Professional Documents
Culture Documents
Pelindungan Hak Pekerja Perempuan
Pelindungan Hak Pekerja Perempuan
Sali Susiana
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta
Abstract: The rights of women workers have been guaranteed in the constitution, several laws, and some of
its implementing regulations. In the constitution, the equal rights of women to work and receive appropriate
treatment are provided in Article 27 and Article 33. Some of the laws and regulations governing the rights of
women workers, among others, are Law Number 13 of 2003 on Manpower, Law Number 8 of 1981 on Wage
Protection, Regulation of the Minister of Manpower No. 8 Per-04 / Men / 1989 on the Terms of Night Work and
Procedures of Hiring Women Workers at Night, and Decree of the Minister of Manpower and Transmigration
No. Kep. 224 / Men / 2003 on Obligations of Employers Employing Female Workers between 23:00 to 07.00.
The rights of female workers to include: protection of working hours, protection during menstruation, protection
during pregnancy and childbirth, including when female workers experience miscarriage (maternity leave and
delivery), provision of breastfeeding sites (breastfeeding rights and / or milking), work competence rights, as well
as medical rights during pregnancy and post-natal period. The rights guaranteed are in line with the international
conventions regulating the rights of women workers required by the Convention on the Elimination of All Forms
of Discrimination Against Women (CEDAW) which has been ratified by Law Number 7 of 1984 and several other
relevant conventions. Exercising feminism perspective, this study concludes that not all women workers' rights
can be met, whether caused by internal factors or external factors. Internal factors contributed within the women
workers themselves. Their lack of knowledge and understanding about their own rights. Whereas, influencing
external factors are the existence of patriarchal culture, the marginalization in work, the stereotype of women,
and lack of socialization.
Keywords: employment, protection, women workers, women workers rights.
Abstrak: Hak pekerja perempuan telah dijamin dalam konstitusi, undang-undang, dan beberapa peraturan
pelaksananya. Dalam konstitusi, persamaan hak perempuan untuk bekerja dan mendapat perlakuan yang layak
terdapat dalam Pasal 27 dan Pasal 33. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur hak pekerja
perempuan antara lain: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Pelindungan Upah, Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 Per-04/Men/1989
tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam Hari,
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha
yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Hak pekerja
perempuan tersebut antara lain: pelindungan jam kerja, pelindungan dalam masa haid (cuti haid), pelindungan
selama hamil dan melahirkan, termasuk ketika pekerja perempuan mengalami keguguran (cuti hamil dan
melahirkan), pemberian lokasi menyusui (hak menyusui dan/atau memerah ASI), hak kompetensi kerja, hak
pemeriksaan selama masa kehamilan dan pasca-melahirkan. Jaminan hak tersebut sejalan dengan konvensi
internasional yang mengatur tentang hak pekerja perempuan yang terdapat dalam Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 dan beberapa konvensi terkait lainnya. Dengan perspektif feminisme, studi ini menyimpulkan bahwa
sampai saat ini belum semua hak pekerja perempuan tersebut dapat dipenuhi, baik yang disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Faktor internal tampak pada masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman
pekerja perempuan mengenai hak yang dimiliknya. Sementara faktor eksternal tampak pada: adanya budaya
patriarki, marginalisasi dalam pekerjaan, adanya stereotype kepada perempuan, dan kurangnya sosialisasi.
Kata kunci: ketenagakerjaan, pelindungan, pekerja perempuan, hak pekerja perempuan.
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 207
Pendahuluan 8,7%. Karyawan perempuan juga menerima upah
Persamaan hak pekerja laki-laki dan pekerja yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki,
perempuan dijamin dalam konstitusi. Undang- yaitu hanya sekitar 77,8% dari upah yang diterima
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun karyawan laki-laki.
1945 (UUD 1945) Pasal 28D ayat (2) menegaskan, Data lain juga menunjukkan bahwa jumlah
setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat pekerja perempuan di Indonesia mengalami
imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam peningkatan setiap tahun. Persentase jumlah pekerja
hubungan kerja. Dalam hal ini negara menjamin perempuan mencapai 50% lebih dibandingkan
adanya perlakuan yang adil terhadap para pekerja, jumlah pekerja laki-laki. Pada sektor tertentu seperti
baik dalam hal jenis pekerjaan, penempatan jabatan jasa kemasyarakatan, jumlah pekerja perempuan
dalam bekerja, maupun pemberian upah. hampir menyamai jumlah pekerja laki-laki. Data
Meskipun secara normatif terdapat kesamaan dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) juga
hak antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki, menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah pekerja
tetapi kondisi perempuan di bidang ketenagakerjaan perempuan meningkat setiap tahunnya, di mana
secara umum sampai saat ini masih jauh dari harapan, pada tahun 2015, sebanyak 38% dari 120 juta
baik dilihat secara kuantitas maupun kualitas. pekerja di Indonesia adalah perempuan.
Masih terjadi ketimpangan gender dalam bidang Apabila secara yuridis formal jaminan
ketenagakerjaan antara pekerja perempuan dengan terhadap hak pekerja perempuan telah diatur dalam
pekerja laki-laki. Ketimpangan gender dalam konstitusi, menjadi pertanyaan kemudian bagaimana
bidang ketenagakerjaan tersebut dapat diketahui pengaturan mengenai pelindungan hak-hak pekerja
dengan melihat Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja perempuan tersebut dalam undang-undang tentang
(TPAK) perempuan dan laki-laki. Data dari Badan ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya?
Pusat Statistik menunjukkan, masih ada kesenjangan Apakah substansi berbagai ketentuan tersebut
yang tinggi antara TPAK berdasarkan jenis kelamin telah mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan
pada Februari 2017. TPAK laki-laki pada Februari pekerja perempuan yang memiliki karakteristik yang
2017 sebesar 83,05%, turun dibandingkan periode berbeda dengan pekerja laki-laki? Untuk menjawab
yang sama tahun lalu sebesar 83,46%. TPAK pertanyaan tersebut, tulisan ini berusaha untuk
perempuan hanya 55,04%, tetapi meningkat menganalisis pengaturan mengenai pelindungan
dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar hak-hak pekerja perempuan yang terdapat dalam
52,71%. Namun dibandingkan periode yang sama undang-undang tentang ketenagakerjaan dan
tahun lalu, TPAK perempuan mengalami kenaikan peraturan pelaksananya yang memuat substansi
sebesar 2,33% poin, sementara TPAK laki-laki mengenai hak pekerja perempuan yang telah diatur
justru mengalami penurunan sebesar 0,41% poin. dalam konstitusi. Pengaturan tersebut terdapat pula
Data BPS juga menunjukkan bahwa jumlah dalam Convention on the Elimination of All Forms
penduduk bekerja meningkat 6,13 juta dibandingkan of Discrimination Against Women (Konvensi
dengan per Agustus 2016. Jumlah angkatan kerja CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang-
Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta Undang Nomor 7 Tahun 1984 dan konvensi terkait
orang. Ada pun per Februari 2017 terdapat 124,54 lainnya. Konvensi tersebut, antara lain: Konvensi
juta yang bekerja, naik 6,13 juta orang dibandingkan Nomor 100 tentang Pengupahan yang Sama bagi
keadaan semester lalu, dan bertambah 3,89 juta Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang
orang dibanding Februari 2017. Sementara itu Sama Nilainya (diratifikasi dengan Undang-Undang
terdapat 7,01 juta penduduk yang menganggur. Nomor 80 Tahun 1957), Konvensi Nomor 111
Dibandingkan dengan TPAK perempuan tahun tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
2011, TPAK perempuan pada tahun 2017 tersebut (diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 21
relatif tidak mengalami peningkatan. Pada tahun Tahun 1999), dan Konvensi ILO Nomor 183 Tahun
2011, TPAK laki-laki sebesar 84,9%, sementara 2000 tentang Maternity Protection (Konvensi ILO
TPAK perempuan 55,1%. Dengan demikian, mengenai Perlindungan Maternitas).
selama kurang lebih 6 tahun, TPAK perempuan Tulisan ini diawali dengan paparan tentang
hanya bertambah sekitar 0,06%. Data BPS pada konsep pelindungan tenaga kerja secara umum,
tahun yang sama mencatat bahwa 39% penduduk pengaturan pelindungan pekerja perempuan yang
berusia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah terdapat dalam berbagai peraturan perundang-
perempuan, dan sepertiganya merupakan pekerja undangan, termasuk konvensi internasional tentang
keluarga yang secara ekonomi tidak mendapatkan hak pekerja perempuan, dan ditutup dengan
imbalan jasa. Angka ini lebih besar dibandingkan implementasi pelindungan hak pekerja perempuan.
dengan pekerja keluarga laki-laki yang hanya Perspektif feminisme dalam tulisan ini tidak
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 209
(1)
Negara-negara Peserta wajib membuat boleh mengadakan diskriminasi antara buruh laki-
peraturan-peraturan yang tepat untuk laki dan buruh perempuan untuk pekerjaan yang
menghapus diskriminasi terhadap wanita di sama nilainya. Lebih lanjut dalam penjelasan
lapangan kerja guna menjamin hak-hak yang Pasal 3 tersebut, dinyatakan bahwa yang dimaksud
sama atas dasar persamaan antara pria dan dengan tidak boleh mengadakan diskriminasi ialah
wanita, khususnya: bahwa upah dan tunjangan lainnya yang diterima
a. .... oleh buruh pria sama besarnya dengan upah
d. Hak untuk menerima upah yang sama, dan tunjangan lainnya yang diterima oleh buruh
termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya.
perlakuan yang sama sehubungan dengan Terkait dengan jaminan upah yang sama
pekerjaan yang sama nilainya maupun antara pekerja perempuan dan laki-laki, selain
persamaan perlakuan dan penilaian diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d Konvensi
kualitas pekerjaan; CEDAW, ketentuan tersebut juga terdapat dalam
e. Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam konvensi ketenagakerjaan internasional yang telah
hal pensiun, pengangguran, sakit cacat, diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, antara lain:
lanjut usia, serta lain-lain ketidakmampuan Konvensi No. 100 tentang Pengupahan yang Sama
untuk bekerja, hak atas cuti yang dibayar; bagi Laki-Laki dan Perempuan untuk Pekerjaan
f. Hak atas pelindungan kesehatan dan yang Sama Nilainya (diratifikasi dengan Undang-
keselamatan kerja, termasuk usaha Undang No.80 Tahun 1957) dan Konvensi No. 111
pelindungan terhadap fungsi reproduksi. tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
(diratifikasi dengan Undang-Undang No. 21 Tahun
Dapat dilihat bahwa Pasal 11 ayat (1) tersebut
1999).
telah mengakomodasi ketiga jenis pelindungan,
Beberapa isu pokok tenaga kerja perempuan
yaitu pelindungan ekonomis, pelindungan sosial,
selain berkaitan dengan upah dan diskriminasi yaitu
dan pelindungan teknis. Khusus untuk pekerja
tentang jaminan sosial, pelindungan kehamilan,
perempuan, pelindungan terhadap fungsi reproduksi
bekerja pada malam hari, pemutusan hubungan
sebagaimana diatur dalam huruf f merupakan salah
kerja, serta keselamatan dan kesehatan kerja.
satu bentuk pelindungan teknis yang terkait dengan
Beberapa isu tersebut juga telah diatur dalam UU
keselamatan dan kesehatan kerja.
Ketenagakerjaan, misalnya larangan untuk bekerja
pada malam hari (Pasal 76); pelindungan fungsi
Pelindungan Pekerja Perempuan dalam
reproduksi (Pasal 81); dan pelindungan kehamilan
Undang-Undang dan Peraturan Lainnya
[Pasal 82 ayat (1)].
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28D ayat
Khusus tentang pelindungan untuk pekerja
(2) UUD 1945, setiap orang berhak untuk bekerja
perempuan, terdapat beberapa ketentuan dalam
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan
undang-undang dasar, undang-undang, dan
layak dalam hubungan kerja. Bagaimana kemudian
peraturan pelaksananya. Dalam UUD 1945
dengan pengaturannya dalam undang-undang dan
tercantum bahwa setiap orang berhak untuk bekerja
peraturan pelaksananya? Kebijakan ketenagakerjaan
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
dan layak dalam hubungan kerja. Ini artinya pekerja
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU
perempuan juga berhak mendapatkan hak yang sama
Ketenagakerjaan). Dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU
dengan kaum laki laki terkait perlakuan yang layak.
Ketenagakerjaan dinyatakan adanya kesamaan hak
UUD tersebut merupakan satu bentuk peraturan
tanpa diskriminasi antara tenaga kerja laki-laki
yang melindungi hak pekerja secara umum. Hal ini
dan tenaga kerja perempuan di pasar kerja seperti
diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang
berikut: Pasal 5: “Setiap tenaga kerja memiliki
Dasar 1945. Selain itu, hak pekerja perempuan
kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
juga diatur dalam beberapa undang-undang dan
memperoleh pekerjaan”. Pasal 6: “Setiap pekerja/
peraturan pelaksananya, yaitu:
buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama
a. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tanpa diskriminasi dari pengusaha”.
tentang Ketenagakerjaan;
Selanjutnya, ketentuan dalam UU
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Ketenagakerjaan tersebut diatur secara lebih rinci
Pelindungan Upah;
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981
c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 8
tentang Perlindungan Upah (PP Perlindungan
Per-04/Men/1989 tentang Syarat-syarat Kerja
Upah). Pasal 3 PP Perlindungan Upah menegaskan
Malam dan Tata Cara Mempekerjakan Pekerja
bahwa Pengusaha dalam menetapkan upah tidak
Perempuan pada Malam Hari;
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 211
Pemberian Lokasi Menyusui (Hak Menyusui dan/ 2) Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana
atau Memerah ASI) dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui
Pasal 83 Undang-Undang Nomor 13 Tahun sertifikat kompetensi kerja;
2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur masalah ibu 3) Sertifikat kompetensi kerja sebagaimana
yang sedang menyusui. Setelah melahirkan, seorang dimaksud dalam ayat (2) dapat pula diikuti
pekerja perempuan harus menyusui anaknya. Hal oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman;
ini juga diatur dalam hukum internasional dan 4) Untuk melakukan sertifikat kompetensi kerja
nasional. Pasal 83 Undang-Undang No. 13 Tahun dibentuk badan nasional sertifikat profesi yang
2003 mengatur bahwa pekerja perempuan yang independen. Pembentukan badan nasional
masih menyusui anaknya harus diberi kesempatan, sertifikat profesi yang independen sebagaimana
minimal diberi waktu untuk memerah ASI pada dimaksudkan dalam ayat (4) diatur dengan
waktu jam kerja. Dalam hal ini seharusnya setiap Peraturan Pemerintah.
perusahaan menyediakan ruangan untuk memerah
Larangan melakukan PHK terhadap Pekerja
ASI. Pasal 10 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000
Perempuan
mengatur lebih detail bahwa pekerja perempuan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
yang menyusui memiliki hak untuk satu atau lebih
Ketenagakerjaan melarang perusahaan melakukan
jeda di antara waktu kerja atau pengurangan jam
pemutusan hubungan kerja (PHK) karena alasan
kerja setiap harinya untuk menyusui bayinya atau
pekerja perempuan hamil, melahirkan, keguguran,
memerah ASI. Sesuai rekomendasi WHO, masa
maupun menyusui seperti yang tercantum dalam
menyusui tersebut sekurang-kurangnya selama 2
Pasal 153 ayat (1) huruf e. Ketentuan yang terdapat
tahun. Dalam praktiknya. pemberian kesempatan
pada Pasal 153 ayat (2) pada undang-undang tersebut
kepada pekerja perempuan yang anaknya masih
juga mengatur jika PHK dilakukan karena pekerja
menyusui untuk menyusui anaknya hanya efektif
hamil adalah batal demi hukum dan perusahaan
untuk yang lokasinya dekat dengan perusahaan.
wajib mempekerjakannya kembali.
Waktu Istirahat Larangan tersebut juga diatur dalam Peraturan
Pekerja berhak atas waktu istirahat yang telah Menteri Tenaga Kerja No. 03/Men/1989 yang
diatur dalam Pasal 79 ayat (2) yang meliputi waktu menyatakan adanya larangan melakukan PHK
istirahat untuk: terhadap pekerja perempuan dengan alasan berikut:
1) Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya 1) Pekerja perempuan menikah;
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) 2) Pekerja perempuan sedang hamil;
jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut 3) Pekerja perempuan melahirkan.
tidak termasuk jam kerja;
Larangan tersebut merupakan bentuk
2) Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam)
perlindungan bagi pekerja perempuan sesuai
hari kerja dalam seminggu atau 2 (dua) hari
kodrat, harkat, dan martabatnya dan merupakan
untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu;
konsekuensi logis dengan diratifikasinya Konvensi
3) Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua
ILO No. 100 dan Nomor 111 tentang Diskriminasi.
belas) hari kerja setelah pekerja bekerja selama
12 (dua belas) bulan secara terus menerus; Hak atas Pemeriksaan Kesehatan, Kehamilan,
4) Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) dan Biaya Persalinan
bulan apabila pekerja telah bekerja selama Terdapat 4 dasar hukum yang memberikan
6 (enam) tahun secara terus menerus pada pelindungan pekerja perempuan atas pemeriksaan
perusahaan yang sama dengan ketentuan kesehatan, kehamilan, dan biaya persalinan, yaitu:
pekerja tersebut tidak berhak lagi istirahat 1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan. tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS);
Pengakuan Kompetensi Kerja
2) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi
2003 menyatakan bahwa:
Administratif kepada Pemberi Kerja Selain
1) Seorang tenaga kerja perempuan berhak
Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain
memperoleh pengakuan kompetensi kerja
Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan
setelah mengikuti pelatihan kerja yang
Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial;
diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja
3) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta,
tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor
atau pelatihan di tempat kerja;
12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 213
1957 tentang Upah yang Setara dan Pengupahan 2) Untuk mencegah diskriminasi terhadap
bagi Pekerja Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan perempuan atas dasar perkawinan atau
yang Sama Nilainya. Disebutkan dalam konvensi kehamilan dan untuk menjamin hak efektif
itu, “Pengupahan meliputi upah atau gaji biasa, mereka untuk bekerja, negara-negara peserta
pokok atau minimum dan pendapatan-pendapatan wajib membuat peraturan-peraturan yang tepat:
tambahan apa pun juga, yang harus dibayar secara a. Untuk melarang, dengan dikenakan
langsung atau tidak, maupun secara tunai atau sanksi pemecatan atas dasar kehamilan
dengan barang oleh pengusaha dengan buruh atau cuti hamil dan diskriminasi
berhubung dengan pekerjaan buruh”. dalam pemberhentian atas dasar status
Dalam Convention on the Elimination of perkawinan;
All Forms of Discrimination Againts Women b. Untuk mengadakan peraturan cuti hamil
(CEDAW) yang telah diratifikasi dengan Undang- dengan bayaran atau dengan tunjangan
Undang No. 7 Tahun 1984, diatur beberapa aspek sosial yang sebanding tanpa kehilangan
yang terkait dengan hak perempuan untuk bekerja pekerjaan semula;
dan kewajiban negara untuk menjamin hak tersebut. c. Untuk menganjurkan pengadaan pelayanan
Hal itu terdapat dalam Pasal 11 yang menyatakan sosial yang perlu guna memungkinkan
bahwa: para orang tua menggabungkan
1) Negara-negara peserta wajib membuat kewajiban-kewajiban keluarga dengan
peraturan-peraturan yang tepat untuk tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam kehidupan masyarakat, khususnya
dilapangan pekerjaan guna menjamin hak-hak dengan meningkatkan pembentukan dan
yang sama atas dasar persamaan antara laki- pengembangan suatu jaringan tempat-
laki dan perempuan, khususnya: tempat penitipan anak;
a. Hak untuk bekerja sebagai hak asasi d. Untuk memberi pelindungan khusus
manusia; kepada kaum perempuan selama
b. Hak atas kesempatan kerja yang sama, kehamilan pada jenis pekerjaan yang
termasuk penerapan kriteria seleksi yang terbukti berbahaya bagi mereka.
sama dalam penerimaan pegawai; 3) Perundang-undangan yang bersifat melindungi
c. Hak untuk memilih dengan bebas profesi sehubungan dengan hal-hal yang tercakup
dan pekerjaan, hak untuk promosi, jaminan dalam pasal ini wajib ditinjau kembali secara
pekerjaan dan semua tunjangan serta berkala berdasar ilmu pengetahuan dan
fasilitas kerja, hak untuk rnemperoleh tehnologi, serta direvisi, dicabut, atau diperluas
pelatihan kejuruan dan pelatihan ulang menurut keperluan.
termasuk masa kerja sebagai magang,
Ada pun yang terkait dengan hak reproduksi
pelatihan kejuruan lanjutan, dan pelatihan
pekerja perempuan diatur dalam Pasal 12 Konvensi
ulang lanjutan;
CEDAW, yaitu:
d. Hak untuk menerima upah yang sama,
1) Negara-negara peserta wajib membuat
termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk
peraturan-peraturan yang tepat untuk
perlakuan yang sama sehubungan dengan
menghapus diskriminasi terhadap perempuan
pekerjaan dengan nilai yang sama;
di bidang pemeliharaan kesehatan dan supaya
e. Hak untuk menerima upah yang sama,
menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan
termasuk tunjangan-tunjangan, baik untuk
termasuk pelayanan yang berhubungan dengan
perlakuan yang sama sehubungan dengan
keluarga berencana, atas dasar persamaan
pekerjaan dengan nilai yang sama, maupun
antara laki-laki dan perempuan.
persamaan perlakuan dalam penilaian
2) Sekalipun terdapat ketentuan pada ayat (1)
kualitas pekerjaan;
ini, negara-negara peserta wajib menjamin
f. Hak atas jaminan sosial, khususnya dalam
kepada perempuan pelayanan yang layak
hal pensiun, pengangguran, sakit, cacat,
berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan
lanjut usia, serta lain-lain ketidakmampuan
masa sesudah persalinan, dengan memberikan
untuk bekerja, hak atas masa cuti yang
pelayanan cuma-cuma di mana perlu, serta
dibayar;
pemberian makanan bergizi yang cukup selama
g. Hak atas pelindungan kesehatan dan
kehamilan dan masa menyusui.
keselamatan kerja, termasuk usaha
pelindungan terhadap fungsi melanjutkan Selain itu, terdapat Konvensi ILO Nomor
keturunan. 183 Tahun 2000 tentang Maternity Protection
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 215
Implementasi Pelindungan Hak Pekerja Marginalisasi dalam Pekerjaan
Perempuan Marginalisasi secara umum dapat diartikan
Meskipun secara normatif hak pekerja sebagai proses penyingkiran perempuan dalam
perempuan telah dijamin dalam berbagai pekerjaan. Sebagaimana dikutip oleh Saptari
peraturan perundang-undangan maupun konvensi menurut Alison Scott, marginalisasi dalam dilihat
internasional, tetapi sampai saat ini implementasinya empat bentuk yaitu: (1) Proses pengucilan,
masih belum sesuai dengan harapan. Syamsuddin perempuan dikucilkan dari kerja upahan atau jenis
(2004) sebagaimana dikutip oleh Uli (2005:90) kerja tertentu; (2) Proses pergeseran perempuan ke
menyatakan bahwa perlakuan diskriminatif terhadap pinggiran (margin) dari pasar tenaga kerja, berupa
pekerja perempuan telah terjadi sejak proses kecenderungan bekerja pada jenis pekerjaan yang
rekrutmen. Hal ini dapat dilihat dari pengumuman memiliki hidup yang tidak stabil, upahnya rendah,
penerimaan kerja atau lowongan pekerjaan yang dinilai tidak atau kurang terampil; (3) Proses
memberikan syarat tertentu, seperti mencari tenaga feminisasi atau segregasi, pemusatan perempuan
kerja perempuan yang belum menikah, berparas pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan),
menarik, dan bersedia tidak menikah dalam satu atau pemisahan yang semata-mata dilakukan oleh
waktu tertentu. Bentuk pengumuman seperti itu, perempuan saja atau laki-laki saja; (4) Proses
menurut penulis, tentu akan membatasi peluang ketimpangan ekonomi yang mulai meningkat yang
perempuan yang membutuhkan pekerjaan untuk merujuk di antaranya perbedaan upah.
melamar atau mengisi lowongan pekerjaan. Marginalisasi ini merupakan proses pemiskinan
Diskriminasi juga bisa dalam bentuk adanya perempuan terutama pada masyarakat lapisan
pembatasan persyaratan jabatan yang mengarah bawah yang kesejahteraan keluarga mereka sangat
pada diskriminasi jenis kelamin. Persyaratan memprihatinkan. Marginalisasi perempuan tidak
dalam lowongan pekerjaan misalnya, masih saja terjadi di tempat pekerjaan akan tetapi juga
banyak sekali yang mempersyaratkan jenis dapat terjadi dalam rumah tangga, masyarakat,
kelamin tertentu, walaupun jika dikaji lebih lanjut, kultur, dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap
karakter pekerjaan atau jabatan tersebut tidak khas perempuan sudah terjadi dalam rumah tangga
untuk mempersyaratkan jenis kelamin tertentu dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga
(Syamsuddin (2004) sebagaimana dikutip oleh Uli yang laki-laki dan perempuan.
(2005:90). Artinya, bahwa pekerjaan atau jabatan
Kedudukan Perempuan yang Subordinat dalam
tersebut tidak mempunyai karakter yang khas sebagai
Sosial dan Budaya
syarat diperbolehkannya dilakukan pengecualian
Peran gender dalam masyarakat ternyata
atau pengalamanan mengenai pekerjaan tertentu
juga dapat menyebabkan subordinasi terhadap
yang didasari persyaratan khas dari pekerjaan itu,
perempuan terutama dalam pekerjaan. Anggapan
sehingga tidak dianggap sebagai diskriminasi,
bahwa perempuan itu irrasional atau emosional
misalnya pekerjaan sebagai artis di mana pemeran
menjadikan perempuan tidak bisa tampil sebagai
utama pria tentu harus seorang laki-laki.
pemimpin, dan ini berakibat pada munculnya
Selanjutnya diskriminasi ini akan berlanjut
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi
dalam penempatan posisi pegawai atau promosi.
yang kurang penting. Subordinat dapat terjadi
Banyak ditemukan peluang jabatan strategis yang
dalam segala bentuk yang berbeda dari tempat
terdapat di pasar kerja cenderung diperuntukkan
ke tempat dan dari waktu ke waktu. Berkaitan
bagi pekerja laki-laki. Jabatan bagi pekerja
dengan pekerjaan, tempat-tempat kerja tertutup
perempuan biasanya tersegmentasi pada jenis-
untuk perempuan dalam angkatan bersenjata atau
jenis jabatan yang berkaitan dengan administrasi,
kepolisian. Potensi perempuan sering dinilai secara
keuangan dan hubungan masyarakat. Sedangkan
tidak fair. Hal ini mengakibatkan perempuan sulit
jabatan yang berkarakter teknis dan operasional
untuk menembus posisi strategis dalam komunitas
selalu diperuntukkan bagi pekerja laki-laki. Pekerja
yang berhubungan dengan pengambilan keputusan.
perempuan selalu diposisikan pada jenis-jenis
Perempuan di sektor pertanian pedesaan, mayoritas
jabatan yang tidak memberikan keputusan final.
di tingkat buruh tani. Perempuan di sektor industri
Menurut Khotimah (2009), diskriminasi yang
perkotaan terutama terlibat sebagai buruh di industri
dialami oleh pekerja perempuan ini dapat terjadi
tekstil, garmen, sepatu, kebutuhan rumah tangga,
karena beberapa hal, yaitu: marginalisasi dalam
dan elektronik.
pekerjaan, kedudukan perempuan yang subordinat
Di sektor publik, masalah umum yang dihadapi
dalam sosial dan budaya, stereotype terhadap
perempuan dalam pekerjaan adalah kecenderungan
perempuan, tingkat pendidikan perempuan rendah.
perempuan terpinggirkan pada jenis-jenis pekerjaan
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 217
dapat membaca dan menulis untuk mencari bantuan menunjukkan bahwa perempuan hanya dianggap
hukum ataupun rumah singgah jika majikan mereka sebagai pencari nafkah kedua. Sebaliknya, laki-
bertindak eksploitatif atau melakukan kekerasan, laki dianggap sebagai breadwinner (pencari nafkah
baik fisik, psikis, maupun seksual. utama). Dikaitkan dengan kondisi riil di lapangan,
Masalah selanjutnya adalah yang berkaitan anggapan ini tidak sepenuhnya tepat, mengingat
dengan upah. Upah pekerja perempuan juga masih banyak perempuan yang menjadi pencari nafkah
belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan dan utama dengan berbagai alasan, seperti suami
masih menghadapi permasalahan. Hasil penelitian sakit atau sudah meninggal atau karena bercerai
ILO menunjukkan adanya kesenjangan upah antar- dengan suaminya. Bahkan banyak perempuan yang
gender (Koni Padaka, tanpa tahun). Kesenjangan berperan menjadi kepala keluarga. Data Susenas
upah antar-gender didefinisikan sebagai perbedaan 2014 yang dikeluarkan BPS menunjukkan 14,84%
rata-rata penghasilan kotor antara pekerja laki-laki rumah tangga dikepalai oleh perempuan. Data BPS
dan pekerja perempuan. Perbedaan ini terjadi ketika juga menunjukkan bahwa sejak tahun 1985 terlihat
pekerja laki-laki dan pekerja perempuan menerima konsistensi kenaikan rumah tangga yang dikepalai
gaji dalam jumlah yang berbeda. Kesenjangan perempuan rata-rata 0,1% setiap tahunnya. Survei
upah antar- gender sebanyak 17-22% berarti bahwa Sistem Pemantauan Kesejahteraan Berbasis
pekerja perempuan berpenghasilan lebih rendah Komunitas (SPKBK) yang dilaksanakan Sekretariat
daripada kolega pekerja laki-laki mereka. Secara Nasional PEKKA di 111 desa di 17 propinsi
sederhana, kesenjangan upah antar-gender adalah wilayah kerja PEKKA menunjukkan bahwa dalam
kesenjangan antara apa yang didapatkan oleh setiap empat keluarga, terdapat satu keluarga yang
pekerja laki-laki dan apa yang didapatkan oleh dikepalai oleh perempuan. Perempuan menjadi
pekerja perempuan. kepala keluarga karena berbagai sebab, termasuk
ILO menemukan masih ada kesenjangan upah suami meninggal dunia, bercerai, ditinggal, tidak
antargender di Indonesia dengan selisih hingga atau belum menikah, suami berpoligami, suami
19%. Pada tahun 2012, perempuan memperoleh merantau, suami sakit permanen, atau suami tidak
upah rata-rata 81% dari upah laki-laki, meskipun bekerja.
memiliki tingkat pendidikan dan pengalaman yang Berkaitan dengan penerapan pengupahan yang
sama. Di Indonesia, perempuan mewakili sekitar diskriminatif terhadap pekerja perempuan dan laki-
38% layanan sipil, tetapi lebih dari sepertiganya laki, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
melakukan pekerjaan “tradisional”, seperti mengajar terjadinya hal tersebut (Koni Padaka, tanpa tahun),
dan mengasuh, yang cenderung memperoleh upah yaitu: budaya patriarki, penyalahgunaan kodrat
kurang dari pekerjaan yang didominasi laki-laki. perempuan, ketidakseimbangan posisi tawar kerja
Padahal upah yang diberikan kepada seseorang pekerja perempuan, kepentingan penguasa, dan
seharusnya sebanding dengan kegiatan-kegiatan ketidaktahuan berlakunya suatu hukum.
yang telah dikeluarkan/dikerahkan (activities or
Budaya Patriarki
efforts) tanpa perlu dibeda-bedakan antara pekerja
Apabila dicermati lebih lanjut dapat
laki-laki dan pekerja perempuan (G. Kartasapoetra
dikemukakan bahwa alasan utama yang
1986:94). Pendapat serupa juga dikemukakan
dikemukakan oleh pengusaha dalam menentukan
oleh Rusli (2011:75) bahwa setiap pekerja/
perbedaan kebijakan pengupahan antara pekerja
buruh terutama perempuan berhak memperoleh
perempuan yang sudah menikah dibandingkan
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
pekerja laki-laki sebenarnya terpengaruh oleh
layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi
budaya patriarki yang dianut oleh sebagian besar
kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya
daerah dan masyarakat Indonesia. Budaya patriarki
secara wajar dengan memperhatikan prinsip
ini dikonsepkan sebagai sesuatu yang berkaitan
kesetaraan.
dengan sistem sosial di mana pria/ayah menguasai
Demikian pula dengan tunjangan penghasilan.
seluruh anggota keluarganya, harta milik, segala
Uli (2005: 90) mengutip Syamsuddin (2004)
sumber ekonomi serta pembuat semua keputusan
menyatakan bahwa pekerja perempuan yang
penting dan sejalan dengan sistem sosial tersebut
seharusnya mendapatkan tunjangan kesejahteraan
adalah pria diposisikan lebih tinggi dari perempuan.
dalam kenyataannya tidak mendapatkan hal
Budaya ini tidak jarang bersumber dari nilai-
tersebut. Pekerja perempuan dianggap lajang,
nilai sakral keagamaan dan budaya komunitas, dan
sehingga tidak mendapatkan tunjangan suami dan
berkembang dan disosialisasikan melalui pendidikan
anak. Oleh karena itu, kesejahteraan suami dan
dalam keluarga di rumah. Adanya struktur komunitas
anak tidak ditanggung oleh perusahaan. Dalam
yang seperti itu, perempuan seakan ditempatkan
perspektif feminisme, perlakuan diskriminatif ini
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 219
Di Indonesia asas ini hanya berlaku bagi kurangnya sosialisasi kepada pekerja perempuan,
para pelaku hukum saja. Selain itu, masyarakat baik dari pemerintah maupun pihak perusahaan
kurang memperdulikannya, sehingga ketika dapat digolongkan ke dalam faktor eksternal.
hak dan kewajibannya tidak terpenuhi mereka
tidak tahu bagaimana prosedur yang tepat untuk Penutup
memperolehnya. Seharusnya, ketentuan hukum Simpulan
sebagai dasar pemberian upah terutama yang Hak pekerja perempuan telah dijamin dalam
berkaitan dengan pelindungan pekerja perempuan konstitusi, undang-undang, dan beberapa peraturan
terhadap diskriminasi upah perlu diketahui pelaksananya. Jaminan hak tersebut sejalan dengan
oleh pengusaha maupun para pekerja, sehingga berbagai konvensi internasional yang mengatur
benar-benar dipahami sistem pengupahan yang tentang hak pekerja perempuan. Dalam konstitusi,
berbasiskan pada keadilan gender. persamaan hak perempuan untuk bekerja dan
Hak pekerja perempuan lainnya yang perlu mendapat perlakuan yang layak terdapat dalam
mendapat perhatian adalah yang terkait dengan hak Pasal 27 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
reproduksinya. Menurut Kartika (2010) sebagaimana Beberapa peraturan perundang-undangan yang
dikutip Rosalina (2015:21), hak pekerja perempuan mengatur hak pekerja perempuan antara lain: (1)
yang paling penting untuk dipenuhi terkait dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
jenis kelaminnya adalah yang berkenaan dengan Ketenagakerjaan (Pasal 18, Pasal 76, Pasal 81, Pasal
fungsi reproduksi perempuan. Perusahaan harus 82, Pasal 83, Pasal 84, Pasal 93, dan Pasal 153 Ayat
memenuhi hak cuti haid, cuti melahirkan, dan cuti 1 huruf e); (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
keguguran. Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 49 1981 tentang Pelindungan Upah; (3) Peraturan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Menteri Tenaga Kerja Nomor 8 Per-04/Men/1989
Asasi Manusia yang menyatakan bahwa perempuan tentang Syarat-syarat Kerja Malam dan Tata Cara
berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam Mempekerjakan Pekerja Perempuan pada Malam
pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap Hari; (4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
hal-hal yang berkenaan dengan fungsi reproduksi Transmigrasi Nomor Kep. 224/Men/2003 tentang
perempuan. Terkait dengan hak reproduksi ini, Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan
sampai saat ini belum semua perusahaan mampu Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00
dan mau memenuhi hak tersebut, terutama hak sampai dengan pukul 07.00. Hak pekerja perempuan
cuti haid. Hasil penelitian yang dilakukan penulis juga dijamin dalam berbagai konvensi internasional,
tahun 2017 menunjukkan bahwa sebagian besar termasuk Konvensi CEDAW.
pekerja perempuan memilih untuk tidak mengambil Hak pekerja perempuan tersebut antara lain: (1)
hak cuti haid karena berbagai alasan, antara lain pelindungan jam kerja; (2) pelindungan dalam masa
tetap memilih bekerja ketika haid karena jika tidak haid (cuti haid); (3) pelindungan selama hamil dan
masuk kerja karena alasan cuti haid maka gajinya melahirkan, termasuk ketika pekerja perempuan
akan dipotong. Selain itu, ada perusahaan yang mengalami keguguran (cuti hamil dan melahirkan);
mewajibkan pekerja perempuan yang mengajukan (4) pemberian lokasi menyusui (hak menyusui dan/
cuti haid untuk diperiksa oleh dokter perusahaan atau memerah ASI); (5) hak kompetensi kerja;
terlebih dulu untuk membuktikan bahwa yang (6) hak pemeriksaan selama masa kehamilan dan
bersangkutan memang sedang haid, karena memang pasca-melahirkan.
ada kasus di mana cuti haid dijadikan alasan untuk Meskipun telah dijamin dalam berbagai
tidak masuk kerja padahal dia tidak sedang haid. peraturan perundang-undangan maupun konvensi
Menurut Rosalina (2015: 24), tidak dipenuhinya internasional, tetapi sampai saat ini belum semua
hak-hak pekerja perempuan oleh perusahaan hak pekerja perempuan tersebut dapat dipenuhi,
maupun pengusaha salah satunya disebabkan oleh baik yang disebabkan oleh faktor internal maupun
tingkat pendidikan yang rendah, sehingga mereka faktor eksternal. Faktor internal tersebut adalah
memiliki pengetahuan yang minim tentang hak- masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman
hak pekerja perempuan yang seharusnya mereka pekerja perempuan mengenai hak yang dimiliknya.
peroleh. Faktor lainnya adalah masih kurangnya Ada pun faktor eksternal yaitu: (1) adanya budaya
sosialisasi, baik dari pihak perusahaan maupun patriarki; (2) marginalisasi dalam pekerjaan; (3)
pemerintah mengenai hak-hak pekerja perempuan. adanya stereotype kepada perempuan; dan (4)
Penulis sependapat dengan Rosalina, tingkat kurangnya sosialisasi.
pendidikan yang rendah ini dapat dikategorikan
menjadi faktor internal yang menghambat
terpenuhinya hak pekerja perempuan. Sementara,
Sali Susiana, Pelindungan Hak Pekerja Perempuan dalam Perspektif Feminisme | 221
Jumlah Tenaga Kerja Perempuan di Indonesia, http:// Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga-PEKKA,
independen.id/read/data/429/jumlah-tenaga-kerja- https://www.pekka.or.id/index.php/id/tentang-
perempuan-di-indonesia/, diakses 30 Oktober 2017. kami/276-pemberdayaan-perempuan-kepala-
keluarga-pekka.html, diakses 22 Oktober 2017.
Pertumbuhan Jumlah Pekerja Perempuan Meningkat,
http://kupang.tribunnews.com/2016/01/07/
pertumbuhan-jumlah-pekerja-perempuan-
meningkat, diakses 30 Oktober 2017.