 Haas kemudian juga menegaskan,
“integrasi adalah proses meningkatnya interaksi dan percampuran sedemikian hingga
mengaburkan batas-batas antara sistem organisasi internasional dan lingkungannya yang dibentuk
oleh negara-negara kebangsaan yang menjadi anggota mereka.” 11

Para pakar lain yang menganggap integrasi regional adalah sebuah proses dan kondisi, antara lain
yakni Leon N. Lindberg, Donald C. Puchala, Karl W. Deutcsh, Philip E. Jacob, Johan K. de Vree,
James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, serta Amitai Etzioni.

Leon N. Lindberg mendefinisikan integrasi sebagai “(1) proses-proses yang ditempuh bangsa-
bangsa dalam mencegah keinginan dan kemauan untuk mengarahkan kebijakan luar negeri dan
kebijakan domestik kunci secara bebas satu sama lain, dan lebih mencari jalan untuk membuat

2
kebijakan bersama atau untuk mewakilkan proses pembuatan keputusan kepada para politisi di
tingkat regional; dan (2) proses di mana para aktor politik dari beberapa setting yang berbeda
terdorong untuk menggeser harapan dan aktivitas politiknya ke suatu pusat baru.” 12 Selanjutnya,
Lindberg memandang integrasi politik sebagai bagian dari proses yang lebih luas dari integrasi
internasional tempat “pengelompokan yang lebih luas muncul atau tercipta pada level
antarbangsa tanpa menggunakan tindak kekerasan,” dan tempat beradanya “peran serta bersama
dalam pembuatan keputusan berkelanjutan yang tertata,” sebagai suatu hasil, atau suatu bagian
dari “evolusi sepanjang masa dari suatu sistem pembuatan keputusan kolektif antarbangsa.” 13
Donald J. Puchala mengajukan suatu definisi integrasi sebagai suatu “kumpulan proses yang
menghasilkan dan mendukung suatu sistem konkordansi pada tingkat internasional”–yakni,
“suatu sistem internasional di mana para aktornya menemukan proses yang memungkinkan untuk
secara konsisten menyelaraskan kepentingan-kepentingan mereka, mengkompromikan
perbedaan-perbedaan mereka, dan meraup keuntungan timbal-balik dari interaksi mereka itu.” 14
Karl W. Deutsch menunjukkan integrasi politik sebagai suatu proses yang bisa menimbulkan
suatu kondisi di dalam mana sekelompok orang telah “mencapai suatu perasaan sekomunitas
yang lembaga-lembaga dan praktek-prakteknya cukup kuat untuk menjamin, untuk jangka
panjang, pengharapan yang digantungkan pada perubahan damai di dalam suatu wilayah di antara
penduduknya.”15 Dia juga berpendapat bahwa integrasi politik dapat diperbandingkan dengan
kekuatan, di dalam mana setidaknya satu aktor bertindak secara berbeda ketimbang apa yang
akan dilakukannya dalam kondisi lain (misalnya jika kekuatan ini tidak ada). 16 Dalam uraian yang
lain, Philip E. Jacob menyatakan bahwa integrasi politik telah “secara umum menimbulkan
hubungan ke-komunitas-an antarmasyarakat di dalam entitas politik yang sama yang
memungkinkan adanya kerja sama timbal-balik dalam satu dan lain hal yang pada gilirannya
memberi sebuah perasaan identitas serta kesadaran-diri sebagai komunitas regional.” 17Johan K.
De Vree menyatakan bahwa integrasi dapat diartikan sebagai “proses pembentukan dan
pengembangan lembaga melalui mana tata-nilai tertentu dialokasikan secara otoritatif bagi
kelompok-kelompok tertentu dari aktor-aktor atau unit-unit politik.” 18 Pendek kata, integrasi pada
level antarbangsa dikonseptualisasikan sebagai pelembagaan proses politik antara dua atau lebih
negara-negara. Menurut James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, integrasi adalam proses
perkembangan struktur-struktur dan fungsi-fungsi baru pada sebuah level sistem baru yang lebih
komprehensif ketimbang sebelumnya, baik secara geografis maupun fungsional. 19 Hal-hal ini
mencerminkan suatu perasaan yang tumbuh akan keterhubungan antara dua atau lebih struktur-
struktur politik atau ekonomi. Proses yang memunculkan integrasi dapat diukur menggunakan
indikator-indikator pertumbuhan kemampuan membuat keputusan di dalam sebuah unit politik
regional seperti halnya ASEAN Community.Sementara itu Amitai Etzioni menyatakan bahwa
pemilikan kontrol efektif atas penggunaan kekerasan oleh sebuah komunitas politik menimbulkan
satu kriterium untuk mengukur tingkat integrasi suatu komunitas regional. Menurutnya,
komunitas politik regional memiliki tiga jenis integrasi:
(a) memiliki kendali efektif atas penggunaan cara-cara kekerasan;
(b) memiliki suatu pusat pembuatan keputusan yang mampu mempengaruhi secara berarti
alokasi sumber daya dan penghargaan bagi segenap komunitas regional; dan
(c) adanya identifikasi politik bagi mayoritas luas dari warga di kawasan tersebut.” 20

Dalam skema karya Etzioni, unifikasi politik adalah proses di mana integrasi politik sebagai
sebuah kondisi sudah tercapai. Penyatuan memperkuat atau mempercepat pembentukan ikatan-
ikatan antarsatuan yang akan membentuk suatu sistem. 21

Dengan demikian, para penulis integrasi memiliki beberapa gambaran yang sama. Semuanya
memperhatikan proses-proses yang menjadikan dukungan bergeser dari satu pusat ke pusat
lainnya. Umumnya, para teorisi intregrasi mempertahankan pendapat bahwa orang menunjukkan
perilaku integratif disebabkan oleh harapan-harapan akan adanya keuntungan atau kerugian
bersama. Pada mulanya, harapan-harapan tersebut dikembangkan di kalangan kelompok-
kelompok elit baik di kalangan pemerintahan maupun swasta.

Pemikiran-pemikiran fungsionalis tersebut di atassangat tepat untuk memahami proses dan


perkembangan integrasi Eropa mulai dari pembentukan European Coal and Steel Community
(ECSC) yang merupakan kegiatan tunggal, bersifat teknis dan fungsional, dan kemudian
berkembang mengait aktivitas teknis fungsional lainnya, dan pada gilirannya merembet menjadi
unifikasi politik dalam format Uni Eropa. Namun di Asia Tenggara yang terjadi tampak
sebaliknya. ASEAN yang didirikan pada tahun 1967 jelas-jelas merupakan organisasi politik
regional yang sarat dengan tujuan politik, dan tujuan teknis fungsionalnya baru berkembang
kemudian. Integrasi dalam ASEAN Community akan berhasil bergantung pada kemampuan

3
masyarakat di negara-negara anggota ASEAN untuk melakukan internalisasi integratif di jalur
integrasi. Harus ditekankan di sini tentang dampak dari integrasi di satu sektor terhadap
kemampuan unit-unit yang berperan-serta untuk mencapai integrasi pada sektor lainnya. Pada
akhirnya, fungsionalisme mengasumsikan secara luas bahwa integrasi regional adalah suatu
gejala multidimensi. Namun demikian, teori-teori fungsionalisme memang tampak sangat Eropa-
sentris, dan masih memerlukan revisi teoritik. Untuk keperluan inilah analisis berikut ini akan
dimulai dengan pendekatan fungsionalisme untuk mempermudah pemahaman awal kita mengenai
integrasi regional, namunkemudian dianalisis lebih lanjut dengan pendekatan neofungsionalisme
untuk mengatasi keterbatasan fungsionalisme sebagai alat analisis.

ASEAN SEBAGAI KOMUNITAS EKONOMI DAN KEAMANAN

Sampai taraf yang cukup jauh ketimbang para penulis lain mengenai integrasi, Karl W. Deutsch
menggunakan baik teori komunikasi maupun teosi sistem. Komunikasi antarmasyarakat dapat
menghasilkan persahabatan ataupun perseteruan bergantung pada taraf yang dituju oleh ingatan-
ingatan komunikasi dihubungkan dengan banyak sedikitnya perasaan (emosi) yang dilibatkan.
Deustch sangat memperhatikan relasi antara komunikasi dan integrasi komunitas-
komunitas politik.22 Negeri-negeri adalah “rumpun penduduk, yang disatukan oleh kerangka
jaringan aliran sistem-sistem komunikasi dan transportasi, dan dipisahkan oleh wilayah-wilayah
pemukiman yang sedikit penduduknya atau hampir kosong.” 23 Masyarakat adalah sekelompok
penduduk yang disatukan oleh suatu kemampuan untuk berkomunikasi tentang banyak hal;
mereka memiliki kebiasaan berkomunikasi yang saling melengkapi. Secara umum, batas-batas
negara adalah wilayah di dalam mana kepadatan penduduk dan komunikasi menurun dengan
tajam. Masyarakat menjadi terintegrasi pada saat mereka saling berhubungan dan saling
bergantung. Meminjam Deutsch dengan kalimat lain, “apabila terdapat gejala
kesalingbergantungan mencakup jenis barang dan jasa yang berbeda-beda dan luas cakupannya,
maka patut diduga bahwa kita tengah berurusan dengan sebuah komunitas ekonomi.” 24Dari sini
lah kiranya kita dapat memahami frekuensi dan intensitas hubungan lintas-batas negara yang
meningkat secara signifikan sehingga disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan. Di Asia
Tenggara terdapat berbagai “segi tiga pertumbuhan” yang menjadi semacam enclave sosial-
ekonomi dan justru kemudian ditetapkan secara politis sebagai kawasan-kawasan ekonomi
khusus, semisal Sijori (Singapura-Johor- Riau) yang pada gilirannya mengalami spill-over
menjadi IMS-GT (Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle), Aceh, Sumatera Utara,
Langkawi, Kedah, Perlis, Perak, Selangor, Kelantan, Phuket, Songkhla, Saturn, Trang, Pattalung,
dan Nakhonsithammarat menjadi IMT-GT (Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle), dan
Sabah, Serawak, Labuan, Mindanao, Palawan, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Brunei
menjadi BIMP-EAGA (Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area). Pada
proses selanjutnya, fungsi-fungsi integratif ini pun menjadi pilar bagi aransemen perdagangan
bebas antarnegara ASEAN yang dikukuhkan sebagai AFTA (ASEAN Free Trade Area).

Dalam hal komunitas keamanan, Deutsch dan rekan-rekannya menetapkan dua jenis komunitas
keamanan: yakni komunitas keamaan lebur (amalgamated), di dalam mana unit-unit politik bebas
sebelumnya telah membentuk suatu unit tunggal di bawah pemerintah bersama; dan komunitas
keamanan majemuk (pluralistic), di dalam mana pemerintah-pemerintah nasional secara terpisah
masih menjalankan kedaulatan hukumnya. Amerika Serikat adalah contoh komunitas keamanan
yang lebur, sementara A.S.-Kanada atau Prancis-Jerman sejak Perang Dunia II adalah komunitas
keamanan yang majemuk.25

Prestasi makro ASEAN dalam mewujudkan stabilitas keamanan kawasan selama hampir empat
dasawarsa terakhir26 tidak disangsikan lagi, meskipun pada level mikro masih cukup banyak
“pekerjaan rumah” dalam bidang ini. Dalam konteks komunitas keamanan regional, berangkat
dari capaian tersebut, ASEAN hingga saat ini masih berciri sebagai komunitas keamanan
majemuk.

Menurut Deutsch, untuk membentuk sebuah komunitas keamanan majemuk, ada tiga kondisi
yang patut ditampilkan, yakni:
(1) kesesuaian tata-nilai di antara para pembuat keputusan,
(2) prediktabilitas timbal-balik dari perilaku di antara para pembuat keputusan pada unit-unit
yang akan diintegrasikan,27 dan,
(3) respons timbal-balik. Pemerintah-pemerintah mesti mampu menanggapi dengan cepat,
tanpa harus mengarah pada kekerasan, terhadap tindakan dan komunikasi yang dilakukan

4
oleh pemerintah lainnya. Dalam suatu komunitas keamanan majemuk, unit-unit
anggotanya menghindari cara-cara berkekerasan untuk menyelesaikan perselisihan.

Dari pokok pikiran tersebut kita dapat memahami bahwa sampai batas tertentu, tata-nilai di antara
para pembuat keputusan di lingkup Komunitas ASEAN, khususnya dalam penyamaan atau
penyesuaian persepsi mengenai penghindaran cara-cara berkekerasan dalam menyelesaikan
permasalahan antarnegara anggota telah mencapai tahap yang terlembaga dan berkesinambungan,
sekalipun terdapat sejumlah insiden mikro yang menyangkut pertahanan dan keamanan, seperti
bentrokan antara pasukan militer Thailand dan Kamboja, juga beberapa kali ketegangan yang
terjadi antara Indonesia dan Malaysia di batas perairan kedua negara. Namun demikian masalah-
masalah tersebut tidak mengalami eskalasi politik, sehingga secara umum tetap dapat memelihara
stabilitas kawasan. Selain itu, kita juga dapat memahami inklusivitas fungsional Komunitas
Keamanan ASEANdalam ARF (ASEAN Regional Forum) yangbertujuan memajukan keamanan
dan perdamaian melalui dialog di antara negara-negara Asia Pasifik. ARF diinisiasi oleh ASEAN
dan saat ini melibatkan 27 anggota yakni 10 negara anggota ASEAN, 10 negara mitra dialog
ASEAN (Australia, Kanada, China, Uni Eropa, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan,
Russia dan Amerika Serikat), dan beberapa observer (Papua Niugini,Korea Utara, Mongolia,
Pakistan, Timor Leste, Bangladesh dan Sri Lanka.

MENATAP KOMUNITAS ASEAN DALAM BINGKAI NEOFUNGSIONALISME


Neofungsionalisme merupakan anak-keturunan cendekia fungsionalisme. Peranan utamanya
terletak pada pemerincian, modifikasi, dan pengujian praduga-praduga mengenai integrasi.
Tulisan-tulisan kaum neofungsionalis meliputi karya-karya Ernst Haas, Philippe Schmitter, Leon
Lindberg, Joseph Nye, Robert Keohane, dan Lawrence Scheineman. Banyak, namun tak berarti
semuanya, dari tulisan kaum neofungsionalis dipusatkan pada pembentukan dan evolusi
Masyarakat Eropa. Sebagaimana dikemukakan oleh Charles Pentland, mengacu pada literatur
neofungsionalis tahun 1960-an, “neofungsionalisme membentuk suatu kecenderungan untuk
menyusun teori berjangkauan menengah (middle-range theory), yang memampukannya untuk
menempatkan diri secara lebih awal dengan suatu uraian yang meyakinkan dan berguna–jika
tidak selalu terverifikasi–mengenai situasi-situasi di Eropa.” 28 Berlawanan dengan pemusatan
perhatian yang lebih komparatif dari Deutsch dan Etzioni, karya Haas berkenaan dengan kasus-
kasus khusus, yang ditelah Haas dengan menggunakan suatu kerangka teoritik yang rinci. Inti
dari karya Haas adalah konsep pelimpahan (spill-over),29 atau apa yang oleh Mitrany disebut
doktrin ramification. Dalam penelitiannya mengenai ECSC, Haas menemukan bahwa di antara
elit-elit bangsa Eropa yang secara langsung berhubungan dengan masalah baja dan batubara,
seara nisbi hanya sedikit yang pada mulanya menjadi pendukung kuat gagasan pendirian ECSC.
Hanya setelah ECSC itu dioperasikan selama beberapa tahun sejumlah besar pemimpin serikat
dagang dan partai politik menjadi pendukung Komunitas tersebut. Terlebih kelompok seperti itu,
dengan keuntungan yang mereka alami dari ECSC, menempatkan diri mereka menjadi pelopor
bagi upaya-upaya lain menuju integrasi Eropa, termasuk Pasar Bersama. Dengan demikian
terdapat suatu kecondongan yang jelas bagi orang-orang yang telah mengalami keuntungan dari
lembaga-lembaga adibangsa dalam satu sektor untuk mendukung integrasi di sektor-sektor
lainnya. “Keputusan-keputusan semula melimpah ke ranah-ranah fungsional baru, melibatkan
lebih banyak masyarakat, mengundang lebih banyak lagi kontak-kontak dan konsultasi
antarbirokrasi, bertemu dengan masalah-masalah baru yang tumbuh dari kompromi-kompromi
semula.”30 Oleh karena itu terdapat sebuah “nalar meluas” yang berperan dalam “pelimpahan”
dari satu sektor ke sektor lainnya. Proses itu adalah satu hal di mana bangsa-bangsa
“mengangkat” kepentingan nasionalnya dalam sebuah untaian integratif yang lebih luas.

Dibangun berdasarkan karya Haas, dan juga karya Mitrany sebelumnya, beberapa pakar telah
melakukan upaya untuk mempertajam teori-teori neofungsionalis mengenai integrasi. Di
antaranya adalah Joseph Nye, yang peranannya nampak dalam mengembangkan sebuah model
neofungsionalis yang didasarkan atas “mekanisme proses” dan “potensi integratif.” Nye
mengemukakan kerangka teoritik yang didasarkan atas pendekatan neofungsionalis yang lebih
besar daripada apa yang dilakukan oleh Haas dan Mitrany, yakni tidak Eropa-sentris. Nye
mendasarkan konseptualisasinya atas suatu uraian mengenai keadaan-keadaan integrasi yang
diambil secara khusus dari pengalaman-pengalaman Eropa dan non-Barat dan memodifikasi
besar-besaran dugaan tentang “politisasi otomatis” serta “pelimpahan.” 31

5
Berdasarkan pokok-pokok pikiran Nye dapat dikemukakan di sini bahwa tujuh “mekanisme
proses” integrasi regional mampu mengkonseptualisasikan ulang dan merumuskan ulang teori
neofungsionalis.
1. Keterkaitan fungsionalis dari tuntutan-tuntutan, atau konsep pelimpahan. Menurut Nye
mekanisme ini tidak meliputi “gejala kerja sama apa pun yang meningkat,” namun hanya
gejala-gejala peningkatan yang berkaitan secara fungsional dengan proses integrasi
tersebut, atau tindak lanjut dari upaya-upaya serius para elit integrasionis untuk
mendulang pelimpahan. Dan harus diingat bahwa jika keterkaitan fungsional tuntutan-
tuntutan itu dapat menghasilkan pelimpahan, maka tentunya juga dapat menghasilkan
langkah mundur (spill-back).32Dengan demikian, maju-mundurnya pelembagaan
Komunitas ASEAN dapat dianalisis dari proses spill-over dan spill-back ini.
2. Transaksi yang meningkat.Integrasi menuju Komunitas ASEAN mungkin ditandai
dengan kenaikan transaksi perdagangan, pergerakan modal, komunikasi, dan pertukaran
masyarakat serta gagasan-gagasan. Para aktor politik regional menghadapi tuntutan yang
berat terhadap lembaga bersama yang dihasilkan dari meningkatnya volume transaksi.
Bisa saja mereka memilih untuk berhubungan dengan masalah-masalah tersebut dengan
basis nasional, atau mereka mungkin memutuskan untuk memperkuat lembaga bersama.
Menurut Nye, “Meningkatnya transaksi tidak harus membawa menuju suatu perluasan
cakupan (cakupan tuntutan) integrasi, namun mengintensifkan kapasitas kelembagaan
sentral untuk menangani sebuah tuntutan khusus.” 33 Dalam hal ini pelembagaan
Komunitas ASEAN dapat dianalisis dari upaya mereka melakukan regionalisasi isu,
bukan hanya terbatas pada komunike-komunike bersama atau rencana aksi, namun juga
penetrasi isu regional tersebut ke ranah sosial yang lebih luas.
3. Pertalian sengaja dan pembentukan koalisi. Di sini Nye memusatkan perhatian kembali
terhadap konsep pelimpahan, atau yang disebutnya sebagai pelimpahan yang ditekankan
(accentuated spill-over) di dalam mana “masalah-masalah secara sengaja dipertalikan
bersama ke dalam suatu perjanjian serentak, bukan karena kebutuhan teknologi,
melainkan karena adanya proyeksi ideologi dan politik serta kelaikan politik.” 34Di sini
kita harus melihat upaya-upaya para politisi, birokrat internasional, dan kelompok-
kelompok kepentingan yang terlibat langsung di dalam Komunitas ASEAN dalam
menciptakan koalisi yang didasarkan atas problem-problem yang bertalian. Namun perlu
diingat, meskipun upaya-upaya tersebut mungkin mendukung integrasi, barangkali juga
menimbulkan efek negatif apabila, misalnya, keberuntungan politik dari kelompok-
kelompok pendukung integrasi tersebut, atau problem-problem yang diidentikkan dengan
integrasi, mengalami kemerosotan. ASEAN masih tampak rapuh ketika misalnya
menghadapi krisis ekonomi global. Pengalaman menghadapi krisis ekonomi tahun 1997
dan 2008 masih menunjukkan spill back ke kepentingan nasional masing-masing negara
anggotanya.
4. Sosialisasi Kaum Elit. Sampai sejauh mana kaum birokrat nasional menjadi partisipan
dalam integrasi regional akan ditentukan oleh level sosialisasi mereka. Hal ini penting
sebab para birokrat nasional biasanya khawatir terhadap integrasi regional karena
kemungkinan akan kehilangan kendali nasionalnya. Berdasarkan hal ini, dengan
mempertimbangkan heterogenitas negara-negara ASEAN, tampaknya jalan menuju
pelembagaan Komunitas ASEAN yang lebih substantif dan efektif masih cukup terjal,
sebab kaum elit ASEAN sendiri masih menghadapi banyak perkara-perkara mendasar di
negaranya masing-masing, dan lebih dari itu, mereka memandang bahwa persoalan-
persoalan tersebut masih lebih baik mereka hadapi dengan cara-cara domestik juga.
5. Pembentukan Kelompok Regional. Integrasi regional dikatakan akan merangsang daya
cipta, baik formal maupun informal, dari kelompok-kelompok non-pemerintah ataupun
asosiasi-asosiasi transasional. Pada ranah ini pelembagaan organisasi regional non
pemerintah maupun asosiasi-asosiasi transnasional di lingkup ASEAN masih relatif
lemah. Hanya kepentingan-kepentingan yang lebih umum lah yang diagregasikan oleh
kelompok-kelompok seperti itu pada level regional, sementara kepentingan yang lebih
khusus tetap berada di dalam perhatian kelompok-kelompok kepentingan pada level
nasional.35 Sebagai contoh, telah sejak tahun 1980-an ASEAN secara umum memandang
serius terhadap persoalan kejahatan transnasional yang meliputi penyalahgunaan dan
penyelundupan narkoba, perdagangan perempuan dan anak, perdagangan gelap senjata,
dan terorisme transnasional, namun bukti semakin maraknya kasus-kasus kejahatan
transnasional tersebut menunjukkan bahwa pembentukan kelompok regional belum
cukup berdaya.
6. Daya tarik ideologis-identitif. Pemapanan suatu perasaan akan kesamaan identitas
ASEAN sebagai “the diversity in a community” dan “sharing and craing community”

6
menghadirkan suatu daya yang sangat kuat dalam mendukung integrasi regional.
Menurut Nye, “Semakin kuat rasa permanen dan semakin besar daya tarik identitasnya,
semakin berkurang kemauan kelompok-kelompok penentang untuk menyerang skema
integrasi secara frontal.”36 Di bawah kondisi seperti itu lah seharusnya negara-negara
anggota ASEAN lebih mentolerir kerugian jangka pendek ketimbang cara lainnya, dan
kegiatan bisnis pun lebih memungkinkan untuk mendapatkan investasi dengan harapan
pelakunya akan mendapatkan keuntungan yang kontinyu, dengan adanya pasar yang luas.
7. Keterlibatan aktor eksternal dalam proses itu. Dalam dunia yang menurut Nye masih
menempatkan negara-bangsa sebagai penting namun “panggungnya semakin dipenuhi
aktor non-negara” maka Komunitas ASEAN perlu menggrarisbawahi arti penting
pengaruh pemerintah-pemerintah asing, organisasi internasional lain, dan juga aktor-aktor
non-pemerintah, sebagai katalis dalam skema integrasi regional. Dalam hal ini ARF dapat
menjadi contoh yang cukup baik untuk menempatkan ASEAN sebagai komunitas
keamanan regional yang secara kolektif berkekuatan menengah, di tengah-tengah tekanan
China dan pengaruh India, serta di ranah global berhadapan dengan kekuatan Russia,
Australia, maupun Amerika Serikat.

Yang agak menjadi problem serius bagi Komunitas ASEAN yakni apa yang oleh Nye yang
disebutnya sebagai potensi integratif–yakni, kondisi-kondisi integratif yang dirangsang oleh
“mekanisme proses.” Dalam hal ini dia menetapkan empat kondisi yang berpengaruh terhadap
komitmen asli maupun evolusi lanjut dari suatu skema integrasi.
1. Simetri atau kesetaraan ekonomi dari unit-unitnya.Dalam proses integrasi regional,
sesungguhnya tidak begitu masalah apakah terdapat “wilayah-wilayah inti” (“core
areas”) yang eksis bagi integrasi, atau apakah partisipan prospektifnya relatif setara
ukurannya. Namun kesenjangan taraf perekonomian di ASEAN masih menjadi kendala
berat bagi penyetaraan ekonomi ASEAN. Singapura dan Brunei adalah negara
berpendapatan tinggi, sementara Malaysia tergolong upper middle, dan di level lower
middle terdapat Thailand, Indonesia, Filipina, dan Vietnam, kemudian Laos, Myanmar
dan Kamboja termasuk low income countries.37Sebetulnya tidak menjadi masalah apabila
Singapura dan Bruney menjadi wilayah ekonomi inti, sepanjang kepemimpinan mereka
menunjukkan signifikansi berupa peningkatan arus ekonomi timbal-balik intra regional
dibanding ekstraregional.
2. Komplementaritas tata-nilai kaum elit. Nye mengakui bahwa level kemiripan pemikiran
antarelit pendukung integrasi penting artinya. Buktinya, dia menyatakan bahwa semakin
tinggi level komplementaritas elit, semakin besarlah prospek bagi daya dorong yang
didukung menuju integrasi regional. Dalam mewujudkan hal ini agaknya ASEAN lebih
serius. Tampak dari adanya sejumlah besar lembaga di bawah ASEAN yang mendorong
komplementaritas tata-nilai kaum elit meliputi berbagai bidang.
3. Keberadaan pluralisme. Secara fungsional, kelompok-kelompok tertentu yang pluralis
dikatakan dapat meningkatkan peluang integrasi. Di sini, Nye menunjukkan suatu
perbedaan utama antara pengalaman Eropa Barat dan apa yang dialami oleh Dunia
Ketiga, di mana kelompok-kelompok seperti itu tidak ada. Menurut Nye, “semakin besar
pluralisme di semua negara anggota, semakin baik keadaan bagi sebuah tanggapan
integrasi terhadap umpan balik dari mekanisme proses itu.” 38Namun pada kenyataannya,
di dalam masyarakat di negara-negara anggota ASEAN masih kuat tertanam sikap
antipluralisme. Kasus-kasus Rohingya di Myanmar, Pattani di Thailand, Moro di
Filipina, aksi-aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas di Indonesia, merupakan
sederet kasus di mana masyarakat Asia Tenggara masih jauh dari pluralisme politik dan
kultural. Apabila tidak segera diperoleh jalan keluar dari kondisi ini, maka hal ini akan
meredupkan pelembagaan Komunitas ASEAN.
4. Kemampuan negara-negara peserta untuk beradaptasi dan menanggapi. Faktor ini
dikatakan bergantung secara vital pada tingkat respon timbal-balik di dalam unit-unit
politik yang akan diintegrasikan ke dalam sebuah entitas regional yang lebih luas.
Hipotesisnya, “semakin tinggi tingkat stabilitas domestik dan semakin besar kapasitas
para pembuat keputusan kunci untuk menanggapi tuntutan di dalam unit-unit politik
mereka masing-masing, semakin besar kemungkinan mereka untuk mampu berperan
secara efektif di dalam sebuah satuan integratif yang lebih besar.”Dalam hal ini sejumlah
negara ASEAN masih menghadapi kendala berupa terbatasnya kapasitas dalam
menangani beban masalah-masalah domestik sehingga tekad elit politik regional untuk
mewujudkan “one community in a diverse society” sulit diimplementasikan tanpa
meningkatkan daya adaptasi dan respon regional.

7
Organisasi ekonomi mikroregional di ASEAN yang terus berkembang menjadi unit-unit baru
memang perlahan-lahan menggerogoti, atau menggantikan, negara-negara bangsa yang ada. Akan
tetapi, organisasi-organisasi ekonomi mikroregional itu bersama-sama dengan organisasi-
organisasi politik makroregional telah berperan bagi stabilitas kawasan.Mungkin hal ini menjadi
sebuah pilihan yang tidak mudah bagi negara-bangsa, karena di satu sisi, sikap “cinta damai” itu
berarti membiarkan perlahan-lahan otonomi kedaulatannya digerus, sekalipun di sisi lain peluang
bagi kesejahteraan masyarakatnya semakin baik. Namun mengingat prasarana ekonomi domestik
maupun prasarana regionalisasi ekonomi ASEAN belum cukup memadai, maka peranan negara-
bangsa sebagai unit politik penting dalam jangka waktu relatif lama ke depan, sebab meskipun
dampak perkembangan teknologi -- khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan
transportasi -- terhadap unit-unit politik yang eksis di ASEAN telah nyata-nyata mengurangi
otonomi negara-bangsa, namun ternyata hanya sebagian dari kekuatan nasionalnegara-negara
anggota ASEAN yang diredistribusikan di tingkat regional.

Ringkasnya, organisasi-organisasi ekonomi mikroregional telah mengokohkan tautan-tautan


fungsional yang pada gilirannya telah meningkatkan relasi antaranggota. Sementara itu politik
makroregional ASEAN telah mampu memainkan peranan konstruktif dalam mengendalikan
konflik antarnegara antaranggota, walaupun tidak berhasil dalam menangani kasus-kasus konflik
yang utamanya bersifat internal–ini merupakan suatu keterbatasan serius sebagaimana diakui oleh
Nye.39Justru, di sejumlah negara anggota ASEAN, tantangan yang lebih segera bagi sentimen
nasionalismenya pada dasawarsa belakangan ini datang bukan berasal dari globalisasi ataupun
regionalisasi, namun dari kekuatan-kekuatan subnasional sentrifugal para pendukung otonomi
kedaerahan yang dalam beberapa hal menjelma menjadi gerakan pemisahan diri (secession),
kemudian ancaman terhadap pluralitas ASEAN berupa pengucilan atau penindasan terhadap
kelompok-kelompok minoritas yang tak dikehendaki dari sebuah wilayah kebangsaan, dan
perebutan dominasi satu kelompok etnik, bahasa, atau keagamaan oleh kelompok lainnya.

KRITIK TERHADAP FUNGSIONALISME DAN NEOFUNGSIONALISME

Fungsionalisme telah menjadi obyek beberapa jenis kritik dan modifikasi, khususnya yang
dilakukan oleh kaum neofungsionalis. Di antara kekurangan yang dituduhkan kepada
fungsionalisme adalah sebagai berikut:40
(1) memang sulit, jika bukan mustahil, untuk memisahkan aspek-aspek ekonomi dan sosial
dari politik;
(2) bahwa pemerintah-pemerintah telah menunjukkan bahwa diri mereka enggan
menyerahkan hal-hal yang menyangkut politik kepada kewenangan internasional;
(3) bahwa tuntutan-tuntutan ekonomi dan sosial tertentu tidak “mencabang” atau
“melimpah” ke sektor politik; dan,
(4) bahwa jalan menuju integrasi politik lebih bergantung pada “tindakan dari kemauan”
politik, ketimbang integrasi fungsional di dalam sektor-sektor ekonomi dan sosial.

Sementara itu neofungsionalisme dianggap tidak cukup mampu memecahkan masalah-masalah di


“bidang-bidang yang bergolak” dalam hubungan internasional, dengan banyaknya masalah-
masalah global di akhir abad ke-20, termasuk masalah besar berupa krisis finansial dan ekonomi
yang melanda Amerika Serikat pada tahun 2008 dan yang menyuramkan nasib Uni Eropa saat
ini.Sementara itu, justru di Asia, perkembangan ekonomi China dan India meningkatkan potensi
mereka bukan hanya sebagai raksasa ekonomi regional, namun juga sebagai pemain penting
perekonomian dunia di masa depan. Dalam kritik lain terhadap fungsionalisme, Charles Pentland
menyimpulkan bahwa setidaknya berdasarkan pengalaman Eropa Barat sejak Perang Dunia II,
terdapat sedikit bukti untuk menyatakan bahwa dengan pertumbuhan teknologi dan ekonomi
sendiri, di sebuah dunia menciut ini, akan menghasilkan integrasi melalui kerja sama fungsional.
“Hubungan antara kebutuhan fungsional dan adaptasi struktural, yang menjadi inti teori itu,
bersifat ‘perlu’ hanya untuk menciptakan sebuah gambaran ideal atau norma, bukan dalam hal
menetapkan arah perubahan.”41 Terlebih, pengaruh-pengaruh dan tekanan-tekanan politik telah
terbukti menjadi sangat penting dalam mendayagunakan proses integrasi di Eropa Barat. Terdapat
sedikit atau tidak sama sekali hal-hal yang bersifat “non-politik” dalam pengalaman integrasi
Eropa Barat sejak Perang Dunia II , meskipun lembaga-lembaga Masyarakat Eropa, yang tepat
bagi pembentukan kesatuan pabean, mungkin tidak relevan bagi problem-problem mendasar
integrasi Eropa Barat–yakni untuk membentuk sebuah federasi politik.

8
Model integrasi neofungsionalis juga kurang tepat untuk mengkaji sistem-sistem integratif di
Dunia Ketiga. Berlawanan dengan aktor-aktor industri maju, negara-negara Dunia Ketiga
mungkin mempunyai lebih sedikit tujuan yang dapat dipuaskan oleh integrasi. Sebagai contoh,
harapan memperoleh keuntungan ekonomi dari meningkatnya perdagangan, yang didukung
dengan pengurangan atau penghapusan halangan tarif, telah melengkapi dorongan kuat
pembentukan kesatuan pabean, khususnya di Eropa Barat. Namun struktur perdagangan dan
produksi di sebagian besar Dunia Ketiga, yang secara menyejarah didasarkan atas suplai produk
pertanian dan bahan-bahan mentah ke negara-negara industri maju, telah merintangi prospeknya,
dan setidaknya dalam jangka pendek, bagi komplementaritas ekonomi pada suatu tingkat yang
memadai untuk memajukan integrasi di Dunia Ketiga dengan pembentukan kesatuan-kesatuan
pabean atau Pasar Bersama yang bisa dibandingkan dengan Eropa Barat. 42 Bahkan di wilayah
seperti Amerika Latin dan Dunia Arab, di mana terdapat tata-nilai bahasa dan budaya yang sama
yang mestinya mendukung proses integrasi, tetapi buktinya bahwa perekonomian nasional
diarahkan lebih ke luar ke kawasan-kawasan industri dunia ketimbang kepada satu sama lain,
menjadikan satu halangan serius bagi regionalisasi. Oleh karena itu, cara-cara integrasi yang tepat
untuk kondisi-kondisi Dunia Ketiga ini secara substansial berbeda dari apa yang relevan bagi
negara-negara industri. Dan model-model yang diuraikan di dalam bab ini berperan lebih untuk
menciptakan penjelasan mengenai kurangnya integrasi di Dunia Ketiga, sementara luput
memandang kekhasan integrasi di Dunia Ketiga tersebut.

MEMAHAMI KOMUNITAS ASEAN DALAM BINGKAI KONSTRUKTIVISME


Dalam bukunya Social Theory of International Politics, Alexander Wendt mengembangkan suatu
teori mengenai sistem internasional sebagai sebuah konstruksi sosial. 43 Wendt menjelaskan klaim
sentral pendekatan kaum konstruktivis yang menampilkan pandangan dunia struktural dan idealis
yang kontras dengan individualisme dan materialisme yang mendukung arus utama teori HI.
Wendt membangun teori kultur mengenai politik internasional dengan mendasarkan diri pada
pertanyaan apakah negara-negara memandang satu sama lain sebagai musuh, pesaing, atau teman,
yang menjadi penentu fundamental. Wendt menyebut peranan-peranan ini sebagai “budaya
anarki,” yang memiliki tiga atribut: Hobbesian, Lockean, dan Kantian. Kultur ini merupakan
gagasan-gagasan umum yang membentuk kepentingan dan kapabilitas negara, dan
membangkitkan tendensi dalam sistem internasional. Yang dimaksud dengan kultur Hobbesian
adalah suatu asumsi dengan mana negara-negara memandang satu sama lain pada dasarnya
sebagai musuh, kultur Lockean mengasumsikan bahwa negara adalah saingan bagi negara lain,
sedangkan kultur Kantian adalah asumsi dengan mana negara-negara menganggap satu sama lain
sebagai teman. Walaupun secara umum kedaulatan negara sering diasosiasikan dengan penentuan
nasib sendiri (self-determination) dan kemandirian (self-help), Wendt menekankan bahwa hanya
kultur Hobbesian lah yang murni self-help. Kultur lain mendasarkan diri pada asumsi bahwa
logika kultur Hobbesian “kill or to be killed” tidak lagi relevan dalam mewujudkan perdamaian
dujnia dan kesejahteraan umat manusia. Kemudian dengan mengemukakan tiga tingkatan
penetrasi (internalisasi) terhadap kultur tersebut akan mampu memberikan konstruksi terhadap
sistem internasional yang akan dibentuk. Kemudian terdapat empat faktor yang oleh Wendt
dipandang dapat mendorong perubahan struktural dari satu kultur ke kultur lainnya, yakni
kesalingbergantungan (interdependence), perasaan senasib (common fate), penyerbasamaan
(homogenization), dan sikap menahan diri (self-restraint).Contoh yang relevan dalam kerangka
konstruktivis tersebut yakni internalisasi pada derajat yang tinggi (derajat 3) dari kultur Kantian
akan berimplikasi pada sosialisasi konsep identitas kolektif yang sepadan dengan semangat
kekitaan (we-feeling), solidaritas, subyek majemuk (plural subjects), identitas kebersamaan
dalam kelompok (common-in-group identity), berpikir sebagai tim (thinking like a team),
kesetiaan (loyalty), dan sebagainya.44 Dengan demikian, dalam pandangan ini Komunitas ASEAN
akan diasumsikan sebagai hasil dari proses konstruksi sosial yang dibentuk sepanjang sejarah
keberadaannya.

Salah satu pakar kajian Asia Tenggara yang tersohor dan sangat produktif adalah Amitav
Acharya. Menggunakan pandangan konstruktivisme, dia berpendapat bahwa bagi banyak sarjana
Hubungan Internasional, ASEAN adalah sebuah anomali. ASEAN merupakan sekelompok
negara-negara ringkih yang telah menata diri untuk mendapatkan perhatian signifikan dari
negara-negara besar. Kembali soal ARF yang telah saya diterangkan di atas, Acharya menyatakan
bahwa keragaman dan keluasan mitra dialog dan mitra pengamat (observer ) yang tergabung
dalam ARF tidak ada presedennya.Dengan ARF, ASEAN betul-betul memposisikan dirinya
sebagai komunitas yang netral-aktif. Netral dalam arti tidak condong memihak ke salah satu
kekuatan besar dunia, dan aktif, karena justru menjadi pusat dialog keamanan regional yang dapat
mempertemukan kekuatan-kekuatan besar dunia yang berbeda-beda, bahkan sering kali

9
bertabrakan, orientasi dan kepentingannya. Acharya menambahkan, bagi kaum Realis, peranan
ASEAN seperti itu betul-betul merupakan sebuah anomali struktural.Negara-negara ringkih yang
semestinya menjadi obyek ketimbang subyek bagi negara adidaya, kenyataannya telah mampu
menunjukkan kekuatan sosialisasi ketimbang berspekulasi dengan politik kekuatan. 45

Acharya selanjutnya mengemukakan bahwa sejak jaman kuno, Asia Tenggara merupakan
wilayah yang masyarakatnya terpapar oleh pengaruh kuat kebudayaan China dan India, sekalipun
sampai batas tertentu menunjukkan identitas yang secara signifikan berbeda dengan keduanya.
Masyarakat Asia Tenggara tidak membabi-buta dalam menerima hegemoni kultural dari dua
peradaban besar tersebut, dan kemudian melokalisir gagasan-gagasan yang berakar di India
maupun China yang relevan dengan konteks lokal dan mendukung keabsahan serta
memberdayakan masyarakat lokal.Dia kemudian mengembangkan konsep yang disebutnya
subaltern universalism (universalisme lapis bawah), yang merupakan suatu ekstrapolasi dari
kajiannya mengenai masa lampau Asia Tenggara dan agen-agen masyarakat Asia Tenggara yang
lebih kontemporer. Konsep itu menyebutkan bahwa terdapat kemungkinan pihak yang lemah pun
bisa memiliki agen; dan mereka dapat mengkonstruksikan tata regional dan global. 46

Berdasarkan argumen itu Acharya berpendapat bahwa sekalipun terdapat kebangkitan kekuatan
raksasa di Asia, khususnya China dan India, ASEAN akan tetap bertahan apabila mampu
mengelola diri untuk memelihara kohesivitas pada derajat tertentu. Faktanya, bahwa kekuatan-
kekuatan besar di Asia tidak menaruh saling kepercayaan untuk mengembangkan sebuah Konser
Kekuatan, namun kekuatan-kekuatan besar tersebut, termasuk Amerika Serikat dan China, jutru
telah menerima sentralitas ASEAN di dalam arsitektur keamanan regional. Tetapi harus diingat
bahwa ASEAN musnah jika kehilangan persatuan dan mengambil posisi di salah satu adidaya
melawan adidaya lainnya. Maka ASEAN harus menyediakan diri sebagai broker keamanan
regional yang terpercaya dan netral, khususnya ketika negara-negara adidaya tidak menaruh
kepercayaan satu sama lain. 47Kita telah menyaksikan kemampuan ASEAN untuk bergeser dari
kerangka ideologi “anti-komunis” di masa awal pendiriannya ke arah yang lebih pragmatis, dan
berhasil menarik masuk bagi negara-negara sosialis dan totalitarian di Asia Tenggara untuk
bergabung. ASEAN juga berhasil menyesuaikan diri dengan perkembangan globalisasi ekonomi
dan pasar bebas, sekalipun kadang dipandang sebagai “terjebak” di tengah arus neoliberalisme
global. Pada tahun-tahun belakangan ini, ASEAN telah sedikit meninggalkan doktrin non-
interferensinya. ASEAN juga telah mengembangkan mekanisme untuk menghadapi tantangan-
tantangan transnasional dan konflik regional.

Dalam kasus reformasi politik di Myanmar, ASEAN, sampai batas tertentu, mulai tampak
melakukan desakan politis dan memulai merumuskan mekanisme regional untuk mengatasi
problem-problem Hak Asasi Manusia (HAM). 48Namun demikian, Acharya masih
mempertanyakan apakah ASEAN cukup mampu menyesuaikan diri dengan laju perkembangan
lingkungan transnasional ekonomi dan politik. – Apakah ASEAN akan menjadi terlampau
lamban?49

Pada tahap inilah menurut saya arti penting percepatan pembentukan Komunitas ASEAN agar
segera terbentuk pada tahun 2015 yang semestinya berdasarkan Visi ASEAN dibentuk tahun
2020. Para pemimpin ASEAN tampaknya menyadari bahwa momentum kecepatan
perkembangan ekonomi Asia dapat menggulungnya apabila tidak cukup cepat beradaptasi.

Meminjam istilah Benedict Anderson, “imagined community”, 50 bisa dibilang bahwa ASEAN
yang merupakan kelompok negara-negara yang sangat beraneka ragam, baik ukuran luas negara,
jumlah penduduk, kekuatan militer, kondisi ekonomi, latar budaya, tipe sistem politik, dan
sebagainya, nyatanya mampu mewujudkan bayangan mereka selama 45 tahun terakhir sebagai
kawasan yang damai dan stabil. Konstruksi ini tentu menjadi modal dasar penting bagi
pelembagaan Komunitas ASEAN, karena membentuk sebuah komunitas ekonomi dan keamanan,
dua hal pokok dalam hubungan internasional, bukan sesuatu yang otomatis atau alamiah,
melainkan harus dirumuskan dengan canggih dan diperjuangkan dengan gigih.

Komunitas ASEAN harus dibentuk melalui sosialisasi dan interaksi. Menurut Acharya, hal inilah
yang menjadikan kerangka analisis konstruktivisme sangat cocok untuk memahami
ASEAN.Ketika ASEAN dibentuk pada tahun 1967, China masih berkutat dengan masalah
domestiknya sendiri, sedangkan India pasca perang perbatasan dengan China pada tahun 1962
menjadi lebih inward looking. ASEAN pun kemudian memiliki kesempatan tumbuh dan eksis.
Namun saat ini, di panggung politik internasional yang lebih luas di Asia Pasifik, di tengah arus

10
kebangkitan ekonomi dan pertahanan China dan India, masa depan ASEAN kembali bergantung
pada kualitas sosialisasi dan interaksinya. Apabila ASEAN tetap kohesif dan menempatkan
dirinya untuk merangkul semua kekuatan internasional yang penting tanpa memihak dalam
konteks persaingan di antara mereka, maka ASEAN akan tetap eksis, dan dengan demikian,
Komunitas ASEAN menjadi semakin penting secara strategis.

Dengan demikian Komunitas ASEAN telah menempuh suatu alur konstruksi sosial dalam
mengubah kultur Hobbesian yang “semestinya” menjadikan negara-negara Asia Tenggara
sebagai obyek politik internasional kekuatan adidaya sebagaimana pernah terjadi selama berabad-
abad masa imperium China dan India maupun masa kolonial Barat, menjadi sebuah konstruksi
sosial sebagai subyek yang berperan sebagai “tuan rumah” untuk menciptakan dan memelihara
stabilitas kawasan. Hal itu dilakukan dengan menumbuhkan sikap kesalingbergantungan untuk
menciptakan perdamaian karena ASEAN meyakini bahwa perdamaian tidak bisa ditentukan
secara sepihak. Perasaan senasib sebagai negara-negara “tanggung” di tengah pusaran kekuatan
global dan regional dijadikan sebuah konstruksi “senasib sepenanggungan” oleh negara-negara
anggota ASEAN sehingga pada gilirannya juga membentuk homogenisasi dengan mencari celah-
celah kebersamaan di tengah belantara keanekaragaman di hampir semua aspek kehidupan.
Perasaan tersebut juga telah terbukti selama 45 tahun terakhir negara-negara ASEAN mampu
menahan diri untuk tidak mengintervensi urusan dalam negeri anggotanya. Yang terakhir ini
sering dipandang sebagai kelemahan ASEAN, padahal sesungguhnya dalam pandangan ini, sikap
tersebut merupakan kekuatan untuk “berkorban dalam urusan mikro untuk mencapai
kemaslahatan makro” kawasan.

SIMPULAN

Menelaah pelembagaan Komunitas ASEAN dengan model fungsional cukup mudah dipahami,
yakni diasumsikan bahwa perkembangan transnasionalitas sektoral dan non-politik pada tahapan
tertentu kemudian mengimbas menjadi kebutuhan untuk memperluas dan akhirnya menjangkau
ranah politik sebagai penguat dan formalisasi integrasi regional ASEAN. Dengan demikian,
menurut pendekatan fungsional, Komunitas ASEAN adalah salah satu milestone pelembagaan
integrasi regional negara-negara Asia Tenggara. Nemun, pendekatan ini dianggap Eropa-sentris,
mengingat bahwa ASEAN dibentuk justru sebaliknya, dimulai dari inisiatif politis-ideologis di
masa Perang Dingin, baru kemudian melakukan perluasan dan pragmatisasi ke ranah non-politik.

Model neofungsionalis lebih sempurna ketimbang model fungsionalis karena dapat menyediakan
suatu kerangka analisis untuk membandingkan proses-proses integratif di kawasan-kawasan
yang lebih dan kurang berkembang di dunia, dan untuk menilai sejauh mana organisasi-organisasi
ekonomi mikroregional, atau yang secara fungsional bersifat khusus memelihara potensi bagi
perkembangan selanjutnya menuju sebentuk federasi. Bangunan model neofungsionalis dapat dan
telah menyediakan proposisi-proposisi teoritik yang lebih eksplisit yang penting untuk
memahami batasan-batasan, dan juga potensi, dalam menjelaskan integrasi dan menyediakan satu
strategi untuk mempercepat proses integrasi. Namun demikian, sementara politik makroregional
ASEAN telah mampu memainkan peranan konstruktif dalam mengendalikan konflik antarnegara
antaranggota, ASEAN tidak berhasil menangani kasus-kasus konflik yang utamanya bersifat
internal.Di sejumlah negara anggota ASEAN masih terdapat tantangan yang berasal dari
kekuatan-kekuatan subnasional sentrifugal dari para para pendukung otonomi kedaerahan yang
dalam beberapa hal menjelma menjadi gerakan pemisahan diri (secession), kemudian ancaman
terhadap pluralitas ASEAN berupa pengucilan atau penindasan terhadap kelompok-kelompok
minoritas yang tak dikehendaki dari sebuah wilayah kebangsaan, dan perebutan dominasi satu
kelompok etnik, bahasa, atau keagamaan oleh kelompok lainnya. Belum lagi termasuk maraknya
kejahatan transnasional seperti penyelundupan, perdagangan obat terlarang dan narkoba,
perdagangan perempuan dan anak-anak, perbudakan manusia, perdagangan gelap senjata, dan
sebagainya. Untuk menjawab persoalan seperti ini kerangka pemikiran neofungsionalis tidak
banyak berbicara.

Sementara itu pendekatan konstruktivis mampu menjelaskan ASEAN yang sering dipandang
sebagai anomali dalam politik internasional, di mana sebagai negara-negara lemah (ringkih), atau
negara mediocre (tanggung) seharusnya menjadi obyek bagi kepentingan politik negara-negara
besar, namun kenyataannya ASEAN justru semakin menarik perhatian dan mendapat
kepercayaan dari negara-negara besar yang pada dasarnya saling tidak percaya satu sama lain.
Konstruktivisme mampu menangkap kenyataan bahwa ASEAN selalu mengedepankan semangat
kesalingbergantungan (interdependence), perasaan senasib (common fate), penyerbasamaan

11
(homogenization), dan sikap menahan diri (self-restraint). Masa depan Komunitas ASEAN
terletak pada jawaban atas pertanyaan apakah ASEAN mampu terus menjadi broker ekonomi dan
keamanan yang netral dan dipercaya oleh negara-negara besar, dan itu semua terletak pada sejauh
mana kohesivitas ASEAN terus dipacu agar tidak ketinggalan oleh laju perkembangan globalisasi
ekonomi dan sosial di kawasan maupun di dunia. Tambahan, Keberhasilan ASEAN melakukan
stabilisasi politik kawasan, baik di lapis pertama (keamanan) maupun di lapis kedua (ekonomi)
hendaknya segera diikuti internalisasi dan sosialisasi secara serius ke lapis ketiga (masyarakat)
agar tugas-tugas regional formal ASEAN mendapatkan legitimasi dan dukungan luas masyarakat
Asia Tenggara dalam rangka meningkatkan kualitas hidup masyarakat serta menghadapi
maraknya problem-problem sosial, pendidikan, keamanan, ekonomi, di lapis ketiga tersebut.(*)

CATATAN

12
1
Reinhold Niebuhr, “The Illusion of World Government,” Bulletin of the Atomic Scientists, V (Oktober 1949), hal. 289-
292.
2
Hans J. Morgenthau, Politics Among Nations (New York: Knopf, 1978), hal. 499-507.
3
Ernst B. Haas, The Uniting of Europe (Stanford: Stanford University Press, 1958), hal. 16.
4
Ibid.
5
Henry A. Kissinger, A world restored; Metternich, Castlereagh and the problems of peace, 1812-22(Boston, Houghton
Mifflin, 1957).
6
Thomas Hobbes, Leviathan (Oxford: Basil H. Blackwell, 1967), hal. 109, 174. Ralph Dahrendorf, Class and Class
Conflict in Industrial Society (Stanford: Stanford University Press, 1959), hal. 157, dan Essays in the Theoryof Society
(Stanford: Stanford University Press, 1968), hal. 147-150.
7
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999).
8
Sebagian dari pemahaman teoritik dalam tulisan ini, terutama fungsionalisme dan neofungsionalisme dikutip dan
diterjemahkan dari James E. Dougherty dan Robert L. Pflatzgraff, Jr., Contending Theories of International Relations: A
Comprehensive Survey, edisi 5 (New York: Longman, 2001), Bab 10 “Theories of International Cooperation and
Integration”. Untuk pendekatan konstruktivisme disarikan dari Alexander Wendt, ibid.
9
David Mitrany, A Working Peace System (Quadrangle Book, Chicago, 1966)
10
Ernst B. Haas, loc cit.
11
Ernst B. Haas, Beyond the Nation-State (Stanford: Stanford University Press, 1964), hal. 29.
12
Leon N. Linberg, The Political Dynamics of European Economic Integration (Stanford: Stanford University Press,
1963), hal. 6.
13
Leon N. Lindberg, “Political Integration as a Multidimensional Phenomenon Requiring Multivariate Measurement,”
dalam Leon N. Lindberg dan Stuart A. Scheingold, eds., Regional Integration (Cambridge, Mass.: Harvard University
Press, 1971), hal, 45-46.
14
Donald J. Puchala, “Of Blind Men, Elephants and International Integration,” Journal of Common Market Studies, X, No.
3 (Maret, 1972), hal. 277.
15
Karl W. Deutsch dkk., Political Community and the North Atlantic Area (Princeton: Princeton University Press, 1957),
hal. 5
16
Karl W. Deutsch, The Analysis of International Relations (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1978), hal. 198-199.
17
Philip E. Jacob dan Henry Teune, “The Integrative Process: Guidelines for Analysis of the Bases of Political
Community,” dalam Philip E. Jacob dan James V. Toscano, eds., The Integration of Political Communities (Philadelphia:
Lippincott, 1964), hal. 4.
18
Johan K. De Vree, op. cit., hal. 11.
19
James A. Caporaso dan Alan L. Pelowski, “Economic and Political Integration in Europe: A Time series Quasi-
Experimental Analysis.” American Political Science Review, 65, No. 2 (Juni 1975), hal. 421-422.
20
Amitai Etzioni, Political Unification (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1965), hal. 4. “Suatu komunitas politik
adalah suatu komunitas yang memiliki tiga jenis integrasi: (a) punya kendali efektif atas penggunaan cara-cara kekerasan
(meskipun mungkin ‘mendelegasikan’ sebagian dari monopoli ini pada unit-unit anggotanya; (b) punya suatu pusat
pembuatan keputusan yang mampu mempengaruhi secara berarti alokasi sumber daya dan penghargaan bagi segenap
komunitas; dan (c) terdapat pemusatan perhatian dominan pada identifikasi politik bagi mayoritas luas dari warga yang
sadar politik.” Ibid., hal. 329.
21
Ibid., hal. 332.
22
Dalam karyanya mengenai nasionalisme, Deutsch menulis: “Komunitas yang mengijinkan suatu sejarah bersama untuk
dialami bersama adalah sebuah komunitas kebiasaan komplementer dan merupakan fasilitas bagi komunikasi. Boleh
dikatakan bahwa hal itu mempersyaratkan kelengkapan untuk sebuah tugas. Tugas ini meliputi penyimpanan,
pemanggilan kembali, pengiriman, penggabungan ulang, dan penerapan ulang dari informasi yang relatif berjangkauan
luas, dan ‘kelengkapan’ yang terkandung di dalam ingatan-ingatan, simbol, kebiasaan, pilihan-pilihan yang berlaku, dan
fasilitas-fasilitas yang dipelajari tersebut, yang sesungguhnya akan secara memadai bersifat komplementer untuk
memungkinkan kinerja fungsi-fungsi ini. Suatu kelompok orang yang lebih besar yang dipertalikan oleh kebiasaan
komplementer tersebut dan memfasilitasi komunikasi dapat kita sebut masyarakat.” Nationalism and Social
Communication (Cambridge, Mass.: M.I.T. Press, 1953), hal. 96. (cetak miring dari aslinya.)
23
Karl W. Deutsch, “The Impact of Communication Upon International Relations Theory,” dalam Abdul Said, ed., Theory
of International Relations: The Crisis of Relevance (Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1968), hal. 75.
24
Ibid., hal. 76.
25
Gagasan Deutsch mengenai sebuah komunitas keamanan adalah komunitas di mana anggota-anggotanya tidak
mempertahankan harapan berperang satu sama lain, namun bukan disebabkan karena keperluan mereka untuk merasa
lebih aman dari serangan eksternal ke dalam dari pada ke luar komunitas tersebut.
26
Sejak berakhirnya perang Vietnam tahun1975.
27
Gagasan ini sama dengan sistem sosial menurut Talcott Parson, di dalam mana orang-orang mengembangkan harapan-
harapan mengenai perilaku satu sama lain. Talcott Parsons dan Edward A. Shils, Toward a General Theory of Action:
Theoretical Foundations for the Social Sciences,3rd ed. (Edison, NJ: Transaction Publishers, 2007).
28
Charles Pentland, “Fungsionalism and Theories of International Political Integration,” dalam A. J. R. Groom dan Paul
Taylor, eds., op. cit., hal. 18.
29
Haas menunjuk pada konsep “pelimpahan” sebagai “logika perluasan sektor-sektor integrasi,” dan menyatakan: “Jikalau
para aktor yang berpikir berdasarkan persepsi yang diilhami oleh kepentingan mereka, berhasrat menyerap pelajaran
integratif yang dipelajari di satu ranah ke suatu situasi baru, maka pelajaran itu akan digebyahkan.” Beyond the Nation
State (Stanford: Stanford University Press, 1964), hal. 48.
30
Ernst B. Haas, “International Integration: The European and the Universal Process,” International Organization, XV
(Musim Gugur, 1961), hal. 372.
31
Joseph S. Nye, Peace in Parts: Integration and Conflict in Regional Organization (Boston: Little, Brown, 1977), hal. 56-
58.
32
Pengamatan Nye dalam hal ini mungkin cocok untuk menjelaskan merosotnya kelembagaan Uni Eropa tatkala mereka
mengalami krisis finansial. Sebelumnya, terjadi spill-over di mana para elit dan kelompok-kelompok kepentingan
mendapatkan keuntungan pada masa awal integrasi, tetapi kemudian menjadi enggan untuk mengambil langkah-langkah
integratif tambahan ketika laju pertumbuhan merosot. Ketika laju pertumbuhan menurun akibat krisis finansial, sentimen
proteksionis nasional kembali menyala dan para pemerintah merasa ragu untuk meningkatkan kepentingan bersama
karena tentunya mereka khawatir terhadap efek sebaliknya pada peluang kerja, inflasi, neraca, dan masalah-masalah
keuangan.
33
Nye, op. cit., hal. 67.
34
Ibid., hal. 68.
35
Ibid., hal. 71-72.
36
Ibid., hal. 73.
37
Baca misalnya di http://www.questia.com/library/1G1-300952052/income-inequality-hinders-asean-integration. Diunduh
5 Oktober 2012
38
Nye, op. cit., hal. 82.
39
Ibid., hal. 172, 198-199; dan Donald Rostchild, “Ethnicity and Conflict Resolution,” World Politics, XXII (Juli 1970),
hal. 597-616.
40
Dougherty dan Pfaltzgraff, Jr., op. cit.
41
Charles Pentland, International Theory and European Integration (London: Faber and Faber, 1973), hal. 98.
42
Lynn Krieger Mytelka, “The Salience of Gains in Third World Integrative Systems,” World Politics, 25 No. 2 (Januari
1973), hal. 237-243. Lihat juga David Morawetz, “Harmonization of Economic Policies in Customs Union: The Andean
Group,” Journal of Common Market Studies, XI, No. 4 (Musim Gugur, 1970). “Sangat tidak memungkinkan bagi
Kelompok Andean untuk mencapai tahap wilayah mata-uang yang optimum, bahkan untuk sekadar mendekati optimum.”
Hal ini dipatok oleh adanya imobilitas tenaga kerja di dalam dan di antara negara-negara di kawasan itu, prosentase
perdagangan manca yang sangat rendah disebabkan adanya kebijakan substitusi impor, kerawanan berat dalam hal neraca
pembayaran terhadap negara-negara manca, dan perbedaan berarti dalam hal laju inflasi antarnegara anggota.
43
Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, op. cit., hal. ix.
44
Ibid., hal. 305. Baca selanjutnya uraian di dalam bab ini.
45
Clifford, S. (2011) ‘Theory Talk #42: Amitav Acharya on the Relevance of Regions, ASEAN, and Western IR’s False
Universalisms’, Theory Talks, http://www.theorytalks.org/2011/08/theory-talk-42.html(10-08-2011)
46
Ibid.
47
Ibid.
48
Baca, antara lain http://www.republika.co.id/berita/internasional/tragedi-rohingya/12/08/18/m8x1zw-asean-tegur-
pemerintah-myanmar. Diunduh tanggal 5 Oktober 2012.
49
Acharya dalam Clifford, op. cit.
50
Anderson, Benedict R. O'G, Imagined communities: reflections on the origin and spread of nationalism. (Verso: London,
1991).

You might also like