Professional Documents
Culture Documents
Relasi Agama Dan Budaya Dalam Hubungan Intern Umat Islam
Relasi Agama Dan Budaya Dalam Hubungan Intern Umat Islam
Abstrak
Umat Islam di Indonesia secara sosial terpilah dalam berbagai konfigurasi sosial
seperti etnisitas, aliran pemikiran, oganisasi keagamaan, dan sebagainya. Penelitian ini
mengungkapkan dinamika hubungan intern umat Islam dala konteks relasi agama dan
budaya. Penelitian yang dilakukan dengan pendekatan kualitatif ini dilakukan di provinsi
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah. Dinamika hubungan intern umat
Islam di tiga wilayah ini menunjukkan tiga pola relasi, yaitu relasi agama dan tradisi lokal,
relasi agama dan etnisitas, serta relasi agama dan pemikiran keagamaan. Dalam ketiga
relasi tersebut kohesi sosial yang paling kuat dalam hubungan intern umat Islam adalah
relasi agama dan tradisi lokal. Sementara dua bentuk relasi lainnya masih menyisakan
interaksi dissosiatif pada hubungan intern umat Islam. Relasi agama dan budaya dapat
dijadikan strategi dalam upaya membanun kerukunan intern umat beragama secara
umum.
Kata kunci: Relasi sosial, Islam, agama, budaya.
41
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
kesatuan utuh sebagai umat Islam. untuk mengetahui bagaimana pola-pola relasi
sosial yang terjadi dalam hubungan intern umat
Umat Islam di Indonesia bukan suatu
Islam, dan apa bentuk relasi yang ideal bagi
kelompok yang monolitik, terdapat kemajemukan
terciptanya kerukunan beragama dalam intern
dalam berbagai tradisi, pemahaman, dan
umat Islam.
praktek-praktek keagamaan yang merupakan
ekspresi dari keislaman yang diyakininya. Konteks umat Islam di Indonesia dapat
Pemahaman keagamaan mendorong munculnya diwakili oleh umat Islam di beberapa lokasi
gerakan keagamaan atau menjadi kelompok yang memiliki karakteristik hubungan sosial
keagamaan tertentu yang membedakan dirinya antarkonfiguran, seperti etnisitas, pemikiran
dengan kelompok pemahaman yang lain. Ormas keagamaan, dan budaya. Tulisan ini bertujuan
atau organisasi kemasyarakatan bisa muncul untuk memetakan pola-pola relasi sosial dalam
membawa aspirasi pemahaman keagamaan, intern umat islam dan mengungkapkan pola yang
aktivitas keagamaan, aktivitas sosial dan strategis bagi upaya kerukunan umat beragama,
ekonomi, maupun politik tertentu. khususnya intern umat Islam. Tulisan ini dapat
memberikan informasi dan melengkapi hasil-
Konfigurasi sosial umat Islam tidak dipungkiri
hasil kajian tentang persoalan kerukunan umat
juga menjadi potensi pemilahan sosial yang rawan
beragama di masyarakat, khususnya kerukunan
konflik. Segregasi sosial akibat pemilahan ini
intern umat Islam. Selain itu, manfaat praktis bisa
memungkinkan munculnya batas-batas budaya
dipetik guna penyusunan kebijakan dalam bidang
(cultural boundaries). Perasaan kelompok bisa
kehidupan beragama dan penyusunan strategi
terbangun dalam bentuk sentimen kelompok
resolusi atau peace building di masyarakat.
ormas maupun kelompok etnis yang semakin
mempertegas batas-batas tersebut. Batas-batas Kerangka Teoretik
budaya ini apabila mengalami ketegangan maka
dapat berpotensi menjadi konflik antarkelompok. Masyarakat dalam perspektif fungsionalisme
struktural dilihat sebagai suatu sistem yang
Namun sebaliknya, batas-batas budaya ini dapat
tersusun dari bagian-bagian yang saling
menjadi cair dan lentur oleh intensitas interaksi,
berhubungan satu sama lain, dan saling
penerimaan, dan toleransi satu kelompok atas
mempengaruhi secara ganda dan timbal balik.
kelompok yang lain (Haryanto, 2013:14).
Integrasi sosial dalam suatu masyarakat tidak
Hubungan antarkomunitas atau kelompok pernah tercapai dengan sempurna, tetapi secara
dalam masyarakat muslim terjadi dalam dinamika fundamental bergerak ke arah equilibrium yang
relasi damai maupun relasi konflik. Sementara bersifat dinamis. Adapun ketegangan-ketegangan
situasi rukun dan damai dalam masyarakat dan penyimpangan-penyimpangan akan senan
merupakan cita dan harapan semua orang. tiasa terjadi juga, tetapi di dalam jangka panjang
Belajar dari pengalaman interaksi yang damai keadaan tersebut pada akhirnya akan teratasi
maupun konflik ini, diharapkan dapat menjadi dengan sendirinya melalui penyesuaian-
pembelajaran untuk mendorong faktor-faktor penyesuaian dan proses institusionalisasi.
kerukunan dapat bekerja, serta strategi adaptasi Dengan demikian perubahan dipandang sebagai
yang memungkinkan terciptanya kerukunan di proses adaptasi dan penyesuaian, dan tumbuh
masyarakat, khususnya kerukunan intern umat bersama dengan differensiasi dan inovasi yang
Islam. diintegrasikan melalui pemilikan nilai-nilai yang
Konfigurasi umat Islam membentuk sama (Zamroni, 1992: 25; Nasikun, 1992: 11-12).
hubungan-hubungan sosial yang terkait dengan Relasi sosial dapat berbentuk relasi yang
konteks hubungan kelompok-kelompok intern bersifat asosiatif maupun dissosiatif. Interaksi
umat Islam sendiri. Dengan demikian, penting yang asosiatif adalah hubungan sosial dalam
42
Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam
Joko Tri Haryanto, halaman 41-54
masyarakat yang terwujud dari adanya kehendak hubungan internumat beragama oleh Balai
rasional antarelemen masyarakat, dalam Litbang Agama Semarang tahun 2012. Penelitian
pengertian segala hal yang disepakati bersama tersebut dilaksnakan di tiga lokasi, yaitu
dan tidak bertentangan dengan norma dan nilai penelitian di Jawa Tengah dilakukan oleh Sodli
sosial yang berlaku. Proses ini mengarah pada (2012), di Jawa Timur oleh Rachmadani (2012),
semakin kuatnya ikatan antara pihak-pihak yang dan di Kalimantan Tengah oleh Haryanto
berhubungan. Proses ini meliputi bentuk kerjasama (2012). Ketiga provinsi ini secara kuantitatif
dan akomodasi. Di sisi lain, interaksi dissosiatif berpenduduk mayoritas beragama Islam, dan
merupakan bentuk hubungan sosial yang mengarah memiliki dinamika hubungan intern umat Islam
pada perpecahan atau merenggangnya hubungan yang khas. Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur
sosial antarpihak yang saling berhubungan. Proses telah memiliki sejarah Islam yang sangat panjang
ini dapat berbentuk persaingan, kontravensi, hubungannya dengan budaya pra-Islam yang
maupun pertentangan (Soekanto, 1982: 71). dianggap sebagai tradisi asli atau indigenous
Relasi sosial ini juga terkait dengan Java, maupun aliran keagamaan dalam Islam
karakteristik sosial dari bentuk-bentuk yang datang dari luar Indonesia. Sementara
konfigurasi sosial masyarakat dalam bentuk Kalimantan Tengah dinamika hubungan
identitas sosial. Menurut Jenkin (dalam Jamil, masyarakatnya sangat diwarnai corak hubungan
2012: 19), identitas sosial merupakan konsep etnisitas.
tentang siapa seseorang atau kelompok orang
Penelitian yang dilaksanakan di Jawa
dikenali oleh orang/kelompok lain, atau juga
Tengah mengambil lokus hubungan intern
mengenai seseorang dikenali dalam kelompoknya
umat Islam di Kabupaten Banyumas, di mana
sendiri. Dengan demikian identitas sosial
di wilayah tersebut ada dua komunitas muslim
merupakan ciri-ciri kelompok yang membedakan
yang memiliki perbedaan pemahaman dan
dengan kelompok lain, dalam hal ini dapat
tradisi dengan umat Islam pada umumnya yaitu
berbentuk identitas etnis (ethnicity) yang
terbentuk karena perbedaan budaya, tradisi, komunitas Islam Aboge, dan yayasan Masjid Al-
dan bahasa. Persinggungan antarkelompok Fatah Sumampir. Sedangkan penelitian di Jawa
menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian Timur dilaksanakan di Kabupaten Pasuruan
sosial guna memelihara keberadaan (eksistensi) tentang hubungan intern umat Islam terkait
kelompok mereka di antara kelompok-kelompok dengan komunitas Syiah dan kelompok muslim
yang lain. Oleh karena itu, masing-masing yang berada di wilayah Gunung Tengger yang
kelompok berupaya hidup bersama dalam masih memegang kuat tradisi Kasada (Kasodo).
perbedaan-perbedaan identitas tersebut dengan Adapun penelitian di Kalimantan Tengah
mengembangkan strategi adaptasi, yakni cara- dilakukan untuk melihat hubungan intern umat
cara yang dilakukan oleh orang atau kelompok Islam kaitannya dengan persoalan etnisitas yang
orang untuk menyesuaikan dirinya dengan dilakukan di Kota Palangkaraya dan Sampit,
perubahan dan situasi sosialnya. Pengertian di mana kedua wilayah ini tahun 2001 pernah
adaptasi dalam hal ini merujuk pada mekanisme mengalami konflik etnis yang cukup besar.
bagaimana manusia memperoleh keinginannya
atau menyesuaikan hidupnya kepada lingkungan Metode Pengumpulan Data dan Analisis
pergaulannya (Jamil, 2012: 30). Penelitian ini menggunakan pendekatan
penelitian kualitatif. Pengumpulan data
Metode Penelitian lapangan dilakukan dengan metode wawancara,
observasi, telaah dokumen, dan Focus Group
Waktu dan Lokasi Penelitian
Discussion (FGD). Wawancara ditujukan untuk
Tulisan ini merupakan analisis lanjutan menggali pandangan mereka terhadap dinamika
dari tiga temuan penelitian tentang dinamika hubungan internumat Islam dan mendalami
43
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
aspek-aspek terkait dengan persoalan tersebut. menentukan bulan Ramadan tidak memakai
Tehnik observasi dilakukan untuk melihat secara kalender hijriah, akan tetapi menggunakan
langsung perikehidupan dan interaksi sosial kalender (almanac) Aboge. Hal inilah yang
yang dilakukan umat Islam, baik dalam lingkup menjadikan awal dan akhir bulan puasa bagi
kelompok tertentu maupun lintas kelompok. penganut aliran Islam Aboge berbeda dengan
umat Islam pada umumnya. Demikian pula dalam
Telaah dokumen dilakukan untuk mendapat
kan informasi-informasi terkait dengan per ibadah lainnya sama, hanya yang khas dilakukan
soalan penelitian yang berasal dari dokumen- penganut Islam Aboge adalah Sholat Ied yang
dokumen tertulis, baik laporan-laporan dari disebut sholat Ngitqi (Itqi) setelah puasa Syawal
lembaga pemerintah maupun lainnya, dan perda pada tanggal delapan bulan Syawal pagi hari, dan
(peraturan daerah) yang diterbit oleh pemerintah sholat Rebo Wekasan yang dilaksanakan pada
daerah yang relevan dengan penelitian ini. Adapun hari Rabu pagi terakhir bulan Safar (Sodli, 2012) .
Focus Group Discussion (FGD) dilakukan untuk Perbedaan tersebut tidak menyebabkan
mengkonfirmasi data-data yang telah diperoleh adanya konflik di masyarakat lingkungan Aboge.
dan menggali informasi-informasi baru yang Hubungan antara penganut Islam Aboge dan
belum diperoleh dalam tehnik lainnya. umat Islam pada umumnya (Islam mainstream)
Analisis terhadap data-data penelitian ini berjalan dengan baik dan rukun. Hal ini terlihat
dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif yang dari pelaksanaan shalat jamaah di masjid Islam
merupakan suatu alur kegiatan yang meliputi Aboge, masjid Rabak yang tidak hanya diikuti
reduksi data, penyajian data, dan penarikan oleh penganut Aboge saja tetapi juga yang lain.
kesimpulan. Demikian pula kegiatan tradisi lainnya seperti
sedekah bumi dan slametan yang umumnya diisi
Temuan dan Pembahasan dengan tahlilan juga dilakukan bersama-sama,
bahkan adakalanya dipimpin oleh pimpinan
A. Pola Hubungan Intern Umat Islam
Aboge Kyai Zaenal (Sodli, 2012).
1. Relasi Agama dan Tradisi Lokal
Hubungan umat Islam dengan masyarakat
Hubungan intern umat beragama, pada yang memegang tradisi juga terjadi di lingkungan
beberapa kelompok masyarakat, khsususnya yang masyarakat Tengger, Jawa Timur. Daerah
berada di wilayah tradisi dan budaya keagamaan Tengger merupakan wilayah lereng Gunung
dapat dilihat pada hubungan penganut Islam Bromo yang terkenal dengan tradisi Kasodo, yakni
Aboge di Banyumas Jawa Tengah dan penganut ungkapan rasa syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa
tradisi Tengger di Pasuruan Jawa Timur. Dua dengan memberikan sesaji berbagai hasil bumi
lokus tersebut dapat menjadi gambaran tentang
pada kawah Gunung Bromo. Masyarakat Tengger
relasi agama dengan tradisi lokal dalam konteks
pada masa lalu memiliki kepercayaan lokal
hubungan intern umat Islam. Masyarakat
Tengger. Mulai tahun 1900-an ketika di daerah
penganut Aboge dan Masyarakat Tengger yang
Tosari dibangun hotel oleh pemerintahan kolonial
beragama Islam menyatukan aspek budaya lokal
Belanda, di antara buruh-buruh bangunan adalah
dengan keberagamaan mereka.
pemeluk Islam yang akhirnya menetap dan
Aliran Islam Aboge sudah mulai ada di mendakwahkan Islam di wilayah pegunungan
daerah Pekuncen Banyumas sejak sebelum Tengger. Tahun 1960 hingga 1967 merupakan masa
kemerdekaan. Aboge sendiri adalah singkatan puncak masuknya warga Tengger ke dalam Islam,
dari Alif Rebo Wage, yaitu suatu hitungan yang yakni dengan masuknya Nahdatul Ulama (NU) ke
dipakai oleh penganut Aboge untuk menentukan Desa Tosari untuk mengembangkan dakwah Islam.
tanggal, bulan, dan tahun seperti halnya Hijriah Selain itu, dilatarbelakangi peristiwa Gerakan 30
atau Masehi. Penganut aliran Aboge dalam September 1965 yang melibatkan Partai Komunis
44
Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam
Joko Tri Haryanto, halaman 41-54
45
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
46
Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam
Joko Tri Haryanto, halaman 41-54
antaretnis. Walaupun budaya dominan Dayak ini akses terhadap sumber daya ekonomi hutan
menguat, tetapi faktor instrinsik budaya Dayak sehingga menimbulkan konflik. Masyarakat
sejak awal juga sangat mendukung terciptanya Dayak umumnya memiliki ketergantungan
kerukunan di Kalimantan Tengah. Etnis Dayak terhadap hutan cukup tinggi. Dari hutan mereka
dikenal memiliki nilai-nilai budaya huma betang bisa menghasilkan bahan-bahan produksi seperti
yang sangat toleran terhadap keberadaan orang kayu, rotan, karet, dan sebagainya dengan hasil
lain, ketaatan pada aturan, dan juga kesetaraan. yang besar. Namun sebagian besar mereka tidak
Hal ini menunjukkan kebersediaan untuk hidup memiliki ketrampilan yang lebih baik untuk
rukun dan saling menghormati dalam satu mengolah persawahan, membangun gedung,
kehidupan bersama. serta menjadi pedagang yang sukses. Akibatnya
mereka memiliki ketegantungan dengan etnis
Pengalaman konflik etnis tahun 2001 antara
lain untuk kepentingan tersebut. Warga etnis
etnis Dayak dan etnis Madura mendasari pola
Madura selama ini telah dikenal dengan etos
hubungan antaretnis dewasa ini. Etnis Dayak
kerjanya yang tinggi, bahkan mereka bersedia
meneguhkan dominasi melalui jalur kultural
melakukan pekerjaan kasar dan menerima
maupun struktural, di mana hal ini diterima oleh
upah rendah. Demikian juga suku Jawa dikenal
etnis lain untuk membangun ikatan sosial baru.
ulet dalam bekerja, dan terutama berdagang
Dinamika relasi sosial dewasa ini menunjukkan
olah-olahan pangan seperti warung makan.
bahwa situasi kerukunan di Kalimantan Tengah
Sementara suku Banjar sejak dahulu dikenal pula
telah dapat mencapai tingkat perdamaian,
sebagai pedagang yang ulet dan berhasil. Ruang
meskipun taraf perdamaian negatif. Perdamaian
temu berupa aktivitas-aktivitas ekonomi yang
negatif ini menujukkan adanya pengakuan
menjadi simbiosisme ekonomi ini mendorong
terhadap perbedaan, tetapi secara struktural
munculnya interaksi yang asosiatif, akomodatif,
belum memberi akses yang berimbang pada
dan kerjasama sehingga tercipta kerukunan di
semua pihak (Susan, 2010: 132). Kebijakan
antara mereka.
uniformitas yang dikembangkan di Kalimantan
Tengah mendorong –atau memaksa-- proses Tampaknya hal ini menjadi salah satu
keseimbangan dalam masyarakat sebagai faktor penting keberhasilan rekonstruksi sosial
kesatuan (Haryanto, 2013). Hal ini termasuk pasca kerusuhan 2001 di Kalimantan Tengah.
proses institusionalisasi budaya untuk Dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini, situasi
menjamin keselarasan dan berjalannya fungsi- hubungan antaretnis, terutama Dayak dan
fungsi sosial akibat ketegangan-ketegangan Madura, telah pulih kembali, bahkan dua tahun
dan penyimpangan-penyimpangan terjadi dari peristiwa tersebut, warga Madura telah ada
(Zamroni, 1992: 25), berupa pertentangan atau yang kembali ke Sampit. Berbeda situasinya
konflik sehingga struktur-struktur sosial dalam dengan Kalimantan Barat yang juga pernah
masyarakat dapat fungsional kembali. terjadi kerusuhan antaretnis, yakni Melayu
Keragaman kelompok sosial dalam dan Dayak tahun 1999. Hubungan Madura dan
masyarakat muslim di satu sisi rentan dengan Melayu sampai sekarang belum pulih, bahkan
munculnya konflik identitas. Namun, perbedaan di Sambas warga Madura belum dapat diterima
identitas budaya juga dapat menjadi hal kembali (Cahyono, 2008: 105). Hal ini karena
yang mendorong terjadinya kerukunan, atau ruang temu, terutama simbiosisme ekonomi
setidaknya mempertemukan kepentingan antara Melayu dengan Madura kurang kuat.
masing-masing dalam konteks kebutuhan Antara Melayu dan Madura secara umum
hidupnya. Dalam konteks masyarakat memiliki ruang garap ekonomi yang hampir
Kalimantan Tengah, pada masa lalu terjadi sama sehingga yang terjadi bukan simbiosisme
marginalisasi terhadap Dayak yang menghalangi tetapi kontestasi yang cenderung konfliktual.
47
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
3. Relasi Agama dan Pemikiran salat Tarawih menjadi alasan munculnya tarawih
Keagamaan tandingan tersebut. Masjid Al Fatah yang sudah
berdiri sejak tahun 1995 sampai tahun 2010
Dinamika hubungan internumat Islam dalam
sudah biasa melaksanakan sholat Tarawih dan
konteks relasi agama dan pemikiran keagamaan
Witir berjumlah sebelas rakaat, sementara
menunjukkan hubungan yang kurang harmonis.
pihak Forum Peduli Masjid mengadakan sholat
Hal ini dapat dilihat dalam hubungan Syiah di
Tarawih yang berjumlah dua puluh tiga rakaat,
Pasuruan dengan masyarakat Islam umumnya
dua puluh rakaat sholat Tarawih, dan tiga rakaat
yang menganut faham Ahlussunah Wal Jamaah
sholat Witir (Sodli, 2012).
(Rachmadani, 2012). Demikian juga pertentangan
Yayasan Al-Fatah Sumampir dengan Forum Konflik tersebut ditangani oleh pemerintah
Warga Peduli Masjid di Banyumas (Sodli, 2012). daerah dengan melibatkan Kemenag Kabupaten
Dalam kasus ini terlihat hubungan dissosiatif Banyumas, Kesbang Linmas, Kesra Kapolres, dan
yang diakibatkan perbedaan pandangan atau lainnya. Kegiatan musyawarah bersama pihak-
pemikiran keagamaan. Perbedaan pandangan pihak berkonflik dengan aparat pemerintah
antara Syiah dan Sunni sesungguhnya telah tersebut menghasilkan keputusan untuk
berjalan lama, di mana sejarah konflik keduanya membuat kepengurusan takmir baru masjid Al
sangat sarat dengan nuansa politik. Sementara Fatah yang terdiri dari kedua kelompok dengan
pertentangan Yayasan Al-Fatah Sumampir diketuai oleh pejabat Kemenag. Langkah ini
dengan Forum Warga Peduli Masjid, meskipun berjalan baik, karena konflik akhirnya reda.
ditandai dengan perbedaan amaliyah ibadah, Masyarakat sendiri dalam hubungan sosial tetap
tetapi juga sarat dengan kepentingan “politis” berelasi dengan baik.
dalam pengertian kekuasaan atas pengelolaan
Sementara kasus hubungan Syiah Pasuruan
masjid.
yang bergabung dalam Pesantren YAPI (Yayasan
Masjid Al-Fatah di perumahan Sumampir Pendidikan Islam) di Bangil dengan umat Islam
dibangun tahun 1987, dan baru terbangun lainnya, menunjukkan adanya pertarungan
sempurna tahun 1995 dengan bantuan dana pemahaman keagamaan antara Syiah yang
dari Yayasan Ihya Al Thuras dari Timur Tengah. minoritas dengan pandangan dominan yakni
Aktivitas masjid ini sampai tahun 2010 lancar faham Sunni atau Ahlussunah Wal Jamaah.
saja, tidak ada gejolak perpecahan di antara Konflik ini terlihat jelas dengan adanya Keputusan
jamaah atau warga perumahan Sumampir Indah. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa
Baru pada tahun 2010 muncul konflik akibat Timur Nomor.Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012
pergantian pengurus takmir yang dilakukan oleh tentang Kesesatan Ajaran Syi’ah. Menurut
pengurus Yayasan Al-Fatah. Pengurus takmir Majelis Ulama Indonesia Provinsi Jawa Timur,
yang telah diberhentikan mendirikan Forum faham Syi’ah mempunyai perbedaan pokok
Peduli Masjid dan bermaksud melakukan dengan Ahlussunah Wal Jamaah yang dianut
kegiatan Maulid Nabi tetapi tidak diperbolehkan oleh umat Islam di Indonesia dan dipandang
oleh pengurus baru. Akibatnya timbul konflik tidak memenuhi salah satu kriteria yang sudah
yang berakhir dengan saling boikot dengan ditetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia Pusat
mengunci pintu masjid sehingga tidak bisa (Rachmadani, 2012).
digunakan (Sodli, 2012).
Pesantren YAPI didirikan Yayasan
Konflik lain terjadi tahun berikutnya, Pendidikan Islam (YAPI) di Bangil Pasuruan
2011, ketika Forum Peduli Masjid ini oleh almarhum Ustadz Husein Bin Abu Bakar
menyelenggarakan salat Tarawih di lapangan Al-Habsyi, pada 21 Juni 1976. Pesantren Ini
sebelah masjid dengan memasang tenda untuk merupakan Komunitas Syiah yang dikatakan
menampung jamaah. Perbedaan jumlah rakaat terbesar di Asia Tenggara. Mereka memiliki
48
Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam
Joko Tri Haryanto, halaman 41-54
49
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
Budaya yang merupakan indigenous tradition dengan dukungan para pemilik identitas budaya.
umumnya dapat diterima oleh masyarakat dan Terlebih dengan adanya penyatuan budaya
menjadi kebudayaan bersama yang mampu atau akulturasi yang menciptakan ikatan sosial
menyatukan umat Islam dan mencairkan batas- baru atau memperkuat ikatan sosial yang telah
batas identitas di lingkungannya, misalnya Islam ada, dan semakin menuju pada keseimbangan,
yang menggunakan budaya Jawa dalam bentuk sebagaimana ditunjukkan dalam fungsionalisme
akulturasi, baik bentuk simbol maupun nilai. struktural (Zamroni, 1992: 25).
Namun budaya yang dipandang dari luar, “budaya
Namun berbeda situasinya dalam relasi
import” yang kurang mampu mengakomodasi
agama dan etnisitas, sebagaimana dalam
tradisi-tradisi populer di masyarakat akan
hubungan antar etnis di Kalimantan Tengah.
semakin mempertegas jarak sosial dan batas-
Sekalipun dalam satu agama, yakni agama Islam,
batas budaya tiap-tiap kelompok, akibatnya relasi
tetapi hubungan sosial sangat kuat dengan
yang terbangun cenderung relasi konflik.
nuansa etnosentrisme. Hal ini ditunjukkan
Relasi Agama dan Budaya sebagai dengan hubungan yang didasari pada pandangan
Strategi Kerukunan atas citra atau stereotip satu kelompok terhadap
kelompok lainnya. Perbedaan-perbedaan
Dinamika hubungan intern umat Islam
budaya antaretnis tampak dalam sistem nilai
dalam konteks relasi antara agama dan budaya,
budaya (cultural value system) dan orientasi
dapat dilihat dalam tiga bentuk relasi, yaitu relasi
nilai budaya (cultural value orientation), di
agama dan tradisi lokal, relasi agama dan etnisitas,
mana dua hal ini selalu diproduksi dan menjadi
serta relasi agama dan pemikiran keagamaan.
bingkai pembatas antarkebudayaan (cultural
Dalam kasus penganut Islam Aboge di Kebumen
boundaries). Akibatnya muncul sikap egosentris
dan masyarakat tradisional di Tengger Pasuruan,
dan etnosentrisme yang terwujud dalam bentuk
dinamika hubungan terbentuk dalam penerimaan
stereotip dan prejudis (prasangka) (Musahadi
terhadap tradisi lokal yang diterima sebagai ikatan
2007. 12). Hal inilah yang mewarnai interaksi
sosial bersama. Dalam prakteknya, tradisi-tradisi
sosial antaretnis yang bersifat dissosiatif,
lokal ini dapat menjadi kohesi sosial karena oleh
bahkan dapat berbentuk konflik (Taneko, 1990:
para pelaku atau pemilik kebudayaan, tradisi
116).
tersebut sebenarnya telah mengalami modifikasi
sebagai bentuk akulturasi sehingga dapat Konflik yang terjadi di Kalimantan Tengah
diterima oleh kelompok yang berbeda. Terlebih antara etnis Dayak dan Madura memunculkan
dalam konteks setting masyarakat Jawa, tradisi- dampak budaya yang cukup signifikan dalam
tradisi keagamaan populer memiliki keterkaitan konteks hubungan antaretnis. Budaya Dayak
dengan tradisi masa lalu yang tetap dijaga dan secara politis menguat menjadi budaya dominan
dipelihara. Terutama masyarakat Jawa yang atas budaya lainnya, dan mengendalikan
mudah bersikap akomodatif, menyebabkan hubungan antaretnis sehingga situasi yang aman
masuknya budaya di luar dirinya melalui proses dan tertib dapat terwujud. Namun budaya
mekanisme akomodasi dan seleksi dalam diri dominan yang mendorong terjadinya uniformitas
kebudayaannya akan terserap secara selektif budaya konteks hubungan masyarakat
(Musahadi, 2007: 9). sesungguhnya bukan hubungan yang ideal.
Akulturasi menunjukkan daya tawar yang Dominasi menunjukkan adanya superoritas
setara, di mana pihak-pihak pemilik kebudayaan satu pihak terhadap pihak lain. Situasi di mana
bersama-sama mengambil bagian untuk “take and pemilik budaya dominan kuat secara politis
give” budaya bagi proses adaptasi di lingkungan (maupun kekuasaan), kelompok-kelompok yang
bersama. Dengan demikian kadar perdamaian inferior akan cenderung mengalah sehingga tidak
yang dibangun melalui akulturasi lebih kuat terjadi pertentangan dalam masyarakat.
50
Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam
Joko Tri Haryanto, halaman 41-54
Situasi damai semacam ini sebenarnya rapuh, terutama identitas minoritas di tengah identitas
terutama saat terjadi perubahan situasi politik mayoritas memang seringkali menampakkan
dan sosial di mana dapat muncul perlawanan dari relasi konflik dan damai secara terpisah,
pemilik budaya minoritas terhadap kelompok maupun relasi konflik-damai secara sekaligus.
budaya dominan. Hal ini sebenarnya patut Secara sosiologis, kelompok semacam ini sering
untuk diwaspadai karena budaya dominan juga dipandang sebagai kelompok yang mengalami
mendorong munculnya seperangkat prasangka marginalisasi dan stigmatisasi. Dalam relasi
terhadap golongan lain yang ada dalam minoritas terhadap mayoritas ini, persoalan
masyarakatnya. Prasangka ini berkembang identitas kelompok minoritas seringkali
berdasarkan pada adanya perasaan superioritas dianggap sebagai kelompok yang menyimpang
pada mereka yang tergolong dominan; atau sempalan (splinter group). Oleh karena itu,
mengganggap kelompok lain sebagai orang cara-cara kelompok ini menjaga identitas dan
asing; dan adanya klaim bahwa akses sumber kelangsungan keberadaannya juga berhubungan
daya yang ada adalah hak mereka, dan disertai dengan masyarakat sekitarnya adalah merupakan
kecurigaan kelompok lain akan mengambil suatu proses interaksi.
sumberdaya-sumberdaya tersebut (Suparlan,
Di antara strategi untuk menjaga eksistensi
2004). Dengan demikian, penerimaan terhadap
mereka dalam lingkungan dominan, yang
budaya dominan ini hanya strategi Coping berupa
secara laten dianggap menjadi ancaman, maka
tindakan diam dan menghindari masalah untuk
kelompok-kelompok minoritas mengambil
memelihara eksistensinya dan menjaga agar
ruang temu yang memungkinkan mereka bisa
tetap survive dengan tidak memancing persoalan
beradaptasi dengan lingkungannya. Faktor
dengan kelompok lain yang dapat menimbulkan
ruang temu budaya, hal mana kebutuhan untuk
kesulitan bagi dirinya di lingkungan budaya
hidup bersama memaksa semua pihak untuk
dominan (Farida, 2006: 25).
melakukan pertukaran sosial, saling menerima
Sementara hubungan intern umat Islam dan bekerjasama untuk kepentingan pemenuhan
dalam relasi agama dan pemikiran keagamaan, kebutuhan. Hal ini karena manusia adalah
seperti dalam hubungan Pesantren YAPI yang makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan
aliran Syiah dengan kelompok Aswaja yang orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup
mengklaim dirinya Sunni, ataupun yayasan yang tidak bisa dipenuhinya sendiri. Salah
Al-Fatah dengan Forum Warga Peduli Masjid satu perangkat pemenuhan kebutuhan adalah
dalam konteks pemikiran keagamaan sulit ekonomi, di mana interaksi yang berjalan
dipertemukan. Ruang temu yang bisa diterima secara positif akan mendorong kerjasama, tetapi
semua pihak hanya ruang sosial dan ruang sebaliknya, interaksi yang terjadi secara assertif
kepentingan praksis. Perbedaan pemikiran atau negatif maka malah akan menimbulkan
keagamaan lebih sulit untuk dipertemukan dan pertentangan (Taneko, 1990: 116).
akhirnya juga kurang mampu mendorong proses Ruang budaya tersebut dapat berupa ruang-
kerukunan dibandingkan perbedaan budaya dan ruang ekonomi ataupun ruang-ruang ekspresi
tradisi. Hal itulah yang menjadikan hubungan budaya. Keinginan manusia untuk memenuhi
antara komunitas Syiah dan yayasan masjid Al- kebutuhan hidupnya mendorong interaksi
Fatah berpotensi sebagai relasi konflik. dengan orang lain. Itu sebabnya dalam relasi
Dinamika hubungan intern umat beragama konflik sekalipun, komunitas Syiah maupun
yang dialami oleh minoritas Syi’ah di Kabupaten yayasan Al-Fatah tetap dapat bekerjasama dan
Pasuruan maupun yayasan Al-Fatah di Banyumas beraktivitas sosial bersama dengan umat Islam
merujuk kepada kajian Rodriguez (dalam Jamil, lainnya. Strategi adaptasi ini dengan sendirinya
2012: 13), adalah merupakan dinamika identitas, juga mendukung tercitanya situasi yang
51
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
aman di lingkungan mereka, sekalipun situasi diskriminasi yang berujung pada pertentangan
damai yang terwujud merupakan perdamaian bahkan konflik di masyarakat. Adapun cara
negatif. Perdamaian dalam pengertian negatif yang terbaik untuk mempererat kohesi sosial
adalah istilah untuk menunjukkan situasi masyarakat adalah dengan mengubah masyarakat
yang nir-kekerasan, tidak adanya kekerasan majemuk (plural society) menjadi masyarakat
secara langsung. Namun situasi demikian, multikultural (multicultural society) dengan cara
sesunguuhnya masih memungkinkan terjadinya mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai
kekerasan-kekerasan yang non-fisik, seperti pedoman hidup dan sebagai keyakinan bangsa
kekerasan strktural maupun kultural (Susan, Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan
2010: 130-135). bangsa Indonesia (Suparlan, 2004).
Untuk menuju pada masyarakat damai Interaksi sosial yang terjadi antar kelompok
yang menyeluruh diperlukan kedewasaan dalam masyarakat, baik intern umat beragama
dalam menyikapi perbedaan-perbedaan dalam maupun antar umat beragama, meniscayakan
konfigurasi sosial di masyarakat. Kemaje proses take and give, ada proses menyerap
mukan etnis, perbedaan pandangan keagamaan, dan diserap dalam tradisi dan budaya. Pada
dan keragaman tradisi sesungguhnya modal pertemuan budaya inilah sebenarnya batas-
penting bagi perkembangan masyarakat apabila batas budaya akan cair sehingga menjadi
mampu disikapi sebagai kekayaan sosial kohesi yang mengikat etnis-etnis tersebut, baik
budaya. Keragaman ini tidak disikapi hanya dalam bentuk multikulturalisme, akulturasi,
sebagai perbedaan belaka, melainkan menjadi atau ikatan budaya baru, budaya hibrida, tanpa
dasar untuk melakukan relasi akomodasi dan harus kehilangan jati diri dan identitas aslinya.
kerjasama, dan inilah yang disebut sebagai Multikulturalisme meniscayakan pengakuan
multikulturalisme. Menurut Hendar Putranto dan penghargaan terhadap keragaman, sekaligus
(dalam Ujan, et.al., 2009: 15) multikulturalisme terbuka bagi dialog budaya antarmasyarakat
adalah paham yang berbasis pada kepercayaan yang memungkinkan terciptanya kerukunan
akan adanya dan pentingnya menghargai yang sesungguhnya.
sekaligus mengakui (affimation and recognition)
terhadap keanekaragaman budaya (cultural Penutup
diversity). Suparlan (2004) mendefinisikan Hubungan intern umat Islam secara dinamis
multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang berkaitan dengan identitas-identitas kelompok
menekankan pengakuan dan penghargaan pada yang dikuatkan dengan identitas keagamaan
kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup maupun identitas budaya. Identitas-identitas
dalam pengertian kebudayaan adalah para budaya tersebut dapat berwujud identitas
pendukung kebudayaan, baik secara individual etnis, identitas tradisi lokal, maupun identitas
maupun secara kelompok, dan terutama pemikiran keagamaan. Dinamika hubungan dapat
ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu menuju kepada kerukunan intern umat Islam
sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. karena adanya faktor-faktor yang mendukung
Dengan demikian, hubungan intern umat ke arah kerukunan tersebut. Di antaranya adalah
beragama dalam bentuk relasi damai akan faktor daya tawar budaya, di mana pemilik
sangat terdukung apabila dalam masyarakat identitas budaya melakukan kompromi yang
dikembangkan kesadaran multikulturalisme. pada akhirnya menjadikan akukturasi budaya,
Wawasan multikulturaslisme ini dapat menutup atau dominasi budaya sehingga mewujudkan
kerapuhan relasi sosial yang didasarkan pada uniformitas budaya yang keduanya sama-sama
hubungan dominan-minoritas, karena hal mendukung terciptanya keseimbangan dalam
tersebut dapat menyebabkan munculnya sikap masyarakat. Faktor ruang temu budaya, hal mana
52
Relasi Agama dan Budaya dalam Hubungan Intern Umat Islam
Joko Tri Haryanto, halaman 41-54
kebutuhan untuk hidup bersama memaksa semua Farida, Anik. 2006. “Survival Umat Khonghucu
pihak untuk melakukan pertukaran sosial, saling dalam Pemenuhan Hak-hak Sipil”. Dalam
menerima dan bekerjasama untuk kepentingan Alam, Rudy Harisyah (ed). Adaptasi
pemenuhan kebutuhan. Ruang budaya tersebut dan Resistensi Kelompok-kelompok
dapat berupa ruang-ruang ekonomi ataupun Sosial Keagamaan. Jakarta: Penamadani
ruang-ruang ekspresi budaya. Faktor lainnya bekerjasama dengan Balai Litbang Agama
adalah peran tokoh masyarakat dan pemerintah Jakarta. Hlm. 19-50.
yang dalam masyarakat Indonesia yang patrilenial
Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi
keberadaan tokoh-tokoh sebagai patronase
dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka
sangat kuat pengaruhnya dalam masyarakat.
Jaya.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh umat
Haryanto, Joko Tri. 2012. Dinamika Hubungan
Islam dalam upaya membangun kerukunan di
Intern Umat Beragama di Jawa Tengah,
dilingkungannya, diantaranya melalui strategi
Jawa Timur, dan Kalimantan Tengah (Studi
kultural, yakni akulturasi, dan membangun
budaya dominan. Strategi lainnya melalui Relasi Agama dan Etnisitas pada Masyarakat
strategi struktural, yakni dengan memanfaatkan Kalimantan Tengah)”. Laporan Hasil
kekuasaan pemerintah, dan legalitas normatif Penelitian. Semarang: Balai Litbang Agama.
untuk menjaga situasi yang aman dan tertib. _______. 2013. “Dinamika Kerukunan Intern
Umat Islam dalam Relasi Etnisitas Dan
Ucapan Terima Kasih Agama Di Kalteng”. Jurnal Analisa Volume 20
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Nomor 01 Januari - Juni 2013 Balai Litbang
pimpinan di Balai Litbang Agama Semarang Agama Semarang. Hlm. 13-24.
yang memberi kesempatan penulis melakukan
Hasan, Ahmad Rifa’i (Ed.) 1990. Warisan
penelitian tentang dinamika intern umat
Intelektual Islam di Indonesia. Bandung:
Islam yang menjadi bahan tulisan ini. Ucapan
Mizan.
terimakasih juga ditujukan kepada Drs. H.
Ahmad Sodli dan Arnis Rachmadani, SS., MSI., Jamil, M. Muhsin. 2012. “Dinamika Identitas dan
rekan peneliti atas hasil penelitiannya untuk Strategi Adaptasi Minoritas Syi’ah di Jepara”.
dianalisis bersama dalam tulisan ini. Ringkasan Disertasi Program Doktor
Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid, Essai-
Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Daftar Pustaka
Bingkai Strukturalisme Transendental.
Azra, Azyumardi. 1998. Jaringan Ulama Timur Bandung: Mizan.
Tengah dan kepulauan Nusantara Abad
Musahadi, HAM. (Ed.). 2007. Mediasi dan
XVII-XVIII. Bandung: Mizan.
Resolusi Konflik di Indonesia, dari Konflik
Cahyono, Heru. Dkk. 2008. Konflik Kalbar dan Agama hingga Mediasi Pengadilan.
Kalteng Jalan Panjang Meretas Perdamaian. Semarang: WMC Walisongo Mediation
Yogyakarta: P2P-LIPI bekerjasama dengan Centre IAIN Walisongo.
Pustaka Pelajar. Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta:
Chang, Heewon. 1998. “Re-examining the Rajawalipress.
Rhetoric of the Cultural Border” dalam Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam, Aliran-
http://www.edchange.org/multicultural/ Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
papers/heewon.html diunduh 6 Juni 2015. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
53
Jurnal SMaRT Volume 01 Nomor 01 Juni 2015
54