You are on page 1of 14

KRITIK SASTRA FEMINIS DAN INTERTEKSTUALITAS DALAM KISAH

LAYLÂ MAJNÛN DAN ROMEO JULIET

Hanik Mahliatussikah
Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, UM
hanik.mahliatussikah.fs@um.ac.id

Abstract: This material is chosen due to some factors; popular, interesting, and
problematic. The intended goal is to reveal the roles, functions, and positions of Arab
and Western women in the kisahs Laylâ Majnûn and Romeo and Juliet; to portrait the
mental and spiritual characters, and the behaviors, expressed by Arab and Western
women in both works; and to reveal the intertextual relation of both works. It is
descriptive qualitative research and done through the process of the coding, the
classification, the analysis, and the interpretation of the data. The role dominations,
functions, and positions, of Arab and western women are in the scope of family
environment. In both stories, women have good mental and spiritual characteristics. The
woman in Romeo and Juliet is imaged to be more aggressive than the woman in Laylâ
Majnûn. There is an intertextual relations in the ideas of both works. Considering the
superiority of the story of Laylâ Majnûn which has exceeded the eastern society and its
prior existence compared to Romeo and Juliet, the story of Laylâ Majnûn can become
the hypogram. The transformations done by Shakespeare in the story of Romeo and
Juliet are not only in the title, theme, and characters, but also the plot of the story. The
transformation of the monumental story of Romeo and Juliet shows that Shakepeare has
the creativity in arranging stories and sentences that the story of Romeo and Juliet
appears to be a new masterpeace which is not a borrowing from the story of Laylâ
Majnûn.

keywords: the image of woman, laylâ majnûn, romeo juliet, feminist literary criticsm,
intertekstuality

Pendahuluan
Persoalan yang paling mendasar dalam kajian feminis bukanlah persoalan
biologis, tetapi lebih berfokus pada persoalan laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi secara budaya (Ratna, 2004:194). Perbedaan laki-laki dan perempuan yang
dikonstruksi oleh budaya tersebut tampak pula pada bahasa (Coates, 1993: 12). Laki-
laki memiliki pengaruh yang kuat dalam pemakaian bahasa.
Di samping bahasa, konstruksi dalam lingkungan keluarga dan masyarakat yang
lebih mengutamakan laki-laki juga berpengaruh terhadap aspek psikologis yang
termanifestasikan dalam perilaku sehari-hari, baik oleh laki-laki maupun perempuan.
Dalam masyarakat Indonesia, perempuan itu “dilindungi”. Istilah itu, di satu sisi
menempatkan perempuan pada posisi yang tinggi, tetapi di sisi lain tersirat adanya
anggapan ketidakberdayaan perempuan sehingga perlu mendapatkan perlindungan.
Konstruksi sosial dunia patriarkhi yang panjang akhirnya melahirkan citra perempuan
yang kurang baik; perempuan itu lemah, emosional, otaknya kurang, kodratnya di
rumah, di dapur, di sumur, di kasur, dan begitu seterusnya.
Banyak masyarakat yang salah dalam memahami kodrat perempuan. Perempuan
yang melakukan aktivitas publik dan meninggalkan urusan domestik dianggap
menyalahi kodrat. Pada hal, suatu kegiatan dinamakan kodrat perempuan, jika kegiatan
tersebut tidak dapat digantikan oleh laki-laki, misalnya melahirkan, menyusui,
menstruasi, dan lain-lain. Dengan demikian, pekerjaan rumah tangga, mengurusi anak,
dan memasak bukanlah dinamakan kodrat perempuan sebagaimana yang dipahami oleh
mayoritas masyarakat karena pekerjaan tersebut dapat pula dilakukan oleh laki-laki.

501
Karya sastra merupakan cerminan masyarakat. Karena itu, citra perempuan
dalam karya sastra pun mewakili perempuan dalam masyarakat yang menjadi latar
belakang waktu dan tempat terciptanya karya tersebut. Dalam pandangan sosiologi
sastra, karya sastra merupakan interaksi pengarang dengan masyarakat (Ratna, 2003:
13). Citra perempuan Arab dalam kurun waktu tertentu dapat dilihat melalui karya
sastra yang lahir pada saat itu. Tokoh Laylâ dalam kisah “Laylâ Majnûn”
menggambarkan perempuan muda yang mewakili masyarakat Arab )Makkah) abad ke-
7. Begitu juga dengan tokoh Juliet, menggambarkan perempuan muda yang mewakili
masyarakat Barat pada abad ke-16.
Berdasarkan strukturnya, kisah “Romeo Juliet” karya William Shakespeare yang
muncul pada akhir abad ke-16 diasumsikan memiliki hubungan intertekstual dengan
kisah “Laylâ Majnûn” yang muncul lebih dahulu (Gisymar, 2004:xii). Kisah Laylâ
Majnûn merupakan kisah rakyat Arab pada abad 7. Pada abad 12, Syekh Nizami
menuliskannya dalam bentuk puisi berbahasa Persia (http//:www. Kompas.com).
Karena asumsi itulah, maka dalam penelitian ini, kedua karya monumental tersebut
disandingkan.
Kisah “Romeo Juliet” dan kisah “Laylâ Majnûn” dipilih menjadi objek material
dalam penelitian ini tidak terlepas dari keunggulannya. Dikatakan unggul karena kedua
karya ini populer. Kisah tragis Romeo Montague dan Juliet Capulet telah berusia
hampir setengah millenium. Namun, pesonanya tidak lekang di makan usia. Dalam
kaitannya dengan dunia internasional, kepopuleran karya ini dibuktikan oleh adanya
penerjemahan dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Indonesia. Menurut Dewajati
(2003: 2), terjemahan kisah “Romeo Juliet” dalam kurun waktu 3 tahun sudah dicetak
ulang sebanyak 5 kali oleh penerbit Navila, Yogyakarta.
Di samping itu, karya sastra yang lahir dari William Shakespeare ini juga telah
diangkat dalam berbagai format, mulai dari pertunjukan teater, layar lebar, sereal anime,
hingga manga. Dunia anime Jepang pun juga mengadaptasi karya ini. Studio Gonzo,
salah satu produsen anime berkelas, mengangkat kisah sejoli dari keluarga yang
berseteru tersebut dengan judul Romeo x Juliet. Kisah Romeo Juliet juga menembus
radio yang juga bisa diakses melalui internet (http//:www.jawapos.com).
Begitu pula dengan kisah “Laylâ Majnûn” yang diterbitkan Navila Yogyakarta
mulai tahun 2002, sudah dicetak ulang sebanyak 5 kali pada tahun 2003 (Dewajati,
2003:2). Bahkan, pada bulan Mei 2004, buku terbitan Navila menjadi buku paling laris
dengan mencetak rekor memasuki cetakan ke-18. Isi kisah tersebut menjadi lengkap
karena berasal dari 2 jenis teks, yaitu teks berbahasa Arab “Diwan Qais Ibnul
Mulawwach Majnûn Laylâ” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Salim
Bazmul dan teks berbahasa Inggris dengan judul “Laili and Majnûn: A Poem” dan
Laylâ and Majnûn by Nizami diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Manda
Milawati A. . Kisah ini juga disambut pembaca, di antaranya oleh Cahyaningrum
Dewajati, melalui penulisan resensi yang dimuat dalam koran harian Yogyakarta
“Kedaulatan Rakyat” ( Minggu, 2 Maret: 2003). Sebelumnya, pada tahun 1932, penerbit
Balai Pustaka juga pernah menerbitkan kisah Laylâ Majnûn dengan judul Laila-
Majnoen (Tjeritera di tanah Arab). Penerbit Ilman Books juga menerbitkan kisah Laylâ
Majnûn.
Keunggulan karya ini juga dibuktikan oleh keterjangkauan karya tersebut untuk
diteliti, baik aspek bahasa maupun literatur lain yang mendukung. Di samping populer,
kisah Romeo Juliet dan Laylâ Majnûn juga menarik dan problematis sehingga
menggugah minat pembaca untuk meresepsinya. Dalam Laylâ Majnûn, dikisahkan

502
keinginan Majnûn untuk bersatu dengan Laylâ telah menyebabkan dirinya seperti orang
gila yang selalu menyenandungkan syair-syair pujian terhadap Laylâ. Cinta yang tidak
disetujui orang tua ini akhirnya mengakibatkan keduanya meninggal. Dalam kisah
Romeo dan Juliet, dikisahkan pula nasib sejoli yang juga mengalami nasib tragis akibat
perjuangan cinta mereka di tengah-tengah perseteruan antara dua keluarga.
Kisah Romeo Juliet dan Laylâ Majnûn memiliki relevansi dengan kehidupan saat
ini. Permasalahan cinta merupakan permasalahan yang selalu hangat, tidak akan pernah
usai dan tidak akan pernah basi. Cinta akan selalu hadir dalam diri manusia seiring
dengan kehidupan manusia di dunia. Di mana pun dan kapan pun, manusia
membutuhkan cinta. Bagaimana perempuan dicitrakan dalam masalah cinta dalam
kedua karya yang memiliki latar waktu dan budaya yang berbeda tersebut menjadi
penting untuk dikaji.
Kajian sastra feminis penting dilakukan untuk mengetahui sejauhmana
feminisme dicover dalam karya sastra. Terdapat jenis kelamin yang banyak
berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Jenis kelamin ini menimbulkan
berbagai perbedaan perlakuan, baik perbedaan yang ada dalam diri pengarang, karya
sastra, pembaca atau kesemestaan yang diacunya (Culler,1983: 43-63).
Penelitian ini bersifat kepustakaan murni dan termasuk penelitian deskriptif
dengan desain kualitatif. Data penelitian berupa korpus, yakni teks kisah “Laylâ
Majnûn” dan teks kisah “Romeo Juliet” yang mengungkap citra perempuan Arab dan
citra perempuan Barat serta hubungan intertekstual kedua karya. Data ini diambil dari
sumber data, yaitu adikarya legendaris Cleo Laylâ Juliet yang diterbitkan oleh Navila
Yogyakarta (2006), Diwan Qais Bin Mulawwach Majnûn Laylâ” yang diriwayatkan
oleh Abu Bakar Al-Walabî yang diulas oleh Yusra Abdul Ghani (1990), drama 5 babak
berjudul “Majnûn Laylâ” yang ditulis oleh Ahmad Syauqi (2002), dan Romeo and Juliet
karya Shakespeare.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik
dokumentasi dengan prosedur (a) membaca dan mengkaji kisah “Laylâ Majnûn” dan
kisah “Romeo Juliet”; (b) mengidentifikasi unit struktur yang menggambarkan: peran,
fungsi, dan kedudukan perempuan Arab dan Barat; wujud gambaran mental spiritual
dan tingkah laku yang terekspresikan oleh perempuan Arab dan Barat dalam kedua
karya; (c) mengidentifikasi unit struktur yang menunjukkan adanya hubungan
intertekstual antara kedua karya; dan (d) merekam unit struktur. Hasil pengumpulan
data tersebut di atas kemudian di analisis melalui (a) kodifikasi data (b) klasifikasi data,
(c) analisis data, dan (d) penafsiran data. Untuk memantapkan hasil pengumpulan data
dan analisisnya, dilakukan pengecekan secara berulang-ulang.

Laylâ Majnûn dan Romeo Juliet dalam Perspektif Kritik Sastra Feminis
1. Sekilas tentang Kritik Sastra Feminis
Menurut Showalter, kritik sastra dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu
woman as a reader dan gynokritik. Woman as Reader menempatkan perempuan sebagai
konsumen dari produk sastra laki-laki dan pembaca perempuan merubah pengertian
terhadap teks. Showalter menyebutnya sebagai kritik feminis. Perbedaan kritik feminis
dan gynokritik adalah bahwa kritik feminis berawal dari masalah politik dan polemik
sosiologi dan estetik Marxis. Sedangkan ginokritik berusaha membangun sebuah
kerangka karya perempuan untuk analisis sastra perempuan (Newton, 1990: 268-269).
Adapun Culler memperkenalkan teori Reading as woman dalam bukunya On
Deconstruction (1983). Yang dimaksud dengan Reading as Woman adalah pembaca

503
yang memandang sastra dengan kesadaran khusus bahwa ada jenis kelamin yang
banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan. Jenis kelamin ini
menimbulkan berbagai perbedaan perlakuan, baik perbedaan yang ada dalam diri
pengarang, karya sastra, pembaca atau kesemestaan yang diacunya (Culler,1983: 43-
63). Konsep Culler ini digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan
laki-laki yang androsentris atau patriarkis yang sampai sekarang diasumsikan
menguasai penulisan dan pembacaan sastra sehingga perempuan berada di bawah
naungannya.
Ada pula istilah kritik moral yang dikemukakan oleh Josephin Donovan. Kritik
feminis menurut Josephin merupakan moral karena kritik itu memperlihatkan problem
sentral sastra Barat, yaitu perempuan sebagai objek, perempuan tidak diperlakukan
sebagai manusia yang berhak menyusun kesadarannya, perempuan itu objek-objek
yang digunakan untuk mengfasilitasi laki-laki. Josefin Donovan sebagai salah tokoh
kritik ini menyatakan bahwa dalam kritik feminis tidak dapat dipisahkan antara aspek
estetik dan aspek moral dalam karya sastra (Newton, 1990:263).
Kritik feminisme politis diperkenalkan oleh Kate Millet dan Michele Barret.
Kate Millet mengkaitkan feminis dengan politik. Dalam bukunya Sexual Politics
(1970), ia menyatakan bahwa sebab penindasan perempuan adalah patriarkhi yang telah
meletakkan perempuan di bawah laki-laki. Patriarkhi memperlakukan perempuan
sebagai laki-laki yang inferior. Mereka menggunakan kekuatan untuk membatasi
perempuan.
Teori kritik feminis merupakan mikrokosmos dari seluruh kesemestaan teoretis
yang di dalamnya perjuangan kekuatan berlanjut terus tanpa henti (Selden, 1986: 147).
Kritik feminis berakar dari intuisi apriori yang hakiki bahwa perempuan tersusun atas
kesadaran yaitu mereka sendiri, bukan orang lain. Perempuan dalam sastra yang ditulis
laki-laki kebanyakan terlihat sebagai sesuatu yang asing, sebagai objek yang menarik
hanya sejauh mereka bisa menyajikan keberhasilan seorang tokoh protagonis laki-laki.
Karya sastra yang demikian adalah makhluk asing dipandang dari sudut pandang
perempuan karena ini mengingkari esensi dirinya sendiri.
Pembaca perempuan yang membaca sebagai perempuan mempengaruhi
konkretisasi sastra karena makna teks di antaranya ditentukan oleh pembaca. Teks
hanya bermakna jika dibaca oleh pembacanya (Iser, 1978:20). Dalam sebuah
konkretisasi terhadap karya sastra, akan terdapat bermacam-macam makna sesuai
dengan kelompok pembacanya, baik ditinjau dari jenis kelamin, tingkat pendidikan,
bekal pembacaan dan latar belakang sosial budayanya.

2. Peran, Fungsi, dan Kedudukan Perempuan Arab dan Barat dalam Kisah
Laylâ Majnûn dan Romeo Juliet
Dalam buku The New Feminist Criticsm (Showalter, 1985:3) disebutkan bahwa
kritik sastra feminis merupakan studi sastra yang mengarahkan perhatian pada analisis
kepada perempuan. Jika selama ini yang dianggap mewakili pembaca adalah perempuan
dan penciptanya adalah laki-laki, maka kritik sastra feminis ingin menunjukkan bahwa
pembaca perempuan itu memiliki persepsi dan harapan sendiri ke dalam pengalaman
sastranya.
Perempuan dalam kisah Laylâ Majnûn (LM) tidak hanya memiliki peran, fungsi,
dan kedudukan dalam lingkungan keluarga, tetapi juga memiliki peran, fungsi dan
kedudukan dalam lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, perempuan
memiliki peran sebagai istri, ibu, dan anak. Sebagai istri, perempuan memberi saran

504
kepada suami ketika menghadapi kerumitan masalah, baik masalah ekonomi maupun
masalah nasib anak. Seorang istri akan merasa senang jika dirinya dilibatkan dalam
memecahkan masalah keluarga. Istri yang demikian berarti dianggap keberadaannya
oleh suami. Suami memandang istri tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
biologis semata, tetapi juga berarti dalam memberikan masukan dan pendapat terkait
dengan permasalahan keluarga. Pendapat istri itu menimbulkan ketentraman suami.
Istri menjadi penting artinya dalam memecahkan masalah anak. Seorang ibu memiliki
kepekaan terhadap permasalahan anak. Ia cepat tanggap ketika seorang anak berada
dalam masalah.
Dalam kisah LM ini, perempuan juga berfungsi sebagai anak. Sebagai anak,
perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, yaitu mendapatkan pendidikan.
Ketika seorang anak perempuan diberi hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama
dengan laki-laki, maka kemampuan perempuan itu bisa seperti laki-laki, dan bahkan
melebihi laki-laki. Dalam riwayat al-Walabiy, dikemukakan bahwa Laylâ menjadi guru
bagi muridnya yang laki-laki. Di antara mereka adalah Qais yang kemudian menjadi
tambatan hati.
‫ وكان فتيان بنى‬.‫ ووقائع العرب فى الجاهليت والاسالم‬،‫وكاهت ليلى بصيرة بالشعر وألادب‬
‫ فلم يكن فى‬، ‫ وكان قيس فيمن يجلسىن اليها‬.‫عامر يجلسىن الى " ليلى " ويتناشدون عندها الاشعار‬
‫بنى عامر فتى احب اليها وال اكرم عليها منه‬
Wa kânat laylâ bashîratun bisy-syi’ri wal adabi wa waqâ’i’il arabi fil jâhiliyyati
wal islâmi, wa kâna fityânu banî ‘âmir yajlisûna ilâ Laylâ wa yatanâsyadûna
‘indahâ al-asy’âr, wa kâna Qais fîman yajlisûna ilihâ, falam yakun fî banî ‘Âmir
fatan achabbu ilaihâ wa lâ akramu ‘alaihâ minhu (Al-Walaby, 1990:2)

Berdasarkan kisah LM, seorang gadis dalam suatu kabilah membawa nama kabilah
dan menjadi kebanggaannya. Ketika nama gadis di sebut-sebut oleh lelaki yang
mencintainya yang mengakibatkan dirinya dan kabilahnya menjadi bahan gunjingan
masyarakat, maka kepala kabilah merasa kehormatannya tercemar. Kemudian ia akan
segera memingit gadisnya. Dalam kasus ini, anak perempuan menjadi korban atas
aturan yang berlaku.
Di sisi lain, perempuan kurang mendapatkan haknya, terutama masalah
pendamping hidup. Ayah memiliki otoritas dalam menentukan jodoh anaknya. Ia selalu
memilih laki-laki yang kaya dan terpandang dalam masyarakat demi menjaga nama
besar kabilah dan keluarga. Dalam pandangan ayah, kebahagiaan dalam berumah tangga
itu bukan didasarkan pada perasaan cinta, tetapi lebih dikarenakan harta dan kedudukan
dalam masyarakat.
Menurut anak, perasaan cinta menjadi faktor penentu utama kebahagiaan dalam
berumah tangga. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kebahagiaan dalam pernikahan
yang tidak didasari oleh rasa saling cinta. Hal serupa tampak pula pada karya sastra
Arab yang berlatar Libanon, seperti kisah wardah hânî, Shurâchul qubûr, madlja’ul
‘arûs dalam antologi cerpen Al-Arwah Al-Mutamarridah karya Gibran Khalil Gibran.
Kisah serupa juga terjadi pada anak perempuan Arab berlatar Mesir. Misalnya karya
Nawal Sa‟dawi yang berjudul mautur rajulil wachîdi alal-ardli.
Dalam lingkungan sosial, perempuan memiliki peran, fungsi, dan kedudukan
sebagai mitra laki-laki yang dipuja, dicintai, dan mencintai. Rasa cinta itu terwujud
setelah adanya interaksi antara keduanya. Dalam masyarakat, perempuan yang cantik

505
menjadi pujaan kabilah dan kebanggaannya. Apalagi gadis itu cerdas seperti Laylâ.
Cinta Majnûn kepada Laylâ melebihi cinta para pemuda yang saat itu mencintainya.
Majnûn benar-benar jatuh cinta, bahkan cintanya telah membuat dirinya seperti orang
gila.
Cinta merupakan perasaan suka, sayang, kasih, terpikat, rasa ingin memiliki,
rasa rindu hingga sikap rela melakukan apapun terhadap sesuatu atau seseorang. Makna
cinta adalah satu perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu untuk memiliki, mendapatkan,
perasaan untuk dapat bersama-sama, sehingga melahirkan sikap patuh, bahkan bersedia
melakukan apapun untuk memperoleh apa yang diinginkan. Orang yang mencintai akan
rela melakukan apapun demi menggapai cintanya. Menurut salah seorang sufi, Syekh
Abul Qasim Junaid Al-Baghdadi, cinta yang haqiqi adalah cinta tanpa syarat
(inconditional love). Baginya, cinta adalah gelora hati terhadap yang dicintai sehingga
menjadikan lupa kepada diri sendiri. Dalam kaitannya dengan cinta sejati tersebut,
Majnûn rela mengenakan baju pengemis, dilempari dan ditertawakan anak-anak demi
menemui kekasih yang dirindukannya. Darah yang mengucur akibat lemparan itu tiada
lagi terasa perih karena ia sudah melupakan dirinya sendiri. Yang ia ingat adalah
kekasih yang selalu hadir dalam jiwanya. Orang yang dilanda cinta akan terus diliputi
kerinduan. Meskipun telah bertemu, rasa rindu tak kan pernah hilang.
Berdasarkan keseluruhan kisah, diketahui bahwa cinta Majnûn kepada Laylâ
merupakan cinta yang sejati sebagaimana seorang sufi mencintai Tuhan. Menurut para
sufi, cinta merupakan wujud cinta itu sendiri. Cinta tidak dapat digambarkan lebih jelas
daripada apa yang digambarkan oleh cinta. Orang yang tulus mencintai, tidak lagi
berharap apapun kecuali kebersamaan dengan yang dicintai. Hakekat cinta adalah
menyerahkan semua yang dimiliki kepada kekasih yang dicintai, sehingga tidak ada
sesuatu apapun yang dimilikinya. Imam al-Ghazali juga mengatakan bahwa cinta adalah
tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan cinta menduduki derajat tertinggi
(http//: akmaliah.com).
Tokoh Qais (Majnûn) merupakan pengejawantahan penulis sebagai seorang sufi
yang mencintai Tuhannya. Berikut ini perilaku Majnûn yang menunjukkan bahwa
cintanya adalah cinta sejati seorang sufi terhadap Tuhan. (a) Qais yang menunaikan
ibadah haji menunjukkan dirinya sebagai hamba yang taat beribadah.(b) Qais
mengasingkan diri ke gua di antara dua lembah, sebagaimana seorang sufi
mengasingkan diri dari kemewahan hidup dunia, dan menyendiri di tempat yang sunyi
untuk terus menerus mengingat dan menyebut Tuhan yang ia cintai. (c) Dalam
menjalankan ibadah karena cinta kepada Allah, seorang sufi tidak takut pada bahaya
yang mengancamnya. Ia yakin bahwa Tuhan yang dicintainya akan selalu
melindunginya. Dalam kisah inipun terbukti bahwa binatang buas yang mendekati
Majnûn justru menemani dan melindunginya akibat keyakinan Majnûn akan kekuatan
cintanya. Di dalam gua itu, ia merasa sedih dan rindu pada yang dicinta.
(d) Seorang sufi akan selalu berdzikir, menyebut-nyebut nama Allah,
mensucikan-Nya, memuji-Nya, dan mengagungkan-Nya dengan ketulusan hati. Dalam
kisah ini, Majnûn selalu menyebut-nyebut nama Laylâ, (e) Kematian adalah sarana
utama untuk bertemu Tuhan yang dikasihi. Dalam kisah ini dikisahkan bahwa Majnûn
merasa tersiksa dengan jasad yang membelenggu jiwanya. Ia menginginkan kematian
demi bertemu kekasih. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa
kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan sesudah mati, yaitu kehidupan akhirat
yang kekal. Kehidupan akhirat itu lebih utama daripada kehidupan dunia. Oleh karena
itu, setiap orang harus berlomba-lomba berbuat yang terbaik untuk menggapai

506
kebahagiaan sejati di akhirat (Qs An-Nahl:96; Al-A‟la: 16-17; An-Nisa‟: 77). (e) Orang
yang cinta kepada Allah akan mengutamakan ridha Allah dibanding manusia. Demi
cinta kepada Allah, ia tidak akan mempedulikan, apakah manusia itu akan memujinya
atau mencelanya. Ia akan lebih mendengarkan suara hatinya dan tidak terpengaruh oleh
urusan dunia. Yang terpenting dalam hidup baginya adalah kehidupan jiwanya.
Kecintaan terhadap Tuhan telah menyebabkan dirinya rela menyerahkan apapun tanpa
bersyarat, bahkan nyawa sekalipun.
Sebagaimana dalam kisah LM, peran, fungsi, dan kedudukan perempuan Barat
dalam kisah RJ juga tidak terbatas pada lingkungan keluarga saja, tetapi mereka juga
memiliki peran, fungsi, dan kedudukan dalam lingkungan sosial. Baik dalam LM
maupun RJ, dominasi peran, fungsi, dan kedudukan perempuan tersebut berada dalam
lingkungan keluarga. Dalam lingkungan keluarga, peran, fungsi, dan kedudukan
perempuan Barat sebagai ibu, istri, anak, pengasuh, dan dijadikan objek kesewenang-
wenangan ayah.
Sebagaimana dalam kisah LM, perempuan dalam kisah RJ juga memiliki peran
penting. Seorang ibu menasehati anak dan menghiburnya ketika berada dalam
kesedihan. Ia merasa khawatir jika anaknya tampak berduka atau jauh darinya. Naluri
seorang ibu adalah pengasih terhadap anak, meskipun terkadang wujud kasih sayang itu
dimaknai lain oleh anak. Perempuan sebagai istri dalam kisah ini berperan membantu
suami dalam menyelesaikan masalah anak. Ketika anak bermasalah, seorang istri akan
mengadukan permasalahan tersebut kepada suaminya. Adapun perempuan yang
berkedudukan sebagai anak dalam kisah ini memiliki peran, yaitu patuh terhadap orang
tua, menyayangi orang tua, dan mengaguminya. Hal ini membuktikan bahwa orang tua
Juliet berhasil dalam mendidik Juliet. Mereka dapat menjadi contoh bagi Juliet, baik itu
dalam perilaku maupun dalam tutur kata. Ini juga mencerminkan bagaimana peran anak
perempuan Barat dari keluarga bangsawan pada masa itu.
Sebagaimana dalam kisah LM, anak perempuan Barat dalam kisah RJ juga
tidak memiliki hak dalam hal memilih pasangan hidup. Dalam hal jodoh, ia harus
mengikuti semua keinginan/keputusan ayahnya walaupun sang anak tidak mencintai
calon suami tersebut. Ketika memilihkan jodoh untuk puterinya, seorang ayah memilih
pemuda yang memiliki kedudukan, kehormatan, harta yang melimpah. Pilihan ini bisa
saja karena ayah Juliet juga berasal dari keluarga yang terhormat pula. Pilihan ini bisa
juga karena anggapan bahwa kedudukan dan harta dapat membahagiakan anak,
walaupun dalam kenyataannya tidak selalu demikian.Perempuan dalam kisah ini juga
sebagai pengasuh yang memiliki peran berupa rasa setia dan sayang kepada yang
diasuh. Ia juga memberi nasehat dan membantu kesulitan yang dihadapi asuhannya.
Dalam lingkungan sosial, perempuan dalam kisah RJ memiliki peran, fungsi,
dan kedudukan sebagai orang yang dipuja, di samping juga sebagai korban kekuasaan
ayah berupa kawin paksa sebagaimana yang terjadi dalam kisah LM.
Juliet dipuja bukan hanya karena kecantikannya,tetapi juga karena ia berasal dari
keluarga bangsawan dan memiliki perilaku yang baik. Perilaku baik ini ditunjukkan
oleh ketergantungannya kepada pastor ketika menghadapi masalah. Ia juga perempuan
yang setia. Pada abad 16, seorang anak perempuan dalam masyarakat Barat masih
mengikuti pola perjodohan paksa. Seorang ayah ingin melihat anaknya bahagia. Ia
memandang kebahagiaan anak tidak dari sudut pandang anak, mereka memandangnya
dari sudut pandang orang tua yang cenderung mengutamakan aspek materi dan
kehormatan keluarga dibanding perasaan anak.

507
3. Wujud Gambaran Mental Spiritual dan Tingkah Laku yang Terekspresikan
oleh Perempuan Arab dan Barat dalam Kisah LM dan RJ
Perempuan Arab dalam kisah LM memiliki watak mental yang baik, yaitu
cerdas, memiliki rasa cinta, setia, dianggap peka oleh suami, pandai menyembunyikan
perasaan, dan bersikap acuh terhadap suami yang tidak dicintai.
Dalam kisah LM, dikemukakan bahwa Laylâ selain sebagai bunga jazirah Arab yang
cantik jelita juga memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas. Kecerdasannya
dibuktikan dengan kemahirannya dalam bersyair. Kepandaiannya itu membuat dirinya
dipercaya untuk menjadi guru para pemuda Bani „Amir. Peran perempuan yang
demikian menunjukkan bahwa perempuan itu dihormati dikalangan bangsa Arab pada
saat munculnya kisah ini. Perempuan tidak hanya dihargai karena wajahnya yang
cantik, tetapi juga karena kecerdasan dan perangainya yang luhur.
Rasa cinta perempuan Arab pada kekasihnya bisa mengalahkan rasa cinta pada
apapun. Ia akan tetap mempertahankan cintanya walaupun ancaman, rintangan
menghadang. Walaupun ia tidak bisa bertemu dan bersatu dengan kekasihnya, tetapi
cinta mereka tidak akan pernah mati bahkan terus bersemayam dalam hati sampai ajal
tiba. Dalam LM dikisahkan bahwa sejak pertama kali bertemu dengan Qays, ia telah
jatuh cinta kepadanya. Cintanya itu tidak akan bisa ditukar dengan kemilau emas dan
kemewahan dunia. Ia akan mempertahankan cintanya sampai ajal tiba meskipun bahaya
terus mengancam. Dalam kisah Laylâ Majnûn, Laylâ menunjukkan kesetiaannya.
Meskipun ia telah menikah dengan orang lain, tetapi hati dan tubuhnya tetap suci dan
akan ia persembahkan kepada sang kekasih tercinta.
Dalam keluarga, perempuan sebagai istri sekaligus ibu merupakan teman suami
mencurahkan hati. Ketika berada dalam masalah, suami meminta pertimbangan pada
sang istri. Dalam LM, dikisahkan bahwa ketika Syed Omri putus asa dengan keadaan
Qays, ia meminta saran kepada istrinya. Syed Omri menganggap istrinya lebih peka dan
mengerti tentang anaknya. Anggapan Syed Omri ini ternyata benar. Ananda yang
sedang dirundung cinta akan sembuh dari sakit jika dipertemukan dengan kekasihnya.
Istri Syed Omri menyarankan supaya ia meminangkan Laylâ untuk Qays.
Pada umumnya, sifat perempuan itu pandai menyembunyikan perasaan, ini juga
berlaku bagi perempuan Arab. Mereka menyembunyikan perasaannya demi menjaga
kehormatan keluarga dan kabilahnya. Dalam kisah LM, diceritakan bahwa Laylâ harus
menampakkan wajah selalu riang dan gembira di depan kabilahnya. Ia tidak boleh
menampakkan wajah sedih walaupun itu merupakan perasaan yang sebenarnya. Hal ini
harus dilakukan karena dirinya merupakan putri kebanggaan keluarga dan kabilahnya.
Adapun perempuan dalam kisah RJ juga memiliki sikap mental yang positip.
Berikut gambaran sikap mental seorang ibu yang baik, bijaksana, dan salehah:
“her mother is the lady of the house. And a good lady, and a wise and
virtuous” (Shakespeare‟s, tt.hal.47).
Di samping itu, perempuan juga bersifat agresif, setia, ingin bahagia, penuh
perhatian, pandai menyembunyikan perasaan, dan memiliki rasa cinta. Sifat agresif itu
muncul ketika perempuan sedang jatuh cinta. Keagresifannya itu dibuktikan dengan
keberaniannya untuk menyatakan cinta terlebih dahulu. Ia berani mengungkapkan
harapan dan kemauannya kepada laki-laki. Dengan sikapnya itu, ia ingin mendapatkan
kepastian dan agar pikirannya tidak bimbang. Hal ini menunjukkan bahwa dalam tradisi
Barat, seorang gadis lebih berani dan terbuka untuk menyatakan perasaan cintanya
kepada laki-laki dibanding dengan gadis dalam tradisi Timur.

508
Perempuan Barat memiliki kesetiaan kepada sang kekasih sebagaimana
perempuan Arab. Kesetiaan Juliet itu dilakukan karena cinta yang telah terpatri dalam
hatinya. Rasa cinta itu mengakibatkan seorang kekasih tidak ingin menyakiti
kekasihnya. Juliet juga memiliki keyakinan yang teguh terhadap agamanya.
Sebagaimana dalam agama Islam, agama Kristen pun tidak menganjurkan perceraian.
Juliet ketika mau dijodohkan dengan County Paris, ia menolak karena kesetiannya pada
suami. Ia selalu berjuang untuk mempertahankan cintanya. Selain itu, ia taat pada ajaran
agama yang mengajarkan bahwa seorang perempuan itu hanya menikah sekali dalam
hidup.
Dalam kisah Romeo Juliet, Juliet merasa sedih ketika mengetahui Romeo telah
membunuh Tybalt. Apalagi Romeo akan diasingkan keluar negeri. Juliet putus asa akan
masa depannya. Ia menyesali semua kenangan yang ada. Dunia ini seperti berhenti
berputar, hidup seperti tiada arti. Ia sempat pingsan dalam beberapa waktu. Ketika sadar
dan dinasihati oleh pengasuh, ia kembali semangat.
Perempuan Barat yang berperan sebagai ibu dan pengasuh memperhatikan dan
menyayangi anak atau asuhannya. Pengasuh Juliet selalu memperhatikan apakah ia
sedang bahagia atau sedih. Ketika Juliet sedang sedih, ia segera mencari tahu
penyebabnya lalu menasihatinya. Demikian juga dengan ibu, menyayangi anak dengan
penuh perhatian. Ketika berada dalam kesedihan, Juliet berusaha untuk menutupi
perasaan yang sebenarnya. Di depan ayah dan ibu, ia berusaha menampakkan wajah
gembira walaupun hatinya sedih dan bingung. Sama halnya dengan perempuan Arab,
perempuan Barat juga memiliki rasa cinta dan kesetiaan yang besar terhadap kekasih. Ia
mencintai kekasih dengan tulus dan berani menghadapi segala resiko dan berani
mengorbankan segala yang dimiliki untuk mempertahankan cintanya.

Intertekstualitas dalam Kisah Layla Majnûn dan Romeo Juliet


1. Sekilas tentang Teori Intertekstual
Culler (1983: 103, 117) menyatakan bahwa teks-teks yang terdahulu
memberikan sumbangan terhadap pembentukan teks yang muncul kemudian. Oleh
karena itu, teks terdahulu sebagai prior teks dan sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikasi menjadi penting. Dalam kajian
intertekstual, perlu dicari presupposition, baik yang bersifat logis maupun pragmatis.
Presupposition merupakan landasan signifikasi, perkiraan “tanda” terjadinya
transformasi teks atau perkiraan bahwa teks baru mengandung teks lain yang hadir
sebelumnya.
Teori intertekstual berawal dari konsep dialogika yang diperkenalkan pertama
kali oleh Michail Bakhtin pada tahun 1926. Bakhtin berpendapat bahwa semua karya
itu dihasilkan berdasarkan dialog antara teks dengan teks-teks lain. Teori dialogika
Bakhtin tersebut kemudian dikembangkan oleh Julia Kristeva dengan istilah
intertekstualitas sebagaimana dalam bukunya semiotike.
Yang dimaksud dengan intertekstualitas adalah bahwa “dalam sebuah teks
terdapat beberapa buah teks”. Teks merupakan mosaik kutipan-kutipan dan merupakan
penyerapan teks-teks lain. Setiap teks terjalin hasil dari kutipan, peresapan, dan
transformasi dari teks-teks lain. Kajian intertekstualitas ini digunakan untuk
mengimbangi dan memadukan antara teks dalaman dan teks luaran (Napiah, 1994: ix-
xv, Culler, 1977: 139).
Dasar intertekstualitas adalah prinsip persamaan antara teks yang satu dengan
teks yang lain. Teks, menurut Julia Kristeva, merupakan mozaik kutipan-kutipan dan

509
merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain (Culler, 1977: 139). Menurut
Kristeva, di dalam sebuah teks terdapat teks-teks lain yang diambil dan dimasukkan ke
dalam teks yang baru (Junus, 1986:87) dengan pengolahan dan kreativitas pengarang
sehingga tampil dalam bentuknya yang baru. Dari sini tampak bahwa karya sastra
(puisi) tidak muncul dari kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11), tetapi ia lahir dari
masyarakat dan kemudian ditanggapi oleh teks yang muncul kemudian (teks
transformasi). Hipogram dan teks transformasi itu akan membantu dalam memberikan
pemaknaan secara lebih mendalam terhadap sebuah sajak.
Selanjutnya, Riffaterre mengembangkan teori intertekstual tersebut dengan
memberikan istilah hypogram pada sajak yang menjadi latar penciptaan sebuah sajak,
sedangkan teks baru yang menyerap dan mentransformasikan hipogram itu disebut teks
transformasi (1978: 11,23). Hipogram ada dua macam, yaitu hipogram aktual dan
hipogram potensial. Hipogram potensial adalah segala bentuk implikasi dari makna
kebahasaan, baik yang berupa presuposisi atau makna-makna konotatif yang sudah
dianggap umum. Implikasi itu tidak terdapat dalam kamus melainkan sudah ada dalam
penutur bahasa pada umumnya. Pemahaman terhadap hipogram potensial ini akan
diketahui melalui oposisi-oposisi yang ditimbulkan oleh puisi. Adapun hipogram aktual
adalah teks-teks yang ada sebelumnya, baik mitos atau karya sastra lain (Faruk, 1996:
25-26).
Intertekstualitas ini merupakan satu teori yang tidak hanya memperhatikan
struktur intrinsik teks saja, tetapi juga aspek ekstrinsik teks. Intertekstualitas tidak hanya
bertumpu pada soal pengaruh dalam penciptaan karya sastra, tetapi pendekatan ini lebih
menitikberatkan komponen-komponen yang membina sebuah teks, seperti adanya
transformasi, perubahan atau penentangan terhadap satu atau lebih sistem yang ada
dalam sebuah karya sastra. Kristeva menyebutkan beberapa prinsip intertekstualitas,
yaitu transformasi (pemindahan), modifikasi (penyesuaian, perubahan), demitefikasi
(penentangan), haplologi (penghilangan), ekserp (pararel), dan konversi
(pemutarbalikan) (Napiah, 1994: xxiv).

2. Hubungan Intertekstual Kisah “Laylâ Majnûn” dan “Romeo Juliet”


Sebuah teks memiliki hubungan dengan karya pendahulunya (hipogram). Dasar
intertekstualitas adalah prinsip persamaan antara teks yang satu dengan teks yang lain
(Culler, 1977: 139). Berdasarkan penelusuran kisah, ditemukan adanya hubungan
intertekstual antara kisah “Laylâ Majnûn” dan kisah “Romeo Juliet”. Hubungan
intertekstual tersebut berupa transformasi, modifikasi, dan demitefikasi.
Transformasi ditemukan pada judul kedua karya, yaitu penggunaan nama tokoh
utama cerita, yaitu nama sepasang kekasih yang saling mencintai, Laylâ Majnûn dan
Romeo Juliet. Di samping itu, juga terdapat modifikasi tema dalam kedua karya. Tema
utama kisah Laylâ Majnûn dan Romeo Juliet berpusat pada masalah perjuangan cinta
yang berakhir dengan kematian. Dalam Laylâ Majnûn, cinta mereka terhalang oleh
orang tua yang tidak merestui hubungan mereka. Dalam Romeo Juliet, cinta mereka
terhalang oleh perseteruan antara dua keluarga. Halangan cinta dalam kedua karya
adalah halangan keluarga. Halangan tersebut kemudian mengakibatkan Majnûn terpisah
dari Laylâ dan Romeo terpisah dari Juliet. Perpisahan itu mengakibatkan kerinduan
yang semakin dalam dan perjuangan untuk bersatu yang semakin kuat. Demi
memperjuangkan cinta, Laylâ menderita hingga akhirnya meninggal. Demi
memperjuangkan cintanya, Juliet rela minum ramuan yang mengakibatkan dirinya mati
suri dan dikubur di pusara.

510
Berdasarkan tokoh dan penokohannya, terdapat transformasi dalam kedua karya.
Bentuk-bentuk transformasi tersebut sebagai berikut. Laylâ dan Majnûn saling
mencintai sebagaimana Juliet dan Romeo. Laylâ adalah putri tercantik dan dari keluarga
terpandang (ayahnya seorang ketua kabilah) begitu pula dengan Juliet, putri tercantik
dari keluarga terpandang pula (keluarga bangsawan). Laylâ dan Juliet sama-sama
dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan laki-laki kaya, tampan, dan terpandang.
Laylâ dipaksa menikah dengan Ibnu Salam dan Juliet dipaksa menikah dengan County
Paris. Laylâ dan Majnûn (tokoh utama) meninggal karena masalah cinta, demikian juga
dengan Romeo Juliet (tokoh utama) meninggal karena masalah cinta. Qais meninggal
karena ingin bersatu jiwanya dengan Laylâ di syurga keabadian. Romeo juga meninggal
karena ingin bersatu jiwanya dengan kekasih yang dianggap sudah meninggal. Bentuk
transformasi dalam kisah ini juga ditunjukkan oleh orang tua yang menjadi penyebab
utama tidak bersatunya sepasang kekasih. Hubungan cinta Laylâ dan Qais tidak
disetujui orang tua. Hubungan cinta Juliet dan Romeo terselubung karena dua
keluarganya bermusuhan. Kekasih Laylâ, Qais sangat tergila-gila kepadanya
sebagaimana kekasih Juliet, Romeo juga sangat tergila-gila kepadanya.
Di samping transformasi, terdapat pula modifikasi dalam kedua karya. Kisah
Romeo Juliet merupakan bentuk modifikasi dari kisah Laylâ Majnûn. Laylâ dicinta dan
dipuja kekasih dengan lantunan syair, sedangkan Juliet juga dicinta dan dipuja kekasih
dengan menggunakan kata-kata romantis. Dalam Laylâ Majnûn (LM), Laylâ selalu
murung dan tidak mau makan dan minum setelah pertemuannya yang terakhir dengan
Majnûn. Ia selalu memikirkan nasib cintanya hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Demikian juga dalam Romeo Juliet (RJ), setelah pertemuannya yang terakhir dengan
Romeo (sebelum pengasingan), Juliet selalu murung, tidak mau makan dan minum,
akhirnya dinikahkan dengan orang lain. Untuk bertemu Laylâ, Qays menyamar menjadi
pengemis dan rela dihina. Ia juga sering memasuki taman rumah Laylâ secara
sembunyi-sembunyi hanya untuk melihat Laylâ. Begitu pula Romeo, untuk bertemu
Juliet, ia rela pergi ke tempat yang berbahaya (musuh keluarga) dengan sembunyi-
sembunyi memanjat dinding rumah Juliet. Majnûn mengasingkan diri di gurun dan di
gua dan berkomunikasi dengan hewan, alam, dan tumbuhan. Romeo ketika diasingkan
ke Mantua juga berkomunikasi dengan hewan, alam, dan tumbuhan. Majnûn meninggal
di pusara Laylâ dan Romeo, meninggal di pusara Juliet.
Bentuk modifikasi juga tampak ketika Qays, kekasih Laylâ yang tergila-gila
kepada Laylâ tidak mau mendengar nasehat dari siapapun, apalagi meminta nasehat.
Sedangkan Romeo, kekasih Juliet mau mendengar nasehat dari orang lain ketika
menghadapi masalah cinta, bahkan meminta nasehat kepada pastor. Majnûn, kekasih
Laylâ meninggal dengan cara berdoa agar dicabut nyawanya. Adapun Romeo, kekasih
Juliet meninggal dengan cara minum racun. Ibnu Salam, suami Laylâ meninggal karena
memikirkan derita cintanya yang tak terbalas. Adapun County Paris, calon suami Juliet
juga karena dibunuh akibat mempertahankan calon istrinya dari anggapan bahaya.
Dalam kedua kisah, diceritakan bahwa perempuan boleh keluar rumah selama
memiliki tujuan yang jelas dan tidak melanggar aturan keluarga dan adat. Laylâ dan
teman-temannya pergi ke sekolah untuk belajar. Mereka juga bermain-main di taman
sekolah sebagaimana Juliet dan para gadis Verona berkumpul di rumah tuan Capulet
untuk ikut pesta perayaan upacara keagamaan. Selain itu Juliet juga pernah ke gereja
untuk meminta nasihat pastor serta melakukan pengakuan dosa. Pertemuan pertama kali
kedua tokoh dalam kisah LM dan RJ berlangsung di forum umum. Laylâ bertemu

511
Majnûn ketika mereka belajar di sekolah, sedangkan Juliet bertemu Romeo dalam acara
perayaaan natal.
Kisah kasih di sekolah, sebagaimana yang diceritakan dalam kisah Laylâ
Majnûn merupakan latar yang paling indah. Sekolah merupakan latar yang abadi. Dari
dulu sampai sekarang, banyak kisah cinta pertama yang berawal dari bangku sekolah.
Sekolah menjadi sebuah tempat berseminya cinta kaum muda. Dalam kaitannya dengan
latar ini, Nizami berhasil mengadaptasi kisah pertemuan cinta Laylâ Majnûn dari latar
keluarga di desa menjadi latar sekolah. Dalam kehidupan sekarang, keabadian latar
sekolah ini ditunjukkan oleh fakta yang dapat dilihat sehari-hari dan juga dapat
disaksikan pada film-film remaja.
Transformasi alur dalam kedua karya ini tampak pada urutan peristiwanya yang
beralur lurus. Alur ini menceritakan semua kisah secara berurutan mulai dari awal
sampai akhirnya tokoh utama dalam kedua kisah tersebut meninggal dunia. Kisah Laylâ
Majnûn diawali dengan kisah cinta antara mereka berdua, kemudian diikuti dengan liku-
liku perjuangan cinta hingga akhirnya mengalami penderitaan yang mengakibatkan
pada meninggalnya sepasang kekasih yang saling mencintai. Kisah Romeo Juliet juga
dimulai pertemuan tokoh Romeo dengan Juliet dan keduanya saling jatuh cinta.
Sebelumnya, Romeo pernah dikecewakan oleh seorang gadis. Dalam menjalani
percintaan, keduanya mengalami liku-liku perjuangan cinta yang akhirnya meninggal
secara tragis.
Selain transformasi dan modifikasi, dalam kedua karya ini juga ditemukan
demitefikasi kisah. Cinta kasih Laylâ dan majnûn menimbulkan pertengkaran dua
keluarga, sedangkan cinta kasih Juliet dan Romeo mengakibatkan bersatunya dua
keluarga yang saling bermusuhan. Laylâ dan Majnûn tidak pernah bersatu dalam ikatan
pernikahan sampai ajal tiba, tetapi Romeo dan Juliet sudah pernah disatukan dalam
ikatan pernikahan terselubung sebelum mereka meninggal.
Perempuan dalam Romeo Juliet dicitrakan lebih agresif daripada perempuan
dalam kisah Laylâ Majnûn. Perempuan Arab yang menjalin cinta kasih sebelum
menikah dianggap aib oleh masyarakatnya. Sementara itu, bagi masyarakat Barat,
menjalin cinta kasih sebelum pernikahan adalah hal yang sudah biasa dan bukan aib.
Laylâ menyatakan cintanya kepada Majnûn hanya lewat puisi. Adapun Juliet berani
menyatakan cinta dan mempertanyakan kesungguhan Romeo terhadap dirinya. Hal ini
menunjukkan bahwa dalam tradisi Barat, seorang gadis lebih berani dan terbuka untuk
menyatakan perasaan cintanya kepada laki-laki dibanding dengan gadis dalam tradisi
Timur.
Jika ditinjau dari akhir kedua kisah, diketahui bahwa pada akhir kisah LM,
perseteruan antara Bani Amir dan Bani Qhatibiah tidak disebutkan, tetapi yang dibahas
adalah akhir kisah cinta LM. Setelah kematian Laylâ, Majnûn langsung ke makam
Laylâ dan ia terus di sana sampai nyawanya terpisah dari raganya. Sedangkan dalam RJ,
dikisahkan bukan hanya ending dari Romeo dan Juliet saja, tetapi juga akhir dari
perseteruan antara dua keluarga yang berakhir dengan bahagia. Ini semua berkat
perjuangan RJ. Di sini disebutkan, cinta suci mereka, walaupun akhirnya harus ditebus
dengan nyawa mereka berdua telah berhasil mewujudkan cita-cita dan keinginan untuk
mengakhiri permusuhan keluarga mereka. Dua keluarga tersebut akhirnya sadar dan
hidup berdampingan dengan bahagia.

512
Kesimpulan
Perempuan dalam kisah Laylâ Majnûn dan Romeo Juliet memiliki peran, fungsi,
dan kedudukan, baik dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga maupun lingkungan
sosial. Adapun dominasi perannya masih dalam lingkungan keluarga. Dalam kedua
kisah, perempuan memiliki watak mental spiritual yang baik, yaitu setia, penuh
perhatian terhadap orang yang dikasihi, taat kepada orang tua, memiliki rasa cinta; ingin
mencintai dan dicintai, serta berani menanggung resiko demi mempertahankan cintanya.
Perempuan Barat lebih agresif dibanding perempuan Arab. Perempuan Arab yang
menjalin cinta kasih sebelum menikah dianggap aib oleh masyarakatnya. Sementara itu,
bagi masyarakat Barat, menjalin cinta kasih sebelum pernikahan adalah hal yang sudah
biasa dan bukan aib.
Terdapat hubungan intertekstual ide dalam kedua karya, baik berupa
transformasi, modifikasi, maupun demitefikasi. Disebut transformasi jika dalam kedua
kisah terdapat ide yang sama, disebut modifikasi jika dalam kedua karya terdapat
perubahan dan pengembangan ide, dan disebut demitefikasi jika dalam kedua karya
terdapat ide yang bertentangan. Jika melihat keunggulan kisah LM yang sudah
melampaui dunia timur dan kemunculannya yang terlebih dahulu dibanding RJ maka
teks yang menjadi hipogram adalah kisah LM. Bentuk transformasi yang telah di
lakukan Shakespeare dalam romeo Juliet tidak hanya dari aspek judul, tema, dan tokoh
saja, tetapi sudah menjangkau aspek alur kisah. Bentuk-bentuk transformasi,
demitefikasi, dan modifikasi yang ada serta identitas kisah RJ yang monumental
menunjukkan bahwa Shakespeare memiliki kreativitas dalam menenun kalimat-demi
kalimat sehingga kisah RJ muncul sebagai karya cipta yang baru sebagai hasil serapan
dari karya LM. Penelitian ini masih dangkal dan baru menyentuh kulit saja dari kisah
LM dan RJ. Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan dalam rangka memperoleh makna
yang lebih mendalam terkait dengan kedua karya cipta monumental itu. Semoga
bermanfaat.

Daftar Pustaka
Al-Walaby, Abî Bakr. 1990. Dîwân Qais bin Al-Mulawwach; Majnûn Laylâ. Dirâsah
wa ta‟lîq Yusrâ Abdul Ghanî. Libanon: Darul Kutub al-„ilmiyyah.
Coates, Jennifer. 1993. Women, Man and Language: Sociolinguistic Account of Jender
Differences in Language. London and New York: Longman.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics. London: Methuen and Co. Ltd.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction, Theory and Criticsm after structuralism.
London and Henley: Routledge and Kegan Paul.
Dewajati, Cahyaningrum. 2003. „Laylâ Majnûn‟ dalam koran harian Kedaulatan
Rakyat. Yogyakarta: Minggu 2 Maret 2003.
Faruk, Umar. 1996. “Aku dalam Semiotika Riffaterre” dalam jurnal Humaniora vol III,
hal: 32. Yogyakarta: FIB UGM
Gisymar, Sholeh. 2004. „Bicara Cinta Mengeja Peradapan‟ dalam Kisah Romeo Juliet.
Yogyakarta: Navila.
http//:www.kompas.com. diakses tanggal 21 Juli 2007
http//:Akmaliah.com. diakses tanggal 16 Oktober 2007
Iser, Wolfgang.1978. The Act of Reading, A Theory of Aesthetic Response. Baltimore:
Johns Hopkins University Press.
Junus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.

513
Napiah, Abdul Rahman. 1994. Tuah-Jebat dalam Drama Melayu: Suatu Kajian
Intertekstualiti. Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Newton, K.M. 1990. Twentieth Century of Literary Theory A Reader. London:
Macmillan.
Nizami, Syekh. 2002. Laylâ Majnûn (Salim Bazmul dan Manda Milawati, Pen.).
Yogyakarta: Navila.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotics of Poetry. Bloomington and London: Indiana
University Press.
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory.British: The
Harvester Press.
Shakespeare. Tt. The Tragedy of Romeo and Juliet (edited by A.J.J. Ratcliff). London
and Edinburgh: Thomas Nelson & Sons LTD.
________. 2004. Romeo Juliet (diterjemahkan dari The Tragedy of Romeo and Juliet
oleh Manda Milawati). Yogyakarta: Navila.
Showalter, Elaine. 1985. The New Feminist Criticism, New York: Basil Blackwell
Syauqî, Ahmad. 2002. Majnûn Laylâ. Al-Qâhirah: Maktabatul Âdâb.

514

You might also like