You are on page 1of 12

ETNISITAS DAN AGAMA DI KOTA SURABAYA:

INTERAKSI MASYARAKAT KOTA


DALAM PERSPEKTIF INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Etnicity and Religion in Surabaya: Interaction of City Community


in Symbolic Interactionism Perspective

Ujianto Singgih Prayitno* dan Purnawan Basundoro**


*Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI)
Sekretariat Jenderal DPR RI
**Universitas Airlangga Surabaya

Naskah diterima: 17 September 2015


Naskah dikoreksi: 20 November 2015
Naskah diterbitkan: 23 Desember 2015

Abstract. This research is motivated by the emergence of various conflicts in various cities in Indonesia which is
triggered by the activation of ethnicity and religious stereotypes, either individually or in groups in their social
interaction. Surabaya is one of the big cities inhabited by various ethnic and religious and those are potential
to cause conflict. This study attempts to highlight how the picture of the interaction and the level of trust among
ethnic and religious in the city of Surabaya. This study is expected to provide an overview of vertices that have
the potential to create conflicts in the future so that it can be anticipated by the Government. Using qualitative
method and symbolic interactionism approach, which assumes that the social reality is a series of events that
occur in some individuals in the society and lasted consciously and it is related to gestures, vocal, voice, and
body expression, it is concluded that the city is a melting pot where people of various ethnic groups and religions
merge into one. The conflict occurred because of the characteristics of the groups in conflict distinguishable in
the clarity of boundaries between groups in conflict; and the degree of organization of each group are closely
related to patterns of interaction and communication that was developed from two sides.
Keywords: Etnicity, religion, social interaction, symbolic interactionism.

Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya beragam konflik di berbagai kota di Indonesia yang
dipicu oleh aktivasi stereotip etnisitas dan keagamaan baik itu secara individu maupun kelompok dalam interaksi
sosial mereka. Surabaya adalah salah satu kota besar yang dihuni oleh berbagai etnik dan agama yang berpotensi
memunculkan konflik. Penelitian ini mencoba menyoroti gambaran interaksi dan tingkat kepercayaan antaretnik
dan agama di Kota Surabaya. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran simpul-simpul yang berpotensi
memunculkan konflik di masa depan sehingga dapat diantisipasi oleh Pemerintah. Dengan menggunakan metode
kualitatif dan pendekatan interaksionisme simbolik, yang mengasumsikan bahwa realitas sosial merupakan
rangkaian peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam masyarakat dan berlangsung secara sadar dan
berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh, menyimpulkan bahwa kota adalah melting pot
tempat orang dari berbagai macam etnis dan agama melebur menjadi satu. Konflik terjadi karena karakteristik
kelompok-kelompok yang berkonflik terbedakan dalam kejelasan batas-batas antara kelompok-kelompok yang
berkonflik; dan derajat pengorganisasian masing-masing kelompok yang erat kaitannya dengan pola interaksi
dan komunikasi yang dikembangkan dari dua belah pihak.
Kata kunci: Etnisitas, agama, interaksi sosial, interaksionisme simbolik.

Pendahuluan menemukan bahwa individu-individu tersebut


Individu merupakan hal yang penting dalam berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol,
konsep sosiologi, sebagai obyek yang bisa yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat, dan
secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik
interaksinya dengan individu yang lain. Dalam kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962)
perspektif ini dikenal nama sosiolog George dan Erving Goffman (1959). Interaksionisme
Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi,
(1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan
interaksi antara individu dan kelompok. Mereka hubungan sosial.

Ujianto Singgih, Etnisitas dan Agama di Kota Surabaya | 119


Interaksi individu dalam masyarakat antara pertentangan antarkelompok. Dampak yang paling
lain termanifestasi dalam hubungan antarumat nyata adalah munculnya masyarakat yang terbelah
beragama, sebagai proses sosial yang muncul dalam berbagai ikatan-ikatan primodial. Persoalan
dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. para penganut agama dan etnisitas kedaerahan
Dalam interaksi ini dimediasi oleh penggunaan tidak dapat dihapus dari agenda pemerintahan.
simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh Kebangkitan kesadaran etnik yang meningkatkan
penetapan makna dari tindakan orang lain. Semua intensitas dan kualitas gerakan-gerakan sosio-
interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu etnik maupun keagamaan merupakan suatu reaksi
pertukaran simbol. Ketika antarumat beragama logis dan tidak terhindarkan dari suatu upaya
saling berinteraksi, biasanya secara konstan mempertahankan diri terhadap struktur lingkungan
mereka mencari “petunjuk” mengenai tipe eksternal yang tidak menguntungkan atau bahkan
perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu mengancam keberadaan suatu kelompok etnik.
dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa Namun, pada kenyataannya sulit untuk menentukan
yang dimaksudkan oleh orang lain. sumber-sumber menguatnya kesadaran etnik.
Dalam interaksi sosial itu, agama bukanlah satu- Secara umum, permasalahan yang masih
satunya hal yang mendasari hubungan, tetapi juga dihadapi yang dapat memunculkan persoalan
etnisitas. Agama dan etnisitas merupakan dua aspek etnisitas dan agama, antara lain adalah: (1)
penting yang memengaruhi dinamika hubungan pembangunan yang belum diimbangi dengan
sosial di Indonesia. Berbagai konflik pascaruntuhnya pembangunan karakter bangsa yang mengakibatkan
Orde Baru yang menyebabkan puluhan ribu jiwa terjadinya krisis budaya yang dapat memperlemah
meninggal melibatkan unsur agama dan atau etnis. jati diri bangsa (nasional); (2) kemampuan bangsa
Keterlibatan etnis Madura dan Dayak di Kalimantan dalam mengelola keragaman etnik dan agama
Barat, Muslim dan Kristen di Maluku dan Poso belum optimal yang ditandai oleh: (a) adanya
adalah di antara sejarah kelam hubungan sosial disorientasi tata nilai, seperti nilai solidaritas
yang kental dengan semangat etnisitas dan agama, sosial, kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial;
bahkan dewasa ini konflik antarpemeluk agama yang dan (b) adanya kecenderungan pengalihan ruang
samapun telah sering terjadi, seperti konflik suni dan publik ke ruang privat mengakibatkan terbatasnya
syiah di Madura. Peristiwa ini, jelas telah merusak tempat penyaluran aspirasi masyarakat multikultur;
mozaik sosial budaya Indonesia, terutama bagian (3) identitas nasional mengalami penurunan, yang
Timur yang telah dimanipulasi oleh berbagai pihak. ditandai oleh: (a) belum memadainya pembentukan
Kondisi dan situasi ini menjebak mereka dalam sikap moral dan penanaman nilai budaya dan
situasi yang terpinggirkan dan akibat berikutnya, agama yang mengakibatkan adanya kecenderungan
konflik komunal antarmereka makin keras dan semakin menguatnya nilai-nilai materialisme; dan
berkelanjutan. (b) kemampuan masyarakat dalam menyeleksi nilai
Kondisi tersebut memperlihatkan dengan jelas dan budaya global masih terbatas sehingga terjadi
adanya “disintegrasi sosial” yang menyangkut pengikisan nilai-nilai budaya nasional yang positif
hilangnya insting komunitas secara meluas, yaitu (Biro PUU Sekjen DPR RI, 2009). Oleh karena itu,
dari hilangnya rasa memiliki sekelompok orang pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana
terhadap sebuah negara bangsa, hilangnya ikatan interaksi antar etnik dan agama di Kota Surabaya
atau solidaritas komunal, hingga hilangnya ketaatan terjadi dan bagaimana kepercayaan antaretnik dan
pada sistem sosial dan normatif yang berlaku. agama dalam interaksi sosial tersebut?
Proses disintegrasi struktural ini mengakibatkan Metode kualitatif dalam penelitian ini
gagalnya proses disintegrasi setiap kelompok menggunakan pendekatan interaksionisme
masyarakat dalam suatu sistem akses dan kontrol, simbolik yang berpandangan bahwa kenyataan
integrasi ke dalam sistem general sejalan dengan sosial sesungguhnya merupakan susunan lambang-
kepentingan umum yang ingin dicapai, integrasi lambang yang menyembunyikan makna-makna
dalam sistem hukum dan perundang-undangan, dan dibaliknya. Realitas sosial merupakan rangkaian
integrasi fungsional ke dalam fungsi-fungsi yang peristiwa yang terjadi pada beberapa individu dalam
harus diwujudkan. Proses disintegrasi semacam ini masyarakat. Interaksi yang dilakukan antarindividu
akan memengaruhi masyarakat dalam merespon itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan
berbagai tantangan dan peluang ke depan. gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh,
Indonesia adalah negara yang masyarakatnya yang kesemuanya itu mempunyai maksud dan
bersifat majemuk dan potensial untuk memunculkan disebut dengan “simbol”. Dalam kaitan ini Blumer
kebangkitan kesadaran etnik dan penguatan (1962) meyakini bahwa studi manusia tidak dapat
eksklusivisme agama, yang dapat memicu diselenggarakan dalam cara yang sama dengan studi

120 | Aspirasi Vol. 6 No. 2, Desember 2015


tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku
dengan pokok materi, termasuk pengalamannya, individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan,
dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. karena interaksionisme simbolik memfokuskan
Blumer dan pengikutnya menghindari pendekatan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola
kuantitatif dan lebih menekankan riwayat hidup, dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial.
autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis,
wawancara tidak langsung. manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan
secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan
Perspektif Interaksionisme Simbolik1 aktif jika dibandingkan dengan perspektif-
Inti pandangan pendekatan teori perspektif sosiologis yang konvensional. Di sisi ini
interaksionisme simbolik ini adalah individu masyarakat tersusun dari individu-individu yang
sebagai suatu hal yang paling penting dalam konsep berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun
sosiologi, sebagai obyek yang bisa secara langsung juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan
ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat,
individu yang lain. Interaksi manusia dimediasi oleh namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan
penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi
oleh penetapan makna dari tindakan orang lain yang dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara Teori interaksionisme simbolik adalah
stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia. salah satu cabang dalam teori sosiologi yang
(Prayitno, 2011) Pendekatan interaksionisme mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan
simbolik memberikan banyak penekanan pada dunia luarnya, yang dalam istilah Cooley disebut
individu yang aktif dan kreatif dibandingkan dengan sebagai looking glass self (Kamanto, 2004).
pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Gagasan Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap
teori interaksionisme simbolik menjadi sebuah bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual,
label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus karena melibatkan suatu pertukaran simbol.
pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan Pada saat seseorang berinteraksi dengan yang
tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah lainnya, secara konstan akan mencari “petunjuk”
menggunakan pendekatan ini dan memberikan mengenai tipe perilaku yang cocok dalam konteks
kontribusi intelektualnya, di antaranya George itu, dan mengenai interpretasinya terhadap apa
Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert yang dimaksudkan oleh orang lain. Artinya
E.Park, William James, Charles Horton Cooley, interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian
Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini
Redfield dan Louis Wirth. bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang
Ritzer dan Goodman (2004) dalam bukunya lain katakan dan lakukan sebagai individu.
yang bertajuk, Sociological Theory, menjelaskan, Pada awal perkembangannya, teori
bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya interaksionisme simbolik dikembangkan oleh
merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial- kelompok The Chicago School dengan tokoh-
psikologis yang relevan untuk penelitian sosiologi. tokohnya seperti Goerge H. Mead dan Herbert
Teori ini sangat berkaitan dengan struktur-struktur Blummer. George Herbert Mead (1863-1931),2
menjelaskan bahwa interaksionisme simbolik

1
Akar tertua teori interaksionisme simbolik adalah merupakan teori studi perilaku individu dan atau
paradigma definisi sosial yang dikembangkan oleh
kelompok kecil masyarakat melalui serangkaian
Max Weber, seorang sosiolog berkebangsaan Jerman.
Bagi Weber, sosiologi adalah ilmu sosial yang bersifat pengamatan dan deskripsi (Prayitno, 2011). Metode
interpretative, yaitu ilmu pengetahuan yang menyelidiki ini berlandaskan pada pengamatan atas apa yang
makna-makna subyektif dari sebuah proses interaksi sosial diekspresikan orang yang mencakup penampilannya,
timbal balik untuk memahami implikasi-implikasi yang gerak-geriknya, dan bahasa simbolik yang muncul
dilahirkannya. Pemahaman ini, memunculkan anggapan, dalam situasi sosialnya. Interaksionisme simbolik
bahwa ilmu sosiologi yang dikembangkan oleh Weber
dikenal dengan sosiologi subyektif, artinya, bagi Weber
memiliki cara pandang terhadap masyarakat dari
ilmu sosiologi menunjukkan obyek penyelidikan yang bawah, sebagaimana situasi yang diciptakan oleh
berhubungan dengan konstruksi makna-makna sosial individu-individu. Melalui pendekatan ini, Mead
sebagai sebuah kenyataan sosial tersendiri, yaitu makna- dikenal juga sebagai seorang psikolog sosial, karena
makna subyektif yang lahir sebagai hasil dialektika
antara diri dan kenyataan eksternal. Kenyataan sosial
2
Mead dikenal sebagai seorang sosiolog pragmatis, yang
tidak semata berada di luar kesadaran manusia, namun berkeyakinan bahwa semua teori sosial yang ada harus
mengendap dalam struktur kesadaran subyektif manusia dapat diuji secara praktis, termasuk semua hal tentang
dan memengaruhi dirinya dalam berperilaku. kebenaran, pengetahuan, moralitas, dan politik.

Ujianto Singgih, Etnisitas dan Agama di Kota Surabaya | 121


memang pada akhirnya ia banyak berbicara tentang dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut
proses berfikir, konsep diri dalam organisasi sosial, membentuk ‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa
dan pola-pola pengambilan peran orang lain sebagai dipelajari oleh studi sosiologi, mereka juga merupakan
dasar organisasi sosial. produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh
Lebih lanjut, teori sosial ini dikembangkan pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi
oleh Charles Horton Cooley (1864-1929), seorang tersebut merupakan hasil dari organisasi dan
sosiolog Amerika yang pernah dekat dengan Mead. kristalisasi dari pikiran yang membentuk adat-adat
Cooley membangun teori relasi sosial yang tidak kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan,
bertitik berat pada kondisi individual maupun dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
sosial, namun meyakini bahwa kedua hal itu tak
bisa dipisah-pisahkan. Cooley banyak berbicara Kompleksitas Etnis
tentang konsep diri, yang disebutnya sebagai Sebuah bangsa memang akan selalu mengalami
konsep “bercermin,” sifat-sifat manusia, kelompok tahapan dalam sejarah kebangsaannya. Braudel dalam
primer dalam pembentukan sifat manusia, Suparlan, (2008), menyatakan bahwa rentang panjang
interaksi antara pemimpin politik dan massanya, sejarah tertentu berperan dalam membentuk karakter
dan pentingnya arti sosial dalam nilai keuangan. manusia dan secara mendasar akan memperlihatkan
Satu hal menarik yang ditunjukkan oleh Cooley sifat-sifat dasar dan kecenderungan ideologis dan
adalah perumpamaannya yang mengatakan, bahwa politis dalam merespons kondisi alam dan sosial
sebuah kapal yang dibangun oleh seratus orang budaya sekelilingnya. Proses pemberdayaan
yang berbeda, sangat berbeda dengan seratus kapal masyarakat dengan rentang yang panjang ini terjadi
yang masing-masing dibangun oleh satu orang, dalam jaringan sosial. Jaringan (Fukuyama, 2000:327)
untuk menjelaskan terjadinya pandangan umum merupakan hubungan moral kepercayaan, yaitu
dalam masyarakat yang dibentuk oleh pandangan- sekelompok agen-agen individual yang berbagi norma-
pandangan umum yang dimiliki oleh tiap individu norma atau nilai-nilai informal melampaui nilai-nilai
yang membangun masyarakat. atau norma-norma yang penting dalam kehidupan
Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat, dengan
yang mendalam mengenai hakikat kehidupan demikian, memberikan pengakuan kepada kelompok-
sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara kelompok etnik dan agama agar dapat memposisikan
fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama yang
dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat memiliki kesanggupan untuk memelihara identitas
demokratis, moral, dan progresif (Prayitno, 2011). kelompoknya. Di samping itu, juga mampu
Konsep evolusi organik Cooley ini berbeda secara berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh
substansial dari konsep Spencer dan para ilmuwan kesediaan untuk menerima kelompok-kelompok lain
sosial abad kesembilanbelas lainya. Cooley berusaha yang berbeda basis identitasnya untuk menemukan
membangun sebuah pemahaman yang lebih kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi.
mendalam mengenai individu, tetapi bukan sebagai Ekspresi atas etnisitas dan agama diatur
entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai secara ketat pada masa Orde Baru dengan berbagai
sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan- regulasi dan gerakan politik yang menyebabkan
bahan penyusun masyarakat. Jika pengetahuan terpendamnya berbagai rasa dendam, kekecewaan,
yang riil atas diri individu akan dibangun, maka dan diskriminasi. Pemerintah yang berkuasa
kita harus memandang individu secara keseluruhan, pada saat itu memainkan peran sangat kuat
sebaliknya, jika melihatnya secara terpisah, maka dalam upaya memprioritaskan kebijakan negara,
proses pengetahuan atas diri individu akan gagal. yaitu pertumbuhan ekonomi, dan mengabaikan
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari pertumbuhan kultural. Akibatnya kemajuan
sosiologi adalah untuk memahami sifat organis ekonomi tidak dibarengi dengan fondasi kultural
dari masyarakat sebagaimana berlangsung melalui yang mapan. Kebijakan negara yang berorientasi
persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari pertumbuhan ekonomi tidak dirasakan secara
diri mereka sendiri. merata. Karena itu, sikap antiminoritas sangat
Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, kental. Akibatnya, dinamika hubungan sosial
dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada menjadi sangat rentan akibat kebijakan negara dan
aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang tumbuhnya kelompok yang memainkan semangat
menyusun masyarakat tersebut. Dalam konsep The agama dan etnisitas.
Looking-Glass Self (Diri yang Seperti Cermin Pantul), Persoalan etnisitas dan agama adalah persoalan
menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama kehidupan masyarakat, yang memiliki relasi-relasi
ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, atau hubungan-hubungan tertentu dalam struktur

122 | Aspirasi Vol. 6 No. 2, Desember 2015


sosial. Hubungan etnisitas dan agama dengan (reciprocitas) atau dengan bahasa Fukuyama
struktur, sampai sekarang masih menjadi polemik, (1995:222), “kepercayaan memiliki nilai pragmatis
apakah etnisitas dan agama bagian dari struktur, yang sangat penting. Kepercayaan adalah pelumas
entitas yang terpisah, atau bahkan etnisitas dan yang penting bagi bekerjanya sebuah sistem sosial.”
agama yang antara lain membentuk struktur Kepercayaan merupakan variabel yang penting
sosial. Sering tersubordinasinya etnisitas dan dalam membentuk masyarakat yang fungsional,
agama ke dalam struktur menyebabkannya dipakai karena di dalamnya terkandung harapan-harapan
sebagai alat untuk menunjang struktur sosial yang terhadap keteraturan, kejujuran, dan perilaku
telah ditetapkan oleh suatu grand design politik kooperatif yang muncul dari dalam sebuah
tertentu. Etnisitas dan agama tidak saja kehilangan komunitas yang didasarkan pada norma-norma yang
otonominya, melainkan juga telah dimanipulasikan dianut bersama. Oleh karena itu, sebagai sebuah
sedemikian rupa, sehingga menjadi sekadar alat komunitas etnisitas dan agama bergantung pada
legitimasi politik. Transformasi struktural ataupun kepercayaan dan kepercayaan ditentukan secara
transformasi etnik dan agama dapat menjadi tema kultural, maka komunitas spontan akan muncul
pokok yang mengarahkan manusia atau masyarakat dalam berbagai tingkatan berbeda dalam budaya
masuk ke dalam suatu keadaan yang memungkinkan yang berbeda pula. Bagi Fukuyama (2000:72)
terjadinya keadilan sosial atau perdamaian manusia. kepercayaan atau trust adalah efek samping yang
Kompleksitas etnisitas dan agama dalam penting dari norma-norma sosial kooperatif yang
struktur sosial yang multikultural tidak hanya memunculkan modal sosial. Jika suatu komunitas
terlihat dari lingkupnya yang membesar menuju dapat menjaga komitmen, menghormati norma-
pada arus global,3 tetapi juga makin banyaknya norma saling tolong-menolong, dan menghindari
satuan-satuan kecil yang tumbuh. Karena itu, perilaku yang oportunistik, maka berbagai
desain besar etnisitas dan agama, di samping perlu kelompok akan terbentuk dengan cepat, dan
menyelidiki hubungan-hubungan dengan aras kelompok ini akan mampu mencapai tujuan
global, juga perlu memberikan peluang, mengamati bersamanya secara lebih efisien.
atau mengenali dan bersikap arif terhadap Munculnya komunitas-komunitas kelompok
pertumbuhan satuan-satuan kecil. Menelantarkan etnik dan agama yang menempati lokasi tertentu
interaksi antarsatuan-satuan kecil berarti dalam ruang kota merupakan satu dari banyak bukti
membiarkan berlakunya hukum rimba di dalam kegagalan kebijakan negara dalam “mengatur”
kebudayaan. Darwinisme sosial akan menyebabkan perubahan sosial. Munculnya komunitas kelompok
involusi bagi sebagian besar kelompok etnik dan etnik juga merupakan bukti adanya kegagalan
agama, namun kemajuan bagi sebagian kecil yang asimilasi maupun akulturasi yang membuat
lain, dan ini sama artinya memandang manusia setiap kelompok etnik cenderung memilih hidup
sebagai makhluk mekanik. Manusia adalah satu- dan berinteraksi dengan bahasa, adat istiadat dan
satunya makhluk yang mampu berencana, sehingga normanya sendiri. Kesadaran etnik dan keagamaan
untuk maju tidak harus “membunuh” yang lain. mengacu pada acuan yang berlapis-lapis sesuai
Dalam sebuah komunitas heterogen dan dengan kebutuhan para anggota kelompok
pluralistik seperti Indonesia diperlukan perekat etnik ketika melakukan interaksi. Terdapat dua
interaksi sosial yang dipatuhi bersama, terutama perspektif yang berbeda mengenai menguatnya
ketergantungannya terhadap pertukaran kesadaran etnik. Pertama, perspektif budaya
(cultural perspective), yaitu kesadaran etnik

3
Karakteristik globalisasi adalah (1) membawa arus
sebagai hasil dari primordialisme, seperti adanya
budaya global yang dikendalikan iklim kapitalisme dan
neoliberalisme yang membawa kultur yang kekuatan persepsi sempit dari anggota-anggota kelompok
dasarnya adalah kekuatan ekonomi dengan ‘ekonomi masyarakat tentang ciri-ciri kelompok mereka
uang’ yang menggeser ‘ekonomi produksi’. Hidup yang didasarkan pada unsur-unsur yang diwariskan
bersama yang dalam komunitas awal didasarkan yang berbeda dengan kelompok lainnya, seperti
atas kreasi olah alam menjadi produk dan hasil kerja perbedaan kebahasaan, dan ketidaksesuaian dalam
budaya, bergeser dengan ‘ekonomi uang’ atau moneter
yang melintasi batas kendali teritorial negara; (2)
segi budaya (Alqadrie, 1990:26). Kedua, perspektif
akibat mengglobalnya modal lintas batas negara, juga struktural yang menunjukkan asal-usul menguatnya
merupakan akibat perkembangan pesat pengetahuan dan kesadaran etnik yang berkaitan dengan hubungan
informasi dengan teknologi informasinya. Teknologi kompetisi yang “tidak adil“ antarkelompok-
informasi ini dicirikan oleh (a) pengetahuan dan informasi kelompok masyarakat di dalam ekonomi politik
diproduksi bila dinilai efisien dan efektif, yang diukur
dan bidang-bidang sosial ekonomi daripada dengan
dari kegunaan (Lyotard, 1984, 1979,); (b) informasi dan
pengetahuan semakin diperlakukan sebagai komoditas fakta pluralisme dan primodialisme (Alqadrie,
yang ditentukan pasar. 1990; Olubeni, 1983:265).

Ujianto Singgih, Etnisitas dan Agama di Kota Surabaya | 123


Penelitian dilakukan di Kota Surabaya yang Madura, sehingga menjadi tujuan awal orang-
merupakan daerah dengan kelompok masyarakat orang Madura yang ingin mencari penghidupan
yang beragam, baik dari pendidikan, status yang lebih baik. Kondisi Pulau Madura yang
sosial, tingkat ekonomi, dan juga etnisitasnya. tandus dan kering menyebabkan sebagian besar
Penelitian dilakukan untuk melihat pemaknaan penduduknya bermigrasi ke luar pulau. Menurut
simbol, bahasa, dan etika pergaulan mereka dalam Kuntowijoyo tradisi bermigrasi orang-orang
perspektif interaksionisme simbolik. Madura sudah terjadi sejak ratusan tahun yang
lalu (Kuntowijoyo, 2002: 75). Pada masa kerajaan
Komunitas Etnik di Kota Surabaya Mataram sebagian pendatang dari Madura ada yang
Surabaya adalah kota multietnis, kota ini bergabung menjadi prajurit Mataram. Sejak akhir
dihuni masyarakat dari berbagai daerah sehingga abad ke-19 sebagian besar pendatang dari Madura
membentuk mozaik keindonesiaan yang unik. di Pulau Surabaya banyak yang bekerja sebagai
Etnis Jawa merupakan penghuni terbesar di kota buruh di pelabuhan Surabaya. Sejak kebijakan
Surabaya, disusul kemudian orang Madura. Orang- sistem tanam paksa diterapkan di Jawa, pelabuhan
orang Madura banyak tinggal di kota Surabaya Surabaya berubah menjadi pelabuhan yang amat
karena kota ini kota terbesar yang paling dekat sibuk sebagai pelabuhan ekspor-impor. Kondisi
dengan pulau Madura. Etnis lain yang tinggal di tersebut memerlukan banyak sekali buruh angkut,
kota Surabaya adalah orang Sunda, Sumatera, dan orang-orang dari Madura memanfaatkan
Kalimantan, Ambon, Bali, Tionghoa, Arab, Eropa, kesempatan tersebut. Menurut John Ingleson pada
serta orang-orang berlatar belakang etnis yang awal abad ke-20 jumlah buruh dari Madura di
amat beragam baik dari Indonesia maupun dari luar pelabuhan Surabaya berjumlah kurang lebih 10.000
Indonesia. Menurut Basundoro (2012:1), keragaman orang (Ingleson, 2004:4). Keberadaan orang-orang
etnis di Surabaya sudah terbentuk sangat lama. Hal Madura di kota Surabaya telah mempengaruhi
tersebut disebabkan adanya gelombang migrasi dan budaya setempat, terutama mempengaruhi dialek
urbanisasi dari berbagai tempat ke kota Surabaya. Bahasa Jawa Suroboyoan.
Orang Jawa merupakan penghuni terbesar kota Asal-susul orang Bali dan Lombok di Kota
Surabaya karena kota ini berada di Jawa. Secara Surabaya kemungkinan besar berkaitan dengan
kultural pusat kebudayaan Jawa berada di Jawa perdagangan budak yang terjadi pada abad ke-18
Tengah dan Jawa Timur, dan di Jawa Timur sebagian sampai awal abad ke-19. Pada tahun 1839, di Kota
besar orang Jawa tinggal di sepanjang pesisir utara Surabaya terdapat 1.506 budak yang dipekerjakan
serta di bagian tengah daerah ini. Orang-orang Jawa di keluarga-keluarga Eropa. Keluarga-keluarga
yang tinggal di kota Surabaya ada yang sejak awal tersebut mendapatkan budak dari pelelangan. Pada
memang memiliki nenek moyang yang lahir dan tahun 1850-an perdagangan budak di Kota Surabaya
tinggal di kawasan tersebut selama ratusan tahun dilarang. Sebagian besar bekas budak kemudian
yang lalu, namun banyak pula yang mereka baru menjadi orang bebas di kota tersebut (Faber, 1931:
saja tinggal di kota Surabaya baru beberapa puluh 63-64). Keberadaan orang-orang Maluku/Ambon
tahun. Kategori kedua adalah para pendatang dari di Kota Surabaya, sebagian besar adalah orang-
daerah lain yang datang ke kota tersebut untuk orang yang direkrut menjadi tentara KNIL oleh
mencari penghidupan yang lebih baik. Bahkan pada pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian kecil
sensus yang dilakukan oleh pemerintah kolonial adalah orang-orang bebas yang merantau ke Kota
Belanda pada tahun 1930 diketahui bahwa lebih dari Surabaya atas kemauan sendiri (Sugiarti, 2009). Di
50 persen penduduk kota Surabaya pada waktu itu Kota Surabaya sebagian orang-orang Bali tinggal di
lahir di kabupaten-kabupaten di luar kota Surabaya, Kampung Peneleh. Salah satu ruas jalan di kamoung
seperti Sidoarjo, Lamongan, Gresik, Mojokerto, tersebut identik dengan etnis Bali.
Jombang, Tuban serta kabupaten-kabupaten lain di Orang-orang Sumatera juga banyak datang
Jawa Timur (Basundoro, 2013: 94). di Kota Surabaya. Salah satu roman yang sangat
Sebagian besar daerah di Tuban, Lamongan, terkenal yang berjudul Tenggelamnya Kapal van
dan Gresik merupakan daerah tandus yang tidak der Wijck menceritakan bahwa pada tahun 1930an
bagus untuk ditanami tanaman pertanian, sehingga di Kota Surabaya terdapat perkumulan orang-
kehidupan masyarakat di daerah tersebut cukup orang dari Sumatera, terutama dari Minangkabau.
sengsara. Untuk mengatasi problem ekonomi yang Roman tersebut menceritakan bahwa saat-saat
akut, penduduk setempat banyak yang merantau tertentu orang-orang yang berasal dari Sumatera
ke kota Surabaya. Etnis Madura merupakan berkumpul untuk merayakan hari-hari besar
penghuni terbanyak kedua di kota Surabaya. tertentu (Hamka, 1984). Keberadaan orang-orang
Surabaya merupakan kota besar terdekat dari Pulau Sumatera tersebut telah membentuk pemukiman di

124 | Aspirasi Vol. 6 No. 2, Desember 2015


sebelah selatan kawasan masjid Ampel yang oleh Mereka membawa berbagai unsur kebudayaan
pemerintah kolonial Belanda dimasukan sebagai masing-masing yang kemudian berkembang di kota
sebuah kawasan tersendiri yang disebut Maleische Surabaya. Ada unsur-unsur kebudayaan yang saling
Kamp atau Kampung Melayu. Beberapa tokoh menyatu dan saling mempengaruhi, ada pula unsur-
masyarakat Melayu di Kota Surabaya telah terlibat unsur kebudayaan yang berkembang sesuai aslinya.
dalam pemerintahan sejak masa kolonial, bahkan
Walikota Surabaya pertama di awal kemerdekaan, Dinamika Interaksi Antaretnik dan Agama di
yaitu Radjamin Nasution, merupakan salah satu Kota Surabaya
tokoh masyarakat Melayu di Kota Surabaya. Kehadiran para pendatang di Surabaya,
Para pendatang dari Sulawesi di Kota Surabaya memperlihatkan potret masyarakat majemuk atau
sebagian adalah para pelaut yang kemudian memilih bhinneka tunggal ika, yaitu sebuah masyarakat
menetap di kota ini dan sebagian lagi adalah orang- yang terdiri atas masyarakat-masyarakat
orang yang sengaja merantau untuk mencari sukubangsa yang dipersatukan dan diatur oleh
penghidupan. Ada pula orang yang datang ke kota sistem pemerintahan daerah. Seperti halnya
Surabaya untuk menuntut ilmu. Pada awal abad masyarakat Indonesia pada umumnya, setiap
ke-20 lembaga pendidikan modern sudah berdiri di masyarakat sukubangsa di Surabaya secara turun
kota Surabaya dan menjadi tempat menuntut ilmu temurun mempunyai dan menempati wilayah
orang-orang dari luar kota. Beberapa pelajar yang tempat hidupnya yang diakui dan dihormati
belajar di Kota Surabaya dan akhirnya menetap yang merupakan tempat sumber-sumber daya
di kota ini adalah J.K. Lengkong, S. Ngion, dan dimana warga masyarakat sukubangsa tersebut
F.L.S. Ratulangi, yang pada awal tahun 1930 memanfaatkan untuk kelangsungan hidup mereka.
diangkat sebagai anggota Gemeenteraad Surabaya Di Kota Surabaya, masyarakat majemuknya
(Gemeente Soerabaja, 1931: 35). bukan hanya beranekaragam corak kesukubangsaan
Selain dihuni oleh para endatang dari berbagai dan kebudayaannya secara horizontal, tetapi juga
pulau di Indonesia, kota Surabaya juga dihuni secara vertikal, yaitu menurut kemajuan ekonomi,
oleh pendatang dari luar negeri. Sudah sejak lama teknologi, dan organisasi sosial-politiknya
para pendatang dari luar negeri menetap di kota (Suparlan, 2004). Tanpa disadari oleh banyak orang
Surabaya, salah satunya karena alasan berdagang. Indonesia, sebenarnya dalam masyarakat terdapat
Orang-orang Arab merupakan salah satu pendatang golongan dominan dan minoritas, sebagaimana
dari luar negeri yang cukup banyak. Mereka yang terwujud dalam tindakan-tindakan yang
menetap di kampung sekitar makam tokoh penyebar dilakukan terhadap mereka dalam berbagai
Islam di kota Surabaya, Sunan Ampel. Gelombang interaksi, baik interaksi secara individual maupun
kedatangan orang-orang Arab sudah terjadi secara kategorikal, seperti posisi orang Sakai
sejak sebelum Indonesia dijajah Belanda, namun yang minoritas dibandingkan dengan posisi orang
mengalami peningkatan yang luar biasa sejak abad Melayu yang dominan di Riau (Suparlan, 2008).
ke-19. Mereka kemudian menetap dan membantuk Dampaknya, kesukubangsaan atau jatidiri
perkampungan Arab di sekitar masjid Ampel yang sukubangsa sebagai sebuah kekuatan sosial yang
pada masa colonial diberi nama Arabische Kamp tidak bisa ditawar, yang muncul dalam interaksi
atau Kampung Arab. Nenek moyang orang-orang sosial, menjadi sebuah acuan yang ampuh dalam
Tionghoa sudah mendiami kota Surabaya sudah upaya kohesi sosial dan solidaritas di antara
sejak sangat lama. Ketika orang-orang Belanda yang sesama anggota sukubangsa dalam persaingan dan
datang di kota Surabaya pada abad ke-17, mereka perebutan sumber-sumber daya yang secara adat
sudah melihat pemukiman-pemukiman Tionghoa menjadi hak mereka. Dalam setiap interaksi, jatidiri
di tepi sungai Kalimas (Basundoro: 2013). Mereka akan nampak karena adanya atribut-atribut yang
membentuk pemukiman Tionghoa yang pada masa digunakan oleh pelaku dalam mengekspresikan
kolonial disebut Chinese Kamp (kampung Cina atau jatidirinya sesuai dengan hubungan status atau
Pecinan) dan berkembang sampai saat ini, menjadi posisi masing-masing (Suparlan, 2008). Dalam
pusat perdagangan di kota Surabaya. Sementara itu, hubungan antar-sukubangsa yang terjadi di Kota
akar kedatangan orang-orang Eropa berbarengan Surabaya tidak terjadi manifestasi atribut dari
dengan penjajahan Belanda di Indonesia, yaitu jatidiri sukubangsa, yaitu ciri-ciri fisik atau
sekitar abad ke-17. rasial, gerakan-gerakan tubuh atau muka, dan
Dengan banyaknya orang dari berbagai ungkapan-ungkapan kebudayaan, nilai-nilai
daerah, dari berbagai pulau, dan dari berbagai budaya serta keyakinan keagamaan menjadi
negara yang datang dan tinggal di kota Surabaya, sesuatu yang membedakan. Sadar atau tidak sadar
menjadikan kota ini sebagai kota multikultural. seseorang hidup berpedomankan pada kebudayaan

Ujianto Singgih, Etnisitas dan Agama di Kota Surabaya | 125


sukubangsanya, yang dalam proses-proses tindakan-tindakan diskriminatif dalam hak dan
pembelajarannya dari masa anak-anak sehingga kewajiban oleh sukubangsa yang dominan terhadap
dewasa, dia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mereka yang tergolong lemah dan nonpribumi atau
harus hidup menurut kebudayaan sukubangsanya minoritas di dalam kehidupan sosial, politik, dan
yang dipunyai oleh orang tuanya tersebut. ekonomi.
Setiap anggota komunitas harus tahu, Dari satu segi, kesukubangsaan sebagai kekuatan
memahami, dan meyakini, serta menggunakan sosial mirip dengan keyakinan keagamaan. Karena
kebudayaan tersebut sebagai pedoman keyakinan keagamaan pada waktu terwujud sebagai
bagi kehidupannya dalam menghadapi dan sebuah solidaritas sosial juga tidak dapat ditawar
menginterpretasi lingkungannya, dan untuk atau diremehkan. Kedua-duanya mempunyai potensi
dapat memanfaatkan berbagai sumber daya yang merusak yang sama besarnya di dalam konflik antar-
ada di dalamnya bagi kelangsungan hidupnya. sukubangsa atau antarkeyakinan keagamaan. Tetapi dari
Jika hal ini dapat dianggap sebagai salah satu segi lain, kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan
stereotype kesukubangsaan, maka kebudayaan tidaklah sama. Karena kesukubangsaan mempunyai
sukubangsa, bagi anggota-anggota sukubangsa efektivitas kekuatan sosial dalam batas-batas sesama
yang bersangkutan, adalah sebuah pedoman bagi anggota sukubangsa, sedangkan keyakinan keagamaan
kehidupan yang pertama dipelajari dan diyakini mempunyai jangkauan solidaritas sosial hanya dalam
kebenarannya. salah satu segmen masyarakat sukubangsa, dalam
Selain itu, yang juga bercorak ‘dipaksakan’ sesuatu masyarakat sukubangsa, atau di luar batas-
adalah pelajaran agama dari orang tua, keluarga, batas sesuatu masyarakat sukubangsa. Karena itu, di
dan komunitas sukubangsa tersebut sehingga satu sisi, keyakinan keagamaan dapat memperkuat atau
jika seseorang beragama Islam, maka Islamlah memperlemah kekuatan sosial dari kesukubangsaan,
keturunannya sampai hari ini. Agama dinilai sebagai sedangkan di sisi lain kesukubangsaan dapat tunduk
teks suci yang berisikan petunjuk-petunjuk Tuhan dan berada di bawah bayang-bayang kekuatan
yang wajib diikuti, yang sebaiknya dihindari, dan keyakinan keagamaan.
yang wajib dihindari atau dilarang untuk dilakukan Di masa lampau hanya di kota-kota besar terdapat
menjadi operasional dalam kehidupan manusia kehidupan masyarakat yang kesukubangsaannya
melalui dan ada dalam kebudayaan manusia dan beranekaragam. Tetapi pada masa sekarang hampir
pranata-pranata sosial masyarakatnya. Petunjuk- seluruh wilayah Indonesia secara sukubangsa adalah
petunjuk Tuhan ini diinterpretasi dan dipahami heterogen, dimana anggota-anggota sukubangsa dari
dengan menggunakan acuan kebudayaannya, berbagai sukubangsa dan daerah yang berbeda-beda
untuk dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan telah secara berdampingan hidup dalam komuniti-
yang tidak bertentangan dengan kebudayaan komuniti dari kelompok-kelompok sukubangsa
yang sudah ada, atau sebaliknya yaitu sebagian setempat. Sehingga hubungan antar-sukubangsa
atau sebagian besar nilai-nilai budaya yang sudah menjadi lebih intensif daripada di masa lampau, dan
ada itu disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan hal ini dapat menyebabkan berbagai permasalahan
yang diyakini kebenarannya. Agama sebagai teks berkenaan dengan pengakomodasian perbedaan-
suci yang berisikan nilai-nilai sakral biasanya perbedaan budaya antara pendatang dengan penduduk
menggantikan sebagian atau seluruh nilai-nilai setempat karena hampir semua pendatang yang
budaya yang menjadi inti dan yang mengintegrasikan hidup di komuniti-komuniti setempat mempunyai
keutuhan dari sesuatu kebudayaan sukubangsa.  kebudayaan ekonomi yang lebih maju dan lebih
Konflik yang muncul secara langsung agresif. Permasalahan hubungan antara pendatang
meruntuhkan kepercayaan dalam ruang lingkup dengan masyarakat setempat terpusat pada
batas-batas kesukubangsaaan ini sehingga masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-
stereotip dan prasangka berkembang dan menjadi sumber daya. Tingkat agresivitas secara ekonomi
mantap dalam suatu kurun waktu hubungan dari para pendatang adalah masalah yang paling
antar-sukubangsa dalam empat tahun terakhir. kritikal dalam persaingan untuk memperebutkan
Akibatnya banyak saling salah pengertian di sumber-sumber daya yang ada. Karena, masyarakat
dalam komunikasi antar-sukubangsa, terutama setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah
simbol-simbol keagamaan atau simbol-simbol serta pemilik atas sumber-sumber daya alam yang
etnis yang menyebabkan semakin lebarnya jarak ada di dalam wilayah hak ulayat mereka sedangkan
dan mantapnya batas-batas atau pagar-pagar yang para pendatang dilihat sebagai tamu mereka.
membatasi hubungan antara dua sukubangsa atau Sebagai unsur pembentuk sistem sosial
lebih. Akibat lebih lanjut, jika tidak segera diatasi masyarakat majemuk, kelompok-kelompok etnik
dari stereotip dan prasangka ini dapat mewujudkan memiliki kebudayaan, batas-batas sosial-budaya, dan

126 | Aspirasi Vol. 6 No. 2, Desember 2015


sejumlah atribut atau ciri-ciri budaya yang menandai masyarakat, setelah Orde Baru memberangusnya
identitas dan eksistensi mereka. Kebudayaan selama masa tiga dasawarsa lebih (Zakaria, 2000).
yang dimiliki kelompok etnik menjadi pedoman Dalam ruang politik yang semakin terbuka ini,
kehidupan mereka dan atribut-atribut budaya yang masyarakat di daerah (indigenous people) menggali
ada, seperti adat-istiadat, tradisi, bahasa, kesenian, kembali potensi-potensi kelembagaan sosial atau
agama dan paham keagamaan, kesamaan leluhur, konstruk nilai-nilai budaya lokal yang dianggap
asal-usul daerah, sejarah sosial, pakaian tradisional, berguna untuk menopang eksistensi mereka di
atau aliran ideologi politik menjadi ciri pembeda tengah arus globalisasi dan dinamika pembangunan
suatu kelompok etnik dari kelompok etnik yang daerah.
lain. Kebudayaan dan atribut sosial-budaya sebagai Keberlangsungan hubungan sosial tersebut
penanda identitas kelompok etnik memiliki sifat memiliki prasyarat yang harus dipenuhi. Lawrence
stabil, konsisten, dan bertahan lama. Harrison, seperti dikutip oleh Francis Fukuyama
Dalam kasus Kota Surabaya, misalnya orang (1995), menjelaskan kemungkinan terbatasnya
Jawa disebut sebagai suatu kelompok etnik karena daya kerja modal sosial melalui konsep radius
mereka secara budaya memang berbeda dengan of trust atau radius kepercayaan, yaitu lingkaran
orang Madura. Dalam konteks perbandingan yang manusia tempat norma-norma kerjasama berlaku.
setara pada orang Jawa di Jawa Timur, bahwa orang Konsep ini membatasi berlakunya modal sosial
Jember tentu berbeda secara kultural dengan orang di kalangan pendukungnya saja, sehingga apabila
Surabaya. Orang Jember tidak akan mau disebut radius kepercayaan suatu modal sosial kecil, maka
sebagai orang Surabaya, demikian pula sebaliknya. keberlakuan modal sosial itu untuk mendukung
Karena perbedaan-perbedaan kultural ini keduanya tercapainya hubungan sosial yang fungsional,
disebut sebagai sebuah kelompok etnik yang menjadi kecil, atau hanya berlaku di dalam kelompok
berbeda, walaupun keduanya berada dalam ruang tertentu saja. Bahkan, radius yang sangat kecil akan
lingkup orang Jawa, di Jawa Timur. Hal yang sama menciptakan banyak sekali penentangan dari dan
juga berlaku untuk penyebutan orang Osing, orang terhadap orang-orang di luar lingkaran modal sosial.
Tengger, orang Pendhalungan, orang Mataraman, Syarat pertama dari hubungan yang positif
atau orang Samin sebagai sebuah kelompok etnik adalah besarnya radius kepercayaan sehingga modal
yang berbeda-beda. sosial tidak menjadi kontraproduktif. Syarat kedua
Dalam kaitannya dengan akses dan perebutan berkaitan dengan sifat otonom dan kemelekatannya
sumber daya di daerah yang bersifat struktural, pada masyarakat yang berlaku bagi individu-individu
seperti potensi ekonomi dan kekuasaan politik, pendukung modal sosial tertentu. Otonomi yang
manifestasi etnisitas sering menimbulkan berlebihan pada individu akan membuat keberlakuan
ketegangan dan konflik sosial di antara pihak- norma serta jaringan menjadi kecil, sementara itu
pihak yang terlibat atau yang berkepentingan. kemelekatan yang berlebihan juga akan membawa
Masa otonomi daerah sekarang ini memberikan pendukung modal sosial tertentu menjadi tidak kreatif.
peluang yang besar bagi tumbuhnya konflik sosial Dalam bahasa yang berbeda, bila sejumlah orang
berbasis etnisitas, ketika tradisi berdemokrasi, mengelompok atas dasar suku bangsa atau agama,
penghormatan terhadap keadilan sosial, dan akan menimbulkan kategorisasi secara sosial (social
penghargaan terhadap prestasi belum menjadi categorization, Abrams dan Hogg, 1990). Kategori
pandangan dan sikap hidup kita sehari-hari. sosial ini merupakan dasar dari pembentukan kelompok
Kondisi demikian lebih banyak menguntungkan “kita” (ingroup) dan kelompok “mereka” (outgroup)
kepentingan pribadi dan kelompok (etnik) (Tajfel,1982). Atau dengan perkataan lain, kombinasi
daripada kepentingan masyarakat. Masalahnya yang optimum antara otonomi dengan kemelekatan
adalah bagaimanakah meminimalkan konflik menciptakan hubungan sosial kongkret yang sedang
sosial berbasis etnisitas yang dapat merugikan berlangsung. Ini berarti, bahwa aktor mendefinisikan
kepentingan masyarakat luas. situasi sosialnya terlebih dahulu, sebelum menanggapi
Secara normatif, otonomi daerah telah orang lain. Atau dengan perkataan lain, memahami
memberikan keleluasaan bagi masyarakat modal sosial memperlihatkan, bahwa tindakan
di daerah (bukan pemerintah daerah) untuk disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan
mengaktualisasikan diri secara optimal dalam hubungan sosial personal yang sedang berlangsung dari
manajemen pembangunan daerah. Undang-undang para aktor.
yang mendasari praktik otonomi daerah memberi Persoalannya adalah bahwa dewasa ini
pengakuan terhadap eksistensi masyarakat dan hubungan positif bagi berlakunya kepercayaan yang
kebudayaannya. Otonomi daerah menandai era lebih luas mulai memudar, karena setelah terbentuk
penghargaan terhadap keberagaman dan otonomi kelompok “kita” dan kelompok “mereka” cenderung

Ujianto Singgih, Etnisitas dan Agama di Kota Surabaya | 127


terjadi permusuhan dan memperkecil perdamaian dominan, yang senantiasa berhadapan dengan
sosial. Fenomena kekerasan yang terjadi, praktis penolakan atau resistensi sosial dari kelompok-
setelah krisis ekonomi terjadi, merupakan bentuk kelompok etnik yang terkena kebijakan tersebut.
nyata tidak adanya perdamaian sosial. Dalam Sementara itu, jika terjadi konflik, setiap kelompok
wacana ilmu sosial, menurut Ignas Kleden (2001) etnis akan mengaktifkan jaringan etnisitas yang
kekerasan mempunyai suatu struktur-dalam (deep berbasis kesamaan asal-usul dan leluhur, sejarah
structure) yang tersembunyi dalam berbagai bidang sosial, identitas ke-Islam-an, dan tradisi sosial-
kebudayaan dan kehidupan masyarakat Indonesia budaya sebagai sarana pengikat sosial dan
dewasa ini, yang kemudian memperlihatkan diri pembangun solidaritas sosial. Dalam konteks
dalam berbagai ekspresi yang berbeda-beda, tetapi demikian, etnisitas akan berubah menjadi ideologi
pada dasarnya menyembunyikan struktur dasar perjuangan untuk menghadapi etnis lain yang telah
yang kurang lebih sama. membuat diri mereka tidak nyaman dan terancam
Para ahli kependudukan dan budaya perkotaan serta mengganggu kelangsungan hidup kelompok
sering menyebut bahwa kota adalah melting pot atau etnik (Brown, 1994:1-5).
panci pelebur dimana orang dari berbagai macam Dalam banyak kasus, negara dan kebijakan-
etnis dan bangsa melebur menjadi satu (Castles, kebijakan para penguasanya mengambil peranan
2007:2). Namun, kenyataan kota pada masa yang besar terhadap timbulnya peristiwa konflik
kolonial bukanlah panci pelebur dalam arti yang etnik dan kekerasan sosial di berbagai negara
sebenarnya. Keberadaan orang Eropa di kota-kota (Renner, 1999:33-47). Konflik-konflik dan
besar di Indonesia telah menciptakan masyarakat kekerasan sosial berbasis etnisitas yang terjadi di
yang berlapis-lapis yang dibedakan berdasarkan Indonesia menjelang akhir kekuasaan Orde Baru
etnis secara ketat. Golongan paling utama adalah hingga sekarang, seperti di Kalimantan Barat-
orang Belanda Totok yang beragama Kristen. Di Tengah, Maluku, dan Poso merupakan akibat dari
bawah Belanda Totok adalah Belanda Indo, dan di kesalahan kebijakan pembangunan daerah dan
bawah Belanda Indo adalah orang Cina, Arab, dan ketidakmampuan penguasa Orde Baru mengelola
Timur Asing. Lapisan paling bawah adalah orang kemajemukan masyarakat kita (Kusnadi, 2001).
Indonesia (Bumiputra) (Suryohadiprojo, 1997:8). Hal yang sama bukan tidak mungkin akan dilakukan
Hubungan antaretnik di Kota Surabaya, oleh penguasa Pemerintah Daerah (eksekutif dan
terutama hubungan antara orang-orang keturunan legislatif) era otonomi daerah. Bahkan, diperkirakan
Cina dan Arab dengan penduduk lokal cukup unik. bahwa sifat rakus politik dan serakah ekonomi
Hubungan semacam ini bisa berlainan yang kadang- penguasa di daerah dan kebijakan-kebijakannya
kadang dilandasai oleh motivasi kemanusiaan, yang tidak memihak kepentingan rakyat akan
yaitu hubungan yang murni berdasarkan status menjadi pemicu konflik sosial yang berskala luas
sosial yang tidak dilandasi sentiman rasial. Jika di daerah. Konflik sosial ini tidak hanya terjadi
hubungan tersebut terjalin antara majikan yang di kalangan internal antarelite daerah, tetapi juga
Cina atau Arab dan buruh yang Indonesia, maka melibatkan penguasa daerah dengan rakyat secara
baik-buruknya hubungan tersebut hanya bisa keseluruhan dan antarkelompok-kelompok sosial
dinilai dari kelas sosial mereka yang berbeda dan dalam masyarakat. Ketidakpuasan rakyat yang
bukan karena perbedaan ras di antara mereka. Pada meluas terhadap perilaku pemimpinnya dapat
kenyataannya, kedudukan kaum buruh Indonesia mendorong timbulnya revolusi sosial, sebagaimana
di perkebunan-perkebunan, kantor-kantor, dan pernah terjadi dalam sejarah sosial kita (Lucas,
pabrik-pabrik sangat lemah yang disebabkan 2004).
karena daya tawar mereka amat rendah sebagai Pada dasarnya, konflik sosial berbasis etnisitas
akibat rendahnya pendidikan. yang berlangsung secara masif tidak ada yang
Dalam hubungan antaretnis di Surabaya tidak semata-mata terjadi karena perbedaan-perbedaan
terlihat adanya penguasa daerah untuk mencapai sosial-budaya yang bersifat horisontal, seperti
penguasaan sumber daya ekonomi-politik yang agama, bahasa, tradisi dan adat-istiadat, sejarah
lebih besar dengan mendominasi etnik tertentu. sosial, gaya hidup, atau nilai-nilai budaya lainnya.
Demikian pula dengan penetrasi budaya dominan Aspek-aspek vertikal-struktural, seperti akses
(dominance culture), terhadap etnis minoritas dan penguasaan sumber daya ekonomi-politik
tidak bersifat deskriminatif dan hanya menguras (kekuasaan) senantiasa terlibat. Bahkan semakin
sumber daya lokal. Dalam studi-studi konflik tinggi nilai sumber daya yang diperebutkan
etnik, kebijakan politik etnik negara memperluas dan kondisinya terbatas, maka konflik sosial
batas-batas sosial budaya identitas suatu kelompok yang terjadi akan semakin intensif dan keras
etnik, khususnya etnik yang dianggap kelompok (Kusnadi dan Burhanuddin, 1997). Dalam situasi

128 | Aspirasi Vol. 6 No. 2, Desember 2015


demikian, dampak konflik secara psikologis etnik kelompoknya secara ketat. Interaksi sosial
sangat mencekam masyarakat dan secara sosial- di Kota Surabaya lebih terbuka dan saling dapat
ekonomi memberatkan masa depan kehidupan memahami. Perbedaan budaya antara satu kelompok
mereka yang terlibat konflik. Upaya untuk meretas dengan kelompok etnik lainnya terwujud atau
jalan menuju perdamaian abadi juga sangat sulit dapat ditemukan antara lain dalam bentuk sistem
karena membutuhkan kesabaran, keseriusan, dan nilai budaya (cultural value system) dan orientasi
pengorbanan yang besar. nilai budaya (cultural value orientation). Perbedaan
Oleh karena itu, bagaimanapun perlu ini menjadi nyata pada saat sistem nilai budaya dan
dilakukan upaya untuk meminimalisasi timbulnya orientasi nilai budaya tersebut terjelma ke dalam
konflik-konflik sosial yang berbasis etnisitas, sikap, mentalitas, perilaku dan perbuatan individu
dengan jalan merumuskan kebijakan pembangunan atau masyarakat sebagai warga dari kelompok etnik
dan pembuatan regulasi daerah yang bersifat tempat mereka menjadi anggotanya. Persoalannya
transparan, demokratis, berorientasi kerakyatan, adalah bahwa dewasa ini hubungan positif bagi
dan berdimensi keadilan sosial. Sementara berlakunya kepercayaan yang lebih luas mulai
itu, pada tataran sosial, dengan berbagai cara, memudar, karena setelah terbentuk kelompok
penguatan kapasitas masyarakat harus dilakukan “kita” dan kelompok “mereka” cenderung terjadi
dengan membangun fondasi kesadaran struktural- permusuhan dan memperkecil perdamaian sosial
kultural bernegara dan berbangsa agar memiliki Pada akhirnya, interaksi sosial di dalam
kemampuan dalam berdikusi dengan elite daerah kehidupan bermasyarakat di Kota Surabaya
untuk memberi arah pada kebijakan pembangunan memperlihatkan bahwa setiap aktor yang berinteraksi
daerah yang memihak kepentingan masyarakat memberikan pengakuan kepada kelompok-kelompok
luas. Otonomi daerah harus ditafsirkan sebagai etnik dan agama lainnya dengan memposisikan
otonomi masyarakat untuk membangun daerahnya, dirinya ke dalam sebuah kehidupan bersama
bukan otonomi pemerintah daerah, karena esensi yang memiliki kesanggupan untuk memelihara
pemerintah daerah hanya sebagai alat pembangunan identitas kelompoknya. Disamping itu, juga mampu
daerah. Di tengah-tengah karakter rezim otonomi berinteraksi dalam ruang bersama yang ditandai oleh
daerah yang masih belum beradab, jalan untuk kesediaan untuk menerima kelompok-kelompok lain
membangun fondasi kesadaran struktural-kultural yang berbeda basis identitasnya untuk menemukan
di atas masih sangat panjang. Perjuangan memang kebutuhan bersama bagi sebuah integrasi.
tidak pernah selesai.

Penutup
Kota adalah melting pot atau panci pelebur
dimana orang dari berbagai macam etnis dan
agama melebur menjadi satu, antara keturunan
Eropa, Cina, Arab dan Etnis Indonesia, seperti
Melayu, Jawa, Madura, Ambon, Minangkabau,
dan sebagainya. Jika terjadi konflik, karakteristik
kelompok-kelompok yang berkonflik dapat
dibedakan dalam dua hal, yaitu (1) kejelasan batas-
batas antara kelompok-kelompok yang berkonflik,
dan (2) derajat pengorganisasian masing-
masing kelompok. Batas-batas kelompok yang
berkonflik erat kaitannya dengan pola interaksi
dan komunikasi yang dikembangkan dari dua
belah pihak, kehidupan anggota setiap kelompok
yang banyak dipengaruhi oleh komitmen anggota
kelompoknya. Oleh karena itu, konflik sosial selalu
melibatkan banyak pihak, maka analisis terhadap
suatu konflik juga tidak terlepas dari keseluruhan
hubungan antara kelompok-kelompok yang
berkonflik
Budaya masyarakat dan agama yang berbeda
cenderung akan berbenturan apabila masing-
masing kelompok etnik mempertahankan batas

Ujianto Singgih, Etnisitas dan Agama di Kota Surabaya | 129


DAFTAR PUSTAKA Lijpart, Arend. 1977. Democracy in Plural Societies, a
Comparative Exploration. Yale University Press.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi
AntarBudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Buku
Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik. Yogyakarta:
Abdilah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan
LKIS.
Tanda Tanpa Identitas. Magelang: Indonesatera.
Montagu, Ashley. 1988. The Cultured Man. New York:
Ahfud, Choirul. 2010. Pendidikan Multikultural.
Permabooks.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prayitno, Ujianto Singgih. 2011, Landasan Sosiologi
Anwar, M. Syafi’i. 2006. “Islam dan Tantangan Pluralisme
dalam Perancangan Peraturan Perundang-
di Indonesia.” Makalah. Semarang: IAIN Walisongo.
Undangan, Jakarta: P3DI Setjen DPR RI.
Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani:
Ritzer, George, Douglas J. Goodman. 2004. Sociological
Gagasan, Fakta, dan Tantangan. Cetakan I.
Theory. New York: McGraw-Hill.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Rogers, Mary F. (ed). 1996. Multicultural Experience,
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies: Theory and
Multicultural Theories. New York: McGraw-Hill.
Practice. London: Sage Publications Ltd.
Shihab, Alwi, 1997. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka
Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Wetu Telu versus
dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Waktu Lima.Yogyakarta: LKIS.
Soeprapto, Ryadi. 2000. Interaksionisme Simbolik,
Chris Mitchell. 1981. The Structure of International
Perspektiof Sosiologi Modern. Malang: Averroes
Conflict. London: Macmillan.
Press dan Pustaka Pelajar.
Coward, Harold. 1996. Pluralisme: Tantangan bagi Agama-
Sofyan, Muhammad. 1999. Agama dan Kekerasan
Agama. terj. Tim Kanisius. Yogyakarta: Kanisius.
dalam Bingkai Reformasi. Yogyakarta: Penerbit
Dean, Tjosvold. 1982. The Conflict Positive Organization: Media Pressindo.
Stimulate Diversity and Create Unity. Addison
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi, Jakarta:
Wesley.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Fenton, Steve. 1999. Ethnicity: Racism, Class, and Indonesia.
Culture, Lanham. Boulde. New York: Rowman &
Suparlan, Parsudi. 2008. Dari Masyarakat Majemuk
Littlefield Publishers, INC.
menuju Masyarakat Multikultural, Jakarta: Yayasan
Fisher, et.al. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council.
Tajib, H. Abdullah. 1995. Sejarah Bima Dana Mbojo.
Giddens, Anthony. 1994. Beyond Left and Right: The Jakarta: PT Harapan Masa PGRI.
Future of Radical Politics. Cambridge: Polity Press.
Week, J. 1990. The Value of Difference, dalam J.
Gurr, T. Robert. 1996. Minorities at Risk, Global View of Rutherford (ed.) Identity: Community, Culture,
Ethnopolitical Conflict. United State of Peace Press. Difference. London: Lawrence & Wishart.
Hall, S. 1992. The Question of Cultural Identity. Zakaria, Fathurrahman. 1998. Mozaik Budaya Orang
Cambridge: Polity Press. Mataram. Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidi.
Hall, S. 1996. New Etnicities, dalam D Morley and D.K.
Chen (ed.). Stuart Hall. London: Routledge. Dokumen
Heynes, Jeff. 2000. Demokrasi dan Masyarakat Sipil Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang
di Dunia Ketiga: Gerakan Politik Baru Kaum Kebudayaan, Biro Perancangan Undang-undang
Terpinggir. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia (PUU) Bidang Polhukam Kesra Sekretariat Jenderal
DPR RI Tahun 2009.

130 | Aspirasi Vol. 6 No. 2, Desember 2015

You might also like