You are on page 1of 15

Jurnal Studi Agama dan Masyarakat ISSN: 1829-8257; E ISSN: 2540-8232

Vol. 16, No 2, Desember 2020, p. 99-113 99

PROBLEMATIKA PLURALISME AGAMA ANTARA TEOLOGI


DAN FILSAFAT: MEMBACA KRITIK MARIANNE MOYAERT
ATAS JOHN HICK
Abdullah Muslich Rizal Maulana
Universitas Darussalam Gontor, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur 63471
amrizalm@unida.gontor.ac.id

ARTICLE INFO ABSTRACT

Article history: Religious pluralism as an effort to bridge harmony among adherents


Received : 2020-07-09
of religions initiates both theological and philosophical problems. For
Revised : 2020-08-03
Accepted : 2020-12-21 example, religious pluralism is not only seen as a further effort to
build interreligious relationships but also it is built on Truth
Relativism. The religious pluralism concept also encourages
Keywords: Marianne Moyaert to investigate religious pluralism more deeply,
Marianne Moyaert,
John Hick especially referring to the concept of 'Global Theology' which is
Global Theology, conceptualized by John Hick. This paper analyzed a number of
Religious Pluralism theologians' annoyance with Global Theology such as: Hick as a
'Problematic Theologian', demythologizing of Jesus, and most
importantly, the blurred relationship between Theology and
Philosophy. Following Marianne's Argument, it was believed that the
relationship among religions should be built on clear boundaries
between Theology and Philosophy, where the boundaries were
destroyed by Global Theology. Instead of fading the boundaries
between the two, the relationship among religions should be carried
out based on a religious understanding based on commitment.

Abstrak
Pluralisme Agama sebagai upaya menjembatani harmoni antar
Kata kunci: pemeluk agama-agama telah menginisasi problem teologis dan
Marianne Moyaert, filosofis sekaligus. Misalnya, Pluralisme Agama tidak hanya dianggap
John Hick,
Teologi Global, sebagai upaya lebih lanjut dalam membangun hubungan antar agama
Pluralisme Agama namun juga dibangun di atas Relativisme Kebenaran. Konsepsi
Pluralisme Agama juga mendorong Marianne Moyaert untuk meneliti
Pluralisme Agama lebih dalam, terutama merujuk kepada paham
‘Global Theology’ yang dikonsepsikan John Hick. Makalah ini
menganalisa sejumlah kejengkelan’ para Teolog atas Global Theology
seperti contoh: Hick sebagai ‘Teolog Problematis’, demitologisasi
Jesus, dan yang paling penting adalah, hubungan yang kabur antara
Teologi dengan Filsafat. Mengikuti Argumentasi Marianne, kita akan
memahami bahwa hubungan antar agama selayaknya dibangun di atas
Batasan yang jelas antara Teologi dengan Filsafat, di mana Batasan
tersebut telah dihancurkan oleh Global Theology. Alih-Alih
memudarkan Batasan antara keduanya, Hubungan antara agama
selayaknya dilaksanakan berdasarkan pemahaman keagamaan yang
dilandasi komitmen.

DOI: 10.23971/jsam.v16i2.2136 W : http://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/jsam


E : Jsam.iainpky@gmail.com
100 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

kehinaan prasangka buruk dan diskriminasi


I. Pendahuluan: Pluralisme Agama antara sosial (Beneke, 2006). Resolusi ini akhirnya
Toleransi dan Relativisme mencapai puncaknya dalam kurun setengah
Salah sebuah isu yang cukup sulit abad kemudian di tahun 1975 dengan lahirnya
untuk didefinisikan di awal adalah Pluralisme “Memorial and Remonstrance”. Dokumen
Agama. Sebabnya ada sejumlah hal; Sebab yang dimunculkan oleh James Madison di
pertama, ideologi ini dimaksudkan untuk depan Majelis Umum Virginia itu menolak
menggambarkan koeksistensi lintas agama, otoritas Negara dalam mengintervensi
sebagai upaya yang melampaui ‘sekedar’ kepercayaan masyarakat Amerika. Hak-Hak
toleransi. Toleransi (tolerance), sebagaimana dalam memeluk suatu agama, merupakan
didefinisikan oleh Seligman, adalah, “… otoritas murni pribadi. “… Whilst we assert
living with, abiding -or in the medieval usage- for ourselves a freedom to embrace, to profess
suffering – the presence of what which we find and to observe the Religion which we believe
objectionable.”(Seligman et al., 2015: 39) to be of divine origin, we cannot deny an equal
Toleransi, artinya adalah posisi atau sikap freedom to those whose minds have not yet
‘bertahan’ akan perbedaan identitas yang yielded to the evidence which has convinced
hadir di sekeliling kita. Dalam catatan Furedi, us...”(Madison, 1785: 3) Suara Madison,
toleransi saja tidak cukup. Masyarakat sebagaimana dicatat Diana L. Eck
membutuhkan lebih dari sekedar toleransi mengafirmasi semangat masyarakat Amerika
yang menggambarkan koeksistensi akan ketika itu untuk menginisiasi ruang publik
perbedaan identitas, yaitu sebuah upaya yang bebas dari dominasi suatu agama
positif dalam rangka ‘menerima’ dan tertentu (Mc Graw & Formicola, 2005: x).
‘mengakui’ perbedaan tersebut; “… the ‘Pembebasan’ tersebut tentu juga
positive sense of acceptance and bermakna sebaliknya. Pluralisme Agama,
recognition.”(Furedi, 2011: 88).. Pluralisme artinya, memberikan kesempatan untuk ruang
disinyalir mengandung dimensi penerimaan publik untuk dideterminasi dengan nilai-nilai
dan pengakuan positif tersebut. Alasan keagamaan yang serupa, selaras, sebanding,
mengapa toleransi dianggap tidak cukup dan seimbang. Pendapat ini dituliskan oleh
adalah bahwa toleransi dianggap hanya bisa Thomas Banchoff. Banchoff, dalam Religious
‘membiarkan’ tanpa ada rasa hormat; Pluralism, Globalization, and World Politics,
toleransi, di mana di sini maknanya hanya menekankan bahwa Pluralisme Agama
sekedar ‘membiarkan’ perbedaan dianggap menekankan adanya peran tokoh-tokoh
masih menyematkan konotasi negatif kepada agama dalam sejumlah kerjasama di berbagai
komunitas yang berseberangan.(Furedi, 2011: macam lini: “… Religious pluralism is the
15) Dalam konteks dialog lintas agama, interaction of religious actors with one
misalnya, kesetaraan, perdamaian, dan another and with the society and the state
keadilan adalah unsur yang harus diperhatikan around concrete cultural, social, economic,
(Bahri, 2019). and political agendas. It denotes a politics
Beneke, misalnya, menggambarkan that joins diverse communities with
dalam konteks Amerika bahwa, “that moved overlapping but distinctive ethics and
it well beyond the language of toleration and interests...”(Banchoff, 2008: 5) Pluralisme
toward a much more egalitarian mode of Agama, jadinya tidak semata-mata
addressing its religious differences.”(Beneke, ‘menghormati’ atau ‘bertahan’ akan
2006: 6). Alasannya, kebijakan toleransi yang perbedaan sebagaimana dirujuk sebagai
diberikan Pemerintah Kolonial Inggris di makna toleransi, namun merujuk kepada
paruh 1730-an hanya mampu meringankan upaya yang lebih dari itu.
kelompok penganut agama minoritas dari Sebab yang kedua, adalah makna
sejumlah kekerasan fisik dan beban finansial, Pluralisme itu, di samping mengandung
namun tidak membebaskan mereka dari dimensi kerukunan dan toleransi, ternyata
juga mengindikasikan relativisme kebenaran.

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 101
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Asumsi ini dapat kita temukan dalam Teologi Komparatif dan Hermeneutika Lintas
konstruksi Blackburn dalam Dictionary of Agama (Comparative Theology and
Philosophy: “… the general tolerance of Hermeneutics of the Interreligious) , Fakultas
different kinds of thing, or more particularly Teologi dan Studi Agama (Faculty of
of different and perhaps incommensurable Theology and Religious Studies) dan Kepala
descriptions of the world, none of which is Program Studi Hubungan antar Agama
deemed to be more fundamental of the (Building Interreligious Relations di di Vrije
others.”(Blackburn, 1994: 281) Ini artinya, Universiteit (VU) Amsterdam, ide-ide
Pluralisme dalam konsepsi Blackburn Marianne patut dijadikan refleksi dalam
mencakup gambaran-gambaran yang ‘tidak melihat konsepsi ‘Teologi Global (Global
terbatas’ akan realitas – “…where it Theology’ yang merupakan madzhab
frequently consorts with relativism and Pluralisme Agama John Hick secara kritis.
general suspicion of a notion of ‘the truth’. Selain itu, Wanita yang juga menjabat
Sometimes this is the relatively innocuous sebagai seorang steering committee di bidang
doctrine that there is no way of stating the Teologi Komparatif di American Academy of
unique truth or the only truth about some Religion juga adalah figure yang cukup
subject-matter; at other times it may be the mengenal John Hick secara personal dan
more sinister doctrine that no view is true, or intelektual. Dalam sebuah pertemuan diskusi
that all views are equally true.” (Blackburn, MA Thesis, Marianne menolak opsi dalam
1994). menggunakan Ehrekranz dan
Argumentasi Blackburn ternyata juga Coppola(Engebretson et al., 2010: 87) dalam
didukung oleh sejumlah peneliti masyhur; Penelitian saya. Menurut Marianne, dalam
seperti Peter Bryne. Dalam Prolegomena to
konteks ‘Kerangka Teori’ (theoretical
Religious Pluralism, Bryne meniscayakan
keharusan Pluralisme Agama dalam framework), John Hick memiliki ‘otoritas’
meragukan segala bentuk detail dari doktrin yang lebih dari pada tokoh-tokoh lain.
keagamaan; “… That is to say, pluralism must Marianne berkata pada saya, “But John Hick
take its stand on a grand negative: there is not has a Theory.”
the certainty in any particular religion to Dalam konteks Indonesia, diskusi
enable its world-view to be the basis of a akan Pluralisme Agama seyogyanya terus
viable interpretation of religion.” (Byrne,
dilanjutkan terutama dalam melihat realitas
1995: 6) John Bowden, juga mengafirmasi
pendapat yang selaras: “Those who adopt this konteks Indonesia yang plural. Adib Fuadi
standpoint (religious pluralism) emphasize in Nuriz dan Jaffary Awang, misalnya,
particular that it is essentially a relative one: menggambarkan bagaimana problematika
there is relativity in all things, not only in Pluralisme Agama dalam tataran akademik di
science but also in history and cultural values, Universitas Islam Negeri di Indonesia.(Nuriz
including religion…. This all-pervasive & Awang, 2018). Muhammad Amri et.al., pun
relativism lies at the heart of the real problem menyampaikan topik yang serupa dalam
of religious pluralism as posed today, and it is konteks pesantren (Amri, Afifuddin, & Bin-
a very perplexing and serious one.”(Boase,
Tahir, 2018). Lebih kurang, kedua penelitian
2005: 13-14) Pluralisme Agama jadinya
menolak ‘absolutisme’ yang merupakan mengelaborasi bagaimana kurikulum
kekhasan dari tradisi keagamaan. Alih-Alih pendidikan cukup memberikan warna dalam
meniscayakan sebuah klaim kebenaran (truth perkembangan Pluralisme Agama di
claim) (Hilberg, 2006), Pluralisme Agama Indonesia.
justru merelatifkan tradisi keagamaan. John Hick, sebagai salah seorang
Marianne Moyaert adalah salah Figur tersohor dalam Pluralisme pun turut
seorang Intelektual yang berhasil mengorek memberikan fondasi akademis dalam
betapa problematisnya Pluralisme Agama eksistensi Pluralisme Agama di Indonesia.
terutama yang dikonsepsikan oleh John Hick. Arafat Noor Abdillah dan Said Masykur,
Sebagai seorang Guru Besar di bidang misalnya, sepakat dalam riset mereka bahwa

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)


102 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Hick, adalah tokoh yang otoritatif dalam Emeritus Profesor di bidang Filsafat Agama
membangun argumentasi Pluralisme Agama, (Philosophy of Religion) di Claremont
bersandingan dengan sejumlah figur masyhur Graduate University, California; H.G. Wood
baik cendikiawan Muslim Indonesia maupun Profesor bidang Teologi di University of
penggiat Dialog antar Agama di kancah global Birmingham, sekaligus Peneliti di Institute of
(Abdillah, 2019; Masykur, 2016). Dalam Advanced Research in Artts and Social
konteks sosial keagamaan di Pulau Bali, Mark Sciences di kampus tersebut. Hick juga
Woodward pun mengutip Hick sebagai dikenal sebagai Pendiri dari All Faiths or One
seorang Intelektual penting dalam diskursus Race (AFFOR). Hick juga dikenal sebagai
Pluralisme Agama (Woodward, 2019). Di Wakil Presiden dari the British Society for the
sejumlah majelis akademik, beberapa Philosophy of Religion dan the World
argumentasi kritis akan ide Pluralisme Agama Congress of Faiths, dua dari raksasa
Hick pun bermunculan. Ditinjau dari sejumlah komunitas studi lintas agama yang masyhur di
kontroversi dan konfontrasi ilmiah ini, dunia.
semakin menguatlah pandangan akan bahwa Dalam argumentasinya, Global
Global Theology yang diformulasikan John Theology adalah kumpulan teori atau
Hick sangat patut diperhitungkan sebagai hipotesis yang dimaksudkan untuk
fondasi diskusi Pluralisme Agama di menginterpretasi pengalaman keagamaan
Indonesia (Armayanto, 2014; Busyro, manusia yang tidak hanya dialami oleh
Ananda, & Adlan, 2019; Fata, 2018) Agama Kristen, namun juga agama lain,
Diskusi yang akan dipaparkan dalam termasuk kepercayaan non-agama
paper ini urgen dalam menjabarkan pola Argumentasi itu ditulisnya di dalam God has
problematis yang hadir dalam konsepsi Many Names:“… a global theology would
Pluralisme Agama John Hick, yaitu Global consist of theories or hyphotesis designed to
Theology terutama terkait ‘dinding identitas’ interpret the religious experience of mankind,
antara pemikiran teologis dan filsafat yang as it occurs not only within Christianity, but
seringkali tumpang tindih dalam diskursusnya also within the other great streams of
sehingga melahirkan keambiguan dalam religious life, and indeed in the great non-
Analisa fenomena Pluralisme Agama religious faiths also, Marxism and Maoism
berdasarkan Kritik Marianne Moyaert. and perhaps according to one’s definition of
‘religion’ Confusianism and certain forms of
II. John Hick dan Global Theology dalam Buddhism.” (Hick, 1980: 8)
Pluralisme Agama Hick membangun argumentasinya
Lantas apakah lantas Pluralisme Agama berdasarkan pengalamannya dalam melihat
mampu memberikan solusi kerukunan antar realitas plural yang ada di Birmingham. Di
agama? Bagi sebagian, tentu saja Pluralisme Birmingham, ia melihat komunitas Muslim,
Agama dibutuhkan dan krusial dalam Sikh, dan Hindu yang hidup satu dengan yang
membangun toleransi antar umat beragama - lainnya. Hick membayangkan tradisi
terlepas dari asumsi relativisme yang keagamaan yang plural itu, mampu terlaksana
membangunnya secara filosofis. Baik Beneke, dengan berbagai ciri khasnya. Hick juga
Madison, McGraw, dan tokoh-tokoh lain yang mengaku terlibat dalam sejumlah aktivitas
dikutip dia atas melihat Pluralisme adalah ‘hubungan antar ras’ (race relations) atau
sebuah keniscayaan yang harus dilakukan ‘hubungan antar komunitas’ (community
demi mencapai harmoni antar umat beragama. relations) yang diikuti oleh komunitas lintas
Ada sejumlah madzhab pemikiran agama. Selama kegiatan itu, Hick
Pluralisme Agama yang dikenal dalam Studi menyampaikan beberapa kali mengikuti
Agama-Agama. Yang terutama di antaranya ibadah di Masjid, Sinagog, Kuil dan bahkan
adalah Global Theology yang diinisasi John Gurdwara. Hick bahkan termotivasi untuk
Hick (1922-2012). Hick, adalah mendiang berkunjung ke India dan Sri Lanka dalam

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 103
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

waktu lebih kurang satu tahun untuk theistic and non-theistic


mempelajari langsung Hinduisme dan phenomena… As the
Buddhisme dari sumbernya (Hick, 1980: 5). noumenal ground of these and
Guna mencapai ‘interpretasi other modes of expereinces,
keagamaan’ itu, Hick menggadopsi ‘Revolusi and yet transcending all of
Kopernikan’ atau ‘Revolusi Kantian’. them, The Real is so rich in
Sebagaimana Kant ‘menggeser’ keabsahan content that it can only be
pengalaman sebagai ‘objek pengetahuan’ finitely experienced in the
yang independen (a posteriori) kepada various partial and
dependensi pengalaman kepada aktivitas dan inadequate ways which the
struktur pikiran subjek (a priori) (Green, history of religions
1997: 16-17), Hick pun mentransformasikan describes."(Hick, 1997a: 246-
dogma dari Kristianitas sebagai pusat 247)
berotasinya agama-agama menuju ‘Tuhan’ Noumena dan Phenomena adalah
yang dikitari oleh agama-agama dan istilah yang dikembangkan dalam
kepercayaan manusia, termasuk agama kita Epistemologinya. Ketika Kant menolak
(yang dalam hal ini adalah Kristiani) sendiri. phenomena objek berdasarkan pengalaman a
Tulis Hick, “… It involves a shift from the posteriori sebagai sumber kebenaran tunggal,
dogma that Christianity is at the centre to the Ia memberikan solusi pendekatan intuisi
realisation that it is God who is at the centre, murni dalam bentuk Kategori a priori sebagai
and that all the religions of mankind, pre-kondisi subjek dalam mengecap realitas.
including our own, serve and revolve around Noumena adalah ‘realitas’ objek yang
him.”(Hick, 1993) Posisi Hick dapat dipahami merupakan hasil sintesis a priori atas
sebagai sebuah ‘perubahan sikap keagamaan’ phenomena berdasarkan Kategori (Immanuel
sebagai seorang Kristiani menjadi seorang Kant’s Critique of Pure Reason, 1929: 115-
yang lebih terbuka dalam mengakui eksistensi 116); ia merupakan ‘realitas’ berdasarkan
dan kebenaran agama lain. Terrence analisa Kategori a priori yang berada di
Merrigan, mengafirmasi ide tersebut dimensi transdendental kemampuan inderawi
sebagaimana berikut:“… The pluralist manusia (Immanuel Kant’s Critique of Pure
theology of religions is characterized by the Reason, 1929: 257-271). Konsepsi ‘Real’
“move away from insistence on the yang diberikan Hick adalah Tuhan yang
superiority or finality of Christ and transenden dan berada di ‘luar’ jangkauan
Christianity toward a recognition of the gambaran manusia yang kemudian
independent validity of other direalisasikan dalam berbagai macam tradisi
ways.”(Merrigan, 1997: 686) keagamaan yang berbeda-beda. Berdasarkan
Konsekuensi lainnya dari Revolusi Revolusi Kantian, Hick mentransformasikan
Kantian yang diadaptasi Hick adalah konsepsi konsep Tuhan yang beragam itu menuju ‘The
Tuhan yang tidak lagi berasal secara Real’ yang transenden dan melampaui
partikular berasal dari tradisi agama tertentu. konsep-konsep Tuhan yang ada di setiap
Hick menamakan ‘Tuhan’ yang sebenarnya tradisi agama: “… the sudden or gradual
ini adalah ‘The Real’ yang dikitari oleh figur- change of the individual from an absorbing
figur Tuhan yang partikular -Allah, Brahman, selfconcern to a new centring in the supposed
Yesus, dst. Sesuai dengan framework Kantian, unity-of reality and value that is thought of as
Hick membagi konsep Tuhan dengan Di God, Brahman, the Dharma, Sunyata or the
dalam An Interpretation of Religion, Hick Tao. Thus the generic concept of
menulis argumentasinya sebagai berikut: salvation/liberation, which takes a different
specific form in each of the great traditions, is
".. the noumenal real is such
that of the transformation of human existence
as to be authentically
from self-centredness to Reality-
experienced as a range of both

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)


104 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

centredness.”(Hick, 1997a: 36) Konsepsi The God, whom they believe, who
Real jadinya sangat relatif bergantung kepada makes a total claim on their
pengalaman keagamaan manusia mengikuti lives and demands them to do
variasi kondisi psikologis manusia dan budaya justice.” (Hick et al., 1996: 38)
yang mengitarinya: “… And the hypothesis Berdasarkan pengalaman-
that I want to consider is that what they pengalaman itulah, Hick meyakini adanya
describe is not the Ultimate as it is in itself but Realitas Ketuhanan yang sama berdiri
as it is conceived in the variety of ways made sebagai fondasi di balik tradisi keagamaan
possible by our varied human mentalities and yang berbeda-beda. Hick juga memahami
cultures -our different modes of religious bahwa setiap agama memiliki konteks
experiences being in turn made possible by keselamatan yang berbeda satu dengan yang
those concepts.”(Hick, 1997b: 166) lainnya. Oleh karena agama (Hick, 1997b:
164), bagi Hick adalah realisasi varian yang
Marianne Moyaert dan ‘Kejengkelan para berbeda berdasarkan formula fundamental
Teolog’ atas John Hick yang satu, penting sekiranya untuk
memberikan perhatian baru dari model-
Ada sejumlah ‘kejengkelan’
model Tuhan yang berbeda itu menuju ‘The
(annoyance) dari para Teolog yang
Real’ yang tunggal (Hick, 1997a: 36); Ia
disampaikan oleh Marianne Moyaert dalam
adalah figur yang misterius, tidak
risetnya.Argumentasinya terutama berasaskan
terekspresikan, dan tidak terlukiskan.
‘garis pembatas’ yang tidak jelas antara
Filsafat Agama dan Teologi. (Moyaert, 2012) Lantas di mana kritikan Marianne
Berikut daftar ambiguitas yang dituliskan terhadap Hick Sebagai ‘Teolog
Marianne Moyaert kepada John Hick: Problematis’? Sebelumnya mari kita pahami
dulu bagaimana Hick mendefiniskan
Ambiguitas Pertama adalah
‘Problematic Theology’ di bagian awal dari
kedudukan Hick sebagai ‘Teolog
God has Many Names:
Problematis’ (Problematic Theologian).
Sebagaimana sudah kita cermati di atas, Hick “There are, I suppose, two
memiliki pengalaman yang cukup kental main kinds of theology, of
dalam kehidupan lintas agama. Kekayaan whicih have ben aptly labelled
pengalaman itu, terakumulasi pada dirinya ‘dogmatics’ and
dalam membangun ide-ide Global ‘problematics’. Dogmatic
Theologynya. Di dalam Four Salvation in a theology… studies and
Pluralistic World, Hick mengekspresikan conserves the inherited
ketakjubannya sebagai berikut: tradition, having accepted its
fundamental structure as
“… In these places of worship
permanently valid, because
I soon realized something that
divinely revealed.
is obvious enough once
Problematic theology, on the
noticed, yet monumentous in its
other hand, takes place at the
implication. This is that
interfaces between the
although the language and
tradition and the world-both
liturgical actions and the
the secular world and the
cultural ethos differ greatly in
wider religious world-and is
each case, yet from a religious
concerned to create new
point of view basically the same
theology in the light of new
thing is going on. Human
situations. Thus whilst
beings coming together within
dogmatic theology assumes
the framework of a tradition to
that its basic positions
open their hearts and minds to
represent the final truth,

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 105
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

problematic theology sees its increase of knowledge and


conclusion as hypothesis, deepening of experience
open to revision and always shall make such change
seeking greater adequacy, imperative, He will not
being comparable in this regard himself as having
respect with the hypotheses of already attained, but will be
the sciences…My own work looking for new light to
lies more in the area of break forth from God’s word
problematics than and God’s world.”
dogmatics…”(Hick, 1980: 1) (Editorial, 1910)
Berdasarkan penjelasan Hick inilah, ‘Keterbukaan pemikiran’
kita dapat memahami bahwa alih-alih berdasarkan penalaran induktif tersebut
‘mengafirmasi’ argumentasi Tuhan. ‘Teologi barusan persis sebagaimana yang telah
Problematis’ justru ‘membuka’ kesempatan disampaikan Hick terkait dengan bagaimana
untuk adanya ide-ide lebih lanjut daripada Ia memposisikan dirinya sebagai seorang
Teologi Kekristenan, yang kemudian ‘Teolog Problematis’. Pendekatan Induktif,
berujung kepada lahirnya Global Theology memang senantiasa membuka peluang akan
sebagai ‘teologi baru’ yang dianggapnya konklusi-konklusi baru, dikarenakan
sesuai dengan keadaan kekinian. Langkah konklusi yang muncul berdasarkan premis
yang diambil Hick kemudian, sebagaimana masih bersifat kemungkinan (Probality)
dijelaskan oleh Marianne adalah melakukan (Swinburne, 2005: 44-57) . Dalam konteks
prinsip Induktif dalam bangunan argumentasi Problematic Theologian, Hick sepertinya
Global Theology sementara Teolog pada mengasumsikan Global Theology sebagai
umumnya melaksanakan pendekatan sebuah terobosan baru berdsarkan
Deduktif: “… If dogmatic theology is based pengalamannya akan dogmatisme
on deduction, then problematic theology Kristianitas yang eksklusif (Moyaert, 2012:
underwrites the principle of 193) Masalahnya, Hick justru menggunakan
induction.”(Moyaert, 2012: 194) metode Induktif yang memang ‘asing’ bagi
Apakah yang membedakan antara Teolog pada umumnya, itu pun, dengan
penalaran Induktif dan Deduktif? Bedanya, menyadari statusnya sebagai Filsuf yang
adalah variabel dan metode yang digunakan. memiliki tugas yang berbeda ranah dari para
Induktif menyatakan konkluksi yang bersifat Teolog. Jadi apa sebenarnya yang dikerjakan
probabilitas, meskipun premisnya benar. Hick ini?(Moyaert, 2012: 193)
Deduktif, sebaliknya, menyatakan Dalam catatan Marianne, bangunan
keniscayaan konklusi, jika premisnya benar argumentasi Hick merujuk kepada konteks
(Gensler, 2002: 266-268). Dalam Studi Teologi Apofatis atau Teologi Negatif
Agama, premis Induktif bisa berupa (Negative Theology/ Apophatic Theology)
pengalaman keagamaan yang plural dan dan Mistisisme Kristen(Moyaert, 2012: 193).
relatif, sementara Deduktif berawal dari Ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat
afirmasi akan eksistensi Tuhan. Penggunaan fatal karena Hick telah ‘mengambil alih
nalar Induktif dalam Studi Agama misalnya tugas’ dari Para Teolog. Dalam pandangan
dituliskan di The Biblical World: Teologi Apofatis, Tuhan diargumentasikan
“… The adoption of the dengan menegasikan hal-hal yang tidak
inductive method in religion mungkin dilakukan-Nya; Ia adalah figur yang
will mean open-mindedness Transenden dan jauh dari jangkauan batas
on the part of the religious manusia, sekaligus tidak mampu
man. He will hold himself in dipredikatkan dengan sifat-sifat apapun
readiness to readjust his (Boesel & Keller, 2010). Hick
religious opinions whenever mengaplikasikan pendeaktan ini dalam

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)


106 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Global Theology dengan menyatakan bahwa seseorang yang tidak sesungguhnya terjadi
‘Baik Impersonae dan Personae Tuhan tidak dengan tujuan mengundang perhatian dari para
mungkin menggambarkan The Real dengan pendengarnya; “… And I am using the term
sebenar-benarnya ,misalnya. Hick menulis: ‘myth’ in the following sense: a myth is a story
"... a plurality of impersoane as well as of which is told but which is not literally true, or
personae of the Real. None of these is the real an idea or image which is applied to someone
an sich; BUT each of them is the real as it or something but, which does not literally
affects a particular stream of religious apply, but which invites a particular attitude in
consciousness…." (Hick, 1997b: 177). its hearers...”(Hick, 1977: 178) Dalam
Berdasarkan itulah, Hick sesungguhnya telah kaitannya dengan Global Theology, Mitos
keluar dari spektrum Filsafat Agama, namun semestinya digunakan dengan benar tidak
masuk kepada wilayah otoritas dari Teologi. hanya guna ‘memanggil’ kepada (hanya) satu
Problematika Kedua adalah bahwa versi keselamatan saja, namun kepada The
Global Theology juga telah melakukan Real (Moyaert, 2012: 197).
‘Demitologisasi Kristus’. Hal ini merupakan Hick juga menambahkan, bahwa
implikasi absah dari ‘intervensi’ filsafat agama dogma pengutusan Yesus tidaklah harus
terhadap teologi -yang sebetulnya lagi-lagi dipahami secara literal oleh Umat Kristiani.
bukan ranah kajiannya’. Marianne mengutip, Sebab, pemahaman ini sangat berlawanan
“… Philosophy of religion becomes the basis dengan doktrin Global Theology, yang
onto which theology must be grafted in order meniscayakan representasi The Real yang
to be living and creative. The task of sama dari bentuk phenomena Ilahiyah yang
problematic theologian, according to Hick, is berbeda-beda. Menurut Hick, diturunkannya
the reinterpretation of the Christian tradition Anak Tuhan sebagai Inkarnasi Ilahi (Divine
in the light of the findings of pluralism in Incarnation) dapat berimplikasi akan ‘lebih
philosophy of religion.”(Moyaert, 2012: 196). dekatnya’ Umat Kristiani kepada Tuhan
Formula ini, pada akhirnya berujung kepada dibandingkan dengan Umat Agama lain.
dekonstruksi dogma teologis Kristen, mulai Global Theology, tentu saja menolak keras
dari doktrin penciptaan semesta; jatuhnya dogma teologis ini. Hick mempertanyakan
manusia pertama dari Surga, dosa turunan, ‘keambiguan’ Inkarnasi Ilahiah Yesus sebagai
penembusan dosa manusia di tangan Yesus, berikut:
dan lain sebagainya (Moyaert, 2012: 197). “… If Christ was (literally
Bagi Hick, konsepsi keselamatan (salvation) rather than metaphorically)
seperti yang dihadirkan Agama-Agama - God incarnate, it would seem
khususnya Kristen- tidaklah penting. clear that the religion which
(Moyaert, 2012: 197) he founded must be intended
Konsekuensinya, menurut Hick, to supersede all other
sudah tiba waktunya untuk ‘memahami ulang’ religions. Why should God
klaim-klaim kebenaran tersebut tidak lagi wish anyone to follow a
sebagai teori yang bisa diverifikasi maupun different religion from the one
difalsifikasi -dianggap benar ataupun salah-, which he himself personally
namun justru dipahami sebagai mitos yang founded and in which he now
telah diditerminasi secara historis maupun lives by his Spirit? But having,
budaya (be understood as historical and in the light of reality, largely
culturally determined myths.”(Moyaert, 2012: abandoned the project of the
197) Mitos, dalam definisi Hick, sebagaimana conversion of the world,
dituliskannya di The Myth of God Incarante whether in this or any other
adalah sebatas kisah yang disampaikan namun generation, do we not need to
tidak sepenuhnya benar; ia adalah ide atau re-examine the assumptions
gambaran yang diterapkan pada sesuatu atau

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 107
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

which led to it?” (Goulder, lain merupakan tradisi pewahyuan yang


1979: 194) terderivasi kepada pengalaman para Teolog.
Dalam catatan Marianne, Hick Perspektif Dalam menyibukkan diri dengan
memang sangat mencurigai doktrin Inkarnasi, terus mencari jawaban atas apa sesungguhnya
yang dengannya, Umat Kristen maksud, tujuan, dan makna dari eksistensi
mengatasnamakan klaim-klaim kebenaran Tuhan (Lamberigts & Kenis, 2008: 11, 23;
absolut sebagai alasan untuk melakukan Moyaert, 2012).
penindasan dan kekerasan kepada Umat dan Sementara Filsafat, berbasis
Bangsa Lain di masa lampau. (Moyaert, 2012: pengetahuan yang didapat di luar wahyu. Para
198).Oleh karena Global Theology Filsuf berbicara tentang agama; mereka
mengafirmasi kesetaraan doktrin keselamatan mengambil posisi sebagai pengamat
setiap agama, Demitologisasi Yesus, bagi Hick (observer) dan menggunakan perspektif luar
semestinya dilakukan secara metaforis dalam (Outsider Perspective) dalam
bentuk ‘Cinta’ Tuhan kepada manusia, mengembangkan pandangan-pandangannya
sebagaimana Bunda Teresa adalah figur tentang agama -dari mulai Tuhan sebagai
manusia penuh kasih sayang pada manusia. objek pemikiran keagamaan atau manusia
Yesus, tidaklah sungguh-sungguh Inkarnasi sebagai subjek pemikiran keagamaan itu-
Tuhan, namun puncak Cinta Tuhan yang (Bunnin & Tsui-James, 2003: 453;
paling sempurna dan abadi yang Wainrwright, 2005: 3) dengan cara tidak
dianugerahkan pada manusia: “… The mengasosiasikan diri sebagai ‘bagian’ internal
incarnation must be understood dari agama (Moyaert, 2012: 200). Terkait
metaphorically, Just as mother Teresa, for dengan itu, William L. Rowe menulis:
example, is the incarnation of love of “…Philosophy of Religion, unlike theology is
neighbour, so Jesus is the incarnation for not primarily a discipline within religion but a
God’s love. Jesus’ life was a preeminent discipline which studies religion from a
incarnation of the eternal and infinite love of vantage point beyond..”(Rowe, 2007)
God…”(Moyaert, 2012: 198) Perspektif luar yang digunakan Filsuf inilah
Ketiga, Problem juga mencakup yang kemudian dengannya, Agama mampu
Perspektif Dalam dan Luar (Insider and membangun relasinya dengan cabang-cabang
Outsider) dalam Studi Agama. Poin ini keilmuan lain seperti politik, sosial, budaya,
mengafirmasi kembali kedudukan Hick dan lain sebagainya (Moyaert, 2012: 200).
sebagai Problematic Theologian. Marianne Marianne menelaah distingsi antara
mencatat, bahwa Hick tidak cukup Perspektif Dalam dan Luar dalam sejumlah
menghormati Batasan antara teologi dan poin: Pertama, fakta bahwa Filsuf melakukan
filsafat. Kedua cabang ilmu ini, dalam refleksinya terhadap agama kemudian
Pandangan Hidup Barat, memiliki titik mula berbicara sebagai seorang ‘pengamat’
yang berbeda; Theology adalah fides quarens tidakhlah bermakna bahwa mereka mencintai
intellectum;(Adams, 1992; Logan, 2009; atau membela agama. Sebaliknya, tidak juga
McKim, 2003) Para Teolog berbicara dari berarti para Filsuf terlibat secara religius -
perspektif Insider sebagai seorang ‘penganut sebagai bagian dari pengikut agama- sehingga
agama’ di mana mereka hidup sebagai bagian mereka tidak lagi mampu berwacana tentang
dari komitmen keimanan tertentu terkait agama. Kedua, Perspektif Luar tidaklah
hubungan yang mereka miliki dengan Tuhan. mengimplikasikan bebasnya para Filsuf dari
Seorang Teolog yang ‘tidak memiliki iman, prasangka, sehingga mereka dianggap ‘netral’.
atau tidak terafiliasi kepada sebuah komunitas Kemampuan para Filsuf dalam
atau tradisi keagamaan adalah ‘Teolog yang menerjemahkan, mendeskripsikan, dan
Buruk’ (Bad Theologian) (Moyaert, 2012: mengkomparasikan Bahasa Agama tidaklah
199). Alasannya, pemahaman keagamaan senantiasa bermakna kemampuan
yang dipraktikkan manusia hari ini tidaklah penggambaran yang lengkap atas Agama.

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)


108 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Dalam arti, para Filsuf selalu berada dalam dibangun berdasarkan penyampaian,
situasi tertentu yang mempengaruhi pemikiran pertemuan, atau ‘kekacauan’ itu; Upaya
mereka tentang agama. penjelasan atas agama yang dilakukan para
Ketiga, para Teolog, dalam Teolog bertujuan tidaklah lain guna
kesempatan berdiskusi Bersama para Filsuf ‘mempersempit jarak’ antara jurang yang
dapat berbicara tentang tradisi keagamannya membentang antara dogma Agama dengan
dari ‘jarak’ tertentu. Hal ini lumrah, sebab, masyarakat di luar sana, meskipun nyatanya
Gereja juga ingin menyampaikan pesan-pesan tidaklah cukup.
keagamaan kepada dunia ‘luar’. Upaya untuk Kelima, meskipun Teolog yang Baik
menerjemahkan ‘Bahasa Asli’ dari dogma dapat memberikan jarak -menghindari
Agama adalah langkah penting dalam penyampaian pengalaman keagamaan
menyampaikan pesan-pesan Ilahiah; Oleh pribadinya- ketika menjelaskan tentang
karena itulah, tradisi keagamaan harus dogma Agama, penjelasan itu tidak akan
disampaikan dengan cara yang berbeda-beda keluar dari penjelasan agama sebagaimana
sesuai dengan publik yang mendengarkan, dan mestinya. Artinya, penjelasan tersebut
dalam hal ini, Para Teolog akan berusaha mungkin ‘subjektif’, namun tidak akan
untuk meyakinkan dunia luar dengan menimbulkan ‘masalah’ sebagaimana yang
penyampaian yang dapat dengan mudah sempat dinyatakan John Hick. Tulis Marianne,
dipahami oleh khalayak ramai; Misalnya, “They speak on behalf of their faith tradition
membandingkan Iman Kristiani dengan Iman and should not add that they are not speaking
Agama lain, menjelaskan posisi Tuhan sebagai literally.” (Moyaert, 2012: 200-201)
Bapa, menyampaikan kasihnya Bunda Maria, Problematika Keempat, adalah
dan lain sebagainya. batasan yang kabur. ‘Kejengkelan Teologis’
Keempat, upaya para Teolog dalam (The theological annoyance) yang
mencari dan menemukan keterkaitan antara dikemukakana Marianne adalah hipotesis
Agama dengan khalayak tidaklah mereduksi pluralisme yang dikemukakan Hick tidak
intisari Agama. Teolog memang berkewajiban memperhatikan unsur-unsur Filsafat Agama
untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan secara an sich. Jika Pluralisme Agama
kepada dunia luar dengan model dan cara yang dikategorikan murni sebagai sebuah Perspektif
beragam. Sebab, agama tidaklah mampu Luar, mungkin efek yang dihasilkan tidaklah
menyampaikan ‘petunjuk’ ini dengan begitu berbahaya. Pasalnya, Pluralisme justru
sendirinya – atau lebih tepatnya, masyarakat menarik kesimpulan-kesimpulan yang
tidaklah mampu mengecap pesan keagaaman merujuk kepada pemahaman religious pribadi
dengan sendirinya-. Sebaliknya, tidak pula -yang artinya adalah sebuah bentuk refleksi
berarti bahwa para Teolog ‘membawa Nama dari Perspektif Dalam. Hick tidaklah
Tuhan’hingga kemudian pesan keagamaan itu sepenuhnya menyadari bahwa pertemuan
‘diterima’; Tidaklah pula berarti dengan Filsafat Agama dan Teologi tidak akan
adanya ‘pertemuan’ antara pesan yang berjalan ‘mulus’. Marianne mengutip sebuah
disampaikan oleh para Teolog dengan wawancara akan bagaimana Hick
khalayak dengan mereka yang sedang atau mengasumsikan dirinya sebagai Teolog dan
belum mendangar, kemudian disimpulkan Filsuf bergantian setiap hari -Sebagai Teolog
bahwa iman yang dianut oleh sebagian umat di hari Senin, Selasa, dan Rabu; Sebagai Filsuf
adalah ‘pura-pura belaka’; Tidak pula berarti di sisa harinya- (Moyaert, 2012: 196-203).
ketika Teolog membandingkan antara tradisi- Anomali ini, menurut Marianne, menunjukkan
tradisi keagaman, kemudian disimpulkan sebuah dinamika yang tidak pantas: “… The
bahwa tradisi-tradisi tersebut ‘tumpang tindih’ way he (Hick) extends his philosophical
secara kacau. antara satu dengan yang lainnya. reflections on Monday, Tuesday, and
Asumsi-Asumsi haruslah ditolak sebab Agama Wednesday to his theology of Thursday,
bukanlah sebuah ‘superstructure’ yang Friday, Saturday, and Sunday testifies to an

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 109
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

inappropriate dynamic.” (Moyaert, 2012: menghasilkan pemahaman yang berlawanan


201) Bagaimanapun juga, Pluralisme Agama dengan apa ‘Yang dimaui Tuhan?’. Konsep
telah menunjukkan posisinya sebagai bagian Penciptaan, Kristologi, dan Eskatologi adalah
dari Filsafat Agama. Oleh karena itulah, bagi topik-topik utama dalam Kristianitas guna
siapapun orang beriman -yang berafiliasi pada memahami fenomena yang terjadi di dunia ini.
suatu komunitas keagamaan tertentu- akan Misalnya, sebagaimana sudah disebut di atas,
menemukan bahwa Pluralisme Agama jika seorang Kristen menolak Inkarnasi Ilahi,
tidaklah mampu diterima karena dia telah apakah dia masih (bisa) dianggap sebagai
mereduksi paham keagamaan: “,,, For the seorang Kristiani?
believer who is committed to a specific Filsafat Agama memiliki banyak tugas
tradition this discourse is unrecognizable and untuk ‘membantu’ Teologi namun tidak
unacceptable because it is berhak untuk memutuskan apa yang
reductionistic.”(Moyaert, 2012: 201) semestinya Teologi lakukan. Itulah mengapa,
Argumentasi lebih lanjut dikutip Marianne bagi para Teolog, Global Theology dianggap
dari Chester Gillis sebagai berikut: sebuah aksi yang mereduksi Agama. Hick
“Hick blurs the lines between dengan keliru menginterpretasikan doktrin-
philosophy of religion and doktrin Kristianitas agar sesuai dengan teori
theology. For while it is Pluralisme Agama yang dia bawakan; ia
certainly proper for merelatifkan nilai-nilai simbol keagamaan
philosophy of religion to yang suci dengan ‘menggeser’ pandangan
analyze the concepts and parokhi seseorang menuju The Real yang
claims of a particular misterius. Pluralisme Agama bisa berujung
theological tradition such as kepada ketiadaan hamba Tuhan yang berdoa
Christianity, it is generally not kepada Yesus atau Maria, hilangnya -upacara-
the role of philosophy of upacara kegamaan, hingga berujung kepada
religion to offer alternative musnahnya agama itu sendiri: “…the end of
constructive positions which theology, for where else in prayer and liturgy
are designed to reshape the does the theologian find the power to seek
tradition from within. traces of God in a continually changing
Occasionally, Hick engages in world?”(Moyaert, 2012: 204)
such internal reconstruction
and thus takes upon himself
Tesis Pluralisme Agama, Filsafat
the task of the theologian
Agama, dan Praktik Iman Kristiani
whose charge is to speak for
and from within the tradition Berdasarkan argumentasi Marianne
and not simply about the inilah, Pluralisme Agama dapat kita tangkap
tradition. In doing he opens dengan jelas telah mengacaukan Otoritas
himself to legitimate criticism Tradisi Teologis keagamaan, yang dalam hal
from theological ini terutama sangat terkait dengan
sources.”(Merrigan & Haeres, Kekristenan. Melalui Global Theology, Hick
2000: 523-524) mengajak Umat Beragama untuk
memisahkan diri dari simbol-simbol dan
Bagi Marianne, Hick telah
ritual-ritual keagaaman yang kongkrit;
mengabaikan sumber-sumber partikular dari
dengan anggapan bahwa simbol dan ritual
Teologi. Sumber-sumber itu berasal dari
tersebut hanyalah ornamen keagamaan yang
tradisi Kristianitas yang masih hidup
bersifat historis dan kultural guna
berdasarkan wahyu Tuhan (Walker, 2009:
merelasikan diri kepada The Real. Secara
259). Tradisi-Tradisi itu, tentu saja
filosofis, pandangan ini cukup baik dalam
membutuhkan kontekstualisasi ulang. Namun
menginterpretasi hubungan antara
apa yang terjadi jika kontekstualisasi itu
pengalaman dan ekspresi keagamaan.

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)


110 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Meskipun, secara teologis, hal ini tidaklah of these mediations and thus in the
bisa diterima. Hick melupakan hubungan renunciation of the immediate can faith
suci yang terjalin antara praktik keimanan grow.” (Moyaert, 2012: 205)
yang kongkrit dengan Tuhan. Identitas Ini artinya, even-even keagamaan,
keagamaan dari seseorang adalah bukti simbol-simbol, ritual-ritual, objek-objek
bahwa seseorang telah menggolongkan material, dan lain sebagainya yang
dirinya sebagai pengikut Tuhan. Ia akan bermediasi dengan Tuhan mengimplikaskan
merasa menjadi bagian dari Hamba Tuhan bahwa Tuhan tidaklah sepenuhnya
dan senantiasa merasakan pengalaman ‘Transenden’ ataupun sepenuhnya ‘Imanen’.
hidupnya sebagai karunia dari-Nya. Karunia Tuhan tidak sepenuhnya berada di material
itu, tentu saja hanya bisa diterima oleh tersebut, namun Tuhan tidak bisa diketahui
mereka-mereka yang beriman kepada-Nya kecuali melaluli elemen-elemen tersebut.
(Moyaert, 2012: 204). Pengalaman ini, Marianne menulis: “… We discover whoever
dalam skala global, tentu absah guna God is by relating to the concrete in which
direfleksikan lebih lanjut berdasarkan He reveal Himself. He reveals something of
pandangan hidup keagamaan non-Kristiani. who he is through the elements in which he
Kritikan ini lebih ‘terasa’ dengan expresses Himself. The faith relation and the
mengafirmasi bahwa Tuhan commitment to God is cultivated and made
‘menghubungkan Diri-Nya’ dengan manusia possible by the connection with the concrete
melalui praktik sosial, simbol, ritual, dan material, historical, social, and cultural.
objek-objek keagamaan. Julian Droogan Even more, arriving at a Christian faith
nampaknya sangat memahami urgensi objek- identity means accepting the mediation of the
objek tersebut sebagai bagian yang ‘tak Church, for there Christ, the risen one,
terpisahkan’ dari sejarah peradaban manusia reveals himself.”(Moyaert, 2012: 206)
(Droogan, 2012, vii, 16) Di sinilah, makna Bagi Umat Kristiani, mediasi ini
‘Transenden’ dan ‘Partikular’ terjalin (juga) memiliki dimensi eklisiologis; yang
bersamaan. Melalui hubungan itulah, artinya, Seorang Kristiani hanya bisa
identitas Kekristenan bisa dibangun dan dianggap sebagai seorang Kristiani jika iya
dikenali oleh Penganutnya: “…God also meyakini Tuhan adalah Juru Selamatnya yang
makes an impression in the life of the believer mengikarnasikan dirinya kepada sosok Yesus.
via concrete elements and the Christian Tuhan, jadinya tidak ditemukan di dalam diri
identity is formed.” (Moyaert, 2012) Dengan manusia yang paling dalam, namun melalui
kata lain, Iman yang dengannya Para sabda-sabda Rasul, Sakramen, dan Etika
penganut Agama merespon Tuhan tidaklah Kristiani. Sepertinya misalnya seorang Umat
semata-sematan perkara keyakinan yang ada Kristiani mengaku tidak mengenali Tuhan,
di dalam hati. Iman juga namun dia bisa mengenali-Nya melalui sosok
memberlangsungkan adanya hubungan yang Yesus. “… It is these symbolic elements that
rigid antara apa yang ada di dalam diri are written on the body of the baptized. One
manusia dengan yang berada di luarnya, becomes a Christian by entering an institution
sekaligus mengantarkan manusia kepada and by letting that institution imprint its mark,
elemen-elemen keagamaan yang nyata its character on the body”. (Moyaert, 2012:
seperti simbol, ritual, lagu, seni, dan lain 206) Tuhan, alih-alih telah memilih objek-
sebagainya. Simbol-simbol material itu objek tersebut sebagai metode untuk
berasal dari Agama dan melahirkan identitas menunjukkan Diri-Nya justru memang
Kekristenan (atau agama secara umum). menunjukkan Diri-Nya melalui objek-objek
Hubungan keimanan antara seorang hamba tersebut. Pemisahan seorang beriman dari
dengan Tuhannya hanya bisa terlaksana objek, elemen, dan materi-materi tersebut
melalui mediasi dengan perantara elemen- dapat mengakibatkan perilaku yang tidak
elemen tersebut: “… Only in the recognition sesuai dengan ajaran Tuhan sekaligus

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 111
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

mengobrak-abrik komitmen seorang yang Philosophical Theology. Faith and


beragama itu. Hanya dengan mengerjakan dan Philosophy, 9(4), 409–435.
https://doi.org/10.5840/faithphil1992943
memperlakukan objek-objek dan praktik 4
keagamaan dengan benar lah, seseorang akan
bisa menyadari Tuhan berada di dalam Amri, M., Afifuddin, A., & Bin-Tahir, S. Z.
eksistensi mereka. Pandangan ini, tentu saja (2018). Religious Pluralism of the
Indonesian Traditional Islamic
berbeda dengan pandanga Pluralisme Agama
Education Institutions. The Journal of
-terlebih Global Theology yang diformulakan Social Sciences Research, (12).
Hick. https://doi.org/10.32861/jssr.412.446.45
0
III. Kesimpulan
Armayanto, H. (2014). Problem Pluralisme
Berbicara dalam konteks ‘teologi’ Agama. TSAQAFAH, 10(2), 325.
dan ‘filsafat’ adalah ranah yang berbeda. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v10i2.1
91
Untuk membedakan itu, mehamai
Perspektif Luar dan Dalam diperlukan. Bahri, M. Z. (2019). DEPTH THEOLOGY AND
Memang, Teolog terkadang menggunakan DEPTH ISLAM: Abraham Joshua
Perspektif Luar, namun pandangannya tidak Heschel and Nurcholish Madjid on
akan mereduksi Teologi. Hipotesis Religious Pluralism. AL ALBAB, 8(1).
https://doi.org/10.24260/alalbab.v8i1.11
Pluralisme Agama yang dibangun John 27
Hick tidak hanya mengancam, namun juga
melukai keunikan dari komitmen Banchoff, T. F. (Ed.). (2008). Religious
keagamaan. Akhirnya, Hick tidak memiliki Pluralism, Globalization, and World
pengetahuan yang cukup dalam Politics. New York: Oxford University
Press.
membedakan tugas antara Filsafat Agama
dengan Teologi, sehingga dapat dipaami Beneke, C. (2006). Beyond Toleration: The
jika Tesis Pluralisme Agama diterapkan Religious Origins of American
kepada Praktik Keagamaan, yang akan Pluralism. New York: Oxford University
muncul alih-alih toleransi, namun justru Press.
musnahnya praktik keagamaan tersebut. Blackburn, S. (1994). Oxford Dictionary of
Rekomendasi yang sekiranya Philosophy. New York: Oxford
University Press.
penting untuk dicatat adalah bahwa bahwa
Global Theology dibangun berdasarkan Boase, R. (Ed.). (2005). Islam and global
pengalaman major Kekristenan. Penting dialogue: Religious Pluralism and the
sekiranya untuk kemudian melakukan Pursuit of Peace. Aldershot, Hants,
refleksi lebih lanjut dalam melihat England ; Burlington, VT: Ashgate.
bagaimana relasi Pluralisme Agama - Boesel, C., & Keller, C. (Ed.). (2010). Apophatic
khususnya Global Theology atas konsepsi Bodies Negative Theology, Incarnation
agama-agama non-Kristiani serta keabsahan and Relationality. Fordham University
kritik Marianne Moyaert dalam konteks- Press.
konteks agama yang plural tersebut.
Bunnin, N., & Tsui-James, E. P. (Ed.). (2003).
The Blackwell Companion to Philosophy
(2nd ed). Malden, MA: Blackwell Pub.
Daftar Pustaka
Busyro, B., Ananda, A. H., & Adlan, T. S. (2019).
Abdillah, A. N. (2019). PLURALISME AGAMA Moderasi Islam (Wasathiyyah) di
DALAM KONTEKS KEISLAMAN DI Tengah Pluralisme Agama Indonesia.
INDONESIA. XV(1), 51–75. FUADUNA : Jurnal Kajian Keagamaan
dan Kemasyarakatan, 3(1), 1.
Adams, M. M. (1992). Fides Quaerens https://doi.org/10.30983/fuaduna.v3i1.11
Intellectum: St. Anselm’s Method in 52

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)


112 Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Byrne, P. (1995). Prolegomena to religious (1. ed., [4. Dr.]). Basingstoke:


pluralism: Reference and realism in Macmillian.
religion. Basingstoke [England] : New
York: Macmillan Press ; St. Martin’s Hick, J. (1997b). Disputed Questions in Theology
Press. and the Philosophy of Religion. London:
Palgrave Macmillan UK.
Droogan, J. (2012). Religion, Material Culture, https://doi.org/10.1057/9780230390232
and Archaeology. New York:
Continuum International Pub. Group. Hick, J., Okholm, D. L., & Phillips, T. R. (Ed.).
(1996). Four Views on Salvation in a
Editorial, E. (1910). The Inductive Method in Pluralistic World. Grand Rapids, Mich:
Religion. The Biblical World, (XXXV), Zondervan Pub. House.
363–367.
Hilberg, N. S. (2006). Religious Truth and
Engebretson, K., de Souza, M., Durka, G., & Religious Diversity. University of
Gearon, L. (Ed.). (2010). International Pittsburgh School of Arts and Sciences.
Handbook of Inter-religious Education.
Dordrecht: Springer Netherlands. Lamberigts, M., & Kenis, L. (2008). Quo Vadis
https://doi.org/10.1007/978-1-4020- Theologia? Theologie En
9260-2 Religiewetenschap in Leuven. Halewijn;
Antwerpen.
Fata, A. K. (2018). DISKURSUS DAN KRITIK
TERHADAP TEOLOGI PLURALISME Logan, I. (2009). Reading Anselm’s Proslogion
AGAMA DI INDONESIA. MIQOT: The History of Anselm’s Argument and
Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, 42(1), 105. its Significance Today. Farraham:
https://doi.org/10.30821/miqot.v42i1.393 Ashgate Publishing Limited.
https://doi.org/10.4324/9781315580746
Furedi, F. (2011). On Tolerance A Defence of
Moral Independence. New York ; Madison, J. (1785). Memorial and Remonstrance
London: Continuum International agains Religious Assesments. Everson v.
Publishing Group. Board of Educ. of Ewing Township, 330
U.S. 1, 63 (1947). Diambil dari
Gensler, H. J. (2002). Introduction to Logic. https://www.law.gmu.edu/assets/files/ac
Taylor and Francis Routledge. ademics/founders/Madison%27sMemori
al.pdf
Goulder, M. (Ed.). (1979). Incarnation and Myth:
The Debate Continued. London: SCM Masykur, S. (2016). PLURALISME DALAM
Press, Ltd. KONTEKS STUDI AGAMA-AGAMA.
8(1), 17.
Green, J. E. (1997). Kant’s Copernican
revolution: The Transcendental Horizon. Mc Graw, B. A., & Formicola, J. R. (Ed.). (2005).
Lanham, Md: University Press of Taking Religious Pluralism Seriously.
America. Texas: Baylor University Press.

Hick, J. (Ed.). (1977). The Myth of God McKim, D. K. (2003). Westminster Dictionary of
Incarnate. London: Billing & Sons Ltd Theological Terms. Louisville, Ky.:
Guildford. Westminster John Knox Press.

Hick, J. (1980). God has Many Names. London: Merrigan, T. (1997). Religious Knowledge in the
Palgrave Macmillan UK. Pluralist Theology of Religions.
https://doi.org/10.1007/978-1-349- Theological Studies, 58(4), 686–707.
16308-3 https://doi.org/10.1177/00405639970580
0405
Hick, J. (1993). God and the universe of faiths:
Essays in The Philosophy of Religion. Merrigan, T., & Haeres, J. (Ed.). (2000). The
Oxford: Oneworld. Myriad Christ Plurality and The Quest
for Unity in Contemporary Christology.
Hick, J. (1997a). An interpretation of religion: Leuven: Leuven University Press.
Human Responses to The Transcendent

Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme) ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232


Jurnal Studi Agama dan Masyarakat 113
Vol. 16, No. 2, Desember 2020, p. 99-113

Moyaert, M. (2012). Why are Theologians Swinburne, R. (2005). Faith and reason (2nd ed).
Annoyed by John Hick? STUDIES IN Oxford : New York: Clarendon Press ;
INTERRELIGIOUS DIALOGUE, 22(12), Oxford University Press.
191–208.
Wainrwright, W. J. (Ed.). (2005). The Oxford
Nuriz, M. A. F., & Awang, J. (2018). The Post of Handbook of Philosophy of Religion.
Pluralism: Religious Pluralism in the Oxford: Oxford University Press.
Practical Areas of Indonesia. KALIMAH,
16(2). Walker, C. (2009). Missionary Pope The Catholic
https://doi.org/10.21111/klm.v16i2.2868 Church and the Positive Element of Othe
Religions in the Magisterium of Paul VI.
Rowe, W. L. (2007). Philosophy of religion: An New York: IVE Press.
Introduction (4th ed). Belmont, Calif:
Wadsworth/Thomson. Woodward, M. (2019). RELIGIOUS
PLURALISM IN BALI PREMODERN
Seligman, A. B., Wasserfall, R. R., & AND CONTEMPORARY
Montgomery, D. W. (2015). Living with PERSPECTIVES. 4, 31.
Difference How to Build Community in A
Divided World. California: University of
California Press.

Smith, N. K. (Penerj.). (1929). Immanuel Kant’s


Critique of Pure Reason. London:
Macmillan and Co., Limited.

ISSN: 1829-8257; ISSN: 2540-8232 Abdullah Muslich (Problematika Pluralisme)

You might also like