You are on page 1of 17

MAKALAH

RINGKASAN ISI JURNAL TERKAIT DENGAN ETNOMATEMATIKA

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etnomatematika

DOSEN PENGAMPU :
Novitasari, M.Pd.

DISUSUN OLEH :
Sherly Nadyana Eka Putri (191810008)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
TAHUN AJARAN 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
kesempatan, kesehatan dan karunia-Nya serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas pada materi kali ini. Dalam kesempatan ini tidak lupa kami ucapkan terima
kasih sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing dalam hal ini Novitasari, M.Pd. yang telah
memberikan arahan kepada kami untuk membuat makalah. Dan ucapan terima kasih juga kami
ucapkan kepada orang tua dan saudara serta teman yang telah memberikan fasilitas dan telah
membantu kami untuk menyelesaikan tugas ini.

Lamongan, 16 Maret 2021


Judul Jurnal : Didactic Design of Sundanese Ethnomathematics Learning for Primary School
Students (Desain Didaktik Etnomathematika Sunda Pembelajaran untuk Siswa Sekolah
Dasar)

Sumber : http://www.ijlter.org/index.php/ijlter/article/view/1745

Definisi Etnomatematika :

(Ethnomathematics was conceived for the first time by D’Ambrosio in 1985 and
Nunes in 1992 (d'Ambrósio, 1985, 2006).The definition of ethnomathematics derives from
the word ethno, which refers to a social-cultural context that consists of language, jargon,
codes of behavior, myths, and symbols. Mathema means explaining, knowing,
understanding activities such as encoding, measuring, classifying, summarizing, and
modeling. Tics mean technique, in other words, ethno refers to group members within a
cultural environment which identified by their cultural traditions, symbol codes, myths,
and specific ways that used to think and to infer (Rosa & Orey, 2007) Based on the study of
Supriadi (2017) a study of mathematics used the Sundanese culture as an idea of thinking
and by viewing mathematics as a cultural product, it can be composed of a concept of
ethnomathematics learning. The concept of Sundanese ethnomathematics according to
Supriadi can be defined as all activities a person’s ideas based on the Sundanese cultural
view (Sundanese cultural values) which developed through mathematical thought
processes, by seeing that mathematics is a cultural product. The concept becomes a
reference in learning of Sundanese ethnomathematics, this learning develops the concept of
contextual learning so that in the process many use the main component of contextual
learning. Learning ethnomathematics can be begun by (constructivism on Sundanese
culture which will be studied, (2) asking about Sundanese culture, (3) finding a Sundanese
cultural link with mathematical ideas, (4) learning community of Sundanese, (5)
mathematical modelling featuring Sundanese culture, (6) reflection in studying Sundanese
culture, (7) authentic assessment. a. Constructivism: Students construct knowledge and
feed through real experience. The lecturer or teacher chose cultural aspects which one to
choose so that it can help students more quickly and easily understand the concepts
described. b. Asked: Digging information, inform what is already known, and led to the
aspect of the unknown.Students who do not have a culture referenced trouble to ask,
precise and purposeful. Lecturer or teachers must explain why he took certain cultural
aspects or elements, to debunk, in a culture of equality issues. c. Search: Knowledge and
skills are the result of finding themselves, not the result of the fact, lecturers/teacher should
be able to design learning experiences that refer to events find themselves
Lecturers/Teachers should be able to choose the relevant culturally so that learners cannot
find itself the substance of learning materials. Lecturers/Teachers should be able to
integrate elements of the culture so that learning becomes meaningful. d. Learning
Together: There are groups studying heterogeneous (plural). How to empower learners
who are smarter to guide the less able, pushes the sluggish, which had bold
ideas.Lecturers/teachers and students strive to develop campus culture, equality, and
justice pedagogy, as well as unity in diversity and how to create unity, without losing its
identity in diversity e. Modeling: Learning the skills or knowledge of the particular model.
Students are able to solve the problem can be presented as a model of learning.
Lecturers/Teachers find examples of local culture to be displayed as a problem-solving
model in learning. Students can find examples of participation in society (civil society). f.
Reflection: How to think that reveals something of a learning experience to respond to
things that are new. Ability to preview and predict, and integrating them with new ones.
Students can reflect ethnomathematics learning experiences related to the topic or theme of
learning who introduced the lecturer/teacher. Lecturers provide a stimulus to a reflection
that occurs inthe culture of students. Lecturers/teachers can instill the concept of a new
culture so that it integrates with the concept of culture that has been owned by the learners
(enrichment, renovation, and integration). g. Authentic Assessment: An overview of
student learning progress drawn from real activities, both inside and outside the
classroom.Lecturers or teachers can explore the development of students to show the
conditions that have been integrated with their cultural treasures are still separated from
each other, or even against each other. Lecturers or teacher takes an individual approach
inside or outside the classroom with various forms of assessment of students.)

Ethnomathematics dikandung untuk pertama kalinya oleh D'Ambrosio pada tahun 1985
dan Nunes pada tahun 1992 (d'Ambrósio, 1985, 2006). Definisi etnomathematika berasal dari
kata etno, yang mengacu pada konteks sosial-budaya itu terdiri dari bahasa, jargon, kode
perilaku, mitos, dan simbol. Mathema berarti menjelaskan, mengetahui, memahami aktivitas
seperti pengkodean, mengukur, mengklasifikasikan, meringkas, dan memodelkan. Tics berarti
teknik, dalam Dengan kata lain, etno mengacu pada anggota kelompok dalam lingkungan budaya
yang diidentifikasikan dengan tradisi budaya, kode simbol, mitos, dan spesifikny cara yang
digunakan untuk berpikir dan menyimpulkan (Rosa & Orey, 2007)

Berdasarkan penelitian Supriadi (2017) pembelajaran matematika menggunakan Budaya


sunda sebagai ide berpikir dan memandang matematika sebagaian Produk budaya, dapat berupa
konsep pembelajaran etnomathematika. Konsep etnomathematika Sunda menurut Supriadi bisa
diartikan sebagai segala aktivitas yang merupakan gagasan seseorang berdasarkan pandangan
budaya Sunda (Nilai budaya sunda) yang dikembangkan melalui pemikiran matematis proses,
dengan melihat bahwa matematika adalah produk budaya. Konsep menjadi acuan dalam
pembelajaran etnomathematika Sunda, pembelajaran ini mengembangkan konsep pembelajaran
kontekstual sehingga dalam prosesnya banyak yang menggunakan

Kerangka Teoritis Untuk memahami kreativitas, (Woodman, Sawyer, & Griffin, 1993),
(Mumford, Watego, & Baturo, 2005).

1. kreativitas sebagai pribadi menggambarkan individu dengan pikiran atau ekspresi


uniknya.

2. kreativitas sebagai produk ciptaan asli, baru, dan bermakna.

3. kreativitas sebagai proses merefleksikan keterampilan dalam berpikir meliputi kefasihan,


fleksibilitas, orisinalitas, dan elaborasi.

4. kreativitas sebagai pers adalah kondisi internal atau eksternal itu mendorong munculnya
pemikiran kreatif.

Guiford (1967) menjelaskan bahwa ada lima ciri berpikir kreatif kemampuan sebagai berikut:

1. Kefasihan, kemampuan menghasilkan banyak ide.

2. Fleksibilitas, yaitu kemampuan mengungkapkan berbagai solusi atau pendekatan


masalah.
3. Orisinalitas, yaitu kemampuan untuk mencetuskan ide dengan cara yang asli dan tidak
klise.

4. Elaborasi, yaitu kemampuan mendeskripsikan sesuatu secara detail.

5. Redefinisi adalah kemampuan untuk mereview suatu masalah berdasarkan sesuatu yang
berbeda perspektif tentang apa yang telah ada sebelumnya. Kemampuan berpikir
geometri dalam pembelajaran matematika dikembangkan dari Van Pikir Hiele. Ada tiga
elemen utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, bahan ajar, dan metode
pengajaran yang diterapkan. Menurut Bagi Van Hiele, ada lima langkah bagi siswa
dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan
akurasi.

 Tahap 1. Pengantar. Siswa mulai belajar mengenali bangunan geometri secara


keseluruhan.

 Tahap 2. Analisis. Siswa telah mengenal ciri-ciri yang diamati bangunan geometri.

 Tahap 3. Penyortiran. Siswa dapat mengurutkan bangunan geometri, yaitu satu dengan
lainnya yang saling berhubungan.

 Tahap 4. Pengurangan. Mahasiswa mampu untuk menarik kesimpulan secara deduktif,


yaitu dari umum ke spesifik.

 Tahap 5. Ketepatan. Siswa mulai menyadari betapa pentingnya ketelitian prinsip dasar
yang mendasari pembuktian (Wilson, 1990), (Mason, 2009).

komponen utama pembelajaran kontekstual ; (1) Belajar etnomathematika bisa dimulai


dengan (konstruktivisme tentang budaya Sunda yang akan dipelajari, (2) bertanya tentang
budaya sunda, (3) menemukan kaitan budaya sunda dengan ide matematika, (4) komunitas
belajar bahasa Sunda, (5) matematika modeling yang menampilkan budaya sunda, (6) refleksi
dalam mempelajari bahasa sunda budaya, (7) penilaian otentik. Sebuah.

a. Konstruktivisme: Siswa membangun pengetahuan dan memberi makan secara


nyata pengalaman. Dosen atau guru memilih aspek budaya yang mana memilih
agar dapat membantu siswa lebih cepat dan mudah memahami konsep dijelaskan.
b. Ditanyakan: Menggali informasi, menginformasikan apa yang sudah diketahui,
dan menuntun ke aspek yang tidak diketahui Siswa yang tidak memiliki budaya
yang dirujuk kesulitan untuk bertanya, tepat dan terarah. Dosen atau guru harus
menjelaskan mengapa dia mengambil aspek atau elemen budaya tertentu, untuk
menyanggah, dalam budaya masalah kesetaraan.

c. Pencarian: Pengetahuan dan keterampilan adalah hasil dari menemukan diri


mereka sendiri, bukan Akibatnya, dosen / guru harus mampu mendesain
pembelajaran pengalaman yang merujuk pada peristiwa menemukan diri mereka
Dosen / Guru seharusnya dapat memilih budaya yang relevan sehingga peserta
didik tidak dapat menemukan dirinya sendiri substansi materi pembelajaran.
Dosen / Guru harus bisa memadukan unsur budaya sehingga pembelajaran
menjadi bermakna.

d. Belajar Bersama: Ada kelompok belajar yang heterogen (jamak). Bagaimana


untuk memberdayakan peserta didik yang lebih pintar untuk membimbing mereka
yang kurang mampu, mendorong lesu, yang punya ide berani. Dosen / guru dan
siswa berusaha keras mengembangkan budaya kampus, kesetaraan, dan pedagogi
keadilan, serta persatuan dalam keberagaman dan bagaimana menciptakan
persatuan, tanpa kehilangan jati dirinya dalam keberagaman

e. Pemodelan: Mempelajari keterampilan atau pengetahuan model tertentu. Siswa


yang mampu memecahkan masalah dapat disajikan sebagai model belajar. Dosen
/ Guru mencari contoh budaya lokal untuk ditampilkan sebagai model pemecahan
masalah dalam pembelajaran. Siswa dapat menemukan contoh partisipasi dalam
masyarakat (masyarakat sipil).

f. Refleksi: Bagaimana berpikir yang mengungkapkan sesuatu dari pengalaman


belajar menanggapi hal-hal yang baru. Kemampuan untuk melihat dan
memprediksi, dan mengintegrasikannya dengan yang baru. Mahasiswa dapat
merefleksikan etnomathematics pengalaman belajar yang berkaitan dengan topik
atau tema belajar siapa memperkenalkan dosen / guru. Dosen memberikan
rangsangan untuk melakukan refleksi yang terjadi dalam budaya siswa. Dosen /
guru bisa menanamkan konsep budaya baru sehingga menyatu dengan konsep
budaya itu telah dimiliki oleh peserta didik (pengayaan, renovasi, dan integrasi).

g. Penilaian Otentik: Gambaran kemajuan belajar siswa yang digambar dari kegiatan
nyata, baik di dalam maupun di luar kelas. Dosen atau Guru dapat menggali
perkembangan siswa untuk menunjukkan kondisi yang ada yang sudah menyatu
dengan khasanah budayanya masih terpisah-pisah dari satu sama lain, atau bahkan
melawan satu sama lain. Dosen atau guru mengambil pendekatan individu di
dalam maupun di luar kelas dengan berbagai bentukAa penilaian siswa

Metode penelitian :

(This research used qualitative research, the didactical design research (DDR)
method in the making of learning materials of Sundanese ethnomathematics learning by
improving the ability to think mathematically creatively, geometrical thinking, and algebra
of primary school students.)

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu penelitian desain didaktis
(DDR). metode dalam pembuatan bahan ajar etnomathematika bahasa sunda belajar dengan
meningkatkan kemampuan berpikir matematis secara kreatif, pemikiran geometris, dan aljabar
siswa sekolah dasar.

Pembelajaran matematika yang dikaitkan :

Dalam penelitian ini pembelajaran yang dikaitkan yaitu materi Geometri dasar tentang
bangun ruang Kemampuan berpikir geometri dalam pembelajaran matematika dikembangkan
dari Van Hiele. Ada tiga elemen utama dalam pembelajaran geometri yaitu waktu, bahan ajar,
dan metode pengajaran yang diterapkan. Menurut Bagi Van Hiele, ada lima langkah bagi siswa
dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi.

1. Pengantar. Siswa mulai belajar mengenali bangunan geometri secara keseluruhan.

2. Analisis. Siswa telah mengenal ciri-ciri yang diamati bangunan geometri.


3. Penyortiran. Siswa dapat mengurutkan bangunan geometri, yaitu satu dengan lainnya
yang saling berhubungan.

4. Pengurangan. Siswa mampu untuk menarik kesimpulan secara deduktif, yaitu dari umum
ke spesifik.

5. Ketepatan. Siswa mulai menyadari betapa pentingnya ketelitian prinsip dasar yang
mendasari pembuktian (Wilson, 1990), (Mason, 2009).

Kesimpulan : Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama, desain didaktik
awal disusun dengan menyesuaikan kebutuhan siswa berdasarkan hambatan belajar yang muncul
dan disusun dengan menggunakan pembelajaran etnomathematika Sunda. Itu Hasil yang
diperoleh pada desain didaktik awal menggunakan desain bahasa sunda pembelajaran
etnomathematika dalam meningkatkan pemikiran geometris, berpikir kreatif, dan pemikiran
aljabar dan hampir semuanya sesuai dengan prediksi.
Judul Jurnal : Eksplorasi Etnomathematika pada Kebudayaan Kota Kudus dan Kaitannya
dengan Konsep Geometri Sekolah Menengah Pertama (Ethnomathematics Exploration on
Culture of Kudus City and Its Relation to Junior High School Geometry Concept)

Sumber : https://www.ijern.com/journal/2017/September-2017/14.pdf

Definisi Etnomatematika : (Ethnomatematics has long been introduced by Brazilian


educator Ubiratan D'ambroso in 1977, the language of the prefix "ethno" is defined as
something very broad that refers to the social-cultural context, including language, jargon,
codes of behavior, myths, and symbols. The basic word "mathema" tends to mean
explaining, knowing, understanding, and performing activities such as coding, measuring,
classifying, summarizing, and modeling. The suffix "tics" is derived from techne, and it has
the same means of technique. ) Ethnomatematics telah lama diperkenalkan oleh Pendidik
Brazil Ubiratan D'ambroso pada tahun 1977, bahasa awalan "ethno" diartikan sebagai sesuatu
sangat luas yang mengacu pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku,
mitos, dan simbol. Kata dasar "mathema" cenderung berarti menjelaskan, mengetahui,
memahami, dan melakukan kegiatan seperti pengkodean, pengukuran, pengklasifikasian,
peringkasan, dan pemodelan. Akhiran "tics" diturunkan dari techne, dan itu memiliki cara teknik
yang sama.

D'ambroso pada tahun 1977 mengemukakan sebuah teori Etnomatematika adalah salah
satunya Ide-ide tersebut memadukan pembelajaran matematika dengan budaya, sehingga akan
tercipta pembelajaran yang bermakna dan pemahaman siswa akan lebih maksimal.

(Mathematics itself is the result of human culture as a result of activities, make


patterns, design, calculate and implement to solve problems in everyday life. According to
Ilhan (2011) ethnomatematical perspectives are aware of and accept from cultural
conventions including language, social and ideological environment for learning
mathematics, it considers mathematical education a strong structure that helps students
and teachers to personal, social, economic, and personal criticism and transformation other
cultural patterns). Matematika itu sendiri adalah hasil kebudayaan manusia sebagai hasil dari
aktivitas, membuat pola, mendesain, menghitung dan menerapkan untuk memecahkan masalah
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Ilhan (2011) ethnomatematical perspektif menyadari dan
menerima dari konvensi budaya termasuk bahasa, sosial dan ideologis lingkungan untuk belajar
matematika, menganggap pendidikan matematika sebagai struktur yang kuat yang membantu
siswa dan guru untuk pribadi, sosial, ekonomi, dan kritik pribadi dan transformasi budaya
lainnya pola.

(Ethnomatics is one of the new ideas that can answer the above problems.
Ethnomatematics one of the ideas combines the learning of mathematics with culture, so
that will create meaningful learning and understanding of students will be more leverage.
New mathematical concepts both inside and outside school are cultural elements that are
used as sources of learning, including works, games, posters, mathematical puzzles and
building forms (Shirley and Towson, 2001). Ethnomatematics has long been introduced by
Brazilian educator Ubiratan D'ambroso in 1977, the language of the prefix "ethno" is
defined as something very broad that refers to the social-cultural context, including
language, jargon, codes of behavior, myths, and symbols. The basic word "mathema" tends
to mean explaining, knowing, understanding, and performing activities such as coding,
measuring, classifying, summarizing, and modeling. The suffix "tics" is derived from
techne, and it has the same means of technique). Ethnomatics merupakan salah satu ide baru
yang dapat menjawab permasalahan diatas. Etnomatematika salah satunya Ide-ide tersebut
memadukan pembelajaran matematika dengan budaya, sehingga akan tercipta pembelajaran yang
bermakna dan pemahaman siswa akan lebih maksimal. Konsep matematika baru baik di dalam
maupun di luar sekolah adalah unsur budaya yang digunakan sebagai sumber belajar, antara lain
karya, permainan, poster, matematika teka-teki dan bentuk bangunan (Shirley dan Towson,
2001). Ethnomatematics telah lama diperkenalkan oleh Pendidik Brazil Ubiratan D'ambroso
pada tahun 1977, bahasa awalan "ethno" diartikan sebagai sesuatu sangat luas yang mengacu
pada konteks sosial budaya, termasuk bahasa, jargon, kode perilaku, mitos, dan simbol. Kata
dasar "mathema" cenderung berarti menjelaskan, mengetahui, memahami, dan melakukan
kegiatan seperti pengkodean, pengukuran, pengklasifikasian, peringkasan, dan pemodelan.
Akhiran "tics" diturunkan dari techne, dan itu memiliki cara teknik yang sama.

Metode penelitian
(This research was a kind of research and development. This research developed a
guidebook of integrated character education in the subject matters). Penelitian ini
merupakan jenis penelitian dan pengembangan. Penelitian ini mengembangkan buku pedoman
pendidikan karakter terintegrasi dalam materi pelajaran.

Pembelajaran matematika yang dikaitkan :

(Based on the results of research and discussion that have been described previously, it can be
concluded that the Kudus society has unconsciously applied mathematical knowledge in their
daily lives. This ethnomatmatically charged community activity can be developed as a learning
resource for school math. Concepts that have been used by the Kudus society include the concept
of flat geometry and space geometry. The concept of flat geometry includes: the circle contained
in Caping Kalo, the triangle contained on the roof of the Tower of the Kudus, the trapezoid
contained on the roof of the cungkup of the Sunan Kudus tomb, the rectangle contained in the
Jenang Kudus, the circle contained in the Gentong well. Concept space geometry includes: a
quadrilateral pyramid contained on the cungkup of the Sunan Kudus tomb, the triangular
pyramid contained in the Awug-awug cake, the cuboid contained in the Puli cake, and the
triangular prism contained on the roof of the Kawas traditional house. In the Kudus culture in
one shape there is not only one concept of geometry but also there are various concepts used).
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat dikatakan
dapat menyimpulkan masyarakat Kudus secara tidak sadar telah menerapkan ilmu matematika
dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan komunitas yang bermuatan etnomatatis ini dapat
dikembangkan sebagai sumber belajar matematika sekolah. Konsep yang banyak digunakan
masyarakat Kudus antara lain konsep geometri datar dan geometri ruang. Konsep geometri datar
meliputi: lingkaran yang terdapat pada Caping Kalo, segitiga terdapat pada atap Menara Kudus,
trapesium yang terdapat di atap cungkup makam Sunan Kudus, persegi panjang terdapat di
Jenang Kudus, lingkaran yang terdapat di sumur Gentong. Konsep geometri ruang meliputi:
piramida segi empat yang terdapat pada cungkup makam Sunan Kudus berbentuk segitiga
piramida yang terdapat pada kue awug-awug, kubus yang terdapat pada kue puli, dan prisma
segitiga yang terdapat di atap rumah adat Kawas. Dalam budaya Kudus yang satu bentuknya
tidak hanya satu konsep geometri tetapi juga ada berbagai konsep yang digunakan.
Penerapan Hasil Penelitian jika diterapkan di indonesia

Pelajaran dengan latihan etnomatematik siswa sekolah menengah di wilayah Arab di Israel
menunjukkan bangunan tersebut naik geometri dan menemukan karakteristik ini sebagai
pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan. Siswa yang menggunakan ETA lebih
baik dalam hasil dan retensi daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional
metode (Emmanuel, et al, 2009). Kota Kudus memiliki banyak hasil budaya yang dapat
dijadikan jembatan penyeberangan siswa dalam visualisasi objek geometri. Peneliti dianggap
perlu dilakukan eksplorasi bentuk etnomathematics di kota Kudus dan sekitarnya kaitannya
dengan konsep geometri sekolah menengah pertama.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya
dapat dikatakan dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Kudus secara tidak sadar telah
menerapkan ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan komunitas yang bermuatan
etnomatatis ini dapat dikembangkan sebagai sumber belajar matematika sekolah. Konsep yang
banyak digunakan masyarakat Kudus antara lain konsep geometri datar dan geometri ruang.
Konsep geometri datar meliputi: lingkaran yang terdapat pada Caping Kalo, segitiga terdapat
pada atap Menara Kudus, trapesium yang terdapat di atap cungkup makam Sunan Kudus, persegi
panjang terdapat di Jenang Kudus, lingkaran yang terdapat di sumur Gentong. Konsep geometri
ruang meliputi: piramida segi empat yang terdapat pada cungkup makam Sunan Kudus
berbentuk segitiga piramida yang terdapat pada kue awug-awug, kubus yang terdapat pada kue
puli, dan prisma segitiga yang terdapat di atap rumah adat Kawas. Dalam budaya Kudus yang
satu bentuknya tidak hanya satu konsep geometri tetapi juga ada berbagai konsep yang
digunakan.
Judul Jurnal : (Effect of Ethno-Mathematics Teaching Materials on Students’Achievement
in Mathematics in Enugu State) Pengaruh Bahan Ajar Etno-Matematika terhadap Siswa
Prestasi Matematika di Negeri Enugu

Sumber : https://scholar.google.co.id/scholar?
q=Effect+of+ethno+mathematics+teaching+materials+on+students&hl=id&as_sdt=0&as_v
is=1&oi=scholart#d=gs_qabs&u=%23p%3DPnu1JHSWUKAJ

Definisi Etnomatematika :

(NCTM (2013) defined Ethno-mathematics as the study of the relationship between


mathematics and culture or the mathematics which is practiced among identifiable cultural
groups. Or the investigation of the traditions, practices and mathematical concepts of
subordinated social groups (Knijnik, 1998). Ethno-mathematics is the study of
mathematics which takes into consideration the culture in which mathematics is embedded.
Mathematical concepts and ideas found in the cultural practices and social activities of
Igbo-Etiti cultural group are more prominent in their occupations and crafts, particularly
in their social activities, mode of measurements and counting system. It is the mathematics
concepts and ideas embedded in the teaching materials found in the social activities, crafts
and mode of measurement of this cultural group that this study intends to investigate its
effect on mathematics achievement of Senior Secondary School two (SSS2) students. The
use of ethno-mathematics materials as strategies for teaching mathematics are
accompanied with a lot of uses in the teaching and learning processes educators need to be
aware of. Its instructional materials have been developed and used by Flores (1997) as
strategies for Hispanic students. And this can be used both to increase the social awareness
of students and offer alternative methods of approaching conventional mathematics
operations (Gerdes, 2001); and the best of alternative approaches should come or be given
through practical activities using concrete materials (NCTM, 2013), such as ethno-
mathematics materials. It is a way of bringing together culture and mathematics in the
classroom. Ideally, it is a way of bringing the cultural context of mathematics to students
by teaching culturally based mathematics that students can relate to.)
NCTM (2013) mendefinisikan Etno-matematika sebagai studi tentang hubungan antara
matematika dan budaya atau matematika yang dipraktikkan di antara kelompok budaya yang
dapat diidentifikasi. Atau investigasi tradisi, praktik dan konsep matematika dari kelompok
sosial yang tersubordinasi (Knijnik, 1998). Etno-matematika adalah studi matematika yang
mempertimbangkan budaya di mana matematika tertanam. Konsep dan ide matematika
ditemukan dalam praktik budaya dan aktivitas sosial kelompok budaya Igbo-Etiti lebih menonjol
dalam pekerjaan dan kerajinan mereka, terutama dalam kegiatan sosial, cara pengukuran mereka
dan sistem penghitungan. Ini adalah konsep dan ide matematika yang tertanam dalam bahan ajar
yang ditemukan di Kegiatan sosial, kerajinan dan moda ukur kelompok budaya inilah yang ingin
diteliti dalam penelitian ini berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa Sekolah
Menengah Atas Dua (SSS2). Penggunaan materi etno-matematika sebagai strategi pengajaran
matematika disertai dengan banyak hal penggunaan dalam proses belajar mengajar yang perlu
diperhatikan oleh pendidik. Materi instruksionalnya telah dikembangkan dan digunakan oleh
Flores (1997) sebagai strategi untuk siswa Hispanik. Dan ini bisa digunakan keduanya untuk
meningkat kesadaran sosial siswa dan menawarkan metode alternatif pendekatan matematika
konvensional operasi (Gerdes, 2001); dan pendekatan alternatif terbaik harus datang atau
diberikan melalui praktik kegiatan menggunakan bahan konkret (NCTM, 2013), seperti materi
etno-matematika. Ini adalah cara untuk mendatangkan bersama budaya dan matematika di kelas.
Idealnya, ini adalah cara membawa konteks budaya matematika kepada siswa dengan
mengajarkan matematika berbasis budaya yang dapat dihubungkan dengan siswa.

Metode penelitian :

(The sample for the study was obtained through multi-stage sampling technique.
First, simple random sampling technique was used in selecting 8 schools out of 16 Senior
Secondary Schools in the Local Government Area. The choice of 8 Senior Secondary
Schools was purposely chosen to enable the researcher handle the sample size effectively.
This was followed by adopting simple random sampling technique in selecting one intact
class each from the four schools. This brought the total number of sampled subjects to 306
students used for the study. Four out of the eight selected schools were randomly assigned
into experimental group, made up of 156 students, while the remaining four schools were
assigned to control group with 150 students)
Daerah Pemerintah Daerah negara bagian Enugu. Sampel penelitian diperoleh melalui
teknik multi-stage sampling. Pertama, pengambilan sampel acak sederhana teknik digunakan
dalam memilih 8 sekolah dari 16 Sekolah Menengah Atas di Wilayah Pemerintah Daerah.
Pemilihan 8 Sekolah Menengah Atas sengaja dipilih agar peneliti dapat menangani besarnya
sampel efektif. Kemudian dilanjutkan dengan mengadopsi teknik simple random sampling dalam
memilih masing-masing satu kelas utuh dari empat sekolah. Ini membuat jumlah subjek sampel
menjadi 306 siswa yang digunakan untuk penelitian. Empat dari delapan sekolah yang dipilih
secara acak menjadi kelompok eksperimen, terdiri dari 156 siswa, Sedangkan empat sekolah
sisanya ditempatkan sebagai kelompok kontrol dengan 150 siswa

Pembelajaran matematika yang dikaitkan :

- (The mean achievements scores of male students taught using ethno-mathematics


teaching materials was significantly higher than the mean achievement scores of
females taught with conventional approach.) Nilai rata-rata prestasi belajar siswa laki-laki
yang diajar menggunakan bahan ajar etno-matematika adalah secara signifikan lebih tinggi
dari nilai prestasi rata-rata perempuan yang diajar dengan pendekatan konvensional.

Penerapan Hasil Penelitian jika diterapkan di indonesia :

- Jika bahan ajar etno-matematika atau metode pembelajaran ini diterapkan di Indonesia,
maka dapat menjadi bahan ajar yang signifikan untuk mendukung terbentuknya pola pikir
dan tumbuh kembang anak.

- Bukan hal yang tidak mungkin untuk diajarkan, karena semua hal yang penyangkut
pembelajaran adalah tentang belajar hal baru untuk kebiasaan dan pola pikir yang baru.

Kesimpulan : Berdasarkan temuan penelitian, terlihat jelas bahwa siswa yang diajar

menggunakan pembelajaran etno-matematika materi mencapai hasil yang lebih baik daripada

siswa pendamping yang diajarkan dengan metode konvensional. Temuan ini juga

mengkonfirmasi pandangan NCTM (2013) bahwa etno-matematika bertujuan untuk menarik dari

budaya pengalaman dan praktik peserta didik individu, komunitas, dan masyarakat luas, dalam
menggunakan mereka sebagai kendaraan untuk tidak hanya membuat pembelajaran matematika

lebih bermakna, tetapi yang lebih penting, untuk membekali peserta didik wawasan pengetahuan

matematika yang tertanam dalam lingkungan sosial dan budaya mereka.

You might also like