Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib
masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus
pada umumnya serta tindak pidana korupsi pada khususnya. Di tengah upaya
kenyataan adanya perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat
besar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai
bidang. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
kepentingan masyarakat.
Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang
terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek
akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi
juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi
yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak
lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat
secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu
badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari
berkesinambungan.
meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir sebelum negara ini
penyuapan, niet ambtelijk corruptie; dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah
perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun
bahwa korupsi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
Korupsi digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Hal
tersebut tidak saja karena modus dan teknik yang sistematis, akibat yang ditimbulkan
kejahatan korupsi bersifat pararel dan merusak seluruh sistem kehidupan, baik dalam
bidang ekonomi, politik, sosial-budaya dan bahkan sampai pada kerusakan moral
serta mental masyarakat.2 Kerugian secara ekonomi dari korupsi telah dirasakan oleh
1
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Memahami Untuk Membasmi, Buku
Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Agustus 2006, Hal. 1
2
Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi, Dalam Artikel Halif, Kejahatan
Korupsi dalam Prespektif Kriminologi, Alumni, Bandung, 2009, hlm. 111.
masyarakat, hal itu tercermin dari tidak optimalnya pembangunan ekonomi yang
dijalankan, selain itu hasil yang diperoleh dari berbagai aktifitas ekonomi bangsa,
seperti pajak, menjadi jauh lebih kecil dari yang seharusnya dicapai. Kerugian dalam
Dari beberapa jenis tindak pidana yang digolongkan sebagai Tindak pidana
tersebut, terdapat 2 (dua) pasal yang tidak pernah luput dan selalu digunakan untuk
menjerat para pelaku kejahatan. Pasal yang sering digunakan adalah Pasal 2 dan Pasal
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Adapun bunyi dari kedua pasal tersebut
antara lain :
Pasal 2 ayat (1) menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan
denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.
Pasal 3 menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
3
Edi Suandi Hamid dan Muhammad Sayuti (penyunting), Menyingkap Korupsi, Kolusi,
Nepotisme di Indonesia, Dalam Artikel Halif, Kejahatan Korupsi dalam Prespektif Kriminologi,
Aditya Media, Yogyakarta, 1999, hlm. v
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling
lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1
miliar rupiah.
Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, kedua pasal tersebut selalu
didakwa dengan bentuk Primair-subsidair. Pasal 2 ayat (1) sebagai dakwaan primair,
sedangkan pasal 3 sebagai dakwaan subsidair. Terdapat dua asumsi dakwaan yang
demikian. Pertama, ancaman pasal 2 ayat (1) lebih berat dibdandingkan pasal 3.
Konsekuensi lebih lanjut, jika pasal 2 ayat (1) tidak terbukti, maka diharapkan yang
Apabila diperhatikan dengan seksama pada bunyi pasal 2 ayat (1) dan pasal 3
tersebut, maka kita akan mendapati suatu suatu kesamaan yang dirumuskan pada
kedua pasal tersebut yaitu terdapat kata “dapat” merugikan keuangan Negara dan
atau perekonomian Negara. Kata “dapat” pada rumusan tersebut hendak mengatakan
bahwa tindak pidana dalam norma tersebut adalah delik formil. Ada tidaknya tindak
pidana korupsi dalam kedua pasal tersebut tidak tergantung pada kerugina Negara
yang terjadi, melainkan cukup apabila secara formil unsure tindak pidana lain terjadi.
Rumusan dan frasa tersebut menyababkab terjadinya pasal yang memang dapat
menampung banyak perbuatan (catching all), termasuk apabila kerugian yang terjadi
merupakan suatu resiko dari diskresi yang harus diambil dalam ketiadaan pengaturan
secara jelas, atau dalam hal BUMN, apabila ada tindakan yang ditimbang secara
bisnis merupakan aksi bisnis yang benar menurut argument “business judgement
4
Eddy. O.S, Hiariej, selaku ahli dalam perkara pengujian Undang –undang terhadap Undang-
Undang Dasar yaitu 2 ayat (1) dan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 perubahan UU nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, diajukan oleh Firdaus, Dkk, 2016, Hal. 35.
rule”, tetapi ketika perbuatan tersebut dipandang dapat merugikan Negara, dan
orang lain, serta bertentangan dengan kepatutan dan prisip kehatian-hatian, maka
pasal tersebut, pada tahun 2016, Firdaus, Dkk yang memiliki profesi sebagai
sebagai delik formil, sudah tidak relevan lagi, sehingga adanya kata “dapat” dalam
konstitusi. Unsur “kerugian negara” adalah unsur esensial dalam tindak pidana
masyarakat banyak. Jika tidak ada unsur kerugian, bagaimana mungkin seseorang
dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi. Tidak ada korupsi tanapa kerugian
negara, kecuali dalam tindak pidana suap, gratifikasi dan tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi tidak memerlukan adanya unsur kerugian
tanggal delapan bulan september dua ribu enam belas (08-09-2016) dalam
putusannya menyatakan5 :
5
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 25/PUU-XIV/2016 , Hal. 117
2. Menyatakan kata “dapat” dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (lembarn Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Dst….
cukup besar dalam penerapam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor pasca Judisial
review. Berdasarkan pada seluruh uraian tersebut diatas, maka dalam penulisan ini,
penulis mengambil judul “Tinjauan hukum penerapan pasal 2 ayat (1) dan pasal
Berdasarkan pada uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka masalah yang akan
1. Bagaimana penerapan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999
Nomor : 25/PUU-XIV/2016 ?
Guna memberikan gambaran yang jelas terhadap judul Penelitan serta untuk
menghindari penafsiran yang keliru dalam memaknai arti pada setiap frasa, berikut
2. Judisial review
3. Mahkamah Konstitusi