You are on page 1of 12

GENTA HREDAYA Volume 4 No 2 Oktober 2020 P ISSN 2598-6848

E ISSN 2722-1415

KONSEP KETUHANAN DALAM LONTAR TUTUR PARAKRIYA

Oleh
Ni Wayan Yuni Astuti
Universitas Hindu Indonesia Denpasar
Email: yuniastuti@unhi.ac.id

Ida Bagus Putu Eka Suadnyana


Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Mpu Kuturan Singaraja
Email: idabaguseka09@gmail.com

ABSTRACT
Religion is an essential part of human life, in fact it can contribute greatly in guiding
people to face the waves of life. Entering the era of modernization, one aspect of this is
reflected in social order and social relations. Many of the teachings of Hinduism are
written on palm leaves which need to be preserved by digging and deepening the contents
to be immediately conveyed to the people so that they can become biased among the
community, in accordance with current developments. This type of research is qualitative
because it is a text research or library research whose primary data source is Lontar Tutur
Parakriya which has been transcribed into manuscript / text form. Literature study and
interviews were used as data collection methods and then performed qualitative descriptive
data processing. Besides that, the theory used in dissecting this problem is the hermeneutic
theory to find the meaning or teachings contained in it. The results of this study aim to
describe Lontar Tutur Parakriya, the concise contents of Lontar Tutur Parakriya, the main
contents of Lontar Tutur Parakriya, namely: Divinity, yoga, Tri Guna and the relationship
between Bhuana Agung and Bhuana Alit in this lontar. While the teachings studied are 1)
the tattwa teaching is advices or advices to teach Hindus to be able to get immortal and
spiritual perfection which is eternal (Moksa or Kenirwanaan).
Keywords: Divinity, Lontar, Tutur Parakriya

I. PENDAHULUAN Kaitannya antara Śruti dan Smreti, Veda


Pada garis besarnya sumber ajaran Śruti yang paling dulu ada barulah Smreti.
Agama Hindu dapat dibagi menjadi dua Veda yang menjadi sumber yang paling
yaitu sumber ajaran tertulis dan tidak utama untuk mengatur tingkah laku umat
tertulis. Sumber ajaran yang tidak tertulis Hindu baik sebagai makhluk individu
meliputi sila atau etika yang telah diterima maupun sebagai anggota masyarakat
secara umum oleh orang bijaksana. (Suadnyana & Darmawan, 2020).
Sistacara adalah tradisi setempat yang Sesuai dengan namanya, Veda adalah
dijalankan sebagai bagian dari kepercayaan wahyu Tuhan, bukan buatan manusia.
Agama Hindu, dan atmanastuti merupakan Walaupun Smreti merupakan hasil ingatan
suatu perbuatan yang dapat memberi para maha Rsi, namun isinya tidak bisa
kebahagiaan dan dapat diragukan. Baik Śruti dan Smerti keduanya
dipertanggungjawabkan berdasarkan menjadi pegangan bagi Agama Hindu.
dharma. Sedangkan sumber ajaran Agama Sloka berikut ini akan mempertegas
Hindu yang tertulis bersumber dari Veda. pernyataan di atas, yaitu :
Veda merupakan pengetahuan suci yang Śrutistu vedo vijneyo
maha sempurna, kekal abadi. Ada dua jenis dharmaśastram tu vai smrtih
dalam Veda yaitu Veda Śruti dan Smreti. te sarvarthesvanamasye

164
tabhyam dhamohi nirbabhau. pembaca. Walaupun demikian Itihasa dan
(Manava Dharmaśastra II.10). Purana serta kitab-kitab lainnya tetap
Terjemahan : bersumber pada Veda sebagai
Yang dimaksud dengan Śruti, ialah penyebarluasan ajaran yang penuh rahasia
Veda dan dengan Smerti adalah dapat dimengerti, dihayati oleh umat Hindu
dharmasastra, kedua macam pustaka yang pemikirannya masih sangat sederhana
ini tidak boleh diragu-ragukan (Suadnyana, 2020).
kebenarannya mengenai apapun juga Selain Veda sebagai sumber ajaran
karena dari keduanya itu hukum. Agama Hindu, juga terdapat dalam sastra-
(Pudja dan Sudharta, 2003: 63). satra agama seperti lontar-lontar yang
merupakan sumber ajaran agama Hindu
Memahami Veda bagi orang khususnya yang berkembang di Bali,
kebanyakan adalah sangat sulit disebabkan jumlahnya tersebar di perpustakaan formal
karena ajarannya yang amat dalam, luas, maupun koleksi pribadi. Ada kalanya
bahasa, dan sifatnya yang sangat rahasia. lontar-lontar yang masih terpendam
Untuk itu diperlukan suatu cara tertentu dimasyarakat yang mungkin pemiliknya
untuk menerapkan pada masyarakat. Veda meninggal dan lontar tersebut diwariskan
itu disalurkan kepada masyarakat melalui kepada anaknya yang tidak berminat untuk
pustaka suci yaitu Itihasa dan Purana yang mendalami isinya, sehingga lontar tersebut
sekaligus sebagai alat bantu untuk tidak mendapat perhatian.
mempelajari dan memahami isi Veda. Bilamana diamati secara seksama
Sarasamuscaya menyebutkan, antara lain : bahwa sastra agama yang berbentuk lontar,
Ndan Sanghyang Weda, merupakan hasil karya sastra yang
paripūrnakena sira makasādhana mengandung ajaran Agama Hindu. Oleh
sanghyang Itihasa, sanghyang karenanya, sastra-sastra tersebut
Purana, apan atakut sanghyang Weda memerlukan pemeliharaan yang baik agar
ring akedik ajinya, ling nira, kamung tidak cepat rusak, lapuk atau mungkin
hyang, haywa tiki umara ri kami, ling terjual kepada orang-orang yang tidak
nira mangkana rakwa atakut. berminat mendalami ajaran agama. Oleh
(Sarasamuscaya, 39). karena itu pentingnya keberadaan lontar
Terjemahan: dikalangan masyarakat Hindu dalam
Adapun Veda itu untuk menjadi mempelajari dan mendalami ajaran agama,
sempurnanya melalui jalan maka perlu digalakkan dan dikembangkan
(mempelajari) Itihasa, Purana, sebab penggalian lontar yang masih terpendam.
merasa takut Veda itu kepada yang Salah satu lontar yang dikaji untuk
sedikit ilmunya, sabdanya, ”Engkau, dijadikan karya ilmiah adalah Lontar Tutur
tuan, jangan engkau ini mendekati Parakriya, menguraikan tentang terjadinya
kami” sabdanya demikian sebab rasa Alam Semesta, Panca Aksara, Tri Aksara,
takut. (Pudja, 1980: 27). Eka Aksara, Kamoksaan, Catur Pāramitha,
Tri Guna, mengenai Utpti, Sthiti, Pralina,
Sloka di atas menjelaskan bahwa Veda yaitu bahwa semua yang ada di alam
dapat dipelajari dengan Itihasa dan Purana. Nirbana. Nirbana dilukiskan suatu alam
Itihasa itu memuat cerita-cerita sejarah yang tidak jauh, tidak dekat, tidak di atas,
kepahlawanan dengan lakon yang menarik, tidak di bawah, tidak diluar dan juga tidak
dan melalui cerita ini dimasukkan ajaran- di dalam. Selain itu juga menjelaskan
ajaran suci yang terdapat dalam Śruti dan tentang Sapta Loka, Sapta Patala, Sapta
Smerti. Sedangkan dalam Purana adalah Dwipa, Panca Bayu dan dewa-dewa yang
pustaka-pustaka yang memuat ajaran-ajaran ada dalam tubuh manusia.
suci dalam bentuk dongeng dan cerita-cerita Demikianlah lontar mempunyai
sehingga sangat menarik perhatian peranan penting dalam kehidupan

165
beragama, maka perlu untuk dilestarikan manusia berangkat dari kekosongan,
dengan jalan menggali isi dari lontar kemudian isi dan akhirnya kembali ke
tersebut untuk segera disampaikan kepada kosong, sehingga pada akhir lontar selalu
umat yang sesuai dengan perkembangan diberi lembaran kosong. Tetapi jika lontar
jaman dewasa ini. Selanjutnya sebagai itu berakhir dengan huruf a maka tidak
generasi penerus harus mampu perlu lagi diberikan lembaran kosong
mempertahankan apa yang telah diwariskan dibelakangnya (Wawancara, Gautama: 23
oleh nenek moyang, agar tidak mengalami April 2008). Lontar Tutur Parakriya
kepunahan dan agar ajeg sepanjang jaman. dimulai dengan kalimat Ong Nama Siwaya,
Parakriya sastrakayajnyah, nistayoga
II. PEMBAHASAN nilasini, winayo mohayopresni, saputra
2.1 Deskripsi Lontar Tutur Parakriya Siwa mangrawit dan diakhiri dengan
Lontar Tutur Parakriya adalah karya kalimat Sumahur Dukuh Wisesa: “Wenten
sastra klasik turunan lontar asli Ida kuda ngerap neki ring panedengan
Pedanda Keniten dari Tampaksiring mangko”, Ana kayu atita punika, gumuling
(Gianyar), dan disalin ke dalam lontar ta sira ring pritiwi, dadi maletik ikang
sesuai aslinya oleh I Ketut Kaler dari Br. kaywan, ikang kayu neki aji Dukuh iku
Paketan, Singaraja serta dikoleksi oleh maletik ta mangko ikang kayu matemahan
Museum Gedong Kirtya, Singaraja pada magerit dadi geni. Iti arsa timbangan. Ong
tanggal 14 Mei 1929 dengan jumlah astutiya namah swaha.Telas.
lampiran terdiri dari duapuluh lembar,
panjang 50 cm dan lebar 3,5 cm dengan No. 2.2 Isi Ringkas Lontar Tutur Parakriya
III B. 601/1, dimana III B merupakan kode Lontar Tutur Parakriya menguraikan
tempat, 601 adalah jenis lontar dan 1 dalah tentang percakapan antara Bhatara Iswara
nomor keropak. Keadaan lontar ini kepada Sang Hyang Kumara. Diawali
terpelihara dengan baik karena di Museum permintaan dari Bhatari Uma agar Sang
Gedong Kirtya Singaraja ada pegawai Hyang Kumara berkenan menanyakan
khusus yang dipekerjakan untuk merawat kepada Bhatara Iswara tentang ajaran yang
lontar agar warisan budaya tidak punah mengantarkan sesorang menuju moksa.
dimakan zaman. Tempat penyimpanan Selanjutnya Sang Hyang Kumara bertanya
lontar disimpan pada rak kaca agar ada mengenai asal mula kejadian yang
sinar matahari sehingga lontar tidak lembab dinyatakan bahwa segala sesuatu yang ada
dan tidak cepat rusak. Lontar Tutur berasal dari Ida Sang Hyang Widhi/ Tuhan
Parakriya terdiri dua bahasa yaitu Sloka Yang Maha Esa yang diistilahkan dengan
Sansekerta yang diterjemahkan ke dalam niskala. Dari keadaan niskala kemudian
bahasa Kawi (Jawa Kuno). Lontar Tutur timbul sesuatu yang berwujud namun tanpa
Parakriya kemudian ditranskrip ke dalam ukuran sehingga disebut matra. Dari matra
naskah/ teks yang berjumlah tigabelas tersebut kemudian menyusul berturut-turut
halaman oleh I Gde Sudira pada tanggal 25 nadha, windu dan ardhacandra yang
November 1941 dan diperiksa kembali oleh kemudian menimbulkan pusat keadaan yang
I Gusti Bagus Jlantik. Keadaan naskah disebut dengan wiswa. Selanjutnya dari
inilah yang tidak begitu baik yaitu kertas wiswa muncul aksara yang meliputi konsep-
sudah mulai agak rusak dan hanya diketik konsep Triaksara, Pancabrahma dan
memakai kertas yang tipis. Selain itu, hal Pancaksara. Aksara bersangkutan meliputi
ini juga dimungkinkan karena seringnya suara dan wyanjana yang merupakan
naskah tersebut dipinjam untuk disalin atau perwujudan dari para dewata. Dengan
difotocopi. Lontar Tutur Parakriya ditulis perwujudan dewata seperti itu, maka kepada
mulai angka 1b sampai 20a. Untuk 1a para pendeta dianjurkan agar dalam
biasanya tidak ditulis karena ditinjau dari pemujaan senantiasa dilengkapi dengan
segi filosofis mempunyai makna bahwa sarana kesucian yang terdiri dari bunga, biji,

166
beras, dupa, lampu dan air cendana. disebutkan: Pertiwi menjadi daging, Apah
Penggunaan perlengkapan tersebut sejalan menjadi darah, Teja menjadi sinar, Bayu
dengan pengertian tentang kesucian wujud menjadi nafas, Akasa menjadi dwara. Ada
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang juga rumusan Panca Bayu yaitu Bayu
Maha Esa yang dinyatakan dalam berbagai Prana, Bayu Apana, Bayu Udana, Bayu
media diantaranya adalah dalam ongkara. Biana, tentang Sapta Pada, Tri Anta
Perwujudan Tuhan dalam hubungan lain Karana, Tri Loka. Dewanya Tri Guna
terdapat dalam hubungan antara dewa disebutkan: Dewa Rudra sebagai rajah,
dengan arah mata angin. Dewa Sangkara sebagai tamah, Mahadewa
Dikatakan bahwa sesungguhnya jalan sebagai sattwam. Bagian Bhuana Sangsipta
menuju kebebasan abadi yang disebut disebutkan bahwa itulah merupakan jalan
dengan “marganing anemu kamoksan” menuju kelepasan bagi seorang Yogiswara.
adalah pemutaran aksara yang utama Jika sudah memahami tentang isi dan
sebagai sasaran yoga dalam wujud sifatnya maka setidak-tidaknya tentu akan
Ongkara. Yang dapat dijabarkan kedalam mencapai sorga. Ditegaskan sekali bahwa
Triaksara, selanjutnya kepada Pancaksara seorang Yogiswara hendaknya memahami
dan segala macam aksara keramat. Dengan kesadaran diri melalui ajaran falsafah
bagian keramatnya pada nadha, windhu, karena ia merupakan jalan untuk mencapai
dan ardhacandra sebagai tujuan dari sorga.
pemusatan pikiran. Pemusatan pikiran akan Naskah Tutur Parakriya ditutup
tercapai dengan sempurna melalui tehnik dengan sebuah mantra pamandiswara yang
pemejaman mata, karena dengan demikian mana Bhatara Siwa adalah sarinya dunia
akan tampak sinar yang sangat suci dan semua, sebagai penguasa dunia dan sebuah
kesunyian. Di samping itu disebutkan pula percakapan tentang kewajiban seorang
mantra-mantra seperti mantra Pancawara, pendeta yang sejati, yang senantiasa
Sadwara, Saptawara. Hidup ini tidak mengusahakan kesadaran diri. Jika tidak
kekal, lahir dan tumbuh di tanah yang demikian maka tidak berbeda halnya
kembali kepada air, kemudian kepada sinar, dengan Dukuh Dekih. Demikian ajaran
selanjutnya kepada angin, yang akhirnya tentang Arsa Timbangan dituangkan dalam
kepada angkasa. Pernyataan tersebut perakapan antara Dukuh Alon dengan
dilandasi dengan pengertian tentang adanya Dukuh Wisesa.
persatuan antara tubuh dengan dewa
sebagai lambang persatuan kosmos, antara 2.3 Isi Pokok Lontar Tutur Parakriya
lain: Saptaloka, Sapta Patala, Sapta Dwipa Veda adalah sumber ajaran Agama
(bhumi), Saptaparwata, Sapta Tirtha. Hindu sebab dari Vedalah mengalir ajaran
Selanjutnya dalam rumusan tenaga yang merupakan kebenaran Agama Hindu.
kehidupan disebutkan: pada pangkal Karena Veda merupaka wahyu Ida Sang
jantung berada Dewa Isa yang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa,
menimbulkan sifat toleransi, pada bagian sudah tentu ajaran-ajaran yang terkandung
tengah jantung berada Dewa Dharma yang di dalamnya mengandung kebenaran
menimbulka sifat suka bersahabat, pada sehingga dapat dijalankan sebagai
mulut berada Dewa Iswara yang pedoman, landasan norma dan berbuat,
menimbulkan sifat kasih sayang, bahan berkata, maupun berpikir. Seorang yang
makanan Dewa Brahma yang menimbulkan dapat melaksanakan ajaran agama dengan
semangat hidup, pada bahan rasa berada baik, akan bebas dari keterikatan dan dapat
Dewa Wisnu yang menimbulkan sifat mencapai kelepasan. Terlepas atau bebas
prilaku, pada bahan tenaga berada Dewa dari keterikatan duniawi sesuai dengan
Mahadewa yang menimbulkan sifat tujuan Agama Hindu yaitu moksa,
simpati. Mengenai Panca Maha Bhuta yang bersatunya Ātman dengan Brahman.
dihubungkan dengan tubuh manusia Sehubungan dengan hal ini ada beberapa isi

167
pokok yang terdapat dalam Lontar Tutur Berdasarkan kutipan di atas pada
Parakriya, antara lain: dasarnya adalah memberikan suatu
penjelasan bahwa alam semesta beserta
1) Ajaran Ketuhanan isinya adalah ciptaan dari Ida Sang Hyang
Mengenai ajaran Ketuhanan (Ida Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang
Sang Hyang Widhi Wasa) merupakan hal merupakan asal mula kelahiran. Tuhan itu
yang amat penting bagi umat beragama, tidak pernah lahir dan juga tidak pernah
karena berdasarkan kepercayaan yang mati, beliau adalah langgeng, abstrak
dimiliki segala yang ada beserta isinya ini wujudnya sukar dibayangkan dan sangat
adalah diciptakan Ida Sang Hyang Widhi mengagumkan. Dalam ilmu filsafat
Wasa/ Tuhan Yang maha Esa (Suadnyana, dikaitkan sebagai keadaan dalam alam
2020). Segala yang ada, yang pernah lahir, transendental artinya diluar dari lingkaran
pernah hidup itu sebenarnya akan kembali kemampuan pikir. Kalau diibaratkan pikiran
keasalnya yaitu kehadapan Ida Sang Hyang itu mempunyai batas seperti lingkaran
Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan kemampuan manusia. Istilah ini digunakan
merupakan penyebab pertama serta sebagai untuk membedakan antara Transenden
tempat kembalinya dari segala yang ada. Di dengan Imanen. (Pudja, 1985: 46).
samping itu Tuhan bersifat maha gaib dan Segala sesuatu yang ada dalam
bersifat abstrak, yang tidak dapat dicerna wilayah Imanen dapat diketahui.
oleh pikiran manusia namun beliau tetap Mengetahui artinya dapat membedakan, dan
kekal abadi (Untara & Gunawijaya, 2020). membedakan dapat dilakukan melalui
Sehubungan dengan kemahakuasaan Tuhan pengenalan sifat-sifatnya. Mengenal alam
sebagai pencipta segala yang ada, Lontar Imanen berarti mengenal secara nyata (riil).
Tutur Parakriya menyebutkan sebagai Arti pengenalan Tuhan Alam Imanen
berikut : artinya mengenal Tuhan dalam keadaan
tan ana lemah, tan anangjala, tan sifat dan fungsinya atau prabhawanya,
anang teja muwah angin lawan seperti Sang Hyang Jagatkarana, Sang
candra, ditya muwah akasa, tan ana Hyang Acintya, Sang Hyang Tunggal, Sang
wintang, tan ana kabeh, tan ana Hyang Guru, Sang Hyang Sangkan Paran
sabda, tan anang mega, tan anang dan lain sebagainya, yang sesuai dengan
dina ratri, tan angin, tan udan, tan ana alam pikiran manusia (Sura, dkk, 1981: 63).
kilap, tan ana kabeh, yatika sunya nga. Tuhan dalam alam Transendental
Nitya tan kahilangan. Ngkana ta adalah Tuhan wujud Paramasiwa yang
sangkaning mami purwa, nihan disebut dengan Cetana (Purusa) yang
sangkaning dadi. (Transkripsi Lontar dalam istilah umum disebut Cetana,
Tutur Parakriya, lampiran 2a-2b). keadaan tanpa aktivitas, kekal abadi, tak
Terjemahan: berawal, tidak berakhir, ada dimana-mana,
Tidak ada tanah, tidak ada air, tidak maka diberi gelar Nirguna Brahma (Sunya).
ada sinar dan angin, bulan, matahari, Sedangkan Tuhan dalam alam Imanen
langitpun tidak terbentang, bintang, adalah Tuhan berwujud Sadasiwa, yang
planet, semuanya tidak ada, tidak ada berkrida, sudah kena imbas dari Prakerti
suara, tidak ada mendung, tidak ada Acetana, sehingga mempunyai sifat dan
siang dan malam, tidak ada angin, aktivitas, maka diberi gelar Saguna
tidak ada hujan, tidak ada tatit, Brahma. Sadasiwalah yang banyak
keadaan seperti itu disebut sunya mendapat perhatian yang disebut dengan
(kosong), itu yang abadi tidak pernah Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang
hilang, dari sanalah asal mula-Ku Maha Esa, dengan bermacam-macam
dahulu kala dan dari sana asal manifestasinya, sebab dengan mempunyai
kelahiranku. sifat, fungsi, aktivitas beliau dapat mengatur
Utpeti, Sthiti dan Pralina dari alam semesta

168
beserta isinya (Bhuana Agung dan Bhuana sadasiwa ring madia, Paramasiwa
Alit). ring urda, Dharma Hiang karuning
Adapun sifat kemahakuasaan Tuhan purwa lawan gneya, Kala
Sadasiwa meliputi guna, sifat dan wiantaraning agneya lawan daksina,
swabhawa, guna meliputi tiga sifat yang Mretiyu wiantaraning daksina lawan
mulia dari Tuhan yaitu Dūradarsana adalah neriti, Krodha wiantaraning neriti
berpengelihatan/ berpandangan serba jauh, lawan pascima, Wisma wiantaraning
Durwasarwajña yaitu berpengetahuan serba pascima lawan wayabia, kama
sempurna dan Dūrasrawāna yaitu wiantaraning wayabia lawan utara,
berpendengaran serba jauh (Pudja, dkk, Pasupati wiantaraning utara lawan
1983: 21). airsania, Satia wiantaraning airsania
Sifat-sifat keagungan atau lawan purwa. (Transkripsi Lontar
kemahakuasaan itulah Tuhan (Ida Sang Tutur Parakriya, lampiran 4b).
Hyang Widhi Wasa) berwujud Sadasiwa Terjemahan:
melakukan kridanya dalam mengatur Ini yang dilaksanakan di dalam hati,
keharmonisan alam semesta dengan segala Iswara di timur, Dewa Brahma
isinya menurut ketentuan waktu Utpeti, tempatnya di selatan, Dewa Rudra
Sthiti dan Pralina (Suadnyana, 2020). menguasai di Barat daya, Dewa
Secara simbolis beliau dianggap Mahadewa tempatnya di Barat, Dewa
bersinggasana di tempat bunga teratai yang Sangkara tempatnya di Barat laut,
disebut dengan Padmasana artinya bunga Dewa Wisnu tempatnya di Utara,
teratai yang berdaun delapan, ini Dewa Sambhu tempatnya di Timur
dipergunakan sebagai simbol atau lambang laut, Dewa Siwatma tempatnya di
Asta Aiswaria yang menguasai delapan tengah bagian bawah, Dewa Sadasiwa
penjuru mata angin. Jadi bunga teratai tempatnya ditengah bagian madya,
adalah bunga yang bersifat magis yang yang Dewa Parama Siwa tempatnya di
dikaitkan dengan lingga, dewa-dewa atau tengah bagian atas, Sang Hyang
Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Dharma diantara timur dengan
Maha Esa, maka bunga teratai dapat tenggara, Sang Hyang Kala diantara
diumpamakan sebagai gambar Padma tenggara dengan selatan, Sang Hyang
Angglayang atau Pangider-ider Bhuana Mretiyu diantara selatan dengan barat
(Suadnyana, 2020). daya, kroda diantara barat dengan
Pangider-ider Bhuana merupakan barat, Wisma diantara diantara barat
arah kiblat mata angin yang terdapat di dengan barat laut, Kama diantara barat
alam semesta ini. Adapun pangider-ider lautdengan utara, Sang Hyang
Bhuana tersebut menunjukkan arah yaitu: Pasupati diantara Utara dengan timur
timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, laut, Satia diantara timur laut dengan
barat laut, utara, timur laut dan juga di timur (Untara & Suardika, 2020).
tengah, yang setiap arah dikuasai oleh para
dewa yang merupakan manifestasi dari Ida Berdasarkan kutipan di atas
Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang menjelaskan mengenai tempat-tempat para
Maha Esa). Sehubungan dengan uraian dewata yang menguasai Alam Semesta, ini
tersebut di atas, Lontar Tutur Parakriya dapat mengatur keharmonisan serta
menyebutkan sebagai berikut: ketentraman dari pada dunia yaitu
Ika ta magawe idep ring ati, Iswara ditentukan menurut waktu, lahir, hidup dan
ring purwa, Maheswara agneya, mati. Bertitik tolak dari uraian di atas,
Brahma daksina, Rudra neriti, bahwa Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan
Mahadewa pascima, Sangkara Yang Maha Esa bersifat abstrak dan kekal
wayabia, Wisnu utara, Sambhu abadi yang tidak dapat dijangkau oleh
airsania, Siwatma ring arda, pikiran manusia yang serba terbatas. Namun

169
tidak sedikit orangpun sering tersesat dalam atakwan Sang Hyang Kumara, ndan
hidupnya karena sangat ambisi mengenal sahopancopacarasara, ikang lingnira
Tuhan dengan segala daya upayanya tanpa patakwan ring Batara. (Transkripsi
berdasarkan pada pikiran yang rasional. Lontar Tutur Parakriya, lampiran 1b).
Dikaji secara mendalam bahwa Tuhan yang Terjemahan:
bersifat suci, hendaknya di dalam Bhatari Uma telah waspada dengan
mengenalnya diimbangi dengan ilmu pengetahuan semua, tidak ada
kesejahteraan pikiran, yang tentu mulai dari kekurangannya di dalam ilmu sastra,
mengendalikan tindakan-tindakan lahiriah tetapi ada kekurangannya, yaitu yoga
terlebih dahulu. Salah satu jalan diantaranya namanya yang dapat menuju
dengan melaksanakan jalan bhakti yaitu kemoksaan. Hal ini tidak diketahuinya
sujud bhakti dan taqwa serta dengan itu yang ditanyakan kepada Bhatara
penyerahan diri secara bulat kepada Ida Iswara, yang menyertai bertanya
Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang adalah sang kumara lengkap dengan
Maha Esa. Penyerahan diri seperti itu upacara untuk menanyakan, katanya
benar-benar diwujudkan oleh adanya bertanya kepada Bhatara.
perasaan cinta yang mendalam dan terus-
menerus. Berdasarkan kutipan di atas, dapat
Menyadari ketidaksempurnaan disimak maknanya terutama terdapat dalam
manusia sebagai mahluk yang utama, maka kalimat yaitu yoga namanya yang dapat
sejak dini perlu ditumbuhkan rasa keimanan menuju alam kebahagiaan akhirat atau
dengan diiringi sujud bhakti kehadapan Ida moksa. Yoga mempunyai arti yang sangat
Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang luas, hal ini tergantung pada konteks
Maha Esa tanpa mendangkalkan ajaran kalimatnya. Sehubungan dengan hal ini
religius yang dikandungnya. Dengan usaha dapatlah diberikan suatu contoh yaitu
itu manusia akan mampu menangani bahwa dikenalnya suatu ajaran yang disebut
tentang filsafat Tuhan itu dengan baik dan dengan Catur Marga Yoga yang terdiri dari:
benar (Untara, 2019) Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga,
Jnana Marga Yoga dan Raja Marga Yoga.
2) Ajaran Yoga Keempat yoga itu merupakan jalan atau
Kata Yoga berasal dari akar kata “Yuj” cara untuk mencapai kesempurnaan yaitu
yang artinya menghubungkan, Yoga moksa, dengan menghubungkan diri dan
merupakan pengendalian aktivitas pikiran pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang
dan merupakan penyatuan roh pribadi Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa dengan
dengan roh tertinggi. (Śivānanda, 2003: berbagai manifestasinya. Keempat yoga
204). Sumber lain dapat pula diketemukan tersebut di dalam pelaksaannya erat sekali
mengenai kata yoga yang berasal dari kata hubungannya dengan sifat, bakat, watak
“Yug” yang berarti persatuan, bersatu serta kemampuan masing-masing orang
dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ dalam usahanya untuk menghubungkan diri
Tuhan Yang Maha Esa. Makna yoga dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
tersebut di atas, bila dikaitkan dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai
Lontar Tutur Parakriya, maka di bawah ini manifestasinya dan juga mempunyai tujuan
dapat dikemukakan sebagai berikut ; yang sama, hanya berbeda dalam tata
pelaksanaannya. (Sudirga, dkk, 2007: 8).
Batari Uma mawuwus: Pradana sastra Bertitik tolak dari penjelasan di atas,
kabeh tan ana mungguh nira ring aji. Lontar Tutur Parakriya menyebutkan
Ndan dana tan nistayoga nga. Wenang sebagai berikut :
tamtamana mangdadiaken kamoksan; Ikang Ongkara Rudra dewatanya,
ya tika tapwan awruhnira tinakwan Ardhacandra Mahadewa Dewatanya,
anaknira Bhatara Iswara. Rowangnira mantra Dewa Guru dewatanya, nahan

170
Sang Yogiswara magawe yoga, ya Bertitik tolak dari uraian di atas, ajaran
marganing pada Moksa ika. ( yoga adalah ajaran pemusatan pikiran yang
Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
lampiran 9a). tulus ikhlas, ketekunan, keteguhan dan
Terjemahan: segala usahanya itu didasarkan atas ajaran
Yang disebut Ongkara Rudra agama dan dharma. Selain itu juga sebagai
dewatanya, Ardhacandra Mahadewa penuntun dalam suatu kehidupan untuk
dewatanya, Mantra Dewa Guru mencapai kesejahteraan dunia akhirat yang
dewatanya. Demikian olehnya Sang abadi berupa sukha tan mawali duhka atau
Yogiswara melaksanakan yoga, untuk moksa dan juga mencapai jagadhita yaitu
jalan mencapai moksa. kesejahteraan masyarakat dan semua
makhluk (Untara & Supastri, 2020).
Berdasarkan kutipan di atas
menjelaskan, bahwa jalan menuju 3) Ajaran Tri Guna
kebebasan abadi atau marganing anemu Agama Hindu selalu memberi saran
kamoksaan adalah pemutaran aksara utama, dan pedoman, agar orang selalu
sebagai sasaran pemusatan pikiran dengan mengarahkan hidupnya dengan berbagai
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yaitu dalam persoalannya menuju kebahagiaan melalui
wujud Ongkara yang dapat dijabarkan ke jalan baik dan benar. Tentunya harus
dalam Tri Aksara, selanjutnya kepada dengan menguasai diri sendiri sehingga
Pancaksara dan segala macam aksara dalam penampilan yang baik dan
keramat. Dengan keramatnya pada Nadha, membahagiakan orang lain atau semua
Windhu, Ardhacandra merupakan tujuan orang. Selain itu sastra-sastra agama ada
sebagai pemusatan pikiran untuk dapat yang mengatakan bahwa prilaku seseorang
menghubungkan diri dengan Tuhan (Ida dapat terbentuk oleh lingkungan, tetapi
Sang Hyang Widhi Wasa). Sesuai dengan sastra-sastra tersebut sebagian besar
penjelasan di atas, selanjutnya Lontar Tutur memandang prilaku orang itu ditentukan
Parakriya, menyebutkan sebagai berikut : oleh faktor jiwa orang itu yang merupakan
pembawaan dari sejak lahir.
Yeki Bhuana sang sipta nga. ika ta Mengatur diri dalam bertingkah laku
kabeh margan Sang Yogiswara merupakan faktor dalam yang harus
manemwakan kamoksan mwang diperhatikan. Sifatnya yang garang harus
swarga lewih. Yan sampun wruh ring dijinakkan dengan jalan yang ditunjukkan
tatwania mwang ring sang gaweyah. oleh sastra-sastra agama itu. Sastra-sastra
(Transkripsi Lontar Tutur Para adalah jalan agama, maka itupun harus
Kriya,18a) ditunjukkan dengan jalan agama yang
Terjemahan: cendrung bersifat filosofis. Di dunia ini ada
Ini yang disebut Bhuana Sang Sipta. bermacam-macam kecendrungan sifat
Itu semua jalannya Sang Yogiswara manusia. Orang yang berpenampilan lemah-
mencapai sorga dan moksa yang lembut, kasar, rajin, dan ada pula yang
utama. Jika telah mengetahui dengan malas. Kecendrungan-kecendrungan seperti
segala isi dan makna serta maksud itu ada dalam diri setiap manusia,
sebabnya dibuat. pembawaan sejak lahir yang disebut Tri
Guna. Tri Guna adalah tiga sifat yang
Kutipan di atas menjelaskan tentang mempengaruhi kehidupan manusia. Antara
Bhuana Sang Sipta yang merupakan jalan sifat yang satu dan yang lainnya saling
atau cara Sang Yogiswara menghubungkan mempengaruhi dan membentuk watak
diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ sesorang.
Tuhan Yang Maha Esa yaitu untuk Apabila diantara ketiga sifat ini
mendapatkan moksa atau sorga yang utama. terjalin hubungan yang harmonis, sesorang

171
akan dapat mengendalikan pikirannya mengumbar hawa nafsu, juga termasuk sifat
dengan baik. Ketiga unsur sifat-sifat itu tamas. Ketiga guna tersebut merupakan satu
adalah: Satwam atau Sattwa adalah sifat kesatuan yang bekerja sama dalam kekuatan
tenang, Rajas atau Rajah adalah sifat yang berbeda-beda. Perpisahan diantara
dinamis dan Tamas atau Tamah adalah sifat ketiga guna itu tidak terjadi, karena dengan
lamban. (Sudirga, dkk, 2004: 106). demikian tidak akan ada suatu gerak apapun
Sehubungan dengan hal tersebut, Lontar pada manusia. Pengaruh-pengaruh Tri Guna
Tutur Parakriya menyebutkan mengenai tersebutlah sifat-sifat manusia ada yang
dewa-dewa yang menguasai Tri Guna, digolongkan sifat-sifat yang baik dan ada
adalah sebagai berikut : yang buruk. Bilamana sebagai manusia
Rudra pinakarajah, Sangkara menjalankan sifat-sifat di atas, baik itu
pinakatamah, Mahadewa Satwam, Rajas dan Tamas, maka sujud
pinakasatwa. Nahan ta Dewataning bhaktilah kepada ketiga dewa tersebut
Triguna. sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi
(Transkripsi Lontar Tutur Parakriya, Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, maka akan
lampiran 17b ). dilindungi oleh ketiga dewa itu.
Terjemahan: Berdasarkan uraian di atas, makna
Rudra sebagai rajah, Sangkara mengenai ajaran Tri Guna yaitu bahwa
sebagai Tamah, Mahadewa sebagai suatu ajaran yang mengajarkan umat Hindu
Satwa. Itulah di sebut dengan mengenai tiga sifat hakikat manusia agar
dewanya Triguna (Satwa, Rajah dan dikuasai oleh sifat satwam yang menguasai
Tamah). dua sifat yang lainnya yaitu sifat rajas dan
tamas. Sebab seseorang yang menetap
Berdasarkan kutipan di atas dalam satwa, maka seseorang cendrung
menjelaskan, bahwa Dewa Rudra adalah kepada dharma, menemui sifat-sifat
menguasai sifat Rajah, Dewa Sangkara kedewataan. Dalam hubungan ini
adalah menguasai sifat Tamah dan Dewa sebagaimana disebutkan dalam kitab
Mahadewa adalah menguasai sifat Satwa. Bhagawadgita, sebagai berikut :
Tidak seorangpun yang luput dari sifat-sifat ūrdhvam gacchanti sattva-sthā
Tri Guna itu, dan tidak seorangpun dalam madhye tisetehanti rājasāhe
penampilan dirinya dalam hidup ini yang jaghanya-gunea-vretti-sthā
tidak diwarnai oleh ketiga sifat itu. adho gacchanti tāmasāhe.
Ketiganya adalah bekerja sama dalam diri (Bhagawadgita XIV. 18)
manusia, namun dalam intensitas yang Terjemahan:
berbeda-beda. Orang yang lebih banyak Ke atas perginya yang sāttvika,
dipengaruhi oleh guna sattwam maka ditengah-tengah bersemayamnya yang
menjadi orang yang bijaksana, berpikiran rājasika sedangkan yang tāmasika
terang dan tenang. Sifat kasih sayang, kebawah perginya diantar sifat
lemah lembut, tutur katanya sopan, keadaan yang paling rendah. (Pudja,
menarik, lurus hati. Sedangkan jika guna 2005: 351).
rajas lebih banyak mempengaruhi
seseorang maka orang tersebut menjadi Berdasarkan kutipan di atas,
tangkas, keras, rajin, dan penuh usaha. Sifat menjelaskan ketiga unsur tersebut selalu
congkak, dan iri bengis merupakan sifat- mendasari setiap prilaku manusia. Prilaku
sifat rajah. Namun bila guna tamas lebih yang susila merupakan pancaran dan
banyak berpengaruh pada diri seseorang sebagai akibat pengaruh sifat satwa.
maka orang tersebut menjadi lamban, malas Sebaliknya setiap prilaku manusia dalam
dan bodoh, sering berbohong, biasanya kehidupan sehari-hari yang mencerminkan
tanpa arah, pikiran buntu, takut tanpa prilaku adharma merupakan pancaran dan
alasan. Sifat-sifat doyan makan, pengaruh dari sifat rajas dan tamas. Sifat-

172
sifat dari pengaruh rajas dan tamas inilah seharusnya sebagai pengendali, geraknya
merupakan musuh yang ada pada diri dibantu oleh rajas, dan tamas sebagai
pribadi serta sekaligus merupakan musuh pengerem. Jika tidak adanya kerja sama
yang paling berbahaya jika dibandingkan diantara ketiga guna tersebut maka banyak
dengan musuh yang datang dari luar. akan menghadapi rintangan, bahkan tidak
Musuh yang dari dalam seperti pemalas, iri akan bisa sampai tempat tujuan dengan
hati dan lain sebagainya, sikap ini dapat baik.
menjerumuskan seseorang kelembah
penderitaan dan kesengsaraan. Menyadari III. PENUTUP
musuh-musuh tersebut sangat berbahaya, Lontar Tutur Parakriya adalah lontar
maka perlu dikendalikan sebagai salah satu yang berisikan tentang petuah-petuah,
upaya untuk meningkatkan taraf kehidupan nasehat-nasehat yang mulia tentang
yang lebih baik (Darmawan, 2020). Apabila kelepasan. Kelepasan (moksa) menurut
kekuatan satwam mengungguli rajah dan Tutur Parakriya dapat dicapai dengan
tamas, maka Ātman mencapai moksa, bila melaksanakan yoga, untuk
satwa dan rajas sama kuatnya, maka Ātma menghubungakan diri dengan Ida Sang
mencapai sorga. Jika satwam, rajas dan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha
tamas kekuatannya berimbang, maka Esa. Bagi seorang yogiswara pemahaman
menjelmalah Ātman sebagai manusia tentang konsep aksara dan mantra pemujaan
(Darmawan, 2020). Jika sifat rajas yang merupakan suatu keharusan, karena aksara
lebih unggul dari satwam dan tamas merupakan perwujudan dari para dewa,
menyebabkan Ātman jatuh ke alam neraka. yang dihubungkan antara makrokosmos
Apabila sifat tamas yang lebih unggul dari dengan mikrokosmos sebagai sarana
satwam dan rajas, maka Ātman menjelma mencapai kesadaran diri dalam kelepasan.
menjadi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu hidup jangan sia-siakan
Ketiga sifat tersebut ada gunanya dalam mencari bekal, baik sekala dan
dalam diri manusia, oleh karena itu, Tri niskala, bisa juga dikatakan bahwa petuah-
Guna sangat penting untuk dibina dan petuah dan nasehat yang utama patut
dikendalikan. Kerjasama Tri Guna dalam dimuliakan. Adapun petuah-petuah adalah
diri manusia sangat diperlukan, ibarat mengenai usaha peningkatan kesucian lahir
seperti kereta dengan penumpangnya. dan bathin. Pada hakekatnya pitutur atau
Badan manusia (sthula sarira) sebagai tutur mengenai kesucian itu adalah dharma.
kereta, Ātman sebagai penumpangnya, dan Dengan tutur seseorang akan dapat
citta adalah saisnya. Ātman memerintahkan memahami cara atau jalan agar manusia
saisnya bergerak ketempat tujuan, namun dapat berbudi luhur sesuai dengan ajaran
gerak si sais akan dipengaruhi oleh Tri agama.
Guna. Jika guna tamas yang dominan DAFTAR PUSTAKA
menguasai si sais akan mengendalikan lari
keretanya, kereta akan lamban dan akan LONTAR : Transkrip Lontar Tutur Para
setiap saat berhenti. Jika guna rajas yang Kriya, Koleksi Gedong Kirtya
lebih banyak menguasai si sais maka kereta Singaraja No. IIIB.601/1.
akan dilarikan kencang, kasar, kadang-
kadang tidak tentu arah. Jika si sais lebih Astra, Semadi I Gede, G. Sura, Ida Bagus
banyak dikuasai oleh satwam, maka si sais Gde Agastya, Wayan Musna, Luh
akan mengendalikan lari keretanya dengan Suiti, Wayan Cika, I Gusti Ketut
tenang, hati-hati, sabar, dan bisa ditempat Dalem, 2001, Kamus Sansekerta-
tujuan dengan baik. Namun perlu diingat, Indonesia, Milik Pemerintah
agar kereta bisa melaksanakan tugasnya Propinsi Bali.
dengan baik, maka perlu adanya kerja sama
diantara ketiga guna itu. Satwamlah yang

173
Cudamani, 1993, Pengantar Agama Hindu Jembrana. Jñānasiddhânta: Jurnal
untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Teologi Hindu, 2(1), 51-60.
Hanuman Sakti. Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Ajaran
Darmawan, I. P. A. (2020). Pemujaan Agama Hindu dalam Cerita Batur
Barong di Bali dalam Pandangan Taskara. Sanjiwani: Jurnal
Animisme Edward Burnett Tylor. Filsafat, 11(2), 232-244.
Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 10(2), Suadnyana, I. B. P. E., & Darmawan, I. P.
147-153. A. (2020). Nilai Pendidikan
Darmawan, I. P. A. (2020). Bab 10 Agama Hindu Dalam Lontar Siwa
EKSISTENSI SENI DI TENGAH Sasana. Cetta: Jurnal Ilmu
BADAI PANDEMI COVID- Pendidikan, 3(2), 371-391.
19. Bali vs COVID-19: Book Suhardana, K.M, 2007, Tri Kaya Parisuda,
Chapters, 151. Surabaya: Penerbit Paramita.
Kemenuh, Ida Pedanda Putra, 1983, Supartha, Gusti Agung Made, 2003,
Geguritan Dharma Prawretti, Geguritan Pandawa Seda,
Singaraja, Kantor Departemen Ketugtug, Loloan Barat, Jembrana
Kabupaten Buleleng. untuk keperluan sendiri.
Pudja, I Gede, 1985, Pengantar Agama Sura, I Gde, Ida Bagus Kade Sindhu, Ida
Hindu Jilid I untuk Perguruan Bagus Gde Agastya, 1981,
Tinggi, Jakarta: Mayasari. Pengantar Tattwa Darsana
Pudja, G, Sudharta, Rai Tjokorda, 2003, Filsafat Jilid I untuk Kelas I
Manawa Dharmasastra, Jakarta: PGAH Negeri Denpasar.
Pustaka Mitra Jaya. Sura, I Gede, Ida Bagus Kade Sindhu, I
Redana, Made, 2006, Panduan Praktis Gusti Ketut Dalem, 1994, Agama
Penulisan Karya Ilmiah Dan Hindu Sebuah Pengantar,
Proposal Riset dilengkapi Contoh Denpasar: CV. Kayumas Agung.
Proposal Riset, Denpasar: IHDN. Titib, I Made, 1994, Untaian Ratna Sari
Simpen, AB W, 1985, Kamus Bahasa Bali, Upanisad, Denpasar: Yayasan
Denpasar: PT. Mabhakti. Dharma Naradha.
Sudirga, Ida Bagus, I Wayan Sumawa, I Triguna IB Gde Yudha, 2000, Teori
Nengah Mudana, Ida Bagus Tentang Simbol, Denpasar: Widya
Ngurah, Ni Wayan Suratmini, Dharma Universitas Hindu
2004, Widya Dharma Agama Indonesia.
Hindu untuk SMA Kelas X, Untara, I. M. G. S. (2019). KOSMOLOGI
Jakarta: Ganeca Exact. HINDU DALAM
Sudirga, Ida Bagus, I Nengah Mudana, Ni BHAGAVADGĪTĀ. Jñānasiddhân
Wayan Suratmini, I Made Arya, ta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).
2007, Widya Dharma Agama Untara, I. M. G. S., & Supastri, N. M.
Hindu untuk SMA Kelas XII, (2020). AJARAN AHIMSA
Jakarta: Ganeca Exact. DALAM
Suadnyana, I. B. P. E. (2020). AJARAN BHAGAVADGĪTĂ. Vidya
AGAMA HINDU DALAM Darśan: Jurnal Mahasiswa
KISAH ATMA Filsafat Hindu, 1(1).
PRASANGSA. Sphatika: Jurnal Untara, I. M. G. S., & Suardika, I. N.
Teologi, 11(2), 209-221. (2020). MAKNA FILOSOFI
Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Kain Tenun AJARAN SIWA BUDDHA
Cagcag pada Upacara Manusa DALAM LONTAR
Yadnya di Kelurahan BUBUKSAH. Genta
Sangkaragung Kabupaten Hredaya, 3(1).

174
Untara, I. M. G. S., & Gunawijaya, I. W. T.
(2020). Estetika dan Religi
Penggunaan Rerajahan pada
Masyarakat Bali. Jñānasiddhânta:
Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 41-50.
Wiryamartana, 1990, Arjunawiwaha,
Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Zoetmulder, PJ, 1994, Kalangwan Sastra
Jawa Kuno Selayang Pandang,
Penerbit Djambatan.

175

You might also like