You are on page 1of 14

REVIEW MATERI PERKULIAHAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas dan Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah Hukum Acara Peradilan Konstitusi

Kelas A

Dosen Pengampu :

Muhammad Dahlan, SH., MH.

Disusun Oleh:

Ahmad Nurul Falahul Kamil (195010100111119/41)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

FAKULTAS HUKUM

MALANG

2021
A. Definisi, Sejarah, dan Fungsi Judicial Review
Judicial Review merupakan praktek ketatanegaraan dalam demokrasi yang telah
lama diadopsi secara formal oleh hampir seluruh negara di dunia. Judicial Review
merupakan suatu mekanisme pengujian Konstitusionalitas terhadap produk peraturan
perundang- undangan atas Undang-Undang Dasar. Maksud pengujian Konstitusionalitas
disini ialah pengujian nilai konstitusionalitas dari undang-undang tersebut, baik dari sisi
formiil maupun materiil. Oleh karenanya, di tingkat pertama, pengujian tersebut harus
divedakan dari pengujian legalitas.
Negara-negara yang menganut prinsip checks and balances yang terwujud
dalam asas Distribution of Power (pembagian kekuasaan) maupun Separation Of Power
(pemisahan kekuasaan) menerima ide Pengujian Konstitusionalitas tersebut dengan
corak masing-masing, baik secara kelembagaan, metode, maupun sifat putusannya.
Secara garis besar ada tiga (3) pola utama yang menjadi reprensentasi
konsepsional dari praktek pengujian konstitusionalitas, walaupun hampir semua negara
tidak memiliki pola utama yang serupa. Tiga (3) pola utama tersebut antara lain:
1. Gagasan pengujian konstitusionalitas ini di tanggapi dengan berbagai pola
pelembagaan antara lain; pola institusionalisasi, pola perluasan kewenangan
dan pola pengujian ekstra yudikatif.
2. Bentuk prosedur dan kewenangan yang diberikan dalam pelaksanaan
Pengujian Konstitusional diberbagai negara berbeda-beda.
3. Sifat putusan lembaga pengujian konstitusionalitas mengalami perbedaan
antara satu negara dengan negara lainnya. Hal itu disebabkan oleh bentuk
institusional kelembagaannya yang secara mendasar memiliki perbedaan-
perbedaan prinsip. Sebagai contoh, kewenangan tersebut diberikan kepada
lembaga yudikatif yang merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, pada
konteks yang lain kewenangan itu diberikan kepada lembaga politik.
Sejarah judicial review pertama kali muncul dalam praktek hukum di Amerika
Serikat melalui putusan Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika Serikat dalam
perkara “Marbury Vs Madison” pada tahun 1803. Pada perkara tersebut, ketentuan yang
memberikan kewenangan Supreme Court untuk mengeluarkan writ of mandamus pada
Pasal 13 Judiciary Act dianggap melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi,
sehingga Supreme Court menganggap hal itu bertentangan dengan konstitusi
sebagai the supreme of the land.
Tetapi, di sisi lain juga dinyatakan bahwa William Marbury menurut hukum
berhak atas surat-surat pengangkatannya. Keberanian John Marshall dalam kasus
“Marbury Vs Madison” untuk mencari hukum baru bagi kasus tersebut menjadi preseden
baru dalam sejarah Amerika dan pengaruhnya meluas dalam pemikiran dan praktik
hukum di banyak negara. Setelah adanya kasus tersebut, banyak undang-undang
federal maupun undang-undang negara bagian di Amerika Serikat pada masa itu
dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court (Mahkamah Agung).
Judicial Review memiliki fungsi yaitu untuk memberikan atau menolak
persetujuan pada suatu undang-undang yang disahkan sebagian mayoritas oleh
lembaga legislatif dan disetujui oleh lembaga eksekutif.

B. Macam-Macam Judicial Review


Menurut Jimly Asshiddiqie, Judicial review terbagi menjadi dua jenis, yaitu
concreate norm review dan abstact norm review.
Concreate norm review dapat berupa pengujian terhadap norma konkrit
terhadap keputusan-keputusan yang bersifat administratif seperti dalam Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN), dan pengujian terhadap norma konkrit dalam jenjang peradilan
umum seperti pengujian putusan peradilan tingkat pertama oleh peradilan banding,
pengujian putusan peradilan banding oleh peradilan kasasi serta pengujian putusan
peradilan kasasi oleh Mahkamah Agung.
Abstract norm review adalah kewenangan pengujian produk perundang-undang
yang menjadi tugas dari Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang terinspirasi dari
putusan John Marshall selaku hakim agung Supreme Court (Mahkamah Agung) Amerika
Serikat dalam kasus Marbury Vs. Madison yang terkenal. Sebagian dari kewenangan
abstract norm review masih diserahkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia
berupa kewenangan pengujian produk perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dalam Pasal 51 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, disebutkan bahwa judicial review terbagi menjadi dua (2) macam,
yaitu secara formal dan materiil.
Judicial review secara formal ialah pengujian terhadap suatu undang-undang
yang dilakukan karena proses pembentukan undang-undang tersebut dianggap
pemohon tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.
Judicial review secara materiil ialah pengujian terhadap suatu undang-undang
dilakukan karena adanya materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang yang dianggap pemohon bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut pasal Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, menyatakan bahwa apabila pembentukan undang-undang tidak
memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945, maka undang-undang tersebut dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya dalam ayat (2) pasal Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa jika suatu materi muatan ayat,
pasal dan/atau bagian undang-undang dinyatakan mahkamah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar, maka materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-
undang tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

C. Sejarah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia


Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri baru diperkenalkan oleh Hans
Kelsen (1881-1973). Ia berpendapat bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang
legislasi dapat secara efektif dijamin apabila suatu organ selain badan legislatif diberikan
tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum tersebut konstitusional atau tidak,
dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut
tidak konstitusional.
Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama
Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi ( Constitutional Court) yang berdiri
sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model. Ide ini diajukan
ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria
(Chancelery) pada tahun 1919–1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920.
Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi yang berdiri di Austria inilah
dianggap sebagai Mahkamah Konstitusi pertama di dunia. Model ini menyangkut
hubungan antara prinsip supremasi konstitusi ( the principle of the supremacy of the
Constitution) dan prinsip supremasi parlemen ( the principle of the supremacy of the
Parliament).
Sekalipun demikian, keberadaan lembaga ini umumnya merupakan hal baru
dalam dunia ketatanegaraan. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara hukum
demokrasi yang sudah maju tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri
sendiri terpisah dengan Mahkamah Agung ( Supreme Court of Justice). Negara-negara
yang membentuk Mahkamah Konstitusi tersendiri ini umumnya adalah negara-negara
yang mengalami perubahan dari negara yang otoritarian menjadi negara demokrasi,
salah satunya adalah Indonesia.
Gagasan Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang di atas sejalan
dengan gagasan yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Ia mengusulkan
seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk
“membanding” undang-undang. Namun usulannya ini disanggah oleh Soepomo dengan
alasan:
1. Konsep dasar yang dianut dalam Undang-Undang Dasar yang tengah disusun
bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep
pembagian kekuasaan (distribution of power);
2. Tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-
undang;
3. Kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan
dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan
4. Sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal
tersebut serta pengalaman mengenai judicial review.
Akibat dari sanggahan Soepomo tersebut, ide pengujian konstitusionalitas
(judicial review) undang-undang yang diusulkan oleh Yamin tersebut tidak dimasukkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945.
 Sejarah pertama Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia adalah diadopsinya ide
mahkamah konstitusi (constitutional court) dalam amendemen konstitusi yang dilakukan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan
dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.
Selagi menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan
Mahkamah Agung (MA) melaksnakan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara
waktu, yaitu sejak disahkannya Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
hasil Perubahan Keempat, pada 10 Agustus 2002. Untuk mempersiapkan pengaturan
secara rinci mengenai Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Pemerintah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Mahkamah
Konstitusi. Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah ntenyetujui
secara bersama pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu
juga (Lembaran Negara Tahun 2003, Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316).
 Pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor
147/M Tahun 2003 mengangkat 9 (sembilan) hakim konstitusi untuk pertama kalinya
yang dilteruskan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara, pada 16 Agustus 2003. Kegiatan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada 15 Oktober
2003, yang menandai mulai berjalannya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Dimulainya kegiatan Mahkamah Konstitusi juga menandai berakhirnya kewenangan
Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana
diamanatkan oleh Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

D. Prinsip Dalam Pelaksanaan Peradilan Konstitusi


Prinsip atau asas dapat diartikan sebagai dasar yang bersifat umum yang
menjadi titik tolak pengertian atau pengaturan. Prinsip di satu sisi dapat disebut sebagai
landasan atau alasan pembentukan suatu aturan hukum yang mengandung nilai, jiwa,
atau cita-cita sosial yang ingin diwujudkan. Prinsip hukum merupakan jantung yang
menghubungkan antara aturan hukum dengan cita-cita dan pandangan masyarakat di
mana hukum itu berlaku. Di sisi satunya, prinsip hukum dapat dipahami sebagai norma
umum yang dihasilkan dari pengendapan hukum positif.
Pada konteks Hukum Acara Peradilan Konstitusi, yang dimaksud dengan prinsip
ialah asas-asas dasar dan bersifat umum yang menjadi panduan dalam
penyelenggaraan peradilan konstitusi yang keberadaannya diperlukan untuk mencapai
tegaknya hukum dan keadilan, khususnya kekuasaan konstitusi dan perlindungan hak
konstitusional warga negara.
Asas-asas tersebut harus diuraikan dan diwujudkan baik di dalam peraturan
maupun praktik hukum acara. Dengan sendirinya, prinsip Hukum Acara Peradilan
Konstitusi menjadi petunjuk dan asas yang memandu hakim dalam menyelenggarakan
peradilan serta menjadi petunjuk dan asas yang dipatuhi oleh pihak-pihak dalam proses
peradilan.
Seperti proses peradilan pada umumnya, dalam peradilan konstitusi di Indonesia
terdapat prinsip-prinsip baik yang bersifat umum untuk semua peradilan maupun yang
khusus sesuai dengan karakteristik peradilan konstitusi. Maruarar Siahaan,
mengemukakan 7 (tujuh) asas dalam peradilan konstitusi di Indonesia, yaitu:
1. Ius curia novit
Ius curia novit adalah prinsip bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, sebaliknya hakim
harus memeriksa dan mengadilinya.
Asas ini berlaku dalam peradilan konstitusi yang menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi selama masih dalam batas wewenang Mahkamah
Konstitusi yang telah diberikan secara terbatas oleh Undang-Undang Dasar
1945, yaitu pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar,
sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, pembubaran partai
politik, perselisihan hasil Pemilu, serta pendapat DPR tentang pelanggaran
hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sepanjang suatu perkara diajukan
dalam bingkai salah satu wewenang tersebut, maka Mahkamah Konstitusi
harus menerima, memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukan
tersebut.
2. Persidangan terbuka untuk umum
Prinsip bahwa persidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk
umum merupakan prinsip yang berlaku untuk semua jenis pengadilan,
kecuali dalam hal tertentu yang ditentukan lain oleh undang-undang. Hal ini
tertuang di dalam Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, serta juga ditegaskan dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa sidang di
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum.
Persidangan terbuka untuk umum bertujuan agar proses persidangan
dapat diikuti oleh masyarakat umum sehingga hakim dalam memutus
perkara akan obyektif berdasarkan alat bukti dan argumentasi yang
dikemukakan di dalam persidangan. Melalui persidangan yang terbuka untuk
umum, masyarakat umum juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima
putusan hakim.
3. Independen dan Imparsial
Untuk dapat memeriksa dan mengadili suatu perkara secara obyektif
serta memutus dengan adil, hakim dan lembaga peradilan harus independen
dalam arti tidak dapat diintervensi oleh lembaga dan kepentingan apapun,
serta tidak memihak kepada salah satu pihak yang berperkara atau imparsial.
Hal ini berlaku untuk semua peradilan yang dirumuskan dalam Pasal 24 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang
kemudian dipertegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Sedangkan dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa
dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan.
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga dimensi, yaitu
dimensi fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal. Dimensi
fungsional mengandung pengertian larangan terhadap lembaga negara lain
dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan intervensi dalam
proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Dimensi
fungsional itu harus didukung dengan independensi dan imparsialitas dari
dimensi struktural dan personal hakim.
Independensi dan imparsialitas tersebut memiliki tiga aspek, yaitu
aspek fungsional, struktural atau kelembagaan, dan personal.
Aspek fungsional memiliki pengertian larangan terhadap lembaga
negara lain dan semua pihak untuk mempengaruhi atau melakukan
intervensi dalam proses memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara.
Aspek fungsional tersebut harus didukung dengan independensi dan
imparsialitas dari aspek struktural dan personal hakim.
Dari aspek struktural, kelembagaan peradilan juga harus bersifat
independen dan imparsial sepanjang diperlukan agar dalam melaksanakan
peradilan tidak dapat dipengaruhi atau diintervensi serta tidak memihak.
Dari aspek personal, hakim memiliki kebebasan atas dasar
kemampuan yang dimiliki, pertanggungjawaban, serta ketaatan kepada kode
etik dan pedoman perilaku.
4. Dilaksanakan secara cepat, sederhana, dan biaya ringan
Prinsip peradilan cepat, sederhana, dan murah dimaksudkan supaya
proses peradilan dan keadilan itu sendiri dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat. Prinsip ini erat kaitannya dengan upaya mewujudkan salah satu
unsur negara hukum, yaitu persamaan semua orang di hadapan hukum
(equality before the law). Jika pengadilan berjalan dengan rumit dan
kompleks, berbelit-belit, serta membutuhkan biaya yang mahal, maka hanya
sekelompok orang tertentu yang memiliki kemampuan berperkara di
pengadilan. Pada akhirnya, hanya orang-orang mampu sajalah yang dapat
menikmati keadilan tersebut.
Prinsip peradilan yang cepat, sederhana dan murah atau biaya ringan
dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sendiri sama sekali tidak menyebutkan
tentang biaya perkara.
Dalam proses pembahasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, pada awalnya terdapat ketentuan tentang
biaya perkara. Dalam perkembangannya, ketentuan tersebut dihilangkan
sehingga dapat diartikan bahwa maksud dari pembuat undang-undang
adalah memang menghapuskan biaya perkara dalam proses peradilan di
Mahkamah Konstitusi. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar keputusan
hakim konstitusi untuk menghilangkan biaya perkara dalam peradilan di
Mahkamah Konstitusi. Pada akhirnya, salah satu prinsip peradilan Mahkamah
Konstitusi yang lebih tepat adalah cepat, sederhana dan bebas biaya. Dengan
tidak adanya biaya perkara tersebut, pembiayaan penanganan perkara di
Mahkamah Konstitusi sepenuhnya dibebankan kepada anggaran negara.
5. Hak untuk didengar secara seimbang (audi et alteram partem)
Dalam pengadilan biasa, para pihak memiliki hak untuk didengar
secara seimbang. Para pihak dalam hal ini adalah pihak-pihak yang saling
berhadapan satu sama lain, baik sebagai tergugat-penggugat, pemohon-
termohon, maupun penuntut-terdakwa. Dalam peradilan konstitusi tidak
selalu terdapat pihak-pihak yang saling berhadapan. Sebagai contoh, dalam
pengujian undang-undang hanya terdapat pemohon saja. Pembentuk
undang-undang, pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat tidak
berkedudukan sebagai termohon.
Dalam peradilan di Mahkamah Kontitusi, hak untuk didengar secara
seimbang berlaku tidak hanya untuk pihak-pihak yang saling berhadapan.
Sebagai contoh, partai politik peserta Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum
dalam perkara perselisihan hasil Pemilu, melainkan juga berlaku untuk semua
pihak yang terlibat dan mempunyai kepentingan dengan perkara yang
sedang disidangkan. Untuk perkara judicial review, selain pemohon pihak
terkait langsung yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah sebagai
pembentuk undang-undang juga memiliki hak untuk didengar
keterangannya. Bahkan, pihak terkait lain yang berkepentingan secara tidak
langsung terhadap undang-undang yang sedang diuji juga akan diberi
kesempatan menyampaikan keterangannya.
Untuk menjadi pihak terkait dan menyampaikan keterangan dalam
persidangan konstitusi, dapat dilakukan dengan mengajukan diri sebagai
pihak terkait, atau atas undangan Mahkamah Konstitusi.
6. Hakim aktif dalam persidangan
Maruarar Siahaan menyebut asas ini “Hakim pasif dan juga aktif dalam
proses persidangan”. Artinya, hakim pasif dalam arti tidak mencari-cari
perkara. Hakim tidak akan memeriksa, mengadili, dan memutus sesuatu
sebelum disampaikan oleh pemohon ke pengadilan.
Ketika suatu perkara sudah masuk ke pengadilan, hakim dapat
bertindak pasif atau aktif bergantung dari jenis kepentingan yang
diperkarakan. Jika perkara yang masuk ke pengadilan menyangkut
kepentingan individual, hakim cenderung pasif. Sebaliknya, jika perkara yang
masuk ke pengadilan banyak menyangkut kepentingan umum, hakim
cenderung aktif.
Hakim dapat bertindak aktif dalam persidangan karena hakim
dianggap mengetahui hukum dari suatu perkara. Hal ini juga sesuai dengan
asas ius curia novit, yang juga dapat diartikan bahwa hakim mengetahui
hukum dari suatu perkara. Oleh karena itu, pengadilan tidak boleh menolak
suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, dan hakim di pengadilan
itu dapat aktif dalam persidangan.
7. Asas Praduga Keabsahan (praesumtio iustae causa)
Asas praduga keabsahan ialah tindakan penguasa dianggap sah sesuai
aturan hukum sampai ada pembatalannya. Menurut asas ini, semua
tindakan penguasa baik berupa produk hukum maupun tindakan konkret
harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Sah dalam hal ini berarti sesuai
dengan asas dan ketentuan hukum baik dari sisi materi maupun prosedur
yang harus ditempuh. Untuk menyatakan tidak sah tindakan itu, dapat
dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri maupun oleh
lembaga lain yang diberi kewenangan berdasarkan aturan hukum. Sebagai
akibat dari asas ini, jika terdapat upaya hukum untuk melakukan pengujian
terhadap tindakan dimaksud, maka tindakan itu tetap berlaku sekalipun
sedang dalam proses pengujian.

E. Prosedur Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali Terhadap Suatu


Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi
Dalam mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi, terdapat dua
cara yang dapat dilakukan, yaitu dengan cara langsung dan dengan cara online (daring).
a) Permohonan Langsung
Dalam pengajuan permohonan secara langsung, terdapat enam (6)
langkah yang harus dilalui oleh pemohon.
1. Pemohon datang menghadap Pranata Peradilan Registrasi Perkara
untuk mendaftarkan permohonannya.
2. Pranata Peradilan Registrasi Perkara menerima serta mencatat
pihak yang mengajukan permohonan dalam buku penerimaan
permohonan, yang selanjutnya Pemohon menyerahkan berkas
permohonan sebanyak 12 (dua belas) rangkap.
3. Pranata Peradilan Perkara kemudian memeriksa kelengkapan
berkas permohonan menurut ketentuan pasal 29 dan 31 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hasil
dari pemeriksaan tersebut kemudian dituang dalam formulir check
list dan membuat lembar disposisi yang kemudian disampaikan
kepada Panitera Muda.
4. Berkas pemohon kemudian diproses oleh internal Mahkamah
Konstitusi.
5. Selanjutnya Pranata Peradilan Perkara menerima berkas
permohonan yang telah lengkap dan memenuhi syarat, yang
kemudian mencatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
(BRPK) dan membuat tanda terima permohonan untuk selanjutnya
diserahkn kepada pemohon.
6. Setelah melalui 5 (lima) tahapan tersebut, maka pemohon telah
selesai melakukan pendaftaran permohonan.

b) Permohonan Online (daring)


Pengajuan permohonan secara online (daring) memiliki tujuh (7) langkah
yang harus dilalui oleh pemohon untuk mengajukan permohonannya.
1. Pemohon maupun kuasa pemohon mengajukan permohonan
online melalui laman Mahkamah Konstitusi.
2. Pemohon maupun kuasa pemohon melakukan registrasi secara
online untuk mendapatkan nama identifikasi dan kode akses untuk
mengakses Sistem Informasi Manajemen Penerimaan Permohonan
Perkara Elektronik (SIMPEL).
3. Selanjutnya, pemohon atau kuasanya mengupload softcopy
permohonan ke dalam Sistem Informasi Manajemen Penerimaan
Permohonan Perkara Elektronik (SIMPEL). Permohonan online
sendiri diatur dalam pasal 8 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
18 Tahun 2009.
4. Pemohon atau kuasanya mencetak tanda terima pengajuan
permohonan online yang telah tersedia dalam Sistem Informasi
Manajemen Penerimaan Permohonan Perkara Elektronik (SIMPEL).
5. Permohonan online yang diajukan pemohon atau kuasanya akan
diterima dalam Sistem Informasi Manajemen Penerimaan
Permohonan Perkara Elektronik (SIMPEL) Mahkamah Konstitusi.
6. Pranata Peradilan Registrasi Perkara kemudian menerima dan
menyampaikan konfirmasi kepada pemohon atau kuasa pemohon
dalam jangka waktu satu hari setelah dokumen permohonan
masuk dalam Sistem Informasi Manajemen Penerimaan
Permohonan Perkara Elektronik (SIMPEL) Mahkamah Konstitusi.
7. Selanjutnya, pemohon atau kuasanya menjawab konfirmasi
tersebut dengan menyampaikan secara tertulis kepada
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 3 (tiga) hari sejak permohonan diterima oleh Mahkamah
Konstitusi, disertai dengan penyerahan 12 (dua belas) tangkap
dokumen asli permohonan.
SUMBER-SUMBER:
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.
Ahmadi. “Konstitusional Review: Suatu Perbandingan Praktek Ketatanegaraan.” Al-Izzah. Vol. 9,
No. 1, Juli 2014 (diakses pada tanggal 6 April 2021).
Hukum Online. Aturan Seputar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5c99e6f4c009f/aturan-seputar-
hukum-acara-mahkamah-konstitusi/ (diakses pada tanggal 6 April 2021).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Perintisan dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11769#:~:text=Sejarah
%20judicial%20review%20pertama%20kali,Marbury%20Vs%20Madison%E2%80%9D
%20tahun%201803.&text=Namun%2C%20di%20sisi%20lain%20juga,berhak%20atas
%20surat%2Dsurat%20pengangkatannya (diakses pada tanggal 6 April 2021).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Prosedur Pendaftaran Permohonan.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.PendaftaranPemohonan&menu=4 (diakses
pada tanggal 6 April 2021).
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Sejarah Mahkamah Konstitusi.
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11770 (diakses pada tanggal 6
April 2021).
Marzuki, M. Laica. “Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.” Legislasi Indonesia. Vol. 1, No. 3,
November 2004 (diakses pada tanggal 6 April 2021).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

You might also like