You are on page 1of 22

KORELASI ANTARA FREKUENSI CYBERBULLYING DAN VARIABEL SOSIO-

DEMOGRAFIS TERHADAP
COLLECTIVE SELF-ESTEEM PARTISIPAN GERAKAN WOMEN’S MARCH
SURABAYA 2018

Zita Mugen Esthiningtyas*, Theresia Stefani Wijaya, Sefvi Claudia, Ari Hermawan,
Khanti Devi Candraputri, Jony Eko Yulianto, Theda Renanita
Fakultas Psikologi, Universitas Ciputra
UC Town, Citraland CBD, Surabaya, Indonesia 60219
E-mail* : zmugen@student.ciputra.ac.id

Abstract. Purpose The aim of this research is to know the correlationassociation


between the frequencies frequency of cyberbullying and socio-demographic variables
and self esteem among Women’s March Movement in Surabaya. Subject in The present
this research is involved 200 participants of 2018 Women’s March 2018’s participants in
Surabaya, ranging from the age of 19-30 years old amounted to 200 people(Mean Age =
...). This research is bivariate correlational research. This research useBeisde using
purposive sampling and Slovin’s formula to get determine a the sample size fromof the
population. , the authors also The data was collect usingperforming cyberbullying scale
and adult version of the coopersmith Coopersmith’s self esteem inventory. Data analysis
techniques in this research using inferensial statistic analysis. According to bivariate
correlational analysis,Having performed Spearman’s correlational analysis, the result
revealed that the frequencies of cyberbullying did not correlate with self esteem in
Women’s March Surabaya participants. However, level of education category was found
as correlational variablesignificantly associated with towards self esteem.

Keywords: Self-esteem, Ccyberbullying, Women March, Indonesia, Socio-Demographic


Variables Formatted: Indonesian

Abstrak. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui hubungan fenomena
frekuensi cyberbullying dengan self-esteem. Subjek penelitian adalah partisipan
Women’s March Surabaya 2018 yang dalam rentang usia 19-30 tahun berjumlah 200
orang. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional bivariate. Teknik pengambilan
sampel dilakukan dengan purposive sampling dan menggunakan rumus Slovin untuk
menentukan jumlah sampel yang akan diambil. Pengumpulan data penelitian dilakukan
dengan menggunakan skala cyberbullying dan Adult Version of The Coopersmith Self
Esteem Inventory. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis data statistik
inferensial. Berdasarkan analisis korelatisonal, frekuensi perundungan di dunia maya
tidak memiliki hubungan dengan nilai diri partisipan Women’s March Surabaya.
Ditemukan variabel sosio-demografis yaitu tingkat pendidikan terakhir yang memiliki
korelasi dengan variabel nilai diri.

Kata Kunci: nilai diri, perundungan di dunia maya


Commented [JEY1]: Mohon disesuaikan dengan koreksi versi
Bhs. Inggris di atas.
Pendahuluan

Dalam masyarakat yang bersifat heterogen, manusia membaur menjadi satu Formatted: Font: Bold, Font color: Red

kelompok yang dinamakan masyarakat. Perbedaan demografis, latar belakang, Commented [JEY2]: Hanya dewa yang mampu memahami arti
kalimat ini :P

kepribadian tiap individu turut mewarnai relasi dalam masyarakat sehingga relasi Formatted: Font: Bold, Font color: Red

tersebut tidak hanya terbatas pada individu yang mempunyai kepribadian, latar

belakang dan kondisi demografis yang sama dengan individu lainnya melainkan Formatted: Font: Bold, Font color: Red

semakin beragam dan kompleks. Perkembangan zaman yang semakin modern Commented [JEY3]: Nggak jelas.
Formatted: Font: Bold, Font color: Red
membuat masyarakat tidak dapat menolak maupun menghindari terjadinya

globalisasi. Dalam globalisasi, relasi antar individu dibutuhkan untuk menjalin Commented [JEY4]: Tidak jelas.

kerjasama antar individu. Di sisi lain, setiap individu dalam masyarakat membawa sifat,

watak, ciri khas, nilai, serta tujuan dan kepribadian yang berbeda antara individu satu

dengan yang lainnya sehingga tidak bisa menuntut menjadi sama antar individunya.

Keberagaman yang dimiliki setiap individu masyarakat dilindungi oleh hak asasi

manusia (HAM) sehingga pelanggaran kebebasan dan penghinaan terhadap harga diri

dalam menghidupi nilai yang dipegang oleh individu merupakan hal yang tidak boleh

dilakukan antar individu.

Harga diri (Self esteem) merupakan penilaian individu terhadap nilai,

keberhargaan, atau kepentingan dirinya (Patchin & Hinduja, 2010). Self esteem juga

menunjukkan sejauh mana individu meyakini dirinya sebagai seseorang yang mampu,

berarti, sukses, dan berharga (Pasaribu, 2011). Menurut Coopersmith (1967), self

esteem memiliki empat aspek dalam diri individu yaitu, kekuatan (power), keberartian
(significance), kebajikan (virtue), dan kemampuan (competence). Kekuatan menunjuk

pada kemampuan individu dalam mengatur dan mengontrol tingkah laku dan

mendapatkan pengakuan atas tingkah laku tersebut dari individu lainnya. Keberartian

merujuk kepada kepedulian, perhatian, afeksi, dan ekspresi cinta yang diterima individu

dari individu lain di mana ekspresi cinta tersebut menunjukkan adanya penerimaan dan

popularitas individu dari lingkungan sosial. Kebajikan berarti terdapat adanya suatu

ketaatan untuk mengikuti standar moral dan etika serta kepercayaan di mana individu

akan menjauhi tingkah laku yang harus dihindari serta melakukan tingkah laku yang

diperbolehkan oleh moral, etika, dan kepercayaannya. Kemampuan merupakan adanya

performansi yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mencapai prestasi di mana tingkat

dan tugas tersebut berdasarkan pada variasi usia individu.

(Tambahkan paragraf baru tentang apa pentingnya memiliki self-esteem yang sehat,

dan apa yang terjadi jika self-esteem tidak sehat). Formatted: Indonesian

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk menjalin relasi

dengan sekitarnya. Di era modern dengan teknologi yang semakin canggih, manusia

semakin dipermudah dalam menjalin komunikasi dan menjalin relasi antara yang satu

dengan yang lainnya seperti contohnya fasilitas seperti sosial media dan virtual reality.

Kemudahan akses tersebut memudahkan manusia dalam membentuk maupun

mempertahankan relasinya. Dalam menjalin relasi, individu dapat membentuk kelompok

atau komunitas yang memiliki kesamaan dengan dirinya yang melakukan kegiatan atau

aktivitas untuk mencapai tujuan bersama. Oleh sebab itu jika terdapat hal yang

mengancam atau mengganggu keseimbangan dalam maupun antar kelompok,

kelompok maupun komunitas tersebut akan berusaha untuk melindungi dan

mempertahankan kelompok yang dimilikinya. Kelompok atau komunitas merupakan


cermin jati diri dari setiap anggotanya maka di dalamnya juga terdapat suatu nilai

kelompok yang dinamakan harga diri kolektif atau collective self esteem.

Gracia (2008) mengemukakan bahwa collective self esteem merupakan gambaran Formatted: Indent: First line: 1 cm

perasaan berharga ketika individu tersebut berada di dalam kelompok dan menjadi

anggota kelompok. Collective self esteem merupakan suatu nilai keberadaan,

keberhargaan, dan kehormatan yang ada dalam suatu kelompok serta bersumber dari

anggota yang berada di dalam kelompok tersebut. Collective self esteem juga bagian

dari self concept sehingga dapat membuat individu mengidentifikasikan diri dengan

kelompoknya (Tajfel, 1982). Adanya collective self esteem dalam sebuah kelompok

maka setiap peristiwa yang terjadi pada kelompok dapat mempengaruhi sikap dan

tingkah laku individu di dalamnya. Crocker & Luhtanen (dalam Garcia & Sanchez, 2009)

menemukan bahwa perasaan berharga seseorang dipengaruhi oleh cara individu

tersebut memperoleh kesuksesan maupun kegagalan di dalam kelompok. Tingkat

frekuensi collective self esteem yang dimiliki oleh setiap individu dalam suatu kelompok

tururt menentukan respon individu tersebut terhadap kelompoknya. Terdapat tiga skala

collective self esteem menurut Luthanen & Crocker (1992) yaitu, (1) harga diri anggota

(member self esteem), indikator ini mengacu pada penilaian individu tentang perbuatan

baik dan layak dirinya sebagai anggota kelompok; (2) harga diri pribadi (private

collective self esteem) yang berkaitan dengan bagaimana individu menilai kelompoknya;

(3) harga diri publik (public collective self esteem), mengacu pada bagaimana non-

anggota kelompok (individu di luar kelompok) mengevaluasi dan menilai kelompoknya.

Menurut Madonna (2010), orang-orang yang memiliki collective self esteem yang tinggi

akan melindungi diri dan kelompok sosial mereka dari segala ancaman yang datang dari

luar kelompok, sebaliknya individu dengan collective self esteem yang rendah

cenderung mengabaikan nilai-nilai dan menonjolkan sifat-sifat negatif yang


bertentangan dengan kelompok sosial mereka. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

(Woods, Zuniga, & David, 2011) menemukan bahwa orang-orang asli Alaska yang

bangga terhadap budayanya dan saling terhubung memiliki harga diri kolektif yang lebih

tinggi, selain itu juga memiliki tekanan psikologis dan depresi yang lebih sedikit. Hal

tersebut memperlihatkan bahwa collective self esteem dalam kesatuan grup atau

kelompok memiliki hubungan dengan psychological well being seseorang dalam

kelompok tersebut.

Sesuai data statististik yang dilansir dari dari Katadata, di Indonesia sendiri pada Commented [JEY5]: Mengapa habis bicara collective self-
esteem tiba-tiba bicara platform social media? Dimana
keterkaitannya?
tahun 2016 media sosial yang sering digunakan adalah YouTube, Facebook, Instagram,

dan Twitter. Selain itu, pada tahun 2017 Indonesia dinobatkan sebagai Negara dengan

jumlah pengguna Facebook terbesar ketiga di dunia dan pada bulan Januari 2018

pengguna instagram aktif di Indonesia mencapai 53 juta pengguna aktif. Berdasarkan

hasil statistik tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang aktif

dalam menggunakan media sosial sebagai alat penunjang komunikasi mereka.

Perkembangan teknologi khususnya dalam bidang komunikasi membawa berbagai

macam dampak positif dan negatif dalam hidup bersama. Contoh dari dampak positif

yang ditawarkan adalah komunikasi menjadi lebih mudah dan fleksibel untuk dilakukan,

sementara contoh dampak negatif yang muncul adalah menimbulkan perilaku malas

berkomunikasi secara langsung, dapat meningkatkan penipuan dan perundungan di

dunia maya (cyberbullying). Cyberbullying adalah tindakan merendahkan harga diri

orang lain melalui dunia maya dan dilakukan secara sadar. Sedangkan menurut tokoh

lain, cyberbullying adalah perilaku agresif yang berulang kali dan sengaja dilakukan

terhadap korban yang tidak berdaya dengan menggunakan kontak elektronik (Smith et

al., 2008). Cyberbullying memiliki dampak negatif karena hal tersebut akan

mempengaruhi emosi dan perilaku orang tersebut dikemudian. Penelitian yang


dilakukan oleh Patchin dan Hinduja menunjukkan bahwa manusia yang mengalami

cyberbullying, baik sebagai korban dan pelaku, memiliki harga diri yang jauh lebih

rendah daripada mereka yang memiliki sedikit atau tidak memiliki pengalaman dengan

cyberbullying. Ada berbagai macam bentuk cyberbullying di media sosial diantaranya

adalah flaming yaitu pertengkaran online dengan menggunakan pesan elektronik yang

berisikan kata-kata kasar dan vulgar; harassment yaitu berulang kali mengirimkan pesan

mesum, kasar, dan menghina; denigration yaitu mengirim atau memposting gosip atau

rumor mengenai seseorang guna merusak reputasi atau pertemanan orang tersebut;

impersonation yaitu berpura-pura menjadi orang lain dan mengirim atau mem- posting

materi agar orang tersebut mendapatkan masalah atau bahaya atau untuk merusak

reputasi dan pertemanan orang tersebut; outing yaitu menyebarkan rahasia atau

informasi memalukan dari seseorang secara online; trickery yaitu membujuk seseorang

untuk menceritakan rahasia atau informasi memalukan yang dia miliki lalu menyebarkan

rahasia atau informasi tersebut secara online; exclusion yaitu dengan sengaja

mengeluarkan seseorang dari grup online secara kasar; dan cyberstalking yaitu

berulang kali mengirimkan konten pelecehan dan fitnah secara intens kepada

seseorang yang menyebabkan orang tersebut merasa terancam dan menciptakan rasa

takut yang signifikan (Willard, 2007). Melalui media sosial manusia mampu membangun

jaringan seluas-luasnya dengan orang lain tanpa adanya hambatan lagi, bahkan mereka

mampu untuk membuat lebih dari satu akun untuk digunakan, oleh sebab itulah akun di

media sosial merupakan akun yang bersifat anonymous. Siapapun mampu melakukan

aktivitas apa saja di media sosial karena mereka tidak saling mengetahui satu sama lain

dan mereka dapat membuat identitas baru seperti yang mereka inginkan. Patchin &

Hinduja (2007) menjelaskan bahwa adanya anggapan tentang anonimitas, perasaan

aman dan terlindungi ketika berada di belakang layar komputer, membantu


membebaskan individu dari pemaksaan tekanan oleh masyarakat, suara hati nurani,

moralitas, dan etika untuk berperilaku dalam kebiasaan normatif secara tradisional. Oleh

karena itu perilaku cyberbullying dapat dengan mudah dilakukan di media sosial.

Cyberbullying memiliki efek yang negatif bagi orang lain, yaitu dapat merusak emosional

dan psikis korban (Hinduja, & Patchin, 2010). Salah satu contoh dari cyberbullying yang

terjadi pada bulan Maret 2018 di Indonesia adalah cyberbullying mengenai kegiatan dan

partisipan dari Women’s March Surabaya 2018.

Women’s March Surabaya 2018 merupakan suatu gerakan sosial bersama yang

dilakukan secara terorganisir demi mencapai perubahan bersama, serta gerakan ini

memiliki visi dan misi yang sama antar satu sama lain meskipun diikuti oleh berbagai

macam partisipan dengan latar belakang yang berbeda-beda. Women’s March

Surabaya 2018 dilaksanakan oleh kaum perempuan dan kaum minoritas (termasuk

diantaranya kaum sexual minority dan difabel) untuk menyuarakan hak mereka sebagai

warga negara, dan kepedulian untuk menghapus tindak kekerasan yang selama ini

mereka alami.

Gerakan sosialsocial, seperti Women’s March Surabaya 2018, merupakan salah

satu bentuk utama perilaku kolektif (Sztompka, 2010). Gerakan sosial, menurut Tarrow

dalam bukunya Social Movements and Contentious Politics (1998) adalah tantangan

kolektif yang dilakukan sekelompok orang yang mempunyai tujuan dan solidaritas yang

serupa, dalam konteks interaksi konfrontatif melawan kelompok elit, lawan, dan

penguasa. Lauer (1976) dan Dobson (2001), mengemukakan bahwa gerakan sosial

adalah upaya kolektif untuk mengendalikan perubahan atau untuk mengubah arah

perubahan. Terdapat sebuah proses tahapan dalam suatu gerakan sosial menurut

Siahaan (2000) yaitu tahap pertama adalah ketidaktentraman (keresahan),

ketidakpastian, dan ketidakpuasan, yang semakin meningkat; tahap kedua yaitu


perangsangan, yakni ketika perasaan ketidakpuasan sudah semakin memuncak.

Penyebabnya sudah diidentifikasi, dan ada ajakan, serta petunjuk-petunjuk dari

kalangan tokoh sebagai pembangkit semangat emosi massa; tahap ketiga yaitu

formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para

pendukung telah ditempa, dan taktik telah dimatangkan; tahap yang keempat ialah

institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari pemimpin terdahulu,

birokrasi telah diperkuat, dan ideologi, serta rencana telah diwujudkan. Tahap ini

seringkali merupakan akhir dari kegiatan aktif gerakan sosial; dan tahap kelima yaitu

pembubaran (disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi atau justru

mengalami pembubaran. Hasil penelitian Orum (Matulessy, 1997) juga menunjukkan

collective self esteem merupakan salah satu dari tujuh variabel yang berkaitan dengan

munculnya partisipasi dalam gerakan sosial.

Dalam Women’s March Surabaya 2018, partisipan gerakan sosial menghimbau

supaya pemerintah menghapuskan RKUHP, yang dinilai partisipan sebagai undang-

undang yang dapat mendiskriminasikan korban pelecehan seksual, minoritas, dan

membuat kerugian terhadap kaum perempuan. Gerakan Women’s March Surabaya

2018 menginginkan adanya suatu perubahan toleransi yang lebih nyata dalam

kehidupan serta mendorong supaya pemerintah dan masyarakat untuk dapat lebih

peduli terhadap keberadaan mereka. Namun, pada kenyataannya berdasarkan

pengamatan yang dilakukan oleh tim peneliti, melihat bahwa ada banyak feedback

negatif yang ada di sosial media terhadap gerakan sosial Women’s March Surabaya

2018. Banyak masyarakat yang masih menilai negatif gerakan sosial ini seperti gerakan

yang memberikan paham menyesatkan dalam kehidupan, gerakan yang menentang

nilai dan norma yang ada dalam masyarakat, gerakan menyimpang dari ajaran agama,

dan lain sebagainya. Feedback negatif yang ada dalam sosial media secara terang-
terangan melakukan penolakan terhadap gerakan ini serta terhadap keberadaan

partisipan. Feedback negatif yang ada pada sosial media tersebut berujung pada

perundungan dalam dunia maya atau dikenal dengan istilah cyberbullying. Penolakan

sosial terjadi ketika seorang individu sengaja dikeluarkan dari hubungan sosial atau

interaksi sosial (Fitri Andriani, 1993). Penolakan sosial terjadi ketika keberadaan

seseorang tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya karena adanya perbedaan

keyakinan, visi dan misi, pandangan hidup, orientasi seksual, SARA, dan sebagainya.

Cyberbullying tidak dapat dihindari dalam media sosial, para partisipan yang

telah mengikuti aksi tersebut mendapat berbagai macam respon negatif dari masyarakat

seperti ejekan, kecaman, dan cemoohan. Para netizen banyak yang memberikan

feedback negatif dari aksi tersebut, bahkan beberapa partisipan yang merupakan kaum

minoritas mendapatkan pesan khusus pribadi yang berisi tulisan yang bersifat

merendahkan dari para netizen yang tidak menyukai aksi dan kehadiran mereka. Aksi

bertujuan baik yang dilakukan para kaum perempuan dan kaum minoritas justru

menimbulkan kejahatan cyberbullying, padahal sebenarnya mereka hanya berkeinginan

untuk pemerintah dan masyarakat lebih peduli dan tidak memdeskriminasikan kehadiran

mereka. Ketika seorang individu mendapat penolakan sosial dalam lingkungannya maka

akan menimbulkan adalanya rejection sensitivity. Rejection sensitivity disebut Fiske dan

Taylor (2014) sebagai peningkatan kewaspadaan dan pendeteksian berbagai ciri yang

menandai penolakan sosial, disertai dengan respon defensif individu yang merasa

tertolak. Rejection sensitivity yang dialami individu dapat mengarah kepada kecemasan

dan penurunan kesejahteraan (Page-Gould, et al., 2010; Fiske & Taylor, 2014),

kesulitan menyesuaikan diri (Mendoza-Denton et al., 2002), penurunan fungsi

interpersonal (Downey & Feldman, 1996), rendahnya integrasi dengan lingkungan Formatted: Highlight
baru (Ozyurt, 2009), hingga memburuknya sikap terhadap institusi tempat individu

berada (Mendoza-Denton & Page-Gould, 2008). Formatted: Highlight

Secara teoritis, Terdapat terdapat beberapa faktor yang memiliki hubungan

dengan kualitas nilai diri pada seseorang, yaitu (1) Jenis kelamin, (2) Usia, dan (3)

Pendidikan terakhir. Berdasarkan faktor jenis kelamin, individu yang berjenis kelamin

perempuan cenderung memiliki nilai diri yang rendah daripada laki-laki dikarenakan

adanya faktor budaya masyarakat yang berperan dalam pembentukan nilai diri pada

individu, budaya masyarakat Indonesia masih memiliki stereotipe yang berkaitan

dengan jenis kelamin individu yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih memiliki

kelonggaran dalam mengekspresikan segala keinginannya sedangkan perempuan

memiliki beberapa keterbatasan dalam mengekspresikan keinginannya (Dwi, 2005).

Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola bertingkah

laku dan pola pengambilan keputusan (Noto Atmodjo, 2000). Jatman (2000)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan pemahaman

terhadap stimulus. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seseorang maka orang tersebut memiliki tingkat intelektual yang berbeda

dengan orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah darinya. Pendidikan turut

menentukan dan mempengaruhi sikap, cara berpikir, pandangan, dan cara seseorang

dalam mengatasi masalah. Selain pendidikan, usia juga mempengaruhi kualitas

kedewasaan dan tingkat harga diri seseorang. Menurut Noto Atmodjo (2013) semakin

tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik.

Usia melambangkan kedewasaan seseorang dimana semakin bertambahnya usia maka

semakin matang manusia dalam berfikir dan melakukan aktivitas (Sarjani, 2014). Usia

dinilai dapat menjadi tolak ukur seseorang dalam berpikir dan bertingkah laku, selain itu
usia juga mempengaruhi tingkat kedewasaan dan cara pengambilan keputusan

seseorang.

Berangkat dari fenomena tersebut, peneliti menduga bahwa kejadian

perundungan di dunia maya yang menimpa partisipan Women’s March Surabaya 2018

ini memiliki hubungan dengan collective self esteem dan variabel socio-demografis yang

dimiliki partisipan itu sendiri. Penelitian ini dilakukan untuk melihat, seberapa dekat

hubungan antara cyberbullying dan collective self esteem pada partisipan Women’s

March Surabaya 2018 yang mendapatkan perlakuan perundungan di dunia maya.

Penelitian ini dapat memiliki manfaat sebagai bahan acuan mengenai perundungan di

dunia maya dengan crowd psychology, dikarenakan hingga saat ini penelitian mengenai

cyberbullying secara general banyak yang hanya meneliti mengenai perundungan di

dunia maya dengan nilai diri pada anak-anak, remaja, dan orang bekerja saja.

Penelitian mengenai cyberbullying dengan partisipan demonstran seperti Women’s

March Surabaya 2018 masih sangat jarang. Tidak hanya itu, penelitian ini juga dapat

dijadikan pedoman serta pertimbangan bagi pelaksana Women’s March Surabaya serta

sebagai bahan intelektual yang dimiliki sehingga untuk ke depannya dapat menciptakan

kegiatan yang lebih baik lagi dan dapat menciptakan strategi guna jika menghadapi

perundungan di dunia maya lagi di masa depan. Bagi masyarakat awam, penelitian ini

dapat digunakan sebagai sarana penyampaian informasi mengenai fenomena Women’s

March yang marak diperbincangkan oleh umum.

Metode Penelitian

Subjek Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang

dilakukan dengan subjek penelitian partisipan Women’s March Surabaya 2018 yang

berjumlah 200 partisipan. Dalam hal pengambilan sampelnya, peneliti menggunakan


teknik non probability sampling yakni purposive sampling. Peneliti menggunakan kriteria

yang sudah dipilih berdasarkan tujuan penelitian dari peneliti itu sendiri (Satori, 2007).

Kriteria sampel pada penelitian ini adalah: (1) Ppartisipan dari Women’s March

Surabaya 2018; (2) Bberusia 18 tahun hingga 30 tahun; (3) Laki-laki atau perempuan,

dan (4) Ppernah memiliki pengalaman cyberbullying dalam tiga bulan terakhir terhitung

sejak 4 Maret 2018. Jumlah responden yang mengisi alat ukur penelitian ini adalah 133 Commented [JEY6]: Tambahkan informasi bagaimana cara
peneliti mengakses para peserta women march ini.

orang.

Alat Ukur. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua alat ukur yaitu Formatted: Font: Bold

Coopersmith Self Esteem Inventory (CSEI) dan Cyberbullying Scale sebagai data

kuantitatif pada penelitian ini. CSEI yang digunakan pada penelitian ini adalah Adult

Version of The Coopersmith Self Esteem Inventory yang dimodifikasi oleh Ryden (1978)

agar dapat digunakan untuk remaja dan dewasa. CSEI: Adult Version terdiri dari 58

aitem pernyataan dengan pilihan jawaban, “Sesuai” dan “Tidak Sesuai” dengan kondisi

yang dimiliki oleh partisipan. Contoh aitem pada CSEI diantaranya adalah “Seseorang

selalu memberitahu saya apa yang harus saya lakukan”, “Saya sering merasa bersalah

untuk hal-hal yang pernah saya lakukan”, “Saya bisa memutuskan sesuatu dan

bertahan dengan keputusan itu” dan sebagainya. Cyberbullying scale yang digunakan

dalam penelitian ini berdasar pada skala bullying milik Fox & Farrow (2008). Dalam

pengukurannya Fox & Farrow (2008) mengembangkan skala bullying yang terdiri

dengan 15 aitem di mana lima belas aitem tersebut mengukur verbal bullying, physical

bullying, dan social bullying. Partisipan akan diberikan pertanyaan mengenai tipe

bullying dan frekuensi mendapatkan pengalaman bullying. Aitem yang diberikan akan

menunjukkan situasi konkrit,seperti pada contohnya, “Dikeluarkan dari kelompok karena

suatu alasan” dan partisipan akan meresponnya dengan pilihan, “1= tidak pernah”, “2=
kadang-kadang”, “3= satu hingga tiga kali dalam sebulan”, “4= sekali seminggu”, dan

“5= beberapa kali dalam seminggu”.

Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur. Tes validitas konstruk terhadap kedua

skala telah dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan uji analisis faktor untuk

mengetahui faktor loading masing-masing aitem pada skala. Berdasarkan hasil analisis

faktor, skala CSEI didapatkan empat aitem berada kurang dari faktor loading 0.30

sedangkan cyberbullying scale semua aitem berada di atas faktor loading 0.30.

Collective self esteem merupakan faktor yang memiliki 19 faktor, sedangkan untuk

variabel cyberbullying memiliki tiga faktor.

Berikut ini merupakan tabel rekapitulasi faktor loading dari seluruh aitem pada

masing-masing skala.

Tabel 1. Faktor Loading Coopersmith Self Esteem Inventory Commented [JEY7]: Tidak usah dibentuk tabel karena terlalu
panjang. Pilih skor paling kecil

Aitem Faktor Loading


1 0.320
2 0.606
3 0.534
4 0.472
5 0.485
6 0.427
7 0.513
8 0.416
9 0.511
10 0.593
11 0.414
12 0.342
13 0.365
14 0.496
15 0.271
16 0.575
17 0.437
18 0.474
19 0.541
20 0.250
21 0.352
22 0.494
23 0.375
24 0.378
25 0.369
26 0.376
27 0.270
28 0.450
29 0.467
30 0.530
31 0.492
32 0.375
33 0.432
34 0.379
35 0.344
36 0.351
37 0.440
38 0.675
39 0.451
40 0.572
41 0.366
42 0.465
43 0.395
44 0.631
45 0.347
46 0.432
47 0.494
48 0.351
49 0.339
50 0.167
51 0.625
52 0.365
53 0.517
54 0.463
55 0.354
56 0.627
57 0.391
58 0.339

Tabel 2. Faktor Loading cyberbullying scale

Aitem Faktor Loading


1 0.609
2 0.606
3 0.870
4 0.673
5 0.711
6 0.567
7 0.634
8 0.686
9 0.523
10 0.667
11 0.805
12 0.623
13 0.777
14 0.762
15 0.833
Peneliti telah melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kedua skala

tersebut. Pada skala CSEI menunjukkan Cronbach Alpha’s 0.906 serta pada skala

cyberbullying menunjukkan Cronbach Alpha’s 0.853 di mana dapat dikatakan bahwa

kedua alat ukur dalam realibilitasnya ini baik dikarenakan lebih dari 0,80 (Sekaran,

2006). Peneliti menggunakan jenis analisis data kuantitatif bivariate, teknik analisis data

statistik inferensial, dan uji korelasi. Jenis analisis bivariate digunakan untuk melihat

hubungan antara kedua variabel yakni variabel dependen dan variabel independen.

Statistik inferensial adalah statistik yang menyediakan aturan atau cara yang dapat

digunakan sebagai alat dalam rangka mencoba menarik kesimpulan yang bersifat

umum dari data yang telah disusun dan diolah (Subana, 2000). Dikarenakan statistik

inferensial berfungsi untuk menggeneralisasikan secara lebih luas dalam suatu wilayah

populasi. Commented [JEY8]: This should come earlier di tipe penelitian.

Tabel 3 Analisis Deskriptif Sampel Penelitian


Aspek Demografis N %
Jenis Kelamin
Laki-laki 30 22.1%
Perempuan 106 77.9%
Usia
18 - 21 Tahun 88 64.7%
22 – 25 Tahun 35 25.7%
26 – 29 Tahun 12 8.8%
30 Tahun 1 7%
Pendidikan Terakhir
SMP 5 3.7%
SMA 91 66.9%
Perguruan Tinggi 40 29.4%
Sosial Media yang
Sering Digunakan
Facebook 14 10.3%
Twitter 15 11%
Instagram 67 49.3%
Line / WA 36 26.5%
YouTube 4 2.9%
Frekuensi
Penggunaan Sosial
Media dalam
Seminggu
1 – 3 Hari 4 2.9%
4 – 6 Hari 4 2.9%
Setiap Hari 128 94.1%

Hasil

Berdasarkan rumus Slovin, jumlah minimum partisipan yang dapat digunakan

untuk digeneralisasikan dalam penelitian ini adalah 133 partisipan. Artinya, sampel

dalam penelitian ini telah representatif. Namun, penelitian ini diikuti oleh 136 partisipan

Women’s March Surabaya 2018, dengan komposisi 30 orang laki-laki dan 106 orang

perempuan dalam rentang usia 18-30 tahun. Sebagian besar responden memiliki

pendidikan terakhir SMA (66,9%), frekuensi penggunaan sosial media setiap hari

(94,1%), dan sosial media yang sering digunakan adalah instagram (49,3%). Formatted: Indonesian

Peneliti melakukan uji asumsi terlebih dahulu yakni uji normalitas pada kedua

variabel penelitian. Uji Kolmogorov-Smirnov pada kedua variabel menunjukkan bahwa

sampel pada penelitian ini berdistribusi normal. Nilai signifikansi pada variabel collective

self esteem adalah 0,207 dan nilai signifikansi pada variabel cyberbullying adalah 0,112

dan dalam hal ini kedua variabel menunjukkan angka di atas 0,05 maka dapat

diasumsikan bahwa persebaran data pada sampel penelitian ini adalah normal.

Hasil uji korelasi menggunakan teknik analisis correlate dengan Pearson

menunjukkan p=0,246 (p<0,05). Maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis kerja pada

penelitian ini ditolak. Temuan penelitian ini justru menunjukkan tidak ada hubungan

antara nilai diri (self esteem) dengan frekuensi perundungan di dunia maya

(cyberbullying).

Namun, peneliti menemukan bahwa yang sebenarnya memiliki hubungan

dengan self esteem partisipan Women’s March Surabaya bukan frekuensi perundungan

di dunia maya yang menimpa partisipan tersebut melainkan tingkat pendidikan terakhir
partisipan Women’s March Surabaya 2018 memiliki hubungan dengan harga diri

partisipan Women March Surabaya 2018.. Formatted: Indonesian

Pada ujiUji korelasi dengan menggunakan Pearson correlation menunjukkan

bahwa pendidikan terakhir merupakan satu-satunya variabel sosio-demografis yang

menunjukkan korelasi dengan self esteem dengan menunjukkan nilai signifikansi

p=0,033 (p<0,05). sedangkan Sedangkan nilai signifikansi pada variabel sosio

demograsidemografi lainnya tidak berkorelasi dengan harga diri;. Detailnya adalah

sebagai berikut: (1) Jenis kelamin (0,860 (p<0,05)), (2) Usia (0,834(p<0,05)) dan (3) Formatted: Highlight
Formatted: Highlight
Sosial media yang sering digunakan (0,133 (p<0,05)). Dalam hal ini, dapat disimpulkan Commented [JEY9]: Ini kan yang kuning harusnya pakai tanda >
dan bukan <.

bahwa ketiga variabel sosio-demografis selain variabel pendidikan terakhir tidak Formatted: Highlight

memiliki korelasi dengan nilai diri atau self esteem.

Uji korelasi pada variabel tingkat pendidikan juga menunjukkan bahwa tingkat

pendidikan juga berkorelasi negatif dengan frekuensi cyberbullying dengan nilai

koefisien korelasi r=-0,036 maka berdasarkan hasil temuan penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa pendidikan terakhir memiliki korelasi dengan frekuensi cyberbullying

dan semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir partisipan Women’s March Surabaya

maka semakin rendah frekuensi cyberbullying yang didapatkan oleh partisipan.

Temuan penelitian ini didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa tingkat

pendidikan memiliki korelasi dengan self esteem tetapi tingkat pendidikan sebagai

status sosial ekonomi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap self esteem

(Tweenge & Campbell, 2002).

Di Indonesia, seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dipandang Formatted: Indent: First line: 1 cm

sebagai individu yang disegani dan lebih dihargai oleh masyarakat. Seorang individu

yang mendapatkan kerberhargaan dari orang lain akan menganggap bahwa dirinya
merupakan seorang yang berarti bagi orang lain dan dapat diterima oleh lingkungan

sosialnya (Coopersmith, 1967).

Namun, pada kenyataannya, berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa mayoritas partisipan Women’s March merupakan individu memiliki

tingkat pendidikan tinggi. Partisipan tetap mengikuti kegiatan tersebut meskipun

mengetahui bahwa gerakan sosial yang diikutinya memiliki risiko untuk terstigma oleh

masyarakat bahwa gerakan sosial tersebut merupakan gerakan yang menyimpang dari

nilai dan norma masyarakat. Masyarakat yang telah menerima stigma cenderung

melakukan evaluasi internal dan dapat membentuk self image yang tidak diinginkan

yang dapat membuat rendahnya tingkat self esteem pada individu (Smith, 1985).

Hubungan yang terjalin antara variabel sosio-demografis pendidikan terakhir

dengan self esteem tergolong pada kategori yang cukup (Sarwono, 2006). Dengan

ditunjukkan nilai koefisien korelasi (r) antara pendidikan terakhir dengan self esteem

sebesar 0,183* dan hubungan yang cukup ini menandakan bahwa masih terdapat faktor

lain yang terlibat dalam self esteem seseorang. Salah satu faktor yang perlu

diperhatikan adalah coping dalam menghadapi permasalahan atau stigma. Berdasarkan

Folkman dan Lazarus (1985), secara umum coping dibedakan menjadi dua kategori; (1)

Problem focus coping dan (2) Emotional focus coping.

Penemuan Folkman dan Lazarus (1985) menyimpulkan bahwa individu dengan

tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung menggunakan problem focus coping

dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi. Menaghan (1984) menyatakan individu

dengan tingkat pendidikan yang semakin tinggi akan semakin tinggi pula kompleksitas

kognitifnya, demikian pula sebaliknya. Hal tersebut memiliki pengaruh besar terhadap

sikap, cara berpikir, dan tingkah laku individu yang selanjutnya berpengaruh terhadap

strategi coping yang dimilikinya. Pramadi dan Laksomono (2003) juga menjelaskan
bahwa individu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi, memiliki pola pikir berani untuk

mengambil sikap dalam mengatasi suatu permasalahan dan tidak menunda

penyelesaian permasalahan tersebut dikarenakan penundaan tersebut justru akan

menambah beban pikiran individu dalam menyelesaikan permasalahannya. Temuan

penelitian ini mempertegas penelitian yang dilakukan oleh Steele (1998), individu yang

mendapatkan stigma dapat mengatasi serangan atau permasalahan dan

mempertahankan nilai diri yang positif.

(Tambahkan 3 sampai 4 paragraf yang berisi argumentasi mengapa tingkat pendidikan

dapat membuat memproteksi seseorang dari cyberbullying. Kaitkan dengan:

1. Kemampuan kognisi dalam memilih teman (peers) di media sosial. Formatted: List Paragraph, Numbered + Level: 1 +
Numbering Style: 1, 2, 3, … + Start at: 1 + Alignment: Left +
Aligned at: 0.63 cm + Indent at: 1.27 cm
2. Kemampuan dalam menjawab setiap resistensi masyarakat.

3. Kecenderungan orang yang memiliki pendidikan tinggi untuk memiliki lingkar

sosial yang setara levelnya.

4. Kecenderungan orang yang memiliki pendidikan tinggi untuk lebih dapat berpikir

rasional.

5. Dll. Formatted: Indonesian


Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan diskusi di atas maka dapat disimpulkan bahwa

tidak terdapat hubungan antara frekuensi cyberbullying dengan nilai diri partisipan

Women’s March Surabaya 2018 tetapi justru yang memiliki hubungan dengan self

esteem adalah variabel sosio-demografis pendidikan terakhir partisipan Women’s March

Surabaya 2018 dan variabel sosio-demografis pendidikan terakhir memiliki korelasi

negatif dengan frekuensi cyberbullying di mana semakin tinggi tingkat pendidikan

terakhir partisipan Women’s March Surabaya maka semakin rendah frekuensi

perundungan di dunia maya yang didapatkan oleh partisipan. Meskipun partisipan

Women’s March mendapatkan stigma negatif dari masyarakat dikarenakan dianggap

melawan nilai dan norma dalam masyarakat tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi nilai

diri pada partisipan. Partisipan dengan mayoritas pendidikan tinggi dalam Women’s

March Surabaya 2018 memiliki strategi coping sehingga partisipan Women’s March

yang mendapatkan stigma negatif dalam bentuk perundungan di dunia maya dapat

mengatasi serangan atau permasalahan dan mempertahankan nilai diri yang positif

pada dirinya.

Keterbatasan dan Saran

Keterbatasan peneliti dalam penelitian ini adalah peneliti tidak mengontrol

bentuk konten cyberbullying yang seperti apa, peneliti hanya berpatok pada frekuensi

cyberbullying sehingga dalam penelitian selanjutnya bentuk konten cyberbullying dapat

dipertimbangkan sebagai acuan dalam penelitian. Kemudian, terjadi timpang pada


identitas subjek penelitian sehingga penelitian ini hanya didominasi oleh perempuan

yang memiliki tingkat pendidikan terakhir SMA. Penelitian selanjutnya dapat mengontrol

jumlah keseimbangan responden di setiap variabel sosio-demografisnya sehingga dapat

diperoleh analisis tambahan yang bervariatif dan kaya akan informasi.

Daftar Pustaka Commented [JEY10]: Daftar Pustaka dilengkapi. Banyak


literatur dalam naskah yang tidak ada di daftar ini.
Afriyeni, N. (2017). Perundungan Maya (Cyber Bullying) Pada Remaja Awal. Jurnal
Psikologi Insight, 1(1), 25-39.
Afsari, F. (2012). Penerimaan Sosial Teman Sebaya Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus Di Sekolah Inklusi Smp Negeri 29 Surabaya (Doctoral dissertation, UIN
Sunan Ampel Surabaya).
Anwarsyah, F. (2017). Pengaruh Loneliness, Self-Control, dan Self Esteem Terhadap
Perilaku Cyberbullying pada Mahasiswa.
Çetin, B., Yaman, E., & Peker, A. (2011). Cyber Victim and Bullying Scale: A Study Of
Validity and Reliability. Computers & Education, 57(4), 2261-2271.
Del Rey, R., Casas, J. A., Ortega-Ruiz, R., Schultze-Krumbholz, A., Scheithauer, H.,
Smith, P., ... & Guarini, A. (2015). Structural Validation and Cross-Cultural
Robustness of The European Cyberbullying Intervention Project Questionnaire.
Computers in Human Behavior, 50, 141-147.
Gonzales, R. H. (2014). Social Media as a Channel and its Implications on Cyber
Bullying.
Hapsari, D. R. (2018). Peran Jaringan Komunikasi Dalam Gerakan Sosial Untuk
pelestarian Lingkungan Hidup. Jurnal Komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia, 1(1), 25-36.
Irmayanti, N. (2017). Pola Asuh Otoriter, Self Esteem dan Perilaku Bullying. Jurnal
Penelitian Psikologi, 7(1), 20-35.
Kamaruddin, S. A. (2012). Pemberontakan petani UNRA 1943 (Studi kasus mengenai
gerakan sosial di Sulawesi Selatan pada masa pendudukan Jepang). Hubs-Asia,
9(2).
Kinanti, D. R., & Hartati, N. (2017). The Effects of Self Esteem, Social Support, and
Religious Orientation Toward Cyberbullying Intention on Adolescents At Senior High
School.
Kowalski, R. M., & Limber, S. P. (2013). Psychological, Physical, and Academic
Correlates of Cyberbullying And Traditional Bullying. Journal of Adolescent Health,
53(1), S13-S20.
Lazarus, R. S. (1966). Psychological stress and the coping process.
Notar, C. E., Padgett, S., & Roden, J. (2013). Cyberbullying: Resources for Intervention
and Prevention. Universal Journal of Educational Research, 1(3), 133-145.
Pasaribu, A. C. R. (2011). Hubungan antara Self Esteem dan Adversity Intelligence
(Suatu Studi Pada Mahasiswa Universitas Hkbp Nommensen Medan). Jurnal Visi,
19(1), 399-416.
Patchin, J. W., & Hinduja, S. (2010). Cyberbullying and Self-Esteem. Journal of School
Health, 80(12), 614-624.
Poole, S. P. (2017). The Experience of Victimization as the Result of Cyberbullying
Among College Students: A study of Demographics, Self-Esteem, and Locus of
Control.
Slonje, R., & Smith, P. K. (2008). Cyberbullying: Another Main Type of Bullying?.
Scandinavian Journal of Psychology, 49(2), 147-154.

You might also like