You are on page 1of 35

Hukum Acara Pengujian

Undang-Undang

Bidang Studi Hukum Tata Negara


Fakultas Hukum Universitas Indonesia
2021
Outline
• Teori Pengujian Undang-Undang
• Hukum Acara Pengujian Undang-Undang
Teori Pengujian
Undang-Undang
Hans Kelsen
The application of the constitutional rules
concerning legislation can be effectively guaranted
only if an organ other than the legislative body is
entrusted with the task of testing whether a law is
constitutional, and of annulling it if – according to
the opinion of this organ – it is “unconstitutional”.
There may be a special organ established for this
purpose, for instance, a special court, a so-called
“constitutional court”...

-General Theory of Law and State-


Herman Schwartz
“A constitutional court is a child of
constitutional democracy. It cannot fulfill its
function except in such a polity, for
independence is indispensable to a well-
functioning judicial body and authoritarian
governments do not allow such independent
institutions.”

The Struggle for Constitutional Justice


in Post-Communist Europe, Chicago: The University of Chicago Press, 2000
Ran Hirscl
“One of the six broad scenarios of constitutionalization and
the establishment of judicial review at the national level in
post World War II era, in the “single transition” scenario, the
constitutionalization of rights and the establishment of
judicial review are noted as the by-products of a transition
from a quasi-democratic or authoritarian regime to
democracy. Therefore, in this context, Indonesia is also
noted as the only Asian country which having the similar
scenario with South Africa in 1995, several countries in
Southern Europe (Greece in 1975, Portugal in 1976, Spain
in 1978) and Latin America (Nicaragua in 1987, Brazil in
1988, Columbia in 1991, Peru in 1993, Bolivia in 1994).

Towards Juristocracy: The Origins and Consequences


of the New Constitutionalism, Cambridge: Harvard University Press, 2004, p. 7-8
Model Pengujian
o Model Amerika, fungsi MK dilaksanakan MA
o Model Austria
MK berdampingan dengan MA
o Model Perancis
Adanya Dewan (council) konstitusi selain MA,
yang melakukan judicial preview
o Model Venezuela
MK merupakan salah satu kamar dari MA
o Model Inggris, Belanda, dan negara Komunis yang
tidak mengenal MK karena dianut supremasi
parlemen
Judicial Review
Judicial Review
• Pengujian peraturan perundang-undangan tertentu oleh hakim (yudikatif).
Hal ini berarti hak atau kewenangan menguji (toetsingsrecht) dimiliki oleh
hakim. Pengujian tersebut dilakukan atas suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi atau terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi
Toetsingrecht
• Hak uji. Istilah ini digunakan pada saat membicarakan hak atau
kewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan.
Constitutional Review
• Pengujian suatu ketentuan perundang-undangan terhadap konstitusi.
Parameter pengujian dalam hal ini adalah konstitusi sebagai hukum
tertinggi.
• Hal ini berbeda dengan judicial review yang dari lingkup materinya lebih
luas karena menguji suatu peraturan perundang-undangan terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, jadi tidak terbatas pada
konstitusi sebagai parameter pengujian
Hukum Acara
Pengujian Undang-
Undang
Pengujian Formil dan Materil
Formil
 Menilai suatu produk legislatif seperti undang-undang, telah melalui
prosedur sebagaiman telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau tidak.
 Pengujian formal biasanya terkait dengan soal-soal prosedural dan
berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang membuatnya .

Materil
 Menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan itu sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya,
 Menilai apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu
peraturan tertentu.
 Pengujian material berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi
suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun
menyangkut kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan
dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum
Pengujian UU terhadap UUD
Pasal 50*
Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji
adalah undang-undang yang diundangkan setelah
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945

*Pasal ini dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat


berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004
mengenai Pengujian UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
& UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD
1945 tanggal 13 Desember 2004.
Legal Standing & Posita
Pasal 51
(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
(2) Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib
menguraikan dengan jelas bahwa:
a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau
b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hak Konstitusional
MK sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi 5
(lima) syarat, yaitu:
a) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b) hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c) kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik (khusus) dan aktual atau setidak- potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
Pengajuan Permohonan
1. Ditulis dalam bahasa Indonesia.
2. Ditandatangani oleh pemohon/kuasanya.
3. Diajukan dalam 12 rangkap.
4. Jenis perkara.
5. Sistematika:
a. Identitas dan legal standing;
b. Posita;
c. Petitum.
6. Disertai bukti pendukung.
Pendaftaran Permohonan
1. Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh
panitera.
1. Belum lengkap : diberitahukan
2. 7 hari sejak diberitahu, wajib dilengkapi
3. Lengkap
2. Registrasi sesuai perkara
3. 7 hari kerja sejak registrasi perkara
1. PUU:
1. Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan
DPR
2. Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung
Penjadwalan Sidang
• Dalam 14 hari kerja setelah registrasi ditetapkan
Hari Sidang Pertama
• (kecuali perkara PHPU)
• Para pihak diberitahu / dipanggil
• Diumumkan kepada masyarakat
Pemeriksaan Pendahuluan
• Dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel
• Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi.
(Pasal 10 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005)
• Dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 (tujuh)
orang Hakim Konstitusi. (Pasal 10 ayat (2) PMK Nomor 06/PMK/2005)
1. Sebelum pemeriksaan pokok perkara, memeriksa:
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Kejelasan materi Permohonan.
2. Memberi nasehat
- Kelengkapan syarat-syarat Permohonan.
- Perbaikan materi Permohonan.
3. 14 hari harus sudah dilengkapi dan diperbaiki.
Pemeriksaan Persidangan
• Terbuka untuk umum.
• Memeriksa permohonan dan alat bukti.
• Para pihak hadir menghadapi sidang guna memberikan
keterangan.
• Lembaga negara dapat diminta keterangan, Lembaga negara
dimaksud dalam jangka waktu 7 hari wajib memberi keterangan
yang diminta.
• Saksi dan/atau ahli memberi keterangan.
• Pihak-pihak dapat diwakili kuasa, didampingi kuasa dan orang
lain.
• Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945
dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat
Permusyawaratan Hakim. (Pasal 2 PMK Nomor 06/PMK/2005)
Pemeriksaan Persidangan
• Pemeriksaan pokok permohonan;
• Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
• Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
• Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
• Mendengarkan keterangan saksi;
• Mendengarkan keterangan ahli;
• Mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
• Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan,
dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti
lain yang dapat dijadikan petunjuk;
• Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Posisi Pembentuk Undang-Undang
Pasal 54 UU Nomor 24 Tahun 2003:
• Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah
rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan/atau Presiden.
• MK tidak mengadili pembentuk UU.
• Kedudukan pembentuk UU sebagai Pihak Terkait untuk memberikan
keterangan (lisan maupun tertulis).
• Dapat diwakili oleh wakil atau pun kuasa dari lembaga negara
tersebut.
• Presiden dapat memberikan kuasa subsitusi kepada Menteri Hukum
dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri
yang terkait dengan pokok perkara.
• DPR diwakili oleh Pimpinan DPR yang dapat memberi kuasa kepada
pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi
terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk.
Rapat Permusyawaratan Hakim
a. RPH diikuti oleh seluruh hakim konstitusi dengan kuorum minimal
tujuh orang hakim, Panitera, PP, dan petugas lain yang dibutuhkan
b. RPH dipimpin oleh Ketua, dalam hal Ketua berhalangan RPH dipimpin
oleh Wakil Ketua, dalam hal Ketua dan Wakil berhalangan, RPH
dipimpin oleh hakim yang tertua usianya;
c. RPH bersifat tertutup;
d. Agenda RPH:
a. mendengar dan membahas laporan Panel;
b. membahas perkembangan Sidang Panel/Pleno;
c. membahas/mendiskusikan dan mengambil putusan;
d. menunjuk drafter Putusan;
e. membahas drafter Putusan yang disiapkan oleh Drafter;
f. lain-lain agenda baik yang terkait perkara (justisial) maupun nonjustisial,
seperti laporan Panitera, laporan Sekjen, dsb.
e. Setiap RPH dibuat catatan oleh Panitera yang dibantu PP Perkara dalam
buku catatan rapat dan/atau Berita Acara Rapat.
Pihak Terkait
• Pihak terkait adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan.
• Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh
oleh pokok permohonan.
• Dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat
bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh
Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD.
• Harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera.
• Apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah. Apabila tidak disetujui, pemberitahuan
tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua Mahkamah Konstitusi.
Salinan Ketetapan disampaikan kepada Pihak Terkait.
• Pemeriksaan dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. [Pasal
23 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005]
• Diberikan kesempatan untuk:
• memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis;
• mengajukan pertanyaan kepada ahli dan/atau saksi;
• mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwakili
dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan;
• menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis.
Pihak Terkait
• Pihak Terkait yang berkepentingan tidak
langsung:
• Pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan
fungsinya perlu didengar keterangan; atau
• Pihak yang perlu didengar keterangannya
sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak
dan/atau kewenangannya tidak secara langsung
terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi
karena kepeduliannya yang tinggi terhadap
permohonan dimaksud.
• [Pasal 14 ayat (4) PMK Nomor 06/PMK/2005]
Pembuktian
• Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. (Pasal
18 ayat (1) PMK Nomor 06/PMK/2005)
• Alat bukti ialah:
• Surat atau tulisan;
• Keterangan saksi;
• Keterangan ahli;
• Keterangan para pihak;
• Petunjuk; dan
• Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik
dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Pengambilan Putusan
• Secara musyawarah untuk mufakat dalam sidang pleno
hakim konstitusi yang dipimpin oleh ketua sidang.
• Setiap hakim konstitusi wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap
permohonan.
• Dalam hal musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
tidak menghasilkan putusan, musyawarah ditunda
sampai musyawarah sidang pleno hakim konstitusi
berikutnya.
• Dalam hal musyawarah tidak dapat dicapai mufakat
bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
• Bila tidak dapat dicapai suara terbanyak, suara terakhir
ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
Isi Putusan
Putusan harus memuat sekurang-kurangnya :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. identitas pemohon;
c. ringkasan permohonon yang telah diperbaiki;
d. Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam
persidangan;
e. Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. Amar putusan;
g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan
i. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim
Konstitusi, serta Panitera.

(Pasal 48 ayat (2) UU MK dan Pasal 33 PMK Nomor


06/PMK/2005)
Amar Putusan
Pasal 56
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau
permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 dan Pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak
dapat diterima.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa permohonan
beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(3) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Mahkamah Konstitusi menyatakan dengan tegas materi muatan ayat,
pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4) Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
(5) Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik mengenai
pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar
putusan menyatakan permohonan ditolak.

27
Amar Putusan
Pasal 57

(1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
(3) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat
dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak putusan diucapkan.
Putusan MK
• Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 disampaikan kepada DPR, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden, dan Mahkamah
Agung.
• Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak
selesai diucapkan dalam Sidang Pleno yang
terbuka untuk umum.
• Masyarakat mempunyai akses untuk
mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.

29
Gambaran Umum Proses Beracara
di Mahkamah Konstitusi
Permohonan Pengujian Kembali
• Pasal 60 UU No. 24 Tahun 2003
Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak
dapat dimohonkan pengujian kembali.

• Pasal 42 PMK No. 06/PMK/2005


(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian
dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan
pengujian kembali.
(2) Terlepas dari ketentuan ayat (1) di atas, permohonan
pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau
bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus
oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali
dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi
alasan permohonan yang bersangkutan berbeda.

33
Undang-undang yang diuji oleh
Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,
sebelum ada putusan yang menyatakan
bahwa undang-undang tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.

34
TERIMA KASIH

You might also like