You are on page 1of 16

KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP TINDAKAN HAKIM DALAM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH AGUNG

Prianter Jaya Hairi


P3DI Bidang Hukum, Jl. Gatot Subroto Gedung Nusantara 1 Lantai 2, Setjen DPR RI,
e-mail: Prianter.hairi@dpr.go.id

Abstract
Judges is the key person of justice which protected by independence of judiciary. But ironically, in the
process of court, including in the matter of decisions and verdicts, often found ineptness. Freedom of
judge actions later on perceived as cause of injustice. As a step in solving this problem, the legislators in
Indonesian Parliament as people representation then formulating crimininalization policy for several judge
acts in RUU MA (The Supreme Court Bill Draft). The policy intended so that the judges become more
cautious in performing job. This study especially intended to examine judicially about criminalization policy
formulation for several judge acts in that RUU MA. From the analysis, such as known that generally the
prohibited judge actions in RUU MA indeed could be categorized as very harmful and danger behaviour
to society. Criminalization policy about judicial corruption, manipulating facts, and asking for reward in
relation of his profession even can be called as progress in judges law responsibility. Nevertheless, especially
for Article 97 RUU MA, according to the author, it’s quite complicated to understand the intention and
the background behind the criminalization. Article 97 RUU MA even potentially become criminogenic
factor because could trigger chaotic and commotion acts with intent to condemn court verdicts.

Kata Kunci: Kebijakan kriminalisasi, hakim, prinsip independensi hakim

I. PENDAHULUAN wenang. Jabatan sebagai seorang hakim tidak


A. Latar Belakang boleh disalahgunakan, karena penyalahgunaan
Indonesia ialah negara yang berdasar atas wewenang merupakan bentuk pelanggaran
hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas hukum yang dapat dikenakan sanksi pidana
kekuasaan belaka (machtsstaat), sebagaimana sesuai peraturan perundang-undangan.
yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Hakim merupakan profesi yang sangat
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun terhormat dan mulia. Mulia dan terhormatnya
1945 (UUD 1945) hasil amandemen.1 Sebagai profesi tersebut mungkin dikarenakan jabatan
sebuah negara hukum, maka berarti setiap hakim biasanya dan sudah semestinya diemban
kebijakan dan keputusan pemerintah haruslah oleh orang-orang yang memiliki keilmuan
berlandaskan pada hukum yang berlaku. hukum yang mumpuni serta memiliki integritas
Demikian pula dalam konteks kajian moral yang tinggi. Hakim di belahan dunia
ini, yakni hakim sebagai salah satu pejabat manapun sama saja, yakni dituntut untuk
negara. Dalam suatu negara hukum, maka senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai
seorang pejabat negara memiliki tugas dan kebenaran dan keadilan.
wewenang yang harus dijalankan sesuai Namun demikian, se-mulia apapun profesi
dengan peraturan perundang-undangan yang hakim, hakim juga merupakan manusia, yang
berlaku. Maka dari itu, hakim tentu tidak bisa tentu saja bisa melakukan kesalahan ataupun
menjalankan jabatannya secara sewenang- pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum oleh

1
Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 47


hakim tentu bisa membuat hakim juga dijatuhi “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
sanksi, bahkan sanksi pidana. Semua ini terkait yang merdeka untuk menyelenggarakan
erat dengan tanggung jawab profesi yang peradilan guna menegakkan hukum dan
dimiliki setiap hakim. keadilan”. Namun demikian kekuasaan yang
Faktanya, memang tidak sedikit oknum dimaksud itu bukanlah kekuasaan yang mutlak,
hakim yang terlibat pelanggaran hukum. sehingga dapat sewenang-wenang dalam
Pelanggaran tersebut ada yang mengenai etik memutus perkara yang ditanganinya.
dan kepatutan, dan ada pula yang terkait Kekuasaan hakim dalam mengadili suatu
persoalan pidana. Sebut saja beberapa kasus perkara memang sangatlah besar. Hakim dalam
yang terjadi belakangan ini yang pelakunya mengadili suatu perkara memiliki keleluasaan
notabene ialah seorang oknum hakim, seperti dalam mengeluarkan sebuah penetapan ataupun
perkara pidana kesusilaan (skandal seks), putusan (Res Judicata Pro Veritate Habetur),3
penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan meskipun masih tetap dibatasi oleh hukum
terlarang, bahkan korupsi dan suap. Untuk yang (Ius Curia Novit).4 Namun ironisnya, dengan
terakhir disebut ini (korupsi dan suap), kini wewenang yang begitu besar, terkadang hakim
memang cukup sering melibatkan hakim, kasus lalai dalam memperhatikan rambu-rambu
Akil Muchtar misalnya, ia bahkan tersangkut hukum yang ada dalam menjalankan tugasnya
kasus tersebut saat menjabat sebagai Ketua tersebut, inilah yang menjadi persoalan.
Mahkamah Konstitusi. Dalam praktiknya di lapangan, kerap kali
Berbagai pelanggaran hukum yang ditemukan kejanggalan dalam proses pengadilan
dilakukan oleh oknum-oknum hakim tersebut dan penetapan ataupun putusan hakim.
memang telah berimplikasi pada rendahnya Misalnya dalam suatu kasus,5 jaksa mengajukan
kepercayaan masyarakat kepada pengadilan. kasasi terhadap putusan bebas, padahal Pasal 67
Namun tidak bisa pula dikatakan bahwa tidak dan Pasal 244 KUHAP dengan jelas membatasi
ada lagi kepercayaan terhadap badan peradilan. putusan bebas untuk diajukan banding dan/atau
Membubarkan sebuah badan peradilan juga kasasi, namun dalam kenyataannya Mahkamah
tentu tidak akan pernah menjadi sebuah pilihan. Agung menerima kasasi tersebut dan kemudian
Malah sebaliknya, masyarakat tentu masih memutus bersalah terdakwa. Dalam kasus
memimpikan akan hadirnya hakim-hakim lain lainnya, seorang buronan Interpol mengajukan
yang memiliki keberanian dan kejujuran seperti permohonan Peninjauan Kembali (ini saja
yang terdapat pada diri seorang Bismar Siregar, sudah melanggar Pasal 263 dan 268 KUHAP,
Baharudin Lopa, dan Syafiudin Kartasasmita. termasuk penerapan SEMA No. 1 Tahun
Hakim dalam menjalankan tugasnya 3
Dengan asas “Res Judicata Pro Veritate Habetur” maka
sebenarnya telah dilindungi oleh suatu hakim harus dianggap benar, kecuali ada putusan yang
kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman lebih tinggi yang menganulirnya. Sudikno Mertokusumo,
pada hakikatnya adalah kekuasaan yang Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2006, hal. 7.
merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan 4
Dengan asas “Ius Curia Novit” maka hakim harus
pemerintah. Kedudukan hakim dan lembaganya mengadili menurut hukum. artinya pencarian atau
dijamin oleh undang-undang dengan tujuan penemuan peraturan hukum tidak boleh bertentangan
agar dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan hukum yang berlaku, terutama dalam hal
melengkapi dan menjelaskan undang-undang sebelum
memiliki dasar hukum yang kuat.
diterapkan terhadap peristiwa hukum. Ibid, hal. 81-82.
Dengan prinsip Independent of Judiciary, 5
Edward Omar Syarif Hiariej, Makalah disampaikan
maka hakim bersifat mandiri dan tidak boleh pada “Seminar dan Eksaminasi Publik terhadap Kasus
diintervensi oleh lembaga-lembaga lain, apalagi Anand Krishna”, tanggal 18 Oktober 2012 di University
Club UGM Yogyakarta, dengan Narasumber: Prof. Dr.
oleh pemerintah atau penguasa. Hal ini diatur
Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H. dari Universitas
di dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,2 bahwa Diponegoro, Prof. Dr. Edward Omar Syarif Hiariej S.H.,
M.Hum. dari UGM dan Ketua Cabang Peradi Yogyakarta
2
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Nur Ismanto S.H., M.Si.

48 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


2012), lalu permohonan itu malah dikabulkan perlu melakukan terobosan baru dalam upaya
oleh Majelis PK dengan komposisi hakim yang hukum untuk meminta pertanggungjawaban
tidak sesuai dengan aturan dalam UU Tipikor, pejabat penegak hukum, seperti polisi, jaksa,
Majelis PK tersebut kemudian membatalkan dan hakim atas kegagalan penegakan hukum
putusan kasasi yang berisi pemidanaan. yang mereka lakukan. Polisi, jaksa, atau hakim
Kasus lainnya, Ketua Majelis Hakim Tipikor memiliki kewenangan untuk melakukan
yang menangani perkara suap, menolak penegakan hukum berdasarkan undang-
mendatangkan dan mendengarkan keterangan undang, tetapi mereka dibebani tanggung jawab
saksi yang diminta Jaksa KPK, karena saksi yang untuk menjalankan kewenangannya secara
diminta adalah Ketua Mahkamah Agung pada benar dan bertanggungjawab. Para korban
waktu itu, padahal KUHAP mewajibkan hakim atau masyarakat lain secara hukum dapat
mendengarkan saksi yang dibutuhkan Jaksa.6 meminta pertanggungjawaban aparat penegak
Berbagai kejanggalan tersebut sebenarnya hukum sebagai pribadi pejabat bila melakukan
hanyalah sebagian peristiwa tentang carut marut penyimpangan dalam proses penegakan hukum
wajah pengadilan. Berbagai kejanggalan dalam dan bertindak sewenang-wenang (willkeur)
dunia pengadilan ini tentu sangat meresahkan yang melanggar hak-hak asasi warga negara.
masyarakat, terutama bagi mereka yang pernah Kajian ini akan fokus pada pembahasan
mengalami dan merasakan kejanggalan- mengenai perumusan kebijakan kriminalisasi
kejanggalan selama proses pengadilan. tindakan hakim yang terkandung dalam pasal
Demikian pula bagi para pemerhati hukum dan 98 RUU Mahkamah Agung, yang berbunyi
orang-orang yang berkecimpung dalam dunia “Hakim yang melanggar ketentuan Pasal 56 ayat
peradilan seperti pengacara. (2) jo. Pasal 95 jo. Pasal 96 jo. Pasal 97, dapat
Terkait dengan persoalan ini, saat ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
anggota DPR sebagai representasi rakyat telah (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
membawa isu tersebut dalam pembahasan banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
peraturan perundang-undangan. Bentuk rupiah).”7
konkrit dari aspirasi tersebut kemudian
berwujud pasal-pasal kriminalisasi terhadap
7
Pasal 56 RUU MA: Ayat (1): Mahkamah Agung dalam
tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat untuk
tindakan hakim dengan disertai ancaman sanksi
diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-Undang
pidana bagi hakim yang melanggar. ini dibatasi pengajuannya. Ayat (2): Perkara yang dikecualikan
Kebijakan kriminalisasi terhadap tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
hakim ini mungkin salah satu bentuk dari a. Putusan tentang praperadilan;
b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara
“terobosan baru” dalam dunia penegakan hukum
paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau diancam pidana
Indonesia. Seperti yang penah diungkapkan denda;
oleh Amir Syamsuddin,7 bahwa melihat sepak c. Perkara pidana yang memiliki nilai objek yang
terjang aparat penagak hukum saat ini kita diperkarakan kurang dari Rp.100.000.000,00 (seratus
juta rupiah);
6
Pasal 160 ayat (1) huruf c KUHAP berbunyi: “Dalam d. Perkara Tata Usaha Negara yang objek gugatannya
hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang berupa keputusan badan atau pejabat tata usaha
memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat negara daerah;
pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa e. Perkara perdata yang memiliki niali objek gugatan
atau penasihat hukum atau penuntut umum selama materiil kurang dari Rp.200.000.000,00 (dua ratus
berIangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya juta rupiah);
putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan f. Putusan bebas pada pengadilan tingkat pertama
saksi tersebut”. Dalam peristiwa hukum ini, hakim Pasal 95 RUU MA: Dalam melaksanakan tugas profesi,
berdalih mendasarkan pada SEMA Nomor 2 Tahun 1985 hakim dilarang:
di mana hakim berhak menilai saksi layak atau tidak layak a. Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk
untuk dipanggil. kepentingan pribadi dan/atau pihak lain, atau keluarga,
7
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum: Hakim, mempunyai hubungan pekerjaan, partai/financial atau
Jaksa, Polisi, dan Pengacara, Buku Kompas, Jakarta, Juni mempunyai nilai ekonomis secara langsung/tidak
2008, hal. 11. langsung;

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 49


Kebijakan ini memang menimbulkan B. Permasalahan
semacam dilema dalam dunia hukum Indonesia, Hakim merupakan ujung tombak keadilan
sebab di satu sisi memang dibutuhkan suatu aturan bagi masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya,
yang diharapkan dapat meminimalisasi atau hakim dilengkapi dengan “jubah” independensi
bahkan mencegah terus terjadinya kejanggalan- yang berfungsi untuk memberikan keleluasaan
kejanggalan dalam praktik peradilan, namun di bagi setiap hakim dalam mencari keadilan.
sisi lainnya aturan tersebut dipandang pula dapat Namun demikian, di sisi lain hakim juga dibebani
menciderai prinsip independensi hakim dalam tanggung jawab profesi, artinya hakim tidak
menjalankan tugasnya. bisa sewenang-wenang dalam menjalankan
Terkait dengan kebijakan kriminalisasi tugasnya, hakim memiliki tanggung jawab, baik
tindakan hakim ini, dapat disampaikan pula secara moral, hukum, dan teknis profesinya.
bahwa sebelumnya pada tanggal 28 Maret 2013, Dalam praktiknya, kerap kali ditemukan
Mahkamah Konstitusi (MK) dengan putusannya kejanggalan-kejanggalan dalam proses pengadilan
nomor 110/PUU-X/2012, telah mengabulkan dan dalam penetapan ataupun putusan hakim.
permohonan Judicial Review terhadap Pasal 96, Terkadang keleluasaan hakim kemudian
Pasal 100, Pasal 101 Undang-Undang Nomor malah dirasakan menimbulkan ketidakadilan.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Situasi ini kemudian menimbulkan reaksi dari
Pidana Anak (UU SPPA) yang diajukan oleh masyarakat, serta terutama oleh orang-orang
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Ketiga pasal yang berkecimpung dalam dunia peradilan. Para
tersebut merupakan pasal-pasal yang memuat legislator di DPR sebagai representasi rakyat
sanksi pidana bagi penegak hukum termasuk juga kemudian mengambil langkah dengan
hakim. Dalam salah satu pertimbangannya, merumuskan ketentuan pidana bagi para
MK berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut penegak hukum, khususnya dalam konteks ini
berpotensi menciderai prinsip independensi yakni hakim yang melanggar ketentuan hukum.
hakim. Kajian ini secara khusus akan menganalisis
b. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan rumusan kebijakan kriminalisasi terhadap
perkara; tindakan hakim yang terkandung dalam pasal 98
c. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk RUU Mahkamah Agung.
melakukan penekanan secara fisik/atau psikis;
d. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan serta melarang keluarganya meminta C. Tujuan dan Kegunaan
dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan Tujuan dari penulisan ini terutama untuk
sehubungan dengan jabatannya; dan mendapatkan pemahaman hukum mengenai
e. Bertindak diskriminatif.
kebijakan kriminalisasi terhadap tindakan
Pasal 96 RUU MA: “Mahkamah Agung tidak berwenang
untuk menilai fakta-fakta dan pembuktian dalam hakim yang terkandung dalam Pasal 98 RUU
persidangan sepanjang tidak bertentangan dengan Mahkamah Agung yang saat ini masih dalam
Undang-Undang.” tahap pembahasan di Komisi III Dewan
Pasal 97RUU MA: Mahkamah Agung dalam tingkat
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
kasasi dilarang:
a. Membuat putusan yang melanggar undang-undang; Kegunaan tulisan ini yaitu sebagai
b. Membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan tambahan wawasan hukum, khususnya
kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru- mengenai kebijakan kriminalisasi. Kajian ini
hara;
juga dapat menjadi bahan masukan penting
c. Dilarang membuat putusan yang tidak mungkin
dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas bagi para pembentuk undang-undang yang saat
di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan ini sedang merumuskan kebijakan kriminalisasi
kebiasaan yang turun temurun sehingga akan terhadap tindakan hakim dalam RUU
mengakibatkan pertikaian dan keributan;
Mahkamah Agung.
d. Dilarang merubah Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara
sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.

50 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


II. KERANGKA PEMIKIRAN b. Perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa
A. Kebijakan Kriminalisasi yang dapat dikenakan terhadap pelaku
Tulisan ini memaknai kebijakan perbuatan terlarang itu (baik berupa pidana
kriminalisasi sebagai menetapkan perbuatan atau tindakan) dan sistem penerapannya;
yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur
tindak pidana dalam suatu aturan perundang- atau mekanisme sistem peradilan pidana
undangan. Pada hakikatnya, kebijakan dalam rangka penegakan hukum pidana.
kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan Menurut Bassiouni, keputusan untuk
kriminal dengan menggunakan sarana hukum melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi
pidana, dan oleh karena itu termasuk bagian harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan
dari kebijakan hukum pidana.8 tertentu yang mempertimbangkan bermacam-
Menurut Bambang Poernomo dalam buku macam faktor, termasuk:11
Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum Hukum 1) Keseimbangan sarana-sarana yang
Pidana Kodifikasi,9 “penentuan perbuatan kriminal digunakan dalam hubungannya dengan
dimaksudkan merupakan suatu proses penetapan tujuan-tujuan yang dicari;
suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang 2) Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang
dapat dipidana. Proses kriminalisasi ini secara diperoleh dalam hubungannya dengan
formal dimulai dengan terbentuknya undang- tujuan-tujuan yang dicari;
undang di mana perbuatan tersebut diancam 3) Penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang
dengan suatu sanksi yang berupa pidana. dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-
Perbuatan tertentu yang mengalami proses prioritas lainnya dalam pengalokasian
kriminalisasi dalam arti faktual adakalanya sumber-sumber tenaga manusia;
secara materiil masyarakat sudah menganggap 4) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan
perbuatan jahat berdasarkan hukum yang hidup dekriminalisasi yang berkenaan dengan
dalam masyarakat dan mendapatkan keputusan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya
oleh petugas hukum yang berwenang sebagai yang sekunder.
perbuatan yang bersifat melawan hukum”.
Terkait dengan hal ini pula Barda Nawawi Bassiouni juga menjelaskan,12 bahwa segi
mengatakan bahwa kebijakan legislatif atau lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan
kebijakan perundang-undangan, secara kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-
fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari nilai yang ingin dicapai atau dilindungi
perencanaan dan mekanisme penanggulangan oleh hukum pidana. Bahwa sanksi pidana
kejahatan, bahkan dapat dikatakan sebagai harus disepadankan dengan kebutuhan
langkah awal. Secara garis besar perencanaan untuk melindungi dan mempertahankan
atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya
dituangkan dalam perundang-undangan itu dibenarkan apabila ada kebutuhan yang
meliputi:10 berguna bagi masyarakat; pidana yang tidak
a. Perencanaan atau kebijakan tentang diperlukan tidak dapat dibenarkan dan
perbuatan-perbuatan terlarang apa yang berbahaya bagi masyarakat. Selain itu, batas-
akan ditanggulangi karena dipandang batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasar
membahayakan atau merugikan; kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai
yang mewujudkannya. Berdasar pandangan
8
Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana,
Nusamedia, Bandung, 2010, hal. 133. yang demikian. Maka menurut Bassiouni
9
Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana:
Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia 11
M. Cherif Bassiouni, Substantive Criminal Law, Thomas
Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 60. Publisher, Springfield, 1978, hal. 82. Baca juga: Barda
10
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Nawawi Arief, Bunga Rampai: Kebijakan Hukum Pidana,
Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 32.
Bandung, 2005, hal. 55. 12
M. Cherif Bassiouni, ibid., hal. 78.

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 51


disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis. Selanjutnya bahwa “Kekuasaan kehakiman
Melainkan juga suatu disiplin yang berdasar merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
but also value-based and value-oriented). hukum dan keadilan”.17 Kekuasaan kehakiman
Sehubungan dengan hal ini, Barda Nawawi itu dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
Arief dalam bukunya “Bunga Rampai: Kebijakan dan badan peradilan di bawahnya dalam
Hukum Pidana”,13 menyimpulkan bahwa “dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy lingkungan peradilan tata usaha negara dan
oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.18
rasional, dan juga pendekatan yang berorientasi Kemandirian kekuasaan kehakiman atau
pada nilai (value judgment approach). Hanya saja kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya
antara pendakatan kebijakan dan pendekatan universal, yang terdapat di mana saja, asas ini
yang berorientasi pada nilai jangan terlalu berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan,
dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karena dalam hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas
pendekatan kebijakan sudah dalam seharusnya dalam memeriksa dan mengadili perkara dan
juga dipertimbangkan dalam faktor-faktor nilai. bebas dari campur tangan atau turun tangan
Kebijakan kriminal juga tidak bisa dilepaskan kekuasaan ekstra yudisial. Meskipun pada
dari kebijakan sosial suatu Negara. Pendekatan dasarnya hakim itu mandiri tetapi kebebasan
yang berorientasi pada kebijakan sosial terlihat hakim itu tidak mutlak, karena dalam
dalam Laporan Simposium Pembaharuan menjalankan tugasnya hakim secara mikro
Hukum Pidana Nasional pada Agustus 1980 dibatasi oleh Pancasila, Undang-Undang
di Semarang:14 “Masalah kriminalisasi dan Dasar 1945, peraturan perundang-undangan,
dekriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah kehendak para pihak, ketertiban umum dan
sesuai dengan politik kriminil yang dianut oleh kesusilaan, itu adalah faktor-faktor yang dapat
bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan membatasi kebebasan hakim. Namun meski
tersebut bertentangan atau tidak bertentangan kebebasan hakim itu bersifat universal, tetapi
dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku pelaksanaannya di masing-masing negara tidak
dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap sama. Di samping itu, secara makro kebebasan
patut atau tidak patut dihukum dalam rangka hakim juga dibatasi oleh sistem pemerintahan,
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat”. sistem politik, sistem ekonomi dan sebagainya.
Kriminalisasi haruslah diwujudkan dalam Bambang Soetiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari,
bentuk aturan tertulis dalam bentuk peraturan menyatakan kekuasaan kehakiman dapat
perundang-undangan. Aturan perundang- dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:19
undangan harus tunduk pada aturan sinkronisasi 1) Kemandirian Lembaganya/Institusinya.
dan asas-asas hukum dalam aturan perundang- a. Tidak tergantung pada lembaga-
undangan dan tidak boleh bertentangan dengan lembaga lain, misalnya dengan institusi
aturan yang lebih tinggi tingkatannya.15 kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan
dan lembaga-lembaga lainnya, yang
B. Prinsip Independensi Hakim dapat mempengaruhi integritas dan
Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa kemandiriannya.
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.16 b. Tidak mempunyai hubungan hirarkhis
ke atas secara formal, di mana lembaga
13

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai: Kebijakan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 36. 17
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
14
Laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana 18
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.
Nasional pada Agustus 1980 di Semarang, hal. 4. 19
Ma’shum Ahmad, Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman
15
Teguh Prasetyo, Opcit, hal. 139. Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Total
16
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Media, Yogyakarta, 2009, hal. 56-58.

52 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


atasannya tersebut dapat campur masa jabatan dan gaji yang terjamin, tidak ada
tangan dan mempengaruhi kebebasan intervensi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif
atau kemandirian terhadap keberadaan terhadap proses peradilan dan pengadilan,
lembaga peradilan tersebut. Akan tetapi dan adanya otonomi secara administratif, dan
perlu diperhatikan, sepanjang sudah anggaran belanja.21
diatur dalam peraturan perundang- Kemandirian lembaga peradilan dan
undangan, seperti memberikan lembaga penegak hukum, perlu diimbangi
pengawasan kepada pengadilan dengan menciptakan sistem pengawasan dan
dibawahnya, maka hubungan hirarkhis pertanggungjawaban yang baik. Selain itu, dalam
antara lembaga atasan dengan bawahan menunjang terciptanya sistem peradilan yang
dapat dibenarkan secara hukum. terpadu, perlu dilakukan sinkronisasi peraturan
2) Kemandirian Proses Pengadilannya perundang-undangan yang mengatur mengenai
Kemandirian proses peradilan dimulai dari tugas dan wewenang hakim dan aparat penegak
proses pemeriksaan perkara, pembuktian hukum. Sinkronisasi ini menjadi penting
sampai pada putusan yang dijatuhkannya. untuk menghindari tumpang tindih tugas dan
Parameter mandiri atau tidaknya campur wewenang aparat penegak hukum yang selama
tangan (intervensi) dari pihak-pihak lain ini terjadi sehingga merugikan upaya penegakan
di luar kekuasaan kehakiman yang dengan hukum dan masyarakat pencari keadilan.22
berbagai upaya mempengaruhi jalannya
proses peradilan baik secara langsung III. PEMBAHASAN
maupun tidak langsung. Rancangan Undang-Undang Mahkamah
3) Kemandirian Hakimnya Agung yang akan dibahas dalam kajian ini
Kemandirian hakim di sini dapat merupakan revisi terhadap Undang-Undang
dibedakan tersendiri, karena hakimnya Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
secara fungsional merupakan tenaga inti Agung yang sebagaimana telah dua kali diubah,
penegakan hukum dalam penyelenggaraan yakni dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
proses peradilan. Parameter mandiri 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
atau tidaknya hakim dalam memeriksa Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
perkara dapat dilihat dari kemampuan dan Agung, serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun
ketahanan hakim dalam menjaga integritas 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
moral dan komitmen kebebasan profesinya Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
dalam menjalankan tugas dan wewenang Mahkamah Agung.
dari adanya campur tangan dari pihak lain Dalam revisi UU MA kali ini, sebenarnya
dalam proses peradilan. kebijakan kriminalisasi terhadap tindakan
Kekuasaan kehakiman yang bebas hakim yang termuat dalam Pasal 98 RUU
(Independence) dan tidak bepihak (Impartial) sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian
hanya akan terwujud apabila hanya tunduk latar belakang bukanlah merupakan substansi
pada aturan-aturan hukum yang berlaku dan utama yang menjadi isu perubahan. Melalui
penegaknya. Satu hal yang patut dicatat bahwa Naskah Akademik RUU MA dapat diketahui
jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman bahwa yang menjadi pokok-pokok substansi
akan membuat para hakim merasa lebih nyaman perubahan RUU ini yaitu soal rekrutmen hakim
dalam melaksanakan tugas-tugasnya.20 agung, perbaikan organisasi dan manajemen
Kekuasaan kehakiman yang bebas dan MA, pembagian sistem kamar, pembatasan
tidak memihak ini mempunyai sedikitnya
lima segi, yaitu pengangkatan tehadap pejabat 21 Ibid, hal. 23.
lembaga peradilan yang tidak bersifat politik, 22 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan
dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
20
Ibid, hal. 22. Bandung, 1998, hal. 44.

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 53


perkara, serta pengawasan dan pemberhentian secara efektif, artinya suatu kebijakan
hakim.23 kriminalisasi tidak bisa serta-merta dilakukan
Namun demikian, meskipun bukan tanpa perhitungan dan pertimbangan yang
merupakan substansi utama dalam perubahan matang.
RUU, Pasal 98 mengenai ketentuan pidana Legislator dalam menetapkan setiap
yang termuat dalam BAB IX memunculkan kebijakan, termasuk dalam hal ini kebijakan
perdebatan hukum dan menjadi perhatian kriminalisasi, memiliki Naskah Akademik,
para pemerhati hukum, termasuk dalam yang di dalamnya termuat urgensi, konsepsi,
sidang-sidang pembahasan RUU tersebut di landasan, alas hukum dan prinsip-prinsip yang
DPR. Dalam sidang-sidang pembahasan RUU digunakan serta pemikiran tentang norma-
MA di Komisi III DPR, pihak Pemerintah norma yang dituangkan ke dalam bentuk
kerap mempertanyakan rasio hukum tentang pasal-pasal. Hal ini dilakukan agar kebijakan
sanksi pidana bagi hakim yang termuat dalam dapat dipertanggungjawabkan secara ilmu
Pasal 98 RUU. Mengenai hal ini, beberapa hukum dan sesuai dengan politik hukum
anggota Komisi III DPR sebagai pengusul RUU yang telah digariskan. Dalam menetapkan
menyampaikan bahwa sanksi pidana tersebut kebijakan kriminalisasi, sudah semestinya
dimaksudkan agar para hakim lebih hati- tertuang perihal perbuatan-perbuatan terlarang
hati dalam menjalankan tugasnya, berbagai apa yang akan ditanggulangi, yakni yang
kejanggalan dalam dunia peradilan juga dipandang membahayakan atau merugikan
banyak diungkapkan anggota Komisi III untuk masyarakat. Hingga saat tulisan ini dibuat,
menjelaskan bahwa sanksi pidana bagi hakim perihal perbuatan-perbuatan terlarang apa yang
sangatlah diperlukan.24 Sementara di lain akan ditanggulangi oleh kebijakan kriminalisasi
pihak, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan dalam RUU MA belum terdapat dalam NA
Ketua MA saat ini M. Hatta Ali berulang kali RUU MA.
menyatakan di berbagai media bahwa pasal ini Naskah akademik (NA) RUU MA
bertentangan dengan Konstitusi.25 belum menjabarkan dengan jelas perihal latar
Dari sudut pandang ilmu kebijakan hukum belakang di balik pembentukan Pasal 98 RUU,
pidana, perumusan kebijakan kriminalisasi namun secara umum terdapat penjelasan
terhadap beberapa tindakan hakim yang diatur dalam NA RUU MA bahwa urgensi perubahan
dalam Pasal 98 RUU MA memang dapat UU ini diantaranya dimaksudkan untuk lebih
dikatakan sebagai salah satu langkah dalam menjamin kepastian hukum dan memenuhi
penanggulangan kejahatan yang selama ini rasa keadilan bagi para pencari keadilan.
dirasakan oleh masyarakat. Namun demikian, Perubahan UU MA juga dikatakan sebagai
dalam setiap proses pembuatan kebijakan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat
kriminalisasi, tentu terdapat banyak hal yang kepada lembaga peradilan.26 Menurut penulis,
harus ditelaah terlebih dahulu, agar kebijakan penjelasan di NA RUU MA itu tentu belumlah
tersebut menjadi layak dan dapat diterapkan cukup untuk menjadi dasar pembentukan pasal
kriminaliasasi.
23
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Mengenai ketentuan pidana, kebijakan
Mahkamah Agung (NA RUU MA), hal. 29. kriminalisasi terhadap tindakan hakim dalam
24
Kesaksian penulis sebagai salah satu anggota tim
RUU MA hanya diatur dalam satu pasal (Pasal
pendamping pembahasan RUU Mahkamah Agung di DPR
RI. Anggota Komisi III yang paling sering menyampaikan 98), namun mengatur cukup banyak tindakan
argumentasi terkait kebijakan kriminalisasti terhadap yang dilarang yang diatur dalam beberapa pasal
tindakan hakim dalam RUU MA yakni Nudirman Munir sangkutannya. Pasal 98 RUU MA berbunyi:
dari fraksi Partai Golkar.
“Hakim yang melanggar ketentuan Pasal 56 ayat
25
Agus Sahbani, “MA: Kriminalisasi Hakim Langgar
Konstitusi”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/ (2) jo. Pasal 95 jo. Pasal 96 jo. Pasal 97, dapat
lt50000ba06944b/ma--kriminalisasi-hakim-langgar-
konstitusi, diakses pada 21 Juni 2014. 26
NA RUU MA, opcit., hal. 26-27.

54 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tentang sanksi apa yang dapat dikenakan
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling terhadap pelaku perbuatan terlarang itu (baik
banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar berupa pidana atau tindakan) dan sistem
rupiah).” penerapannya, dan yang terakhir 3) barulah
Dari ketentuan pidana tersebut, maka menentukan kebijakan tentang prosedur atau
beberapa tindakan hakim yang dikriminalisasi mekanisme sistem peradilan pidana dalam
sebagai berikut: perbuatan pelanggaran terhadap rangka penegakan hukum pidana terhadap
ketentuan pembatasan pengajuan kasasi27, perbuatan terlarang tersebut.
penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan Jika memperhatikan substansi yang
tertentu, perbuatan merekayasa fakta-fakta terkandung dalam ketentuan pidana Pasal 98
hukum dalam penanganan perkara, perbuatan RUU MA, terdapat cukup banyak perbuatan
meminta dan/atau menerima hadiah sehubungan yang dikriminalisasi. Menurut penulis, secara
dengan jabatannya, dan perbuatan diskriminatif28. umum perbuatan-perbuatan hakim yang
Selain itu, ada pula larangan terhadap Mahkamah dilarang dalam RUU MA tersebut memang
Agung untuk menilai fakta-fakta dan pembuktian dapat dikategorikan sangat merugikan dan
dalam persidangan sepanjang tidak bertentangan membahayakan. Beberapa perbuatan hakim yang
dengan Undang-Undang.29 dilarang bahkan tidak disukai oleh masyarakat,
RUU MA juga mengatur bahwa Mahkamah dan tentu saja sangat merugikan para korban.
Agung dilarang membuat putusan yang Dapat dikategorikan sebagai “kejahatan yang
melanggar undang-undang, membuat putusan sangat dibenci”, karena dilakukan oleh penegak
yang menimbulkan keonaran dan kerusakan hukum hakim dan merupakan bentuk dari
serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara, kejahatan yang selama ini disebut sebagai mafia
dilarang membuat putusan yang tidak mungkin peradilan (judicial corruption). Pelanggaran
dilaksanakan karena bertentangan dengan terhadap pembatasan kasasi misalnya, selama
realitas di tengah-tengah masyarakat, adat ini kerap terjadi, di mana seseorang yang telah
istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun diputus bebas di tingkat pertama tiba-tiba bisa
sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan diajukan kasasinya lalu diputus bersalah oleh
keributan, dan dilarang merubah Keputusan MA, ini melanggar aturan KUHAP. Belum lagi
Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua perbuatan penyalahgunaan wewenang hakim,
Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau rekayasa fakta hukum, meminta/menerima
Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan hadiah terkait jabatannya, dan tindakan
Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak30. diskriminatif, yang memang pantas untuk
Dengan memahami bahwa pembuatan dijadikan prioritas penegakan hukum.
kebijakan kriminalisasi merupakan proses Kebijakan kriminalisasi terkait mafia
penanggulangan kejahatan melalui peraturan peradilan, rekayasa fakta hukum, dan meminta
perundang-undangan, maka dalam prosesnya hadiah terkait jabatannya merupakan
setidaknya meliputi kegiatan-kegiatan sebagai perkembangan dalam tanggung jawab hukum
berikut:31 1) kegiatan perencanaan atau profesi hakim.32 Sebagaimana kita ketahui,
penetapan kebijakan tentang perbuatan- bahwa selama ini tanggung jawab hukum profesi
perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi hakim yang bersifat pidana diantaranya diatur di
karena dipandang membahayakan atau Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
merugikan, selanjutnya 2) penentuan kebijakan

32
Dalam menjalankan tugasnya, hakim juga terikat pada
27
Pasal 56 ayat (2) RUU MA. tanggung jawab profesinya. Tanggung jawab profesi hakim
28
Pasal 95 RUU MA. dapat dibedakan menjadi tiga, yakni tanggung jawab etik/
29
Pasal 96 RUU MA. moral hakim, tanggung jawab hukum hakim, dan tanggung
30
Pasal 97 RUU MA. jawab teknis profesi hakim. Ketiga tanggung jawab profesi
31
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan hakim tersebut diatur dalam peraturan hukum yang
Dan Pengembangan Hukum Pidana, loc.cit. berbeda dengan konsekuensi yang berbeda pula.

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 55


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Unsur perbuatan pidana “meminta hadiah
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak terkait jabatan” merupakan unsur tambahan
Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-Undang baru dalam perilaku korup hakim yang
Hukum Pidana (KUHP), yakni mengenai tindak sebelumnya telah dirumuskan dalam beberapa
pidana suap atau gratifikasi kepada hakim.33 peraturan hukum serupa.34 Dengan pasal ini,
33
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang maka hakim sudah bisa dituntut secara pidana
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 meskipun belum menerima uang dari pihak
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: yang berurusan dengannya terkait jabatannya
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
sebagai hakim.
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima Selain itu, Mahkamah Agung juga dilarang
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 untuk menilai fakta-fakta dan pembuktian dalam
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: persidangan sepanjang tidak bertentangan
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan Undang-Undang. Hal ini untuk
dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; memberikan kepastian hukum tentang batasan
atau wewenang dari Mahkamah Agung. Pada tingkat
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada kasasi, Mahkamah Agung memang seharusnya
seseorang yang menurut ketentuan peraturan
tidak lagi memeriksa fakta dan bukti-bukti
perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan perkara. Mahkamah Agung hanya memeriksa
dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat interpretasi, konstruksi dan penerapan hukum
atau pendapat yang akan diberikan berhubung terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh
dengan perkara yang diserahkan kepada
judex facti, itulah mengapa Mahkamah Agung
pengadilan untuk diadili.
2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji disebut judex juris. Pengaturan ini sangat penting
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan selaras dengan semangat penyelesaian
atau advokat yang menerima pemberian atau janji persoalan penumpukan perkara di Mahkamah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana
Agung.
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1). Sementara dari sisi sanksi pidana yang
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang diancamkan terhadap pelanggar, dapat
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun dikatakan cukup berat, yakni pidana penjara
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
“Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling (sepuluh miliar rupiah). Ancaman hukuman
sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan yang berat sebenarnya bagus, sebab dapat
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):”
memunculkan pengaruh pencegahan (deterrent
a. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji effect) bagi subjek pelanggar hukum. Namun
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan dari sisi hakim sebagai petugas pencari
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; keadilan maka sanksi berat tersebut tentu
Pasal 210 KUHP:
cukup menimbulkan efek ketakutan dalam
1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun: menjalankan tugas. Ini bisa berarti baik jika
1. barang siapa memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud 2) Jika pemberian atau janji dilakukan dengan
untuk mempengaruhi putusan tentang perkara maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan
yang diserahkan kepadanya untuk diadili; pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan
2. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu pidana penjara paling lama sembilan tahun.
kepada seorang yang menurut ketentuan 3) Pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1-4 dapat
undang-undang ditentukan menjadi penasihat dijatuhkan.
atau adviseur untuk menghadiri sidang 34
Pasal 6 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
atau pengadilan, dengan maksud untuk 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
akan diherikan berhubung dengan perkara yang Korupsi, dan Pasal 210 Kitab Undang-Undang Hukum
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Pidana (KUHP).

56 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


melihatnya dari sisi upaya peningkatan kehati- kekuasaan kehakiman”.36 Selanjutnya MK juga
hatian hakim dalam menjalankan tugasnya. menyatakan “menimbang bahwa Pasal 96, Pasal
Namun juga bisa berarti buruk jika melihatnya 100, dan Pasal 101 UU No.11 Tahun 2012
dari sisi prinsip kebebasan hakim, yang dalam yang menentukan ancaman pidana kepada
keadaan tertentu bisa lebih mengedepankan pejabat khusus dalam penyelenggaraan SPPA,
keadilan substansial dibandingkan keadilan yaitu hakim, pejabat pengadilan, penyidik, dan
prosedural. penuntut umum. Menurut Mahkamah, bukan
Dalam hal mekanisme penegakan saja tidak merumuskan ketentuan-ketentuan
hukumnya juga menimbulkan pertanyaan konstitusional mengenai kemerdekaan
tentang efektifitas pelaksanaannya. Para kekuasaan kehakiman dan independensi
hakim akan berhadapan dengan situasi pejabat khusus yang terkait (hakim, penuntut
dilematis dalam memutuskan perkara terkait umum, dan penyidik anak), yakni memberikan
“teman sejawat” yang melakukan pelanggaran jaminan hukum bagi penyelenggara pengadilan
dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim yang merdeka, tetapi lebih dari itu juga telah
pengadilan. melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran
Selain bahwa kebijakan kriminalisasi administratif dalam penyelenggaraan SPPA
terhadap tindakan hakim dalam RUU MA yang tentu memberikan dampak negatif
ini sangat sulit untuk diterapkan, kebijakan terhadap pejabat-pejabat khusus yang
ini juga berpotensi besar di judicial review ke menyelenggarakan SPPA. Dampak negatif
Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap tersebut adalah dampak psikologis yang tidak
dapat mempengaruhi kebebasan hakim perlu, yakni berupa ketakutan dan kekhawatiran
dalam memutus perkara. Perihal kebijakan dalam penyelenggaraan tugas dalam mengadili
kriminalisasi terhadap tindakan hakim suatu perkara. Hal demikian menimbulkan
dalam menjalankan tugasnya sebagai hakim ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang
pengadilan yang “berhasil” dijudicial review ke berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat
MK pernah terjadi sebelumnya, yakni terhadap (1) UUD 1945 dan kontra produktif dengan
Pasal 96 dan Pasal 100 Undang-Undang Nomor maksud untuk menyelenggarakan SPPA
11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana dengan diversinya secara efektif dan efisien
Anak (UU SPPA).35 dalam rangka keadilan restoratif.37
Dalam pertimbangan MK, yang termuat Khusus untuk perbuatan-perbuatan hakim
dalam Putusan Nomor 110/PUU-X/2012 yang dikriminalisasi dalam pengaturan Pasal 97
tanggal 28 Maret 2013, terkait prinsip RUU MA memang agak sulit untuk dipahami
kebebasan hakim, MK menyatakan tujuan dan raison déter dibalik kriminalisasinya.
“menimbang bahwa kemerdekaan kekuasaan Menurut penulis pasal inilah yang paling
kehakiman, selain mewajibkan hakim untuk berpotensi dianggap mengganggu independensi
mengimplementasikan sebagaimana diuraikan, hakim dalam memutus suatu perkara. Berikut
melarang setiap kekuasaan ekstra yudisial ini analisis terkait substansi Pasal 97 RUU MA:
memengaruhi atau lebih-lebih lagi turut campur Pertama, dilarang membuat putusan
kepada pengadilan sebagai institusi pelaku yang melanggar undang-undang. Pasal ini
dan kepada hakim sebagai pejabat pelaksana tentu merugikan para hakim yang terkadang
harus mengambil langkah tersebut demi
35
Dalam putusannya, MK pada ahkhirnya mengabulkan
seluruh permohonan pemohon, yakni menyatakan Pasal keadilan (keadilan substantif), atau setidaknya
96, Pasal 100, dan Pasal 101 UU SPPA bertentangan keputusan atau langkah yang diambil hakim
dengan UUD 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai yakni mendekati idee des recht, yakni bahwa
kekuatan hukum mengikat. Implikasi dari kebijakan
idealnya keputusan hakim mengandung
kriminalisasi terhadap hakim dalam UU SPPA
terhadap prinsip kebebasan hakim merupakan dasar 36
Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 110/
utama pertimbangan MK dalam mencabut pasal-pasal PUU-X/2012, Tanggal 28 Maret 2013, hal. 121.
kriminalisasi terkait. 37
Ibid, hal. 122.

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 57


ketiga unsur yaitu keadilan, kemanfaatan dan Ketiga, dilarang membuat putusan yang tidak
kepastian hukum secara proporsional, dan mungkin dilaksanakan karena bertentangan
bukannya hakim aliran legisme yang hanya dengan realitas di tengah-tengah masyarakat,
mengedepankan kepastian hukum, yakni hakim adat istiadat, dan kebiasaan yang turun temurun
sebagai corong undang-undang (la baoche de la sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan
loi). keributan. Kriminalisasi terhadap putusan
Hakim terkadang “terpaksa” melanggar hakim yang seperti ini lebih membingungkan
undang-undang untuk mendapatkan keadilan lagi, mengacaukan posisi hukum adat dalam
yang sebenarnya. Mantan Ketua Mahkamah hukum nasional. Terdapat pula unsur akibat,
Konstitusi (MK), Mahfud MD bahkan pernah yakni sebagai sebab pertikaian dan keributan.
mengatakan, bahwa hakim yang benar adalah Hal ini bertentangan dengan prinsip kebebasan
hakim yang berani mengeluarkan putusan hakim bahwa hakim harus mempertahankan
adil sesuai dengan hati nurani dan etika yang keadilan meskipun di bawah tekanan, bahkan
ada. Menurutnya, ada waktu di mana hakim dari penguasa sekalipun.
berada di posisi sulit karena harus mengambil Posisi hukum adat sudah jelas, pasca
keputusan yang sebenarnya melanggar undang- amandemen konstitusi, hukum adat diakui
undang.38 sebagaimana dinyatakan dalam Undang-
Kedua, dilarang membuat putusan yang Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2), bahwa
menimbulkan keonaran. Pasal ini rancu dengan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
logika hukum, bukankah ada adagium yang kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
mengatakan fiat justitia ruat caelum, bahwa hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
hukum harus ditegakkan walau langit akan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
runtuh. Pasal ini dapat membuat perilaku onar prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia,
dan rusuh menjadi senjata untuk menolak yang diatur dalam undang-undang. Hadin
putusan hakim. Hakim tentu tidak boleh Muhjad dalam sebuah tulisannya menjelaskan
dipengaruhi oleh opini publik, ini merupakan bahwa dari bunyi konstitusi tersebut, maka
pelanggaran terhadap kebebasan hakim, disimpulkan bahwa jaminan pengakuan
sebagaimana yang dijamin dalam konstitusi dan penghormatan hukum adat sepanjang
Pasal 24, Pasal 24A, dan Pasal 24C UUD 1945. memenuhi syarat:39
Opini publik lebih menekankan pada social 1. Syarat Realitas, yaitu hukum adat
justice, sedangkan penegakan hukum bertujuan masih hidup dan sesuai perkembangan
menciptakan legal justice. masyarakat;
2. Syarat Idealitas, yaitu sesuai dengan prinsip
38
Mahfud MD bahkan mengatakan, bahwa “hakim yang negara kesatuan Republik Indonesia, dan
benar itu adalah yang berani melanggar undang-undang. keberlakuan diatur dalam undang-undang;
Berani mencari keadilan sesuai dengan nilai hukum
yang ada”. Ini disampaikannya dalam sebuah diskusi di Keempat, dilarang merubah Keputusan
Gedung LIPI, Jakarta, Senin 30 September 2013. Lihat Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua
Indra Akuntono, “Kata Mahfud, Hakim yang Benar Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau
Berani Langgar UU”, http://nasional.kompas.com/
Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan
read/2013/09/30/1508160/Kata.Mahfud.Hakim.yang.
Benar.Berani.Langgar.UU, diakses pada 21 Juni 2014. Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.
Contoh lainnya, ketika Ketua Mahkamah Kriminalisasi terhadap tindakan ini terlalu
Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva juga melakukan berlebihan. Sementara dalam Pasal 49 RUU
pelanggaran undang-undang, yakni UU MK Pasal 6 ayat 3
agar bisa membantu KPK. Ketika itu ia bersedia diperiksa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) demi mempercepat 39
Makalah oleh Hadin Muhjad, Peran Dan Fungsi Kedudukan
proses kasus Akil Mochtar. Lihat Angga Yudha Pratomo, Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional Dalam Rangka
“KPK gerah dengan pernyataan Hamdan Zoelva”, http:// Penguatan Dan Pelestarian Nilai-Nilai Adat Istiadat Di
www.merdeka.com/peristiwa/demi-bantu-kpk-hamdan- Daerah, disampaikan pada Rakerda I Dad Kabupaten
langgar-undang-undang.html, diakses pada 21 Juni 2014. Gunung Mas, 15 April 2011, Di Kuala Kurun.

58 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


MA tersebut juga telah diatur bahwa Kode Etik dan keonaran dengan maksud menyalahkan
dan Pedoman Perilaku Hakim ditetapkan oleh putusan hakim pengadilan.
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Dengan empat argumen ini, maka IV. PENUTUP
menurut penulis, khusus untuk Pasal 97 A. Kesimpulan
RUU MA nampaknya para pembentuk UU Perumusan kebijakan kriminalisasi
perlu mempertimbangkan kembali wacana terhadap beberapa tindakan hakim dalam RUU
kriminalisasi terhadap perbuatan-perbuatan MA dapat dikatakan sebagai salah satu langkah
yang terkandung dalam pasal tersebut. dalam penanggulangan kejahatan yang selama
Sementara secara umum, kebijakan kriminalisasi ini dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan
terhadap tindakan hakim yang diatur dalam telaah yuridis yang dilakukan dalam kajian
pasal 98 RUU MA dapat dikategorikan sebagai ini, terdapat beberapa hal yang menjadi
kebijakan yang sarat dengan nilai-nilai. catatan terkait perumusan Pasal 98 RUU MA.
Dalam pembentukan kebijakan Diantaranya bahwa Naskah Akademik RUU
kriminalisasi, nilai-nilai merupakan faktor MA belum cukup menjelaskan terkait latar
fundamental, yang dalam istilah Bassiouni belakang atau raison d’eter perumusan pasal
yakni value oriented policy, bahwa dalam setiap kriminalisasi. dalam menetapkan kebijakan
pembuatan kebijakan kriminalisasi, pendekatan kriminalisasi. Padahal dalam setiap pembuatan
yang digunakan jangan hanya menggunakan kebijakan kriminalisasi, sudah semestinya
pendekatan kebijakan, melainkan juga dengan tertuang perihal perbuatan-perbuatan terlarang
pendekatan nilai. Namun demikian perlu pula apa yang akan ditanggulangi, yakni yang
dipahami, bahwa pendekatan nilai di sini tidak dipandang membahayakan atau merugikan
bisa hanya melihat dari satu sisi nilai, namun masyarakat.
harus memperhatikan nilai-nilai atau asas-asas Secara umum perbuatan-perbuatan
lain yang terkait dan saling bersinggungan, hakim yang dilarang dalam RUU MA
salah satunya yakni asas independensi hakim. dapat dikategorikan sangat merugikan dan
Selain itu, dari segi sinkronisasi peraturan membahayakan. Kebijakan kriminalisasi terkait
perundang-undangan, kebijakan kriminalisasi mafia peradilan, rekayasa fakta hukum, dan
yang diatur oleh RUU MA tentu sangat perlu meminta hadiah terkait jabatannya bahkan
memperhatikan asas atau prinsip yang telah merupakan perkembangan dalam tanggung
dijamin oleh konstitusi. jawab hukum profesi hakim. Kecuali Pasal 97
Pembentuk undang-undang sudah RUU MA, yang menurut penulis agak sulit
semestinya memperhatikan dan menjamin untuk dipahami tujuan dan raison déter dibalik
tegaknya nilai-nilai yang selama ini sudah ada kriminalisasinya.
di masyarakat dan dijamin oleh konstitusi, Mengenai sanksi pidana yang diancamkan
seperti kebebasan hakim dalam memutus terhadap pelanggar dapat dikatakan cukup
perkara, legal justice, dan kedudukan hukum berat. Ancaman hukuman yang berat
adat dalam hukum nasional. Kriminaliasasi sebenarnya bagus, sebab dapat memunculkan
tidak boleh dilakukan secara serampangan dan pengaruh pencegahan (deterrent effect) bagi
menyebabkan tidak dapat diterapkannya sanksi subjek pelanggar hukum. Namun dari sisi
pidana itu sendiri, artinya sanksi tersebut bukan hakim sebagai petugas pencari keadilan maka
hanya tidak dapat mencegah perbuatan yang sanksi berat tersebut tentu cukup menimbulkan
dilarang, melainkan malah dapat menimbulkan efek ketakutan dalam menjalankan tugas.
keadaan yang lebih berbahaya dan merugikan. Ini bisa berarti baik jika melihatnya dari sisi
Dalam konteks Pasal 97 RUU MA, dapat upaya peningkatan kehati-hatian hakim dalam
dikatakan berpotensi menjadi faktor kriminogen menjalankan tugasnya. Namun juga bisa
karena dapat memicu tindakan kerusuhan berarti buruk jika melihatnya dari sisi prinsip

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 59


kebebasan hakim, yang dalam keadaan tertentu DAFTAR PUSTAKA
seyogyanya bisa lebih mengedepankan keadilan
substansial dibandingkan keadilan prosedural.
Lebih jauh lagi, efektifitas pelaksanaan
penegakan hukum terhadap pasal tersebut akan Buku
sulit. Para hakim akan berhadapan dengan Ahmad, Ma’shum. Politik Hukum Kekuasaan
situasi dilematis dalam memutuskan perkara Kehakiman Pasca Amandemen Undang-
terkait “teman sejawat” yang melakukan Undang Dasar 1945. Total Media,
pelanggaran dalam menjalankan tugasnya Yogyakarta, 2009.
sebagai hakim pengadilan. Selain itu, kebijakan Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan
ini juga berpotensi besar di Judicial Review Penegakan Dan Pengembangan Hukum
ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
dapat mempengaruhi kebebasan hakim dalam
memutus perkara. ---------, Bunga Rampai: Kebijakan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
B. Saran ---------, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan
Pendekatan nilai merupakan faktor Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
fundamental dalam perumusan kebijakan Aditya Bakti, Bandung, 2005.
kriminalisasi, namun dengan tetap harus
Bassiouni, M. Cherif. Substantive Criminal Law.
memperhatikan nilai-nilai atau asas-asas
Thomas Publisher, Springfield, 1978.
lain yang terkait dan saling bersinggungan,
salah satunya yakni asas independensi hakim. Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum:
Terutama terkait dengan Pasal 97 RUU MA. Sebuah Pengantar. Liberty, Yogyakarta,
Dalam hal ini pembentuk undang-undang sudah 2006.
semestinya memperhatikan dan menjamin Prasetyo, Teguh. Kriminalisasi Dalam Hukum
tegaknya nilai-nilai yang selama ini sudah ada Pidana. Nusamedia, Bandung, 2010.
di masyarakat dan dijamin oleh konstitusi,
seperti kebebasan hakim dalam memutus Sakidjo, Aruan dan Bambang Poernomo.
perkara, legal justice, serta kedudukan hukum Hukum Pidana: Dasar Aturan Umum
adat dalam hukum nasional. Kriminaliasasi Hukum Pidana Kodifikasi. Ghalia Indonesia,
tidak boleh dilakukan secara serampangan dan Jakarta, 1990.
menyebabkan tidak dapat diterapkannya sanksi Syamsuddin, Amir. Integritas Penegak Hukum:
pidana itu sendiri. Artinya, sanksi tersebut bukan Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara. Buku
hanya tidak dapat mencegah perbuatan yang Kompas, Jakarta, Juni 2008.
dilarang, melainkan malah dapat menimbulkan
keadaan yang lebih berbahaya dan merugikan.
Makalah dan Laporan
Saran ditujukan kepada perumus RUU
Hiariej, Edward Omar Syarif. Makalah
MA di DPR, agar mempertimbangkan kembali
disampaikan pada “Seminar dan Eksaminasi
wacana kriminalisasi terhadap perbuatan-
Publik terhadap Kasus Anand Krishna”.
perbuatan yang terkandung dalam Pasal 97
tanggal 18 Oktober 2012 di University
RUU MA. Menurut penulis, Pasal tersebut
Club UGM Yogyakarta.
berpotensi menjadi faktor kriminogen
karena dapat memicu tindakan kerusuhan Laporan Simposium Pembaharuan Hukum
dan keonaran dengan maksud menyalahkan Pidana Nasional pada Agustus 1980 di
putusan hakim pengadilan. Semarang.
Muhjad, Hadin. Makalah disampaikan pada
seminar tentang Peran Dan Fungsi Kedudukan

60 NEGARA HUKUM: Vol. 5, No. 1, Juni 2014


Hukum Adat Dalam Sistem Hukum Nasional Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Dalam Rangka Penguatan Dan Pelestarian Nilai- Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Nilai Adat Istiadat Di Daerah. disampaikan Pidana Indonesia (KUHAP).
pada Rakerda I Dad Kabupaten Gunung Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Mas, 15 April 2011, Di Kuala Kurun. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Website Tindak Pidana Korupsi.
Agus Sahbani, “MA: Kriminalisasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Hakim Langgar Konstitusi”, http:// Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14
www.hukumonline.com/berita/baca/ Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
lt50000ba06944b/ma--kriminalisasi-
hakim-langgar-konstitusi, diakses pada 21 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Juni 2014. Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Indra Akuntono, “Kata Mahfud, Hakim yang Agung.
Benar Berani Langgar UU”, http://nasional.
kompas.com/read/2013/09/30/1508160/ Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Kata.Mahfud.Hakim.yang.Benar.Berani. Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Langgar.UU, diakses pada 21 Juni 2014. Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Angga Yudha Pratomo, “KPK gerah dengan 110/PUU-X/2012, Tanggal 28 Maret 2013.
pernyataan Hamdan Zoelva”, http://www. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2
merdeka.com/peristiwa/demi-bantu-kpk- Tahun 1985.
hamdan-langgar-undang-undang.html,
Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
diakses pada 21 Juni 2014.
Agung (RUU MA).
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Peraturan Perundang-undangan
tentang Mahkamah Agung (NA RUU MA).
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia (KUHP).

PRIANTER JAYA HAIRI: Kebijakan Kriminalisasi Tindakan Hakim... 61

You might also like