You are on page 1of 99

UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN CITARASA MINUMAN

FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus


Bl.Miq) DENGAN MENGGUNAKAN BEBERAPA EKSTRAK
JERUK DARI VARIETAS YANG BERBEDA DAN FLAVOR
ENHANCER

SKRIPSI

FRENDY AHMAD AFANDI


F24060710

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

1
IMPROVING THE ACCEPTANCE OF JAVA-TEA (Orthosiphon aristatus Bl.Miq)
BASED FUNCTIONAL BEVERAGE FLAVOR BY USING DIFFERENT CITRUS
EXTRACTS AND FLAVOR ENCHANCERS

Christofora Hanny Wijaya and Frendy Ahmad Afandi


Departement of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,
Bogor Agricultural University, IPB Dramaga Campus, Bogor 16002, West Java, Indonesia.

ABSTRACT

The previously formulated functional beverage had limited on the sensory


acceptance. Therefore, a research in attemping the improvement of its flavor quality
has been conducted. The objective of this study was to improve the sensory
acceptance of the java-tea based functional beverage by combining the addition of
different citrus extracts and flavor enhancers. Response variable was determined as
flavor preference (using the hedonic scaling method), antioxidant activity (DPPH
method), and the antidiabetic activity (percentage of α-amylase relative inhibition) of
the beverage. Furthermore, the impact of sweeteners and preservative utilization has
been observed. Six chosen beverage formulas had been choosen based on the
preferences score between “slightly like” and “like very much” (6.78-7.42 out of
9.00 in hedonic score). The antioxidant activity of the formulas ranged from 414 to
727 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Percentage of the
beverage’s α-amylase relative inhibition (1x concentration formula) ranged from 19
to 56%, but this results still biased. The pH value of the six beverage formulas
ranged from 3.33-3.57. The replacement of sugar with sweetener on the same
formula could reduce the level of the beverage’s preference significantly at α= 0.05.
Although the formula which used sweeteners had lower preference score than the
formula which used sugar, its sensory preference is still between slightly like to like
moderately (6.78-6.86 out of 9.00 of hedonic score). The usage of sodium benzoate
preservative in the beverage gave no significant effect in its preference at α= 0.05.
The best formula resulted of exponential comparison method was the beverage that
used sugar with no preservatives, and the addition of x extract A g, y extract B g, and
C gram flavor enhancer (P:P) in 100 ml of beverage. The hedonic score was 7.42
and its antioxidant activity was 605 ppm AEAC.

Keywords: citrus extract, flavor enhancer, functional drink, flavor acceptance

2
Frendy Ahmad Afandi. F24060710. Upaya Peningkatan Penerimaan Citarasa
Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq)
dengan Menggunakan Beberapa Ekstrak Jeruk dari Varietas yang Berbeda dan
Flavor Enhancer. Di bawah bimbingan Christofora Hanny Wijaya. 2011

RINGKASAN

Minuman fungsional berbasis kumis kucing telah diformulasikan pada


penelitian sebelumnya. Minuman ini masih memiliki mutu sensori dengan tingkat
kesukaan citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 5.57 dari skala 7.00).
Penelitian lanjutan diperlukan untuk meningkatkan mutu penerimaan sensori
minuman tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan citarasa minuman
fungsional berbasis kumis kucing melalui kombinasi penambahan ekstrak jeruk yang
berbeda dan flavor enhancer dengan melihat pengaruhnya pada variabel respon
citarasa (metode hedonik) dan aktivitas antioksidan (metode DPPH) serta
pengaruhnya pada kemampuan antidiabetes (persentase inhibisi α-amilase relatif).
Penelitian dilakukan di laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pusat Studi
Biofarmaka IPB.
Metode penelitian dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah
penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan jenis ekstrak jeruk yang
berbeda dan flavor enhancer yang ditambahkan ke dalam minuman. Pembuatan
ekstrak komponen minuman dan pengukuran aktivitas antioksidan minuman formula
standar pembanding dilakukan untuk menghindari bias yang diakibatkan ingridien
penyusun minuman. Tahap kedua adalah penelitian lanjutan yang bertujuan untuk
menentukan komposisi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang
ditambahkan ke dalam minuman berdasarkan rancangan percobaan hasil keluaran
Design Expert 7.0 ®. Perlakuan lain yang dilakukan adalah jenis pemanis dan
penambahan pengawet. Pengujian formula dilakukan dengan uji organoleptik dengan
metode hedonik. Enam formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan
selanjutnya diukur aktivitas antioksidan (metode DPPH), aktivitas antidiabetes
(metode inhibisi α-amilase), dan nilai pH.
Penilaian sensori secara individu memperoleh formula minuman yang
ditambahkan ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor enhancer dengan jumlah total
sebanyak 3 gram dalam 100 ml memiliki karakteristik citarasa minuman yang relatif
lebih baik dibandingkan dengan formula minuman sebelumnya. Hasil uji
organoleptik (hedonik) mendapatkan 6 formula untuk diuji lebih lanjut.
Enam formula minuman terpilih memiliki skor kesukaan panelis terhadap
atribut citarasa antara agak suka dan sangat suka (skor hedonik 6.78-7.42 dari skala
9.00); aktivitas antioksidan berkisar antara 414-727 ppm AEAC (Ascorbic acid
Equivalent Antioxidant Capacity); kemampuan inhibisi α-amilase minuman
(konsentrasi 1x formula) yang dinyatakan dalam persentase inhibisi relatif terhadap
minuman formula sebelumnya dengan faktor koreksi gula, nilainya berkisar antara
19-56%, namun persentase inhibisi α-amilase minuman masih memiliki sebaran
yang bias. Nilai pH dari enam formula minuman tersebut berkisar antara 3.37-3.57.

3
Penggantian gula dengan pemanis pada formula yang sama dapat menurunkan
tingkat penerimaan minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Penggunaan pengawet
natrium benzoat pada formula yang sama tidak mempengaruhi tingkat penerimaan
minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Formula yang menggunakan pemanis
meskipun memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan
formula yang menggunakan gula, namun masih memiliki mutu sensori dengan
tingkat kesukaan citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 6.78-6.86 dari
skala 9.00).
Formula terbaik yang dihasilkan berdasarkan metode perbandingan
eksponensial adalah minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, ekstrak
jeruk x sejumlah A g, ekstrak jeruk y sejumlah B g, & flavor enhancer (P:P)
sejumlah C g dalam 100 ml minuman yang memiliki skor hedonik sebesar 7.42 dan
aktivitas antioksidan 605 ppm AEAC.

4
UPAYA PENINGKATAN PENERIMAAN CITARASA MINUMAN
FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus Bl.Miq)
DENGAN MENGGUNAKAN BEBERAPA EKSTRAK JERUK DARI VARIETAS
YANG BERBEDA DAN FLAVOR ENHANCER

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
FRENDY AHMAD AFANDI
F24060710

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

5
Judul Skripsi : Upaya Peningkatan Penerimaan Citarasa Minuman Fungsional
Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI.Miq) dengan
Menggunakan Beberapa Ekstrak Jeruk dari Varietas yang Berbeda
dan Flavor Enhancer
Nama : Frendy Ahmad Afandi
NIM : F24060710

Menyetujui,

Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr.)


NIP 19600422 198303.2.003

Mengetahui :
Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah)


NIP 19680505 199203.2.002

Tanggal lulus :

6
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Upaya


Peningkatan Penerimaan Citarasa Minuman Fungsional Berbasis Kumis
Kucing (Orthosiphon aristatus Bl.Miq) dengan Menggunakan Beberapa Ekstrak
Jeruk dari Varietas yang Berbeda dan Flavor Enhancer adalah hasil karya saya
sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam
bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.

Bogor, Januari 2011


Yang membuat pernyataan

Frendy Ahmad Afandi


F24060710

7
 Hak cipta milik Frendy Ahmad Afandi, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
Fotokopi, microfilm, dan sebagainya

8
BIODATA PENULIS

Frendy Ahmad Afandi. Lahir di Lampung, 6 Juni 1989 dari ayah Eko Priyono
dan Ibu Anggraiwati, sebagai putra pertama dari tiga bersaudara. Penulis
mengawali jenjang pendidikannya di SD Negeri 3 Pulung Kencana Lampung
pada tahun 1994-2000. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di SLTP
Negeri 1 Tumijajar Lampung pada tahun 2000-2003, dan SMA Negeri 2
Bandar Lampung pada tahun 2003-2006.
Penulis lolos seleksi penerimaan mahasiswa IPB pada tahun 2005
melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) yang ketika itu menerapkan sistem
pendidikan Mayor-Minor, sehingga selama satu tahun penulis belum memiliki jurusan. Baru setelah
satu tahun manjadi mahasiswa IPB, melalui seleksi internal IPB penulis terdaftar sebagai mahasiswa
di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selain menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam Majelis Ta’lim Al Furqon, suatu wadah kajian islam
bagi mahasiswa untuk dapat mempelajari Islam lebih dalam. Penulis pernah menjadi asisten
praktikum evaluasi sensori dan asisten praktikum teknologi pengolahan pangan.Selama kuliah,penulis
pernah mendapatkan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2009. Penulis juga pernah
membantu kepanitiaan Short Course and International Conference Nutraceutical and Functional
Food di Bali tahun 2010.
Penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir pada tahun 2010 yang berjudul “Upaya
Peningkatan Penerimaan Citarasa Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon
aristatus Bl.Miq) dengan Menggunakan Beberapa Ekstrak Jeruk yang Berbeda dan Flavor Enhancer ”
di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr.

9
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas karunia-Nya sehingga
skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Upaya Peningkatan Penerimaan Citarasa
Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl.Miq) Menggunakan
Beberapa Ekstrak Jeruk yang Berbeda dan Flavor Enhancer dilaksanakan di laboratorium
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pusat Studi Biofarmaka IPB sejak bulan Februari sampai
Oktober 2010.
Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan
penghargaan dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak, Ibu, dan adikku atas segala kasih sayang, doa, dan nasehat, serta bantuan secara
moril dan materil yang diberikan kepada penulis sehingga penulis tetap bersemangat dan
dapat menyelesaikan tugas akhir ini
2. Prof. Dr. Ir. C. Hanny Wijaya, M.Agr. selaku dosen pembimbing akademik atas
pengarahan, perhatian, dan masukan serta kesabarannya membimbing penulis selama
kuliah hingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini
3. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. dan Dr. Waysima, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah
banyak memberikan masukan berarti demi perbaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman dan semua keluarga besar Pusat Studi Biofarmaka (Bu
Nunu, Mas Zaim, Mbak Ina, Bu Susi, Mas Endi, dll.) atas kerjasama dan bantuan fasilitas
yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.
5. Teknisi laboratorium ITP (Pak sobirin, Pak Wahid, Pak Rojak, Bu Sri, Bu Antin, Bu
Rubiah, Mbak Ari dll.), terimakasih atas bantuan dan saran yang telah diberikan.
6. Para panelis yang telah banyak membantu penulis dalam mendapatkan data hasil
penelitian.
7. Teman-teman sebimbingan (Idham,Kandi,dll), teman-teman ITP 43, teman-teman sekosan
dan seperjuangan di Forum Kajian Islam Ilmiah MT Al-Furqon yang telah banyak
memberikan semangat kepada penulis.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis mengucapkan banyak
terima kasih atas semua dukungan yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan
studi di IPB.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi
yang nyata terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan.

Bogor, Januari 2011

Frendy Ahmad Afandi

10
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................. vi


DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 3
2.1. CITARASA........................................................................................... 3
2.2. EVALUASI SENSORI ......................................................................... 4
2.3. UJI AFEKSI DAN UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK) ...................... 5
2.4. PANGAN FUNGSIONAL ................................................................... 7
2.5. MINUMAN FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING ............. 12
2.5.1. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI. Miq) ........................ 13
2.5.2. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) ....................................... 13
2.5.3. Jahe (Zingiber officinale Roscoe) ............................................... 14
2.5.4. Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.)................................................. 15
2.5.5. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle) ................................... 16
2.5.6. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) ................................. 17
2.5.7. Flavor Enhancer .......................................................................... 18
2.5.8. Pemanis....................................................................................... 20
2.5.9. Pengawet...................................................................................... 23
2.6. MIXTURE EXPERIMENT (ME)/MIXTURE DESIGN (MD) ........... 23
III. METODE PENELITIAN............................................................................. 25
3.1. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 25
3.2. METODE PENELITIAN...................................................................... 25
3.2.1. Penelitian Pendahuluan .............................................................. 26
3.2.2. Penelitian Lanjutan ..................................................................... 26
3.2.3. Analisis ....................................................................................... 28
3.2.3.1. Nilai pH (AOAC 1995) ................................................. 28
3.2.3.2. Aktivitas Antioksidan Metode DPPH ........................... 28

11
3.2.3.3. Aktivitas Antidiabetes Metode Inhibisi α-amilase........ 29
3.2.3.4. Uji Hedonik ................................................................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................................... 31
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN ........................................................ 31
4.1.1. Pembuatan Ekstrak Komponen Minuman dan Pengukuran
Aktivitas Antioksidan Minuman Standar ................................ 31
4.1.2. Penentuan Jenis Perlakuan Berdasarkan Mutu Organoleptik ... 34
4.2. PENELITIAN LANJUTAN ................................................................. 39
4.2.1. Pemilihan Formula Minuman yang Memiliki Citarasa Paling
Disukai dari Masing-masing Perlakuan .................................... 39
4.2.2. Nilai pH Formula Minuman Terpilih ........................................ 45
4.2.3. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dan Inhibisi α-amilase
Formula Minuman Terpilih ....................................................... 46
4.2.4. Pemilihan Perlakuan Terbaik .................................................... 49
V. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................... 51
5.1. KESIMPULAN ..................................................................................... 51
5.2. SARAN ................................................................................................. 51
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 52
LAMPIRAN ................................................................................................. 56

12
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Skala pada uji hedonik............................................................................ 7


Tabel 2. Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 gram berat dapat dimakan .. 17
Tabel 3. Spesifikasi Flavor Enhancer GMP dan IMP ....................................... 20
Tabel 4. Jumlah larutan pada analisis inhibisi α-amilase ..................................... 29
Tabel 5. Perlakuan pada percobaan pendahuluan untuk menentukan perlakuan
yang relatif dapat meningkatkan penerimaan citarasa minuman fung-
sional berbasis kumis kucing .................................................................. 35
Tabel 6. Kisaran konsentrasi masing-masing variabel uji .................................... 39
Tabel 7. Rancangan percobaan 14 formula minuman dengan variabel respon
citarasa (perlakuan minuman dengan menggunakan gula dan Na-ben-
zoat serta flavor enhancer 1 (P: P) per 100 ml minuman)..................... 40
Tabel 8. Rancangan percobaan 14 formula minuman dengan variabel respon
citarasa (perlakuan minuman dengan menggunakan gula dan Na-ben-
zoat serta flavor enhancer 2 per 100 ml minuman) ............................... 41
Tabel 9. Sifat-sifat sensori beberapa pemanis berintensitas tinggi dibandingkan
dengan sukrosa dan batas penggunaannya ............................................. 42
Tabel 10. Perlakuan kombinasi gula, pengawet, dan non-pengawet ...................... 42
Tabel 11. Perlakuan kombinasi pemanis, pengawet (natrium benzoat), dan non
pengawet ................................................................................................. 43
Tabel 12. Penilaian kepentingan karakteristik minuman fungsional berbasis ku-
mis kucing............................................................................................... 50
Tabel 13. Skor hasil pembobotan produk dari enam formula terpilih .................... 50

13
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian ................................................... 27


Gambar 2. Pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH .............................. 28
Gambar 3. Grafik aktivitas antioksidan minuman standar yang dilakukan pada
penelitian pendahuluan ...................................................................... 32
Gambar 4. Perbandingan aktivitas antioksidan jenis dan asal komponen tung-
gal ekstrak kumis kucing dalam minuman ........................................ 33
Gambar 5. Hasil analisis ANOVA enam formula minuman yang paling disu-
kai dari masing-masing perlakuan gula, pemanis, pengawet, dan
non pengawet yang memiliki nilai kesukaan lebih atau sama
dengan 6.60 ........................................................................................ 44
Gambar 6. pH minuman formula terpilih ............................................................ 45
Gambar 7. Grafik aktivitas antioksidan dari enam formula minuman terpilih .... 47
Gambar 8. Grafik persentase inhibisi α-amilase relatif formula minuman ter-
pilih pada konsentrasi 1 x dengan faktor koreksi gula pada minu-
man yang mengandung gula .............................................................. 48

14
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Acuan formulasi dan proses pembuatan .......................................... 56


Lampiran 2. Diagram alir pembuatan ekstrak jeruk ............................................ 57
Lampiran 3. Diagram alir proses pembuatan ekstrak air daun kumis kucing ...... 58
Lampiran 4. Diagram alir proses pembuatan ekstrak jahe ................................... 59
Lampiran 5. Diagram alir proses pembuatan ekstrak air secang ......................... 60
Lampiran 6. Diagram alir proses pembuatan ekstrak temulawak ........................ 61
Lampiran 7. Diagram alir proses pembuatan larutan stok gula pasir................... 62
Lampiran 8. Diagram alir proses pembuatan larutan stok CMC 1 % .................. 63
Lampiran 9. Diagram alir pembuatan larutan stok pengawet (Natrium benzoate,
Kalium Sorbat) 5000 ppm ............................................................... 64
Lampiran 10. Diagram alir pembuatan minuman fungsional berbasis kumis
kucing (per 100 ml minuman) ......................................................... 65
Lampiran 11. Form uji hedonik ............................................................................. 66
Lampiran 12. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai kesukaan enam formula
minuman yang paling disukai dari masing-masing kelompok
perlakuan yang memiliki nilai kesukaan ≥ 6.60 .............................. 67
Lampiran 13. Kurva standar asam askorbat dan persamaan regresinya ................ 69
Lampiran 14. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antioksidan minu-
man kumis kucing berbunga putih dan ungu dari BALITRO
dan PSB ........................................................................................... 70
Lampiran 15. Skor kesukaan panelis terhadap citarasa 28 model minuman
(gula+na-benzoat) ............................................................................ 72
Lampiran 16. Skor kesukaan panelis terhadap citarasa 20 model minuman
(pemanis & pengawet, dari 3 formula terbaik uji hedonik gula+
na-benzoat) ...................................................................................... 73
Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai pH enam formula minuman
yang paling disukai dari masing-masing perlakuan ........................ 74
Lampiran 18. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antioksidan enam
formula minuman yang paling disukai dari masing-masing per-
lakuan .............................................................................................. 76
Lampiran 19. Data inhibisi α-amilase formula minuman terpilih, standar, dan gula
konsentrasi 1x. ................................................................................. 78

15
Lampiran 20. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antidiabetes
minuman formula terpilih, minuman standar, dan larutan gula
konsentrasi 1x .................................................................................. 80
Lampiran 21. Pembuatan model minuman sesuai rancangan percobaan dengan
kombinasi beberapa perlakuan ........................................................ 81
Lampiran 22. Perhitungan penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan 83

16
I. PENDAHULUAN

Minuman fungsional berbasis kumis kucing merupakan minuman yang potensial dan menarik
untuk dikembangkan. Hal tersebut dikarenakan tanaman kumis kucing telah dikenal oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia sebagai tanaman obat yang memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh, dapat
menyembuhkan penyakit, dan biasa tumbuh liar di pekarangan (Septiatin 2008). Minuman fungsional
yang berupa ramuan jamu tradisional telah dikenal dan diakui secara luas oleh masyarakat Indonesia.
Ramuan jamu ini biasanya terbuat dari tanaman obat dan rempah-rempah yang telah dikenal
khasiatnya bagi kesehatan. Tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus B1. Miq) merupakan
tanaman obat tradisional yang memiliki banyak khasiat. Khasiat tanaman kumis kucing menurut
Septiatin (2008) di antaranya adalah dapat mengobati infeksi ginjal, infeksi kandung kemih, kencing
batu, encok, peluruh air seni, menghilangkan panas, lembab, dan mengobati radang atau bengkak.
Melcher dan Subroto (2006) menyatakan bahwa pengobatan herbal memiliki khasiat yang banyak dan
tidak menimbulkan efek samping.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan formula optimal minuman fungsional berbasis
kumis kucing memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.78 ppm Ascorbic acid Equivalent
Antioxidant Activity (AEAC), tidak berbeda nyata (pada taraf signifikansi 5%) dibandingkan dengan
aktivitas antioksidan minuman komponen tunggal dari kumis kucing (650.11 ppm AEAC) (Herold
2007). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan panelis terhadap minuman tersebut
adalah rasa pahit yang terdapat pada ekstrak rebusan daun kumis kucing.
Tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan konsumen dalam memilih produk pangan, yaitu
kesehatan, kepraktisan, dan kesukaan. Faktor yang ketiga merupakan faktor yang membedakan antara
produk pangan dan obat. Produk pangan fungsional dengan citarasa yang baik dapat memberikan
manfaat kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya. Oleh karena itu, citarasa produk pangan
fungsional perlu diperbaiki agar produk pangan tersebut dapat diterima dengan baik oleh konsumen.
Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan skor kesukaan panelis (30 panelis tidak terlatih)
terhadap citarasa produk minuman fungsional berbasis kumis kucing hanya mencapai skala hedonik
antara netral dan suka (skor hedonik 3.32 dari skala 5.00). Upaya perbaikan citarasa minuman
selanjutnya dilakukan oleh Kordial (2009) dengan menggunakan ekstrak berbagai varietas jeruk.
Jeruk yang digunakan adalah jeruk lemon (Citrus medica var. Lemon), jeruk purut (Citrus hystrix
D.C), jeruk nipis (Citrus aurantifolia Swingle.), dan jeruk limau (Citrus amblycarpa). Hasil yang
diperoleh adalah formula minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk y memiliki skor kesukaan
tertinggi. Skor kesukaan panelis (30 panelis tidak terlatih) terhadap rasa minuman yang ditambahkan
ekstrak jeruk y mencapai skala hedonik antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala
7.00). Minuman tersebut setelah disimpan 12 minggu memiliki skor kesukaan rasa dengan skala
hedonik yang berkisar antara agak suka dan suka, namun panelis sudah dapat mendeteksi adanya
perbedaan citarasa antara minuman ini dengan minuman yang masih segar.
Penilaian sensori secara individu terhadap minuman tersebut mengindikasikan masih adanya
after taste jahe. Oleh karena itu, upaya peningkatan penerimaan citarasa terhadap formula minuman
tersebut masih perlu dilakukan. Pengukuran terhadap aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes, dan
nilai pH selanjutnya dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap minuman.
Herold (2007) menyatakan minuman berbasis herbal biasanya memiliki after taste pedas,
manis, asam, pahit, asin, dingin, panas, hangat, dan sejuk. After taste adalah sensasi rasa yang masih
tertinggal di dalam mulut. After taste dapat terjadi pada makanan dan minuman yang dikonsumsi
(Lawless dan Heymann 1999). Oleh karena itu, pengembangan minuman tradisional Indonesia yang

17
memiliki potensi dan status sebagai pangan fungsional perlu memperhatikan aspek penerimaan
konsumen sehingga minuman tersebut disukai oleh konsumen.
Upaya peningkatan penerimaan citarasa minuman yang dilakukan dalam penelitian ini di
antaranya dengan menggunakan ekstrak jeruk x dan jeruk y. Hal tersebut dilakukan dengan harapan
dapat memberikan sensasi sensori yang eksotis khas Indonesia. Ekstrak jeruk sudah sangat populer
digunakan pada produk-produk minuman (Colombo et al. 2002), sehingga diharapkan dapat
meningkatkan penerimaan citarasa minuman ketika digunakan dalam minuman fungsional berbasis
kumis kucing.
Hipotesis dari penelitian ini adalah peningkatan penerimaan citarasa minuman fungsional
berbasis kumis kucing dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan
flavor enhancer dalam jumlah P g dalam 100 ml minuman. Upaya peningkatan penerimaan citarasa
yang dilakukan terhadap minuman fungsional berbasis kumis kucing akan berpengaruh terhadap
aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes, dan nilai pH minuman. Pengaruh tersebut dapat berupa
penaikan ataupun penurunan nilai aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes, dan nilai pH minuman.
Hal tersebut disebabkan adanya perubahan jenis dan jumlah dari ekstak jeruk yang diberikan ke
dalam minuman. Ekstrak jeruk yang sebelumnya digunakan adalah ekstrak jeruk y sebanyak V g
dalam 100 ml minuman kemudian diubah menjadi kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor
enhancer dengan jumlah total P g dalam 100 ml minuman. Variasi perlakuan terhadap jenis pemanis
dan pengawet yang digunakan juga dilakukan dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini adalah citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing dapat
diperbaiki dengan kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor enhancer dengan jumlah total P g
dalam 100 ml minuman dan juga pengendalian variasi pada pemanis dan pengawet. Skor kesukaan
terhadap 6 formula minuman terpilih berdasarkan rancangan percobaan hasil keluaran Design Expert
7.0 dari masing-masing perlakuan berkisar antara 6.78-7.42 dari skala 9. Penggantian gula dengan
pemanis pada formula yang sama dapat menurunkan tingkat penerimaan minuman secara nyata pada
taraf α= 0.05. Penggunaan pengawet natrium benzoat pada formula yang sama tidak mempengaruhi
tingkat penerimaan minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Formula terbaik yang dihasilkan
berdasarkan metode perbandingan eksponensial adalah minuman yang menggunakan gula, tanpa
pengawet, ekstrak jeruk x sejumlah A g, ekstrak jeruk y sejumlah B g, & flavor enhancer (P:P)
sejumlah C g dalam 100 ml minuman yang memiliki skor hedonik sebesar 7.42 dan aktivitas
antioksidan 605 ppm AEAC. Formula yang menggunakan pemanis memiliki tingkat penerimaan
yang lebih rendah dibandingkan dengan formula yang menggunakan gula, namun masih memiliki
mutu sensori dengan tingkat kesukaan citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 6.78-6.86 dari
skala 9.00).
Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan penerimaan citarasa minuman fungsional
berbasis kumis kucing dengan menentukan jumlah kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor
enhancer dalam minuman yang memberikan skor hedonik ≥ 6.60 dari masing-masing jenis perlakuan
(perlakuan pemanis dan pengawet tertentu) dan melihat pengaruhnya terhadap aktivitas antioksidan,
aktivitas antidiabetes, dan nilai pH. Formula terbaik selanjutnya dipilih berdasarkan metode
perbandingan eksponensial.

18
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CITARASA

Citarasa suatu produk pangan sangat menentukan terhadap penerimaan produk tersebut oleh
konsumen. Produk pangan higienis yang diklaim dapat memberikan manfaat kesehatan dan
kepraktisan akan sulit diterima oleh konsumen jika secara organoleptik produk tersebut kurang disukai
atau bahkan tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010). Oleh karena itu, peningkatan penerimaan
citarasa perlu diperhatikan dalam pengembangan produk pangan khas Indonesia khususnya jamu.
Hal tersebut dilakukan agar jamu yang disajikan dalam bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai
minuman fungsional (Sampoerno dan Fardiaz 2001).
Menurut Lindsay (1996), citarasa (flavor) merupakan kompleks sensasi yang ditimbulkan oleh
berbagai indera (penciuman, pengecap, penglihatan, peraba, dan pendengaran) pada waktu
mengonsumsi makanan. Citarasa (flavor) meliputi aroma, rasa, dan faktor stimulasi kimia (Meilgaard
1999). Citarasa bahan pangan terdiri dari tiga komponen, yaitu bau, rasa, dan rangsangan mulut
(Winarno 2008). Aroma merupakan persepsi olfactory yang disebabkan oleh senyawa volatil yang
dilepaskan dari suatu produk di dalam mulut melalui saraf posterior. Rasa merupakan persepsi
gustatory (asin, manis, asam, dan pahit) yang disebabkan oleh senyawa yang larut di dalam mulut.
Faktor stimulasi kimia merupakan rangsangan akhir saraf di dalam membran halus dari buccal dan
nasal cavity (pedas/astringen, panas rempah, dingin, menyengat, flavor logam, dan rasa gurih)
(Meilgaard 1999).
Flavor pada pangan dapat dipelajari dengan mengetahui komposisi senyawa-senyawa pada
pangan yang menghasilkan rasa dan bau serta interaksi yang terjadi antara komponen-komponen
tersebut dengan alat indra kita. Senyawa kimia yang berkontribusi pada flavor secara garis besar
dipengaruhi oleh dua senyawa, yaitu komponen volatil dan non volatil. Komponen volatil adalah
komponen yang memberikan sensasi bau melalui reseptor pada hidung, memberikan top notes yang
menguap dengan cepat. Komponen non volatil memberikan sensasi pada rasa yaitu : asam, asin,
manis, dan pahit. Komponen non volatil tidak memberikan sensasi bau tetapi menjadi media bagi
komponen volatil dan membantu menahan penguapan komponen volatil (Winarno 2002a).
Klasifikasi flavor berdasarkan legal status menurut Burdock (1991) adalah:
a. natural merupakan senyawa-senyawa yang diekstrak dari bahan-bahan yang terdapat di alam.
Contohnya: vanillin, orange oil, dan celery oil.
b. natural identical merupakan senyawa-senyawa yang dapat diekstrak atau terdapat di alam, tetapi
dalam prosesnya dibuat secara kimia. Contohnya: etil asetat dan lakton. Umumnya flavor yang
dibuat dari bahan ini lebih murah dibandingkan dengan natural. Suatu bahan disebut natural
identical jika merupakan produk sintetis kimiawi dan sedikitnya berjumlah 99 %.
c. artificial merupakan senyawa yang tidak terdapat di alam dan hanya dibuat melalui proses sintetis
tetapi dapat memberikan efek flavor tertentu. Contohnya: ethyl vanillin (strukturnya hampir sama
dengan vanilin tetapi sampai saat ini belum ditemukan secara alami).
Upaya peningkatan penerimaan citarasa dapat dilakukan melalui uji organoleptik. Uji
organoleptik adalah identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis, dan interpretasi dari karakteristik/atribut
suatu produk. Hal tersebut dilakukan berdasarkan penerimaan melalui kelima indera manusia, yaitu
penglihatan, penciuman, pencicipan, perabaan, dan pendengaran. Uji organoleptik dilakukan untuk
menunjukkan hasil pengukuran objektif terhadap atribut sensori suatu bahan pangan (Meilgaard
1999). Atribut sensori yang dianalisis dengan penginderaan tersebut antara lain penampilan, aroma,
tekstur, konsistensi, citarasa, dan suara (Meilgaard 1999).

19
2.2. EVALUASI SENSORI

Instrumen atau alat dapat digunakan untuk mengukur atau menilai suatu parameter dari produk
tertentu, namun tidak semua hasil ciptaan manusia dapat digunakan sebagai alat bantu untuk
mengukur kualitas suatu produk (misalnya mutu sensori bahan pangan). Indera manusia telah
diciptakan oleh Tuhan dengan sensor yang paling canggih. Oleh sebab itu, penggunaan subjek
manusia sebagai instrumen dalam mengevaluasi atribut sensori bahan pangan menjadi sangat penting.
Evaluasi sensori adalah disiplin ilmu yang membutuhkan standardisasi dan pengendalian yang
tepat pada setiap tahap, mulai dari persiapan contoh, pengukuran respon, analisis data, dan interpretasi
hasil, sehingga dibutuhkan pencatatan dan dokumentasi yang cermat. Metode pengujian sensori
melibatkan panelis dalam menilai suatu produk pangan. Panelis adalah orang atau sekelompok orang
yang menilai dan memberikan tanggapan terhadap produk yang diuji. Panelis dapat dipilih dari
konsumen awam pengguna produk sampai seorang yang sangat ahli dalam menilai kualitas sensori.
Penggunaan panelis diharapkan dapat menjelaskan sensasi dan persepsi citarasa yang diterima oleh
indra manusia (Setyaningsih et al. 2010).
Evaluasi sensori menyediakan informasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan
terhadap suatu produk. Hasil evaluasi sensori terhadap produk pangan menjadi landasan penting
dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan sifat sensori yang dimiliki suatu produk.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan evaluasi sensori, yaitu: jenis panelis yang
digunakan, metode analisis yang digunakan, kasus yang dihadapi, tujuan pengujian, pertanyaan yang
sesuai, pengurangan adanya bias, dan informasi yang ingin diperoleh dari pengujian tersebut
(Carpenter et al. 2000).
Evaluasi sensori ada yang bersifat objektif dan subjektif. Analisis objektif digunakan untuk
menilai kualitas suatu produk meliputi uji pembedaan dan uji deskripsi, sedangkan analisis subjektif
digunakan untuk mengetahui kesukaan atau penerimaan konsumen. Uji pembedaan bertujuan
mengetahui perbedaan di antara dua atau lebih contoh. Uji deskripsi bertujuan mendeskripsikan dan
mengukur perbedaan yang ada atau yang ditemukan di antara suatu produk. Uji kesukaan atau
penerimaan bertujuan mengidentifikasi tingkat kesukaan dan penerimaan suatu produk. Uji sensori
secara umum terdiri atas tiga jenis yaitu uji pembedaan (difference or discrimination test), uji
deskripsi, dan uji afektif (preference and acceptability test) (Meilgaard 1999).
Evaluasi sensori dapat menyediakan informasi yang berkaitan dengan mutu suatu produk
pangan. Informasi tersebut diantaranya adalah spesifikasi produk pangan, deteksi bau dan flavorasing
dalam bahan pangan, reformulasi produk, pemetaan produk (product mapping), dan penerimaan
produk. Uji sensori memiliki beberapa tujuan, yaitu menemukan karakteristik sensori untuk
memenuhi fitness for use , mengetahui kesukaan konsumen, mengetahui preferensi konsumen,
mengetahui kepekaan konsumen, inspeksi visual, perancangan produk, dan kesesuaian dengan standar
sensori (Muhandiri dan Kadarisman 2008).
Evaluasi sensori dapat bersifat subjektif jika jumlah panelis yang terlalu sedikit dan penilaian
yang menimbulkan praanggapan terlebih dahulu terhadap suatu produk yang sedang diuji. Oleh sebab
itu, teknik evaluasi sensori yang lebih formal, terstruktur, dan dengan metode yang baku perlu
dikembangkan agar meminimalkan subjektivitas yang dilakukan panelis dalam menilai suatu bahan
pangan (Meigaard et al. 1999).
Para analis sensori harus mengetahui dengan jelas tujuan pengujian dan memahami analisis
sensori dengan baik. Hal tersebut dilakukan agar penarikan kesimpulan dan pengambilan keputusan
dapat dilakukan dengan benar dan tepat. Pengujian kimia dan mikrobiologi juga dilakukan untuk
mengetahui kualitas suatu produk (Setyaningsih et al. 2010).

20
2.3. UJI AFEKSI DAN UJI KESUKAAN (UJI HEDONIK)

Uji afeksi adalah uji yang digunakan untuk mengukur sikap subjektif konsumen terhadap
produk berdasarkan sifat-sifat sensori. Hasil yang diperoleh adalah penerimaan (diterima atau
ditolak), kesukaan (tingkat suka atau tidak suka), dan pilihan (pilih satu dari yang lain) terhadap
produk (Meilgaard 1999). Preferensi atau pilihan pada uji afeksi tidak sama dengan penerimaan, bisa
jadi panelis lebih memilih contoh A dibanding contoh B, akan tetapi kedua contoh tidak dapat
diterima.
Metode yang digunakan dalam penyajian contoh pada uji afeksi ada tiga. yaitu: monadic,
sequential monadic, dan penyajian berpasangan (paired presentation). Pemyajian monadic adalah
penyajian semua contoh dalam satu waktu. Penyajian sequential monadic adalah penyajian contoh
dalam beberapa rangkaian untuk diujikan pada waktu yang sama. Penyajian berpasangan adalah
penyajian sebanyak dua buah atau satu pasang pada satu waktu yang sama (Lawless dan Heymann
1999).
Tujuan utama uji afeksi adalah untuk mengetahui respon individu berupa penerimaan ataupun
kesukaan dari konsumen terhadap produk yang sudah ada, produk yang baru, ataupun karakteristik
khusus dari produk yang diuji (Meilgaard 1999).
Uji afeksi menurut Setyaningsih et al. (2010) dapat bersifat kualitatif dan kuantitatif. Uji
afeksi kualitatif digunakan untuk mengukur respon subjektif dari sebuah contoh oleh konsumen sesuai
karakteristik sensori produk melalui sebuah wawancara atau diskusi kelompok. Moderator atau
pewawancara pada uji kualitatif akan berinteraksi secara langsung dengan konsumen (panelis),
sehingga moderator atau pewawancara harus mengetahui cara atau metode investigasi, teknik untuk
tampil netral, cara meringkas serta melaporkan secara jelas, dan memiliki keahlian menjaga kelompok
diskusi agar tetap dinamis. Metode kualitatif dapat diaplikasikan pada beberapa situasi berikut:
a. situasi untuk mengetahui dan memahami kebutuhan konsumen yang tidak dapat diekspresikan
(contoh: Alasan seseorang membeli susu berkalsium tinggi padahal menu sehari-hari sudah cukup
memenuhi kebutuhan kalsium). Metode ini berguna untuk mengidetifikasi kecenderungan atau
tren perilaku konsumen dan produk yang digunakan.
b. situasi untuk memperkirakan respon awal konsumen terhadap konsep atau prototipe produk. Uji
kualitatif memungkinkan konsumen untuk berdiskusi secara terbuka mengenai konsep atau
prototipe produk ketika pembuat produk ingin mengetahui penerimaan konsumen terhadap
konsepnya. Hasil yang diperoleh dapat membantu peneliti untuk memahami reaksi awal
konsumen terhadap konsep atau prototipe produk, sehingga dimungkinkan untuk langsung
dilakukan penyesuaian-penyesuaian pada titik ini.
c. situasi untuk mengajarkan konsumen untuk mendeskripsikan atribut sensori baik itu konsep,
prototipe, ataupun produk komersial. Konsumen mendiskusikan atribut produk secara terbuka
menggunakan bahasa mereka sendiri pada uji kualitatif.
d. situasi untuk mengajarkan mengenai perilaku konsumen berkenaan dengan produk. Pembuat
produk dapat mengetahui keputusan penggunaan produk oleh konsumen dan respon konsumen
terhadap cara pemakaian produk.
Uji afeksi kuantitatif berguna untuk mengetahui respon konsumen dalam sebuah kelompok
besar (50 sampai beberapa ratus orang) dengan pertanyaan mengenai penerimaan, kesukaan, atribut
sensori, dan lain-lain (Carpenter et al. 2000). Metode afeksi kuantitatif dapat diaplikasikan pada
beberapa situasi berikut:
a. situasi untuk mengetahui penerimaan atau kesukaan produk dengan melibatkan panelis yang
merupakan konsumen yang mewakili populasi pengguna produk.

21
b. situasi untuk mengetahui panerimaan atau kesukaan panelis terhadap karakteristik sensori produk
seperti aroma, flavor, tekstur, penampilan, dan lain-lain. Karakter produk dipelajari agar diperoleh
informasi mengenai faktor yang mempengaruhi penerimaan atau kesukaan konsumen secara
keseluruhan.
c. situasi untuk mengukur respon konsumen terhadap atribut sensori tertentu yang spesifik dari
produk dengan menggunakan skala intensitas atau hedonik, sehingga menghasilkan data yang
dapat menghubungkan antara rating hedonik dan analisis deskripsi.
Uji afeksi kuantitatif dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan tugas utamanya, yaitu: uji
kesukaan dan uji penerimaan. Tugas utama pada uji kesukaan adalah memilih. Pertanyaan yang
mendasari pada uji kesukaan menghasilkan jawaban produk yang dipilih dan produk yang lebih
disukai di antara produk yang ada. Tugas utama pada uji penerimaan adalah me-rating. Pertanyaan
yang mendasari pada uji penerimaan menghasilkan jawaban seberapa besar kesukaan dan penerimaan
konsumen terhadap produk. Pertanyaan lain juga dapat ditanyakan pada uji penerimaan untuk
mengetahui alasan konsumen menyukai atau menerima suatu produk (Meilgaard 1999).
Uji afeksi terdiri atas uji penerimaan (acceptance test) dan uji kesukaan (preference test). Uji
penerimaan berhubungan dengan penilaian seseorang tentang suatu sifat atau kualitas suatu produk
yang menyebabkan seseorang menyukai produk tersebut. Panelis pada uji penerimaan
mengemukakan tanggapan pribadi mengenai kesukaan terhadap sifat sensori atau kualitas yang dinilai
dari suatu produk. Produk kerupuk yang gurih dan renyah dapat dijadikan contoh sebagai sifat-sifat
yang disukai. Sebaliknya, produk daging yang hambar, terlalu asin, dan liat merupakan contoh dari
sifat-sifat yang tidak disukai (Setyaningsih et al. 2010).
Uji penerimaan bersifat lebih subjektif daripada uji pembedaan. Oleh karena itu, beberapa
panelis yang memiliki kecenderungan ekstrim (sangat suka atau sangat tidak suka terhadap suatu
produk) tidak dapat digunakan pada uji penerimaan. Uji penerimaan dapat dilakukan menggunakan
panelis yang tidak terlatih. Contoh pembanding atau contoh baku tidak digunakan pada uji
penerimaan. Panelis tidak boleh mengingat atau membandingkan dengan contoh yang diuji
sebelumnya pada uji penerimaan. Tanggapan harus diberikan segera dan secara spontan, bahkan
tanggapan yang sudah diberikan tidak boleh ditarik kembali meskipun kemudian timbul keraguan.
Tanggapan kesukaan yang dihasilkan bersifat sangat pribadi, sehingga kesan seseorang tidak dapat
digunakan sebagai petunjuk tentang penerimaan dari suatu produk (Lawless dan Heymann 1999).
Tujuan dari uji penerimaan adalah untuk mengetahui penerimaan suatu produk atau suatu sifat
sensorik tertentu oleh konsumen. Oleh karena itu, tanggapan kesukaan harus diperoleh dari
sekelompok orang yang dapat mewakili pendapat umum atau mewakili suatu populasi masyarakat
tertentu. Salah satu jenis uji penerimaan adalah uji kesukaan.
Uji kesukaan atau hedonik dilakukan untuk memilih satu produk di antara produk lain secara
langsung. Uji kesukaan meminta panelis untuk harus memilih satu pilihan tingkat kesukaan.
Penentuan seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk dapat diketahui dengan menggunakan
uji kesukaan. Produk dibandingkan dengan produk lain yang lebih baik atau lebih disukai pada uji
kesukaan. Pembandingan produk juga dapat dilakukan dengan produk yang sudah ada sebelumnya.
Skala hedonik kemudian digunakan untuk menunjukkan tingkat kesukaan atau ketidaksukaan terhadap
suatu produk. Skala hedonik suka dapat meliputi: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan agak suka.
Sebaliknya skala hedonik tidak suka dapat meliputi suka dan agak suka. Penilaian netral (bukan suka
tetapi juga bukan tidak suka) juga terdapat pada skala hedonik (Carpenter et al. 2000). Skala pada uji
hedonik dapat dilihat pada Tabel 1.
Skala yang dapat digunakan pada uji hedonik adalah skala 1-3,1-5, 1-7, dan 1-9. Hal tersebut
digunakan karena dengan menggunakan skala yang seimbang (jumlahnya ganjil) akan diperoleh hasil

22
yang paling baik. Skor tertinggi menunjukkan bahwa produk tersebut lebih disukai dibandingkan
dengan skor yang lebih rendah. Penggunaan skala 1-9 dapat menggambarkan secara lebih detil nilai
kesukaan dari panelis pada uji hedonik (Lawless dan Heymann 1999).

Tabel 1. Skala pada uji hedonik


Skala 1-9 Skala 1-7
1 = Amat sangat tidak suka 1 = Sangat tidak suka
2 = Sangat tidak suka 2 = Tidak ska
3 = Tidak suka 3 = Agak tidak suka
4 = Agak tidak suka 4 = Biasa saja
5 = Biasa saja 5 = Agak suka
6 = Agak suka 6 = Suka
7 = Suka 7 = Sangat suka
8 = Sangat suka
9 = Amat sangat suka

Penggunaan skala hedonik dapat digunakan untuk mengetahui perbedaan antara sampel yang
diuji, sehingga uji hedonik sering digunakan untuk menilai secara organoleptik komoditas yang
sejenis atau produk yang sedang dalam tahap pengembangan. Uji hedonik banyak digunakan untuk
menilai produk akhir. Data yang diperoleh dari hasil uji hedonik biasanya dianalisis menggunakan
ANOVA (Analysis of variance) dan jika ada perbedaan digunakan uji lanjut seperti Duncan.
Perlakuan terbaik dapat ditentukan dengan metode perbandingan eksponensial (MPE) (Setyaningsih et
al. 2010).

2.4. PANGAN FUNGSIONAL

Dasar pemilihan terhadap jenis makanan yang akan dikonsumsi, tidak hanya dapat memenuhi
kebutuhan energi, mengenyangkan perut, atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta
penampilan yang menarik, tetapi juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang
dikandungnya terhadap kesehatan tubuh. Oleh karena itu, istilah pangan fungsional mulai dikenal
oleh masyarakat.
Definisi pangan fungsional yang diterima secara universal belum ada hingga saat ini
(Robertfroid 2000 diacu dalam Wijaya 2007). Pemahaman dan definisi yang bervariasi berdampak
pada kesulitan penyamaan persepsi dalam komunikasi internasional terutama yang terkait dengan
publikasi ilmiah dan regulasi. Meskipun demikian, beberapa organisasi/asosiasi professional telah
mengemukakan beberapa usulan definisi. International Food Information Council (IFIC)
mendefinisikan pangan fungsional sebagai pangan yang memberikan keuntungan bagi kesehatan
melebihi nilai nutrisi dasarnya. Definisi yang serupa juga dikemukakakan oleh International Life
Science Institute (ILSI) Amerika Utara. Health Canada mendefinisikan pangan fungsional sebagai
pangan yang serupa dengan penampakan pangan konvensional, dikonsumsi sebagai bagian dari diet
umumnya, memiliki keunggulan fisiologis dan atau mengurangi risiko penyakit kronis melebihi fungsi
nutrisi dasarnya. Institute of the National Academy of Sciences membatasi pangan fungsional pada
produk yang mengandung satu atau lebih ingridien yang konsentrasinya telah dimodifikasi atau
dimanipulasi guna meningkatkan kontribusinya pada diet yang menyehatkan. Institute of Medicine’s

23
Food and Nutrition Board di USA mengusulkan definisi pangan fungsional sebagai suatu produk
pangan atau ingridien yang memberikan keuntungan kesehatan melebihi kandungan nutrisi
tradisionalnya.
Pangan fungsional menurut konsensus pada The First International Conference on East West
Perspective on Functional Food (1996) adalah pangan yang kandungan komponen aktifnya dapat
memberikan manfaat bagi kesehatan, di luar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi konvensional
yang terkandung di dalamnya. Pangan fungsional masih menjadi tren dalam perkembangan pangan
dunia saat ini (Wijaya 2007). Pangan fungsional di dunia barat dipandang sebagai suatu revolusi,
dicerminkan dengan perkembangan pangan fungsional yang sangat cepat dalam dunia industri pangan
mereka saat ini. Pangan fungsional di dunia timur telah menjadi bagian dari kultur selama baerabad-
abad. Komponen yang biasanya ditambahkan oleh produsen pangan fungsional di Amerika Serikat
adalah vitamin, produsen pangan fungsional di Asia lebih suka menambahkan ekstrak tumbuhan
alami, sedangkan masyarakat Eropa lebih fokus kepada bakteri asam laktat (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007).
Definisi pangan fungsional menurut BPOM (2005) adalah pangan yang secara alamiah atau
yang telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian
ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan
fungsional adalah produk olahan pangan yang selain membawa komponen gizi, juga mengandung
senyawa aktif yang berdampak positif pada pemeliharaan dan peningkatan kesehatan individu,
penampilan fisik atau pada kondisi spiritual (state of mind) seseorang (Tejasari 2003). Meskipun
demikian, pangan fungsional bukan berupa obat melainkan berupa makanan atau minuman. Pangan
fungsional adalah jenis pangan atau produk pangan yang memiliki ciri-ciri fungsional sehingga
berperan dalam perlindungan atau pencegahan, pengobatan terhadap penyakit, peningkatan kinerja
fungsi tubuh optimal (seperti produksi kerja, belajar, fungsi intelek, dan reproduksi), dan
memperlambat proses penuaan (Karyadi 2000). Hal tersebut sejalan dengan definisi pangan
fungsional menurut Goldberg (1994) dan Hasler (1995), yaitu produk olahan pangan yang berfungsi
dalam pencegahan atau penyembuhan penyakit untuk mencapai kesehatan tubuh optimal.
Pengertian pangan fungsional menurut Winarno dan Kartawidjajaputra (2007) adalah makanan
kesehatan yang berfungsi memelihara kesehatan dan mungkin mencegah penyakit (preventif) bukan
menyembuhkan (kuratif). Oleh sebab itu, pangan fungsional tidak perlu melewati pengujian ketat
sebelum dipasarkan dan juga tidak diawasi secara ketat oleh pemerintah. Pangan fungsional yang
berupa minuman hendaknya memperhatikan aspek sensori rasa, bau, dan warna sehingga dapat
disukai oleh konsumen. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tidak boleh mencantumkan klaim
kesehatan, namun hanya boleh memuat pernyataan minuman ini diperkaya dengan atau mengandung
suatu zat yang bermanfaat bagi kesehatan, harus jelas sasaran golongan konsumen penggunanya, dan
tidak memuat peringatan yang terkait dengan kesehatan.
Pangan fungsional atau Foods for Spesified Health Use (FOSHU) menurut Departemen
Kesehatan Jepang adalah pangan yang diharapkan memiliki efek khusus terhadap kesehatan
dikarenakan adanya suatu komponen pada pangan, pangan yang zat alergen di dalamnya telah
dihilangkan, dan klaim mengenai efek menguntungkan pangan tersebut telah terbukti secara ilmiah,
serta tidak memiliki risiko kesehatan dan kebersihan. Konsep pangan fungsional dikembangkan
dengan tujuan khusus untuk meningkatkan kebugaran tubuh dan pengurangan risiko terhadap
penyakit.
Beberapa istilah yang dikenal oleh masyarakat internasional mengenai pangan fungsional,
novel food, medical food, nutraceutical, dan lain-lain adalah sebagai berikut (Winarno 2002b):

24
1. nutraceutical adalah suatu istilah yang popular di AS, merupakan kombinasi nutrisional dan
pharmaceutical untuk mengelompokkan klasifikasi baru bagi pangan hasil pengolahan tertentu.
Nutraceutical di beberapa negara lain dipandang sebagai pangan dalam bentuk kapsul, powder
atau pil, namun nutraceutical di AS dipandang sebagai senyawa atau suatu komposisi yang
berbentuk sebagai makanan yang memiliki fungsi fisiologis yang mampu memperbaiki kesehatan
termasuk pencegahan dan pengobatan penyakit. Jadi, nutraceutical dapat berbentuk pangan,
suplemen pengolahan medical food, dan tidak ada perbedaan yang jelas antara konsep pangan
fungsional dan nutraceutical.
2. novel food adalah suatu produk pangan yang sebelumnya tidak dikonsumsisecara luas dan umum.
Novel food di negara Uni Eropa adalah pangan yang berasal dari ganggang atau algae, mikroba,
dan jamur (fungi). Jadi, pangan fungsional tidak harus berarti novel food, misalnya puree
blueberry dan sari prune dimasukkan ke dalam pangan fungsional tetapi bukan novel food.
3. designer foods adalah pangan yang secara alami mengandung fitokimia atau pangan yang
diperkaya dengan fitokimia, yang tidak mewakili senyawa gizi atau senyawa bioaktif. Designer
foods dapat membantu menurunkan risiko penyakit kanker.
4. synbiotics adalah produk yang mengandung baik probiotik maupun prebiotik. Kombinasi antara
probiotik dan prebiotik menghasilkan suatu pengaruh yang sinergis yang dapat memperbaiki
kesuburan pertumbuhan bakteri baik dalam flora usus.
5. medical foods termasuk kategori pangan khusus yang diberikan kepada pasien berdasarkan
dignosa. Medical foods diberikan kepada pasien yang memerlukan zat gizi khusus yang tidak
dapat dipenuhi oleh menu regular sehari-hari dan merupakan bagian dari pengobatan.
6. natural remedies dikelompokkan sebagai obat yang komponen aktifnya berasal dari alam. Produk
tersebut harus diolah seminimal mungkin dan biasanya berasal dari sayuran, binatang ternak, atau
kultur bakteri. Produk tersebut harus memiliki bukti ilmiah dan telah digunakan secara tradisional
tetapi mungkin belum digunakan pada manusia.
Dasar pertimbangan konsumen di negara-negara maju dalam memilih bahan pangan tidak
hanya bertumpu pada kandungan gizi serta kelezatannya, tetapi juga pengaruhnya terhadap kesehatan
tubuh (Goldberg 1994). Pangan fungsional mempunyai karakteristik sebagai makanan yaitu
karakteristik sensori, baik warna, tekstur, dan citarasanya, serta mengandung zat gizi di samping
mempunyai fungsi fisiologis bagi tubuh. Fungsi fisiologis yang diberikan oleh rnakanan fungsional
diantaranya adalah mengatur daya tahan tubuh, mengatur ritmik kondisi fisik, mencegah penuaan, dan
mencegah penyakit yang berkaitan dengan makanan. Meskipun demikian, pangan fungsional bukan
berbentuk kapsul, tablet, atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Sampoerno dan Fardiaz 2001).
Pangan fungsional secara sekilas hampir mirip dengan obat, karena mempunyai efek menyehatkan
tubuh, tetapi terdapat perbedaan di antara keduanya. Obat hanya dikonsumsi pada saat-saat tertentu
saja (tidak dapat dikonsumsi setiap hari), sedangkan pangan fungsional dapat dikonsumsi setiap hari.
Suatu pangan dapat dikatakan sebagai pangan fungsional jika memenuhi syarat-syarat berikut
(Ichikawa 1994):
1. pangan tersebut dapat digunakan sebagai makanan dan memiliki fungsi untuk kesehatan;
2. pangan tersebut memiliki manfaat bagi kesehatan dan pemenuhan gizi yang berdasarkan data
ilmiah;
3. jumlah yang dikonsumsi setiap hari harus ditentukan dan diizinkan oleh ahli kesehatan dan gizi;
4. pangan tersebut aman dalam diet yang seimbang;
5. pangan tersebut memiliki karakteristik sifat fisik dan kimia disertai metode analisa yang jelas,
serta sifat kuantitatif dan kualitatifnya di dalam bahan pangan dapat ditentukan;
6. pangan tersebut tidak mengurangi nilai gizi pangan;

25
7. pangan tersebut dikonsumsi dengan cara yang wajar;
8. pangan tersebut tidak dikonsumsi dalam bentuk tablet, kapsul, ataupun serbuk;
9. pangan tersebut berasal dari bahan-bahan alami.
Pangan fungsional juga hendaknya memberikan fungsi tertentu ketika dicerna dan memberikan
peran dalam proses tubuh tertentu, misalnya: memperkuat pertahanan tubuh, mencegah penyakit
tertentu, memulihkan kondisi tubuh setelah sakit, memperlambat proses penuaan, dan lain-lain.
Sifat fungsional pangan ditimbulkan oleh adanya zat aktif pangan yang termasuk zat gizi,
maupun zat non gizi dan memiliki karakteristik tergantung pada kelompok senyawanya (Tejasari
2003). Zat aktif pada pangan yang berasal dari tumbuhan disebut senyawa fitokimia. Senyawa
fitokimia mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam
pencegahan terhadap penyakit degeneratif. Beberapa senyawa fitokimia yang diketahui memiliki
fungsi fisiologis adalah karotenoid, fitosterol, saponin, glikosinolat, polifenol, protease inhibitor,
monoterpen, fitoestrogen, sulfida, dan asam fitat. Senyawa-senyawa tersebut banyak terkandung
dalam teh hijau, sayuran, kacang-kacangan, tanaman rempah, dan obat (Tejasari 2003 dan Winarti &
Nurdjanah 2005). Sampoerno dan Fardiaz (2001) menyatakan bahwa jamu yang disajikan dalam
bentuk minuman dapat dikategorikan sebagai minuman fungsional jika karakteristik sensorinya diatur
sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.
Pangan fungsional dirancang sebagai pangan yang secara efektif mampu mereduksi jumlah
penyakit-penyakit yang erat kaitannya dengan gaya hidup baru. Sifat fungsional fitokimia yang
menjadi andalan pangan fungsional dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007):
1. antioksidan berfungsi memodifikasi kerusakan oksidatif sehingga dapat menjadi pertahanan
tubuh terhadap stress oksidatif;
2. antimutagen dan antikarsinogen berfungsi mencegah timbulnya kanker;
3. antimikroba dan antivirus berfungsi mencegah timbulnya penyakit infeksi;
4. peningkatan fungsi saluran pencernaan misalnya serat pangan, probiotics, prebiotics;
5. immunomodulator berfungsi menstimulir fungsi imunitas tubuh;
6. anti inflammantory agents berfungsi mencegah timbulnya radang;
7. cerebroactive atau neuroregulator berfungsi memperbaiki kondisi psikologis dan fungsi susunan
syaraf;
8. antihypertensive berfungsi mencegah tekanan darah tinggi;
9. hypocholesteromic agents berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam plasma darah;
10. dimiished allergenicity berfungsi menghilangkan alergenitas;
11. antidiabetogenic berfungsi mencegah timbulnya diabetes;
12. prevention of osteoporosis berfungsi mencegah osteoporosis.
Penelitian di bidang pangan yang paling banyak dilakukan saat ini adalah penelitian tentang
pangan fungsional. Penelitian-penelitian tersebut di antaranya adalah penelitian tentang aktivitas dari
suatu bahan atau ingridien, pencarian komponen bioaktif (aktivitas antioksidan merupakan topik yang
banyak diminati), teknologi untuk penyertaan komponen aktif dalam produk pangan (agar diperoleh
dosis yang efektif), rekayasa bahan baku (sebagai upaya pengkayaan kandungan nutrisi dan
komponen bioaktif pada tanaman), dan pengembangan pangan fungsional dengan fungsinya terhadap
performa dan “mood” (Wijaya 2007).
Pangan fungsional dapat mendatangkan keuntungan baik bagi konsumen, pemerintah, maupun
industri pangan. Pangan fungsional dapat menguntungkan konsumen karena dapat dilakukan
pencegahan terhadap timbulnya berbagai macam penyakit, meningkatkan system imunitas,
memperlambat proses penuaan, dan meningkatkan penampilan fisik. Pangan fungsional

26
menguntungkan pemerintah karena dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk menurunkan
kesehatan rakyatnya. Pangan fungsional memberikan kesempatan yang tidak terbatas kepada industri
pangan untuk secara inovatif memformulasi produk tersebut dengan memperhatikan penampilan
produk, citarasa, dan klaim kesehatan yang dibuktikan secara ilmiah (Muchtadi dan Wijaya 1996).
Tren pengembangan produk pangan fungsional menurut Wijaya (2007) di antaranya adalah
produk-produk konfeksioneri, produk-produk susu, produk siap saji, snack, minuman energi,
minuman oksigen, minuman yang diperkaya dengan serat, minuman rasa buah, dan minuman berbasis
herbal. Pengembangan produk pangan tersebut memiliki beberapa tantangan di antaranya adalah
penelitian yang terpadu dan komunikasi yang efektif kepada konsumen. Produk-produk tersebut tidak
akan memberikan keunggulan dan keuntungan bagi kesehatan jika tidak secara efektif
terkomunikasikan kepada konsumen. Informasi menjadi sangat penting agar hasil-hasil penelitian
ilmiah pangan fungsional dapat dipahami dengan jelas, seimbang, tidak salah persepsi, dan mencegah
isu yang menyesatkan.
Pangan fungsional memberikan peluang manfaat di satu sisi dan peluang mengelabui di sisi
lain (Wijaya dan Astawan 2001). Rambu-rambu yang jelas untuk mengatur klaim atas khasiat produk
pangan diperlukan agar dapat mengatasi hal tersebut. Jepang telah meregulasi secara spesifik untuk
mengatur proses penyetujuan suatu produk sebagai pangan fungsional (Hasler 1998). Regulasi
pangan Eropa tentang peraturan pelabelan pangan (79/112/EEC) secara spesifik melarang
pencantuman atribut yang terkait dengan pencegahan, pengobatan, perlakuan pada penyakit manusia
atau referensi apapun yang terkait. Uni Eropa di sisi lain mengembangkan dan menetapkan
pendekatan ilmiah pada pembuktian yang menunjang produk pangan fungsional menjadi dua tipe
klaim, yaitu: tipe A (klaim “enhanced function “) dan tipe B (klaim”reduction of disease risk “).
Amerika Serikat telah memperbolehkan klaim”reduction of disease risk “ pada produk-produk pangan
tertentu sejak tahun 1993. Klaim kesehatan tersebut berada di bawah penanganan FDA (Food and
Drug Administration) dengan didasarkan pada totalitas publisitas bukti-bukti ilmiah yang tersedia dan
adanya persetujuan nyata di antara para ahli yang berkompeten terhadap klaim dari produk yang
dipasarkan. Klaim pada label yang digunakan pada pangan fungsional dapat berupa klaim struktur &
fungsi dan klaim mengurangi risiko penyakit. Codex Alimentarius pada tahun 1999 mengajukan dua
tipe klaim kesehatan yang serupa dengan di Uni Eropa, yaitu tipeA dan B pada rancangan
rekomendasi untuk klaim kesehatan. Cina dan Filipina memperbolehkan klaim kesehatan pada
produk pangan selama ditunjang dengan bukti-bukti yang cukup. Negara lainnya (termasuk
Singapura dan Malaysia) saat ini belum membolehkan klaim kesehatan dari suatunproduk pangan.
Meskipun demikian, pemasaran nutraceutical dan pangan fungsional secara umum belum terregulasi
dengan baik (Baghchi et al. 2004).
Wijaya (2007) mengungkapkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap pangan fungsional di antaranya adalah usia, tingkat pendidikan, manfaat kesehatan, rasa,
kebutuhan, budaya, dan keunggulan yang diklaim berdasarkan penelitian-penelitian ilmiah. Hal yang
perlu diperhatikan agar pangan fungsional dapat diterima oleh konsuman adalah citarasa. Citarasa
yang kurang baik tetap tidak bisa diterima meskipun pangan tersebut memiliki manfaat bagi
kesehatan.
Pangan indigenous Indonesia yang berasal dari warisan nenek moyang yang mencerminkan
budaya khas Indonesia sebenarnya dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi pangan fungsional.
Pengembangan pangan fungsional di Indonesia sangat manjanjikan jika dikelola dengan tepat. Hal
tersebut didukung oleh latar belakang kultur yang ada, populasi yang tinggi, dan sumber daya alam
yang sangat beragam.

27
Jamu telah dikenal oleh nenek moyang kita secara empiris sebagai minuman yang berkhasiat
untuk kesehatan, kebugaran, dan identik dengan obat yang mujarab seperti: wedang (Jawa: minuman)
jahe, wedang secang, sekoteng, serbat, beras kencur, bandrek memiliki khasiat mencegah masuk
angin, demam, dan menghangatkan badan. Hasil penelitian terakhir menunjukkan ekstrak jahe segar
dapat menekan proliferasi sel kanker leukemia. Selain itu juga, bir pletok yang terbuat dari
bermacam-macam rimpang dan rempah alami berkhasiat meningkatkan stamina.
Masyarakat Indonesia memiliki kepercayaan terhadap kemujaraban penyembuhan jamu,
namun tidak banyak bukti ilmiah yang dapat mendukungnya. Masyarakat Indonesia diperkirakan
sekitar 70-80% mengonsumsi segelas jamu setiap hari. Empat fungsi dasar yang terdapat dalam jamu,
yaitu: menyembuhkan penyakit, mencegah terjadinya serangan penyakit dan mempertahankan kondisi
kesehatan tubuh dengan cara meningkatkan sirkulasi darah & metabolisme tubuh, menyembuhkan
sakit kepala dan sakit sejenisnya dengan cara mengurangi infeksi dan membantu proses pencernaan,
dan mengoreksi terjadinya malfungsi organ tubuh (Winarno dan Agustinah 2007).
Pangan tradisional banyak yang memenuhi persyaratan sebagai pangan fungsional tetapi
informasinya masih terbatas, sehingga diperlukan adanya kajian khusus dan inventori pangan khas
nusantara yang tergolong sebagai pangan fungsional. Selain itu juga, pemberian informasi yang
seluas-luasnya kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar
terhadap pangan fungsional (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).
Ketentuan pokok mengenai pangan fungsional yang terbaru telah dikeluarkan oleh BPPOM RI
no. HK 00.05.52.0685, sedangkan mengenai klaim pangan fungsional diatur dalam lampirannya.
Pangan fungsional tidak harus berupa produk yang diolah secara modern dan mahal, tetapi juga dapat
berupa produk yang diolah secara sederhana, bahkan bisa disiapkan sendiri di rumah. Jadi,
pengetahuan dan kesadaran mengenai pentingnya peran pangan dalam menjaga kesehatan dan
kebugaran yang disertai dengan data-data ilmiah yang ada merupakan dasar untuk mengetahui pangan
fungsional.

2.5. MINUMAN FUNGSIONAL BERBASIS KUMIS KUCING

Minuman fungsional berbasis kumis kucing merupakan minuman hasil formulasi dari beberapa
ekstrak cair rempah dan herbal yang didasarkan pada aktivitas antioksidan, mutu citarasa, dan warna.
Ingridien minuman yang paling dominan terdapat dalam minuman ini adalah ekstrak kumis kucing.
Ekstrak rempah yang dominan setelah ekstrak kumis kucing secara berturut-turut adalah ekstrak kayu
secang, jahe gajah, dan jeruk purut. Ekstrak temulawak merupakan ingridien dalam minuman yang
ditambahkan dalam jumlah sedikit. Bahan tambahan pangan yang terdapat dalam minuman ini adalah
sukrosa (gula pasir) sebagai pemanis, CMC (karboksimetil selulosa) sebagai penstabil, dan kalium
sorbat atau natrium benzoat sebagai pengawet (Wijaya 2007 dan Kordial 2009).
Penelitian minuman fungsional berbasis kumis kucing diawali dengan formulasi minuman
yang dilakukan Herold (2007). Penelitian tersebut menghasilkan formula optimal dengan aktivitas
antioksidan sebesar 621.78 ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Activity), skor
kesukaan panelis terhadap citarasa minuman berkisar antara netral dan suka (skala hedonik 3.32 dari
skala 5.00), dan daya simpan 9 hari pada suhu ruang.
Perpanjangan umur simpan dan perbaikan citarasa minuman kemudian dilakukan Kordial
(2009) melalui penambahan ekstrak berbagai varietas jeruk serta optimasi proses pengolahan. Ekstrak
jeruk y dipilih sebagai pengganti ekstrak jeruk lemon pada formulasi sebelumnya. Minuman yang
dihasilkan dikemas dengan botol gelap yang steril dan dipasteurisasi pada suhu 800C selama 30 menit.
Hasil penelitian tersebut adalah minuman fungsional berbasis kumis kucing dengan umur simpan

28
selama 3 bulan. Minuman pada minggu ke-0 memiliki aktivitas antioksidan sebesar 621.7 ppm
AEAC dan pada minggu ke-12 sebesar 359 ppm AEAC. Skor kesukaan terhadap citarasa minuman
berkisar antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00). Karakteristik lain dari
minuman fungsional berbasis kumis kucing ini adalah nilai pH 3.82, TPT 160 Brix, derajat warna L=
± 25, a= 1.1, b= 5.5, 0Hue= 81.
Pengujian aktivitas anti-hiperglikemik minuman secara in vitro (inhibisi enzim α-glukosidase
dan α-amilase) dan ex vivo (peningkatan penyerapan glukosa oleh sel diagrafma mencit) selanjutnya
dilakukan oleh Diana (2010). Minuman ini mempunyai kemampuan inhibisi α-glukosidase dan α-
amilase dengan IC50 sebesar 217.12 dan 217.41 mg/ml. Minuman ini juga dapat meningkatkan
penyerapan glukosa oleh sel diafragma mencit sebesar 37.48 µg glukosa/g sel. Minuman fungsional
berbasis kumis kucing lebih berpotensi dalam stimulasi penyerapan glukosa (menurunkan kadar
glukosa darah yang tinggi) dibandingkan dengan inhibisi α-glukosidase dan α-amilase (mencegah
peningkatan kadar glukosa darah).

2.5.1. Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq)

Tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus Bl. Miq) termasuk ke dalam divisi
Spermatophyta, sub divisi Angiospemae, kelas Dicotyledoneae, keluarga Lamiaceae, genus
Orthosiphon, dan spesies Orthosiphon spp. Mahendra (2005) menjelaskan bahwa daun kumis kucing
mengandung komponen-komponen bioaktif seperti senyawa sinensetin, flavon- flavon, 2 flavonol
glikosida, zat samak, saponin, garam kalium, asarn-asarn organik, tanin, dan minyak atsiri. Tejasari
(2003) menyebutkan bahwa zat aktif yang terdapat pada ekstrak daun kumis kucing meliputi:
flavonoid, triterpene, dan alkaloid. Ekstrak daun kumis kucing dapat meningkatkan fungsi imun,
stimulasi sel T, makrofag, antimutagenik, anti inflamasi, peluruh urin (diuretik), dan penghancur batu
kemih.

2.5.2. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)

Kayu secang banyak digunakan untuk memberi warna merah pada minuman. Pewarna alami
dapat memberikan fungsi tambahan sebagai perisa, antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya.
Pewarna alami umumnya rentan terhadap pH, sinar matahari, dan suhu tinggi, sehingga sebaiknya
disimpan pada 4-8 oC untuk meminimumkan pertumbuhan mikroba dan degradasi pigmen (Wijaya
dan Mulyono 2009).
Ekstrak kayu secang secara empiris dipakai sebagai obat luka, batuk berdarah, penawar racun,
sipilis, menghentikan pendarahan, pengobatan pascapersalinan, desinfektan, antidiare dan astringent
(Winarti dan Nurdjanah 2005). Kayu secang juga berkhasiat mengobati demam berdarah dan
katarak mata.
Kandungan kimia dari kayu secang adalah tannin, asam galat, resin, resorsin, brazilin.
brazielin, minyak atsiri, sappanin, proto sappanin, senyawa metohidroksibrasilin,turunan
bensildihidrobensolfuran, senyawa brazilin, dan brazilein (Firmansyah 2003 dan Fuke et al. 1985).
Sumber zat warna alami secang menurut Zerrudo (1999) berasal dari komponen pigmen brazilin
(C16H14O5) yang berwarna merah yang bersifat mudah larut dalam air panas. Brazilin memiliki warna
kuning dalam bentuk murninya, dapat dikristalkan, dan larut air. Suasana asam tidak mempengaruhi
warna pigmen brazilin, tetapi dalam suasana basa dapat membuat warna brazilin menjadi lebih merah.
Brazilin akan cepat membentuk warna merah jika terpapar sinar matahari dan akan terjadi perubahan
secara lambat oleh pengaruh cahaya (Anonim 1976).

29
Brazilin memiliki aktivitas sebagai antioksidatif, antibakteri, dan bakteriostatik. Brazilin
merupakan senyawa antioksidan yang mempunyai katekol dalam struktur kimianya. Oleh karena itu,
brazilin diharapkan mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia dan
pelindung terhadap radikal bebas pada sel (Winarti dan Nurdjanah 2005).

2.5.3. Jahe (Zingiber officinale Roscoe)

Jahe (Zingiber officinaIe Rosc.; Ginger) adalah tanaman herba tahunan dengan daun
berpasang-pasangan dua-dua berbentuk pedang, rirnpang seperti tanduk, dan beraroma. Jahe secara
taksonomi termasuk dalam divisi: Spermathophyta, kelas: Angiospermae, subkelas:
Monocotyledoneae, ordo: Musales, famili: Zingiberaceae (Tejasari 2003).
Hasil penelitian para ahli menunjukkan jahe memiliki efek farmakologis yang berkhasiat
sebagai obat (Ahmad 2008). Tejasari (2003) menyatakan bahwa jahe mengandung zat aktif senyawa
fenol. Sifat fungsional yang dimiliki jahe adalah antioksidatif (menurunkan radikal bebas limfosit,
kadar malonaldehid), imunostimulasi sel B dan sel T, meningkatkan aktivitas sitolitik sel NK manusia,
antimikroba, antiinflamatori, dan antitusif.
Jahe mengandung beberapa komponen bioaktif diantaranya adalah gingerols, shogaols,
diarylheptanoids, dan terpenoids (Kikuzaki 2000). Komponen bioaktif jahe diketahui memiliki
aktivitas antioksidan, aktivitas antimikroba, aktivitas antihepatotoxic, menghambat pembentukan
prostaglandin, gastroprotective, analgesic, antipyretic, dan antitumor promoting activity.
Jahe digunakan sebagai penegas rasa dan aroma pada proses pembuatan bahan makanan karena
mengandung flavanoida, polifenol, dan minyak atsiri (Saparinto dan Hidayanti 2006). Senyawa-
senyawa tersebut membuat aroma jahe kuat, dengan rasa pedas menyegarkan. Jahe juga bermanfaat
untuk obat masuk angin, mual, dan encok serta pengusir hawa dingin.
Jahe dapat dikelompokkan berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan ukuran rimpangnya menjadi
tiga jenis, yaitu jahe putih besar/gajah (Zingiber officinale var. Roscoe), jahe putih kecil/emprit
(Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah/sunti (Zingiber officinale var. Rubrum). Rimpang
jahe dapat digunakan sebagai obat batuk, mengatasi influenza, demam, menambah nafsu makan,
memperkuat lambung, dan memperbaiki pencernaan(sakit perut).
Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan aktivitas antioksidan dari ketiga jenis jahe yang
diukur dengan metode penangkapan senyawa radikal bebas stabil DPPH. Jahe merah memiliki
aktivitas antioksidan yang paling tinggi diantara ketiga jenis jahe lainnya. Aktivitas antioksidan jahe
merah yaitu sebesar 890.11 ppm AEAC. Aktivitas antioksidan jahe merah (890.11 ppm AEAC) dan
jahe gajah (858.44 ppm AEAC) secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antioksidan
ekstrak jahe emprit (806.78 ppm AEAC), sedangkan aktivitas antioksidan ekstrak jahe gajah dan
ekstrak jahe merah tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5 %.
Hasanah et al. (2004) menyatakan bahwa jahe gajah memiliki karakter citarasa (rasa pedas dan
aroma jahe) yang kurang tajam dibandingkan jahe emprit dan jahe merah. Hal tersebut dikarenakan
kandungan minyak atsiri jahe gajah, yaitu sebesar 0.82 – 1.68 persen dari bobot kering. Kandungan
minyak atsiri jahe merah berkisar antara 2.58 – 3.72 persen dari bobot kering. Kandungan minyak
atsiri jahe emprit, yaitu sebesar 1.5 – 3.3 persen dari bobot kering (Ahmad 2008).
Nilai aktivitas antioksidan antara ekstrak jahe gajah dan ekstrak jahe merah tidak berbeda
nyata namun jahe gajah memiliki karakter citarasa jahe yang tidak terlalu pedas dibandingkan dengan
jahe merah. Oleh sebab itu, formulasi minuman fungsional berbasis kumis kucing menggunakan
ekstrak jahe gajah.

30
Obat fitofarmaka yang menggunakan bahan baku jahe baru satu macam yaitu zinax. Obat
tersebut merupakan penemuan ahli biokimia Denmark, Dr. Morten Weidner (1991) dengan nama
HMP 33 (Hydroxy-methoxy-Phenyl-Compound). HMP 33 merupakan hasil isolasi ekstrak jahe dari
unsur gingerol yang telah dihilangkan shogaolnya. HMP 33 ini digunakan sebagai bahan aktif utama
zinax yang berkhasiat mengatasi keluhan rasa sakit pada tulang, otot, dan sendi. Setiap kapsul
mengandung 255 mg ekstrak HMP 33 yang setara dengan 6600 mg ekstrak bubuk jahe (Anonim
1997).

2.5.4. Jeruk Purut (Citrus hystrix DC.)

Klasifikasi jeruk purut menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Dialypetales
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus Sumber: (Anonim 2010b)
Spesies : Citrus hystrix D.C (jeruk purut)
Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa tanaman jeruk purut berawakan pohon,
tingginya mencapai 12 m, memiliki batang bengkok-bengkok dan duri-duri pendek tetapi kaku.
Daunnya berbentuk bundar-telur-lebar sampai lonjong-bundar-telur, berukuran (3-15) cm x (2-6) cm,
bunganya kecil-kecil, harum, dan berwarna putih. Buahnya bertipe buah buni, berbentuk bulat telur
sampai menjorong, berdiameter 5-7 cm, berwarna hijau sampai kuning, sangat tidak rata dan tak
beraturan, memiliki 10-12 segmen. Buahnya kecil, biasanya tidak pernah berdiameter lebih dari 2 cm,
membulat dengan tonjolan-tonjolan dan permukaan kulitnya kasar, kulit buah tebal. Perbanyakan
tanaman dilakukan dengan biji atau dengan pencangkokan ( Anonim 2010b).
Hariana (2008) menyatakan bahwa jeruk purut memiliki rasa agak asin (asam), kelat, dan
bersifat simultan serta penyegar. Beberapa bahan kimia yang terdapat pada jeruk purut diantaranya
daun mengandung minyak atsiri 1-1,5 %, steroid triterpenoid, dan tannin 1.8 %. Kulit buah
mengandung saponin, tannin 1 %, steroid triterpenoid, dan minyak atsiri dengan kandungan sitrat 2-
2.5 %. Minyak essensial dari jeruk purut dapat digunakan untuk aroma terapi, nutraceutical, dan
pemeliharaan kesehatan tubuh (Azlim et al. 2010).
Efek farmakologis jeruk purut diantaranya adalah anti-spasmodik dan anti-septik. Jeruk purut
berkhasiat mengobati penyakit influenza. Verheijj dan Coronel (1997) menyatakan bahwa ekstrak
jeruk purut dapat digunakan sebagai bahan penyedap dan dapat diolah menjadi minuman. Jeruk purut
merupakan salah satu kerabat dekat jeruk nipis dari famili Rutaceae (Rukmana 2000).
Jeruk purut memiliki ukuran lebih kecil dari kepalan tangan, berbentuk buah pir, banyak
tonjolan sehingga bentuknya susah dipertahankan. Kulit buahnya tebal dan berwama hijau tetapi
ketika masak buahnya akan berwarna sedikit kuning. Daging buahnya benwarna hijau kekuningan,
rasanya sangat masarn dan kadang pahit. Kulit buahnya dapat diparut dan dicampur air untuk bahan
pencuci rambut, dapat digunakan dalam masakan, dan pembuatan kue serta manisan.
Ketiak daun berduri, durinya pendek halus, warnanya hitam dengan ujung kecoklatan. Panjang
duri antara 0,2-1 cm. Letak daun berpencar dan silih berganti. Daun berbentuk bulat telur, ujungnya
tumpul, dan bertangkai satu. Tangkai daun bersayap lebar dan bentuknya hampir menyerupai daun.

31
Daunnya berwarna hijau dan baunya beraroma sedap, sehingga banyak dipakai sebagai bumbu
bermacam-macam masakan (Sarwono 1994). Daun jeruk purut berkhasiat sebagai stimulan dan
penyegar. Kulit buahnya berkhasiat sebagai stimultan, berbau khas aromatik, bersifat mengelat, dan
rasanya agak asin dan pahit. Buahnva dapat membantu mengatasi gejala influenza, memperbaiki
stamina tubuh, mengatasi rambut kepala yang bau, serta mangatasi kulit bersisik dan mengelupas
(Sarwono 1994).

2.5.5. Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle)

Klasifikasi jeruk nipis menurut (Sarwono 1994 dan Rukmana 2000) adalah sebagai berikut.
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Subkelas : Dialypetales
Ordo : Rutales
Famili : Rutaceae
Genus : Citrus Sumber: (Anonim 2010a)
Spesies : Citrus aurantifolia Swingle (jeruk nipis)
Muhlisah (2008) menyatakan bahwa tanaman jeruk nipis merupakan pohon yang berukuran
kecil, batangnya memiliki duri tajam, dan banyak cabang-cabang kecil. Daunnya berbentuk bulat
telur dan bertekstur agak kaku serta panjang daun sekitar 4-6 cm. Tepi daun agak berlekuk ke atas.
Tangkai daunnya kecil dan sempit. Bunga jeruk nipis berwarna putih dan baunya harum. Buahnya
berbentuk agak bulat dengan ujungnya sedikit menguncup.
Jeruk nipis memiliki karakieristik citarasa yang lembut, berair, dan sangat asam dengan aroma
yang tajam (Feller 1985). Pemanfaatan jeruk nipis cukup luas antara lain sebagai bahan obat
tradisional, untuk perawatan kecantikan, untuk penyedap makanan, dan untuk menambah rasa segar
pada minuman. Aromanya yang tajam dan rasa asamnya menyebabkan jeruk ini menjadi
pertimbangan utama dalam memperbaiki citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing
sekaligus sebagai asidulan alami. Kualitas penyegar ekstrak jeruk nipis dapat menonjol pada sari
buah, teh jeruk, dan ketika dicampur dengan buah-buahan lain. Buah berwarna hijau ketika masih
muda dan berwarna hijau muda atau kekuningan ketika tua. Buah jeruk nipis berbentuk bulat
berdiameter 3-6 cm. Jeruk nipis kini dibudidayakan diseluruh wilayah tropik dan subtropik hangat
(Verheijj dan Coronel 1997). Jeruk nipis dapat berbuah terus-menerus sepanjang tahun dengan
produksi 400 buah setiap pohon (Sarwono 1994).
Hasil analisa komposisi jeruk nipis per 100 g bagian yang dapat dimakan di Thailand yaitu: air
91 g,protein 0.5 g, lemak2.4 g, karbohidrat 5.9 g, serat 0.3 g, vitamin A 17 SI, vitamin C 46 mg,dan
nilai energinya sekitar 150 kJ per 100 g. Buah jeruk nipis dapat menghasilkan ekstrak jeruk nipis
sekitar 41 % dari berat buah (Verheijj dan Coronel 1997). Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100
g berat dapat dimakan dapat dilihat pada Tabel 2.
Jeruk nipis mengandung asam sitrat sebanyak7-7.6%, dammar lemak, mineral, vitamin B1,
minyak atsiri, sitral limonene, fellandren, lemon kamfer, geranil asetat, cadinen, dan linalin asetat,
vitamin C sebanyak 27mg/100 g jeruk, Ca sebanyak 40 mg/100g jeruk, dan P sebanyak 22 mg
(Muhlisah 2008).
Efek farmakologis yang dimiliki oleh jeruk nipis diantaranya adalah anti demam, dapat
menyembuhkan batuk, sakit tenggorokan, flu, mengobati anemia, menyegarkan tubuh, memperlancar

32
pengeluaran air seni, anti-inflamasi, dan anti-bakteri. Tanaman jeruk nipis mengandung limonene,
linalin asetat, geranil asetat, asam sitrat, vitamin C, kalsium, fosfor, vitamin B1, zat besi, fellandren,
dan sitral (Muhlisah 2008). Jeruk (nipis) selain kaya vitamin dan mineral juga mengandung zat
bioflavonoid yang berguna untuk mencegah terjadinya pendarahan pada pembuluh nadi, kemunduran
mental dan fisik, serta mengurangi luka memar (Rukmana 2000)

Tabel 2. Komposisi kimia buah jeruk nipis per 100 g berat dapat dimakan
Komposisi Jeruk Nipis
Kadar air (g) 88.90
Kadar abu (g) 0.40
Kadar protein (g) 0.50
Kadar lemak (g) 0.20
Hidrat arang total (g) 10.00
Serat (g) 0.40
Energi (kkal) 44.00
Kalsium (mg) 18.00
Fosfor (mg) 22.00
Besi (mg) 0.20
Karoten (mg) 0.004
Thiamin (mg) 0.000
Riboflavin (mg) 0.010
Asam askorbat (mg) 19.70

Sumber: Departemen Kesehatan R1 1990 dan Anonim 2009

2.5.6. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia yang termasuk
salah satu jenis temu-temuan dari divisi Spermatophyta, subdivisi Angibrerales, bangsa Zingiberales,
suku Zingiberaceae, marga Curcuma dan jenis Curcuma xanthorriza Roxb. Muhlisah (2008)
menyatakan bahwa temulawak telah lama dikenal sebagai bahan ramuan obat. Aroma dan warna khas
dari temulawak adalah berbau tajam, rasanya pahit, dan daging buahnya berwarna kekuning-kuningan.
Rimpang temulawak telah diketahui mempunyai efek antiinflamasi, antioksidan, antibakteri,
antikolesterol, antikanker, dan antiplatelet agregasi (Septiatin 2008).
Temulawak mengandung minyak atsiri, curcumin, kamfer, glukosida, phellandrene, tomerol,
myrcene, xathorrihizol, isofuranog-germacreene, p-tplyletycarbinol, dan tepung (Muhlisah 2008).
Komponen bioaktif yang terdapat dalam temulawak diantaranya adalah kurkumin,
demethoxycurcumin, dan bisdemetoxy-curcumin. Kurkumin merupakan komponen utama yang
berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan (Kikuzaki 2000). Kurkumin berwarna kuning pada pH
rendah, jingga pada kondisi basa, dan hijau pada pH tinggi. Kurkumin merupakan pewarna alami
yang termasuk dalam kelompok flavonoid. Kurkumin stabil terhadap panas, tetapi sensitif terhadap
cahaya (Wijaya dan Mulyono 2009).

33
2.5.7. Flavor Enhancer

Pszczola (2010) menyatakan zat yang dapat memunculkan citarasa yang baru disebut dengan
taste modulators/flavor enhancer/masking agents/salt replacers/bitterness blocker/sugar
extenders/sweetness enhancers (inhibitors)/umami potentiator. Taste modulator dapat digunakan
dalam proses formulasi suatu produk untuk memberikan keseimbangan citarasa yang sesuai di antara
citarasa yang berbeda. Oleh karena itu, taste modulator memiliki peranan yang sangat penting dalam
proses formulasi produk pangan.
Flavor enhancer tidak hanya memiliki pengaruh terhadap peningkatan citarasa, tetapi juga
memiliki pengaruh negatif terhadap kesehatan. Flavor enhancer biasanya ditambahkan dalam
konsentrasi tertentu sesuai dengan jenis produk pangannya. Citarasa yang kurang sesuai yang
dihasilkan setelah penambahan flavor enhancer biasanya disebabkan oleh adanya suatu penambahan
(misalnya mineral) atau adanya sesuatu yang dihilangkan (misalnya : gula atau garam) dari produk
pangan tersebut.
Mekanisme kerja flavor enhancer/masking agent (umumnya sudah dicampur dengan
modifier,inhibitor, dan enhancer) yaitu dengan menutupi karakteristik flavor yang tidak diinginkan
melalui adanya sensasi lain, berkompetisi dengan reseptor spesifik, atau dengan meningkatkan flavor
yang lain (Gascon 2006).
Seseorang akan merasakan citarasa dari suatu produk ketika makanan ataupun minuman
tersebut berinteraksi dengan reseptor citarasa di dalam mulut. Proses lebih detilnya adalah senyawa
flavordari makanan maupun minuman berikatan dengan reseptor pengecap yang terdapat di dalam
lidah. Reseptor pada lidah selanjutnya akan mengirimkan sinyal kepada bagian otak yang spesifik
menerima rangsangan citarasa untuk diberikan suatu respon (Winarno 2008).
Flavor sangat penting dalam proses formulasi atau pengembangan produk pangan (De Ross
dan Nederland 2006). Hal tersebut dikarenakan flavor dapat mempengaruhi penerimaan konsumen
terhadap produk pangan tersebut. Flavor yang dimaksud di sini adalah aroma dan rasa. Aroma
adalah sensasi yang dihasilkan dari interaksi senyawa kimia volatil dengan reseptor yang ada di dalam
hidung. Rasa adalah sensasi yang dihasilkan dari interaksi senyawa kimia dengan reseptor yang ada
di dalam hidung. Citarasa dapat dirasakan ketika senyawa kimia tersebut larut dalam saliva. Rasa
dapat timbul dari sensasi trigeminal , seperti astrigency dan pungency (Carpenter et al. 2000). Faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kestabilan flavor yaitu keberadaan air, protein, sulfit, sistein,
mikroorganisme, asam, enzim, dan ion logam (Winarno 2002a).
Seseorang yang memformulasi pangan dapat meningkatkan atau menguatkan citarasa dari
produk pangan tersebut dengan cara mengoptimalkan lima rasa dasar yang ada di lidah. Salah satu
citarasa dasar yang dapat dikembangkan adalah rasa umami. Umami dapat dirasakan sebagai rasa
gurih yang ditimbulkan oleh glutamat dan 5’ ribonukleotida (IMP dan GMP). Rasa umami sangat
penting dalam memahami adanya sinergi yang terdapat pada citarasa yang lainnya. Rasa umami dapat
ditingkatkan dengan sinergisitas interaksi antara glutamate bebas, IMP, dan GMP. Rasa umami yang
ditimbulkan dari kombinasi IMP dan GMP menghasilkan sensasi rasa yang jauh lebih besar dari pada
komponen tunggalnya. Keberhasilan dalam proses formulasi minuman tergantung pada kombinasi zat
yang kita tambahkan pada sistem flavor yang ada pada minuman tersebut. Penggunaan flavor alami
dalam proses formulasi dapat memberikan manfaat melalui peningkatan rasa manis, penutupan
citarasa, pengeblokan rasa pahit, bahkan dapat membentuk persepsi pada mouthfeel (Pszczola 2010).
Masking flavor dapat digunakan untuk mengurangi aftertaste dari ekstrak herbal. Bentuk
masking flavor bermacam-macam yaitu: cair, (bubuk) kering, alami, buatan, dan organik. Jumlah

34
masking flavor yang digunakan dalam pangan yaitu antara 0.05-0.25%. Nukleotida hasil ekstrak
khamir (misalnya : IMP dan GMP) dapat berfungsi menutupi citarasa yang tidak diinginkan.
Sweetness enhancer dapat membantu mengurangi rasa pahit dan juga memblok rasa asam
sehingga dapat memunculkan persepsi manis. Ekstrak khamir bernukleotida tinggi dengan komposisi
sampai dengan 20 % 5’GMP + 5’IMP dapat digunakan untuk meningkatkan penerimaan citarasa suatu
produk pangan. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi yang sangat baik dengan komponen
citarasa yang lainnya pada sistem pangan (mouthfeel, creaminess, freshness, dan mengurangi
aftertaste pahit). Ekstrak khamir tersebut pada asalnya memiliki sedikit rasa gurih, namun secara
alami nukleotida hampir tidak memiliki rasa. Meskipun bahan tersebut digunakan dengan dosis yang
rendah, namun dapat meningkatkan rasa gurih ketika ditambahkan dalam pangan (Noordam dan
Meijer 2006).
Upaya peningkatan penerimaan citarasa muniman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan
dengan menggunakan flavor enhancer A dengan konsentrasi X-Y % atau P/P flavor enhancer dengan
konsentrasi A-B %. Penggunaan P/P flavor enhancer dengan konsentrasi A-B % pada minuman
diharapkan menimbulkan efek sinergi sebagaimana pencampuran P:P MSG dan IMP dapat
menimbulkan efek sinergi (Marcus 2006).
Bahan tambahan pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa menurut Peraturan
Menteri Kesehatan R.I No.722/Menkes/Per/IX/88 didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang
dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap mempunyai
beberapa fungsi dalam bahan pangan sehingga dapat memperbaiki, membuat lebih bernilai atau
diterima, dan lebih menarik di antaranya dengan menutupi after taste dan membentu aroma baru.
Sifat utama pada penyedap adalah memberi ciri khusus suatu pangan seperti flavor jeruk manis, jeruk
nipis, lemon, dan sebagainya (Cahyadi 2006).
Bentuk produk-produk 5'-ribonukleotida, disodium Inosine-5'-monophosphate (IMP),
disodium-5'-guanosine monophosphate (GMP), dan campuran (I + G) adalah kristal putih atau bubuk
kristal. Produk-produk tersebut larut dalam air dan dalam alkohol tetapi tidak larut dalam eter.
Produk-produk tersebut dibuat dari proses fermentasi gula diikuti dengan proses pemurnian. Produk-
produk tersebut memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam meningkatkan cita rasa. Penggunaan
produk 5'-ribonukleotida dalam pangan telah disetujui oleh FDA (Anonim 2010c).
Guanosin monofosfat (GMP) adalah sebuah nukleotida yang ditemukan pada RNA. Senyawa
tersebut adalah ester dari asam fosfat dengan guanosin nukleosida. GMP terdiri atas gugus fosfat,
gula pentosa ribosa, dan basa nukleotida guanin. Guanosin monofosfat dihasilkan dari ikan kering
atau ganggang laut kering. Guanosin monofosfat dalam bentuk garamnya, seperti dinatrium guanilat
(E627), dipotassium guanilat (E628) dan kalsium guanilat (E629), adalah bahan tambahan pangan
yang digunakan sebagai penguat rasa untuk memberikan rasa umami. Senyawa ini sering digunakan
bersamaan dengan dinatrium inosinat agar lebih bersinergi. Kombinasi keduanya dikenal sebagai
dinatrium 5'-ribonukleotida. Dinatrium guanilat digunakan pada mi instan, keripik kentang (snack),
sayuran kaleng, daging curing, dan sup (Anonim 2010d). Spesifikasi flavor enhancer GMP dan IMP
dapat dilihat pada Tabel 3.
Dinatrium inosinat (E631 [1]) dengan rumus kimia C10H11N2Na2O8P, adalah garam dinatrium
asam inosinat. Senyawa ini adalah bahan tambahan pangan pemberi rasa umami yang digunakan pada
mi instan, keripik kentang, dan berbagai makanan ringan lainnya. Senyawa ini terdapat pada babi dan
ikan. Senyawa ini sering ditambahkan pada pangan bersama dengan dinatrium guanilat dan
kombinasinya dikenal sebagai dinatrium 5'-ribonukleotida (Anonim 2010e). Pengaruh penggunaan
guanosin 5 ‘-disodium fosfat, inosin 5 ‘-disodium fosfat, dan sodium 5 ‘-ribonukleotida terhadap

35
kesehatan tidak diketahui, namun tidak boleh digunakan pada pangan bayi, anak-anak, dan penderita
encok (Cahyadi 2006).

Tabel 3. Spesifikasi Flavor Enhancer GMP dan IMP (Anonim 2010c)


Disodium Inosine-5’-monophosphate (IMP) Disodium Guanosine-5’-monophosphate (GMP)

CAS No.:4691-65-0 (anhydrous) CAS No.:85-32-5 (anhydrous)


Formula : C10H11O8N4PNa2.7.5H2O Formula : C10H12O8N5PNa2.7H2O
Berat molekul : 527.25 Berat molekul : 533.26
Properti IMP GMP
Penampakan bubuk kristal putih
Kadar logam 97.0 %-102.0 % 97.0 %-102.0 %
Kehilangan saat pengeringan max. 28.5 % max. 25.0 %
Logam berat max. 10 ppm max. 10 ppm
Kandungan arsen max. 1 ppm max. 1 ppm
pH 7.0-8.5 7.0-8.5
Properti Flavor enhancer (P:P)
Penampakan bubuk kristal putih
Kadar logam 97.0 %-102.0 %
Kehilangan saat pengeringan max. 25.0 %
Logam berat max. 10 ppm
Kandungan arsen max. 1 ppm
pH 7.0-8.5
Proporsi campuran P-P %
Aplikasi food additive, flavor enhancer

2.5.8. Pemanis

Pembuatan minuman fungsional berbasis kumis kucing yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan tiga jenis pemanis, yaitu: gula, sukralosa, dan kombinasi sukralosa, aspartam, &
siklamat. Penggunaan pemanis yang dikombinasikan bertujuan untuk meningkatkan keamanan,
kualitas, dan kestabilan rasa produk pangan (Wijaya dan Mulyono 2010). Penggunaan gula pada
minuman ini diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak menderita diabetes, sedangkan penggunaan
pemanis pada minuman diperuntukkan bagi penderita diabetes.

36
Gula digunakan sebagai sumber energi oleh sel-sel tubuh dan otak, sehingga sel-sel tubuh
dapat mempertahankan kelangsungan metabolisme. Gula yang dikonsumsi lebih mudah dicerna dan
ditransportasikan ke dalam darah. Hormon insulin diperlukan agar gula dari darah dapat
ditransportasikan ke dalam sel tubuh dan otak, sehingga kadar gula darah menjadi turun. Penderita
diabetes mengalami gangguan produksi hormon insulin, sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa di
dalam pembuluh darah (hiperglikemia).
Organisasi Pangan Masyarakat Jerman menyarankan kebutuhan kalori bagi wanita dewasa per
hari sekitar 2000 kalori, laki-laki dewasa 2400 kalori, dan untuk gula tidak lebih dari 10 persennya,
yang berarti sekitar 200-240 kalori (± 2.5 sendok makan). Para pakar ilmu pangan menyarankan agar
penggunaan gula per hari tidak dalam batas maksimum. Hal tersebut dikarenakan dalam berbagai
bahan pangan lainnya yang dikonsumsi telah mengandung sejumlah gula (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007).
Bahan makanan yang mengandung gula jika terlalu banyak dikonsumsi dapat menimbulkan
dampak-dampak yang merugikan, antara lain: karies gigi, gangguan pada pencernaan (usus),
kelebihan berat badan, terasa sakit pada persendian, darah tinggi, dan penyakit jantung. Gula
mengandung kalori yang cukup tinggi akan tetapi nilai gizinya sangat sedikit sehingga terjadi
ketidakseimbangan energi jika kita mengonsumsi melebihi dari jumlah yang dibutuhkan. Gula yang
dikonsumsi berlebihan jika terjadi terus-menerus akan diubah menjadi lemak di dalam tubuh, yang
dapat mengakibatkan kegemukan. Efek samping dari hal tersebut adalah adanya gangguan pada
sirkulasi lemak, sirkulasi darah, penyakit gula (diabetes), dan nyeri pada persendian.
Pemanis buatan rendah kalori atau bahkan nonkalori sekaligus nonkariogenik dapat digunakan
sebagai pengganti gula, sehingga dapat menghindari dampak-dampak negatif yang telah disebutkan.
Pemanis digunakan agar penderita diabetes mellitus masih dapat mengonsumsi produk pangan yang
manis tanpa menimbulkan masalah (Wijaya dan Mulyono 2010). Kroger et al. (2006) menyatakan
bahwa penggunaan pemanis buatan dapat menekan biaya produksi.
Pemanis merupakan senyawa kimia yang sering ditambahkan dan digunakan untuk keperluan
produk olahan pangan, industri, minuman dan makanan kesehatan. Pemanis menurut Peraturan
Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 235 termasuk ke dalam bahan tambahan pangan, selain zat
seperti antioksidan, pemutih, pewarna, pengawet, dll. Pemanis berfungsi meningkatkan citarasa dan
aroma, memperbaiki sifat-sifat fisik, sebagai pengawet, memperbaiki sifat-sifat kimia sekaligus
merupakan sumber kalori bagi tubuh.
Pemanis buatan adalah pemanis yang dihasilkan melalui reaksi-reaksi kimia organik
dilaboratorium atau dalam skala industri (dibuat secara sintetis), dan tidak menghasilkan kalori.
WHO telah menetapkan ADI (Acceptable Daily Intake), yaitu sejumlah bahan tertentu yang dapat
dikonsumsi tanpa menimbulkan risiko. Nilai ADI untuk orang dewasa tidak terlalu berarti, tetapi bagi
anak-anak relatif menimbulkan kepekaan yang besar. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemanis
buatan tidak diizinkan penggunaannnya pada produk pangan untuk kelompok tertentu, seperti: bayi,
balita, ibu hamil dan menyusui dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatannya
(BPOM 2004).
Pemanis buatan adalah bahan tambahan pangan (BTP) yang dapat menyebabkan rasa manis
pada produk pangan, tidak atau sedikit mempunyai nilai gizi atau kalori, hanya boleh ditambahkan ke
dalam produk pangan dalam jumlah tertentu (Depkes 1999; SNI 2004; BPOM 2004). BTP harus
digunakan dengan tepat dan benar sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik penggunaanya dosis
penggunaannya sehingga dapat memberikan manfaat positif bagi pengadaan produk pangan. BTP
yang digunakan dengan cara yang kurang tepat dapat memicu kecurangan bahkan membahayakan

37
kesehatan manusia. Selain itu juga, penggunaan BTP pada produk pangan harus dicantumkan pada
label sebagai informasi bagi konsumen.
Sepuluh persyaratan ideal BTP pemanis yang digunakan sebagai pemanis pengganti gula
(sukrosa) menurut Wijaya dan Mulyono (2010) antara lain:
1. pemanis tersebut mempunyai rasa dan sifat atau karakteristik fungsional seperti sukrosa;
2. nilai kalorinya kurang dari sukrosa pada tingkat kemanisan yang sama;
3. pemanis tersebut tidak berwarna;
4. pemanis tersebut tidak berbau;
5. pemanis tersebut tidak beracun;
6. pemanis tersebut dapat dimetabolisme secara normal atau dikeluarkan dari dalam tubuh;
7. pemanis tersebut tidak menyebabkan alergi;
8. pemanis tersebut stabil terhadap perubahan kimia dan panas;
9. pemanis tersebut dapat dikombinasikan dengan bahan pangan lainnya;
10. pemanis tersebut bersifat ekonomis.
Sukralosa (C12H19C13O8) dengan struktur kimia 4, 1’6’-triklorogalaktosukrosa pada kondisi
sangat asam dan suhu tinggi akan terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Sukralosa merupakan
pemanis nonkalori yang tidak memberikan after taste. Sukralosa tidak dapat dicerna oleh tubuh dan
termasuk dalam golongan GRAS. Nilai ADInya sebesar 0-15 mg/kg bobot badan (JECFA 2005a).
Sukralosa memiliki tingkat kemanisan 600 kali dinbandingkan sukrosa. Sukralosa memiliki
beberapa kelebihan antara lain: tahan panas sehingga tingkat kemanisan yang diperoleh tidak
menurun, jumlah yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan sangat sedikit,
memiliki stabilitas yang bagus, baik dalam bentuk kering maupun cair. Penggunaan sukralosa
disetujui oleh FDA sejak April 1988. Sukralosa dapat dikeluarkan melalui urin hampir tanpa adanya
perubahan. FDA menyimpulkan bahwa sukralosa tidak bersifat karsinogenik, tidak mengganggu
reproduksi (kesuburan) ataupun risiko neurologik (saraf) setelah dilakukan lebih dari 100 penelitian
pada hewan dan manusia (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).
Aspartam (C14H18N2O5) dengan struktur kimia 3-amino-N (α-carbomethoxy-phenetyl)
succinamic acid, N-L-α-aspartyl-L-phenilalanine-1-methyl ester memiliki nama dagang Equal,
Nutrasweet, dan Canderel. Pemanis ini bersifat slower onset, namun kemanisannya tahan lama.
Kestabilan aspartam dapat ditingkatkan dengan enkapsulasi. Aspartam berada dalam bentuk
terdisosiasi sehingga rasanya kurang manis pada pH 3.1 dan 7.9 (SNI 2004). Penambahan hidrolisat
pati terhidrogenasi disarankan pada produk pangan berkadar air tinggi untuk meningkatkan kestabilan
aspartam (Carrol dan Kehoe 1988). Minuman berkarbonasi rasa jeruk yang disimpan selama enam
bulan akan berkurang kadar aspartamnya hingga 52-56% (de Cock dan Bechert 2002). Aspartam
memiliki waktu paruh paling lama selama 300 hari pada pH 4.3, namun waktu paruhnya hanya
beberapa hari pada pH 7.
Produk yang menggunakan aspartam harus mencantumkan peringatan khusus bagi penderita
fenilketonuria. JECFA menetapkan nilai ADI sebesar 40 mg/kg bobot badan (JECFA 2000). FDA
menyetujui penggunaan aspartam pada semua makanan dan minuman. Aspartam disetujui
penggunaannya oleh lebih 100 negara termasuk Indonesia. Aspartam terdapat dalam berbagai bentuk
seperti cair, enkapsulasi (bersifat tahan panas), dan bubuk. Aspartam memiliki tingkat kemanisan
160-220 kali dibandingkan sukrosa dan relatif tidak mengandung kalori. Meskipun aspartam
memberikan kalori sebesar 4 kalori/g, namun karena pemakaiannnya dalam jumlah yang sangat kecil
sehingga kalori yang diberikan boleh dianggap tidak ada (Winarno dan Kartawidjajaputra 2007).
Aspartam dibentuk dari penggabungan asam aspartat dan fenilalanin. Semua pemanis
nonkalori tidak mengalami proses metabolisme, kecuali aspartam. Proses pencernaannya

38
sebagaimana proses pencernaan protein sehingga tidak akan terakumulasi dalam tubuh. Aspartam
telah dinyatakan aman untuk digunakan bagi penderita kencing manis, wanita hamil, wanita
menyusui, bahkan anak-anak. Aspartam tidak terbukti sebagai penyebab sakit kepala, gangguan
penglihatan, meningkatkan berat badan, kejang alzhemier, gangguan janin, lupus, sklerosis multiple
maupun kanker otak (Cahyadi 2006).
Siklamat tersedia dalam bentuk asam siklamat (asam siklohesilsulfamat, C6H13NO3S), garam
natrium atau kalsiumnya. Nama dagang dari natrium siklamat adalah “sodium” atau “biang gula”.
Pemanis ini sangat larut dalam air, stabil terhadap suhu tinggi, nonkalori, dan tidak memberika after
taste, namun jika terurai akan menghasilkan siklohesilamina dengan rasa pahit (Nelson 2000). Kadar
maksimum asam siklamat yang diperbolehkan pada pangan dan minuman berkalori rendah serta untuk
penderita diabetes mellitus menurut peraturan Menteri Kesehatan RI No.722/Menkes/Per/IX/88
adalah 3 g/kg bahan pangan dan minuman.
FDA mengeluarkan siklamat dari daftar GRAS, karena menyebabkan tumor kandung kemih
pada tikus, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa siklamat tidak bersifat karsinogen
(Weihrauch Diehl 2004). Siklamat dapat menurunkan kandungan vitamin B1, vitamin C, dan asam
amino esensial. Nilai ADI siklamat 0-11 mg/kg bobot badan (JECFA 2005b).
Siklamat dalam penggunaannya seringkali dikombinasikan dengan pemanis lain. Siklamat
memiliki rasa yang enakdan mampu menutupi rasa pahit yang tidak dikehendaki. Pemanis ini stabil
dalam kisaran temperatur dan pH yang luas. Siklamat memiliki intensitas kemanisan sebesar 30-140
kali sukrosa. Pemanis ini cocok digunakan untuk produk buah-buahan karena selain mampu
mempertajam rasanya, pada konsentrasi rendah ia dapat menutupi rasa getir dari beberapa buah-
buahan (Wijaya dan Mulyono 2010).

2.5.9. Pengawet

Bahan pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat
fermentasi, pengasaman atau penguraian lain pada makanan yang disebabkan oleh pertumbuhan
mikroba (Depkes 1999). Bahan pengawet yang sering digunakan pada bahan makanan diantaranya
adalah asam sorbat dan asam benzoat (Buckle et al. 1987). Efektivitas bahan pengawet ditentukan
oleh beberapa faktor, yaitu: konsentrasi bahan pengawet, jenis mikroorganisme yang akan dihambat,
suhu dan waktu, serta sifat fisik dan kimia dari bahan yang akan diawetkan (Buckle et al. 1987).

2.6. MIXTURE EXPERIMENT (ME)/ MIXTURE DESIGN (MD)

Menurut Rusviani (2007), optimasi pada salah satu atau seluruh aspek produk adalah tujuan
dalam pengembangan produk. Hasil evaluasi sensori seringkali digunakan untuk menentukan apakah
produk yang optimum telah dikembangkan dengan benar. Metode mixture experiment (ME)
seringkali diterapkan dalam mengoptimasi formula suatu produk. ME merupakan kumpulan dari
teknik matematika dan statistika yang berguna untuk permodelan dan analisa masalah sebuah respon
yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan tujuannya adalah mengoptimalkan respon tersebut
(Montgomery 2002).
Respon yang digunakan dalam ME adalah fungsi dari proporsi perbedaan komponen atau
bahan dalam suatu formula. Penggabungan beberapa ingridien atau bahan baku dilakukan untuk
menghasilkan suatu produk pangan yang dapat dinikmati. Hasil akhir produk tersebut tentunya
dipengaruhi oleh persentase atau proporsi relatif masing-masing ingridien yang ada dalam formulasi.
Penggabungan beberapa ingridien dalam mixture experiment dapat digunakan untuk melihat pengaruh

39
pencampuran dua komponen atau lebih tersebut mampu menghasilkan produk akhir dengan sifat yang
lebih diinginkan, dibandingkan dengan penggunaan ingridien tunggalnya dalam menghasilkan produk
yang sama. Penggunaan Mixture Experiment dalam merancang suatu percobaan untuk mendapatkan
kombinasi yang optimal dirasakan mampu menjawab permasalahan dilihat dari segi waktu
(mengurangi jumlah trial and error rancangan) dan biaya (Cornell 1990).
Rancangan percobaan kombinasi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang
ditambahkan ke dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing dilakukan dengan menggunakan
Mixture Experiment. Pengolahan data ME menggunakan program Design Expert (DX) 7.0. Data
yang diperlukan dalam pengolahan dengan DX 7.0 adalah variabel uji yang digunakan beserta kisaran
taraf masing-masing variabel. Design Expert akan menghasilkan suatu desain percobaan yang
nantinya dilakukan untuk mendapatkan respon. Respon yang digunakan dalam penentuan kombinasi
ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang ditambahkan ke dalam minuman fungsional
berbasis kumis kucing adalah respon uji hedonik.

40
III. METODE PENELITIAN

3.1. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku utama, bahan
penunjang, dan bahan-bahan untuk analisis. Bahan baku utama terdiri atas rimpang jahe, temulawak,
kayu secang, daun kumis kucing, flavor enhancer (GMP dan IMP), jeruk x, dan jeruk y. Rimpang
jahe (Zingiber officinale Roscoe.), temulawak (Curcuma xantorrhiza), kayu secang (Caesalpinia
sappan Linn.), daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus BI. Miq), diperoleh dari Balai Penelitian
Tanaman Rempah dan Obat-obatan (BALITTRO), Cimanggu Bogor. Bitter blocker (Frutarom (musk
ketone), flavor enhancer (P:P), flavor enhancer, dan Lavarian (musk base)) diperoleh dari PT Sensient
Technologies Indonesia. Jeruk nipis dan jeruk purut dibeli dari Giant hypermarket yang ada di Bogor.
Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis terdiri atas radikal bebas DPPH (1-1--diphenyl-2-
picry1hydrazyl)), enzim α-amilase, NaH2PO4, NaCl, CaCl2 , bovine serum albumin, air suling, Na-K-
tartarat, NaOH 1 M, NaOH 2 M metanol, asam 3.5- dinitrosalisilat, larutan penyangga asam asetat,
akuades, asam askorbat, serta bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk uji organoleptik . Bahan
yang ditambahkan untuk membuat minuman yaitu gula pasir, hidrokoloid Carboxyl Methyl Cellulose
(CMC), natrium benzoat, kalium sorbat dan air minum diperoleh dari mini market alfa mart, toko
bahan kimia setya guna, dan penjual AQUA® galon yang ada di Bogor.
Alat-alat yang digunakan untuk mendapatkan ekstrak jahe, temulawak, dan jeruk adalah juice
extractor atau parutan kelapa. Saringan vakum dan rotary evaporator diperlukan untuk pemekatan
ekstrak secang dan kumis kucing. Bahan baku dipersiapkan dengan menggunakan baskom, pisau,
talenan, dan panci. Pipet tetes dan neraca analitik (KERN ABJ 220-4M, max= 220 g, min= 10 mg, e=
1 mg, d= 0.1mg) diperlukan dalam pembuatan formulasi minuman adapun botol kaca gelap digunakan
sebagai wadah minuman. Autoclave dan water bath digunakan untuk sterilisasi botol dan pasteurisasi
produk minuman akhir. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah pH meter (eutech pH meter
seri 510, rentang pH 0.00-14.00), mikropipet, spektrofotometry, hot plate, alat-alat uji organoleptik,
dan alat-alat gelas lainnya.

3.2. METODE PENELITIAN

Metode penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama adalah penelitian pendahuluan
yang bertujuan untuk menentukan jenis perlakuan (kombinasi varietas jeruk dan bitter blocker/flavor
enhancer yang ditambahkan ke dalam minuman) untuk menghasilkan citarasa terpilih. Pembuatan
ekstrak komponen minuman dan pengukuran aktivitas antioksidan minuman formula standar
pembanding (Kordial 2009) dilakukan untuk menghindari bias yang diakibatkan ingridien penyusun
minuman. Tahap kedua adalah penelitian lanjutan yang bertujuan untuk menentukan perlakuan
dengan citarasa terpilih berdasarkan variasi komposisi ekstrak jeruk yang berbeda & flavor enhancer,
penggunaan gula atau pemanis, dan pengawet atau perlakuan non pengawet yang ditambahkan ke
dalam minuman. Pembuatan model minuman sesuai rancangan percobaan hasil keluaran Design
Expert 7.0 ® dengan variasi komposisi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer diujikan
secara organoleptik dengan metode hedonik kepada 50 orang panelis tidak terlatih (usia antara 20-55
tahun, 34 orang laki-laki dan 16 orang perempuan). Tiga formula terpilih berdasarkan perlakuan
ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer selanjutnya dipilih untuk diberikan perlakuan
berikutnya. Perlakuan yang diberikan pada minuman dikelompokkan menjadi dua, yaitu: minuman

41
yang menggunakan kombinasi gula, pengawet (natrium benzoat atau kalium sorbat) atau non-
pengawet dan minuman yang menggunakan kombinasi pemanis (pemanis 1 atau pemanis 2),
pengawet (natrium benzoat) atau non-pengawet. Perlakuan-perlakuan tersebut selanjutnya diujikan
secara organoleptik dengan metode hedonik. Perlakuan-perlakuan yang diberikan tersebut dilakukan
karena diketahui dapat mempengaruhi tingkat penerimaan citarasa minuman (Kordial 2009).
Pemilihan formula terpilih dari masing-masing perlakuan dilakukan dengan menggunakan syarat
memiliki skala hedonik ≥ 6.6 dari skala 9.0. Penyeleksian tersebut menghasilkan 6 formula minuman
yang kemudian dilakukan pengukuran terhadap aktivitas antioksidan (metode DPPH), aktivitas
antidiabetes (metode inhibisi α-amilase), dan nilai pH. Penentuan perlakuan terbaik dari 6 formula
minuman tersebut dilakukan dengan metode perbandngan eksponensial (MPE).

3.2.1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk menentukan jenis perlakuan yang akan diberikan ke
dalam minuman. Pembuatan ekstrak komponen minuman dan pengukuran aktivitas antioksidan
minuman formula standar pembanding (Kordial 2009) dilakukan untuk menghindari bias yang
diakibatkan ingridien penyusun minuman. Minuman formula standar yang dibuat dengan
menggunakan ekstrak kumis kucing berbunga putih dan berbunga ungu dari Pusat Studi Biofarmaka
(PSB) IPB diukur aktivitas antioksidannya untuk dibandingkan dengan aktivitas antioksidan minuman
formula standar pembanding (Kordial 2009). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas
antioksidan minuman formula standar yang dibuat dengan menggunakan ekstrak kumis kucing
berbunga putih memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan minuman formula standar yang
dibuat dengan menggunakan ekstrak kumis kucing berbunga ungu. Oleh karena itu, pengukuran
aktivitas antioksidan minuman komponen tunggal kumis kucing berbunga putih dan berbunga ungu
yang berasal dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) Sukabumi dan PSB IPB
dilakukan untuk mengetahui ekstrak kumis kucing yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Perlakuan yang diberikan untuk menentukan jenis perlakuan yang akan digunakan di
antaranya dengan menambah konsentrasi ekstrak jeruk y menjadi A g, B g, C g dalam 100 ml
minuman, menambahkan ekstrak jeruk x sejumlah C g dalam 100 ml minuman, menambahkan ekstrak
jahe menjadi P g, Q g, R g dalam 100 ml minuman, kombinasi penambahan ekstrak jeruk x dan
ekstrak jeruk y (I g : J g; K g : L g; M g : N g) dalam 100 ml minuman, kombinasi ekstrak jeruk y dan
bitter blocker I-IV (D g dan E g : F g) dalam 100 ml minuman, kombinasi ekstrak jeruk x dan bitter
blocker I-IV (C g : J g) dalam 100 ml minuman, kombinasi ekstrak jahe merah dan ekstrak jeruk y (L
g : M g) dalam 100 ml minuman, penambahan ekstrak kayu manis D g dalam 100 ml minuman,
penambahan ekstrak jahe merah A g dalam 100 ml minuman. Perlakuan yang dipilih adalah
perlakuan yang menghasilkan citarasa yang relatif lebih baik daripada formula minuman sebelumnya,
melalui penilaian sensori secara individu.

3.2.2. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan dilakukan untuk menentukan perlakuan dengan citarasa terpilih dari variasi
komposisi ekstrak jeruk yang berbeda & flavor enhancer, penggunaan gula atau pemanis, dan
pengawet atau non pengawet yang ditambahkan ke dalam minuman. Pembuatan model minuman
sesuai rancangan percobaan hasil keluaran Design Expert 7.0 ® dengan variasi komposisi ekstrak
jeruk yang berbeda & flavor enhancer diujikan secara organoleptik dengan metode hedonik.
Rancangan percobaan yang dihasilkan diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu jumlah minimum
dan maksimum dari ekstrak jeruk x, ekstrak jeruk y, dan flavor enhancer yang akan digunakan

42
sebagai data masukan berdasarkan trial and error pada penelitian pendahuluan. Penelitian ini
menggunakan pemanis berupa gula pasir, pemanis 1, dan pemanis 2 sebagai data perbandingan untuk
aktivitas antidiabetes.

Pembuatan minuman formula standar, minuman komponen tunggal


(ekstrak kumis kucing), dan mengukur aktivitas antioksidannya

penentuan jenis perlakuan Trial and error

Kombinasi ekstrak jeruk x, ekstrak jeruk y,


Penelitian
dan flavor enhancer dengan jumlah total A
pendahuluan
g/100 ml minuman

Pembuatan model minuman sesuai rancangan


percobaan hasil keluaran Design Expert 7.0 ® Uji hedonik, parameter
Penelitian dengan variasi komposisi ekstrak jeruk yang citarasa
lanjutan berbeda & flavor enhancer

Tiga formula terpilih berdasarkan perlakuan


ekstrak jeruk yang berbeda & flavor enhancer
dipilih untuk diberikan perlakuan berikutnya

 Perlakuan menggunakan kombinasi gula, pengawet (natrium


benzoat atau kalium sorbat) atau non-pengawet Uji hedonik, parameter
 Perlakuan menggunakan kombinasi pemanis (pemanis 1 atau citarasa
pemanis 2), pengawet (natrium benzoat) atau non-pengawet 1)

Pemilihan formula terpilih dari masing-masing perlakuan dilakukan dengan


menggunakan syarat memiliki skala hedonik ≥ 6.60 dari skala 9.00

Pengukuran:
Enam formula terpilih dari masing-  aktivitas antioksidan
masing perlakuan (metode DPPH)
 aktivitas antidiabetes
(metode inhibisi
Penentuan perlakuan terbaik dengan α-amilase)
metode perbandingan eksponensial  nilai pH minuman

1) Pembuatan model minuman sesuai rancangan percobaan dengan kombinasi beberapa perlakuan dapat
dilihat pada Lampiran 20.
Gambar 1. Diagram alir metodologi penelitian

Rancangan percobaan variasi komposisi yang dihasilkan adalah sebanyak 14 formula yang
merupakan kombinasi dari ekstrak jeruk x, ekstrak jeruk y, dan flavor enhancer. Flavor enhancer

43
yang digunakan pada penilitian ini ada dua jenis sehingga formula yang harus diujikan secara hedonik
menjadi 28 formula. Dua puluh delapan formula tersebut kemudian diujikan secara organoleptik
dengan metode hedonik.
Tiga formula terpilih berdasarkan perlakuan ekstrak jeruk yang berbeda & flavor enhancer
selanjutnya dipilih untuk diberikan perlakuan berikutnya. Perlakuan yang diberikan pada minuman
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: minuman yang menggunakan kombinasi gula, pengawet (natrium
benzoat atau kalium sorbat) atau non-pengawet dan minuman yang menggunakan kombinasi pemanis
(pemanis 1 atau pemanis 2), pengawet (natrium benzoat) atau non-pengawet. Pemilihan formula
terpilih dari masing-masing perlakuan dilakukan dengan menggunakan syarat memiliki skala hedonik
≥ 6.60 dari skala 9.00. Penyeleksian tersebut menghasilkan 6 formula minuman yang kemudian
dilakukan pengukuran terhadap aktivitas antioksidan (metode DPPH), aktivitas antidiabetes (metode
inhibisi α-amilase), dan nilai pH. Penentuan perlakuan terbaik dari 6 formula minuman tersebut
dilakukan dengan metode perbandngan eksponensial (MPE).

3.2.3. Analisis
3.2.3.1. Nilai pH (AOAC 1995)

pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu dengan larutan buffer pH 4.0 dan pH 7.0 sebelum
digunakan. Sampel sebanyak 30-50 ml diukur nilai pH-nya dengan menggunakan pH meter.

3.2.3.2. Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Kubo et al. 2002 dan Molyneaux
2003)

Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan metode radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl-
2-picryl-hydrazil radical-scavenging). Ekstrak kumis kucing dan 6 formula minuman terpilih dari
masing-masing perlakuan digunakan sebagai sampel pengujian aktivitas antioksidan. Asam askorbat
digunakan sebagai standar pembanding terhadap aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh formula
minuman. Oleh karena itu, aktivitas antioksidan minuman akan dihitung berdasarkan kesetaraannya
dengan aktivitas antioksidan dalam ppm AEAC (Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity).
Metode pengukuran aktivitas antioksidan secara spesifik dapat dilihat pada Gambar 2.

Pencampuran 2 ml larutan buffer asetat (pH 5.5),


3.75 ml metanol, dan 200 µl larutan DPPH 3 mM dalam metanol

Pemvorteksan larutan campuran

Penambahan 50 µl larutan sampel atau larutan standar antioksidan

Pengiinkubasian pada suhu 37°C selama 30 menit

Pembacaan absorbansi sampel dengan spektrofotometer pada λ = 517 nm

Gambar 2. Pengukuran aktivitas antioksidan metode DPPH (Kubo et al. 2002; Molyneaux 2004)

44
3.2.3.3. Aktivitas Antidiabetes Metode inhibisi α-amilase (Thalapaneni et al.
2008)

Larutan enzim α-amilase dibuat dengan melarutkan 50 mg enzim α-amilase 54 IU/mg dari
Bacillus subtilis dalam 50 ml buffer fosfat A. Buffer fosfat A diperoleh dengan melarutkan 600 mg
NaH2PO4, 292.5 mg NaCl, 4.7 mg CaCl2 dan 100 mg bovine serum albumin dalam 100 ml air suling
dan ditambahkan NaOH 1 M hingga pH mencapai 6.9. Larutan substrat diperoleh dengan melarutkan
1 g pati dalam 100 ml buffer fosfat B pada suhu dibawah 900C selama 15 menit. Buffer fosfat B
dibuat dengan melarutkan 240 mg NaH2PO4 dan 39.2 mg NaCl dalam 100 ml air suling dan NaOH 1
M ditambahkan sedikit demi sedikit hingga pH 6.9. Reagen warna dibuat dengan mecampurkan 20
ml larutan Na-K-tartarat, 50 ml larutan DNS, dan air suling hingga diperoleh volume akhir 100 ml.
Larutan Na-K-tartarat dibuat dengan melarutkan 30 g Na-K-tartarat dalam 20 ml NaOH 2 M di atas
hot plate (tidak sampai mendidih). Larutan DNS diperoleh dengan melarutkan 1094.88 mg asam 3.5-
dinitrosalisilat dalam 50 ml air suling pada suhu 45-500C. Sampel pada analisis ini berupa : (1)
minuman formula sebelumnya (Kordial 2009), (2) enam formula minuman terpilih dari masing-
masing perlakuan. Kedua sampel dianalisis dalam satu perlakuan jumlah sampel yang ditambahkan
yaitu 1 kali jumlah ekstrak dalam 100 ml minuman fungsional berbasis kumis kucing.
Campuran reaksi diperoleh dengan melarutkan 250 µl larutan sampel dan 250 µl larutan enzim.
Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 250C selama 10 menit, setelah itu larutan pati ditambahkan
sebanyak 250 µl dan diinkubasi kembali pada suhu 250C selama 10 menit. Reagen warna selanjutnya
ditambahkan sebanyak 500 µl dan diinkubasi kembali selama 5 menit pada air mendidih. Air suling
sebanyak 5000 µl selanjutnya ditambahkan dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 540
nm.

Tabel 4. Jumlah larutan pada analisis inhibisi α-amilase


Larutan Blanko Kontrol (+) Kontrol (-) Sampel
Sampel - - 250 µl 250 µl
Buffer B 500 µl 250 µl 250 µl -
Enzim - 250 µl - 250 µl
Pati 250 µl 250 µl 250 µl 250 µl
Reagen warna 500 µl 500 µl 500 µl 500 µl
Air suling 5000 µl 5000 µl 5000 µl 5000 µl

Perhitungan persentase inhibisi dapat dihitung dengan persamaan (3.1).


% inhibisi = {(A1-A2) / A1} x 100 % (3.1)
Keterangan: A1 = Absorbansi kontrol (+) – Absorbansi blanko
A2 = Absorbansi sampel – Absorbansi kontrol (-)

3.2.3.4. Uji Hedonik

Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan 50 orang panelis tidak terlatih (mahasiswa Ilmu
dan Teknologi Pangan,dll.). Hal tersebut dikarenakan panelis yang digunakan pada uji konsumen (uji
afeksi) adalah ≥ 50 panelis tidak terlatih dengan memperhatikan beberapa aspek demografi, di
antaranya usia dan jenis kelamin (Carpenter et al. 2000 dan Stone & Sidel 2004). Jumlah panelis awal
yang digunakan dalam penelitian adalah 60 orang, namun panelis yang dapat mengikuti pengujian

45
sampel secara keseluruhan dan tidak memberikan data pencilan berjumlah 50 orang. Data pencilan
tidak dapat dipakai dalam analisis data (Soemartini 2007). Panelis diminta mengungkapkan
tanggapan pribadinya mengenai kesukaan atau ketidaksukaan pada uji ini. Skala hedonik yang
digunakan pada penelitian ini adalah skala 1-9. Skala 1 menyatakan sangat tidak suka sekali, skala 2
menyatakan sangat tidak suka, skala 3 menyatakan tidak suka, skala 4 menyatakan agak tidak suka,
skala 5 menyatakan netral , skala 6 menyatakan agak suka, dan skala 7 menyatakan suka, skala 8
menyatakan sangat suka, skala 9 menyatakan sangat suka sekali.
Parameter yang dinilai pada uji hedonik adalah citarasa dari minuman secara overall. Sampel
minuman fungsional disajikan secara bersamaan di dalam booth tertutup. Air mineral disediakan
untuk menetralkan indera pengecap panelis agar tidak terjadi bias saat penilaian.
Data hasil uji hedonik yang diperoleh diolah secara statistik dengan analisis ragam (Analysis of
Variance/ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95 % (α=0.05). Uji lanjut Duncan dilakukan jika dari
hasil analisis ragam (Analysis of Variance/ANOVA) diperoleh nilai yang menunjukkan adanya
perbedaan yang nyata di antara sampel minuman fungsional yang disajikan. Uji Duncan dilakukan
untuk mengetahui sampel minuman fungsional yang berbeda nyata pada taraf α=0.05.

46
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN


4.1.1. Pembuatan Ekstrak Komponen Minuman dan Pengukuran Aktivitas
Antioksidan Minuman Standar

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan ekstrak penyusun minuman terutama ekstrak
jahe dan temulawak adalah prinsip pembuatan ekstrak penyusun minuman. Pembuatan ekstrak
penyusun minuman berpengaruh terhadap rendemen ekstrak yang dihasilkan. Hal tersebut perlu
dipahami agar dalam pembuatan ekstrak penyusun minuman tidak terpaku dengan cara yang sudah
ada. Pembuatan ekstrak penyusun minuman yang sudah adadimungkinkan menghasilkan rendemen
ekstrak yang sangat kecil, sehingga diperlukan pembuatan dengan cara yang lain yang menghasilkan
rendemen ekstrak yang lebih banyak dan lebih efisien.
Kendala yang ditemukan dalam pembuatan ekstrak jahe dan temulawak pada penelitian ini
adalah rendemen ekstrak yang terlalu kecil jika digunakan alat juice extractor, sehingga dilakukan
pengekstrakan jahe dan temulawak secara manual dengan parutan kelapa. Rendemen ekstrak yang
terlalu kecil mungkin disebabkan pisau parut juice extractor yang sudah tidak terlalu tajam sehingga
efektivitas pengekstrakannya menjadi kecil.
Prinsip pembuatan ekstrak jahe dan temulawak meliputi pembersihan rimpang, pemblansiran,
pengekstrakan, pendekantasian, dan pasteurisasi. Pembersihan rimpang dilakukan dengan cara
mencuci dan menyikatnya. Pemblansiran dilakukan dengan merebus rimpang yang telah dibersihkan
selama tiga menit. Pengekstrakan dilakukan dengan memarut rimpang kemudian diperas tanpa
penambahan air. Pengekstrakan ini menghasilkan ekstrak jahe I dan temulawak I. Ekstrak jahe I dan
temulawak I selanjutnya disaring untuk mendapatkan ekstrak jahe II dan temulawak II. Ekstrak jahe
II dan temulawak II didekantasi dalam lemari pendingin selama 12 jam untuk mengendapkan pati.
Endapan pati selanjutnya dibuang untuk mendapatkan ekstrak jahe III dan temulawak III. Ekstrak
jahe III dan temulawak III dimasukkan ke dalam botol steril dan dipasteurisasi pada suhu 80 oC
selama 30 menit. Ekstrak jahe III dan temulawak III yang telah dipasteurisasi kemudian dishock
cooling untuk menghasilkan larutan stok ekstrak jahe dan temulawak. Larutan stok yang dihasilkan
selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin. Pembuatan ekstrak jahe dan temulawak dapat dilihat
pada Lampiran 4 dan 6.
Pembuatan minuman standar (Lampiran 10) dan pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan
sebelum pembuatan model minuman. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari bias yang
diakibatkan oleh komponen penyusun minuman, sehingga perbedaan yang dihasilkan di antara model
minuman merupakan perbedaan akibat perlakuan pada minuman.
Pembuatan minuman standar dengan menggunakan ekstrak daun kumis kucing berbunga putih
menghasilkan aktivitas antioksidan sebesar 307.59 ppm AEAC. Aktivitas antioksidan tersebut
memiliki nilai yang jauh berbeda dibandingkan dengan minuman standar yang yang dibuat oleh
Kordial (2009). Minuman standar yang dibuat oleh Kordial (2009) memiliki aktivitas antioksidan
sebesar 621.70 ppm AEAC, sehingga dilakukan pembuatan minuman standar kembali dengan
menggunakan ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu. Aktivitas antioksidan yang dihasilkan dari
penggunaan ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu adalah sebesar 509.90 ppm AEAC. Aktivitas
antioksidan tersebut relatif mendekati aktivitas antioksidan minuman standar yang dibuat oleh Kordial
(2009), sehingga penelitian dapat dilanjutkan dengan pembuatan model minuman sesuai perlakuan
yang telah ditentukan. Aktivitas antioksidan minuman standar dapat dilihat pada Gambar 3.

47
Aktivitas antioksidan minuman standar yang diukur pada penelitian pendahuluan menunjukkan
bahwa penggunaan ekstrak kumis kucing yang berbeda varietasnya meskipun berasal dari tempat yang
sama (pusat studi biofarmaka (PSB) IPB) menghasilkan aktivitas antioksidan minuman standar yang
berbeda. Aktivitas antioksidan minuman standar dipengaruhi oleh komponen tunggal penyusun
minuman. Komponen tunggal penyusun minuman yang memiliki pengaruh besar terhadap aktivitas
antioksidan minuman adalah ekstrak kumis kucing, ekstrak jahe, ekstrak lemon, ekstrak secang, dan
ekstrak temulawak. Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan minuman komponen tunggal kumis
kucing memiliki aktivitas antioksidan sebesar 650.11 ppm AEAC, minuman komponen tunggal jahe
memiliki aktivitas antioksidan sebesar 310 ppm AEAC, minuman komponen tunggal lemon memiliki
aktivitas antioksidan sebesar 290 ppm AEAC, minuman komponen tunggal secang memiliki aktivitas
antioksidan sebesar 210 ppm AEAC, dan minuman komponen tunggal temulawak memiliki aktivitas
antioksidan sebesar 150 ppm AEAC. Oleh karena itu, komponen tunggal penyusun minuman standar
yang memiliki aktivitas antioksidan yang relatif rendah akan menghasilkan aktivitas antioksidan
minuman standar yang rendah dan sebaliknya.

800.00

700.00

600.00

500.00
ppm AEAC

622
400.00

300.00 510

200.00
308
100.00

0.00
MSMS
KK KK
putih PSB
putih MSMS
KKKKungu
unguPSB MS Kordial
MS Kordial

Keterangan :
MS KK putih PSB: Minuman formula standar yang dibuat dengan stok larutan ekstrak daun kumis kucing
berbunga putih pusat studi biofarmaka IPB;
MS KK ungu PSB: Minuman formula standar yang dibuat dengan stok larutan ekstrak daun kumis kucing
berbunga ungu pusat studi biofarmaka IPB ;
MS Kordial : Minuman formula standar pembanding (Kordial 2009, dengan ekstrak daun kumis kucing
dari pekarangan sekitar kampus IPB Darmaga).
Gambar 3. Grafik aktivitas antioksidan minuman standar yang dilakukan pada penelitian pendahuluan

Syukur (2008) mengatakan varietas kumis kucing berbunga putih paling produktif dan terbaik
mutunya untuk ekspor di antara 3 varietas kumis kucing (satu varietas berbunga ungu dan dua varietas
berbunga putih). Meskipun demikian, tumbuhan yang hidup pada kondisi yang berbeda memiliki sifat
morfologi dan fisiologi yang berbeda. Oleh karena itu, minuman komponen tunggal ekstrak kumis
kucing yang berbeda varietasnya (berbunga ungu & putih) dan asalnya (PSB & BALITRO) diukur
aktivitas antioksidannya.
Minuman komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu yang berasal dari PSB
(729 ppm AEAC) memiliki nilai aktivitas antioksidan berbeda nyata pada taraf α= 5% dibandingkan
dengan nilai aktivitas antioksidan minuman komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga

48
putih yang berasal dari PSB (570 ppm AEAC). Oleh karena itu, minuman formula standar pada
penelitian pendahuluan yang dibuat dengan stok larutan ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu
PSB memiliki nilai aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan minuman formula
standar pada penelitian pendahuluan yang dibuat dengan stok larutan ekstrak daun kumis kucing
berbunga putih PSB.
Minuman komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu yang berasal dari PSB
memiliki nilai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan minuman komponen
tunggal ekstrak kumis kucing lainnya yaitu sebesar 729 ppm AEAC. Minuman komponen tunggal
ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu PSB (729 ppm AEAC) memiliki nilai aktivitas antioksidan
yang berbeda nyata pada taraf α=5% dibandingkan dengan aktivitas antioksidan minuman komponen
tunggal ekstrak kumis kucing berbunga putih yang berasal dari PSB (570 ppm AEAC). Minuman
komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu yang berasal dari BALITRO Sukabumi
(617 ppm AEAC) memiliki nilai aktivitas antioksidan yang tidak berbeda nyata α= 5 % dibandingkan
dengan aktivitas antioksidan minuman komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga putih
yang berasal dari BALITRO Sukabumi ( 673 ppm AEAC). Meskipun demikian, minuman komponen
tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga putih yang berasal dari BALITRO Sukabumi (673 ppm
AEAC) memiliki aktivitas antioksidan yang tidak berbeda nyata pada taraf α=5 % jika dibandingkan
dengan minuman komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu yang berasal dari
PSB. Oleh karena itu, pembuatan minuman fungsional berbasis kumis kucing dapat menggunakan
ekstrak daun kumis kucing berbunga ungu PSB atau ekstrak daun kumis kucing berbunga putih
BALITRO. Aktivitas antioksidan minuman komponen tunggal ekstrak daun kumis kucing berbunga
putih dan ungu yang masing-masing berasal dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Rempah-rempah) Sukabumi dan PSB (Pusat Studi Biofarmaka) taman kencana Bogor dapat dilihat
pada Gambar 4.

900
800
700
600 729 c
ppm AEAC

673 bc
500 617 ab 570 a
400
300
200
100
0
KKP BAL KKU BAL KKP PSB KKU PSB
Jenis dan Asal Komponen ekstrak Kumis Kucing dalam Minuman

Keterangan : huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf signifikasi 5 %
KKP BAL ( Kumis Kucing Putih BALITRO Sukabumi)
KKU BAL ( Kumis Kucing Ungu BALITRO Sukabumi)
KKP PSB ( Kumis Kucing Putih Pusat Studi Biofarmaka)
KKU PSB ( Kumis Kucing Ungu Pusat Studi Biofarmaka)
Gambar 4. Perbandingan aktivitas antioksidan jenis dan asal komponen tunggal ekstrak kumis
kucing dalam minuman

49
Aktivitas antioksidan ekstrak tanaman kumis kucing dipengaruhi oleh lokasi tempat tanaman
tersebut ditanam. Aktivitas antioksidan tanaman kumis kucing yang berasal dari daerah geografis
yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan pada taraf α(0.05) dan aktivitas antioksidan
ekstrak tanaman kumis kucing tidak semata-mata dipengaruhi oleh kandungan komponen fenol yang
terdapat di dalamnya (Khamsah et al. 2006). Hal tersebut mungkin disebabkan oleh faktor-faktor
lingkungan seperti: kandungan unsur hara tanah, ketinggian tempat, intensitas cahaya, suhu udara,
iklim, dan lain-lain (Syukur 2008). Oleh karena itu, standardisasi ekstrak kumis kucing yang
digunakan sangat diperlukan agar dihasilkan ekstrak kumis kucing yang terstandar.
Standardisasi ekstrak kumis kucing dapat dilakukan melalui penggunaan tanaman kumis
kucing dari lahan yang menghasilkan daun kumis kucing yang memiliki aktivitas antioksidan
minuman komponen tunggal yang tidak jauh berbeda dari aktivitas antioksidan minuman komponen
tunggal yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu sebesar 673 ppm AEAC. Standardisasi ingridien
minuman lainnya juga diperlukan agar menghasilkan minuman fungsional berbasis kumis kucing
yang terstandar.

4.1.2. Penentuan Jenis Perlakuan Berdasarkan Mutu Organoleptik

Minuman fungsional berbasis kumis kucing yang dihasilkan dari formula optimal
(menggunakan jeruk lemon 1.3 g dalam 100 ml minuman) (Wijaya et al. 2007) memiliki skor
kesukaan terhadap citarasa minuman antara netral dan suka (skor hedonik 3.32 dari skala 5.00) dengan
menggunakan 30 orang panelis tidak terlatih. Perbaikan citarasa minuman fungsional berbasis kumis
kucing yang dilakukan Kordial (2009) menunjukkan hasil secara sensori formula minuman yang
ditambahkan ekstrak jeruk y memiliki skor kesukaan (5.57 dari skala 7.00) yang tidak berbeda nyata
pada taraf α=5% dengan skor kesukaan minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk limau (5.57 dari
skala 7.00) dan ekstrak jeruk nipis (5.57 dari skala 7.00), tetapi berbeda nyata pada taraf α=5%
dengan skor kesukaan minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk lemon (4.2 dari skala 7.00). Skor
kesukaan panelis terhadap citarasa minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk y (1.5 g ekstrak dalam
100 ml minuman) adalah antara agak suka dan suka (skala hedonik 5.57 dari skala 7.00). Akan tetapi
penilaian sensori secara individu terhadap minuman tersebut menunjukkan bahwa after taste pahit
pada formula ini masih dapat dirasakan. Oleh karena itu, upaya peningkatan penerimaan citarasa
minuman ini perlu dilakukan dengan cara menekan citarasa yang tidak disukai (jamu, pahit, sepat,
dll.) dan meningkatkan citarasa yang disukai (manis,jeruk,dll.).
Upaya peningkatan penerimaan minuman berbasis kumis kucing pada penelitian pendahuluan
masih menggunakan pendekatan trial and error dengan menambahkan ekstrak kayu manis (karena
dimungkinkan dapat menekan rasa pahit), meningkatkan persentase ekstrak jeruk (jeruk x atau jeruk
y), meningkatkan persentase ekstrak jahe, dan menambahkan bitter blocker/flavor enhancer (A%) ke
dalam minuman. Hasil uji coba ditabulasikan pada Tabel 5.
Bitter blocker/flavor enhancer termasuk bahan tambahan pangan penyedap rasa dan aroma.
Hal tersebut dikarenakan bitter blocker/flavor enhancer dapat membentuk aroma baru atau
menetralisir citarasa yang tidak disukai bila bergabung dengan komponen lain dalam bahan pangan.
Keduanya dapat digunakan dalam formulasi produk pangan/ minuman dengan jumlah P-Q%. Flavor
enhancer IMP dan GMP diperbolehkan penggunaannya dalam pangan dengan batas maksimum
penggunaan secukupnya menurut Peraturan Menteri Kesehatan R.I No.722/Menkes/Per/IX/88. Hal
tersebut dikarenakan nilai ADI dari keduanya tidak ditentukan (Cahyadi 2006; Noordam dan Meijer
2006; Pszczola 2010).

50
Penambahan ekstrak kayu manis dilakukan dengan alasan kayu manis banyak digunakan pada
industri makanan dan minuman sebagai sumber citarasa dan aroma dan sebagai “pewangi” atau
peningkat citarasa, sehingga diharapkan akan diperoleh formulasi minuman yang lebih disukai secara
organoleptik. Selain itu juga, kayu manis dapat berperan sebagai antioksidan karena mengandung
senyawa tannin dan eugenol yang memiliki kapasitas antioksidan yang tinggi terutama senyawa
antioksidan glutation, memiliki aktivitas antimikroba, dan dapat meningkatkan umur simpan produk
pangan (Krishnamoorthy dan Rema 2004). Hasil penilaian sensori secara individu menunjukkan
bahwa penambahan ekstrak kayu manis sebanyak A g dalam 100 ml minuman uji ternyata
memperkuat aroma jamu dan hal ini tidak dikehendaki.

Tabel 5. Perlakuan pada percobaan pendahuluan untuk menentukan perlakuan yang relatif dapat
meningkatkan penerimaan citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing
No. Perlakuan Hasil Penilaian Sensori Secara Individu
1 Formula standar (jeruk y sebanyak A g/100 sedikit rasa jeruk, sedikit after taste jahe,
ml minuman) aroma jahe
2 Ekstrak jeruk y sebanyak B g/100 ml rasa jeruk agak terasa , after taste jahe agak
minuman terasa, aroma jeruk
3 Ekstrak jeruk y sebanyak C g/100 ml rasa jeruk terasa, after taste jahe agak
minuman terasa, aroma jamu
4 Ekstrak jeruk y sebanyak D g/100 ml rasa jeruk lebih terasa,after taste jahe
minuman terasa, aroma jeruk
5 Ekstrak jeruk x sebanyak E g/100 ml rasa asamnya lebih enak dari pada jeruk
minuman purut, namun aroma jeruknya tidak kuat
6 Ekstrak jahe sebanyak F g/100 ml minuman masih ada rasa jamu, ditambahkan jahe
atau tidak, rasanya tidak berbeda nyata
7 Ekstrak jahe sebanyak G g/100 ml minuman masih ada rasa jamu,ditambahkan jahe atau
tidak, rasanya tidak berbeda nyata
8 Ekstrak jahe sebanyak H g/100 ml minuman masih ada rasa jamu,ditambahkan jahe atau
tidak, rasanya tidak berbeda nyata
9 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak I g dan rasa enak lebih disukai, sedikit pahit (+)
ekstrak jeruk y sebanyak J g/100ml minuman
10 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak K g dan agak pahit(++)
ekstrak jeruk y sebanyak L g/100ml minuman
11 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak M g dan agak pahit (+++)
ekstrak jeruk y sebanyak N g/100ml minuman
12 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak Q g dan muncul rasa jamu
bitter blocker I (frutarom) sebanyak Y g/100
ml minuman

51
Tabel 5. Perlakuan pada percobaan pendahuluan untuk menentukan perlakuan yang relatif dapat
meningkatkan penerimaan citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing (lanjutan)
Hasil Penilaian Sensori
No. Perlakuan
Secara Individu
13 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak Q g dan bitter rasa jeruk agak kuat
blocker II (flavor enhancer (P:P)) sebanyak Y g/100 ml
minuman
14 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak Q g dan bitter rasanya manis
blocker III (flavor enhancer) sebanyak Y g/100 ml
minuman
15 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak Q g dan bitter manis dan sedikit rasa jamu
blocker IV (lavarian) Y g/100 ml minuman
16 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak V g dan bitter pahit (+++)
blocker I (frutarom) Y g/100 ml minuman
17 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak V g dan bitter enak, rasa pahit hampir tidak
blocker II (flavor enhancer (P:P)) sebanyak Y g/100 ml ada
minuman
18 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak V g dan bitter pahit hampir tidak ada
blocker III (flavor enhancer) sebanyak Y g/100 ml
minuman
19 Kombinasi ekstrak jeruk y sebanyak V g dan bitter enak, manis
blocker IV (lavarian) sebanyak Y g/100 ml minuman
20 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak V g dan bitter muncul sedikit rasa obat
blocker I (frutarom) sebanyak Y g/100 ml minuman
21 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak V g dan bitter enak (++),rasa liquorize
blocker II sebanyak Y g/100 ml minuman
22 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak V g dan bitter agak pahit (++)
blocker III sebanyak Y g/100 ml minuman
23 Kombinasi ekstrak jeruk x sebanyak V g dan bitter sedikit pahit ada rasa
blocker IV (lavarian) sebanyak Y g/100 ml minuman semriwing
24 Ekstrak jahe merah sebanyak A g dan ekstrak jeruk y rasa jeruk, rasa jahe (pedas)
sebanyak B g/100 ml minuman
25 Ekstrak kayu manis sebanyak C g /100 ml minuman menonjolkan aroma jamu
26 Ekstrak jahe merah sebanyak D g /100 ml minuman sepat dan pahit

Upaya peningkatan penerimaan citarasa minuman selanjutnya adalah dengan menggunakan


ekstrak jahe merah. Jahe merah selain memiliki aroma yang kuat juga dilaporkan memiliki khasiat
yang lebih baik dibandingkan jahe yang lain. Hasil penelitian Herold (2007) menunjukkan aktivitas
antioksidan ekstrak jahe gajah (858.44 ppm AEAC) dan ekstrak jahe merah (890.11 ppm AEAC)

52
secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas antioksidan ekstrak jahe emprit (806.78 ppm
AEAC). Aktivitas antioksidan ekstrak jahe gajah dan ekstrak jahe merah tidak berbeda nyata pada
taraf signifikasi 5 %.
Jahe merah juga dapat memberikan karakter citarasa yang tajam dan pedas dikarenakan
memiliki kandungan minyak atsiri tertinggi diantara ketiga jenis jahe tersebut (Wijayakusuma 2002),
sehingga diharapkan ekstrak jahe merah dapat digunakan dalam konsentrasi yang lebih kecil. Hasil
pengamatan sensori pada minuman yang ditambahkan ekstrak jahe merah sebanyak A g dan ekstrak
jeruk y sebanyak B g dalam 100 ml minuman menghasilkan karakteristik minuman yang bercitarasa
jahe dengan tingkat kepedasan yang tajam dan rasa jeruk yang terasa. Hasil tersebut hampir sama
dengan hasil pengamatan sensori yang dilakukan Herold (2007) yang menambahkan ekstrak jahe
merah sebanyak C g dalam 100 ml minuman. Penambahan jumlah ekstrak jahe yang lebih banyak ke
dalam minuman dilatarbelakangi oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Rusviani (2007), mengenai
aspek flavor dan penerimaan sensori minuman tradisional berbasis jahe (MTJ) oleh konsumen di Kota
Bogor. Formula-formula yang diujicobakan pada penelitian tersebut jika dianalisis dari aspek rasa
pedas maka persentase jahe yang digunakan adalah persentase jahe yang paling tinggi (yaitu 5 % dari
skala 2-5%).
Penilaian sensori secara individu menunjukkan bahwa penambahan ekstrak jahe merah
sebanyak D g dalam 100 ml minuman menghasilkan karakteristik minuman yang bercitarasa sepat dan
pahit. Hal ini mungkin dikarenakan ekstrak jahe merah memberikan karakteristik minuman dengan
tingkat kepedasan (pungent) yang tajam sehingga dapat menutupi karakter citarasa bahan penyusun
lain (jeruk) dalam minuman, namun rasa sepat dan pahit dari ingridien herbal yang terdapat dalam
minuman tetap ada (Rismunandar 1988 dan Winarno & Agustinah 2007). Selain itu juga,
penambahan ekstrak jahe menjadi G g dan H g dalam 100 ml minuman menghasilkan karakteristik
minuman yang masih memiliki citarasa seperti jamu (sepat dan pahit). Pengurangan jumlah ekstrak
jahe menjadi F g menghasilkan karakteristik minuman yang serupa (sepat dan pahit), sehingga
penambahan atau pengurangan ekstrak jahe dari jumlah yang seharusnya ditambahkan ke dalam
minuman secara pengamatan sensori individual hasilnya tidak terlalu berbeda. Oleh karena itu,
ekstrak jahe yang ditambahkan ke dalam minuman jumlahnya tidak berubah, yaitu sebesar C g dalam
100 ml minuman
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan pendekatan trial and error untuk menentukan jenis
perlakuan yang akan digunakan. Penilaian sensori secara individu menunjukkan penambahan ekstrak
jeruk x, ekstrak jeruk y, dan flavor enhancer relatif dapat meningkatkan penerimaan citarasa
minuman.
Penggunaan ekstrak jeruk x, ekstrak jeruk y pada minuman dilatarbelakangi oleh hasil
penelitian Kordial (2009) yang menunjukkan bahwa minuman yang ditambahkan ekstrak jeruk x dan
jeruk y memiliki skor kesukaan rasa yang tidak berbeda nyata pada α= 0.05. Hal tersebut mungkin
dikarenakan keduanya masih memiliki kekerabatan yang dekat dengan jeruk lemon (Sarwono 1994).
Penilaian sensori secara individu menunjukkan ekstrak jeruk x cenderung berperan
memperbaiki rasa minuman, ekstrak jeruk y cenderung berperan memperbaiki aroma minuman,
sedangkan flavor enhancer cenderung berperan menguatkan rasa yang disukai (manis & jeruk) dan
menurunkan rasa yang tidak disukai (pahit, sepat, dan jamu). Hal ini sesuai dengan literatur yang
menyebutkan bahwa ekstrak jeruk x dapat memperbaiki citarasa dari minuman, ekstrak jeruk y dapat
memperbaiki aroma dari minuman dan keduanya dapat berkombinasi dengan baik, sedangkan flavor
enhancer dapat berfungsi untuk meningkatkan citarasa yang disukai sekaligus menutupi citarasa yang
tidak disukai (Colombo 2002 dan Pszczola 2010).

53
Perlakuan yang dilakukan selanjutnya adalah dengan menambahkan jumlah ekstrak jeruk y
yang lebih banyak ke dalam minuman menjadi B g, C g, dan D g ke dalam 100 ml minuman.
Penambahan ini diharapkan dapat memperbaiki citarasa dari minuman karena jeruk y memiliki
citarasa terpilih berdasarkan penelitian terhadap penerimaan mutu organoleptiknya (Kordial 2009).
Ketiga perlakuan tersebut ternyata masih menghasilkan karakteristik minuman yang memiliki after
taste jahe.
Penambahan ekstrak jeruk x menjadi E g dalam 100 ml minuman selanjutnya dilakukan
dengan harapan dapat memperbaiki citarasa dari minuman. Perlakuan tersebut menghasilkan
karkteristik minuman yang citarasa asamnya relatif lebih enak daripada jeruk purut, namun aroma
jeruknya tidak sekuat jeruk purut.
Sifat ekstrak jeruk x yang cenderung berperan memperbaiki citarasa minuman dan ekstrak
jeruk y yang cenderung berperan memperbaiki aroma minuman, sehingga proporsi relatif ekstrak
jeruk x yang ditambahkan ke dalam minuman lebih banyak daripada ekstrak jeruk y. Oleh karena itu,
perlakuan kombinasi antara ekstrak jeruk x dan jeruk y ke dalam minuman secara berturut-turut
adalah ekstrak jeruk x sebanyak I g dan ekstrak jeruk y sebanyak J g/100 ml minuman; ekstrak jeruk x
sebanyak K g dan ekstrak jeruk y sebanyak L g/100 ml minuman; ekstrak jeruk x sebanyak M g dan
ekstrak jeruk y sebanyak N g/100 ml minuman juga dilakukan. Perlakuan kombinasi yang pertama
menghasilkan karakteristik minuman dengan citarasa yang relatif enak dan lebih sedikit rasa pahitnya
dibandingkan dengan perlakuan kombinasi yang kedua dan yang ketiga.
Colombo et al. (2002) menyatakan bahwa ekstrak jeruk memiliki sifat kelarutan dalam air yang
cukup baik. Ekstrak jeruk yang digunakan pada pembuatan minuman diantaranya adalah ekstrak
jeruk x dan ekstrak jeruk y. Kedua ekstrak jeruk tersebut memiliki aroma dan rasa yang tajam, segar,
dan relatif disukai serta mampu menutupi off-odours, sehingga penambahan yang relatif sedikit dari
kedua ekstrak jeruk tersebut dapat memberikan rasa dan aroma yang khas dalam memperbaiki citarasa
minuman. Selain itu juga, ekstrak jeruk y dapat berfungsi sebagai masking agent yang baik dan dapat
bersinergi dengan ekstrak jeruk x dalam memperbaiki citarasa minuman. Kombinasi kedua ekstrak
jeruk tersebut digunakan karena masih berkerabat dekat dengan jeruk lemon (Sarwono 1994).
Penambahan ekstrak jeruk lemon ke dalam minuman fungsional berbasis kumis kucing berkorelasi
positif dengan citarasa dan aktivitas antioksidan minuman (Herold 2007).
Kombinasi antara ekstrak jeruk y dengan bitter blocker dan ekstrak jeruk x dengan bitter
blocker juga dilakukan dalam penelitian pendahuluan. Ekstrak jeruk y yang digunakan adalah Q g dan
V g yang dikombinasikan dengan bitter blocker I, II, III, dan IV dalam jumlah Y g dalam 100 ml
minuman, sedangkan ekstrak jeruk x yang digunakan adalah V g yang dikombinasikan dengan bitter
blocker I, II, III, dan IV dalam jumlah Y g dalam 100 ml minuman. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh
hasil pengujian sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ekstrak jeruk y cenderung dapat
memperbaiki citarasa minuman sedangkan ekstrak jeruk x cenderung dapat memperbaiki aroma dari
minuman. Bitter blocker diharapkan dapat menutupi rasa pahit dari minuman fungsional berbasis
kumis kucing sekaligus meningkatkan rasa yang disukai dari minuman (Pszczola 2010).
Hasil penilaian sensori secara individu menunjukkan bahwa penggunaan bitter blocker I
(frutarom) cenderung menghasilkan karakteristik minuman yang bercitarasa pahit (rasa jamu, obat,
dll.). Penggunaan bitter blocker II (flavor enhancer (P:P)) cenderung menghasilkan karakteristik
minuman yang relatif enak, menguatkan citarasa jeruk, dan dapat menekan rasa pahit dari minuman.
Penggunaan bitter blocker III (flavor enhancer) cenderung menghasilkan karakteristik minuman yang
relatif manis dan dapat menekan rasa pahit dari minuman jika dikombinasikan dengan ekstrak jeruk y,
namun jika dikombinasikan dengan ekstrak jeruk x menghasilkan karakteristik minuman yang relatif
agak pahit. Penggunaan bitter blocker IV (lavarian) cenderung menghasilkan karakteristik minuman

54
yang relatif didominasi rasa manis dan sedikit rasa pahit jika dikombinasikan dengan ekstrak jeruk y,
namun jika dikombinasikan dengan ekstrak jeruk x menghasilkan karakteristik minuman yang relatif
sedikit pahit dan muncul rasa “semriwing” (effect cooling).
Hasil yang diperoleh dari penelitian pendahuluan selanjutnya digunakan untuk memutuskan
jenis perlakuan yang akan digunakan. Upaya peningkatan penerimaan citarasa minuman berbasis
kumis kucing dilakukan dengan menggunakan kombinasi ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor
enhancer (jenis dari bitter blocker II dan III) dengan jumlah total C g dalam 100 ml minuman.
Pertimbangan perlakuan yang diberikan tersebut didasarkan pada kemampuan untuk memperbaiki
citarasa minuman, memperbaiki aroma minuman, meningkatkan rasa manis, menutupi rasa pahit
(jamu), mengurangi after taste jahe, meningkatkan rasa jeruk, dan menghasilkan citarasa yang relatif
disukai. Selain itu juga, ekstrak jeruk yang ditambahkan ke dalam minuman dapat berfungsi sebagai
asidulan alami. Jumlah masing-masing komponen ditentukan berdasarkan rancangan percobaan hasil
keluaran Design Expert 7.0 ®.

4.2. PENELITIAN LANJUTAN


4.2.1. Pemilihan Formula Minuman yang Memiliki Citarasa Paling Disukai
dari Masing-masing Perlakuan

Tahap pertama yang dilakukan pada penelitian lanjutan adalah pembuatan model minuman
sesuai rancangan percobaan hasil keluaran Design Expert 7.0 ® dengan variasi komposisi ekstrak
jeruk yang berbeda dan flavor enhancer. Piranti lunak Design Expert 7.0 ® D-optimal digunakan
sebagai alat bantu utama untuk mendapatkan rancangan percobaan agar diperoleh variasi komposisi
ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer terhadap total ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor
enhancer yang digunakan (Anonim 2006). Bahan penyusun minuman lainnya diasumsikan sebagai
variabel tetap yang ditambahkan ke dalam minuman sehingga konsentrasi variabel tetap tersebut tidak
dimasukkan ke dalam rancangan percobaan. Variabel tetap adalah komponen yang tidak berubah
komposisinya dalam pembuatan formula, dalam hal ini adalah ekstrak kumis kucing, ekstrak jahe,
ekstrak secang, ekstrak temulawak, larutan stok gula, CMC, natrium benzoat, dan air. Oleh karena
itu, variabel uji yang dimasukkan ke dalam piranti lunak Design Expert 7.0 ® berupa konsentrasi
ekstrak jeruk x, ekstrak jeruk y, dan flavor enhancer (flavor enhancer 1 atau flavor enhancer 2) yang
jumlah totalnya dalam minuman adalah P g / 100 ml minuman. Batas atas dan batas bawah
konsentrasi ekstrak jeruk dan flavor enhancer dirancang dengan rentang yang relatif besar agar
menghasilkan respon yang berbeda nyata antar model formulanya. Rentang konsentrasi masing-
masing variabel uji berdasarkan hasil trial and error pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada
Tabel 6.

Tabel 6. Kisaran konsentrasi masing-masing variabel uji


Komponen (variable uji) Batas bawah (g) Batas atas (g)
Ekstrak jeruk x A D
Ekstrak jeruk y B E
Flavor enhancer C F

Pembuatan model minuman sesuai rancangan percobaan hasil keluaran Design Expert 7.0 ®
dengan variasi komposisi ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer kemudian diuji secara
hedonik untuk mendapatkan skor kesukaan panelis terhadap aspek citarasa secara overall. Skor

55
kesukaan tersebut dinyatakan dalam skala hedonik, mulai dari skala 1 (amat sangat tidak suka) hingga
skala 9 (amat sangat suka). Respon citarasa yang diharapkan adalah semakin mendekati skor 9,
artinya panelis semakin menyukai formula minuman tersebut dari aspek citarasa secara overall.
Format lembar uji kesukaan dapat dilihat pada Lampiran 11.
Rancangan percobaan hasil keluaran Design Expert 7.0 ® menghasilkan 12 variasi komposisi
ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer yang digunakan (selanjutnya disebut 12 model atau
formula minuman) dengan dua kali pengulangan pada 2 formula minuman (yaitu formula ke-1=
formula ke-4 dan formula ke-10= formula ke-14) di antara 12 formula yang ada sehingga diperoleh
14 formula minuman untuk masing-masing flavor enhancer (Tabel 7 dan Tabel 8).

Tabel 7. Rancangan percobaan 14 formula minuman dengan variabel respon citarasa (perlakuan
minuman dengan menggunakan gula dan Na-benzoat serta flavor enhancer 1 (P:P) per 100
ml minuman)
Formula Jenis flavor Jeruk x Jeruk y (g) Flavor Hasil uji hedonik
ke- enhancer (g) enhancer (g) (skala 1-9)
1 * * * 6.88
2 * * * 6.62
3 * * * 6.80
4 * * * 6.76
5 * * * 6.58
6 Flavor * * * 6.78
7 enhancer 1 * * * 6.46
8 (P:P) * * * 7.12
9 * * * 7.10
10 * * * 6.88
11 * * * 7.06
12 * * * 6.84
13 * * * 6.73
14 * * * 6.82
*) Keterangan semua angka disamarkan

Penyajian formula minuman pada penelitian ini dilakukan secara bertahap. Panelis diberikan
tujuh formula minuman pada setiap tahapnya untuk dinilai tingkat kesukaannya terhadap citarasa
minuman secara overall. Penyajian formula minuman pada penelitaian ini dilakukan sebanyak 7
tahap dengan jeda waktu sekitar 2-3 hari antar tiap tahapnya.
Tahap kedua yang dilakukan pada penelitian lanjutan adalah pemilihan tiga formula terpilih
berdasarkan perlakuan ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer. Flavor enhancer yang
digunakan pada perlakuan yang diberikan ada 2 jenis, yaitu flavor enhancer 1(P:P) dan flavor
enhancer 2. Hal tersebut menjadikan total formula yang didasarkan perlakuan flavor enhancer
menjadi 28 formula minuman yang akan diuji hedonik satu per satu untuk memperoleh data tingkat
kesukaan panelis terhadap citarasa minuman secara overall. Formula yang dipilih pada tahap ini
adalah 3 formula terpilih.
Tiga formula terpilih berdasarkan perlakuan ekstrak jeruk yang berbeda dan flavor enhancer
adalah formula dengan ekstrak jeruk x sejumlah A g, ekstrak jeruk y sejumlah B g, dan flavor

56
enhancer (P:P) sejumlah C g dalam 100 ml minuman; formula dengan ekstrak jeruk x sejumlah D g,
ekstrak jeruk y sejumlah E g, dan flavor enhancer (P:P) sejumlah F g dalam 100 ml minuman; dan
formula dengan ekstrak jeruk x sejumlah G g, ekstrak jeruk y sejumlah H g, dan flavor enhancer
sejumlah I g dalam 100 ml minuman. Dasar pemilihan formula tersebut berdasarkan skor kesukaan
yang dimiliki oleh ketiga formula tersebut. Ketiga formula tersebut memiliki skor kesukaan citarasa
antara suka dan sangat suka (dengan skala hedonik secara berturut-turut 7.12, 7.10, dan 7.08 dari skala
9.00).

Tabel 8. Rancangan percobaan 14 formula minuman dengan variabel respon citarasa (perlakuan
minuman dengan menggunakan gula dan Na-benzoat serta flavor enhancer 2 per 100 ml
minuman)
Formula Jenis flavor Jeruk x Jeruk y (g) Flavor Hasil uji hedonik
ke- enhancer (g) enhancer (g) (skala 1-9)
1 * * * 6.94
2 * * * 7.08
3 * * * 7.06
4 * * * 6.76
5 * * * 6.92
6 * * * 6.78
7 flavor * * * 6.50
8 enhancer 2 * * * 6.86
9 * * * 6.49
10 * * * 6.16
11 * * * 6.16
12 * * * 6.59
13 * * * 6.67
14 * * * 6.80
*) Keterangan semua angka disamarkan

Dua formula di antara 3 formula terpilih berasal dari formula yang menggunakan flavor
enhancer 1 (P:P), adapun satu formula lainnya berasal dari formula yang menggunakan flavor
enhancer 2. Kombinasi penggunaan flavor enhancer (P:P) menghasilkan citarasa yang lebih baik
dibandingkan dengan komponen tunggalnya (Pszczola 2010).
Penggunaan gula, jenis pemanis, pengawet, dan non-pengawet berdasarkan studi literatur dapat
mempengaruhi penerimaan panelis terhadap citarasa minuman. Hal tersebut dikarenakan adanya
perbedaan sifat sensori di antara senyawa-senyawa tersebut (Wijaya & Mulyono 2010 dan Kordial
2009). Pemanis yang digunakan pada pada penelitian ini ada 2 jenis, yaitu pemanis 1 dan pemanis 2.
Pemanis 1 adalah sukralosa (pemanis A sejumlah P g/100 ml minuman). Pemanis 2 adalah kombinasi
antara sukralosa, aspartam, dan natrium siklamat (pemanis A sejumlah Q g, pemanis B sejumlah R g,
dan pemanis C sejumlah S mg/100 ml minuman). Takaran pemanis yang digunakan ditentukan
berdasarkan kesetaraaan tingkat kemanisan dengan gula melalui penilaian sensori secara individu.
Pengawet yang digunakan pada penelitian ini adalah natirum benzoat dan kalium sorbat.
Sukralosa, aspartam, dan natrium siklamat termasuk pemanis berintensitas tinggi yang boleh
digunakan sebagai BTP dan dapat digunakan pada produk minuman (CAC 2007 dan SNI 2004).

57
Penggunaan kombinasi dari beberapa pemanis berfungsi untuk meningkatkan keamanan, kualitas, dan
kestabilan rasa pada produk pangan (Wijaya dan Mulyono 2010). Sifat-sifat sensori dari 3 pemanis
tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Sifat-sifat sensori beberapa pemanis berintensitas tinggi dibandingkan dengan sukrosa dan
batas penggunaannya
Pemanis Kelarutan Tingkat Kualitas kemanisan CAC (2007) SNI (2004)
dan kemani
kestabilan san
dalam air
Sukrosa Baik 1 Tidak ada after taste - CPPB
Sukralosa Sangat baik 400-800 Seperti sukrosa 120-5000 mg/kg 150-5000 mg/kg
Aspartam Sedang 160-200 After taste manis 300-5000 mg/kg 300-1000 mg/kg
Na- siklamat Sangat baik 30-140 Bau kimia, 250-3000 mg/kg 100-3000 mg/kg
tidak ada after taste
Sumber: de Cock & Bechert (2002), CAC (2007), dan SNI (2004)

Pengujian terhadap tiga formula terpilih dilakukan kembali dengan menggunakan variasi
perlakuan jenis pemanis (gula, pemanis 1 atau pemanis 2) dan pengawet (natrium benzoat, kalium
sorbat, dan perlakuan tanpa pengawet) dapat dilihat pada Lampiran 16. Formula diujikan secara
bertahap. Setiap tahap pengujian disajikan 7 sampel formula minuman. Pemanis buatan (pemanis 1
dan pemanis 2 yang memiliki tingkat kemanisan lebih tinggi dibandingkan dengan sukrosa digunakan
agar penderita diabetes dapat mengonsumsinya dan produsen dapat mengurangi biaya produksi
(Kemp dan Schweppes 2006).

Tabel 10. Perlakuan kombinasi gula, pengawet, dan non pengawet


Perlakuan Hasil uji hedonik (skala 1-9)
Gula dan tanpa pengawet
Formula 1 7.42
Formula 2 7.20
Formula 3 7.26
Gula dan natrium benzoat
Formula 1 7.12
Formula 2 7.10
Formula 3 7.08
Gula dan kalium sorbat
Formula 1 6.86
Formula 2 6.98
Formula 3 6.86
Keterangan:
Formula 1 : formula minuman dengan penambahan ekstrak jeruk x (A g), ekstrak jeruk y (B g), dan flavor
enhancer 1(P:P) (C g) dalam 100 ml minuman.
Formula 2 : formula minuman dengan penambahan ekstrak jeruk x (D g), ekstrak jeruk y (E g), dan flavor
enhancer 1(P:P) (F g) dalam 100 ml minuman.
Formula 3 : formula minuman dengan penambahan ekstrak jeruk x (G g), ekstrak jeruk y (H g), dan flavor
enhancer 2 (I g) dalam 100 ml minuman.

58
Penggunaan pengawet dan non-pengawet pada penelitian ini perlu diperhatikan karena
keduanya dapat mempengaruhi skor kesukaan panelis terhadap citarasa minuman. Minuman yang
tidak ditambah bahan pengawet, ditambah natrium benzoat, dan ditambah kalium sorbat masih
memenuhi syarat mutu mikrobiologi minuman setelah penyimpanan selama 12 minggu menurut SNI
01-3719-1995 (Kordial 2009).
Tahap ketiga dari penelitian lanjutan adalah pemilihan formula terpilih dari penggunaan
kombinasi gula, pengawet (natrium benzoat & kalium sorbat), dan non-pengawet menggunakan tiga
formula terpilih pada tahap kedua. Perlakuan yang diberikan ada 3 macam , yaitu perlakuan gula &
natium benzoat, gula & kalium sorbat, dan gula & non-pengawet. Hasil yang diperoleh adalah 9
formula minuman. Formula yang dipilih adalah formula terpilih dari masing-masing perlakuan
dengan syarat memiliki nilai kesukaan ≥ 6.60 dari skala 9.00 dengan menggunakan panelis yang
sama dengan panelis pada uji hedonik tahap kedua. Perlakuan kombinasi gula, pengawet, dan non-
pengawet dapat dilihat pada Tabel 10.
Minuman yang diberikan perlakuan gula dan kalium sorbat memiliki tingkat kesukaan yang
lebih rendah dibandingkan dengan minuman yang diberikan perlakuan gula & non-pengawet dan gula
& natrium benzoat. Hasil tersebut digunakan sebagai dasar pertimbangan tidak dilakukannya
perlakuan pemanis (pemanis 1 atau pemanis 2) dengan kalium sorbat.

Tabel 11. Perlakuan kombinasi pemanis, pengawet (natrium benzoat), dan non pengawet
Perlakuan Hasil uji hedonik (skala 1-9)
Pemanis 1 dan tanpa pengawet
Formula 1 6.86
Formula 2 6.68
Formula 3 6.78
Pemanis 2 dan tanpa pengawet
Formula 1 6.58
Formula 2 6.78
Formula 3 6.68
Pemanis 1 dan natrium benzoat
Formula 1 6.82
Formula 2 6.54
Formula 3 6.62
Pemanis 2 dan natrium benzoat
Formula 1 6.52
Formula 2 6.56
Formula 3 6.58
Keterangan:
Pemanis 1 : pemanis A sejumlah P g/100 ml minuman.
Pemanis 2 : pemanis A sejumlah Q g, pemanis B sejumlah R g, dan pemanis C sejumlah S mg/100 ml
minuman.

Tahap keempat dari penelitian lanjutan adalah pemilihan formula terpilih dari penggunaan
kombinasi pemanis (pemanis 1 atau pemanis 2), pengawet (natrium benzoat), dan non-pengawet hasil
dengan menggunakan tiga formula terpilih pada tahap kedua. Perlakuan yang diberikan ada 4 macam,
yaitu perlakuan pemanis 1 & natium benzoat, pemanis 2 & natium benzoat, pemanis 1 & non-

59
pengawet, dan pemanis 2 & non-pengawet. Hasil yang diperoleh adalah 12 formula minuman.
Formula yang dipilih adalah formula terpilih dari masing-masing perlakuan dengan syarat memiliki
nilai kesukaan ≥ 6.60 dari skala 9.00 dengan menggunakan panelis yang sama dengan panelis pada uji
hedonik tahap kedua dan ketiga. Perlakuan kombinasi pemanis (pemanis 1 atau pemanis 2),
pengawet, dan non-pengawet dapat dilihat pada Tabel 11.
Pemilihan formula terpilih dari masing-masing perlakuan menggunakan persyaratan nilai
kesukaan lebih dari sama dengan 6.6. Hal tersebut dikarenakan pada penelitian yang dilakukan oleh
Kordial (2009) hanya diperoleh tingkat kesukaan terhadap citarasa minuman sebesar 5.57 dari skala
7.00. Formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan gula, pemanis, pengawet, dan non
pengawet selanjutnya disajikan menjadi satu sehingga
sehingga diperoleh 6 formula minuman dengan
perlakuan yang berbeda. Enam formula minuman tersebut kemudian dianalisis secara statistik dengan
menggunakan ANOVA. (Gambar 5).

7.60

7.40

7.20 7.42 b
Nilai kesukaan

7.00
7.12 ab
6.80 6.98 a
6.86 a 6.78 a 6.82 a
6.60

6.40

6.20
GT1 GN1 GK2 P1T1 P2TT2 P1N1
Formula minuman terpilih

Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dan warna yang berbeda menunjukkan
perlakuan yang berbeda; garis pada gambar adalah batas minimum yang harus dicapai agar dapat
dikatakan terjadi peningkatan penerimaan citarasa dari formula minuman sebelumnya (Kordial
2009)
GT1: minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1
GN1: minuman yang menggunakan gula, natrium benzoat, dan formula 1
GK2: minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2
P1T1:minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1
P2T2:minuman yang menggunakan pemanis 2, 2, tanpa pengawet, dan formula 2
P1N1:minuman yang menggunakan pemanis 1, natrium benzoat, dan formula 1
Gambar 5. Hasil analisis ANOVA enam formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan
gula, pemanis, pengawet, dan non pengawet yang memiliki nilai kesukaan lebih atau
sama dengan 6.6.

Hasil pengujian menunjukkan di antara 50 panelis terdapat 3 panelis yang tidak pernah
mengonsumsi minuman jahe atau minuman berbasis rempah lainnya dikarenakan tidak dapat
menerima produk tersebut. Meskipun demikian tiga panelis tersebut memberikan penilaian antara
suka dan amat sangat suka di antara enam formula minuman terpilih.
Faktor perlakuan yang diberikan pada minuman berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan
panelis terhadap enam formula minuman terpilih pada taraf signifikasi 5% berdasarkan hasil analisis
ragam (ANOVA). Tingkat kesukaan panelis terhadap minuman
minuman yang menggunakan pemanis 1,
natrium benzoat, dan formula 1 tidak berbeda nyata dengan minuman yang menggunakan gula,

60
natrium benzoat, dan formula 1; minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2;
minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1; dan minuman yang
menggunakan pemanis 2, tanpa pengawet, dan formula 2.
Tingkat kesukaan minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1 berbeda
nyata dengan minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2; minuman yang
menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1; minuman yang menggunakan pemanis 2,
tanpa pengawet, dan formula 2; dan minuman yang menggunakan pemanis 1, natrium benzoat, dan
formula 1, namun tidak berbeda nyata dengan minuman yang menggunakan gula, natrium benzoat,
dan formula 1. Formula minuman akan semakin disukai jika nilai kesukaannya semakin tinggi
(Setyaningsih et al. 2010). Minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1
mempunyai nilai kesukaan yang paling tinggi (7.42) sehingga minuman tersebut merupakan minuman
dengan tingkat penerimaan citarasa yang paling tinggi. Hasil analisis ragam dan uji Duncan terhadap
nilai kesukaan enam formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
Lampiran 12.

4.2.2. Nilai pH Formula Minuman Terpilih

Nilai pH menyatakan tingkat keasaman suatu bahan pangan. Nilai pH merupakan parameter
yang penting untuk diketahui di dalam pengolahan maupun pengawetan bahan makanan. Nilai pH
enam formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan diukur untuk mengetahui tingkat
keamanan minuman dan kesesuaian pengawet yang digunakan pada minuman. Nilai pH yang
diharapkan adalah kurang dari 4.5. Hal tersebut dikarenakan pada nilai pH di atas 4.5 - 4.6 bakteri
pembusuk anaerobik dan pembentuk spora yang bersifat patogen (Clostridium botulinum) dapat
tumbuh (Buckle et al. 1987). Ekstrak jeruk dapat menurunkan nilai pH karena mengandung asam
organik khususnya asam sitrat (Vandercook 1977). Nilai pH enam formula minuman terpilih dari
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.

3.7
3.6
3.5
pH minuman

3.55 d 3.55 d 3.57 e


3.4
3.3 3.41 c
3.37 b
3.2 3.33 a
3.1
3
GT1
611 GN1
138 GK2
792 P1T1
691 P2T2
714 P1N1
585
Kode Minuman

Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata


GT1: minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1
GN1: minuman yang menggunakan gula, natrium benzoat, dan formula 1
GK2: minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2
P1T1: minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1
P2T2: minuman yang menggunakan pemanis 2, tanpa pengawet, dan formula 2
P1N1: minuman yang menggunakan pemanis 1, natrium benzoat, dan formula 1
Gambar 6. pH minuman formula terpilih

61
4.2.3. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dan Inhibisi α-amilase Formula
Minuman Terpilih

Klaim fungsional produk minuman ini berdasarkan aktivitas antioksidannya (Herold 2007 dan
Kordial 2009). Pengukuran aktivitas antioksidan dari enam formula minuman terpilih perlu dilakukan
untuk mengetahui nilai aktivitas antioksidannya. Aktivitas antioksidan pada minuman (herbal)
disebabkan adanya kandungan flavonoid (Fuhrman dan Aviram 2002). Senyawa flavonoid ini banyak
terdapat dalam tanaman (dalam hal ini tanaman kumis kucing, mengingat ekstrak kumis kucing
merupakan ingridien terbanyak dalam campuran rempah yang terdapat dalam minuman) (Mahendra
2005).
Antioksidan adalah zat yang memilki kemampuan untuk memperlambat oksidasi substrat
dengan cara menghambat tahap inisiasi atau propagasi dari reaksi rantai oksidasi yang diakibatkan
oleh radikal bebas. Antioksidan diperlukan tubuh untuk menangkal radikal bebas yang berpotensi
mengganggu kesehatan manusia (Azlim et al. 2010). Radikal bebas adalah suatu molekul atau atom
yang sangat tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal
bebas berbahaya bagi tubuh karena sangat reaktif mencari pasangan elektronnya. Radikal bebas yang
terbentuk dalam tubuh akan mengalami reaksi berantai dan menghasilkan radikal bebas baru yang
jumlahnya terus bertambah. Radikal bebas tersebut selanjutnya akan menyerang sel-sel tubuh
sehingga akan terjadi kerusakan jaringan yang akan mempercepat proses penuaan (Winarno dan
Kartawidjajaputra 2007).
Senyawa-senyawa yang berfungsi sebagai antioksidan antara lain: vitamin C, vitamin E,
betakaroten, selenium, pigmen (likopen pada tomat, flavonoid, dan klorofil), dan enzim (Glutation
peroksida, koenzim Q-10). Senyawa-senyawa flavonoid tersebut merupakan antioksidan yang sangat
potensial. Flavonoid memiliki gugus ortho-dihidroksilasi yang terletak pada cincin β yang dapat
meningkatkan stabilitas terhadap bentuk radikal serta berpartisipasi terhadap delokalisasi elektron.
Flavonoid juga memiliki gugus keto pada cincin C dan gugus hidroksil pada cincin A & C yang
berperan dalam penangkapan radikal bebas secara maksimal (Fuhrman dan Aviram 2002).
Antioksidan alami yang berasal dari rempah-rempah sangat ideal digunakan pada produk
pangan fungsional. Masyarakat meyakini produk-produk yang bersifat alami lebih sehat
dibandingkan dengan produk-produk yang bersifat sintetis sehingga produk-produk tersebut lebih
diterima oleh konsumen (Azlim et al. 2010). Minuman fungsional berbasis kumis kucing terbuat dari
herbal dan rempah-rempah alami. Herbal dan rempah-rempah merupakan sumber antioksidan alami
yang sangat baik karena kaya dengan komponen fenol (Zheng dan Wang 2001).
Pengukuran aktivitas antioksidan enam formula minuman terpilih dilakukan dengan metode
penangkapan radikal bebas stabil DPPH. DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydraziyl) adalah suatu radikal
bebas stabil yang dapat bereaksi dengan radikal lain membentuk suatu senyawa stabil. DPPH
bereaksi dengan atom hidrogen yang berasal dari suatu antioksidan membentuk DPPH tereduksi yang
stabil (DPP Hidrazin) (Molyneux 2004). Asam askorbat digunakan sebagai standar pengukuran
aktivitas antioksidan sehingga hasil pengukuran aktivitas antioksidan sampel dinyatakan dalam AEAC
(Ascorbic acid Equivalent Antioxidant Capacity). Prinsip pengukuran aktivitas antioksidan metode
DPPH menggunakan prinsip spektrofotometri dengan λ= 520 nm. Metode DPPH dapat mengukur
aktivitas antioksidan semua jenis substrat dalam sampel, baik yang bersifat hidrofilik maupun
lipofilik. Oleh karena itu, hasil pengukuran yang diperoleh diharapkan dapat lebih baik dibandingkan
dengan metode pengukuran aktivitas antioksidan lainnya (Vankar et al. 2006).
Perlakuan pada enam formula minuman terpilih berpengaruh nyata terhadap aktivitas
antioksidan minuman pada taraf signifikasi 5%. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas

62
antioksidan enam formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
Lampiran 17. Aktivitas antioksidan minuman yang menggunakan pemanis 2, tanpa pengawet, dan
formula 2 memiliki nilai tertinggi, yaitu sebesar 727 ppm AEAC. Aktivitas antioksidan antar enam
formula minuman terpilih berbeda nyata pada taraf α(0.05) (Gambar 7).
Penderita diabetes mellitus diperkirakan berjumlah sekitar 170 juta orang di seluruh dunia dan
diperkirakan pada tahun 2030 akan mencapai 366 juta orang. Penyakit diabetes mellitus dalam jangka
waktu lama dapat mengganggu fungsi organ tubuh lainnya (WHO 1999 dan 2003). Penyakit diabetes
mellitus (DM) dibagi menjadi dua, yaitu: diabetes mellitus tipe 1 (DM 1) dan diabetes mellitus tipe 2
(DM 2). DM 1 adalah diabetes yang terjadi akibat tubuh kekurangan insulin atau menghasilkan
sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
patogen yang merusak sel β pankreas. DM 2 adalah diabetes yang diakibatkan insulin yang
sekresinya menurun atau insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik. Hal tersebut disebabkan
oleh reseptor insulin yang berkurang atau strukturnya berubah, sehingga hanya sedikit glukosa yang
berhasil masuk ke dalam sel (Stumvoll et al. diacu dalam Suarsana 2009). Penanggulangan DM 1
adalah dengan memasukkan insulin ke dalam tubuh. Penanggulangan DM 2 diantaranya dengan
menghambat pemecahan oligoskarida dan disakarida menjadi monosakarida dalam tubuh (Groop et al.
1997 dan Perfetti 1998).

900.000
Aktivitas Antioksidan (ppm AEAC)

800.000
700.000
600.000 727 c
685 c 679 c 658 bc
500.000 606 b
400.000
300.000 414 a
200.000
100.000
0.000
GT1 GN1 GK2 P1T1 P2T2 P1N1
Kode Minuman

Keterangan: huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata


GT1: minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1
GN1: minuman yang menggunakan gula, natrium benzoat, dan formula 1
GK2: minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2
P1T1: minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1
P2T2: minuman yang menggunakan pemanis 2, tanpa pengawet, dan formula 2
P1N1: minuman yang menggunakan pemanis 1, natrium benzoat, dan formula 1
Gambar 7. Grafik aktivitas antioksidan dari enam formula minuman terpilih

Tanaman obat dan ekstrak herbal dapat menghambat aktivitas enzim α-amilase dan α-
glukosidase (Mccue dan Shetty 2004). Daun kumis kucing yang dikombinasikan dengan daun
sambiloto dapat menurunkan kadar glukosa darah kelinci lebih besar dibandingkan dengan daun
sambiloto saja (Minggawati 1990). Daun kumis kucing dapat mempercepat keluarnya glukosa dari
sirkulasi darah karena kumis kucing mengandung garam kalium sebagai komponen diuretik yang
dapat mempercepat filtrasi dan ekskresi ginjal. Hal tersebut dapat meningkatkan produksi urin yang

63
berakibat pada penurunan kadar glukosa darah dan peningkatan regenerasi reseptor insulin (Yoon dan
Jun 1998).
Aktivitas antidiabetes minuman diukur dengan metode inhibisi α-amilase. Metode inhibisi α-
amilase dapat menggambarkan aktivitas antidiabetes sampel dengan biaya yang relatif ekonomis
(Funke dan Melzig 2006). Prinsip inhibisi α-amilase adalah dengan mencegah pecahnya pati menjadi
glukosa. Glukosa yang dihasilkan dari pemecahan pati jika berkurang akan glukosa dalam darah
berkurang. Hal tersebut dikarenakan glukosa yang melewati membran usus menuju ke dalam darah
menjadi berkurang.
Inhibitor α-amilase yang baik (dengan inhibisi di atas 50 %) dan tergolong senyawa flavonoid
adalah astragalin, isorhamnetin 3-O-rutinoside, kaemferol-3-O-[6”-O-(3-hidroksi-3-metilguaroil)
glukosida], hiperin, luteolin, linocerin, rhoifolin, luteolin 7-O-glukosida, dan daidzein. Inhibitor α-
amilase yang kurang baik dan tergolong senyawa flavonoid adalah rutin, quercitin, bilobetin,
genistein, dan genistin (Kim et al. 2000).
Pengukuran inhibisi α-amilase pada penelitian ini hanya menggunakan konsentrasi minuman
1x. Hal tersebut dilakukan karena hanya ingin melihat pengaruh dari perubahan formula terhadap
aktivitas antidiabetes. Perubahan formula yang dilakukan mengakibatkan perubahan persentase relatif
aktivitas antidiabetes minuman. Persentase inhibisi α-amilase relatif formula minuman konsentrasi 1
x dengan faktor koreksi gula dapat dilihat pada Gambar 8.

100.00

80.00
% inhibisi relatif

60.00

40.00 56
45
20.00
25 31
19 20
0.00
GT1 GN1 GK2 P1T1 P2T2 P1N1
Kode minuman

Keterangan:
GT1: minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1
GN1: minuman yang menggunakan gula, natrium benzoat, dan formula 1
GK2: minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2
P1T1: minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1
P2T2: minuman yang menggunakan pemanis 2, tanpa pengawet, dan formula 2
P1N1: minuman yang menggunakan pemanis 1, natrium benzoat, dan formula 1
Gambar 8. Grafik persentase inhibisi α-amilase relatif formula minuman terpilih pada konsentrasi
1 x dengan faktor koreksi gula pada minuman yang mengandung gula

Persentase inhibisi relatif keenam formula minuman terpilih diperoleh dengan membandingkan
kemampuan inhibisinya dengan kemampuan inhibisi minuman standar (Kordial 2009). Minuman
yang menggunakan pemanis 1 memilki persentase inhibisi relatif yang paling besar di antara enam
formula minuman terpilih, yaitu sebesar 56 %. Perlakuan yang diberikan pada enam formula
minuman terpilih tidak berpengaruh nyata terhadap persentase inhibisi relatif minuman pada taraf
α(0.05).

64
Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian Diana (2010) yang menunjukkan persen inhibisi
minuman standar konsentrasi 1 x bernilai negatif (-5.91%). Hal tersebut dikarenakan adanya
perbedaan perlakuan persiapan sampel minuman. Persiapan sampel minuman yang dilakukan Diana
(2010) adalah dengan melakukan freeze drying pada masing-masing ingridien minuman. Hasil
freeze drying tersebut kemudian dicampurkan dengan proporsi tertentu dalam air destilata. Persiapan
sampel yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan membuat minuman fungsional kumis kucing
dari ekstrak masing-masing ingridien tanpa pemekatan.
Enam formula minuman terpilih memiliki kemampuan inhibisi α-amilase relatif yang lebih
kecil dibandingkan dengan formula minuman standar. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh jumlah
ekstrak jeruk y yang digunakan pada formula standar lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
ekstrak jeruk y pada 6 formula minuman terpilih. Diana (2010) menyatakan bahwa ingridien
minuman yang berperan dalam inhibisi α-amilase minuman adalah ekstrak jeruk y (IC50 = 15.08
mg/ml) yang memiliki komponen aktif rutin, sedangkan ingridien lain seperti kumis kucing, kayu
secang, dan jahe gajah tidak mempunyai kemampuan inhibisi α-amilase. Jahe gajah justru memiliki
potensi dalam mengaktivasi enzim α-amilase.
Perlakuan minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1 memiliki
persentase inhibisi relatif yang lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan minuman yang
menggunakan gula. Selain itu, persentase inhibisi α-amilase yang diperoleh masih memiliki sebaran
nilai yang bias (Lampiran 18). Hal tersebut mungkin disebabkan pengujian inhibisi α-amilase pada
sampel yang berbeda dilakukan pada hari yang berbeda sehingga relatif sulit untuk mendapatkan
kondisi lingkungan pengujian yang sama. Oleh karena itu, pengujian inhibisi α-amilase sebaiknya
dilakukan pada kondisi lingkungan (suhu) yang terkontrol.
Pengujian antidiabetes melalui penelitian penyerapan glukosa pada sel diafragma mencit yang
dilakukan oleh peneliti lainnya juga menunjukkan minuman standar memiliki penyerapan glukosa
yang lebih besar dibandingkan dengan minuman yang menggunakan pemanis, natrium benzoat, dan
formula 1.

4.2.4 Pemilihan Perlakuan Terbaik

Setyaningsih et al. (2010) menyatakan metode perbandingan eksponensial merupakan salah


satu teknik pengambilan keputusan untuk menentukan peringkat dari beberapa alternatif keputusan
berdasarkan beberapa kriteria keputusan. Asumsi dasar yang digunakan dalam MPE adalah
pengambil keputusan harus mampu menentukan tingkat nilai kriteria keputusan dan tingkat nilai
alternatif keputusan terhadap setiap kriteria keputusan, yang merupakan penilaian subjektif
berdasarkan intuisi, data riset, observasi, wawancara, atau pengetahuan umum mengenai kriteria
tersebut. Tahap-tahap penerapan MPE adalah sebagai berikut:
a. penentuan alternatif-alternatif keputusan;
b. penentuan kriteria-kriteria penilaian alternatif;
c. penentuan tingkat nilai (rating) setiap kriteria keputusan;
d. penentuan tingkat nilai setiap alternatif keputusan terhadap setiap kriteria keputusan;
e. penghitungan skor total setiap alternatif keputusan;
f. pembuatan peringkat alternatif keputusan.
Pemilihan perlakuan terbaik diperoleh dari hasil pembobotan secara subjektif. Setiap
parameter diberikan nilai dari skala 1 sampai 5 berdasarkan tingkat kepentingannya untuk menentukan
perlakuan terbaik. Nilai 5 diberikan jika parameter pengujian tersebut dianggap sangat penting, 4 jika
penting, 3 jika biasa, 2 jika tidak penting, dan 1 jika sangat tidak penting. Nilai kepentingan

65
kemudian dibobotkan ke dalam persen (Ginting 2004). Nilai kepentingan setiap parameter ditentukan
atas pertimbangan-pertimbangan yang dapat dilihat pada Tabel 12.
Nilai hasil analisa dari setiap parameter pengujian kemudian dirata-rata dan diurutkan
berdasarkan rangking terbaik. Peringkat terbaik diberi nilai 6, terbaik kedua 5, terbaik ketiga 4, dan
seterusnya hingga peringkat yang paling rendah diberi nilai 1. Nilai peringkat diberikan karena
pembobotan tidak dapat dilakukan hanya dengan mengalikan nilai analisa dan bobot. Nilai analisa
yang semakin besar maka nilai peringkatnya akan semakain tinggi.
Nilai total akhir diperoleh dari akumulasi perkalian antara nilai peringkat dikalikan dengan
bobot setiap parameter pengujian. Nilai total kemudian diranking hingga diperoleh perlakuan terbaik.
Tabel perhitungan penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan dapat dilihat pada Lampiran
22.

\Tabel 12. Penilaian kepentingan karakteristik minuman fungsional berbasis kumis kucing.
Bobot
Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Nilai (N)
(W)
Kesukaan
Kesukaan terhadap citarasa merupakan parameter
terhadap 5 0.63
organoleptik yang sangat penting dalam minuman.
citarasa
Aktivitas antioksidan merupakan salah satu daya tawar
Aktivitas minuman fungsional, namun umumnya produk
3 0.37
antioksidan minuman yang ada di pasaran sudah menawarkan nilai
fungsional tersebut.
TOTAL 8 1.00

. Minuman dengan perlakuan gula, tanpa pengawet, dan formula 1 (GT1) merupakan minuman
formula terbaik dari hasil pembobotan secara subjektif.

Tabel 13. Skor hasil pembobotan produk dari enam formula terpilih.
Ranking Perlakuan Skor Rata-rata
1 GT1 4.52 2.26
2 GK2 4.37 2.18
3 GN1 3.52 1.76
4 P1T1 3.37 1.68
5 P2T2 2.85 1.42
6 P1N1 2.37 1.18

Keterangan:
GT1: minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, dan formula 1
GN1: minuman yang menggunakan gula, natrium benzoat, dan formula 1
GK2: minuman yang menggunakan gula, kalium sorbat, dan formula 2
P1T1: minuman yang menggunakan pemanis 1, tanpa pengawet, dan formula 1
P2T2: minuman yang menggunakan pemanis 2, tanpa pengawet, dan formula 2
P1N1: minuman yang menggunakan pemanis 1, natrium benzoat, dan formula 1

66
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Citarasa minuman fungsional berbasis kumis kucing dapat diperbaiki dengan kombinasi
ekstrak jeruk x, jeruk y, dan flavor enhancer dengan jumlah total P g dalam 100 ml minuman dan juga
pengendalian variasi pada pemanis dan pengawet. Ekstrak jeruk x dapat memperbaiki citarasa
minuman dari segi rasa. Ekstrak jeruk y dapat memperbaiki citarasa minuman dari segi aroma.
Flavor enhancer dapat meningkatkan citarasa yang disukai dan mengurangi citarasa yang tidak
disukai.
Skor kesukaan terhadap 6 formula minuman terpilih berdasarkan rancangan percobaan hasil
keluaran Design Expert 7.0 dari masing-masing perlakuan berkisar antara 6.78-7.42 dari skala 9.
Penggantian gula dengan pemanis pada formula yang sama dapat menurunkan tingkat penerimaan
minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Penggunaan pengawet natrium benzoat pada formula yang
sama tidak mempengaruhi tingkat penerimaan minuman secara nyata pada taraf α= 0.05. Formula
yang menggunakan pemanis memiliki tingkat penerimaan yang lebih rendah dibandingkan dengan
formula yang menggunakan gula, namun masih memiliki mutu sensori dengan tingkat kesukaan
citarasa antara agak suka dan suka (skor hedonik 6.78-6.86 dari skala 9.00).
Formula terbaik yang dihasilkan berdasarkan metode perbandingan eksponensial adalah
minuman yang menggunakan gula, tanpa pengawet, ekstrak jeruk x sejumlah A g, ekstrak jeruk y
sejumlah B g, & flavor enhancer (P:P) sejumlah C g dalam 100 ml minuman yang memiliki skor
hedonik sebesar 7.42 dan aktivitas antioksidan 605 ppm AEAC.

5.2 SARAN

Pengujian aktivitas antioksidan, aktivitas antidiabetes (inhibisi α-amilse dan α-glukosidase),


dan uji deskripsi terhadap formula minuman terpilih perlu dilakukan agar diperoleh profil formula
minuman yang menyeluruh. Selain itu, pengujian inhibisi α-amilse hendaknya dilakukan dalam
kondisi lingkungan (suhu) terkontrol agar diperoleh data yang lebih valid.

67
DAFTAR PUSTAKA

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists International. 1995. Official Method of Analysis
932.12 Chapter 37 p. 9.
Ahmad M. 2008. Pengaruh Ekstrak Jahe Merah (Zingiber officinale Rubrum) dan Mahkota Dewa
(Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl) Terhadap Penghambatan Proliferasi Sel Leukimia THP-
1 Secara In Vitro [Skripsi]. Bogor: Program sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Anonim. 1976. Brazilin. In: The Merck Index,9th Ed.An Encyclopedia of Chemicals and Drugs. USA:
Merck & Co.,Inc.
Anonim. 1997. Jahe. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Tanaman Rempah dan
Obat.
Anonim. 2006. Mixture design tutorial. In: Design Expert 7 User’s Guide.
Anonim. 2009. Jeruk nipis. http:// www.asiamaya.com. [17 Nov 2009].
Anonim. 2010a. Jeruk nipis. http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_nipis. [30 Jan 2010].
Anonim. 2010b. Jeruk purut. http://id.wikipedia.org/wiki/Jeruk_purut. [30 Jan 2010].
Anonim. 2010c. Ribonucleotides.http://www.chemicalland21.com/lifescience/foco/5%27-RIBONUC-
LEOTIDES.htm. [31 Jan 2010].
Anonim. 2010d. Guanosine_monophosphate . http://en.wikipedia.org/wiki/Guanosine_monophos-
phate. [3 Feb 2010].
Anonim. 2010e. Disodium inosinate. http://en.wikipedia.org/wiki/Disodium_inosinate. [3 Feb 2010].
Azlim AAA, Ahmed JKC, Syed ZI, Mustapha SK, Aisyah MR, Kamarul RK. 2010. Total phenolic
content and primary antioxidant activity of methalonic and ethalonic extract of aromatic plants’
leaves. International Food Research Journal 17:1077-1084.
Baghchi D, Preuss HG, Kehner JP. 2004. Nutraceutical and functional food industries: aspect on
safety and regulatory requirement. Toxicoll. Lett. 150:1-2.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor HK 00.05.52.0685. www.pom.go.id. [1 Okt 2010].
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2004. Keputusan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Pemanis Buatan dalam Produk Pangan No. HK. 00.05.5.1.4547. Jakarta: BPOM RI.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. Jakarta: UI-Press.
Burdock GA. 1991. Flavor and Fragrance Materials. New York: Allured Publishing Co.
[CAC] Codex Alimentarius Commision. 2007. Codex General Standard for Food Additives. Codex
Stan 192-1995, Rev.8-2007.
Cahyadi W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Carpenter RP, Lyon DH, Hasdell TA. 2000. Guidelines for Sensory Analysis in Food Product
Development and Quality Control. Maryland USA: Aspen Publisher.
Cornell JA. 1990. Experiments with Mixtures : Designs, Models, and the Analysis of Mixture Data. 2th
ed. New York: John Wiley and Sons.
Caroll TJ, Kehoe GS, penemu. Nabisco Brands Inc. 1988. Stabilized APM in Comestibles. US Patent
4,774,094. 27 September 1988.
Colombo E, Ghizzoni C, Cagni D. 2002. Citrus oils in food and beverages;uses and analysis. In:Dugo
G, Di Giacomo A.(eds). Citrus. London: Taylor & Francis Group,pp 539-557.
De Cock P, Bechert CL. 2002. Erythritol. Functionality in noncaloric functional beverages. Pure Appl
Chem 74(7):1281-1289.
De Cock P, Bowman C. 2004. Carb Innovations with EridexTM Erythritol. IFT 2004-Las Vegas New
Product and technologies Session.
Departemen Kesehatan RI. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia.
Departemen Kesehatan. 1999. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Kumpulan Peraturan
Perundang-Undangan di Bidang Makanan. Jilid II. Jakarta: Depkes.
De Ross KB, Nederland GBV. 2006. Selecting the right flavorings for a food product. In: Andrew T,
Joanne H. Modifying Flavor in Food. New York: CRC Press.
Diana. 2010. Aktivitas Anti-hiperglikemik dari Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing
(Orthosiphon aristatus BI. Miq) Secara In Vivo dan Ex Vivo [Skripsi]. Bogor: Program sarjana
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

68
Ditjen Pengawasan Obat dan Pangan Departemen Kesehatan RI. 1988. Peraturan menteri Kesehatan
Republik Indonesia No.235 Menkes/Per/VI/79 tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta:
Depkes RI.
Feller PJ. 1985. Evaluation of Quality of Fruits and Vegetables. Westport, Connecticut: AVI
Publishing Co., Inc.
Firmansyah Y. 2003. Formulasi Minuman Instan Fungsional Antioksidan Berbasis Kayu Secang
(Caesalpinia sappan Linn.) Sebagai Pewarna Alami [Skripsi]. Bogor: Program sarjana
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Fuhrman B, Aviram M. 2002. Polyphenol and flavonoids protect LDL against atherogenic
modification. In: Cadenas E, Packer L. (eds). Handbook of Antioxidant. 2nded. New York-
Basel: Marcell Dekker Inc.
Fuke C, Yamahara J, Shimokawa T, Kinjo J, Tomimatsu T, Nohara T. 1985. Two aromatic
compounds related to brazilin from Caesalpinia sappan. Phytochemistry 24: 2403-2405.
Funke I, Melzig MF. 2006. Traditionally used plants in diabetes therapy-phytotherapeutics as
inhibitors of α-amylase activity. Brazilian Journal of Pharmacognosy 16(1):1-5.
Gascon M. 2006. Masking agent for use in. In: Andrew T, Joanne H. (eds). Modifying Flavorin Food.
New York: CRC Press.
Ginting MO. 2004. Pengaruh Kondisi Pengeringan Terhadap Kualitas Serbuk Minuman Labu Kuning
(Cucurbita pepo L.) [Skripsi]. Bogor: Program sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Goldberg I. 1994. Functional Foods, Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. London:
Chapman & Hall.
Groop L, Forsblom C, Lehtovirta M. 1997. Characterization of the prediabetic state. Am J Hypertens
10:172-180.
Hariana A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 1. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hasanah M, Sukarman, Rusmin D. 2004. Teknologi produksi benih jahe. Jurnal Perkembangan
Teknologi 16(1): 9-16.
Herold. 2007. Formulasi Minuman Fungsional Berbasis Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI.
Miq) yang Didasarkan pada Optimasi Aktivitas Antioksidan, Mutu Citarasa, dan Warna
[Skripsi]. Bogor: Program sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hasler CM. 1995. Functional foods: the western perspective. First International Conference on East-
West Perspective on Functional Foods, 26-29 September 1995, Singapore.
Hasler CM. 1998. Functional foods: their role in disease prevention and health promotion. Food
Technology 52(2):57-62.
Ichikawa T. 1994. Functional food in Japan. In: Goldberg, I. (ed). Functional Foods: Designer Foods,
Pharmafoods, Nutraceuticals. USA: Chapman & Hall.
[JECFA] Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. 2005a. Summary of Evaluation
Performed by the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives: Sucralose.
[JECFA] Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. 2005b. Summary of Evaluation
Performed by the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives: Calcium cyclamate.
[JECFA] Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives. 2000. Summary of Evaluation
Performed by the Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives: Aspartame.
Karyadi D. 2000. Ciri fungsional tempe dalam kerangka nilai tambah gizi, kesehatan, pencegahan, dan
pengobatan. Makalah pada Seminar Masa Depan Industri Tempe Menghadapi Milenium
Ketiga, 14 Februari 2000, Jakarta.
Kemp S, Schweppes C. 2006. Development in sweeteners. In: Andrew T, Joanne H. Modifying
Flavorin Food. New York: CRC Press.
Khamsah SM, Akowah G, Zhari I. 2006. Antioxidant activity and phenolic content of Orthosiphon
stamineus Benth from different geographical origin. Journal of sustainability science and
management 1(2):14-20.
Kikuzaki H. 2000. Ginger for drug and spice purposes. In: Mazza G, Oomah BD (eds). Herbs,
Botanicals. and Teas. USA: Technomic Publishing Company.
Kim JS, Kwon CS, Son KH. 2000. Inhibition of alpha-glucosidase and amylase bu luteolin, a
flavonoid. Bioscience, Biotechnology, Biochemistry 64(11):2458-2461.
Kordial N. 2009. Perpanjangan Umur Simpan dan Perbaikan Citarasa Minuman Fungsional Berbasis
Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus BI.Miq) Menggunakan Ekstrak Berbagai Varietas Jeruk
[Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

69
Krishnamoorthy B, Rema J. 2004. End uses of Cinnamon and Cassia. In:Ravindran PN, Babu KN,
Shylaja M (eds). Cinnamon and Cassia. New York: CRC Press.
Kroger M, Melster K, Kava R. 2006. Comprehensive reviews in food science and food safety. Instit
Food Technol 5:35-47.
Kubo I, Masuoka N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant activity of dodecyl gallate. J Agric
Food Chem 50: 3533-3539.
Lawless HT, Heymann H. 1999. Sensory Evaluation of Food. New York: Aspen Publishers, Inc.
Lindsay RC. 1996. Flavors. In: Fennema, OR. (ed). Food Chemistry. 3rded. New York: Marcel Dekker
Inc.
Melcher H, Subroto MA. 2006. Gempur Penyakit dengan Minyak Herbal Papua. PT Agromedia
Pustaka, Jakarta.
Mahendra B. 2005. 13 Jenis Tanaman Obat Ampuh. Jakarta: Penebar Swadaya.
Marcus JB. 2006. Enhancing umami taste in food. In: Andrew T, Joanne H. Modifying Flavorin Food.
New York: CRC Press.
Mccue P, Shetty K. 2004. Inhibitory effects of rosmarinic acid extracts on porcine pancreatic amylase
in vitro. Asia Pac J Clin Nutr 13:101-106.
Meilgaard M, Civille GV, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. 3rded. USA: CRC Press.
Minggawati. 1990. Studi Perbandingan Pengaruh Infus Kombinasi Daun Sambiloto dan Daun Kumis
Kucing (7:1) dengan Infus Kedua Tumbuhan Tersebut dalam Keadaan Tunggal Terhadap
Perubahan Kadar Glukosa Darah Kelinci pada Uji Toleransi Glukosa Oral [skripsi]. Surabaya:
FF WIDMAN.
Molyneaux P. 2004. The use of the stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating
antioxidant activity. Songklanakarin J Sci Technol 26(2):211-219.
Montgomery DC. 2002. Design and Analysis of Experiments. 5thed. Singapore: John Wiley and Sons.
Muchtadi D, Wijaya CH. 1996. Pangan fungsional: pengenalan dan perancangan. Makalah pada
Seminar Makanan Fungsional dan Keamanan Pangan, 8-9 Juli 1996, Yogyakarta.
Muhandiri T, Kadarisman D. 2008.Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press.
Muhlisah F. 2008. Tanaman Obat Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya.
Nelson AL. 2000. Sweeteners Alternative: Practical Guides for The Food Industry. Minnesota: Eagan
Press.
Noordam B, Meijer FR. 2006. New development in yeast extract for use as flavor enhancers. In:
Andrew T, Joanne H. Modifying Flavorin Food. New York: CRC Press.
Peraturan Menteri Kesehatan R.I No.722/Menkes/Per/IX/1988. Bahan Tambahan Pangan.
Perfetti R, Barnett PS, Mathur R, Egan JM. 1998. Novel therapeutic strategies for treatment of type 2
diabetes. Diabetes Metab Rev 14:207-225.
Pszczola DE. 2010. Taste modulation: a new sense. Food Technology 64(1): 44-55.
Rismunandar. 1988. Rempah-rempah:komoditi ekspor Indonesia. Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Roberfroid MB. 2000. Defining Functional foods. In: Glenn GR. & William CM. (eds.). Functional
Food: Concept to Product. Cambridge: Woodhead Publishing Limited.
Rusviani V. 2007. Reformulasi Produk Minuman Tradisional Berbasis Jahe (Zingiber officinale Rose)
Berdasarkan Kajian Penerimaan dan Preferensi Konsumen di Kota Bogor Terhadap Citarasa.
[Skripsi]. Bogor: Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rukmana R. 2000. Jeruk Nipis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sampoerno, Fardiaz D. 2001. Kebijakan dan pengembangan pangan fungsional dan suplememen di
Indonesia. Di dalam: Nuraida L, Haritadi RD (eds). Pangan Fungsional Basis bagi Industri
Pangan Fungsional dan Suplemen. Bogor: Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB.
Saparinto C, Hidayanti D. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Penerbit Kanasius.
Sarwono. 1994. Jeruk dan Kerabatnya. Jakarta: Penebar Swadaya.
Septiatin A. 2008. Apotek Hidup dari Rempah-rempah, Tanaman Hias, dan Tanaman Liar. Yrama
Widya, Bandung.
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro.
Bogor: IPB Press.
Soemartini. 2007. Pencilan (Outlier) [Skripsi]. Jatinangor: Program sarjana Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan-Persyaratan
Penggunaan dalam Produk Pangan. SNI 01-6993-2004. Jakarta: Badan Standardisasi
Nasional.
Stone H, Sidel JL. 2004. Sensory Evaluation Practices. 3rded. California: Elsevier Academic Press.

70
Stumvoll M, Goldstein BJ, Van Haerten TW. 2005. Type 2 diabetes: principles of pathogenesis and
therapy. Lancet 365:1333-1346.
Suarsana IN. 2009. Aktivitas Hipoglikemik dan Antioksidatif Ekstrak Metanol Tempe pada Tikus
Diabetes [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Syukur C. 2008. Karakterisasi tanaman kumis kucing (Orthosiphon) pada lingkungan tumbuh
berbeda. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 14(3):29-31.
Tejasari. 2003. Nilai Gizi Pangan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Thalapaneni NR, Chidambaran KA, Ellappan T, Sabapathi ML, Mandal SC. 2008. Inhibition of
carbohydrate digestive enzyme by Talinum portulacifolium leaf extract. Journal of
Complementary and Integrative Medicine 5(11).
Ting, V.S., dan J.A. Attaway. 1971. Citrus Fruits. Academic Press, London.
Vandercook CE. 1977. Organic acid. In: Nagy S, Shaw PE, Veldliuis MK. Citrus Science and
Technology. Westport: The AVI Publ Co., Inc.
Vankar PS, Tiwari V, Shanker R, dan Srivastava J. 2006. Change in antioxidant activity of spices-
tumeric and ginger on heat treatment. EJEAFChe 5(2):1313-1317.
Verheijj EWM, Coronel RE. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang Dapat
Dimakan. Jakarta:PT Gedia Pustaka Utama.
Weihrauch MR, Diehl V. 2004. Artificial sweeteners-do they bear a carcinogenic risk? Annals of
Oncology 15(10):1460-1465.
[WHO] World Health Organization. 1999. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes
Mellitus and Its Complications: Report of a WHO Consultation. Part 1: Diagnosis and
Classification of Diabetes Mellitus. Geneva: World Health Organization.
[WHO] World Health Organization. 2003. Screening for Type 2 Diabetes: Report of a World Health
Organization and International Diabetes Federation Meeting. Geneva: World Health
Organization.
Wijaya CH. 2007. Pangan fungsional dewasa ini: perkembangan dan tantangan. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Pangan 5(1): 153-177.
Wijaya CH, Achmadi SS, Herold, Indariani S. 2007. Formulasi minuman fungsional berbasis kumis
kucing (Orthosiphon aristatus Bl.Miq) dan proses pembuatannya. IPB Patent P00200700564.
Wijaya CH, Astawan M. 2001. Strategi Jepang dalam pengembangan pangan tradisional sebagai basis
pangan fungsional. Makalah pada Seminar Pangan Tradisional sebagai Basis Industri Pangan
Fungsional dan Suplemen, 14 Agustus 2001, Jakarta.
Wijaya CH, Mulyono N. 2009. Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Bogor: IPB Press.
Wijaya CH, Mulyono N. 2010. Bahan Tambahan Pangan Pemanis. Bogor: IPB Press.
Wijayakusuma H. 2002. Tumbuhan Berkhasiat Obat Indonesia: Seri Rempah, Rimpang, dan Umbi.
Jakarta: Milenia Populer.
Winarno FG, Agustinah W. 2007. Herba dan Rempah bagi Pengobatan, Kosmetika, dan Spa. Bogor:
M-brio Press.
Winarno FG. 2002a. Flavor Bagi Industri Pangan. Bogor: M-brio Press.
Winarno FG. 2002b. Kesehatan, Pangan, Vitalitas. Bogor: M-brio Press.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Edisi Terbaru. Bogor: M-brio Press.
Winarno FG, Kartawidjajaputra F. 2007. Pangan Fungsional dan Minuman Energi. Bogor: M-brio
Press.
Winarti C, Nurdjanah N. 2005. Peluang tanaman rempah dan obat sebagai sumber pangan fungsional.
Jurnal Litbang Pertanian 24(2). www.pustaka-deptan.go.id. [5 Nov 2009].
Yoon JW, Jun HS. 1998. Compounds for the treatment and prevention of diabetes eastwood
biomedical research Inc.[Paten]. Nomor Paten: WO/1998/052587.
Zerrudo JV. 1999. Caesalpinia sappan Linn. In: Lemmens RHMJ, Soetjipto NW (eds). Sumber Daya
Nabati Asia Tenggara 3: Tumbuh-tumbuhan Penghasil Warna dan Tanin. Jakarta-Bogor: Balai
Pustaka dan Prosea.
Zheng W, Wang SY. 2001. Antioxidant activity and phenolic compounds in selected herbs. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 49(11):5165-5170.

71
LAMPIRAN

Lampiran 1. Acuan Formulasi dan Proses Pembuatan (Wijaya et al. 2007)

Sumber yang diperoleh dari website kantor HKI IPB mengenai “formulasi minuman
fungsional berbasis kumis kucing (Orthosiphon aristatus BI.Miq) dan proses pembuatannya”
dapat diketahui bahwa formula minuman fungsional berbasis kumis kucing mengandung campuran
ekstrak kumis kucing (60%), ekstrak jahe (15%), ekstrak secang (10%), ekstrak temulawak (2%), dan
ekstrak lemon (13%) dari total ekstrak yang ditambahkan dalam minuman
Proses pembuatan formula dilakukan dengan cara mencampur ekstrak rempah yang telah
dipersiapkan 10 %(b/v), ditambah dengan beberapa bahan lain seperti larutan stok gula pasir 24
%(b/v), larutan stok CMC 10 ml (0,1 % (v/v) dari konsentrasi akhir), larutan stok natrium benzoat
5000 ppm sebanyak 10 ml ( konsentrasi akhir menjadi 500 ppm), dan air minum hingga total volume
menjadi 100 ml. Formula dapat digunakan sebagai sumber antioksidan dan juga sebagai antilitik batu
ginjal.

72
Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan ekstrak jeruk (Herold 2007)

Buah jeruk utuh

Dicuci bersih

Dibelah dua

Diperas dengan juice extractor jeruk

Disaring dengan kain saring

Ampas (dibuang)

Dimasukkan ke dalam botol yang sudah steril

Ekstrak jeruk

Dibuat segar setiap akan digunakan

73
Lampiran 3. Diagram alir proses pembuatan ekstrak air daun kumis kucing
(Herold 2007, dengan modifikasi)

Daun kumis

Ditimbang daun sebanyak 5.74 g (b.k)

Diblansir dengan air mendidih selama 5 menit

Direbus dengan air mendidih 600 ml selama 10-15 menit dalam panci tertutup dengan api kecil

Disaring vakum (kertas Whatman no. 42)

Ampas (dibuang)

Dipekatkan dengan rotary evaporator hingga volume akhir = 1/3 x volume awal, suhu 65oC
(skala 7.5) dengan kecepatan putar skala 75%

Dibotolkan dalam botol kaca steril

Dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit

Dilakukan proses penurunan suhu secara tajam (shock cooling)

Ekstrak air kumis kucing

Disimpan dalam lemari pendingin sebagai larutan


stok

74
Lampiran 4. Diagram alir proses pembuatan ekstrak jahe (Herold 2007)

Rimpang jahe segar

Dicuci dan disikat dengan sikat plastik

Diiris tipis-tipis (± 3 mm)

Diblansir dalam air mendidih selama 3 menit

Dihancurkan dengan juice extractor tanpa penambahan air

Ekstrak jahe I

Disaring dengan kain saring dan saringan plastik

Ampas padatan kasar


(dibuang)

Ekstrak jahe II

Dibotolkan

Didekantasi dalam lemari pendingin selama semalam (pengendapan pati)

Dipindahkan ke botol steril

Endapan pati (dibuang)

Ekstrak jahe III

Dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit

Dilakukan proses penurunan suhu secara tajam (shock cooling)

Ekstrak jahe (final)

Disimpan dalam lemari pendingin sebagai larutan

75
Lampiran 5. Diagram alir proses pembuatan ekstrak air secang (Herold 2007,
yang dimodifikasi)

Irisan kayu secang

Ditimbang irisan kayu sebanyak 18.16 g (b.k)

Diblansir dengan air mendidih selama 3 menit

Direbus dengan air mendidih 500 ml selama 10-15 menit dalam panci tertutup dengan api kecil

Disaring vakum (kertas Whatman no. 42)

Ampas (dibuang)

Dipekatkan dengan rotary evaporator hingga volume akhir = 1/3 x volume awal, suhu 65oC
(skala 7.5) dengan kecepatan putar skala 75%

Dibotolkan dalam botol kaca steril

Dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit

Dilakukan proses penurunan suhu secara tajam (shock cooling)

Ekstrak air secang

Disimpan dalam lemari pendingin sebagai larutan


stok

76
Lampiran 6. Diagram alir proses pembuatan ekstrak temulawak (Herold 2007)

Rimpang temulawak segar

Dicuci dan disikat dengan sikat plastik

Diiris tipis-tipis (± 3 mm)

Diblansir dalam air mendidih selama 3 menit

Dihancurkan dengan juice extractor tanpa penambahan air

Ekstrak temulawak I

Disaring dengan kain saring dan saringan plastik

Ampas padatan kasar


(dibuang)

Ekstrak temulawak II

Dibotolkan

Didekantasi dalam lemari pendingin selama semalam (pengendapan pati)

Dipindahkan ke botol steril

Endapan pati (dibuang)

Ekstrak temulawak III

Dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit

Dilakukan proses penurunan suhu secara tajam (shock cooling)

Ekstrak temulawak (final)

Disimpan dalam lemari pendingin sebagai larutan

77
Lampiran 7. Diagram alir proses pembuatan larutan stok gula pasir (Prihan-
tini 2003; Krisnayunita 2002)

Gula pasir putih

Ditimbang sebanyak 500 g

Ditambah 250 ml air panas (70-80oC), (perbandingan gula:air = 2:1)

Dipanaskan dalam panic sambil diaduk dengan pengaduk kayu selama ± 5 menit hingga
TPT akhir mencapai 69-72oBrix

Disaring dengan kain saring

Ampas (dibuang)

Dimasukkan ke dalam botol yang sudah disterilkan

Dipasteurisasi pada suhu 75oC selama 30 menit

Dilakukan proses penurunan suhu secara tajam (shock cooling)

Larutan stok gula

Disimpan dalam lemari pendingin

78
Lampiran 8. Diagram alir proses pembuatan larutan stok CMC 1 % (Krisna-
yunita 2002; Sejati 2002)

CMC serbuk

Ditimbang sebanyak 10 g

Dilarutkan dalam 1000 ml air panas 65oC

Diaduk dengan magnetic stirrer di atas hot plate suhu 70-80oC hingga homogen

Dimasukkan ke dalam botol yang sudah disterilkan

Larutan stok CMC 1%

Dibiarkan pada suhu ruang selama semalam

Disimpan dalam lemari pendingin

79
Lampiran 9. Diagram alir pembuatan larutan stok pengawet (Natrium ben-
zoat, kalium sorbat) 5000 ppm (Prihantini 2003; Krisnayunita
2002; Sejati 2002)

Bahan pengawet (serbuk)

Ditimbang sebanyak 5 g

Dilarutkan dalam 1000 ml air minum

Dimasukkan ke dalam botol yang sudah disterilkan

Dipasteurisasi pada suhu 75oC selama 30 menit

Larutan stok pengawet 5000 ppm

Disimpan dalam lemari pendingin

80
Lampiran 10. Diagram alir pembuatan minuman fungsional berbasis kumis
kucing (per 100 ml minuman) (Kordial 2009)

Larutan stok gula Ekstrak rempah Lar. stok CMC & pengawet

Ditimbang sebanyak Ditimbang masing- Diambil sebanyak 10 ml


Bg masing ekstrak rempah dari masing-masing
sesuai formula hingga larutan stok
berat total mencapai
Ag

Dicampurkan dan dimasukkan ke dalam suatu wadah

Ditambahkan air hingga volume total menjadi 100 ml

Diaduk hingga homogen

Dipanaskan sampai ± 80oC

Dikemas dalam botol gelas berwarna gelap

Dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit

Dilakukan proses penurunan suhu secara tajam (shock cooling)

Minuman fungsional berbasis kumis

81
Lampiran 11. Form uji hedonik

FORM UJI KESUKAAN


KUESIONER*) Kode :
1. Apakah Anda pernah mengkonsumsi minuman jahe/minuman berbasis rempah lainnya?
Pernah/ tidak pernah
2. Apakah Anda dapat menerima produk tersebut? Ya/ tidak
*) Coret yang tidak perlu
========================================================================
Instruksi :
1. Ciciplah sampel satu persatu secara berurutan dari kiri ke kanan, diamkan di dalam mulut
selama 3-5 detik, kemudian telan.
2. Pada kolom respon, berikan penilaian Anda berdasarkan tingkat kesukaan terhadap rasa dan
aroma produk dengan memberikan tanda check list ().
3. Netralkan indera pengecap Anda dengan air putih setiap selesai mencicipi satu sampel.
4. Jangan membandingkan tingkat kesukaan antar sampel.
5. Dimohon untuk memberikan komentar Anda dalam ruang yang disediakan.
Respon Citarasa (rasa, aroma, tingkat kemanisan, sensasi hangat, sepat , rasa jamu, rasa jeruk, dan
rasa tertinggal) secara overall
Kode sampel
Respon
332 691 549 855 714 128 277
Amat sangat suka
Sangat suka
Suka
Agak suka
Netral
Agak tidak suka
Tidak suka
Sangat tidak suka
Amat sangat tidak
suka

Komentar : Dari segi aroma , kesan yang timbul : __________________________


Dari segi rasa, tingkat kemanisan, rasa jamu,rasa jeruk : _______________________
Dari segi aftertaste **, kesan yang timbul : _____________________
TERIMA KASIH ATAS KERJASAMA TEMAN-TEMAN.
**aftertaste : sesuatu yang dirasakan di mulut dan tenggorokan setelah menelan minuman.

82
Lampiran 12. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai kesukaan enam formula
minuman terpilih dari masing-masing perlakuan yang memiliki
nilai kesukaan ≥ 6.60
Univariate Analysis of Variance
Between-Subjects Factors

Value Label N
Panelis 1 6
2 6
3 6
4 6
5 6
6 6
7 6
8 6
9 6
10 6
11 6
12 6
13 6
14 6
15 6
16 6
17 6
18 6
19 6
20 6
21 6
22 6
23 6
24 6
25 6
26 6
27 6
28 6
29 6
30 6
31 6
32 6
33 6
34 6
35 6
36 6
37 6
38 6
39 6
40 6
41 6
42 6
43 6
44 6
45 6
46 6
47 6
48 6
49 6
50 6
Sampel 1 A 50
2 B 50
3 C 50
4 D 50
5 E 50
6 F 50

83
Kesimpulan: nilai signifikasi sampel kurang dari α(0.05) maka perbedaan perlakuan pada formula
minuman terpilih berpengaruh nyata terhadap nilai kesukaan minuman pada taraf signifikasi 5%, Oleh
karena itu, uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat signifikasi nilai kesukaan antar minuman
formula terpilih.

Post Hoc Test


Sampel
Homogenous Subsets
Nilai Kesukaan

Kesimpulan: nilai kesukaan sampel E (formula P2T2) tidak berbeda nyata terhadap nilai kesukaan
sampel F (formula P1N1), D (formula P1T1), C (formula GK2), B (formula GN1), tetapi berbeda
nyata terhadap nilai kesukaan sampel A (formula GT1). Nilai kesukaan sampel B (formula GN1)
tidak berbeda nyata terhadap nilai kesukaan sampel A (formula GT1) pada taraf signifikasi 5%.

84
Lampiran 13. Kurva standar asam askorbat dan persamaan regresinya

[] asam askorbat (ppm) Absorbansi (A) Ablanko-Astandar


0(blanko) 0.981 0.000
100 0.713 0.268
300 0.576 0.405
400 0.500 0.481
500 0.293 0.688
800 0.066 0.915

Persamaan regresi linier:


y= a+bx, dengan nilai a= 0.0011 dan nilai b=0.0785
Sehingga didapatkan persamaan regresi:
y= 0.0011x + 0.0785
Nilai R= 0.9811
Nilai R2= 0.9625

Kurva standar asam askorbat (ppm)


1
0.9
0.8
0.7
Absorbansi

0.6
0.5 y = 0.0011x + 0.0785
0.4 R² = 0.9625
0.3
0.2
0.1
0
0 200 400 600 800 1000
Asam askorbat (ppm)

85
Lampiran 14. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antioksidan
minuman kumis kucing berbunga putih dan ungu dari
BALITRO dan PSB

Univariate Analysis of Variance

Kesimpulan: nilai signifikasi sampel kurang dari α(0.05) maka ekstrak kumis kucing yang berbeda
warna bunganya dan tempat penanamannya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
aktivitas antioksidan minuman pada taraf signifikasi 5%. Oleh karena itu, uji lanjut Duncan dilakukan
untuk melihat signifikasi perbedaan aktivitas antioksidan antar ekstrak kumis kucing yang berbeda
warna bunganya dan tempat penanamannya.

86
Post Hoc Test
Sampel
Homogenous Subsets

Kesimpulan: aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing putih PSB tidak berbeda nyata terhadap
aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing ungu Balitro, tetapi berbeda nyata terhadap aktivitas
antioksidan ekstrak kumis kucing putih Balitro dan aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing ungu
PSB. Aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing ungu Balitro tidak berbeda nyata terhadap aktivitas
antioksidan ekstrak kumis kucing putih Balitro, tetapi berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan
ekstrak kumis kucing putih PSB dan aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing ungu PSB. Aktivitas
antioksidan ekstrak kumis kucing putih Balitro tidak berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan
ekstrak kumis kucing ungu PSB, tetapi berbeda nyata terhadap aktivitas antioksidan ekstrak kumis
kucing putih PSB dan aktivitas antioksidan ekstrak kumis kucing ungu Balitro pada taraf signifikasi
5%.

87
Lampiran 15. Skor kesukaan panelis terhadap citarasa 28 model minuman (gula+na-benzoat)
Kode sampel
Panelis
723 448 539 661 394 882 116 138 848 135 339 143 165 513 222 215 655 532 862 797 495 789 662 787 112 487 926 721
1 7 6 5 5 4 5 4 7 6 6 5 6 6 6 7 7 7 7 7 6 6 7 7 6 6 7 7 7
2 7 8 9 9 9 9 9 8 9 9 8 8 8 9 6 7 7 7 8 8 8 5 6 6 6 7 6 5
3 7 4 4 5 4 4 3 5 3 4 7 7 6 7 4 3 6 5 4 5 6 7 4 3 3 6 6 7
4 9 7 7 7 7 7 7 7 6 8 7 7 8 5 6 4 7 7 7 8 4 4 6 4 6 6 5 6
5 7 6 7 8 7 8 6 6 4 7 7 8 4 4 8 8 9 8 6 7 7 6 6 5 3 5 5 6
6 8 9 7 9 9 8 6 8 8 6 7 6 7 8 5 6 5 4 4 3 3 5 3 6 6 7 8 6
7 8 7 6 5 8 4 7 5 6 4 5 4 3 3 7 7 6 5 7 7 4 8 7 6 4 6 6 6
8 8 7 8 8 6 5 6 8 7 6 7 6 6 8 7 7 6 6 6 4 4 8 6 7 5 4 4 3
9 6 5 6 4 3 3 4 7 8 8 7 6 7 8 7 8 8 7 9 9 7 5 7 6 7 7 8 8
10 7 6 7 5 8 8 8 7 8 8 8 7 7 8 7 6 4 3 6 3 6 8 8 4 3 5 5 5
11 3 6 4 3 4 7 8 7 7 4 6 7 7 7 7 7 8 7 6 5 8 8 6 6 6 6 7 5
12 8 8 8 7 8 8 5 8 8 8 8 8 7 8 8 7 5 7 7 6 7 6 4 6 7 8 9 8
13 7 6 6 7 5 7 4 7 8 8 8 7 7 8 6 7 8 8 8 7 7 8 8 9 8 9 9 9
14 8 7 7 8 8 8 8 6 7 6 7 6 6 7 6 7 6 6 7 7 6 9 7 5 1 2 2 4
15 6 7 6 5 7 7 7 7 6 7 7 5 5 6 6 6 5 6 6 7 6 7 7 7 8 6 5 7
16 6 6 6 6 7 7 6 5 6 4 7 7 6 4 9 7 8 5 5 4 4 8 8 7 8 8 8 8
17 7 6 6 6 5 6 7 7 8 7 7 7 7 7 8 7 7 7 7 7 6 7 7 7 8 6 7 7
18 5 4 7 7 6 8 7 7 6 6 6 7 7 8 8 8 7 7 8 7 8 7 4 7 7 4 7 7
19 7 7 7 8 7 8 7 7 6 5 7 7 6 7 7 7 5 6 5 5 5 7 6 5 7 6 7 6
20 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 7 7 8 8 8 8 7 8 7 7 7
21 9 8 8 8 5 5 6 7 7 7 8 7 8 8 7 9 7 8 7 6 7 7 7 7 6 7 9 7
22 7 8 7 6 6 6 7 7 7 7 7 8 7 7 7 7 7 7 7 8 8 7 5 6 7 7 7 6
23 7 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9 8 9 8 9 9 9 9 8 8 6 9 9 7 7 9 9
24 6 4 7 8 7 9 6 7 7 7 7 7 7 7 6 7 7 7 7 7 6 7 7 6 6 7 7 6
25 7 8 7 7 6 6 6 7 7 7 7 7 7 6 8 8 8 7 8 8 8 8 8 8 9 8 8 9
26 5 5 6 5 6 5 5 8 9 8 8 6 6 7 8 8 8 8 9 8 9 6 7 6 7 6 7 8
27 8 8 9 8 7 8 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 6 7 7 7 6
28 8 8 8 8 8 8 8 7 8 8 8 6 7 7 7 8 9 8 7 8 7 8 7 7 7 8 7 7
29 8 8 8 8 7 8 8 7 7 8 7 8 8 7 7 6 9 8 8 6 7 7 6 6 7 7 6 7
30 8 7 8 8 8 7 6 8 8 7 7 7 7 7 6 7 6 7 7 7 6 6 6 4 6 9 8 7
31 8 7 7 9 8 6 6 9 6 8 8 7 8 6 7 7 8 9 9 9 8 9 9 8 9 9 9 9
32 5 6 7 6 7 5 6 7 6 7 7 6 7 5 7 8 7 7 7 6 7 5 4 4 4 6 5 7
33 9 8 8 7 8 6 7 9 8 8 7 8 6 7 7 7 7 8 8 8 7 7 6 7 6 8 7 8
34 4 3 4 3 4 6 4 8 8 8 7 7 7 7 7 8 8 7 7 8 8 6 6 7 5 5 5 6
35 6 7 5 7 7 7 6 7 8 8 6 7 7 7 6 7 6 6 7 6 7 7 6 7 7 8 8 8
36 6 7 7 6 7 7 8 6 7 7 6 6 7 8 6 7 8 7 6 8 7 7 8 6 4 7 6 7
37 7 7 4 7 7 6 6 8 7 6 6 7 6 6 8 8 7 7 8 8 7 8 9 9 9 7 7 7
38 8 7 8 8 8 8 8 9 8 9 9 8 9 9 8 9 9 7 8 9 8 9 8 8 7 8 8 9
39 7 8 8 8 8 8 8 8 9 8 8 9 8 8 9 9 9 9 8 8 8 4 4 3 6 6 6 6
40 9 9 9 9 9 9 9 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 7 6 7 7 7 7 6 7 7 9
41 6 6 7 7 7 8 6 6 8 7 7 8 8 7 8 8 7 7 7 8 8 8 8 7 8 8 8 8
42 4 6 7 7 6 7 7 7 7 7 7 7 7 8 7 7 7 7 7 7 7 7 4 4 3 7 7 4
43 3 6 4 3 4 7 4 7 7 6 7 6 4 6 7 7 6 3 6 7 4 6 7 4 4 8 5 7
44 7 7 8 6 6 6 4 6 7 4 5 3 6 4 7 8 8 7 7 6 6 7 5 4 6 4 5 5
45 4 3 7 6 4 4 6 7 6 6 7 6 7 7 6 6 5 5 5 4 4 6 7 7 6 6 6 6
46 6 6 6 6 6 6 6 6 8 7 9 6 7 6 6 6 6 6 6 6 3 6 7 8 8 6 7 7
47 8 6 7 8 7 7 7 7 7 6 6 7 8 7 6 6 7 7 6 7 4 6 5 6 5 6 6 7
48 8 7 7 7 7 7 6 8 8 8 8 8 8 8 6 8 6 7 6 7 7 8 8 9 9 8 8 8
49 9 9 9 9 9 9 9 7 6 7 6 7 4 4 8 7 9 7 8 7 7 6 7 3 4 4 4 6
50 7 4 6 7 4 7 6 7 8 6 6 7 6 7 6 4 7 8 7 8 8 7 8 7 7 8 8 7
Rataan 6.88 6.62 6.80 6.76 6.58 6.78 6.46 7.12 7.10 6.88 7.06 6.84 6.73 6.82 6.94 7.08 7.06 6.76 6.92 6.78 6.50 6.86 6.49 6.16 6.16 6.59 6.67 6.80
SD 1.53 1.48 1.32 1.56 1.54 1.42 1.46 0.95 1.18 1.32 0.92 1.09 1.19 1.36 0.98 1.19 1.25 1.29 1.16 1.46 1.52 1.19 1.46 1.60 1.82 1.44 1.49 1.38

88
Lampiran 16. Skor kesukaan panelis terhadap citarasa 20 model minuman (pemanis & pengawet, dari 3 formula terbaik uji
hedonik gula+na-benzoat)
Kode Sampel
Panelis
332 691 549 855 714 128 277 963 486 244 585 949 874 611 136 792 323 267 458 882
1 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 7 7 7 7 6 6 6 7 7 7
2 7 8 7 7 8 8 7 8 8 8 7 6 7 8 6 6 7 4 3 3
3 7 7 6 7 7 6 6 6 6 7 7 7 7 7 7 9 9 9 9 9
4 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 7 6 6 7 8 7 6 7 8 6
5 7 7 8 5 8 6 6 6 7 8 7 6 6 6 6 4 7 5 6 4
6 7 5 7 4 3 6 4 4 6 5 8 7 7 8 6 5 5 6 7 4
7 3 4 4 3 4 3 4 4 4 5 5 6 7 7 6 6 4 6 3 3
8 7 7 4 6 7 5 6 5 4 7 6 4 7 7 8 8 5 4 6 4
9 6 7 7 4 5 4 5 6 7 7 8 7 9 9 8 7 8 8 6 9
10 8 7 6 7 6 7 7 6 4 5 7 6 7 6 6 9 7 6 7 8
11 7 6 5 6 8 6 6 8 4 5 7 8 8 8 8 6 6 8 6 6
12 4 5 5 5 7 6 6 6 7 7 5 3 7 7 7 7 5 7 4 4
13 7 7 8 7 8 6 6 7 6 7 9 7 8 9 9 8 8 8 7 8
14 7 7 8 7 6 7 6 7 8 7 7 7 7 7 7 6 6 6 7 7
15 3 4 4 2 4 6 4 4 6 4 7 7 6 7 6 6 6 5 7 6
16 8 7 8 7 7 7 7 7 7 7 4 4 6 6 6 6 7 5 4 3
17 8 7 7 6 6 6 6 5 5 5 8 8 7 6 7 4 4 5 5 3
18 7 7 5 6 7 7 7 6 6 6 7 7 6 6 6 6 6 7 7 6
19 7 7 8 8 8 8 8 7 7 7 7 7 8 8 8 8 8 7 6 6
20 5 6 4 5 6 4 5 3 6 4 6 6 7 7 6 7 6 6 5 5
21 3 6 6 7 3 7 7 2 3 3 7 7 6 8 7 6 7 6 6 6
22 7 6 8 7 9 7 6 7 6 7 7 6 7 7 7 7 8 7 7 9
23 7 8 7 7 7 7 8 7 7 7 7 6 6 8 8 9 6 7 7 7
24 8 8 8 9 9 8 9 8 8 8 7 7 8 8 8 8 8 7 8 8
25 7 8 8 7 6 6 7 8 6 7 8 7 7 6 7 8 7 7 9 8
26 7 7 7 7 8 7 7 7 7 7 4 7 6 5 7 6 7 6 4 5
27 7 7 7 7 7 8 7 7 8 7 8 9 8 9 9 9 8 9 7 9
28 6 7 8 7 7 8 7 6 7 7 6 8 8 7 7 6 8 7 7 8
29 7 7 7 7 6 7 8 6 6 9 8 7 8 8 7 8 8 8 8 8
30 8 8 8 9 9 9 7 9 8 9 9 9 9 9 9 8 9 9 8 9
31 7 7 7 6 7 6 5 5 7 5 6 7 6 6 7 8 7 7 7 6
32 7 7 6 6 8 7 6 8 8 7 8 7 8 7 7 6 6 7 7 7
33 8 5 6 7 6 8 8 8 7 8 7 6 6 8 7 7 5 6 8 7
34 8 7 7 8 8 7 7 6 8 6 8 8 9 9 8 8 9 8 8 8
35 6 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 6
36 7 7 6 7 6 6 7 7 8 6 7 7 7 8 8 7 8 8 7 7
37 7 8 6 7 7 6 6 7 6 7 7 7 8 8 8 7 7 8 7 7
38 8 9 9 9 9 9 9 9 9 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9
39 9 9 9 8 9 8 9 9 8 9 9 8 8 9 9 8 8 8 8 8
40 6 6 6 6 7 5 7 7 7 5 4 5 7 7 7 6 7 7 7 6
41 7 8 8 8 7 9 7 7 7 7 7 7 8 9 8 7 8 8 7 9
42 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 7 7 8 7 7 7
43 7 7 7 7 6 6 6 5 6 7 8 8 8 9 8 9 7 8 6 8
44 7 7 7 5 6 6 7 8 7 8 7 7 9 9 9 7 8 9 8 8
45 3 7 5 5 7 5 5 5 7 5 3 3 6 7 7 7 6 4 3 3
46 4 4 6 6 6 6 4 6 6 6 4 7 6 6 6 6 6 6 6 6
47 7 7 8 7 8 6 8 7 6 8 6 4 7 7 7 8 6 7 6 8
48 6 6 6 6 5 6 6 7 6 6 7 3 7 7 7 6 6 6 3 6
49 8 8 9 7 7 7 7 7 6 7 7 7 8 7 8 7 7 8 8 7
50 7 7 7 7 7 7 6 7 7 7 5 7 7 7 7 7 7 7 4 3
Rataan 6.68 6.86 6.78 6.54 6.82 6.62 6.56 6.52 6.58 6.68 6.78 6.58 7.20 7.42 7.26 6.98 6.86 6.86 6.48 6.48
SD 1.45 1.14 1.34 1.42 1.44 1.28 1.26 1.50 1.28 1.36 1.37 1.42 0.95 1.07 0.96 1.22 1.25 1.31 1.59 1.90

89
Lampiran 17. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai pH enam formula minuman
terpilih dari masing-masing perlakuan

Univariate Analysis of Variance

Kesimpulan: nilai signifikasi sampel kurang dari α(0.05) maka faktor perbedaan perlakuan yang
diberikan pada minuman berpengaruh nyata terhadap nilai pH minuman pada taraf signifikasi 5%. Uji
lanjut Duncan dilakukan untuk melihat signifikasi perbedaan nilai pH terhadap 6 formula terpilih.

90
Post Hoc Test
Sampel
Homogenous Subsets

Kesimpulan: nilai pH sampel 611(GT1) berbeda nyata terhadap nilai pH sampel 691 (P1T1), sampel
585 (P2T2), sampel 138 (GN1), sampel 792 (GK2), dan sampel 714 (P1N1). Nilai pH minuman
sampel 138 (GN1) tidak berbeda nyata terhadap nilai pH sampel 792 (GK2) pada taraf signifikasi
5%.

91
Lampiran 18. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antioksidan enam
formula minuman terpilih dari masing-masing perlakuan

Univariate Analysis of Variance

Kesimpulan: nilai signifikasi sampel kurang dari α(0.05) maka perbedaan perlakuan pada enam
formula minuman terpilih berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan minuman pada taraf
signifikasi 5%. Uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat signifikasi perbedaan nilai aktivitas
antioksidan terhadap 6 formula terpilih.

92
Post Hoc Test
Sampel
Homogenous Subsets

Kesimpulan: nilai aktivitas antioksidan sampel 138 (GN1) berbeda nyata terhadap nilai aktivitas
antioksidan sampel 611(GT1), sampel 585 (P2T2), 691 (P1T1), sampel 792 (GK2), dan sampel 714
(P1N1). Nilai aktivitas antioksidan sampel 611 (GT1) tidak berbeda nyata terhadap nilai aktivitas
antioksidan sampel 585 (P2T2). Nilai aktivitas antioksidan sampel 585 (P2T2) tidak berbeda nyata
terhadap nilai aktivitas antioksidan sampel 691 (P1T1), sampel 792 (GK2), dan sampel 714 (P1N1).
pada taraf signifikasi 5%.

93
Lampiran 19. Data inhibisi α-amilase formula minuman terpilih, standar, dan
gula konsentrasi 1x.

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.045 0.060
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.228 0.237
611 1x (A) 0.473 0.403
2. 148.09 127.12 137.61
611 1x (B) 0.385 0.355

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.045 0.060
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.228 0.237
138 1x (A) 0.519 0.419
2. 186.34 146.90 166.62
138 1x (B) 0.361 0.336

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.045 0.060
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.228 0.237
792 1x (A) 0.458 0.373
2. 113.12 109.04 111.08
792 1x (B) 0.434 0.357

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.034 0.026
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.128 0.031
Std 1x (A) 0.350 0.251
2. 135.11 840.00 487.56
Std 1x (B) 0.317 0.214

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.034 0.026
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.128 0.031
Gula 1x (A) 0.075 0.047
2. 62.77 -20.00 21.39
Gula 1x (B) 0.110 0.053

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.034 0.050
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.128 0.036
691 1x (A) 0.133 0.126
2. 41.49 150.00 95.75
691 1x (B) 0.188 0.133

Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.035 0.050
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.046 0.036
714 1x (A) 0.119 0.087
2. 300.00 221.43 260.72
714 1x (B) 0.097 0.104

94
Absorbansi % Inhibisi
No. Sampel
Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata
Kontrol-(A) 0.035 0.050
1. 0 0 0
Kontrol-(B) 0.046 0.036
585 1x (A) 0.152 0.122
2. -27.27 450.00 211.37
585 1x (B) 0.166 0.171

Keterangan: A= tanpa pemberian enzim


B= dengan pemberian enzim
Rumus: % inhibisi = {(A1-A2) / A1} x 100 %
Keterangan: A1 = Absorbansi kontrol (+) – Absorbansi blanko
A2 = Absorbansi sampel – Absorbansi kontrol (-)
Contoh perhitungan untuk sampel 585 ulangan 1:
A1= 0.228-0.045= 0.183
A2= 0.385-0.473= -0.088
%inhibisi={(0.183-(-0.088))/0.183}x 100%= 148.09 %
Rata-rata=(148.09+127.12)%:2=137.61%

Kode sampel % inhibisi konsentrasi 1x % inhibisi konsentrasi 1x % inhibisi relative


dengan faktor koreksi gula konsentrasi 1x dengan
faktor koreksi gula
611 137.61 116.22 24.93
138 166.62 145.23 31.15
792 111.08 89.69 19.24
Std 487.56 466.17 100.00
Gula 21.39 0.00 0.00
691 95.75 95.75 20.54
714 260.72 260.72 55.93
585 211.37 211.37 45.34

Keterangan:
Perhitungan % inhibisi konsentrasi 1x dengan faktor koreksi gula, hanya formula 611, 138, dan 792
yang % inhibisinya dikurangkan dengan %inhibisi gula. Adapun formula 691, 714, dan 585 tidak
dikurangkan dengan % inhibisi gula, dikarenakan formula tersebut menggunakan pemanis.
Contoh perhitungan % inhibisi relatif konsentrasi 1x dengan faktor koreksi gula untuk sampel 611=
(116.22/466.17)x100%= 24.93%.

95
Lampiran 20. Hasil analisis ragam (ANOVA) nilai aktivitas antidiabetes
minuman formula terpilih, minuman standar, dan larutan gula
konsentrasi 1x

Univariate Analysis of Variance

Kesimpulan: nilai signifikasi sampel lebih dari α(0.05) maka perbedaan perlakuan pada enam formula
minuman terpilih tidak berpengaruh nyata terhadap persentase inhibisi relatif minuman pada taraf
signifikasi 5%.

96
Lampiran 21. Pembuatan model minuman sesuai rancangan percobaan dengan kombinasi beberapa perlakuan

I Perbaikan citarasa:
Jenis ekstrak (jeruk x dan jeruk y)
Jenis flavor enhancer (flavor enhancer 1 atau flavor enhancer 2) Rancangan
percobaan keluaran
Design expert 7.0

14 formula

Pemilihan formula didasarkan 14 flavor enhancer 1


II 3 formula paling
perlakuan flavor enhancer disukai:
28 formula
2 flavor enhancer 1
14 flavor enhancer 2 1 flavor enhancer 2

III Perlakuan dengan gula (9)


Na-benzoat = 3
Pengawet 6
3(gula) Kalium sorbat =3
Non Pengawet 3

*III

97
*III Perlakuan dengan pemanis (12)
Na-benzoat = 3
3
Pengawet
Pemanis 1 Kalium sorbat = 0**
Non Pengawet 3

Na-benzoat = 3
3
Pengawet
Pemanis 2 Kalium sorbat = 0***
Non Pengawet 3

Pemilihan formula terpilih dari Uji antioksidan


6 formula Penentuan peringkat
IV masing-masing perlakuan dan
(diukur pH-nya) berdasarkan metode
penentuan peringkat berdasarkan
MPE
metode MPE
Uji antidiabetes

** dan ***: tidak dilakukan karena pada penggunaan gula dan kalium sorbat nilai kesukaannya lebih rendah dibandingkan dengan gula dan natrium benzoat

98
Lampiran 22. Perhitungan penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan

No. Parameter N. Kepen- Bobot GT1 GN1 GK2 P1T1 P2T2 P1N1
tingan A N B A N B A N B A N B A N B A N B
1 Kesukaan citarasa 5 0.63 7.42 6 3.78 7.12 5 3.15 6.98 4 2.52 6.86 3 1.89 6.78 1 0.63 6.82 2 1.26
2 Aktivitas antioksidan 3 0.37 606 2 0.74 414 1 0.37 685 5 1.85 679 4 1.48 727 6 2.22 658 3 1.11
(ppm AEAC)
Total 8 1 8 4.52 6 3.52 9 4.37 7 3.37 7 2.85 5 2.37
Rata-rata 2.26 1.76 2.18 1.68 1.42 1.18
Urutan rangking 1 3 2 4 5 6

Nilai peringkat: Keterangan:


6 = peringkat terbaik pertama G = gula T = tanpa pengawet 1 = formula 1
5 = peringkat terbaik kedua P1 = pemanis 1 N = natrium benzoat 2 = formula 2
4 = peringkat terbaik ketiga P2 = pemanis 2 K = kalium sorbat
3 = peringkat terbaik keempat
2 = peringkat terbaik kelima A = nilai hasil analisa
1 = peringkat terbaik keenam N = nilai peringkat
B = hasil perkalian antara bobot dengan nilai peringkat

99

You might also like