Professional Documents
Culture Documents
2/1/2 It is not permitted to stipulate any financial compensation, either in cash or in other
consideration, as a penalty clause in respect of a delay by a debtor in settling his debt, whether or
not the amount of such compensation is pre-determined; this applies both to compensation in
respect of loss of income
(opportunity loss) and in respect of a loss due to a change in the value of the currency of the
debt.
2/1/3 It is not permitted to make a judicial demand on a debtor in default to pay financial
compensation, in the form either of cash or of other consideration, for a delay in settling his debt.
2/1/4 The procrastinating debtor is liable for legal and other expenses incurred by the creditor in
order to recover his debt.
2/1/5 The creditor is entitled to apply for the sale of any asset mortgaged as collateral for the
debt, for the liquidation of the debt. He is equally intitled to stipulate that the debtor must give a
mandate to the creditor to sell the mortgaged asset without recourse to the courts.
2/1/6 Unless failure to pay was caused by force majeure, it is permissible to stipulate that all
outstanding instalments become due once the procrastinating debtor fails to pay an instalment. It
is preferable that this clause is implemented only after notifying the debtor and after the lapse of
a reasonable period of time. [see Shari’ah Standard No. (5) on Guarantees (item 5/1)]
2/1/7 In the case of a Murabahah sale, if the asset that was sold is still available in the condition
in which it was sold, and the buyer has defaulted in the settlement of the price and has later
become bankrupt, then the seller (the Institution) is entitled to repossess the asset instead of
initiating procedures to obtain a bankruptcy order.
2/1/8 It is permissible in contracts involving indebtedness (such as Murabahah) to stipulate an
undertaking by the debtor, that in case of procrastinating in payment, the latter will donate an
amount or a percentage of the debt to be spent for charitable causes through the Institution.
The debtor must settle his debt when it is due. Default in payment by a debtor who is able to
settle the debt is prohibited. The Prophet (peace be upon him) says: “Default in payment on the
part of a solvent debtor is unjust.” He (peace be upon him) also says: “Delay in payment by a
solvent debtor would be a legal ground for his being publicly dishonoured and
punished.”Moreover, he (peace be upon him) approved the statement of Salman Al-Farisi to Abu
Al-Darda` saying: “Give everyone his right.”Muslim scholars have agreed on the permissibility
of a debtor being punished in such circumstances. However, an insolvent debtor should be
granted a grace period.
A Commitment on the Part of the Debtor to Make a Donation in Case of
Default
The permissibility of stipulating a condition, whereby the debtor in case of default is obliged to
donate a sum of money (in addition to the amount of the debt) to be spent by the creditor (the
Institution) on charitable causes, is because this has been considered as an instance of the
commitment to make a donation, which is well established in the Maliki school of law. This is
the opinion of Abu Abdullah Ibn Nafi’ and Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Dinar, two Maliki jurists
2/1/1 Wanprestasi yang dilakukan oleh debitur yang mampu membayar utang adalah Haram (dilarang).
2/1/2 Tidak diizinkan untuk menetapkan ganti rugi dalam bentuk apapun, baik dalam bentuk tunai
ataupun dalam bentuk lain, sebagai klausul penalti sehubungan dengan penundaan oleh debitur dalam
melunasi utangnya, baik jumlah tersebut sudah atau belum disepakati di awal transaksi. Hal ini juga
berlaku baik untuk ganti rugi yang berhubungan dengan hilangnya pendapatan (kehilangan kesempatan)
atau yang berhubungan dengan kerugian karena perubahan nilai mata uang utang.
2/1/3 Tidak diizinkan untuk membuat kontrak atau kesepakatan yang berdasarkan hukum untuk
membayar kompensasi keuangan, baik dalam bentuk uang tunai atau bentuk lainnya dalam hal
penundaan pembayaran kewajiban (hutang)
2/1/4 Debitur yang menunda pembayaran bertanggung jawab atas segala biaya hukum dan pengeluaran
lain yang dikeluarkan oleh kreditur untuk memulihkan utangnya.
2/1/5 Kreditur berhak untuk mengajukan permohonan penjualan aset yang digadaikan sebagai jaminan
atas utang, untuk likuidasi utang. Kreditur juga berhak untuk menetapkan bahwa debitur harus
memberikan izin kepada kreditur untuk menjual aset yang digadaikan tanpa bantuan pengadilan.
2/1/6 Jika kegagalan pembayaran disebabkan oleh force majeure, maka diperbolehkan untuk
menetapkan bahwa semua angsuran yang terhutang akan jatuh tempo begitu debitor yang menunda-
nunda gagal membayar angsuran. Lebih baik bahwa klausul ini diterapkan hanya setelah memberi tahu
debitur dan setelah selang waktu yang masuk akal. [lihat Shari'ah Standard No. (5) tentang Jaminan
(item 5/1)]
2/1/7 Dalam kasus penjualan Murabahah, jika aset yang dijual kepada nasabah masih ada dengan
kondisi yang masih baik sebagaimana ketika barang tersebut dijual, sedangkan pembeli tidak mampu
dalam menyelesaikan kewajibannya dan mengalami kebangkrutan, maka penjual berhak mengambil alih
aset tersebut
2/1/8 Hal ini diperbolehkan dalam kontrak utang piutang (seperti Murabahah) untuk kegiatan usaha,
yakni dalam kasus penundaan pembayaran, yang terakhir akan menyumbangkan jumlah atau
persentase dari hutang yang akan dibelanjakan untuk amal menyebabkan melalui Lembaga.
Debitur harus melunasi utangnya ketika jatuh tempo. Gagal bayar dalam pembayaran oleh debitur yang
mampu melunasi utang itu dilarang. Nabi (saw) mengatakan: "Default dalam pembayaran pada bagian
dari debitur pelarut tidak adil." Dia (saw) juga mengatakan: "Keterlambatan pembayaran oleh pelarut
debitur akan menjadi dasar hukum untuk nya secara terbuka dicemarkan dan dihukum. ”Selain itu, ia
(saw) menyetujui pernyataan Salman Al-Farisi kepada Abu Al-Darda` mengatakan:“ Berikan haknya
kepada semua orang. ”Para sarjana Muslim telah sepakat tentang kebolehan seorang debitur dihukum
dalam keadaan seperti itu. Namun, debitur pailit harus diberikan masa tenggang.
Komitmen pada Bagian dari Debitur untuk Memberikan Donasi dalam Kasus Gagal
Kebolehan menetapkan suatu kondisi, di mana debitur dalam hal kegagalan wajib menyumbangkan
sejumlah uang (selain jumlah utang) yang akan dihabiskan oleh kreditur (Lembaga) untuk tujuan amal,
adalah karena ini memiliki telah dianggap sebagai contoh komitmen untuk memberikan donasi, yang
didirikan dengan baik di sekolah hukum Maliki. Ini adalah pendapat Abu Abdullah Ibn Nafi 'dan
Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Dinar, dua ahli hukum Maliki
Guarantor
a) It is permissible for a creditor to demand that a debt be settled by the debtor or the guarantor
of the debtor, unless the guarantor stipulated that the settlement must first be sought from the
debtor.
b) All rulings applicable to debtors in default are equally applicable to guarantors in default.
Contractor
It is permissible to include penalty clauses in contracts for construction, Istisna’a and supply
contracts. In case of a refusal to pay the amount due under a penalty clause, the rulings relating
to default by a debtor would be applicable. It is permitted to deduct the amount from outstanding
amounts due to the contractor.
Penjamin
a) diperbolehkan bagi kreditor untuk meminta agar hutang diselesaikan oleh debitur atau penjamin
debitur, kecuali penjamin menetapkan bahwa penyelesaian harus terlebih dahulu dicari dari debitur.
b) Semua putusan yang berlaku untuk debitur secara default sama-sama berlaku untuk penjamin secara
default.
Kontraktor
Diijinkan untuk memasukkan klausul hukuman dalam kontrak untuk konstruksi, Istisna'a dan kontrak
pasokan. Dalam hal penolakan untuk membayar jumlah yang harus dibayar berdasarkan klausul penalti,
putusan yang terkait dengan wanprestasi oleh debitur akan berlaku. Diijinkan untuk mengurangi jumlah
dari jumlah yang belum dibayar karena kontraktor.
Keputusan umum
2/5/1 Institusi berhak untuk [memantau dan] menyelidiki [status dan aktivitas keuangan] dari debitur
yang gagal melalui semua cara yang diizinkan dan sah.
2/5/2 Lembaga dapat menerima pembayaran dari debitur yang gagal bayar melebihi jumlah utang,
asalkan tidak ada kondisi kontrak baik tertulis atau lisan, atau perjanjian khusus atau bersama yang
terkait dengan jumlah tambahan ini .
2/5/3 Diizinkan bagi Institusi untuk menetapkan dalam kontrak yang berhubungan dengan hutang yang,
jika debitur terlambat melakukan pembayaran, Institusi berhak untuk memperoleh kembali jumlah yang
jatuh tempo dari salah satu akun pelanggan dengan Institusi, apakah akun saat ini atau akun investasi.
Hal ini dapat dilakukan tanpa mendapatkan persetujuan lebih lanjut dari debitur karena saldo dalam
akun tersebut adalah mata uang yang sama dengan utang. Namun, jika mata uang berbeda, maka nilai
tukar yang digunakan haruslah nilai tukar yang berlaku.
Penetapan default dalam pembayaran
Default dalam pembayaran ditetapkan ketika, setelah permintaan pembayaran normal, debitur yang
belum membuktikan bahwa dia bangkrut gagal untuk melunasi utang pada tanggal jatuh tempo.