You are on page 1of 7

Provide a brief summary of the book in terms of its central argument and the event that it

studied.

Buku ini berfokus pada kekerasan dan perdamaian Kristen-Muslim di Maluku (Moluccas)
khususnya di kota Ambon dan umumnya di provinsi Maluku, buku ini mencoba menjelaskan
dan “memaknai” peristiwa-peristiwa tersebut. Buku ini merupakan catatan etnografis
tentang perubahan sosial sebelum, selama, dan setelah kekerasan kolektif. Argumen dasar
yang mendasari buku ini adalah bahwa tidak cukup hanya mempelajari konflik dan
kekerasan saja, namun unsur integrasi dan pasifikasi (peace) juga merupakan fenomena
sosial yang signifikan yang memerlukan dokumentasi, analisis, interpretasi, dan penjelasan
yang lebih detail.

There are at least three vital issues or topics discussed and analyzed in this book, all of
which are surprisingly missing from most previous and existing literature on the Moluccas
conflict. The first issue is the historical legacies of colonial (especially Dutch and Japanese)
and post-colonial rule (Old Order and New Order) and society, including the role of
European Christian missionaries (Portuguese Catholics and Dutch Reformed Protestants),
Ambonese/Moluccan Christian leaders and ministers, and reformist Muslim groups
(associated with either Masyumi or Muhammadiyah) that reached the island before
Indonesia gained its independence in 1945 all could provide a fertile ground for the
Moluccas violence to thrive. Not only colonial and post- colonial governments, but the
presence of both Reformed Christianity and reformist Islam in the region could contribute to
the process of militanization and radicalization of local Christian and Muslim societies. The
history of Christian-Muslim relations in the Moluccas, it should be noted, was highly
dynamic and unpredictable, marked by a constant ebb and flow. The encounter was marked
by suspicions, tensions, oppositions, and violent conflicts, as well as by cooperation and
dialogue across these religious communities.

The second crucial issue analyzed in this book deals with local dynamics and efforts of
reconciliation processes and post-violence peacebuilding reconstruction. It discusses issues
of post-violence situations, including how local government and societies both Christian and
Muslim struggle to resolve conflict, prevent renewed violence, and achieve a just peace and
civil coexistence. The discussions about contemporary post Peace Accord Moluccas aim at
(1) understanding current situations in the region, including the most recent communal
tensions in Ambon city and its surrounding areas, (2) knowing whether the peace treaty
between the two religious groups set forth in 2002 run well or not, and (3) comprehending
whether or not religious issues and identities still play a vital role in the social life of today’s
Moluccan Christians and Muslims.

The third essential theme, which comprises the bulk of the book’s arguments and analyses,
concerns the role of religion in the conflict settings and social fields of the Moluccas. In brief,
the primary focus of this book discusses the ambivalent role of religion as a source of
violence and a resource for conciliation before, during, and after the mass violence. The
word “religion,” as used in this book, not only refers to religious doctrines, teachings,
imagery, and symbols, but also religious agents (actors, adherents, groups, communities,
networks, and organizations) who produce and reproduce religious practices, knowledge,
and cultures. This is to say, the term “religion” is not simply about beliefs, texts, doctrines,
teachings, discourses, values, norms, or even ideology. This book thus can be viewed as an
academic endeavor to reassess religious elements that can be used, on one hand, as a
source for initiating and exacerbating conflict and violence, and on the other hand, as a
resource for fostering integration, reconciliation, and social cohesion.

Sebenarnya masih ada topic lain yang menarik dibahas dalam buku ini, namun menurut
analisis saya ketiga isu penting diatas merupakan isu paling penting yang dibahas dalam
buku ini yang sesuai dengan subjek kelas dalam sosiologi yaitu Sociology of Wars, Violence
and Reconciliation. Selain itu, ketiga topic diatas merupakan topic-topic besar yang mewakili
semua isi buku, sehingga hal tersebut yang membuat saya untuk hanya mencantumkan
ketiga topic besar tersebut.

Kaji teori dan konsep yang diandalkan buku ini untuk menjelaskan munculnya kekerasan.

Dalam menjelaskan peristiwa yang terjadi dalam buku Religious Violence and Conciliation in
Indonesia : Christians and Muslims in the Moluccas , Sumanto sang penulis menggunakan
teori “Communal violence” untuk mendeskripsikan secara detail mengenai kekerasan dan
perang yang terjadi di Maluku. Istilah "kekerasan komunal" mengacu pada kasus-kasus
dimana orang-orang biasa, massa lokal, atau penduduk sipil terus-menerus saling bertarung
selama periode waktu tertentu. Hal ini sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh Rajgopal
dalam bukunya Communal Violence in India, dalam buku ini ia menjelaskan bahwa
communal violence is a form of violence that is perpetrated
across ethnic or communal lines, the violent parties feel solidarity for their respective
groups, and victims are chosen based upon group membership. The term includes conflicts,
riots and other forms of violence between communities of different religious faith or ethnic
origins. Dalam hal ini, Rajgopal menjelaskan bahwa arti kata komunal disini berarti a term
used to denote attempts to construct religious or ethnic identity, incite strife between
people identified as different communities, and to stimulate communal violence between
those groups. It derives from history, differences in beliefs, and tensions between the
communities.

Dalam mengambil teori ini, Sumanto juga berusaha untuk menjawab pertanyaan
“mengapa Maluku jatuh ke dalam konflik besar seperti itu”, hal yang berbanding terbalik
dengan kondisi Maluku yang dahulunya hidup tentram dan Bahagia. Melalui teori ini juga, ia
ingin menjawab pertanyaan tentang “apa sebenarnya yang memotivasi orang biasa untuk
terus berperang yang dapat membahayakan hidup mereka,” atau “mengapa beberapa
orang dengan bersemangat terlibat dalam peperangan sementara yang lain menolaknya
atau bahkan mendukung proyek perdamaian.” Dengan teori dan konsep pertanyaan-
pertanyaan tersebut, bukan tanpa maksud ia paparkan. Sumanto mempertanyakan hal
tersebut dengan maksud untuk menjawab perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di
lapangan selama masa perang dan sesudahnya. Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini juga
penting karena konflik Maluku bukanlah peristiwa yang homogen melainkan “kerusuhan
heterogen” yang meletus dalam beberapa tahapan yang melibatkan berbagai aktor, motif,
dan kepentingan, di mana agama dan aktor agama menjadi salah satu pelaku komponen
penting dalam peristiwa ini.
Dalam konsepnya, kekerasan komunal melibatkan orang-orang dari dua komunitas
etnis maupun agama yang berbeda yang dimobilisasi melawan satu sama lain dan
membawa perasaan permusuhan, kemarahan emosional, eksploitasi, diskriminasi sosial dan
pengabaian sosial. Tingkat kohesi yang tinggi dalam satu komunitas terhadap komunitas lain
dibangun di sekitar ketegangan dan polarisasi yang berapi-api. Sasaran serangan adalah
anggota komunitas 'musuh'. Secara umum, tidak ada kepemimpinan dalam kerusuhan
komunal yang dapat secara efektif mengendalikan dan menahan situasi kerusuhan. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kekerasan komunal terutama didasarkan pada kebencian,
permusuhan dan balas dendam. Hal inilah yang berusaha dijelaskan oleh Sumanto dalam
teori kekerasan komunalnya, bahwa dalam peristiwa ini terdapat dua komunitas masyarakat
yaitu komunitas masyarakat Kristen dan komunitas masyarakat Muslim yang saling
berperang yang dimobilisasi atau mengatasnamakan “agama” sebagai penyebab kerusuhan
dan juga mengatasnamakan “agama” untuk melakukan perdamaian. Dalam hal ini ia
menerangkan bahwa posisi agama dalam konteks ini dikenal dengan istilah “ambivalensi
yang sacral” dalam kehidupan social. Dimana hal ini berarti agama berperan menjadi dua
fungsi, yang pertama sebagai penyebab perang dan yang kedua sebagai pereda perang.
Dalam kasus ini, Sumanto menempatkan agama sebagai focus utama analisis dalam
peritiwa ini, dengan alasan bahwa peran agama memang sangat sentral dalam penyebab
kekerasan dan pascakekerasan, baik dalam hal ini untuk memperparah perselisihan atau
mendukung dan meningkatkan perdamaian serta rekonsiliasi. Sehingga bisa kita ambil garis
besar bahwa dalam peristiwa di Maluku ini hampir tidak mungkin jika kita meninggalkan
kajian peran agama dalam peristiwa ini.
Melanjutkan konsep mengenai kekerasan komunal di paragraph sebelumnya, kita
tentu bertanya bagaimana “agama” mampu menyebabkan kedua belah pihak ini melakukan
peperangan yang berlarut-larut hingga total ada 5000 orang lebih yang meregang nyawa?
Apa yang melatarbelakangi kejadian ini? dan siapa yang mempunyai peran sentral sehingga
perang atas nama agama ini bisa berkecambuk hingga berlarut-larut?. Melalui teori
kekerasan komunal ini bisa saya analisis apa yang menjadi pertanyaan diatas. Dalam kasus
peristiwa kekerasan komunal di Maluku ini, peran agama yang saya bahas sebelumnya
selama perang di Maluku tidak hanya memegang posisi yang penting, namun bisa dikatakan
sangat penting. Mereka penganut agama Kristen dan penganut agama Islam saling
berperang dan membunuh mengatasnamakan agama tidak lain dipicu oleh permasalahan
hina-menghina agama satu sama lain. Mereka seolah sudah menanamkan rasa dendam satu
sama lain dan yang lebih mengejutkan lagi mereka melakukan ini sampai lima tahun
lamanya semenjak peperangan yang pertama tahun 1999. Akibat perang yang lama ini
berkecambuk, banyak para jihadis Muslim dan pejuang Kristen menganggap kekerasan yang
terjadi saat itu merupakan kekerasan sebagai perang suci dan sarana untuk menyucikan
dosa-dosa. Bahkan Sumanto juga menuliskan dalam buku ini bahwa ia sempat
mewawancarai mantan kelompok milisi kedua belah pihak, salah satunya di pihak Kristen
mengatakan bahwa “Bagi saya, perang Maluku adalah perang suci sehingga siapapun yang
membunuh kaum Muslimin akan diberikan surga oleh Tuhan.” Mereka juga percaya bahwa
perang adalah media pemurnian diri. Istilah “pemurnian diri” bagi kaum mantan milisi
Kristen tidak hanya berkaitan dengan “hal-hal duniawi” (misalnya, bertaubat dari dosa-
dosanya) tetapi juga hal-hal duniawi seperti pemurnian dari perilaku negatif ke perilaku
positif. Hal yang hampir sama juga dijelaskan oleh mantan eks-jihadis di Maluku yang
menyatakan doktrin agama yang membuat mereka perang dengan kaum Kristiani. Dari hal
ini kita bisa ambil benang merah yang menjadi pemicu terjadinya perang yang sangat tragis
ini dimana para pemimpin militant Kristen dan Muslim serta masyarakat sipil di kedua belah
pihak ini menggambarkan perang di Maluku ini sebagai tugas suci bagi para penganut
Kristiani dan Islam untuk membela agama (dan Tuhan).

Dalam penjelasan konsep mengenai teori kekerasan komunal sebelumnya, dijelaskan


bahwa dalam kekerasan komunal terdapat suatu hal yang dapat memobilisasi atau suatu hal
yang dapat mendoktrin komunitas sehingga suatu peperangan dan kekerasan terjadi
dikedua belah pihak. Jika kita kaji Kembali dengan buku ini menggunakan konsep kekerasan
komunal diatas jelas bahwa dalam kasus tersebut terdapat suatu doktrin sebagai dalang
pecahnya perang diantara kedua belah pihak. Sangat jelas dalam buku ini dipaparkan para
jihadis dari komunitas muslim membingkai perang sebagai Perang Sabil (perang di jalan
Allah (Tuhan)) sehingga selanjutnya pertempuran mereka dianggap sebagai jihad fi sabilillah
(perang di jalan Allah) untuk melindungi iman Islam dan umat Muslim dari invasi Kristen dan
kegiatan misionaris. Begitu pula dengan umat Kristiani, dengan menggunakan bingkai yang
sama, para komunitas Kristen menganggap perang Maluku sebagai Perang Salib yang
dimaksudkan untuk menjaga iman umat Kristen dari dakwah Islam serta mencegah
terjadinya Islamisasi paksa oleh umat Muslim kepada kaum Nasrani dan juga
mempertahankan wilayah mereka (Maluku) dari ancaman Islamisasi oleh umat Muslim. Dari
uraian ini jelas bahwa konsep komunalisme semakin terlihat disini dimana perang yang
pecah berlarut-larut dimobilisasi oleh doktrin agama yang menggiring mereka untuk
membunuh satu sama lain dengan doktrin perang di jalan Tuhan.

Kemudian dalam buku ini yang menggunakan konsep komunalisme sebagai teori utama juga
dipaparkan bahwa apa yang menjadi penyebab perang ini terjadi berlarut-larut sampai 5
tahun lamanya. Dalam kerangka teori kekerasan komunal yang dipaparkan sebelumnya
dijelaskan bahwa kekerasan komunal ini membawa perasaan permusuhan, kemarahan,
emosional hingga perasaan dendam yang menyelimuti kedua belah pihak yang bertikai
sehingga menyebabkan perang terjadi sangat begitu lama. Perasaan dendam yang sudah
tertanam di hati para masing-masing umat beragama yang bertikai memperparah keadaan
saat itu. Keadaan seperti ini bukan hanya terjadi di Maluku saja, namun juga di banyak
daerah di Indonesia. Indonesia sendiri negara yang majemuk dimana memiliki perbedaan
ras, etnis, agama yang berbeda-beda sehingga hal ini akan sangat rawan terjadinya
perpecahan jika tidak disikapi dengan sangat cermat. Keadaan dengan latar dendam yang
menyebabkan konflik komunal tidak terjadi di maluku saja, namun juga di daerah lain
seperti di Lampung, dimana terjadinya kerusuhan antara transmigrant etnis Bali yang
Sebagian besar adalah Bergama Hindu dengan penduduk asli etnis Lampung yang Sebagian
besar beragama Islam. Dalam kasus ini, mereka yang penduduk asli tidak senang melihat
transmigrant Bali yang hidup di daerah mereka hidup sukses, sedangkan mereka yang
penduduk asli malah hidup serba kekurangan. Dari latar belakang inilah terjadinya perang
besar-besaran antara kedua belah pihak. Setelah itu perang mereda, namun tak butuh
waktu lama, dengan adanya perang sebelumnya yang masih menyisakan rasa dendam di
masing-masing komunitas menyebabkan perang Kembali terjadi hanya karena masalah
sepele dan begitu seterusnya. Ini membuktikan bahwa peran rasa dendam juga membawa
dampak serta api pemicu yang dapat menambah kobaran kebencian sehingga kobaran
perang bisa semakin menjadi besar dan membara dan berlarut-larut di dalam suatu perang.
Konsep kekerasan komunal seperti inilah yang berusaha dijelaskan dalam buku ini sehingga
segala permasalahan yang menjadi sumber inti penyebab kekerasan bisa diketahui.
Dari uraian diatas bisa kita ambil kesimpulan bahwa teori dan konsep yang coba digunakan
dalam buku ini untuk menjelaskan bagaimana penyebab terjadinya kekerasan konflik di
Maluku adalah teori kekerasan komunal, dimana kekerasan komunal merupakan kekerasan
yang melibatkan orang-orang dari dua komunitas etnis maupun agama yang berbeda yang
dimobilisasi atau didoktrin untuk melawan satu sama lain dan membawa perasaan
permusuhan, kemarahan emosional, eksploitasi, diskriminasi sosial dan pengabaian sosial.
Dalam kasus ini, doktrin yang utama yang menjadi penyebab terjadinya peperangan yang
berlarut-larut adalah adanya doktrin agama pada masing-masing umat beragama untuk
saling berperang dengan dalih perang atas nama agama dan membela Tuhan. Doktrin-
doktrin ini seperti doktrin Perang Salib dan doktrin Perang Sabil yang menyebkan perang
terjadi sangat begitu keras hingga saling membunuh satu sama lain. Kemudian melalui
konsep teori kekerasan komunal ini juga kita bisa mengetahui bahwa perang terjadi sangat
bergitu lama (5 tahun) diakibatkan oleh rasa dendam yang terdapat dimasing-masing umat
sehingga apapun yang dilakukan selama perasaan dendam itu masih ada maka sudah
dipastikan akan berlangsung lama.

Evaluate the method used. whether ethnography, statistics, historical documents


(archives), mixed method.

Dalam bukunya, Sumanto menjelaskan bahwa buku yang ia tulis merupakan hasil penelitian
dan kerja lapangan selama 14 bulan yang dilakukan sejak 1 Februari 2010 hingga 30 Maret
2011 di kota Ambon dan sekitarnya. Dalam kurun waktu tersebut, ia melakukan penelitian
lapangan berupa studi etnografi di kota Ambon, Maluku dan sekitarnya. Selain di Ambon, ia
juga melakukan penelitian di daerah lain seperti kota Jakarta dan Salatiga (Jawa Tengah)
untuk melakukan studi literatur (Historical documents study) and melihat arsip yang relevan
dengan penelitian. Dalam penelitiam lapangannya, ia menggunakan tiga metodelogi utama
untuk mengungkap Kembali kasus berdarah yang terjadi pada tahun 1999 itu seperti kerja
lapangan etnografi, analisis jaringan dan asosiasi, dan yang terakhir adalah penelitian
sejarah komparatif tentang pembentukan sosial identitas dan asosiasi keagamaan di wilayah
Maluku. Selain itu, untuk memperkuat hasil penelitiannya, ia juga mengacu pada kuesioner
dari 100 mantan anggota kelompok milisi, baik Kristen maupun Muslim. Dalam hal ini,
menurut saya ia dalam melaksanakan penelitiannya dengan konteks kekerasan komunal
yang terjadi pada antar umat beragama menggunakan metode yang tepat yaitu berupa
studi lapangan etnografi. Dalam melakukan penelitiannya, ia tinggal bersama masyarakat
disana, melakukan keseharian dari masyarakat tersebut serta berusaha mengulik
permasalahan yang terjadi pada peristiwa kekerasan komunal tersebut. Saya rasa dengan
berusaha menjadi bagian dari masyarakat adat daerah yang kita teliti dan tinggal bersama
mereka akan menghasilkan hasil penelitian yang sangat valid dan sangat otentik dan hal ini
dilakukan oleh Sumanto dalam penelitian lapangan etnografinya. Singkatnya, Sumanto sang
penulis dalam penelitiannya sangat tepat jika memilih metode etnografi sebagai metodelogi
utama dalam mengungkap kekerasan komunal antar agama di Maluku, hal ini karena
dengan metode etnografi berarti peneliti sangat mengetahui betul kejadian yang terjadi
karena peneliti terlibat langsung bahkan tinggal dengan masyarakat yang ia teliti, sehingga
keotentikan hasil penelitian bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Hal lain lagi yang menurut saya dia melakukan penelitiannya dengan baik dan sangat cocok
untuk memilih studi etnografi sebagai metode dalam melakukan penelitiannya adalah
dalam studi lapangannya dia mengkhususkan penelitiannya dengan menggunakan dua
metode utama yaitu observasi partisipan dan wawancara. Dalam observasi partisipan, ia
tinggal bersama komunitas masyarakat Protestan, Katolik, dan Muslim. Dalam bukunya ia
mengatakan bahwa ia tinggal bersama masyarakat dan banyak melakukan interaksi dengan
penduduk sekitar, bahkan ia ikut andil dalam segala kegiatan desa, adat, dan keagamaan di
desa tersebut. Dari hal ini bisa kita lihat bahwa ia melakukan studinya benar-benar terlibat
langsung dalam masyarakat tersebut. Hal ini sesuai dengan makna observasi partisipan itu
sendiri yaitu dimana peneliti terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang
diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Dengan menggunakan
studi observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh Sumanto akan lebih tajam
dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari setiap perilaku yang nampak. Hal
ini tentu memberikan kesan keabsahan data yang diperoleh oleh Sumanto dalam
bukunya sangat valid dan otentik karena ia terlibat langsung bersama masyarakat
yang ia teliti.

Kemudian dalam metode keduanya, ia menerapkan metode wawancara selama proses studi
lapangan etnografinya. Dalam metode wawancaranya, ia banyak menggunakan jenis
wawancara dimana hal ini tergantung pada informan yang akan ia wawancarai seperti
halnya wawancara informal, tidak terstruktur, mendalam atau semi terstruktur. Menurut
saya hal yang ia tempuh dengan menggunakan berbagai metode dalam wawancaranya
adalah hal yang sangat tepat, karena yang dia wawancarai bukan hanya satu jenis orang,
namun dalam berbagai jenis dan latar belakang. Dengan cara ini menurut saya informasi
yang akan didapat akan lebih bagus dan cocok untuk tujuan penelitiannya. Dalam hal
wawancara ini, ia secara khusus menyaring informannya yang dia anggap sesuai dengan
tujuan penelitian. Dalam hal ini, ia mewawancarai perwakilan dari masing-masing daerah
adat seperti warga kota biasa, mantan anggota dan pemimpin milisi, personel militer dan
TNI, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat dan agama, anggota aktivis organisasi “sipil”
hingga mereka yang mendukung dan menolak perjanjian damai Malino II. Menurut saya,
Langkah untuk memilih dan menyaring informan sesuai dengan tujuan penelitian adalah hal
sangat brilian dilakukan. Dengan melakukan wawancara bersama representasi dari masing-
masing komunitas akan bisa didapatkan wawasan tentang perspektif mereka yang terlibat
dalam bentrokan dan kegiatan pasca-kekerasan. Hal ini tentu bisa menambah konkretnya
kualitas suatu penelitian.

Kemudian selain metode yang sudah dijelaskan sebelumnya, Sumanto juga menggunakan
metode historical documents (archives) dalam penelitiannya. Hal ini ia lakukan karena
dalam dalam kasus yang dia teliti cenderung memiliki bahasan mengenai sejarah, lintasan
dan dinamika hubungan antar kedua agama yang bertikai sebelum, selama dan setelah
kekacauan terjadi. Selain itu, dalam buku ini juga banyak membahas mengenai metode
analisis historis dan tekstual yang cenderung dapat menambah bukti keaslian penelitian ini.
Menurut saya, sudah sepantasnya dalam meneliti kasus kekerasan komunal yang terjadi
pada masa lampau seperti halnya kasus ini, sudah semestinya dilakukan kajian secara
historical dan literatur. Seperti halnya dalam penelitian buku ini, Sumanto mengatakan
bahwa kajian sejarah dan literatur dilakukan di tempat-tempat seperti Museum Arsip
Nasional, Perpustakaan Nasional (berlokasi di Jakarta), Perpustakaan Rumphius (Ambon),
dan Universitas Pattimura, universitas terbesar di Maluku (berlokasi di Ambon). Menurut
saya, pemilihan tempat-tempat ini sebagai tempat untuk mengkaji berbagai literatur dan
mengkaji dokumen-dokumen sejarah merupakan hal yang tepat. Sebab dengan memilih
tempat-tampat ini, peneliti bisa mengetahui seluk beluk kekerasan seperti halnya sosio-
historis kekerasan dan bagaimana perkembangan Maluku pasca konflik komunal terjadi.

Berdasarkan pemaparan diatas mengenai metode yang digunakan oleh peneliti dalam
mengulik permasalahan kekerasan komunal yang terjadi di Maluku maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa Sumanto sang peneliti menggunakan metode penelitian yang sangat
cocok dan relevan dengan tujuan penelitiannya. Dengan menggunakan metode yang ia pilih
yaitu studi lapangan etnografi, kekerasan komunal yang terjadi di Maluku bisa ia jabarkan
dan jelaskan dengan sangat rinci dan baik.

https://www.cprindia.org/research/books/communal-violence-india (6 October 2021)

You might also like