You are on page 1of 11

The Reality of the Dilemma Between Bureaucratic Politics and Bureaucratic

Neutrality in Indonesia

Realitas Dilema Antara Politik Birokrasi Dan Netralitas Birokrasi Di


Indonesia

Dwi Retno Ayu Novianti


Prodi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Alamat : Jl. Dharmawangsa Dalam, Airlangga, Kec. Gubeng, Kota SBY, Jawa Timur 60286
Email : dwi.retno.ayu-2019@fisip.unair.ac.id

Abstract
Bureaucratic restructuring or what is generally known as bureaucratic reform is a
strategic way to build government to be more empowered and effective as a driver for the
realization of good governance. However, along with the development of the
bureaucracy, it still shows the strong political influence in the government bureaucracy,
especially in the regions. Problems such as cases of transfer and dismissal of positions
(non-jobs) without rational reasons at least show the strong political influence in the local
bureaucracy. In this case, I want to examine the causal factors behind the politicization of
the bureaucracy in local government and analyze which is more dominant in politics
affecting the performance of the bureaucracy or bureaucracy that influences politics in
policy making. This study uses a qualitative approach and uses a literature study
technique by finding all the information needed by researchers related to bureaucratic
politics in local government. In fact, the bureaucracy in Indonesia still cannot be
separated from the political influence where many factors are behind the occurrence of
politicization in Indonesia. namely the factors of the ruling actor, opportunity, shared
awareness, to the lack of firmness of the staffing officer in their performance. Even so, it
should be realized that government organizations are tools to achieve certain goals in a
country that carry out public interests. Organizations need a normatively regulated
structure. every employee or official of the government bureaucracy is a trigger and
mover of a tool that has no personal interest. In this regard, every government official has
no public responsibility except in the areas of duties and responsibilities assigned to them.
As long as the duties and responsibilities as a tool can be carried out in accordance with
the established processes and procedures, the accountability of government bureaucratic
officials has been realized.

Keywords : Political; Organization; Bureaucracy; Government.

Abstrak
Penataan birokrasi atau yang secara umum dikenal sebagai reformasi birokrasi adalah
cara strategis untuk membangun pemerintahan agar lebih berdaya dan berhasil guna
sebagai pendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik. Tetapi seiring dengan
perjalanan perkembangan birokrasi tersebut masih memperlihatkan kuatnya pengaruh
politik dalam birokrasi pemerintahan, khususnya di daerah. Permasalahan seperti kasus
mutasi dan pemberhentian jabatan (non job) tanpa alasan yang rasional setidak-tidaknya
memperlihatkan kuatnya pengaruh politik dalam birokrasi lokal. Dalam hal tersebut ingin
menelaah faktor penyebab yang menelatarbelakangi terjadinya politisasi birokrasi di
pemerintahan daerah dan menganalisis yang lebih dominan politik mempengaruhi kinerja
birokrasi atau birokrasi yang mempengaruhi politik dalam membuat kebijakan. Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik studi literatur dengan
cara mencari segala informasi yang dibutuhkan peneliti terkait dengan politik birokrasi di
pemerintahan daerah. Secara nyata birokrasi di Indonesia masih tidak dapat terlepas
dengan adanya pengaruh politik dimana banyak faktor yang menelatarbelakangi
terjadinya politisasi di Indonesia. yaitu faktor aktor penguasa, kesempatan, kesadaran
bersama, hingga tidak tegasnya pejabat pembina kepegawaian dalam kinerjanya.
Meskipun begitu, perlu disadari bahwa Organisasi pemerintah merupakan alat untuk
mencapai tujuan tertentu dalam suatu negara yang melaksanakan kepentingan umum.
organisasi memerlukan struktur yang diatur secara normatif. setiap pegawai atau pejabat
birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari suatu alat yang tidak
mempunyai kepentingan pribadi. Terkait dengan hal tersebut, maka setiap pejabat
pemerintah tidak mempunyai tanggungjawab publik kecuali pada bidang tugas dan
tanggungjawab yang dibebankan pada mereka. Sepanjang tugas dan tanggungjawab
sebagai alat tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan proses dan tatacara yang telah
ditetapkan , maka akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan.

Kata Kunci : Politik; Organisasi; Birokrasi; Pemerintah.

Pendahuluan
indonesia dikenal sebagai negara hukum, dibuktikan dengan banyaknya peraturan
dan kebijakan yang tercipta di Negara Indonesia. banyaknya kebijakan di
Indonesia diakibatkan karena jumlah penduduk yang berkembang secara masif
dan zaman yang semakin dinamis. Maka dari itu peran dari kinerja birokrasi
pemerintahan dalam membuat kebijakan sangatlah diperlukan untuk menentukan
kualitas dari kebijakan itu sendiri. Birokrasi adalah salah satu bentuk dari
organisasi, yaitu diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando
dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak orang berada ditingkat bawah
daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya sipil maupun
militer.

Pemerintahan sendiri adalah pengimplementasian kekuasaan dan otoritas, oleh


karena itu pemerintahan erat dengan pembentukan elit, ideologi, ketidaksamaan
sosial dan ekonomi. Melaksanakan pemerintahan sama hal nya menjalankan
kekuasaan yang disahkan atau legitimate, yaitu kekuasaan yang dibenarkan dan
diterima oleh para hamba kekuasaan itu sebagai kekuasaan yang tepat dan cocok.
Kekuasaan dapat diartikan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak
pemegang kekuasaan (Somoye, 2016). Dapat juga diartikan sebagai suatu
kemampuan atau kekuatan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak
pemegang kekuasaan tersebut. Kekuasaan tersebut sering disamakan artinya
dengan kemampuan politik atau politisasi. (Aplikom, 2012)

Penataan birokrasi atau yang secara umum dikenal sebagai reformasi birokrasi
adalah cara strategis untuk membangun pemerintahan agar lebih berdaya dan
berhasil guna sebagai pendorong terwujudnya tata pemerintahan yang baik.
Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya untuk melaksanakan
perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terkait aspek
kelembagaan , tata laksana, dan sumberdaya aparatur. Hal tersebut sangat
mendesak untuk segera dilakukan mengingat banyak sorotan publik atas
kelembagaan yang gemuk, tatalaksana yang tidak jelas, serta kulitas sumberdaya
aparatur yang cenderung rendah tidak profesional. (Daniarsyah, 2015)

Salah satu upaya mendasar tuntutan reformasi birokrasi adalah melakukan


penataan kelembagaan/restrukturisasi dengan konsep otonomi daerah yang
menekankan pada peranan politik lokal. Pola ini merupakan suatu sistem yang
fokus terhadap pengelolaan potensi lokal untuk mendukung pengembangan
potensi nasional yang kemudian dikenal dengan istilah desentralisasi yang diatur
dalam undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang 32 tahun 2004
tentang otonomi daerah (Rakhmawanto, 2017). Harapan dari adanya desentralisasi
dengan otonomi daerah adalah terwujudnya orientasi pada pengembangan potensi
lokal dalam menjalankan pemerintahan daerah.

Sistem pemerintahan di daerah tidak membedakan secara jelas antara jabatan karir
dan jabatan politik. Perkembangan birokrasi lokal masih memperlihatkan kuatnya
pengaruh politik dalam birokrasi pemerintahan di daerah. Seiring dinamika
reformasi yang telah bergulir sejak 17 tahun lamanya dan di tengah hiruk pikuk-
nya praktek perpolitikan yang mewarnai kuatnya peran legislatif yang
terpolarisasi kepada kepentingan pragmatis dan bukan polarisasi ideologis, serta
aktor legislator yang terbatasi dengan otoritas yang dimilikinya, tentunya mencari
jalan untuk mempertahankan dan mengembangankan kekuatan yaitu dengan
menggandeng birokrasi (Daniarsyah, 2015). Karena biroksasi merupakan institusi
yang menjadi personifikasi negara dalam melaksanakan kebijakan publik dengan
makna lain memiliki aspek politik birokrasi.

Permasalahan seperti kasus mutasi dan pemberhentian jabatan (non job) tanpa
alasan yang rasional setidak-tidaknya memperlihatkan kuatnya pengaruh politik
dalam birokrasi lokal. Pejabat birokrasi karier yang seharunya diangkat dan
diberhentikan secara profesional dengan mempertimbangkan sistem karir, ternyata
lebih banyak ditentukan oleh pendekatan politik sesaat. Birokrasi pemerintah yang
seharusnya bersifat apolitis, ternyata masih dijadikan alat politik yang efektif bagi
kepentingan partai dan golongan. Dari fakta tersebut di atas, maka muncul
pertanyaan dalam situasi atau era seperti ini, manakah yang lebih dominan politik
mempengaruhi kinerja birokrasi atau birokrasi yang mempengaruhi politik dalam
membuat kebijakan. Dan dapatkah birokrasi memposisikan dalam netralitas
politik. Maka dari itu perlu dibahas lebih jauh terkait dengan persoalan terjadi
politisasi birokrasi di pemerintahan daerah dan faktor-faktor pendorongnya.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan teknik untuk
memperoleh daya yang diperlukan dengan cara mencari segala informasi yang
dibutuhkan peneliti terkait dengan politik birokrasi di pemerintahan yang secara
fokus membahas di daerah dan faktor yang menyebabkannya melalui media
internet berupa berita ataupun penelitian yang terdahulu yang dikolaborasikan
sedemikian rupa hingga dapat memperoleh inti informasi yang diperlukan atau
secara umum disebut sebagai studi literatur. Dalam penelitian ini ingin menelaah
faktor penyebab yang menelatarbelakangi terjadinya politisasi birokrasi di
pemerintahan daerah dan menganalisis yang lebih dominan politik mempengaruhi
kinerja birokrasi atau birokrasi yang mempengaruhi politik dalam membuat
kebijakan. Dari informasi-informasi yang telah terkumpul tersebut, kemudian
peneliti akan menganalisa dengan berdasarkan pada teori serta konsep yang
peneliti gunakan, sehingga dapat ditarik kesimpulan pada akhir atau hasil dari
kajian ini.

Hasil dan pembahasan


Paradigma politik birokrasi dalam prespektif graham alison yang di ulas oleh
frederickson dalam buku the public administration theory primer menjelaskan
secara umum konsep politik birokrasi yaitu peran administrasi dan birokrasi
dalam proses pembuatan kebijakan publik sekaligus menolak pandangan dikotomi
administrasi dan politik. Kehadiran politik birokrasi beranggapan dari fakta
empiris peran dan perilaku politik dalam birokrasi. Seorang filsuf jerman bernama
george wilhelm fredrich Hegel berpendapat bahwa birokrasi adalah jembatan yang
menghubungkan antara negara dengan masyarakat. hal ini dapat di intepretasikan
jika dalam birokrasi konteksnya perlu menciptakan struktur yang dapat
menghubungkan antara negara yang merefleksikan kepentingan umum, dengan
civil society yang terdiri atas berbagai kepentingan khusus dalam masyarakat
(Rakhmawanto, 2017). filsuf tersebut memandang bahwa birokrasi berada antara
pemerintah dengan masyarakat, artinya birokrasi adalah mediator yang
menjembatani kedua kepentingan general pemerintah dan partikel kekuatan partai
politik dalam masyarakat. Makna dari birokrasi yang di intepretasikan oleh
fredrich hegel adalah ditekankan bahwa birokrasi harusnya dapat bersifat netral
atau jauh dari kekuatan-kekuatan atau nilai yang dapat memberat sisihkan antara
kedua belah pihak, termasuk partai politik.

Prespektif hegelian birokrasi dari sudut pengembangan kekuatan politik dalam


birokrasi pemerintahan yang demokratis menilai bahwa, pelayanan kepentingan
umum harus diwujudkan melalui birokrasi, sebab dalam kenyataan kebijakan
negara kerap hanya menguntungkan beberapa kelompok orang saja dalam
masyarakat. Masyarakat adalah sekumpulan yang terdiri atas para profesional dan
pengusaha yang mewakili berbagai kepentingan khusus, sedangkan yang
dimaksud negara atau pemerintahan adalah milik masyarakat yang mewakili
kepentingan umum. Diantara masyarakat dan pemerintah ini ada birokrasi sebagai
penjembatan keduanya yang memungkinkan pesan dari kepentingan khusus
tersebut tersalurkan kepada kepentingan umum.

Sedangkan masyarakat sipil yang digambarkan oleh hegel merupakan sebuah


bentuk masyarakat yang didalamnya bisa memilih hidup apa saja yang mereka
sukai dan memenuhi kebutuhan mereka sejauh mereka mampu. Negara tidak
memaksakan jenis kehidupan tertentu kepada anggota masyarakat seperti yang
terjadi dalama masyarakat feodal karena negara dan masyarakat sipil terpisahkan.
Masyarakat sipil sendiri terdiri dari manusia yang masing-masing berdiri sendiri.
Akibat yang dirasakan adalah mereka tidak mampu untuk mengobjektifkan
kehendak dan kebiasaan mereka cenderung bersifat subjektif partikular, namun
masing-masing pribadi dalam mengejar pemenuhan kebutuhannya saling
berhubungan satu sama lain. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat sipil
bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

Para ahli lain yaitu max weber menilai bahwa aparat adminsitrasi pemerintahan
merupakan unsur penting bagi pertumbuhan dan perkembangan suatu organisasi
pemerintahan. Tipe standar birokrasi menurut weber adalah suatu administrasi
mempunyai bentuk yang absolut, yaitu semua fungsi dilaksanakan dalam cara-
cara yang rasional. Organisasi pemerintah merupakan alat untuk mencapai tujuan
tertentu dalam suatu negara, yang didalam organisasi tersebut pasti ada potensi
perbedaan menyangkut kepribadian, keyakinan, kepentingan, sikap, persepsi, dan
minat dari para anggotanya. Dalam mencapai tujuan tertentu negara tersebut,
organisasi memerlukan struktur yang diatur secara normatif. Hal tersebut
merupakan unsur formal yang menjadi ciri khas dari weber dengan standar type of
bureaucracy. Tipe yang standar adanya pembagian tupoksi pegawai yang diartikan
secara jelas , struktur otoritas impersonal, mempunyai jenjang hirearki,
bergantung pada SOP atau aturan yang formal, mengadopsi sistem merit pada
pegawai, jenjang karir bagi pegawai, pemisahan jarak antara kehidupan anggota
organisasi dengan kepentingan pribadi.

Konsep birokrasi weberian yang selama ini diintepretasikan merupakan sebuah


alat yang disiapkan untuk melaksanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang
menjadi goals. Dengan begitu, setiap pegawai atau pejabat birokrasi pemerintah
merupakan pemicu dan penggerak dari suatu alat yang tidak mempunyai
kepentingan pribadi. Terkait dengan hal tersebut, maka setiap pejabat pemerintah
tidak mempunyai tanggungjawab publik kecuali pada bidang tugas dan
tanggungjawab yang dibebankan pada mereka. Sepanjang tugas dan
tanggungjawab sebagai alat tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan proses dan
tatacara yang telah ditetapkan , maka akuntabiilitas pejabat birokrasi pemerintah
telah diwujudkan. Pemikiran seperti itu membuat birokrasi pemerintah berlaku
sebagai kekuatan yang netral dari pengaruh kepentingan kelas satu atau kelompok
tertentu.

Weberian mengatakan birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik yang


berada diluar atau diatas aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama
lain. Birokrasi pemerintahan diposisikan sebagai kekuatan yang tidak memihak,
namun birokrasi ideal tidak mudah dapat terwujud karena lembaga birokrasi
mengandung kultur atau budaya dan struktur. Struktur menjelaskan susunan dari
suatu tatanan, sedangkan kultur atau budaya tersebut mengandung nilai/values,
sistem dan kebiasaan yang biasa dilakukan oleh para sumber daya manusianya.
Dalam hal ini ungkapan weber tentang birokrasi yang dibentuk independen diluar
kekuatan politik diartikan bahwa birokrasi harus diposisikan sebagai kekuatan
yang netral. Netralitas birokrasi bukanlah suatu anggapan dalam hal untuk
menjalankan kebijakan atau pemerintah dari kekuatan politik , tetapi lebih
diutamakan untuk menjalankan kepentingan umum negara secara menyeluruh.

Sebaliknya bagi Woodrow Wilson politik blok( political block) birokrasi dalam
administrasi publik biasanya dicoba oleh para politisi hasil dari suatu pemilu. Para
birokrat karier dalam kriteria normatif kebijakan buat mengalokasikan tugas
pembuat kebijakan yang dicoba oleh pejabat politik. Dalam pendelegasian
kebijakan dari pejabat politik ke pejabat karier birokrasi hendak menampilkan
bidang kerja birokrasi yang bersinambungan. Keduanya bersama pejabat birokrasi
tetapi memiliki kedudukan berbeda satu sama lain. Perbandingan jabatan birokrasi
secara universal diucap jabatan karier serta non karier dalam wujud serta tatanan
yang memiliki struktur serta kultur. Struktur yang mengetengahkan suatu lapisan
dari sesuatu tatanan birokrasi, sebaliknya kultur yang memiliki nilai( values),
sistem kerutinan yang dicoba oleh para pelakunya bisa mencerminkan pola sikap
dari bermacam SDM- nya

Ikatan antara pejabat politik( political leadership) serta birokrasi yang hendak
menjadikan sesuatu ikatan yang konstan( bersinambung) antara guna kontrol serta
dominasi dalam ikatan semacam ini hingga hendak tetap mencuat perkara, siapa
mengendalikan siapa serta siapa pula yang menguasi, mengetuai serta
mendominasi siapa, perkara ini sesungguhnya ialah perkara klasik selaku
perwujudan dikotomi politik serta administrasi setelah itu mencuat 2 persoalan
ialah apakah birokrasi selaku subordinasi dari politik (executive ascendancy)
ataupun birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation). Executive
ascendancy diturunkan dari sesuatu asumsi kalau kepemimpinan para pejabat
politik itu diperoleh dari mandat ataupun keyakinan warga lewat public interest
buat kepemimpinan politik.
Wilson berpikiran kalau buat meningkatkan kapasitas birokrasi dibutuhkan update
administrasi publik guna tingkatkan profesionalisme birokrasi, ini bisa terwujud
apabila birokrasi lepas dari kepentingan politik. Buat itu dibutuhkan ilmu yang
ditunjukan buat melaksanakan reformasi birokrasi dengan mencetak aparatur
publik yang handal. Ada 2 pokok benak Wilson yang jadi fokus riset ilmu
Administrasi Publik, awal pembedaan antara politik serta administrasi ( dikotomi
politik- administrasi) serta butuh pengembangan struktur serta strategi manajemen
administrasi yang bisa membuat organisasi publik serta manajernya berperan
dengan metode seefisien bisa jadi. Disamping itu Wilson berargumen kalau ada 4
konsep berarti dalam ilmu administrasi negeri, awal terdapatnya pembelahan
antara politik serta administrasi publik, perlunya memikirkan kegiatan pemerintah
dari perspektif bisnis, analisis perbandingan antara organisasi politik serta privat
lewat skema politik serta pencapaian manajemen yang efisien lewat pemberian
pelatihan kepada pegawai negara serta dengan memperhitungkan mutu mereka.

Bagi Woodrow Wilson politik blok (political block) birokrasi dalam administrasi
publik merupakan biasanya dicoba oleh para politisi hasil dari suatu pemilu serta
para birokrat dalam kriteria normatif kebijakan buat mengalokasikan tugas
pembuat kebijakan oleh politisi non birokrat dalam pendelegasian serta
menampilkan bidang kerja birokrasi yang bersinambung kalau keduanya biasanya
bisa berbeda secara universal diucap jabatan karier serta non karier dalam wujud
serta tatanan yang memiliki struktur serta kultur, struktur yang mengetengahkan
suatu lapisan dari sesuatu tatanan serta kultur yang memiliki nilai (values), sistem
kerutinan yang dicoba oleh para pelakunya yang bisa mencerminkan pola sikap
dari bermacam sumberdaya manusianya.

Komentar Wilson diperkuat oleh Frank J. Goodnow dalam bukunnya Politic and
Administration, bagi Goodnow terdapat 2 guna yang berbeda dari pemerintah
(two distinc function of government) ialah politik serta administrasi. Politik bagi
Goodnow tugasnya membuat kebijakan negeri buat penuhi kebutuhan warga.
Sedangkan administrasi merupakan selaku pelaksana kebijakan berbentuk
pelayanan publik kepada warga. Pembelahan kekuasaan membagikan dasar
perbandingan antara politik serta administrasi. Pembelahan antara politik serta
administrasi dimaksudkan supaya birokrasi publik bisa bekerja secara handal
melayani kepentingan universal (public interest) tanpa dibebani isu- isu politik.

Ikatan politik serta administrasi dalam Pemerintahan Wilayah di Indonesia pada


dikala ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah. Ikatan itu tidak lahir dengan
sendirinya, namun dibangun oleh sejarah yang sudah mendahuluinya. Kajian
historis politik serta administrasi bisa menolong menguasai fenomena politisasi
birokrasi yang terjalin pada dikala ini. Tidak hanya itu lewat kajian sejarah kita
hendak memperoleh uraian menimpa patologi birokrasi (bereaucrahcy patology)
yang kerap membayang- bayangi birokrasi publik. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Dwiyanto dkk dalam (Rakhmawanto, 2017), keterkaitan sejarah
jadi bagian berarti buat memandang kemunculan bermacam fenomena serta
persoalan- persoalan yang terjalin dalam badan birokrasi semacam KKN dan tidak
tumbuhnya budaya pelayanan dalam birokrasi di Indonesia.

Hubungan antara birokrasi, politik dan kekuasaan dapat dicermati dari awal
berdirinya negara, mulai dari masa kerajaan , zaman kolonial hingga pasca
kemerdekaan. Tarik menarik politik dan kekuasaan telah berpengaruh bagi
pergeseran fungsi dan peran birokrasi, yang seharusnya melayani dan berpihak
kepada rakyat, justru berkembang menjadi melayani penguasa dengan
keberpihakan pada politik dan kekuasaan, sampai saat ini kuatnya pengaruh
politik dalam birokrasi pemerintahan khususnya di daerah menjadikan semakin
sulitmya alat birokrasi memberikan pelayanan publik yang bersifat profesional.

Beberapa praktek politisasi birokrasi di daerah menjadi gejala nyata dengan


melibatkan birokrasi secara langsung untuk mendukung pimpinannya yang
berasal dari partai politik dalam meperoleh ataupun mempertahankan kekuasaan
di lembaga eksekutif daerah. Pada pelaksanaan pemilu sering terjadi mobilisasi,
penggunaan sarana, dan pemakaian atribut yang dilakukan oleh pejabat politik
untuk berafiliasi kepada partai politik tertentu. Untuk kejadian pemilu kepala
daerah sering terjadi keterlibatan birokrasi dalam konteks aparatur sipil negara
yang secara langsung di mobilisasi untuk menjadi pendukung pasangan calon
kepala daerah guna mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di lembaga
eksekutif daerah, hingga saat ini belum ditemukan upaya atau strategi untuk
mengetahu apakah ASN bisa benar-benar netral kepada partai politik atau tidak.

Kasus lain yang dapat dijadikan beberapa contoh pada prakteknya sering
ditemukan pegawai atau birokrasi yang tidak netral seperti pergantian pejabat
eselon I dan II yang mempunyai afiliasi atau mencarai afiliasi politik kepada
menteri. Dalam penganggaran disisipkan kegiatan yang membawa misi dari
parpol dimana menteri tersebut bernaung. Didaerah lebih terlihat lagi, dimana
pegawai yang sudah lama bekerja dengan incumbent berusaha mendukung
walaupun tidak secara terang-terangan kepada pejabat incumbent agar dapat
mendapatkan jabatan.

Hal-hal yang telah dijelaskan diatas tidak akan terjadi apablia tidak memiliki
akses kedalah institusi suatu pemerintahan daerah. Mereka yang lebih leluasa
memiliki akses luas untuk menanamkan pengaruh kuat dalam pemerintahan
daerah tidak dapat dipungkiri adalah penguasa yang sedang memegang tampuk
pemerintahan daerah (incumbent). Kepala daerah incumbent yang biasanya
memiliki peluang besar untuk menduduki kembali jabatanya memiliki
kecenderungan menarik lingkaran birokrasi dengan strategi memobilisasi sumber
daya manusia ASN secara akut demi kemenangan periode jabatan berikutnya.
Disisi lain pejabat politik incumbent juga memiliki kemampuan untuk mensuplai
bagi jajaran birokrasi dari bawah hinggat atas untuk mempertahankan
kekuasaanya.

Berbagai pandangan muncul dalam menaggapi permsalahan ini, mulai dari


masyarakat, parpol, administrator pemerintah dan para akademisi. Ada yang
menyatakan pro dan ada yang menyatakan kontra dengan hal tersebut. Mereka
yang setuju beranggapan bahwa tidak disangkal memang administrasi bagian dari
politik, sehingga tidak rasional membatasi/memisahkan peran politik dan
administrasi dalam birokrasi pemerintahan. Tetapi mereka yang tidak setuju
beranggapan bahwa peran politik dan administrasi dalam suatu birokrasi
pemerintahan berbeda satu sama lain dan harus dipisahkan. Peran politik sebagai
pembuat kebiajakan, sedangkan peran administrasi sebagai pelaksana kebijakan
tersebut. Dalam kasus pemerintahan daerah yang terjadi bahwa pejabat politik
memasuki ranah administrasi, sehingga pejabat karis dalam melaksanakan
kebijakan tidak dapat netral yang harus mengikuti pola partai politik pemenang
pemilu.

Praktek dikotomi politik dan administrasi di pemerintah daerah yang jelas telah
menimbulkan tumpang tindih antara kedua peran tersebut, disisi lain sebagai aktor
politik dan sisi lain sebagai pelayan masyarakat . hal tersebut menyebabkan
terjadinya conflict of interest dalam birokrasi pemerintahan di daerah yang telah
merusak kinerja birokrasi serta kehidupan politik di daerah (Rakhmawanto, 2017).
Tidak jelasnya peran politik dan administrasi juga menciptakan politisasi birokrasi
yang menimbulkan dilema dalam tatanan Pemerintahan Daerah. Politisasi
birokrasi mengakibatkan tidak adanya batasan yang jelas antara domain politik
yang menjadi tugas pejabat politik dan domain administrasi yang menjadi tugas
pejabat karier. Dikotomi politik dan administrasi ini telah menyebabkan loyalitas
pejabat karier birokrasi ditanamkan secara ganda, satu sisi harus loyal kepada
pemerintah sebagai pelayan masyarakat dan di sisi lain harus loyal kepada
pimpinanya yang punya afiliasi pada partai politik. Dalam hal ini juga berkaitan
dengan pembinaan aparatur birokrasi pns yang harus benar-benar tegas dan
profesional dalam menangani kasus seperti ini agar birokrasi pemerintah dapat
berjalan dengan sehat.

Kesimpulan
birokrasi adalah jembatan yang menghubungkan antara negara dengan
masyarakat. hal ini dapat di intepretasikan jika dalam birokrasi konteksnya perlu
menciptakan struktur yang dapat menghubungkan antara negara yang
merefleksikan kepentingan umum, dengan civil society yang terdiri atas berbagai
kepentingan khusus dalam masyarakat. dalam artian lain birokrasi adalah suatu
administrasi yang mempunyai bentuk yang absolut, yaitu semua fungsi
dilaksanakan dalam cara-cara yang rasional. Organisasi pemerintah merupakan
alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam suatu negara, yang didalam organisasi
tersebut pasti ada potensi perbedaan menyangkut kepribadian, keyakinan,
kepentingan, sikap, persepsi, dan minat dari para anggotanya. Dalam mencapai
tujuan tertentu negara tersebut, organisasi memerlukan struktur yang diatur secara
normatif. setiap pegawai atau pejabat birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan
penggerak dari suatu alat yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Terkait
dengan hal tersebut, maka setiap pejabat pemerintah tidak mempunyai
tanggungjawab publik kecuali pada bidang tugas dan tanggungjawab yang
dibebankan pada mereka. Sepanjang tugas dan tanggungjawab sebagai alat
tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan proses dan tatacara yang telah
ditetapkan , maka akuntabiilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan.
Pemikiran seperti itu membuat birokrasi pemerintah berlaku sebagai kekuatan
yang netral dari pengaruh kepentingan kelas satu atau kelompok tertentu. birokrasi
dibentuk independen dari kekuatan politik yang berada diluar atau diatas aktor-
aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintahan
diposisikan sebagai kekuatan yang tidak memihak, namun birokrasi ideal tidak
mudah dapat terwujud karena lembaga birokrasi mengandung kultur atau budaya
dan struktur.

Ada beberapa hal yang mendorong terjadinya politik birokrasi di Indonesia, yaitu
memiliki akses yang luas kedalam institusi suatu pemerintahan daerah, penguasa
yang sedang memegang tampuk pemerintahan daerah (incumbent) menanamkan
pengaruh kuat dalam pemerintahan daerah, seorang penguasa yang memiliki
peluang besar untuk menduduki kembali jabatanya dan memiliki kecenderungan
menarik lingkaran birokrasi dengan strategi memobilisasi sumber daya manusia
khususnya ASN, seseorang yang memiliki kemampuan untuk mensuplai bagi
jajaran birokrasi dari bawah hinggat atas untuk mempertahankan kekuasaanya,
ada kepentingan beberapa kelompok tertentu, pejabat pembina kepegawaian yang
terkadang dalam melaksanakan kinerjanya kurang menunjukan ketegasan dan
keprofesionalan, adanya pihak yang setuju/pro terhadap politik birokrasi itu
sendiri.

Daftar Pustaka

Aplikom, J. M. (2012). Peran Birokrasi Bagi Suatu Organisasi Pendahuluan.


Jurnal Media Aplikom, 2(2), 157–165.
Daniarsyah, D. (2015). Bureaucratic Political And Neutrality Of Bureaucracy In
Indonesia. Jurnal Ilmu Politik Dan Komunikasi, V(2), 85–94.
Rakhmawanto, A. (2017). Perspektif Politisasi Birokrasi Dan Peran Pejabat
Pembina Kepegawaian Dalam Birokrasi Pemerintah. Jurnal Administrasi
Dan Kebijakan Publik, 3(1), 19–32. https://doi.org/10.25077/jakp.3.1.19-
32.2017
Somoye, K. G. (2016). The Effects of Power and Politics in Modern
Organizations and its Impact on Workersâ Productivity. International
Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 6(11), 566–
574. https://doi.org/10.6007/ijarbss/v6-i11/2442
Power Point Mata Kuliah Perubahan dan Pengembangan Organisasi Pekan 8-14.
(2021). Kekuasaan Dan Politik Dalam Organisasi

You might also like