You are on page 1of 18

PRO DAN KONTRA SANKSI PEMISKINAN BAGI PELAKU

TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA


(PRO AND CONTRA IMPROVERISHING PUNISHMENT TO CORRUPTOR IN
INDONESIA)

OLEH:
TEMMY HASTIAN, S.H.
NPM.A2021151027

ABSTRACT
Corruption is a crime that has been rooted in the life of the Indonesian nations, ranging
from government, senator, to law enforcement. There has no doubt if people are very
disturbby this crime. Many assumptions and discourses are expressed to give and as
additional deterrent effect to the perpetrators, ranging from impoverishment to perpetrators of
the Corruption Crime, as well as the death punishment.
Corruption crimes is a crime that must be eradicated by an extraordinary way, it is
because corruption harms for many people, corruption caused inhibits all development, both
physical and non-physical development. Basically the trigger factor of a person committing a
criminal act of corruption is one of greed, as stated in a previously written paper, and the
main purpose of the perpetrator of corruption crimes is wealth, and in fact perpetrators of
corruption crimes are afraid of poverty.
The formulation of the issues to be discussed in this paper is "Does the Poverty Method
for Corruption Perpetrators Be Effective to Eradicate Corruption crime in Indonesia?"
The meaning of impoverishment in this study is not an absolute impoverishment, but a
Impoverishment that has been detailed calculated. The impoverishment can be specified as
follows:
- Impoverishment is defined by foreclosures;
- Foreclosures is carried out in accordance with applicable rules;
- Foreclosures accompanied by counts of losses suffered by the State; and
- The effectiveness of Prevention and Eradication of Money Laundering Act, and the
Eradication of Corruption Act (Especially on Article 18 and Article 38 C).

Keywords: Sanction of Impoverishment, Corruption Perpetrators, Effectivity of


Prevention and Eradication of Money Laundering Act.

1
ABSTRAK

Korupsi merupakan suatu kejahatan yang telah mengakar dalam kehidupan berbangsa di
Indonesia, mulai dari pemerintah, wakil rakyat, hingga para penegak hukum. Tidak salah lagi
jika masyarakat sangat gerah dengan kejahatan yang satu ini. Banyak asumsi dan wacana
yang dilontarkan untuk memberi dan menambah efek jera bagi pelakunya, mulai dari
pemiskinan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi, serta hukuman mati.
Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dengan cara yang luar biasa,
karena korupsi telah menyengsarakan rakyat, menghambat segala pembangunan, baik
pembangunan fisik dan non fisik. Pada dasarnya faktor pemicu seseorang melakukan tindak
pidana korupsi salah satunya ialah keserakahan, sebagaimana tertuang dalam makalah yang
telah ditulis sebelumnya, dan yang dikejar oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi
adalah kekayaan, dan sesungguhnya pelaku kejahatan korupsi takut akan kemiskinan.
5XPXVDQ PDVDODK \DQJ DNDQ GL EDKDV GDODP WXOLVDQ LQL DGDODK ³Apakah dengan Metode
Pemiskinan bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dapat Efektif dalam Hal Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?´
Pemiskinan yang dimaksud bukanlah merupakan pemiskinan yang absolute, melainkan
pemiskinan yang diperhitungkan secara matang. Pemiskinan tersebut dapat d spesifikasikan
sebagai berikut:
- Pemiskinan diartikan dengan penyitaan;
- Penyitaan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku;
- Penyitaan disertai dengan penghitungan kerugian yang dialami Negara; dan
- Pengefektifan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Undang-Undang
Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Khususnya
Pasal 18 dan Pasal 38 C)

Kata Kunci: Sanksi Pemiskinan, Pelaku Tindak Pidana Korupsi, Efektifitas Undang-Undang
TPPU.

2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era yang serba modern ini, dimana manusia telah berkembang dalam

segala aspek kahidupan, baik itu dalam hal ilmu dan teknologi. Perkembangan di

berbagai aspek tersebut diiringi pula kemerosotan nilai yang dialami manusia yang

seolah kembali pada makhluk primitif yang saling menguasai dan mejatuhkan. Hal

itu setidaknya tercermin dalam krisis moralitas di dunia hukum yang terjadi sangat

intens akhir-akhir ini. Manusia yang seharusnya berfungsi sebagai explanary center

justru berakrobat, mengakali proses hukum untuk kepentingan diri atau

kelompoknya. Di satu sisi manusia mengklaim dirinya sebagai makhluk bermoral,

yang mengemban tugas membangun dunia, namun disisi lain ketika berbicara

mengenai keinginan diri, mereka mengikis sendiri nilai-nilai moralitas itu. Disinilah

moralitas dipertanyakan keberadaannya. Termasuk moralitas dalam berhukum.

Dinamika kehidupan manusia dewasa ini penuh dengan persoalan yang tidak
bisa diselesaikan dengan mudah. Setiap manusia yang hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara akan menghadapi permasalahan hukum yang berbeda dari
waktu ke waktu. Keinginan besar dari segenap elemen masyarakat adalah
terwujudnya masa depan hukum yang baik dengan pemerintahan bebas dari praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Jika kekuatan dari penegakan hukum, khususnya kekuatan hukum dalam
pemberantasan korupsi di kurangi dan diamputasi, maka mereka (koruptor) kembali
akan Berjaya dalam ranah penegakan hukum, dan akan bangkit kembali kerajaan
koruptor.
Seharusnya hukum adalah sosok yang bertubuh gagah, berwujud lengkap,
penuh wibawa, berwajah ramah, berpikiran cerah, berperasaan arif dan bijaksana,
tetapi hukum di negeri ini bertubuh lunglai, berwajah gundah, kakinya patah,
tangannya lemah, mulutnya tersumbat dimata rakyat, sedangkan di hadapan
penguasa terlebih kuat.

3
Hukum yang dimaksud bukanlah satu-satunya alat pengendali atau pengontrol
sosial, tetapi hukum hanyalah salah satu alat kontrol sosial didalam masyarakat yang
bekerja bersama-sama dengan pranata-pranata sosial lainnya yang juga melakukan
fungsi pengendali sosial.
Menurut Lawrence M Friedman, Pranata-pranata sosial lainnya yang
mempengaruhi pengendalian sosial yakni komponen struktur/structure
(kelembagaan), komponen substantif/substantive (peraturan, dll), dan komponen
kultur/culture (nilai-nilai, sikap-sikap, persepsi, dll).
Dalam literatur, dikenal beberapa teori tujuan hukum, yakni: Pertama, Teori
Etis, yang semata-mata bertujuan merealisasikan keadilan. Salah satu pendukung
teori ini adalah Geny. Teori ini terfokus pada dua pertanyaan tentang keadilan: 1.
Menyangkut hakikat keadilan, dan 2. Menyangkut isi atau norma untuk berbuat
secara konkrit dalam keadaan tertentu. Secara ideal, hakikat kaedilan itu tidak hanya
dilihat dari satu pihak saja, tetapi harus dilihat dari dua pihak. Aristoteles
membedakan keadilan menjadi dua macam, yakni Justisia Distributif, yang
menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, serta Justisia
Commutatif, yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama
banyaknya. Demikian pula dengan Roscou Pound, melihat keadilan dalam hasil-
hasil konkrit yang dapat diberikan kepada masyarakat.
Kedua, Teori Utilitas (dianut juga oleh Jeremy Bentham) yang berpendapat
tujuan hukum adalah untuk menjamin kebahagiaan yang terbesar bagi manusia
dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya (the greatest happiness for the greatest
number).
Ketiga, Teori Campuran, tujuan pokok hukum adalah ketertiban, dan ketertiban
merupakan syarat bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Selain itu, Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat tujuan lain dari hukum adalah mencapai keadilan
secara berbeda-beda, baik isi dan ukurannya, menurut masyarakat dan jamannya.
Demikian juga dengan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, tujuan hukum
demi kedamaian hidup antar pribadi, yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi
dan ketenangan intern pribadi. Van Apeldoorn, hukum bertujuan mengatur
pergaulan manusia secara damai. Sedangkan Soebekti berpendapat hukum mengabdi
kepada tujuan Negara demi kemakmuran dan kebahagian rakyat. Secara garis besar
tujuan tersebut untuk mencapai masyarakat yang tertib dan damai, mewujudkan
keadilan, serta mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan rakyat.
4
Selain itu, Lon L Fuller berpendapat bahwa hukum sebagai sistem harus
memenuhi delapan azas atau principles of legality, yakni:
1. Sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan, artinya bukan sekedar
keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.
2. Peraturan yang dibuat harus di publikasi.
3. Peraturan tidak boleh berlaku surut.
4. Peraturan disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti.
5. Peraturan tidak boleh bertentangan satu sama lain.
6. Peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dilakukan.
7. Peraturan tidak boleh sering dirubah-ubah.
8. Peraturan harus cocok dengan pelaksanaannya sehari-hari.
Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, bahwa jika dihubungkan dengan
fenomena hukum saat ini, maka teori tersebut hanya merupakan suatu cita-cita
hukum (ius constituendum) dari pendiri bangsa, seangkan hukum yang berlaku saat
ini (ius constitutum) masih jauh dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan,
kemanfaatan dan kepastian.
Menurut perspektif etimologi, istilah korupsi berasal dari bahasa latin,
corruption, berarti perbuatan buruk, busuk, bejat, dapat disuap, tidak bermoral, dan
pasti tidak suci.1
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan
dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh
bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara
terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketiga puluh bentuk atau jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut: 2
1. Kerugian keuangan Negara;
2. Suap-menyuap;
3. Penggelapan dalam jabatan;
4. Pemerasan;
1
Website; acch.kpk.go.id
2
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 2006, Memahami Untuk Membasmi (Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi), Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, h.19-21. Dikutip Temmy
+DVWLDQ 6NULSVL ³Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Sebagai Hak Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Di
Pengadilan Negeri Pontianak´ )+ 8QLYHUVLWDV 7DQMXQJSXUD 3RQWLDQDN KDO -14

5
5. Perbuatan curang;
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. Gratifikasi.
Sedangkan unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi adalah (1) setiap orang, (2)
melawan hukum, (3) melakukan perbuatan, memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi, (4) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Seakan tiada henti, kejahatan korupsi selalu menjadi trending topik yang
dibicarakan, baik di media massa, maupun di kehidupan masyarakat.
Dilihat dari perspektif hukum, sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi ini tidak
ringan, pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ayat (1) menyebutkan setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah), dan di ayat (2) berbunyi dalam hal tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana
mati dapat dijatuhkan.
Selain melihat dari perspektif hukumnya, kejahatan korupsi harus dipahami
terkait dengan hulu dari permasalahan yang berpotensi dan bahkan akan
menimbulkan suatu perbuatan korupsi. Dengan memahami permasalahan penyebab
terjadinya korupsi, maka ada jalan bagi kita untuk menekan, mencagah, dan
menghindari perbuatan yang berpotensi menimbulkan perbuatan korupsi.
Korupsi merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum
yang menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya, sehingga korupsi
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa, sebab dampak yang ditimbulkannya sangat luas dan telah merasuk kesegala
bidang kehidupan, baik itu kehidupan ekonomi, kehidupan sosial, kehidupan politik,
kehidupan demokrasi, kehidupan berbudaya, serta kesejahteraan umum negara, dan
disertai dengan modus operandi yang semakin canggih dan rumit.
Pelaku korupsi bukanlah orang yang hidup pada garis kemiskinan, pelaku
korupsi ialah orang-orang yang kaya, memilki jabatan, memiliki jaringan dengan
penguasa dan memiliki pengaruh sosial di masyarakat.
6
Korupsi merupakan suatu kejahatan yang telah mengakar dalam kehidupan
berbangsa di Indonesia, mulai dari pemerintah, wakil rakyat, hingga para penegak
hukum. Tidak salah lagi jika masyarakat sangat gerah dengan kejahatan yang satu
ini. Banyak asumsi dan wacana yang dilontarkan untuk memberi dan menambah
efek jera bagi pelakunya, mulai dari pemiskinan bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi,
serta hukuman mati dengan dihadiahi sebutir peluru di leher belakang, sebagaimana
yang telah di berlakukan di negara China dan Vietnam.
Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang harus diberantas dengan cara yang luar
biasa, karena korupsi telah menyengsarakan rakyat, menghambat segala
pembangunan, baik pembangunan fisik dan non fisik. Pada dasarnya faktor pemicu
seseorang melakukan tindak pidana korupsi salah satunya ialah keserakahan,
sebagaimana tertuang dalam makalah yang telah ditulis sebelumnya, dan yang
dikejar oleh pelaku kejahatan tindak pidana korupsi adalah kekayaan, dan
sesungguhnya pelaku kejahatan korupsi takut akan kemiskinan. Atas dasar tersebut
makalah ini ditulis dengan judul Pro dan Kontra Sanksi Pemiskinan Bagi Pelaku
Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah merupakan usaha untuk menyatakan secara tersurat mengenai
masalah yang akan dibahas. Fungsi dari rumusan masalah ialah sebagai pendorong,
pedoman, dan penentu mengenai arah penelitian yang akan dilaksanakan agar lebih
memahami situasi sosial yang masih dianggap remang-remang, tidak teramati, dan
kompleks agar menjadi jelas. Selain itu, rumusan masalah juga menjadi dasar dalam
merumuskan dan menentukan judul penelitian.
Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang dirumuskan untuk dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Apakah dengan Metode Pemiskinan bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi dapat
Efektif dalam Hal Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia?

7
II. PEMBAHASAN
Pada dasarnya, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mencari tahu mengenai faktor
penyebab kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia, mencari informasi mengenai
maraknya kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia serta menganalisis efektifitas
pemiskinan bagi koruptor dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

A. Faktor Penyebab Maraknya Tidak Pidana Korupsi


Secara umum, faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia
adalah sebagai berikut.
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme.
c. Kurangnya pendidikan.
d. Kemiskinan (pada kasus yang merebak di Indonesia, para pelakunya bukanlah
didasari kemiskinan, melainkan Keserakahan).
e. Tidak adanya sanksi yang keras.
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
g. Struktur pemerintahan.
h. Perubahan radikal.
i. Keadaan masyarakat.

Faktor yang paling penting dalam dinamika korupsi adalah keadaan moral dan
LQWHOHNWXDO SDUD SHPLPSLQ PDV\DUDNDW«´3 dan masyarakat yang dipimpin.
Faktor-faktor penyebab tindak pidana korupsi di Indonesia yang telah
dipaparkan diatas dapat di golongkan menjadi dua, yakni:
- Faktor Internal: Kemiskinan, Gaji rendah, Peraturan bertele-tele, Pengetahuan
yang tidak cukup di bidangnya, Serakah, Keadaan Moral, Konsumtif, dan Aspek
sosial/keluarga.
- Faktor Eksternal: Sikap masyarakat, Aspek ekonomi, Aspek politis, Aspek
organisasi, Penegakan hukum tidak konsisten, Langkanya lingkungan

3
Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta,.
h.10-11. 'LNXWLS 7HPP\ +DVWLDQ 6NULSVL ³Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Sebagai Hak Terdakwa Dalam
Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Pontianak´ )H Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2014, hal.17.

8
antikorupsi, Konsekuensi dipidana lebih rendah dibanding keuntungan korupsi,
Budaya permisif/apatis, dan Gagalnya pendidikan agama dan moral.

B. Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia


Pemberantasan tindak pidana korupsi telahlama dilaksanakan, namun tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Korupsi yang melibatkan para penguasa ini
sangat sukar untuk di berantas. 6LQJNDWQ\D ³VHMDUDK GDQ SHPEHUDQWDVDQ NRUXSVL GL
,QGRQHVLD´4 dapat dirangkum sebagai berikut:
x Tahun 1957, Operasi Militer, dasar hukumnya PRT/PM/06/1957. (Kegiatan
tidak terstruktur)
x Tahun 1967, Tim Pemberantasan Korupsi, dasar hukumnya Keppres 228 Tahun
1967. (Represif dan Preventif)
x Tahun 1977, Opstib, dasar hukumnya, Inpres 9 Tahun 1977. (Penertiban Sistem
& Operasional)
x Tahun 1987, Pemsus Restitusi Pajak, dasar hukumnya Surat MENKEU S 1234
/MK.04/1987. (Kebenaran restitusi)
x Tahun 1997-1998 Æ Krisis Moneter & Ekonomi
x Tahun 1999, KPKPN, dasar hukumnya UU 28 Tahun 1999. (Preventif) Tahun
7*73. GDVDU KXNXPQ\D 33 7DKXQ 5HSUHVLI «
x Tahun 2003, KPK, bertugas Koordinasi, Supervisi, Penindakan, Pencegahan,
Monitoring, dasar hukumnya UU 30 Tahun 2002. (Penindakan & Pencegahan)
x Tahun 2005, Timtas, bertugas Koordinasi diantara Kejaksaan, POLRI & BPKP,
dasar hukumnya Keppres 11 Tahun 2005. (Represif).

Berdasarkan rangkuman dari pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia


yang dijelaskan diatas, bahwa pemerintah Republik Indonesia benar-benar serius
dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang merupakan
kejahatan yang terorganisir, hampir menyamai kejahatan kemanusiaan yang
dilaksanakan sejak era orde lama hingga reformasi.

4
%XV\UR 0XTRGGDV ³6WUDWHJL 3HPEHUDQWDVDQ .RUXSVL .3.´ Paper pada IP Seminar: Korupsi yang
Memiskinkan, Jakarta, Tanggal 21-22 Februari KDO 'LNXWLS 7HPP\ +DVWLDQ 6NULSVL ³Pelaksanaan
Pembuktian Terbalik Sebagai Hak Terdakwa Dalam Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Pontianak´
FH Universitas Tanjungpura, Pontianak, 2014, hal.31.

9
Secara umum strategi pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dibagi menjadi
WLJD \DNQL ´5
1. Strategi preventif, yaitu strategi yang bersifat mencegah atau meminimalkan
terjadinya tindak pidana korupsi.
2. Strategi detektif, yaitu strategi yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi atau
mendeteksi apakah telah terjadi tindak pidana korupsi sehingga apabila terdapat
indikasi dapat segera diketahui secara akurat.
3. Strategi advokasi, yaitu strategi yang dilakukan dengan membangun sistem
yang dapat menyelesaikan kasus-kasus korupsi secara umum dan memberikan
sanksi yang setimpal dengan kejahatan korupsi yang dilakukan.

C. Pelaku Tindak Pidana Korupsi 6


Kejahatan tindak pidana korupsi dapat dilakukan oleh siapa saja, baik pejabat
atau aparat pemerintah maupun swasta secara individu maupun kelembagaan.
Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, yang dapat
digolongkan sebagai pelaku korupsi yaitu: (1) Pegawai Negeri, meliputi: Pegawai
Negeri Sipil, orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah,
orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah, orang yang menerima gaji atau upah dari
korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat;
(2) Korporasi, yaitu kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisir baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum; (3) Setiap orang, yaitu orang
perseorangan atau termasuk korporasi.
Berikut data penangan korupsi oleh dari tahun ke tahun oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia.

Tabulasi Data Penanganan Korupsi (oleh KPK) Berdasaarkan


Jenis Perkara Tahun 2004-2015 (per 30 November 2015)
Jabatan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Jumlah
Pengadaa 12 8 14 18 16 16 10 8 9 15 10 138
n Barang 2
/ Jasa
Perijinan 0 0 5 1 3 1 0 0 0 3 5 1 19
Penyuap 0 7 2 4 13 12 19 25 34 50 20 35 221

5
website;acch.kpk.go.id
6
Ibid

10
an
Pungutan 0 0 7 2 3 0 0 0 0 1 6 1 20
Penyalah 0 0 5 3 10 8 5 4 3 0 4 2 44
gunaan
Anggara
n
TPPU 0 0 0 0 0 0 0 0 2 7 5 1 14
Merintan 0 0 0 0 0 0 0 2 0 3 0 5
gi Proses 0
KPK
Jumlah 2 19 27 24 47 37 40 39 49 70 58 50 461
Sumber: acch.kpk.go.id

D. Pemiskinan bagi Koruptor dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di


Indonesia
Ide pemiskinan koruptor pada awalnya dilontarkan oleh Ketua Mahkamah
Konstitusi (saat itu) Mahfud MD dan juga Anggota Satgas Antimafia Hukum (saat
itu) Mas Achmad Santosa menjadi konsep yang menarik untuk didiskusikan. Ide
pemiskinan menarik karena di balik semua antusiasme memberantas korupsi yang
ditopang oleh KPK, Polri, Kejaksaan, maupun Pengadilan Tipikor, ternyata terdapat
ironi tajam sebab di samping peningkatan keberhasilan pemberantasan korupsi,
ternyata masih menghadapi masalah serius, yaitu kolusi dan korupsi dalam
penanganan korupsi itu sendiri.
Salah satu contoh adalah Kasus konspirasi Gayus Tambunan dalam penanganan
SHODQJJDUDQ ELGDQJ SHUSDMDNDQ WHUQ\DWD EHUODQMXW SDGD ³SHUVHOLQJNXKDQ´ GHQJDQ
petugas Rutan Mako Brimob, sehingga bebas pelesir. Kenyataan itu telah
mengonfirmasi atau membuktikan kebenaran tesis Marc Galanter bahwa ³7KH
µ+DYHV¶ &RPH 2XW $KHDG´ NXUDQJ OHELK EHUDUWL VL ³ND\D´ VHODOX PHQDQJ 0HVNLSXQ
Gayus hanya (mantan) PNS dengan golongan IIIA, namun kekuatan uang atau
kekayaannya mampu menjungkirbalikkan nilai-nilai hukum yang selalu
dipropagandakan Konstitusi, ³HTXDOLW\ EHIRUH WKH ODZ´ (persamaan di dalam
hukum). Apabila malapraktik penegakan hukum pada kasus Gayus hanya puncak
dari gunung es (top of a iceberg), maka sungguh mengerikan besarnya kasus-kasus
VHUXSD \DQJ WLGDN WHUXQJNDS /HELK PHQJHULNDQ DSDELOD ³the haves´ EXNDQ KDQ\D
berarti uang, tetapi juga status, kesejahteraan, dan kepemilikan kekuasaan atau
kewenangan yang sangat besar dan menjanjikan perselingkuhan jenis lain yang sulit
diperoleh dalam situasi normal. Kenyataan itu yang sering kali menjebak para

11
SHQFDUL NHDGLODQ \DQJ ³PLVNLQ´ the have-nots) pada akses keadilan semu sebab
yang diperoleh ternyata sempitnya ruang-ruang keadilan, dan mahalnya biaya untuk
menemukan kebenaran hukum.
Penelitian Marc Galanter dalam kerangka Amerika itu sebenarnya bukan
semata-mata karena yang kaya bisa menyuap atau yang berkuasa bisa menawarkan
sesuatu yang menjanjikan kesejahteraan, kebahagiaan duniawi yang lebih tinggi, dan
kenikmatan-kenikmatan hidup secara kolusif, seperti pada kasus Gayus. Kenyataan
yang dijelaskan oleh Galanter berkait dengan kemampuan menggunakan advokat
(lawyer) berkaliber, sampai memanfaatkan saksi ahli yang berkualitas.
Profesionalitas itu yang mengelola strategi penanganan jangka panjang, memiliki
tingkat relasi tinggi dengan lembaga-lembaga pendinamisasi bekerjanya hukum,
seperti penyidik, penuntut umum, dan pengadilan, termasuk mempengaruhi pasifnya
fasilitas institusional karena halangan pembiayaan dan penundaan dapat diatasi.7
Salah satu dasar itulah maka pegiat antikorupsi sangat mendukung adanya
sanksi pemiskinan terhadap koruptor.
6HODLQ LWX «SHPLVNLQDQ GLDQJJDS WHODK VHVXDL GHQJDQ NHDGLODQ NDUHQD
tindakan korupsi yang dilakukan di Indonesia jelas sekali melecehkan keadilan
khususnya dalam konteks masih begitu meluasnya kemiskinan dan jurang si kaya
dan si miskin, serta langkanya penegakan hukum. Jadi jika seorang koruptor
dimiskinkan sampai ke titik nol pun, masih tetap adil jika kita dikaitkan dengan
konteks sosial dan ekonomi negeri ini.8

Pro Terhadap Pemiskinan


Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan
mengatakan pemiskinan atau pengambilan aset dan harta hasil korupsi lebih efektif
dan dapat memberi efek jera bagi para koruptor dibandingkan dengan hukuman
penjara.
Para koruptor akan lebih takut miskin daripada takut dipenjara. Jadi, satu-
satunya cara yang ampuh untuk membuat orang jera melakukan korupsi adalah
dengan memiskinkan koruptor. Sebenarnya sudah ada beberapa peraturan yang
dapat digunakan untuk mengatur upaya pemiskinan koruptor, yaitu Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

7
http://daniputra.blog.uns.ac.id/pemiskinan-koruptor-it-just-a-wacana/
8
http://www.mashikam.com/2014/01/pemiskinan-terhadap-koruptor-adalah.html

12
Uang (TPPU). berpendapat bahwa pemiskinan koruptor dengan pengambilan aset atau
harta kekayaan hasil korupsi dari si pelaku dan keluarganya tidak mengandung unsur
pelanggaran hak asasi.
Prinsipnya pengambilan kembali harta hasil korupsi bukanlah suatu tindakan yang
melanggar hak asasi, karena yang disita hasil korupsi. Bila penyitaan harta koruptor yang
merupakan hasil korupsi tidak dilakukan, hal itu justru akan melanggar hak asasi orang
banyak. Sebab harta hasil korupsi itu harta yang diperoleh dari uang publik.9

Kontra Pemiskinan
1. (Alm.) Adnan Buyung Nasution, Advokat senior
µ3HPLVNLQDQ NRUXSWRU¶ SHUOX GLOXUXVNDQ 6HODLQ LWX NHELMDNDQ SHPLVNLQDQ
koruptor hanya akan menambah beban negara karena orang miskin baru
bertambah, karena konstitusi mengatur, fakir miskin juga dipelihara Negara.
Sementara untuk penyitaan harta kekayaan harus dibatasi, sehingga tidak
melanggar prinsip hukuman yang setimpal dengan kesalahan dan tidak
melanggar hak konstitusional warga negara.10
2. Marwan Effendy, Mantan Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas)
Penerapan pemiskinan koruptor itu melanggar hukum dan merupakan
penzaliman. Dari sudut hukum, isitilah pemiskinan belum begitu dikenal.
Bahkan belum digunakan pada berbagai produk legislasi maupun dalam
konstitusi. Meski demikian, pemiskinan koruptor merupakan semangat untuk
mencegah dan memberantas korupsi. Menurutnya, selama ini yang lebih dikenal
dalam hukum pidana yang diatur dalam pasal 10 KUHP adalah pidana denda
GDQ SHQMDUD ³.DUHQDQ\D KDUXV GLJDOL GDQ GLSDKDPL VHFDUD EHQDU DSD GDQ
EDJDLPDQD SHPLVNLQDQ LWX GDSDW GLODNVDQDNDQ ´ NDWDQ\D Hukum Indonesia
mengenal pidana denda untuk mengembalikan keseimbangan hukum dan
EHUWXMXDQ PHQHEXV µGRVD¶ Werpidana korupsi. Denda tersebut juga difungsikan
sebagai cara merampas kembali keuntungan hasil kejahatan yang dilakukan
koruptor. Adapun pembayaran uang pengganti adalah pidana tambahan.11
3. Prof. Dr. Muladi, SH, Ketua Tim Penyusun Rancangan UU KUHP

9
http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/efektifkah-pemiskinan-koruptor/1319
10
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/11/25/pemiskinan-koruptor/
11
Ibid

13
"Memiskinkan" pelaku korupsi dengan merampas seluruh harta yang dimiliki
sebagai efek jera koruptor, karena tidak proporsional dan terlalu berlebihan.
Mantan Gubernur Lemhanas itu juga menolak penerapan hukuman mati di
Indonesia karena melanggar HAM.12

UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) sebagai


kecenderungan kesadaran dunia mengenai prioritas penanganan tindak pidana
korupsi sebenarnya tidak mengenal konsep pemiskinan. Konsep yang dipopulerkan
hanya menekankan pada pengambalian kerugian keuangan negara yang dikorupsi
(stolen state asset recovery) melalui cara-cara yang luar biasa (extra-ordinary)
sekalipun, di samping pemidanaan berupa perampasan kemerdekaan (pidana
badan).13
Pro dan Kontra Pemiskinan bagi pelaku tindak pidana korupsi bermunculan.
Pihak pro beralasan bahwa pelaku korupsi telah menyengsarakan rakyat, merugikan
keuangan Negara, serta merupakan perbuatan yang tercela. Pihak kontra berdalih
bahwa dengan metode pemiskinan dalam memberikan sanksi terhadap pelaku
korupsi merupakan suatu pelanggaran HAM dan juga tidak ada diatur dalam hukum
Indonesia.
Terhadap pendapat diatas, maka penulis memposisikan diri sebagai pihak yang
Pro terhadap sanksi pemiskinan terhadap pelaku korupsi. Terhadap sikap ini, penulis
memberikan catatan terhadap sanksi pemiskinan, yakni:
- Pemiskinan diartikan dengan penyitaan
- Penyitaan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku
- Penyitaan disertai dengan penghitungan kerugian yang dialami Negara
- Pengefektifan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Khususnya Pasal 18 dan Pasal 38 C)

12
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e9207269a3a/muladi-tolak-ide-pemiskinan-koruptor
13
http://daniputra.blog.uns.ac.id/pemiskinan-koruptor-it-just-a-wacana/

14
Kondisi hukum seperti saat ini dapat memberi dasar rasionalitas pemiskinan
tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi meski dengan beberapa prasyarat.
Pertama, dapat diterima dengan rasionalitas taksonomi atau sistem
klasifikasi/pengelompokan tersangka atau terdakwa. Artinya, tidak semua tersangka
atau terdakwa dikenakan pemiskinan (Certain Case). Pemiskinan hanya dapat
diterapkan terhadap tindak pidana korupsi yang mengakibatkan harta bendanya
disita, seperti gratifikasi, suap, maupun tindak pidana pencucian uang. Banyak
tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi yang tidak diuntungkan, tetapi
tersangkut karena persoalan-persoalan administratif yang menjadi tanggung
jawabnya. Tanpa taksonomi memang sangat mudah pengaturannya, namun hukum
berbalik menjadi kesewenangan tanpa rasionalitas. Kedua, pemanfaatan akuntansi
badan-badan pemeriksa keuangan untuk melaksanakan akuntansi kerugian keuangan
negara sebagai dasar penyitaan untuk dapat menjamin pengembalian maupun
pembatasan pemanfaatan sumber daya uang tersangka atau terdakwa yang masih
banyak berlebih dan tidak seimbang dengan penghasilan atau penambahan
kekayaannya. Pembataasan pemanfaatan menjadi penting setidak-tidaknya dapat
mengontrol pengeluaran yang tidak wajar ketika tersangka atau terdakwa dalam
proses peradilan tindak pidana korupsi.
Penerapan konsep pemiskinan dengan taksonomi maupun pembatasan
pemanfaatan sumber daya uang untuk mengontrol pengeluaran tidak wajar ini secara
eksplisit memang tidak diatur, sehingga akan berbeda jauh dari praktik
pemberantasan korupsi saat ini. Namun, pendekatan progresif dengan latar extra-
ordinary (keluar biasaan) dari praktik tindak pidana korupsi dan masih bekerjanya
mesin mafia hukum di Indonesia, dapat menjadi dasar pragmatis untuk keberhasilan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Dari perspektif ini, adanya hubungan timbal-
EDOLN DQWDUD ³VL ND\D´ GDQ PDILD KXNXP GDSDW GLNRQWURO OHELK PXGDK VHWLGDN-
tidaknya upaya-upaya untuk menyepelekan hukum dengan kekuatan uang dapat
diputus rantai penyambungnya.
Terhadap penyitaan tersebut, Undang-Undang menjamin HAM pelaku korupsi,
yakni dengan mengajukan pembuktian terbalik yang merupakan hak terdakwa di
persidangan atas segala harta benda yang dia dan keluarga miliki sebagaimana
tertuang dalam Pasal 37, 37A, dan 38B.

15
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan merupakan pernyataan singkat tentang analisis deskripsi dan

pembahasan tentang hasil pembahasan pada bab sebelumnya. Kesimpulan berisi

jawaban atas pertanyaan yang diajukan pada bagian rumusan masalah.

Setelah semua tahap kajian dilakukan, mulai dari pembuatan latar belakang,

kajian teori, hingga pembahasan, pada akhirnya penulis dapat menyimpulkan hasil

tulisan ini. Dengan demikian, rumusan dalam penelitian ini ialah:

1. Bahwa Pemiskinan yang dimaksud adalah berupa penyitaan atas segala harta
benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
2. Bahwa Pemiskinan tidak dilaksanakan secara menyeluruh (Overall) terhadap
semua perkara tindak pidana korupsi.
3. Bahwa Penyitaan harta benda dilaksakan terhadap kasus tertentu seperti
penerimaan gratifikasi, suap serta tindak pidana pencucian uang yang harta
bendanya disita oleh penegak hukum berdasarkan atas penghitungan oleh pihak
yang berkompeten dibidangnya.
4. Bahwa terhadap permasalahan ini, penulis memposisikan diri sebagai pihak
yang Pro terhadap pemiskinan, mengenai sikap ini, penulis memberikan catatan
terhadap sanksi pemiskinan, yakni:
- Pemiskinan diartikan dengan penyitaan
- Penyitaan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku
- Penyitaan disertai dengan penghitungan kerugian yang dialami Negara
- Pengefektifan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
serta Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun

16
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Khususnya Pasal 18 dan
Pasal 38 C)
5. Bahwa Pemiskinan bukan merupakan suatu pelanggaran HAM jika
dilaksanakan oleh penegak hukum yang berintegritas.

B. Saran
Pada bagian saran ini, peneliti akan memberikan suatu rekomendasi yang

dirumuskan berdasarkan penelusuran dan hasil penelitian yang dirasa dapat

bermanfaat secara praktis maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu hukum. Adapun saran yang akan disampaikan yakni:

1. Penyitaan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku.


2. Penyitaan disertai dengan penghitungan kerugian yang dialami Negara.
3. Pengefektifan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta
Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Khususnya Pasal 18 dan Pasal 38 C).
4. Terhadap penyitaan tersebut, Undang-Undang menjamin HAM pelaku korupsi,
yakni dengan mengajukan pembuktian terbalik yang merupakan hak terdakwa di
persidangan atas segala harta benda yang dia dan keluarga miliki sebagaimana
tertuang dalam Pasal 37, 37A, dan 38B.
5. Diperlukan penegak hukum yang bersih, jujur, da berintegritas dalam
penyelesaian tindak pidana korupsi.

17
DAFTAR PUSTAKA

A. Karya Tulis Ilmiah


I. Skripsi
Temmy Hastian, Pelaksanaan Pembuktian Terbalik Sebagai Hak Terdakwa Dalam
Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Negeri Pontianak, 2014, Pontianak.
II. Makalah
Asep NanaMulyana, Beberapa Pokok Pemikiran Terhadap Penguatan Eksistensi
Kejaksaan Dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi, 2014,
Pontianak.
Slamet Rahardjo, Penguatan Eksistensi Kejaksaan Republik Indonesia Dalam
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, 2014, Pontianak.
Sy. Hasyim Azizurrahman, Kebijakan Penal Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Oleh Kejaksaan Republik Indonesia, 2014, Pontianak.
Temmy Hastian, Faktor-Faktor Penyebab Maraknya Kejahatan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia, 2014, Pontianak.

B. Internet
http://acch.kpk.go.id
http://daniputra.blog.uns.ac.id/pemiskinan-koruptor-it-just-a-wacana/
http://www.mashikam.com/2014/01/pemiskinan-terhadap-koruptor-adalah.html
http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/efektifkah-pemiskinan-koruptor/1319
http://gagasanhukum.wordpress.com/2010/11/25/pemiskinan-koruptor/
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52e9207269a3a/muladi-tolak-ide-
pemiskinan-koruptor

18

You might also like