You are on page 1of 18

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP EKSISTENSI

ASAS DOMINUS LITIS DALAM PERSPEKTIF PROFESIONALISME


DAN PROPORSIONALISME JAKSA PENUNTUT UMUM

Gede Putera Perbawa

Kejaksaan Negeri
Jl. Sultan Agung No. 5 Kel. Sisir, Kota Batu, Batu
Email: djus_911@yahoo.co.id

Abstract
In carrying out the functions, duties, and authority, the Attorney as government agencies that
implement the state power in the prosecution must be able to realize the rule of law, the rule of law,
justice and righteousness under the law and ignore the religious norms, decency, and morality,
and must explore the value of -value humanitarian, legal, and public sense of justice. But in fact
the implementation of prosecution by the Attorney authority problems often arise with other law
enforcement agencies. This journal is done to solve and analyze problems: (1) How does the
existence of Attorney as Prosecutor in the Criminal Justice System in Indonesia? (2) Does the
principle of Dominus litis may realize professionalism and proposionalisme Prosecutor?
This journal normative research method, which analyzes the literature that the secondary
data in the form of legal materials. In this paper will use a historical approach, regulatory
approaches and conceptual approaches. Subsequently analyzed using the prescriptive method.
Based on the results of the discussion, it can be concluded: (1) The existence of Attorney as
Prosecutor in the Criminal Justice System in Indonesia has to be clear and limitedly, and
embodied in the 1945 Constitution, the Criminal Procedure Code, Law No. 16 of 2004, on the
Prosecutor of the Republic of Indonesia, as well as the implementation of technical regulations
as outlined in the Attorney General of the Republic of Indonesia Regulation No. PER-067 / A
/ JA / 07/2007; No. PER-069 / A / JA / 07/2007; and No. PER-36 / A / JA / 09/2011; (2) The
principle of Dominus litis may realize professionalism and proportionality public prosecutor,
so that this principle will strengthen and solidify attorney as public prosecutor in conducting
the prosecution of criminal cases going on, and just jaksalah proportionately and professionals
can determine whether or not a criminal case to be resolved it happens.
Key words: dominus litis, professionalism and proporsionalisme, public prosecutor

Abstrak
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan sebagai lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum
dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali
nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan rasa keadilan masyarakat. Namun pada kenyataannya
dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan dengan
lembaga penegak hukum lainnya. Jurnal ini dilakukan untuk memecahkan dan menganalisis
masalah: (1) Bagaimana eksistensi Kejaksaan sebagai Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia ? (2) Apakah asas dominus litis dapat mewujudkan profesionalisme dan
proposionalisme Jaksa Penuntut Umum?.

325
326 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

Jurnal ini menggunakan metode penelitian normatif, yang menganalisis kepustakaan yaitu
terhadap data sekunder yang berupa bahan hukum. Dalam penulisan ini akan menggunakan
pendekatan historis, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Selanjutnya
dianalisa dengan menggunakan metode secara preskriptif.
Berdasar hasil pembahasan, maka dapat disimpulkan: (1) Eksistensi Kejaksaan sebagai Penuntut
Umum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia saat ini telah bersifat jelas dan limitatif, dan
tertuang di dalam UUD Tahun 1945, KUHAP, Undang-undang No. 16 Tahun 2004, tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, serta peraturan pelaksanaannya secara teknis yang dituangkan
dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. PER-067/A/JA/07/2007; No. PER-069/A/
JA/07/2007; dan No. PER-36/A/JA/09/2011; (2) Asas Dominus Litis dapat mewujudkan
profesionalitas dan proposionalitas Jaksa Penuntut Umum, sehingga asas ini akan menguatkan
dan memantapkan Jaksa sebagai penuntut umum dalam melaksanakan penuntutan terhadap
perkara pidana yang terjadi, dan hanya jaksalah yang secara proporsional dan professional
dapat menentukan untuk diselesaikan tidaknya perkara pidana yang terjadi tersebut.
Kata kunci: dominus litis, profesionalisme dan proporsionalisme, jaksa penuntut umum

Latar Belakang societas ibi ius yang menggambarkan


Negara Indonesia merupakan Negara betapa eratnya hubungan antara hukum dan
hukum, hal ini ditegaskan dalam Undang- masyarakat”.1
undang Dasar Negara Republik Indonesia “Penegakan hukum dalam pengertian
Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan makro meliputi seluruh aspek kehidupan
bahwa “Negara Indonesia adalah negara masyarakat, berbangsa dan bernegara,
hukum”, sebagai Negara hukum maka sangat sedangkan dalam pengertian mikro penegakan
menjunjung tinggi hukum yang berlaku hukum terbatas dalam proses litigasi di
sebagai alat untuk mengatur kehidupan pengadilan, dalam perkara pidana termasuk
berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan
penegakkan hukum menempati posisi yang (pemeriksaan di depan persidangan) hingga
sangat sentral, dengan menempatkan hukum pelaksanaan putusan pengadilan yang telah
dalam fungsinya sebagai alat pengatur bagi mempunyai kekuatan hukum tetap”.2
kehidupan masyarakat dengan masyarakat “Dalam hal terjadinya suatu peristiwa
dan masyarakat dengan pemerintah. yang patut diduga merupakan tindak pidana
“Hukum dan masyarakat seperti dua sisi maka wajib segera dilakukan tindakan
mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama yang diperlukan guna menyelesaikannya,
lain. Berlakunya hukum memang didalam dengan melakukan penyelidikan, penyidikan,
suatu tatanan sosial yang disebut masyarakat, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.3
oleh bangsa Romawi disebut sebagai ubi Menjadi tugas dan wewenang Penuntut Umum

1 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 3.


2 Marwan Effendy, Deskresi dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Brawijaya Malang, Malang, 11 Juni 2012, hlm. 2-3.
3 Erni Widhayanti, Hak-hak Tersangka/Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm. 48.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 327

setelah mempelajari dan meneliti kemudian atau membuktikan surat dakwaannya. Sering
atas hasil penelitiannya, jaksa mengajukan juga terjadi bolak-balik berkas perkara antara
penuntutan ke Pengadilan Negeri”.4 penyidik polri dan jaksa penuntut umum.
“Dalam melaksanakan fungsi, tugas, Sebenarnya hal ini dapat dihindari sejak awal
dan wewenangnya, Kejaksaan Republik apabila jaksa penuntut umum terlibat dalam
Indonesia sebagai lembaga pemerintahan proses penyusunan berkas perkara.
yang melaksanakan kekuasaan negara di Dengan demikian, Kejaksaan RI memiliki
bidang penuntutan harus mampu mewujudkan posisi strategis dalam melaksanakan
kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan supremasi di bidang penuntutan dalam
dan kebenaran berdasarkan hukum dan sistem peradilan pidana terpadu yang diatur
mengindahkan norma-norma keagamaan, menurut KUHAP. Namun eksistensi jaksa
kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib selaku penuntut umum ternyata dalam
menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, praktek peradilan dan penegakkan hukum
dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. tidak berjalan dengan lancar sebagaimana
Kejaksaan juga harus mampu terlibat mestinya. Masih sering terjadi koordinasi
sepenuhnya dalam proses pembangunan antara Kejaksaan dengan Kepolisian atau
untuk mewujudkan masyarakat adil dan Kejaksaan dengan Pengadilan tidak berjalan
makmur berdasarkan Pancasila, serta lancar karena berbagai alasan yang bersifat
berkewajiban untuk turut menjaga dan birokratis ataupun arogansi institusional,
menegakan kewibawaan pemerintah dan sehingga akan berpengaruh terhadap proses
negara serta melindungi kepentingan penuntutan. Padahal kewenangan jaksa selaku
masyarakat”.5 Namun pada kenyataannya Dominus Litis berlaku universal.
dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan Dengan posisi dan peran yang demikian,
oleh Kejaksaan sering timbul permasalahan Kejaksaan RI dituntut tidak saja harus mampu
dengan lembaga penegak hukum lainnya. melaksanakan fungsinya dengan baik dan
Karena jaksa penuntut umum hanya benar, tetapi juga harus mampu membentuk
memeriksa formal berkas perkara saja, tidak jati diri sebagai salah satu institusi pelaksana
mengetahui proses penyusunan berkas dan tata kekuasaan Negara, bukan alat kekuasaan
cara perolehan alat bukti, menjadi problema penguasa. Oleh karena itu sewajarnyalah di
apabila di persidangan terdakwa mencabut era reformasi ini Kejaksaan perlu melakukan
keterangannya di BAP. Jaksa Penuntut reformasi terhadap eksistensinya agar dapat
Umum harus mempertanggungjawabkan menjadi lebih dinamis guna menghadapi
perkembangan dan perubahan dewasa ini.

4 A. Soetomo, Hukum Acara Pidana Indonesia dalam Praktek, Pustaka Kartini, Jakarta, 1990, hlm. 19.
5 Penjelasan Umum Undang-undang RI No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
328 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

“Jenis penelitian ini merupakan penelitian bahan hasil seminar, majalah, surat kabar, dan
hukum (normatif)”,6 yang merupakan sebagainya. 3) Bahan hukum Tersier, berupa
penelitian kepustakaan yaitu penelitian kamus umum Bahasa Indonesia, kamus
terhadap data sekunder yang berupa bahan Bahasa Inggris-Indonesia, kamus hukum
hukum. “Dalam kepustakaan ilmu hukum dan ensiklopedia, biografi, kartu indeks, dan
penggunaan pendekatan masalah ditentukan sebagainya. Bahan-Bahan Hukum tersebut
dan dibatasi oleh tradisi keilmuan yang akan dikumpulkan dengan metode studi
dikembangkan”,7 maka penelitian ini, kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum
menggunakan Pendekatan Historis (historical yang memiliki relevansi dengan pokok
approach) dilakukan untuk mengetahui masalah. “Bahan hukum yang terkumpul
sejarah kejaksaan dan penuntut umum di dari hasil studi kepustakaan dianalisa dengan
Indonesia. Pendekatan Undang-undang menggunakan metode secara preskriptif”.8
(statute approach), dilakukan untuk mengkaji
dan menganalisis peraturan perundang- Pembahasan
undangan dalam Sistem Peradilan Pidana Keberadaan atau eksistensi Kejaksaan
di Indonesia yang mengatur Kejaksaan sebagai lembaga yang memiliki tugas dan
dan proses peradilan. Pendekatan Konsep wewenang dalam penuntutan ternyata
(conceptual approach), dilakukan untuk belum begitu lama, sebelumnya baik di
mempelajari konsep-konsep terkait dengan Eropa (Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-
asas dominus litis. lain) maupun pada masa-masa kerajaan,
Bahan hukum dalam penelitian ini terdiri masa-masa sebagai jajahan di Indonesia
atas tiga (3) bahan hukum sebagai berikut: 1) tidak mengenal adanya suatu lembaga
Bahan hukum primer, terdiri atas: peraturan penuntutan, sebagaimana tugas kejaksaan
perundang-undangan yang langsung atau saat ini yang secara khusus untuk atas nama
tidak langsung berhubungan dengan pokok atau masyarakat yang mengadakan tuntutan
penelitian yaitu terkait dengan eksistensi asas pidana terhadap pelaku delik. Pada masa
dominus litis atas suatu perkara pidana. 2) itu tidak ada perbedaan antara perdata dan
Bahan Hukum sekunder terdiri atas: Buku- pidana. pihak yang dirugikan yang melakukan
buku literatur yang memiliki relevansi dengan tuntutan pidana kepada hakim. “Di Indonesia
rumusan masalah, jurnal ilmiah, laporan dahulu dikenal pejabat Negara yang disebut
hasil penelitian, karya tulis ilmiah, bahan- adhyaksa yang diartikan sebagai jaksa, akan

6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2013, hlm. 56.
7 JJ. Bruggink, Refleksi Ilmu Hukum, dialih bahasakan Arief Sidharta, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.
142.
8 Ilmu hukum bukan bersifat deskriptif, tetapi preskriptif. Objek ilmu hukum adalah koherensi antara norma
hukum dan prinsip hukum, antara aturan hukum dan norma hukum serta koherensi antara tingkah laku (act)
individu dengan norma hukum. Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 41-42.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 329

tetapi dahulu fungsinya sama dengan hakim yang penting, yang merupakan kitab hukum
karena dahulu tidak dikenal adanya lembaga dengan diberi nama “Hukum Gajahmada”,
penuntutan”.9 sebagai pedoman dalam menyelenggarakan
“Pada masa kerajaan majapahit, sudah segala Shiti Narendran (Undang-undang
dikenal beberapa jabatan yang dinamakan Raja) dan sebagai Astapadha Raja untuk
Dhyaksa, Adhyaksa dan Dharmadyaksa. memberikan laporan pada segala peradilan
Ketika masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk perkara-perkara yang sulit, hingga atas usaha
(1350-1389), peranan Dhyaksa (Hakim tersebut tersusunlah beberapa piagam yang
Pengadilan),yang dibebani tugas untuk disusun berupa Kitab Hukum yang dikenal
menangani masalah-masalah peradilan di dengan Hukum Gajahmada.11 Adapun tugas
bawah pimpinan dan pengawasan Mahapatih dan wewenang pejabat peradilan, urusan
Gajahmada yang berperan sebagai Adhyaksa peradilan ditangani oleh para Dhyaksa di
(Hakim Tertinggi), dalam arti Adhyaksa bawah pimpinan dan pengawasan tertingi
bekerja sebagai pengawas (Opzichter) atau Adhyaksa Gajahmada, tetapi penyelenggaraan
Hakim Tertinggi (Opperrechter). Sedangkan peradilan tersebut semuanya berada ada di
Dharmadyaksa merupakan pejabat yang bawah perintah Sang Prabu Hayam Wuruk,
mendampingi Raja untuk melaksanakan tugas dan tidak semua putusan peradilan dalam
dalam urusan agama Syiwa dan Budha, serta perkara pidana dijatuhkan oleh Dhyaksa.
mempunyai tugas sebagai pengawas tertinggi Mengenai perkaradusta, corah atau pencurian,
dari kekayaan suci (Superintendent), sebagai tatayi, yang merupakan tindak-tindak pidana
pengawas tertinggi dalam urusan kepercayaan yang diancam dengan pidana mati dijatuhkan
(religie), dan sebagai Ketua Pengadilan”.10 sendiri oleh Prabu Hayam Wuruk, serta
“Dalam masa kekuasaan kerajaan untuk melaksanakan semua putusan terhadap
Majapahit tersebut, Gajahmada, selain perkara pidana juga dilakukan oleh Sang
sebagai Mahapatih juga mempunyai Prabu sendiri”.12
kedudukan sebagai Jaksa Negara atau Raja “Pada masa kerajaan Mataram Islam,
Jaksa, yang tugasnya mengawasi pelaksanaan mencapai puncak kejayaan pada masa
undang-undang Raja atau Shiti Narendran, pemerintahan Sultan Agung (1613-1645),
untuk itu, Mahapatih Gajahmada harus akibat pengaruh ajaran agama Islam telah
menyusun suatu rencana lengkap dalam diadakan perubahan dalam tata hukum, di
beberapa menyelesaikan persoalan sengketa mana dalam struktur di istana Mataram

9 Djoko Prakoso, Surat Dakwaan, Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Perkara di dalam Proses Pidana,
Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 13.
10 Ilham Gunawan, Peran Kejaksaan dalam Menegakkan Hukum dan Stabilitas Politik, Sinar Grafika,
Jakarta, 1999, hlm. 45-46.
11 Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1971, hlm. 49.
12 Ilham Gunawan, Op.cit., hlm. 47.
330 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

terdapat jabatan Jaksa (Jeksa), tetapi Jaksa (Jeksa) hanya menjalankan tugas
wewenangnya di bawah Wedana-Wedana kepaniteraan. Namun demikian, hal tersebut
Keparak. Jaksa (Jeksa) akan mengajukan merupakan konsekuensi adanya kearifan
bukti-bukti kesalahan-kesalahan Terdakwa (wisdom), ketabahan (courage), pengendalian
dan mengajukan tuntutan-tuntutan dalam diri (discipline) dan keadilan (justice), yang
sidang pengadilan di Bangsal Pancaniti dan merupakan muara dari adanya kebajikan
dihadiri oleh Raja dan para Pangeran, setelah untuk mewujudkan rasa keadlan bagi warga
mendengarkan pembelaan dari terdakwa, masyarakat, dengan memberikan rasio legis
akhirnya Raja akan melakukan semedi terhadap keberadaan atau eksistensi dari
sementara waktu untukmenjatuhkan vonis”.13 kewenangan mutlak dalam pelaksanaan
Di kenal dua jenis pengadilan yaitu Pengadilan penuntutan yang tidak bersifat penuh ada
Pradata dan Pengadlan Padu, terhadap pada Jaksa tetapi bersifat kontekstual dari
Pengadilan Pradata dilakukan persidangan berat ringannya perkara yang diselesaikan,
terhadap perkara-perkara berat, seperti sesuai dengan tingkat kearifan dan kebajikan
pembunuhan, pembakaran dan sebagainya yang harus diterapkan dalam perkara tersebut.
yang diancam dengan pidana siksaan atau Kondisi ini nampaknya relevan dengan teori
pidana mati. Tugas Jaksa (Jeksa) dalam yang dikemukakan oleh Friedmann, di mana
pengadilan ini adalah melakukan pekerjaan norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta
kepaniteraan, menghadapkan terdakwa sosial yang ada dalam keyakinan asosiasi
dan saksi. Pengadilan Padu menyelesaikan rakyat. Hal tersebut dimaksudkan untuk
perkara-perkara kecil dan ringan, di mana memberikan perlindungan oleh kerajaan.
pemeriksaan dan putusannya dijatuhkan oleh Pada intinya melaksanakan ketentuan-
Jaksa (Jeksa) atas nama Bupati setempat, di ketentuan hukum, termasuk dalam melakukan
sini Jaksa (Jeksa) bertindak sebagai Hakim”.14 penuntutan selalu didasarkan atas “fakta-
“Dalam praktek peradilan pada masa fakta hukum” sosial (Tatsachen des Rechts),
kerajaan Singosari dan kerajaan mataram baik kebiasaan, dominasi raja , pemilikan dan
tersebut, mengisyaratkan adanya tugas dan adanya kemauan raja untuk berbuat adil”.15
kewenangan Jaksa (Jeksa) untuk melakukan “Pada masa penjajahan Belanda,
penuntutan tetapi tidak secara mutlak hanya keberadaan Kejaksaan telah ada dalam
terhadap perkara-perkara kecil dan ringan, struktur dan memiliki fungsi, pertama,
sementara untuk perkara-perkara berat berfungsi untuk mengadili perkara pada

13 Sartono Kartodihardjo, et.al, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
1976, hlm. 9.
14 R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Pradnya Paramita, Jakarta, 1967, hlm. 16.
15 Bandingkan dengan W.Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum Idealisme Filosofis & Problema Keadilan,
Rajawali Pers, Jakarta, 1990, hlm. 105.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 331

Pengadilan Padu; Kedua, berfungsi untuk yang berdiri sendiri, yang mengacu pada asas
menerima dan mempersiapkan perkara pada yang sangat penting dalam penuntutan yaitu
Pengadilan Pradata”.16 Legitimasi tersebut adanya asas satu dan tidak terbagikan (een en
didasarkan pada ketentuan perundang- ondeelbarheid), sebagai pijakan supremasi
undangan, di mana sebelum berlakunya asas dominis litis dalam penuntutan.
Herziene Inlandsch Reglement, staatblaad “Sejak masa pemerintahan Jepang,
1941 No.44 (HIR), terlebih dahulu diatur nampaknya para jaksa memiliki kembali
dengan Inlandsch Reglement, staatblaad 1848 statusnya yaitu sebagai penuntut umum
No.16 (IR). “Di dalamnya disebutkan bahwa yang sebenarnya. Ketika Jepang berkuasa
pekerjaan penuntut umum di pengadilan di Indonesia maka jabatan Asisten Residen
negeri dahulu disebut landraad, yang segera dihapuskan. Situasi yang demikian
dilaksanakan oleh jaksa. Setelah berlakunya mengakibatkan kedudukan jaksa mengalami
Herzenie Indlandsch Reglement (HIR), perubahan mendasar. Dalam masa ini, semua
kedudukan jaksa tetap menjadi alat kekuasaan tugas dan wewenang Asisten Residen dalam
Asisten Residen menjadi sebutan Magistraat penuntutan perkara pidana diberikan kepada
(penuntut umum), sedangkan jaksa hanya Jaksa dengan jabatan Tio Kensatsu Kyokuco
mendapat sebutan Ajunct Magistraat tanpa atau Kepala Kejaksaan pada Pengadilan
perubahan dalam dan tugasnya”.17 Belanda Negeri, serta berada dibawah pengawasan Koo
sendiri baru pada tanggal 18 April 1827 Too Kensatsu Kyokuco atau Kepala Kejaksaan
ketika berlakunya Rrechterlijke Organisatie Tinggi. Selanjutnya dengan Osamurai No.
en het beleid der justitie, diadakan lembaga 49, Kejaksaan dimasukkan dalam wewenang
penuntut umum yang berdiri mengikuti sistem Cianbu atau Departemen Keamanan Dengan
Perancis. Suatu asas yang terpenting dari demikian tugas jaksa telah ditentukan yaitu
penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan mencari kejahatan dan pelanggaran (sebagai
(een en ondeelbarheid) dan bergantungnya pegawai penyidik), menuntut perkara
pada kekuasaan eksekutif. (pegawai penuntut umum), dan menjalankan
Dengan demikian, dalam masa penjajahan putusan hakim (pegawai eksekusi)”.18
oleh Belanda pada awalnya tidak mengenal Paparan tersebut di atas, menggambarkan
lembaga penuntut umum yang berdiri eksistensi atau keberadaan asas dominus
sendiri melainkan hanya sebagai asisten atau litis yang bersifat fluktuatif dan secara tidak
pembantu, baru setelah IR diubah menjadi langsung telah mempengaruhi tugas dan
HIR barulah dikenal lembaga penuntut umum wewenang jabatan jaksa dalam penyelesaian

16 R. Tresna, Op.cit., hlm. 19.


17 Ilham Gunawan, Op.cit., hlm. 54-55.
18 Ibid., hlm. 55.
332 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

perkara pidana yang terjadi. Namun demikian, penuntutan juga merupakan bagian dari upaya
fluktuasi kebijakan tersebut sesungguhnya perlindungan masyarakat (social defence) dan
menegaskan bahwa jaksa mempunyai upaya mencapai kesejahteraan masyarakat
kewenangan yang luas. yang dikaitkan dengan (social welfare).
bidang yudikatif bahkan pada masa-masa Kebijakan tersebut, mulai diwujudkan
kerajaan dihubungkan pula dengan bidang secara bertahap setelah Indonesia
keagamaan. memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal
Sebagai suatu kebijakan yang mengatur 17 Agustus 1945, sistem hukum yang berlaku
kewenangan setidaknya mengandung tidak segera mengalami perubahan. Untuk
kebijakan Negara dalam mengatur mengatasi situasi tersebut, maka undang-
dan membatasi kekuasaan, khususnya undang maupun peraturan-peraturan yang ada
bagi penuntut umum dalam melakukan sebelum kita merdeka tetap berlaku sepanjang
penuntutan, sehingga apabila terdapat warga tidak bertentangan dengan Undang-undang
masyarakat yang bertindak dan bertingkah Dasar 1945. Peraturan-peraturan yang
laku yang dapat dikualifikasikan sebagai mengatur tentang kedudukan kejaksaan pada
tindak pidana, maka melalui kebijakan hukum pengadilan-pengadilan di Indonesia tetap
pidana tersebut dapat dilakukan penegakan memakai peraturan lama seperti sebelum
hukum dan memastikan untuk selanjutnya Indonesia merdeka. Dengan maklumat
masyarakat akan bersikap taat dan patuh pada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal
aturan yang telah ditetapkan. “Kebijakan 1 Oktober 1945, semua kantor Kejaksaan yang
penegakan hukum terhadap marak terjadinya dahulunya masuk Departemen Keamanan
tindak pidana, dimaksudkan untuk melakukan atau Cianbu di pindah kembali ke dalam
penanggulangan tindak pidana yang terjadi Departemen Kehakiman atau Shihoobu.
melalui penuntutan sebagai wujud adanya “Dengan kembalinya Kejaksaan ke
perlindungan masyarakat untuk mencapai dalam Departemen Kehakiman maka tugas
kesejahteraan masyarakat, mengingat kewajiban para jaksa yang diberikan ketika
kebijakan atau upaya penanggulangan pendudukan tentara Jepang tidak mengalami
kejahatan (criminal policy) pada hakekatnya perubahan. Oleh karena itu Peraturan
merupakan bagian integral dari upaya Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945 Tentang Hal
perlindungan masyarakat (social defence) dan Masih Tetap Berlakunya Segala Badan-badan
upaya mencapai kesejahteraan masyarakat Negara dan Peraturan-peraturan Yang Ada
(social welfare)”.19 Oleh karena itu, kebijakan sampai Berdirinya Negara RI pada Tgl. 17
adanya kewenangan dalam melakukan Agustus 1945, selama Belum Diadakan Yang

19 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.
73.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 333

Baru Menurut Undang-Undang Dasar telah acara pidana sudah tidak menggunakan HIR
menetapkan bahwa semua undang-undang tetapi mengacu pada Undang-undang No.
dan peraturan yang dahulu tetap berlaku 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
sampai undang-undang tersebut diganti. (yang lebih dikenal dengan sebutan KUHAP),
Dan sejak proklamasi kemerdekaan, tugas di mana didalamnya juga telah mengatur
Openbaar Ministerie atau pengadilan terbuka kewenangan Jaksa dalam melakukan
pada tiap-tiap Pengadilan Negeri menurut penuntutan, sebagaimana dirumuskan
HIR (Herziene Inlandsch Reglemeent), dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP
dijalankan oleh Magistraat, oleh karena itu yang menyebutkan, jaksa adalah pejabat
perkataan Magistraat dalam HIR diganti yang diberi wewenang oleh undang-undang
dengan sebutan Jaksa, sehingga Jaksa pada ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
waktu adalah sebagai Penuntut Umum pada serta melaksanakan putusan pengadilan yang
Pengadilan Negeri”.20 telah memperoleh kekuatan hukum yang
Selanjutnya sejak diundangkan Undang- tetap. Sedangkan yang menjadi kewenangan
undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang seorang jaksa ialah untuk bertindak sebagai
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan penuntut umum dan bertindak sebagai
Republik Indonesia, maka Kejaksaan keluar pelaksana putusan pengadilan.
dari Departemen Kehakiman Republik Menurut kentetuan Pasal 1 angka 6 huruf a
Indonesia dan berdiri sendiri sampai sekarang. KUHAP yang dimaksud jaksa adalah pejabat
Hingga saat ini Undang-undang yang mengatur yang di beri wewenang oleh undang-undang
Kejaksaan telah mengalami penyempurnaan, ini untuk bertindak sebagai penuntut umum
di mana Undang-undang Nomor 15 Tahun serta melaksanakan putusan pengadilan yang
1961 telah dicabut dengan Undang-undang telah memperoleh kekuatan hukum yang
Nomor 5 Tahun 1991, dan terakhir dicabut tetap, penuntut umum juga menentukan
dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, lengkap atau tidak untuk di limpahkan ke
untuk selanjutnya disebut Undang-undang pengadilan negeri untuk diadili, hal ini diatur
Kejaksaan. dalam Pasal 139 KUHAP.
Dalam beracara untuk menyelesaikan “Oleh KUHAP, Jaksa telah ditempatkan
terjadinya tindak pidana, setelah Indonesia dalam suatu kedudukan sebagai instansi
merdeka digunakan ketentuan perundang- “Penuntut” dalam wewenang melakukan
undangan yang mendasarkan pada HIR, penuntutan atas setiap perkara. Dalam
namun sejak tahun 1981, khusus untuk hukum melaksanakan fungsi dan wewenang
penuntutan tersebut:

20 Ilham Gunawan, Op.cit., hlm. 56.


334 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

(1) Pada suatu pihak menerima berkas kepadanya, jadi hakim hanya menunggu
perkara hasil pemeriksaan penyidikan tuntutan dari penuntut umum”.22
dari penyidik; Untuk memahami eksistensi asas dominus
(2) Pada pihak lain, berkas perkara yang litis dalam penuntutan, kiranya dapat dikaji
diterimanya dilimpahkan kepada hakim pada pengaturan dalam Undang-undang RI
untuk dituntut dan diperiksa dalam siding No. 16 Tahun 24, termasuk undang-undang
pengadilan”.21 kejaksaan yang sebelumnya, baik dalam
Ditinjau dari segi wewenang penuntutan, Undang-undang RI No. 5 Tahun 1991 maupun
boleh dikatakan pada pemeriksaan sidang dalam Undang-undang RI No. 15 Tahun 1961.
inilah peran utama Jaksa sebagai penuntut Mencermati ketiga undang-undang mengenai
umum, dalam usaha membuktikan kesalahan kedudukan Kejaksaan RI dalam penegakan
terdakwa. Sementara Pengertian Penuntutan hukum di Indonesia, maka semakin jelas dan
adalah tindakan penuntut umum untuk tegas bahwa ketiganya secara limitative telah
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan merumuskan adanya kewenangan penuntutan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut yang berada pada lembaga kejaksaan yang
cara yang diatur dalam undang-undang ini bersifat absolute, sehingga menegaskan
dengan permintaan supaya diperiksa dan bahwa asas dominus litis sangat eksis dalam
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. (Pasal pelaksanaan tugas dan wewenang penuntutan
1 butir 7 KUHAP) . Beberapa kebijakan yang terhadap terjadinya tindak pidana oleh Jaksa
dirumuskan di dalam KUHAP menjelaskan selaku penuntut umum.
eksistensi tugas dan wewenang Jaksa terutana “Dalam penjelasan Umum Undang-
dalam melaksanakan penuntutan dalam undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
kedudukannya sebagai Penuntut Umum. Kejaksaan Republik Indonesia, antara lain
Wewenang penuntutan secara limitative dinyatakan bahwa diberlakukannya Undang-
diatur dan dipegang oleh penuntut umum undang ini adalah untuk pembaharuan
sebagai monopoli, artinya tiada badan lain Kejaksaan, agar kedudukan dan peranannya
yang berhak melakukan itu. Hal ini disebut sebagai lembaga pemerintahan lebih mantap
asas ‘dominus litis’. “Dominus berasal dari dan dapat mengemban kekuasaan Negara di
bahasa latin yang artinya pemilik, sedangkan bidang penuntutan, yang bebas dari pengaruh
litis artinya perkara atau gugatan. Hakim kekuasaan pihak mana pun. Dalam pengertian
tidak bias meminta supaya delik diajukan lain, Kejaksaan, dalam melaksanakan

21 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Edisi Kedua) Seri: Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 26.
22 Hari Sasongko, Penuntutan dan Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Dharma Surya Berlian, Surabaya, 1996,
hlm. 26.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 335

tugasnya, hendaknya merdeka dan terlepas “Pemahaman atas rumusan ketentuan


dari pengaruh kekuasaan pemerintahan Pasal 14 KUHAP, yang mengatur wewenang
dan kekuasaan lainnya dalam upayanya Jaksa Penuntut Umum dalam penuntutan
mewujudkan kepastian hukum, ketertiban yang menangani perkara pidana tersebut
hukum, keadilan dan kebenaran dengan ialah bahwa di samping tugas pokoknya
mengindahkan norma-norma keagamaan, sebagai penuntut umum, Jaksa dapat langsung
kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib
mengadakan penyidikan dalam keadaan-
menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan
keadaan tertentu. Yang kedua pengawasan
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.23
yang dilakukan oleh penuntut umum terhadap
“Asas dominus litis, yang menegaskan
yang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 37
bahwa tidak ada badan lain yang berhak
KUHAP”.25 “Dari batasan tersebut di atas,
melakukan penentutan selain Jaksa Penuntut
dapat disebutkan bahwa pengertian “jaksa”
Umum yang bersifat absolute dan monopoli,
berkorelasi dengan aspek “jabatan” atau
karena Jaksa Penuntut Umumlah satu-satunya
“pejabat fungsional”, sedangkan pengertian
lembaga yang memiliki dan memonopoli
penuntutan dan penyelesaian perkara “penuntut umum” berkorelasi dengan aspek

pidana, Hakim sekalipun tidak bisa meminta “fungsi” dalam melakukan penuntutan dan
supaya perkara pidana yang terjadi diajukan melaksanakan penetapan hakim di depan
kepadanya, hakim dalam penyelesaian perkara persidangan. Oleh karena itu, bertitik tolak
hanya bersifat pasif dan menunggu tuntutan dari aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”
dari penuntut umum”.24 tersebut”.26
Tugas tersebut dilakukan oleh penuntut “Berbicara tugas dan wewenang
umum dalam proses persidangan yang sedang Jaksa dalam menangani perkara pidana
berjalan. Tugas Jaksa sebagai penuntut umum secara professional dan proporsional,,
diatur dalam Pasal 14 KUHAP dan dipertegas terutama mengenai wewenang penuntutan
kembali dalam Pasal 137 KUHAP. Penuntut tersebut, berikut penjabaran atau uraian
umum berwenang melakukan penuntutan wewenang tersebut, di dalam KUHAP,
terhadap siapapun yang didakwa melakukan
Jaksa yang berwenang dalam melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
penuntutan dibagi dua tahap”,27 yaitu: Tahap
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan
Pra-penuntutan dan Tahap Penuntutan.
yang berwenang mengadilinya.

23 Ardilafiza, Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem


Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume III No. 2, November 2010, Jakarta, hlm. 75-103.
24 Hari Sasongko, Op.cit., hlm. 26.
25 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 77.
26 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan Permasalahannya, Alumni, Bandung,
2007, hlm. 63.
27 Ibid., hlm. 34.
336 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

Tahap Pra-penuntutan ini mulai saat atau ketetapan penghentian penuntutan


Penuntut Umum menerima berkas perkara dari sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 140 ayat
penyidik. Dalam waktu tujuh hari, Penuntut 2 butir a KUHAP, yaitu:
Umum harus menentukan apakah berkas a. Kalau tidak terdapat cukup bukti;
perkara tersebut sudah lengkap atau belum. b. Kalau peristiwanya bukan merupakan
‘Lengkap’ disini artinya bukti-bukti cukup dan tindak pidana; dan
berkasnya disusun menurut KUHAP. Jikalau c. Kalau perkaranya ditutup demi hukum.
Penuntut Umum berpendapat berkasnya Dengan demikian, peranan Penuntut
belum bisa dikatakan lengkap, maka berkas Umum dalam hal pembuktian sangatlah
perkara tersebut harus segera dikembalikan penting, karena pembuktian suatu perkara
kepada penyidik disertai dengan petunjuk- tindak pidana di depan persidangan merupakan
petunjuk dari Penuntut Umum. Dan jika tanggung jawab Jaksa selaku Penuntut
sejak penyerahan berkas perkara tersebut Umum. Dalam hal ini, sistem pembuktian
Penuntut Umum tidak mengembalikannya dalam hukum acara pidana di hampir semua
kepada penyidik maka berkas perkara tesebut negara di dunia memang meletakkan beban
dianggap sudah memenuhi syarat dan lengkap. pembuktian di atas pundak Penuntut Umum.
Sementara Tahap Penuntutan dilakukan Adanya beban pembuktian pada Penuntut
apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa Umum tersebut menyebabkan Penuntut Umum
penuntutan dapat dilakukan, Jaksa Penuntut harus selalu berusaha menghadirkan minimum
Umum segera membuat surat dakwaan. Dalam alat bukti di persidangan. Berdasarkan Pasal
Pasal 137 KUHAP dinyatakan bahwa Penuntut 183 KUHAP dinyatakan bahwa ”Hakim tidak
Umum berwenang melakukan penuntutan boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang,
terhadap siapa saja yang didakwa melakukan kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
suatu tindak pidana dengan melimpahkan dua alat bukti yang sah ia memperoleh
perkaranya ke pengadilan. Jadi, wewenang keyakinan bahwa suatu tindak pidana
menentukannya apakah akan menuntut atau benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
tidak menuntut bukan diberikan kepada yang bersalah melakukannya”. “Sistem
pihak kepolisian, melainkan kepada pihak Pembuktian yang demikian dikualifikasikan
kejaksaan. Namun apabila penuntut umum sebagai system Negatif wettelijk bewijstheorie
berpendapat sebaliknya maka penuntut umum atau dikenal dengan pembuktian berdasarkan
dapat menghentikan penuntutan, namun Undang-undang secara negatif, dalam arti
itu itu harus Ada tiga keadaan yang dapat selain menggunakan alat-alat bukti sah, juga
menyebabkan Penuntut Umum membuat menggunakan keyakinan Hakim. Sekalipun
ketetapan untuk menghentikan penuntutan menggunakan keyakinan Hakim, namun
suatu perkara pidana karena alasan teknis keyakinan Hakim terbatas pada alat bukti yang
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 337

ditentukan oleh Undang-undang. Dengan 2004 tentang Kejaksaan RI beserta aturan


menggunakan alat-alat bukti yang tercantum pelaksanaannya, dan dalam Undang-undang
dalam Undang-undang dan keyakinan Hakim No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
maka teori ini sering juga disebut pembuktian Pidana atau yang lebih dikenal dengan disebut
berganda (doubelen grondslag)”.28 “Dengan KUHAP.
demikian, untuk dapat menyatakan seseorang Ketentuan-ketentuan yang mengatur
terbukti melakukan suatu tindak pidana, profesionalisme dan proporsionalime bagi
maka harus ada paling sedikit 2 (dua) alat Jaksa tersebut juga merupakan aturan
bukti ditambah dengan keyakinan Hakim (hukum) yang harus dipedomani dalam
dan menjadi beban Penuntut Umum untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan
dapat menghadirkan minumum dua alat bukti yang melekat, lebih-lebih didalamnya sangat
tersebut di persidangan untuk memperoleh menegaskan adanya asas dominus litis yang
keyakinan Hakim”.29 bersifat mutlak dan mandiri menjadikan
Bagi penuntut umum, pembuktian penuntutan sebagai tugas yang utama dan
merupakan faktor yang sangat determinan menjadi satu yang tidak terpisahkan, sehingga
dalam rangka mendukung tugasnya sebagai asas ini akan menguatkan dan memantapkan
pihak yang memiliki beban untuk membuktikan Jaksa sebagai penuntut umum dalam
kesalahan terdakwa. Hal tersebut sesuai melaksanakan penuntutan terhadap perkara
dengan prinsip dasar pembuktian sebagaimana pidana yang terjadi, dan hanya jaksalah yang
yang dijelaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang secara proporsional dan professional dapat
menyatakan bahwa pihak yang mendakwakan menentukan untuk diselesaikan tidaknya
maka pihak tersebut yang harus membuktikan perkara pidana yang terjadi tersebut, jangankan
dakwaannya. Hal ini semakin menguatkan orang perseorangan, hakim sekalipun sebagai
eksistensi asas dominus litis dalam penuntutan, pihak yang akan menjatuhkan putusan juga
karena Jaksa Penuntut Umum sebagai pihak tidak dapat meminta apalagi memaksa kepada
yang mendakwakan yang memonopoli Jaksa untuk menyelesaikan perkara pidana
perkara secara proporsional sekaligus dalam yang terjadi tersebut, hakim harus tetap pasif
melaksanakan profesionalismenya. Orientasi dan baru mengadili apabila diminta atau
profesionalisme dan proporsionalime bagi perkara dilimpahkan kepadanya.
Jaksa bertumpu pada tugas dan wewenang “Di dalam sistem bekerjanya hukum
yang telah dirumuskan di dalam peraturan bermuara adanya pendekatan kebijakan,
perundang-undangan, baik yang tertuang secara proporsional Jaksa Penuntut Umum
dalam Undang-undang No. 16 Tahun dalam menghadapi peristiwa yang terjadi dan

28 Rusli Muhammad, Op.cit., hlm. 187.


29 Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 83.
338 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

menentukan yang seharusnya dikualifikasikan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan


sebagai tindak pidana atau tidak, harus yang hidup dalam masyarakat, serta
diperhatikan tujuan dari penegakkan hukum senantiasa menjaga kehormatan dan martabat
melalui penuntutan tersebut sebagai bagian profesinya.”
dalam sistem peradilan pidana atau bagian Di bagian penjelasan umum juga
hukum acara pidana, yaitu untuk mencari disebutkan bahwa untuk membentuk jaksa
dan menemukan kebenaran materiil”.30 yang profesional harus ditempuh berbagai
“Peristiwa atau Perbuatan yang diusahakan jenjang pendidikan dan pengalaman dalam
untuk diselesaikan atau ditanggulangi dengan menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang.
dilakukan penuntutan harus benar-benar Sudah jelas amanah dari undang-undang
merupakan ‘perbuatan yang tidak dikehendaki’, ini terhadap profesi jaksa dalam penegakan
yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian hukum di Indonesia. Demikian juga aspek
(materiil dan atau spirituil) atas warga proporsionalitas Jaksa juga telah diatur
masyarakat, sehingga dalam penuntutan harus didalam Undang-undang No. 16 tahun 2004
pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan
(cost benefit principle); Secara profesional di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981
penuntutan ini harus pula memperhatikan tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang
kapasitas atau kemampuan daya kerja dan mengatur tugas dan wewenang jaksa.
jangan sampai ada kelampauan beban tugas Sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan
(overbelasting)”.31 profesionalisme dan proporsionalisme jaksa
Profesionalisme seorang jaksa dalam maka telah diterbitkan ketentuan teknis sebagai
bertindak termasuk dalam melakukan pedoman bagi jaksa dalam melaksanakan tugas
penuntutan dipedomani dengan rumusan dan wewenang jaksa maka telah dikeluarkan
norma yang diatur pada Pasal 8 ayat (4) beberapa kebijakan yaitu Peraturan Jaksa
Undang-undang No. 16 tahun 2004 tentang Agung Republik Indonesia No: PER-067/A/
Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan JA/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa,
bahwa: Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
“Dalam melaksanakan tugas dan No: PER-069/A/JA/07/2007 tentang
wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak Ketentuan-ketentuan Penyelenggaraan Peng-
berdasarkan hukum dengan mengindahkan awasan Kejaksaan Republik Indonesia,
norma-norma keagamaan, kesopanan, Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
kesusilaan, serta wajib menggali dan No: PER-36/A/JA/09/2011 tentang Standar

30 Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.
31 Bandingkan dengan Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 93-94.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 339

Operasional Prosedur (SOP) Penanganan kejaksaan. Tetapi jaksa juga harus profesional
Perkara Tindak Pidana Umum. dan proporsional dalam menetapkan status
“Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan seseorang sebagai tersangka, jangan sampai
Pedoman perilaku yang bagi pemegang seolah-olah mencari-cari kesalahan seseorang.
profesi terangkum dalam Kode Etika yang Jika tidak ditemukan cukup bukti harus segera
di dalamnya mengandung muatan etika, baik dihentikan. Kalau bukti-bukti telah cukup
etika deskriptif, normatif, dan meta-etika”.32 untuk menjerat seseorang sebagai tersangka
Jadi kode etik berkaitan dengan profesi harus segera dilanjutkan prosesnya. Disinilah
tertentu sehingga setiap profesi memiliki asas dominus litis benar-benar mempunyai
kode etiknya sendiri-sendiri tentang apa yang peran yang sentral dalam profesionalisme
disepakati bersama seperti bagaimana harus dan proporsionalisme jaksa penuntut umum
bersikap dalam hal-hal tertentu dan hubungan sebagai pengendali proses perkara. Asas
dengan rekan sejawat. Akan tetapi tidak deponering juga menunjukkan jaksa penuntut
semua pekerjaan dapat dikatakan sebagai umum benar-benar memiliki asas dominus
profesi yang berhak dan layak memiliki kode litis, yang dimana dalam asas deponering jaksa
etik tersendiri. penuntut umum mempunyai wewenang untuk
Posisi Jaksa Penuntut Umum dalam Tindak mekesampingkan perkara demi kepentingan
Pidana Umum tergantung dari penyidik polri, umum (Pasal 35 huruf c Undang-undang
Jaksa Penuntut Umum hanya memeriksa Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2004
secara formal berkas perkara saja, tidak tentang Kejaksaan Republik Indonesia).
mengetahui proses penyusunan berkas dan tata
cara perolehan alat bukti, menjadi problema Simpulan
apabila di persidangan terdakwa mencabut Berdasarkan uraian diatas, maka dapat
keterangannya di BAP. Jaksa penuntut disusun beberapa simpulan, sebagai berikut:
umum harus mempertanggungjawabkan atau 1. Eksistensi asas Dominus Litis dalam
membuktikan surat dakwaannya. Sering juga penuntutan terhadap tindak pidana yang
terjadi bolak-balik berkas perkara antara terjadi saat ini telah bersifat jelas dan
penyidik polri dan jaksa penuntut umum. limitatif, dan tertuang di dalam UUD Tahun
Sebenarnya hal ini dapat dihindari sejak awal 1945, Undang-undang No.8 Tahun 1981
apabila jaksa penuntut umum terlibat dalam tentang Hukum Acara Pidana (atau yang
proses penyusunan berkas perkara. Sedangkan lebih dikenal dengan sebutan KUHAP),
posisi jaksa dalam Tindak Pidana Korupsi Undang-undang No. 16 Tahun 2004
sejak awal terlibat dalam penyusunan berkas tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
perkara apabila proses awal penyidikan dari serta peraturan pelaksanaannya secara

32 K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 11-15.


340 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

teknis yang dituangkan dalam Peraturan menyelesaikan perkara-perkara kecil


Jaksa Agung Republik Indonesia No. dan ringan, di mana pemeriksaan dan
PER-067/A/JA/07/2007 tentang Kode putusannya dijatuhkan oleh Jaksa (Jeksa)
Perilaku Jaksa, Peraturan Jaksa Agung atas nama Bupati setempat, di sini Jaksa
Republik Indonesia No. PER-069/A/ (Jeksa) bertindak sebagai Hakim.
JA/07/2007 tentang Ketentuan-Ketentuan 2. Asas Dominus Litis dapat mewujudkan
Penyelenggaraan Pengawasan Keja profesionalisme dan proporsionalisme
ksaan Republik Indonesia, Peraturan Jaksa Penuntut Umum, di mana
Jaksa Agung Republik Indonesia No. telah terdapat Ketentuan-ketentuan
PER-36/A/JA/09/2011 tentang Standar yang mengatur profesionalisme dan
Operasional Prosedur (SOP) Penanganan proporsionalime bagi Jaksa yang harus
Perkara Tindak Pidana Umum. dipedomani dalam melaksanakan
Pada masa sebelum merdeka baik pada tugas-tugas dan kewenangan yang
masa kerajaan-kerajaan yang berkuasa melekat, lebih-lebih didalamnya sangat
maupun pada masa penajajahan menegaskan adanya asas dominus
pelaksanaan penuntutan sudah dilakukan, litis yang bersifat mutlak dan mandiri
namun tidak berisfat mutlak atau tidak menjadikan penuntutan sebagai tugas
mendasarkan pada asas dominis litis, yang utama dan menjadi satu yang
karena kewenangan penuntutan tidak tidak terpisahkan, sehingga asas ini
hanya mutlak dilakukan oleh Dhyaksa akan menguatkan dan memantapkan
(Jaksa), namun juga dapat dilakukan Jaksa sebagai penuntut umum dalam
oleh pihak-pihak lain, sesuai dengan melaksanakan penuntutan terhadap
kepentingan hukum yang dilanggar, perkara pidana yang terjadi, dan hanya
bahkan semuanya dalam kendali Raja. jaksalah yang secara proporsional
Dahulu di kenal dua jenis pengadilan dan profesional dapat menentukan
yaitu Pengadilan Pradata dan Pengadlan untuk diselesaikan tidaknya perkara
Padu, terhadap Pengadilan Pradata pidana yang terjadi tersebut, jangankan
dilakukan persidangan terhadap perkara- orang perseorangan, hakim sekalipun
perkara berat, seperti pembunuhan, sebagai pihak yang akan menjatuhkan
pembakaran dan sebagainya yang putusan juga tidak dapat meminta
diancam dengan pidana siksaan atau apalagi memaksa kepada Jaksa untuk
pidana mati. Tugas Jaksa (Jeksa) dalam menyelesaikan perkara pidana yang
pengadilan ini adalah melakukan terjadi tersebut, hakim harus tetap pasif
pekerjaan kepaniteraan, menghadapkan dan baru mengadili apabila diminta atau
terdakwa dan saksi. Pengadilan Padu perkara dilimpahkan kepadanya.
Gede Putera Perbawa, Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Eksistensi Asas ... 341

DAFTAR PUSTAKA

Buku Kusumadi Pudjosewojo, 1971, Pedoman


A. Soetomo, 1990, Hukum Acara Pidana Pelajaran Tata Hukum Indonesia,
Indonesia dalam Praktek, Pustaka Bina Aksara, Jakarta.
Kartini, Jakarta. K. Bertens, 2005, Etika, Gramedia Pustaka
Andi Hamzah, 1984, Pengantar Hukum Utama, Jakarta.
Acara Pidana di Indonesia, Ghalia Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana
Indonesia, Jakarta. Normatif, Teoritis, Praktik dan
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Permasalahannya, Alumni, Bandung.
Kebijakan Hukum Pidana, Citra M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan
Aditya Bakti, Bandung. Permasalahan dan Penerapan
Darmono, 2013, Penyampingan Perkara KUHAP (Edisi Kedua) Seri:
Seponering dalam Penegakkan Penyidikan dan Penuntutan, Sinar
Hukum, Studi Kasus Ketetapan Grafika, Jakarta.
Penyampingan Perkara demi Mochtar Kusumaatmadja, 2006, Konsep-
Kepentingan Hukum Atas Nama Dr. konsep dalam Pembangunan,
Bibit Samad Riyanto dan Chandra Alumni, Bandung.
M Hamzah, Solusi Publishing, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian
Djoko Prakoso, 1988, Surat Dakwaan, Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Tuntutan Pidana dan Eksaminasi Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara
Perkara di dalam Proses Pidana, Pidana Kontemporer, Citra Aditya
Liberty, Yogyakarta. Bakti, Bandung.
Erni Widhayanti, 1996, Hak-hak Tersangka/ R. Tresna, 1967, Peradilan di Indonesia dari
Terdakwa di dalam KUHAP, Liberty, Abad ke Abad, Pradnya Paramita,
Yogyakarta. Jakarta.
Hari Sasongko, 1996, Penuntutan dan Sartono Kartodihardjo, et.al, 1976, Sejarah
Tehnik Membuat Surat Dakwaan, Nasional Indonesia Jilid IV,
Dharma Surya Berlian, Surabaya. Departemen Pendidikan Nasional,
Ilham Gunawan, 1999, Peran Kejaksaan Jakarta.
dalam Menegakkan Hukum dan Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan
Stabilitas Politik, Sinar Grafika, Perkembangan Masyarakat: Kajian
Jakarta. Terhadap Pembaharuan Hukum
JJ. Bruggink, 1996, Refleksi Ilmu Hukum, Pidana, Sinar Baru, Bandung.
dialih bahasakan Arief Sidharta, Citra W.Friedmann, 1990, Teori dan Filsafat
Aditya Bakti, Bandung. Hukum Idealisme Filosofis &
342 ARENA HUKUM Volume 7, Nomor 3, Desember 2014, Halaman 303-471

Problema Keadilan, Rajawali Pers, Undang-undang Republik Indonesia No.


Jakarta. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.
Jurnal Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang
Ardilafiza, 2010, Independensi Kejaksaan Hak Asasi Manusia.
sebagai Pelaksana Kekuasaan Herziene Inlandsch Reglement, staatblaad
Penuntutan dalam Sistem 1941 No.44 (HIR).
Ketatanegaraan Indonesia, Jurnal Inlandsch Reglement, staatblaad 1848 No.16
Konstitusi, Volume III No. 1, November (IR).
2010, Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945
tentang Hal Masih Tetap Berlakunya
Makalah Segala Badan-badan Negara dan
Marwan Effendy, 2012, Deskresi dalam Peraturan-peraturan yang Ada
Penegakan Hukum Tindak Pidana sampai Berdirinya Negara RI pada
Korupsi, makalah disampaikan pada Tgl. 17 Agustus 1945, selama Belum
Seminar Nasional yang diselenggarakan Diadakan yang Baru menurut
oleh Universitas Brawijaya Malang Undand-Undang Dasar.
tanggal 11 Juni 2012, Malang. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.
27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Peraturan Perundang-undangan KUHAP, sebagaimana telah diubah
Undang-undang Dasar Negara Republik dengan Peraturan Pemerintah No. 58
Indonesia 1945 (Hasil Amandemen I, Tahun 2010.
II, III, dan IV). Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. No. PER-067/A/JA/07/2007 tentang
Undang-undang Republik Indonesia No. 8 Kode Perilaku Jaksa.
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Pidana (KUHAP). No. PER-069/A/JA/07/2007
Undang-undang Republik Indonesia No. tentang Ketentuan-ketentuan
15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- Penyelenggaraan Pengawasan
Ketentuan Kejaksaan Republik Kejaksaan Republik Indonesia.
Indonesia. Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia
Undang-undang Republik Indonesia No. No. PER-36/A/JA/09/2011 tentang
5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Standar Operasional Prosedur (SOP)
Republik Indonesia. Penanganan Perkara Tindak Pidana
Umum.

You might also like