Professional Documents
Culture Documents
id
https://journal.unwira.ac.id/index.php/ARTEKS
Research paper doi: https://doi.org/10.30822/arteks.v3i2.68
Copyright ©2019 Sidhi Pramudito, Antonius Lanang Tegar W. P., David Jeffry Nasir. This is an open access article
distributed the Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License
149
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume. 3, Nomor 2, Juni 2019
eISSN 2541-1217; pSSN 2541-0598
150
Sidhi Pramudito, Antonius Lanang Tegar W. P., David Jeffry Nasir:
Studi model rancangan hunian vertikal berdasarkan bentuk interaksi warga di bantaran sungai Winongo Yogyakarta
efisiensi ruang, dan memanfaatkan ruang udara cara hidup bertetangga, merupakan nilai-nilai
untuk menampung kegiatan kota. Kawasan hidup yang khas (Antariksa 1985).
perumahan yang lebih kompak (compact city) Keberagaman ini mengandung nilai-nilai
merupakan tuntutan perumahan di perkotaan sosial yang positif. Nilai-nilai tersebut baik
dengan pelbagai persoalannya, menuntut apabila dijadikan pertimbangan dalam
perubahan perilaku masyarakat kota, yang lebih perencanaan dan perancangan rumah susun,
simple dan efisien (Sabaruddin 2018). sehingga masyarakat dapat memiliki rasa yang
Salah satu model hunian vertikal yang sama dengan apa yang dirasakan sebelumnya.
dikembangkan oleh pemerintah adalah rumah Pertimbangan akan nilai-nilai sosial tentunya
susun. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan akan membawa dampak positif bagi pengadaan
Umum Nomor: 05/PRT/M/2007, definisi rumah rumah susun di Indonesia. Tidak hanya dari aspek
susun adalah bangunan gedung bertingkat yang pemenuhan kebutuhan fisik saja, namun aspek
dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi non fisik juga akan terwadahi.
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal Bentuk interaksi di kampung
dan merupakan satuan-satuan yang masing- Interaksi sosial merupakan hubungan-
masing dapat dimiliki dan digunakan secara hubungan yang dinamis menyangkut hubungan
terpisah, yang berfungsi untuk tempat hunian, antar orang, antar kelompok, maupun antar
yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda individu dengan kelompok manusia (Yuliastuti
bersama dan tanah Bersama (Menteri Pekerjaan and Tanjung 2011). Dalam lingkungan kampung
Umum Republik Indonesia 2007). interaksi sosial dapat terjadi di mana saja, baik di
Dengan dipromosikan rumah susun di ruang-ruang formal maupun ruang informal.
Indonesia, maka model permukiman lama yang Namun realitanya, melalui ruang-ruang informal
semula horizontal dan beragam berubah secara selalu mendominasi kegiatan interkasi warga.
drastis menjadi model permukiman yang baru, Kecenderungan lain dimana aktivitas interkasi
vertikal, seragam, dan formal (Antariksa 1985). yang terjadi cukup sering adalah pada bagian
Penerapan relokasi warga sampai saat ini masih yang strategis, nyaman secara visual dan fisik,
menjadi suatu permasalahan tersendiri. Relokasi serta adanya elemen penunjang seperti warung,
yang terjadi mungkin masih jauh dari kondisi dan keberagaman aktivitas yang ada pada titik
yang ideal. Relokasi yang ideal disini dapat tersebut.
merujuk pada empat hal yaitu: (1) pemilihan Bentuk interaksi antar warga di ruang
lokasi harus melibatkan penduduk setempat (yang informal kampung sering terjadi di jalan
direlokasi); (2) lokasi baru yang diberikan lingkungan bahkan di gang-gang antar rumah,
haruslah mempunyai kesamaan ekologis dengan berupa aktivitas tegur sapa, mengobrol, jual beli,
tempat yang lama; (3) penyusunan rancangan bermain, arisan, dan gotong royong. Aktivitas-
permukiman haruslah melibatkan warga yang aktivitas tersebut merupakan bentuk interaksi
akan direlokasi; (4) permukiman atau lokasi baru sosial tanpa perencanaan yang cenderung terjadi
harus sudah memiliki sarana dan prasarana fisik terus-menerus dan alamiah di dalam kampung.
dan sosial sebelum penduduk diminta pindah ke Melalui aktivitas tersebut, ikatan sosial antar
lokasi (Forbes Davidson 1993), (Wasesa 2011). warga menjadi kuat dan terbentuk. Interaksi sosial
Secara teknis dan arsitektural, bentuk dan yang tercipta dari aktivitas yang dilakukan
desain rumah susun bagaimanapun bukan masyarakat merupakan hal yang positif dan
menjadi masalah, namun di balik itu sebenarnya memberikan kekhasan pada lingkungan
terdapat permasalahan terkait aspek sosial, permukiman kampung. Kekerabatan yang kuat
ekonomi, dan budaya. Hal tersebut disebabkan dan adanya toleransi menjadi salah satu aspek
karena ada beberapa nilai dan rasa yang hilang yang membuat aktivitas masyarakat di
ketika warga yang terbiasa tinggal pada model lingkungan kampung dapat berjalan dengan baik.
hunian horizontal yang seolah-olah ‘dipaksa’ Pembangunan model hunian vertikal
pindah ke model hunian vertikal. Pada model hendaknya memperhatikan beberapa aspek
hunian horizontal selain aspek hunian secara tersebut, sehingga tercipta sebuah tata lingkungan
fungsional terdapat nilai-nilai sosio-kultural yang binaan yang harmonis dengan kondisi
menjadi karakteristik masyarakat yang tinggal di sebelumnya. Bentuk interaksi warga menjadi
sana. Kebiasaan sehari-hari, cara hidup sehari- penting untuk diadopsi agar nantinya model
hari, cara berinteraksi, cara berkomunikasi, dan hunian vertikal dapat selaras dengan kebiasaan
151
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume. 3, Nomor 2, Juni 2019
eISSN 2541-1217; pSSN 2541-0598
152
Sidhi Pramudito, Antonius Lanang Tegar W. P., David Jeffry Nasir:
Studi model rancangan hunian vertikal berdasarkan bentuk interaksi warga di bantaran sungai Winongo Yogyakarta
(FKWA) sebagai jembatan antara masyarakat dan Tabel 1. Bentuk interaksi warga di kampung
pemerintah menggalakkan program hunian M3K Gampingan
(mundur, munggah, madhep kali) serta No Dokumentasi X1
Kementrian PUPR dengan program Kotaku (Kota
Tanpa Kumuh) dengan programnya 100-0-100
Pemanfaatan ruang
(100% akses air bersih, 0% permukiman kumuh, antar rumah
100% sanitasi yang baik) (Kementerian PUPR (gang/jalan
2015). kampung). Area
1 tersebut digunakan
sebagai area untuk
Pemanfaatan ruang di bantaran sungai bekerja (menyiapkan
Winongo barang dagangan) dan
Sebagai karakterisitk permukiman kampung, momong anak.
maka bentuk interaksi antar warga di kampung
Gampingan masing terasa sangat kuat. Hal itu
dapat terjadi di ruang mana saja, meskipun ruang
yang tersedia hanyalah berupa gang kecil. Bentuk Ruang antar rumah
(gang/jalan kampung)
interaksi warga juga terjadi di daerah bantaran juga digunakan
sungai. Beberapa kelompok warga sengaja sebagai area untuk
mendesain interaksi dengan menggunakan daerah 2 kegiatan bermain
bantaran sungai. Sebagai contoh adalah kegiatan anak, seperti berlari,
duduk di undakan,
latihan seni-budaya sanggar Kridho Budaya yang
bercanda, bermain
memanfaatkan daerah bantaran sungai dan smartphone.
kegiatan budaya Memetri Kali Winongo.
Warga juga
melakukan kegiatan
interaksi baik di area
3 sekitar sungai Bentuk
interaksi yang terjadi
adalah bermain,
memancing.
Balai warga
sederhana. Kegiatan
yang terjadi adalah
belajar bagi anak,
Gambar 3. Kegiatan latihan tari di bantaran sungai berbincang antar
Winongo, Gampingan orang tua. Selain itu,
4 kegiatan pentas seni
juga sering dilakukan
Bentuk interaksi warga di kampung dengan
Gampingan memanfaatkan ruang
Secara spasial, koridor/jalan kampung kampung yang
memiliki dimensi
menjadi salah satu ruang yang mengakomodasi lebih luas.
kegiatan interaksi masyarakat yang paling Kegiatan lain yang
terlihat. Tidak memandang dari seberapa luas terjadi adalah
ruang yang ada, masyarakat tetap berinteraksi 5
bersantai, seperti
dengan nyaman pada ruang tersebut. Bentuk melakukan jemur
matahari, melakukan
interaksi warga yang biasa terjadi di kampung hobi.
Gampingan adalah sebagai berikut:
Berdasarkan tabel di atas, maka ditemukan
kategori bentuk dan ruang interaksi warga di
kampung Gampingan sebagai berikut: (1) Ruang
antar rumah/koridor jalan kampung: terjadi
153
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume. 3, Nomor 2, Juni 2019
eISSN 2541-1217; pSSN 2541-0598
154
Sidhi Pramudito, Antonius Lanang Tegar W. P., David Jeffry Nasir:
Studi model rancangan hunian vertikal berdasarkan bentuk interaksi warga di bantaran sungai Winongo Yogyakarta
untuk mengakomodasi warga yang berusia lanjut terdapat ruang interaksi berupa ruang sosial
sehingga tidak perlu menaiki tangga untuk masuk sekaligus menjadi ruang parkir yang berada tepat
ke ruang hunian. Oleh karena itu, pada modul ini di depan 3 ruang komersial. Zona pelayanan
tidak terdapat tangga dan untuk mengakses antai berupa kamar mandi dan ruang cuci yang
2 melalui modul lainnya. Hampir sama dengan bersebelahan dengan taman mini. Berbeda dengan
Modul A, zona umum terdiri dari ruang parkir dan 2 modul sebelumnya, taman diletakkan sederet
ruang sosial dengan taman mini di tengah untuk dengan ruang komersial agar pada ruang
duduk sambil berbincang-bincang, sedangkan sosial/parkir lebih lega. Pada lantai 2 terdiri dari
zona pelayanan berupa kamar mandi dan tempat zona pribadi berupa 2 ruang hunian yang
cuci komunal yang terletak di tengah-tengah. dihubungkan dengan teras bersama. Pada bagian
teras terdapat void untuk pohon. Bagian depan
ruang hunian terdapat selasar sebagai zona umum
dan sirkulasi untuk menghubungkan antar modul.
Modul ketiga (modul C), lantai 1 pada modul Gambar 9. Zonasi pada lantai 2 dan bentuk massa di
ini lebih didominasi oleh zona umum dimana modul C
155
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume. 3, Nomor 2, Juni 2019
eISSN 2541-1217; pSSN 2541-0598
156
Sidhi Pramudito, Antonius Lanang Tegar W. P., David Jeffry Nasir:
Studi model rancangan hunian vertikal berdasarkan bentuk interaksi warga di bantaran sungai Winongo Yogyakarta
Gambar 13. Suasana jalan inspeksi di depan hunian Gambar 15. Suasana ruang sosial di lantai 1 modul A
Area kedua yakni area lantai 1 dari modul C Area terakhir berada di bagian bawah dari
yang digabungkan sehingga menjadi suatu selasar modul D. Area ini merupakan fasilitas sosial
yang memanjang. Bentuk interaksi seperti pada untuk kampung yakni balai pertemuan
gang-gang kampung dapat diakomodasi di ruang multifungsi dan taman. Bentuk interaksi yang
tersebut. Adanya ruang-ruang komersial juga dapat diwadahi di sini sangat beragam baik formal
semakin mendukung bentuk interaksi yang maupun nonformal. Kegiatan seperti rapat
tercipta. RT/RW, perkumpulan ibu-ibu PKK, Karang
Taruna, hingga hanya sekadar bersantai dapat
diwadahi. Area ini juga didukung dengan adanya
MCK komunal.
157
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume. 3, Nomor 2, Juni 2019
eISSN 2541-1217; pSSN 2541-0598
158
Sidhi Pramudito, Antonius Lanang Tegar W. P., David Jeffry Nasir:
Studi model rancangan hunian vertikal berdasarkan bentuk interaksi warga di bantaran sungai Winongo Yogyakarta
Area terakhir berada di lantai atas modul D. yang terjadi pada kampung kota di Yogyakarta
Area ini difungsikan sebagai fasilitas sosial untuk dalam ranah akademis. Hasil rancangan tersebut
kegiatan PAUD dengan adanya ruang kelas semi khususnya ditujukan bagi masyarakat menengah
terbuka dan ruang bermain. Area ini juga ke bawah dengan merespon kompleksitas
diharapkan berada di antara ruang hunian dan permasalahan kampung, khususnya bentuk
fasilitas sosial lainnya seperti modul B, sehingga interaksi warga yang dapat mencirikan kampung
masih dapat terintegrasi secara zona dan dapat itu sendiri. Beberapa hal yang menjadi fokus
dengan mudah diakses oleh warga. dalam studi ini yang coba diterapkan adalah: (1)
menempatkan masyarakat dan bentuk interaksi
warga kampung sebagai bagian dari studi
perancangan; (2) mengangkat keberagaman
kondisi kampung sebagai salah satu isu utama
perancangan; (3) menciptakan tata ruang dengan
mengaitkan pada kearifan lokal yang ada seperti
aspek fisik, ekonomi, sosial, dan budaya
bermukim dalam kampung, sehingga mampu
menghadirkan memori tempat/eksistensi
kampung terdahulu.
Hasil penelitian tentang model hunian vertikal
berbasis bentuk interaksi warga di Kampung
Gampingan ini diharapkan mampu memberi
gambaran kepada pembaca maupun pemangku
kepentingan serta peneliti selanjutnya. Sebagai
saran untuk tindak lanjut dari penelitian ini
adalah: (1) perlu dilakukan studi atau pemetaan
lebih rinci mengenai jumlah KK yang terdampak
sehingga kapasitas hunian vertikal menjadi lebih
jelas; (2) FGD lanjutan kepada warga melalui
hasil penelitian ini agar menemukan rancangan
yang lebih spesifik; (3) FGD kepada pemangku
kepentingan (Kementrian PUPR, Bappeda Kota
Yogyakarta, FKWA) sehingga hasil penelitian ini
dapat disesuaikan dan saling bersinergi dalam
melakukan penataan kawasan bantaran Sungai
Gambar 20. Suasana fasilitas PAUD dan ruang
Winongo.
bermain di lantai 2
159
ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume. 3, Nomor 2, Juni 2019
eISSN 2541-1217; pSSN 2541-0598
160