You are on page 1of 90

ABSTRACT

Optimizing And Synergy


Marine Security And Safety Operations Models
In Suppressing Crime At Sea ".

Research Team Bakamla


Dirlitbang@Bakamla.go.id

Directorate Research and Development


Deputy for Policy and Strategy
Maritime Security Agency, Indonesian Republic

The research aims to obtain an overview of the operating model and the partial
joint operations conducted all law enforcement agencies in the sea, and to obtain
feedback on the sinergy operation from the perspective of their respective law
enforcement agencies at sea. Data and information such as input on the
comprehensive ideal tersinergi operation and can accommodate all interests
relevant law enforcement agencies. Descriptive qualitative research methods,
through survey research and FGD, research instruments used interviews with key
informants and non key informants. Discussion result: partial operations
conducted law enforcement agencies have strengths and weaknesses, it
becomes the input to formulate the sinergy operation, but required the
agreement so that the design optimization of sinergy operating models
established a model operation agreement between the six institutions of law
enforcement at sea that can accommodate a wide range of expectations and the
interests of all law enforcement agencies at sea. Conclusions of research are: 1.
Implementation of safety operations and safety of the waters of Indonesia and
the Indonesian jurisdiction has been implemented by six law enforcement
agencies in partial accordance Auth, 2. partial operation has strengths and
weaknesses, Strength Partial operation can be enhanced through substitution
synergy, whereas the weakness of Operations a partial gap sinergy to join forces
sinergy Joint operations, 3. To formulate the harmonitation sinergy operation, so
that the necessary harmonization sinergy operating model into operating model
supported by all law enforcement agencies in the sea to the fullest 4. For
Optimalitation and sinergy Operation need Umbrella strong law as a binder
together form the Presidential Decree or Law.

Keywords: partial operations, sinergy operation, law enforcement agencies


at sea, harmonization, Optimalitation and sinergy, Presidential Decree or
Law.

i
ABSTRAK

Optimalisasi Dan Sinergitas


Model Model Operasi Keamanan Dan Keselamatan Laut
Dalam Membantu Menekan Kejahatan di Laut.

Tim Peneliti Bakamla


Dirlitbang@Bakamla.go.id

Direktorat Penelitian dan Pengembangan


Deputi Kebijakan dan Strategi
Badan Keamanan Laut Republik Indonesia

Penelitian bertujuan untuk mendapatkan data dan informasitentang model


operasi yang dilaksanakan semua instansi penegak hukum dilaut, dan
model operasi tersinergi menurut perspektif masing masing instansi
penegak hukum dilaut. Data dan Informasi tersebutmenjadi bahan
masukan untuk optimalisasi dan sinergitas model operasi dalam menekan
kejahatan dilaut,serta membuat rancangan operasi tersinergi yang
komprehensif dan dapat mengakomodasi semua kepentingan instansi
penegak hukum terkait. Metode penelitian deskriptif kualitatif, melalui
survey penelitian dan konsinyering, instrumen penelitian menggunakan
wawancara terhadap informan kunci dan informan non kunci. Hasil
pembahasan;operasi parsial yang dilaksanakan instansi penegak hukum
memiliki kekuatan dan kelemahan, hal tersebut menjadi masukan untuk
optimalisasi dan sinergitas model model operasi, serta merumuskan
operasi tersinergi, namun diperlukan kesepakatan agar optimalisasi model
operasi tersinergi yang dibentuk merupakan model operasi kesepakatan
antara 6 institusi penegak hukum dilaut yang dapat mengakomodasikan
berbagai harapan dan kepentingan semua instansi penegak hukum dilaut.
Kesimpulan penelitian adalah :1.Pelaksanaan Operasi keamanan dan
keselamatan diperairan Indonesia dan yuridiksi Indonesia telah
dilaksanakan oleh 6 instansi penegak hukum sesuai Tupoksi, 2. Operasi
parsial memiliki kekuatan dan kelemahan, Kekuatan Operasi Parsial dapat
ditingkatkan kualitasnya melalui penyinergian substitusi,
sedangkankelemahan Operasi parsial merupakan celah penyinergian
guna menyatukan kekuatan Operasi Bersama Tersinergi, 3. Untuk
merumuskan operasi tersinergi, perlu penyamaan persepsi sehingga
model operasi tersinergi menjadi model operasi yang didukung semua
instansi penegak hukum dilaut secara maksimal 4.Untuk Optimalisasi dan
Sinergi Operasi diperlukan Payung Hukum yang kuat sebagai pengikat
kebersamaan berupa Peraturan Presiden atau Undang Undang.

Kata Kunci: operasi parsial, operasi tersinergi, instansi penegak


hukum dilaut, penyamaan persepsi, Optimalisasi dan Sinergi,
Peraturan Presiden atau Undang Undang.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang telah


memberikan kami pertolongan dan ilham sehingga kami dapat
melaksanakan dan menyelesaikan tugas penelitian yang diberi judul
“Optimalisasi dan Sinergitas Model Operasi Keamanan dan Keselamatan
Laut dalam Membantu Menekan Kejahatan di Laut”.
Direktur Litbang dan Tim Peneliti menyampaikan ucapan
terimakasih yang tak terhingga kepada :
1. Kepala Bakamla RI, Laksdya TNI Arie Soedewo SE,MH.
2. Deputi Kebijakan dan Strategi, Irjen Pol Satria F Maseo MM
3. Deputi Operasi dan latihan, Laksda TNI Andi Achdar
4. Narasumber dari instansi TNI AL, Bakamla,Polair, PSDKP,Bea
Cukai,KPLP.
5. Pokja Bakamla, terutama Brigjen Pol (Purn) Drs. E.H Allagan,
S.H dan Laksma TNI (Purn) FX. Eddy Santoso, S.IP atas
masukan dan kontribusinya terhadap Penelitian ini.
6. Berbagai pihak lainnya yang telah memberikan kontribusi dalam
membantu penelitian.

Hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, namun kami


berharap hasil penelitian ini dapat memberikan masukan positif terkait
optimalisasi dan sinergitas agar kualitas operasi bersama yang
diselenggarakan Bakamla terus meningkat. Untuk itu segala kritik yang
konstruktif, saran dan masukan dari berbagai pihak sangat kami
harapkan, agar hasil penelitian ini dapat ditindak lanjuti dan menjadi lebih
sempurna. Terimakasih.

Jakarta, Desember 2016

Direktur Penelitian dan Pengembangan

Brigjen (Pol) Dr.Abdul Gofur Drs., M.H.

iii
DAFTAR ISI

Abstract ....................................................................................................... i

Abstrak ....................................................................................................... ii

Kata Pengantar .......................................................................................... iii

Daftar Isi .................................................................................................... iv

Daftar Tabel ............................................................................................... vi

Daftar Gambar .......................................................................................... vii

BAB I Pendahuluan ................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 6

1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 6

1.4 Ruang Lingkup .............................................................................. 6

1.5 Sasaran ........................................................................................ 7

1.6 Manfaat ......................................................................................... 7

BAB II Pendekatan Teori Dan Lapangan ................................................. 9

2.1 Pendekatan Teori ......................................................................... 9

2.1.1 Optimalisasi ........................................................................ 9

2.1.2 Sinergi .............................................................................. 10

2.1.3 Model ................................................................................ 11

2.2 Pendekatan Lapangan ................................................................ 14

2.2.1 Operasi Keamanan Dan Keselamatan Laut ..................... 14

2.2.2 Penegakan Hukum Di Laut ............................................... 14

2.2.3 Instansi Penegak Hukum Di Laut...................................... 19

2.2.4 Tindak Pidana Di Laut ...................................................... 20

2.3 Kerangka Berpikir ....................................................................... 21

iv
BAB III Metodologi Penelitian .................................................................. 23

3.1 Jenis Penelitian ........................................................................... 23

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ...................................................... 24

3.2.1 Lokasi Penelitian............................................................... 24

3.2.2 Waktu Penelitian ............................................................... 25

3.3 Informan Penelitian ..................................................................... 26

3.4 Jenis, Tehnik, Dan Alat Pengumpul Data ................................... 27

3.4.1 Jenis Data ......................................................................... 27

3.4.2 Teknik Dan Alat Pengumpulan Data ................................. 27

3.5 Design Penelitian ........................................................................ 29

BAB IV Hasil Penelitian ........................................................................... 31

4.1 Temuan Data .............................................................................. 31

4.1.1 Gelar Operasi Laut Instansi Penegak Hukum Di Laut ...... 31

4.1.2 Model Operasi Tersinergi Menurut Masing – Masing


InstansiPenegak Hukum Di Laut....................................... 47

4.2 Temuan Masalah ........................................................................ 50

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian : ................................................... 60

BAB V Kesimpulan Dan Saran ............................................................... 76

5.1 Kesimpulan ................................................................................. 76

5.2 Saran .......................................................................................... 77

Daftar Pustaka ......................................................................................... 81

v
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Time Line Penelitian................................................................. 25


Tabel 4.1 Gelar Operasi seluruh Instansi Penegak Hukum di laut ........... 45

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Alur Hubungan antar Variabel ( Objek Penelitian ) .............. 22


Gambar 3.1 Desain Penelitian ................................................................. 30
Gambar 4.1 Model Operasi Tersinergi Menurut Bakamla ........................ 47
Gambar 4.2 Model Operasi Tersinergi Menurut TNI AL ........................... 48
Gambar 4.3 Model Operasi Tersinergi Menurut Polair............................. 48
Gambar 4.4 Model Operasi Tersinergi Menurut PSDKP .......................... 49
Gambar 4.5 Model Operasi Tersinergi Menurut BC ................................. 49

vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Letak geografis perairan Indonesia yang berada di antara

Samudera Hindia dan Samudera Pasifik memiliki posisi strategis

karena menjadi media perdagangan melalui laut baik secara

nasional maupun internasional. Selain itu, sumber daya kelautan

diperairan Indonesia, menyimpan potensi kekayaan tak terhingga

yang jika dimanfaatkan dengan baik akan menjadi sumber pangan,

sumber kesejahteraan dan sumber kehidupan bangsa Indonesia.

Proyeksi nilai kelautan yang dimiliki oleh Indonesia mencapai

171 miliar dollar AS (Prihartono, 2015). Bahkan, menurut

Laporan Reviving the Ocean Economy: The Case for Action – 2015,

nilai aset utama dalam laut diperkirakan secara konservatif mencapai

24 triliun miliar dollar AS. Jika dibandingkan dengan 10 negara

dengan tingkat ekonomi tertinggi di dunia, sumber daya laut akan

menempati peringkat ketujuh.

Luas lautan Indonesia adalah 5,8 juta Km persegi, termasuk

Zona EkonomiEkslusif (ZEE) yang merupakan 75% luas dari

Indonesia dan daratannya hanya 1,9 juta km persegi, 25% dari

luasNKRI dan terdiri atas 17.000 buah pulau(Junus, 2012). Jika tidak

ditangani dengan baik, hal ini berpotensi menjadi problema negara

karena akan menjadi lokus dari berbagai ancaman yang berasal dari

luar maupun dari dalam. Perairan Indonesia akan menjadi akses

1
pintu masuk bagi berbagai kejahatan dan pelanggaran hukum yang

memanfaatkan laut sebagai media dan memanfaatkan pantai-pantai

tak terjaga sebagai tempat pendaratan dari berbagai kegiatan

destruktif dan ilegal.

Berbagai permasalahan di laut yang terkait dengan keamanan

dan keselamatan laut, dapat berupa kejahatan maupunpelanggaran

hukum dengan berbagai bentuknya seperti penyelundupan,

perompakan dan penambangan pasir ilegal, IUU (illegal unreported

and unregulated) fisheries, illegal oil, iIlegal weapon, illegal traffiking,

illegal logging, imigran gelap; perusakan lingkungan serta eksploitasi

dan eksplorasi illegal serta berbagai pelanggaran dan kejahatan

lainnya. Data yang dihimpun oleh Direktorat Data dan Informasi

Bakamla sepanjang tahun 2015, terdapat 207 kasus pelanggaran

hukum yang terjadi di wilayah perairan Indonesia. Selain itu, terdapat

penemuan lebih dari 60 kasus pelanggaran hukum yang ditemukan

pada saat kegiatan Operasi Bakamla di tahun 2015.

Dalam melakukan penegakan hukum di laut, terdapat 25

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

keselamatan dan keamanan laut serta terdapat 6 instansi yang

berwenang dan memiliki unsur untuk melakukan operasi dan patroli di

laut,yaitu TNI AL, Bakamla, Polair, PSDKP, KPLP, dan Bea Cukai.

Masing–masing instansi memiliki tugas pokok dan wewenang berbeda

satu sama lain, namun masih dalam koridor penegakan hukum di laut.

2
Masing-masing instansi memiliki karakteristik dan model

operasi tersendiri yang khas sesuai dengan tugas pokok dan

wewenang yang dimiliki, yang dapat menimbulkan inefektifitas dan

inefisiensi dalam pelaksanaan tugas pokok. Hal ini akan beresiko

memunculkan terjadinya tumpang tindih kewenangan diantara

keenam instansi yang berwenang melakukan operasi laut,

khususnya di wilayah laut teritorial. Kondisi tersebut dikarenakan

masing masing lembaga memiliki strategi/kebijakan, terkait dengan

peralatan/sarana prasarana, SDM yang berbeda – beda(Wasisto,

2015).

Dari hasil pertemuan atau Forum Group Discussion yang

diadakan oleh Badan Keamanan Laut, peserta dari perwakilan

nelayan dan pemilik kapal niaga mengeluhkan penyelenggaraan

operasi secara sektoral oleh instansi yang berwenang di laut.

UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan mengamanatkan

pembentukan Badan Keamanan Laut yang mempunyai tugas

melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan

dan yurisdiksi Indonesia.Dalam pasal 62 disebutkan salah satu

fungsi Bakamla adalah mensinergikan dan memonitor pelaksanaan

patroli oleh instansi terkait.Hal ini ditindaklanjuti oleh Bakamla

dengan menggelar Operasi Bersama yang dinamai dengan Operasi

Nusantara.Operasi Nusantara merupakan operasi dengan

melibatkan unsur – unsur yang dimiliki oleh instansi terkait.

3
Operasi bersama ini memiliki karakteristik yang khas, dimana

seluruh instansi yang terlibat dalam operasi akan memiliki

kewenangan lebih luas saat berada dibawah kendali operasi

Bakamla. Sebagai contoh, kapal KKP dapat melakukan

penangkapan tindak ilegal diluar perikanan saat operasi bersama

Bakamla dengan catatan terdapat PPNS instansi lain yang onboard

pada kapal tersebut. Hal ini juga berlaku bagi unsur – unsur dari

instansi lain, sehingga konsep ini menjadi bagian dari upaya

sinergitas pelaksanaan operasi keamanan dan keselamatan laut.

Pada pelaksanaannya, Operasi Bersama ini menghadapi

beberapa kendala dan tantangan.Ciri khas dari masing – masing

instansi terkait dalam hal mekanisme, prosedur, strategi dan

karakteristik deployment menjadi tantangan tersendiri untuk

merencanakan dan melaksanakan sinergi operasi keamanan dan

keselamatan laut.Berdasarkan hal tersebut, maka sebuah

kajian/penelitian terkait mekanisme sinergitas operasi bersama yang

dapat diterapkan dengan seluruh instansi terkait keamanan dan

keselamatan laut dirasa perlu dilaksanakan.Hal ini bertujuan untuk

mencapai efisiensi dan efektivitas serta hasil operasi diperoleh

secara maksimal.

Untuk memperoleh rumusan Operasi Tersinergi yang ideal,

diperlukan masukan dari masing–masing instansi terkait dan

pemetaan operasi–operasi sektoral yang dilakukan sehingga seluruh

kepentingan dari instansi terkaitdapat terakomodir dalam sebuah

4
Operasi Tersinergi.Perlu dilakukan wawancara mendalam/in–depth

interview dengan perwakilan dari komponen pelaksana operasi dari

masing–masing instansi terkait untuk memperoleh data mengenai

operasi yang telah dilakukan dan bentuk Operasi Tersinergi yang

ideal.

Untuk itu, dipilih sampel yang dianggap memiliki kinerja baik

dan berada di daerah/ wilayah rawan terhadap tindak pelanggaran

hukum dan keamanan laut.Hal ini dimaksudkan agar sampel yang

dipilih memiliki pengalaman yang cukup sehingga mampu

memberikan masukan yang baik terhadap permasalahan yang

sedang diteliti. Berdasarkan pertimbangan tersebut, diputuskan

untuk memilih sampel sebagai berikut, Lantamal III Jakarta,

Pangkalan KPLP Tanjung Priuk, Kantor Bea Cukai Jakarta,

Pangkalan PSDKP Batam, dan Polair Polda Kepri.

Data mengenai operasi yang dilakukan dan bentuk operasi

tersinergi ideal oleh masing – masing instansi terkait kemudian

dijabarkan/ dideskriptifkan yang kemudian digunakan sebagai bahan

untuk melakukan analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,

and Threat) sehingga diperoleh rumusan bentuk Operasi Tersinergi

yang ideal dan mampu mengakomodir seluruh kepentingan instansi

terkait.

Operasi Tersinergi yang ideal diperlukan agar meningkatkan

efisiensi dan efektifitas penegakan hukum di laut dengan

mengedepankankebersamaan dari instansi yang

5
berwenang.Berdasarkan hal tersebut, dilakukan penelitian dengan

judul “Optimalisasi dan Sinergitas Model Operasi Keamanan Dan

Keselamatan Laut Dalam Membantu Menekan Kejahatan di Laut”.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk Operasi yang dilakukan oleh masing–

masing intansi terkait?

2. Bagaimana bentuk Operasi Tersinergi yang ideal dan mampu

mengakomodir seluruh kepentingan intansi terkait?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bentuk Operasi yang dilakukan oleh masing–

masing intansi terkait;

2. Mengetahui bentuk Operasi Tersinergi yang ideal dan mampu

mengakomodir seluruh kepentingan intansi terkait.

1.4 RUANG LINGKUP


Ruang lingkup dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Instansi yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah Bakamla,

Lantamal III Jakarta, Pangkalan KPLP Tanjung Priok, Kantor

6
Bea Cukai Jakarta, Pangkalan PSDKP Batam, dan Polair Polda

Kepri;

2. Hasil dari penelitian ini terbatas pada rekomendasi bentuk

model operasi sinergi keamanan laut dan belum dijadikan

sebagai keputusan kebijakan nasional.

1.5 SASARAN
Sasaran dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diperoleh pemetaan pelaksanaan operasi yang dilakukan oleh

masing – masing intansi terkait sebagai bahan pertimbangan

dalam menyusun kebijakan terkait dengan pelaksanaan dan

penyinergian operasi;

2. Diperoleh rumusan mengenai Operasi Tersinergi Ideal sesuai

dengan aspirasi dan masukan yang diberikan oleh seluruh

intansi terkaitsebagai bahan pertimbangan dalam menyusun

kebijakan terkait dengan pelaksanaan Operasi Bersama/

Operasi Nusantara.

1.6 MANFAAT
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dalam pelaksanaan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sebagai bahan acuan untuk memodernisasi dan meningkatkan

sistem keamanan dan keselamatan laut dan kualitas

pelaksanaan patroli kamkesla;

7
2. Agar mampu memperoleh wawasan yang baik terkait

pemahaman tentang model operasi tersinergi yang ideal bagi

pelaksanaan tupoksi Bakamla;

3. Dapat dijadikan acuan pemikiran dalam pelaksanaan program

peningkatan kualitas operasi Kamkesla Bakamla RI.

8
BAB II

PENDEKATAN TEORI DAN LAPANGAN

2.1 PENDEKATAN TEORI


2.1.1 OPTIMALISASI
Terminologi optimalisasi berasal dari kata dasar optimal

yang berarti terbaik, tertinggi, paling menguntungkan,

menjadikan paling baik, menjadikan paling tinggi,

pengoptimalan proses, cara, perbuatan mengoptimalkan

(menjadikan paling baik, paling tinggi, dan sebagainya)(“Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online,” 2016).Sehingga

optimalisasi adalah suatu tindakan, proses, atau metodologi

untuk membuat sesuatu (sebagai sebuah desain, sistem, atau

keputusan) menjadi lebih/sepenuhnya sempurna, fungsional,

atau lebih efektif.

Faktor-faktor yang merupakan syarat terpenting

berhasilnya suatu proses implementasi dari Optimalisasi adalah

sebagai berikut (Saputra, 2013):

1. Komunikasi, merupakan suatu program yang dapat

dilaksanakan dengan baik apabila jelas bagi para

pelaksana. Hal ini menyangkut proses penyampaian

informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi

yang disampaikan;

2. Resouces (sumber daya), dalam hal ini meliputi empat

komponen yaitu terpenuhinya jumlah staf dan kualitas

9
mutu, informasi yang diperlukan guna pengambilan

keputusan atau kewenangan yang cukup guna

melaksanakan tugas sebagai tanggung jawab dan fasilitas

yang dibutuhkan dalam pelaksanaan;

3. Disposisi, sikap dan komitmen pelaksanaan terhadap

program dari mereka yang menjadi implemetasi program.

Berdasarkan pengertian konsep dan teori diatas, maka

dapat diambil suatu pemahaman bahwa optimalisasi adalah

suatu proses, melaksanakan program untuk mendapatkan hasil

yang lebih (optimal).

2.1.2 SINERGI
Dalam bahasa Indonesia, sinergi memiliki arti kegiatan

atau operasi gabungan, sedangkan bersinergi adalah

melakukan kegiatan atau operasi gabungan (“Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) Online,” 2016). Sedangkan menurut

bahasa Yunani, sinergi berasal dari kata syn-ergo yang berarti

bekerjasama (Kelompok, Visi, & Rasa, 2006). Karena itu inti

dari proses untuk menghasilkan kualitas sinergi adalah

kerjasama.

Menurut Stephen R. Covey (dalam Sulasmi, 2009),

Sinergi yang dikerjakan bersama lebih baik hasilnya daripada

dikerjakan sendiri-sendiri.Selain itu, gabungan beberapa unsur

akan menghasilkan suatu produk yang lebih unggul. Sinergi

10
mengandung arti kombinasi unsur atau bagian yang dapat

menghasilkan keluaran lebih baik dan lebih besar.

Dalam arti kombinasi unsur, tergabung dua pengertian,

yaitu pengertian tentang kerjasama dan sikap kreatif.

Kreativitas kolektif dapat dibangkitkan dengan jalan

bekerjasama, tidak hanya kreativitas yang tercipta dari hasil

kerja secara individual. Hal tersebut menjelaskan bahwa

hubungan kerjasama tidak semata-mata untuk membangun

kebersamaan, tetapi juga membangun interaksi yang dapat

memacu daya pikir masing-masing anggota kelompok

membentuk kreativitas secara kolektif.

Hubungan interaktif antar anggota dalam kelompok akan

saling memacu daya pikir, yang pada akhirnya akan

menghasilkan gagasan baru, yang berjalan melalui suatu

proses yang berkesinambungan sehingga terjadi proses

pengembangan pengetahuan dan wawasan yang semakin

tinggi kualitasnya. Pengembangan pengetahuan dan wawasan

sebagai perwujudan dari sinergi itulah yang dirasakan penting

sekali untuk diwujudkan, oleh sebab itu diperlukan kajian lebih

dalam bebagai hal yang dapat membantu menciptakan sinergi

itu.

2.1.3 MODEL
Dalam bahasa Indonesia, Model memiliki arti pola (contoh,

acuan, ragam, dan sebagainya) dari sesuatu yang akan dibuat

11
atau dihasilkan(“Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Online,” 2016). Sedangkan menurut Simamarta (Simamarta,

1983), model adalah abstraksi dari sistem sebenarnya, dalam

gambaran yang lebih sederhana serta mempunyai tingkat

prosentase yang bersifat menyeluruh, atau model adalah

abstraksi dari realitas dengan hanya memusatkan perhatian

pada beberapa sifat dari kehidupan sebenarnya. Simamarta

juga membagi model kedalam lima kelas yang berbeda sebagai

berikut:

1. Kelas I, pembagian menurut fungsi :

a. Model deskriptif : hanya menggambarkan situasi

sebuah sistem tanpa rekomendasi dan peramalan.

Contoh : peta organisasi

b. Model prediktif : model ini menunjukkan apa yang akan

terjadi, bila sesuatu terjadi.

c. Model normatif : model yang menyediakan jawaban

terbaik terhadap satu persoalan. Model ini memberi

rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil.

Contoh : model budget advertensi, model economics,

model marketing.

2. Kelas II, pembagian menurut struktur.

a. Model Ikonik: adalah model yang menirukan

sistemaslinya,tetapi dalam suatu skala tertentu. Contoh:

model pesawat.

12
b. Model Analog: adalah suatu model yang

menirukansistemaslinyadengan hanya mengambil

beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya

dengan benda atau sistem lain secara analog. Contoh :

aliran lalu lintas di jalan dianalogkan dengan aliran air

dalam sistem pipa.

c. Model Simbolis : adalah suatu model yang

menggambarkan sistem yang ditinjau dengan simbol-

simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik.

Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dari

karakteristik sistem yang ditinjau.

3. Kelas III, pembagian menurut referensi waktu.

a. Statis: model statis tidak memasukkan faktor waktu dalam

perumusannya.

b. Dinamis: mempunyai unsur waktu dalam perumusannya.

4. Kelas IV, pembagian menurut referensi kepastian.

a. Deterministik: dalam model ini pada setiap kumpulan nilai

input, hanya ada satu output yang unik, yang merupakan

solusi dari model dalam keadaan pasti.

b. Probabilistik : model probabilistik menyangkut distribusi

probabilistik dari input atau proses dan menghasilkan

suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel output

yang disertai dengankemungkinan-kemungkinan dari

harga-harga tersebut.

13
c. Game teori permainan yang mengembangkan solusi-

solusioptimum dalam menghadapi situasi yang tidak pasti.

2.2 PENDEKATAN LAPANGAN


2.2.1 OPERASI KEAMANAN DAN KESELAMATAN LAUT
Sesuai dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia

Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan

Laut, Operasi Keamanan Laut didefinisikan sebagai upaya dan

tindakan terencana yang diselenggarakan secara khusus dan

untuk sasaran atau tujuantertentu oleh masing-masing instansi

yang berwenang (operasi keamanan laut mandiri) dan/atau

oleh dua atau lebih instansisecara bersama (operasi keamanan

laut bersama) dalam rangkapenjagaan, pengawasan,

pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum, serta

keselamatan pelayaran dan pengamanan terhadap aktivitas

masyarakat dan pemerintah diwilayah perairan Indonesia.

Dengan melihat definisi Operasi Keamanan Laut diatas

yang telah mencakup penjagaan, pengawasan, pencegahan

dan penindakan pelanggaran hukum, serta keselamatan

pelayaran dan pengamanan terhadap aktivitas masyarakat dan

pemerintah, maka Operasi Keamanan dan Keselamatan Laut

dianggap memiliki definisi yang sama dengan Operasi

Keamanan Laut.

2.2.2 PENEGAKAN HUKUM DI LAUT

14
Secara umum pengertian penegakan hukum

menurut Satjipto Rahardjo(dalam Tobing & Rios,1998)adalah

suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide menjadi kenyataan,

sedangkan Suryono Soekanto (dalam Tobing & Rios,

1998)mengatakan bahwa penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang mantap dan

mengejahwantahkan sertasikaptindaksebagai rangkuman

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social

engineering), memelihara dan mempertahankan (control)

perdamaian pergaulan hidup. Penegakan hukum pada

hakikatnya merupakan interaksi antaraberbagai perilaku

manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang

berbedadalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama.

Penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari

masalah penegakan kedaulatan di laut. Pengertian penegakan

hukum disatu pihak dan penegakan kedaulatan di lain pihak

dapat dibedakan namun keduanya tidak dapat dipisahkan

karena penegakan kedaulatan di laut mencakup penegakan

hukum di laut(Tobing & Rios,1998).

Penegakan kedaulatan dapat dilaksanakan tidak hanya

dalam lingkup negara, melainkan dapat juga menjaring keluar

batas negara, sedangkan penegakan hukum di laut adalah

suatu proses kegiatan penangkapan dan penyidikan suatu

kasus yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran di laut

15
atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum

internasional maupun nasional, sehingga dalam

pelaksanaannya penegakan kedaulatan dan penegakan hukum

di laut dilakukan serentak.

Dengan demikian adanya perbedaan penegakan hukum

dengan penegakan kedaulatan tergantung intensitas ancaman

yang dihadapi. Sepanjang ancaman itu dianggap

membahayakan eksistensi suatu negara maka tindakan yang

dapat diambil menghadapi ancaman tersebut adalah berupa

penegakan kedaulatan(Tobing & Rios, 1998).

Wewenang untuk menegakkan kedaulatan dan hukum

tersebut bersumber pada kedaulatan dan yurisdiksi yang

dimiliki oleh negara- negara yang bersangkutan, sesuai

dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional (Departemen

Hankam, 1980). Pada hakekatnya kedaulatan adalah

kekuasaan tertinggi dan penuh dari suatu negara yang sifatnya

menyeluruh untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap

perlu demi kepentingan nasional negara itu sendiri berdasarkan

hukum nasional dengan memperhatikan hukum internasional

(Sondakh, 2004). Kedaulatan negara itu dijabarkan dalam

bentuk kewenangan-kewenangan atau hak negara-negara

yang bersangkutan, antara lain yurisdiksi, yaitu wewenang

negara untuk membuat dan menegakkan peraturan hukum.

16
Dalam pelaksanaan penegakan hukum di laut dibedakan

antara (i) fungsi penegakan hukum berkaitan dengan tindak

pidana tertentu di laut, dan (ii) fungsi penegakan hukum

berkaitan dengan tindak pidana umum yang terjadi di laut

(Badan Penegakan Hukum Nasional, 1990). Pelaksanaan

penegakan hukum di laut yang berkaitan dengan tindak pidana

tertentu yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan

tertentu merupakan ketentuan khusus hukum acara pidana (lex

specialis). Mengacu pada ketentuan ini, maka dapat

disimpulkan bahwa dalam kaitannya dengan fungsi penegakan

hukum dalam penanganan tindak pidana umum (yang

tercantum dalam KUHP) yang terjadi di laut, maka aparat

penegak hukum di laut mempunyai kewenangan sebagai

penindak awal yang selanjutnya diselesaikan dalam kaitannya

dengan fungsi penegak hukum dalam penanganan tindak

pidana tertentu termasuk pasal-pasal tertentu dalam KUHP,

maka aparat penegak hukum tindak pidana umum mempunyai

kewenangan sebagai penindak awal, yang selanjutnya

diselesaikan aparat penegak hukum di laut yang memiliki

kewenangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

tertentu tersebut (Badan Penegakan Hukum Nasional, 1990).

Dilihat dari bidang kegiatannya, maka penyelenggaraan

penegakan hukum di laut dapat dipilah secara berurutan, yaitu

bidang polisionil dan bidang yustisial (penyidikan).Dalam

17
bidang polisionil dilakukan operasi laut sehari-hari (keamanan

laut) melalui pengendalian/pengawasan terhadap ketaatan

peraturan perundang-undangan nasional. Apabila dalam

operasi laut tersebut ditemukan pelanggaran terhadap hukum

nasional, maka perkaranya diselesaikan melalui penyidikan

yang merupakan kegiatan bidang yustisial (Badan

Penegakan Hukum Nasional, 1990). Dalam pengertianyustisial,

penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses kegiatan

dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai

akibat terjadinya pelanggaran di laut atas ketentuan hukum

yang berlaku, baik ketentuan hukum internasional maupun

hukum nasional. Berdasarkan pengertian di atas, maka

penyelenggaraan penegakan hukum di laut adalah kegiatan-

kegiatan yang meliputi pengawasan, penghentian kapal

termasuk menaiki kapal (boarding) dan pemeriksaan

(investigasi dan inspeksi), dan penyidikan apabila terdapat

tindak pidana, sedangkan penyelesaian lebih lanjut

dilaksanakan di darat (Badan Penegakan Hukum Nasional,

1990).

Penegakan hukum di laut sangat diperlukan bagi

pengamanan di laut mengingat adanya berbagai bentuk

ancaman atau gangguan terhadap kegiatan penggunaan atau

pemanfaatan laut (Sondakh, 2004), antara lain:

18
1. Ancaman kekerasan, yaitu ancaman dengan menggunakan

kekuatan bersenjata yang terorganisir dan mempunyai

kemampuan untuk mengganggu serta membahayakan

personel atau negara. Ancaman tersebut dapat berupa

pembajakan, perompakan, sabotase obyek vital, peranjauan

dan aksi teror.

2. Ancaman Navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh

kondisi geografi dan hidrografi serta kurang memadainya

sarana bantu navigasi, seperti suar, buoy dan lain-lain,

sehingga dapat membahayakan keselamatan pelayaran.

3. Ancaman terhadap sumber daya laut, yaitu berupa

pencemaran dan perusakan ekosistem laut, serta konflik

pengelolaan sumber daya laut, yang memiliki

kecenderungan mudah dipolitisasi dan selanjutnya akan

diikuti dengan penggelaran kekuatan militer,misalnya dalam

sengketa kepulauan.

4. Ancaman pelanggaran hukum, yaitu tidak dipatuhinya hukum

nasional maupun internasional yang berlaku di perairan,

seperti illegal fishing, illegal logging, penyelundupan dan lain-

lain.

2.2.3 INSTANSI PENEGAK HUKUM DILAUT


Terdapat 6 instansi yang memiliki kewenangan dan

armada patroli dalam penegakan hukum, keamanan dan

keselamatan di laut. Keenam instansi tersebut adalah TNI AL,

19
Bakamla, Dit Polair Polri, Dit KPLP Ditjen Hubla Kemenhub,

Ditjen PSDKP Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Ditjen

Bea Cukai Kementerian Keuangan. Adapun undang – undang

yang mengatur penegakan hukum di laut dijabarkan dalam

lampiran 1.

2.2.4 TINDAK PIDANA DI LAUT


Pengertian tindak pidana di laut adalah tindak pidana yang

hanya bisa terjadi di laut saja dan tidak bisa terjadi di darat,

dibedakan dengan tindak pidana umum yang terjadi di

laut(Soepadi, 2011). Adapun jenis-jenis tindak pidana di laut

adalah sebagai berikut:

1. Tindak pidana perampokan/pembajakan di laut

2. Tindak pidana perikanan

3. Tindak pidana benda berharga asal muatan kapal yang

tenggelam di dasar laut.

4. Tindak pidana lingkungan hidup dilaut

5. Tindak pidana pelayaran

6. Tindak pidana konservasi sumber daya hayati dalam

ekosistemnya

7. Tindak pidana kepabeanan

8. Tindak pidana kehutanan

9. Tindak pidana keimigrasian

10. Tindak pidana penambangan pasir di laut

11. Tindak pidana pelanggaran wilayah

20
12. Tindak pidana narkotika dan psikotropika di dan lewat laut

13. Tindak pidana senjata api dan bahan peledak di dan lewat

laut

14. Tindak pidana di ZEE Indonesia

15. Tindak pidana terorisme di dan lewat laut.

2.3 KERANGKA BERPIKIR


Kerangka berpikir terhadap penelitian yang akan dilakukan

didasarkan pada Deskripsi data dan identifikasi masalah, terhadap

model operasi keamanan dan keselamatan laut yang dilaksanakan

oleh semua instansi terkait yang memiliki armada kapal patroli,

model operasi keamanan dan keselamatan laut yang dilaksanakan

Bakamla, Amanah Pasal 62, Undang Undang Nomor 32 tahun 2014

tentang Operasi tersinergi, deskripsi operasi tersinergi berdasarkan

perspektif berbagai instansi penegak hukum dilaut, bagaimana

optimalisasi dan sinergitas model model operasi dalam menekan

kejahatan dilaut.

Adapun kerangka berfikir terhadap alur hubungan antar

variabel penelitian diasumsikan berdasarkan gambar dibawah ini :

21
Melakukan operasi/patroli sesuai dengan
kewenangan masing - masing

Pengumpulan data
mengenai bentuk
operasi/patroli

Gambar 2.1 Alur Hubungan antar Variabel ( Objek Penelitian )

22
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN


Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif

deskriptif, karena penelitian ini berusaha memecahkan masalah

dengan menggambarkan problematika yang terjadi. Hal ini

didasarkan pada pertimbangan bahwa Tim peneliti bertujuan untuk

memahami dan menelaah secara mendalam berbagai model operasi

dari instansi penegak hukum yang memiliki unit kapal patroli

(BAKAMLA, KKP, POLAIR, TNI AL, KPLP, BEA CUKAI) dan

masalah-masalah terkait pelaksanaan operasi serta merumuskan

jalan keluarnya dalam rangka memberikan bahan masukan untuk

optimalisasi model operasi bersama tersinergi guna menekan

pelanggaran dan kejahatan di laut.

Karena tujuan tersebut dilaksanakan dengan penggalian data

dan informasi secara deskriptif, maka relevan jika Tim peneliti

melakukan penelitian ini dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Pendapat Bogdan dan Taylor (dalam Moleong: 1988 : 2)

menerangkan bahwa “Penelitian Kualitatif sebagai prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis

atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat diamati”.

Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar individu

tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh

mengisolasikan individu atau organisasi kedalam variabel atau

23
hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu

keutuhan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, diharapkan dengan

penelitian ini dapat menggambarkan tentang Model Operasi yang

dilaksanakan oleh instansi penegak hukum dilaut dan mendapatkan

celah untuk merumuskan Model Operasi tersinergi yang dapat

dilaksanakan secara optimal terkait optimalisasi dan sinergitas model

operasi yang sudah ada berdasarkan data dan informasi yang

berkenaan dengan fakta dan fenomena yang terjadi pada Model

Operasi yang sudah ada dan dilakukan oleh instansi penegak hukum

dilaut (BAKAMLA, PSDKP, POLAIR, BEA CUKAI, KPLP,TNI AL)

serta upaya mengoptimalisasikan Model OperasiBersama Tersinergi

guna menekan pelanggaran dan kejahatan di laut.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN


3.2.1 LOKASI PENELITIAN
Sesuai dengan judul yang Tim penulis buat maka survey

penelitian ini akan dilakukan pada Kantor Zona Maritim Barat

Batam, Pangkalan PDSKP Batam, Pangkalan POLAIR Batam,

Pangkalan P2 BC Batam, Pangkalan Utama PLP Jakarta,

Pangkalan Utama AL Jakarta serta konsinyering penelitian di

jakarta dengan mengundang para narasumber yang kompeten

dengan penelitian yang dilakukan.

24
3.2.2 WAKTU PENELITIAN
PenelitianOptimalisasi Dan Sinergitas Model Operasi

Keamanan dan Keselamatan Laut dalam Membantu Menekan

Kejahatan di Laut mulai dilaksanakan bulan Juni 2016 s/d

Desember 2016 berdasarkan Surat Perintah Kepala Badan

Keamanan Laut Nomor : Sprin-432/Kepala/Bakamla/VI/2016

tanggal 8 Juni 2016, untuk melaksanakan kegiatan penelitian di

Direktorat Penelitian dan Pengembangan.

Sedangkan rincian kegiatan penelitian Optimalisasi dan

Sinergitas Model-model Operasi Keamanan dan Keselamatan

laut dalam menekan kejahatan yang terjadi dilaut, dilaksanakan

sesuai dengan Time line Penelitian pada Tabel 2 , dibawah ini:

Tabel 3.1 Time Line Penelitian

TIMELINE KEGIATAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN


TAHUN 2016
OPTIMALISASI DAN SINERGITAS MODEL OPERASI KEAMANAN DAN KESELAMATAN LAUT
DALAM MEMBANTU MENEKAN KEJAHATAN YANG TERJADI DI LAUT

JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOVEMBER DESEMBER


NO NAMA KEGIATAN
III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II
Rapat Persiapan
Rapat Persiapan Penelitian I
Penyusunan Bab I
Rapat Persiapan Penelitian II
Penyusunan Bab II
Rapat Persiapan Penelitian III
Penyusunan Bab III
Benchmarking
a Benchmarking KPLP Tj Priok Tidak Dilaksanakan
b Benchmarking LANAL III Jkt karena stakeholder
c Benchmarking PSDKP Batam
d Benchmarking Polair Kep Riau
Konsinyering
Konsinyering Penelitian
Penyusunan Bab IV dan Bab V
Finalisasi
Rapat Finalisasi Laporan Penelitian
Penyempurnaan Laporan akhir penelitian
Penyerahan Laporan akhir penelitian

25
3.3 INFORMAN PENELITIAN
Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk

memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang

penelitian (Moleong 2000 : 97). Informan merupakan orang yang

benar-benar mengetahui permasalahan yang akan diteliti. Dalam

penelitian ini terdapat 2 golongan informan diantaranya:

1. Informan kunci, yaitu orang-orang yang sangat memahami

permasalahan yang diteliti. Adapun yang dimaksud sebagai

informan kunci dalam penelitian ini adalah Kepala dan para

pejabat dilingkungan Zona Maritim Bakamla, Kepala dan Staf

Pangkalan PSDKP Batam, Kepala P2 BC Batam, Kepala dan

Pejabat Pangkalan PLP Jakarta, Kepala dan Pejabat Pangkalan

Utama TNI AL Jakarta, serta para narasumber dalam kegiatan

konsinyering penelitian dibidang keamanan dan keselamatan

laut.

2. Informan non kunci, yaitu orang yang dianggap mengetahui

permasalahan yang diteliti yaitu informasi dan keterangan dari

para staf berbagai instansi penegak hukum terkait yang

memahami tentang model operasi keamanan dan keselamatan

laut.

26
3.4 JENIS, TEHNIK, DAN ALAT PENGUMPUL DATA
3.4.1 JENIS DATA
Data diperoleh langsung dari informan penelitian melalui

wawancara pada saat Studi Banding dan Konsinyering.Data

primer yang didapatkan meliputi:

1. Model Operasi Keamanan laut Instansi terkait

2. Kendala yang ditemui dalam Model Operasi yang dilakukan

Instansi penegak hukum terkait.

3. Upaya dalam mengatasi kendala operasi.

4. Masukan dan saran terkait optimalisasi dan sinergitas

operasi melalui wacana operasi bersama tersinergi.

Untuk mendapatkan datatersebut dilakukan melalui

Wawancara mendalam, pertanyaan dan perekaman terhadap

informan kunci.

3.4.2 TEKNIK DAN ALAT PENGUMPULAN DATa


Dalam mengumpulkan data yang diperlukan dalam

penelitian ini, digunakan teknik pengumpulan data sebagai

berikut:

a. Wawancara (interview)

Dalam pengumpulan data tentang optimalisasi model

operasi, dilakukan wawancara dengan nara sumber yang

relevan yaitu Kepala dan para pejabat dilingkungan Zona

Maritim Bakamla, Kepala dan Staf Pangkalan PSDKP

Batam, Kepala P2 BC Batam, Kepala dan Pejabat

27
Pangkalan PLP Jakarta, Kepala dan Pejabat Pangkalan

Utama TNI AL Jakarta, para narasumber dalam acara

konsinyering yang merupakan pakar dibidang keamanan dan

keselamatan laut serta para staff dilingkungan Instansi

penegak hukum terkait yang memahami model operasi

keamanan dan keselamatan laut.

b. Dokumentasi

Dalam hal ini tim peneliti mencari dan mempelajari

dokumen-dokumen/data/informasi yang berhubungan

dengan fokus permasalahan yang diteliti yaitu dokumen-

dokumen/ kebijakan/ aturan resmi/ peraturan/ Undang-

Undang yang diterapkan oleh Badan Keamanan Laut dan

Instansi terkait yang berhubungan dengan Model Operasi

yang dilaksanakan.

c. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan mengatur

wawancara dan catatan yang diperoleh di lapangan serta

bahan-bahan lain yang telah dihimpun sehingga dapat

merumuskan hasil dari apa yang telah ditemukan.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian

ini adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu data yang telah

28
terkumpul dilapangan berupa kata-kata dari berbagai sumber

dianalisis secara intensif.

Adapun langkah yang digunakan Tim peneliti dalam

menganalisis data sesuai dengan pendapat yang

dikembangkan oleh Miles dan Huberman (Sugiono, 2005).

Analisis dilakukan melalui tahapan meliputi (1) Penumpulan

Data; (2) Reduksi Data; (3) Klasifikasi Data; (4) Penyajian

Data; dan (5) Penarikan Kesimpulan.

3.5 DESIGN PENELITIAN


Desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam

perencanaan dan pelaksanaan penelitian, yang membantu penelitian

dalam pengumpulan dan menganalisis data.

Adapun desain penelitian menurut Mc Millan dalam Ibnu Hadjar

adalah rencana dan struktur penyelidikan yang digunakan untuk

memperoleh bukti-bukti empiris dalam menjawab pertanyaan

penelitian.

Sistematika Design Penelitian yang dilakukan Tim peneliti

melalui tahap tahap sebagai berikut:

29
Gambar 3.1 Desain Penelitian

30
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 TEMUAN DATA


Dalam pelaksanaan penelitian ini, diperoleh data mengenai

gambaran pelaksanaan operasi dan bentuk Operasi Tersinergi yang

ideal yang disampaikan oleh masing – masing instansi terkait.

Berikut adalah data – data yang berhasil dikumpulkan dari masing –

masing instansi terkait sebagai berikut:

4.1.1 GELAR OPERASI LAUT INSTANSI PENEGAK HUKUM DI


LAUT
a. Badan Keamanan Laut (Bakamla)

Dari hasil pelaksanaan pengambilan data pada

Kedeputian Operasi dan Latihan, diperoleh hal-hal sebagai

berikut:

- Operasi Bersama Keamanan Laut Dalam Negeri

Operasi ini diberi nama Operasi Nusantara. Operasi

Nusantara yang telah dilaksanakan pada tahun 2016

adalah Operasi Nusantara I – Operasi Nusantara IX (9

kali). Operasi ini digelar di 3 (tiga) wilayah zona maritim

Bakamla (Zona Barat, Zona Tengah, dan Zona Timur)

secara terpadu dalam satu komando pengendalian.

Operasi ini merupakan Operasi yang melibatkan seluruh

unsur Bakamla dan instansi terkait dalam satu komando

pengendalian.

31
- Operasi Bersama Keamanan Laut Luar Negeri

Operasi ini telah dilakukan oleh Bakamla sebanyak 2 kali

dalam tahun 2016, yakni Operasi Bersama dengan pihak

Australia yang diberi nama Operasi Shearwater dan

Operasi bersama dengan Malaysia yang diberi nama

Operasi Optima. Dalam operasi ini, sasaran, waktu dan

daerah Operasi telah disepakati bersama antara Bakamla

dengan negara lain.

- Operasi Udara Maritim

Operasi ini diberi nama Operasi Bhuana dan telah digelar

sebanyak 9 kali dalam tahun 2016 (Operasi Bhuana I –

IX). Dalam operasi ini, unsur pesawat udara diperoleh

dengan melibatkan instansi terkait.Namun, berdasarkan

keterangan dari Deputi Opslat Bakamla, Operasi ini

mengalami hambatan terkait kebutuhan dukungan

pesawat yang tidak didukung oleh beberapa instansi

terkait. Untuk mengatasi hal ini, Bakamla melakukan

penyewaan pesawat kalibrasi dari instansi pemerintah lain

dan dari pihak swasta.

Dalam melaksanakan tugas patroli keamanan dan

keselamatan di perairan Indonesia dan yuridiksi Indonesia,

kekuatan yang dilibatkan antara lain 6 unit kapal patroli 48

meter, 8 unit Catamaran 12 meter, 10 unit Rigid Inflatable

32
Boat, 3 kantor zona maritim (Batam, Manado, dan Ambon),

14 Stasiun Pemantau Keamanan dan Keselamatan Laut

(SPKKL), dan 2 Ground Station (GS) (sesuai lampiran xxx).

Bakamla membagi sektor operasi keamanan dan

keselamatan laut dalam 3 wilayah atau zona, yaitu Zona

Maritim Barat, Zona Maritim Tengah, dan Zona Timur (sesuai

lampiran 2).

b. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) –

Gugus Keamanan Laut (Guskamla)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Staf Operasi

Mabes AL, jenis operasi yang digelar oleh TNI AL

dilaksanakan oleh Guspurla (dalam bidang pertahanan) dan

Guskamla (dalam bidang keamanan). Dalam penelitian ini,

fokus yang akan digali adalah data mengenai gelar operasi

yang dilakukan oleh Guskamlabar dan Guskamlatim.

Operasi yang dilaksanakan oleh Guskamlabar pada

tahun 2016 terdiri dari 5 Operasi, yakni Operasi

Pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia I (Pam ALKI I)

yang diberi nama sandi Lintas Sagara – 16, Operasi

Keamanan Laut Barat (Ops Kamlabar) yang diberi nama

sandi Garda Sagara – 16, Operasi Patroli Terkoordinasi

Indonesia – Malaysia yang diberi nama sandi Ops Patkor

Malindo, Operasi Patroli Terkoordinasi Indonesia – India

33
yang diberi nama sandi Ops Patkor Indindo, dan Operasi

Patroli Terkoordinasi Tindak Maritim Indonesia – Malaysia

yang diberi nama sandi Ops Patkor Optima Malindo.

Sedangkan Operasi yang dilaksanakan oleh

Guskamlatim pada tahun 2016 terdiri dari 4 Operasi, yakni

Operasi Pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia II dan

III (Pam ALKI II/III) yang diberi nama sandi Kilat Mandau –

16, Operasi Keamanan Laut Timur (Ops Kamlatim) yang

diberi nama sandi Samudera Jaya – 16, Operasi Patroli

Terkoordinasi Indonesia – Filipina yang diberi nama sandi

Ops Patkor Philindo, dan Operasi Patroli Terkoordinasi

Indonesia – Australia yang diberi nama sandi Ops Patkor

Ausindo.

Unsur yang digunakan dalam Operasi yang

dilaksanakan oleh Guskamlatim dan Guskamlabar adalah

sebanyak 51 unsur yang terdiri dari 38 buah kapal berbagai

jenis dan 13 buah pesawat (sesuai lampiran 3).

c. Polisi Perairan (Polair)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dit Polair,

pelaksanaan Operasi Patroli Polair memiliki beberapa

perbedaan tugas pokok pada tingkatan satuan kerja.Tugas

operasional Polair diselenggarakan melalui kegiatan

kepolisian.Kegiatan kepolisian memiliki definisi kegiatan

34
yang dilaksanakan oleh Polri secara rutin setiap hari dan

sepanjang tahun dalam rangka menjada dan memelihara

situasi keamanan dan ketertiban masyarakat.Kegiatan

kepolisiaan perairan yang dilaksanakan oleh Polair melalui

kegiatan preemtif, preventif, dan represif. Kegiatan ini

dilaksanakan melalui Patroli Laut yang memiliki frekuensi

sepanjang tahun dengan wilayah tugas perairan Indonesia

yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan

laut territorial dibawah kendali masing – masing Kepolisian

Daerah di seluruh Indonesia.

Sistem pelaksanaan Operasi Patroli Laut Polair melalui

(1) Kegiatan Kepolisian Kendali Mabes Polri, (2) Kegiatan

Kepolisian BKO Polda, dan (3) Satgas Tindak/Satgas

Bantuan Operasi pada Operasi Kepolisian Terpusat /

Operasi Polisi Kewilayahan.

Alat utama yang digunakan dalam melaksanakan

kegiatan kepolisian perairan atau Patroli Laut adalah Kapal

Polisi dengan tipe kelas A, B, & C sebanyak 622 kapal yang

tersebar baik di Mabes, Polda, dan Polres (sesuai lampiran

4).

Adapun jumlah personil yang mengawaki dan

menjalankan tugas pokok Polair adalah sebanyak 7211

personil dengan rincian 1823 personil pada Mabes Polri dan

35
5388 personil pada seluruh Polda dan Polres Perairan di

seluruh Indonesia.

Metode kegiatan kepolisian kapal Polisi Perairan

didasarkan pada 4 elemen, yakni Preemtif, Preventif,

Penegakan Hukum, dan Kerja Sama. Mekanisme penugasan

Kapal Polisi melalui serangkaian Ren (perencanaan) – Or

(Pengorganisasian) – Lak (Pelaksanaan) – Dal

(Pengendalian).Perencanaan dimulai dengan melakukan

pengumpulan data intelijen dasar.Berikutnya dilakukan

penetapan kalender atau jadwal operasi.Setelah itu,

dilakukan pengecekan kesiapan kondisi kapal dan BMP

(Bahan bakar Minyak dan Pelumas).Dilanjutkan dengan

perencanaan operasional dengan melihat hasil analisis

evaluasi terdahulu untuk menetapkan sasaran dan zonasi

operasional serta menyususun rencena gelar kapal.

Perencanaan Operasi dilakukan melalui pertimbangan

adanya informasi dari masyarakat, peta kerawanan, dan

history case yang kemudian dilakukan evaluasi untuk

menentukan daerah prioritas operasi. Jam pelaksanaan dan

lokasi Operasi berubah – ubah untuk mengelabui target

operasi. Informasi dari masyarakat diperoleh melalui call

center dan nomor Whatsapp khusus sebagai hotline untuk

melakukan pelaporan.

36
Tahapan berikutnya adalah tahap Pengorganisasian

melalui penunjukkan kapal dan anak buah kapal (ABK)

melalui penyusunan surat perintah. Selain itu, dalam tahap

ini juga ditetapkan personil pengendali teknis dan

operasional dalam gelar operasi yang dilaksanakan.

Selanjutnya adalah tahap Pelaksanaan yang

diantaranya mencakup kegiatan Patroli Perairan, Pembinaan

Masyarakat, Patroli Sambang Nusa, Perbantuan Fasilitas,

Pengamanan Kegiatan, SAR, Penjagaan Hot Spot dan

Proses Penegakan Hukum.

Tahap yang terakhir adalah tahap Pengendalian.Dalam

tahap ini, ada dua jenis pengendalian, yakni pengendalian

kegiatan kepolisian yang dilaksanakan oleh Dirpolair

Baharkam Polri dan pengendalian Operasi Kepolisian yang

dilaksanakan oleh Kepala Operasi Pusat atau Kepala

Operasi Wilayah. Selain itu, proses pengendalian juga

dilakukan dengan Pengawasan Melekat (waskat) pada

pelaksanaan kegiatan operasi. Selanjutnya, pada tiap

menjelang akhir periode Operasi dilaksanakan penyususnan

Laporan dan Analisis Evaluasi sebagai bahan perbaikan

pada pelaksanaan operasi yang akan datang. Evaluasi

mencakup target hasil pemeriksaan dan tangkapan yang

dilakukan oleh personil Operasi per 3 bulan.

37
d. Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan

(PSDKP)

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dit

Pengoperasian Kapal Pengawas PSDKP, PSDKP memiliki

35 kapal pengawas dan 89 speedboat sebagai unsur

pelaksana Operasi (sesuai lampiran 5). Pembagian zonasi

Operasi PSDKP sendiri terbagi dalam 2 wilayah, yakni

wilayah Barat (meliputi Selat Malaka dan Laut Cina Selatan)

dan Wilayah Timur (meliputi Laut Jawa hingga Perairan

Papua).

Penentuan target operasi didasarkan pada (1) Data dan

Informasi Kelompok Masyarakat Pengawas

(POKMASWAS)/Data Intelejen/UPT (Satker) Pengawasan

SDKP/Dinas KP/Pelabuhan Perikanan; (2) Data

VMS/AIS/Satelit; (3) Data Target dari Instansi Terkait

(BAKAMLA,TNI AL, POLRI dan Satgas 115); dan (4) Data

informasi dari masyarakat perikanan (pengusaha dan

nelayan). Adapun target prioritas Operasi kapal pengawas

adalah sebagai berikut.

1. Kapal ikan asing illegal yang melakukan penangkapan di

ZEE/perairan teritorial (Kpl ikan Vietnam, Thailand, China,

Malaysia);

2. Kapal Asing berbendera Indonesia yang berdokumen

palsu (Kpl. ikan Thailand, Malaysia);

38
3. Kapal berbendera Indonesia eks asing yang melakukan

pelanggaran, alattangkap, fishing ground, transhipment di

laut;

4. Kapal ikan Indonesi yang tidak memiliki ijin lengkap

(SIPI/SIKPI) dan menggunakan alat tangkap yang

merusak lingkungan (bom, bius, trawl); dan

5. Rumpon Illegal terutama Milik Nelayan Asing yang

dipasang disepanjang Laut Sulawesi.

Operasi Kapal PSDKP memiliki 4 jenis, yaitu Operasi

Mandiri, Operasi Bersama dengan Instansi Terkait dalam

negeri (Bakamla dan Satgas 115) maupun luar negeri

(secara terkoordinasi dengan Australia dan Malaysia),

Operasi Kerjasama dengan Pemerintah Daerah, dan Operasi

Lainnya dalam bentuk Operasi Target Khusus, Bantuan SAR

dan Operasi Sosial Kemanusiaan.

Operasi Mandiri dilaksanakan pada seluruh Wilayah

Penangkapan Perikanan (WPP) Indonesia. Pelaksanaan

Operasi Mandiri telah berhasil melakukan tangkapan

sebanyak 342 kapal, baik kapal ikan Indonesia maupun

kapal ikan asing, dari periode 2013 hingga Oktober 2016.

Operasi Mandiri yang dilaksanakan dilaksanakan secara

rutin selama 2 kali tiap bulan atau tergantung dari persediaan

perbekalan dan urgensitas di kawasan.

39
Operasi Bersama dengan Instansi Terkait Dalam

Negeri yang dilakukan oleh PSDKP diantaranya dengan

Bakamla. Operasi ini dilaksanakan pada WPP sesuai

urgensitas dan peta kerawanan yang diperoleh dari informasi

dan intelijen (VMS).

Operasi Bersama dengan Instansi Terkait Luar Negeri

yang dilakukan oleh PSDKP pada tahun 2016 adalah

dengan Australia dan Malaysia. Operasi Ausindo 2016 hanya

menghasilkan pemeriksaan kapal ikan Indonesia sebanyak 5

kapal. Sedangkan Operasi Malindo 2016 tidak menunjukkan

hasil Operasi.

Operasi Kerjasama dengan Pemerintah Daerah yang

dilakukan PSDKP pada tahun 2016 adalah dengan

Pemerintah Kabupaten Anambas tepatnya di daerah

Perairan Tarempa. Sedangkan Operasi lain yang

dilaksanakan oleh PSDKP pada tahun 2016 adalah Operasi

Kemanusiaan di Kepulauan Mentawai dan Operasi

Pemberantasan Rumpon Ilegal di WPP 714, 715, 716, dan

717. Operasi Pemberantasan Rumpon ini bertujuan untuk

menghilangkan rumpon – rumpon yang menghalangi jalur

migrasi ikan dari Samudra Pasifik menuju ke breeding

ground di Perairan Timur Indonesia.

40
e. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC)

Berdasarkan data dari Dit Penindakan dan Penyidikan

Bea Cukai, Operasi patroli laut BC merupakan aspek

pengawasan pemenuhan ketentuan UU Kepabeanan

(domain fiskal) dengan kapal patroli terhadap sarana

pengangkut di laut dan sungai yang tunduk pada UU

Pelayaran dan Perairan. Berdasarkan UU Nomor 10 tahun

1995 j.o. UU Nomor 17 tahun 2006 tentang Kepabeanan,

sasaran yang diamanatkan dalam UU tersebut adalah (1)

Transnational Crime Interdiction and Counter Terrorism; (2)

Pengamanan ketentuan larangan dan pembatasan; (3) Hak

– hak keuangan negara;dan (4) Pemenuhan kewajiban

kepabeanan. Dalam pelaksanaanya, BC berhak

menggunakan unsur kapal patroli, pesawar udara, radar,

telekomunikasi, dan senjata api.

Operasi patroli laut BC dilaksanakan berdasarkan data

intelijen yang dikumpulkan. Hasil Operasi yang dilakukan

selanjutnya akan dilakukan tindak lanjut penanganan

perkara. Operasi BC sendiri memiliki 2 jenis Operasi, yaitu:

- Rutin;

- Khusus, meliputi:

o Targeting patrol;

41
o Koordinasi dengan Administrasi Pabean negara lain

seperti Operasi Patkor Kastima dan Operasi Patkor

Optima;

o Koordinasi dalam kegiatan pertahanan dan kamla

seperti terlibat dalam Operasi Nusantara Bakamla;

o Koordinasi dengan kegiatan penegakan hukum sesuai

dengan permintaan seperti dengan BNN; dan

o Perbantuan kegiatan SAR dan pengamanan pejabat

negara.

Dari hasil penelusuran informasi, diperoleh data jumlah

unsur Operasi patroli laut BCsebanyak 207 unsur dengan

rincian sebagai berikut; 32 Fast Patrol Boat (FPB) 28 m, 10

Local Patrol Craft (LPC), 10 Very Silinder Vessel (VSV);

dan155 Speed Boat.

Komoditas utama yang disita oleh BC selama

pelaksanaan Operasi patroli laut pada rentang 2012 – 2016

adalah sembako seperti gula dan beras. Pada tahun 2016,

BC melakukan 4 jenis Operasi, yakni Operasi Gerhana,

Operasi Jaring Wallacea, Operasi Mandiri, dan Operasi

Patkor Kastima.

Operasi Gerhana merupakan patroli laut BC yang

dilaksanakan di sepanjang Selat Malaka. Total tangkapan

dalam Operasi ini adalah sebanyak 77 penindakan dengan

total nilai Barang Hasil Penindakan (BHP) sebesar 47,5miliar

42
Rupiah dan potensi kerugian negara mencapai 14,5 miliar

Rupiah.

Operasi Jaring Wallacea adalah Operasi patroli laut BC

di wilayah timur Indonesia.Operasi Jaring Wallacea

dilaksanakan dalam 3 tahap, Tahap pertama dan kedua

telah berhasil melakukan penindakan sejumlah 10 kali

penindakan.

Operasi Mandiri merupakan Operasi patroli laut yang

dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Bea Cukai.Operasi

Mandiri telah menjadi kegiatan yang dilaksanakan secara

rutin dan dilaksanakan berdasarkan informasi maupun tanpa

informasi dalam rangka peningkatan kehadiran negara (efek

deteren) serta berkesinambungan dengan operasi yang

dilakukan di darat dan didukung oleh operasi intelijen yang

bersifat khusus.

Operasi Patkor Kastima adalah Operasi patroli laut

terkoordinasi antara BC Indonesia dengan Jabatan Kastam

Diraja Malaysia dan sudah dilaksanakan disepanjang Selat

Malaka pada yurisdiksi negara masing-masing dan telah

berjalan selama 22 tahun.

f. Direktorat Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP)

Berdasarkan informasi dari KPLP, unsur operasi yang

digunakan berupa Kapal Negara sebanyak 461 unit yang

43
terdiri atas 7 unit kapal kelas 1, 14 unit kapal kelas 2, 40 unit

kapal kelas 3, dan 400 unit kapal kelas 4, dan kapal kelas 5.

Kapal Kelas 1, kapal kelas 2, dan sebagian kapal kelas 3,

ditempatkan pada Pangkalan PLP, sedangkan sebagian

kapal kelas 3, kapal kelas 4 dan kapal kelas 5 ditempatkan

disetiap Pelabuhan yang tersebar di Indonesia (sesuai

lampiran 7).

Model Operasi Kapal KPLP sesuai Instruksi Dirjenhubla

No. UM.008/21/18/DJPL-16, dibagi menjadi 2 jenis model,

yakni Operasi Patroli Mandiri Terpadu dan Operasi Patroli

Gabungan Terpadu. Operasi Patroli Mandiri Terpadu adalah

Operasi yang hanya melibatkan unsur-unsur didalam

lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kantor

Kesyahbandaran Utama, Kantor Pelabuhan Batam, Kantor

kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan, kantor Unit

Penyelenggaraan Pelabuhan, Distrik navigasi, SROP dan

VTS, Pangkalan Penjagaan laut dan pantai kelas 1,

pangkalan Penjagaan laut dan pantai kelas 2.

Sedangkan Operasi Patroli Gabungan Terpadu adalah

Operasi yang dilakukan dengan melakukan koordinasi dan

bersinergi dengan kementerian/lembaga terkait lainnya

dalam hal melaksanakan tugas tambahan dalam mencapai

tujuan pemberian dukungan terhadap pengawasan kapal

ikan eks asing, pencegahan pelanggaran kepabeanan,

44
pencegahan kegiatan bongkar muat narkotika dan obat-

obatan terlarang serta barang ilegal lainnya di pelabuhan,

laut dan pantai.

g. Rangkuman Gelar Operasi Instansi Penegak Hukum di

Laut

Berdasarkan hasil pengumpulan data, dilakukan

penyajian rangkuman gelar Operasi dari seluruh Instansi

Penegak Hukum di laut dengan rincian jumlah unsur dan

jenis Operasi dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1 Gelar Operasi seluruh Instansi Penegak Hukum di laut

Instansi Jumlah dan Tipe Unsur Jenis Operasi

Bakamla 24 unit, meliputi: - Operasi Bersama

- 6 unit Kapal 48 m Keamanan Laut Dalam

- 8 unit Catamaran 12 m Negeri

- 10 unit Rigid Inflatable Boat - Operasi Bersama

(RIB) Keamanan Laut Luar

Negeri

- Operasi Udara Maritim

TNI AL 51 unit, meliputi: - Operasi Pengamanan

(Guskamla) - 38 unit Kapal berbagai tipe dan ALKI

ukuran - Operasi Keamanan Laut

- 12 unit Pesawat Udara dan Heli - Operasi Patroli

45
Instansi Jumlah dan Tipe Unsur Jenis Operasi

Terkoordinasi

Polair 622 unit, meliputi: - Kegiatan Kepolisian

- 12 unit Kapal Kelas A (48 m) Kendali Mabes Polri

- 36 unit Kapal Kelas B (28 m) - Kegiatan Kepolisian BKO

- 575 unit Kapal Kelas C (15 m) Polda

- Satgas Tindak/Satgas

Bantuan Operasi pada

Operasi Kepolisian

Terpusat / Operasi Polisi

Kewilayahan

PSDKP 124 unit, meliputi: - Operasi Mandiri

- 35 unit Kapal Patroli Perikanan - Operasi Bersama dengan

berbagai ukuran Instansi Terkait dalam

- 89 unit Speedboat negeri dan luar negeri

- Operasi Kerjasama

dengan Pemda

- Operasi Lainnya (Target

khusus dan

Kemanusiaan)

Bea Cukai 207 unsur, meliputi: - Operasi Rutin

- 32 unit FPB 28 m - Operasi Khusus

- 10 unit LPC (Targetting Patrol dan

- 10 unit VSV Operasi Terkoordinasi)

46
Instansi Jumlah dan Tipe Unsur Jenis Operasi

- 155 unit Speedboat

KPLP 461 unit, meliputi: - Operasi Patroli Mandiri

- 7 unit KN Kelas 1 Terpadu

- 14 unit KN Kelas 2 - Operasi Patroli Gabungan

- 40 unit KN Kelas 3 Terpadu

- 400 unit KN Kelas 4

4.1.2 MODEL OPERASI TERSINERGI MENURUT MASING –


MASING INSTANSI PENEGAK HUKUM DI LAUT
a. Badan Keamanan Laut (Bakamla)
Model Operasi tersinergi menurut Badan Keamanan

Laut:

Gambar 4.1Model Operasi Tersinergi Menurut Bakamla

47
b. Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) –
Gugus Keamanan Laut (Guskamla)
Model Operasi tersinergi menurutTNI AL:

Gambar 4.2Model Operasi Tersinergi Menurut TNI AL

c. Polisi Perairan (Polair)


Model Operasi tersinergi menurutPolair:

Gambar 4.3Model Operasi Tersinergi Menurut Polair

d. Pengawas Sumber Daya Perikanan (PSDKP)


Model Operasi tersinergi menurutPSDKP:

48
Gambar 4.4Model Operasi Tersinergi Menurut PSDKP

e. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (BC)


Model Operasi tersinergi menurutBC:

Gambar 4.5 Model Operasi Tersinergi Menurut BC

49
4.2 TEMUAN MASALAH
Berdasarkan Data dan Informasi hasil penelitian sesuai

lingkup penelitian, ditemukan masalah sebagai berikut:

a. MasalahPenegakanHukum Di Laut

Penegakan hukumdilauttelah dilakukan oleh instansi terkait

yang memiliki kapal patroli, yaitu TNI AL, BAKAMLA, POLAIR,

PSDKP, BEA CUKAI, KPLP telah dilakukan, baik secara operasi

parsial maupun operasi bersama yang diselenggarakan Bakamla.

Operasi parsial yang dilaksanakan instansi terkait, dalam

berbagai hal walaupun memiliki kekuatan dan kekhasan ternyata

pelaksanaannya juga memiliki masalah, antara lain terbatasnya

dukungan logistik dan anggaran untuk dapat melaksanakan patroli

sepanjang tahun, terbatasnya jumlah kapal yang dimiliki satu

instansi dibandingkan dengan luas wilayah perairan yang harus

dijaga, kenyataan ini menyebabkan masih adanya wilayah

perairan yang kurang/ tidak terjaga dengan baik.

Sedangkan Operasi bersama yang diselenggarakan

Bakamla dengan melibatkan berbagai instansi penegak hukum

terkait, walaupun terintegrasi dan tersinergi namun dalam

pelaksanaannya juga masih terkendala oleh berbagai hal,

misalnya ; terbatasnya dukungan logistik untuk mendukung

operasional kapal patroli yang akan dilibatkan dalam operasi

bersama, terbatasnya informasi intelijen yang mendukung

pelaksanaan Operasi, belum optimalnya penggunaan informasi

early warning system,kurang optimalnya partisipasi dari instansi

50
terkait untuk mendukung Operasi Bersama. Operasi bersama

yang dilaksanakan juga tidak dapat mencakup waktu sepanjang

tahun (ada waktu yang kosong/tidak ada operasi bersama).

Operasi bersama juga belum dapat mencakup seluruh perairan

Indonesia dan Yurisdiksi Indonesia.

Adanya celah kekosongan dimana wilayah perairan kurang

terjaga atau perairan kosong tanpa kapal patroli, dimanfaatkan

oleh para pelanggar hukum untuk mencari celah dalam melakukan

pelanggaran/kejahatan.

Hal inilah sebagai penyebab mengapa tindak kriminal di

perairanIndonesia dan yuridiksi Indonesia masih sulit diberantas

bahkan beberapajenistindak pidanadan pelanggaran tertentu

malah semakin meningkat, misalnya penyelundupan narkoba dan

illegal fishingyangakhir-akhir ini kerapterjadi.

Penanganan penegakan hukum di perairanIndonesia dan

Yuridiksi Indonesia memang memiliki tantangan karena

mempunyai tingkat kesulitan yanglebihtinggi dibandingkan dengan

tindak pidana dan pelanggaransejenis yang terjadi di daratan

mengingat medannya yang luas dan terdiri dari perairan.

Namun jika ditelusuri lebih dalam terkait hubungan

komunikasi antar kementerian/ lembaga terkait penegakan hukum

dilaut, terutama dalam teknis operasional untuk melaksanakan

Operasi Kamkesla, maka kurang optimalnya konektivitas dan

soliditas untuk melaksanakan patroli tersinergi dan

51
terintegrasimenjadi titik lemah sistem keamanan dan keselamatan

laut yang ada sekarang ini.

Disamping itu kurang kuatnya payung hukum tentang

Operasi Tersinergi dan belum adanya Komitmen dan kesepakatan

antar instansi terkait penyinergian, belum adanya pedoman

pelaksanaan Operasi Tersinergi, mengakibatkan pelaksanaannya

dalam penyelenggaraan operasi bersama yang digelar Bakamla

menjadi kurang optimal.

Hal ini merupakan fakta bahwa kondisi penegakan hukum

dilaut merupakan cerminan dari banyaknya Undang Undang yang

memberikan kewenangan penegakan hukum, dimana semangat

ego sektoral lebih mencuat dibandingkan dengan semangat

kebersamaan. Karena sampai saat ini, belum ada satupun pasal

selain pasal 62 UU No. 32 tahun 2014 yang memberikan kekuatan

dan kewenangan untuk bersinergi, atau memberikan kewenangan

kepada suatu badan sebagai Sinergitor atau Kolaborator untuk

mensinergikan sistem operasi keamanan dan keselamatan laut

secara komprehensif dan terpadu demi kepentingan nasional.

Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut adalah perlu

untuk merumuskan solusi melalui memprioritaskan3 dasar

instrumen pokok terkait optimalisasi dan penyinergian model

operasi keamanan laut, yaitu :

1. Pengembangan Konektivitas dan Soliditas antar Instansi

penegak hukum terkait melalui penyempurnaan Sistem

52
Operasi Tersinergi yang komprehensif dan terpadu meliputi

Model operasi bersama tersinergi, Model operasi parsial

tersinergi, sarana dan prasarana yang tersinergi, dukungan

logistik dan anggaran yang tersinergi dan sistem komunikasi

dan informasi yang tersinergi;

2. Membangun Sistem Surveylance terpadu dan terkoneksi yang

mampu mendeteksi seluruh perairan Indonesia dan yuridiksi

Indonesia secara tersinergi sehingga mampu mendeskripsikan

pola operasi tersinergi serta mampu mengantisipasi trend

pelanggaran dan kejahatan di perairan Indonesia dan Yuridiksi

Indonesia; dan

3. Perlunya Sistem perundang undangan yang memberikan

kewenangan penyinergian, agar mampu mengikat semua

elemen penegak hukum dilaut dalam suatu bingkai yang kuat

dan terpadu, misalnya ; memasukkan pasal Sinergi dalam

Rancangan Undang Undang Keamanan dan Keselamatan

Laut.

Tanpa dukungan ketiga instrumen pokok tersebut,

makasasaran dalampenyelenggaraan Optimalisasi Model Operasi

Bersama Tersinergi guna terwujudnya penegakanhukumdi

PerairanIndonesiadanYuridiksi Indonesia tidak akan dapattercapai

secara optimal.

53
b. Masalah Kewenangan

Masalahkewenanganyang diteliti untuk mencari rumusan

dalam mengoptimalisasikan dan mensinergikan model operasi

adalah dengan melihatapakah kewenangan hukum masing-

masing instansi pemerintah yang terkait dalam penyelenggaraan

penegakan hukum di perairan Indonesia dan Yuridiksi

Indonesiatelahjelaspengaturannyadantidaktumpangtindih.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada umumnya

kewenangan masing-masing

instansitelahcukupjelaspemilahannya,dantelah dituangkan

dalamberbagai peraturan perundang-undangan sesuai

denganbidang danlingkuptugasnyamasing-masing.Namundalam

implementasi/ operasi dilapangan masihdijumpai

adanyatumpangtindihpelaksanaankewenangan,khususnya dalam

melakukan penyidikansuatu tindak pidana atau pelanggaran

yangterjadi, akibat ketidak jelasan mengenai instansi mana

yang mempunyai kewenangan.

Kewenangan dalam pelaksanaan penegakan hukum di

perairan Indonesia danYuridiksi Indonesiayang tumpang

tindihtersebuttentunya menyebabkanpelaksanaan patroli

keamanan dan keselamatan laut menjaditidak efektif dan tidak

efisien,danbahkanada kemungkinansuatu masalah atau tindak

pidanadan pelanggaranyang

terjadidiperairanIndonesiadanYuridiksi Indonesia tidak dapat

54
ditanganikarena tidakadainstansiterkaityang merasa

mempunyaikewenangan untuk menanganinya.

c. MasalahPenyinergian

Permasalahanyang diteliti adalahapakah penyinergian

antarainstansi-instansi penegak hukum

terkaitdanatauparaaparatpenegakhukum dalam melaksanakan

operasi kamkesla secara parsial dan terintegrasi di

perairanIndonesia danYuridiksi

Indonesiatelahterlaksanasecaraoptimal.

Dariuraiandalambab-babterdahuludiketahui

bahwaadatingkatan penyinergian

dalampenyelenggaraanpenegakanhukumdi perairan Indonesia

dan Yuridiksi Indonesia, yaitu:

1. Sinergipadatingkat pengambilankebijaksanaan (Top

Management ) yang terkait dengan kebijakan politis,

menyangkut sistem keamanan dan keselamatan laut

nasional yang tersinergi;

2. Sinergi pada tingkat perumusan strategi dan program

(Midle Management) yang mencakup sinergidalam

menginterpretasikankewenangan hukum dan strategi serta

program untuk merumuskan model operasi kamkesla yang

tersinergi;

55
3. Sinergi padatingkat operasional di lapangan(Low

management) yang mencakup pelaksanaan operasi parsial

dan terpadu yang tersinergi;

4. Sinergi dalamkewenangan hukum adalah terjalinnya

sinergiantara instansi penyidik, penuntut

danbadanperadilan.Walaupun prosesdan

mekanismenyasudahcukupjelas

pengaturannyadansejauhinitelahberjalan dengan baik. Namun

yang masih menimbulkan kerancuan adalah bagaimana

merumuskan dengan tepat model operasi

tersinergiyangsifatnyaoperasional dan dapat mengakomodasi

semua kepentingan instansi terkait.

d. MasalahOptimalisasi

Permasalahanyang diteliti terkait Optimalisasi Model

Operasi tersinergi adalahapakahkemampuanpara aparat penegak

hukumdi perairanIndonesiadanYuridiksi Indonesiadapat

dioptimalkan, termasuk kemampuannya dalam pemahaman

tentang Model Operasi bersama tersinergi dan disamping itu

penguasaan secara komprehensif terhadap semua peraturan

perundang-undangan yang berkaitan denganpenegakanhukum di

perairanIndonesiadanYuridiksi Indonesia sangat diperlukan agar

tindakan penegakan hukum dilakukan dengan tepat guna dan

optimal.

56
Darihasil penelitian dan studi literatur terhadap instansi

penegak hukum terkait dapat digambarkan bahwa kemampuan

para aparat penegak hukum dilaut yang dimiliki instansi penegak

hukum terkait telah memadai, karenapadaumumnya

merekatelahdibekali pendidikandan pelatihanteknis dan

operaional serta diklatpegawai negeri sipil sesuai dengan tupoksi

instansi masing-masing. Jika kemudian terjadi penanganan

penegakan hukum di perairan Indonesia dan Yuridiksi Indonesia

yang tidak optimal, hal ini disebabkan masalah penyinergiannya

yang masih belumberjalan sebagaimana mestinyaseperti

dijelaskandiatas.

e. MasalahOperasi Keamanan dan Keselamatan

Pelaksanaan Operasi Keamanan dan keselamatan di

perairan Indonesia dan yuridiksi Indonesia secara fakta masih

kurang optimal karena instansi terkait lebih terkonsentrasi pada

Operasi parsial daripada Operasi bersama yang tersinergi. Hal

ini dapat dimaklumi karena Instansi penegak hukum terkait

harus dapat memenuhi tuntutan perundang undangan sektoral

sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk melaksanakan

Operasi keamanan dan keselamatan diperairan Indonesia dan

Yuridiksi Indonesia. Disamping itu masing masing instansi juga

memiliki anggaran yang besar dan harus dipertanggung

57
jawabkan terkait pelaksanaan operasi / patroli sesuai tupoksi

masing masing.

Sedangkan Operasi bersama yang dilaksanakan Bakamla

dengan melibatkan kapal kapal patroli dari instansi terkait,

anggaran untuk biaya operasionalnya dibebankan kepada

Bakamla, namun dengan jumlah terbatas sehingga tidak dapat

melibatkan kapal kapal patroli yang sangat banyak untuk

menjaga seluruh perairan Indonesia dan Yuridiksi Indonesia.

Sehingga setiap diadakan Kaji Ulang ( kajul / evaluasi )

setelah pelaksanaan kegiatan Operasi Bakamla, maka kendala

yang masih harus dihadapi adalah :

1. Anggaran Operasi bersama yang diselenggarakan Bakamla

dibiayai Bakamla dengan biaya yang masih terbatas;

2. Dukungan Unsur, Personil, dan Alkom kurang optimal;

3. Dukungan Data dan Informasi antar instansi terkait untuk

mendukung operasi masih terbatas; dan

4. Sinergitas dan Konektivitas Operasi antar instansi terkait

kurang maksimal.

Berdasarkan Kaji Ulang tersebut menjadi tanda kutip bahwa

Operasi bersama yang digelar Bakamla mencerminkan indikasi

masih kuatnya semangat ego sektoral pada masing masing

instansi penegak hukum terkait karena lebih mengutamakan

kavlingnya masing masing dengan Operasi Parsial daripada

58
mendukung secara maksimal Operasi parsial tersinergi dan

Operasi bersama tersinergi.

Hal ini dapat dimaklumi karena payung hukum kewenangan

Bakamla sebagai penyinergi dibidang Operasi Keamanan dan

Keselamatan Laut masih terkendala oleh berbagai kelemahan

baik Internal maupun eksternal.

Kelemahan Internal sebagai berikut :

1. Tidak ada kewenangan sebagai Penyidik;

2. Keterbatasan Sarana dan Prasarana;

3. Keterbatasan SDM berkualitas, terutama SDM dibidang

Operasi Kamkesla, Surveylance, dan Human Intelejen

Maritime;

4. Keterbatasan Anggaran, karena untuk menyelenggarakan

Operasi bersama tersinergi membutuhkan biaya yang sangat

besar.

Kelemahan Eksternal sebagai berikut :

1. Pengintegrasian sistem informasi dan surveylance antar

instansi sesuai peraturan PerUndang Undangan masih belum

terwujud;

2. Belum adanya payung hukum yang jelas sebagai aturan

turunan dari pasal 62,UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan,

yang memberikan kewenangan dan Peran Bakamla sebagai

penyinergi daan Kolaborator Model Operasi tersinergi, yang

59
dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam menggelar “

Operasi Bersama tersinergi” yang dapat mengikat seluruh

instansi penegak hukum terkait demi kepentingan nasional,

bangsa dan negara.

4.3 PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN :


Dari hasil temuan data penelitian yang dilakukan melalui studi

literatur dan studi empirik serta hasil pembahasan lebih lanjut terkait

pelaksanaan Operasi secara parsial dan Operasi bersama yang

telah dilaksanakan serta temuan masalah sebagai dasar untuk

mencari perumusan baru dalam rangka optimalisasi dan sinergitas

model operasi tersinergi guna menekan angka kejahatan dilaut,

dapat dibahas lebih lanjut sebagai berikut :

a. Pelaksanaan Operasi Parsial

Pelaksanaan Operasi keamanan dan keselamatan diperairan

Indonesia dan yuridiksi Indonesia yang dilaksanakan secara

parsial, selama ini telah dilaksanakan oleh 5 instansi penegak

hukum dilaut yang memiliki unsur kapal kapal patroli (TNI AL,

POLAIR, PSDKP-KKP, BEA CUKAI-KEMENKEU, KPLP-

KEMENHUB) sesuai Tupoksi masing masing.

Dalam pelaksanaannya, operasi secara parsial oleh masing

masing instansi memiliki kekuatan dan kelemahan sebagai

berikut:

1. Kekuatan

60
o Operasi Parsial dalam penegakan hukum dilaut oleh masing

masing instansi sesuai tupoksinya merupakan implementasi

dari tuntutan perundang undangan yang ada, sebagai

refleksi kehadiran negara secara riel dibidang yang terkait

dengan keamanan dan keselamatan diperairan Indonesia

dan Yuridiksi Indonesia.

- TNI AL, menjaga kedaulatan negara dilaut dan penegak

hukum dilaut ( fungsi Constabulary).

- POLAIR, melaksanakan patroli pengamanan dan

ketertiban masyarakat di perairan Indonesia.

- PSDKP, melaksanakan patroli pengawasan perikanan dan

perlindungan sumber daya kelautan.

- BEA CUKAI, melaksanakan patroli pengawasan dibidang

kepabeanan.

- KPLP, melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan

pelayaran.

o Masing masing Instansi penegak hukum di laut telah

melaksanakan Patroli penegakan hukum secara parsial

sesuai tupoksi masing masing selama puluhan tahun,

sehingga sangat memahami secara spesifik dan sudah

berpengalaman dalam menangani berbagai pelanggaran dan

berbagai kejahatan dilaut terkait tupoksinya masing masing.

o Model Operasi dan Pola Operasi Parsial mempunyai

keunikan dan kekhasan sesuai dengan tuntutan Undang

61
Undang yang menyangkut tugas dan tanggung jawab

instansi tersebut untuk mencegah dan mengantisipasi

berbagai pelanggaran dan kejahatan sesuai tupoksi masing

masing, misalnya :

- Model dan Pola Operasi yang dilaksanakan TNI AL,

didasarkan pada kemampuan dan kekuatan peralatan

pendeteksian yang canggih, kekuatan tempur dari unsur

dan alutsista pertahanan dilaut, human intelejen,

kemampuan diplomasi, dan peran constabulary dalam

menjaga kedaulatan negara dilaut dan melaksanakan

penegakan hukum.

- Model dan Pola Operasi yang dilaksanakan Bakamla,

didasarkan pada kemampuan pemberian informasi melalui

pendeteksian dini /Early warning System dsb yang

terintegrasi (BIIS), melalui Operasi bersama secara

tersinergi dengan instansi penegak hukum terkait dalam

melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di

perairan Indonesia dan Yuridiksi Indonesia.

- Model dan Pola Operasi Parsial yang dilaksanakan Dit P2,

Bea dan Cukai, didasarkan pada kemampuan dan

kekuatan Human Intelejen serta penggunaan dan

pemanfaatan alat deteksi berteknologi canggih untuk

mengantisipasi kejahatan penyelundupan.

62
- Model dan Pola Operasi parsial yang dilaksanakan Polair,

didasarkan pada informasi/laporan masyarakat dan

kemampuan human intelejen untuk mencegah dan

mengantisipasi berbagai gangguan keamanan dan

ketertiban masyarakat.

- Model dan Pola Operasi yang dilaksanakan Dit.Kapal

Pengawas Perikanan, PSDKP, didasarkan pada

kemampuan penggunaan alat pemantauan secara dini

(VMS), informasi/ laporan masyarakat, pemetaan daerah

potensi perikanan dan human intelejen dibidang

perikanan.

- Model dan Pola Operasi yang dilaksanakan Dit.KPLP,

Ditjen Hubla, didasarkan pada laporan/ informasi

masyarakat ( Quick respons), laporan/informasi dari UPT

di seluruh wilayah Indonesia

(Kesyahbandaran, KSOP, KUPP, Distrik Navigasi, SROP,

dsb), Pemantauan menggunakan teknologi canggih (LRIT,

VTS dan AIS) dalam melakukan tindakan pencegahan

dan antisipasi terkait keamanan dan keselamatan

pelayaran.

o Model Operasi parsial yang dilaksanakan masing masing

instansi terkait meliputi Operasi parsial khusus yang bersifat

komprehensif (dilaksanakan secara menyeluruh disemua

unit operasi dan dikendalikan oleh pusat) dan Operasi parsial

63
rutin yang bersifat lokal( dilaksanakan secara kewilayahan

oleh satu atau beberapa unit penegak hukum disuatu

wilayah dan dikendalikan oleh kantor Zona/ kantor

perwakilan/ kantor wilayah, diarea/ wilayah tertentu).

o Model Operasi Parsial mempunyai tingkat kerahasiaan yang

tinggi, serta lebih fokus dan lebih tajam karena dilakukan

secara spesifik sesuai target operasi yang telah ditetapkan.

2. Kelemahan :

o Operasi parsial yang dilaksanakan instansi terkait masih

belum terkoneksi dan tersinergi secara optimal, dimana

soliditas antar instansi dilapangan masih kurang maksimal

karena lebih fokus pada tugas pokok dan fungsinya masing

masing. Hal ini menjadi kesan kurang baik, seolah olah

terdapat ego sektoral dari masing masing penegak hukum

dilaut.

o Operasi parsial menggunakan anggaran instansi masing

masing sesuai DIPA yang telah ditetapkan, sehingga instansi

masing masing lebih terfokus kepada penyerapan anggaran

DIPA dalam melaksanakan Operasi penegakan hukum

sesuai ketetapan dan tuntutan Undang Undang. Hal ini yang

menjadi image kurang sedap, seolah olah berbagai instansi

penegak hukum dilaut lebih mengutamakan kavlingnya

masing masing.

64
o Operasi parsial yang dilaksanakan masing masing instansi

penegak hukum jika kurang diharmonisasikan dengan baik,

akan menjadi problema karena ada perairan dengan

banyaknya kehadiran kapal patroli dari berbagai instansi

namun ada perairan yang jarang / tidak pernah dikunjungi

oleh kapal patroli.

o Pada perairan dengan kehadiran kapal patroli dari berbagai

instansi akan memungkinkan terjadinya kondisi dimana

sebuah kapal niaga dapat diperiksa berkali kali oleh berbagai

kapal patroli dilaut, sehingga menimbulkan kesan kurang

baik yaitu terjadinya tumpang tindih kewenangan dilaut.

Sedangkan pada wilayah perairan yang jarang/tidak pernah

dikunjungi kapal patroli menimbulkan kesan bahwa perairan

Indonesia kurang/ tidak terjaga dengan baik. Dimana wilayah

yang kurang/tidak terjaga menjadi celah kelemahan yang

dimanfaatkan para pelanggar hukum untuk melaksanakan

pelanggaran dan kejahatan dilaut.

o Anggaran Operasi parsial yang dilaksanakan oleh masing

masing instansi penegak hukum sangat terbatas, sehingga

tidak memenuhi untuk Operasi sepanjang tahun, sehingga

ada waktu waktu dimana perairan tanpa penjagaan sama

sekali dari kapal patroli. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak

pihak tertentu untuk memanfaatkan kekosongan penegakan

hukum di perairan dengan kegiatan ilegal yang melanggar

65
hukum, dan berbagai tindak pelanggaran dan kejahatan

yang merugikan negara.

o Pembiayaan Operasi penegakan hukum sangat mahal (biaya

tinggi) sehingga pembiayaan operasi parsial dari masing

masing instansi terkait penegak hukum jika kurang

disinergikan, hanya akan menjadi beban finansial bagi

negara.

b. Instrumen Operasi Tersinergi yang Ideal

Pemahaman keamanan maritim bukan hanya penegakkan

hukum di laut saja. Keamanan laut mengandung pengertian

bahwa laut aman digunakan oleh pengguna dan bebas dari

ancaman atau gangguan terhadap aktifitas penggunaan atau

pemanfaatan laut.Keamanan maritim sendiri memiliki banyak

pengertian, diantaranya diartikan sebagai kegiatan sipil maupun

militer untuk mengurangi resiko dan melawan kegiatan illegal serta

ancaman dalam ruang domain maritim.

Dengan memahami perkembangan lingkungan strategis dan

berbagai peluang yang ada, maka upaya untuk meningkatkan

sistem keamanan maritim memerlukan strategi yang tepat dan

efektif. Oleh karena itu, strategi yag akan dikembangkan harus

disesuaikan dengan kondisi kekuatan dan kemampuan nasional

yang ada, serta mempertimbangkan ruang dan waktu yang tepat

maupun dilaksanakan melalui pembagian sesuai dengan skala

66
prioritas. Dalam hal ini, terdapat rumusan beberapa strategi:

pertama, membangun dan mengembangkian elemen sea

powerIndonesia dengan titik berat pada pembangunan Armada

Patroli Bakamla dan mitra; Kedua, mengintegrasikan sarana

pengawasan maritim yang dalam waktu dekat dapat dilakukan

melalui pengintegrasian sarana teknologi surveillance system dan

sistem jaringan informasi, serta pembentukan pusat pengawasan

terpadu; ketiga, mensinergikan seluruh otoritas lembaga

kemaritiman dengan merevisi aturan perundang-undangan yang

lebih komprehensif, serta mengefektifkan sistem kelembagaan.

1. Membangun dan Mengembangkan Kekuatan Laut


Indonesia
Upaya membangun dan mengembangkan elemen Sea

Power Indonesia menjadi faktor vital dalam peningkatan sistem

keamanan maritim. Sebagaimanan diketahui, dengan

diterbitkannnya Undang-undang no. 32 tahun 2014 tentang

Kelautan dan Perpres No. 178 tahun 2014 menjadi legitimasi

dibentuknya Bakamla, yang memiliki kewenangan komando

pengendalian untuk menjalankan fungsi pengamanan laut

Indonesia, sehingga sudah selayaknya memiliki Armada patrol

yang memadai. Untuk meningkatkan sistem keamanan maritim,

pengadaan kapal patroli bagi Bakamla baik untuk ukuran kapal

sekitar 48 m, 80 m, maupun 110 m perlu terus dilakukan secara

bertahap.

67
2. MengintegrasikanSarana Pengawasan Maritim
Untuk meningkatkan sistem keamanan maritim Indonesia,

dibutuhkan sistem pengawasan yang lebih terintegrasi dalam

menjaga luasnya wilayah laut.Selain itu, diperlukan

pengawasan wilayah laut Indonesia untuk mencegah

pelanggaran perbatasan, spionase, ancaman navigasi, serta

dari factor-faktor lain yang menyebabkan instabilitas keamanan,

seperti trafficking dan imigran illegal. Dalam pelaksanaan

pengawasan kelautan, maka stakeholders kemarititman

diharapkan memiliki suatu sistem deteksi, monitoring dan

pelaporan secara cepat dan akurat melalui pembangunan

surveillance system yang berbasis teknologi informasi dan citra

satelit yang memadai, serta dapat dioperasikan secara

terintegrasi serta pembentukan pusat pengawasan terpadu.

3. Mensinergikan Seluruh Otoritas Lembaga Kemaritiman


Tanggung jawab penegakkan keamanan di laut adalah

tanggung jawab bersama segenap komponen bangsa,

sehingga kata kuncinya adalah keterpaduan, yaitu

mensinergikan kekuatan dan kemampuan nasional.Untuk

menciptakan sinergitas seluruh otoritas lembaga kemaritiman,

maka ada dua substansi pokok yang perlu dilakukan, yaitu

68
dengan merevisi aturan perundang-undangan yang lebih

komprehensif, serta mengefektifkan sistem kelembagaan.

Sementara itu dalam aspek kelembagaan, Bakamla harus

mulai melaksanakan peran dan fungsinya sebagai jalan keluar

dari kesulitan dalam pelaksanaan lintas sektoral, agar dalam

pelaksanaan operasinya tidak terjadi tumpang tindih.

4. Optimalisasi Patroli
Optimalisasi sarana prasarana dalam mendukung kapal-

kapal yang melaksanakan patroli.Diperlukan integrasi

pangkalan baik yang dimiliki Bakamla maupun pangkalan yang

dimiliki mitra (stakeholder). Dengan demikian jam operasi

patroli akan lebih efektif, tanpa mewajibkan kapal kembali ke

pangkalan awal (masing-masing).

5. Strategi & Rancangan Operasional


Secara bertahap, disesuaikan dengan dukungan

pemerintah (APBN) sarpras pangkalan agar berkelas nasional

laut yang kaya akan SDA dan selat yang rawan terhadap

pelanggaran keamanan diprioritaskan untuk di upgrade. Kapal-

kapal didispersi ke pangkalan agar memudahkan &

mempercepat gerak menuju berbagai ancaman yang muncul.

Rancangan patroli disinergikan antara kapal, pesawat dan

sistem peringatan dini (SPD) serta pusat informasi marabahaya

(PIM), Kodal antara sarpras yang sudah digelar harus

69
senantiasa terjalin dengan baik, dimana informasi real time

selalu tersaji. Dalam menyusun rancangan patroli seyogyanya

memuat jangka waktu, jenis dan type kapal (cuaca) serta

dukung teknis-operasional sejak penyelidikan sampai

penuntutan.

Pembangunan kekuatan sesuai yang telah dibahas didepan,

tidak berimplikasi terhadap pembangunan kekuatan bagi negara-

negar dikawasan.Pembangunan kekuatan tidak berdampak

kearah kesenjangan pertimbangan kekuatan.Dengan demikian

negara-negara kawasan tidak memandang itu sebagai ancaman

terhadap stabilitas kawasan.

Gelar kekuatan kapal-kapal patroli baik Bakamla maupun

mitra (stakeholder) cukup di pangkalan yang bergelar.Sistem

pengawasan yang telah digelar digunakan/dimanfaatkan secara

maksimal. Dengan demikian, setiap kapal yang tidak dikenal

memasuki kawasan harus segera diintercept oleh kapal patroli

tergelar. Surveillance system diefektifkan dalam rangka deteksi,

monitor dan pelaporan secara cepat dan akurat.

c. Persiapan Operasi Kamla (Konsep Operasi) Terintegrasi

Persiapan Operasi Kamla adalah tindakan yang dilakukan

dalam batas waktu tertentu dengan maksud membuat kondisi

yang dipergunakan untuk mencapai tugas yang diberikan.

Persiapan Operasi meliputi:

70
1. Perencanaan Operasi.
Perencanaan operasi meliputi proses dimana komandan

opersional menentukan keputusan tentang cara bertindak yang

terbaik untuk melaksanakan tugas dan penyusunan petunjuk

operasi serta pengawasan pelaksanaannya. Tahap

perencanaan operasi meliputi Pengembangan Rencana dan

Pengawasan Pelaksanaan Kegiatan.

2. Persiapan Bantuan Logistik.


Persiapan dan perencanaan bantuan logistik secara

terperinci diatur dalam petunjuk di bidang logistik.

3. Persiapan Kekuatan Operasi


a) Faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:

i. Kesiapan kekuatan yang dikelompokkan kedalam:


- Kekuatan dalam operasi;
- Kekuatan dalam cadangan.
ii. Keadaan Daerah Operasi.

b) Penyusunan kekuatan dalam operasi sesuai tingkat

kekuatan meliputi:

i. Unsur Tugas
ii. Satuan Tugas

c) Penggunaan kekuatan. Urutan prioritas adalah:

i. Kekuatan untuk jurusan utama


ii. Kekuatan untuk bantuan pengamanan.

71
d) Penggunaan kekuatan dalam operasi sesuai tugas tingkat

kegiatannya dikelompokkan dalam:

i. Tingkat Operasional meliputi:


- Kekuatan untuk jurusan utama
- Kekuatan cadangan operasional
ii. Tingkat Taktis meliputi:
- Kekutan pemukul terdiri dari: pemukul pendahuluan,
dan pemukul akhir.
- Kekuatan bantu terdiri dari: pengintai, pernika,
pengamanan, pertahanan dan perlindungan.

d. Pelaksanaan Operasi Kamla(Konsep Operasi) Terintegrasi

Pelaksanaan Operasi Kamla merupakan serangkaian

kegiatan terdiri dari(1) Pengintaian; (2) Pengembangan operasi;

dan (3) Kegiatan Pengamanan

1. Pengintaian.
Usaha pengintaian untuk mendapatkan informasi tentang

lautan dan daerah operasi untuk menjamin kelancaran

operasi.Data lawan yang harus dilaporkan/diusahakan adalah:

(1) Posisi; (2) Komposisi dan informasi sasaran; dan (3) Sifat

kegiatan.

Sedangkan data daerah operasi yang harus

diusahakan/dilaporkan meliputi: (1) Data Navigasi;(2) Hidrogafi;

dan (3) Meteorologi serta pengaruhnya terhadap kekuatan

sasaran.

2. Pengembangan Operasi

72
Terdiri dari pemusatan kekuatan dari berbagai pangkalan

atau jurusan ke daerah sasaran.Pelaksanaan pengembangan

kekuatan diusahakan tepat waktu dan terjamin kerahasiaannya.

3. Kegiatan Bantuan dan Pengamanan


Bantuan dan pengamanan adalah segala macam usaha,

kegiatan dan tindakan yang dilaksanakan bersama-sama untuk

menjamin dan melindungi kelancaran pelaksanaan

operasi.Bantuan dan pengamanan terdiri dari:

a) Bantuan dan pengamanan berupa:

i. Intelijen/pengintaian laut
ii. Pengamanan/pengrahasiaan gerakan komposisi/formasi
untuk mencapai faktor pendadakan dan mempersulit
kegiatan intelijen lawan.

b) Bantuan dan pengamanan logistik berupa:

i. Pembekalan
ii. Pemeliharaan dan perbaikan
iii. Penyediaan fasilitas

c) Bantuan dan pengamanan khusus berupa:

i. Bantuan Penyelamatan kapal


ii. Bantuan Pencarian dan penyelamatan di laut (SAR)

73
e. Pelaksanaan Komando dan Pengendalian (Kodal)(Konsep

Operasi) Terintegrasi

Pelaksanaan Kodal meliputi: (1) Pengendalian kekuatan

secara mantap dan tidak terputus; dan (2) Membimbing dan

mengarahkan kekuatan dengan setepat-tepatnya ke berbagai

jurusan kegiatan. Adapun kegiatan pelaksanaan Kodal meliputi:

- Mengikuti situasi terus menerus, analisa dan evaluasi serta

mengambil tindakan yang perlu.

- Memberikan perintah/instruksi untuk pelaksanaan kegiatan.

- Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan

operasi;

- Melaksanakan saran dan membuat laporan singkat dan jelas

kepada Komandan atasan tentang kegiatan operasi.

Untuk menjamin komando dan pengendalian yang baik

ditentukan Pos Komando dimana Pengendali Operasi dapat

dilaksanakan, meliputi posko utama dan dan posko

cadangan.Posko harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

- Mempunyai stabilitas komunikasi.

- Mempunyai ketahanan terhadap gangguan lawan.

- Posko Utama ditempatkan di darat.

- Posko Utama cadangan di tempatkan di kapal pimpinan.

74
f. Pengakhiran/Penyelesaian Operasi Kamla(Konsep Operasi)

Terintegrasi

Penyelesaian/Pengakhiran Operasi adalah serangkaian

tindakan setelah kegiatan operasi dilaksanakan meliputi

- Pengintaian lanjutan

- Konsolidasi dan penyusunan kembali formasi tugas.

75
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
1. Operasi keamanan dan keselamatan diperairan Indonesia dan

yuridiksi Indonesia selama ini telah dilaksanakan oleh 5 instansi

penegak hukum dilaut yang memiliki unsur kapal kapal patroli (TNI

AL, POLAIR, PSDKP-KKP, BEA CUKAI-KEMENKEU, KPLP-

KEMENHUB) secara parsial sesuai Tupoksi masing masing.

2. Operasi parsial oleh masing-masing instansi memiliki kelebihan

dan kelemahan. Kelebihan Operasi Parsial dapat lebih

ditingkatkan kualitasnya dengan penyinergian secara substitusi,

sedangkankelemahan Operasi parsial dapat dijadikan dasar untuk

penyinergian guna menyatukan kelebihan dalam melaksanakan

Operasi Bersama Tersinergi.

3. Dalam merumuskan operasi tersinergi, baik secara Operasi

parsial maupun Operasi bersama diperlukan penyamaan persepsi

dari instansi terkait serta perlunya diskusi untuk mencapai

kesepakatan dan kemufakatan yang mengikat secara moral,

substansial, dan legal formal sehingga rancangan model operasi

tersinergi yang disepakati merupakan model operasi tersinergi

yang dapat didukung semua instansi penegak hukum dilaut.

4. Untuk memperkuat Operasi tersinergi diperlukan Payung Hukum

yang kuat sebagai pengikat kebersamaan sebagai dasar

76
penyinergian model operasi. Payung Hukum yang kuat dapat

berupa Peraturan Presiden atau Undang Undang.

5.2 SARAN
1. Diperlukan aturan turunan perundang undangan yang kuat

sebagai dasar hukum mengimplementasikan Operasi penegakan

hukum dilaut tersinergi dan terintegrasi sesuai pasal 62 UU

Nomor. 32 tahun 2014 tentang kelautan, misalnya melalui

pembentukan Peraturan Presiden tentang operasi bersama

tersinergi dan terintegrasi dibidang keamanan dan keselamatan

perairan Indonesia dan yuridiksi Indonesia.

2. Diperlukan re-evaluasi dari operasi bersama “ Nusantara” yang

sudah dilaksanakan, melalui penyusunan konsep baru terkait

optimalisasi model operasi bersama tersinergi dengan melibatkan

semua instansi penegak hukum dilaut yang memiliki armada kapal

(TNI AL, BAKAMLA, POLAIR, BEA CUKAI, PSDKP, KPLP).

Hal ini dimaksudkan agar Operasi bersama tersinergi yang

dilaksanakan dapat didukung penuh oleh semua pihak, serta

mampu mengakomodasikan semua kepentingan instansi penegak

hukum dilaut, dan mampu mengharmonisasikan operasi parsial

yang telah dilaksanakan selama ini oleh semua instansi penegak

hukum dilaut.

3. Patroli tersinergi tersebut meliputi; sinergi anggaran, sinergi zona

operasi, sinergi waktu operasi, sinergi unsur patroli, sinergi data

77
dan informasi, sinergi sistem surveylance, sinergi gelar operasi,

dsb.

4. Operasi Tersinergi baik dilakukan secara parsial maupun Operasi

bersama, perlu didukung oleh sistem data dan informasi

kamkesla yang juga terkoneksi,terpadu dan terintegrasi. Untuk itu

perlu dibentuk Pusat Informasi Maritim Terpadu yang terdiri dari

semua perwakilan instansi penegak hukum dilaut.

5. Dengan sistem informasi yang terkoneksi, terpadu dan terintegrasi

diharapkan sistem pemantauan dini dan sistem informasi yang

dimiliki instansi penegak hukum dilaut dapat dimanfaatkan secara

efektif dan efisien serta tepat guna dalam membantu pencapaian

hasil operasi secara optimal.

6. Dengan terwujudnya Sistem Operasi Kamkesla Tersinergi yang

merupakan hasil kesepakatan semua instansi penegak hukum

terkait, baik yang dilakukan secara parsial maupun secara

bersama, maka deskripsi tentang keamanan dan keselamatan di

perairan Indonesia dapat dilaksanakan secara komprehensif dan

aktual.

7. Sehingga untuk dapat mendeskripsikan dan memprediksi

keamanan dan keselamatan di perairan Indonesia dan yuridiksi

Indonesia secara komprehensif dan aktual dapat diakses dengan

cepat oleh Presiden/ Menteri/ Pimpinan Bakamla.

8. Diharapkan peran Bakamla sebagai Sinergitor dan Colaborator

dengan mewujudkan Sinergitas, Soliditas antar Instansi Penegak

78
Hukum di Laut dengan membuka ruang Komunikasi dan Diskusi

dibidang Operasi Keamanan dan Keselamatan laut untuk mencari

solusi yang tepat dan komprehensif untuk menjaga perairan

Indonesia secara tersinergi.

9. Agar sistem keamanan dan keselamatan laut dapat dilaksanakan

secara komprehensif dan terintegrasi, Bakamla perlu mengambil

peran sebagai pusat informasi terintegrasi, dengan membangun

sistem data dan informasi yang selalu aktual, cepat terakses serta

berkesinambungan, melalui data base dan komputerisasi,

misalnya :

a. Sistem Pengukuran Indeks Keamanan dan Keselamatan Laut

Nasional, yaitu sistem komputerisasi / data base untuk

memberikan kecepatan data terkait keamanan dan

keselamatan laut di seluruh perairan Indonesia dan Yuridiksi

Indonesia meliputi tingkat ketangguhan keamanan dan

keselamatan pada masing masing perairan, deskripsi instansi

penegak hukum meliputi postur dan gelar operasi serta

kesiapan dan dispersi unsur patroli dari seluruh instansi

penegak hukum dilaut, tingkat ketangguhan masing masing

wilayah perairan, kekuatan sdm kamkesla, kekuatan

alutsiskamla.

b. Sistem Pengukuran dan Analisis Trend Pelanggaran dan

Kejahatan di Perairan Indonesia dan Yuridiksi Indonesia, yaitu

sistem komputerisasi/data base untuk memberikan informasi

79
terkini terkait modus kejahatan dan pelanggaran dilaut meliputi

Rekapitulasi data pelanggaran dan kejahatan dilaut setiap

tahun, rekapitulasi Pelanggaran dan kejahatan selama 5 tahun,

Peta kerawanan, Peta jaringan Pelanggaran dan kejahatan,

Data Perusahaan Pelayaran dan kapal yang pernah melakukan

Pelanggaran dan kejahatan, Data dan Informasi terkait

kejahatan dibidang maritim, Intelejen maritim, Deskripsi

pelanggaran dan kejahatan ditahun berjalan dan Prediksi

pelanggaran dan kejahatan di tahun depan, Alur Trend

pelanggaran dan kejahatan dilaut serta antisipasinya.

c. Sistem Bank Data Informasi Kamkesla, yaitu sistem

komputerisasi untuk memberikan berbagai data dan informasi

terkait berbagai peristiwa Kamkesla diperairan Indonesia dan

Yuridiksi Indonesia, informasi tentang konflik diperairan

kawasan, dan informasi tentang konflik diperairan Internasional.

80
DAFTAR PUSTAKA

Badan Penegakan Hukum Nasional. (1990). Seminar Hukum Nasional

Kelima.

Departemen Hankam. (1980). Pokok-pokok Pemikiran Tentang

Pengimplementasian Wawasan Nusantara (Suatu Evaluasi Sektoral).

Jakarta.

Junus, N. (2012). Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut

Menurut Undang-Undang Pemerintah Daerah, 9(2), 1–9.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. (2016).

Kelompok, K., Visi, K., & Rasa, D. A. N. (2006). Peran Variabel Perilaku

Belajar Inovatif , Intensitas, (55), 219–237.

Prihartono, B. (2015). Pengembangan Tol Laut Dalam RPJMN 2015 –

2019 dan Implementasi 2015. Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional.

Saputra, H. T. (2013). Optimalisasi Unit Pelayanan Cepat Terhadap

Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor Di Provinsi Lampung.

Universitas Negeri Lampung.

Simamarta. (1983). Operations Research Sebuah Pengantar Teknik –

Teknik Optimasi dari Sistem Operasional. Jakarta: PT. Gramedia.

Soepadi. (2011). Tindak Pidana di Laut. Retrieved November 27, 2016,

from

http://fh.hangtuah.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&

id=87:artikeltrialku&catid=32:akademika&Itemid=47

81
Sondakh, B. K. (2004). Pengamanan Wilayah Laut Indonesia. Jurnal

Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (1), 12.

Tobing, R. L., & Rios, S. (1998). Penegakan Kedaulatan dan Penegakan

Hukum Di Ruang Udara. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Asosiasi

Peneliti Hukum Indonesia, 1(2), 49.

Wasisto, G. (2015). Kewenangan Bakamla Dalam Penegakan Hukum

Tindak Pidana Tertentu Dilaut Berdasarkan Uu No.32 Tahun 2014

Tentang Kelautan. Malang: Program Study Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

82
83

You might also like