You are on page 1of 14

PENERAPAN TEORI PENAFSIRAN HUKUM OLEH HAKIM

SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP NOTARIS


(Studi Atas Putusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik)

Agus Priono
E-mail: agusprionoklt@gmail.com
Notaris Kabupaten Klaten
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Widodo T. Novianto
E-mail: novianto@consultant.com
I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani
E-mail: ayu_igk@yahoo.com
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
This articles aimed at to analyze the application of the Theory of Legal Interpretation by judges
as an attempt of legal protection against the notary, are study of the judge’s Verdict against
the crime of falsification of the authentic deed. The kind of research in this article is doctrinal,
while seen from its shape including research evaluative sense and perspective. The analysis used
logic deduction. Legal basis in the provision of criminal sanctions against notary can be taken
but in addition to must meet formulation offense which is in law office notary and the book the
act of criminal law. Judge in applying criminal sanctions against of criminal falsification an
authentic deed rules must payment the following : (1) the what may be punishable and meet
elements formulated in an act; (2) work of violates the laws or against the law; (3) a mistake,
in the form of both were (dolus) and neglect (culpa). Recommendations are : 1) examination
the allegation act punishable in forgery an authentic deed by a judge to do a holistic integral
by look aspect outwardly, formal, material notarial deed associated with a task, authority the
notary. 2) need to be made criteria and guidelines can be used the juridical for judges referred
to forgery certificate in duty and position of a notary. 3) although there are freedom the judge
in run/carry out of his rulings so the judges are not have to legalistik but prosecute at law in
the country broadly including actual knowledge already established so that his ruling to reflect
a sense of justice in society.
Keywords: The Application of; Interpreting; a Criminal Offense; an Authentic Deed.

Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis penerapan Teori Penafsiran Hukum oleh hakim sebagai
upaya perlindungan hukum terhadap Notaris, yaitu studi atas Putusan Hakim terhadap tindak
pidana pemalsuan akta otentik. Jenis penelitian dalam artikel ini adalah doktrinal, sedangkan
dilihat dari bentuknya termasuk penelitian evaluatif dan perspektif. Analisis yang digunakan
logika deduksi. Dasar hukum dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat saja
dilakukan namun di samping harus memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam
UUJN dan KUHP. Hakim dalam menerapkan sanksi pidana terhadap tindak pidana pemalsuan
akta otentik harus dipenuhinya syarat-syarat antara lain sebagai berikut : (1) adanya perbuatan
yang dapat dihukum dan memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam undang-undang; (2)
perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum/melawan hukum; (3) adanya kesalahan, baik

117
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

berupa kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa). Rekomendasinya adalah : 1) Pemeriksaan


adanya dugaan perbuatan pidana dalam pemalsuan akta otentik oleh Hakim harus dilakukan
pemeriksaan yang holistik integral dengan melihat aspek lahiriah, formal, material Akta Notaris
dikaitkan dengan tugas, wewenang, jabatan Notaris. 2) Perlu dibuat kriteria dan pedoman yang
dapat dipakai landasan yuridis bagi hakim yang dimaksud pemalsuan akta dalam tugas dan jabatan
notaris. 3) Meskipun ada kebebasan hakim dalam menjalankan/melaksanakan putusannya maka
hakim tidak harus legalistik tetapi mengadili menurut hukum dalam arti yang luas termasuk
aktualisasi pengertian-pengertian yang sudah mapan, sehingga putusannya dapat mencerminkan
rasa keadilan (dalam) masyarakat.
Kata Kunci: Penerapan; Penafsiran; Tindak Pidana; Akta Otentik.

A. Pendahuluan merupakan campur-tangan atas putusan yang


telah diambil oleh suatu kekuasaan lembaga
Kemandirian kekuasaan kehakiman atau
peradilan yang lebih rendah tingkatannya.
independensi peradilan (the independent
Campur tangan lembaga lain dimungkinkan
of judiciary) memang selalu terkait dengan
sepanjang UUD 1945 mengizinkan (Ahmad
konsep negara hokum (Frans Magnis Suseno,
Mujahidin, 2007 : 61).
1995 : 58-59), sebab salah satu syarat mutlak
negara hukum adalah adanya jaminan akan Oleh karena itu dalam ketentuan umum
kemandirian kekuasaan kehakiman atau Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
kebebasan hakim. Hal ini menunjukkan 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
bahwa unsur yang ensensial dari negara disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman
hukum ialah adanya jaminan kemandirian adalah kekuasaan negara yang merdeka
kekuasaan kehakiman atau independensi untuk menyelenggarakan peradilan guna
peradilan, yaitu bahwa di dalam melaksanakan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
peradilan, hakim bebas dari campur tangan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
kekuasaan ekstra yudisial baik kekuasaan Republik Indonesia Tahun 1945, demi
eksekutif maupun legislatif dan kekuatan terselenggaranya negara hukum Republik
ekstra yudisial lainnya dalam masyarakat, Indonesia. Meskipun demikian kebebasan
meskipun kekuasaan kehakiman tersebut hakim dalam melaksanakan wewenang
juga sebagai salah satu bagian atau alat dari yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas
kekuasaan negara. hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
Menurut Bagir Manan sebagaimana
putusannya mencerminkan rasa keadilan
dikutip Ahmad Mujahidin, Kekuasaan
rakyat Indonesia bukan keadilan subyektif
lembaga peradilan yang merdeka mengandung
menurut pengertian atau kehendak hakim
makna larangan bagi kekuasaan ekstra
semata (Yahya Harahap, 2008 : 2).
yustisial mencampuri proses penyelenggaraan
peradilan sebagai berikut : Larangan tersebut, Dalam menjalankan fungsi dan
hanya berlaku pada kekuasaan ekstra yustisial, kekuasaannya, dalam ketentuan Pasal 18 UU
tetapi kekuasaan lembaga peradilan tertentu, Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
dimungkinkan mencampuri pelaksanaan Kehakiman disebutkan dilakukan oleh sebuah
fungsi peradilan lainnya. Kewenangan Mahkamah Agung dan badan peradilan
Pengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara yang berada di bawahnya dalam lingkungan
banding, wewenang Mahkamah Agung peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
untuk melakukan pemeriksaan tingkat kasasi lingkungan peradilan militer, lingkungan

118
Agus Priono. Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan ...

peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah 4. Putusan-putusan dari pihak yang berkuasa
Mahkamah Konstitusi. harus dikuatkan dengan sanksi yang
Pengadilan sebagai salah satu pranata dari didasarkan kepada kekuasaan masyarakat
hukum modern, merupakan suatu mekanisme yang nyata (attribute of sanction).
yang disediakan Negara untuk menyelesaikan Kemandirian pengadilan adalah
sengketa ataupun bentuk permasalahan hukum adanya kemampuan pengadilan untuk
yang diajukan oleh warga masyarakat. Sehingga mewujudkan keempat atribut hukum itu dalam
dalam hal ini Pengadilan (Hakim) tidak kenyataannya., dimana pengadilan memahami
dapat menolak suatu perkara yang diajukan dirinya juga memahami masyarakat dengan
kepadanya dengan alasan tidak terdapat cara-cara yang memungkinkan peradilan
adanya hukum yang mengatur untuk itu. Di mereproduksi diri sendiri dalam penyelesaian
sisi lain ada beberapa alasan yang mendorong sengketa atau perkara yang masuk dalam
warga masyarakat untuk menyelesaikan yuridiksinya. Penyelesaian suatu perkara
sengketa (ataupun permasalahan hukumnya) atau sengketa dalam beracara di Pengadilan,
ke Pengadilan, yaitu : (1) Kepercayaan, para hakim dan pejabat badan peradilan
bahwa di tempat itu akan memperoleh dalam menjalankan kewenangannya terdapat
keadilan seperti mereka kehendaki. (2) rambu-rambu aturan hukum formal, maupun
Kepercayaan, bahwa Pengadilan merupakan hukum materiil. Kekuasaan peradilan dalam
lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai melaksanakan kewenangannya terikat pada
kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan aturan hukum materiil dan hukum formil/
nilai-nilai utama lainnya. (3) Bahwa waktu hukum acara sebagai dasar normatif dalam
dan biaya yang mereka keluarkan tidak sia- menjalankan kebebasan kekuasaan peradilan
sia. (4) Bahwa Pengadilan merupakan tempat dan atau kebebasan hakim dalam proses
bagi orang yang benar-benar memperoleh peradilan.
perlindungan hokum (Adi Sulistiyono, 2006 Manifestasi terwujudnya dari perlakukan-
: 18). perlakuan yang dijamin oleh ketentuan hukum
Dalam hal kewenangan untuk menjalankan yang terlaksana dengan baik, antara lain
kekuasaan kehakiman, Leopold Pospisil yang ialah persamaan di muka hukum, hak atas
dikutip Achmad Ali (Esmi Warassih, 2005 pemeriksaan pengadilan yang tidak memihak,
: 64) mengemukakan ada 4 (empat) atribut demikian pula tentang hak untuk tidak
hukum, yaitu : dianggap bersalah sebelum diputuskan oleh
1. Hukum merupakan putusan dari pihak- hakim. Berbicara tentang hakim dan putusan
pihak yang berkuasa dalam masyarakat, hakim di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
putusan-putusan mana ditujukan untuk pembicaraan tentang keadilan dan kepastian
mengatasi ketegangan-ketegangan yang hukum, karena keduanya merupakan unsur
terjadi di dalam masyarakat (attribute of yang ensensial dalam hukum, termasuk
authority), putusan hakim. Idealnya dalam sebuah
2. Putusan-putusan yang mempunyai putusan hakim harus dijiwai oleh ketiga nilai
daya jangkau yang panjang untuk masa dasar hukum yaitu keadilan, kepastian dan
mendatang (attribute of intention of kemanfaatan. Namun realitas menunjukkan
universal application), bahwa seringkali terjadi pertentangan antara
3. Putusan-putusan pengawasan yang nilai-nilai yang satu dengan yang lainnya,
harus berisi kewajiban-kewajiban pihak misalnya antara keadilan dan kepastian
pertama terhadap pihak-pihak kedua dan hukum atau antara kemanfaatan dan kepastian
sebaliknya (attribute of obligation), dan hukum. Hal ini yang menyebabkan ketiga

119
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

unsur ensensial hukum tersebut sulit terwujud nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
secara bersama-sama, dan bahkan lebih sering hidup dalam masyarakat;
terjadi konflik antara ketiganya, dimana (2) Hakim dan hakim konstitusi harus
pada kenyataan hal ini disebabkan peraturan memiliki integritas dan kepribadian yang
undang-undang cenderung mengabaikan tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan
realitas sosial dan bahkan adanya ketentuan berpengalaman di bidang hukum;
undang-undang yang tidak relevan lagi dengan (3) Hakim dan hakim konstitusi wajib
perkembangan masyarakat. mentaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Disisi yang lain kualitas keputusan yang Hakim.
diambil oleh hakim mempunyai pengaruh yang Hakim dalam memeriksa, memutus dan
penting pada kewibawaan dan kredibilitas mengadili perkara harus berdasarkan hukum
lembaga peradilan, sehingga rendahnya dan juga keyakinannya, bukan berdasarkan
kualitas keputusan atau vonis hakim jelas logika hukum. Purwoto S. Gondosubroto
akan menurunkan wibawa dan kredibilitas yang ditulis oleh P. Wignyosumarto (P.
pengadilan, namun hakim adalah manusia Wignyosumarto, 2006 : 69) menyatakan
yang resistensinya terbatas bila menghadapi sebagai berikut : (1) Dalam kasus yang
pengaruh-pengaruh yang senantiasa berada hukumnya atau undang-undangnya sudah
di sekelilingnya, hal ini yang sering kali jelas, hakim hanya menerapkan hukumnya
menyebabkan hakim tidak bisa berpikir (hakim menjadi terompet undang-undang).
obyektif dan bebas ketika hendak mengambil (2) Dalam kasus yang hukum dan undang-
suatu keputusan atas suatu perkara (Esmi undangnya tidak atau belum jelas, hakim harus
Warassih, 2005 : 66). menafsirkan hukum atau undang-undang,
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, melalui cara-cara atau metode penafsiran
yaitu mengadili perkara, hakim bukan hanya yang berlaku dalam ilmu hukum. (3) Dalam
sebagai mulut atau corong undang-undang, kasus dimana terjadi pelanggaran/penerapan
melainkan selalu harus menafsirkan atau hukum yang bertentangan dengan hukum/
fakta-fakta hukum yang terjadi dipersidangan, undang-undang yang berlaku, hakim akan
diterapkan dengan ketentuan undang-undang, menggunakan hak mengujinya berupa formele
sehingga mendapatkan keyakinan berdasarkan toetsingrecht atau meteriele toetsingrecht.
ketentuan yang berlaku. Disamping itu Berkaitan dengan kewajiban hakim
menurut Pasal 10 UU Nomor 48 Tahun 2009 untuk menggali, mengikuti dan memahami
tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk hidup dalam masyarakat, maka pemakaian
memeriksa, mengadili dan memutuskan teori-teori penemuan dan penafsiran hukum
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa dapat dilakukan dalam memutuskan suatu
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan perkara untuk kasus-kasus yang hukum/
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. undang-undangnya tidak/belum jelas. Namun
Oleh karena itu Hakim diwajibkan menggali, pemakaian teori penemuan dan penafsiran
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum hukum harus dilakukan dengan cara-cara atau
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat metode penafsiran yang berlaku dalam ilmu
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sebagai hukum. Alasan digunakannya teori penafsiran
berikut : hukum oleh hakim dalam mengadili suatu
(1) Hakim dan hakim konstitusi wajib perkara disebabkan hampir tidak mungkin
menggali, mengikuti, dan memahami hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu

120
Agus Priono. Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan ...

bagi penafsiran. Penafsiran hukum merupakan Disisi yang lain kualitas keputusan yang
aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, diambil oleh hakim mempunyai pengaruh yang
sejak hukum berbentuk tertulis, dimana penting pada kewibawaan dan kredibilitas
sebuah adagium yang menyebutkan bahwa lembaga peradilan. Sehingga rendahnya
membaca hukum adalah menafsirkan hukum. kualitas keputusan atau vonis hakim jelas
Teks hukum sudah jelas adalah satu cara akan menurunkan wibawa dan kredibilitas
saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pengadilan, namun hakim adalah manusia
pragmatis seraya diam-diam mengakui bahwa yang resistensinya terbatas bila menghadapi
ia mengalami kesulitan untuk memberikan pengaruh-pengaruh yang senantiasa berada
penjelasan (Anton Freddy Susanto, 2005 : 1). di sekelilingnya, sehingga hal ini yang sering
Adapun asas yang mewadahi Hakim kali menyebabkan hakim tidak bisa berpikir
di dalam menemukan hukum itu adalah obyektif dan bebas ketika hendak mengambil
sebagaimana tertuang di dalam ketentuan suau keputusan atas suatu perkara.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun Kebebasan hakim dalam melaksanakan
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena
menegaskan bahwa “Pengadilan tidak boleh tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum
menolak untuk memeriksa, mengadili dan dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
memutus suatu perkara yang diajukan dengan putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat
dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang Indonesia bukan keadilan subyektif menurut
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan pengertian atau kehendak hakim semata.
mengadilinya”. Melalui asas-asas hukum Meskipun demikian dalam pelaksanaannya
tersebut menjadi jelas bahwa tidak ada suatu kebebasan dan kemandirian yang diberikan
persoalan atau permasalahan hukum yang kekuasaan kehakiman tersebut tidak dapat
tidak ada hukum untuk mengaturnya. Bagi dilaksanakan sebagaimana mestinya, karena
Hakim selalu ada dasar dan alasannya di dalam dalam menjalankan kemandiriannya hakim
memutus perkara yang diajukan kepadanya. dibatasi oleh sistem pemerintahan, politik dan
Persoalannya bukan lagi kepada ada-tidaknya ekonomi serta peraturan perundang-undangan
hukum atau jelas-tidaknya hukum bagi Hakim yang mengatur kemerdekaan tersebut.
di dalam memutus suatu perkara, melainkan Menurut Van Doom (Satjipto Rahardjo,
lebih kepada bagaimana Hakim menemukan tanpa tahun : 26-27), dalam kedudukannya
hukum itu (Charles Himawan, 2006 : 24). sebagai pemegang fungsi dalam rangka
Realitas menunjukkan bahwa seringkali suatu organisasi, seorang penegak hukum
terjadi pertentangan antara nilai-nilai yang cenderung untuk menjalankan fungsinya
satu dengan yang lainnya, misalnya antara itu menurut penafsirannya sendiri yang
keadilan dan kepastian hukum atau antara dilatarbelakangi oleh berbagai faktor,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal ini misalnya kepribadiannya, ekonominya,
yang menyebabkan ketiga unsur ensensial pandangan hidupnya, dan sebagainya. Disisi
hukum tersebut sulit terwujud secara bersama- yang lain, karena rutinitasnya pekerjaaannya
sama, dan bahkan lebih sering terjadi konflik membuat keputusan atau vonis, seringkali
antara ketiganya, dimana pada kenyataan hakim mengabaikan standar normatif yang
hal ini disebabkan peraturan undang-undang harus ditempuh untuk membuat suatu
cenderung mengabaikan realitas sosial dan keputusan, kondisi ini dapat dilihat dari dasar
bahkan adanya ketentuan undang-undang pertimbangan hukum yang diambil untuk
yang tidak relevan lagi dengan perkembangan membuat suatu keputusan yang terkesan
masyarakat. asal jadi/asal-asalan, apalagi kalau hal

121
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

tersebut hanya menyangkut perkara-perkara menentukan terwujudnya suatu putusan


yang rutin setiap hari ditanganinya, padahal hakim yang mengandung keadilan,
kekuatan moral suatu keputusan hakim kepastian hukum dan bermanfaat bagi
terletak pada pertimbang-pertimbangannya pihak yang bersangkutan. Merujuk
itu. Pertimbangan-pertimbangan hukum yang pada teori dasar pertimbangan hakim,
dipakai oleh hakim dapat menggunakan teori suatu putusan dapat dikatakan baik atau
penafsiran hukum dan/atau teori penemuan sempurna hendaknya putusan tersebut
hukum . dapat diuji dengan 4 kriteria dasar
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pertanyaan (the four way test) berupa
dalam artikel ini hendak dibahas dasar hukum : Benarkah putusanku ini?; Jujurkah
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan aku dalam mengambil keputusan?;
putusan pada tindak pidana pemalsuan Adilkah putusan ini bagi para pihak?;
akta otentik dan bagaimana penerapan Apakah putusan ini bermanfaat? (Lilik
teori penafsiran hukum oleh hakim dalam Mulyadi, 2007 : 136) Pedoman pemberian
pertimbangannya terhadap kasus pemalsuan pidana (strafftoemeting-leidraad) akan
akta otentik. memberikan kemudahan bagi hakim untuk
menetapkan pemidanaannya, setelah
terbukti bahwa apa yang dituduhkan
B. Metode Penelitian terhadap tertuduh telah terbukti. Daftar
Penelitian dalam artikel ini adalah tersebut memuat hal-hal yang bersifat
termasuk jenis penelitian hukum doktrinal, subjektif yang menyangkut hal-hal
sedangkan dilihat dari bentuknya termasuk yang diluar pembuat. Penjatuhan pidana
penelitian yang evaluative dan prespektif. diharapkan lebih proporsional dan lebih
Sifat penelitian ini merupakan penelitian dipahami mengapa pidana seperti itu yang
adalah eksploratif. Analisis berdasarkan logika dijatuhkan (Muladi dan Barda Nawawi
deduksi. Pendekatan yang dipakai adalah Arif, 1998 : 67).
pendekatan peraturan perundang-undangan Berdasarkan Pasal 20 ayat (2) huruf
(Statute Approach) dan pendekatan kasus a dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor
(Case Approach). Jenis data yang digunakan 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
adalah Data Sekunder, yang terdiri dari : Kehakiman, hakim pada peradilan tingkat
bahan hukum primer, sekunder dan tersier, kasasi yang dilakukan di Mahkamah
sedangkan sumber datanya berasal dari Agung telah sesuai. Pasal 20 ayat (2) huruf
peraturan perundang-undangan dan putusan a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
pengadilan, studi kepustakaan, bahan-bahan tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi :
dokumenter, tulisan-tulisan ilmiah dan “Mahkamah Agung berwenang mengadili
sumber-sumber tertulis lainnya. pada tingkat kasasi terhadap putusan
yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan pengadilan di semua lingkungan peradilan
1. Dasar Hukum Pertimbangan Hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung,
dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap kecuali undang-undang menentukan
Notaris Yang Melakukan Tindak lain”. Demikian juga pada Pasal 23
Pidana Pemalsuan Akta Otentik Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman berbunyi
Pertimbangan hakim merupakan : “Putusan pengadilan dalam tingkat
salah satu aspek terpenting untuk banding dapat dimintakan kasasi kepada

122
Agus Priono. Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan ...

Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang kemungkinan yang dapat diberikan,


bersangkutan, kecuali undang-undang yaitu: (1) Mengadili sendiri perkara
menentukan lain”. tersebut apabila putusan dibatalkan karena
Pengajuan upaya hukum kasasi harus tidak diterapkannya peraturan hukum
tepat dan dapat dilakukan karena telah sebagaimana mestinya. (2) Memberikan
memenuhi tenggang waktu dan syarat- petunjuk untuk pemeriksaan kembali
syarat secara formil. Kasasi merupakan oleh pengadilan yang memutus perkara
salah satu upaya hukum biasa dan yang bersangkutan atau menetapkan
merupakan hak asasi yang diberikan oleh perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan
peraturan perundang-undangan kepada setingkat yang lain apabila putusan tersebut
salah satu pihak atau kedua belah pihak dibatalkan karena cara mengadili yang
yang berperkara terhadap suatu putusan tidak sesuai dengan ketentuan undang-
Pengadilan Tinggi. Kasasi diajukan bila undang; (3) Menetapkan pengadilan
para pihak tidak puas dengan isi putusan atau hakim lain mengadili perkara
Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah tersebut apabila putusan dibatalkan
Agung melalui Pengadilan Negeri dimana karenaketidakwenangan pengadilan atau
putusan tersebut dijatuhkan. hakim.

Kebebasan hakim untuk menjatuhkan Adapun hal-hal yang dipertimbangkan


hukuman dalam proses peradilan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana
didasarkan pada Pasal 3 ayat (1) dan dengan memperhatikan tujuan pemidanaan
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun yaitu : (1) Mencegah terjadinya tindak
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pidana dengan menegakkan norma
yang menyatakan dalam Pasal 3 sebagai hukum demi pengayoman masyarakat;
berikut : (1) Dalam menjalankan tugas dan (2) Memasyarakatkan terpidana melalui
fungsinya, hakim dan hakim konstitusi pembinaan sehingga menjadi orang yang
wajib menjaga kemandirian peradilan; baik dan berguna; (3) Menyelesaikan
(2) Segala campur tangan dalam urusan konflik yang timbul akibat terjadinya
peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan tindak pidana, memulihkan keseimbangan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal dan menciptakan perdamaian dalam
sebagaimana dimaksud dalam Undang- masyarakat; (4) Membebaskan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia terpidana dari rasa bersalah; (5) Tujuan
Tahun 1945. Terdapat dua kemungkinan pemidanaan bukan untuk menderitakan
yang akan terjadi terhadap suatu putusan dan merendahkan martabat manusia.
pengadilan tinggi yang dimohonkan Disamping itu Hakim wajib untuk
kasasi, yaitu: (1) Menolak permohonan menegakkan hukum dan tidak memihak.
kasasi. Putusan ini diberikan apabila tidak Hakim dalam memberikan suatu keadilan
terbuktinya alasan-alasan yang diajukan harus terlebih dahulu menelaah kebenaran
kasasi. (2) Mengabulkan permohonan peristiwa tersebut dan menghubungkannya
kasasi. Putusan ini diberikan apabila dengan hukum yang berlaku. Hakim
terbuktinya alasan-alasan pengajuan kasasi dalam menjatuhkan putusan berpedoman
dan Mahkamah Agung membatalkan apada 3 hal, yaitu : Unsur yuridis, yang
putusan pengadilan sebelumnya. Terhadap merupakan unsur utama dan pertama;
pembatalan terhadap putusan pengadilan Unsur filosofis, berintikan apada keadilan
sebelumnya oleh hakim Mahkamah dan kebenaran; Unsur sosiologis, yaitu
Agung pada tingkat kasasi, ada beberapa pertimbangan yang didasarkan pada tata

123
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

nilai budaya yang hidup dan berkembang 2) Batasan yang dijadikan dasar untuk
dalam masyarakat. memidanakan Notaris merupakan
Menurut Moeljatno, proses penjatuhan aspek formal dari akta Notaris dan
hukuman oleh hakim dalam perkara seharusnya digunakan Undang-
pidana dilakukan dalam beberapa tahap Undang Jabatan Notaris (UUJN).
(Ahmad Rifai, 2010 : 96), yaitu (1) Tahap Hal ini disebabkan ruang lingkup
menganalisis perbuatan pidana. Tahap ini jabatan Notaris yaitu membuat alat
adalah tahap dimana hakim menganalisis bukti yang diinginkan oleh para pihak
apakah terdakwa melakukan perbuatan untuk suatu tindakan hukum tertentu
pidana atau tidak, yang dipandang primer berdasarkan permintaan dari para
adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan pihak. Notaris membuat akta yang
tersebut diatur sebagai suatu rumusan dimaksud berdasarkan alat bukti atau
aturan pidana. (2) Tahap menganalisis keterangan atau pernyataan para pihak
pertanggungjawaban pidana. Pada tahap yang dinyatakan atau diterangkan
ini jika terdakwa dinyatakan terbukti atau diperlihatkan dihadapan Notaris,
melakukan suatu perbuatan pidana, hakim selanjutnya dengan berpijak pada
akan menganalisis apakah terdakwa aturan hukum atau tata cara atau
mampu untuk mempertanggungjawabkan prosedur pembuatan akta dan aturan
perbuatan pidana yang dilakukannya. (3) hukum yang berkaitan kemudian
Tahap penentuan pemidanaan. Hakim Notaris membingkainya secara
akan menjatuhkan pidana apabila pelaku lahiriah, formil dan meteriil dalam
telah memenuhi unsur-unsur dari pasal bentuk akta Notaris. Peran Notaris
undang-undang yang dilanggar. juga memberikan nasihat hukum
yang sesuai dengan permasalahan
Dasar pertimbangan hukum yang yang ada, dan apapun nasihat hukum
dipakai oleh Hakim dalam kasus yang diberikan kepada para pihak
pemalsuan akta otentik disimpulkan dan kemudian dituangkan kedalam
sebagai berikut : akta yang bersangkutan tetap sebagai
1) Sanksi pidana terhadap Notaris harus keinginan atau keterangan para pihak
dilihat dalam rangka menjalankan yang bersangkutan, tidak dan bukan
tugas jabatan Notaris, artinya dalam sebagai keterangan atau pernyataan
pembuatan atau prosedur pembuatan Notaris.
akta harus berdasarkan kepada aturan 3) Notaris hanya sekedar mengkonstatir
hukum yang berlaku yang dalam hal saja apa yang diinginkan atau
ini Undang-Undang Jabatan Notaris dikehendaki oleh penhadap yang
(UUJN), sehingga apabila semua tata bersangkutan, dengan cara mencatat,
cara pembuatan akta sudah ditempuh kemudian menyusunnya agar sesuai
maka suatu hal yang tidak mungkin dengan peraturan hukum yang
secara sengaja Notaris melakukan berlaku. Apabila sudah sesuai dengan
suatu tindak pidana yang berkaitan kehendak penghadap, maka penghadap
dengan akta tersebut. Pengertian diminta untuk membubuhkan
sengaja (dolus) yang dilakukan tandatangannya serta menulis nama
Notaris, merupakan suatu tindakan terangnya. Sehingga jikadikemudian
yang disadari, atau direncanakan dan hari ternyata terbukti bahwa yang
diinsyafi segala akibat hukumnya. menghadap Notaris tersebut bukan
orang yang sebenarnya atau orang

124
Agus Priono. Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan ...

yang mengaku asli tetapi orang yang menjatuhkan sanksi pidana dan satu-
sebenarnya tidak pernah menghadap satunya subyek hukum yang mempunyai
notaris, maka pertanggungjawaban hak untuk menghukum dalam rangka
pidana tidak dapat dibebankan melaksanakan penegakan hukum (ius
kepada Notaris karena unsur unsur pundi). Pada penerapan hukum pidana,
kesalahannya tidak ada. Oleh negara mendelegasikan wewenangnya
karena itu memidanakan Notaris untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada
berdasarkan aspek-aspek tersebut para penegak hukum yang bekerja dalam
tanpa melakukan penelitian atau suatu sistem bernama sistem peradilan
pembuktian yang mendalam dengan pidana (criminal justice) (Mardjono
mencari unsur-unsur kesalahan atau Reksodiputro, 2007 : 84).
kesengajaan dari Notaris merupakan Salah satu sub sistem pendukung
suatu tindakan tanpa dasar hukum yang berperan sangat penting di dalam
yang dapat dipertanggungjawabkan. pelaksanaan sistem peradilan pidana
Meskipun aspek-aspek formal akta adalah pengadilan. Hakim sebagai
Notaris dapat saja dijadikan dasar penegak hukum berwenang untuk
atau batasan untuk memidanakan mengambil dan menjatuhkan putusan
Notaris, jika sepanjang aspek-aspek yang mempunyai akibat hukum bagi
formal tersebut terbukti secara pihak lain mempunyai kebebasan yang
sengaja (kesadaran dan keinsyafan sangat luas untuk menentukan jenis
dan direncanakan) bahwa akta yang pidana yang sesuai dengan kehendaknya
dibuat di hadapan dan oleh Notaris (Evi Hartanti, 2014 : 21). Realitas
untuk dijadikan suatu alat melakukan menunjukkan bahwa seringkali terjadi
tindak pidana. pertentangan antara nilai-nilai yang satu
2. Penerapan Teori Penafsiran Hukum dengan yang lainnya, misalnya antara
oleh Hakim dalam Pertimbangannya keadilan dan kepastian hukum atau antara
Terhadap Kasus Pemalsuan Akta kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal
Otentik ini yang menyebabkan ketiga unsur
ensensial hukum tersebut sulit terwujud
Penegakan hukum merupakan
secara bersama-sama, dan bahkan lebih
faktor penting dalam mencegah dan
sering terjadi konflik antara ketiganya,
memberantas tindak pidana/kejahatan
dimana pada kenyataan hal ini disebabkan
mengingat Indonesia merupakan
peraturan undang-undang cenderung
negara hukum berdasarkan Pasal 1
mengabaikan realitas sosial dan bahkan
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
adanya ketentuan undang-undang yang
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
tidak relevan lagi dengan perkembangan
1945). Penegakan hukum bertujuan
masyarakat.
untuk memberikan perlindungan
bagi masyarakat dari segala tindakan Kebebasan hakim dalam
kriminal yang mungkin akan terjadi melaksanakan wewenang yudisial
sehingga dari sini negara berkewajiban bersifat tidak mutlak karena tugas
untuk mengadakan pencegahan dan hakim adalah untuk menegakkan hukum
penanggulangan kejahatan dengan dan keadilan berdasarkan Pancasila,
menerapkan hukum pidana. Negara dalam sehingga putusannya mencerminkan
hal ini bertindak selaku penguasa berhak rasa keadilan rakyat Indonesia bukan
keadilan subyektif menurut pengertian

125
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

atau kehendak hakim semata. Meskipun Reksodiputro, 2009 : 321).


demikian dalam pelaksanaannya Ditegaskan oleh Merriam Webster’s
kebebasan dan kemandirian yang Dictionary of Law, bahwa “judicial power
diberikan kekuasaan kehakiman tersebut : the power granted to the judicial branch
tidak dapat dilaksanakan sebagaimana of a govenment, sehingga kebebasan
mestinya, karena dalam menjalankan hakim dalam melaksanakan kewenangan
kemandiriannya hakim dibatasi oleh yudisialnya bersifat tidak mutlak karena
sistem pemerintahan, politik dan ekonomi hakim bertugas untuk menegakkan
serta peraturan perundang-undangan hukum dan keadilan yang didasarkan
yang mengatur kemerdekaan tersebut. pada Pancasila, sehingga putusannya
Disisi yang lain kualitas keputusan yang mencerminkan rasa keadilan rakyat
diambil oleh hakim mempunyai pengaruh Indonesia bukan keadilan subyektif
yang penting pada kewibawaan dan menurut pengertian atau kehendak hakim
kredibilitas lembaga peradilan. Sehingga semata (Yahya Harahap, 2008 : 2).
rendahnya kualitas keputusan atau vonis
hakim jelas akan menurunkan wibawa Prinsip kekuasaan kehakiman yang
dan kredibilitas pengadilan, namun merdeka menimbulkan pertanyaan
hakim adalah manusia yang resistensinya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia.
terbatas bila menghadapi pengaruh- Apakah merdeka dalam hal ini merupakan
pengaruh yang senantiasa berada di merdeka dari keterikatan pada peraturan
sekelilingnya, sehingga hal ini yang yang ada, sehingga kekuasaan kehakiman
sering kali menyebabkan hakim tidak “membentuk” sendiri ketentuan-ketentuan
bisa berpikir obyektif dan bebas ketika untuk masyarakat (khususnya bagi yang
hendak mengambil suau keputusan atas menyelesaikan masalah di peradilan)
suatu perkara. ataukah yang lazimnya menumbuhkan
ekses, merdeka dalam arti masing-masing
Munculnya pertimbangan hakim hakim dapat menentukan tata-caranya
yang didasarkan pada rasa keadilan sendiri baik mengenai tempat, waktu,
dan mengabaikan kepastian hukum maupun cara mengambil keputusan.
dalam menjatuhkan pidana bersyarat Kekuasaan kehakiman dalam hal ini
terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah tidaklah dapat dikatakan sebagai
bisa saja dibenarkan karena apabila terjadi kekuasaan yang merdeka dalam arti
pertentangan antara keadilan dengan terlepas dari pengaruh kekuasaan
kepastian hukum maka keadilanlah yang legislative, tetapi kekuasaan tersebut
diutamakan. Hal tersebut sesuai dengan dibatasi oleh kekuasaan (kepentingan)
pendapat Roeslan Saleh yang selanjutnya rakyat yang tercermin dalam bentuk
dikutip oleh Mardjono Reksodiputro yang undang-undang (Padmo Wahyono, 1986
mengatakan bahwa keadilan dan kepastian : 76).
sama-sama merusak tujuan hukum yang
kerap kali tidak sejalan satu sama lainnya Hakim memang memiliki kebebasan
dan sulit untuk dihindari dalam praktek dalam menjatuhkan putusan, namun
hukum, dana apabila dalam keadilan tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih
dan kepastian saling mendesak pada rendah ataupun lebih tinggi dari batas
kejadian konkrit, maka hakim harus sejauh hukuman yang telah ditentukan oleh
mungkin harus mengutamakan keadilan undang-undang. Kebebasan hakim adalah
di atas kepastian hukum (Mardjono bebas dalam memeriksa dan memutus

126
Agus Priono. Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan ...

perkara sesuai dengan keyakinannya dan melaksanakan public service dibidang


bebas dari pengaruh pihak ekstra yudisial. memberikan keadilan bagi masyarakat
Hakim bebas menggunakan alat-alat bukti, pencari keadilan (Paulus Efendi Lotulung,
bebas menilai alat bukti maupun menilai 2003 : 7). Dalam rangka interpretasi
terbukti tidaknya suatu peristiwa konkret hukum ini, dikenal bermacam-macam
berdasarkan pada alat bukti yang ada. metode interpretasi (penafsiran), yaitu : 1)
Selain itu, hakim juga bebas berkeyakinan Penafsiran Gramatikal, adalah menafsirkan
dalam hal jenis hukuman apa yang akan kata-kata dalam undang-undang sesuai
dijatuhkan (Sudikno Mertokusumo, 2008 kaidah bahasa dan kaidah hukum tata-
: 122). Putusan yang dibuat oleh hakim bahasa; 2) Penafsitan Historis, yaitu
harus bersumber pada kemampuannya setiap ketentuan peraturan perundang-
untuk berpikir dan berkehendak secara undangan mempunyai sejarahnya sendiri;
bebas namun dalam pembatasan 3) Penafsiran Sistematis, adalah metode
tanggungjawab, artinya putusan yang yang menafsirkan undang-undang sebagai
dibuat dapat dipertanggungjawabkan atas bagian dari keseluruhan sistem perundang-
dasar harapan orang lain tanpa mengurangi undangan; 4) Penafsiran Sosiologis/
objektivitasnya (Ahmad Kamil, 2012 Teleologis, yaitu apabila makna undang-
: 172). Hakikat dari independensi atau undang ditetapkan berdasarkan tujuan
kemandirian diikat dan dibatasi oleh kemasyarakatannya; 5) Penafsiran
rambu-rambu tertentu, sehingga dalam Ekstensif, adalah metode penafsiran
konferensi internasional Commission of yang membuat interpretasi melebihi batas-
Juurist dikatakan bahwa “Independence batas hasil interpretasi gramatikal; dan
does not mean that the judge is entitled to 6) Penafsiran Otentik atau Resmi, yaitu
act in an arbitrary manner”. Batasan atau Hakim tidak diperkenankan melakukan
rambu-rambu yang utama harus diingat penafsiran dengan cara lain, selain dari
dan diperhatikan dalam implementasi apa yang telah ditentukan pengertiannya
kebebasan adalah aturan-aturan hukum didalam undang-undang itu sendiri
itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum (Purwoto S. Gandasubrata, 1998 : 53-57).
baik dari segi prosedural maupun Atas dasar itu, maka penilaian
substansial/materiil telah memberikan mengenai putusan yang dibuat oleh hakim
batasan bagi kekuasaan kehakiman agar itu bertanggung jawab dicocokkan dengan
tidak melanggar hukum dan bertindak tingkat kepuasan masyarakat selaku
sewenang-wenang dalam melakukan pemberi kebebasan sosial dengan menilai
independensinya. Kebebasan dan apakah putusan itu telah memenuhi
independensi pada dasarnya merupakan rasa keadilan atas kebebasan sosial
kedua sisi koin mata uang yang saling yang dilanggar oleh orang yang dikenai
melekat, artinya, tidak ada kebebasan putusan hakim (Ahmad Kamil, 2012 :
mutlak tanpa tanggung jawab. 173). Salah satu teori kebebasan Hakim
Kebebasan hakim dibatasi oleh dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno
tanggungjawab dimana salah satu bentuk yang menyatakan putusan hukum yang
tanggungjawab yang perlu disadari dibuat oleh hakim harus didasarkan
adalah pertanggungjawaban kepada pada pertimbangan-pertimbangan yang
masyarakat (social accountabilty) matang dengan berangkat dari kebebasan
karena pada dasarnya tugas dari badan- eksistensialnya yang mendapat tempat
badan kehakiman atau peradilan adalah dalam kebebasan sosial yang diberikan.

127
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

Pertimbangan selanjutnya adalah memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan


bahwa putusan hakim tersebut harus dalam undang-undang; (2) perbuatan
dapat dipertanggungjawabkan dengan tersebut bertentangan dengan hukum/
memperhatikan suara hati dan moral melawan hukum; (3) adanya kesalahan,
otonom yang ada pada dirinya sendiri. baik berupa kesengajaan (dolus) dan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kelalaian (culpa).
tersebut, hakim akan dapat menghasilkan 2. Hakim dalam menjatuhkan putusan
putusan yang memuaskan kebebasan terhadap kasus pemalsuan akta otentik
eksistensialnya maupun kebebasan dapat menggunakan teori penafsiran
sosialnya serta rasa keadilan secara hukum baik melalui penafsiran gramatikal,
keseluruhan (Ahmad Kamil, 2012 : 173). penafsiran historis, penafsiran sistematis,
penafsiran soliologis/teleologis,
D. Simpulan penafsiran ekstensif dan penafsiran
1. Dasar hukum dalam penjatuhan sanksi otentik/resmi.
pidana terhadap Notaris dapat saja
dilakukan namun di samping harus
memenuhi rumusan pelanggaran yang E. Saran
tersebut dalam UUJN juga memenuhi 1. Pemeriksaan adanya dugaan perbuatan
rumusan pelanggaran yang ada dalam pidana dalam pemalsuan akta otentik
KUHP. Pelanggaran oleh Notaris harus oleh Hakim seyogyanya dilakukan
diukur berdasarkan UUJN artinya apakah pemeriksaan yang holistik integral dengan
perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melihat aspek lahiriah, formal, material
melanggar ketentuan pasal yang diatur Akta Notaris dikaitkan dengan tugas,
UUJN karena ada kemungkinan menurut wewenang, jabatan Notaris.
UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah 2. Mahkamah Agung perlu membuat kriteria
sesuai tetapi perbuatan tersebut merupakan dan pedoman yang dapat dipakai landasan
perbuatan tindak pidana. Pemidanaan yuridis bagi hakim yang dimaksud
terhadap Notaris dapat saja dilakukan pemalsuan akta dalam tugas dan jabatan
dengan batasan, jika : (1) ada tindakan notaris. Akan tetapi perlu dicatat bahwa
hukum dari Notaris terhadap aspek formal pedoman tersbut tidaklah harus membatasi
akta yang sengaja, penuh kesadaran dan kebebasan hakim dalam memutus perkara,
keinsyafan serta direncanakan, bahwa karena disinilah letak peran Hakim Agung
akta dibuat di hadapan Notaris atau oleh untuk melakukan penafsiran dalam
Notaris bersama-sama/sepakat untuk menghadapi kasus konkrit. Oleh karena
dijadikan dasar untuk melakukan suatu bagaimanapun Mahkamah Agung adalah
tindak pidana dan/atau ada tindakan instansi terakhir dari sebuah struktur
hukum dari Notaris dalam membuat akta pengadilan, yang diharapkan akan lebih
di hadapan atau oleh Notaris yang jika mampu memberikan rasa keadilan dan
diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai/ kemanfaatan serta jaminan kepastian
pelanggaran jabatan notaris. Hakim hukum itu sendiri.
dalam menerapkan sanksi pidana terhadap 3. Meskipun ada kebebasan hakim dalam
tindak pidana pemalsuan akta otentik menjalankan/melaksanakan putusannya
harus dipenuhinya syarat-syarat antara maka hakim tidak harus legalistik tetapi
lain sebagai berikut : yaitu (1) adanya mengadili menurut hukum dalam arti
perbuatan yang dapat dihukum dan yang luas termasuk aktualisasi pengertian-

128
Agus Priono. Penerapan Teori Penafsiran Hukum Oleh Hakim Sebagai Upaya Perlindungan ...

pengertian yang sudah mapan, sehingga Evi Hartanti. 2014. Tindak Pidana Korupsi.
putusannya dapat mencerminkan rasa Jakarta: Sinar Grafika.
keadilan (dalam) masyarakat. Kewajiban
Frans Magnis Suseno. 1995. Etika Politik.
Hakim adalah menerapkan hukum secara
Jakarta: Gramedia.
tepat dan benar demi mewujudkan
keadilan atau memberi kepuasan pada H.B. Soetopo. 1992. Metode Penelitian
pencari keadilan. Hukum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Lilik Mulyadi. 2007. Hukum Acara Pidana:
F. Daftar Pustaka Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya. Bandung: Alumni.

Buku-buku: Mardjono Reksodiputro. 2009. Menyelaraskan


Pembaruan Hukum. JakartaL KHN-RI.
Adi Sulistiyono. 2006. Kekuasaan Negara
Hukum, Dan Paradigma Moral. ____. 2007. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Surakarta: Sebelas Maret University (Peran Penegak Hukum Melawan
Press. Kejahatan); Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat
Ahmad Kamil. 2012. Filsafat Kebebasan Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hakim. Jakarta: Kencana Prenadia Hukum Universitas Indonesia.
Media Group.
Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1998. Teori-
Ahmad Mujahidin. 2007. Peradilan Satu Teori dan Kebijakan Pidana. Cetakan
Atap Di Indonesia. Bandung: Refika Kedua. Bandung: Alumni.
Aditama.
Padmo Wahyono. 1986. Indonesia Negara
Ahmad Rifai. 2010. Penemuan Hukum Berdasarkan Atas Hukum. Cet. Kedua.
oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Jakarta: Ghalia Indonesia.
Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Paulus Efendi Lotulung. 2003. Kebebasan
Andi Hamzah. 2008. Hukum Acara Pidana. Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika. Makalah. Seminar Pengembangan
Anton Freddy Susanto. 2005. Semiotika Hukum Nasional VIII. BPHN dan Dep.
Hukum : Dari Dekonstruksi Teks Menuju Kehakiman dan HAM RI. Denpasar. 14
Progresivitas Makna. Bandung: PT. – 18 Juli 2003.
Refika Aditama. Purwoto S. Gandasubrata. 1998. Renungan
Bambang Sunggono. 2005. Metodologi Hukum. Jakarta: IKAHI Cabang MA-
Penelitian Hukum. Jakarta: Rajagrafindo RI.
Persada. Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum,
Charles Himawan. 2006. Hukum Sebagai Hak Asasi Manusia & Penegakkan
Panglima. Jakarta: Buku Kompas. Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum.
Telaah Sosiologis. Semarang: PT. Bandung: PT Citra Adytia Bakti.
Suryandaru Utama.

129
Jurnal Pasca Sarjana Hukum UNS Volume V Nomor 2 Juli-Desember 2017

____. tanpa tahun. Masalah Penegakkan 12fbeaff36db/53066dfee4b043fee9afb


Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. 6ba/53066dfee4b043fee9afb6bd/1345
Bandung: Sinar Baru. 937709003/65publicpolicy.pdf.
Soejono Dirdjosisworo. 1984. Pengantar Ilmu S. B. M. Marume, 2016, “Public Policy and
Hukum. Jakarta: CV Rajawali. Factors Influencing Public Policy”,
International Journal of Engineering
Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal
Science Invention, Volume 5 Issue 6,
Hukum. Suatu Pengantar. Yogyakarta:
June 2016, ISSN (Online): 2319–6734,
Liberty.
ISSN (Print): 2319–6726, http://www.
____. 2003. Mengenal Hukum: Suatu ijesi.org/papers/Vol(5)6/B05060614.
P e n g a n t a r. C e t a k a n P e r t a m a . pdf.
Yogyakarta: Liberty.
Wan Abdul Fattah Wan Ismail, 2015, “Forms
Tama S. Langkun dkk. 2014. Studi atas of Document Falsification in Malaysia’s
Disparitas Pemidanaan Perkara Tindak Syariah Court”, Malaysian Journal
Pidana Korupsi. Jakarta: Indonesia of Society and Space, Vol. 11 issue 9,
Corruption Watch. http://www.ukm.my/geografia/images/
upload/4x.fullgeo-sept15-wanfattah-
Tina Asmarawati. 2015. Pidana dan edam.pdf.
Pemidanaan dalam Sistem Hukum
di Indonesia (Hukum Penitensier). Yustina Trihoni Nalesti Dewi, W. Riawan
Yogyakarta: Deepublish. Tjandra, and Grant R. Niemann, 2016,
“Independence of Judicial Power as a
Yahya Harahap. 2008. Kekuasaan Mahkamah Foundation of Human Rights Judicial
Agung Pemeriksaan Kasasi dan Function in Indonesia”, International
Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Journal of Social Science and Humanity,
Jakarta: Sinar Grafika. Vol. 6, No. 3, March 2016, http://www.
ijssh.org/vol6/650-H016.pdf.

Majalah dan Jurnal:


Adrian IACOB, “Peculiarities of Criminal Peraturan Perundang-undangan:
Investigations in Cases of Forgery and Undang-Undang Dasar Negara Republik
Use of Forgery”, Article International Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Journal of Criminal Investigation,
Volume 1, Issue 3, http://www.ijci.eu/ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
published/IJCI_16_Iacob.pdf. (KUHP).

P. Wignyosumarto. 2006. “Peran dan Tugas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981


Hakim Pengawas”. Varia Peradilan Tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Nomor. 246 Tahun XXI. Acara Pidana (KUHAP).

Sanjay G. Reddy, 2012, “Public Policy Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


Analysis Today and Tomorrow”, Jindal tentang Kekuasaan Kehakiman.
Journal of Public Policy, Volume 1
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
Issue 1, August 2012, https://static.
tentang Jabatan Notaris.
squarespace.com/static/51b8d8a3e4b0

130

You might also like