You are on page 1of 7

Pengaruh Pemberian Ekstrak Pirolisis Daun Tembakau

(Nicotiana tabacum var. Virginia) Terhadap Pembetukan Biofilm


Pada Bakteri Staphylococcus aureus Secara In-Vitro

D A Ario Putra1, A Pramono1,*, Anisah1, A Fauzantoro2 and M Gozan2


1
Microbiology Department, Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta, Jakarta, 12450, Indonesia
2
Chemical Engineering Department, University of Indonesia, Depok, 16424,
Indonesia

*Corresponding author: andri.pramesti@upnvj.co.id

Abstract. Biofilm is one of the persistent problem in the medical world. More than half of
chronic infection is caused by biofilm, which formed on the surfaces of medical implantable
devices, like catheter, prosthetic valve, or contact lens. Previous studies showed, there were
three organic compounds that can act as an inhibitor to biofilm formation, alkaloid, flavonoid,
and essential oil. These three compounds was found in Tobacco leaves (Nicotiana tabacum
var. Virginia). The purpose of this research is to understanding the influence of tobacco leaves
extract as an anti-biofilm agent against Staphylococcus aureus, which is the leading cause of
biofilm formation in medical equipment and implantable devices. This experimental utilized
tobacco leave extract obtained by pyrolysis method. The extract was diluted to 20%, 40%,
60%, 80%, and 100% concentration prior to inoculation with bacteria taphylococcus aureus
and incubated for 24 hours in 37oC. The optical density of the biofilm formed was determined
with microplate reader. Tobacco leaves pyrolysis extract in 20%, 40%, 60%, 80%, and 100%
showed no significant difference in the biofilm formation inhibition. Tobacco leaves extract
should be optimize to be used as a natural anti-biofilm agent. The selection of Tween 20
nonionic surfactant as an emulsifier in biofilm research has to be ruled out into consideration
due to sample clump. The experiment for a safe and effective natural biofilm agent must
continue to be developed.

1. Pendahuluan
Semua organisme yang hidup memiliki suatu mekanisme pertahanan hidup atau
adaptasi saat mereka terpapar oleh kondisi lingkungan yang ekstrim atau asing. Manusia,
hewan, serta tumbuhan melakukan penyesuaian terhadap perubahan kondisi lingkungan
dengan melakukan adaptasi fungsi fisiologis atau homeostasis. Selain pada organisme makro,
adaptasi ini juga terjadi pada organisme mikro seperti bakteri. Pada bakteri, salah satu bentuk
pertahanan diri yang dilakukan adalah dengan pembentukan biofilm, yang merupakan suatu
polimer matriks yang menempel pada permukaan inert maupun jaringan hidup yang mampu
melindungi bakteri dari ancaman luar seperti antibiotik atau UV [1].
Biofilm sendiri merupakan salah satu masalah yang masih harus dihadapi di bidang
kesehatan. Di rumah sakit, biofilm dapat mengkontaminasi alat-alat kesehatan seperti kateter,
endotracheal tube, serta lensa kontak. Diperkirakan 750,000 infeksi pasca-operasi di Amerika
Serikat disebabkan oleh adanya kontaminasi biofilm yang menyebabkan kerugian hingga US$
1,6 milyar [2]. Menurut National Institutes of Health Amerika Serikat, dipercaya bahwa
sekitar 65% dari seluruh infeksi bakteri dan 80% infeksi kronik pada manusia disebabkan
oleh biofilm. Biofilm merupakan penyebab utama dari implant-related infections serta diduga
bertanggung jawab atas 60-70% dari infeksi nosokomial [3]. Infeksi yang banyak disebabkan
oleh biofilm antara lain adalah infeksi saluran kemih, endokarditis akibat katup prostetik,
serta osteomyelitis [4].
Golongan bakteri Staphylococcus dikenal sebagai penyebab infeksi terbanyak yang
berhubungan dengan biofilm dibanding bakteri lain. Bakteri Staphylococcus merupakan
bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi nosokomial dan paling sering
mengkontaminasi implantable medical device seperti kateter. Hal ini terjadi karena faktanya,
Staphylococcus adalah bakteri komensal yang paling banyak hidup dipermukaan kulit serta
pemukaan mukosa manusia, sehingga memiliki kemungkinan paling besar untuk dapat
mengkontaminasi alat kesehatan yang mempenetrasi kulit atau mukosa, seperti pada saat
pembedahan [5]. Diketahui, sekitar setengah dari infeksi nosokomial yang berhubungan
dengan biofilm disebabkan oleh bakteri Staphylococcus [4]. Oleh karena itu, pengendalian
pembentukan biofilm, terutama dari bakteri Staphylococcus, merupakan suatu hal yang sangat
penting dilakukan.
Dari penelitian sebelumnya, diketahui bahwa alkaloid, flavonoid dan minyak atsiri,
selain memiliki efek anti-bakteri, juga dipercaya memiliki efek anti-biofilm alami [6].
Kandungan flavonoid, alkaloid, dan minyak atsiri yang banyak terdapat pada berbagai
tumbuhan menunjukkan efek penghambatan biofilm pada berbagai jenis bakteri. Kandungan
flavonoid mampu mengambat gen adhesi intraselular [7], kandungan alkaloid akan
menghambat proses quorum-sensing bakteri [8], serta minyak atsiri merupakan biodegradator
dari biofilm [9]. Salah satu jenis tumbuhan yang memiliki kandungan alkaloid, flavonoid dan
minyak atsiri adalah tembakau (Nicotiana tabacum) [10]. Dengan kandungan diatas, maka
selain dimanfaatkan sebagai bahan baku rokok, tembakau juga memiliki potensi sebagai anti-
bakteri dan anti-biofilm.
Tembakau varietas Virginia merupakan salah satu jenis tembakau yang paling
banyak dibudidaya di Indonesia. Tembakau jenis ini memiliki kelebihan lebih tahan terhadap
hama. Produksi domestik dari tembakau jenis ini mencapai 59.385 ton per tahun [11].
Tembakau jenis ini memiliki keunggulan yaitu lebih tahan terhadap hama dibanding varietas
lain. Daerah penghasil utama jenis tembakau ini adalah Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat
dengan 75% dari hasil panen jenis tembakau ini digunakan sebagai bahan baku untuk rokok
putih [12]. Namun, dikeluarkannya peraturan anti-rokok oleh pemerintah seperti Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 113 sampai 116 mendorong untuk
dilakukannya penelitian tentang potensi manfaat lain dari tembakau, seperti pemanfaatan
ekstraknya.
Salah satu metode yang dapat digunakan untuk melakukan ekstraksi adalah dengan
metode pirolisis. Pirolisis merupakan proses pemanasan suatu zat pada temperatur tinggi
tanpa adanya kehadiran udara (khususnya oksigen). Nantinya akhir dari proses ini akan
menghasilkan bio-oil [13]. Metode pirolisis sangat banyak digunakan di industri kimia,
misalnya, untuk menghasilkan arang, karbon aktif, metanol, dan bahan kimia lainnya
[14]. Kelebihan dari ekstraksi dengan metode ini adalah dapat menarik zat aktif lebih banyak
dibanding metode ekstraksi lain serta hasil lebih murni.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti sangat tertarik untuk meneliti pengaruh
ekstrak tembakau varietas Virginia dengan metode ekstraksi pirolisis terhadap pembentukan
biofilm.

2. Bahan dan Metode


2.1. Desain Eksperimen
Jenis desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental
laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun
tembakau terhadap pertumbuhan biofilm pada bakteri Staphylococcus aureus. Ekstrak daun
tembakau akan diencerkan menjadi 5 konsentrasi (20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%) dimana
kemudian ekstrak tersebut akan dicampurkan dengan biakan Staphylcoccus aureus dan dilihat
densitas produksi biofilmnya dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 570nm.

2.2. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Jakarta dan Laboratorium Mikrobiologi INAcc, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), Cibinong, Bogor.

2.3. Prosedur Penelitian


2.3.1. Produksi Ekstrak Tembakau
Daun tembakau (Nicotiana tabacum L. var. Virginia L.) yang digunakan dalam penelitian
diperoleh dari Ponorogo, Jawa Timur. Daun tembakau ini kemudian akan diolah menjadi
ekstrak melalui metode pirolisis. Terdapat empat tahapan dalam pembuatan ekstrak
menggunakan metode pirolisis. Tahapan pertama merupakan tahap pretreatment. Pada tahap
ini daun tembakau (Nicotiana tabacum L. var. Virginia L.) akan dikeringkan serta
dihancurkan menjadi partikel-partikel kecil. Tahap ini penting karena kelembaban serta
ukuran partikel mempengaruhi efisiensi dari proses pirolisis. Tahap kedua merupakan tahap
Reaksi Pirolisis. Pada tahap ini, daun tembakau yang sudah melewati proses pretreatment
akan masuk ke dalam reaktor pirolisis. Reaktor pirolisis ini memiliki airlock yang berfungsi
untuk mencegah oksigen dan gas atau udara asing lain masuk ke dalam reaktor. Pada reaktor
ini juga terdapat combustor yang berfungsi untuk memanaskan reaktor. Pada tahap ini, daun
tembakau akan berubah dan menghasilkan gas mentah (yang terdiri atas gas murni dengan
arang). Tahap berikutnya merupakan tahap pengumpulan arang, dimana gas mentah akan
masuk ke alat siklon pemisah atau cyclone separator dimana alat ini akan memisahkan gas
murni dengan arang. Tahap terakhir merupakan tahap pendinginan. Pada tahap ini, gas murni
yang masuk akan didinginkan menggunakan air dingin. Gas yang didinginkan ini akan
menghasilkan bio oil atau ekstrak yang mengental yang nantinya akan dikumpulkan di dalam
tanki. Ekstrak yang terbentuk ini merupakan ekstrak daun tembakau dengan konsentrasi
100%. Ekstrak tembakau murni tersebut kemudian akan diencerkan sesuai dengan tingkat
konsentrasi (20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%)

2.3.2. Identifikasi Bakteri


Tes pewarnaan Gram adalah suatu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah suatu
bakteri termasuk dalam golongan gram positif (+) atau gram negatif (-). Dalam pengujian ini,
prosedur yang dilakukan adalah, pertama, mempersiapkan alat serta bahan yang dibutuhkan
(biakan bakteri, gentian violet, cairan lugol, alkohol 96%, safranin, gelas alas, ose, bunsen,
rak bilas, dan mikroskop). Kemudian ambil biakan bakteri menggunakan ose lalu sebarkan di
atas gelas alas, setelah itu dibiarkan mengering dan direkatkan dengan dilewatkan di atas api
sebayak 3 kali. Kemudian dilakukan pewarnaan dengan cara menuang gentian violet sampai
menutupi bakteri di gelas alas, diamkan 5 menit, lalu cuci dengan air. Tuang lugol, diamkan
45 sampai 60 detik, lalu cuci lagi dengan air. Langkah selanjutnya, tuang alkohol 96% dan
diamkan lagi selama 30 detik dan cuci kembali dengan air. Langkah terakhir, warnai dengan
safranin dan tunggu 1 menit, lalu cuci lagi dengan air. Setelah dikeringkan, lihat hasil
dibawah mikroskop. Bakteri gram positif menunjukkan warna ungu dan bakteri gram negatif
akan menunjukkan warna merah.

2.3.3. Suspensi Bakteri


Pada tahap ini, organisme diinokulasi dalam 10 mL media Trypticase Soy Broth (TSB)
dengan 1% glukosa yang kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Hasil kultur
kemudian diencerkan menjadi 1,5 x 108 CFU/mL (Standar McFarland 0,5).

2.3.4. Tes Pembentukan Biofilm


Uji pertumbuhan biofilm dilakukan dengan menggunakan metode Microtiter Dish Assay.
Pada uji ini, sebanyak 100 µl hasil kultur yang sudah diencerkan dimasukkan kedalam
mikroplat. Mikroplat tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. Setelah
diinkubasi, mikroplat dicuci menggunakan Phosphate Buffer Saline (PBS) atau akuades
sebanyak 3 kali. Selanjutnya tambahkan zat warna kristal violet 0,1% sebanyak 125 µl dan
diamkan selama 15 menit. Mikroplat kemudian dicuci dan dibiarkan sampai kering. Pada
tahap ini sudah dapat dilihat biofilm yang sudah diberi zat warna menempel pada dinding
mikroplat [15].

2.3.5. Tes Efek Pemberian Ekstrak Daun Tembakau terhadap Pembentukan Biofilm
Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan metode Microtiter Dish Assay yang
dimodifikasi [17]. Pada uji ini, Ekstrak daun tembakau dengan berbagai konsentrasi yang
sudah diencerkan dengan Mueller Hinton Broth (MHB), dimasukkan kedalam mikroplat
masing-masing sebanyak 100µl/well. Kemudian tambahkan suspensi bakteri ke mikroplat
sebanyak 100µl/well. Sebagai kontrol negatif, tambahkan juga suspensi bakteri yang tidak
dicampur ekstrak daun tembakau. Setelah itu inkubasi mikroplat selama 24 jam pada suhu 37
oC. Setelah diinkubasi, mikroplat dicuci dengan Phosphate Buffer Saline (PBS) sebanyak 3
kali. Kemudian tambahkan 150µl metanol untuk memfiksasi biofilm dan diamkan selama 15
menit lalu buang dan keringkan. Setelah itu, tambahkan kristal violet 1% selama 20 menit
untuk pewarnaan. Kemudian mikroplat dicuci kembali dengan PBS dan ditambah 160µl asam
asetat glasial 30%. Mikroplat kemudian diukur dengan menggunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 570nm.

2.3.6. Analisis Data


Pada penelitian ini, besar sampel < 50 sehingga dilakukan uji normalitas data
menggunakan Saphiro-Wilk. Pada uji ini, data dikatakan normal apabila nilai p > 0,05.
Selanjutnya dilakukan uji homogenitas data menggunakan Levene test. Apabila nilai p dari uji
ini > 0,05 maka data dikatakan homogen. Bila dari kedua uji tersebut didapat data yang
normal dan homogen, maka dilanjutkan dengan melakukan pengujian One-Way Anova. Jika
nilai p dari uji ini < 0,05 artinya ada hubungan bermakna antara variabel independen dan
dependen (H0 ditolak), namun jika nilai p > 0,05 artinya tidak ada hubungan bermakna antara
variabel independen dan dependen (H0 diterima). Apabila nilai p < 0,05 pada uji ini, maka
dilanjutkan dengan uji post-hoc untuk melihat kemaknaan masing-masing kelompok. Uji
Kruskall-Wallis dilakukan jika uji One-Way Anova tidak memenuhi syarat. [16].
3. Results and Discussion

3.1. Microplate reading


Pada eksperimen ini, pembentukan biofilm diukur dengan Varioskan Flash Plate
Reader (ThermoScientific, USA) pada panjang gelombang 570nm untuk mengetahui jika
ekstrak pirolisis daun tembakau dari varian Virginia (Nicotiana tabacum L. var. Virginia)
mampu menghambat pembentukan biofilm dari Staphylococcus aureus.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa ekstrak pirolisis daun tembakau tidak memiliki efek
dalam menghambat pembentukan biofilm dari bakteri Staphylococcus aureus. Faktanya,
pemberian ekstrak justru merangsang pembentukan biofilm dimana pembentukannya
ditingkatkan, bukan dihentikan. Dari lima konsentrasi, yang paling efektif adalah konsentrasi
100%, dimana dilihat dari rata-rata, memiliki pertumbuhan biofilm terendah dibanding empat
konsentrasi lain. Kebalikannya, konsentrasi 60% merupakan konsentrasi yang paling tidak
efektif dari ke lima konsentrasi dimana biofilm bertumbuh dalam jumlah yang tinggi
signifikan. Konsentrasi lain (40%, 60%, and 100%) memiliki efek yang mirip dalam
pembentukan biofilm. Dari rata-rata, ketiga konsentrasi memiliki perbedaan yang tidak terlalu
signifikan. Secara keseluruhan, semua hasil menunjukkan hasil negatif yang berarti ekstrak
pirolisis tembakau tidak memiliki kemampuan menghambat biofilm.

Table 1. Rata-rata Hasil Kuantifikasi


0.5
0.45
0.4
0.35
0.3
0.25
0.2
0.15
0.1
0.05
0
Negative Control 20% 40% 60% 80% 90%

3.2. Analisis Statistik


Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa nilai signifikansi uji One-way ANOVA
penelitian ini > 0,05 (0,340) yang artinya ekstrak pirolisis daun tembakau tidak memiliki efek
penghambatan biofilm. Hasil analisis statistik mengkonfirmasi bahwa tidak ada korelasi
antara ekstrak pirolisis daun tembakau dengan penghambatan pembentukan biofilm.
Hasil ini tidak sebanding dengan penilitian serupa yang dilakukan sebelumnya.
Dewi, Nur, dan Hertriani pada tahun 2015 meneliti efek dari ekstrak daun sereh
(Cymbopogon nardus L.), yang mengandung flavonoid dan minyak atsiri terhadap
pembenukan biofilm oleh bakteri Staphylococcus aureus dan Loresta, Murwani, dan
Trisunuwati juga melakukan penelitian tentang efek antibiofilm dari ekstrak daun Moringa
oleifera yang mengandung flavonoid pada bakteri yang sama. Kedua penelitian sukses
menghambat pembentukan biofilm yang cukup signifikan [18] [19].

3.3. Penambahan surfaktan sebagai pengencer menyebabkan terjadinya pemnggumpalan


Karena ekstrak daun tembakau bersifat hidrofobik, surfaktan (Tween 20)
ditambahkan sebagai agen pengencer yang bertujuan untuk membuat ekstrak tembakau lebih
mudah larut air. Surfaktan ditambah dengan rasio 1 : 2 sebelum didilusi dengan air ke
konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, and 100%. Selanjutnya, 150µl dari tiap ekstrak dan bakteri
(yang sudah didilusi oleh Trypticase Soy Broth) ditambah ke mikroplate. Kontrol negatif
(yang hanya terdiri dari bakteri dan surfaktan) juga ditambahkan.
Hasilnya, bukan membuat ekstrak lebih larut air, surfaktan membuat sampel menjadi
menggumpal. Penggumpalan ini tampak jelas pada kontrol negatif dimana sampel berubah
menjadi seperti jeli. Hipotesisnya adalah, Tween 20, yng merupakan surfaktan non-ionik,
memisahkan kandungan protein di dalam sampel (dalam kasus ini Kasein dari Trypticase Soy
Broth) yang membuat sampel mengeras dan menggumpal [20].

(a)

(b)

(c) Gambar 1. (a) Pada sampel 20%


penggumpalan tidak terlihat. (b) Pada
Sampel 100% penggumpalan dapat terlihat.
(c) Pada kontrol negatif, penggumalan
(d) terlihat jelas, mengubah sampel menjadi
jeli. (d) air.

4. Kesimpulan
Ekstrak pirolisis daun tembakau baik konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, dan 100%
tidak memiliki efek dalam penghambatan dan inhibisi pembentukan biofilm dari
Staphylococcus aureus walaupun daun tembakau memiliki kandungan zat anti-biofilm seperti
flavonoid, alkaloid, dan minyak atsiri. Pemilihan Tween 20 (surfaktan nonionic) sebagai
pengencer di penelitian biofilm (terutama jika media mengandung protein kasein) juga harus
dihindari karenan dapat membuat sampel menggumpal. Penelitian untuk mencari agen
antibiofilm alami masih harus dikebangkan.

5. Referensi
[1] Murray P R, Pfaller M A and Rosenthal K S 2005 Medical Microbiology (Stuttgart:
Thieme) p 158
[2] de Carvalho C C 2007 Biofilms: Recent Developments on an Old Battle Recent Patents
on Biotechnology 1 44–57
[3] Bryers J D 2008 Medical Biofilms Biotechnology and Bioengineering 100 1–18
[4] Jamal M, Tasneem U, Hussain T and Andleeb S 2015 Bacterial Biofilm: Its
Composition, Formation and Role in Human Infections Research & Reviews:
Journal of Microbiology and Biotechnology 4 1–14
[5] Otto M 2008 Staphylococcal Biofilms Current Topics in Microbiology and Immunology
322 207–28
[6] Rabin N, Zheng Y, Opoku-Temeng C, Du Y, Bonsu E and Sintim H O 2015 Agents
That Inhibit Bacterial Biofilm Formation Future Medicinal Chemistry 7 647–71
[7] Lee J-H, Park J-H, Cho H S and Joo S W 2013 Anti-biofilm activities of quercetin and
tannic acid against Staphylococcus aureus Biofouling 29 491–9
[8] Park J, Kaufmann G F, Bowen J P, Arbiser J L and Janda K D 2008 Solenopsin A, a
Venom Alkaloid from the Fire Ant Solenopsis invicta, Inhibits Quorum‐Sensing
Signaling in Pseudomonas aeruginosa The Journal of Infectious Diseases 198 1198–
201
[9] Al-Fattah M 2015 Uji Akivitas Antibiofilm In Vitro Minyak Atsiri Herba Kemangi
Terhadap Bakteri Escherichia Coli, Pseudomonas Aeruginosa, Dan Staphylococcus
Aureus thesis (Jakarta)
[10] Hariana, Arief 2006 Tumbuhan Obat & Khasiatnya Seri 3 (Jakarta: Penebar Swadaya) p
122
[11] Nur Y H and Zamroni S 2014 Daya Saing Tembakau Virginia Lokal: Analisis Rantai
Nilai Jurnal Ekonomi dan Pembangunan 22 1
[12] Ahsan A, 2008. Kondisi Petani Tembakau Di Indonesia: Studi Kasus Di Tiga Wilayah
Penghasil Tembakau (Jakarta)
[13] Ramdan S T 2012 Pembuatan Dan Pengujian Reaktor Pirolisis Pada Alat Penhasil
Asap Cair Dengan Bahan Baku Tempurung Kelapa thesis (Bandung)
[14] Erawati, E 2014 Karakteristik Produk Pirolisis Dari Sekam Padi, Tongkol Jagung Dan
Serbuk Gergaji Kayu Dengan Menggunakan Katalis Zeolit (Surakarta)
[15] O’Toole G A 2011 Microtiter Dish Biofilm Formation Assay Journal of Visualized
Experiments 47 2437
[16] Ghozali I 2013 Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program IBM Dan SPSS
(Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro) p 113.
[17] Mohsenipour Z and Hassanshahian M 2015 The Effects of Allium Sativum Extracts on
Biofilm Formation and Activities of Six Pathogenic Bacteria Jundishapur Journal of
Microbiology 8 1-7
[18] Dewi, Nur, and Hertriani 2015 Efek antibakteri dan penghambatan biofilm ekstrak sereh
(Cymbopogon nardus L.) terhadap bakteri Streptococcus mutans Majalah Kedokteran Gigi
Indonesia 1 136-41
[19] Loresta, Murwani, and Trisunuwati 2012 Efek Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa
oleifera) terhadap Pembentukan Biofilm Staphylococcus aureus Secara In Vitro
(Jakarta)
[20] Jarudilokkul S, Rungphetcharat K and Boonamnuayvitaya V 2004 Protein separation by
colloidal gas aphrons using nonionic surfactant Separation and Purification
Technology 35 23-29

You might also like