You are on page 1of 8

Jurnal Peternakan Nusantara ISSN 2442-2541Volume 4 Nomor 1, April 2018 41

EFEKTIVITAS PENYUNTIKAN FSH SECARA SUBKUTAN DAN INTRAMUSKULAR


TERHADAP RESPON SUPEROVULASI SAPI SIMENTAL

EFFECTIVENESS OF SUBCUTANEOUS AND INTRAMUSCULAR FSH INJECTION ON


SUPEROVULATION RESPONSE IN SIMMENTAL CATTLE
M Djunaedia, R Handarini1, dan D Zamanti2

1Program Studi Peternakan Fakultas pertanianUniversitas Djuanda Bogor, Jl. Tol Ciawi No. 1, Kotak
Pos 35 Ciawi, Bogor 16720.
2 Balai Embrio Ternak, Cipelang Bogor

aKorespondensi: Mohammad Djunaedi, E-mail: mjunaedi_obex@yahoo.com


(Diterima oleh Dewan Redaksi: xx-xx-xxxx)

(Dipublikasikan oleh Dewan Redaksi: xx-xx-xxxx )

ABSTRACT
Superovulation is a necessary technique to produce large number of embryos for embryo` transfer.
Hormonal treatment is superovulation methode can be done by implant CIDR and injection of Follicle
Stimulating Hormone (FSH). Experiment were carried out to observe the effectiveness of
subcutaneous and intramuscular FSH injections on superovulation response in simmental cattle. All
animal (n=10) were treated with intravaginal CIDR implant before FSH injection. Studies were
devided into two experiment ie: P1 (400 mg FSH diluted in 4 ml sterile diluent) injected in five
simmental cattle by single subcutan injection and P2 (400 mg FSH diluted in 20 ml sterile diluent)
injected in five simmental cattle by twice daily intramuscular injection over 4 day in decreasing
doses. The number of corposa luteal (CL), total embryos collected, and total transferable embryos
were observed in this experiment. Data were analyzed by T-test method. The result showed that
effectiveness of single subcutan FSH injection were significanthy different (P < 0,05) than
intramuscular FSH injection superovulation with single subcutan FSH injetcion is easier than twice
daily intramuscular injection in decreasy dose. In conclusion the average of CL (21,4 ± 3,6) and
number of tranferable embryo (71,96 %) of the single subcutan FSH injection tended to be better
than intramuscular FSH injection. Single subcutan FSH injection more efficient than intramuscular
FSH injection. Single subcutan injection can decreasing sterss level in the cattle and be easier in
handling the cattle during the experiment.

Keywords: Simmental cattle, FSH, superovulation, single subcutan injection, intramuscular injection.

ABSTRAK
Superovulasi merupakan salah satu tahapan penting untuk dapat memproduksi embrio dalam
program transfer embrio. Penyuntikan hormon untuk superovulasi salah satunya dengan implan
CIDR dan induksi follicle stimulating hormon (FSH). Tujuan dari penelitian ini untuk menguji
efektifitas penyuntikan FSH secara subcutan dan intramuskular terhadap respon superovulasi
dari sapi simmental. Semua sapi simmental (n = 10) di-implan CIDR secara intravagina sebelum
dilakukan
perlakuan penyuntikan FSH. Penelitian ini dibagi atas dua perlakuan. Pada perlakuan pertama,
superovulasi dilakukan dengan satu kali penyunytikan 400 mg FSH (dilarutkan dalam 4 ml pelarut
steril) secara subcutan pada 5 sekor sapi. Pada perlakuan kedua, superovulasi dilakukan dengan
menyuntikkan 400 mg FSH (dilarutkan dalan 20 ml pelarut steril) secara intramuscular dengan dosis
menurun selama empat hari pada 5 ekor sapi. Parameter untuk mengukur efektifitas metode
penyuntikan ini antara lain jumlah CL, jumlah embrio terkoleksi, serta jumlah embrio layak transfer.
Data hasil pengamatan dianalisis dengan metode T-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
efektifitas penyuntikan FSH berbeda nyata (P < 0,05) antara penyuntikan secara subcutan dan
intramuscular. Penyuntikan FSH satu kali penyuntikan secara subcutan lebih mudah dilakukan
dibandingkan dengan penyuntikan FSH secara intramuskular dengan dosis menurun selama empat
hari. Kesimpulan dari penelitian ini metode penyuntikan subcutan memberikan respon superovulasi
dengan rata-rata jumlah CL (21,4 ± 3,6) dan embrio layak transfer (71.96%) lebih baik dibandingkan
metode penyuntikan intramuscular. Metode penyuntikkan subcutan lebih efisien (penyuntikan FSH
cukup satu kali), sapi tidak stres dan mudah dihandling.

Keywords: sapi simmental, FSH, superovulasi, penyuntikan subcutan, penyuntikan intramuskular.

M Djunaedi, R Handarini, D Zamanti. 2018. Efektivitas Penyuntikan FSH secara Subcutan dan
Intramuscular terhadap respon Superovulasi Sapi Simmental. Jurnal Peternakan Nusantara4(1):
41- 50.

stimulating Hormone (FSH) yaitu hormon


PENDAHULUAN
gonadhotropin dengan unsur glikopeptida
Rendahnya populasi ternak sapi sebagai (Amiruddin et al. 2013; Subhan et al. 2016).
penyedia protein hewani dibandingkan Hormon FSH memiliki reseptor didalam sel
kebutuhan konsumsi masyarakat menjadi granulosa folikel. Hormon FSH mempunyai
pemikiran yang harus dipecahkan melalui waktu paruh (half life) yang pendek, sehingga
berbagai upaya. Salah satu upaya untuk harus diinduksi secara berulang (Kaiin dan
meningkatkan populasi sapi melalui program Tappa 2006). Induksi hormon FSH umumnya
percepatan dengan memanfaatkan hasil diawali pada hari ke-6 setelah estrus dan waktu
penelitian dibidang teknologi reproduksi. yang optimal antara hari ke-8 sampai hari ke-12
Transfer embrio merupakan rangkain proses setelah estrus (Hafez 2000). Penelitian lain
pengambilan atau pemanenan embrio sebelum dengan mengkombinasikan Controlled Internal
implantasi (dengan metode flushing) dari seekor Drug Releasing Device (CIDR) yang mengandung
hewan betina yang mempunyai mutu genetik progesteron diiringi induksi FSH……...
unggul (bertindak sebagai donor) untuk di Progesteron yang terkandung dalam CIDR
transfer/dipindahkan ke dalam uterus induk diserap oleh sel-sel dinding vagina dan secara
betina (bertindak sebagai resipien) sehingga cepat disekresikan kedalam aliran darah.
ternak menjadi bunting (Hartantyo 1995). Keberadaan hormon progesteron akan
Superovulasi merupakan salah satu tahapan menghambat pelepasan FSH dan LH melalui
dalam program transfer embrio yaitu sitem umpan balik negatif. Penggunaan CIDR
pemberian perlakuan hormon pada ternak secara nyata dapat meningkatkan standing
betina untuk meningkatkan jumlah ovum yang estrus dan jumlah corpus luteum (Vargas et al.
diovulasikan dan menghasilkan embrio yang 1994).
potensial mempunyai daya hidup tinggi (Solihati
et al. 2006).
Beberapa penelitian memberikan perlakuan
hormonal pada sapi donor dalam program
superovulasi dengan menggunakan Follicle
Hal tersebut dapat mengurangi stres sapi donor, Alat penelitian sesuai tahapan pelaksanaan,
efisiensi waktu, serta menghindari kesalahan yaitu: superovulasi dengan menggunakan alat:
pada saat melakukan superovulasi. Sementara spuit berukuran 5 ml dengan jarum suntik
itu menurut Mapletoft (2006), pemberian berukuran 18 dan 22 G untuk penyuntikan FSH
estrogen dan progesteron pada program dan PGF2α, sarung tangan dan tambang. Alat
superovulasi dapat memberikan hasil embrio untuk Inseminasi buatan (IB): semen beku,
yang optimal pada populasi sapi perah maupun kontainer N2 cair, tweezer, plastic sheet, gun IB,
sapi potong. dan gunting straw. Koleksi embrio
Tujuan dari penelitian untuk menguji efektifitas menggunakan alat: servix expander (pembuka
metode penyuntikan hormon FSH secara lumen servix), inner stilet, selang silicon dengan
subcutan dan intramuskuler terhadap respon Y-konektor, folley catheter, spuit 50 ml untuk
superovulasi sapi Simmental. Diharapkan hasil spul (desinfeksi saluran reproduksi) dengan
penelitian mendapatkan metode penyuntikan iodine povidon, spuit 5 ml untuk anastesi
FSH yang terbaik untuk optimalisasi jumlah dan epidural, spuit 20 ml untuk fiksasi balon kateter,
kualitas embrio yang dihasilkan, serta botol media 500 ml untuk penampungan media
mengurangi tingkat stress pada sapi donor. flushing, infusion tube, plastic glove, jarum
ukuran 18 G, dan gun spul. Evaluasi embrio
MATERI DAN METODE menggunakan alat: pipet pasteur, balon pipet,
mikro pipet, mikroskop stereo, petri dish 90 x
Materi 15 mm (searching dish), filter embrio, dan petri
Penelitian dilaksanakan bulan April sampai Mei dish 35x12 (storage dish).
2017 di Balai Embrio Ternak Cipelang Bogor.
Penelitian ini menggunakan 10 ekor sapi donor Perlakuan
bangsa Simmental dengan syarat: memiliki Untuk melihat respon superovulasi pada
genetik yang unggul (genetik superiority), penelitian ini sapi donor diberi 2 perlakuan
mempunyai kemampuan reproduksi yang tinggi yaitu: P1 = penyuntikan FSH sebanyak 1 kali
(high reproductivity), siklus estrus yang normal secara subcutan pada hari ke-4 dengan dosis
dengan kisaran 18 – 21 hari, fertilitas tinggi, 400 mg dengan campuran cairannya (Sterile
minimal telah beranak 1 - 2 kali, telah melewati Diluent) sebanyak 4 ml. P2 = penyuntikan FSH
90 hari post partum, dinyatakan bebas dari penyakit selama 4 hari mulai hari ke-7, 8, 9, dan 10
reproduksi menular (veneris): vibriosis, IBR, dengan dosis (pagi, sore: 4,4 - 3,3 - 2,2 - 1,1 ml),
leptospirosis, trihomoniasis, dan bruselosis. Body secara intramuscular.
Condition Scor (BCS) sapi
donor yang digunakan 2,8 – 3,2. Pemeliharaan sapi Rancangan Percobaan
donor dalam kandang sistem freestall. Pemberian Analisis Statistik untuk data respon
hijauan yang telah dicincang sekitar 10% dari bobot superovulasi analisis dengan uji-T untuk
badan dengan frekuensi pemberian dua kali sehari membandingkan respon kedua perlakuan
dan konsentrat 1% dari bobot badan satu kali superovulasi. Prinsip dari uji-T itu adalah
sehari. Bahan lain yang digunakan: hormon membandingkan data hasil observasi dengan
progesteron (Cue Mate® - Bionice Animal Health), nilai yang diharapkan. Perbedaan tersebut
Potahormon, Ovalumon, hormon superovulasi dilihat dari nilai T-test sama atau lebih besar
Follicle Stimulating Hormone (Folltropin-V® - dari nilai yang ditetapkan pada taraf signifikan.
Bioniche Animal Health), hormon prostaglandin Sebagai rumus dasar dari uji-T adalah:
PGF2α (Prostavet-C® - Virbac Lab.), aplikator
CIDR, KY gel untuk
melumasi aplikator CIDR, kapas, iodine
povidone, alcohol dan tissue. Media flushing
yang digunakan laktat ringer yang telah
ditambahkan antibiotik (streptomisin,
penisilin), fetal calf serum dan untuk anastesi
epidural menggunakan lidocaine.
Keterangan : Inseminasi Buatan
t  Koefisien t Inseminasi buatan untuk semua perlakuan
x  Mean dilakukan hari ke-2 sampai hari ke-3 atau
sampel   pada 48 – 96 jam setelah penyuntikan PGF2α.
Mean populasi Sapi di IBn tiga kali (pagi, sore dan pagi
S  Standard deviasi
esoknya) untuk mengoptimalkan fertilisasi.
sampel n  banyak
sampel Semen berasal dari semen beku impor
bangsa Simmental yang mempunyai mutu
Prosedur Pelaksanaan genetik unggul.
Seleksi sapi donor dimulai dari seleksi
rekording sapi donor dengan melihat flushing Koleksi Embrio
embrio terakhir dan post partus. Sapi yang akan Pemanenan embrio dilakukan pada hari ke-7
disuperovulasi harus memenuhi syarat: minimal setelah IB dengan metode flushing. Untuk
30 hari dari tanggal flushing terakhir dan mengetahui respon superovulasi dilakukan
minimal 60 hari post partum. Semua sapi palpasi rektal (dihitung jumlah CL yang
Simmental donor diimplant CIDR (Cue Mate®). terbentuk di permukaan ovarium). Sapi
Pemasangan CIDR mulai hari ke-0 (pada saat dimasukkan ke dalam kandang jepit (untuk
estrus). Cara pemasangan CIDR yaitu memudahkan handling), kemudian dianastesi
memasukkan CIDR ke dalam aplikator, dengan epidural menggunakan lidocaine chloride
bagian yang berbentuk T pada bagian ujung 2%. (antara sacrum terakhir dan tulang
aplikator. Aplikator sebaiknya diberi gel/pelicin pertama coccygeal). Setelah anastesi efektif,
untuk memudahkan pada saat dimasukkan ke bagian ekor sapi donor diikat untuk
dalam vagina. Organ genital luar (vulva) memudahkan pembersihan rectum
dibersihkan dengan tisu agar terhindar dari (mengeluarkan feses dari rectum) untuk
kontaminan. Selanjutnya dilakukan palpasi menjaga kebersihan selama proses koleksi
rektal untuk meng-fixir serviks. Aplikator yang embrio. Servic expander disipkan kedalam
telah dipasang CIDR dimasukkan ke dalam lumen serviks untuk memanipulasi serviks
vagina, kemudian CIDR dilepaskan dari agar lintasan balon kateter terbuka.
aplikator dengan menekan bagian piston. Setelah itu foley cathether dimasukkan ke
Induksi FSH dengan dua metode yaitu: dalam kornua uteri bagian kanan/kiri dengan
Penyuntikan melalui subcutan: penyuntikan bantuan stilet. Udara dimasukkan dengan
FSH secara subcutan (SC) pagi hari dihari ke-4 menggunakan spuit 20 ml sampai balon
dengan dosis 400 mg/4 ml. Penyuntikan FSH menutupi bagian dalam kornua (fiksasi
secara intramuskular dilakukan dengan dosis balon) untuk menghindari cairan (medium)
(pagi, sore: 4,4 - 3,3 - 2,2 -1,1 ml) selama 4 hari keluar dari uterus, kemudian stilet dicabut
berturut, dengan dosis total 400 mg/20 ml secara perlahan-lahan. Selang Y konektor
dengan pembagian untuk dosis pagi 4 ml, 3 ml, 2 disambungkan ke foley cathether yang telah
ml, 1 ml dan dosis sore 4 ml, 3 ml, 2 ml, 1 ml. terpasang. Langkah selanjutnya kedua selang
Jarak antara penyuntikan pagi dan sore adalah 12 silicon, masing-masing disambungkan;
jam secara intramuscular (IM). ke media flushing (laktat ringer) untuk
dialirkan ke dalam uterus, dan b) ke botol
Penyuntikan Hormon PGF2α dan penampung hasil flushing. Tahap flushing
Pencabutan CIDR yaitu memasukkan laktat ringer ke dalam
Pada penyuntikan FSH hari ke-4 pada metode cornua uterus kanan dan kiri secara
penyuntikan secara subcutan pagi, penyuntikan bertahap. Setiap tahap media yang
hormon PGF2α (Prostavet-C®) dosis 2 ml pada dimasukkan antara 20 – 50 ml. Setelah media
hari ke-7 dan sekaligus pencabutan CIDR pada masuk, maka katup penghubung dari media
sore harinya. Penyuntikan FSH melalui ditutup dan katup penghubung ke botol
intramuskular pada hari ke-7 sampai ke-10 dan media dibuka, dengan demikian media yang
pada sore hari penyuntikan FSH diikuti dengan ada dalam kornua mengalir ke dalam botol
pencabutan (withdrawl) CIDR dengan menarik penampung hasil flusing. Flushing dilakukan
benang CIDR secara perlahan. sampai media laktat ringer habis (500 ml)
atau diulang sebanyak 8 – 10 kali. Media hasil
flushing dibawa ke laboratorium untuk Jumlah CL
dievaluasi kualitas embrionya.
Evaluasi Embrio Ulangan
Media hasil flushing disaring dengan P1 P2
menggunakan filter embrio. Pencarian embrio 1 26 11
2 25 14
dilakukan pada media hasil penyaringan di
3 20 13
bawah mikroskop elektron dengan pembesaran
4 16 10
70x. Embrio yang teramati dikumpulkan dalam
5 20 7
media penyimpanan embrio untuk dievaluasi Jumlah 107 55
berdasarkan tahapan perkembangan Rataan ± SD 21,4 ± 3,6a 11 ± 2,4b
morfologinya untuk menentukan kualitas
embrio. Embrio yang telah dikoleksi dievaluasi
dan dihitung berdasarkan gradenya yaitu: grade
1, 2, dan 3 (layak transfer) dan grade 4 (tidak
layak transfer). Embrio grade 1, 2 (dapat Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata jumlah
langsung dibekukan dan grade 3 dapat langsung CL dari hasil penyuntikkan metode SC adalah
ditransferkan ke resipien, sedangkan embrio 21.4 ± 3,6, sementara IM adalah 11 ± 2,4. Hasil
grade 4 (tidak layak transfer) dibuang analisis statistik dengan T-test menunjukkan
(International Embryo Transfer Society), nilai p-value = 0.0015 < 0.05, hal ini berarti
bahwa bahwa terdapat perbedaan yang nyata
HASIL DAN PEMBAHASAN antara metode penyuntikan SC atau IM
Respon Superovulasi Sapi immental terhadap jumlah CL pada program
Dua parameter yang diamati dalam superovulasi berbeda nyata. Berdasarkan rata-
menganalisis hasil superovulasi yaitu dengan rata jumlah CL penyuntikan SC memberikan
melihat tingkat respon ovarium serta dengan respon superovulasi lebih baik dibandingkan
melihat tingkat embrio yang diperoleh (Saito metode IM. Pada saat respon terhadap FSH
1994). Waktu yang optimum untuk tinggi maka folikulogenesis akan optimal
superovulasi sapi donor adalah saat terjadinya seiring dengan jumlah ovum yang
gelombang folikel, kadar progesteron yang diovulasikan setara dengan CL yang terbentuk
tinggi diperkirakan berada pada saat (Mapletoft et al. 2002).
pertengahan fase luteal (fase diestrus awal)
yaitu hari ke 8–14 dari awal tanda birahi Jumlah Embrio
terlihat (McDonald 2003). Keberhasilan Ovum dibuahi dengan menginseminasikan
superovulasi berdasarkan jumlah CL yang semen dari sapi pejantan Simmental. Faktor-
terbentuk sebagai respon induksi FSH dan faktor seperti sumber dan kondisi sperma,
PGF2α. Jumlah CL yang terbentuk dapat kualitas oosit yang diperoleh, kondisi alat
diketahui melalui palpasi rektal pada sapi reproduksi sapi betina, nutrisi pakan,
yang telah mendapat perlakuan superovulasi. keterampilan inseminator, lingkungan
Salah satu keberhasilan superovulasi adalah pemeliharaan dan jadwal pengkoleksian
meningkatnya jumlah CL yang terbentuk di embrio yang tepat dapat juga mempengaruhi
permukaan ovarium sapi betina (Adriani et al. pembuahan dan perkembangan ovum
2009), semakin banyak CL maka dapat (Prasetyo 2012). Penyuntikan hormon FSH
dikatakan semakin tinggi pula respon dalam diharapkan dapat menstimulasi pematangan
program superovulasi. Rata-rata jumlah CL folikel dan menghasilkan ovum yang lebih
dapat dilihat pada Tabel 2. banyak. Setelah sapi donor di-inseminasi
Tabel 2 Rataan jumlah CL dengan metode (H+7), dilakukan koleksi embrio melalui
penyuntikan subcutan dan intra metode pembilasan (flushing). Rataan embrio
muscular hasil sinkronisasi dengan metode SC dan IM
Keterangan: Hasil Uji-T menunjukkan tertera pada Tabel 3.
berpengaruh
Tabel 3 Rataan jumlah embrio dengan metode
nyata (P < 0.05). P1: Penyuntikan metode SC
P2: penyuntikan secara SC dan IM
Keterangan: Hasil Uji-T menunjukkan embrio yang dihasilkan. Persentase Embryo
berpengaruh nyata (P < 0.05). P1: Penyuntikan Recovery Rate hasil penyuntikan SC dan IM
Jumlah Embrio tertera pada Tabel 4.
Ulangan Tabel 4 Persentase Embryo Recovery Rate
P1 P2 hasil penyuntikan SC dan IM
1 26 11 Embrio Layak Embrio Tidak
2 25 14 Perlaku
3 20 13 a Transfer Layak Transfer
4 16 8 n
Rata
5 20 5 N P -
Jumlah 107 51 Penyun
Rataan ± SD 21,4 ± 3,6 10,2 ± 3,3 ti Val P
Tabel 3 menunjukkan bahwa rataan jumlah kan Rata- (%) ue (%) Value
embrio hasil flushing dengan metode SC nyata F Rata F Rata
lebih banyak yaitu 21,4 ± 3,6 embrio 0,0
15,4 71,9 0 28,0
dibandingkan dengan metode penyutikkan IM a
yaitu 10,2 ± 3,3 embrio. Dapat dikatakan hasil SC 5 77 6 091 30 6 4 0,85
uji T-test produksi embrio induksi hormon 3,6 35,2 64,7
dengan metode penyuntikkan melalui SC b
IM 5 18 9 33 6,6 1
memiliki tingkat efektifitas lebih baik Keterangan: Hasil Uji-T menunjukkan
dibandingkan metode penyuntikkan melalui IM. berpengaruh nyata (P < 0.05). P1:
Setelah ovulasi berhasil fase selanjutnya untuk Penyuntikan metode SC P2:
Persentase embrio layak transfer dengan
menghasilkan embrio adalah proses fertilisasi.
metode penyuntikan melalui SC adalah
Keberhasilan fertilisasi dipengaruhi oleh
71.96% dan embrio tidak layak transfer
ketepatan waktu optimal kawin. Bo et al. (2006)
q28.04% (Tabel 4). Persentase embrio layak
menyatakan bagaimana kombinasi dengan
transfer dengan metode penyuntikan IM
estradiol untuk memperkirakan waktu IB yang
embrio layak transfer 35.29% dan tidak
tepat atau waktu optimal kawin yang lebih baik
layak transfer 64.71%. Hasil uji T embrio
tanpa melakukan deteksi estrus, PGF yang
layak transfer untuk membedakan antara
diadministrasikan pada hari ke-6 dan CIDR yang
kedua metode penyuntikan menunjukkan
dicabut pada hari ke-7 akan menginduksi GnRH
nilai p-value = 0.00091 < 0.05, hal itu berarti
untuk mensekresikan LH sehingga terjadi
terdapat perbedaan nyata jumlah embrio
ovulasi dan IB dapat dilakukan 12 – 24 jam
layak transfer antara metode penyuntikkan
kemudian (Larkin et al. 2006).
FSH dengan metode SC dan IM atau dengan
Embryo Recovery Rate kata lain metode penyuntikkan SC lebih
Sebelum melakukan flushing, dilakukan palpasi efektif menghasilkan lebih banyak embrio
rektal terlebih dahulu untuk mengetahui CL layak transfer. Hasil uji T embrio tidak layak
yang terbentuk di ovarium, kemudian transfer antara kedua metode penyuntikan
dilanjutkan dengan flushing dan dilakukan menunjukkan p-value = 0.85 > 0.05 yang
koleksi embrio, evaluasi embrio, dan berarti hipotesis diterima atau tidak ada
penghitungan persentase Embryo Recovery Rate perbedaan anatar metode SC maupun IM.
(ERR). Fungsi CL yang rendah (sekresi Metode SC merupakan metode yang lebih
progesteron sedikit) diyakini dapat menjadi praktis karena waktu program yang relatif
penyebab kegagalan reproduksi dan lebih singkat (Hasler dan Mapletoft 2004;
ketidakmampuan uterus dalam mendukung Souza et al. 2013), selain itu metode ini juga
perkembangan embrio dini. Menurut Supriatna lebih efisien dan membuat sapi tidak stres
(2013) Selama periode pembentukan CL, dan mudah dihandling (Bo et al. 1994).
jumlah CL berkorelasi dengan konsentrasi
hormon progesteron (Amiruddin et al. 2013). KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Sedangkan menurut Prasetyo (2012) respon Kesimpulan
superovulasi sapi donor ditandai dengan jumlah Kesimpulan dari penelitian ini metode
CL yang berkorelasi positif dengan jumlah penyuntikan subcutan memberikan respon
superovulasi rataan jumlah CL (21,4 ± 3,6) dan Subcutaneous and Repeated Epidural
embrio layak transfer (71.96%) yang lebih baik With Standard Intramuscular
dibandingkan dengan metode penyuntikan Administration of FSH. Therigenology
intramuscular. Metode penyuntikkan subcutan 41(1) : 290.
lebih efisien (penyuntikan FSH cukup satu kali),
sapi tidak stres dan mudah dihandling. Solihati N, Lestari D, Hidajati K, Setiawan R,
Nurhayat LJ. 2006. Treatment
Implikasi Superovulasi Before Animal Slaughter. JIK.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk 6(2): 145-149.
membandingkan konsentrasi hormon FSH
dalam darah antara FSH yang disuntikan secara Souza LB, Dupras R, Mills L, Chorfi Y, Price
SC dan IM. AC.2013. Effect of synchronization of
follicle wavve emergence with
DAFTAR PUSTAKA estradiol and progesterone and
Adriani, Rosadi B, Depison. 2009. Jumlah dan
superstimulation with follicle– stimulating
kualitas embrio sapi brahman cross
hormone on milk estrogen concentration
setelah pemberian hormon FSH dan
in dairy cattle. The CJVR. 77 : 75-78.
PMSG.Anim. Reprod. 11(2):96‐102.
Subhan FA, Handarini R, Siswanti SW.
Amiruddin A, Siregar TN, Armansyah T, H 2016.Perbedaan Waktu Penyuntikan
Hamdan, Munandar A, Rifki M. 2013. Level Hormon FSH Terhadap Respon
steroid sapi aceh yang diinduksi dengan Superovulasi Sapi Angus. Jurnal
PMSG dan FSH. Jurnal Kedokteran Hewan. peternakan Nusantara. Vol. 2 (1): 34 –42.
Vol.7 (2): 120 – 124.
Supriatna I. 2013. Transfer Embrio pada
Bo G, Hodey DK, Nasser LF, Mapleftoft RJ. 2010. Ternak Sapi. Pusat Pengkajian
Superovulation Response To a Single Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Subcutaneous Injection of Foltropin in Beef (P4W) Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Cattle. Therogenologi 42 (6): 963-975.
Vargas RB, Fukui Y, Miyamoto A,
Gordon IR. 2004. Reproductive Terawaki Y. 1994. Estrus synchronization
Technologies in Farm Animals. CABI using CIDR in heifers. Journal of
Publishing. London.
Reproduction and Development 40(1):59-
Kaiin EM, Tappa B. 2006. Induksi 64.
superovulasi dengan kombinasi CIDR,
hormone FSH dan hCG induk sapi potong.
Media Peternakan. 29(3):141-146.

Hartantyo S. 1995. Calculation of percent


progesterone in skim milk fraction when
centrifugation temperature and butterfat of
whole milk are known. Bull. FKH-UGM. Vol.
XIV No. 2:1-6.

Prasetyo D. 2012. Tingkat Superovulasi pada


Beberapa Bangsa Nurhayat Sapi dengan
Sumber Follicle Stimulating Hormone (FSH)
yang Berbeda. [Skripsi]. Departemen Ilmu
Produksi dan Teknologi Pertanian, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Schallenberger E, Ulrich P, Most E, Fuchs


S,Tenhumberg H. 1994. Induction
of Superovulation In Cattle Comparing Single

You might also like