Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Pluralisme Agama sebagai upaya menjembatani harmoni antar
Kata kunci: pemeluk agama-agama telah menginisasi problem teologis dan
Marianne Moyaert, filosofis sekaligus. Misalnya, Pluralisme Agama tidak hanya dianggap
John Hick,
Teologi Global, sebagai upaya lebih lanjut dalam membangun hubungan antar agama
Pluralisme Agama namun juga dibangun di atas Relativisme Kebenaran. Konsepsi
Pluralisme Agama juga mendorong Marianne Moyaert untuk meneliti
Pluralisme Agama lebih dalam, terutama merujuk kepada paham
‘Global Theology’ yang dikonsepsikan John Hick. Makalah ini
menganalisa sejumlah kejengkelan’ para Teolog atas Global Theology
seperti contoh: Hick sebagai ‘Teolog Problematis’, demitologisasi
Jesus, dan yang paling penting adalah, hubungan yang kabur antara
Teologi dengan Filsafat. Mengikuti Argumentasi Marianne, kita akan
memahami bahwa hubungan antar agama selayaknya dibangun di atas
Batasan yang jelas antara Teologi dengan Filsafat, di mana Batasan
tersebut telah dihancurkan oleh Global Theology. Alih-Alih
memudarkan Batasan antara keduanya, Hubungan antara agama
selayaknya dilaksanakan berdasarkan pemahaman keagamaan yang
dilandasi komitmen.
Asumsi ini dapat kita temukan dalam Teologi Komparatif dan Hermeneutika Lintas
konstruksi Blackburn dalam Dictionary of Agama (Comparative Theology and
Philosophy: “… the general tolerance of Hermeneutics of the Interreligious) , Fakultas
different kinds of thing, or more particularly Teologi dan Studi Agama (Faculty of
of different and perhaps incommensurable Theology and Religious Studies) dan Kepala
descriptions of the world, none of which is Program Studi Hubungan antar Agama
deemed to be more fundamental of the (Building Interreligious Relations di di Vrije
others.”(Blackburn, 1994: 281) Ini artinya, Universiteit (VU) Amsterdam, ide-ide
Pluralisme dalam konsepsi Blackburn Marianne patut dijadikan refleksi dalam
mencakup gambaran-gambaran yang ‘tidak melihat konsepsi ‘Teologi Global (Global
terbatas’ akan realitas – “…where it Theology’ yang merupakan madzhab
frequently consorts with relativism and Pluralisme Agama John Hick secara kritis.
general suspicion of a notion of ‘the truth’. Selain itu, Wanita yang juga menjabat
Sometimes this is the relatively innocuous sebagai seorang steering committee di bidang
doctrine that there is no way of stating the Teologi Komparatif di American Academy of
unique truth or the only truth about some Religion juga adalah figure yang cukup
subject-matter; at other times it may be the mengenal John Hick secara personal dan
more sinister doctrine that no view is true, or intelektual. Dalam sebuah pertemuan diskusi
that all views are equally true.” (Blackburn, MA Thesis, Marianne menolak opsi dalam
1994). menggunakan Ehrekranz dan
Argumentasi Blackburn ternyata juga Coppola(Engebretson et al., 2010: 87) dalam
didukung oleh sejumlah peneliti masyhur; Penelitian saya. Menurut Marianne, dalam
seperti Peter Bryne. Dalam Prolegomena to
konteks ‘Kerangka Teori’ (theoretical
Religious Pluralism, Bryne meniscayakan
keharusan Pluralisme Agama dalam framework), John Hick memiliki ‘otoritas’
meragukan segala bentuk detail dari doktrin yang lebih dari pada tokoh-tokoh lain.
keagamaan; “… That is to say, pluralism must Marianne berkata pada saya, “But John Hick
take its stand on a grand negative: there is not has a Theory.”
the certainty in any particular religion to Dalam konteks Indonesia, diskusi
enable its world-view to be the basis of a akan Pluralisme Agama seyogyanya terus
viable interpretation of religion.” (Byrne,
dilanjutkan terutama dalam melihat realitas
1995: 6) John Bowden, juga mengafirmasi
pendapat yang selaras: “Those who adopt this konteks Indonesia yang plural. Adib Fuadi
standpoint (religious pluralism) emphasize in Nuriz dan Jaffary Awang, misalnya,
particular that it is essentially a relative one: menggambarkan bagaimana problematika
there is relativity in all things, not only in Pluralisme Agama dalam tataran akademik di
science but also in history and cultural values, Universitas Islam Negeri di Indonesia.(Nuriz
including religion…. This all-pervasive & Awang, 2018). Muhammad Amri et.al., pun
relativism lies at the heart of the real problem menyampaikan topik yang serupa dalam
of religious pluralism as posed today, and it is konteks pesantren (Amri, Afifuddin, & Bin-
a very perplexing and serious one.”(Boase,
Tahir, 2018). Lebih kurang, kedua penelitian
2005: 13-14) Pluralisme Agama jadinya
menolak ‘absolutisme’ yang merupakan mengelaborasi bagaimana kurikulum
kekhasan dari tradisi keagamaan. Alih-Alih pendidikan cukup memberikan warna dalam
meniscayakan sebuah klaim kebenaran (truth perkembangan Pluralisme Agama di
claim) (Hilberg, 2006), Pluralisme Agama Indonesia.
justru merelatifkan tradisi keagamaan. John Hick, sebagai salah seorang
Marianne Moyaert adalah salah Figur tersohor dalam Pluralisme pun turut
seorang Intelektual yang berhasil mengorek memberikan fondasi akademis dalam
betapa problematisnya Pluralisme Agama eksistensi Pluralisme Agama di Indonesia.
terutama yang dikonsepsikan oleh John Hick. Arafat Noor Abdillah dan Said Masykur,
Sebagai seorang Guru Besar di bidang misalnya, sepakat dalam riset mereka bahwa
Hick, adalah tokoh yang otoritatif dalam Emeritus Profesor di bidang Filsafat Agama
membangun argumentasi Pluralisme Agama, (Philosophy of Religion) di Claremont
bersandingan dengan sejumlah figur masyhur Graduate University, California; H.G. Wood
baik cendikiawan Muslim Indonesia maupun Profesor bidang Teologi di University of
penggiat Dialog antar Agama di kancah global Birmingham, sekaligus Peneliti di Institute of
(Abdillah, 2019; Masykur, 2016). Dalam Advanced Research in Artts and Social
konteks sosial keagamaan di Pulau Bali, Mark Sciences di kampus tersebut. Hick juga
Woodward pun mengutip Hick sebagai dikenal sebagai Pendiri dari All Faiths or One
seorang Intelektual penting dalam diskursus Race (AFFOR). Hick juga dikenal sebagai
Pluralisme Agama (Woodward, 2019). Di Wakil Presiden dari the British Society for the
sejumlah majelis akademik, beberapa Philosophy of Religion dan the World
argumentasi kritis akan ide Pluralisme Agama Congress of Faiths, dua dari raksasa
Hick pun bermunculan. Ditinjau dari sejumlah komunitas studi lintas agama yang masyhur di
kontroversi dan konfontrasi ilmiah ini, dunia.
semakin menguatlah pandangan akan bahwa Dalam argumentasinya, Global
Global Theology yang diformulasikan John Theology adalah kumpulan teori atau
Hick sangat patut diperhitungkan sebagai hipotesis yang dimaksudkan untuk
fondasi diskusi Pluralisme Agama di menginterpretasi pengalaman keagamaan
Indonesia (Armayanto, 2014; Busyro, manusia yang tidak hanya dialami oleh
Ananda, & Adlan, 2019; Fata, 2018) Agama Kristen, namun juga agama lain,
Diskusi yang akan dipaparkan dalam termasuk kepercayaan non-agama
paper ini urgen dalam menjabarkan pola Argumentasi itu ditulisnya di dalam God has
problematis yang hadir dalam konsepsi Many Names:“… a global theology would
Pluralisme Agama John Hick, yaitu Global consist of theories or hyphotesis designed to
Theology terutama terkait ‘dinding identitas’ interpret the religious experience of mankind,
antara pemikiran teologis dan filsafat yang as it occurs not only within Christianity, but
seringkali tumpang tindih dalam diskursusnya also within the other great streams of
sehingga melahirkan keambiguan dalam religious life, and indeed in the great non-
Analisa fenomena Pluralisme Agama religious faiths also, Marxism and Maoism
berdasarkan Kritik Marianne Moyaert. and perhaps according to one’s definition of
‘religion’ Confusianism and certain forms of
II. John Hick dan Global Theology dalam Buddhism.” (Hick, 1980: 8)
Pluralisme Agama Hick membangun argumentasinya
Lantas apakah lantas Pluralisme Agama berdasarkan pengalamannya dalam melihat
mampu memberikan solusi kerukunan antar realitas plural yang ada di Birmingham. Di
agama? Bagi sebagian, tentu saja Pluralisme Birmingham, ia melihat komunitas Muslim,
Agama dibutuhkan dan krusial dalam Sikh, dan Hindu yang hidup satu dengan yang
membangun toleransi antar umat beragama - lainnya. Hick membayangkan tradisi
terlepas dari asumsi relativisme yang keagamaan yang plural itu, mampu terlaksana
membangunnya secara filosofis. Baik Beneke, dengan berbagai ciri khasnya. Hick juga
Madison, McGraw, dan tokoh-tokoh lain yang mengaku terlibat dalam sejumlah aktivitas
dikutip dia atas melihat Pluralisme adalah ‘hubungan antar ras’ (race relations) atau
sebuah keniscayaan yang harus dilakukan ‘hubungan antar komunitas’ (community
demi mencapai harmoni antar umat beragama. relations) yang diikuti oleh komunitas lintas
Ada sejumlah madzhab pemikiran agama. Selama kegiatan itu, Hick
Pluralisme Agama yang dikenal dalam Studi menyampaikan beberapa kali mengikuti
Agama-Agama. Yang terutama di antaranya ibadah di Masjid, Sinagog, Kuil dan bahkan
adalah Global Theology yang diinisasi John Gurdwara. Hick bahkan termotivasi untuk
Hick (1922-2012). Hick, adalah mendiang berkunjung ke India dan Sri Lanka dalam
centredness.”(Hick, 1997a: 36) Konsepsi The God, whom they believe, who
Real jadinya sangat relatif bergantung kepada makes a total claim on their
pengalaman keagamaan manusia mengikuti lives and demands them to do
variasi kondisi psikologis manusia dan budaya justice.” (Hick et al., 1996: 38)
yang mengitarinya: “… And the hypothesis Berdasarkan pengalaman-
that I want to consider is that what they pengalaman itulah, Hick meyakini adanya
describe is not the Ultimate as it is in itself but Realitas Ketuhanan yang sama berdiri
as it is conceived in the variety of ways made sebagai fondasi di balik tradisi keagamaan
possible by our varied human mentalities and yang berbeda-beda. Hick juga memahami
cultures -our different modes of religious bahwa setiap agama memiliki konteks
experiences being in turn made possible by keselamatan yang berbeda satu dengan yang
those concepts.”(Hick, 1997b: 166) lainnya. Oleh karena agama (Hick, 1997b:
164), bagi Hick adalah realisasi varian yang
Marianne Moyaert dan ‘Kejengkelan para berbeda berdasarkan formula fundamental
Teolog’ atas John Hick yang satu, penting sekiranya untuk
memberikan perhatian baru dari model-
Ada sejumlah ‘kejengkelan’
model Tuhan yang berbeda itu menuju ‘The
(annoyance) dari para Teolog yang
Real’ yang tunggal (Hick, 1997a: 36); Ia
disampaikan oleh Marianne Moyaert dalam
adalah figur yang misterius, tidak
risetnya.Argumentasinya terutama berasaskan
terekspresikan, dan tidak terlukiskan.
‘garis pembatas’ yang tidak jelas antara
Filsafat Agama dan Teologi. (Moyaert, 2012) Lantas di mana kritikan Marianne
Berikut daftar ambiguitas yang dituliskan terhadap Hick Sebagai ‘Teolog
Marianne Moyaert kepada John Hick: Problematis’? Sebelumnya mari kita pahami
dulu bagaimana Hick mendefiniskan
Ambiguitas Pertama adalah
‘Problematic Theology’ di bagian awal dari
kedudukan Hick sebagai ‘Teolog
God has Many Names:
Problematis’ (Problematic Theologian).
Sebagaimana sudah kita cermati di atas, Hick “There are, I suppose, two
memiliki pengalaman yang cukup kental main kinds of theology, of
dalam kehidupan lintas agama. Kekayaan whicih have ben aptly labelled
pengalaman itu, terakumulasi pada dirinya ‘dogmatics’ and
dalam membangun ide-ide Global ‘problematics’. Dogmatic
Theologynya. Di dalam Four Salvation in a theology… studies and
Pluralistic World, Hick mengekspresikan conserves the inherited
ketakjubannya sebagai berikut: tradition, having accepted its
fundamental structure as
“… In these places of worship
permanently valid, because
I soon realized something that
divinely revealed.
is obvious enough once
Problematic theology, on the
noticed, yet monumentous in its
other hand, takes place at the
implication. This is that
interfaces between the
although the language and
tradition and the world-both
liturgical actions and the
the secular world and the
cultural ethos differ greatly in
wider religious world-and is
each case, yet from a religious
concerned to create new
point of view basically the same
theology in the light of new
thing is going on. Human
situations. Thus whilst
beings coming together within
dogmatic theology assumes
the framework of a tradition to
that its basic positions
open their hearts and minds to
represent the final truth,
Global Theology dengan menyatakan bahwa seseorang yang tidak sesungguhnya terjadi
‘Baik Impersonae dan Personae Tuhan tidak dengan tujuan mengundang perhatian dari para
mungkin menggambarkan The Real dengan pendengarnya; “… And I am using the term
sebenar-benarnya ,misalnya. Hick menulis: ‘myth’ in the following sense: a myth is a story
"... a plurality of impersoane as well as of which is told but which is not literally true, or
personae of the Real. None of these is the real an idea or image which is applied to someone
an sich; BUT each of them is the real as it or something but, which does not literally
affects a particular stream of religious apply, but which invites a particular attitude in
consciousness…." (Hick, 1997b: 177). its hearers...”(Hick, 1977: 178) Dalam
Berdasarkan itulah, Hick sesungguhnya telah kaitannya dengan Global Theology, Mitos
keluar dari spektrum Filsafat Agama, namun semestinya digunakan dengan benar tidak
masuk kepada wilayah otoritas dari Teologi. hanya guna ‘memanggil’ kepada (hanya) satu
Problematika Kedua adalah bahwa versi keselamatan saja, namun kepada The
Global Theology juga telah melakukan Real (Moyaert, 2012: 197).
‘Demitologisasi Kristus’. Hal ini merupakan Hick juga menambahkan, bahwa
implikasi absah dari ‘intervensi’ filsafat agama dogma pengutusan Yesus tidaklah harus
terhadap teologi -yang sebetulnya lagi-lagi dipahami secara literal oleh Umat Kristiani.
bukan ranah kajiannya’. Marianne mengutip, Sebab, pemahaman ini sangat berlawanan
“… Philosophy of religion becomes the basis dengan doktrin Global Theology, yang
onto which theology must be grafted in order meniscayakan representasi The Real yang
to be living and creative. The task of sama dari bentuk phenomena Ilahiyah yang
problematic theologian, according to Hick, is berbeda-beda. Menurut Hick, diturunkannya
the reinterpretation of the Christian tradition Anak Tuhan sebagai Inkarnasi Ilahi (Divine
in the light of the findings of pluralism in Incarnation) dapat berimplikasi akan ‘lebih
philosophy of religion.”(Moyaert, 2012: 196). dekatnya’ Umat Kristiani kepada Tuhan
Formula ini, pada akhirnya berujung kepada dibandingkan dengan Umat Agama lain.
dekonstruksi dogma teologis Kristen, mulai Global Theology, tentu saja menolak keras
dari doktrin penciptaan semesta; jatuhnya dogma teologis ini. Hick mempertanyakan
manusia pertama dari Surga, dosa turunan, ‘keambiguan’ Inkarnasi Ilahiah Yesus sebagai
penembusan dosa manusia di tangan Yesus, berikut:
dan lain sebagainya (Moyaert, 2012: 197). “… If Christ was (literally
Bagi Hick, konsepsi keselamatan (salvation) rather than metaphorically)
seperti yang dihadirkan Agama-Agama - God incarnate, it would seem
khususnya Kristen- tidaklah penting. clear that the religion which
(Moyaert, 2012: 197) he founded must be intended
Konsekuensinya, menurut Hick, to supersede all other
sudah tiba waktunya untuk ‘memahami ulang’ religions. Why should God
klaim-klaim kebenaran tersebut tidak lagi wish anyone to follow a
sebagai teori yang bisa diverifikasi maupun different religion from the one
difalsifikasi -dianggap benar ataupun salah-, which he himself personally
namun justru dipahami sebagai mitos yang founded and in which he now
telah diditerminasi secara historis maupun lives by his Spirit? But having,
budaya (be understood as historical and in the light of reality, largely
culturally determined myths.”(Moyaert, 2012: abandoned the project of the
197) Mitos, dalam definisi Hick, sebagaimana conversion of the world,
dituliskannya di The Myth of God Incarante whether in this or any other
adalah sebatas kisah yang disampaikan namun generation, do we not need to
tidak sepenuhnya benar; ia adalah ide atau re-examine the assumptions
gambaran yang diterapkan pada sesuatu atau
Dalam arti, para Filsuf selalu berada dalam dibangun berdasarkan penyampaian,
situasi tertentu yang mempengaruhi pemikiran pertemuan, atau ‘kekacauan’ itu; Upaya
mereka tentang agama. penjelasan atas agama yang dilakukan para
Ketiga, para Teolog, dalam Teolog bertujuan tidaklah lain guna
kesempatan berdiskusi Bersama para Filsuf ‘mempersempit jarak’ antara jurang yang
dapat berbicara tentang tradisi keagamannya membentang antara dogma Agama dengan
dari ‘jarak’ tertentu. Hal ini lumrah, sebab, masyarakat di luar sana, meskipun nyatanya
Gereja juga ingin menyampaikan pesan-pesan tidaklah cukup.
keagamaan kepada dunia ‘luar’. Upaya untuk Kelima, meskipun Teolog yang Baik
menerjemahkan ‘Bahasa Asli’ dari dogma dapat memberikan jarak -menghindari
Agama adalah langkah penting dalam penyampaian pengalaman keagamaan
menyampaikan pesan-pesan Ilahiah; Oleh pribadinya- ketika menjelaskan tentang
karena itulah, tradisi keagamaan harus dogma Agama, penjelasan itu tidak akan
disampaikan dengan cara yang berbeda-beda keluar dari penjelasan agama sebagaimana
sesuai dengan publik yang mendengarkan, dan mestinya. Artinya, penjelasan tersebut
dalam hal ini, Para Teolog akan berusaha mungkin ‘subjektif’, namun tidak akan
untuk meyakinkan dunia luar dengan menimbulkan ‘masalah’ sebagaimana yang
penyampaian yang dapat dengan mudah sempat dinyatakan John Hick. Tulis Marianne,
dipahami oleh khalayak ramai; Misalnya, “They speak on behalf of their faith tradition
membandingkan Iman Kristiani dengan Iman and should not add that they are not speaking
Agama lain, menjelaskan posisi Tuhan sebagai literally.” (Moyaert, 2012: 200-201)
Bapa, menyampaikan kasihnya Bunda Maria, Problematika Keempat, adalah
dan lain sebagainya. batasan yang kabur. ‘Kejengkelan Teologis’
Keempat, upaya para Teolog dalam (The theological annoyance) yang
mencari dan menemukan keterkaitan antara dikemukakana Marianne adalah hipotesis
Agama dengan khalayak tidaklah mereduksi pluralisme yang dikemukakan Hick tidak
intisari Agama. Teolog memang berkewajiban memperhatikan unsur-unsur Filsafat Agama
untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara an sich. Jika Pluralisme Agama
kepada dunia luar dengan model dan cara yang dikategorikan murni sebagai sebuah Perspektif
beragam. Sebab, agama tidaklah mampu Luar, mungkin efek yang dihasilkan tidaklah
menyampaikan ‘petunjuk’ ini dengan begitu berbahaya. Pasalnya, Pluralisme justru
sendirinya – atau lebih tepatnya, masyarakat menarik kesimpulan-kesimpulan yang
tidaklah mampu mengecap pesan keagaaman merujuk kepada pemahaman religious pribadi
dengan sendirinya-. Sebaliknya, tidak pula -yang artinya adalah sebuah bentuk refleksi
berarti bahwa para Teolog ‘membawa Nama dari Perspektif Dalam. Hick tidaklah
Tuhan’hingga kemudian pesan keagamaan itu sepenuhnya menyadari bahwa pertemuan
‘diterima’; Tidaklah pula berarti dengan Filsafat Agama dan Teologi tidak akan
adanya ‘pertemuan’ antara pesan yang berjalan ‘mulus’. Marianne mengutip sebuah
disampaikan oleh para Teolog dengan wawancara akan bagaimana Hick
khalayak dengan mereka yang sedang atau mengasumsikan dirinya sebagai Teolog dan
belum mendangar, kemudian disimpulkan Filsuf bergantian setiap hari -Sebagai Teolog
bahwa iman yang dianut oleh sebagian umat di hari Senin, Selasa, dan Rabu; Sebagai Filsuf
adalah ‘pura-pura belaka’; Tidak pula berarti di sisa harinya- (Moyaert, 2012: 196-203).
ketika Teolog membandingkan antara tradisi- Anomali ini, menurut Marianne, menunjukkan
tradisi keagaman, kemudian disimpulkan sebuah dinamika yang tidak pantas: “… The
bahwa tradisi-tradisi tersebut ‘tumpang tindih’ way he (Hick) extends his philosophical
secara kacau. antara satu dengan yang lainnya. reflections on Monday, Tuesday, and
Asumsi-Asumsi haruslah ditolak sebab Agama Wednesday to his theology of Thursday,
bukanlah sebuah ‘superstructure’ yang Friday, Saturday, and Sunday testifies to an
Meskipun, secara teologis, hal ini tidaklah of these mediations and thus in the
bisa diterima. Hick melupakan hubungan renunciation of the immediate can faith
suci yang terjalin antara praktik keimanan grow.” (Moyaert, 2012: 205)
yang kongkrit dengan Tuhan. Identitas Ini artinya, even-even keagamaan,
keagamaan dari seseorang adalah bukti simbol-simbol, ritual-ritual, objek-objek
bahwa seseorang telah menggolongkan material, dan lain sebagainya yang
dirinya sebagai pengikut Tuhan. Ia akan bermediasi dengan Tuhan mengimplikaskan
merasa menjadi bagian dari Hamba Tuhan bahwa Tuhan tidaklah sepenuhnya
dan senantiasa merasakan pengalaman ‘Transenden’ ataupun sepenuhnya ‘Imanen’.
hidupnya sebagai karunia dari-Nya. Karunia Tuhan tidak sepenuhnya berada di material
itu, tentu saja hanya bisa diterima oleh tersebut, namun Tuhan tidak bisa diketahui
mereka-mereka yang beriman kepada-Nya kecuali melaluli elemen-elemen tersebut.
(Moyaert, 2012: 204). Pengalaman ini, Marianne menulis: “… We discover whoever
dalam skala global, tentu absah guna God is by relating to the concrete in which
direfleksikan lebih lanjut berdasarkan He reveal Himself. He reveals something of
pandangan hidup keagamaan non-Kristiani. who he is through the elements in which he
Kritikan ini lebih ‘terasa’ dengan expresses Himself. The faith relation and the
mengafirmasi bahwa Tuhan commitment to God is cultivated and made
‘menghubungkan Diri-Nya’ dengan manusia possible by the connection with the concrete
melalui praktik sosial, simbol, ritual, dan material, historical, social, and cultural.
objek-objek keagamaan. Julian Droogan Even more, arriving at a Christian faith
nampaknya sangat memahami urgensi objek- identity means accepting the mediation of the
objek tersebut sebagai bagian yang ‘tak Church, for there Christ, the risen one,
terpisahkan’ dari sejarah peradaban manusia reveals himself.”(Moyaert, 2012: 206)
(Droogan, 2012, vii, 16) Di sinilah, makna Bagi Umat Kristiani, mediasi ini
‘Transenden’ dan ‘Partikular’ terjalin (juga) memiliki dimensi eklisiologis; yang
bersamaan. Melalui hubungan itulah, artinya, Seorang Kristiani hanya bisa
identitas Kekristenan bisa dibangun dan dianggap sebagai seorang Kristiani jika iya
dikenali oleh Penganutnya: “…God also meyakini Tuhan adalah Juru Selamatnya yang
makes an impression in the life of the believer mengikarnasikan dirinya kepada sosok Yesus.
via concrete elements and the Christian Tuhan, jadinya tidak ditemukan di dalam diri
identity is formed.” (Moyaert, 2012) Dengan manusia yang paling dalam, namun melalui
kata lain, Iman yang dengannya Para sabda-sabda Rasul, Sakramen, dan Etika
penganut Agama merespon Tuhan tidaklah Kristiani. Sepertinya misalnya seorang Umat
semata-sematan perkara keyakinan yang ada Kristiani mengaku tidak mengenali Tuhan,
di dalam hati. Iman juga namun dia bisa mengenali-Nya melalui sosok
memberlangsungkan adanya hubungan yang Yesus. “… It is these symbolic elements that
rigid antara apa yang ada di dalam diri are written on the body of the baptized. One
manusia dengan yang berada di luarnya, becomes a Christian by entering an institution
sekaligus mengantarkan manusia kepada and by letting that institution imprint its mark,
elemen-elemen keagamaan yang nyata its character on the body”. (Moyaert, 2012:
seperti simbol, ritual, lagu, seni, dan lain 206) Tuhan, alih-alih telah memilih objek-
sebagainya. Simbol-simbol material itu objek tersebut sebagai metode untuk
berasal dari Agama dan melahirkan identitas menunjukkan Diri-Nya justru memang
Kekristenan (atau agama secara umum). menunjukkan Diri-Nya melalui objek-objek
Hubungan keimanan antara seorang hamba tersebut. Pemisahan seorang beriman dari
dengan Tuhannya hanya bisa terlaksana objek, elemen, dan materi-materi tersebut
melalui mediasi dengan perantara elemen- dapat mengakibatkan perilaku yang tidak
elemen tersebut: “… Only in the recognition sesuai dengan ajaran Tuhan sekaligus
Hick, J. (Ed.). (1977). The Myth of God McKim, D. K. (2003). Westminster Dictionary of
Incarnate. London: Billing & Sons Ltd Theological Terms. Louisville, Ky.:
Guildford. Westminster John Knox Press.
Hick, J. (1980). God has Many Names. London: Merrigan, T. (1997). Religious Knowledge in the
Palgrave Macmillan UK. Pluralist Theology of Religions.
https://doi.org/10.1007/978-1-349- Theological Studies, 58(4), 686–707.
16308-3 https://doi.org/10.1177/00405639970580
0405
Hick, J. (1993). God and the universe of faiths:
Essays in The Philosophy of Religion. Merrigan, T., & Haeres, J. (Ed.). (2000). The
Oxford: Oneworld. Myriad Christ Plurality and The Quest
for Unity in Contemporary Christology.
Hick, J. (1997a). An interpretation of religion: Leuven: Leuven University Press.
Human Responses to The Transcendent
Moyaert, M. (2012). Why are Theologians Swinburne, R. (2005). Faith and reason (2nd ed).
Annoyed by John Hick? STUDIES IN Oxford : New York: Clarendon Press ;
INTERRELIGIOUS DIALOGUE, 22(12), Oxford University Press.
191–208.
Wainrwright, W. J. (Ed.). (2005). The Oxford
Nuriz, M. A. F., & Awang, J. (2018). The Post of Handbook of Philosophy of Religion.
Pluralism: Religious Pluralism in the Oxford: Oxford University Press.
Practical Areas of Indonesia. KALIMAH,
16(2). Walker, C. (2009). Missionary Pope The Catholic
https://doi.org/10.21111/klm.v16i2.2868 Church and the Positive Element of Othe
Religions in the Magisterium of Paul VI.
Rowe, W. L. (2007). Philosophy of religion: An New York: IVE Press.
Introduction (4th ed). Belmont, Calif:
Wadsworth/Thomson. Woodward, M. (2019). RELIGIOUS
PLURALISM IN BALI PREMODERN
Seligman, A. B., Wasserfall, R. R., & AND CONTEMPORARY
Montgomery, D. W. (2015). Living with PERSPECTIVES. 4, 31.
Difference How to Build Community in A
Divided World. California: University of
California Press.