You are on page 1of 20

Case 3 SCABIES AND DERMATOMYCOSIS

Case Identifications:

Problem
cc: itchy skin rash on his finger webs, wrist, armpit, and his penis since
two weeks ago
took chlorpheniramin maleat over the counter pills
The itch relieved but the skin rash had not resolved.
itchy-redness-scaly patches on his groin area since 7 weeks ago
hypopigmented patches on his back, shoulder, and around axillae since 3 months ago.
itching on finger webs, wrist, armpit, and penis, worse at night, had to scratch it all night
lives in a dormitory in a crowded room
Some of his roomates have the same symptoms
skin rashes with itchy especially at night.
patches on his groin and back became itchier when sweating
rarely taking bath after playing
Before going to bed, without changing his sport shirt
exchanges clothes or towel with his friends.
pruritic erythematous papular lesions @ finger webs, wrist, axillary folds, and scrotum.
canaliculies @ interdigital areas of his hands
Skin scraping (finger webs): an oval and ventrally flattened mite with 0.4 mm long, some eggs and
scybala
hypopigmented macules with irregular borders @ back, shoulders, and
axilla. Diameter lesion: 0.5 cm to 3 cm. Some of the lesions were covered by fine-scales.
Wood’s lamp exam: positive of yellow fluorescence (back, shoulders, and axilla)
Direct microscopic using 10% KOH (back, shoulders, and axilla): “spaghetti/ziti and meat balls”
appearance.
left groin: well-defined pruritic-erythro-papulo-skuamous patch, 5 x 7 cm, with an
irregular border. Papules and scales were more prominent on its border.
patch gave an impression of being more active on its border area creating “central clearing” area
Direct microscopic using 10% KOH (left groin): long branches septate-hyphae with some
arthrospores.
After 3 weeks:
itching subside but did not completely disappear
lesions on his back, shoulders, and axilla still showed hypopigmented macules but without fine-
scales
groin patch showed hyper-pigmented macules
No new lesions
No more medication
Direct microscopic (all patches): no
spores neither hyphae
fungi culture examination: negative

1. Histologyy of Skin and Types of Skin


Lesion (Brief Review)
Histology of Skin:
 Skin also known as integument or cutaneous layer
 Skin is the largest single organ
 15% - 20% of total body weight Presenting 1.5 – 2 m2 of body surface
 terdiri dari dermis dan epidermis yang berada di atas lapisan jaringan subkutan/kutis
 Fungsi kulit:

1) fungsi proteksi; 6) proses perbaikan serta regenerasi


2) containment (mengatur keluar luka;
masuknya cairan tubuh); 7) fungsi estetika;
3) regulasi panas tubuh; 8) terdapat innate immunity system
4) sensasi; juga APC (dendritic cells) yang ada di
5) sintesis dan penyimpanan (vitamin epidermis sebagai proteksi dari agen
D); yang dapat menginfeksi tubuh

  Epidermis: lapisan terluar kulit yang terdiri dari 5 lapisan (dari bawah ke atas):
o Stratum corneum  15-20 lapisan stratified squamous keratinized epithelium, dengan
sel keratin berisi filamentous keratins (sel-sel mati)
o Stratum lucidum hanya ditemukan pada
lapisan kulit yang tebal, flattened
eosinophilic keratinocytes (tanpa organel
dan nuclei), terdiri dari sel kulit mati
o Stratum granulosum  beberapa lapis sel
yang mengalami proses terminal
differentiation keratinization. Sitoplasmanya
terdapat keratohyaline granules.
o Stratum spinosus  lapisan paling tebal,
berisi sel polyhedral yang aktif mensistesis
keratin.
o Stratum basale  single layer dari sel
basophilic cuboidal atau columnar yang berada di basement membrane (pada
dermalepidermal junction), mitosis yang tinggi dan terdapat sel progenitor untuk seluruh
lapisan epidermis.

Di kasus: stratum korneum: lapisan tempat infeksi scabies serta dermatomycosis terjadi.
Pada scabies, Sarcoptes scabiei dapat membuat burrow/canaliculi yang mengarah dari
stratum korneum menuju stratum granulosum, meskipun kerusakan sel yang dihasilkan
terjadi hanya pada stratum korneum.
 Beberapa contoh sel yang terdapat di epidermis yaitu: keratinosit, melanosit,
Langerhans cells (sebagai APCs), juga Merkel cells (tactile epithelial cells  sensitive
mechanoreceptor untuk light touch). Di kasus: Melanosit banyak ditemukan di
antara sel di basal layer dan folikel rambut. Sintesis melanin dikatalisasi oleh
tyrosinase (mengubah tyrosine  3,4 dihydroxyphenylananine (DOPA))  melanin.
Pityriasis versicolor mampu menghambat aktivitas tyrosinase sehingga
pembentukan eumelanins (pigmen coklat/hitam) menurun.
 Dermis: lapisan jaringan ikat yang menyokong epidermis dan mengikatkannya ke
hypodermis, permukaan irregular dengan adanya tonjolan (papillae). Terdapat dua tipe
lapisan:
o Papillary layer (superficial dermis) membentuk dermal papillae, terdiri dari loose
connective tissue, mast cells, macrophage, leukosit.
o Reticular layer (deep dermis) dense irregular connective tissue

Subcutaneous Tissue (Hypodermis)


Consists of loose connective tissue that binds into the skin loosely to the subjacent organs
Contains adipocytes, that:
Vary in number depends on body regions
Vary in size according to nutritional state
TYPES OF SKIN LESION

2. PRURITUS /
ITCH
 Definisi: Pruritus/gatal: sensasi tidak nyaman yang dapat menimbulkan keinginan untuk
melakukan garukan

 Acute: Rasa gatal yang terbatas untuk periode waktu tertentu (seconds to a week).
 Chronic: Rasa gatal yang bertahan hingga beberapa bulan; (>6 weeks). Pruritus yang kronis
dapat memengaruhi tidur, mood, dan hubungan pribadi, sehingga secara signifikan ↓
kualitas hidup.
 Keterlibatan saraf: Pruritus berasal dari the skin’s free nerve endings (banyak terdistribusi di
epidermis, sementara saraf di reticular dermis dan subkutan tidak dapat menginisiasi
persepsi gatal (hanya persepsi nyeri saja))  sinyal ini ditransmisikan melalui C fibers 
menuju dorsal horn spinal cord  spinothalamic tract  cerebral cortex. Eksaserbasi
pruritus dapat terjadi apabila terdapat peradangan kulit, kondisi lingkungan yang
kering/terlalu panas, vasodilatasi, serta stressor psikologis.
 Patogenesis: Berdasarkan International Forum for Study of Itch (IFSI), pruritus dapat dibagi
menjadi tiga:
1. Pruritus on diseased (inflamed skin) masalah dermatologi
2. Pruritus on nondiseased (noninflamed)
3. Pruritus presenting with severe chronic secondary scratch lesion *cat: nomor 2 dan 3
 pasien dg gangguan sistemik (kehamilan, obat-obatan, neuropati, penyakit psikologi,
dll.)

• Itch-Scratch Cyle: Menggaruk dapat


mengaktivasi area prefrontal korteks. Aktivitas
yang diinduksi oleh aktivasi di prefrontal
korteks menyebabkan keingin untuk terus
menggaruk  aspek rewarding system dari
menggaruk.

• Neuropeptide/mediators
 Histamin  pada kulit sebagian besar berasal
dari dermal mast cells (epidermis), berhubungan
dengan reaksi alergi.
 5-HT Serotonin  merupakan endogenous biogenic amine, mampu menstimulasi potensial
aksi pada sebagian cutaneous C fiber meskipun sensasi yang ditimbulkan lebih lemah
dibandingkan sensasi dari kerja histamin.
 Acetylcholine  bersifat less pruritogenic dibandingkan dengan histamine, dan di saat yang
bersamaan dapat memicu sensasi nyeri.
 Substance P (SP)  neuropeptide, banyak di temukan pada cutaneous nociceptive nerve
terminals. Berperan dalam mengaktivasi mast cells dan berujung pada pelepasan histamin.
 Lainnya: leukotrienes, bradykinin, interleukin/IL-31, protease

Di kasus: pasien merasakan gatal baik di lesi scabies, tinea cruris, maupun pityriasis versicolor

3. Microbiology
A. SARCOPTES SCABIEI

A. Taksonomi
- Famili: Sarcoptidae
- Kelas: Arachnida
- Famili: sarcoptidae
- Genus: sarcoptes

B. Karakteristik
• Arthropod, obligate human parasite
• Membentuk burrow
• Dapat menginfeksi anjing, kucing, babi,
dan kuda tetapi gejala tidak lebih parah
dari manusia.
• Dapat bertahan hidup 3 hari tanpa inang
pada sterile test tube; dan 7 hari jika
ditempatkan pada mineral oil mounts
• Tidak dapat terbang atau melompat.

C. Morfologi
- Pearl-like
- Tanpa mata
- Berbentuk oval dengan 4 pasang kaki
yang pendek dan gemuk.
- Fase dewasa dan nimfa memiliki 8 kaki;
larva 6 kaki.
- Pada sisi dorsum dan lateral memiliki
proyeksi mirip duri; dengan kakinya
memiliki stalked pulvili (suckers; pada dua
pasang kaki depan) dan/atau spur-like claws
- Adult female: 0.4x0.3 mm;
yang jantan lebih kecil sedikit
- Female life span  4-6 minggu
- Mikroskopik  Translusen; putih

D. Faktor Virulensi
- Enzim yang bisa melarutkan kulit  seluruh
fase hidup dapat mememetrasi epidermis yang
intak
- Skin entry (masuk dalam <30 menit); hanya
betina yang sudah dibuahi yang dapat
membuat burrow permanen pada epidermis
- Saliva: memodulasi inflamasi atau respons imun
- memicu sekresi anti-inflammatory cytokine
interleukin-1 receptor antagonist (IL-1ra)
dmenghambat aktivitas sitokin proinflamasi IL-1
dari sel fibroblas dan keratinosit
- menekan ekspresi ICAM-1 dan VCAM-1 serta E-
selectin  menurunkan ekstravasasi limfosit,
neutrofil dan sel lain ke dalam dermis 
mengganggu respons pertahanan hospes
- menghambat interaksi ko-stimulasi antara limfosit T dan sel penyaji antigen (antigen
presenting cell)
- memicu sel limfosit T regulator untuk memproduksi IL-10 (anti-inflamasi poten) 
menekan sekresi sitokin proinflamasi dan ekspresi MHC-II di permukaan APC produksi
antibodi menjadi berkurang atau terhambat
- memproduksi protein pengikat IL-8  menghambat kemotaksis neutrophil
- Inhibitor protease serin di pencernaannya menghambat kaskade komplemen

E. Distrubusi
- Area yang sedikit atau tanpa folikel rambut (ex, stratum korneum yang tipis dan halus
seperti sela-sela jari, pergelangan tangan, siku-siku, axilla, batang penis, telapak kaki,
pantat, telapak kaki)
- Pada bayi mungkin distribusi pada kepala dan leher.
F. Siklus Hidup
- Sepenuhnya terjadi pada kulit manusia.
- Berlangsung selama 10-13 hari  dari telur hingga dewasa.

- Betina membentuk terowongan (burrow) di bawah kulit (stratum corneum  stratum


granulosum)  meletakkan 2-3 telur saat membentuk terowongan.
- Telur menetas pada hari ke 3-4  larva migrasi ke permukaan kulit  sampai di stratum
korneum  intak menggunakan sucker-like pulvili  membentuk moulting pouches
(short burrow).
- Molting pouches memiliki 3 kaki  3-4 hari kemudian  berkembang menjadi
tritonymph  2-3 hari kemudian  mengalami fase molting 2  5-6 hari kemudian 
berkembang menjadi mites dewasa.

- Perkawinan terjadi setelah mites jantan bertemu dengan mites betina  mites jantan
akan mati dan mites betina yang telah dibuahi meninggalkan molting pouches 
menuju permukaan kulit  menemukan tempat permanent burrow yang baik 
membuat burrow baru dan bertelur dalam prosesnya  mites betina menetep di
permanent burrow dan terus menerus bertelur hingga masa hidupnya (1-2 bulan) dan
10% akan berkembang menjadi mites dewasa.

G. Transmisi
- Kontak langsung dengan pasien yang terinfeksi
- Mites dapat menetap hidup > 2hari pada baju dan bedding. Pasien yang memiliki banyak
mites dapat menyebarkan mites di sekitar lingkungannya sehingga orang lain mudah
terkena scabies.
MALESSIA FURFUR
A. Taksonomi
-Phylum: Basidiomikota
-Family: Malasseziaceae
-Genus: Malassezia
-Species: Malassezia furfur
-Malassezia furfur merupakan lipophylic yeast

B. Karakteristik
- Lipophylic yeast
- Tidak menular
- Normal berada pada keratin kulit dan hair follicle
- Opportunistic pathogen  menyebabkan infeksi
Pityriasis Versicolor dan Pytorosporum Folliculitis
- Juga berperan pada penyakit Seborrhoid Dermatitis,
Atopic Dermatitis, dan Psoriasis.

C. Faktor yang mempengaruhi


- Lingkungan yang suhunya tinggi dan lembab
- keadaan imunitas pasien, imunosupresi
- faktor genetik
- Hipehidrosis
- Kontrasepsi oral
- Penggunaan CTS oral
- Cushing’s
- Kondisi malnutrisi
D. Faktor virulensi (metabolit)
- Pityriacitrin : senyawa kuning yang menyerap sinar UV -> mengganggu normal tanning
- Lipase: memetabolisme berbagai FA (seperti arachidonic acid atau vaccenic acid) ->
melepas azelaic acid sebagai metabolit
- Azelaic acid: menghambat kerja tyrosinase pada pathway pembentukan melanin ->
hipopigmentasi persisten (dalam jangka bulan, kadang tahun) pada kulit yang terkena
- Mallassezin: aryl hydrocarbon receptor agonist -> menginduksi apoptosis pada melanosit
- Pityrialactone: – indole alkaloid (derivat tryptophan) yang berpendar pada sinar UV 366
nm
- Pityriarubins: red indole alkaloids yang menghambat neutrophil respiratory burst in vitro
dan menghambat 5-lipoxygenase activity (mengubah AA jadi leukotrien) -> hambat
sistem imun
E. Karakteristik Lesi
- Lesi macula, sharply marginated
- Warna hypo/hyperpigmented
(nontanned skin  lightbrown to pink,
tanned skin  hypopigmented, brown
or black skin  dark brown macule)
- Menyebar dan berkelok (serpentine)
- Dapat membesar dan bergabung
membentuk geographic areas.
- Scaling, inflamasi, dan iritasi minim
terjadi.
- Distribusi: Leher, upper trunk, upper
arm, axilla, upper abdomen, groins,
thighs, genitalia.
- Facial, neck, or scalp lesions occur in
persons applying creams or ointments
or topical gluco- corticoid preparations.
F. Morfologi
• Makroskopis  membutuhkan medium yang ditambahkan dengan lipid (olive oil dan
lanolin)
• Berubah dari saprophytic yeast menjadi parasitic mycelial form (menyebabkan gejala klinis)
• M. furfur complex grow as cream-colored to tan yeastlike colonies composed of budding
yeastlike cells; hyphae are infrequently produced.

• Mikroskopis  Scraping dari lesi yang ada di kulit dicampurkan dengan KOH 10% atau
pewarnaan H&E atau Periodic Acid Shiff.
• Yeast yang pendek, spherical to oval, thick-walled yeastlike cells, 3 to 8 μm in diameter,
hyphae nonpigmented.
• The yeastlike cells represent phialoconidia.
• Pada saat pathogenis, terdapat pertumbuhan hypha bercabang (spaghetti-meatballs
appearance)
• Wood’s Lamp: Berfluoresce dengan warna kuning-keputihan

C. TRYCOPHYTON RUBRUM

A. Taksonomi
- Anthrophilic dermatophyte
- Famili: arthrodermataceae
- Genus: tricophyton
B. Karakteristik
Dermatophyte yang menyebabkan beberapa penyakit 
tinea corporis, pedis, cruris, barbae, dan onchomycosis
Bukan normal flora
C. Morfologi
- Makroskopois  Koloni – bagian tengah
membentuk gundukan dan berwarna putih; bagian
perifer berwarna marun (permukaan dan bagian
dasar); urease
- Mikroskopis  few tear-shaped micronidia, rare
pencil-shaped macronidia; hifa panjang; bercabang;
dan bersepta. Hair perforation.
D. Faktor Virulensi
> 20 proteases: exopeptidase dan endopeptidase ->
mencerna keratin, kolagen, dan elastin pada kulit
E. Transmisi
- Restricted to human host
- Transmisi via kontak langsung dan fomite (reservoir)
F. Diagnosis
- Morfologi koloni;
- Mikroskopis;
- Rambut terinfeksi tidak berpendar dengan
Wood’s lamp;
- Terdapat invasi endothrix (dermatophyte growth
pattern with spore formation within the hair shaft)
atau ectothrix (dermatophyte growth pattern
with spores forming a sheath on the
outside
of the hair shaft)
4. Dermatomycosis
 Definisi: Dermatomikosis adalah penyakit pada kulit, kuku, rambut, dan mukosa yang
disebabkan infeksi jamur
 Klasifikasi

• Risk Factor:
 Faktor Eksogen: Cuaca/iklim panas, kelembapan tinggi, menggunakan pakaian yang terlalu
ketat/tebal (biasa bahan sintetis yang tidak mudah menyerap keringat/air)
 Faktor Endogen: Underlying disease (contoh: diabetes mellitus), penggunaan steroid
sistemik dalam jangka panjang, penggunaan obat-obat immunosuppressant, serta penyakit
kronis.
• Epidemiology: dermatomycosis dapat menginfeksi seluruh kategori usia, ras, tapi lebih
banyak terjadi di daerah beriklim tropis

5. Dermatophytosis
 Definition: Penyakit kulit yang diakibatkan oleh spesies dermatophyte (fungi yang
“memakan” komponen kulit)  memiliki kemampuan untuk melekat dan menginvasi
jaringan berkeratin  memanfaatkan degradation products di kulit sebagai sumber
nutrisi.
 Characteristic:
 Dermatofit hanya bertahan di non-viable skin (kulit mati) karena sebagian besar tidak
dapat tumbuh pada suhu 370C maupun saat terdapat serum.
 Infeksinya tidak bersifat life-threatening
 Gambaran hasil pemeriksaan mikroskopis dari skin scraping  deteksinya melalui
keberadaan hyaline, septate, hyphae bercabang, maupun rantai arthroconidia.
 Kata kunci: Menginfeksi jaringan berkeratin
 Classification:
 Berdasarkan etiologi:
1. Epidermophyton: Hanya produksi macroconidia, Contoh: Epidermophyton floccosum
(satu-satunya patogen pada genusnya)
2. Microsporum: Cenderung memproduksi multicellular macroconidia dengan echinulate
walls
3. Trichophyton
 Berdasarkan habitat/asal penyakit:
1. Anthropophilic: terbatas pd human, ditransmisikan melalui direct contact/fomites.
Contoh: Epidermophyton floccosum, Trichophyton mentagrophyte, T. rubrum, T.
tonsurans
2. Zoophilic: ditransmisikan dari hewan. Contoh: Microsporum canis (kucing dan anjing),
Microsporum gallinae (unggas), M. nanum (babi), Trichophyton equinum (horses), T.
verrucosum (ternak)
3. Geophilic: sporadic dari tanah. Contoh: Microsporum gypseum
 Berdasarkan lokasi anatomis:
o Tinea capitis: rambut, kulit kepala
o Tinea corporis: glabrous skin (kulit tanpa rambut), kecuali telapak
o Tinea barbae: area sekitar janggut
o Tinea manus: telapak tangan dan interdigital
o Tinea cruris: groin, genitalia, pubis, perineal, kulit perineal  Jock itch
o Tinea pedis: kaki  bentuk gambaran Athlete’s foot
o Tinea unguium: kuku, disebut juga onychomycosis

6. SCABIES
• Etiology: Sarcoptes scabiei var. Hominis (human)
• Epidemiology: Penyakit scabies ditemukan di seluruh dunia dan dapat menyerang semua
kelompok usia, ras, sosioekonomi.
• Transmission - Risk factor:
Transmisi utama melalui kontak langsung antara kulit/direct (1),
sedangkan transmisi indirect (2) yaitu melalui benda-benda sekitar/fomites (sprei,
lantai, kursi, handuk, dll.) yang dapat menyimpan sisa kulit mati yang dihinggapi
kutu.
Di kasus, pasien memiliki faktor risiko Scabies  pasien tinggal di asrama di sebuah kamar
berukuran kecil (6x6 cm) yang dihuni oleh 8 orang. Teman sekamar pasien juga memiliki
gejala serupa dengan pasien.
• Pathogenesis:
 Scabies hidup dengan cara memakan epidermal protein dan host plasma 
menyebabkan downregulation dari keratinocytes, dermal fibroblast, serta dermal
microvascular endothelial cells.
 Protective immune response  oleh Th1 (CD4+)
 Terjadi peningkatan IL-10, akumulasi eosinophil, dan produksi total dan specific
IgE pada host
• Clinical manifestation: Beberapa individu dapat bertahan pada kondisi asimptomatik
meskipun infestasi scabies telah terjadi (carriers).
 CC: Pruritus yang disertai/berhubungan dengan lesi dg predileksi di Circle of
Hebra. Lesi muncul 4-6 minggu setelah infestasi awal (bersamaan dengan sensasi
gatal), dan 2 hari pada kondisi re-infestasi.
 PE:
o Ekskoriasi, eczematous dermatitis  terutama pada sela dan pinggiran jari, palmar
dan lateral palmar, siku, ketiak, skrotum, penis, labia, dan areola (wanita). Bagian
kepala dan leher dewasa jarang terkena, kecuali pada pasien immunocompromised,
lansia, maupun bayi  dapat mengenai seluruh permukaan tubuh.
o Indurasi, nodul, krusta  biasanya di bagian intertriginous pada anak. Pada jenis
crusted scabies/Norwegian scabies  plak hiperkeratotik.
o Pathognomonic lesion: Burrow (akibat perpindahan kutu di daerah stratum
korneum).
• Diagnosis: harus memenuhi setidaknya 2 dari 4 cardinal signs berikut:
1. Pruritus di malam hari
2. Menyerang sekelompok orang
3. Terdapat burrow/canaliculi sesuai predileksi (Circle of Hebra)
4. Ditemukan Sarcoptes scabiei dg skin scrapping (+)  definitive diagnosis Untuk
mendapatkan bukti cardinal sign poin 3 dan 4, dapat dilakukan dengan pemeriksaan berikut:
 Pemeriksaan mikroskopis  melihat ada atau tidaknya kutu, telur, maupun fecal
matters (scybala). Cara pengambilan sampel: dg meletakkan setetes mineral oil di
atas burrow, kemudian dilakukan scraping menggunakan scalpel blade 15 sepanjang
terowongan dg tetap menghindari terjadinya pendarahan
 Burrow ink test (gambar berikut)  burrow terlihat seperti wavy line dimana tinta
mengisi terowongan di stratum corneum

• DDx: atopic dermatitis, dyshyrotic eczema, pyoderma, contact dermatitis, insect bite
reaction, etc
 Tatalaksana
 PENCEGAHAN
a. Hindari kontak dengan penderita
b. Hindari penggunaan barang milik penderita
c. PHBS
 KOMPLIKASI
a. Bullous pephigo
b. Infeksi sekunder yang berkaitan dengan infeksi streptococcus atau staphylococcus

7. PYTIRIASIS (TINEA) VERSICOLOR


• Definition: Infeksi jamur superficial kronik yang bersifat ringan, akibat jamur Malassezia sp.
Nama lainnya: panu (Indonesia)
• Etiology: Ragi/yeast: Malassezia sp. (M. furfur, M. pachydermatis, M. sympodialis, M. obstusa,
M. globosa, M. restricta, M. nana, M dermatis, M. Sloffiae, M. yamatoensis, M. caprae)  tipe
fungi: saprophyte
• Epidemiology:
 Infeksi jamur yang paling sering ditemukan.
 Prevalensi di Amerika Serikat yaitu 2- 8% penduduk.
 Prevalensi lebih tinggi di daerah tropis (suhu panas, kelembapan tinggi), mencapai 50%
dan hanya 1,1% di daerah dingin.
 Paling sering menginfeksi kelompok usia 13-24 tahun • Clinical manifestation:
 Bersifat mild, chronic
 Predileksi: seluruh bagian tubuh, sebagian besar di trunks, axilla, wajah, serta leher
 Fine scale patch  warnanya bermacam-macam (bisa berupa hipopigmentasi, maupun
hiper (lebih jarang))
• Diagnosis:
`  Lihat dari clinical manifestation
 Scraping  Pemeriksaan mikroskopis (dengan penambahan 10% KOH Preparation (20%
KOH + Parker Ink/ diwarnai oleh calcofluor white) Ditemukan: hyphae pendek tidak
bercabang, short cigar-butt, dan spora bundar/oval, terlihat seperti gambaran “spaghetti and
meatballs”
 Hasil pemeriksaan Wood’s lamp: orange-yellow, bright yellow/golden yellow

• Differential diagnosis:
 Pityriasis alba: Distribusi lesi lebih banyak pada bagian wajah, berwarna keputihan, kadang
disertai dengan gatal. Pemeriksaan Wood’s lamp (-), KOH (-).
 Morbus Hansen: Lesi sangat kronik, anaesthetic, juga dapat ditemukan pembesaran saraf.
Pemeriksaan Wood’s lamp (-), KOH (-), AFB dari Ziehl Neelsen (+)
 Vitiligo: Itching (-), scaling (-), warna sangat putih/seperti susu, pemeriksaan Wood’s lamp
(-), KOH (-)
• Management:
 Topikal:
o Azole group 1-2%: miconazole 2%, ketoconazole 2%, ketoconazole shampoo 2%
o Larutan Na toiosulfat 25%  2x1 hari sehabis mandi selama 2 minggu
o Shampo Selenium sulphide 1.8-2.5%  2-3x1 minggu digosokkan pd lesi &
diamkan 15-30 menit sebelum mandi
o Salisilat dan sulfur presipitate
o Ketoconazole tab. 200 mg/hari  untuk yang reisten atau memiliki lesi kulit
sangat luas
 Sistemik: Indikasi: untuk extensive dan recurrent disease

 DIAGNOSIS BANDING
a. Most likely
- Pityriasis alba
- Pityriasis rosea
- Seborrheic dermatitis
- Dermatophyte infections
b. Consider
- Erythrasma
- Vitiligo
- Psoriasis
- Pityriasis rubra pilaris
- Confluent and reticulated papillomatosis of gougerot and carteaud
c. Always rule out
- Secondary syphilis
- Hypopigmented mycosis fungoides

 COMPLICATION
-Main complication: skin discoloration that persists for weeks after treatment because the
melanocytes require time to recover and properly pigment the skin
-There are no permanent complications of tinea versicolor
-As an entirely surface infection/colonization, there is no concern for deeper invasion in
patients with intact immune systems.
-Malassezia may be a factor in pityrosporum folliculitis and, in stem-cell-transplant patients,
may be a cause of lung problems.

8. Tinea Cruris
• Epidemiology: Terjadi di seluruh dunia, mayoritas di negara tropis (diperparah iklim lembab).
Laki-laki > perempuan
• Transmission: 1) Autoinfeksi  mungkin terjadi, dari T. rubrum atau T. interdigitale di kaki; 2)
Direct contact dengan penderita, maupun indirect contact (melalui benda-benda)
• Pathogenesis: Fungi akan membentuk hyphae  rantai arthroconidia. Lesi melebar secara
sentrifugal  pertumbuhan hifa aktif di bagian tepi lesi. Mannan (komponen dinding sel fungi) 
supresi sistem imun.

• Differential Diagnosis:
 Intertrigo (superficial cutaneous candidiasis)
 Contact dermatitis: Setelah kontak dengan penyebab iritasi, Biasanya punya riwayat
penyakit serupa, tetapi active border (-), pemeriksaan KOH (-) untuk hyphae/arthrospore
 Candidiasis cutis: Sensasi sangat gatal, terbakar/perih. Lesi berbentuk corymbiformis (lesi
besar, dengan banyak satellite lesions), macerated juga erosi (+). Pemeriksaan KOH (+) untuk
yeast, blastospores, juga pseudohyphae.
 Psoriasis inversa: chronic recurrent disease, scaling lebih tebal dibandingkan tinea, active
border dan hasil KOH keduanya (-)
 Erythrasma: coral-red fluorescence

 Non-farmakologi  Penting! Karena tinea cruris sering mengalami infeksi


berulang/recurrence, sehingga pencegahannya:
o Tetap menjaga daerah sekitar genitalia tetap kering dan dalam kondisi bersih
o Menghindari memakai pakaian yang ketat untuk menghindari pembentukan kelembapan
berlebih
o Menurunkan berat badan untuk yang obesitas  menghindari gesekan atau area yang
menempel di lipat paha sekitar genitalia
o Menggunakan antifungal powder  membantu area yang pernah terinfeksi tetap kering

You might also like