You are on page 1of 21

Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.

133-153

PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN


WAYANG ORANG PANGGUNG

Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama

Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya


Universitas Diponegoro, Semarang-Indonesia

Alamat korespondensi:dhanang_puguh@yahoo.com

Diterima/ Received: 23 Agustus 2018; Disetujui/ Accepted: 29 Agustus 2018

Abstract

This article aims to discuss the role of the government in developing Wayang Orang Panggung especially in the
Sriwedari community in Surakarta, Ngesti Pandowo in Semarang, and Bharata in Jakarta. This article based on the
historical method. Since the beginning of Indonesian independence, the government carried out its function as a
protector to maintain the existence of Wayang Orang Panggung, by improving the management of the performing
arts, establishing the performance building, providing funding assistance, giving opportunities to perform at the
state capital, and involving the artists of Wayang Orang in cultural missions. However, the government tended to
be partial and more often conducted as a momentary response that must be addressed immediately because of it
impossible to solve the community itself. Changes happened due to economic globalization and political
dynamics in Indonesia that can threaten the existence of wayang orang and various forms of traditional arts. It
raised hopes that the government could take the more fundamental role as patron-arts. In carrying out this
function, the government requires a formulation on cultural policy as a basis for establishing the direction and
strategy for the development and strengthening Wayang Orang Panggung and various forms of local culture,
within the framework of national culture. The legal needed to carry out, UU RI No. 17 of 2017 about the Cultural
Advancement, and Presidential Regulation No. 65 of 2018 concerning the Procedures for the Principles of
Regional Culture and Cultural Strategies.

Keywords: Wayang Orang Panggung; Sriwedari; Ngesti Pandowo; Bharata; Cultural Policy.

Abstrak

Artikel ini bertujuan membahas tentang peranan pemerintah dalam mengembangkan wayang orang panggung
khususnya pada paguyuban Sriwedari di Surakarta, Ngesti Pandowo di Semarang, dan Bharata di Jakarta. Artikel
ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode sejarah. Sejak awal kemerdekaan
Indonesia, pemerintah telah menjalankan fungsinya sebagai pengayom untuk mempertahankan keberadaan
wayang orang panggung, antara lain dengan memperbaiki manajemen seni pertunjukan, menyediakan gedung
pertunjukan, memberi bantuan pendanaan, dan memberi kesempatan untuk pentas di ibukota negara, serta
mengikutsertakan para seniman wayang orang panggung dalam misi kebudayaan. Namun demikian apa yang
dilakukan oleh pemerintah cenderung parsial dan lebih sering dilakukan sebagai respons sesaat terhadap
persoalan-persoalan yang harus segera ditangani karena tidak mungkin diselesaikan sendiri oleh paguyuban
wayang orang panggung. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat globalisasi ekonomi dan diamika politik di
Indonesia yang dapat mengancam keberadaan wayang orang panggung dan berbagai bentuk kesenian tradisi,
telah memunculkan harapan dari banyak pihak agar pemerintah mengambil peran yang lebih fundamental yaitu
sebagai patron-seni. Dalam menjalankan fungsi ini, pemerintah perlu menyusun kebijakan budaya sebagai dasar
untuk menetapkan arah maupun strategi pengembangan dan penguatan wayang orang panggung dan berbagai
bentuk budaya lokal, dalam kerangka kebudayaan nasional. Payung hukum yang diperlukan untuk menjalankan
fungsi itu telah tersedia yaitu UU RI No. 17 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Perpres RI No. 65
Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Kebudayaan.

Kata Kunci: Wayang Orang Panggung; Sriwedari; Ngesti Pandowo; Bharata; Kebijakan Budaya
133
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

PENDAHULUAN kera dalam lakon-lakon yang bersumber dari


cerita Ramayana. Pada masa pemerintahannya
Kelangsungan hidup kesenian ditopang dengan juga diselenggarakan banyak pementasan
keberadaan sejumlah unsur, yaitu seniman yang wayang wong secara besar-besaran. Oleh karena
kreatif, karya seni yang berkualitas, kritikus seni itu, Sultan Hamengku Buwana VIII terkenal
yang berbobot, dan masyarakat pendukung yang sebagai “pelindung besar wayang wong”
apresiatif. Dalam kesenian tradisi Jawa, keempat (Soedarsono, 1997: 46 dan 164).
unsur itu masih harus ditambah dengan Kesulitan ekonomi sebagai akibat dari
kehadiran maecenas atau patron-seni, yaitu menurunnya pendapatan istana dan terjadinya
pengayom seni yang giat dan kreatif serta perubahan struktur sosial dalam masyarakat
bersedia mencurahkan pikiran, waktu, tenaga, Jawa serta perubahan situasi politik terutama
dan uangnya untuk mengembangkan kesenian setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia telah
tradisi Jawa (Puguh, 2003: 81). Oleh karena menyebabkan sebagian pusat kekuasaan
perhatiannya yang besar pada kesenian dan tradisional di wilayah kerajawian Jawa menjadi
kemurahan hatinya kepada para seniman, maka goyah. Akibat lebih lanjut dari hal itu adalah
patron-seni kemudian dijadikan contoh dan peran patron-seni mulai bergeser ke kalangan
simbol kedermawanan serta perlindungan luar istana. Fenomena itu dapat diamati dari
terhadap kehidupan kesenian (Kayam, 1981: perkembangan wayang orang panggung
72). khususnya di wilayah kerajawian Jawa di
Ketika pusat-pusat kekuasaan tradisional Surakarta. Para sejarawan tampaknya telah
Jawa masih memiliki otoritas di bidang politik, bersepakat untuk menjadikan keberhasilan Gan
ekonomi, dan kebudayaan, peran sebagai patron- Kam, seorang pengusaha keturunan Tionghoa
seni berada di tangan raja. Susuhunan dari Surakarta, sebagai awal terjadinya
Pakubuwana V (memerintah pada 1820-1823), pergeseran patron-seni ke tangan pengusaha
Susuhunan Pakubuwana X (memerintah pada yang sekaligus menandai kemunculan wayang
1893-1939), Mangkunagara IV (memerintah orang yang berorientasi komersial. Pada 1895
pada 1853-1881), dan Mangkunagara VII Gan Kam memboyong wayang orang dari
(memerintah pada 1916-1944) dari kawasan Mangkunagaran dan mengemasnya menjadi
kerajawian Jawa di Surakarta; serta Sultan kelompok wayang orang panggung dengan restu
Hamengkubuwana I (memerintah pada 1755- dari Mangkunagara V (memerintah pada 1881-
1792), Sultan Hamengkubuwana VIII 1896). Kelompok yang dibentuk oleh Gan Kam
(memerintah pada 1921-1939), dan Sultan merupakan kelompok wayang orang panggung
Hamengkubuwana IX (memerintah pada 1940- pertama yang melakukan pentas di panggung
1988) dari Kasultanan Yogyakarta merupakan proscenium (Brandon, 2003: 71; Soedarsono,
beberapa contoh patron-seni yang telah berhasil 2003: 112; Soedarsono dan Narawati, 2011;
dalam mengembangkan kesenian tradisi Jawa Rustopo, 2007: 122 dan 135). Khalayak yang
(Kayam, 2000: 200). Di Mangkunagaran, ingin menonton pertunjukan itu harus membeli
misalnya, Mangkunagara IV telah membawa tiket terlebih dahulu. Sejak saat itu wayang orang
kesenian tradisi Jawa khususnya sastra, tari, panggung tumbuh dan berkembang sebagai
pewayangan, dan karawitan pada kejayaan tontonan yang sangat diminati penonton
(Puguh, 2003: 87-95). Sementara itu, di sekaligus menjadi bisnis yang menguntungkan.
Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengku Tidak mengherankan jika dalam dasawarsa 1920
Buwana VIII telah berhasil mengembangkan dan 1930 cukup banyak pengusaha, khususnya
wayang wong (‘wayang orang’) Yogyakarta dari kalangan keturunan Tionghoa, yang
melalui pembaruan tata busana dengan mengacu menjadi juragan wayang orang panggung
pada pola tata busana pada wayang kulit, (Hersapandi, 1994: 42).
penyempurnaan karakterisasi tokoh, pengem- Surakarta menjadi ladang subur bagi
bangan kelengkapan pentas bergaya realistis, dan perkembangan wayang orang panggung di Jawa
penciptaan gerak-gerak khas bagi pemeran tokoh Tengah. Setelah Gan Kam meninggal pada 30
134
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

Januari 1928, di kota ini bermunculan banyak (Mengenal Kotamadya Semarang, 1968: 83). Di
juragan wayang orang panggung. Beberapa di Jakarta, terdapat wayang orang panggung Pantja
antaranya adalah Lie Sien Kwan atau Bah Bagus Murti. Paguyuban ini didirikan pada 1963 oleh
yang mendirikan Sedya Wandawa, Lie Wat Gien B. Soejono, seorang Mayor Tentara Nasional
yang mendirikan Sarotama, Yap Kam Lok yang Indonesia Aangkatan Darat dari Kesatuan
mendirikan Srikaton, dan Lie Wat Djien (W.D. Siliwangi yang ditugaskan di Jakarta. Pantja
Lie; anak dari Lie Sien Kwan) yang membentuk Murti mengadakan pentas rutin di bekas gedung
wayang orang Sono Harsono dengan dukungan bioskop Rialto di Jl. Kalilio No. 15 kawasan
dari Mangkunagara VII (Rustopo, 2007: 153 Pasar Senen Jakarta Pusat. Wayang orang Pantja
dan 139-142). Pada masa pemerintahan Sunan Murtin sempat berjaya, ditandai dengan
Pakubuwana X Keraton Surakarta juga memben- pembentukan sebuah cabang di Muntilan, Jawa
tuk sebuah kelompok wayang orang panggung. Tengah, pada 1965 yang diberi nama Pantja
Kelompok ini diperkirakan didirikan pada 1910. Murti II, disusul dengan pembentukan sebuah
Para pemainnya berasal dari beberapa perkum- cabang lagi yaitu Pantja Murti III di Lampung
pulan wayang orang panggung di Surakarta, yang pada 1969. Pada awal dekade 1970 kualitas
sebagian diangkat menjadi abdi dalem karena pertunjukan Pantja Murti Jakarta menurun,
memiliki kemampuan seni yang baik. Paguyuban sehingga sepi penonton karena beberapa pemain
ini mengadakan pentas rutin di Taman seniornya keluar dan membentuk paguyuban
Sriwedari, sehingga dikenal sebagai wayangorang wayang orang panggung sendiri, yaitu Warga
Sriwedari. Biarpun didanai oleh pemerintah Muda dan Jaya Budaya. B. Soejono berusaha
Kasunanan Surakarta, para penonton harus meningkatkan jumlah penonton dengan
membeli karcis untuk menyaksikan pementasan- mengadakan undian berhadiah, tetapi langkah
nya. Sampai pada dasawarsa 1930, wayang orang terobosan ini ternyata menjadi ajang perjudian.
Sriwedari menjadi salah satu hiburan yang Oleh karena itu, pada 11 April 1972 Pemerintah
menarik minat banyak penonton di Surakarta DKI Jakarta mencabut izin penggunaan gedung
(Hersapandi, 1999: 85-86 dan 93-94). Kelom- di Jl. Kalilio No. 15 Jakarta oleh Pantja Murti.
pok wayang orang panggung yang lain adalah Sri Sebagai pengganti Pantja Murti, pada 5 Juli 1972
Wanita dari Temanggung yang didirikan pada dibentuk wayang orang yang baru, yaitu Bhawa-
1930 oleh dua bersaudara Juk Hwa dan Kong Rasa-Tala (Bharata). Wayang orang ini dikelola
Hwa. Pada 1935 mereka memindahkan Sri oleh Pemerintah DKI Jakarta melalui Pusat
Wanita ke Semarang (Jonkie Tio, 2005: 50). Kesenian Jakarta (Aulia, 2017: 21-29).
Dalam periode yang sama di Jawa Timur juga Fakta-fakta di atas memperlihatkan bahwa
berdiri kelompok-kelompok wayang orang kemunculan para juragan wayang orang
panggung, antara lain Ngesti Pandowo dan Sri panggung sejak 1895 telah memberi sumbangan
Budaya. Ngesti Pandawa didirikan pada 1937 penting dalam perkembangan seni pertunjukan
oleh Sastrosabdo dengan dukungan modal dari tradisi Jawa, paling tidak hingga awal dasawarsa
seorang pengusaha keturunan Tionghoa. Sejak 1970. Sudah barang tentu tidak semua
1954 Ngesti Pandowo menetap di Semarang. paguyuban wayang orang panggung mampu
Sementara itu, Sri Budaya didirikan di Kediri bertahan. Brandon melaporkan bahwa sampai
pada 1939 oleh Lo Tong Sing. Pada 1941 pada awal abad ke-20 ada sekitar 20 paguyuban
kelompok ini menetap di Surakarta (Rustopo, besar yang tersebar di berbagai kota di Jawa,
2007: 141-142). yang pada 1964 jumlahnya meningkat menjadi
Meskipun tidak sepesat pada dasawarsa 30 paguyuban. Dua paguyuban di antaranya
1920 dan 1930, pembentukan kelompok wayang sangat terkenal karena memiliki kualitas
orang panggung masih terjadi sampai pada pertunjukan yang baik, yaitu Sriwedari di
beberapa dasawarsa pascaproklamasi Indonesia. Surakarta dan Ngesti Pandowo di Semarang
Di Semarang, misalnya, pada 1966 ada sembilan (Brandon, 2003: 316-317). Keberadaan para
paguyuban wayang orang panggung, dan pada juragan dan paguyuban wayang orang panggung
1968 meningkat menjadi 12 paguyuban juga telah menunjukkan adanya pergeseran nilai
135
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

seni dan formalitas budaya keraton melalui Kholiq: 2011: 49). Dalam kasus yang lain, yaitu
perubahan bentuk dan sifat kelembagaan dari Sriwedari, Widyastutieningrum mendorong agar
relasi patron-klien menjadi juragan-buruh. Oleh paguyuban yang dikelola oleh Pemerintah Kota
karena berorientasi pada kepentingan komersial, Surakarta itu berorientasi pada pariwisata
wayang orang panggung juga bercorak melalui wayang orang kemasan padat. Dengan
kapitalistik. Persaingan antarpaguyuban lazim cara itu kehidupan wayang orang panggung akan
terjadi untuk mendapatkan penonton--dengan kembali bergairah (Widyastutieningrum, 2018:
demikian juga keuntungan--sebanyak-banyak- 100-111).
nya. Persaingan itu kadang kala dilakukan tidak Philip Yampolsky mengemukakan pen-
secara sehat, misalnya dengan “membajak” dapat yang menarik karena berbeda dari
bintang panggung paguyuban lain, baik penari pandangan mainstream di Indonesia yang mene-
maupun pemain musik. Para juragan wayang kankan pada pelestarian kesenian tradisi. Ia
orang panggung juga melakukan pendekatan menyatakan bahwa kesenian tradisi di Indonesia
yang intensif dengan para penguasa untuk men- tidak akan mati karena terus terpelihara dalam
dapatkan perlindungan dan izin usaha tradisi yang tidak terputus dengan pengalaman-
(Hersapandi, 1999: 43-44). Hal ini merupakan diri dari kelompok-kelompok seniman inti dan
fakta yang menarik karena menunjukkan penikmatnya. Siapa pun yang merepresentasikan
perkembangan wayang orang panggung sesung- “orang luar” tidak akan mampu melestarikan
guhnya tidak sama sekali terlepas dari dukungan kesenian tradisi atau budaya masyarakat lain,
penguasa atau pemerintah, biarpun patron kecuali dengan menyimpannya di museum atau
wayang orang panggung telah bergeser ke tangan media rekam. Satu-satunya pihak yang dapat
juragan. melestarikan bentuk-bentuk kesenian tradisi
Setelah melampaui masa kejayaan pada atau praktik budaya adalah para seniman dan
dasawarsa 1950-1970, wayang orang panggung khalayak mereka sendiri. Jika mereka tidak
memasuki masa suram dan semakin ditinggalkan menginginkannya lagi, maka kesenian tradisi itu
oleh penontonnya. Gejala kemunduran itu telah akan punah dengan sendirinya. Namun
terlihat sejak akhir dasawarsa 1970 dan menjadi demikian, Yampolsky menyepakati gagasan dari
semakin jelas pada dasawarsa setelahnya.1 Dalam banyak pihak bahwa kesenian tradisi memang
situasi itu banyak pihak mengharapkan agar perlu dibantu agar dapat bertahan dan semakin
pemerintah memberi perhatian yang lebih besar kuat. Dalam konteks itu, orang luar atau orang
terhadap kelangsungan hidup wayang orang dalam yang peduli hanya dapat memberi
panggung. Dalam kasus Ngesti Pandowo, sumbangan yang terbatas, yaitu mencari tahu
misalnya, Puguh et al. menekankan agar mengapa suatu kesenian tradisi tidak diminati
pemerintah melestarikan keberadaan paguyuban lagi dan kemudian melihat kemungkinan untuk
itu karena telah menjadi bagian dari sejarah dan mengatasi masalah itu (Yampolsky, 2001: 177).
budaya Kota Semarang. Dalam masa keemasan- Wayang orang panggung telah menjadi
nya pada 1950-1970, paguyuban itu telah kajian dari beberapa ahli seni pertunjukan.
berhasil mengemas wayang orang yang Hersapandi merupakan salah seorang ahli seni
berkualitas tinggi, memiliki banyak prestasi, dan pertunjukan yang banyak memberikan perhatian
menjadi ikon budaya Kota Semarang (Puguh, terhadap kehidupan wayang orang panggung.
2017: 1-25). Di pihak lain, Jamiel et al. menyata- Setidaknya ada tiga tulisan yang dihasilkannya
kan pentingnya kebijakan konservasi dan revita- yang masing-masing membahas tentang peranan
lisasi kesenian tradisi di Kota Semarang etnis Tionghoa dalam wayang orang panggung
termasuk wayang orang Ngesti Pandowo. (1994); perubahan wayang orang Sriwedari dari
Pemerintah juga perlu memberikan fasilitas yang seni istana menjadi seni komersial (1999); dan
memadai, meningkatkan penget-ahuan dan nasib perkumpulan wayang orang Bharata di
apresiasi generasi muda terhadap kesenian tengah perubahan gaya hidup masyarakat
tradisi, dan mengintegrasikan kesenian tradisi metropolitan Jakarta (2002). Rustopo (2007)
dalam pembangunan pariwisata (Jamiel, Anwar, membahas tentang kiprah etnis Tionghoa dalam
136
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

mendirikan kelompok-kelompok wayang orang 96). Oleh karena itu, pada bagian akhir artikel ini
panggung. Sementara itu, Widyastutieningrum juga akan didiskusikan tentang peranan yang
(2018) membahas tentang revitalisasi wayang sekiranya dapat dilakukan oleh pemerintah
orang Sriwedari dengan mengembangkannya sebagai patron-seni untuk memperkuat dan
sebagai seni wisata. menetapkan arah perkembangan kesenian tradisi
Berbeda dari kajian-kajian yang telah Jawa termasuk wayang orang panggung.
dilakukan, dalam bagian berikut akan dibahas
tentang peranan pemerintah dalam mengem- METODE
bangkan wayang orang panggung khususnya
pada paguyuban Sriwedari di Surakarta, Ngesti Artikel ini disusun berdasar penelitian dengan
Pandowo di Semarang, dan Bharata di Jakarta. menggunakan metode sejarah. Metode ini
Penekanan pada peranan pemerintah didasarkan dijabarkan ke dalam serangkaian kegiatan, yaitu
pada pemikiran bahwa kekuasaan patron-seni mengumpulkan dan memverifikasi sumber-
kesenian tradisi Jawa di kerajawian Jawa secara sumber, menginterpretasi fakta-fakta, dan kemu-
politik dan ekonomi telah melemah terutama dian merekonstruksinya menjadi kisah sejarah
pascaproklamasi kemerdekaan. Pengembangan (Black dan MacRaild, 2007). Sumber-sumber
bidang kebudayaan pun kemudian beralih ke yang digunakan dalam artikel ini terdiri atas
tangan pemerintah Republik Indonesia (Kayam, sumber tertulis berupa arsip, artikel surat kabar
1981: 72 dan 80). Di sisi lain, juragan wayang dan majalah sezaman, dan hasil penelitian yang
orang panggung menjalin hubungan baik dengan dipublikasikan dalam jurnal dan buku. Sumber
pemerintah untuk memperoleh izin usaha dan berupa arsip diperoleh dari sekretariat pagu-
perlindungan. Ketiga paguyuban wayang orang yuban Sriwedari, Ngesti Pandowo, dan Bharata
panggung yang telah disebut dipilih berdasar serta Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
beberapa pertimbangan. Sriwedari dan Ngesti Surakarta. Sumber berupa artikel surat kabar dan
Pandowo didirikan pada masa kolonial, majalah sezaman serta hasil penelitian diperoleh
sedangkan Bharata mewakili paguyuban yang dari Monumen Pers, Depo Arsip Suara Merdeka,
didirikan pada masa setelah proklamasi kemer- dan Perpustakaan Nasional. Sebagian artikel
dekaan Indonesia. Di sisi lain, Sriwedari (sejak jurnal diperoleh melalui penelusuruan secara
1946) dan Bharata mewakili paguyuban yang daring. Dalam artikel ini juga digunakan sumber
dikelola oleh pemerintah, sedangkan Ngesti lisan yang diperoleh melalui wawancara sejarah
Pandowo sejak didirikan merupakan milik lisan dengan pengurus paguyuban dan anak
perorangan atau keluarga. Sudah barang tentu wayang. Penggunaan sumber lisan dilakukan
pilihan itu juga didasarkan pada kenyataan pula dengan memanfaatkan transkripsi hasil
bahwa hanya ketiga paguyuban itu yang tersisa wawancara sejarah lisan yang dilakukan oleh
dan masih bertahan sampai saat ini (2018). peneliti lain.
Dari pembahasan itu diharapkan dapat Sumber-sumber yang telah dikumpulkan
dipetakan bentuk-bentuk dukungan pemerintah itu selanjutnya dikritik, sehingga diperoleh fakta-
dan pengaruhnya terhadap perkembangan fakta sejarah yang kredibel. Fakta-fakta sejarah
wayang orang panggung. Pembahasan ini juga ini kemudian diinterpretasi berdasar prinsip
membuka kemungkinan untuk melihat lebih kronologis dan hubungan sebab-akibat, untuk
jauh peranan pemerintah melalui kebijakan selanjutnya dikonstruksi menjadi kisah sejarah
budaya baik untuk mempertahankan maupun (history as written).
mendinamisasi kesenian tradisi; atau dengan HASIL DAN PEMBAHASAN
perkataan lain pemerintah diharapkan dapat
mengemban tugas sebagai patron-seni. Seperti Dukungan Pemerintah terhadap Wayang Orang
telah ditegaskan oleh Puguh, kehadiran patron- Panggung
seni mutlak diperlukan dalam kehidupan kese-
nian tradisi Jawa agar dapat berkembang Dukungan pemerintah dalam pengembangan
semakin dinamis dan berkualitas (Puguh, 2003: wayang orang panggung dapat bersifat langsung
137
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

maupun tidak langsung. Di samping itu, dukung pegawai yang semula merupakan abdi dalem
itu juga diwujudkan dalam berbagai bentuk keraton dialihstatuskan menjadi pegawai
sebagaimana diuraikan dalam bagian berikut. pemerintah Republik Indonesia. Para pemain
wayang orang Sriwedari yang berstatus sebagai
Pengelolaan pegawai harian juga tetap dipertahankan beserta
Sejak dibentuk pada 1910, Sriwedari mendapat gelar-gelar kehormatan yang berasal dari keraton
pendanaan dari pemerintah Kasunanan (Hersapandi, 1999: 98-99). Kondisi sosial
Surakarta, tetapi para penonton tetap harus politik di Surakarta pada awal kemerdekaan yang
membeli karcis untuk menyaksikan tidak kondusif mengakibatkan pementasan rutin
pertunjukannya. Pada dasawarsa 1930, wayang tidak dapat berlangsung secara ajeg. Setelah
orang Sriwedari sangat popular di kota keadaan aman, pergelaran diaktifkan lagi dan
Surakarta. Salah satu daya tarik wayang orang mendapat sambutan yang luar biasa dari
panggung ini terletak pada kemampuan para masyarakat. Peningkatan antusiasme penonton
pemainnya yang sangat baik sehingga menjadi mendorong pengelola Taman Sriwedari untuk
idola penonton, antara lain Wugu Harjawibaksa membangun gedung baru yang lebih
(pemeran Gathutkaca), Sastradirun (pemeran representatif pada 1950/ 1951 (Rusini, 2003:
Petruk), dan Nalawibaksa (pemeran Gareng) 27). Sebagai sebuah lembaga yang diharapkan
(Hersapandi, 1999: 93-94). Sampai menjelang dapat memberi kontribusi bagi pendapatan
proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sriwedari daerah, wayang orang Sriwedari dituntut untuk
merupakan wayang orang panggung terbaik meningkatkan kualitas pertunjukan agar diminati
sehingga dijadikan acuan oleh paguyuban lain. oleh penonton. Oleh karena itu, Pemerintah
Hal itu terbukti misalnya dari pengakuan Daerah Surakarta pada 1954 menugaskan
Sastrosabdo, pemimpin Ngesti Pandowo (1937- Tohiran untuk memimpin paguyuban
3
1966), saat membawa paguyuban itu pentas Sriwedari. Selama memimpin Sriwedari antara
keliling di Surakarta pada 1944. Ia mengatakan: 1954-1967, Tohiran melakukan langkah-langkah
untuk meningkatkan kualitas pertunjukan, yaitu
Sriwedari memegang tampuk pimpinan regenerasi pemain dan perubahan sistem
utama dalam tontonan wayang orang. Selain produksi serta sistem pemasaran. Regenerasi
kedudukannya di kota Solo, paguyuban itu pemain dilakukan melalui pelatihan olah tari,
menerima bantuan dan restu dari Kangjeng antawacana (dialog), tembang, dan karawitan
Sinuwun. Nilai permainan dan karawitannya dengan menempatkan para pemain senior
setinggi langit. Anggotanya memang terdiri sebagai pembimbing dan penasihat. Perubahan
dari kaum gemblengan (Tjiptadihardja dan sistem produksi dilakukan dengan mengubah
Soeratno, 1992: v). spesialisasi peran tertentu ke sistem yang lebih
luwes, artinya seorang penari harus dapat
Setelah pembekuan swapraja Surakarta memerankan berbagai karakter wayang orang.
pada 1946, pengelolaan Taman Sriwedari beralih Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi
ke Pemerintah Kota Surakarta. Sejak peralihan pembatalan pementasan yang disebabkan oleh
itu, pengelolaan wayang orang Sriwedari ketidakhadiran seorang pemain spesialis peran
dilakukan berganti-ganti oleh beberapa dinas. tertentu. Perubahan sistem produksi juga
Mula-mula dikelola oleh Jawatan Penghasilan dilakukan dengan mempersingkat durasi
yang kemudian diubah menjadi Dinas pertunjukan dari lima sampai enam jam menjadi
Pendapatan Daerah (1946-1980), kemudian tiga sampai empat jam tanpa mengubah struktur
oleh Dinas Pariwisata (1980-2008), dan Dinas pathet, melainkan dengan mengurangi adegan
Kebudayaan dan Pariwisata (2008-2016). dan antawacana yang tidak penting. Perubahan
Akhirnya, sejak 2017 Sriwedari dikelola oleh durasi ini dilakukan sebagai penyesuaian
Dinas Kebudayaan.2 terhadap pandangan masyarakat yang semakin
Fungsi Taman Sriwedari tetap menghargai waktu untuk bekerja. Sementara itu
dipertahankan sebagai tempat rekreasi. Para perubahan sistem pemasaran dilakukan melalui
138
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

publikasi melalui media radio dan penyebaran Officers untuk mempersiapkan penyelenggaraan
pamflet dengan kendaraan keliling kota wayang orang sebagai pengganti wayang orang
(“Transkrip Wawancara dengan Tohiran”; Pantja Murti. Ketiga, pengelolaan pertunjukan
Puguh, 2015: 393). wayang orang yang baru itu dilakukan oleh Pusat
Pembaharuan manajemen seni pertunju- Kesenian Jakarta.4
kan itu berhasil membawa Sriwedari ke masa Atas dasar keputusan itu B. Soejono
kejayaan. Ketergantungan kepada pemain memindahkan Pantja Murti ke Jakarta Utara.
spesialis menjadi semakin berkurang karena Namun demikian, ada sebagian anggota yang
pemain muda menguasai berbagai bidang, tidak ikut pindah dan memilih bertahan di
kecintaan mereka terhadap kesenian wayang gedung di Jl. Kalilio No. 15 Jakarta. Setelah
orang semakin meningkat, dan beberapa pemain kepindahan itu Pantja Murti akhirnya bubar.
menjadi pujaan penonton sehingga dapat Ketika tim yang dipimpin oleh Djadug
menambah daya tarik pementasan (Rusini, Djajakusuma memulai tugasnya untuk
2003: 32). Wayang orang Sriwedari menjadi mempersiapkan pembentukan wayang orang
semakin terkenal dan digemari karena selalu yang baru, beberapa mantan pemain Pantja
mampu memenuhi selera penontonnya Murti yang masih bertahan di dalam gedung itu
(Djajabaja, No. 25, Taun XXIV, 1 Maret 1970). ikut dilibatkan, salah satunya adalah Slametto.
Hasil penjualan tiket wayang orang Sriwedari Paguyuban yang baru itu akhirnya dapat
menjadi salah satu sumber andalan bagi dibentuk pada 5 Juli 1972. Anggota tim juga
pendapatan pemerintah daerah. Tidak menghe- menyepakati nama yang diusulkan oleh Djadug
rankan apabila Brandon menyatakan bahwa pada Djajakusuma, yaitu Bhawa-Rasa-Tala yang
masa kejayaannya yang terjadi justru Sriwedari disingkat menjadi Bharata. Selama proses
yang menyokong pemerintah dan bukan pembentukan Bharata, Pemerintah DKI Jakarta
sebaliknya (Brandon, 2003: 392-393). melakukan perbaikan gedung pertunjukan
Di pihak lain, Bharata merupakan khususnya pada bagian interior dan melengkapi
paguyuban wayang orang panggung yang sejak kursi, tata suara, dan tata cahaya. Selain itu,
semula dibentuk dan dikelola oleh Pemerintah pemerintah juga menyediakan seperangkat
DKI Jakarta. Pembentukan Bharata diawali gamelan dan kostum (Aulia, 2017: 31-32).
dengan pencabutan izin penggunaan gedung Pada awalnya Bharata memiliki sekitar 80
pertunjukan di Jl. Kalilio No. 15 Jakarta yang orang anggota yang terdiri atas penari,
sebelumnya digunakan sebagai tempat pengrawit, dan tenaga kebersihan. Pada 1975
pementasan rutin wayang orang Pantja Murti. jumlah anggotanya meningkat menjadi 85 orang.
Pencabutan izin penggunaan gedung itu telah Namun, apabila digabungkan dengan keluarga
dilakukan pada 10 Januari 1972 berdasar Surat mereka, maka secara keseluruhan jumlahnya
Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. mencapai 150 orang atau 33 KK (Aulia, 2017:
Ca.3/1/10/72, tetapi keputusan itu tidak segera 45-48). Mereka tinggal di petak-petak yang
direalisasikan, sehingga Pantja Murti tetap dibangun di belakang gedung pertunjukan.
menggunakannya untuk pentas wayang orang. Anggota keluarga yang tidak menjadi penari atau
Sekitar tiga bulan kemudian Gubernur DKI pengrawit bertugas di bagian penjualan tiket,
Jakarta menerbitkan Surat Keputusan No. keamanan, dan penyambut tamu. Saat bertugas
Ca.3/1/43/72 tanggal 11 April 1972. Ada tiga mereka berpenampilan rapi mengenakan
butir penting dalam surat keputusan ini. seragam dan berdasi. Para penonton
Pertama, Pantja Murti harus meninggalkan diperbolehkan membawa makanan, minuman,
gedung pertunjukan itu paling lambat pada 31 merokok, dan bahkan memesan bir kepada
Mei 1972. Kedua, fungsi gedung itu tetap petugas di gedung pertunjukan (Kompas, 21
dipertahankan sebagai tempat pertunjukan Januari 1979).
wayang orang. Dalam hubungan itu Pemerintah Pada 1999-2004 gedung pertunjukan
DKI Jakarta menunjuk Djadug Djajakusuma dan Bharata direnovasi oleh Pemerintah DKI Jakarta.
Sumantri Sastro Suwondo sebagai Project Selama proses renovasi itu Bharata tidak
139
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

melakukan pementasan. Para anggotanya untuk penonton, terutama pada malam libur,
sementara bergabung dengan berbagai mendorong pemerintah setempat untuk
kelompok kesenian lain misalnya Yayasan memperbaiki GRIS secara bertahap. Gedung
Pelangi Nusantara dan Ketoprak Humor, atau yang semula menyerupai bangunan darurat itu
menjadi penari latar di bawah koordinasi sebuah akhirnya menjadi representatif untuk mementa-
perusahaan yang bernama Pentasindo. Masa skan wayang orang (Suara Merdeka, 13 Djuli
vakum yang cukup lama menyebabkan Bharata 1962). Hak kepemilikan atas lahan dan gedung
mati suri, sementara anggotanya telah tersebar di kesenian itu ada pada Yayasan GRIS, sedangkan
berbagai kelompok kesenian. Kondisi ini Ngesti Pandowo berstatus sebagai penyewa
mengancam keberadaan Bharata. Oleh karena (Suara Merdeka, 13 Februari 1962;
itu, pada 2005 beberapa anggota senior seperti Tjipradihardja dan Soeratno, 1992: 17).
Slametto, Supono, dan Haryati berinisiatif untuk Pada 1981 gedung itu direnovasi karena
membangun kembali Bharata dengan dianggap sudah tidak layak untuk pertunjukan
mengundang anggota-anggota lain. Usaha itu wayang orang. Renovasi dilakukan di bawah
membuahkan hasil yang positif yang tampak dari pengawasan sebuah tim yang dibentuk berdasar
adanya pembentukan kepengurusan baru Surat Keputusan Wali Kotamadya Semarang No.
dengan ketua Marsam Mulyo Atmojo (Aulia, 643/05/505/1981 tanggal 1 April 1981 (Suara
2017: 84-89). Merdeka, 24 Juli 1981). Kebijakan ini juga
Seperti halnya Sriwedari dan Bharata, didukung oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Ngesti Pandowo juga mendapat dukungan dari Daerah (DPRD) Kotamadya Semarang
pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung khususnya Komisi E yang menangani urusan
pertunjukan. Paguyuban ini sejak dibentuk pada Kesejahteraan Rakyat (Kesra) termasuk di
1937 melakukan pentas keliling di berbagai kota dalamnya bidang kebudayaan. Komisi itu
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Setelah sempat menyarankan kepada pemerintah untuk
berhenti total pada 1948, Ngesti Pandowo mulai meringankan pajak tontonan bagi Ngesti
pentas keliling lagi pada September 1949. Kota Pandowo, serta mengharapkan agar Yayasan
yang dituju adalah Semarang dan dilanjutkan ke GRIS memberikan keringanan biaya sewa
Tegal (Suara Merdeka, 22 November 1996). gedung (Suara Merdeka, 14 Oktober 1982).
Empat tahun kemudian, pada 1953 Ngesti Setelah lebih dari tiga dekade menempati
Pandowo kembali lagi ke Semarang. Kembalinya gedung kesenian di kompleks GRIS, hubungan
Ngesti Pandowo ke kota ini mendapat sambutan Ngesti Pandowo dengan Yayasan GRIS mulai
hangat dari warga masyarakat dan pemerintah. tidak harmonis. Pada 18 Januari 1990, melalui
Kepala Daerah Kota Besar Semarang surat No. 18/SG/GK/I/90, Yayasan GRIS
Hadisoebeno Sosrowerdojo yang sangat terke- meminta Ngesti Pandowo untuk segera
san setelah menonton pertunjukan Ngesti meninggalkan GRIS. Ngesti Pandowo dianggap
Pandowo meminta agar peguyuban ini menetap telah melalaikan kewajiban dengan tidak
di Semarang. Pengelola dan warga paguyuban ini membayar sewa gedung sedangkan masa sewa
menyambut baik permintaan ini. Mereka telah lama habis. Yayasan GRIS juga telah
mengutus Nartosabdo untuk mengadakan berniat untuk merenovasi gedung kesenian itu
pembicaraan dengan perwakilan dari pemerintah dan mengelolanya sebagai kegiatan usaha
daerah. Pertemuan itu menghasilkan kesepa- ekonomi yayasan, yaitu disewakan untuk
katan, bahwa Ngesti Pandowo bersedia menetap pertunjukan, pertemuan, rapat, dan pesta (Suara
di Semarang sementara pemerintah daerah Merdeka, 7 Februari 1990). Namun demikian,
menyediakan tempat bagi paguyuban untuk akhirnya diketahui bahwa lahan dan bangunan-
pementasan tetap di kompleks Gedung Rakyat bangunan di kompleks GRIS sebetulnya tidak
Indonesia Semarang (GRIS) di Jalan Bojong dikelola sebagai usaha ekonomi Yayasan GRIS,
(sekarang Jalan Pemuda) No. 116 Semarang. tetapi dijual kepada pihak lain yang kemudian
Ngesti Pandowo mulai menempati gedung itu membangunnya menjadi pusat perbelanjaan.
pada 1954. Pertunjukannya yang selalu ramai Ngesti Pandowo pindah dari kompleks GRIS
140
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

pada Oktober 1996, namun masih diberi disukai penonton, Presiden Soeharto pada 1975
kesempatan untuk pentas di sana hingga memberi bantuan dana kepada pengelola
November 1996 (Suara Merdeka, 22 November Sriwedari sebesar Rp 325.000 per bulan, dan
1996). Setelah pindah paguyuban ini sempat pada 1989 ditingkatkan menjadi 1.286.000 per
vakum selama enam bulan dan baru dapat bulan. Pada 1977 Presiden Soeharto memberi
mengadakan pentas lagi dengan menyewa bantuan lagi yang diwujudkan melalui
gedung Istana Majapahit di Pedurungan yang pemugaran gedung pertunjukan Sriwedari
sebetulnya tidak representatif untuk menggelar (Hersapandi, 1999: 119 dan 125).
pertunjukan wayang orang. Ngesti Pandowo bahkan mengalami
Biarpun Ngesti Pandowo merupakan kesulitan finansial yang lebih parah. Sejak awal
milik perorangan, Pemerintah Kota Semarang 1980-an, saat masih mengadakan pentas rutin di
tetap memperlihatkan komitmen untuk GRIS, jumlah penontonnya terus menurun.
membantu-nya. Hal itu terbukti dari adanya Hasil penjualan tiket tidak dapat menutup
kesepakatan antara pemerintah dan Yayasan ongkos produksi sehingga Ngesti Pandowo
GRIS mengenai pemanfaatan sebagian dari hasil sering menanggung kerugian. Kondisi itu
penjualan lahan dan bangunan di kompleks memaksa pengelola paguyuban untuk menjual
GRIS untuk membangun gedung pertunjukan gamelan demi mempertahankan kelangsungan
bagi Ngesti Pandowo di Taman Budaya Raden hidup anggotanya (Kompas, 20 Oktober 1982).
Saleh (TBRS). Gedung itu mulai dibangun pada Penjualan aset ini mengundang keprihatinan
1997 dan selesai pada Juli 1998. Gedung banyak pihak. Oleh karena itu, Pemerintah Kota
pertunjukan yang diberi nama “Gedung Ki Semarang berusaha meringkankan beban Ngesti
Nartosabdo” itu mampu menampung menam- Pandowo dengan memberi bantuan uang
pung 600 orang penonton dan memiliki sebesar Rp 900 ribu pada 1982. Bantuan serupa
sejumlah fasilitas seperti teras, ruang loby, ruang diberikan pula oleh gubernur Jawa Tengah
pertemuan atau ruang audiensi, ruang VIP, sebesar Rp 10 juta dan oleh para donatur sebesar
ruang ganti, kantin, dan toilet serta telah Rp 10 juta (Suara Merdeka, 14 Oktober 1982).
dilengkapi dengan tata suara dan tata cahaya Pada 1985 gubernur Jawa Tengah kembali
untuk mendukung pementasan wayangorang. memberi bantuan uang sebesar Rp 2 juta, yang
Gedung Ki Nartosabdo diresmikan pada 27 Juli digunakan untuk membeli wireless dan 20 buah
1998, tetapi Ngesti Pandowo mulai mengguna- mik (Suara Merdeka, 10 Januari 1985). Komisi E
kannya sebagai tempat pentas rutin pada 2000 DPRD Kota Semarang bahkan mewacanakan
(Suara Merdeka, 28 Juli 1998). agar Pemerintah Kota Semarang menyediakan
anggaran rutin bagi Ngesti Pandowo melalui
Bantuan Pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Selain manajemen dan penyediaan gedung, (APBD). Dana itu dapat diberikan langsung
dukungan pemerintah dalam pengembangan kepada pengelola paguyuban, atau secara tidak
wayang orang panggung juga diwujudkan langsung yaitu dengan mengangkat sebagian
melalui bantuan pendanaan. Bantuan ini pemain Ngesti Pandowo sebagai pegawai
diberikan terutama setelah seni pertunjukan honorer Pemerintah Kota Semarang (Suara
komersial itu mengalami kemunduran dan Merdeka, 14 Oktober 1982). Akan tetapi,
semakin sepi penonton yang berdampak pada gagasan itu tidak mendapat persetujuan dari
penurunan pendapatan dari hasil penjualan tiket. fraksi-fraksi di DPRD Kota Semarang. Alasannya
Gejala kemunduran wayang orang panggung adalah wayang orang Ngesti Pandowo bukan
mulai terlihat pada akhir dasawarsa 1970 dan milik dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.
menjadi semakin jelas pada dasawarsa-dasawarsa Oleh karena itu, pemberian bantuan secara rutin
berikutnya. Kemunduran Sriwedari, misalya, melalui APBD berpotensi menimbulkan
telah mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat. kecemburuan dari paguyuban lain yang
Untuk menggairahkan kembali para seniman mengalami masalah seperti Ngesti Pandowo
agar mampu menghasilkan kreativitas yang (Suara Merdeka, 8 November 1982).
141
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

Oleh karena kesulitan keuangan selalu Pandowo masih merupakan sebuah paguyuban,
dihadapi oleh Ngesti Pandowo, maka bukan organisasi yang berbadan hukum.
Pemerintah Kota Semarang berdasar Status itu pula yang membedakan Ngesti
kesepakatan dengan Yayasan GRIS kemudian Pandowo dengan Bharata. Sejak didirikan,
menyisihkan sebagian dana dari hasil penjualan Bharata mendapat subsidi dari Pemerinah DKI
kompleks GRIS sebesar Rp 500 juta sebagai Jakarta sebesar 100.000,- per bulan (Kompas, 21
“dana abadi” untuk Ngesti Pandowo (Suara Januari 1979). Dana subsisdi ini sudah barang
Merdeka, 9 Maret 2000). Dana itu disimpan di tentu tidak mencukupi untuk biaya operasional
bank dan dikelola oleh Pemerintah Kota meskipun telah ditambah dengan hasil penjualan
Semarang. Sejak 8 November 1996 hingga 1 Juli tiket. Oleh karena itu, pengelola Bharata dengan
1998 paguyuban ini memperoleh “dana bantuan dukungan dari pemerintah membentuk Yayasan
dari pemerintah” sebesar Rp 4 juta per bulan Bharata pada 1977. Ketua yayasan ini dijabat
yang diambil dari bunga deposito dana abadi itu. oleh Mayor Jenderal Djajadiwangsa. Yayasan
Baru sejak 1 Agustus 1998 pengelolaan dana Bharata dibentuk dengan tujuan untuk
abadi itu diserahkan kepada Ngesti Pandowo, meningkatkan kesejahteraan anggota Bharata
yang oleh pengurus paguyuban ini antara lain dengan menggalang dana baik dari
didepositokan di Bank Negara Indonesia 46 pemerintah maupun perusahaan-perusahaan.
(Suara Merdeka, 12 Mei 2000). Pada 1980-1982 yayasan ini berhasil
Sejak 2010 Pemerintah Kota Semarang membangun kompleks pemukiman bagi anggota
melalui Dinas Kebudayan dan Pariwisata serta wayang orang Bharata, yang kemudian dikenal
Dinas Pendidikan menjalin kerja sama dengan dengan sebutan Padepokan Bharata. Kompleks
Ngesti Pandowo untuk menyelenggarakan pemukiman ini berlokasi di Kelurahan Sunter
“Program Kenal Wayang Orang”, yang Agung, Kecamatan Tanjung Priuk, Jakarta Utara.
diwujudkan dalam bentuk pentas wayang orang Lahan untuk pemukiman itu yang luasnya 6.000
kemasan padat sebanyak empat kali dalam meter persegi merupakan hibah dari Tan Kudus,
setahun. Sasaran program ini adalah para guru seorang pengusaha keuturnan Tionghoa yang
dan siswa sekolah mulai dari Sekolah Dasar berasal dari Kudus. Pembangunan Padepokan
hingga Sekolah Menengah Umum. Mereka tidak Bharata dilakukan melalui kerja sama dengan
dipungut biaya atau harus membeli tiket Bank Tabungan Negara. Setiap rumah bernilai
pertunjukan karena ongkos produksi telah Rp 1.900.000,- dan pembayarannya diangsur
ditanggung oleh pemerintah yaitu sebesar Rp 35 selama 15 tahun. Padepokan Bharata diresmikan
juta per tahun (Suara Merdeka, 9 Juni 2010). oleh Gubernur DKI Jakarta Wiyogo
Selain itu Pemerintah Kota Semarang, Atmodarminto (Aulia, 2017: 51). Melalui
Pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga memberi yayasan itu pula wayang orang Bharata dapat
subsidi kepada Ngesti Pandowo sebesar Rp 35 memperoleh subsidi dari Pemerintah DKI
juta yang bersumber dari APBD. Kebijakan ini Jakarta dalam jumlah yang semakin besar, yaitu
didasarkan pada Surat Keputusan Gubernur Rp 200 juta pada 2008 yang meningkat menjadi
Jawa Tengah No. 430/7 tahun 2014. Akan Rp 260 juta pada 2009 (Kompas, 17 Januari
tetapi, subsidi itu tidak diberikan lagi pada 2015 2010).
(http://www.berita. suaramerdeka.com/ngesti-
pandawa-gagal-terima-dana-hibah-2/, diakses 25 Pentas di Ibukota Negara
Agustus 2016). Hal itu terjadi karena ada aturan Kesempatan untuk melakukan pentas di Jakarta
dari Kementerian Dalam Negeri yang sangat berarti bagi wayang orang panggung di
mensyaratkan bahwa bantuan dari pemerintah daerah. Kesempatan itu dapat digunakan untuk
berupa uang, peralatan maupun fasilitas lain mengukur popularitas dan kualitas pertunjukan
hanya dapat diberikan kepada masyarakat mereka. Dalam perspektif daerah, Jakarta
melalui organisasi atau lembaga yang telah diposisikan sebagai pusat dan sekaligus etalase
berbadan hukum. Sampai pada 2015 Ngesti Indonesia. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila kesempatan untuk pentas di ibukota
142
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

negara dirasakan sebagai prestasi yang Bambangan-Cakil, khususnya untuk tokoh


membanggakan. bambangan. Tokoh Abimanyu diperankan oleh
Sriwedari dan Ngesti Pandowo merupa- Suwarni sementara tokoh Cakil tetap diperankan
kan contoh wayang orang panggung yang pernah oleh Sutjipto Dihardjo. Keesokan harinya Ngesti
mendapat kesempatan untuk pentas di Jakarta. Pandowo diminta mengadakan pentas satu
Pada 1967 Sriwedari mendapat undangan untuk malam di Istana Bogor dengan membawakan
menggelar pentas wayang orang di Taman Ismail lakon yang sama. Pada siang harinya rombongan
Marzuki Jakarta dengan menampilkan lakon Ngesti Pandowo diundang dalam acara makan
Bima Sakti. Pada 1971 wayang orang Sriwedari bersama dengan Presiden Sukarno. Acara itu
kembali tampil di Jakarta dengan dukungan berlangsung dalam suasana yang cair. Presiden
Karawitan Studio RRI Jakarta (Rusini, 2003: banyak tertawa saat mendengar jawaban dari
35). Dalam kedua pementasan itu Sriwedari anggota Ngesti Pandowo yang ditanya satu per
mampu menyuguhkan pertunjukan wayang satu dalam acara itu (Tjiptodihardjo dan
orang yang menarik minat banyak penonton. Suratno, 1992:18). Ngesti Pandowo kembali
Undangan untuk pentas di Jakarta mendapat kehormatan untuk tampil di Istana
mencerminkan popularitas wayang orang Merdeka pada 17 Agustus 1960. Selanjutnya,
Sriwedari terutama pada masa kejayaannya berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun
(Puguh, 2015: 397). 1960, Presiden memberi Piagam Penghargaan
Salah satu penari Sriwedari, yaitu Rusman “Wijayakusuma” kepada Ngesti Pandowo, yang
Harjawibaksa, juga sering diundang ke istana diterima pada 17 Agustus 1962 (Panitia
untuk menarikan Gathutkaca di hadapan tamu Peringatan 9 Windu Paguyuban Wayang Orang
negara. Secara pribadi, Presiden Sukarno Ngesti Pandowo, 2009:13).
memiliki kegandrungan kepada tokoh Presiden Sukarno menyukai dan
Gathutkaca yang diperankan oleh Rusman mengagumi adegan Bambangan-Cakil dalam
Harjawibaksa dengan gaya dan nada bicaranya pentas Ngesti Pandowo, khususnya yang
yang maskulin dan berwibawa. Hal itu diperankan oleh Suwarni dan Sutjipto Dihardjo
menginspirasi presiden pertama Republik dengan iringan permainan kendang Nartosabdo.
Indonesia itu untuk meniru gaya dan nada bicara Oleh karena itu, dalam beberapa kesempatan
tokoh Gathutkaca ketika sedang berpidato ketiga seniman itu diundang untuk
(Soedarsono dan Narawati, 2011: 140). mementaskan fragmen Bambangan-Cakil di
Di sisi lain, Ngesti Pandowo mendapat Istana Merdeka untuk menghibur tamu negara.
kesempatan pentas di Jakarta pada 1954 atas Suwarni dan Sutjipto Dihardjo memang
undangan dari sebuah panitia untuk menggalang merupakan pasangan penari terbaik Bambangan-
dana bagi korban letusan Gunung Merapi. Cakil pada masa itu (Suara Merdeka, 19 Djuli
Penontonnya yang membludag menarik 1962). Dalam sebuah sumber bahkan dikatakan
perhatian Presiden Sukarno, sehingga Ngesti bahwa mereka merupakan pemeran Bambangan-
Pandowo dipanggil untuk pentas di Istana Cakil kesayangan Presiden Sukarno (Suara
Merdeka. Lakon yang dibawakan pada saat itu Merdeka, 3 Juli 2007). Saat mereka
adalah Mustakaweni. Presiden Sukarno terkesan membawakan fragmen itu, Presiden Sukarno
dengan adegan Bambangan-Cakil dalam selalu menginginkan pemain kendangnya adalah
pementasan itu. Tokoh Bambang Priambodo Nartosabdo. Sutjipto Dihardjo menuturkan
diperankan oleh Sarminto, sedangkan tokoh pengalamannya saat ia dan Suwarni diminta
Cakil diperankan oleh Sutjipto Dihardjo. Pada mementaskan fragmen Bambangan-Cakil di
1957 Ngesti Pandowo kembali diundang untuk Istana Merdeka pada 1963. Ketika itu
mengadakan pentas amal di Lapangan Ikada Nartosabdo tidak ikut ke istana karena pada
Jakarta. Setelah itu Ngesti Pandowo diminta waktu yang bersamaan ia mengadakan pentas
untuk melanjutkan pentas di Istana Merdeka wayang kulit di Jakarta. Akan tetapi, Presiden
dengan lakon Kikis Tunggarana. Dalam pentas menghendaki agar Nartosabdo dipanggil ke
ini terjadi perubahan peraga dalam adegan istana sehingga ia harus memulai pertunjukan
143
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

wayang kulit lebih malam dari biasanya demi Korea, dan Jepang (Mengenal Kotamadya
memenuhi permintaan Presiden untuk Semarang, 1968: 84).
mengiringi fragmen Bambangan-Cakil Sementara itu, para seniman Bharata
(Wawancara dengan Tjiptadihardja, 12 Agustus dilibatkan dalam misi kebudayaan pada 1993 di
2009). Istambul dan pada 1999 di Amsterdam
(Hersapandi, 2002: 37). Bharata juga dilibatkan
Misi Kebudayaan dalam misi kebudayaan pada 2009 dan 2010 di
Misi kebudayaan menjadi salah satu strategi Australia. Pada 2009 Jaya Suprana mendapat
ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam tugas sebagai Duta Kebudayaan dan Pariwisata.
membangun hubungan persahabatan maupun Salah satu acaranya adalah menggelar
kerja sama dalam kancah internasional. Misi pertunjukan di Melbourne Recital Center,
kebudayaan sekaligus digunakan sebagai wahana Australia, pada 4 Agustus 2009. Jaya Suprana
untuk mengenalkan kekayaan dan keanekara- membawa 40 seniman yang tergabung dalam
gaman budaya Indonesia di lingkungan global. Laskar Musik Indonesia Pusaka. Beberapa di
Para seniman wayang orang panggung baik dari antaranya adalah pemain musik dan penari dari
Sriwedari, Ngesti Pandowo maupun Bharata Bharata. Kesempatan yang lebih besar bagi
pernah dilibatkan dalam beberapa misi Bharata datang pada 2010 dalam misi
kebudayaan. Kesempatan ini secara tidak kebudayaan ke Australia. Pada tahun itu Jaya
langsung telah memperlihatkan dukungan Suprana membawa 70 orang seniman wayang
pemerintah dalam melestarikan dan mengem- orang yang sebagian terbesar berasal dari
bangkan wayang orang panggung. Bharata. Mereka mengadakan pentas wayang
Pada 1961 beberapa bintang panggung orang pada 26 Desember 2010 dengan lakon
Sriwedari, yaitu Rusman Harjawibaksa, Darsi Banjaran Gatotkaca di Sydney Opera House,
Pudyarini, dan Surana Ranawibaksa, ditunjuk sebuah gedung pertunjukan kesenian yang
oleh pemerintah untuk mengikuti misi sangat bergengsi kelas dunia. Pentas itu
kebudayaan ke Amerika Serikat, Jepang, merupakan merupakan pentas wayang orang
Hongkong, Philipina, dan Singapura. Beberapa yang pertama dalam sejarah Sydney Opera
tahun kemudian, mereka juga dilibatkan dalam House. Oleh karena itu, persiapan dilakukan
misi kebudayaan ke Pakistan dan Amerika secara serius. Penataan tari dilakukan oleh Surip
Serikat pada 1964 (Hersapandi, 2003:104). Handayani, penataan gendhing oleh Kadar
Acara dalam misi kebudayaan pada 1961 Sumarsono, dengan sutradara Supono dan
berlangsung di atas kapal Tampo Mas yang pemeran Gatotkaca Nanang Riswandi. Melalui
didesain menjadi ruang pameran dan panggung pentas wayang orang di gedung pertunjukan
pertunjukan. Di beberapa pelabuhan, mereka kelas dunia itu, Jaya Suprana bukan saja ingin
mengadakan pertunjukan yang disaksikan oleh menunjukkan kekayaan budaya Indonesia tetapi
khalayak. Dalam misi kebudayaan pada 1964, juga membawa wayang orang pada posisi yang
mereka menjadi bagian dari rombongan besar sejajar dengan kesenian lainnya seperti musik
yang terdiri atas lebih dari 60 orang seniman. klasik. Pentas wayang orang itu mendapat
Mereka berada di Amerika Serikat selama tujuh sambuatan yang sangat meriah dari penonton
bulan. Misi kebudayaan pada 1961 dan 1964 (Aulia, 2017: 120-122).
merupakan dua misi kebudayaan terbesar yang
diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia pada Rekaman
dasawarsa 1960-an (Lindsay, 2011: 232-233). Dukungan pemerintah dalam pengembangan
Koesni, penari Ngesti Pandowo, juga wayang orang panggung juga dapat dilihat dari
pernah mendapat kesempatan untuk tampil di adanya kesempatan bagi paguyuban wayang
beberapa negara. Pada 1964-1965, ia telah orang untuk melakukan rekaman khususnya di
melawat ke sejumlah negara untuk menampilkan Perusahaan Negara Lokananta. Melalui rekaman
tari Jawa, antara lain ke Cina, Kamboja, Filipina, ini, wayang orang panggung dapat dijangkau

144
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

oleh kalangan yang lebih luas sehingga menjadi wayang orang kemasan padat. Durasi
semakin popular. pertunjukan yang menjadi lebih pendek dan
Pada dasawarsa 1960 Lokananta mempro- pentingnya peningkatan daya tarik memerlukan
duksi rekaman dalam media piringan hitam. inovasi baik pada aspek cerita, dialog, tari, musik,
Paling tidak ada tiga buah rekaman lakon wayang tata panggung, tata cahaya maupun tata suara.
orang oleh Lokananta yang didukung oleh Pengembangan kemasan wayang orang kemasan
seniman-seniman wayang orang Sriwedari, lakon padat dapat meningkatkan animo penonton
Pergiwa Pergiwati yang diproduksi pada 1968; wayang orang khususnya dari kalangan
Mustakaweni yang diproduksi pada 1968, dan wisatawan. Model pertunjukan ini juga sesuai
Gathutkaca Krama yang diproduksi pada 1969 bagi masyarakat urban yang memiliki sedikit
(Yampolsky, 1987: 63 dan 83). waktu luang karena berbagai kegiatan dan
Pada tahun berikutnya, giliran Ngesti pekerjaan yang semakin meningkat. Dengan
Pandowo yang mendapat kehormatan untuk demikian, pertunjukan kemasan dapat dijadikan
melakukan rekaman dalam media piringan hitam alternatif untuk meningkatkan kembali gairah
dari Lokananta, yaitu dengan lakon Anoman untuk menonton wayang orang panggung
Duta dan Gendreh Kemasan. Selain itu, pada (Widyastutieningrum, 2018: 100-111).
1970 Ngesti Pandowo juga dilibatkan dalam Pada tahun yang sama, Pemerintah Kota
produksi rekaman kaset di Lokananta dengan Semarang, dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan
cerita Keong Mas dan Andhe-andhe Lumut. Pariwisata, juga telah melakukan langkah serupa
Produksi rekaman kaset ini dilakukan bekerja melalui kerja sama dengan sebuah tim peneliti
sama dengan paguyuban karawitan Condhong yang diketuai oleh Dhanang Respati Puguh.
Raos di bawah pimpinan Nartosabdo. Beberapa Penelitian itu memiliki cakupan yang lebih luas
anak wayang Ngesti Pandowo yang terlibat karena diarahkan untuk menginventarisasi
dalam produksi rekaman kaset itu antara lain berbagai bentuk kesenian tradisi dan upacara
Bambang Sudinar yang berperan sebagai Panji tradisi di Kota Semarang, mengidentifikasi
Asmarabangun dan Sriyati yang berperan persoalan-persoalan yang dapat mengancam
sebagai Ragil Kuning dalam lakon Keong Mas; kelangsungan hidupnya, dan upaya-upaya yang
dan Kaning yang berperan sebagai Andhe-andhe dapat dilakukan untuk mempertahankan dan
Lumut, Surip yang berperan sebagai Randha mengembangkannya. Wayang orang panggung,
Sambega, dan Kasmin yang berperan sebagai dalam konteks ini wayang orang Ngesti
Yuyu Kangkang dalam lakon Andhe-andhe Pandowo, hanya salah satu dari berbagai jenis
Lumut. Selain di Lokananta, Ngesti Pandowo kesenian tradisi yang mendapat perhatian dalam
juga pernah melakukan rekaman wayang orang peneliti itu. Hasil penelitian itu selanjutnya
di perusahaan rekaman Indah Record dengan dijadikan naskah akademis sebagai dasar bagi
lakon Anoman Duta dan Gendreh Kemasan Pemerintah Kota Semarang untuk menyusun
(Yampolsky, 1987: 353). peraturan daerah mengenai pelestarian,
pengembangan, dan pemanfaatan seni dan
Penelitian upacara tradisi di Kota Semarang (Puguh, 2009).
Pada akhirnya harus disebut kegiatan penelitian
mengenai wayang orang panggung yang Pengaruh Dukungan Pemerintah terhadap
disponsori oleh atau dilaksanakan sebagai kerja Wayang Orang Panggung
sama dengan pemerintah juga harus dilihat
sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam Dukungan dari pemerintah dalam berbagai
upaya pengembangan kesenian pertunjukan bentuknya sudah barang tentu memengaruhi
tradisi itu. Dalam garis ini dapat disebut keberadaan wayang orang panggung. Dengan
beberapa contoh penelitian yang telah dilakukan. dukungan pemerintah, wayang orang panggung
Pada 2009 Pemerintah Kota Surakarta dapat mengembangkan diri untuk meningkatkan
menggandeng tim peneliti dari ISI Surakarta kualitas pertunjukan. Kesempatan-kesempatan
untuk mengembangkan model pertunjukan yang diberikan oleh pemerintah, misalnya
145
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

melalui pentas di ibukota negara, misi menetap di Semarang berkat adanya perhatian
kebudayaan, dan rekaman juga telah memung- dan dukungan dari Pemerintah Daerah Kota
kinkan wayang orang panggung menjadi Besar Semarang yang telah membangun sebuah
semakin populer. Dalam situasi ketika wayang gedung kesenian di kompleks GRIS sebagai
orang panggung mengalami kemunduran dan tempat pertunjukan rutin bagi paguyuban yang
kesulitan finansial, pemerintah juga menjalankan dipimpinnya (Suara Merdeka, 13 Djuli 1962).
peranannya sebagai pengayom, sehingga Pengayoman dan dukungan bagi Ngesti
kesenian pertunjukan itu dapat bertahan. Pandowo semakin menonjol ketika paguyuban
Dilihat dari sudut yang lain, dukungan itu terpuruk karena kesulitan finansial, baik dari
pemerintah juga memengaruhi status wayang Pemerintah Kota Semarang maupun Pemerintah
orang panggung. Mengikuti James R. Brandon, Provinsi Jawa Tengah.
seni pertunjukan berdasar pembiayaan Adanya pengayoman dan dukungan dari
produksinya dapat dibedakan menjadi tiga pemerintah menyebabkan Sriwedari, Ngesti
kategori, yaitu government support art, Pandowo, dan Bharata berada pada posisi yang
commercial support art, dan communnal cukup unik. Mereka tidak dapat dimasukkan
support art. Government support art mencakup secara ketat ke dalam salah satu di antara tiga
seni pertunjukan yang mendapat pengayoman kategori seperti yang telah dikemukakan oleh
dari pemerintah. Segala kebutuhan dalam Brandon. Ketiga paguyuban wayang orang
kehidupan seni pertunjukan itu dipenuhi oleh panggung itu dengan demikian merupakan hasil
pemerintah. Commercial support art mencakup dari kombinasi antara government support art
berbagai macam seni pertunjukan yang dan commercial support art. Pengayoman dan
kelangsungan hidupnya bergantung pada hasil dukungan dari pemerintah dalam hal ini dapat
penjualan tiket. Sementara itu communnal dilihat sebagai wujud komitmen pemerintah
support art meliputi seni pertunjukan yang untuk mempertahankan dan mengembangkan
kelangsungan hidupnya ditopang oleh wayang orang panggung sebagai salah satu baik
masyarakat, misalnya melalui tanggapan sebagai bagian dari kebudayaan nasioal maupun
(Brandon, 2003: 252 dan 255-256). Berdasar sebagai media untuk menyebarluaskan dan
proses pembentukan dan pengelolaannya, menanamkan nilai-nilai yang menjadi basis bagi
sebagian terbesar wayang orang panggung di identitas dan kepribadian nasional (Yampolsky,
Indonesia (Jawa) pada umumnya merupakan 2001:178).
commercial support art. Perkecualian berlaku
untuk wayang orang Sriwedari dan Bharata. Membela Wayang Orang Panggung: Pemerintah
Kedua wayang orang panggung itu dibentuk dan sebagai Patron-seni
dikelola oleh pemerintah sehingga dapat disebut
government support art. Meskipun demikian, Dengan mencermati dinamika Sriwedari, Ngesti
kedua paguyuban itu dalam kenyataan juga Pandowo, dan Bharata tampak bahwa
memperlihatkan diri sebagai commercial kelangsungan hidup wayang orang panggung
supportart karena menjual tiket kepada memerlukan kehadiran patron-seni, baik
penonton. Hal itu terjadi bukan hanya karena perorangan maupun lembaga dan dari kalangan
dana subsidi dari pemerintah lebih sering tidak swasta maupun pemerintah. Mereka dapat
mencukupi ongkos produksi, tetapi juga karena menjadi sponsor dengan mengucurkan dana
wayang orang panggung dijadikan sebagai salah serta bekerja sama dengan seniman dan
satu sumber untuk mendapatkan pemasukan pengamat atau kritikus seni untuk mengem-
bagi kas pemerintah daerah. Di sisi lain, Ngesti bangkan wayang orang panggung. Setelah
Pandowo sejak semula merupakan commercial proklamasi kemerdekaan Indonesia, bidang
support art. Akan tetapi, dalam perkembangan kebudayaan menjadi bagian dari urusan
paguyuban ini juga mendapat perlindungan dan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah
dukungan dari pemerintah. Seperti dikatakan diharapkan tidak hanya memberi dukungan
oleh Sastrosabdo, Ngesti Pandowo sejak 1954 secara parsial dalam upaya mengatasi persoalan-
146
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

persoalan yang dihadapi oleh paguyuban wayang bahwa globalisasi ekonomi telah menciptakan
orang panggung atau kelompok kesenian tradisi tekanan-tekanan bagi kesenian tradisi, yang
secara umum. Lebih jauh dari itu, pemerintah tampak dari perkembangannya yang semakin
diharapkan dapat mengambil peranan yang lebih memperlihatkan keseragaman. Arah perkemba-
utama, yaitu sebagai patron-seni tradisi. ngan yang demikian itu dapat mengancam
Ada beberapa alasan lain yang dapat keanekragaman yang justru menjadi salah satu
dikemukakan berkaitan dengan harapan itu. kekuatan kesenian tradisi. Di samping itu,
Alasan pertama berkaitan dengan identitas. globalisasi juga telah menyebabkan kesenian
Secara umum, sebagian besar kesenian tradisi tradisi lebih dilihat sebagai produk untuk
berfungsi sebagai simbol identitas dan sejarah, memenuhi kepentingan pasar, para senimannya
baik bagi individu tertentu, masyarakat tidak dapat mengakses kesenian yang mereka
pendukungnya maupun daerah. Kesenian tradisi hasilkan, dan mereka juga berubah menjadi
dapat pula menjadi simbol identitas yang lain, tukang dengan upah yang rendah (Smiers,
misalnya afiliasi keagamaan, kelompok usia, 2009). Risiko lain yang harus ditanggung akibat
etnis, tempat asal, dan status sosial (Yampolsky, tekanan globalisasi ekonomi adalah bahwa
2001: 178-179). Alasan kedua berkaitan dengan kesenian tradisi semakin menjauh dari fungsinya
kepentingan yang lebih besar, yaitu upaya sebagai sarana untuk mengungkapkan dimensi-
membangun kebudayaan nasional Indonesia. dimensi yang paling penting dalam kebudayaan
Upaya ini memerlukan strategi kebudayaan atau masyarakat pendukung. Oleh karena itu, dapat
culturalengineering, suatu kebijakan yang dimengerti apabila globalisasi ekonomi
memungkinkan campur tangan negara dalam cenderung dilihat sebagai ancaman bagi
menentukan arah pengembangan kebudayaan keberlangsungan kesenian tradisi. Namun
lokal dalam kerangka kebudayaan nasional demikian, globalisasi sesungguhnya juga
Indonesia, yang sejatinya masih merupakan menciptakan peluang bagi perkembangan
“imagined culture”. Strategi kebudayaan juga kesenian tradisi pada kancah internasional. Hal
memberi kontribusi penting bagi pengembangan ini dapat dilihat misalnya pada wayang kulit
nasionalisme dan proses integrasi nasional pada purwa. Seni pertunjukan tradisi Jawa ini justru
masa kini maupun masa yang akan datang. mampu mendunia dan bahkan sejak 2003
Kehadiran pemerintah sebagai patron-seni mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai
diharapkan dapat mencegah kemunculan salah satu pusaka dunia (Cohen, 2007: 338-
dampak negatif dari kesenian tradisi—atau 369). Perkembangan ini menunjukkan bahwa
secara umum budaya lokal—apabila “dibiarkan” globalisasi membuka kemungkinan bagi budaya
hidup secara alamiah tanpa campur tangan lokal untuk mendunia, sebuah proses yang
negara. Dampak negatif yang dikhawatirkan itu disebut sebagai “universalization of
adalah berkembangnya primordialisme baik particularism” (Osterhammel dan Peterson,
kedaerahan maupun kesukuan di atas rasa 2007: 338-339).
kebangsaan. Kekhawatiran ini beralasan karena Sebagai patron-seni, pemerintah perlu
kesetiaan terhadap suku dan daerah lebih menyusun kebijakan budaya yang diarahkan
alamiah apabila dibandingkan dengan kesetiaan pada upaya untuk mengembangkan dan
terhadap bangsa dan negara, mengingat memperkuat kesenian tradisi. Mengacu pada
Indonesia sebagai entitas negara-bangsa yang pendapat Lisbeth Lindström, kebijakan budaya
plural merupakan hasil dari sebuah proses didasarkan pada analisis budaya yang mencakup
pembentukan atau rekayasa (Sulistiyono, 2018: berbagai persoalan, antara lain mengenai
10). bagaimana budaya diproduksi, dikonsumsi, dan
Sebagai tambahan, dapat dikemukakan direpresentasikan serta diatur agar dapat
alasan ketiga yang berkaitan dengan upaya untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan di
melindungi kesenian tradisi atau budaya lokal berbagai bidang, termasuk sebagai basis untuk
dari ancaman yang muncul seiring globalisasi membentuk maupun mengubah identitas.
ekonomi. Joost Smiers dalam hal ini melihat Kebijakan budaya dapat pula diarahkan pada
147
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

permanfaatan budaya sebagai dasar untuk dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi


menyusun kebijakan di bidang yang lain, masyarakat. Dua tahun kemudian terbit
misalnya perencanaan sosial, perencanaan kota, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
perencanaan seni dan kreativitas, dan No. 39 Tahun 2007 yang mengatur, antara lain,
perencanaan ekonomi. Dengan demikian, mengenai berkewajiban pemerintah daerah
aktivitas budaya atau produksi budaya bukan untuk melestarikan dan mengembangkan
merupakan satu-satunya dasar dan tujuan dari budaya tradisional termasuk kesenian dan
kebijakan budaya (Lindstrom, 2013: 818). upacara tradisi.5 Melalui Permendagri ini budaya
Sampai pada pertengahan dasawarsa tan wadhag mulai mendapat tempat dalam
kedua abad ke-21, perangkat yang diperlukan pembangunan bidang kebudayaan. Selanjutnya,
sebagai landasan legal-formal bagi pemerintah dalam perkembangan yang mutakhir,
untuk melakukan perlindungan dan pengem- pemerintah telah menerbitkan UURI No. 17
bangan budaya tan wadhag (intangible culture) tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
memang belum tersedia. Dalam periode yang Dalam Pasal 1 ayat 3 dinyatakan bahwa
relatif panjang, perangkat hukum yang ada baru Pemajuan Kebudayaan adalah upaya
menjangkau budaya wadhag (tangible culture) meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi
yaitu Undang-Undang Republik Indonesia budaya Indonesia di tengah peradaban dunia
(UURI) No. 5 Tahun 1992 tentang Benda melalui perlindungan, pengembangan, peman-
Cagar Budaya, yang diadaptasi dari peraturan faatan, dan pembinaan kebudayaan. Sementara
pada masa kolonial Hindia Belanda, yaitu itu dalam Pasal 5 dinyatakan bahwa sasaran
Monumen Ordonantie dalam Staatsblad Tahun program pemajuan kebudayaan meliputi
1931 Nomor 238. UURI tersebut telah diganti berbagai bentuk budaya yang terdiri atas tradisi
dengan UURI No. 10 Tahun 2011 tentang lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, penge-
Cagar Budaya. Sudah barang tentu hal itu tidak tahuan tradisional, teknologi tradisional, seni,
berarti bahwa pemerintah sama sekali tidak bahasa, permainan rakyat, dan olahraga
memberi perhatian pada upaya pelestarian dan tradisional.6 Berkaitan dengan hal itu, pada 13
pengembangan budaya tan wadhag termasuk Agustus 2018 telah diterbitkan Peraturan
kesenian tradisi. Pada masa pemerintahan Presiden (Perpres) Republik Indonesia No. 65
Sukarno, upaya itu, yang dalam retorika Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan
pemerintah disebut “pembinaan kebudayaan”, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi
dilakukan di bawah kewenangan dan koordinasi Kebudayaan. Dengan terbitnya UURI No. 5
Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Tahun 2017 dan Perpres RI No. 65 Tahun 2018,
Kebudayaan. Pada masa Orde Baru, urusan itu maka kedudukan pemerintah untuk mengambil
masih ditangani oleh departemen yang sama peran sebagai patron-seni menjadi semakin kuat.
tetapi telah diubah namanya menjadi Tersedianya landasan legal formal yang
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan lengkap tentu bukan merupakan satu-satunya
(Lindsay, 1995:659). faktor yang menentukan keberhasilan pengem-
Pada dasawarsa pertama setelah Indonesia bangan kesenian tradisi. Hal lain yang juga
memasuki masa Reformasi, terjadi perkemba- sangat penting adalah komitmen yang kuat dari
ngan baru melalui penerbitan Instruksi Presiden pejabat pemerintah baik di tingkat pusat maupun
(Inpres) RI No. 16 Tahun 2005 tentang daerah. Pemerintah juga tidak dapat memeran-
Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan kan dirinya sebagai aktor tunggal dalam upaya
Pariwisata. Dalam Inpres itu dinyatakan bahwa itu. Berangkat dari pengalaman sejarah wayang
pembangunan bidang kebudayaan harus orang panggung tampak bahwa keberlangsungan
disinergikan dengan pembangunan sektor kesenian tradisi ini juga ditopang oleh keberadan
pariwisata. Dengan demikian pembangunan elemen lain yaitu masyarakat pemilik kebudayaan,
kebudayaan tidak hanya diarahkan pada lembaga kebudayaan yang terdapat dalam masya-
pelestarian berbagai bentuk atau hasil budaya, rakat yang bersangkutan, dan dunia usaha. Oleh
tetapi juga untuk membuka lapangan pekerjaan karena itu, pemerintah perlu menyusun kebijakan
148
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

budaya yang dapat menyinergikan keempat Yampolsky bahkan menegaskan bahwa


elemen itu dalam penguatan kesenian tradisi, pendidikan formal bisa jadi merupakan bidang
termasuk wayang orang panggung. tunggal yang paling dapat diharapkan untuk
Dalam arah kebijakan yang demikian itu, mengatasi masalah rendahnya apresiasi
penguatan wayang orang panggung tidak lagi masyarakat terhadap kesenian tradisi
dilakukan semata-mata melalui pemberian (Yampolsky, 2001:177-178). Dalam studi yang
bantuan pendanaan. Sebagai teater kitsch, komprehensif, Dhanang Respati Puguh telah
wayang orang panggung dituntut untuk selalu menunjukkan kontribusi yang signifikan dari
mengikuti perubahan zaman dan selera lembaga-lembaga pendidikan formal di bidang
penonton. Oleh karena itu, menurut Umar kesenian baik dalam meningkatkan kualitas
Kayam, bantuan pendanaan tidak akan estetis dan penyebar-luasan kesenian tradisi Jawa
menyelesaikan kesulitan yang mereka hadapi maupun dalam meningkatkan sikap apresiatif
karena persoalannya terletak pada kemasan masyarakat terhadap kesenian tradisi Jawa
pertunjukan wayang orang yang kurang oleh khususnya di Surakarta (Puguh, 2015: 140-235).
diminati penonton. Kunci untuk mengatasi Dengan cara itu dunia pendidikan dapat
masalah itu berada di tangan seniman-kreator, mempengaruhi pemerintah, media, dan industri
seniman yang kreatif dan mampu mencipta pariwisata untuk memperlakukan kesenian
kebaruan-kebaruan (Kompas, 20 Oktober 1982; tradisi dan masyarakat pendukungnya dengan
Suara Merdeka, 23 Oktober 1982). penuh respek. Hal ini menjadi penting karena
Hal lain yang perlu mendapat perhatian tujuan akhir dari kebijakan budaya adalah untuk
adalah arah kebijakan budaya. Upaya membangun kesadaran terhadap martabat dan
pengembangan kesenian tradisi oleh pemerintah nilai kesenian tradisi termasuk kesenian tradisi
di bawah istilah “pembinaan” telah dikritik oleh rakyat dan bahkan kitsch, serta membangkitkan
Yampolsky. Ia berpendapat bahwa dalam istilah kebanggaan terhadap daerah, masyarakat, dan
itu terselip pandangan yang bernada menilai budaya termasuk kesenian tradisi sendiri.
bahwa kesenian tradisi, khususnya tradisi
kerakyatan, atau secara umum kebudayaan SIMPULAN
daerah, memiliki kualitas yang rendah atau tidak
memuaskan, sehingga perlu dibina atau Dukungan pemerintah dalam pengembangan
ditingkatkan agar dapat diterima oleh wayang orang panggung telah dilakukan sejak
pemerintah dan pihak luar. Para pengajar dan awal kemerdekaan Indonesia. Dukungan itu
pihak-pihak yang memiliki otoritas dalam agama diberikan dalam berbagai bentuk yaitu
juga ikut latah menuntut agar aspek-aspek pengelolaan baik dalam hubungannya dengan
tertentu dari kesenian tradisi ditinggalkan atau kehidupan organisasi (paguyuban) maupun
dimurnikan. Bahkan, pesan sehari-hari yang penyelenggaraan pementasan, bantuan
disampaikan baik melalui surat kabar, majalah, pendanaan, penyediaan gedung pertunjukan,
iklan, radio maupun televisi memberi tahu dan kesempatan untuk melakukan pementasan
penduduk desa bahwa cara hidup mereka masih di ibukota negara serta mengikuti misi
terbelakang, primitif, dan bahkan menggelikan. kebudayaan. Bentuk dukungan yang lain
Kebijakan budaya yang bernuansa atau dilakukan melalui penelitian yang diarahkan
membuka peluang bagi kemunculan pelecehan untuk mengembang-kan kemasan wayang orang
itu menjadi kontraproduktif karena justru dapat yang inovatif dan untuk melindungi serta
memengaruhi masyarakat untuk tidak menyukai mempertahankan keberadaan wayang orang
atau menginginkan kesenian tradisi milik mereka panggung. Sebagian dari dukungan itu
sendiri (Yampolsky, 2001: 177-178). dimaksudkan sebagai langkah untuk mengatasi
Dengan demikian, kebijakan budaya harus secara langsung berbagai persoalan yang
diarahkan pada peningkatan apresiasi dihadapi oleh paguyuban-paguyuban wayang
masyarakat terhadap kesenian tradisi. Upaya ini orang panggung. Di sisi lain, ada pula dukungan
dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal. yang tidak langsung dalam pengertian bahwa
149
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

dukungan itu telah mendorong paguyuban- dan dunia usaha. Di samping itu, perlu pula
paguyuban wayang orang panggung untuk lebih dilakukan upaya peningkatan sikap apresiatif
meningkatkan kualitas pertunjukan mereka. masyarakat terhadap budaya sendiri sehingga
Sampai pada batas tertentu berbagai kebijakan budaya itu dapat mencapai tujuannya
bentuk dukungan itu telah memperlihatkan untuk memperkuat kebanggaan masyarakat
bahwa pemerintah telah menjalankan fungsinya terhadap berbagai bentuk budaya mereka
sebagai pengayom dan pelindung dalam sendiri.
kehidupan kesenian tradisi khususnya wayang
orang panggung. Namun demikian, sampai CATATAN
sejauh ini dukungan pemerintah terhadap
1
wayang orang panggung cenderung masih parsial Fenomena itu tercermin dari adanya keprihatinan
dan lebih sering dilakukan sebagai respons yang meluas yang diungkapkan melalui media massa.
terhadap persoalan-persoalan yang harus segera Lihat, antara lain: “Ingkang Remen Ringgit Tiyang
diatasi karena tidak dapat diselesaikan sendiri Saya Sekedhik”, Jaya Baya, No. 5 Th. XXXIV, 30
September 1979, hlm. 26; Irwan Sudjono, “Taman
oleh paguyuban wayang orang panggung. Hal ini
Sri Wedari Mati (?)”, Mekar Sari, No. 26 Th. XXXII,
turut memengaruhi daya tahan wayang orang
8 Februari 1989, hlm. 20; dan Handung Kus
panggung sehingga pada saat ini hanya tersisa Sudyarsana, “Wis Akeh Bantuan Lestarine Wayang
tiga paguyuban, yaitu Sriwedari, Ngesti Wong”, Mekar Sari, No. 23 Th. XXXIV, 8 Agustus
Pandowo, dan Bharata. Sriwedari dan Bharata 1990, hlm. 16; Umar Kayam, “Ngesti Pandowo:
dikelola oleh pemerintah sementara Ngesti Suatu Persoalan Kitsch di Negara Berkembang”,
Pandowo dikelola oleh perorangan. Meskipun Kompas, 20 Oktober 1982.
2
demikian, ketiga wayang orang panggung itu Pergantian dinas-dinas yang mengelola Sriwedari
berkembang dalam arah yang sama, yaitu sebagai sejalan dengan perubahan organisasi pemerintahan
perpaduan antara government support art dan daerah. Lihat: Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
commercial support art. Tingkat II Surakarta No. 23 Tahun 1981 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Perkembangan-perkembangan yang ter-
Pendapatan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
jadi sebagai akibat dari globalisasi ekonomi dan
Surakarta; Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
perubahan politik yang dinamis sejak akhir masa Tingkat II Surakarta No. 2 Tahun 1987 tentang
pemerintah Orde Baru telah memberi peluang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
bagi pemerintah untuk memainkan peranan Dinas Pariwisata Kotamadya Daerah Tingkat II
yang lebih penting dan mendasar dalam Surakarta; Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 6
pengemba-ngan wayang orang panggung Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata
maupun kesenian tradisi secara umum, yaitu Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta; Peraturan
sebagai patron-seni. Payung hukum yang Daerah Kota Surakarta No. 14 Tahun 2011 tentang
diperlukan untuk menjalankan peran itu telah Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta
tersedia, yaitu UURI No. 17 tahun 2017 tentang No. 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Perangkat Daerah Kota Surakarta; dan Peraturan
Pemajuan Kebudayaan dan Perpres RI No. 65
Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2016 tentang
Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan
Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota
Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Strategi Surakarta.
Kebudayaan. Dalam garis ini, pemerintah dapat 3
Tohiran sejak 1934 telah bekerja sebagai pegawai di
menjalankan perannya sebagai patron-seni Taman Sriwedari, yaitu di Bagian Reklame dan
dengan menyusun kebijakan budaya yang dapat kemudian menjadi Pengawas Umum sampai ia
menempatkan pengembangan kesenian tradisi pensiun.
4
termasuk wayang orang panggung, atau secara Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus
umum budaya lokal, dalam kerangka Ibukota Djakarta No. Ca.3/1/42/72 tentang
kebudayaan nasional. Kebijakan budaya itu juga Penjelenggaraan Pertundjukan Wajang Orang pada
perlu disusun dengan menyi-nergikan antara Gedung di Djl. Kalilio No. 115 Djakarta.
5
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun
peranan pemerintah dan pihak lain yaitu
2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi
masyarakat pendukung, lembaga kebudayaan,
150
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Seni Pertunjukaan Indonesia dengan


Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Grasindo.
Budaya Daerah. Hersapandi (1999). Wayang Wong Sriwedari:
6
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial
2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
(Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Hersapandi (2002). “Wayang Orang Bharata
REFERENSI
dalam Dimensi Kota Metropolitan Jakarta”,
Ekspresi, Vol. 6, Tahun 3. Lembaga
“1 Djuli 1937-1 Djuli 1962: 25 Tahun Ngesti
Penelitian Institut Seni Indonesia
Pandowo”. Suara Merdeka, 13 Djuli 1962.
Yogyakarta, hlm. 34-47.
“70 Tahun Ngesti Pandowo: Dulu Penonton
“Ingkang Remen Ringgit Tiyang Saya Sekedhik”.
Harus Pesan Tempat Duduk”. Suara
Jaya Baya, No. 5 Th. XXXIV, 30 September
Merdeka, 3 Juli 2007.
1979.
“Anak-anak Ngesti Dulu dan Kini Dari Kediri
Jamiel, M. Mukhsin, Khoirul Anwar, dan Abdul
sampai Bandung Bandawasa”. Suara
Kholiq (2011). “Faktor-Faktor yang
Merdeka, 20 November 1996.
Mempengaruhi Lunturnya Kesenian
Aulia, Dea Duta (2017). “Bhawa-Rasa-Tala
Tradisional Semarang: Studi Eksplorasi
(Bharata): Perkembangan Kelompok
Kesenian Tradisional Semarang”, Riptek 5
Wayang Orang Komersial di Jakarta, 1972-
(II).
2014. Skripsi Departemen Sejarah Fakultas
“Jangan Asingkan Ngesti dari Penonton”. Suara
Ilmu Budaya Universitas Diponegoro.
Merdeka, 22 November 1996.
“Bantuan untuk Ngesti Pandowo Tidak akan
Jonkie Tio (2005). Kota Semarang dalam
Menyelesaikan Masalah”. Suara Merdeka,
Kenangan. Semarang: Sinar Kartika.
23 Oktober 1982.
Kayam, Umar (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat,
“Bantuan Walikota pada Ngesti Pandowo Perlu
Seri Esni No. 3. Jakarta: Penerbit Sinar
Dipertimbangkan”. Suara Merdeka, 8
Harapan.
November 1982.
Kayam, Umar. “Ngesti Pandowo: Suatu
“Bharata Lakon Sumatri Main Fesbuk”. Kompas,
Persoalan Kitsch di Negara Berkembang”.
17 Januari 2010.
Kompas, 20 Oktober 1982.
Black, Jeremy dan Donald M. MacRaild (2007).
Kayam, Umar (2000). “Transformasi Budaya
Studying History. New York: Palgrave
Kita”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Macmillan.
Besar pada Fakultas Sastra Universitas
Brandon, James R. (2003). Jejak-jejak Seni
Gadjah Mada pada 19 Mei 1989, dalam
Pertunjukan di Asia Tenggara. Terjemahan
Senat Universitas Gadjah Mada, Pidato
oleh R.M. Soedarsono. Bandung: Pusat
Pengukuhan Guru Besar Universitas
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
Gadjah Mada: Ilmu-Ilmu Humaniora,
Seni Universitas Pendidikan Indonesia.
1949-1999. Yogyakarta: Gadjah Mada
Cohen, Matthew Isaac (2007). “Contemporary
University Press.
Wayang in Global Contexs”, Asian Theatre
Lindsay, Jennifer (1995). “Cultural Policy and
Journal 24 (2 ): 338-369.
the Performing Arts in Southeast Asia”,
“Gedung Ki Nartosabdo Diresmikan”. Suara
Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Merdeka, 28 Juli 1998.
Volkenkunde 151-IV: 659.
“GRIS-Ngesti Pandowo Sebatas Pemilik dan
Lindsay, Jennifer (2011). “Menggelar Indonesia
Penyewa”. Suara Merdeka, 9 Maret 2000.
di Luar Negeri”, Jennifer Lindsay dan Maya
Hersapandi (1994). “Etnis Cina dan Wayang
H. T. Liem, ed., Ahli Waris Budaya Dunia:
Orang Panggung Komersial: Suatu Kajian
Menjadi Indonesia 1950-1965. Jakarta-
Sosio-Historis”, Seni Pertunjukan Indonesia
Denpasar: KITLV dan Pustaka Larasan.
Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan
Indonesia. Jakarta: Kerja sama Masyarakat

151
Dhanang Respati Puguh, Mahendra Pudji Utama (Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung)

Lindström, Lisbeth (2013). “National Cultural Tata Kerja Dinas Pariwisata Kotamadya
Policies: The Swedish Case”, International Daerah Tingkat II Surakarta.
Journal of Asian Social Science 3 (3): 818. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
Mengenal Kotamadya Semarang (1968). Surakarta No. 23 Tahun 1981 tentang
Semarang: Panitia Pekan Pameran Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Ekonomi dan Kebudayaan Kodya Semarang Pendapatan Daerah Kotamadya Daerah
1968. Tingkat II Surakarta.
“Menjenguk Wayang Orang Bharata: sebagai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39
Tontonan Semakin Tersisih”. Kompas, 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi
Januari 1979. Organisasi Kemasyarakatan Bidang
“Nartosabdo: Gubernur Bantu “Ngesti Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat
Pandowo” Beli Pengeras Suara”. Suara dalam Pelestarian dan Pengembangan
Merdeka, 10 Januari 1985. Budaya Daerah.
“Ngesti Pandawa Gagal Terima Dana Hibah”, Puguh, Dhanang Respati (2003).
dalam http://www.berita.suaramerdeka. “Mangkunagara IV sebagai Maecenas:
com/ngesti-pandawa-gagal-terima-dana- Peranannya dalam Pengembangan Seni
hibah-2/, diakses 25 Agustus 2016. Tradisi Jawa” dalam Resi yang Menyepi:
“Ngesti Pandowo Benar-benar Gonjang Kumpulan Karangan Persembahan untuk
Ganjing”. Suara Merdeka, 7 Februari 1990. Prof. Dr. Karyana Sindunegara. Semarang:
“Ngesti Pandowo di Panggung Kehidupan Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Nyata”, dalam Tjiptadihardja dan Soeratno Puguh, Dhanang Respati (2015).
(1992). “Ngesti Pandowo: Sejarah dari “Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan
Masa ke Masa”. Naskah Tidak Diterbitkan. Tradisi Keraton: Politik Kebudayaan Jawa
“Ngesti Pandowo Masih Defisit Rp 5,5 Juta Per Surakarta, 1950an-1990an”. Disertasi pada
Bulan”. Suara Merdeka, 12 Mei 2000. Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora
Osterhammel, Jürger dan Niels P. Petersson Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya
(2005). Globalization a Short History. Unioversitas Gadjah Mada.
Princeton dan Oxford: Princeton University Puguh, Dhanang Respati, et al. (2009). “Laporan
Press. Akhir Naskah Akademik tentang
Panitia Peringatan 9 Windu Paguyuban Wayang Pelestarian, Pengembangan, dan
Orang Ngesti Pandowo (2009). Buku Pemanfaatan Seni dan Upacara Tradisi di
Kenangan Sembilan Windu Ngesti Kota Semarang”. Semarang: Kerja sama PT
Pandowo. Semarang: Paguyuban Wayang Puspa Delima Muliatama dengan Dinas
Orang Ngesti Pandowo. Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang.
Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun Puguh, Dhanang Respati, Rabith Jihan Amaruli,
2016 tentang Pembentukan dan Susunan Mahendra Pudji Utama (2017). “Teater
Perangkat Daerah Kota Surakarta. Kitsch Ngesti Pandowo di Kota Semarang
Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 14 Tahun Tahun 1950-an-1970-an”, Mozaik
2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Humaniora 17 (1): 1-25.
Daerah Kota Surakarta No. 6 Tahun 2008 Rusini (2003). Gathutkaca di Panggung
tentang Organisasi dan Tata Kerja Soekarno. Surakarta: STSI Press.
Perangkat Daerah Kota Surakarta. Rustopo (2007). Menjadi Jawa: Orang-orang
Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 6 Tahun Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di
2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Surakarta, 1895-1998. Yogyakarta: Ombak.
Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta. “Siswa Diwajibkan Nonton Wayang Orang”.
Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Suara Merdeka, 9 Juni 2010.
Surakarta No. 2 Tahun 1987 tentang Smiers, Joost (2009). Art Under Pressure:
Pembentukan, Susunan Organisasi dan Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya

152
Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 3, No. 2, 2018, hlm.133-153

di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Yampolsky (1987). Lokananta A Discography of


Haryati. Yogyakarta: Insist Press. the National Recording Company of
Soedarsono, R. M. (1997). Wayang Wong Indonesia 1957-1985. Madison, Wisconsin:
Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Center for Southeast Asian Studies
Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University of Winconsin.
University Press. Yampolsky, Philip (2001). “Can the Traditional
Soedarsono, R. M. (2003). Seni Pertunjukan Arts Survive, and Should They?”, Indonesia
dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. 71 (April).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. “Yayasan GRIS agar Memperingan Sewa
Soedarsono, R. M. dan Tati Narawati (2011). Gedung utk Ngesti Pandowo”, Suara
Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Merdeka, 14 Oktober 1982.
Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Suara Merdeka, 13 Februari 1962.
Sudjono, Irwan. “Taman Sri Wedari Mati (?)”,
Mekar Sari, No. 26 Th. XXXII, 8 Februari
1989.
Sudyarsana, Handung Kus. “Wis Akeh Bantuan
Lestarine Wayang Wong”, Mekar Sari, No.
23 Th. XXXIV, 8 Agustus 1990.
Sulistiyono, Singgih Tri (2018). “Nasionalisme,
Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional
Indonesia: Masih Perlukah?”, Jurnal Sejarah
Citra Lekha 3 (1).
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah
Chusus Ibukota Djakarta No.
Ca.3/1/42/72 tentang Penjelenggaraan
Pertundjukan Wajang Orang pada Gedung
di Djl. Kalilio No. 115 Djakarta.
Tjiptadihardja dan Soeratno (1992). “Ngesti
Pandowo: Sejarah Dari Masa ke Masa”.
Naskah Tidak Diterbitkan.
“Transkrip Wawancara dengan Tohiran”.
Wawancara dilakukan oleh Susanto pada 14
Februari 1996.
Tjiptadihardja, Wawancara pada 12 Agustus
2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17
tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Wajang Wong Saiki Meh Akeh kang Ora Beda
Karo Sandiwara”, Djajabaja, No. 25, Taun
XXIV, 1 Maret 1970.
“Walikota Prihatin Kondisi Gedung Ngesti
Pandowo”, Suara Merdeka, 24 Juli 1981.
Widyastutieningrum, Sri Rochana (2018).
“Reviving Wayang Orang Sriwedari in
Surakarta: Tourism-Oriented Perfor-
mance”, Asian Theatre Journal 35 (1): 100-
111.
153

You might also like