You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya

dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus

menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya

pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas

korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin maningkat, karena dalam

kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat

besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai

bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin

ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan

kepentingan masyarakat.

Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat.

Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang

terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana

yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek

kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali

akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi

juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi
yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan

hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak

lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu

kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat

dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.

Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan

secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu

diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu

badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari

kekuasaan manapun dalam upaya pemberatansan tindak pidana korupsi, yang

pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta

berkesinambungan.

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah

meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana

korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-

undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan

Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999

tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan

Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


Pengertian korupsi sebenarnya telah dimuat secara tegas di dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak Pidana Korupsi.

Sebagian besar pengertian korupsi di dalam undang-undang tersebut dirujuk dari

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini

merdeka. Namun, sampai dengan saat ini pemahaman masyarakat terhadap

pengertian korupsi masih sangat kurang.1

Secara “Harfiah” korupsi adalah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat

disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bernuansa menghina atau mefitnah,

penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah

perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.

Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun

2001 “Tentang Tindak Pidana Korupsi”, selanjutnya disebut UU Tipikor menyatakan

bahwa korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal

tersebut tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan

kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam

bidang ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral

serta mental masyarakat.2 Kerugian secara ekonomi dari korupsi telah dirasakan oleh

1
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Memahami Untuk Membasmi, Buku
Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Agustus 2006, Hal. 1

2
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Dalam Artikel Halif, Kejahatan
Korupsi dalam Prespektif Kriminologi, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 111.
masyarakat, hal itu tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang

dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas ekonomi bangsa,

seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam

bidang politik, praktek korupsi menimbulkan diskriminasi pelayanan publik ataupun

diskriminasi penghargaan terhadap hak-hak politik masyarakat. Sedangkan kerugian

dalam bidang sosial-budaya dan moral, praktek korupsi telah menimbulkan

“penyakit” dalam masyarakat, bahwa perbuatan tersebut seakan dianggap sebagai

perbuatan yang halal dan wajar.3

Dari beberapa jenis tindak pidana yang digolongkan sebagai Tindak pidana

Korupsi sebagaimana dituangkan dalam beberapa pasal dalam undang-undang

tersebut, terdapat 2 (dua) pasal yang tidak pernah luput dan selalu digunakan untuk

menjerat para pelaku kejahatan. Pasal yang sering digunakan adalah Pasal 2 dan Pasal

3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi

sebagaimana telah dirubah berdasarkan Undang-undang nomor 20 tahun 20001

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun bunyi dari kedua pasal tersebut

antara lain :

Pasal 2 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan
denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,

3
Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting), Menyingkap Korupsi, Kolusi,
Nepotisme di Indonesia, Dalam Artikel Halif, Kejahatan Korupsi dalam Prespektif Kriminologi,
Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. v
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling
lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1
miliar rupiah.
Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, kedua pasal tersebut selalu

didakwa dengan bentuk Primair-subsidair. Pasal 2 ayat (1) sebagai dakwaan primair,

sedangkan pasal 3 sebagai dakwaan subsidair. Terdapat dua asumsi dakwaan yang

demikian. Pertama, ancaman pasal 2 ayat (1) lebih berat dibdandingkan pasal 3.

Konsekuensi lebih lanjut, jika pasal 2 ayat (1) tidak terbukti, maka diharapkan yang

terbukti adalah pasal 3.4

Apabila diperhatikan dengan seksama pada bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal 3

tersebut, maka kita akan mendapati suatu suatu kesamaan yang dirumuskan pada

kedua pasal tersebut yaitu terdapat kata “dapat” merugikan keuangan Negara dan

atau perekonomian Negara. Kata “dapat” pada rumusan tersebut hendak mengatakan

bahwa tindak pidana dalam norma tersebut adalah delik formil. Ada tidaknya tindak

pidana korupsi dalam kedua pasal tersebut tidak tergantung pada kerugina Negara

yang terjadi, melainkan cukup apabila secara formil unsure tindak pidana lain terjadi.

Rumusan dan frasa tersebut menyababkab terjadinya pasal yang memang dapat

menampung banyak perbuatan (catching all), termasuk apabila kerugian yang terjadi

merupakan suatu resiko dari diskresi yang harus diambil dalam ketiadaan pengaturan

secara jelas, atau dalam hal BUMN, apabila ada tindakan yang ditimbang secara

bisnis merupakan aksi bisnis yang benar menurut argument “business judgement

4
Eddy. O.S, Hiariej, selaku ahli dalam perkara pengujian Undang –undang terhadap Undang-
Undang Dasar yaitu 2 ayat (1) dan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 perubahan UU nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, diajukan oleh Firdaus, Dkk, 2016, Hal. 35.
rule”, tetapi ketika perbuatan tersebut dipandang dapat merugikan Negara, dan

memenuhi unsur melawan hukum dengan kategori formil sebagai bertentangan

dengan perundang-undangan yang berlaku dan bertentangan dengan hak subjektif

orang lain, serta bertentangan dengan kepatutan dan prisip kehatian-hatian, maka

terhadap hal tersebut pelaku akan dijerat dengan pasal Korupsi.

Memperhatikan berbagai penarsiran serta permasalahan dalam penerapan

pasal tersebut, pada tahun 2016, Firdaus, Dkk yang memiliki profesi sebagai

Pegawai negeri sipil (PNS) mengajukan permohonan Judisial review kepada

Mahkamah konstitusi dengan alasan bahwa menjadikan tinmdak pidana korupsi

sebagai delik formil, sudah tidak relevan lagi, sehingga adanya kata “dapat” dalam

pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan prinsip-prinsip

konstitusi. Unsur “kerugian negara” adalah unsur esensial dalam tindak pidana

korupsi karena menyangkut kejahatan terhadap negara yang merugikan kepentingan

masyarakat banyak. Jika tidak ada unsur kerugian, bagaimana mungkin seseorang

dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Tidak ada korupsi tanapa kerugian

negara, kecuali dalam tindak pidana suap, gratifikasi dan tindak pidana lain yang

berkaitan dengan tindak pidana korupsi tidak memerlukan adanya unsur kerugian

negara secara langsung.

Berdasarkan pada permohonan pemohon tersebut, Mahkamah Konstitusi pada

tanggal delapan bulan september dua ribu enam belas (08-09-2016) dalam

putusannya menyatakan5 :

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian

5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016 , Hal. 117
2. Menyatakan kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (lembarn Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Dst….

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas telah membawa pengaruh yang

cukup besar dalam penerapam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor pasca Judisial

review. Berdasarkan pada seluruh uraian tersebut diatas, maka dalam penulisan ini,

penulis mengambil judul “Tinjauan hukum penerapan pasal 2 ayat (1) dan pasal

3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo

undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU nomor 31 tahun

1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016”

1.2. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan pada uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka masalah yang akan

dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana penerapan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999

tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo undang-undang nomor 20 tahun

2001 tentang perubahan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016 ?


2. Apa akibat hukum terhadap penerapan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU nomor 31

tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo undang-undang

nomor 20 tahun 2001 perubahan UU nomor 31 tahun 1999 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi pasca putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor : 25/PUU-XIV/2016 ?

1.3. Penjelasan Judul

Guna memberikan gambaran yang jelas terhadap judul Penelitan serta untuk

menghindari penafsiran yang keliru dalam memaknai arti pada setiap frasa, berikut

penulis akan memberikan penjalasan terhadap judul yang diteliti.

1. Tindak pidana korupsi

2. Judisial review

3. Mahkamah Konstitusi

1.4. Alasan pemilihan judul

1.5. Tujuan Penelitian

1.6. Manfaat Penelitian

1.7. Metode Penelitian

1.8. Pertanggungjawaban Sistematika

You might also like