You are on page 1of 9

Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No.

I September 2000 : 1 - 9 1

PEMBERIAN MALU: ALTERNATIF ANTISIPATIF


KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (K.K.N) *

Paulus Hadisuprapto

Abstract

Corruption, Collusion and Nepotism are serious crimes. These crimes create
social relations to damage, distrust and produce social disorganization on a large scale.
From Criminological point of view, these criminal conducts should be categorized
into white-collar crime. White-collar crime, is a crime committed by person of
respectability and high social status in the course of his occupation, or crime committed
in the course of legitimate employment and involves the abuse of an occupational role.
These criminal behaviors are enacted by individuals who have acquired a number of
sentiments in favor of law violations, sufficient to outweigh their prosocial or anticriminal
conduct definitions.
Indonesian government has already promulgated the Act. Of 31 / 1999 (the
Prevention of Corruption crime) and the Act. Of 28 / 1999 (the clean and free State
Administration from Corruption, Collusion and Nepotism) as the legal basis of combating
corruption, collusion and nepotism.
The prevention of corruption, collusion and nepotism, could not reach its goals
effectively only by enforcing those Acts. Kind of social sanction or social reproach that
make deeply disgrace of the offender should also provide it. Reintegrative Shaming, - all
social process of expressing disapproval which have the intention or effect of invoking
remorse in the person being shamed, which is followed by efforts to reintegrate the
offender back into the community through words or gestures of forgiveness or
ceremonies to decertify as deviant -, could be recommended as social sanction. This
kinds of shaming would practically work on, only if in the whole of society has anti
corruption, collusion and nepotism culture.

Pendahuluan karena dirasakan berdampak positif bagi


Akronim KKN merupakan istilah kegiatan belajar mengajar mereka.
yang populer sejak tahun 1970-an, teru- Seperempat abad kemudian,
tama ketika Departemen Pendidikan KKN menggema lagi (dengan nada
dan Kebudayaan (Dikbud) menca- VXPEDQJ GL ³EODQWLND PXVLN VRVLR-
nangkannya sebagai program nasional. SROLWLN´ QHJHUL LQL GDQ NDOL LQL PDKDVLVZD
KKN (Kuliah Kerja Nyata) merupakan bersikap sebaliknya. KKN (Korupsi,
bagian dari proses kegiatan belajar Kolusi dan Nepotisme) di mata maha-
mengajar mahasiswa yang bertujuan siswa merupakan praktek-praktek yang
untuk meningkatkan pemahaman per- secara umum lebih banyak aspek
masalahan di pedesaan dan kemudian negatifnya daripada aspek positifnya,
memecahkannya bersama-sama warga terutama dampaknya bagi kehidupan
desa setempat. KKN diterima dengan hukum dan kehidupan masyarakat luas
sepenuh hati oleh para mahasiswa, di negeri ini.

*
Versi asli tulisan ini berupa makalah yang disajikan dalam acara Kuliah Umum di IKIP PGRI, Semarang,
tanggal 16 Mei 2000
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 2

Penjelasan umum UU No.28 undermined both the growth and the


tahun 1999 tentang Penyelenggaraan stability of our global trade and
Negara yang Bersih dan Bebas dari financial system. Nowhere are the
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, antara consequences more evident than in
emerging and developing economies.
lain berbunyi:
The financial crisis in Russia and Asia
have clearly been deepened as a
³3HQ\HOHQJJDUDDQ 1HJDUD WLGDN GDSDW UHVXOW RI FURQ\LVP DQG FRUUXSWLRQ´
menjalankan tugas dan fungsinya
secara optimal, sehingga penye-
lenggaraan negara tidak berjalan Singkat kata, KKN tidak lagi
sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi merupakan istilah yang berkonotasi
karena adanya pemusatan ke- positif seperti yang populer di tahun
kuasaan, wewenang dan tanggung- 1970-an, melainkan berubah makna
jawab pada Presiden/Mandataris MPR menjadi sesuatu yang menjurus pada
RI Di samping itu masyarakat belum praktek-praktek kehidupan sosio-ekono-
sepenuhnya berperanserta dalam politik kultural yang merugikan masya-
menjalankan fungsi kontrol sosial rakat luas, oleh karena itu lalu harus
yang efektif terhadap penyeleng- dihadapi dan ditanggulangi oleh masya-
garaan negara. Pemusatan kekuasa-
rakat pada umumnya dan hukum pada
an, wewenang dan tanggung- jawab
tersebut tidak hanya berdampak khususnya
negatif di bidang politik, namun juga di Untuk mengetahui secara lebih
bidang ekonomi dan moneter, antara mendalam gejala sosial yang berupa
lain terjadinya praktek penyeleng- KKN dan alternatif penanggulangannya,
garaan negara yang lebih mengun- terutama dari aspek kriminologis, sajian
tungkan kelompok tertentu dan segenggam ini akan mengetengahkan
memberi peluang tumbuhnya korupsi, pembicaraan yang berkisar pada upaya
NROXVL GDQ QHSRWLVPH ..1 ´ pemahaman tentang KKN dan alternatif
penanggulangannya secara kriminolo-
Tiga serangkai, Korupsi, Kolusi gis.
dan Nepotisme yang semula merupakan
LVWLODK XPXP ³SXEOLF WHUP´) atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
mungkin istilah ilmiah atau akademis
³VFLHQWLILF WHUP´), kemudian berkem- Korupsi
bang menjadi istilah yuridis ³legal Jeremi Pope, sebagaimana
WHUP´). Istilah korupsi menjadi istilah dikutip oleh Nyoman Serikat,
yuridis melalui Peraturan Penguasa menyatakan:
Militer No. Prt/PM/06/1957 tentang ³&RUUXSWLRQ LQYROYHV EHKDYLRU RQ
Pemberantasan Korupsi, dan istilah the part of officials in the public
Kolusi dan Nepotisme menjadi istilah sector; whether politician or civil
yuridis melalui UU No. 28 tahun 1999 servants, in which they improperly
jo. Tap MPR No.XI/MPR/1998. Tiga and unlawfully enrich them selves
serangkai Korupsi, Kolusi dan or those close to them by the
Nepotisme merupakan sumber mala- misuse of the public power
petaka suatu rezim, seperti diungkapkan entrusted them´ 1\RPDQ 6HULNDW
oleh Wakil Presiden Amerika Serikat, Al 2000 : 3)
Gore, seperti dikutip oleh Nyoman
Serikat berikut ini. (Nyoman Serikat, Sementara itu, SH Alatas,
2000 : 2) mengemukakan beberapa jenis korupsi,
antara lain (a) Korupsi transaktif
³7KHUH LV QR TXHVWLRQ WKat as we ³transactive corruption´ GLVLQL SHU-
move into global information age, buatannya berkaitan dengan adanya
foreign corrupt practices threaten to
kesepakatan timbal balik antara pihak
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 3

pemberi dan penerima demi keuntungan Lazimnya nepotisme terarah pada


ke dua belah pihak dan dengan aktif pemberian prioritas, baik dalam jabatan
diusahakan tercapainya keuntungan maupun proyek kepada kerabatnya
bagi keduanya; (b) Korupsi kekerabatan GHQJDQ FDUD \DQJ WLGDN ³IDLU´
(³QHSRWLVWLF FRUUXSWLRQ´) adalah mengesampingkan pertimbangan kua-
perbuatan penunjukkan yang tidak sah litas dan kemampuan dari pihak pene-
terhadap teman atau sanak saudara rima jabatan atau penerima proyek, dan
untuk memegang jabatan dalam dilakukan lewat proses kompetisi yang
pemerintahan atau perbuatan tak sehat.
pengutamaan perlakuan dalam bentuk Pengertian Kolusi dan
uang atau bentuk-bentuk lain, kepada Nepotisme secara yuridis dapat
mereka, secara bertentangan dengan ditemukan dalam Pasal 1 UU No. 28
norma-norma dan peraturan yang tahun 1999 tentang Penyelenggara
berlaku. (SH Alatas, 1987 : ix-x) Negara yang bersih dan bebas dari
Batasan yuridis tentang korupsi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kolusi
dapat ditemukan dalam Pasal 2 s/d 20 adalah permufakatan atau kerjasama
UU No.31/1999 tentang Pemberantasan secara melawan hukum antar
Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana Penyelenggara Negara atau
ko rupsi dalam UU itu diklasifikasikan Penyelenggara Negara dengan pihak
menjadi dua, yaitu (a) tindak pidana lain yang merugikan orang lain,
korupsi murni, dalam arti perumusan masyarakat dan atau negara.
tindak pidananya sekaligus memuat Nepotisme adalah setiap perbuatan
norma-norma dan sanksi (Pasal 2 dan Penyelenggara Negara secara mela-
3); dan (b) tindak pidana korupsi tidak wan hukum yang menguntungkan
murni, dalam arti rumusan tindak kepentingan keluarganya dan kroninya
pidananya hanya memuat sanksi saja, di atas kepentingan masyarakat, bangsa
sementara normanya terletak dalam UU dan negara. Secara khusus ketentuan
lain, dalam hal ini KUHP (Pasal 5 s/d tentang tindak pidana kolusi dan
20). Sementara Pasal 4 berisi nepotisme ini diatur dalam pasal 21 dan
penegasan bahwa pengembalian 22 UU No. 28 tahun 1999.
kerugian keuangan negara atau pereko- Bila ditelusuri, rumusan penger-
nomian negara oleh pelaku tidak tian Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
menghapuskan dapat dipidananya si dalam perundang-undangan, di dalam-
pelaku. (Nyoman Serikat, 2000 : 10, 14) nya terkandung adanya unsur-unsur
yang penting diperhatikan untuk
Kolusi dan Nepotisme mengklasifikasikan perbuatan tertentu
Kolusi berasal dari istilah sebagai tindak pidana korupsi, kolusi
³&ROOXVLRQ´ yang menurut kamus dan nepotisme. Unsur-unsur yang
Inggris, John M Echols & Hassan Sadily terkandung di dalam tindak pidana
berarti, kongkalingkong, persekong- korupsi antara lain adalah (a)
kolan. Di dalam khasanah bahasa awam memperkaya diri sendiri, orang lain atau
VHULQJ GLJXQDNDQ LVWLODK ³7 6 7´ WDKX korporasi, (b) perbuatannya bersifat
sama tahu). Apa-pun istilahnya, melawan hukum, (c) menyalahgunakan
sekongkol, kongkalingkong atau TST kewenangan, kesempatan atau sarana
semuanya mengandung konotasi yang yang ada padanya karena jabatan atau
negatif dalam kehidupan kemasyara- kedudukan, (d) merugikan keuangan
katan. Sementara nepotisme, da lam negara dan perekomian negara. Unsur-
bahasa Inggris ³1HSRWLVP´ PHQXUXW unsur Kolusi, (1) permufakatan atau
kamus yang sama berarti, mendahulu- kerjasama secara sadar antar pelaku,
kan sanak saudaranya sendiri, (2) perbuatannya bersifat melawan
khususnya dalam pemberian jabatan. hukum, (3) pelaku adalah antar
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 4

penyelenggara negara dan pihak lain, connection with their occupational,


(3) merugikan orang lain, masyarakat including violations by persons in
dan atau negara. Unsur-unsur such legitimate occupations as
Nepotisme adalah (a) perbuatan physicians, pharmacist, lawyer,
penyelenggara negara, (b) perbuatan- bank tellers, politicians. (Clinnard &
nya bersifat melawan hukum, (c) Quinney, 1973 : 187-205)
perbuatan itu menguntungkan keluarga-
nya dan atau kroninya di atas Dari kutipan di atas, menjadi
kepentingan masyarakat, bangsa dan jelas bahwa lingkup kejahatan white-
negara. collar ini cukup luas, termasuk di
Unsur-unsur yang terkandung di dalamnya kejahatan-kejahatan di ling-
dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, kungan profesi, seperti, usahawan,
sedikit banyak mengingatkan kita pada pedagang, dokter, ahli hukum, politisi,
pembicaraan kriminologis tentang pejabat publik dan sebagainya. Di
White-collar Crime. Bagaimana tingkat samping itu kejahatan jenis ini tidak
kedekatan atau kesesuaian antara dapat disamakan dengan kejahatan-
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dengan kejahatan konvensional seperti
White-collar Crime, akan dijawab pencurian, penipuan, perampokan atau
melalui uraian berikut. pembunuhan. Secara hakiki ia berbeda,
baik dari aspek perbuatannya, situasi
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme: terjadinya maupun dari aspek sanksi
White-Collar Crimes yang dijatuhkan (lazimnya cenderung
sanksi administratif atau keperdataan),
White-collar Crime atau White- walaupun bila diperhatikan dampak
collar Criminality, merupakan istilah yang ditimbulkannya cukup fatal bagi
yang diperkenalkan oleh Edwin H. masyarakat luas, dan sangat layak
Sutherland, dalam sambutannya di menjadi obyek sanksi pidana.
depan pertemuan tahunan Masyarakat Di dalam perkembangannya,
Sosiologi Amerika di tahun 1939. terutama setelah sekian tahun lalu
Sutherland sebagai Presiden Sutherland mengemukakan konsepnya
Masyarakat Sosiologi Amerika saat itu di tentang kejahatan white-collar itu,
dalam sambutannya menekankan makna kejahatan white-collar menga-
EHWDSD SHQWLQJQ\D NHMDKDWDQ ³NDXP lami perubahan. Hal ini terutama
EHUGDVL´ GLSHUKDWLNDQ VHFDUD VRVLRORJLV dikaitkan pada satu pihak, kenyataan
seperti halnya kejahatan konvensional. yang ada di masyarakat, bahwa ternyata
Pada tahun 1949, sebagai tindak lanjut pelaku-pelaku kejahatan white-collar ini
sambutannya itu, diterbitkanlah bukunya tidak selalu didominasi oleh para
yang berjudul White-collar Crime. pejabat kalangan atas, melainkan oleh
(M.David Ermann & Richard J Lundman, orang-orDQJ \DQJ EXNDQ ³WRS PDQDJHU´
1987 : 25) QDPXQ PHQGXGXNL SRVLVL ³JDWHNHHSHU´
Sutherland mendefinisikan: di kelembagaan tertentu, dan pada
pihak lain, adanya kendala di kalangan
³white-collar crime, is crime para peneliti kriminologis mengkonsep-
committed by a person of tualisasikan definisi kalangan terhormat
respectability and high social status dan berstatus sosial tinggi dalam
in the course of his occupation. penelitian empirik. Di samping itu,
(Sutherland, 1949 : 9) White-collar pengidentifikasian kejahatan white-collar
Crime maybe occupational or it may dikaitkan dengan status terhormat
be organizational. The former pelaku, cenderung membiaskan
consists of violations committed by perhatian peneliti pada persoalan ³FODVV
individuals or small group in bias´ DWDV NHMDKDWDQQ\D LWX VHQGLUL
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 5

Berdasarkan berbagai pertimbangan suatu bentuk perilaku dari seseorang


dan pengalaman di atas, diusulkannya \DQJ ³VDNLW´ EDLN VHFDUD ELRORJLs, psikhis
agar ada pemisahan antara status maupun sosial, teori differential
pelaku dengan perbuatan jahatnya association melihat kejahatan sebagai
(Shapiro, 1990), dan kemudian daripada perilaku yang dipelajari, seperti halnya
itu kejahatan white-collar dimaknai perilaku normal di masyarakat, -
sebagai ³&ULPH WKDW LV FRPPLWWHG LQ WKH kejahatan adalah perilaku hasil dari
course of legitimate employ ment and suatu proses belajar. Secara utuh teori
involves the abuse of an occupational ini mengajukan proposisi proses
UROH´ (Braithwaite, 1985: Hagan, 1988, terjadinya kejahatan, yaitu (a) perilaku
Shapiro, 1990). Kejahatan white-collar keja hatan merupakan perilaku yang
dapat diklasifikasikan menjadi keja- dipelajari; (b) perilaku kejahatan
hatan white-collar dalam bidang dipelajari melalui interaksi seseorang
Korporasi dan Bisnis, kejahatan white- dengan orang lain dalam suatu proses
collar di bidang komersial dan komunikasi yang bersifat lisan lewat
profesional dan kejahatan white-collar di bahasa isyarat; (c) proses belajar itu
bidang politik. (Geis & Maier, 1977). berlangsung dalam suatu kelompok
personal yang intim; (d) perilaku yang
Teori ³'LIIHUHQWLDO $VVRFLDWLRQ´ dipelajari terarah pada tehnik melakukan
kejahatan dan motif-motifnya, teknik
Setelah sedikit banyak diketahui netralisasi dan sikap yang men dukung
makna atau pengertian Korupsi, Kolusi tehnik-tehnik itu; (e) motivasi dipelajari
dan Nepotisme, dan kedekatan lewat batasan aturan hukum baik
kaitannya dengan tipe kejahatan white- sebagai hal yang mengun-tungkan
collar crime, maka pada uraian berikut maupun yang bersifat sebaliknya; (f)
ingin diketengahkan kajian teoritik yang differential association beragam dalam
sedikit banyak erat berkaitan dengan frekuensi, jangka waktu, prioritas dan
latar belakang atau mungkin proses intensitasnya. (Don C. Gibbons, 1977 :
terjadinya kejahatan white-collar crime 222)
itu. Teori yang ingin dikedepankan Korupsi, kolusi dan Nepotisme
sebagai kerangka acuan pemahaman bila dilihat gejala yang tampak di
latar belakang atau proses terjadinya permukaan, prosesnya tampak hampir
kejahatan white-collar crime ini adalah bersesuaian dengan proposisi teoritik
teori Differential Association. yang dikemukakan oleh Sutherland
Teori gagasan Sutherland ini tersebut. Korupsi, kolusi dan nepotisme
menarik untuk dikemukakan mengingat pada dasarnya bukanlah merupakan
bahwa di dalam kajian teoritiknya, suatu wujud penyakit fisik, psikhis
Sutherland berupaya bukan saja hanya ataupun kemasyarakatan, melainkan
menggambarkan latar belakang ter- perilaku yang dipelajari dalam sese-
jadinya kejahatan pada umumnya dan orang berinteraksi dengan orang lain
kejahatan white-collar pada khususnya, (para pelaku korupsi, kolusi dan
tetapi tercermin di dalamnya suatu nepotisme sukses) dalam suatu
pendekatan proses, suatu model hubungan yang intim. Yang dipelajari
pendekatan kriminologis yang termasuk adalah sikap mencari pembenaran
relatif baru, populer setelah tahun 1960- perilakunya (teknik netralisasi perilaku
an, bersamaan dengan munculnya penyimpangan) melalui upaya pema-
kembali pendekatan interaksionis dalam haman terhadap kelemahan aturan
pemahaman mengenai kejahatan. hukum yang berlaku atau pemanfaatan
Berbeda dengan teori-teori aturan-aturan hukum tersebut sebagai
tentang kejahatan sebelumnya, yang dasar pembenaran perilakunya.
umumnya melihat kejahatan sebagai
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 6

Apabila demikian halnya, maka nepotisme ? Pertanyaan dasar ini pada


masalah dasar yang penting untuk di- akhirnya membawa pembicaraan ini ke
perhatikan dalam kaitan dengan korupsi, arah apa yang oleh Braithwaite
kolusi dan nepotisme menurut teori disebutnya sebagai shaming.
differential association ini adalah pilihan
si pelaku untuk mau belajar dan Pemberian Malu : Alternatif
berinteraksi dengan pelaku korupsi, Antisipatif Korupsi, Kolusi dan
kolusi dan nepotisme dan pada akhirnya Nepotisme
melahirkan sikap dan pola pikir yang
terarah pada upaya pencarian Steven Box (1983) mengemukakan
pembenaran perilaku penyimpangannya bahwa publikasi kejahatan white-collar
atau kejahatannya. Apabila kemudian dapat menjadi sarana pencegahan
orang ingin menghadapi atau mengatasi ampuh dan berperan sebagai katalisator
gejala korupsi, kolusi dan nepotisme, pe ningkatan keyakinan kultural publik
maka sesuai dengan kerangka pikir di akan ketidaksetujuan, penolakan dan
atas, sasaran yang paling penting dan pence laan terhadap kejahatan white-
harus digarap adalah mempengaruhi si collar. John Braithwaite (1989)
calon pelaku korupsi, kolusi dan menyatakan bahwa publikasi dapat
nepotisme untuk tidak memilih ber- merupakan strategi ampuh pemberian
interaksi dengan orang-orang yang rasa malu (shaming) atas diri pelaku.
sudah ³H[SHUW´ EHUNRUXSVL EHUNROXVL GDQ Terdapat bukti-bukti yang meyakinkan
bernepotisme itu. Persoalannya lalu bahwa pelaku kejahatan white-collar
tidak sesederhana seperti yang diucap- merasa khawatir, ngeri apabila kasus
kan, karena di dalam proses seorang dan dirinya dipublikasikan. Benson
memilih untuk berinteraksi dengan (1985) menemukan bukti-bukti bahwa
pelaku-pelaku korupsi, kolusi dan para pelaku kejahatan white-collar yang
QHSRWLVPH ³DNXXW´ LQL VDQJDW HUDW kasusnya dilaporkan merasa sangat
berkaitan dengan kondisi sosio-kultural malu dan tercekam berat. Hutter (1988)
masyarakatnya. Suatu masyarakat yang juga melihat bahwa pemanggilan sidang
didominasi motivasi untuk mencapai dan publikasi atas diri pelaku
sukses materi, akan sangat subur bagi merupakan sumber kegelisahan utama
PXQFXOQ\D EXGD\D ³WHURERVDQ´ NH- si pelaku. (Hazel Groall, 1992 : 160)
WLPEDQJ ³NHSDWXKDQ´ QRUPD .RQGLVL Dari cuplikan berbagai pendapat
masyarakat yang nilai-nilai moralitasnya para pakar di atas, tak berkelebihan
kabur, budaya hukumnya rancu, kiranya apabila pemberian rasa malu
merupakan lahan subur tumbuhnya atas diri pelaku kejahatan white-collar
³WHNQLN QHWUDOLVDVL´ - pelaku korupsi, patut dipertimbangkan sebagai sarana
kolusi dan nepotisme berupaya mencari penanggulangan terhadap gejala itu.
alasan pembenar atas perilaku jahatnya. Erat kaitan dengan pemberian rasa
Dengan kata lain, perlu adanya malu atas diri pelaku, menarik untuk
pendekatan kultural secara memadai dikemukakan pandangan teoritik dari
dan menyeluruh terhadap pola John Braithwaite.
kehidupan budaya masyarakat dalam Teori Brathwaite (1989)
mensikapi korupsi, kolusi dan berangkat dari asumsi dasar,
nepotisme. Pertanyaan dasar yang masyarakat yang tinggi angka kejaha-
kemudian muncul dalam kaitan ini tannya adalah masyarakat yang
adalah : adakah suatu sikap ketidak- warganya kurang efektif mencela
setujuan, penolakan dan akhirnya kejahatan, dan masyarakat yang rendah
SHQFHODDQ \DQJ ³MHODV´ GDQ ³EXODW´ kejahatannya bukanlah masyarakat
secara kultural dan menyeluruh dari yang secara efektif menjatuhkan pidana
masyarakat terhadap korupsi, kolusi dan terhadap kejahatan melainkan masyara-
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 7

kat yang warganya secara efektif VDQJDW PXV\NLO GDQ PXVWDKLO ³PLPSL´
bersikap tidak tolerans terhadap melihat kondisi masyarakat yang tengah
kejahatan. (Hugh D Barlow, 1995 : 191). menggejala dewasa ini. Permasa-
Sikap tidak tolerans ini salah satunya lahannya lalu menyangkut proses,
berupa pemberian rasa malu atas diri pembudayaan sikap anti korupsi, kolusi
pelaku (shaming), suatu proses sosial dan nepotisme di kalangan masyarakat
tentang pernyataan pencelaan yang luas di negeri ini, memerlukan proses,
mengakibatkan timbulnya penyesalan proses yang mungkin memerlukan
paling dalam dari seseorang yang waktu lama, tapi ada baiknya mulai dipi-
dipermalukan, atau pencelaan oleh kirkan kemungkinan-kemungkinan ke
pihak lain yang telah menyadari hal itu. arah itu. Sebagai ilustrasi di bawah ini
Pemberian rasa malu (shaming) yang dikemukakan contoh pembudayaan
dilaksanakan melalui pendidikan moral ³DQWUL´ \DQJ GLGXNXQJ ROHK VLNDS WDN
tentang ketidakterpujian perilaku jahat toleran dan penolakan terhadap mental
dan pendidikan moral tentang penerobos.
pentingnya pencegahan kejahatan lewat Seseorang dari Indonesia
pencelaan sosial dan pencelaan diri pe- berada di luar negeri, suatu saat ia
laku yang timbul dari nurani terdalam di membawa surat dan sudah ditempeli
kalangan warga masyarakat, bila perangko pergi ke kantor pos untuk
beroperasi secara sinergik akan lebih mengirimnya ke Indonesia. Pikirnya, ia
efektif daya tangkalnya dibandingkan hanya sekedar menyerahkan surat itu
dengan penjatuhan sanksi pidana (titip) pada pegawai kantor pos di salah
secara formal dalam pencegahan satu loket pengiriman. Kebiasaan di
kejahatan di masyarakat. (Braithwaite, Indonesia, hal itu dapat dilakukan
1989 : 100) Perlu diingat bahwa sikap GHQJDQ ³Q\ORQRQJ´ ODQJVXQJ NH ORNHW
ketaksetujuan, penolakan dan menyerahkan surat itu tanpa harus antri.
pencelaan itu mempunyai lingkup yang Namun apa yang terjadi, pegawai di
luas, tidak sekedar tak setuju atau loket menolak dan mengembalikan
mencela, namun harus juga ada sikap suratnya dan meminta agar ia mengikuti
tak tolerans serta penolakan dari ma- antrian yang ada. Pegawai kantor pos
syarakat terhadap segala hal (materiil, menolak memberikan pelayanan kepada
immateriil) yang diperkirakan berasal siapa saja yang tidak mau mengikuti
dari tindak kejahatan. antrian. Hal yang sama juga dialami si
Sikap tak toleran dan penolakan orang Indonesia itu ketika ia ingin
di atas, bila dikaitkan dengan kejahatan menggunakan taksi, rupanya budaya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), antri pun berlaku dalam hal pertaksian.
berarti bahwa seluruh lapisan Ia langsung nylonong ke depan tak
masyarakat harus bersikap tak toleran mengikuti antrian yang ada, taksi
dan menolak segala hal yang berbau berhenti, namun pengemudi taksi
KKN baik material maupun immaterial. mempersilahkan seseorang yang berdiri
Termasuk dalam hal itu, sikap isteri dan paling depan di antrian untuk naik,
anak-anak dari suatu keluarga VHPHQWDUD NHSDGD VL ³SHQ\HURERW´
seyogyanya menolak pemberian uang diminta untuk antri di belakang. Kasus di
dari suaminya atau ayahnya apabila ada atas memberikan gambaran bahwa
kecurigaan uang itu hasil korupsi atau budaya antri sudah merupakan
kolusi. Seorang pemborong bangunan kebiasaan yang kental melekat di
menolak pemberian proyek dari pejabat kalangan masyarakat di negeri itu, oleh
tertentu karena ada kecurigaan proses karenanya sikap ketaksetujuan,
³WHQGHU´Q\D EHUODQJVXQJ WDN VHKDW DWDX penolakan terhadap mental penerobos
karena hubungan kekerabatan. Mungkin antrian pun menjadi begitu kuat melekat
ada yang berpikir bahwa harapan ini dan ditampilkan dengan kongkrit dalam
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 8

dunia perantrian di segala bidang lapisan masyarakat terdapat budaya


kehidupan sosialnya. anti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Penutup Daftar Pustaka

a. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Alatas, SH


merupakan bentuk kejahatan yang 1987 Korupsi, Sifat, Sebab dan
berdampak luas bagi masyarakat Fungsi. Jakarta : LP3ES.
dan negara, kepercayaan masyara-
kat runtuh, kekayaan negara Barlow, D. Hugh
tergerogoti, perekonomian menjadi 1995 Crime and Public Policy :
berbiaya tinggi, akibat merebaknya Putting Theory to Work,
kejahatan itu. Boulder : Westview Press.
b. Korupsi, kolusi dan nepotisme bila
dikaji secara teoritik (kriminologis) Benson, M.L. & Walker E.
meru pakan perwujudan dari White- ³6HQWHQFLQJ WKH :KLWH-collar
collar Crime, kejahatan yang 2IIHQGHU´ American Sociolo-
dilakukan dalam hubungannya gical Review, 53, April,
dengan pekerjaan yang sah dan p. 294-302.
melibatkan penyalahgunaan
jabatan. Braithwaite, John
c. Kejahatan korupsi, kolusi dan ³:KLWH-FROODU &ULPH´ Annual
nepotisme merupakan hasil belajar Review of Sociology, II,
melalui interaksi seseorang dengan p. 1-25.
pelaku KKN dalam suatu proses
komunikasi yang intim. --------------,
d. UU No.31 tahun 1999 tentang 1989 Crime, Shame and Rein-
Pemberantasan Tindak Pidana tegration, Cambridge: Cam-
Korupsi dan UU No. 28 tahun 1999 bridge University Press.
tentang Penyelenggara Negara
yang bersih dan bebas dari Korupsi, Clinard, Marshall
Kolusi dan Nepotisme, telah 1983 Corporate Ethics and Crime,
diundangkan sebagai wujud upaya the role of middle
penanggulangan kejahatan korupsi, management, London : Sage
kolusi dan nepotisme. Publications.
e. Pengundangan dua produk legislatif
di atas, tidak akan ada artinya Ermann, David. M & Lundman, R. J.
sebagai upaya penanggulangan 1987 Corporate and Governmental
korupsi, kolusi dan nepotisme, bila Deviance, Problems of
tidak disertai pemberian sanksi Organizational Behavior in
(kemasyarakatan) yang mampu Contemporary Society, 3rd
melahirkan penyesalan mendalam Edition, Oxford : Oxford
yang muncul dari nurani terdalam University Press.
dari si pelaku.
f. Salah satu sanksi kemasyarakatan Geis, G & Maier R.F, (eds.)
itu adalah pemberian malu 1977 White-collar Crime: Offences in
(shaming) ke pada si pelaku korupsi, Bussiness, Politics and the
kolusi dan nepotisme. Professionals ± Classic and
g. Pemberian malu (shaming) akan Contemporary Views,
berjalan efektif apabila di seluruh
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 1 No. I September 2000 : 1 - 9 9

New York : Free Press, Collier


and Macmillan.

Gibbons C. Don
1977 Society, Crime and Criminal
Careers, an introduction to
criminology, 3rd Edition, New
Jersey : Prentice-Hall, Inc.
Englewood Cliffs.

Groal, Haze
1922 White-collar Crime, Criminal
Justice and Criminology,
Philadelphia : Open University
Press.

Hagan, John
1988 Structural Criminology, Oxford :
Polity Press.

Serikat, Nyoman, Putra Jaya, SH.MH.


2000 Tindak Pidana Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme di Indonesia,
Semarang : Badan Penerbit
Universitas Di ponegoro.

Shapiro, S,
³&ROODULQJ WKH FULPH QRW WKH
criminal : reconsidering the
concept of white-collar crime,
American Sociological Review,
55, June, p. 346-365.

You might also like