You are on page 1of 90

MEMBACA KEMBALI AKAR KONFLIK ISLAM-KERISTEN

Arini Lestari
Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam
Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, UIN Alauddin Makassar
E-mail: arinilestari2711@gmail.com

Abstract
This article examines the extent of the roots of the conflict between Muslim-Christian and some new
horizons full of hope about the relationship between them because both communities derived from the
same ancestor, Abraham. Relationship between Islam and Christianity has been (and always)
ambivalent: between conflict and peace, between harmony and discord. Qur’an, the scripture of Moslem,
invites others to build an inter-religious dialogue in fair and just way. Qur’an has also put the
fundamental principle such as political, economic, social and theological considerations. Since Islam and
Christianity have identical sources, it is rather unproblematic to look for the equal methods and systems
that could effectively found the dialogue. This article intends to discover the roots of conflict within
relationship between Islam and Christianity and try to find new perspectives. This paper will discuss
claim of theological finality between Islam and Christianity, Christian justification on the crusades and
the efforts to build dialogue and harmony. Seeing such conditions, the world does not remind silent. It
means, religious people at the International and Regional takes steps persuasive that is by holding
meetings with inter-religious dialogue (inter-faith) for a discussion and find solutions of the problems
that arise in the middle of cosmopolitan community by promoting the agenda of humanity, justice, and
equality, and peace locally and regionally.
Keywords: Islam, Christianity, Conflict, Dialogue.
Abstrak
Artikel ini mengkaji sejauh mana akar konflik antara Muslim-Kristen dan beberapa cakrawala baru yang
penuh harapan tentang hubungan di antara mereka karena kedua komunitas berasal dari nenek moyang
yang sama, Ibrahim. Hubungan antara Islam dan Kristen telah (dan selalu) ambivalen: antara konflik
dan perdamaian, antara harmoni dan perselisihan. Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, mengajak orang lain
untuk membangun dialog antar umat beragama secara adil dan merata. Al-Qur’an juga telah meletakkan
prinsip-prinsip fundamental seperti pertimbangan politik, ekonomi, sosial dan teologis. Karena Islam
dan Kristen memiliki sumber-sumber yang identik, maka tidaklah bermasalah untuk mencari metode
dan sistem yang setara yang dapat secara efektif menemukan dialog. Artikel ini bermaksud untuk
menemukan akar konflik dalam hubungan Islam dan Kristen dan mencoba mencari perspektif baru.
Tulisan ini akan membahas klaim finalitas teologis antara Islam dan Kristen, justifikasi Kristen terhadap
perang salib dan upaya membangun dialog dan harmoni. Melihat kondisi seperti itu, dunia tak diam
mengingatkan. Artinya, umat beragama di tingkat Internasional dan Regional mengambil langkah-
langkah persuasif yaitu dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan dialog antar-agama (antar-
iman) untuk berdiskusi dan mencari solusi atas permasalahan yang muncul di tengah masyarakat
kosmopolitan dengan mengedepankan agenda kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, serta
perdamaian secara lokal dan regional. Kata kunci: Islam, Kristen, Konflik, Dialog.
Pendahuluan

Hubungan Islam dan Kristen sejak awal bersifat ambivalen, bisa bersifat konflik dan bisa damai.
Alquran mengajak dialog dengan Ahli Kitab, Yahudi dan Kristen, dalam suasana yang dinamis. Ajaran
Alquran juga menganjurkan kaum muslimin mengakui Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah satu, tetapi
di sisi lain Alquran secara tegas menyalahkan keyakinan tentang trinitas, ketuhanan Yesus. Alquran
menyampaikan bahwa umat Nasrani adalah umat yang paling bersahabat dengan umat Islam, tetapi
Islam juga memerintahkan pengikutnya untuk memerangi ahli kitab yang menolak keyakinan mengenai
Tuhan dan hari akhir sampai mereka membayar jizyah.

Aspek negatif dan positif hubungan seperti ini dapat dilihat pada sejarah hubungan kedua komunitas
(Muslim-Nasrani) di atas. Alquran meletakkan sikap dasar kaum muslimin terhadap umat Nasrani
dengan pertimbangan-pertimbangan politik, ekonomi, dan realitas sosial bukan pertimbangan teologi.
Karena Alquran mengakui Nasrani sebagai satu keyakinan yang benar dan sah, agama ini bisa hidup
dengan berbagai bentuk dan ekspresinya. Teologi Kristen mendapat tempat dalam sejarah Islam sebagai
penyelamat berbagai sistem keagamaan dan filsafat sebelumnya. Tetapi sebaliknya dengan agama
Yahudi di mana ajarannya merupakan problem besar yang mendapat porsi perhatian serius, setelah
melalui sejarah keagamaan yang panjang dan tragis, meski terpisah dari ajaran Nasrani.

Dalam artikel tulisan ini akan menelaah sejauh mana akar-akar konflik antara Muslim-Kristen dan
beberapa horizon baru yang penuh harapan tentang hubungan antar keduanya karena merupakan dua
komunitas yang sama-sama berasal dari satu nenek moyang yaitu Nabi Ibrahim. Tulisan ini dimulai
dengan kajian seputar klaim final kedua agama tersebut, kemudian justifikasi Kristen terhadap umatnya
untuk melawan umat Islam dalam perang salib dan diakhiri dengan solusi yang seharusnya dijadikan
dasar hubungan agar tercipta perdamaian dunia dan kelestarian hubungan di antara keduanya.
[hal.94.membaca Kembali akar konflik islam-keristen].
Pembahasan

A. Dialog Kebenaran Universal


Sebagaimana Islam, agama Kristen lahir dari aktivitas kultural dan keagamaan yang intens. Para
pimpinan gereja meyakini bahwa Kristen merupakan manifestasi kebenaran dan memandang
agama itu sebagai pewaris final kebenaran. Saint Cyprian menyatakan bahwa tak sedikit dari
jamaah gereja Katolik yang memanfaatkan penyelamatan dan pembaptisan darah. Bila
seseorang yang berada di luar perahu Nuh saja bisa celaka, tentu mereka yang berada di luar
gereja juga bisa celaka. Cyprian mengutip kata-kata Kristen yang terkenal dalam Matius 12:30
sebagai berikut:

“Dia yang tidak bersama saya adalah menentang saya, dan dia yang tidak bersama saya
akan bercerai-berai. Dia yang berkumpul di mana saja di luar gereja berarti memecah
belah Gereja Kristen. Dia yang tak mempertahankan kesatuan gereja, berarti tak
memegang hukum Tuhan; tak memegang keyakinan sang Bapak dan sang Anak, tak
memegang keselamatan.”[hal.95.membaca Kembali konflik]

dialog dalam konteks agama Kristian merupakan satu gesaan terhadap perkara yang seharusnya
dilakukan oleh penganut Kristian iaitu bercakap atau berkomunikasi dengan penganut agama lain yang
tidak hanya melibatkan aktiviti perbincangan tetapi lebih utama lagi ialah keupayaan mempamerkan
cara hidup yang sebenar dan menyenangkan penganut agama lain.[hal.175.114]

Dalam konteks kehidupan umat Islam upaya ini dapat dipahami sebagai pola hubungan ukhuwah
islamiyah yang dalam pandangan Norcholish Madjib bahwa petunjuk memelihara persaudaraan Islam
(ukhuwah islamiyah) adalah pertama, sikap saling terbuka dengan berapa pun besarnya perbedaan
sekunder dalam paham dan tingkah laku. Kedua, jangan terlalu banyak prasangka karena mengakibatkan
dosa (kejahatan). Ketiga, jangan menjadi mata-mata antar sesama. Keempat, jangan saling mengumpat
dengan membicarkan keburukan orang lain. Bila merujuk pada pandangan Norcholish Madjid diatas,
maka relasi kehidupan intra dan antar umat beragama dengan memaksimalkan pemahaman dan praktik
yang mendalam mengenai ukhuwah islamiyah akan menjadi salah dinamika praktik kehidupan
masyarakat yang unik. Sebab, ajaran universalitas agama diletakkan pada posisi yang tanpa saling
mencurigai, merasa paling benar, dan mencari kelemahan pihak lain yang berbeda pemahaman dan
keyakinan. Sehingga terkait masalah agama atau kehidupan umat beragama Joachim Wach memandang
perlu adanya beberapa unsur yang harus diperhatikan yakni: pertama, unsur teoritis yakni agama
sebagai sistem kepercayaan yang melingkupi seluruh dimensi kehidupan manusia (penganutnya). Kedua,
unsur praktis yakni berupa sistem kaidah yang mengikat para pemeluknya yang menjadi tatanan praksis
kehidupan para pemeluknya. Ketiga, unsur sosiologi yakni agama mempunyai sistem hubungan dan
interaksi sosial. Sehingga, implikasinya menurut Joachim Wach untuk menjelaskan bahwa jika salah satu
unsur tersebut diatas tidak terdapat didalamnya, maka seseorang tidak dapat berbicara tentang agama,
melainkan hanyalah kecenderungan religius. Adanya kecenderungankecenderungan religius inilah
terkadang menyebabkan sesama atau antar pemeluk agama mengalami konflik atau tindakan
kekerasan, hal tersebut dikarenakan adanya pandangan yang menganggap diri paling benar atas apa
yang diyakini atau merasa paling benar dengan apa yang dipahaminya.[hal.107-108.,152]..

Bidang pertama yang menurut saya penting adalah pertanyaan tentang kebenaran. 58 Para eksklusivis
yang berpegang pada klaim-klaim kebenaran Kristen oleh para pluralis dianggap sebagai tidak peka dan
arogan, khususnya di abad modern ini. Itu sebabnya para pluralis cenderung asyik dengan usaha untuk
menemukan bidang-bidang persesuaian di antara tradisi-tradisi agama; tujuan mereka adalah mengejar
satu pemahaman mutual bahkan sampai mengorbankan sejumlah pokok klaim-kebenaran. Di sini saya
sependapat dengan baris pertama kalimat di atas, yakni, kita harus berusaha keras ke arah pemahaman
yang lebih besar dan respek terhadap iman lain dengan melihat bidang-bidang persesuaian. Namun,
maksud baik ini tidak boleh mengorbankan isu kebenaran. Butir ini penting karena seorang analis
berasumsi bahwa topik kebenaran pada kenyataannya diabaikan oleh banyak teolog dalam menghadapi
pluralisme agama dan dialog antar-agama.[hal.270-271.daniel lucas].

Kristen dan Islam sama-sama mengklaim sebagai pembawa risalah universal bagi umat manusia dan
pembawa kebenaran yang final. Paulus pernah mengatakan kepada kaum Athena yang tersesat bahwa
Tuhan tidak pernah membiarkan dirinya tanpa kesaksian. Tuhan telah berfirman kepada manusia di
semua waktu dan dengan segala macam cara.9 Meskipun demikian, pandangan universal tentang
petunjuk Ilahi ini terkubur oleh determinisme sejarah akibat persoalan teologis di kalangan gereja,
persaingan politik, ekonomi dan militer, biak yang terjadi dalam internal umat Kristen ataupun antara
mereka dengan masyarakat beriman lainnya.

Sedangkan Islam memiliki pandangan kebenaran universal yang termanifestasi pada wahyu Ilahi dalam
sejarah Alquran. Hal tersebut bertujuan agar manusia saling bekerjasama dalam kebenaran dan
berlomba dalam kebaikan. Kebaikan tidak ditentukan oleh identitas etnis, rasionalitas atau agama,
melainkan merupakan tuntutan dari pesan yang disampaikan nilai Alquran. Tetapi karena terpengaruh
oleh ambisi politik dan nilai-nilai yang bersifat primordial seringkali umat Islam mengorbankan
universalitas kebenaran itu.[hal.96-97.membaca Kembali akar].

B. Peran Salib Sebagai Tonggakk Sejarah


Pada tanggal 27 Nopember 1095, Paus Urban II menyampaikan pidatonya di depan khalayak
banyak yang berkumpul di Dewan Clermon untuk memproklamirkan Perang Salib. Menurut Fucher,
Paus Urban II mengemukakan maksudnya atas nama Kristen untuk mempercepat pembasmian ras
hina dari daerah mereka (Kristen) sekaligus meminta umat Kristen mendukung pikirannya tersebut.
Urban II mengatakan bahwa Kristen memerintahkan hal itu, sebagaimana yang sering diteriakkan
oleh tentara Kristen saat menyerang kota-kota Islam tanpa kenal kompromi: “Deus Le Volt!”
(Tuhan menghendaki ini!).
Paus Urban II juga memberi pengampunan dosa bagi siapa saja yang mau bergabung dalam Perang
Salib. Hal ini berhasil mendorong tentara Salib bertindak semakin bengis. Terbukti, setiap kota yang
mereka taklukkan pada tahap-tahap awal peperangan benar-benar mereka kosongkan. Jargon dan
semangat perang salib yang berbunyi hancurkan Islam dan musnahkan pemeluknya sering diangkat
ke permukaan oleh pemimpin Barat yang anti Islam hingga saat ini. Pembentukan Negara Israel
misalnya, di mana bagian dari rencana jangka panjang Barat untuk mewujudkan keyakinan dan
peradaban mereka. Penaklukan Jerussalem oleh Jenderal Allenby pada perang dunia I dipandang
sebagai perang ke-8 dan terakhir. Ketika Jenderal Gourand memadamkan pemberontakan Syria
melawan Perancis (1919 M-1920 M), ia pergi ke makam Salâh}uddîn al-Ayyûbî dan menyepakkan
kakinya sambil berkata, “Kami telah kembali lagi, hai Salâh}uddîn”.[hal.97-98. Membacax kembali]
Tonggak penting dalam relasi Barat dan Islam adalah adanya Konsili Vatikan II yang mengubah
paradigma inward looking ke arah dialog. Konsili ini melahirkan dokumen penting seperti Nostra
Aetate, Ad Gentes, dan Lumen Gentium. Terutama Nostra Aetate yang menunjukkan keterbukaan
Gereja Vatikan terhadap kebenaran keimanan lain. Iman lain juga dihargai sebagai jalan menuju
Tuhan. Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II telah mengubah wajah lama Gereja menjadi lebih
baik. Jika dalam sejarahnya Gereja pernah identik dengan inkuisisi dan arogansi kebenaran, maka
kini Gereja telah berubah wajah menjadi rendah hati dan ramah.
h berubah wajah menjadi rendah hati dan ramah. Perubahan itu disambut baik oleh umat-umat
lain, tidak terkecuali Muslim. Salah satu yang terpenting adalah Surat Terbuka bertajuk “A Common
Word”. Dalam tradisi Islam, menulis surat kepada pimpinan beragama lain merupakan praktik yang
dicontohkan nabi, misalnya ketika Nabi Muhammad berkirim surat ke Kaisar Roma, Heraklius.
Dalam suratnya, Nabi Muhammad mengajak Kaisar Heraklius untuk berpegang pada kalimatun
sawa, satu ketetapan yang tidak ada perselisihan antara Islam dan Kristen, yaitu bahwa keduanya
menyembah Allah. Sejarah itu terulang di zaman modern ini, ketika sekelompok muslim menulis
surat kepada otoritas Vatikan yang isinya juga menegaskan kalimatun sawa, halhal yang sama-sama
menjadi perhatian Islam dan Kristen. Sebanyak 138 cendekiawan, ulama, dan tokoh muslim dari
berbagai negara menandatangani surat yang ditujukan kepada Paus Benediktus XVI dan pimpinan
tertinggi gereja di seluruh dunia. Tokoh Indonesia yang turut menandatangani adalah Prof. Dien
Syamsuddin (Muhammadiyah) dan Prof. Nasaruddin Umar (NU). Surat tersebut dikirimkan tanggal
13 Oktober 2007, bertepatan dengan Idul Fitri 1428 H, dan berjudul A Common Word Between Us
and You. Isinya mengajak kepada dua kalimatun sawa: Love of God dan Love of Your Neighbour.
Secara sederhana, semua agama mengajarkan hablumminallah dan hablumminannas, relasi
vertikal dan horizontal.[hal.283-284.1968].
Gagasan untuk menjalankan peperangan demi membela kepercayaan agama merupakan idealisme
keagamaan yang tersusun menjadi satu, meskipun demikian berbagai kecenderungan juga
mendapat tempat yang layak dalam tujuan Perang Salib untuk menguasai kembali tempat suci
Yerussalem dengan cara-cara militer. Karena itu untuk merumuskan sebab-sebab terjadinya Perang
Salib, maka perlu menganalisis kondisi pihak Eropa sebelum perang mulai pecah, atau minimal
dianalisa walaupun sekilas sikap dan tindakan pihak Eropa di abad-abad pertengahan.
[hal.191.nasarojss].
Pembahasan sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas itu tidak bisa
dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya, bukan saja karena persoalan-
persoalan politik sangat menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban tertentu, tetapi
terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu aspek penting
dalam peradaban. Sejarah peradaban Islam dibagi oleh para sejarawan kepada tiga periode, yaitu:
1. Periode klasik (650-1250 M) 2. Periode pertengahan (1250-1800 M) 3. Periode modern (1800 M-
sekarang)5 Selama kurun periode ini, hubungan Islam dan Kristen terus berlangsung, namun
makalah ini akan membuka kembali lembaran sejarah peradaban Islam pada masa menjelang
periode pertengahan, khususnya pada masa-masa kemunduran dan keruntuhan bani Abbasiyah
dan bani Fatimiyah. Pada masa itu terdapat kejadian besar yang menjadi catatan hitam dari kontak
hubungan umat Islam dan umat Kristiani, pergolakan tersebut ditengarahi terjadi disebabkan
berbagai tendensi, seperti tendesi politik, kekuasaan, ekonomi, agama, dan lain sebagainya.
Kejadian tersebut lebih dikenal dengan Perang Salib.[hal.128.658]
berbeda dengan apa yang diajukan Islam. Alquran menegaskan bahwa secara umum Tuhan
melarang seseorang memerangi orang lain dalam hal keyakinan, atau mengusir keluar dari
negerinya. Bahkan, Islam menyuruh setiap orang berbuat baik dan adil kepada siapa saja, karena
Tuhan mencintai orang yang berbuat adil.15 Prinsip etika ini mengisyaratkan adanya pergaulan
sosial antara kelompok masyarakat yang berbeda. Etika dan kemajemukan sosial semacam ini
diakui dan disemangati oleh Alquran paling tidak antara umat Islam dengan ahli kitab. Artinya, pada
saat-saat damai dan aman, umat Islam dan non-Islam harus hidup sebagai masyarakat yang satu,
dengan cara masing-masing kaum beriman tetap menjadi pelaku bagi hukum-hukum sosio
religiusnya sendiri.[hal.98.membca]
Memasuki periode pasca Khulafa al-Rasyidin yaitu masa berkuasanya Dinasti Muawiyyah (yang
masih ditandai dengan periode klasik) merupakan puncak hubungan Kristen dengan Islam yang
sangat menarik. Hubungan antara kedua komunitas agama tidak hanya sebatas saling menghargai
dan mengikat perjanjian jika terjadi penaklukkan wilayah, tujuan yang lebih spesifik karena sudah
mengarah pada pengembangan ilmu pengetahuan yang akan memberi kontribusi dalam
pembentukan peradaban manusia yang lebih maju. Demikian akrabnya hubungan Kristen dan Islam
di dunia Barat sehingga dinyatakan bahwa dalam sejarah Eropa yang berhubungan dengan
keagamaan dan sejarah gereja Kristen terlihat pengaruh agama Islam terhadap golongan pencetus
perbaikan dan pembaharuan serta penentang-penentang yang berontak terhadap aturan
keuskupan yang sedang menguasai keagamaan Eropa.18 Gerakan pembaharuan yang
dipropagandakan oleh Luther terang sekali bahwa sebagai penyebab adalah pengaruh ajaran
agama Islam. 19 Penulis buku "The Making of Humanity" menyatakan bahwa tak ada satu segi
bidang dari bidang-bidang kemajuan Eropa yang tidak dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.
Kebudayaan Islam mempunyai kelebihan dan pengaruh besar dan nyata sekali dalam kemajuan
Eropa. Misalnya ilmu-ilmu tentang alam (yang diperoleh jasa-jasa orang Arab) telah dapat
mengubah Eropa kepada kehidupan. Bukan hanya ilmu tentang alam saja, tetapi kebudayaan Islam
telah mempengaruhi kehidupan Eropa dengan pengaruh besar dan bermacammacam sejak Islam
mengirimkan sinarnya pertama kali ke semua Eropa. Hubungan itu tidak demikian intim lagi setelah
terjadinya Perang Salib yang disebabkan antara lain: Setelah Yerussalem dan Palestina berada di
bawah kekuasaan Turki, tidak jarang para jemaat Kristen mendapat perlakuan yang tidak baik dan
dirampok jika mereka berziarah ke tempat suci tersebut. Informasi mengenai perlakuan demikian
cenderung berkembang dan secara berlebihan sehingga menimbulkan reaksi orang Kristen
diseluruh dunia. Pemunculan Islam yang cepat menimbulkan suatu goncangan bagi seluruh Eropa
Kristen sehingga abad ke XI pasukan orang Kristen Barat diarahkan untuk melawan Islam.
Perdagangan internasional terpenting dalam hal ini Laut Tengah dikuasai oleh orang Islam, lalu
lintas perdagangan Kristen dari kawasan Eropa tertentu (Pisa, Vanesia, dan Geneo) terhambat
dengan demikian, persaingan ekonomi ikut memacu terjadinya perang salib. Perang salib terjadi
karena adanya konflik lama antara orang Islam dan orang Kristen untuk saling menguasai. Wilayah
kekuasaan Alexus Cowneus di Asia diserbu oleh bangsa Selguk. Oleh karena itu, ia meminta
bantuan Paus Urbanus II untuk menyerang orang Islam berdasarkan rapat Dewan Gereja (tanggal
20 November 1095) seruan untuk melawan orang Islam mulai dikumandangkan dan mendapat
sambutan dikalangan Kristen sedunia. 20 Perang salib yang berlangsung lama kurang lebih 1095-
1244 M., yang oleh sejarawan ada yang membagi tiga angkatan dalam tiga masa dan ada yang
sampai delapan masa perang salib I sampai dengan perang salib VIII. Perang salib menimbulkan
beberapa akibat penting dalam sejarah dunia karena membawa Eropa ke dalam kontak langsung
dengan dunia Islam, melalui inilah hubungan antara Barat dengan Timur terjalin. Pengajuan orang
Timur yang progresif dan maju pada saat itu menjadi daya dorong yang besar bagi pertumbuhan
intelektual Eropa Barat. Hal tersebut memerankan bagian yang penting bagi timbulnya renaisance
di Eropa. Selain itu, Perang Salib menambah kepentingan Eropa di lapangan perniagaan dan
perdagangan. Sebagai hasil dari Perang Salib, orang Eropa dapat mempelajari dan memodifikasi
serta mengaflikasi beberapa temuan penting yang telah dihasilkan oleh orang Islam pada masa-
masa sebelumnya.[hal.133-135.658].
C. Horison baru menuju toleransi antara umat

Telah kita diakui bahwa sejauh ini umat Islam dan Kristen hidup dalam dunia yang berbeda, Darul
Islam dan Gereja Militan. Oleh karena itu, mereka membentuk kehidupan dan panggung sejarah
dunia yang berbeda pula. Contoh panggung tragedi yang mengerikan tersebut adalah Timur
Tengah, tempat lahir dan berkembangnya ketiga keyakinan atau agama monoteistik. Timur Tengah,
khususnya Yerusalem, tetap menjadi pusat dua dunia yang kontras itu yaitu antara harapan dan
kekhawatiran, damai dan perang, kebaikan dan kejahatan. Ia adalah ruang pertemuan dari dua
etnis berbeda yang berasal dari nenek moyang yang satu. Sayangnya, kota ini menjadi bagian
integral dari eksklusivisme sempit ketiga Agama Ibrahim (Abrahamic Religion). Konsekuensi
logisnya, kota ini kehilangan karakter dasarnya sebagai pusat titik temu agama-agama semitik.
[hal.99.membaca]
) Membangun kepercayaan di antara manusia agar tidak mudah bertindak kekerasan atau anarki
pada dasarnya berkaitan dengan kultur. Kultur dalam kajian cultural development adalah ‘sistem
ideasional’ atau ‘sistem gagasan’, atau the state of mind yang mendorong pola perilaku yang khas
pada suatu kelompok sosial tertentu. Kultur, pada satu saat berada pada posisi independent
variable bila dikaitkan dengan kemajuan perekonomian suatu masyarakat. Namun kultur pun bisa
direkayasa melalui public policy, jadi kultur berubah menjadi dependent variable. [44778.256]
Islam mengajarkan kepada manusia nilai-nilai normatif untuk menerapkan keadilan, kejujuran,
persamaan, kebebasan, yang kesemuanya itu dalam rangka mewujudkan suatu tata cara kehidupan
masyarakat dan negara yang sebaik- baiknya untuk kemaslahatan hidup yang berkesinambungan,
baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Dan bahwa pada dasarnya universalisme
ajaran (agama) Islam telah memuat prinsip-prinsip dasar mengenai hubungan-hubungan individu
dan hubungan-hubungan sosial yang kemudian pengejawantahan nilai-nilai kemnusiaan tersebut
secara substansial direfleksikan ke dalam sikap egalitarianisme dan kosmopolitanisme. Interpretasi
yang semacam ini bisa melahirkan.sikap-sikap beragama yang toleran dalam mewujudkan
kerukunan antar agama dan perkembangan multikulturalisme. Di dalam masyarakat multikultural,
keanekaragaman dan budaya menjadi modal sosial yang paling berharga bagi terciptanya
harmonisasi sosial. Karena itulah, di dalam multikulturalisme, semua orang memiliki hak untuk
diperlakukan sama dihadapan hukum. Oleh karena itu pemahaman terhadap keagamaan yang
didasari akan kesadaran perbedaan, pengakuan akan adanya hak-hak orang lain, tanpa adanya
pemaksaan, adalah pilar-pilar dalam ajaran Islam. Dengan pengakuan dan pelaksanaan inilah, Islam
akan senantiasa menjadi rahmat bagi semua (Rahmatan Lil 'Alamin ).[266.234]

Nampaknya, amat jelas bagaimana kita mesti bekerja sama dengan


penganut agama yang beraneka ragam. Dengan semangat kerja sama, tanpa menghilangkan dan
mengurangi bobot kualitas iman kita, jalinan antar umat beragama menjadi sangat penting
terutama dalam rangka memperkokoh integritas bangsa. Wajar kalau kemudian pemerintah
menggalakkan pentingnya kerukunan umat beragama melalui program tri kerukunan, yaitu
kerukunan antar umat beragama, kerukunan inter umat beragama, dan kerukunan antar umat
beragama dengan pemerintah. Untuk menjaga kerukunan hidup antar umat beragama salah
satunya dengan dialog antar umat beragama. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat yang
modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan
(pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan (Gada, 2016).
Untuk itulah kita harus saling menjaga kerukunan hidup beragama. Secara historis, banyak terjadi
konflik antar umat beragama pada Era Reformasi, misalnya konflik horizontal di Poso, antar umat
Islam dan Kristen, konflik Ahmadiyah dengan warga Banten. Begitupun konflik vertikal-horizontal
yang dilakukan oleh salah satu Cagub DKI Jakarta periode 2017-2022 Basuki Tjahya Purnama (Ahok)
(Ahyar & Alfitri, 2019) yang telah menyinggung tafsir agama lain yaitu agama Islam atau kasus
penodaan agama sehingga mengundang reaksi dari jutaan umat Islam Indonesia yang biasa disebut
dengan aksi Bela Islam 212. Dari kejadian tersebut dapat dijadikan contoh bahwa agama di sini
terlihat sebagai pemicu atau sumber dari konflik tersebut. Sangat ironis konflik yang terjadi
tersebut padahal suatu agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup
dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati. Oleh karena itu, tema
dialog antar umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada masalah peribadatan tetapi lebih
baik ke masalah kemanusiaan seperti moralitas, etika, dan nilai spiritual, supaya efektif dalam
dialog antar umat beragama juga menghindari latar belakang agama dan kehendak untuk
mendominasi pihak lain. Dialog tidak harus menghasilkan kesepakatan, dalam arti secara bersama-
sama menyepakati untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan pekerjaan yang sama. Dalam dialog
biasa muncul kesepakatan untuk sepakat (Rambe, 2017).

D. Dialog Inter-Faith Menuju Peradaban Baru


Untuk menghindari konflik yang sewaktu-waktu bisa mencuat, barangkali ada baiknya dialog
Muslim-Kristen yang diselenggarakan di Kolombo 1976, atas kerja sama Dewan Gereja-gereja
Sedunia (DGD) dan Muktamar Alam Islami (MAI), menjadi bahan renungan dan kajian mendalam
oleh kedua kelompok tersebut. Dialog Kolombo, atau yang populer dengan “Chembesy Statement”
(Pernyataan Chembesy), mengangkat tema Christian and Muslims Living and Working Together:
Ethnics and Practices of Humanitarian and Development Programmes. Dari tema ini dapat
dipahami bahwa dialog diarahkan pada kemungkinan kerja sama yang saling menguntungkan bagi
kedua belah pihak pada masa-masa mendatang. Keduanya harus bisa melupakan masa lalu kelabu
dalam hubungan mereka dan tidak perlu lagi mengutak-atik “dosa” itu. Sekalipun tak terelakkan,
isu-isu kolonialisme, non-kolonialisme dan segala macam bentuk eksploitasi yang masih dialami
umat Islam muncul dalam dialog ini, tetapi semuanya masih bisa dikendalikan.[100-101.MEMBACA]
kerukunan antar umat beragama dan kerukunan intern umat beragama. Kerukunan yang dimaksud
bukan sekedar terciptanya keadaan dimana tidak ada pertentangan intern umat beragama,
pertentangan antar umat beragama atau antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan
yang dikehendaki adalah suatu kondisi terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang
nyata, dengan tetap menghargai adanya perbedaan antar umat beragama dan kebebasan untuk
menjalankan agama yang diyakininya, tanpa mengganggu kebebasan penganut agama lain. Jadi
“kerukunan yang kita cita-citakan bukanlah sekedar “rukunrukunan” melainkan suatu kerukunan
yang benar-benar otentik dan dinamis.[hal.103.suka]
Praktek dialog antar umat beragama telah sering dilaksanakan, baik tingkat nasional maupun
tingkat internasional, dalam rangka mendiskusikan berbagai masalah keagamaan dan
kemasyarakatan serta sebagai perbedaan di antara umat beragama. Pada tanggal 30 Maret sampai
1 April 1982 di Kolombo diadakan dialog Islam-Kristen yang disebut “Fourty three nations in historic
Moslem-Christian Dialogue” (Empat puluh tiga bangsa dalam dialog Islam-Kristen yang bersejarah),
salah satu ungkapan dari laporan akhir dialog itu antara lain disebutkan “Pengalaman dialog
Muslim-Kristen di Kolombo dengan diskusinya yang jujur dan terbuka telah membina saling
pengertian yang lebih erat dan tekad untuk bekerja sama demi kepentingan perdamaian, keadilan,
kemanusiaan dan dengan itu memberikan teladan mengenai komitmen bersama untuk mencapai
maksud “Tuhan untuk manusia” (Arifin, 2011).[105-106.suka]

Rasa simpati juga ditunjukkan oleh pihak Kristen berkaitan dengan penderitaan yang dialami umat
Islam selama masa penjajahan. Pernyataan di atas diakhiri dengan kesepakatan bahwa pihak
Kristen akan berusaha sekuat tenaga guna mencegah gereja dan organisasiorganisasi Kristen
melakukan praktik-praktik semacam itu. Natsir mengingatkan, jangan sampai praktik dan peristiwa
seperti itu muncul dalam bentuk kontemporer, seperti yang terjadi pada konferensi Agama yang
diadakan di Jakarta 30 September 1967, yakni kegagalan mencapai satu kata sepakat karena pihak
Kristen menolak modus dan prinsip kehidupan agama yang diajukan Pemerintah. Jenderal
Panggabean, seorang Kristen taat yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan
pernah menyatakan ketidaksetujuannya dengan praktikpraktik kristenisasi yang dilakukan umat
Kristen di Indonesia.23 Dalam konteks Indonesia, berdirinya Forum Indonesia Damai yang didukung
oleh tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai agama, khususnya Islam dan Kristen dipandang sebagai
upaya konkret guna meredam konflik bernuansa agama berkembang lebih masif dan serius. Forum
ini memberi respons tegas terhadap peristiwa pengeboman gereja di berbagai kota di Indonesia
pada malam perayaan natal. Tindakan itu dilakukan oleh oknum yang mempunyai kepentingan
politik dan tidak menginginkan kerukunan umat beragama di negeri ini terbangun baik. Tentu
saja, tindakan seperti ini tidak akan pernah dilakukan oleh penganut agama yang masih mempunyai
hati nurani.

You might also like